Top Banner
Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun 2012–2013 Mutivanya Inez M, Dewi Yulianti Bisri, Achmad Adam........................................................ 157–61 Laporan Kasus Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea Ahmado Oktaria, Dewi Yulianti Bisri ................................................................................... 162–70 Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi Tumor Otak Caroline Wullur, M Adli Boesoirie, Dewi Yulianti Bisri ....................................................... 171–76 Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda Sandhi Christanto, Sri Rahardjo, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh ............................. 177–86 Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan Herniasi Serebral Silmi Adriman, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ................................................................. 187–92 Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak Buyung Hartiyo Laksono, Nazaruddin Umar, Marsudi Rasman ........................................... 193–202 Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus Bau Indah Aulyan, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ............................................................. 203–11 Tinjauan Pustaka Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin Dewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ........................................................................................... 212–22 Daftar Isi
74

Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

Mar 27, 2018

Download

Documents

doantuyen
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

Laporan Penelitian

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun 2012–2013Mutivanya Inez M, Dewi Yulianti Bisri, Achmad Adam........................................................ 157–61

Laporan Kasus

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio SesareaAhmado Oktaria, Dewi Yulianti Bisri ................................................................................... 162–70

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi Tumor OtakCaroline Wullur, M Adli Boesoirie, Dewi Yulianti Bisri ....................................................... 171–76

Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang TertundaSandhi Christanto, Sri Rahardjo, Bambang Suryono, Siti Chasnak Saleh ............................. 177–86

Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan Herniasi SerebralSilmi Adriman, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ................................................................. 187–92

Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma OtakBuyung Hartiyo Laksono, Nazaruddin Umar, Marsudi Rasman ........................................... 193–202

Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai HidrosefalusBau Indah Aulyan, Sri Rahardjo, Siti Chasnak Saleh ............................................................. 203–11

Tinjauan Pustaka

Awake Craniotomy: Pengalaman dengan DexmedetomidinDewi Yulianti Bisri, Tatang Bisri ........................................................................................... 212–22

Daftar Isi

Page 2: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

157

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Dr. Hasan Sadikin Tahun 2012–2013

Mutivanya Inez M*), Dewi Yulianti Bisri**), Achmad Adam***)

*)Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran**)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran-Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung, ***)Departemen Bedah Saraf Fakultas

Kedokteran Universitas Padjadjaran–Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin, Bandung

Abstrak

Latar Belakang dan Tujuan: Tumor otak adalah kumpulan sel tidak normal pada otak yang bermultiplikasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya dan organ-organ terkait. Tumor supratentorial adalah tumor otak yang terletak superior terhadap tentorium serebeli. Tentorium serebeli adalah lapisan dural yang memisahkan lobus oksipital pada otak besar dengan otak kecil. Tumor supratentorial adalah 33% dari total tumor otak. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan angka kejadian tumor supratentorial berdasarkan jenis dan letak tumor.Subjek dan Metode: Objek penelitian adalah rekam medis pasien dengan diagnosis tumor supratentorial yang masuk ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif memakai rancangan studi kasus. Data dibagi kedalam kelompok sesuai dengan jenis dan letak tumor kemudian dilihat karakteristiknya.Hasil: Terdapat 494 pasien tumor supratentorial tapi hanya ada 168 yang memiliki informasi lengkap. Berdasarkan jenisnya, tumor dikelompokkan secara garis besar menjadi glioma (14,88%), tumor kranial dan paraspinal (0,60%), tumor meningen (70,24%), tumor pada region sella (10,12%) dan tumor metastasis (4,17%). Berdasarkan letaknya, secara garis besar tumor terletak di sisi kanan (35,12%), sisi kiri (36,90%), region sellar (13,69%), sisi tengah (4,16%) dan bilateral (10,12%)Simpulan: Jenis tumor supratentorial terbanyak adalah meningioma dan lokasi tumor supratentorial paling banyak adalah pada sisi kiri otak secara umum, atau pada lobus frontal secara spesifik.

Kata Kunci: jenis, letak, tumor supratentorialJNI 2015;4(3): 157–61

Incidence of Supratentorial Tumor based on Types and Locations of Tumor in Hasan Sadikin Hospital Year 2012–2013

Abstract

Background and Objective: Brain tumor is a group of abnormal cells in the brain which multiplies and causes damage to the surrounding tissues and related organs. Supratentorial tumor is a brain tumor which is located at superior of tentorium cerebelli. Tentorium cerebelli is the dural layer which separates the occipital lobe of cerebrum with the cerebellum. Thirty three percent of brain tumor is supratentorial tumor. This study was aimed to observe the prevalence of supratentorial tumor based on the type and location of the tumor.Subject and Method: The objects of the study were the medical records of patients diagnosed with supratentorial tumor whom admitted to Dr. Hasan Sadikin General Hospital Bandung from January 2012 until December 2013. This study was a case- descriptive study and data was divided into groups based on type and location of the tumor and then analyzed based on the characteristics.Result: There were 494 patients with supra tentarial tumor, but only 168 patients had complete infomation. Based on the type, tumors were categorized generally into glioma (14.88%), cranial and paraspinal tumor (0.60%), meningeal tumor (70.24%), sellar region tumor (10.12%) and metastatic tumor (4.17%). Based on the location in the brain, tumors were located generally in the right side (35.12%), left side (36.90%), sellar region (13.69%), middle (4.16%) and bilateral (10.12%).Conclusion: The most common type of supratentorial tumor is meningioma and most common location of supratentorial tumor is in the left side of the brain, particularly in the frontal lobe.

Key Words: location, supratentorial tumor, typeJNI 2015;4(3): 157–61

Page 3: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

158 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Tumor otak adalah kumpulan sel patologi pada otak yang bermultiplikasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitarnya dan organ-organ terkait. Tumor otak merupakan salah satu dari jenis kanker yang paling sulit untuk dilawan.1 Tumor otak masih merupakan masalah kesehatan yang signifikan di Amerika Serikat dan seluruh dunia. Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa 14 dari 100.000 penduduk Amerika didiagnosis dengan tumor otak primer setiap tahunnya.2 Pasien tumor otak di Intensive Care Unit (ICU) dan High Care Unit (HCU) RSUP Dr. Karyadi pada periode Februari 2010 hingga Februari 2012 berjumlah 1 orang atau 5% dari total 20 orang pasien kanker pada periode tersebut.3 Insidensi tumor otak meningkat sebanyak 25% selama dua dekade terakhir.4

Tumor otak dibagi berdasarkan letaknya menjadi supratentorial dan infratentorial. Tumor supratentorial adalah tumor yang terletak diatas tentorium serebeli dan areanya mencakup serebrum. Badan Penelitian Kanker Internasional melaporkan bahwa angka kejadian tumor supratentorial adalah 33% dari total tumor otak.5

Penelitian di Institusi Bedah Saraf Universitas Roma menunjukkan 193 dari total 440 tumor serebrum adalah supratentorial. Dari 193 tumor, 95 tumor (49%) merupakan jenis tumor glioma. Jenis tumor kraniofaringioma merupakan kedua terbanyak dengan jumlah 32 tumor (17%).6

Penelitian di divisi Bedah Saraf, Toronto Western Hospital, Kanada, menunjukkan bahwa dari 610 pasien tumor supratentorial, jenis tumor glioma merupakan jenis terbanyak dengan jumlah total 367 (60,2%) diikuti dengan tumor metastasis sebanyak 197 tumor (32,3%) dan meningioma sebanyak 11 tumor (1,8%).7 Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan angka kejadian tumor supratentorial berdasarkan jenis dan letak tumor di rumah sakit Dr. Hasan Sadikin pada periode tertentu.

II. Subjek dan Metode

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif memakai rancangan studi kasus. Objek penelitian adalah rekam medis (medical record) pasien dengan diagnosis tumor supratentorial yang masuk ke rumah sakit Dr. Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Kriteria inklusinya adalah rekam medis semua pasien yang masuk ke RS Dr. Hasan Sadikin Bandung dengan diagnosis tumor supratentorial dengan keterangan letak dan hasil pemeriksaan histopatologi pada tahun 2012–2013. Kriteria eksklusi adalah pasien dengan rekam medis yang tidak lengkap. Besar sampel ditetapkan berdasarkan total populasi (sensus). Setelah itu, data dilihat karakteristiknya berdasarkan letak dan jenis tumor. Microsoft excel ver.15 (2010) digunakan sebagai alat bantu dalam mengolah data.

Diagram 1. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Jenis Tumor

Page 4: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

159

III. Hasil

Terdapat total 494 pasien dengan tumor otak supratentorial yang masuk ke RS Hasan Sadikin Bandung pada Januari 2012 hingga Desember 2013. Setelah melalui proses inklusi dan eksklusi, untuk penghitungan letak dan jenis tumor otak supratentorial, 326 dari 494 rekam

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Hasan Sadikin Tahun 2012–2013

Diagram 2. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Letak Tumor

Tabel 1. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Jenis Tumor

Jenis Tumor Supratentorial Jumlah PersenAstrosistik 18Oligoastrosistik 1Oligodendroglial 2Embrional 1Glioma lainnya 3Neurofibroma 1Meningioma 111Mesenkim 7Kraniofaringioma 1Adenoma hipofisis 16Metastasis adenokarsinoma 2Metastasis karsinoma 5

Letak Tumor Jumlah PersenSisi Kanan 59 35,12%Sisi kanan singular 34 20,24%

Frontal 23 13,69%Parietal 6 3,57%Temporal 1 0,60%Lainnya 4 2,38%Sisi kanan campuran 25 14,88%Frontotemporoparietal 2 1,19%Temporoparietal 9 5,36%Frontoparietal 8 4,76%Parietooksipital 3 1,79%Frontotemporal 2 1,19%Frontooksipital 1 0,60%Sisi Kiri 62 36,90%Sisi kiri singular 33 19,64%Frontal 21 12,50%Parietal 6 3,57%Temporal 2 1,19%Oksipital 1 0,60%Lainnya 3 1,79%Sisi kiri campuran 29 17,26%Parietooksipital 6 3,57%Frontotemporal 4 2,38% Frontoparietal 10 5.95%Temporoparietal 5 2.98%Frontotemporoparietal 2 1,19%Lainnya 2 1,19%Regio Sellar 23 13,69% Regio sellar 19 11,31% Suprasellar 3 1,79%Regio sellar dan parietal kiri 1 0,60%Sisi Tengah 7 4,17%Midfrontal 6 3,57%Midparietal 1 0,60%Bilateral 17 10,12%Singular 9 5,36% Frontal 9 5,36%Campuran 8 4,76%

medis dieksklusi karena tidak memiliki informasi lengkap mengenai letak dan jenis tumor sehingga hanya 168 rekam medis yang dapat dipakai.Berdasarkan jenis tumor supratentorial, mayoritas tumor supratentorial adalah jenis tumor meningioma dengan jumlah 111 dari total 168 sampel atau sebesar 66,07%. Jenis tumor supratentorial terbanyak berikutnya adalah jenis

Tabel 2. Distribusi Pasien Tumor Otak Supratentorial berdasarkan Letak Tumor

Page 5: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

160 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tumor astrosistik dengan jumlah 18 atau sebesar 10,71% dari total sampel. Jenis tumor adenoma hipofisis berjumlah 16 atau 9,52%, diikuti dengan jenis tumor mesenkim sebanyak 7 atau 4,17%, jenis tumor metastasis karsinoma sebanyak 5 atau 2,98%, jenis tumor glioma lainnya sebanyak 3 atau 1,78%, jenis tumor metastasis adenokarsinoma sebanyak 2 atau 1,19%, jenis tumor oligodendrogial sebanyak 2 atau 1,19%, jenis tumor embrional sebanyak 1 atau 0,59%, jenis tumor neurofibroma sebanyak 1 atau 0,59%, dan jenis tumor kraniofaringioma sebanyak 1 atau 0,59%. Berdasarkan letak tumor supratentorial, tumor pada sisi kiri otak merupakan terbanyak dengan jumlah 62 sampel (36,90%) yang terdiri dari 33 tumor singular dan 29 tumor campuran. Tumor pada sisi kanan otak merupakan terbanyak kedua dengan jumlah 59 sampel (35,12%) yang terdiri dari 34 tumor singular dan 25 tumor campuran. Secara spesifik, tumor pada bagian frontal merupakan terbanyak dengan jumlah 23 tumor pada frontal kanan, 21 tumor pada frontal kiri, dan 9 tumor pada frontal bilateral.

IV. Pembahasan

Berdasarkan jenis tumor supratentorial, dapat dilihat bahwa pada penelitian ini, jumlah tumor jenis meningioma merupakan terbanyak dengan jumlah 111 atau 66,07%. Penelitian di divisi Bedah Saraf pada Toronto Western Hospital menunjukkan bahwa jenis tumor supratentorial terbanyak adalah glioma dengan jumlah total 367 dari 610 tumor (60,16%). Sedangkan meningioma menduduki peringkat ketiga terbanyak dengan jumlah total 11 dari 610 tumor (1,80%). Penelitian serupa pada Institusi Bedah Saraf Universitas Roma juga menunjukkan bahwa jenis tumor supratentorial terbanyak adalah glioma dengan jumlah total 95 dari 193 tumor (49,22%). Jenis tumor kraniofaringioma merupakan kedua terbanyak dengan jumlah 32 tumor (16,58%). Agen penyebab tumor otak khususnya glioma belum teridentifikasi. Selain itu, rendahnya variasi dari insidensi tumor otak di sepanjang Eropa menunjukkan tidak adanya faktor penyebab khusus dari lingkungan.8 Meningioma biasanya bersifat asimptomatik sehingga baru diketahui ketika pasien melakukan

pemindaian otak karena alasan lain atau ketika pasien diautopsi. Insidensi meningioma semakin meningkat seiring waktu karena semakin banyak pasien melakukan pemindaian otak (CT scan) karena indikasi penyakit lain yang berbeda-beda. Meningioma saat ini ditetapkan sebagai tumor otak primer yang paling sering ditemukan. Karena itu, adanya perbedaan hasil penelitian terhadap jenis tumor supratentorial adalah wajar.9

Berdasarkan letak tumor supratentorial, tumor pada sisi kiri otak lebih banyak daripada tumor pada sisi kanan otak. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di Rumah Sakit Anak Los Angeles pada tahun 1979–2005 menunjukkan bahwa pada anak-anak dengan umur dibawah 6 bulan, insidensi tumor supratentorial pada bagian otak kiri lebih banyak daripada pada otak bagian kanan.10 Penelitian ini juga menunjukkan bahwa secara keseluruhan, tumor supratentorial paling banyak terdapat pada lobus frontal dengan jumlah 53 dari total 168 atau sebesar 31,54%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian studi kasus berbasis wawancara terhadap 2708 pasien glioma dan 2409 pasien meningioma di 13 negara yang menunjukkan bahwa letak tumor supratentorial terbanyak adalah pada lobus frontal dan parietal sebanyak 54,80% dari total pada glioma dan 53,14% dari total pada meningioma.11

Terdapat beberapa keterbatasan dalam penelitian ini, antara lain data rekam medik yang kurang lengkap. Selain itu, banyak pasien tumor supratentorial yang terdata di departemen Bedah Saraf tetapi tidak terdata di departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin.

V. Simpulan

Angka kejadian tumor supratentorial di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012–2013 dijumpai sebanyak 494 kasus, akan tetapi, hanya 168 kasus yang mempunyai informasi lengkap tentang lokasi dan tipe tumor supratentorial. Gambaran karakteristik tumor supratentorial di RS Dr. Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012–2013 berdasarkan jenisnya sebagai berikut: Jenis tumor terbanyak adalah tumor meningioma sebanyak 111 kasus (66,07%), diikuti oleh astrosistik sebanyak 18 kasus (10,71%),

Page 6: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

161

adenoma hipofisis sebanyak 16 kasus (9,52%), tumor mesenkim sebanyak 7 kasus (4,17%), metastasis karsinoma sebanyak 5 kasus (2,98%), glioma lainnya sebanyak 3 kasus (1,78%), metastasis adenokarsinoma sebanyak 2 kasus (1,19%), oligodendroglial sebanyak 2 kasus (1,19%), embrional sebanyak 1 kasus (0,59%), neurofibroma sebanyak 1 kasus (0,59%), dan kraniofaringioma sebanyak 1 kasus (0,59%). Gambaran karakteristik tumor supratentorial di RS Hasan Sadikin Bandung pada tahun 2012–2013 berdasarkan letaknya sebagai berikut: Letak tumor terbanyak adalah pada sisi kiri sebanyak 62 kasus (36,90%), diikuti oleh sisi kanan sebanyak 59 kasus (35,12%), regio sellar sebanyak 23 kasus (13,69%), bilateral sebanyak 17 kasus (10,12%) dan sisi tengah sebanyak 7 kasus (4,17%).

Saran

Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tumor supratentorial di Jawa Barat. Perbaikan sistem pencatatan dan penyimpanan rekam medis yang secara lengkap dengan sistem digital. Dapat dilakukan pemeriksaan histopatologi lebih lanjut untuk pasien yang sudah didiagnosis tumor supratentorial.

Daftar Pustaka

1. Taylor LP, Umphrey ABP, Richard D. Navigating life with a brain tumor. New York: Oxford University Press, USA; 2012; (1): 15–6.

2. Newton HB, Ray-Chaudhury A. Handbook of Brain Tumor Chemotherapy. San Diego: Elsevier Science; 2005; 1: 3–5.

3. Grahakusuma G, Pujo JL. Angka Kematian Pasien Kanker di ICU dan HCU RSUP Dr. Kariadi Periode Februari 2010–Februari 2012. Semarang: Universitas Diponegoro; 2012; 5: 26.

4. Ross BJ. Disorders of the central and peripheral nervous systems and the

neuromuscular junction. Dalam: McCane KL, Huether SE, Brashers VL, Rote NS, editors. Patophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. United States of America: Mosby; 2010; 17: 611.

5. Mapstone T. Supratentorial hemispheric nonglial neoplasm. Dalam: Albright AL, Pollack IF, editors. Principles and Practice of Pediatric Neurosurgery. 2nd ed: Thieme; 2011; 30: 531–2.

6. Sandro M, Antonio R, Lucio P. Hemispheric supratentorial astrocytomas in children: long-term results in 29 cases. Neurosurg. 1981; 55: 170–3.

7. Demitre S, Mark B. Prospective study of awake craniotomy used routinely and nonselectively for supratentorial tumors. Neurosurg. 2007;107:1–6.

8. Wessel PH, Weber WE, Raven G, Ramaekers FC, Hopman AH, Twijnstra A. Supratentorial grade II astrocytoma: biological features and clinical course. Lancet Neurology. 2003;2:395–403.

9. Longo, Fauci, Kasper, Hauser, Jameson, Loscalzo. Harrison's Principle of Internal Medicine. United States of America: The McGraw-Hill Companies, Inc.; 2012; 379: 3383.

10. Serowka K, Chiu Y, Gonzalez I, Gilles F, McComb G, Krieger M, dkk. Central nervous system (CNS) tumors in the first six months of life: The Childrens Hospital Los Angeles Experience, 1979–2005. Pediatric Hematology and Oncology. 2010;27:90–102.

11. The Interphone Study Group. Brain tumour risk in relation to mobile telephone use: results of the interphone international case-control study. International Journal of Epidemiology 2010. 2010:1–20.

Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis dan Letaknya di RSUP Hasan Sadikin Tahun 2012–2013

Page 7: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

162

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Ahmado Okatria, Dewi Yulianti BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Rumah Sakit Dr.

Hasan Sadikin–Bandung

Abstrak

Sekitar 50% dari semua kematian karena trauma berhubungan dengan cedera kepala. Tinjauan terbaru, angka kematian yang disebabkan trauma pada ibu hamil karena cedera langsung pada kepala sekitar 10%. Pertimbangan anestesi untuk pembedahan selama kehamilan mencakup keselamatan terhadap ibu dan janin. Perubahan anatomi dan fisiologi ibu yang disebabkan kehamilan memiliki dampak klinis dan risiko tinggi bagi ibu dan janin yang menjalani tindakan anestesi. Wanita berusia 22 tahun yang tengah hamil 22 minggu (G1P0A0) tertabrak mobil saat mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm 4 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien menderita cedera kepala disertai penurunan kesadaran. Dari pemeriksaan fisik didapatkan GCS 9 (E2M5V2), tekanan darah 120/80 mmHg, denyut jantung 92 x/menit, respirasi 22–24 x/menit dan saturasi oksigen 99% dengan sungkup muka non-rebreathing (SMNR) 8 liter per menit. Kraniotomi evakuasi dilakukan dalam anestesi umum, induksi anestesi dengan menggunakan isofluran 2 vol%, lidokain 75 mg, fentanil 100 mcg, propofol 80 mg, vecuronium 5 mg dan O2: udara 50:50. Denyut jantung janin diperiksa setiap jam dengan hasil sekitar 120–130 x/menit. Pada trauma selama kehamilan, janin dapat mengalami cedera langsung atau tidak langsung yang disebabkan karena pengaruh obat-obatan (inotropik, manitol, furosemid), hipotensi, hipoksemia atau tindakan yang dilakukan terhadap ibu (hiperventilasi untuk mengontrol tekanan intrakranial). Seksio sesarea tidak dilakukan kecuali untuk alasan obstetrik.

Kata kunci: anestesi, perdarahan intraserebral, kehamilanJNI 2015;4(3): 162–70

Anesthesia Management for Hematoma Evacuation caused by Intracranial Hemorrhagic on Pregnant Woman with 22–24 Gestational Weeks: Non Cesarean Section

Abstract Approximately 50% of all trauma deaths are associated with head injury. In a recent review of pregnant trauma deaths, approximately 10% of maternal trauma deaths were directly due to head injury. Anesthetic considerations for surgery during pregnancy include concern for the safety of both the mother and fetus. Alterations in maternal anatomy and physiology induced by pregnancy have clinical anesthetic implications and present potential hazards for the mother and fetus undergoing anesthesia. A 22 years old female with 22 weeks of gestation (G1P0A0) hit by a car while riding a motorcycle without using helmet 4 hours before admission. She got a traumatic head injury with drecreased level of consciousness. The physical examinations were GCS 9 (E2M5V2), blood pressure 120/80 mmHg, heart rate 92 bpm, respiration rate 22–24 times per minute and SpO2 99% with simple mask non rebreathing 8 liter per minute. Emergency craniotomy surgery was held under general anesthesia by using isoflurane 2 vol%, lidocaine 75 mg, fentanyl 100 mcg, propofol 80 mg, vecuronium 5 mg with O2 : air 50:50. The fetal heart sound was checked every hour which was approximately 120–130 bpm. In trauma during pregnancy, the fetus may have affected by the direct injury itself or affected by any other insult caused by hypotension, hypoxemia or maternal therapeutic drugs or maneuvers (e.g. inotropes, mannitol, furosemide, hyperventilation for control of intracranial pressure). Caesarean delivery is not performed except only for obstetric reasons.

Key words: anesthesia, intracerebral hemorrhage, pregnancyJNI 2015;4(3): 162–70

Page 8: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

163

I. Pendahuluan

Pasien hamil yang akan menjalani operasi membawa sejumlah tantangan penting bagi ahli anestesi. Manajemen yang optimal memerlukan pemahaman menyeluruh tentang fisiologi ibu dan janin, perubahan farmakodinamik dan farmakokinetik, dan pendekatan kepada ibu hamil yang bersifat sensitif sehingga harus hati-hati ketika konseling tentang risiko dan manfaat dari intervensi. Tujuan utamanya adalah untuk memberikan anestesi yang aman untuk ibu sekaligus meminimalkan risiko persalinan prematur atau kematian janin. Masukan multidisiplin dari ahli bedah, ahli anestesi, dan dokter kandungan sangat penting untuk memastikan kesejahteraan janin dan ibu selama periode perioperatif. Keberhasilan menyelamatkan ibu dan janinnya bergantung pada manajemen dari ahli bedah dan anestesi.1 Trauma merupakan penyebab utama kematian terkait selama kehamilan. Trauma itu sendiri mempersulit 6–7% dari kehamilan dan mungkin melibatkan cedera tengkorak atau tulang belakang yang akan membutuhkan operasi. Kehamilan dengan multi-trauma akan memberikan tantangan klinis dalam perawatan ibu dan janin. Penekanannya adalah pada resusitasi ibu dan yang mengancam jiwa pada multi-trauma. Resiko pada janin mungkin juga terjadi akibat dari hipoksia ibu, hipovolemia, asidosis, kehilangan darah akut, infeksi atau sebagai akibat dari obat yang digunakan selama proses resusitasi.2

Ketika akan melakukan tindakan operasi pada ibu hamil yang akan menjalani bedah nonobstetrik, seorang ahli anestesi harus memastikan anestesi yang aman untuk ibu dan anak. Prosedur standar anestesi mungkin harus diubah untuk mengakomodasi perubahan fisiologis yang terjadi pada ibu hamil dan adanya janin. Dua laporan terbaru the Confidential Enquiries into Maternal and Child Health di Inggris menunjukkan bahwa kematian pada awal kehamilan dikarenakan perdarahan, sepsis tromboemboli, dan anestesia. Risiko pada janin yaitu (1) efek dari proses penyakit itu sendiri atau terapi terkait; (2) teratogenisitas dari obat anestesi atau obat lain yang diberikan selama perioperatif; (3) gangguan

intraoperatif dari perfusi uteroplasenta dan atau oksigenasi janin, dan (4) risiko aborsi atau kelahiran prematur.3

II. Kasus

Anamnesis Seorang wanita umur 22 tahun, kurang lebih 4 jam yang lalu ketika sedang mengendarai sepeda motor tanpa menggunakan helm, mengalami kecelakaan ditabrak mobil minibus, kemudian penderita dibawa ke RS AMC dikarenakan tidak memiliki peralatan memadai, penderita kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Dr. Hasan Sadikin. Penurunan kesadaran (+), mual dan muntah (–), pendarahan dari telinga hidung dan mulut (–), kejang (–). Penderita tidak memilik riwayat asma, alergi, hipertensi, diabetes mellitus, aktivitas sehari hari sebelumnya tidak ada gangguan, tidak ada riwayat penyakit tertentu seperti ginjal, dan jantung, belum pernah operasi, saat ini penderita diketahui sedang hamil kurang lebih 22 minggu (G1P0A0).

Hasil konsultasi ke bagian:Bedah Thorax : Tidak ada kelainan.Bedah Digestif : Tidak ada kelainan, USG :

tidak ada kelainan.Obstetri dan Ginekologi

: Gravida 22–24 minggu, tindakan khusus tidak ada, terapi: prolutan 1x1 i.m, asam folat 1 x 1, Fe 1x1.

Bedah Saraf : Pemberian terapi manitol 150 cc.

Pemeriksaan Fisik KU : sakit beratKesadaran : GCS 9 E2M5V2 Tekanan

darah: 120/80 mmHg, Nadi: 92 x/m, reguler. Respirasi: 22–24 x/m. Suhu: febris SpO2: 99% dengan simple mask non rebreathing 8 Lpm

Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil bulat anisokor, OD 3 mm, OS 4 mm, refleks cahaya +/-

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Page 9: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

164 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Rontgen thorak: tidak tampak kardiomegali, tidak tampak TB paru aktif.CT Scan:

Mulut : Sulit dinilaiLeher : Tekanan vena jugularis tidak

terisi, pergerakan leher baik.Thoraks : Bentuk dan gerak simetris,

Paru: suara nafas kiri = kanan, ronkhi (–)/(–), wheezing (–)/(–), slem (+) Jantung : S1, S2, reguler, gallop (-), murmur (–).

Abdomen : cembung, distensi, bising usus (+) meningkat.

Ekstremitas : capillary refill <2’’, akral hangat, edema (–), sianosis (–) motorik: kesan hemiparese dextra.

Diuresis : 80 cc/jam, jernih.Diagnosis : Cedera kepala sedang +

fraktur linier tertutup di regio temporal dextra + SDH di regio temporal sinistra + ICH di regio temporal sinistra + G1P0A0 22–24 minggu.

R e n c a n a operasi

: Kraniotomi dekompresi

Pemeriksaan LaboratoriumHb 9,5 g/dl PT 11,3 detikHt 27 InR 0,9Leukosit 24.400 mm3 ApTT 25,8detikTrombosit 355.000 mm3 Na 129

meq/LPH 7,43 K 2,8

mEq/LPCO2 27 mm Hg SGOT 86 U/LPO2 227 mmHg SGPT 30 U/LHCO3 18 mEq/L Ur 10 mg/dlTCO2 19 mmol Cr 0,29 mg/

dlBE -5 mEq/L GDS 139 mg /

dLSpO2 100% Laktat 1,4 mmol

Pengelolaan AnestesiPada pukul 20.00 pasien dibawa ke kamar operasi untuk dilakukan operasi. Sebelumya telah dilakukan persiapan kamar operasi. Ketika pasien tiba di ruang operasi, pasien segera dipersiapkan dengan dihubungkan ke monitor serta dilakukan penilaian ulang terhadap pasien. Pada saat itu kondisi pasien dengan GCS 9 : E2M5V2, tekanan darah 118/70 mmHg, denyut jantung 97 x/menit, respirasi 21 x/menit, saturasi oksigen 99% dengan sungkup muka non rebreathing 8 Lpm. Dari pemeriksaan fisik lainnya didapatkan hasil yang sama seperti saat pasien diperiksa di Instalasi Gawat Darurat Bedah. Pasien telah terpasang jalur infus untuk koreksi natrium (NaCl 3%). Sebelum induksi anestesi, pasien diberikan loading cairan RL 200 cc, dengan kondisi terakhir GCS 9, tekanan darah 124/78 mmHg, denyut jantung 87 x/menit, respirasi 17 x/menit, SpO2 99% dengan sungkup muka non rebreathing 8 Lpm pasien mulai dilakukan preoksigenasi

• Hematoma pada jaringan lunak regio temporoparietal dextra.

• Diskontinuitas pada tulang temporal dextra• Sulcus, gyrus, fisura Sylvian, dan ventrikel

terkompresi.• Tampak massa hiperdens berbentuk bulan

sabit di regio temporal sinistra dan massa hiperdens di regio temporoparietal sinistra.

• Midline shift >5 mm, bergeser ke kanan.Saran anestesi: surat ijin operasi, surat ijin anestesi, puasa, koreksi natrium dengan NaCl 3% 14 tetes per menit (tpm), koreksi kalium dengan KCl 25 meq dalam RL, 500 cc 30 gtt/menit, sedia darah.

Page 10: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

165

Hb 8,4 g/dl PT 12,1 detikHt 24 InR 0,97Leukosit 27.900 mm3 ApTT 38,8

detikTrombosit 268.000 mm3 Na 133

meq/LPH 7,394 K 5,3

mEq/LPCO2 25,2 mm Hg Cl 108

mEq/LPO2 212,1 mmHg Ca 3.93

mEq/LHCO3 16 mEq/L Ur 11 mg/dlTCO2 16,8 mmol Cr 0,38 mg/

dlBE 9,7 mEq/L GDS 109 mg /

dLSpO2 99,8 % Laktat 2,9 mmol

Lab PascabedahPengelolaan Pascabedah

dengan O2 10 Lpm melalui sungkup no 5 selama 5 menit. Kemudian pasien diinduksi dengan menggunakan lidokain 75 mg, fentanyl 100 mcg, dan vecuronium 5 mg isofluran 2 vol%, propofol 80 mg. Kemudian pasien dilakukan intubasi, dan pipa endotrakhea no 7 dengan kedalaman 20 cm. Pasien dihubungkan ke ventilator mode volume control, VT 400 mL, PEEP 3, FiO2 50%, I:E 1:2. Pasien dilakukan pemasangan jalur vena tambahan di kaki kiri dengan kateter intravena no 18. Operasi dimulai sekitar pukul 20.30,

dengan rumatan anestesi menggunakan isofluran 0,8%, vecuronium 2 mg/jam, propofol 10 mcg/menit. Obat-obatan lain yang ditambahkan selama operasi dengan fentanyl, mannitol 100 mg, ondansentron 4 mg, dan metamizole 500 mg. Selama operasi denyut jantung janin diperiksa setiap jam, dengan rata-rata denyut sekitar 120–130 x/menit. Operasi berlangsung sekitar 4 jam dengan total perdarahan sekitar 600 cc, dan urine output sekitar 150 cc/jam. Pukul 00.00, operasi selesai, pasien dipersiapkan untuk ditransfer ke ICU, dengan kondisi kesadaran GCS 7T, tekanan darah 121/80 mmHg, denyut jantung 75 x/menit, respirasi 16 x/menit, SpO2 99% dengan T-piece 6 lpm. Denyut jantung janin didapatkan 150-160 x/menit. Pasien diberikan analgetik post operasi dengan metamizole 1500 mg dalam RL 500 cc yang habis dalam 8 jam. Kemudian pasien dipindahkan ke ICU untuk dilakukan perawatan lebih lanjut. Pada hari ke-2 pascaoperasi pasien diekstubasi, dan kemudian dirawat selama 5 hari di ICU sebelum akhirnya dipindah ke ruang perawatan dan pasien beserta janinnya dapat selamat.

III. Pembahasan

Kehamilan berhubungan dengan perubahan fisiologi ibu yang mempengaruhi manajemen anestesi. Sedangkan perubahan ini digambarkan dengan baik pada akhir kehamilan, ada beberapa studi sistematis tentang bagaimana perubahan fisiologi akibat kehamilan dapat mempengaruhi manajemen anestesi pada trimester pertama atau kedua. Secara umum, perubahan fisiologis pada paruh pertama kehamilan berada di bawah kendali hormonal, sedangkan di paruh kedua kehamilan, disertai efek mekanik dari membesarnya rahim. Selama kehamilan, fisiologi ibu mengalami perubahan besar. Perubahan utama terjadi dibawah pengaruh hormon kehamilan, yang penting untuk menjamin pasokan oksigen dan nutrisi ke janin dan mempersiapkan untuk kelahiran. Perubahan sekunder terjadi sebagai akibat dari efek mekanik uterus yang gravid.4

Penggunaan obat-obat anestesi pada kasus tersebut akan menimbulkan berbagai macam perubahan pada sistem organ, dan terutama akan berpengaruh terhadap kehamilan pasien

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Page 11: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

166 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

tersebut. Obat-obat anestesi yang diberikan akan berpengaruh langsung terhadap ibu, yang mana akan terjadi perubahan aktif berupa perubahan hemodinamik dan paralisis. Namun pada janin yang dikandung akan terjadi perubahan pasif, yang mana pada janin tidak akan terjadi stimulasi operasi, kehilangan darah, maupun paralisis, namun setiap perubahan yang berpengaruh terhadap aliran darah ke uterus akan mempengaruhi aliran darah plasenta dan berpengaruh terhadap hantaran oksigen ke janin.6 Obat-obat anestesi intravena seperti fentanyl, lidokain, propofol, dan vecuronium akan mempengaruhi hemodinamik berupa penurunan tekanan darah rerata, menumpulkan simpatis sehingga mengurangi lonjakan terjadinya peningkatan tekanan intrakranial, menurunkan aliran darah ke otak, serta sebagai anti konvulsan, dimana semua ini dapat berpengaruh terhadap aliran darah ke plasenta sehingga dapat mempengaruhi kesejahteraan janin. Penggunaan anestetika inhalasi (isofluran) juga dapat mempengaruhi aliran darah ke uterus. Pemberian gas anestesi antara 0,5–1,5 MAC hanya akan memberikan sedikit efek atau sama sekali tidak mempengaruhi aliran darah ke uterus.2 Pada kasus ini diberikan isofluran 2 vol% pada saat awal induksi untuk memperdalam anestesi dan kemudian dosis rumatan diberikan selama operasi (0,5–1,5 MAC), sehingga efek gas anestesi terhadap aliran darah ke uterus terjaga dan otak tetap terlindungi.Pemberian mannitol diperuntukkan untuk mengurangi pembengkakan otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Pemberian mannitol dapat menyebabkan dehidrasi pada janin dan beberapa pendapat menilai mannitol sebaiknya tidak digunakan pada kasus kehamilan. Namun pemberian dengan dosis 0,5–1 g/kgbb ternyata tidak menyebabkan dehidrasi dan gangguan keseimbangan cairan pada janin.10

Perubahan KardiovaskulerSelama kehamilan, sistem kardiovaskular menjadi semakin lebih hiperdinamik untuk memenuhi meningkatnya permintaan metabolisme janin. Ini adalah hasil dari perubahan volume darah dan sel darah merah. Peningkatan volume plasma pada ibu hamil, adalah 50% lebih besar daripada ibu

tidak hamil. Peningkatan volume plasma yang paling cepat terjadi pada tengah kehamilan, antara 24 dan 28 minggu. Pada waktu bersamaan, terjadi peningkatan volume sel darah merah yang lebih rendah dari peningkatan volume plasma. Oleh karena itu, bahkan diawal kehamilan, hematokrit wanita hamil lebih rendah (33%–35%) dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Peningkatan volume plasma juga menghasilkan hemodilusi konstituen darah lainnya. Misalnya, meskipun jumlah total protein plasma meningkat selama kehamilan, konsentrasi protein per mililiter plasma menurun relatif terhadap wanita hamil. Akibatnya, ada peningkatan efek anestesi karena fraksi bebas dari protein-terikat agen anestesi. Curah jantung meningkat secara progresif selama kehamilan, terkait dengan total volume darah. Namun, adanya redistribusi curah jantung mengakibatkan peningkatan aliran darah ke rahim dan kelenjar susu. Bersamaan dengan hal itu, resistensi vaskular sistemik menurun karena efek relaksasi dari progesteron prostasiklin pada otot polos, yang meningkat selama kehamilan, dan juga karena pertumbuhan plasenta, sebagai respon dari penurunan resistensi vascular. Penurunan curah jantung dapat terjadi dalam posisi terlentang pada masa kedua kehamilan akibat kompresi aorta dan vena cava inferior oleh membesarnya rahim. Kompresi vena kava dapat mengakibatkan berkurangnya aliran balik vena ke jantung dan penurunan curah jantung namun masih dibawah tingkat obstruksi. Dalam bentuk yang paling parah, kompresi pembuluh darah besar dalam posisi terlentang disebut "Sindrom Hipotensi Supine," yang mempengaruhi 10%–15% dari ibu dan diwujudkan oleh sakit kepala ringan, hipotensi, takikardia, diaforesis, dan bahkan sinkop. Dengan demikian, dari bulan kelima dan seterusnya sangat penting untuk memastikan bahwa rahim memadai selama anestesi dan operasi.4

Sistem Respirasi dan Keseimbangan Asam-BasaVentilasi alveolar meningkat 25%–30% atau lebih pada tengah-tengah usia kehamilan. Peningkatan ini menyebabkan pernapasan alkalosis kronis, dengan PaCO2 mencapai 28 hingga 32 mmHg, pH sedikit basa (sekitar 7,44), dan penurunan tingkat bikarbonat dan dasar buffer. Walaupun konsumsi

Page 12: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

167

oksigen meningkat, PaO2 biasanya sedikit meningkat atau tetap dalam kisaran normal. Fungsionil kapasitas residu (FRC) berkurang sekitar 20% sebagai akibat perkembangan rahim, sehingga cadangan oksigen menurun dan potensi untuk penutupan jalan napas. Ketika FRC semakin menurun (misalnya, obesitas morbid, distensi intra-abdomen perioperatif, penempatan pasien terlentang, trendelenburg, atau posisi litotomi, atau induksi anestesi), penutupan jalan nafas dapat menyebabkan hipoksemia. Kenaikan berat badan selama kehamilan dan pembengkakan kapiler dari mukosa saluran pernapasan lebih sering menyebabkan masalah saat ventilasi dengan masker dan intubasi endotrakeal. Gagal intubasi (penyebab utama terkait kematian ibu karena anestesi) mempunyai resiko yang sama selama awal kehamilan dan operasi nonobstetric maupun selama operasi SC. Penurunan FRC, peningkatan konsumsi oksigen mengakibatkan cepat terjadi hipoksemi dan asidosis selama periode hipoventilasi atau apnea. Selain itu induksi inhalasi terjadi lebih cepat selama kehamilan karena hiperventilasi alveolar dan penurunan FRC akibat ekuilibrasi anestetika inhalasi yang cepat tercapai. Sejak awal kehamilan konsentrasi MAC menurun 30%–40% untuk anestetika volatil. Ahli anestesi harus waspada ketika pemberian konsentrasi analgesik dan anestetika kepada pasien hamil, kerena penurunan kesadaran dapat terjadi dengan cepat dan tak terduga.2

Volume Darah dan KonstitusinyaVolume darah mengembang pada trimester pertama dan meningkat 30%–45%. Anemia dilusi terjadi sebagai akibat dari peningkatan yang lebih kecil dalam volume sel darah merah daripada plasma volume. Meskipun kehilangan darah moderat ditoleransi selama kehamilan, pada perdarahan yang bermakna dapat menyebabkan penurunan reserve pasien. Kehamilan terkait dengan benign leukositosis, akibatnya jumlah sel darah putih sulit diandalkan sebagai indikator infeksi. Secara umum, kehamilan menginduksi keadaan hiperkoagulasi, dengan peningkatan fibrinogen, faktor VII, VIII, X, dan XII, dan produk degradasi fibrin. Kehamilan dikaitkan dengan peningkatan trombosit, pembekuan,

dan fibrinolisis, dan ada rentang yang luas dalam jumlah trombosit yang normal, sehingga kehamilan merupakan keadaan akselerasi namun dapat dikompensasi oleh koagulasi intravaskuler. Benign trombositopenia terjadi pada sekitar 1% dari wanita hamil. Bagaimanapun, masih mungkin terjadi hiperkoagulopati. Pada pasca operasi, pasien hamil berada pada kondisi risiko komplikasi tromboembolik tinggi, sehingga dianjurkan pemberian profilaksis tromboemboli.2

Sistem GastrointestinalInkompetensi sfingter esofagus bagian bawah dan distorsi anatomi lambung dan pilorus meningkatkan risiko gastroesophageal reflux, sehingga wanita hamil memiliki resiko untuk regurgitasi isi lambung dan pneumonitis aspirasi. Tidak jelas pada tahap apa selama kehamilan ini resiko menjadi signifikan. Meskipun esophageal sphincter tone terganggu awal kehamilan (terutama pada pasien dengan heartburn), faktor mekanis tidak menjadi relevan sampai nanti pada akhir kehamilan. Oleh karena itu, tampaknya bijaksana untuk mempertimbangkan setiap pasien hamil memiliki risiko lebih tinggi untuk aspirasi setelah usia kehamilan 18–20 minggu, dan beberapa ahli anestesi berpendapat bahwa perempuan hamil beresiko untuk aspirasi dari awal dan kedua trimester seterusnya.2

Pertimbangan pada JaninPotensi risiko pada janin dari ibu yang menjalani anestesi dan operasi selama kehamilan yaitu potensi untuk kelainan kongenital, aborsi spontan, kematian janin dalam kandungan, dan kelahiran prematur. Paparan janin untuk obat anestesi mungkin akut, seperti yang terjadi selama anestesi untuk pembedahan atau subakut yang terjadi dengan paparan dari salah satu atau kedua orangtua oleh anestetika yang terhirup di tempat kerja.4

Risiko TeratogenisitasMeskipun masalah besar ibu adalah hal hal yang menyebabkan hipoksia atau hipotensi berat yang menimbulkan risiko besar bagi janin, perhatian tetap difokuskan pada peran obat anestesi sebagai aborsi dan teratogen. Teratogenisitas didefinisikan sebagai perubahan yang signifikan

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Page 13: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

168 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dalam fungsi postnatal atau bentuk dalam janin setelah perawatan prenatal. Perhatian tentang potensial efek berbahaya dari anestetika berasal dari efeknya pada sel mamalia. Tidak ada data khusus menghubungkan salah satu kejadian dengan perubahan selular teratogenik. Sayangnya, prospektif klinis studi tentang efek teratogenik anestetika tidak praktis, studi tersebut akan membutuhkan sejumlah besar pasien terpapar obat yang diselidiki. Oleh karena itu, penyelidikan tentang anestetika telah mengambil salah satu arah berikut: (1) studi efek reproduksi dari anestetika pada hewan, (2) survei epidemiologi personil kamar operasi yang terus-menerus terkena konsentrasi subanestetik anestetika inhalasi, dan (3) studi hasil kehamilan pada wanita yang telah menjalani operasi saat hamil.2,5

Waktu PembedahanWanita hamil yang akan menjalani operasi non-obstetri merupakan situasi klinis yang unik dimana kesehatan ibu adalah yang terpenting, tetapi pertimbangan yang hati-hati, perlu diberikan untuk perawatan kesejahteraan janin. Pada usia kehamilan lebih dari 24 minggu pertimbangan harus diberikan untuk terminasi kehamilan dan mengenai waktu terminasi yang terkait dengan intervensi bedah saraf keputusan yang dicapai memiliki beberapa pilihan, diantaranya: i) persalinan dengan seksio sesarea dilanjutkan dengan operasi bedah saraf, ii) terminasi

dengan seksio sesarea dengan operasi bedah saraf dilakukan dikemudian hari, iii) menjaga kehamilan dan lanjutkan dengan bedah saraf. Di usia kehamilan <24 minggu tidak ada pilihan untuk terminasi kehamilan intervensi bedah saraf dapat dilakukan. Mengoptimalkan fisiologi ibu dan pertimbangan untuk kesejahteraan janin harus menghasilkan hasil terbaik. Manajemen setelah operasi kemudian berdasarkan indikasi obstetri.1

Pencegahan Persalinan PrematurBanyak studi epidemiologi operasi selama operasi nonobstetrik pada ibu hamil melaporkan insiden aborsi dan persalinan prematur yang tinggi. Penyebab tidak jelas apakah dikarenakan operasi, manipulasi rahim, atau kondisi yang mendasarinya.Dalam sebuah penelitian terhadap 778 perempuan yang mengalami usus buntu selama kehamilan, ditemukan bahwa 22% dari perempuan yang menjalani operasi dengan kehamilan antara 24 dan 36 minggu melahirkan seminggu setelah operasi. Pada wanita yang hamil terus melampaui seminggu setelah operasi, tidak ada kelahiran prematur. Operasi pada trimester kedua dan operasi yang tidak melibatkan manipulasi rahim memberikan resiko terendah untuk persalinan prematur. Meskipun anestetika volatil menekan iritabilitas miometrium dan secara teoritis menguntungkan untuk operasi daerah perut, bukti tidak menunjukkan bahwa salah satu

Gambar 1. Perubahan yang Terjadi pada Ibu dan Anak selama Operasi.6

Page 14: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

169

anestetika atau teknik memberi pengaruh positif atau negatif terhadap resiko persalinan prematur.Bukti yang dipublikasikan tidak mendukung penggunaan agen tokolitik profilaksis. Pemantauan kontraksi rahim dapat dilakukan sebelum dan selama operatif dengan tocodynamometer eksternal (apabila memungkinkan) dan selama beberapa hari pascabedah, mungkin dilaksanakan terapi tokolitik.

Surveilans tambahan diperlukan pada pasien yang menerima analgesia poten pascaoperasi, yang mungkin tidak disadari timbul kotraksi rahim ringan. Secara umum pada kehamilan dengan resiko lahir prematur dan normal, dapat diprediksi melalui penggunaan berbagai metode, seperti pengukuran fibronektin janin dalam cairan servikovaginal dan penentuan panjang serviks menggunakan transvaginal ultrasonografi. Sebuah kelas baru obat tokolitik- antagonis reseptor oksitosin (misalnya, atosiban) telah dipelajari. Atosiban selektif menumpulkan masuknya kalsium dalam miometrium dan dengan demikian menghambat kontraktilitas miometrium. Pengawasan yang lebih besar dan tokolitik awal terapi akan mengurangi risiko kelahiran prematur setelah operasi selama kehamilan tidak diketahui.2,5

Aliran Darah UterusTujuan utama dari anestesi harus menjamin keselamatan ibu dan menjaga perfusi uteroplasenta. Oksigenasi yang memadai dan ventilasi harus dijaga terutama karena hipoksia dan hiperkarbia telah terbukti meningkatkan resiko kelainan kongenital pada hewan. Hipotensi ibu mungkin karena kompresi aortocaval atau anestesi. Kompresi aortocaval sangat berbahaya bagi janin karena dapat mengurangi perfusi uteroplasenta. Dari bulan kelima kehamilan uterus harus rutin diperiksa. Hipotensi harus ditangani dengan meningkatkan laju infus kristaloid, dan jika diperlukan, pemberian dosis kecil indirect-acting vasopressor, seperti ephedrine. Ventilasi kendali pada anestesi umum dapat meningkatkan tekanan intrathoracal, sehingga menekan dan mengurangi perfusi uteroplasenta pada hewan sebagai akibat dari aliran balik vena dan curah jantung menurun. Hipokarbia dapat

memperburuk masalah dengan menyebabkan kontriksi umbilical cord dan pergeseran ke kiri kurva disosiasi oksihemoglobin.4

Pemantauan JaninPemantauan denyut jantung janin (DJJ) terus menerus dari usia kehamilan 18 minggu apabila memungkinkan. Hal ini mungkin sulit pada ibu dengan obesitas. Pemantauan jantung janin harus diinterpretasikan oleh operator yang berpengalaman selama operasi dan anestesi. Ketika teknis memungkinkan, pemantauan janin adalah wajib apabila stabilitas hemodinamik ibu tidak memadai sebagai indikator kesejahteraan janin. Tingkat variabilitas jantung janin merupakan indikator yang berguna kesejahteraan janin dan dapat dipantau dari usia kehamilan.2,5

Obat anestesi mengurangi baik DJJ baseline dan DJJ variabilitas, sehingga pembacaan harus ditafsirkan dalam konteks obat yang diberikan. Janin manusia dapat merespon sejumlah rangsangan dari lingkungan termasuk kebisingan, tekanan, nyeri, dan suhu dingin. Rangsangan berbahaya menghasilkan respon otonom dan peningkatan stres hormon. Persisten bradikardia janin umumnya menunjukkan janin distress dan harus meminta tindakan cepat untuk perbaikan. Satu peringatan bahwa neostigmine dapat menyebabkan bradikardi janin bila diberikan dengan glycopyrrolate karena transfer plasenta berkurang. Nilai pemantauan DJJ intraoperatif adalah sebagai peringatan awal, optimalisasi hemodinamik dan oksigenasi dengan cairan yang sesuai, vasopressors, produk darah, hiperventilasi, atau posisi.1

Periode PascabedahJika kehamilan berlanjut minggu pertama pascabedah, maka kejadian persalinan prematur tidak lebih tinggi dibandingkan pada pasien hamil yang tidak dilakukan pembedahan. Tokometri selama periode ini berguna untuk memantau penggunaan analgesia pascabedah, memantau kontraksi dini ringan, dan menunda tokolisis. Pemberian rutin tokolitik profilaksis adalah kontroversial dan umumnya terbatas pada pasien yang telah terjadi manipulasi rahim intraoperatif. Pemberian analgesia yang memadai juga penting

Manajemen Anestesi untuk Evakuasi Hematoma akibat Perdarahan Intraserebral pada Kehamilan 22–24 Minggu: Non Seksio Sesarea

Page 15: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

170 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pada periode pascabedah, karena rasa sakit telah terbukti meningkatkan risiko persalinan prematur.1

IV. Simpulan

Cedera kepala pada ibu hamil merupakan kejadian yang cukup sering terjadi, dimana tindakan operatif diperlukan untuk menyelamatkan nyawa. Pada prinsipnya penanganan anestesi pada kondisi ibu hamil dan tidak hamil dianggap tidak berbeda, namun pada saat ibu hamil terdapat 2 nyawa yang harus diselamatkan, walaupun tetap ibu yang menjadi prioritas. Dengan perubahan fisiologis yang terjadi pada kehamilan serta adanya janin didalam kandungan, akan meningkatkan resiko morbiditas dan mortalitas pada ibu dan janin. Tindakan operatif dan anestesi, manuver-manuver yang terjadi selama pembedahan, dan obat-obatan yang diberikan selama operasi berpotensi untuk menjadi morbiditas dan mortalitas pada ibu maupun janin, oleh karena itu diperlukan pengetahuan khusus, pemantauan yang ketat, serta kerjasama yang baik antar bagian terkait untuk penaganan kasus seperti ini. Daftar Pustaka

1. Roisin M, O’Gorman DA. Anesthesia in pregnant patients for nonobstetric surgery. Journal of Clinical Anesthesia. 2006; 18: 60–66.

2. Chesnut DH, Polley LS. Chestnut’s Obstetric anesthesia principles and practice. 4th ed. Philadelphia: Mosby; 2009; 337–53.

3. World Federation of Societies of Anaesthesilogist. Neurosurgey and the parturient anaesthesia tutorial of the week. 5th March 2012: 1–9

4. Braveman FR. Obstetric and gynecologic anesthesia the requisites in anesthesiology. 1st ed. Philadelphia: Mosby; 2006, 23–29

5. Datta S. Obstetric anesthesia handbook. 4th ed. Boston: Springer; 2006, 333–46

6. Rosen MA. Management of anesthesia for the pregnant surgical patient. Anesthesiology. 1999; 91:1159–63.

7. Foley MR. Obstetric Intensive Care Manual.Arizona: McGraw-Hill Companies, Inc; 2011; 503–13

8. Foley MR. Obstetric Intensive Care Manual: McGraw-Hill Companies, Inc; 2011. Arizona. 503–13

9. Datta S. Anesthetic and Obstetric Management of High-Risk Pregnancy. New York: Springer-Verlag New York Inc; 2004 247–53

10. Bellfort MA. Critical care obstetric. 5th ed Oxford: Wiley Blackwell; 2011, 78–97

Page 16: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

171

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesarea dan Kraniotomi Tumor Otak

Caroline Wullur, M Adli Boesoirie, Dewi Yulianti BisriDepartemen Anestesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, Rumah Sakit Hasan Sadikin

Bandung

Abstrak

Angka kejadian tumor intrakranial pada masa kehamilan sangat jarang. Keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala dan gangguan penglihatan serupa dengan hiperemesis dan eklampsia. Sebagian besar pasien tidak memerlukan tindakan emergensi namun pada beberapa kasus, kraniotomi tumor otak dilakukan lebih awal atau bahkan bersamaan dengan seksio sesarea. Seorang wanita 40 tahun, G3P2A0 datang dengan penurunan kesadaran GCS 6 (E2M2V2). CT-scan menunjukkan adanya masa pada daerah temporoparietal kiri, curiga high grade glioma, disertai dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral. Pemeriksaan obstetri menunjukkan usia kehamilan 32 minggu dengan gawat janin. Dengan pertimbangan resiko herniasi dan gawat janin, pasien menjalani operasi emergensi seksio sesarea diikuti dengan kraniotomi tumor otak. Operasi berlangsung selama 6 jam. Pada pasien hamil dengan tumor otak, waktu pembedahan bergantung pada jenis tumor, usia kehamilan dan kondisi janin. Keberhasilan anestesi bergantung pada pengetahuan menyeluruh mengenai fisiologi dan farmakologi wanita hamil yang disesuaikan dengan individu terkait untuk mengontrol tekanan intrakranial, dengan tujuan menjaga kesejahteraan ibu dan anak.

Kata kunci: seksio sesarea, kraniotomi tumor otak, kehamilanJNI 2015;4(3): 171–76

Anaesthetic Management for Combined Emergency Cesarean Section and Craniotomy Tumor Removal

Abstract

The occurrence of primary intracranial tumors in pregnancy is an extremely rare event. Symptoms of brain tumor include nausea, vomitting, headache, visual disturbances and seizures which mimic symptoms of pregnancy-related hyperemesis or eclampsia. These central nervous system disorders seldom require immediate surgical attention during pregnancy. However in very few cases, craniotomy tumor removal is performed earlier or even simultaneous with fetal delivery. A 40-year-old woman at 32 weeks of gestation presented to the emergency room with decreased level of consciousness GCS 6 (E2M2V2). CT scan revealed a mass lesion over the left temporoparietal region, suggestive of a high grade glioma, with midline shift and intratumoral bleeding. Obstetric examination revealed a single live fetus of 32 weeks gestation in distress. In view of high risk of herniation and fetal distress, she underwent emergency cesaren section followed by craniotomy tumor removal. Both procedures were completed in 6 hours. In a parturient with brain tumor, the time of combined surgery of tumor removal and cesarean section is decided upon clinical symptoms, type of tumor, gestational age and fetal viability. A successful anaesthetic management requires a comprehensive knowledge of physiology and pharmacology, individually tailored to control intracranial pressure while ensuring the safety of both mother and fetus.

Key words: cesarean section, craniotomy tumor removal, pregnancy

JNI 2015;4(3): 171–76

Page 17: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

172 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Angka kejadian pembedahan non-obstetri pada masa kehamilan mencapai 0,75–2%. Angka kejadian tumor primer pada susunan saraf pusat pada wanita hamil adalah 6 pada setiap 100.000 pasien dan angka ini lebih rendah dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil dengan usia yang serupa. Keluhan seperti mual, muntah, nyeri kepala, gangguan penglihatan dan kejang serupa dengan keluhan yang terjadi pada hiperemesis gravidarum selama kehamilan awal atau eklamsia saat akhir kehamilan. Meningioma adalah tumor intrakranial yang paling sering terjadi dan sebagian besar tumor ini bertumbuh lebih cepat saat kehamilan, berkaitan dengan reseptor estrogen dan progesteron. Tumor yang sebelumnya tidak diketahui dan tidak mempunyai gejala, dapat menjadi simptomatik pada masa kehamilan karena adanya pertumbuhan tumor atau edema di sekitarnya. Sebagai tambahan, peningkatan vaskularitas juga dapat terjadi pada masa kehamilan sehingga keluhan yang dirasakan oleh pasien meningkat.1,2

Pada sebagian besar kasus tumor pada kehamilan, pembedahan ditunda hingga bayi lahir. Namun, resiko mortalitas yang tinggi pada tumor yang menyebabkan perburukan neurologis akut dengan resiko herniasi sehingga memerlukan pembedahan segera. Penatalaksanaan anestesi untuk kombinasi seksio sesarea dan kraniotomi tumor otak tidaklah mudah karena memerlukan keseimbangan antara pertimbangan ibu dan neonatus. Beberapa teknik neuroanestesia atau intervensi protektif yang menguntungkan ibu mempunyai resiko untuk janin. Rapid sequence induction dapat meningkatkan tekanan darah ibu dan tekanan intrakranial sedangkan hiperventilasi dan penggunaan manitol dapat mengurangi aliran darah uterus dan menyebabkan hipovolemia pada janin.1,2

II. Kasus

AnamnesisSeorang wanita 40 tahun G3P2A0 (160cm, 70kg) pada usia kehamilan 32 minggu, datang ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran.

Pemeriksaaan FisikGCS 6 (E2M2V2) dengan tekanan darah 150/90mmHg dan laju nadi 120x/menit. Pasien tidak mempunyai riwayat penyakit neurologi sebelumnya. Diagnosa banding saat itu adalah infeksi (meningitis), perdarahan (aneurisma, hipertensi, eklamsia, sindroma HELLP) dan penyebab peningkatan tekanan intrakranial lainnya seperti tumor otak. Pada pemeriksaan obstetri, janin berusia 32 minggu, dalam keadaan gawat janin

Pemeriksaaan LaboratoriumPemeriksaan laboratorium menunjukkan Hb13,4g/dL, Ht 40%, leukosit 13.000, trombosit 266.000, Na 140, K 3,4, Cl 101, Ca 5,62, Mg 2,48, PT 9,2, INR 0,87, APTT 22,6, GDS 140. CT scan menunjukkan masa berukuran 6x7x10 cm pada daerah temporoparietal kiri, sugestif meningioma dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral (Gambar 1). Dilakukan diskusi multidisipliner antara dokter bedah saraf, obstetri dan anestesi dan diputuskan bahwa pasien mempunyai resiko tinggi untuk terjadinya herniasi otak. Setelah dilakukan diskusi dengan keluarga, maka pasien dijadwalkan untuk operasi emergensi gabungan seksio sesarea dan kraniotomi tumor otak.

Pengelolaan AnestesiPasien diberikan premedikasi dengan 50mg ranitidin dan 10mg metoklopramid intravena 30 menit sebelum induksi. Posisi pasien dimiringkan ke kiri untuk mencegah terjadinya kompresi aortokaval dan 15° reverse Trendelenburg untuk mengurangi tekanan intrakranial. Pasien diberikan 100% oksigen melalui sungkup muka dengan monitoring berupa tekanan darah non-invasif, elektrokardiogram dan pulse oksimetri. Sebagai tambahan monitoring hemodinamika, arterial line dipasang pada arteri radialis kanan. Kondisi pasien sebelum induksi dengan tekanan darah 144/88 mmHg, laju nadi 110 x/menit dan saturasi oksigen 100%. Lidokain 1,5 mg/kg diberikan dan induksi dilakukan dengan fentanil 2mcg/kg, propofol 2mg/kg dan rokuronium 1,2 mg/kg dengan tekanan krikoid. Sevofluran 2–3vol% dengan 50% udara : O2 digunakan untuk rumatan anestesi. Ventilasi terkontrol

Page 18: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

173

dengan volume tidal 6 cc/kg dengan laju nafas 14x/menit. Endtidal CO2 dipertahankan 30 ±2mmHg. Lahir bayi perempuan dengan APGAR 6, 7, 8 pada menit 1, 5 dan 10, kemudian 50 mcg fentanil ditambahkan setelah bayi lahir untuk mempertahankan kedalaman anestesi. Setelah plasenta lahir, 10 IU oksitosin diberikan dengan tetes lambat dalam 500 cc NaCl 0,9%. Seksio sesarea berlangsung selama 55 menit dengan tekanan darah sistol 110–130mmHg, diastol 70–80mmHg, laju nadi 70–90 x/menit, saturasi oksigen 98–99%, perdarahan 500 cc dan urine output 100cc. Dilakukan pemberian 210 cc PRC dengan 700cc Ringerfundin. Sebelum dilakukan kraniotomi tumor otak, dipasang kateter vena sentral pada vena subklavia kanan. Kraniotomi tumor otak dilakukan dalam posisi supine dengan elevasi kepala 30°. Manitol dengan dosis 0,5 g/kg diberikan sebelum insisi kulit kepala. Rumatan anestesi dengan sevofluran 2vol% dengan 50% udara: O2, rokuronium intermiten dan propofol kontinu 25–50mcg/kg/menit. Parameter hemodinamika stabil selama operasi yang berlangsung 5 jam dengan tekanan sistol 100-130mmHg, tekanan diastol 60–80mmHg, laju nadi 70–90 x/menit, saturasi oksigen 98–99%, CVP 11–14 cmH2O. Tumor berhasil diangkat 90% dengan perdarahan 800 cc dan urine output 1200 cc. Pasien diberikan 500 cc gelofusin, 2000cc Ringerfundin dan 210 cc PRC. Pascabedah, pasien ditransfer ke ruang rawat intensif. Ekstubasi dilakukan pada hari ke-empat pascabedah dengan GCS 15 (E4M6V5)

Gambar 1. CT scan menujukkan masa pada daerah temporoparietal kiri dengan pergeseran midline dan perdarahan intratumoral

tanpa adanya gangguan neurologis.

III. Pembahasan

Penatalaksanaan pasien hamil dengan tumor otak memerlukan pendekatan multidisipliner dengan melibatkan dokter bedah saraf, obstetri dan anestesi. Waktu yang tepat untuk dilakukannya pembedahan harus disesuaikan dengan pasien, yang bergantung pada status neurologis pasien, kemungkinan adanya preterm labour, usia kehamilan dan kematangan paru janin. Terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan untuk mencapai hasil yang optimal seperti efek fisiologis dari kehamilan pada ukuran tumor, sirkulasi serebral ibu, autoregulasi dan tekanan perfusi serebral. Beberapa prinsip yang dipakai sama sedangkan beberapa yang lain saling bertentangan. Teknik neuroanestesi perlu dirancang untuk menghindari hipoksia fetus, hiperkarbia dan hipotensi. Pendekatan neuroanestesi seperti hiperventilasi dan penggunaan diuretik dapat menyebabkan hipokarbia, penurunan perfusi uterus dan meningkatkan osmolaritas janin atau dehidrasi sehingga dapat mengancam nyawa janin. Prosedur neuroanestesi harus dapat memberikan hasil optimal untuk ibu dengan resiko yang minimal bagi janin juga paparan yang minimal terhadap obat-obatan anestesi, yang mencakup pemberian profilaksis terhadap aspirasi, preoksigenasi, stabilitas hemodinamika dan monitoring ketat.1-3 Angka kejadian tumor intrakranial saat masa kehamilan kecil. Angka kejadian tumor intrakranial primer pada wanita adalah 6 setiap 100,000 orang dan lebih jarang pada wanita hamil. Tumor-tumor tersebut cenderung mengalami pertumbuhan pada masa kehamilan karena adanya rentensi cairan, peningkatan aliran darah dan perubahan hormon. Umumnya, pembedahan untuk tumor-tumor dengan pertumbuhan lambat dapat ditunda hingga bayi lahir, bergantung pada pemeriksaan neurologi, namun tumor ganas dan tumor yang bertumbuh cepat seringnya memerlukan intervensi segera. Efek lokal tumor pada masa kehamilan mencakup hilangnya fungsi yang berkaitan dengan penekanan saraf dan kejang. Efek tumor secara umum biasanya disebabkan oleh peningkatan tekanan intrakranila, karena masa tumor dan

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesaria dan Kraniotomi Tumor Otak

Page 19: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

174 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hidrocefalus, yang disebabkan oleh sumbatan sirkulasi cairan serebro-spinal dan edema serebral. Hal ini merupakan komplikasi yang membahayakan nyawa dan dapat menyebabkan herniasi, kompresi struktur otak dan kematian.1,2 Pada kasus ini, pasien tidak pernah mengalami gangguan neurologi hingga terjadi penurunan kesadaran. CT scan menunjukkan masa yang besar yang menyebabkan pergeseran midline dan perdarahan intratumor. Dari pandangan neurologi, pasien ini memerlukan kraniotomi tumor otak emergensi karena resiko terjadinya herniasi dan kematian. Dari pandangan obstetri, cardiotocograhy menunjukkan kegawatan janin sehingga memerlukan emergensi seksio sesarea.

Pendekatan anestesi yang menggabungkan neuroanestesi dan anestesi umum untuk seksio sesarea memerlukan pengetahuan komprehensif akan fisiologi ibu dan janin, fisiologi dan farmakologi neuroanestesia dengan tujuan perawatan yang optimal untuk ibu dan janin. Dengan prinsip neuroanestesi, intubasi endotrakeal perlu difasilitasi sehingga tidak terjadi peningkatan tekanan darah dan tekanan intrakranial. Namun, rapid sequence induction untuk seksio sesarea akan meningkatkan tekanan intrakranial. Pada kasus ini, digunakan lidokain dan fentanil untuk menghambat stimulasi simpatis saat dilakukannya intubasi trakea. Dosis rokuronium yang tinggi (1,2 mg/kg) dengan penekanan krikoid digunakan 60 detik sebelum intubasi, sebagai pengganti suksinilkolin. Premedikasi dengan ranitidin dan metoklopramid diberikan karena adanya resiko aspirasi.3-6 Penggunaan opioid seperti fentanil untuk seksio sesarea masih kontroversial. Opioid dikhawatirkan dapat menyebabkan rigiditas otot dinding dada dan apnea bagi janin sedangkan menguntungkan bagi ibu karena dapat menekan respon stres dan peningkatan tekanan intrakranial. Semua opioid yang diberikan sebelum bayi lahir berpotensi menyebabkan depresi pernafasan maka seseorang yang ahli dalam resusitasi dan monitoring neonatus perlu diberitahu dan hadir saat bayi tersebut lahir disamping penyediaan nalokson. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa opioid dengan durasi pendek seperti fentanil (2–5 mcg/kg) atau remifentanil (1mcg/

kg) aman digunakan. Lidokain (1,5–2mg/kg) juga dapat digunakan bersamaan dengan opioid untuk menekan respon simpatis saat intubasi. Pada kasus ini, kami gunakan kombinasi lidokain dan fentanil saat induksi dengan hasil yang baik.4-8

Kesejahteraan janin dapat terganggu jika terjadi hipotensi maternal, vasokonstriksi arteri uterina, hipoksemia maternal, perubahan asam basa dan perubahan fisiologi ibu lainnya yang dapat menyebabkan gangguan hemodinamik sehingga mengurangi perfusi uteroplacenta dan janin. Untuk mempertahankan perfusi serebral dan uteroplacenta, resusitasi cairan penting untuk menjaga stabilitas hemodinamika, menghindari terjadinya kompresi aortokaval dan monitoring tekanan darah invasif.3,10-12 Anestetika inhalasi dapat digunakan untuk seksio sesarea. Semua anestetika inhalasi dan N2O dapat meningkatkan tekanan intrakranial karena vasodilatasi serebral, yang dapat diperbaiki dengan hiperventilasi. Dengan menghindari penggunaan N2O dengan dosis anestesi inhalasi yang tinggi, tekanan intrakranial mungkin meningkat dan kontraksi uterus terganggu, maka menyebabkan perdarahan pasca melahirkan. Untuk rumatan anestesi umum, anestesi inhalasi seperti isofluran dan sevofluran dengan dosis 1–2 MAC efektif. Dosis anestesi inhalasi pada wanita hamil 25% lebih rendah. Pada konsentrasi ini, gangguan aliran darah uterus dan resiko perdarahan minimal dan autoregulasi serebral juga dapat dipertahankan. Pada kasus ini, N2O tidak digunakan dan anestesi inhalasi dosis rendah digunakan untuk rumatan anestesi, digabungkan dengan propofol kontinu, rokuronium intermiten dan opioid. Oksitosin diberikan untuk mencegah perdarahan postpartum. Penggunaan metergin dihindari karena kemungkinan terjadinya hipertensi dan peningkatan tekanan intrakranial pada pasien dengan tekanan intrakranial yang sudah tinggi dengan sawar darah otak yang terganggu.3,12-14

Jumlah cairan yang digunakan harus disesuaikan dengan darah yang hilang, urine output dan kebutuhan rumatan. Koloid dan produk darah diberikan dengan rasio 1:1 terhadap jumlah perdarahan sedangkan kristaloid dengan rasio 3:1. Kita memilih menggunakan Ringerfundin sebagai kristaloid karena dianggap sebagai cairan dengan kandungan yang paling seimbang. Penghantaran

Page 20: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

175

oksigen optimal pada hematokrit 30% maka kami berikan transfusi darah untuk mempertahankan hematokrit 30%.1,6 Diuretik digunakan rutin pada kraniotomi tumor otak untuk menciptakan otak yang slack saat pembedahan. Diuretik dapat menyebabkan balans cairan yang negatif sehingga membahayakan janin. Pada kasus ini, kami memberikan manitol setelah bayi dilahirkan sehingga tidak berpotensi membahayakan janin. Pasien diposisikan dengan 30° head elevation untuk menurunkan tekanan intrakranial dan otak yang slack. Hiperventilasi maternal ringan hingga ETCO2 of 28–30 mmHg juga digunakan untuk menurunkan volume serebral saat pembedahan.1,3

IV. Simpulan

Operasi non-obstetrik selama kehamilan menjadi tantangan tersendiri bagi dokter ahli anestesi, dimana penatalaksanaan anestesi harus menjaga kesejahteraan ibu dan fetus. Pemilihan waktu tindakan kraniotomi tumor otak bergantung pada lokasi dan patologi tumor, keluhan klinis, masa kehamilan dan viabilitas janin. Pada masa kehamilan terjadi pertumbuhan masa tumor sehingga dapat meningkatkan tekanan intrakranial, pergeseran midline dan meningkatkan morbiditas ibu. Bila terdapat resiko herniasi, kraniotomi tumor removal dilakukan secara emergensi. Keberhasilan manajemen anestesi pada operasi non-obstetrik selama kehamilan tergantung kepada kerjasama multidisiplin, penilaian preoperatif yang komprehensif, pengetahuan menyeluruh mengenai fisiologi dan farmakologi maternal dan janin, serta perawatan suportif pascabedah dan analgetik yang sesuai. Mempertahankan stabilitas maternal, waktu optimal melakukan tindakan, dan pemilihan obat serta teknik anestesi yang tepat merupakan hal yang sangat penting diperhatikan untuk keamanan ibu dan janin.

Daftar Pustaka

1. Hool A. Anesthesia in pregnancy for non-obstetric surgery. Anaesthesia tutorial of the week. 2010;185:1–9.

2. Cohen-Gadol AA, Friedman JA, Friedman

JD, Tubbs RS, Munis JR, Meyer FB. Neurosurgical management of intracranial lesions in the pregnant patient: A 36-year institutional experience and review of the literature. J Neurosurg 2009; 3:1–8

3. Wlody DJ, Weems L. Anesthesia for neurosurgery in the pregnant patient. Dalam: Cotttrell and Young's Neuroanesthesia. 5th edition. Philadephia, Elsevier 2010. Chapter 23, 416–24.

4. Ng J, Kitchen N. Neurosurgery and pregnancy. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 79: 745–752

5. Khurana T, Taneja B, Saxena KN. Glioma brain for cesarean section immediately followed by craniotomy. J Anaest Clin Phar 2014; 30: 397–9

6. Reitman E, Flood P. Anaesthetic consideration for non-obstetric surgery during pregnancy. Br J Anaesth 2011; 107 suppl 1: 172–8

7. Morgan GE Jr, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical anesthesiology. 4th ed. New York, McGraw-Hill companies. 2006; 216–7

8. Wang LP, Paech MJ. Neuroanesthesia for the pregnant woman. Anesth Analg 2008;107:193–200

9. Khurana T, Taneja B, Saxena KN. Anesthetic management of a parturient with glioma brain for cesarean section immediately followed by craniotomy. J of Anaest Clin Pharm 2014; 30(3): 397–9

10. Sahu S, Lata I, Gupta D. Management of pregnant female with meningioma for craniotomy. J Neurosci Rural Pract 2010;1:35–7

11. Chung J, Rho JH, Jung TH, Cha SC, Jung HK, Lee C, Woo SC. Anaesthetic management of a parturient for combined cesarean section and surgical removal of pituitary tumor. Korean J Anesthesiol 2012; 62(2): 579–83

Penatalaksanaan Anestesi untuk Gabungan Tindakan Seksio Sesaria dan Kraniotomi Tumor Otak

Page 21: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

176 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

12. Van De Velde M, De Buck F. Anesthesia for non-obstetric surgery in the pregnant patient. Minerva Anestesiol. Apr 2007;73(4):235–40

13. Qaiser R, Black P. Neurosurgery in pregnancy. Semin Neurol. Nov 2007;27(5):476–81

14. Kuczkowski KM. The safety of anaesthetics in pregnant women. Expert Opin Drug Saf. Mar 2006;5(2):251–64

Page 22: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

177

Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

Sandhi Christanto*), Sri Rahardjo**), Bambang Suryono**), Siti Chasnak Saleh***)

*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif rumah Sakit Mitra Keluarga Sidoarjo, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen

Anestesiologi & Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr. Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan serius karena merupakan pemicu kematian di seluruh dunia. Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya. Perdarahan subdural akut (PSDA) adalah salah satu kelainan yang menyertai cedera kepala berat. Insidennya mencapai 12–30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat. PSDA merupakan tantangan yang berat karena angka morbiditas dan mortalitasnya yang tinggi (55–70%). Waktu antara trauma dan evakuasi perdarahan merupakan faktor paling penting dalam menentukan luaran pasien dengan PSDA. Interval waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma meningkatkan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila dilakukan dibawah empat jam (30%). Disamping itu, penundaan tindakan evakuasi bekuan darah menambah pelik permasalahan yang ada. Laki-laki 29 tahun, 75 kg diagnosa cedera kepala berat, perdarahan subdural akut fronto-temporo-parietal kiri, dan direncanakan evakuasi hematoma segera. Setelah stabilisasi didapatkan jalan napas potensial obstruksi, tekanan darah 160–170/90 mmHg, laju nadi 65–70 x/menit irregular, GCS 1–1–2 , pupil anisokor 3mm/4mm, hemiparese kanan. Pasien diintubasi, pernapasan di kontrol dan dirawat sementara di ICU karena penundaan evakuasi hematoma. Operasi dilakukan setelah 7 jam pasca pasien tidak sadar. Interval waktu evakuasi lebih dari empat jam pascatrauma menyebabkan peningkatan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila dilakukan dibawah empat jam (30%). Beberapa cara dapat dilakukan selama waktu penundaan evakuasi untuk mencegah herniasi sehingga klinisi memiliki harapan dalam pengelolaan PSDA yang mengalami penundaan evakuasi. Tujuan dari laporan kasus ini adalah membahas tindakan-tindakan tersebut dengan harapan mendapat masukan sehingga pengelolaan pasien cedera kepala dengan PSDA menjadi lebih baik

Kata kunci: Cedera kepala traumatik, perdarahan subdural akutJNI 2015;4(3): 177–86

Severe Head Injury Management with Delayed Subdural HematomaAbstract

Traumatic brain injury (TBI) is major health problem and leading cause of death worldwide. Approximately 1-1,5 milion people in Europe and United States suffered from TBI yearly. Acute subdural hematoma (ASDH) is commonly seen in severe TBI. The incidence of ASDH is between 12 to 30% with high morbidity and mortality rate (55-70%). Time to surgery is the most important factor that determined the outcome. Time to surgery more than 4 hours is associated with higher mortality rate (85%) compare to when the surgery is done within 4 hours (30%) from the onset of TBI. Furthermore, delayed in surgical clot removal may worsen the outcome. A 29 years old man, 75kgs, suffered from TBI with left fronto-temporo-parietal ASDH and was planned for emergency evacuation of subdural. The airway tended to suffer from obstruction, blood pressure 160-170/90 mmHg, heart rate was irregular around 65-70 bpm, GCS 1-1-2, pupil was anisokor 3mm/4mm, and right hemiparese was found. Patient.was then intubated, the ventilation was controlled and he was managed in the ICU because the operation was delayed. The operation was done after more than 7 hours since the neurological deterioration initiated. There are several methods may be conducted during the delay surgery time to prevent herniation, so phycisiant may regain better result on delayed ASDH surgery. This case report will discuss methods in managing patient with delayed evacuation of ASDH for a better outcome.

Key words: Traumatic brain injury, acute subdural hematomaJNI 2015;4(3): 177–86

Page 23: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

178 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat karena merupakan pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2 Selama 20 tahun terakhir penatalaksanaan pasien cedera kepala telah meningkat secara bermakna dan pedoman penatalaksanaan cedera kepala traumatik berbasis bukti telah dikembangkan, namun walaupun ada metode diagnostik dan penatalaksanaan yang muktahir prognosis masih jauh dari harapan.1-3

Perdarahan subdural akut (PSDA) merupakan salah satu kelainan yang menyertai cedera kepala berat. Insiden PSDA mencapai 12–30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat dan terjadi terutama pada usia dewasa muda dibawah 45 tahun dengan penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas.4 PSDA merupakan tantangan yang berat bagi ahli bedah saraf dan anestesi karena merupakan cedera paling mematikan dari semua tipe cedera kepala.5 Laju morbiditas dan mortalitas yang tinggi menjadi dasar dari pernyataan tersebut. Laju mortalitas PSDA mencapai 55–70% meskipun dengan diagnosis dini, penatalaksanaan yang agresif, pengawasan ketat selama periode kritis menjadikan PSDA merupakan komplikasi yang menghasilkan keputusasaan bagi klinisi yang merawat.6 Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi luaran pada pasien cedera kepala dengan PSDA, salah satunya adalah waktu antara trauma dan evakuasi perdarahan.

Pengendalian tekanan intrakranial dan evakuasi perdarahan dalam empat jam pertama pascatrauma dilaporkan memiliki peran penting dalam penurunan angka kesakitan dan kematian pada pasien cedera kepala dengan perdarahan intrakranial termasuk PSDA.5 Namun oleh karena banyak hal terutama persetujuan dari keluarga pasien, evakuasi perdarahan sering mengalami penundaan sehingga bahaya peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang berujung pada herniasi otak menjadi salah satu penyebab kegagalan penatalaksanaan PSDA. Interval waktu evakuasi perdarahan lebih dari empat jam pascatrauma

dilaporkan menyebabkan peningkatan angka kematian sampai 85% dibandingkan bila evakuasi dilakukan dibawah empat jam (30%).5 Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan saat ini maupun yang sedang dalam penelitian untuk mengulur waktu evakuasi, menunda terjadinya herniasi sehingga para klinisi dapat memiliki harapan lebih dalam pengelolaan cedera kepala dengan PSDA yang mengalami penundaan evakuasi. Tujuan dari laporan kasus ini adalah mencoba membahas tindakan-tindakan tersebut dengan harapan mendapat masukan sehingga pengelolaan pasien cedera kepala dengan PSDA menjadi lebih baik.

II. Kasus

Laki-laki 29 tahun, berat badan 75 kg dirujuk dari klinik dengan penurunan kesadaran setelah tertimpa pagar yang ditabrak oleh sebuah mobil sekitar 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien sebelumnya masih sadar kemudian makin gelisah dan menjadi tidak sadar. Di ruang gawat darurat dilakukan resusitasi kemudian dilakukan evaluasi ulang secara menyeluruh sebelum dilakukan intubasi.

Pemeriksaan FisikJalan napas potensial obstruksi dan aspirasi karena mulut penuh darah dan gigi depan patah dan beberapa hampir terlepas. Pasien dengan pernapasan cheyne stoke, suara napas dikedua lapang paru vesikular dan tidak terdapat ronki maupun wheezing. Tekanan darah berkisar 160–170/90 mmHg dengan laju nadi 65–70 x/menit dan sesekali didapatkan irama ektopik ventrikular.Pada pemeriksaan status neurologis didapatkan pasien dengan derajat kesadaran GCS 1–1–2 pupil anisokor kiri lebih besar dengan ukuran 3mm/4mm refleks cahaya positif sedikit lambat dan lateralisasi kanan. Pemeriksaan bagian tubuh lain tidak didapatkan kelainan.

Penatalaksanaan di Unit Gawat Darurat (UGD)Selama di UGD dan sebelum dilakukan intubasi, pasien diberikan terapi oksigen dengan sungkup, dipasang neck collar, posisi sedikit head up, infus ringerfundin 100 cc/jam, serta dimonitor ketat tanda-tanda vital.

Page 24: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

179 Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

Pasien dilakukan intubasi dengan immobilisasi inline serta tekanan krikoid untuk mengantisipasi cedera leher dan mencegah aspirasi menggunakan pipa endotrakeal nomor 7,5. Obat anestesi diberikan secara titrasi dengan mengawasi parameter hemodinamik secara ketat, dan secara berurutan mulai fentanyl 100 mcg, propofol 100 mg, rocuronium 50 mg, lidokain 60 mg, dan propofol tambahan sebelum intubasi sebanyak 20 mg. Selama periode induksi dan intubasi tekanan darah berkisar 90–130/60-90 mmHg, laju nadi antara 70–80 x/menit. Propofol kontinyu 30 mg/jam serta atracurium 25 mg/jam diberikan, dexketoprofen 3 x 50 mg, pantoprazole 2 x 40 mg, manitol 200mL. Pasien kondisi stabil pascaintubasi dan dibawa ke ruang radiologi untuk pemeriksaan CT-scan dan penunjang lainnya.

Pemeriksaan PenunjangPada pemeriksaan CT-scan didapatkan subdural hematoma dengan tebal 1,4 cm, volume 39,75 mL di regio fronto-temporo-parietal kiri mendesak ventrikel lateralis kiri menyebabkan pergeseran garis tengah sejauh 1,4 cm ke kanan. Minimal SAH frontalis kanan-kiri, perdarahan kontusional frontal kanan, edema serebri, perdarahan sinus maksilaris bilateral dan frontal kiri. Pemeriksaan foto polos leher AP dan lateral serta foto polos dada, tidak didapatkan kelainan. Pemeriksaan elektrokardiografi didapatkan irama sinus 70 x/menit dengan occational paroxysmal ventricular contraction.

Pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 14,6 g/dL, leukosit 40.000/mm3, hematokrit 44,3%, trombosit 395.000/mm3, masa perdarahan 2 menit, masa pembekuan 11 menit, masa protrombin 10,7 detik,INR 0,97, APTT 29,6 detik, SGOT 33U/L, SGPT 30 U/L, ureum 27 mg/dL, kreatinin 0,88 mg/dL, gula darah sewaktu (GDS) 166 mg/dL, Natrium 147 mmol/L, Kalium 3,60 mmol/L, klorida 105 mmol/L. Pasien dirawat di ruang perawatan intensif (ICU) dengan diagnosa cedera kepala berat, perdarahan subdural akut fronto-temporo-parietal kiri yang saat itu menunggu sampai keluarga setuju dilakukan evakuasi pendarahan subdural. Selama di ICU pasien diberikan pernapasan buatan dengan alat bantu napas mekanik dengan target normokapnea, moda kontrol volume, volume tidal 500 ml, frekuensi napas 12x/menit, PEEP 3, fraksi inspirasi oksigen 0,5, rasio inspirasi-ekspirasi 1:2, infus ringerfundin 100 ml/jam, posisi sedikit head up, propofol kontinyu 30mg/jam, atracurium 25mg/jam, deksketoprofen 3 x 50mg. Pemeriksaan dan pengawasan parameter oksigenasi, hemodinamik serta reaksi pupil dilakukan secara kontinyu. Pemeriksaan gas darah didapatkan pH 7,42, pCO2 35,1, pO2 225, HCO3 25,4, SaO2 99,6%. Selama periode preoperatif di ICU tekanan darah berkisar 130–140/70-90, laju nadi antara 60-70x/menit teratur tanpa aritmia (sejak setelah dilakukan usaha tindakan penurunan TIK), suhu tubuh awal 37,1 oC perektal, end tidal CO2 (ETCO2) 32 mmHg. Pasien dilakukan pendinginan dengan matras

Gambar 1. Perdarahan Subdural Fronto temporoparietal kiri

Gambar 2. Perdarahan Subdural frontotemporoparietal Kiri

Page 25: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

180 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

pendingin dengan target suhu tubuh antara 36–36,5oC, selama 3 jam di ICU suhu tercapai 36,5oC dan tidak didapatkan efek samping akibat tindakan tersebut seperti aritmia, hipotensi dan lain sebagainya.

Namun setelah 2 jam di ICU laju nadi melambat antara 60–65 x/menit, pada pemeriksaan pupil didapatkan pupil sebelah kiri makin membesar ukurannnya, reflek melambat dibanding evaluasi sebelumnya (3mm/5mm). Dengan mempertimbangkan hal tersebut serta menghitung osmolaritas plasma pasien pascapemberian manitol pertama maka diputuskan memberikan manitol dosis kedua sebanyak 200 ml (+ 0,5 g/kgBB). Hiperventilasi ringan dilakukan dengan menambah frekuensi napas menjadi 14 dan setelah beberapa waktu dengan pengaturan ventilasi mekanik yang baru ETCO2 didapatkan hasil 28 mmHg. Keluarga diberitahu tentang kondisi saat ini dan kebutuhan mendesak untuk dilakukan evakuasi hematoma. Keluarga akhirnya setuju dilakukan operasi 1 jam kemudian dan operasi dilakukan setelah 7 jam sejak pasien mengalami penurunan kesadaran.

Pengelolaan AnestesiPasien dilakukan tindakan evakuasi perdarahan subdural dan dekompresi kraniektomi. Pemeliharaan anestesi digunakan sevoflurane 1–1,5%, O2– udara tekanmedik, propofol kontinyu 2–10 mg/kg/jam, atracurium 5 mcg/kg/menit, fentanyl bolus bertahap sampai 3 mcg/kgBB (total 250 mcg). Operasi berlangsung 3 jam, perdarahan 1500 mL, produksi urine 200 mL selama 3 jam. Cairan rumatan diberikan ringerfundin 1000 mL, haes 500 mL, whole blood 350 mL. Hemodinamik selama operasi relatif stabil, tekanan darah sistolik berkisar antara 100–120 mmHg, laju nadi 70–75 x/menit. Pasien direncarakan untuk tetap terpasang pipa endotrakeal serta diberikan sedasi pascaoperasi. Kesadaran preoperatif yang buruk, bahaya obstruksi jalan napas dan hipoksia, bahaya gangguan ventilasi dan hiperkarbia, potensi edema otak, gangguan homeostasis intrakranial pascaoperasi menjadi pertimbangan untuk memastikan pasien masih terpasang pipa endotrakeal dan dalam keadaan sedasi.

Pengelolaan PascabedahPasien dirawat di ruang perawatan intensif, posisi kepala sedikit head up, terpasang pipa endotrakeal,ventilasi mekanik dengan moda kontrol volume sama seperti sebelum operasi. Diberikan sedasi dengan propofol 60 mg/jam, analgesik fentanyl 50 mcg/jam, dexketoprofen 50 mg tiap 8 jam, serta pelumpuh otot atracurium 25 mg/jam selama 8 jam pascaoperasi. Infus ringerfundin 2000 mL/24jam, sonde dekstrose 50 mL tiap 4 jam diberikan mulai 6 jam pascaoperasi. Antibiotika ceftriakson 1 g tiap 12 jam, manitol 100 mL tiap 4 jam. Hasil pemeriksaan laboratorium pascaoperasi Hb 9,8 g/dL, leukosit 26.000/mm3, trombosit 268.000/mm3, hematokrit 29,9%, gula darah sewaktu 178 mg/dL. Tranfusi packed red cell (PRC) 1 kantong diberikan untuk mendapatkan kadar hemoglobin diatas 10 g/dL.

CT scan ulang pada keesokan harinya didapatkan edema serebri yang lebih menurun dibandingkan dengan sebelumnya, tidak tampak subdural hematoma, pergeseran garis tengah 0,4 mm ke arah kanan. Tekanan darah stabil berkisar antara 120–130/70–90 mmHg, laju nadi antara 70-80x/menit, SaO2 99%, pupil isokor 3mm/3mm refleks cahaya positif, kadar hemoglobin pasca tranfusi 10,3 g/dL, hematokrit 30,1%, gula darah sewaktu 173 mg/dL, produksi urin antara 75–100 mL/jam. Sonde entrasol 100 mL tiap 4 jam, infus triofusin 1000 1000mL, kalbamin 500 mL, ringerfundin 500mL, atracurium dihentikan, dosis manitol turun 100 mL tiap 6 jam, terapi lain tetap. Pada hari kedua setelah dilakukan evaluasi CT scan ulangan, obat pelumpuh otot dihentikan, dilakukan evaluasi status neurologik dan didapatkan pasien dengan derajat kesadaran GCS 4x6, pupil isokor 3 mm/3mm, refleks cahaya +/+, hemiparese kanan. Status generalis dengan hemodinamik stabil, tekanan darah 130/95 mmHg, laju nadi 70 x/menit, perfusi hangat- kering- merah, SaO2 99%. Pemeriksaan laboratorium GDS: 165 mg/dL, Natrium 144 mmol/L, Kalium 4,0 mmol/dL, kreatinin 1,0 mg/dL, ureum 30 mg/dL (perhitungan osmolaritas plasma 307 mosm/L). Sonde entrasol 100mL tiap 4 jam, terapi lain tetap, dukungan ventilasi mekanik dikurangi perlahan dan bila cukup kuat

Page 26: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

181 Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

direncanakan untuk ekstubasi. Hari ketiga pasien telah diekstubasi, status generalis stabil, status neurologis tetap. Hari keempat pasien pindah ke ruang intermediate, hari kelima dipindah ke ruangan dan setelah dua minggu perawatan pasien dipulangkan.

III. Pembahasan

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat karena merupakan pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia.1,2 Sekitar 1–1,5 juta jiwa di Eropa dan Amerika Serikat mengalami cedera kepala tiap tahunnya.2 Perdarahan subdural akut merupakan salah satu kelainan yang menyertai cedera kepala berat. Insiden PSDA mencapai 12–30% dari pasien yang masuk dengan cedera kepala berat dan terjadi terutama pada usia dewasa muda dibawah 45 tahun dengan penyebab tersering adalah kecelakaan lalu lintas.4 Sampai saat ini PSDA masih merupakan cedera paling mematikan dari seluruh tipe cedera kepala.5 Angka kematian yang tinggi mencapai 55–70% pada pasien dengan skor GCS kurang dari 8 meskipun dengan diagnosis dini, penatalaksanaan yang agresif, pengawasan ketat selama periode kritis menjadikan PSDA merupakan komplikasi yang menghasilkan keputusasaan bagi klinisi yang merawat.6 Penelitian lain melaporkan dengan penatalaksanaan konvensional yang terdiri dari perawatan intensif, evakuasi bekuan darah dalam kisaran waktu 4 jam setelah terjadi PSDA angka kematian mencapai 30% dan perbaikan fungsi dari pasien mencapai 65%.7 Sedangkan bila terapi dimulai setelah 4 jam maka angka kematian mencapai 85%.7

Angka kematian yang demikian tinggi pada pasien cedera kepala dengan PSDA menimbulkan pertanyaan apa yang menjadi penyebab dan faktor apa saja yang mempengaruhi luaran dari pasien dengan PSDA. Salah satu penjelasan patofisiologi yang berhubungan dengan hal tersebut adalah setelah terjadi cedera kepala traumatik dengan PSDA, lesi-lesi yang timbul akan terus berkembang meski terkadang tekanan perfusi otak (CPP) sudah relatif normal.7 Peningkatan kebutuhan energi untuk metabolisme, pelepasan

glutamat masif, penurunan level oksigen jaringan otak memicu kematian sel otak yang akan terus berkembang karena terdapat hubungan antara perubahan aliran darah fokal dan metabolisme dengan penambahan daerah infark.7 Selain kerusakan akibat proses iskemia yang terjadi di daerah yang tertekan oleh perdarahan, PSDA juga dapat menimbulkan terjadinya mikro koagulasi pada pembuluh-pembuluh darah kortikal pada atau sekitar daerah yang tertekan oleh hematoma subdural.7 Oklusi dari pembuluh darah kortikal oleh klot sel darah merah dan trombosit menimbulkan gangguan mikrosirkulasi yang memicu pelepasan glutamat lebih banyak lagi dan mengakibatkan nekrosis iskemik dan edema otak progresif.7 Adanya mikrokoagulasi inilah yang diduga mengakibatkan pada beberapa kasus PSDA tidak terjadi perbaikan aliran darah otak dan progresi daerah iskemik tetap berlangsung meskipun evakuasi hematoma telah dilakukan.7

Terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi luaran pada pasien dengan PSDA antara lain umur, jenis kelamin, status neurologik saat masuk rumah sakit dan jarak waktu antara trauma dengan evakuasi perdarahan. Wilberger melaporkan bahwa waktu antara trauma dan operasi adalah faktor yang paling penting diantara semua variabel tersebut diatas.5,8 Seelig dan para koleganya menunjukkan adanya penurunan angka kesakitan dan kematian pada pasien yang dilakukan operasi pada empat jam pertama trauma (angka kematian 30%) dibandingkan mereka yang menjalani operasi setelah waktu diatas (angka kematian 85%).5 Meskipun terdapat penelitian yang tidak menemukan korelasi antara pembedahan lebih awal dengan luaran yang lebih baik namun pada umumnya pasien yang dilakukan pembedahan dalam waktu empat jam setelah perburukan klinis memberikan luaran yang lebih baik daripada pasien yang terlambat dilakukan operasi.4

Pengambilan bekuan darah pada pasien PSDA sering tidak dapat dilakukan dalam waktu yang singkat. Persetujuan dari keluarga pasien yang terlambat baik karena adanya keraguan akan keputusan dokter untuk melakukan pembedahan maupun masalah kekurangan biaya merupakan

Page 27: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

182 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hal yang menjadi permasalahan termasuk di negara kita. Para dokter bedah saraf dan anestesi sering dihadapkan pada kondisi dimana pasien dilakukan pembedahan pada waktu yang melebihi batas optimal sehingga didapatkan luaran yang tidak diharapkan. Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan untuk mencoba meningkatkan luaran klinis pada pasien PSDA yang lambat untuk dilakukan pembedahan evakuasi. Tindakan-tindakan preoperatif ini selain dapat mengulur waktu pembedahan, menunda terjadinya herniasi, juga diduga berhubungan dengan peningkatan luaran klinis dari pasien PSDA. Tindakan tersebut meliputi pemberian dosis tinggi manitol preoperatif, pengaturan ventilasi, regulasi suhu tubuh preoperatif, menjaga stabilisasi hemodinamik preoperatif. Namun sebelum hal-hal tersebut dilakukan, seperti pasien cedera kepala berat pada umumnya pasien ini juga dilakukan tindakan seperti:

1. Pemasangan pipa endotrakeal memastikan jalan napas tetap bebas dan mencegah aspirasi paru.

2. Oksigenasi dan kontrol ventilasi untuk mencegah hipoksia dan hiperkapnea.

3. Menjaga status hemodinamik tetap stabil dengan menghindari hipertensi yang berlebih dan mencegah terjadinya hipotensi yang membahayakan. Cairan infus rumatan digunakan yang bersifat isoosmoler (ringerfundin).

4. Posisi kepala netral dan head up untuk memastikan aliran darah balik serebral tidak mengalami gangguan (tetap mengawasi akibat posisi tersebut pada status hemodinamik pasien).

5. phenytoin sebagai anti kejang diberikan intravena.

6. Propofol dan atracurium kontinyu serta dexketoprofen intravena diberikan sebagai sedatif, analgesik serta memfasilitasi penggunaan ventilasi mekanik pada pasien ini.

7. Pemberian manitol dosis 0,5 g/kgBB diberikan sebagai usaha mengendalikan TIK

Pemberian Manitol PreoperatifPada keadaan edema otak dan peningkatan

G-M S V-D Total

MDT 69,2% 13,2% 17,6% 100%MDK 46% 24,1% 29,9% 100%

Tabel 1. Distribusi pasien dengan preoperatif manitol dosis tinggi (MDT) dan manitol dosis konvensional (MDK) dengan glasgow outcome scale setelah 6 bulan, G-M (good-moderate disability), S (severe disability), V-D (vegetative state-death).

tekanan intrakranial, sering diberikan terapi dengan cairan hiperosmotik untuk menciptakan suatu perbedaan osmotik yang dapat menarik air dari struktur serebral sehingga peningkatan TIK dapat dikendalikan sementara.9 Manitol adalah diuretika osmotik yang paling sering digunakan di ruang perawatan intensif (ICU) untuk menurunkan edema otak dan TIK.9 Efek primer yang mendasari penurunan TIK adalah dengan meningkatkan osmotik gradien sepanjang sawar darah otak (bila masih intak), dan mendorong proses osmosis dari parenkim otak dengan menurunkan cairan yang terkandung dalam sel-sel otak.10 Manitol juga memiliki fungsi sekunder yang tidak kalah pentingnya yaitu terjadinya peningkatan volume plasma, penururan hematokrit serta viskositas darah.10

Hal ini akan meningkatkan curah jantung, tekanan darah rerata, meningkatkan aliran darah otak (ADO), memperbaiki aliran darah di mikrovaskular otak sehingga oksigenasi jaringan otak akan meningkat pada keadaan hipoperfusi global seperti cedera kepala.10,11 Selain rutin digunakan untuk mengendalikan TIK pada terapi konvensional cedera kepala, beberapa penelitian memberikan manitol dengan dosis yang lebih tinggi dari dosis yang direkomendasikan sebagai pilihan proteksi otak terutama pada pasien PSDA yang lambat dilakukan evakuasi bekuan darah.11

Satu penelitian dengan membandingkan pasien PSDA yang diberikan manitol dosis konvensional preoperatif (0,6–0,7 g/kgBB) dengan yang diberikan dosis tambahan kedua preoperatif (0,6–0,7g/kgBB pada pasien dengan pupil normal dan 1,2–1,4 g/kgBB pada pasien dengan pupil yang mulai melebar).11 Pada penelitian tersebut didapatkan hasil yang lebih baik pada kelompok

Page 28: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

183 Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

yang diberikan dosis tambahan preoperatif (laju mortalitas 14,3%) dibandingkan pasien yang diberikan dosis konvensional (laju mortalitas 25,3%) dan keseluruhan luaran klinis didapatkan hasil yang lebih baik pada pasien dengan manitol dosis tinggi (tabel 1).11

Hasil yang lebih baik pada pasien dengan manitol dosis tinggi berkaitkan dengan dugaan adanya fungsi neuroproteksi manitol terhadap kerusakan akibat iskemia dan dapat menjadi alternatif terapi untuk pasien PSDA yang tidak segera dilakukan evakuasi bekuan darah intrakranial.11 Meskipun terdapat beberapa studi lain yang mendukung Cruz namun penggunaan manitol dosis tinggi belum menjadi suatu terapi standar bahkan mengundang banyak pertanyaan dari para peneliti yang lain. Penggunaan dosis tinggi manitol dapat memberikan efek samping yang merugikan terutama bila osmolaritas melebihi 320 mosm/L. Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit dapat terjadi mengingat fungsi manitol yang merupakan diuretika.12 Gangguan keseimbangan cairan dapat mengakibatkan keaadaan hipotensi yang membahayakan sehingga harus dilakukan pengawasan ketat parameter hemodinamik selama pemberiaan manitol.10,12 Manitol juga dapat meningkatkan risiko terjadinya gagal ginjal serta edema otak karena proses pembalikan (rebound cerebral edema).12

Berdasarkan penjelasan diatas maka pada kasus kami, manitol diberikan sampai dosis konvensional yang maksimal (1g/kgBB). Pemberian manitol dilakukan dengan pengawasan ketat parameter hemodinamik serta osmolaritas plasma untuk menghindari terjadinya efek samping dari obat tersebut. Pemberian manitol sampai 1 g/kgBB preoperatif diharapkan agar penulis memiliki waktu lebih sebelum keluarga setuju dilakukan evakuasi bekuan subdural, serta memberikan efek neuroproteksi yang mungkin memberi manfaat pada peningkatan luaran tanpa keluar dari standar terapi yang ada.

Hipotermia PreoperatifHipotermia telah digunakan selama bertahun-tahun sebagai bagian dari terapi cedera kepala berat dan menjadi bagian dari banyak algoritma pada pasien hipertensi intrakranial yang tak

terkontrol.13 Sejak digunakan pertama kali oleh Dr. Temple Fay, terapi induksi hipotermia telah sebagai salah satu cara neuroproteksi, namun dalam perkembangannya masih banyak menjadi perdebatan antara kegunaannya dengan efek samping yang ditimbulkan.14 Meskipun mekanisme pasti efek neuroproteksi dari induksi hipotermia belum diketahui pasti namun diduga melalui beberapa jalan antara lain14:1. Menurunkan laju metabolisme otak dan

memberi efek pada ADO.2. Mempengaruhi kaskade sitotoksik dengan

menekan peningkatan kalsium intraselular dan menghambat pelepasan excitatory amino acids.

3. Menekan kerusakan sawar darah otak.4. Memiliki efek anti-apoptotik.

Brain Trauma Foundation masih memberi tempat pada penggunaan hipotermia sebagai pilihan dalam penatalaksanaan cedera kepala traumatik (rekomendasi level III), namun tindakan tersebut harus dilakukan dengan hati-hati karena meskipun terdapat metaanalisis dari beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa hipotermia dihubungkan dengan luaran neurologik yang lebih baik tetapi terdapat efek samping seperti hipotensi, aritmia, koagulopati, dan infeksi yang patut menjadi perhatian.15,16

Beberapa tahun terakhir ini terdapat beberapa penelitian tentang hipotermia dini pada pasien-pasien cedera kepala traumatik.15 Para peneliti tersebut berpendapat bahwa hipotermia dini diduga dapat memberi manfaat pada pasien trauma kepala dengan hematom intrakranial akut dengan jalan mengurangi efek dari cedera iskemia-reperfusi.17 Satu hasil penelitian pada model tikus dengan akut SDH dan menyimpulkan bahwa hipotermia ringan dini dapat mengurangi kerusakan sel neuron dan sel glia akibat proses reperfusi yang terjadi setelah evakuasi bekuan darah intrakranial dengan mengurangi mekanisme neurotoksik termasuk pembentukan radikal bebas, stres oksidatif, dan lain sebagainya.17 Dari penjelasan diatas diketahui bahwa hipotermia memiliki efek proteksi otak yang dapat memberi keuntungan pada pengelolaan cedera kepala berat. Hipotermia ringan dini dikatakan oleh

Page 29: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

184 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

beberapa peneliti dapat mengurangi kerusakan sel neuron dari cedera iskemik-reperfusi setelah dilakukan evakuasi bekuan darah pada pasien dengan perdarahan intrakranial. Pada kasus yang kami kerjakan, hipotermia preoperatif dicapai pada suhu pasien antara 36–36,5 oC. Pengawasan ketat suhu tubuh, penggunaan matras pendingin digunakan dalam mempertahankan suhu pada kisaran yang diinginkan. Pengawasan ketat status hemodinamik pasien dilakukan selama di ICU untuk mengantisipasi efek samping yang dilakukan. Pasien tidak dilakukan pendinginan sampai suhu dibawah 36 oC karena keuntungan hipotermia dibawah suhu tersebut masih banyak diperdebatkan dan banyak efek samping yang dapat ditimbulkan. Tindakan ini dilakukan selama 3 jam sambil menunggu persetujuan operasi dan selama waktu tersebut hemodinamik relatif stabil tanpa terjadi efek samping yang diinginkan. Saat ini terdapat penelitian yang mencoba menggali efek hipotermia pada pasien cedera kepala dengan perdarahan intrakranial. Penelitian tersebut merupakan penelitian klinis, multicenter yang dikenal dengan The HOPES Trial (HypOthermia for Patients requiring Evacuation of Subdural hematoma). Dengan penelitian ini diharapkan nanti dapat diketahui apakah hipotermia akan memberi manfaat pada penatalaksanaan cedera kepala traumatik di masa yang akan datang.

Pengaturan VentilasiPasien dengan cedera kepala berat memerlukan dukungan ventilasi mekanik untuk mempertahankan tekanan oksigen arterial (PaO2) diatas 80 mmHg dan PCO2 antara 35 dan 40 mmHg. Terdapat hubungan linear yang positif antara kadar CO2 dengan ADO pada rentang harga PCO2 antara 20 mmHg sampai 80 mmHg. Namun pada harga PCO2 dibawah 28 mmHg terjadi vasokonstriksi hebat yang menyebabkan penurunan ADO sampai pada level iskemik.18

Hiperventilasi telah banyak dipakai untuk pengelolaan hipertensi intrakranial, namun hiperventilasi agresif dapat membahayakan dan sebaiknya dihindari pada 24 jam pertama cedera otak kecuali terdapat keadaan darurat seperti ancaman herniasi.18 Brain Trauma Foundation memasukkan tehnik ini pada pengelolaan sekunder (second-tier therapy) trauma kepala

pada pasien dengan refrakter hipertensi intrakranial atau adanya ancaman herniasi.18 Mengingat risiko yang ditimbulkan, hiperventilasi hanya merupakan tindakan sementara sambil melakukan usaha-usaha lain dalam menurunkan TIK.1,18

Pada kasus yang kami kerjakan, pasien diberikan dukungan ventilasi dengan target normokapnea namun selama menunggu untuk tindakan operasi terdapat tanda-tanda peningkatan TIK dan ancaman herniasi sehingga dukungan ventilasi ditingkatkan sebagai tindakan sementara agar pasien memiliki waktu lebih sebelum herniasi otak terjadi. Bersamaan dengan kejadian diatas maka keluarga pasien diberitahu agar pengambilan bekuan darah harus segera dilakukan untuk menyelamatkan jiwa. Setelah melalui waktu yang panjang, pasien akhirmya masuk ke kamar operasi untuk dilakukan pembedahan evakuasi PSDA. Selama pembedahan pasien dalam kondisi stabil, dekompresi kraniektomi juga dilakukan mengingat adanya ancaman herniasi. Pascabedah pasien tetap di berikan sedasi, bantuan napas mekanik untuk memastikan keseimbangan homeostasis intrakranial tetap terjaga. Setelah dilakukan evaluasi CT-scan ulangan, pasien dibangunkan dan memberi respon yang baik. Mengingat prognosa pasien ditentukan oleh derajat kesadaran saat awal pemeriksaan, gambaran awal dari CT-scan, kecepatan tindakan evakuasi hematoma, maka pasien ini diperkiran memiliki prognosa yang buruk. Tindakan-tindakan menurunkan TIK, menjaga perfusi otak, menghindari pemberian obat dan tindakan yang memperberat TIK yang menjadi dasar dari pengelolaan cedera kepala telah dilakukan. Namun tindakan seperti penggunaan manitol dosis tinggi, hipotermia ringan preoperatif, hiperventilasi ringan dapat membantu meningkatkan luaran pada pasien dengan PSDA yang mengalami penundaan evakuasi bekuan darah dan dapat menjadi alternatif yang patut dipertimbangkan.

IV. Simpulan

Cedera kepala traumatik merupakan masalah kesehatan yang serius di masyarakat karena merupakan pemicu kecacatan dan kematian

Page 30: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

185 Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

di seluruh dunia. Walaupun terdapat metode diagnostik dan penatalaksanaan yang muktahir namun prognosis masih jauh dari harapan. PSDA masih merupakan cedera paling mematikan dari seluruh tipe cedera kepala. Angka kematian yang tinggi (55–70%) pada pasien PSDA meskipun diagnosis dini, penatalaksanaan yang agresif, pengawasan ketat selama periode kritis perawatan telah dilakukan oleh para klinisi.

Waktu antara cedera dengan evakuasi bekuan darah subdural merupakan faktor yang sangat penting dalam menghasilkan luaran, sayangnya waktu evakuasi ini sering mengalami penundaan. Terdapat beberapa penelitian yang dilakukan selama periode preoperatif untuk memberi waktu lebih kepada pasien terhadap bahaya iskemi dan herniasi otak serta meningkatkan luaran pada pasien PSDA. Tindakan seperti manitol dosis tinggi, hipotermia ringan preoperatif, hiperventilasi masih sedang dalam penelitian namun memberi harapan pada pengelolaan pasien dengan PSDA.

Daftar Pustaka

1. Curry P, Viernes D, Sharma D. Perioperative management of traumatic brain injury. Int J Crit Illn Inj Sci 2011.

2. Leitgeb JL, Mauritz W, Brazinova A, Janciak I, Madjan M, Wilbacher I, et.al. Outcome after severe brain trauma due to acute subdural hematoma. J Neurosurg 2012;117:324–33.

3. Moppet IK. Traumatic brain injury: assessment, resuscitation and early management. Br J Anaesth 2007; 99 : 18–31.

4. Karibe H, Hayashi T, Hirano T, Kameyama M, Nakagawa A, Tominaga T. Surgical management of traumatic acute subdural hematoma in adults: A review. Neurol Med Chir 2014;54:887–94.

5. Karasu A, Civelek E, Aras Y, Sabanci PA, Cansever T, Yanar H et.al. Analysis of clinical prognostic factors in operated traumatic acute subdural hematomas. Turkish Journal of

Trauma & Emergency Surgery 2010;16(3): 233–36.

6. Azhari S, Safdari H, Shabehpoor M, Hosein N, Amiri Z. Traumatic acute subdural hematom: Analysis of factors affecting outcome in comatose patients. Medical Journal of the Islamic Republic of Iran 1999;12(4): 313–18.

7. Jussen D, Papaioannou C, Heimann A, Kempski O, Alessandri B. Effects of hypertonic/hyperoncotic treatment and surgical evacuation after acute subdural hematoma in rats. Crit Care Med 2008; 36(2).

8. Solaroglu I, Kaptanoglu E, Okutan O, Beskonakli E, Taskin Y. Prognostic value of initial computed tomography in patients with traumatic acute subdural hematoma. Turkish Neurosurgery;12:89–94.

9. Sorani M, Manley GT. Dose-response relationship of mannitol and intracranial pressure: a metaanalysis. J Neurosurg 2008;108:80–87.

10. Fink M. Osmotheraphy for intracranial hypertension: mannitol versus hypertonic saline. American Academy of Neurology 2012;(6): 640–54.

11. Cruz J, Minoja G, Okuchi K. Improving clinical outcomes from acute subdural hematoma with the emergency preoperative administration of high dose of mannitol: a randomized trial. Neurosurgery 2001;49(4):864–71.

12. Sharma RM, Setlur R, Swamy MN. Evaluation of manitol as an osmotherapeutic agent in traumatic brain injuries by measuring serum osmolality. Medical Journal Armed Forces India 2011; 67(3): 230–33.

13. Helmy A, Vizcaychipi M, Gupta AK. Traumatic brain injury: intensive care management. Br J Anaesth 2007; 99 : 32–42.

14. Graffagnino C. Hypothermia: physiology

Page 31: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

186 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

and applications. Dalam:Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. NewYork: Cambridge University Press;2010,39–45.

15. Xiong Y, Mahmood A, Chopp M. Emerging treatments for traumatic brain injury. Expert Opin Emerg Drugs 2009;14(1):67–84.

16. Tolani K, Bendo AA, Sakabe T. Anesthetic management of head trauma. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, ed. Handbook of Neuroanesthesia. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins;2012, 98–114.

17. Yokobori S, Gajavelli S, Mondello S, Seaney JM, Bramlett HM, Dietrich WD, et.al. Neuroprotective effect of preoperatively induced mild hypothermia as determined by biomarkers and histopathological estimation in a rat subdural hematoma decompression model. J Neurosurg 2013;118: 370–380.

18. Mangat HS. Severe traumatic brain injury.American Academy of Neurology 2012: 532–546.

Penatalaksanaan Pasien Cedera Kepala Berat dengan Evakuasi Perdarahan Subdural yang Tertunda

Page 32: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

187

Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan Herniasi Serebral

Silmi Adriman*), Sri Rahardjo**), Siti Chasnak Saleh***)

*)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Rumah Sakit Zainoel Abidin Banda Aceh, **)Departemen Anestesiologi & Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada-RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, ***)Departemen Anestesiologi Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSUD. Dr.

Soetomo Surabaya

Abstrak

Cedera kepala merupakan masalah kesehatan utama, pemicu kecacatan dan kematian di seluruh dunia. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala yang sering terjadi. Epidural Hemorrhage umumnya terjadi karena robeknya arteri dan menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dan tulang tengkorak. Munculnya tanda Cushing pada EDH akan memperburuk prognosis. Penatalaksanaan cedera kepala saat ini difokuskan pada stabilisasi pasien dan menghindari gangguan intrakranial ataupun sistemik sehingga dapat menghindari cedera sekunder yang lebih buruk. Seorang laki-laki, 18 tahun, dibawa ke rumah sakit dengan penurunan kesadaran pasca jatuh dari ketinggian kurang lebih 5 meter dengan posisi badan sebelah kanan jatuh terlebih dahulu. Setelah resusitasi dan stabilisasi didapatkan jalan napas bebas, laju pernapasan 12 x/menit (ireguler), tekanan darah 155/100 mmHg, laju nadi 58 x/menit (reguler). Pada pasien dilakukan tindakan kraniotomi evakuasi hematoma dengan anestesi umum dan dengan memperhatikan prinsip neuroanestesi selama tindakan bedah berlangsung.

Kata kunci: Epidural hemorrhage, herniasi serebral, tanda Cushing, penatalaksanaan perioperatif

JNI 2015;4(3): 187–92

Perioperative Management of Epidural Hemorrhage withCerebral Herniation

Abstract

Head trauma is a major health problem and considered as the leading cause of disability and death worldwide. Epidural Hemorrhage (EDH) is commonly seen in head trauma. Epidural Hemorrhage usually occurs due to ripped artery that coursing the skull causing blood collection between the skull and dura. Cushing sign revealed in EDH may worsen the outcome. Head trauma management is currently focusing on patient’s stability and prevention the intracranial and haemodynamic instability to prevent the secondary brain injury. A 18 years old male patient, admitted to the hospital with decreased level of consciousness after felt down from 5 meters height with his right side of body hit the ground first. On examination, no airway obstruction found, respiratory rate was 12 times/min (irregular), blood pressure 155/100 mmHg, heart rate 58 bpm (regular). Patient was managed with emergency hematoma evacuation under general anesthesia and with continues and comprehensive care using neuroanesthesia principles.

Key words: Epidural hemorrhage, cerebral herniation, Cushing’s triads, perioperative management

JNI 2015;4(3): 187–92

Page 33: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

188 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Cedera kepala merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada usia muda. Di Inggris dan Wales, 1,4 juta pasien datang ke Unit Gawat Darurat karena cedera kepala, 200.000 di antaranya harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit dan seperlimanya mengalami fraktur tulang tengkorak dan kerusakan otak. Epidural Hemorrhage (EDH) adalah salah satu bentuk cedera kepala.1 Epidural Hemorrhage biasanya terjadi karena robeknya arteri meningea media (paling sering), sinus duramatis dan arteri atau vena diploica sehingga menyebabkan perdarahan di ruangan antara duramater dengan tulang tengkorak.2 Epidural Hemorrhage terjadi pada 2,7 hingga 4% kasus dari seluruh kasus cedera kepala dan sering terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penelitian menyatakan bahwa EDH sering terjadi pada usia di antara 2 tahun sampai 60 tahun.3,4 Gejala klasik EDH berupa penurunan kesadaran singkat yang diikuti dengan periode sadar kembali (lucid interval) yang dapat berlangsung beberapa jam sebelum fungsi otak memburuk, bahkan menyebabkan koma. Gejala lain termasuk nyeri kepala, muntah dan kejang. Jika kondisi ini tidak ditatalaksana dengan cepat dan baik, EDH dapat menyebabkan herniasi transtentorial progresif dengan tanda klinis seperti extensor posturing atau tidak adanya repons, pupil dilatasi, pupil tidak simetris, perburukan neurologis progresif (penurunan GCS lebih dari 2 dari GCS terbaik sebelumnya pada pasien dengan permulaan GCS < 9) dan kematian.2,3,5

Tanda cushing (disebut dengan cushing’s triad) mengacu pada presentasi klasik peningkatan tekanan intrakranial (TIK) yang disebabkan oleh perdarahan intrakranial. Cushing’s triad diidentifikasi dengan adanya hipertensi, bradikardi dan depresi pernapasan. Hal ini terjadi setelah TIK pasien meningkat selama beberapa waktu sehingga sangat membutuhkan tatalaksana yang lebih cepat dan agresif. Cushing’s triad dapat menyebabkan defisit neurologis fokal yang berkembang dari perdarahan atau herniasi.6

Pengelolaan perioperatif pasien dengan cedera kepala seperti ini difokuskan pada stabilisasi

pasien dan mengendalikan tekanan intrakranial, serta mempertahankan oksigenasi dan perfusi otak, diikuti dengan dekompresi dengan pembedahan. Waktu sangatlah penting pada pembedahan EDH, evakuasi dan kontrol perdarahan dalam waktu yang singkat sangat esensial untuk menghindari cedera.5

II. Kasus

AnamnesaSeorang laki-laki berusia 18 tahun dengan diagnosa EDH a.r. temporoparietal dextra dirujuk dari rumah sakit daerah dengan penurunan kesadaran sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pasien diketahui jatuh dari ketinggian ± 5 meter dengan posisi badan sebelah kanan jatuh terlebih dahulu. Saat itu pasien langsung tidak sadarkan diri, tapi beberapa saat kemudian pasien sadar dan mengerang kesakitan, kemudian kembali tidak sadarkan diri. Tidak ditemukan adanya kejang dan tidak ada riwayat penyakit lain sebelumnya.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan didapatkan tekanan darah 155/100 mmHg, laju nadi 58 x/menit (reguler), laju napas 12 kali/menit (ireguler), suhu tubuh 37,2 °C. Jalan napas bebas, suara napas vesikuler, tidak didapatkan ronki maupun wheezing. Status neurologis GCS E2M4V2 (8), pupil anisokor 6 mm/ 3 mm, refleks cahaya (+/+).

Pemeriksaan PenunjangDarah: Hb 13,8 g/dl, Ht 39%, eritrosit 5 x 106 /ul, leukosit 32,6 x 103 /ul, trombosit 272 x 103 /ul.CT scan kepala: EDH a.r temporoparietal dextra dengan midline shift > 5mm.

PrabedahPasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat monitor non-invasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG, SaO2). Pasien diintubasi dengan menggunakan laringoskop Macintosh dengan pipa endotrakheal non-kinking ukuran 7,0 dan dilakukan pemasangan kateter urine. Pasien diberikan manitol dengan dosis 1 gr/kgBB dan dilakukan resusitasi cairan dengan NaCl 0,9%.

Page 34: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

189 Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan Herniasi Serebral

Pengelolaan AnestesiDi kamar operasi, pasien diposisikan dalam posisi supinasi dengan kepala head up 15–30° netral. Pasien dipasang alat-alat monitor non-invasif (tekanan darah, denyut jantung, EKG, SaO2), telah dilakukan intubasi dan telah terpasang kateter urine. Pasien diinduksi dengan 150 mcg fentanyl, 100 mg propofol dan 6 mg vecuronium. Rumatan anestesi dengan sevoflurane dengan O2 : udara (50:50), propofol kontinu dan vecuronium kontinu.Operasi berlangsung selama 1 jam dengan jumlah pendarahan 500 ml dan diuresis 1000 ml. Pemberian cairan intraoperatif menggunakan ringerfundin sebanyak 1000 ml. Tanda-tanda vital selama operasi dapat dilihat pada grafik 1 dan 2. Pengelolaan PascabedahPascabedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive care Unit/ ICU) selama 2 hari sebelum dipindahkan ke ruangan. Pasien dirawat dalam kontrol ventilator, analgetik fentanyl 25

µg/jam. Posisi kepala head up 10–20°. Cairan rumatan diberikan ringerfundin 1500 ml dan NaCl 0,9% 500 ml serta ranitidin selama 24 jam pertama. Pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, gula darah acak 12 jam pascaoperasi.Hari pertama di ICU, hemodinamik pasien stabil dengan tekanan darah rerata 100 mmHg, laju nadi 75–80 kali/ menit, saturasi O2 99%, temperatur 36-36,5°C. Hasil laboratorium pascaoperasi Hb 12,6 gr/dl, Ht 35%, eritrosit 4,1 x 106 /ul, leukosit 16 x 103 /ul, trombosit 240 x 103 /ul. Hasil gula darah 150 mg/dl, natrium 143 meq/L, kalium 4,5 meq/L, klorida 113 meq/L. Status neurologis E3M5V-, pupil anisokor, afasia motorik. Fentanyl dihentikan, dilakukan weaning bertahap serta ekstubasi. Hari kedua di ICU, pasien bernapas spontan, hemodinamik stabil, status neurologis baik, pasien dipindahkan ke ruangan. Pasien dirawat selama 8 hari di ruangan perawatan. Selama perawatan, pasien diberikan ceftriaxon 2 gram/ 24 jam, paracetamol drip 500 mg/ 8 jam,

Gambar 1. CT Scan Kepala

050

100150200

sistolik

diastolik

Grafik 1. Pemantauan Tekanan Darah Sistolik dan Diastolik selama Operasi

Page 35: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

190 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

kalnex iv 500 mg/ 8 jam, citicolin iv 500 mg/ 8 jam dan omeprazol oral 40 mg/ 24 jam. Pasien dipulangkan dengan kondisi saat itu kesadaran komposmentis, GCS E4M6V5, dengan kesan gangguan penglihatan. Pemeriksaan laboratorium dalam batas normal.

III. Pembahasan

Epidural Hemorrhage terjadi sebagai akibat benturan hebat yang dapat merobek pembuluh darah meningen dan mengakibatkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi biasanya berasal dari arteri sehingga keadaan neurologi dapat memburuk dengan cepat. Karena itu, penanganan difokuskan pada waktu. Evakuasi dan kontrol perdarahan dengan segera sangat penting untuk keselamatan pasien dan menghindari cedera neurologis yang permanen.7,8

Tindakan operatif pada trauma kepala, terutama trauma kepala yang menyebabkan cedera otak traumatik (COT), diindikasikan bila terjadi efek masa yang bermakna. Hal ini didefinisikan pada adanya herniasi serebral atau pergeseran garis tengah (midline shift) 5 mm atau lebih. Midline shift diukur pada CT-scan aksial dengan melihat pergeseran septum pellucidum dari garis tengah setinggi foramen level foramen Monro. Epidural Hemorrhage dengan volume lebih dari 30 cc harus dievakuasi, walaupun pasiennya asimptomatik. Pasien EDH dengan GCS kurang dari 9, disertai dengan pupil yang dilatasi harus dilakukan tindakan evakuasi perdarahan dan dekompresi segera. Perdarahan akut pada EDH dapat dievakuasi dengan kraniotomi ataupun kraniektomi.9-11

Penanganan COT memiliki kaitan erat dengan tugas ahli anestesi.7 Sesuai dengan prinsip pengelolaan anestesi pada operasi bedah saraf, ahli anestesi harus mengatur ABCDE neuroanestesi (airway, breathing, circulation, drugs dan environment). Airway, jalan nafas harus selalu bebas sepanjang waktu. Breathing, ventilasi kendali untuk mendapatkan oksigenasi yang adekuat. Circulation, hindari lonjakan tekanan darah untuk mencegah terjadinya edema berat dan kenaikan tekanan intrakranial dan hindari faktor-faktor mekanis yang meningkatkan tekanan vena serebral. Drugs, gunakan obat-obatan anestesi yang memberikan efek neuroprotektif. Environment, pertahankan suhu hipotermia ringan (35°C, core temperature).5

Pada kasus ini selain terjadi herniasi serebral, juga telah terjadi Cushing’s Triad, dimana hipertensi, bradikardi dan pernapasan yang ireguler muncul akibat peningkatan tekanan intrakranial.12,13 Berbagai maneuver dan obat dapat digunakan untuk menurunkan tekanan intrakranial, diantaranya:5,10

1. Kepala dalam keadaan elevasi 15° dan pada posisi netral untuk memperbaiki cerebral venous return dan drainase cairan serebrospinal.

2. Pemberian manitol 0,25–1 g/kgBB dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan intrakranial secara cepat. Jika tidak ada dapat diberikan cairan hipertonik sebagai alternatif lainnya.

3. Ventilasi adekuat, PaO2 > 100 mmHg, PaCO2 35 mmHg, hiperventilasi sesuai kebutuhan. Terapi hiperventilasi dapat mengurangi aliran darah otak sehingga dapat menurunkan

54

56

58

60

62

64

preinduksi 23,30 23,45 24,00 24,15 24,30

nadi

Grafik 2. Pemantauan Laju Nadi selama Operasi

Page 36: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

191 Penatalaksanaan Perioperatif pada Epidural Hemorrhage dengan Herniasi Serebral

tekanan intrakranial.4. Monitoring dilakukan secara ketat dan

hindari terjadinya hipotensi.

Teknik dan pemilihan obat anestesi yang ideal didasarkan pada sasaran pelaksanaan anestesi tersebut. Penggunaan obat-obatan yang dapat meningkatkan tekanan intrakranial dan mengganggu hemodinamik seperti ketamin dan narkotik analgesi harus dihindari. Obat-obat yang digunakan harus dapat menurunkan tekanan intrakranial dengan meningkatkan resistensi vaskular serebral, menurunkan aliran darah otak, menurunkan volume darah otak dan menurunkan metabolisme otak. Mekanisme-mekanisme seperti ini yang pada akhirnya akan memberikan efek neuroprotektif terhadap otak.5,15

Anestesi intravena seperti propofol dan fentanyl secara signifikan menurunkan aliran darah otak, metabolisme otak dan menurunkan tekanan intrakranial. Selain itu kombinasi keduanya dapat mengurangi respon stres selama intubasi dan mempercepat proses pemulihan pascabedah. Anestesi inhalasi, meskipun pada umumnya menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah serebral dan meningkatkan tekanan intrakranial, sevofluran dapat dipilih karna efek vasodilatasinya paling kecil dibandingkan dengan jenis anestesi inhalasi lainnya. Tidak berbeda dengan anestesi inhalasi, obat pelumpuh otot juga pada umumnya dapat meningkatkan aliran darah otak. Vecuronium dapat dipilih menjadi relaksan pada bedah saraf karna memiliki efek yang paling minimal.16-18 Ringerfundin digunakan sebagai cairan intraoperatif untuk membantu menurunkan tekanan intrakranial dengan sifatnya yang sedikit hiperosmolar. Sifatnya ini akan membantu menarik cairan dari interstitial otak masuk ke dalam pembuluh darah otak. Meskipun memiliki sifat yang hampir sama dengan NaCl 0,9%, ringerfundin lebih dipilih untuk menghindari terjadinya hiperkloremik asidosis saat resusitasi cairan.5,19 Pascabedah, tindakan-tindakan umum seperti perpindahan posisi pasien, suctioning, fisioterapi dan usaha pencegahan infeksi tetap dilakukan untuk mengurangi resiko dan komplikasi yang dapat memperburuk keadaan pasien.1,7

IV. Simpulan

Epidural Hemorrhage merupakan salah satu kedaruratan bedah saraf yang sangat penting dan harus dikelola dengan cepat. Pengelolaan pada pasien ini membutuhkan manipulasi fisiologis melalui resusitasi dengan agresif, mengingat rentannya cedera akut sistem saraf pusat terhadap sistemik. Tindakan bedah evakuasi perlu dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari kemungkinan kecacatan dan kematian.

Daftar Pustaka

1. National Institute for Health and care Excellenge. Head Injury: Triage, Assessment, Investigation and Early Management of Head Injury in Children, Young People and Adults. NICE Clinical Guideline. 2014.

2. Ul Haq, MI. Traumatic extradural hematoma. Professional Med J. 2014; 21(3): 540–43.

3. University of California Los Angeles Neurosurgery. Epidural Hematoma. Diakses dari: http://neurosurgery.ucla.edu/body.cfm?id=1123&ref=41& action=detail pada tanggal 16 september 2014.

4. Chowdury K, Islam KMT, Mahmood E, Hossain S. Extradural haematoma in children: surgical experiences and prospective analysis of 170 cases. Turkish Neurosurgery. 2012; 22(1): 39–43.

5. Polinsky S, Muck K. Increased intracranial pressure and monitoring. Diakses dari: http://faculty.ksu.edu.sa/73717/Documents/Increased_Intracranial_Pressure_and_Monitoring_site.pdf pada tanggal 30 Desember 2014.

6. Bisri T. Penanganan Neuroanestesia dan Critical Care: Cedera Otak Traumatik. Bandung: FK Unpad. 2012; 83–124, 143-68, 187–208.

7. Saleh SC. Neuroanestesia Klinik. Surabaya: Zifatama Publisher. 2013; 47–162.

Page 37: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

192 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

8. Hawthorne G, Gruen RL, Kaye AH. Traumatic brain injury and long-term quality of life: findings from an Australian study. J Neurotrauma. 2009; 26: 1623–33.

9. Miller JD, Piper IR, Jones PA. Pathophysiology of head injury. Dalam: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, editors. Neurotrauma. New York: McGraw-Hill. 1996;61–69.

10. Baron EM, Jallo JI. Traumatic brain injury: pathology, pathophysiology, acute care and surgical management, critical care principles and outcome. Dalam: Zasler ND, Katz DI, Zafonte RD, editors. Brain Injury Medicine: Principles and Practice. New York: Demos Medical Publishing. 2007; 265–82.

11. Woods M. Aspect of perioperative neuroscience practice. Dalam: Smith B, Rawling P, Wicker P, Jones C, editors. Core Topics in Operating Departement Anaesthesia and Critical Care. Cambridge: Cambridge University Press. 2007;61–76.

12. Agrawal A, Timothy J, Cincu R, Agarwal T, Waghmare LB. Bradycardia in neurosurgery. Clinical Neurology and Neurosurgery. 2008; 321–27.

13. Smith M. Monitoring Intracranial pressure in

traumatic brain injury. Anesth Analg. 2008; 106: 240–48.

14. Bendo AA. Perioperative management of adult patient with severe head injury. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 317–26.

15. Bolognese PA, Milhorat TH. Intracranial pressure monitoring. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 75–7.

16. Sakabe T, Matsumoto M. Effects of anesthetics agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism and intracranial pressure. Dalam: Cottrell and Young’s Neuroanesthesia, 5th ed. Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 317–26.

17. Bajwa SJS, Bajwa SK, Kaur J. Comparison of two drug combinations in total intravenous anesthesia: propofol-ketamine and propofol-fentanyl. Saudi J Anesth. 2010; 4(2): 72–79.

18. Bisri T. Dasar-Dasar Neuroanestesi, Edisi ke-2. Bandung: Saga Olah Citra. 2010; 1–74.

19. Ertmer C, Aken HV. Fluid therapy in patients with brain injury: what does physiology tell us? Critical Care. 2014; 18: 199.

Page 38: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

193

Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

Buyung Hartiyo Laksono*), Nazaruddin Umar**), Marsudi Rasman***)

*)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya – RSUD. Dr Saiful Anwar Malang, **)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara-RSUP H. Adam Malik Medan, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif, Fakultas Kedokteran Universitas

Padjadjaran-RSUP dr. Hasan Sadikin Bandung

Abstrak

Perdarahan subarachnoid (SAH) yang diakibatkan oleh pecahnya aneurisma otak menyumbang sekitar 85% dari kejadian SAH non traumatik. Insidensi sekitar 8–10 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar (0,008%). Rangkaian tatalaksana kasus SAH mempengaruhi outcome dari hasil terapi, mulai dari pertolongan pertama pada prehospital, transportasi, diagnosis awal, manajemen kegawatdaruratan dini, tindakan neuroradiologi intervensi ataupun pembedahan dan perawatan intensif pasca tindakan definitif. Pada laporan kasus ini, pasien wanita usia 65 tahun, berat badan 50 kg dengan diagnosa SAH hari ke 18 karena pecahnya aneurisma arteri serebri media disertai defisit neurologis ringan. Pembedahan dilakukan tindakan kraniotomi direct clipping aneurisma. Prinsip anestesi yang dilakukan adalah pemeliharaan homeostasis dan Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP) yang efektif, tindakan pencegahan peningkatan tekanan intrakranial (Intracranial Pressure-ICP), pembengkakan otak dan manajemen vasospasme serebral. Operasi berjalan 6 jam dan dilakukan rapid emergence. Outcome pembedahan sesuai yang diharapkan. Anestesi mempunyai peranan yang sangat penting dalam manajemen secara keseluruhan pada pasien ini untuk memberikan manajemen proteksi otak yang maksimal selama pembedahan sehingga memperoleh hasil akhir pembedahan yang sukses.

Kata kunci: clipping aneurisma, vasospasme, proteksi otak, SAH

JNI 2015;4(3): 193–202

Anesthetic Management in Direct Clipping Cerebral Aneurysma

Abstract

Subarachnoid hemorrhage (SAH) caused by rupture of a brain aneurysm accounts for about 85% of the incidence of non-traumatic SAH. The incidence is approximately 8-10 per 100,000 populations per year, or about (0.008%). The management of SAH affects the outcome, ranging from first aid in Prehospital, transportation, early diagnosis, early emergency management, neuroradiology action or surgical interventions and intensive therapy after definitive care. In this case report, a 65 years old female, 50 kgs, diagnosised with SAH day 18 due to middle cerebral artery aneurysm rupture with mild neurological deficits. Craniotomy was performed using direct aneurysm clipping. The anesthesia principle is to maintain adequate homeostasis and effective Cerebral Perfusion Pressure (CPP)/Transmural Pressure (TMP), preventing increase in ICP, brain swelling and management of cerebral vasospasm. The operation was done in 6 hours with rapid emergence. The outcome of surgery was as expected. Anesthesia has a very important role in the overall management of these patients to provide optimal brain protection management during surgery in obtaining successful outcome.

Key words: aneurysm clipping, vasospasm, brain protection, SAH, vasospasum

JNI 2015;4(3): 193–202

Page 39: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

194 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Perdarahan subarachnoid (Subarachnoid hemorrhage/SAH) adalah jenis stroke dimana lokasi perdarahan di ruang subarachnoid sekitar otak. Insidensi di Inggris adalah sekitar 8–10 per 100.000 penduduk per tahun atau sekitar (0,008%). Sedangkan di Amerika Utara lebih besar sekitar 12 per 100.000 penduduk. Usia rata-rata penderita adalah 55 tahun dengan kebanyakan pada dekade usia ke 5. Literatur lain menyatakan dekade usia 5 sampai 6, dengan rata-rata 61 tahun. Perdarahan subarachnoid (SAH) yang diakibatkan oleh pecahnya aneurisma otak menyumbang sekitar 85% dari kejadian SAH non traumatik. Pada literatur lain dituliskan insidensi dalam rentang 70–85%. Mayoritas kasus tersebut diakibatkan perdarahan pada sirkulus karotis anterior, sisanya 10–20% terjadi pada sirkulus vertebrobasilar posterior. Kajian tentang resiko pembedahan dan prognosis dari kasus tersebut sudah dimulai oleh Botterell dan kawan-kawan pada tahun 1956 dengan mengemukakan nilai grading berdasarkan kriteria tertentu, kemudian diikuti Hunt and Hess, Fisher dan terakhir dari World Federation of Neurosurgical Surgeons (WFNS).1-3

Anestesi berperan dalam pengelolaan kasus tersebut dalam beberapa tahap; awal resusitasi dan stabilisasi, manajemen terapi di ruang intensif (Intensive Care Unit/ICU) dan memberikan anestesi perioperatif untuk tindakan oklusi. Prognosis buruk dengan tingkat mortalitas pada kasus keseluruhan hampir 50%. Bahkan kasus yang datang dengan status kesadaran yang setara dengan grading Hunt dan Hess I – II masih mempunyai nilai laju pemulihan cuma 58% dan mortalitas hampir 26%. Penyebab terbesar kematian dan kecacatan dari kasus SAH adalah kejadian vasospasme, perdarahan ulang dan komplikasi pembedahan. Waktu untuk dilakukan terapi definitif setelah onset pada kasus SAH juga masih dalam kajian, apakah lebih baik segera atau dilakukan penundaan dulu setelah stabilisasi. Namun pengelolaan dini yang baik dalam semua aspek terapi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan hasil yang cukup menggembirakan dan oleh sebab itu peran anestesi diperlukan sekali dalam pengelolaan

kasus sejak dini.2,3

Rangkaian penatalaksanaan kasus SAH mempengaruhi outcome dari hasil terapi, mulai dari pertolongan pertama pada prehospital, transportasi, diagnosis awal, manajemen kegawatdaruratan dini, tindakan neuroradiologi intervensi ataupun pembedahan dan perawatan intensif pasca tindakan definitif. Terapi definitif meliputi endovascular coilling, pembedahan dan pencegahan kejadian iskemia. Pemahaman tentang patofisiologi pada kasus ini penting dalam hal tatakelola anestesi selama pembedahan. Beberapa kondisi memerlukan keterampilan khusus dari ahli anestesi untuk keberhasilan terapi.1,2

II. Kasus

AnamnesisPasien nyonya M usia 65 tahun, berat badan 50 kg datang dengan keluhan nyeri kepala hebat yang tiba-tiba sebelum masuk rumah sakit. Dari anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh nyeri kepala hebat dan pusing dirasakan sejak 1,5 jam sebelum masuk rumah sakit, nyeri kepala disertai dengan mual muntah 1 kali. Pasien sempat pingsan karena tidak kuat merasakan nyeri di kepala. Rasa kaku dirasakan mulai tengkuk sampai leher. Tidak ada keluhan kelemahan baik tangan ataupun kaki. Bicara sempat sulit tetapi kontak masih baik. Pasien mengaku cenderung mengantuk sejak keluhan nyeri kepala terjadi. Riwayat penyakit terdahulu hipertensi dengan tensi tertinggi 200 mmHg, tensi pada waktu serangan 190/110. Tidak pernah rutin minum obat ataupun kontrol periksa ke dokter. Penyakit lain disangkal oleh pasien.

Pemeriksaaan FisikPemeriksaan fisik saat prabedah perawatan hari ke 18 didapatkan nafas spontan, dengan udara ruangan saturasi pulseoxymetri (SpO2) 97%, buka mulut 3 jari, Mallampati 1, gigi palsu (–), pergerakan temporomandibular joint baik, fleksi ekstensi leher baik, auskultasi wheezing (–), ronkhi (–). akral hangat, temperatur aksila 36,6 oC, nadi 92 x/m, tekanan darah 145/81 mmHg, dengan regulasi obat perdipin 0,05 mg/kgbb/mnt, CRT <2 detik. Auskultasi suara jantung

Page 40: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

195 Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

S12 single, murmur (–), gallop (–). Kesadaran GCS 356, pupil isokor 3/3 reflek cahaya +/+, paralisa nervus cranialis (–), motoris normal, sensoris normal, reflek fisiologis normal, reflek patologis tidak ditemukan. Miksi terpasang kateter dengan kualitas dan kuantitas cukup,

Pemeriksaaan Laboratorium Pemeriksaan penunjang dan tambahan didapatkan data berikut:Tabel 1. Hasil laboratorium

Pemeriksaan Keterangan Pemeriksaan KeteranganHemoglobin 13,4 g/dl PT 9,7 ( kontrol

11) detikHematokrit 39,5% APTT 22 (kontrol

25) detikLeukosit 12,83/mm3 Albumin 4,03 u/LTrombosit 3 3 3 . 0 0 0 /

mm3GDS 90 u/L

Natrium 145 mEq/LKalium 4,7 mEq/LClorida 107 mEq/LUreum 24 mg/dlCreatinine 0,6 mg/dl

SGOT 21 u/LSGPT 19 u/L

Gambar 1. CT-Scan Pasien

bising usus (+) normal. Tulang ekstremitas dan tulang belakang dalam batas normal. Foto thorak AP paru-paru dalam batas normal, jantung pembesaran ringan serta elongasi aorta dan kalsifikasi. EKG sinus rhytm 89 x/m, axis normal, tidak ditemukan gangguan konduksi dan perubahan segmen ST. Hasil CT Scan preoperatif

Gambar 2. CT Angiografi Pasien

clipping (gambar 1) menunjukkan perdarahan akut ruang subarachnoid di daerah cisterna basalis dominan kiri, fissura interhemisphere anterior, stem dan fissura silvii kiri dan sulci cortical kiri. Hasil CT Angiografi (gambar 2) didapatkan bifucartio arteri cerebri media kiri tampak saccular aneurysma dengan panjang 4

Page 41: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

196 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

mm, diameter transversa 1,3–2,8 mm dan leher 2,3 mm, tempat sesuai dengan perdarahan.Pasien didiagnosa status fisik ASA 3 dengan SAH hari ke 18 karena pecahnya aneurisma arteri serebri media disertai defisit neurologis ringan. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan craniotomi direct clipping aneurisma. Persiapan preoperatif pasien dipuasakan dan premedikasi dengan pemberian lorazepam 1 mg peroral malam sebelum pembedahan. Syringe pump kontinyu nimodipin sudah diberikan sejak pasien masuk rumah sakit.

Pengelolaan AnestesiPasien dilakukan induksi dengan prinsip proteksi otak melalui kombinasi pemberian midazolam 2,5 mg, fentanyl 100 µg titrasi, lidokain 60 mg, propofol 90 mg titrasi, rocuronium 50 mg,

satu menit sebelum tindakan intubasi diberikan tambahan propofol 30 mg. Preoksigenasi selama 5 menit sebelum intubasi tanpa hiperventilasi. Intubasi sleep apneu dilakukan menggunakan laryngoscope Macintosh dengan endotracheal tube (ETT) non kinking nomor 7, kedalaman ETT 18 cm pada tepi bibir. Monitor diposisikan stat selama induksi. Anestesi pemeliharaan diberikan sevoflurane dengan aliran oksigen dan N20 (3:1) kombinasi kontinyu propofol (4–12 cc/jam), ditambahkan suplemen fentanyl intermitten dan vecuronium kontinyu 0,06 mg/KgBB/jam.

Setelah intubasi dilakukan pemasangan kateter vena sentral (CVC) single lumen melalui vena basilica kanan dan arterial line pada arteri radialis kanan. Ventilasi kontrol dengan mesin anestesi dengan target PaCO2 disesuaikan dengan waktu

Gambar 3. Profil Tanda Vital dan Monitoring selama Pembedahan

Gambar 4. Pemasangan Klip pada Leher Aneurisma

Gambar 5. Pasien setelah Ekstubasi

Page 42: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

197 Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

dan kondisi pembedahan.Monitoring selama pembedahan dilakukan evaluasi terhadap tekanan darah sistolik, diastolik, tekanan arteri rerata, tekanan vena sentral, end tidal CO2, saturasi oksigen, gelombang EKG, pemasangan stetoskop prekordial, dan produksi urine melalui kateter urine. Posisi pasien selama pembedahan diposisikan lateral dengan diberikan ganjal pada ketiak dan head up 30o.

Dilakukan tindakan operatif kraniotomi, diseksi dan clipping aneurisma. Setelah durameter dibuka, diberikan mannitol dengan dosis 0.5 g/kgbb. Sebelum dilakukan direct clipping, dilakukan tehnik kontrol hipotensi tercapai target tensi turun rentang 20–30% dari tensi basal dengan diberikan nitrosin 10 mg drip titrasi yang diencerkan pada 100 cc normal salin. Tercapai penurunan tensi sampai 80/60 mmHg. Kemudian operator melakukan pemasangan klip pada leher aneurisma dan pemasangan klip memerlukan waktu sekitar 15 menit.

Setelah klip terpasang kemudian dilakukan eksplorasi perdarahan sudah berhenti dan ukuran sacus aneurisma mengecil maka tensi dikembalikan pada rentang nilai normal. Pembedahan berjalan sekitar 6 jam dengan perdarahan 300 cc digantikan dengan cairan koloid. Selama pembedahan rentang hemodinamik relatif stabil. Setelah tindakan pembedahan selesai dilakukan weaning dan rapid emergence dengan difasilitasi lidokain. Penilaian status neurologis pascapembedahan menunjukkan peningkatan dibanding sebelum pembedahan. Pengelolaan Pascabedah Pasca tindakan bedah, pasien dirawat di Unit Perawatan Intensif (Intensive Care Unit / ICU) selama 2 hari sebelum pindah ruangan. Pemberian

Output Input BalanceUrine 1800 cc NS 1200 cc Defisit 250 ccP e r d a r a h a n 300 cc

Mannitol 150 ccKoloid 500 cc

Tabel 2. Estimasi cairan selama pembedahan nimodipin tetap diteruskan sampai pasien pindah ruangan.

III. Pembahasan

Pada keseluruhan kasus, SAH mempunyai mortalitas 50%. SAH dengan penyebab aneurisma rata-rata mempunyai tingkat mortalitas 45% dalam 30 hari setelah onset. Sepertiga dari pasien yang hidup mengalami tingkat disabilitas sedang sampai berat, 10% diantaranya meninggal atau mengalami defisit neurologis berat setelah mendapatkan terapi. Hampir semua kasus yang meninggal diakibatkan oleh kejadian perdarahan ulang dan vasospasme pada 3 minggu pertama. Kejadian perdarahan ulang 2–4% pada 24 jam pertama pasca onset, 15–20% pada 2 minggu pertama pasca perdarahan pertama terjadi.1

Beberapa tanda khas dapat dilihat pada CT scan pasien dengan SAH, pola dari pendarahan pada cisterna basalis menunjukkan sumber dari perdarahan. Jika hasil CT- scan negatif maka dapat dilakukan diagnosis dengan melakukan punksi lumbal 6–12 jam pasca onset SAH, di literatur lain dituliskan setelah 12 jam sampai 4 hari.2,4 Cerebral angiography sampai saat ini merupakan pemeriksaan baku emas imaging pada kasus aneurisma intrakranial.2 Hasil pemeriksaan CT -scan pada kasus ini dilakukan segera setelah pasien masuk rumah sakit, didapatkan gambaran perdarahan akut di daerah cisterna basalis dominan kiri, fissura silvii kiri dan sulkus kortikal kiri. CT Angiografi didapatkan sakular aneurisma pada bifucartio arteri serebri media, sesuai dengan lokasi perdarahan. Hal ini sesuai dengan kebanyakan literatur yang mengemukakan bahwa terjadinya aneurisma terutama pada daerah bifucartio dari arteri karena adanya turbulensi aliran darah. Penyebab lain bisa karena trauma atau infeksi. Lokasi pada arteri serebri media dan percabangannya sesuai prevalensi dari literatur sekitar 80–90%.2 Diameter tranversal didapatkan 2,8 mm.

Gejala khas dari kejadian SAH adalah keluhan nyeri kepala yang hebat dan keluhan ini biasanya dijelaskan sebagai keluhan nyeri kepala yang paling buruk pernah diderita pasien.2 Pada kasus ini usia pasien 65 tahun dengan adanya riwayat

Page 43: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

198 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hipertensi yang tidak terkontrol dimana menurut literatur kejadian SAH yang disebabkan oleh pecahnya aneurisma memang sering terjadi pada usia dekade 5 dan 6. Wanita dengan riwayat hipertensi yang tidak terkontrol juga menjadi faktor resiko kejadian SAH. Pasien datang dengan keluhan utama nyeri kepala hebat disertai mual muntah dan sempat pingsan, hal ini merupakan keluhan patognomonis dari kejadian SAH. Selain itu didapatkan rasa kaku di daerah tengkuk dan leher (nucal rigidity), kemungkinan tanda meningism sudah ada. Pasien sempat mengalami kesulitan bicara yang kemungkinan bisa didapatkan juga gangguan pada saraf kranialis. Patofisiologi dari keluhan tersebut diakibatkan adanya peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak oleh karena penyebaran darah yang mengisi ruang subarachnoid bahkan sampai ventrikel otak. Adanya gumpalan darah dan produk degradasi sel darah akan memicu kejadian vasospasme.1 Ada 3 faktor yang menjadi prediktor mortalitas

Derajat Deskripsi KlinisI Tidak ada keluhan atau sakit kepala

minimal dan nuchal rigiditas ringan II Sakit kepala sedang sampai berat,

rigiditas nuchal, tidak ada defisit neurologis selain palsi saraf kranial

III Mengantuk bingung dan defisit focal ringan

IV Stupor, hemiparesis sedang sampai berat dan kemungkinan rigiditas deserabrasi dini dan gangguan vegatatif

V Koma dalam, rigiditas deserebrasi, kelihatan seperti mayat

Tabel 2. Grading SAH menurut Hunt dan Hess1

Tabel 3. Grading SAH menurut WFNS1

Derajat Skor GCS Motor Defisit*I 15 tidak adaII 13 atau 14 tidak adaIII 13 atau 14 tidak adaIV 7–12 ada atau tidak adaV 3–6 ada atau tidak ada

dan kecacatan akibat SAH: derajat kesadaran setelah serangan, usia tua dan besar volume perdarahan pada pemeriksaan CT scan pertama kali.2 Dilihat dari prediktor diatas, pasien datang dengan derajat kesadaran 14, usia tua dan volume dari SAH tidak terlalu besar maka diharapkan mortalitas dan kecacatan bisa rendah dengan kata lain prognosa baik. Hal ini dibuktikan dengan perawatan diruangan dan pemberian obat-obatan keluhan membaik dan derajat kesadaran relatif tetap.Klasifikasi klinis dari SAH ada beberapa kriteria, tetapi yang sering dipakai adalah Modified Hunt and Hess Clinical Grade dan World Federation of Neurological Surgeon’s Grade (WFNS).

Jika dilihat dari tabel diatas maka pasien termasuk kriteria Hunt dan Hess derajat II dan WFNS derajat II. Kondisi pasien dengan derajat tersebut menurut literatur masih mempunyai nilai rentang ICP dalam batas normal dan kemampuan autoregulasi otak masih intak.1-3 Penentuan kapan dilakukan tindakan oklusi tergantung dari beberapa pertimbangan. Banyak literatur mengemukakan pendapat yang berbeda-beda antara early (3 hari atau kurang) atau late (10 hari atau lebih). Setiap penentuan waktu tindakan mempunyai keuntungan dan kerugian masing-masing. Periode early mempunyai keuntungan menurunkan risiko perdarahan ulang tetapi akan didapatkan kondisi preoperatif yang tidak optimal. Sedangkan pada late akan didapatkan kondisi preopratif yang optimal dan relatif stabil tetapi kebanyakan pasien tidak survive ketika menunggu waktu pembedahan. Pada late akan diuntungkan kondisi otak yang relax dan metabolisme lebih stabil. Dari literatur outcome terburuk pada waktu 7–10 hari.2,3,5 Pelaksanaan pembedahan pada kasus ini pada hari ke 18 dengan mempertimbangkan beberapa kondisi. Pertama adalah kondisi pasien pada waktu datang dengan kondisi relatif baik (Hunt and Hess II) respon dengan obat-obatan memberikan hasil positif, keluhan berkurang dan derajat kesadaran relatif stabil. Kedua adalah pertimbangan ekonomi dan ketersediaan sarana prasarana dan operator.

Pada 60–70% pasien SAH mengalami komplikasi berupa vasospasme. Vasospasme

Page 44: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

199 Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

serebri umumnya terjadi pada hari ke 3 sampai 21 setelah SAH dan berlangsung selama 12–16 hari. Penyempitan lumen arteri pada vasospasme angiografi mulai terjadi pada hari ke 3 sampai ke 5 setelah SAH, menunjukkan penyempitan maksimal pada hari ke 5 sampai 14 dan membaik perlahan-lahan setelah minggu ke 2 dan ke 4. Vasospasme serebri secara klinis membaik hari ke 12 setelah SAH, dan secara radiografi biasanya membaik perlahan selama 3–4 minggu.6 Patofisiologi terjadinya vasospasme secara pasti belum jelas. Beberapa hipotesa yang mendasari mekanisme neuropatofisiologi vasospasme serebri antara lain: vasokonstriksi dependen ion kalsium (Ca2+) dan non dependen Ca2+, pelepasan produk-produk darah, reaksi radikal bebas, respon inflamasi dan apoptosis. Kondisi ini akan mengakibatkan morbiditas dan mortalitas SAH lebih tinggi.2,7

Berdasarkan mekanisme neuropatofisiologi tersebut telah mulai diperkenalkan beberapa terapi vasospasme meliputi: terapi triple H, nimodipin, magnesium sulfat, fasudil hydrochloride, trilizad mesylate dan erytropoetin. Dengan diperkenalkan pengobatan baru tersebut diharapkan mampu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas stroke SAH akibat vasospasme serebri.8 Terapi vasospasme pada pasien ini selama menunggu waktu pembedahan diberikan pengobatan nimodipin syringe pump kontinyu dengan dosis yang disesuaikan dengan hemodinamik pasien dengan rentang dosis antara 1–2 mg/jam. Mekanisme nimodipin sebagai agen antivasospasme adalah menghambat masuknya ion Ca+ kedalam sel melalui blokade kanal ion kalsium sehingga tidak terjadi depolarisasi dari sel otot polos. Pemberian dapat secara peroral atau kontinyu, dari literatur tidak ada perbedaan outcome diantara kedua cara tersebut. Pengaruh terhadap vasodilatasi sistemik hanya 5% saja pada pasien yang mendapat nimodipin. Kondisi hipotensi ringan menguntungkan pada waktu diperlukan tehnik hipotensi kendali sebelum clipping dan mengurangi penggunaan obat-obat lain.3

Untuk mendapat penilaian yang akurat tentang kondisi neurologis pasien dan tingkatan kelainan

klinis preoperatif, sebaiknya pengaruh obat-obatan preoperatif ditiadakan. Kunjungan preoperatif oleh dokter anestesi dengan penjelasan yang menyeluruh dapat meminimaisir penggunaan medikasi preoperatif. Namun demikian, pasien yang mengalami kecemasan, akan berakibat pada terjadinya peningkatan tekanan darah yang meningkakan risiko terjadinya perdarahan ulang. Disisi lain, obat-obatan premedikasi seperti barbiturat dan narkotik dapat menyebabkan terjadinya depresi respirasi, yang menyebabkan peningkatan aliran darah otak (Cerebral blood flow/CBF) dan volume darah otak (Cerebral blood volume/CBV). Oleh karena itu, pemberian obat-obatan ini harus diputuskan dengan bijaksana pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Pemberian obar-obatan premedikasi bersifat individual. Pasien dengan kondisi klinis yang baik dapat diberikan morfin, 1–5 mg, dan/atau midazolam, 1–5 mg, intravena untuk sedasi. Hasil terbaik dapat diperoleh dengan pemberian secara titrasi dengan peningkatan 1 mg.3 Karena tingkat kedaran pada pasien masih baik maka diberikan premedikasi peroral lorazepam 1 mg malam hari sebelum acara pembedahan. Literatur lain juga mendukung penggunaan golongan benzodiazepine dosis rendah sebagai obat premedikasi pada pasien dengan grading baik.2 Selain itu, pasien tetap dilanjutkan pemberian dosis reguler nimodipin dan deksametason.Kejadian pecahnya aneurisma saat induksi anestesi, walaupun jarang (dilaporkan sekitar 2%, tetapi kemungkinan lebih kecil dari 1% dengan teknik anestesi modern), biasanya ditimbulkan oleh peningkatan tekanan darah yang mendadak saat intubasi trakhea dan hal ini dapat meningkatkan mortalitas pasien.

Oleh karena itu, tujuan yang harus dicapai ketika dilakukan induski anestesi untuk pembedahan aneurisma adalah penurunan risiko ruptur aneurisma dengan meminimalisasi tekanan transmural (transmural pressure/TMP) bersamaan dengan pemeliharaan tekanan perfusi serebral (cerebral prefusion pressure/CPP) secara simultan. Idealnya, nilai TMP atau CPP harus dipertahankan seperti pada kondisi preoperatif selama periode induksi, khususnya pada pasien dengan kondisi klinis SAH yang bagus, walaupun

Page 45: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

200 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

hal ini tidak selalu memungkinkan.3 Induksi dan intubasi pada kasus ini dilakukan dengan prinsip proteksi otak, baik tehnik maupun pemilihan obat-obatan. Kombinasi obat-obatan dipilih yang mempunyai sifat proteksi otak, mencukupi target induksi dan minimal perubahan hemodinamik.2

Prinsip umumnya, tekanan darah pasien harus diturunkan hingga 20%–25% dibawah nilai normal, dan profilaksis untuk respon hipertensif yang normal saat intubasi harus dimulai sebelum tindakan intubasi dilaksanakan. Pasien dengan grading Hunt dan Hess I atau II seperti kasus diatas pada umumnya menpunyai ICP dalam rentang normal dan tidak mengalami iskemia sehingga rentang toleransi terhadap penurunan tekanan darah lebih lebar (30%–35% atau sistolik pada nilai 100 mmHg).3 Selama induksi dan intubasi pada pasien kasus ini tercapai target induksi dan penurunan tensi dalam rentang kompensasi. Obat-obatan anestesi yang dipilih adalah obat-obat yang termasuk golongan obat neuroanastesi. Untuk induksi anestesi pada kasus ini dipilih obat-obatan yang mempunyai efek proteksi otak. Midazolam digunakan sebagai kombinasi induksi dengan dosis 50 µg/kgbb untuk mengurangi kebutuhan obat anestesi lain dan memperdalam induksi. Propofol digunakan sebagai obat induksi karena memiliki efek proteksi otak. Tekanan intrakranial, aliran darah otak dan metabolism otak turun pada penggunaan propofol.9 Fentanyl digunakan sebagai kombinasi analgesik waktu intubasi. Literatur menyarankan kombinasi induksi dapat digunakan propofol (1,5–2 mg/kgbb) atau thiopental (3–5 mg/kgbb) dengan analgesik fentanyl (3–5 mg/kgbb) atau sulfentanyl (0,3–0,5mg/kgbb). Alternatif lain dengan mengkombinasikan etomidate dan midazolam.2-3

Pemberian disarankan titrasi dan melihat respon hemodinamik.

Lidokain berdasarkan literatur digunakan sebagai adjuvant proteksi otak. Pemberian lidokain menurunkan CMRO2 15–20%. Dosis yang direkomendasikan 1,5 mg/kgbb. Tujuan lain penggunaan lidokain untuk menurunkan respon hemodinamik sewaktu dilakukan tindakan intubasi.10 Pada kasus ini digunakan lidokain 75 mg intravena saat induksi dengan harapan tidak terjadi gejolak hemodinamik yang dapat

meningkatkan tekanan darah rerata dan lidokain mempunyai efek proteksi otak. Mekanisme lidokain dalam proteksi otak adalah menurunkan perpindahan ion transmembran, menurunkan laju metabolisme otak (cerebral metabolit rate/CMR), modulator aktifitas leukosit dan menurunkan pelepasan excitotoxin karena iskemia.11

Pelumpuh otot yang digunakan adalah rocuronium untuk induksi dosis 1 mg/kgbb dan vecuronium dosis rumatan 0,06 mg/kg/jam. Rocuronium mempunyai onset yang cepat sehingga tepat sebagai obat pelumpuh otot untuk intubasi. Vecuronium dipilih pada kasus ini karena tidak menyebabkan pelepasan histamin yang dapat menimbulkan gejolak hemodinamik dan tidak meningkatkan aliran darah ke otak yang dapat menyebabkan edema. Vecuronium juga mempunyai efek minimal atau tidak ada efeknya pada ICP, tekanan darah, denyut jantung dan efektif pada pasien dengan Space Occupying Lession (SOL) ataupun iskemia. Rocuronium merupakan alternatif terbaik karena onset cepat dan sedikit pengaruhnya pada dinamika intrakranial.12

Sevoflurane digunakan dalam kasus ini karena efek dari vasodilatasi serebral serta peningkatan CBF yang paling kecil diantara semua gas anestesi. Sevoflurane juga memiliki efek neuroprotektif berupa antiapoptosis.13 Penurunan curah jantung oleh sevoflurane juga lebih kecil dibandingkan isoflurane ataupun halothane sehingga menghindari pemberian cairan berlebih atau penggunaan vasokonstriktor. Ekstubasi setelah pemakaian sevofluran memfasilitasi dilakukan pemeriksaan neurologis dini.3,9 Kombinasi dengan syringe pump kontinyu propofol bertujuan mengurangi penggunaan anestetika inhalasi dalam dosis besar, diharapkan tidak lebih dari 1,5 MAC. Cottrel menyarankan pemeliharaan menggunakan kombinasi inhalasi dan intravena pada pembedahan aneurisma dengan grading yang masih baik.3

Target dari pemeliharaan anestesi pada pembedahan aneurisma pada literatur dijelaskan antara lain: 1. Tercapainya relaksasi otak (slack brain) untuk meminimalkan retraksi manuver,

Page 46: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

201 Tatalaksana Anestesi pada Direct Clipping Aneurisma Otak

2. Pemeliharaan CPP optimal terutama pada waktu periode iskemia, 3. Menurunkan TMP khususnya selama tindakan oklusi dan setelah oklusi, 3. Menghindari perubahan ICP yang mendadak, 4. Pasien cepat bangun dan dapat dilakukan penilaian status neurologis cepat.2,3 Strategi untuk tercapainya relaksasi otak pada pembedahan aneurisma mempunyai keunikan dan kekhususan tersendiri. Beberapa hal yang menjadi perhatian adalah pengaturan keseimbangan antara CPP, TMP dan ICP.

Pemberian manitol pada kasus ini dilakukan setelah tulang kepala terbuka sehingga tidak akan terjadi penurunan ICP yang mendadak karena otak slack dan TMP tidak akan meningkat mendadak sehingga kejadian pecahnya aneurisma ulang dapat dihindari. Begitu juga penatalaksanaan pengaturan ventilasi harus dibedakan antara pasien dengan good grade dan poor grade. Cottrel menyarankan hipokapanea ringan (30– 35 mmHg) sebelum dura dibuka, hipokapnea sedang (25–30 mmHg) ketika dura dibuka dan relatif normokapnea ketika kontrol hipotensi dan kliping.3 Hal tersebut dilakukan pada pasien kasus ini dengan asumsi respon terhadap CO2 masih baik.Pembedahan yang dilaksanakan adalah kraniotomi yang dilanjutkan disseksi dan direct clipping. Ketika tulang dan dura sudah dibuka maka tekanan pada dinding pembuluh darah sacus aneurisma berbanding lurus dengan nilai tekanan darah sistemik ( law of Laplace ).3 Untuk mencegah pecahnya sakus aneurisma maka dilakukan kontrol hipotensi. Untuk kasus ini digunakan titrasi drip nitrosin sehingga tercapai penurunan tensi 20–30%. Operator akan mudah melakukan diseksi dan pemasangan klip secara langsung. Pemilihan kliping langsung kemungkinan karena bentuk dan ukuran aneurisma kecil dan pada lokasi yang relatif tidak sulit. Setelah klip terpasang tensi sistemik dikembalikan pada tensi rentang normal tinggi supaya perfusi optimal.Tujuan dan pertimbangan untuk dilakukannya rapid emergence pada kasus ini adalah agar penilaian status neurologis pasca pembedahan dapat segera dilakukan. Pembedahan berjalan kurang dari 7 jam, perdarahan relatif tidak banyak, pelaksanaan kliping dalam rentang waktu yang tidak lama (15 menit) dan modal derajat

kesadaran preoperatif baik, maka diputuskan untuk dilakukan rapid emergence. Untuk menghindari batuk dan perubahan hemodinamik mendadak selama ekstubasi difasilitasi dengan pemberian lidokain. Pasca pembedahan tetap diberikan syringe pump kontinyu nimodipin karena kemungkinan kejadian vasospasme pasca pembedahan masih tinggi.

IV. Simpulan

Perdarahan subarachnoid (SAH) merupakan kejadian yang cukup fatal, berefek pada banyak organ lain selain susunan saraf pusat. Tujuan utama dari terapi adalah mencegah terjadinya perdarahan ulang dengan cara melakukan kliping atau coiling aneurisma. Dokter anestesi harus mengetahui etiologi, patofisiologi dan komplikasi SAH. Pengetahuan yang baik tentang manajemen pemeliharaan homeostasis dan CPP–TMP yang efektif, pencegahan peningkatan ICP, pembengkakan otak dan vasospasme serebral pada semua fase dalam tindakan anestesi merupakan hal yang penting bagi dokter anestesi. Vasospasme adalah kontibutor utama pada morbiditas dan mortalitas postoperatif pasien SAH, dan harus secara aktif dievaluasi dan ditangani secara agresif. Dokter anestesi mempunyai peranan yang sangat penting dalam manajemen secara keseluruhan pada pasien ini untuk memberikan manajemen anestesi proteksi otak yang maksimal selama pembedahan sehingga memperoleh hasil akhir pembedahan yang sukses.

Daftar Pustaka

1. Priebe HJ. Aneurysmal subarachnoid haemorrhage and the anaesthetist. Br. J. Anaesth 2007. 29;102–18.

2. Daniel C. Subarachnoid haemorrhage disease and the anaesthetist. S Afr J Anaesthesiol Analg 2010; 16(1):60–8.

3. Pong RP, Lam AM. Anesthetic management of cerebral aneurysm surgery. Dalam: Cottrel JE, Young W, eds. Cottrel and Young’s Neuroanesthesia. Edisi 5. USA: Mosby Inc; 2010:13: 218–41.

Page 47: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

202 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

4. Bederson JB, Connolly ES, Batjer HH, Dacey RG, Dion JE, Diringer MN, et all. Guidelines for the management of aneurysmal subarachnoid hemorrhage. Stroke.2009;40:994-1025.NHS Foundation Trust.

5. Vrsajkov V, Kolak R, Urambenka A, Uvelin A, Kiselicki J. Anesthesia, complication, and clinical outcome for ruptured intracranial aneurysm. Turk J Med Sci 2012; 42 (3):477–83.

6. Harrod, CG, Bendok BR, Batjer HH. Prediction of cerebral vasospasm in patients presenting with aneurysmal subarachnoid hemorrhage: a review. Northwestern University Feinberg School of Medicine, Department of Neurological Surgery 2005:. 56.( 4).

7. Sabri M, Kawashima A, Ai Jinglu, Macdonald RL. Neuronal and astrocytic apoptosis after subarachnoid hemorrhage: a possible cause for poor prognosis. Division of Neurosurgery. University of Toronto. Canada. Brain Res. 2008; 31: 163–71

8. Janjua, Nazli M, Stephan A. Cerebral

vasospasm after subarachnoid hemorrhage. Current opinion in critical care. 2003; 9:113–19.

9. Rao GSU. Anaesthetic management of supratentorial intracranial tumors. ISSN 2005; 311(2): 4.

10. Lalenoh D, Bisri T, Yusuf I. Brain protection effect of lidocaine measured by interleukin-6 and phospholipase A2 concentration in epidural haematoma with moderate head injury patient. J Anesth Clin Res 2014;5(3):1–3.

11. Menon G, Nair S, Bhattacharya RN. Cerebral protection – Current concepts. IJNT 2005; 2(2):67–79.11.

12. William F, Chandler. Management

of suprasellar meningioma. J Neuro-Ophthalmology 2003; 23(1): 1–2.

13. Ravussin PA, Smith W. Supratentorial mass: anesthetic considerations. Dalam: Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery. Edisi 4. St. Louis:Mosby; 2001; 15: 297–313.

Page 48: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

203

Penatalaksanaan Anestesi untuk Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

Bau Indah Aulyani*), Sri Rahardjo**), Siti Chasnak Saleh***)

*)Departemen Anestesi, Perawatan Intensif dan Manajemen Nyeri Rumah Sakit Awal Bros Makassar**)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada–RSUP Dr. Sardjito Yoyakarta, ***)Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga–

RSUD Dr. Soetomo SurabayaAbstrak

Operasi tumor fossa posterior mempunyai permasalahan spesifik antara lain penekanan jalur aliran cairan serebrospinal sehingga terjadi hidrosefalus yang akan meningkatkan tekanan intrakranial. Seorang wanita 25 tahun, berat badan 52 kg masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama kepala pusing yang dialami sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit disertai mual, muntah, telinga rasa berdengung, dan nyeri ulu hati. Hasil pemeriksaan MSCT kepala axial tanpa kontras ditemukan hidrosefalus non-communicating, tumor serebellum hemisfer kanan, curiga astrositoma, diagnosis banding medulloblastoma. Pada pemeriksaan MSCT kepala potongan aksial, coronal dan sagittal dengan kontras ditemukan massa tumor daerah fossa posterior, sangat mungkin suatu pilokistik serebelar astrositoma disertai hidrosefalus ringan, didiagnosis hidrosefalus tipe obstruksi dan tumor serebellum serta ditemukan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial dengan hidrosefalus, sehingga dilakukan pemasangan VP-shunt sebelum eksisi tumor. Teknik anestesi dilakukan dengan metode untuk mempertahankan perfusi otak sambil memelihara otak tetap rileks demi memfasilitasi pembedahan seperti hiperventilasi, pemberian mannitol 20% dan mempertahankan MAP yang adekuat. Operasi VP-shunt dalam posisi supine dan operasi fossa posterior dalam posisi prone berlangsung selama 4,5 jam. Dilakukan penundaan ekstubasi postoperatif. Ekstubasi dilakukan keesokan harinya di unit perawatan intensif. Pasien tersedasi dan terventilasi selama 14 jam. Tidak ditemukan adanya emboli udara vena. Pasca ekstubasi, pernapasan adekuat, hemodinamik stabil, dan tidak ada gangguan neurologis yang signifikan.

Kata kunci: tumor fossa posterior, hidrosefalus, VP shunting, posisi prone, emboli udara vena

JNI 2015;4(3): 203–11Management of Anesthesia for Fossa Posterior Tumor with Hydrocephalus Surgery

Abstract

Fossa posterior tumor removal procedure may have spesific problem including obstruction of cerebral spinal fluid pathway, development of hydrocephalus and an increased intracranial pressure. A 25 year old woman, 52 kgs, admitted to the hospital with major complaint of dizziness occurred approximatelly 5 hours prior to hospital admission. The patient also suffered from nausea, vomiting, buzzing hearings, and heartburn sensation. The non-contrast MSCT revealed a non-communicating hydrocephalus, tumor of the right cerebellar hemisphere, suspected as astrocytoma with differential diagnosis of medullablastoma. From axial, coronal and sagittal view of MSCT with contrast, a tumor mass was found in the posterior fossa, and most likely to be considered as a polycystic cerebellar astrocytoma with mild hydrocephalus. She was diagnosed with obstructive type of hydrocephalus and cerebellar tumor with increased intracranial pressure signs due to hydrocephalus, and planned for VP shunt prior to the tumor removal. To maintain brain perfusion as well as to ensure brain relaxation, anesthesia management was done with several methods such as hyperventilation, administration of mannitol 20%, while maintaining adequacy of MAP. The VP shunting was conducted in supine position, whilst the posterior fossa excision in conducted in prone position. Both procedures were done in 4.5 hours. Postoperative extubation was postponed until the following day at the intensive care unit. The patient was sedated and ventilated for 14 hours. No sign of venous air embolisms. Post extubation on the next day, the patient’s breathing and hemodynamic statuses were both stabile and adequate, with no significant neurological defect.

Key words: fossa posterior tumor, hydrocephalus, VP shunt, prone position, venous air embolisme

JNI 2015;4(3): 203–11

Page 49: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

204 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

I. Pendahuluan

Fossa posterior dengan ribuan struktur saraf dan vaskuler yang melintasinya merupakan suatu tantangan bagi ahli anestesi karena anestesi untuk operasi pada daerah ini bertujuan untuk memfasilitasi akses pembedahan, meminimalkan cedera jaringan, serta memelihara stabilitas respirasi dan kardiovaskuler.1-2 Prosedur pembedahan yang paling sering pada daerah ini adalah eksisi tumor fossa posterior, koreksi anomali craniovertebral junction kongenital dan akuisita, dan prosedur pembedahan untuk mengurangi tekanan pada batang otak. Tumor pada fossa posterior berkisar 54–70% pada anak-anak dan hanya 15–20% pada orang dewasa. Pada anak di bawah umur 18 tahun operasi fossa posterior yang paling sering adalah astrositoma serebellum, medulloblastoma, dan glioma batang otak. Perbaikan angka mortalitas dan morbiditas pembedahan fossa kranialis posterior mulai membaik sejak diterapkannya diagnosis dini dengan CT-Scan, serta semakin majunya teknik pembedahan dan anestesi.2, 3

II. Kasus

Seorang wanita 25 tahun, berat badan 52 kg, tinggi badan 152 cm, masuk ke rumah sakit dengan keluhan utama kepala pusing yang dialami sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini disertai mual, muntah, telinga rasa berdengung, dan nyeri ulu hati. Didiagnosis dengan hidrosefalus tipe obstruksi dan tumor serebellum.

Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan fisik ditemukan keadaan umum GCS 15, tekanan darah 120/80 mmHg, laju jantung 90 kali per menit.

Pemeriksaan PenunjangLaboratorium darah menunjukkan Hb 14,80 g/dl, leukosit 11,5 ribu/UL, trombosit 365 ribu/µL, hitung jenis eosinophil 0,323%, netrofil 78,6%, limfosit 15,5%, monosit 4,77%, PT 13,7 detik, APTT 27,5 detik, SGOT 15 U/L, SGPT 14 U/L, ureum 16 mg/dL, kreatinin 0,4 mg/dL, asam urat 4,3 mg/dL, kolesterol total 192 mg/dL,

Gambar 1. MSCT kepala aksial

trigliserida 34 mg/dL, HbA1C 5,3%, gula darah sewaktu 109 mg/dL.Pada pemeriksaan foto toraks tidak ada kelainan pada jantung dan paru, kedua sinus dan diafragma baik. Pada pemeriksaan MSCT kepala aksial tanpa kontras ditemukan hidrosefalusnon-communicating, tumor serebellum hemisfer kanan, curiga astrositoma, diagnosis banding medulloblastoma. Pada pemeriksaan MSCT kepala potongan axial, coronal dan sagittal dengan kontras ditemukan massa tumor daerah fossa posterior, sangat mungkin suatu pylocystic cerebellar astrocytoma disertai hidrosefalus ringan.

Pengelolaan AnestesiPasien posisi supine, sebelum induksi dilakukan hiperventilasi volunter. Pasien diinduksi dengan fentanyl 100 µg dan campuran propofol 100 mg dengan lidokain 2% 40 mg. Setelah itu diberikan rocuronium 30 mg, dan lidokain 1% 40 mg. Dilakukan intubasi dengan pipa endotrakhea non kinking no. 6,5. Pemeliharaan anestesi dengan oksigen : udara = 3 L/menit : 2 L/menit, isofluran 1-1,5 vol%, propofol intravena kontinyu 100-140 mg/jam. Selama operasi diberikan tambahan fentanyl 30-50 µg saat akan dilakukan injeksi anestesi lokal, insisi, dan setiap intermitten 30 menit, serta vecuronium 1-1,5 mg/jam. Ventilator diatur dengan tidal volume 340 cc, pernapasan 12 kali per menit, I : E = 1: 2. Sebelum operasi dimulai dilakukan pemasangan kateter vena sentral di vena subklavia kanan.

Page 50: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

205 Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

Sebelum prosedur eksisi tumor fossa posterior, dilakukan prosedur pemasangan VP-shunting yang berlangsung selama 1jam. Prosedur eksisi tumor fossa posterior dilakukan dengan posisi tengkurap (prone), dan berjalan selama 3 jam 30 menit, dengan cairan intraoperatif terdiri dari Ringerfundin (RF) 1500 cc, NaCl 0,9% 300cc, PRC 250 cc, dan mannitol 20% 150 cc. Tekanan arteri rata-rata intraoperatif dalam kisaran 70–85 mmHg. Total produksi urin 1400 cc, dengan perdarahan 1000 cc. Ekstubasi ditunda selama 14 jam pascabedah dan pasien dirawat di ICU. Di ICU, pasien terventilator dengan mode PCMV, frekuensi napas 12 x/menit, pressure control 8–12 mmHg, dan FiO2 60–75%. Pasien di weaning bertahap sampai akhirnya dilakukan ekstubasi. Setelah ekstubasi, pernapasan adekuat, hemodinamik stabil dan tidak ada gangguan neurologis.

III. Pembahasan

Anatomi Fossa Cranial PosteriorDasar tulang tengkorak dibagi menjadi fossa kranialis anterior, medial, dan posterior. Fossa posterior merupakan area yang paling luas dan paling dalam serta mengandung banyak struktur-struktur vital. Lantai fossa posterior terdiri dari tulang sfenoid, oksipital, dan temporal. Tulang oksipital terpisah dari tulang parietalis melalui sutura lambdoideus di bagian superior, sementara sutura oksipitomastoideus memisahkan tulang oksipital dengan tulang mastoid yang merupakan bagian dari tulang temporal. Fossa posterior terpisah dari fossa medialis di bagian tengah oleh dorsum sellae tulang sfenoid dan di bagian tengah oleh tulang temporal petrosa. Di bagian posterior dan inferior berbatasan dengan foramen magnum.3

Struktur penting pada fossa kranialis posterior terdiri dari serebellum, pons, dan medulla oblongata. Ada dua lapisan dura pada area ini, yaitu tentorium serebelli dan falx serebelli. Selain itu, terdapat sinus vena yang sangat penting yaitu sinus transversus kiri dan kanan yang akhirnya bermuara pada sinus sagitalis posterior yang akhirnya mengalir ke sinus sigmoid kanan dan kiri dan berakhir di vena jugularis interna setelah keluar dari fossa posterior. Pada lantai fossa posterior

juga terdapat struktur penting seperti foramen magnum, meatus akustikus interna (dilalui oleh nervus fasialis dan vestibulokoklearsis), kanalis kondilar (dilalui oleh nervus hipoglossus dan cabang meningeal arteri farineal assendens) dan foramen jugular (vena jugularis interna serta nervus glossofaringeal, vagus, dan nervus aksesorius).3

Tumor Fossa PosteriorTumor fossa posterior berkisar 20% dari tumor otak pada pasien dewasa. Selain itu, fossa posterior merupakan lokasi tersering tumor otak pada anak-anak. Lesi neoplastik fossa posterior sering diklasifikasikan berasal dari kompartemen anterior atau posterior. Tumor kompartemen anterior dibagi menjadi intra-aksial dan ekstra-aksial. Tumor kompartemen anterior intra-aksial yang paling sering adalah glioma, sementara tumor ekstra-aksial yang tersering berasal dari sudut serebello-pontin (schwannoma akustikus, meningioma, tumor dan kista epidermoid, tumor dan metastasis glomus). Tumor kompartemen posterior dominan intra-aksial, dan yang paling sering adalah astrositoma serebellar (paling sering pada anak-anak), medulloblastoma (tersering kedua pada anak-anak), ependymoma, haemangioblastoma, limfoma, dan metastatsis.3, 4

Pertimbangan Anestesi pada Prosedur Fossa PosteriorPosisi pasien yang optimal harus memfasilitasi akses pembedahan tanpa membahayakan pasien. Hal penting yang harus diingat adalah akses pembedahan, pemeliharaan patensi jalan napas, pemeliharaan kedalaman anestesi yang adekuat, oksigenasi dan stabilitas hemodinamik. Hal penting lain adalah pemasangan pemantauan invasif dan kateter intravena, serta proteksi cedera kulit, saraf perifer, tekanan pada organ yang sensitive seperti mata. Perhatian khusus harus diprioritaskan juga dalam “fase blackout”, yaitu saat pasien tidak terpantau atau tidak terhubung dengan sirkuit pernapasan selama proses transfer atau pengaturan dan perubahan posisi di meja operasi. Bahaya selama proses pengaturan dan perubahan posisi dapat dikurangi dengan perencanaan yang matang, pengaturan posisi yang hati-hati, serta deteksi dini komplikasi yang

Page 51: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

206 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

bisa terjadi.2-5 Tantangan khusus anestesi prosedur fossa posterior antara lain:1. Struktur vital dalam fossa posterior, utamanya

batang otak, saraf kranialis, dan serebellum.2. Ruang fossa posterior yang sempit3. Posisi dan anatomi lesi yang tidak tentu

sehingga menyulitkan akses pembedahan4. Durasi pembedahan yang relatif lebih lama

dengan posisi ekstrim 5. Kemungkinan terjadinya hidrosefalus3, 6

Persiapan dan Pemeriksaan PreoperatifPrinsip dasar pemeriksaan kesehatan pasien secara umum serta riwayat medis yang detail mengenai gejala yang terkait komplikasi lesi fossa posterior harus dilakukan secara teliti.3 Status fisik pasien, utamanya yang terkait stabilitas kardiovaskuler dan pulmonal serta manajemen jalan napas merupakan hal yang paling penting selama periode preoperatif.1

Pemeriksaan neurologi yang perlu diperhatikan pada pasien yang akan menjalani operasi fossa posterior dapat dilihat pada Tabel 1.7 Pada pasien dengan gangguan perfusi serebral, fungsi baroreseptor yang abnormalakibat hipertensi, penyakit kardiovaskuler, gangguan serebrovaskuler, atau riwayat carotid endarterectomy, kejadian hipotensi selama anestesi terutama dengan posisi head-up sering terjadi. Deplesi volume intravaskuler bisa diperberat oleh asupan oral yang kurang, diuresis supine, muntah, dan pemberian zat kontras untuk keperluan diagnostik. Pemberian cairan intravena secara inkremental sebelum induksi dapat

Tanda-tanda peningkatan tekanan intraktranial

Gangguan derajat kesadaranMual dan muntahPapiledema

Tanda-tanda disfungsi batang otak

Gangguan pola napasSleep apnea

Tanda-tanda disfungsi saraf kranialis

DisfagiaGangguan refleks menelanPerubahan fonasi

Tanda-tanda disfungsi serebral

AtaksiaDismetria

Tabel 1. Karakteristik yang Harus Diperhatikan Selama Periode Preoperatif 7

membantu mencegah hipotensi selama induksi anestesi serta saat pengaturan dan perubahan posisi. Pemasangan stocking yang ketat pada kaki akan mencegah penumpukan (pooling) darah vena di ekstremitas bawah. Pemeriksaan akses vaskuler sebagai jalur kateter atrium kanan sebaiknya dilakukan karena sangat berguna selama proses operasi. Pasien yang obesitas, kondisi vaskuler yang buruk akibat penyakit atau kanulasi intravena kronik, atau memiliki leher yang tebal dan sebaiknya diidentifikasi lebih dini sehingga pemasangan kateter vena bisa dilakukan lebih awal. Beberapa penulis mengharuskan pemeriksaan ekhokardiografi untuk mendeteksi patent foramen ovale (PFO) pada pasien yang direncanakan operasi dengan posisi head-up. Posisi alternatif untuk pasien dengan PFO akan mengurangi kejadian paradoxical air embolism (PAE).

Beberapa institusi menggunakan transesophageal echocardiography (TEE) selama anestesi, namun tidak sensitif 100% dalam mendeteksi PFO.1 Pada pasien dalam kasus ini tidak dilakukan pemeriksaan echocardiography saat preoperatif dan tidak dilakukan pemasangan TEE selama operasi berlangsung. Pemeriksaan radiologi otak sangat berguna dalam mendeteksi hidrosefalus atau peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Pada pasien ini ditemukan adanya hidrosefalus ringan dari hasil CT-scan kepala aksial. Gejala dan tanda palsi nervus fasialis (seperti gangguan refleks menelan atau batuk) merupakan risiko aspirasi pascabedah, namun pada pasien ini tidak ditemukan. Pada pasien ini ditemukan tinnitus yang sudah dikeluhkan lebih dari 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Gejala-gejala terkait lokalisasi lesi pada batang otak dan serebellum (ataksia, nystagmus, dll.) sebaiknya diidentifikasi dengan baik.3,6 Abnormalitas craniovertebral junction bisa mengarah ke instabilitas spine atau gangguan pergerakan leher sehingga menjadi tantangan dalam menjaga patensi jalan napas untuk anestesi. Pada anak-anak, komplikasi tumor fossa kranialis posterior seperti diabetes insipidus, dehidrasi hingga ganguan elektrolit dapat terjadi.3 Pada pasien ini tidak ada abnormalitas craniovertebral junction.

Page 52: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

207 Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

Pemantauan Umum Selama Prosedur AnestesiTujuan pemantauan adalah untuk menjamin perfusi sistem saraf pusat yang adekuat, memelihara stabilitas kardiovaskuler, dan mendeteksi serta menangani emboli udara. Tabel 2 memperlihatkan pemantauan yang digunakan sesuai dengan posisi pasien. Pemantauan yang tidak digunakan secara rutin, namun memberikan informasi yang penting selama prosedur ditandai dengan asterisk (*). Tidak semua pemantauan “rutin” yang diperlihatkan oleh tabel selalu digunakan selama prosedur fossa posterior.1

Preinduksi dan Induksi• Elektrokardiogram 5-lead• Pemantauan tekanan darah• Oksimetri Nadi• Stetoskop Prekordial• Pemantauan ETCO2

• Pemantauan Elektrofisiologi*Pasca-Induksi• Kateter vena sentral (atrium kanan,

arteri pulmonal)• Precordial Doppler ultrasound probe• Steteskop esofageal• Probe suhu esofageal atau nasofaringeal• Pemantauan ETCO2 dan ETN2

• Ekhokardiogram transesofageal*

Tabel 2. Pemantauan untuk Pembedahan Fossa Posterior1

Untuk pembedahan kepala dan leher, beberapa klinisi memilih pemasangan kateter vena sentral di lengan bawah atau fossa antekubiti, umumnya melalui vena basilica setelah induksi anestesi. Pada pasien dengan vena kecil, teknik Seldinger yang dimodifikasi dapat digunakan untuk pemasangan kateter atrium kanan khusus atau kateter angiografi pulmonal. Posisi head-down yang lama dan rotasi kepala untuk pemasangan kateter vena jugularis sebaiknya diminimalkan karena manuver ini akan mengurangi perfusi darah serebral. Alat ultrasound Doppler khusus dapat digunakan untuk memandu identifikasi

*Tidak rutin namun menyediakan informasi khusus selama prosedur tertentu

vena jugularis atau subklavia sebelum insersi jarum. Kapanpun kateter ditempatkan melalui jalur leher atau subklavia, daerah insersi sebaiknya didesinfeksi dengan bakteriostatik dan ditutup dengan baik demi mencegah jebakan udara, khususnya pada pasien dengan posisi head-up. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah dalam memasang atau melepaskan jalur sentral sebaiknya saat posisi head-down. Jangan pernah posisi head-up, karena emboli udara dilaporkan lebih banyak pada posisi head-up. Pada kasus ini, jalur vena sentral dipasang melalui vena subklavia kanan setelah induksi anestesi dengan posisi head-down.1,5

Pada posisi tengkurap (prone), sesuai pada kasus ini, insiden emboli udara sangat kurang. Namun demikian, kepala pasien sebaiknya lebih tinggi dari jantung demi mengurangi perdarahan vena, sehingga risiko emboli udara masih bisa terjadi. Akses ke struktur fossa posterior superior dan manipulasi kepala lebih menguntungkan pada posisi duduk dibanding tengkurap. Posisi duduk juga menawarkan kondisi operasi yang lebih baik untuk dekompressi servikal tinggi, namun risiko fleksi leher dan beban berat kepala yang lebih berbahaya. Saat pasien dengan posisi elevasi kepala, penempatan bahu tepat di tepi meja operasi bagian belakang akan mencegah kompressi wajah oleh tepi meja operasi bagian depan. Kompressi mata bisa menyebabkan kebutaan akibat thrombosis arteri retina dan risiko ini lebih besar pada posisi prone dan lateral, terutama bila menggunakan bantalan wajah. Edema konjungtiva merupakan konsekuensi ringan posisi prone yang bisa pulih dengan cepat. Pooling vena yang cukup mengganggu aliran balik vena (venous return) dapat terjadi pada ekstremitas bawah bila lebih rendah dari atrium kanan. Pada usia lanjut, pasien seringkali tidak dapat mentoleransi hipotensi berat selama perubahan posisi supine ke tengkurap meskipun berlangsung singkat. Karena itu, selama perubahan posisi pemantauan EKG dan tekanan darah sebaiknya jangan dihentikan.1, 4, 8

Kerugian utama pada posisi tengkurap adalah penekanan diafragma pada pasien obesitas, sehingga membatasi akses jalan napas dan membuat resusitasi kardiopulmonal tidak efektif.

Page 53: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

208 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Diafragma sebaiknya tidak tertekan dengan membuat dada bebas. Abdomen dan pelvis sebaiknya ditopang parsial pada semua pasien tanpa terkecuali.1, 5

PremedikasiPemberian premedikasi pembedahan tergantung individu pasien, seperti status fisik, peningkatan tekanan intrakranial (TIK), dan derajat kegelisahan pasien. Antihipertensif jangka-panjang harus tetap dilanjutkan, kortikosteroid dan antibiotik umumnya rutin diberikan oleh ahli bedah saraf. Premedikasi narkotik sebaiknya dihindari pada pasien dengan space occupying lesions atau hidrosefalus akibat oklusi ventrikel ke empat sehingga menyebabkan hipoventilasi dan retensi CO2 yang akhirnya meningkatkan TIK. Benzodiazepin oral yang diberikan 60–90 menit sebelum pasien tiba di kamar operasi efektif mengurangi kegelisahan dan tidak memiliki efek signifikan terhadap TIK. Namun demikian, saat ini hampir semua pasien datang ke rumah sakit tepat pada hari operasi, sehingga tidak ada premedikasi diberikan hingga tiba di kamar operasi.1,2 Pasien pada kasus ini hanya diberikan midazolam (benzodiazepine) intravena di ruang operasi sesaat sebelum induksi dilakukan.

Induksi AnestesiPemantauan tekanan darah arteri secara langsung yang dilakukan sebelum induksi anestesi akan sangat membantu dalam kontrol tekanan darah dan tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) selama induksi anestesi dan intubasi, khususnya pada pasien dengan risiko peningkatan TIK. Namun demikian, pada pasien ini tidak dilakukan. Penggunaan narcotic-based dosis rendah (4–6 μg/kg fentanyl) disertai pelumpuh otot dengan anestetik inhalasi 0.5–1.0 MAC setelah induksi intravena dengan thiopental atau propofol akan menghasilkan analgesia dan amnesia yang adekuat, terjaganya aktivitas sistem saraf otonom, serta pasien lebih cepat bangun setelah anestetik inhalasi dihentikan. Dengan demikian pemeriksaan neurologis bisa dilakukan segera setelah pasca bedah. Penggunaan infus propofol kontinyu (50–100 μg/kg/min) sering memberikan akses pembedahan yang lebih baik dibanding zat anestetik inhalasi tunggal.1, 5,9 Pada

kasus ini, meskipun digunakan fentanyl dosis 2 μg/kg, analgesia tampaknya tercapai dengan baik begitu pula dengan stabilitas hemodinamik. Obat penghambat β-Adrenergic dan vasodilator kerja-langsung bisa digunakan secara tunggal atau kombinasi untuk menangani peningkatan tekanan darah. Kebutuhan akan vasopressor biasanya setelah induksi anestesi atau saat perubahan posisi, khususnya pada pasien dengan hipertensi kronik atau pasien yang lemah. Obat kerja singkat seperti bolus efedrin atau fenilefrin kerja singkat biasanya efektif. Pada kasus tertentu, meskipun jarang, setelah seluruh gangguan seperti hypovolemia telah diatasi, infus inotropik kadang diperlukan selama prosedur pembedahan, namun mekanisme dasar penyebab masalah harus diketahui.1Aritmia jantung juga sering terjadi selama manipulasi batang otak. Bradikardi merupakan aritmia yang paling sering terjadi. Terapi dengan glikopirolat, atropin, atau efedrin dapat diberikan.4,7 Pada kasus ini, tidak terjadi lonjakan hemodinamik, baik peningkatan tekanan darah maupun penurunan tekanan darah yang signifikan. Karena itu, tidak ada penggunaan penyekat Beta, vasodilator, maupun vasopressor. Bradikardi sempat terjadi dua kali, namun segera hilang dengan penghentian sementara manipulasi oleh operator.Verifikasi penempatan ETT yang tepat setelah perubahan posisi, namun sebelum insisi pembedahan termasuk hal penting dalam penatalaksanaan anestesi. Akses jalan napas selama periode intraoperatif akan terbatas karena dekat dengan daerah operasi, fleksi atau ekstensi leher bisa menggeser ETT ke kaudal atau sefalad kira-kira sekitar 2 cm. Palpasi cuff ETT di atas sternal notch merupakan manuver yang dapat dilakukan selama intraoperatif.1 Tidak ada pergeseran ETT yang terjadi selama proses anestesi dan operasi berlangsung pada kasus ini.Pada kasus ini, dilakukan pemasangan VP-shunt sebelum operasi demi menurunkan TIK akibat komplikasi hidrosefalus. Tindakan untuk menurunkan TIK ini sangat berguna demi mencapai relaksasi otak sehingga menjamin kondisi pembedahan yang optimal. Tindakan penurunan TIK juga dapat dilakukan dengan mannitol.7

Page 54: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

209 Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

Pemeliharaan AnestesiVentilasi dengan mode kontrol tekanan-positif disertai paralisis seperti pada pasien di kasus ini memiliki beberapa manfaat, antara lain:pemeliharaan kedalaman anestesi yang dangkal, hiperventilasi akan menurunkan PaCO2 sehingga menurunkan stimulasi simpatis dan tekanan darah pada setiap kedalaman anestesi yang diberikan, vasokonstriksi serebral, perdarahan sedikit, penurunan TIK, depresi kardiovaskuler yang rendah karena penurunan kedalaman anestesi, pergerakan pasien terbatas.1

Hipotermia intraoperatif sebaiknya dihindari. Pada pasien ini dipasang warmer blanket selama operasi berlangsung. Pemberian cairan intravena yang lebih liberal sering diperlukan pada prosedur dengan posisi tengkurap dan head-up karena relaksasi vena kapasitans (penampung) ekstremitas bawah sehingga menyebabkan pooling vena. Pooling ini bisa dicegah dengan stocking kompressi pre-operatif, namun bisa terjadi kehilangan cairan dari intravaskuler ke ekstravaskuler seiring dengan waktu. Jika diberikan cairan dalam jumlah besar selama pembedahan, furosemide profilaksis (5–10 mg) akan menyebabkan diuresis pascabedah dan kelebihan cairan akan diabsorbsi ke dalam ekstravaskuler. Larutan yang mengandung gula tidak digunakan karena efek hiperglikemia yang berbahaya pada daerah otak yang berisiko mengalami iskemia serebral.1 Pada kasus ini, tidak diberikan larutan yang mengandung gula. Diuretik yang digunakan adalah mannitol.Pemberian diuretik osmotik dan loop diuretic untuk reseksi tumor dan prosedur vaskuler bisa mempredisposisi pasien dengan posisi duduk mengalami gangguan elektrolit atau instabilitas hemodinamik akibat hipovolemia. Komplikasi pneumosefalus juga bisa bertambah parah. Selain itu, pemberian cairan koloid intravena tepat untuk memelihara CPP dan mungkin meninimalkan efek dehidrasi serebral akibat diuretik.

Pemulihan AnestesiTujuan anestesi selama pemulihan adalah untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba, bangun cepat, kembalinya kekuatan motorik, dan meminimalkan batuk dan penekanan pada

ETT. Tercapainya ekstubasi pascabedah yang lebih cepat ditentukan oleh sifat dan lama pembedahan (seperti manipulasi batang otak yang berlebihan sehingga mudah terjadi edema batang otak atau cedera batang otak pasca bedah akibat kesulitan reseksi tumor). Jika manipulasi struktur medullar sangat berlebihan atau terjadi edema yang signifikan, pengambilalihan jalan napas harus dipertahankan hingga pasien bangun, ikut perintah, dan menunjukkan kembalinya refleks proteksi jalan napas. Tambahan sedasi sering diperlukan saat tahap pemulihan tercapai. Hipertensi pascabedah persisten pada pasien dengan normotensif preoperatif menjadi peringatan bagi ahli anestesi akan kemungkinan kompressi, iskemia, atau hematoma batang otak.1

Pemulihan anestesi sebaiknya smooth. Batuk dan ketegangan sebaiknya dihindari selama ekstubasi ETT. Jika pasien ingin dibangunkan lebih dini, pemantauan neurologis pascabedah harus ketat. Gagalnya pemulihan pasien dari anestesi harus segera diselidiki dengan pemeriksaan diagnostik seperti CT-Scan untuk menilai komplikasi yang terjadi.3 Hipotermia, hipertensi, dan gangguan koagulasi, durasi operasi yang lama, serta edema otak intraoperatif bisa menjadi alasan penundaan ekstubasi.10 Pada kasus ini, operasi berlangsung lama sehingga ekstubasi ditunda hingga 14 jam.

Emboli Udara Vena (Venous Air Embolism/VAE)VAE hampir selalu terjadi pada prosedur fossa posterior dengan posisi duduk karena udara mudah masuk pada tekanan sub-atmosfir pada vena yang terbuka dan adanya saluran vena yang tidak kollaps, seperti vena diploik dan sinus dura. Kasus ini pernah dilaporkan terutama jika kepala ditinggikan. Emboli udara juga bisa terjadi saat kateter vena sentral dilepas saat pasien dalam posisi head-up.1, 8

VAE dapat menyebabkan obstruksi mekanik atau hipoksemia lokal hingga refleks vasokonstriksi simpatis. Gelembung mikrovaskuler dapat mengaktivasi endotel dan menyebabkan produksi komplemen, pelepasan sitokin, dan produksi molekul O2 reaktif. Manifestasi pulmonal berupa hipertensi pulmonal, gangguan pertukaran gas dan hipoksemia, retensi CO2, peningkatan ruang rugi pulmonal, dan penurunan etCO2.

Page 55: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

210 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Bronkokonstriksi akan meningkatkan tekanan jalan napas. Penurunan aliran balik vena mengarah pada penurunan curah jantung dan tekanan darah arteri sistemik. Iskemik serebral dan miokard bisa terjadi akibat hipoksemia dan hipotensi persisten. Komplikasi VAE secara singkat dapat dilihat pada Tabel 3.1 Pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda serta komplikasi VAE.

Lokasi Komplikasi Intraoperatif K o m p l i k a s i Pascabedah

Kardiovaskuler Disritmia Iskemia MiokardHipotensi/hipertensi Gagal jantung kananPerubahan bunyi jantung, murmurIskemia jantung pada EKGHenti jantung

Pulmonal Hiperkarbia Gangguan perfusiHipoksemiaHipertensi PulmonalEdema Pulmonal

Sistem Saraf Pusat Hiperemia Defisit neurologis, stroke, koma

Edema Otak

Tabel 3. Komplikasi Emboli Udara Vena (VAE)1

Faktor yang berperan dalam timbulnya VAE antara lain sisi pembedahan serta lama elevasi kepala dan tekanan negatif antara atrium kanan dan sisi pembedahan. Hipovolemia juga bisa menjadi faktor predisposisi VAE. Loading cairan intravena direkomendasikan untuk menurunkan shunting kanan ke kiri pada pasien dengan posisi duduk. Penggunaan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) akan meningkatkan tekanan atrium kanan dan meningkatkan tekanan vena serebral sehingga PEEP banyak dianjurkan sebagai profilaksis VAE.1 Bila VAE terjadi, penanganan maka dilakukan beberapa manajemen VAE seperti yang terlihat pada Tabel 4.1

IV. Simpulan

Tindakan VP-shunting dan operasi tumor fossa posterior telah berhasil dilakukan pada seorang wanita 25 tahun dengan diagnosis hidrosefalus tipe obstruksi dan tumor serebellum. Pasien yang menjalani pembedahan fossa posterior merupakan tantangan bagi ahli anestesi dalam hal evaluasi preoperatif, posisi pasien, pemilihan zat anestetik, manajemen perubahan posisi, pemantauan, pencegahan emboli udara vena, serta pemeliharaan fungsi neurologis. Tujuan pemantauan adalah pemeliharan stabilitas

Intraoperatif1. Beritahu ahli bedah2. Hentikan N2O, tingkatkan aliran O23. Ubah zat anestetik4. Beritahu ahli bedah agar mengisi lapangan

pembedahan dengan air5. Lakukan kompressi vena jugularis6. Siapkan tunjangan kardiovaskuler7. Ubah posisi pasienPascabedah1. Siapkan suplemen oksigen2. Lakukan elektrokardiografi, foto thoraks3. Ukur kadar gas darah arteri secara berseri4. Jika dicurigai terjadi emboli udara arteri,

siapkan kompressi oksigen hiperbarik jika tersedia

Tabel 4. Penanganan Emboli Udara Vena1

Page 56: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

211 Penatalaksanaan Anestesi pada Operasi Tumor Fossa Posterior disertai Hidrosefalus

hemodinamik dan deteksi dini emboli udara.

Daftar Pustaka

1. David SS. Anesthetic management for posterior fossa surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Anesthesia and neurosurgery. Philadelphia: Mosby Elsevier;2010, 203–13.

2. da Costa L, Thines L, Dehdashti AR. Management and clinical outcome of posterior fossa arteriovenous malformations – report on a single-center 15-year experience. J Neurol Neurosurg Psychiatry 2008; 80: 376–9.

3. Veenith T, Absalom AR. Anaesthetic management of posterior fossa surgery, Dalam: Matta BF, Menon DK, Smith M, eds. Core Topics in Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Cambridge: Cambridge University Press; 2011, 237–45.

4. Goldsack C. Posterior fossa surgery. Dalam: Gupata AK, Summors A, eds. Notes in Neuroanesthesia and Critical Care; London: Greenwich Medical Media; 2006 ; 58–9.

5. Gheorghita E, Ciurea J, Balaneseu B. Considerations on anesthesia for posterior fossa-surgery. Romanian Neurosurgery, XIX(3): 2012; 183–92.

6. Mangubat EZ, Chan M, Ruland S, Roitberg BZ. Hydrocephalus in posterior fossa lesions;

ventriculostomy and permanent shunt rates by diagnosis. Neurol Res 2008; 31: 668–73.

7. Rosemary AC, Pellerin H. Anesthesia for posterior fossa lesions. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders; 2008;119–24.

8. Rath GP, Bithal PK, Chatuverdi A, Dash HH. Complications related to positioning in posterior fossa craniectomy. J Clin Neurosci 2007; 14: 520–25.

9. Miura Y, Kamiya K, Kanazawa K, Okada M, Nakane M, Kumasaka A, Kawamae K. Superior recovery profiles of propofol-based regimen as compared to isoflurane based regimen in patients undergoing craniotomy for primary brain tumor excision: a retrospective study. Journal of Anesthesia, 10(1007/s00): 2012; 40–012.

10. Saager L, Turan A. Delayed emergence after posterior fossa surgery. Dalam: Mashour GA, Farag E, eds. Case Studies in Neuroanesthesia and Neurocritical Care. Cambridge: Cambridge University Press; 2011; 27–9.

Page 57: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

212

Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

Dewi Yulianti Bisri, Tatang BisriDepartemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran–RSUP Dr. Hasan

Sadikin–Bandung

Abstrak

Awake craniotomy (AC) menggunakan anestesi lokal dan sedasi termonitor untuk mengambil tumor intrakranial yang mengenai eloquent cortex merupakan teknik yang telah diterima. Teknik ini memungkinkan dilakukan pemetaan intraoperatif yang memfasilitasi reseksi tumor secara radikal dan meminimalkan morbiditas dengan mempertahankan jaringan yang berfungsi. Kebutuhan pemetaan cortex adalah untuk menggambarkan fungsi otak, seperti bicara, sensoris, dan motoris dengan tujuan untuk mempertahankannya selama dilakukan reseksi. Obat yang diberikan harus dapat memberikan level sedasi dan analgesi yang adekuat untuk mengangkat tulang, tapi tidak mempengaruhi testing fungsonal dan elektrokortikografi. Prosedur sama dengan kraniotomi standar, tapi dengan satu perbedaan-pasien sadar penuh selama pemetaan korteks dan reseksi tumor. Pasien mampu bicara dan bergerak normal. Pasien tidak selalu bangun selama pembedahan, tapi tidur dalam 1–2 jam pertama dan atau setelah reseksi tumor. Tidak ada rasa sakit selama sadar. Sasaran anestesi adalah pasien nyaman, mampu tidak bergerak selama pembedahan, sadar dan kooperatif saat pemetaan korteks yang dapat dicapai dengan: 1) persiapan pasien yang adekuat, 2) lingkungan nyaman, 3) pemberian sedatif analgesik yang tepat, 4) selalu berkomunikasi dengan pasien, dan 5) cepat diterapi bila ada komplikasi. Dexmedetomidine adalah suatu a–2 adrenoceptor agonist spesifik dengan efek sedatif, analgesik, anesthetic sparring effect, bangun bila distimulasi, efek proteksi otak, tidak adiksi, tidak menekan respirasi. Pasien yang diberikan dexmedetomidin bisa tersedasi dan nyaman tapi mudah dibangunkan dan mentoleransi AC yang berlangsung lama.

Key words: awake craniotomy, analgesik sedatif, dexmedetomidinJNI 2015;4(3): 212–22

Awake Craniotomy: Experience with DexmedetomidineAbstract

Awake craniotomy (AC) using local anesthesia and monitored sedation in intracranial tumor removal involving eloquent cortex has been considered as an acceptable technique. It allows intraoperative mapping that facilitates radical tumor resection while minimizing morbidity by preserving functional tissue. Anesthesia for intracranial procedure requiring patient cooperation present a challange to the anesthesiologist. The need for cortex mapping is to describe brain function, such as verbal, sensoric and motoric aiming for maintain its function during resection. The administered drugs should provide an adequate level of sedation and analgesia for bone flap removal, but must not interfere with functional testing and electrocorticography. The procedure is very similar to a standard craniotomy, but with one difference-the patient is fully awake during cortical mapping and tumor resection. Patient is able to talk and move normally. The patient should not awake during surgery, but is in deep sleep for the first 1-2 hours and/or after tumor resection. There will be be no pain during conscious time. The goal of anesthesia is patient’s comfort, able to stay immobile on OR table during the procedure, and is alert and cooperative to comply with cortical mapping. These goals can be accomplished by 1) adequate preparation of the patients, 2) a comfortable environment, 3) appropriate administration of right analgetic and sedative medication, 4) conduct ongoing communication, 5) perform rapid treatment to any complications. Dexmedetomidine is a highly spesific a-2 adrenoceptor agonist with sedative, analgesic, anesthetic sparring effect, awake if stimulated, brain protection with no addiction effect nor suppress ventilation. Patients treated with dexmedetomidine will be sedated, comfortably but is easily aroused to tolerate a prolonged awake craniotomy.

Key words: awake craniotomy, analgesic sedative, dexmedetomidineJNI 2015;4(3): 212–22

Page 58: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

213

I. Pendahuluan

Anestesi untuk prosedur intrakranial yang memerlukan pasiennya tetap sadar dan kooperatif merupakan tantangan bagi spesialis anestesi. Obat yang diberikan selama tindakan harus mampu memberikan level analgesi dan sedasi yang adekuat saat memotong tulang tengkorak, akan tetapi, harus tidak mempengaruhi test untuk fungsi otak dan elektrokortikografi.1,2 Anestesi untuk awake craniotomy (AC) bervariasi dari anestesi lokal ke anestesi umum dengan pasien harus bangun intraoperatif selama dilakukan mapping language dan reseksi tumor.3 Awake craniotomy dengan menggunakan obat anestesi lokal dan sedasi termonitor untuk operasi tumor intrakranial yang mengenai eloquent cortex merupakan suatu teknik yang dapat diterima. Dengan teknik ini dapat dilakukan pemetaan intraoperatif yang menyebabkan dapat dilakukan reseksi tumor yang lebih radikal serta meminimalkan morbiditas dengan memelihara jaringan otak yang mempunyai fungsi.1,2 Awalnya, teknik AC digunakan untuk mengeluarkan fokal epileptik dan reseksi tumor yang mengenai korteks serebri yang mempunyai fungsi (eloquent cortex). Hal ini berdasarkan premis bahwa keuntungan AC adalah adanya kesempatan dokter bedah untuk melakukan pemetaan otak sehingga rute operasi akan lebih aman dan mampu mengurangi morbiditas. Selain itu, juga mempunyai keuntungan lain yaitu menghindari anestesi umum dan pemasangan monitor invasif sehingga mungkin akan menurunkan morbiditas pascabedah dan memperpendek lama tinggal di rumahsakit.2,4

Baru-baru ini, AC digunakan untuk mengeluarkan semua tumor supratentorial, bukan saja yang mengenai eloquent cortex. Teknik ini komplikasinya sedikit dan menurunkan lama tinggal di ICU dan RS tanpa mengurangi kualitas perawatan pasien.3 Sebagai contoh, dengan memperbaiki teknik anestesi dan teknik pembedahan, di The Toronto Western Hospital, Toronto, Canada, AC diperlakukan sebagai bedah rawat jalan dan pasien dipulangkan 6 jam pascabedah atau nginap 1 malam. Hal ini memaksimalkan penggunaan sumber daya secara

efisien dan dapat mengurangi kemungkinan infeksi dan meningkatkan kenyamanan pasien. 4

Anestesi dapat dilakukan dengan kombinasi droperidol dan opioid yang larut dalam lemak yang disebut sebagai neurolep analgesia untuk mendapatkan keadaan indifference, imobilisasi, dan analgesia. Komplikasi yang sering terjadi dengan teknik tersebut adalah agitasi, ngantuk, nyeri, dan kejang. Lebih jauh neurolep analgesia dapat membawa kearah terjadinya depresi nafas dan kadang-kadang PaCO2 dapat mencapai 45–60 mmHg.1,2,5

Beberapa penelitian menggunakan propofol untuk AC. Penggunaan propofol mengurangi kejadian kejang dan agitasi perioperatif, tapi sering terjadi depresi nafas.6 Lebih baru lagi, kombinasi propofol dan remifentanil telah sukses untuk anestesi pemetaan otak.7 Kedua penelitian tersebut menunjukkan adanya episode depresi nafas, obstruksi jalan nafas, dan desaturasi. Selain itu, propofol dosis besar dapat meningkatan exitotoksisitas glutamat, tidak mempunyai efek proteksi otak, dan dapat menyebabkan kerusakan neuron bertambah banyak.8

Makalah ini melaporkan penggunaan dexmedetomidin infus untuk awake language mapping dan reseksi tumor serebral. Dexmedetomidin adalah suatu a–2 agonist dengan efek sedasi, analgesi, anesthetic sparring effect, cepat bangun bila distimuli, tidak mendepresi nafas, mempunyai efek proteksi otak, serta tidak menimbulkan adiksi sehingga pemakaian dexmedetomidin untuk AC dapat dipertimbangkan.1 Tidak adanya efek depresi nafas merupakan keuntungan dexmedetomidin yang paling utama dibandingkan dengan teknik anestesi lain untuk AC. Dosis yang dianjurkan adalah dosis bolus 1ug/kg BB yang diberikan dalam waktu 10–15 menit, lalu dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,2–0,7 ug/kgBB/jam. Dexmedetomidin menunjukkan adanya penurunan tekanan darah dan denyut jantung sesuai dengan besarnya dosis akan tetapi perubahannya minimal.1,2, 9-11

II. Sejarah Awake Craniotomy

Operasi tulang tengkorak merupakan operasi tertua dari seluruh usaha pembedahan yang

Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

Page 59: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

214 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

ada dan telah dilakukan pada zaman prasejarah (gambar1). Sisa-sisa peninggalan tengkorak jauh dibelakang periode akhir paleolithikum menunjukkan bahwa manusia telah menemukan beberapa metode dalam membuka tulang tengkorak. Hanya di Australia (tetapi tidak di New Zealand), Tanjung Malaya, Jepang, Cina, dan diantara Negara Afrika tidak satupun bukti didokumentasikan tentang bedah tengkorak. Banyak orang yang bertahan cukup lama tidak hanya pada proses penyembuhannya tapi juga untuk operasi kembali. Nenek moyang kita ada dan memiliki pengetahuan mengenai anatomi, jahitan bedah dan muara vena besar yang jarang dilanggar. Pembukaan tidak hanya di area mastoid dan dura biasanya dibiarkan tetap intak.12

Bagaimana pasien dimanipulasi saat tindakan tidak diketahui, tidak ada bukti bahwa anestesi sudah ada pada zaman neolitikum di Eropa. Daun koka ada di Peru kemampuannya untuk menghilangkan nyeri telah diketahui sejak awal, dan mungkin tindakan anestesi zaman nenek moyang dengan mengunyah daun koka dan kemudian diberikan pada luka. Jadi diperkirakan pasien tetap sadar pada saat dilakukan trepanasi. Tehnik tersebut telah digunakan dan digambarkan selama beberapa abad di Amerika Selatan.12

Catatan arkeologis menunjukkan bahwa pada saat prasejarah, ribuan tahun yang lalu, pasien kejang diobat dengan trepanasi tulang tengkorak. Prosedur ini telah sukses dipraktekan jauh

sebelum adanya anestesi umum. Masa modern dari AC dimulai akhir tahun 1920-an ketika Wilder Penfield berusaha mengobati pasien dengan epilepsi yang membandel. Penfield dan Andre Pasquet mempublikasikan naskah tentang aspek bedah dan anestesi setelah pemberian anestesi lokal dan sedasi-analgesi intermiten. Teknik ini berhasil dan diterima sebagai teknik pembedahan di seluruh dunia untuk terapi epilepsi. Sebagai tambahan, teknik AC juga dipakai untuk operasi tumor otak.13

Teknik AC rudimenter pertama kali didokumentasi pada awal abad ke-17 untuk operasi tumor otak pada pasien dengan epilepsi, dan baru-baru ini dilakukan untuk reseksi tumor yang terdapat di eloquent cortex misalnya lobus frontalis dan lobus temporalis. Testing neurologik intraoperatif memungkinkan dilakukannya reseksi tumor secara maksimal seraya mempertahankan fungsi neurologis.12,13

Pada jaman prasejarah, AC telah digunakan untuk trepanasi guna mengobati kejang dan memulihkan berbagai kondisi atau mengeluarkan udara jahat. Pada zaman modern, teknik ini pertama kali digunakan untuk mengambil fokal epileptik yang secara simultan dilakukan pemetaan otak. Perkembangan selanjutnya menyebabkan teknik ini digunakan untuk reseksi tumor otak di daerah eloquent cortex. Baru-baru ini AC telah dipakai untuk semua tumor supratentorial, tanpa memandang apakah mengenai eloquent cortex atau tidak. Awake craniotomy telah digunakan di

Gambar1. Penemuan arkeologis. Trepanasi pada zaman prasejarah

Page 60: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

215 Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

Amerika Utara sejak tahun 1980-an, kemudian ke Eropa dan menyebar ke Asia. Di Indonesia AC dimulai tahun 2003.12,13

III. Keuntungan Awake Craniotomy

Awake craniotomy mempunyai dua keuntungan dibandingkan dengan pembedahan biasa dengan anestesi umum yaitu 1) memberikan kesempatan pemetaan cortex dan subcortex untuk mengurangi morbiditas neurologis dan memaksimalkan luasnya operasi 2) untuk menghindari morbiditas akibat anestesi umum dan lebih cepat keluar dari rumahsakit. Tidak ada penelitian randomized controll yang telah dilakukan untuk mendukung pernyataan tadi, akan tetapi, pendukung teknik ini yakin akan menguntungkan untuk pasien.2,14 Mengenai morbiditas akibat anestesi umum, ternyata lambatnya pemulihan fungsi kognitif telah jauh berkurang dengan adanya obat anestesi dengan mula kerja dan lama kerja yang singkat, akan tetapi tetap masih ada hang over farmakologis yang dihubungkan dengan anestesi umum. Selain itu, ada kemungkinan rasa tidak nyaman dan morbiditas akibat monitoring invasif, laringospasme akibat intubasi endotrakheal, sepsis dari pemasangan kanula arteri atau CVP, dan sepsis urinari akibat pemasangan kateter. 2,14

Hasil akhir dari komplikasi AC yang rendah dan kurangnya efek samping anestesi dapat ditunjukkan dengan lebih cepatnya pemulihan dari pembedahan dengan kurangnya morbiditas neurologis dan lebih singkatnya tinggal di rumahsakit. Kenyamanan dan keamanan teknik ini memungkinkan dilakukannya kraniotomi sebagai bedah rawat jalan.2,14

Tidak seluruh kraniotomi dapat dilakukan dengan teknik AC, misalnya operasi fossa posterior dengan posisi telengkup, operasi yang sangat lama, pasien yang confus, dementia, agitasi, tidak bisa bicara atau mendengar perintah, atau menolak dilakukan AC. Bukan merupakan calon AC adalah pasien yang tidak kooperatif misalnya adanya disphasia berat dan confusion atau pasien yang memerlukan posisi prone atau tumor yang menginvasi dura secara nyata, karena adanya nyeri saat dilakukan reseksi dura. Pasien pada umumnya datang beberapa minggu sebelum operasi dan tentu pertama kali adalah bertemu

dengan dokter bedahnya, bukan dengan dokter anestesi, dengan demikian dokter bedah saraf akan melakukan terapi psikologis, menerangkan tentang bagaimana jalannya operasi dengan teknik “bangun”. Pasien diajari bahwa akan sedikit sakit saat menyuntikan obat anestesi lokal, harus menurut bila diminta menghitung, dan menggerakkan tangan atau kaki.2,14

IV. Sasaran Anestesi

Sasaran pengelolaan anestesi selama AC untuk operasi tumor otak adalah supaya pasien nyaman, tidak bergerak diatas meja operasi selama pembedahan berlangsung dan bangun serta sadar ketika dilakukan pemetaan korteks. Sasaran tersebut dapat dicapai dengan 1) persiapan pasien yang adekuat 2) lingkungan yang nyaman 3) pemberian sedatif dan analgesi yang tepat 3) selalu berkomunikasi dengan pasien dan meng“support” pasien 4) terapi yang cepat bila terjadi komplikasi.2

Sasaran anestesi adalah transisi yang lancar antara anestesi dan sadar. Pada saat tidur ditargetkan kedalaman anestesi yang adekuat ketika membuka dan menutup tulang. Pada saat bangun pasien harus dalam keadaan bangun penuh untuk dilakukan pemetaan korteks. Ventilasi harus adekuat dan jalan nafas aman, pasien tidak bergerak saat operasi tapi tetap merasa nyaman dan kooperatif, dan mampu dilakukan pemantauan elektrofisiologik. Operasi dapat melakukan maksimal reseksi tumor tanpa mengganggu fungsi neurologis. Pemetaan intraoperatif menolong membedakan antara eloquent cortex dan jaringan tumor, yang memfasilitasi akses tumor dari rute transkortikal yang paling aman, melakukan reseksi tumor secara agresif sambil mempertahankan jaringan yang mempunyai fungsi.

Persiapan PasienKeberhasilan AC bergantung pada pemilihan dan persiapan pasien. Seleksi pasien yang pertama dilakukan oleh dokter bedah saraf dan dimulai dengan persiapan psikologis pasien, kemudian dilanjutkan oleh dokter anestesi saat bertemu pasien ketika konsultasi prabedah. Peranan

Page 61: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

216 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

dokter anestesi juga untuk menilai apakah pasien dapat menjalankan prosedur awake, mendapatkan hubungan dokter-pasien dan memberikan ketenteraman bagi pasien. Pasien harus diberi informasi apa yang dilakukan selama prosedur termasuk latihan apa yang harus dilakukan ketika distimulasi.Pemeriksaan pasien yang rutin adalah evaluasi sistem kardiovaskuler dan respirasi, pemeriksaan laboratorium, EKG, dan thoraks foto. Setiap defisit neurologis harus dicatat. Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan misalnya antihipertensi, kortikosteroid, antikonvulsi, harus tetap diteruskan. Premedikasi mungkin tidak diperlukan, terlebih-lebih bila pasien datang di hari operasi. Kalau pasien rawat inap dapat diberikan lorazepam.2

Seleksi pasien prabedah adalah untuk menemukan apakah ada kontraindikasi absolut (pasien tidak kooperatif), kontra indikasi relatif (adanya obstructive sleep apnoe/OSA, morbid obes, tumor pembuluh darah yang besar, tumor yang mengenai duramater). Untuk persiapan pasien, kunci utamanya adalah pasien harus percaya diri dan setuju untuk kooperatif selama operasi, dan mengembangkan hubungan yang baik dengan pasien dan keluarganya merupakan hal yang penting. Komunikasikan apa yang kita harapkan dari pasien dan apa yang diinginkan pasien dari kita dan prinsipnya komitmen, aman, dan nyaman. Periksa apakah ada kemungkinan kesulitan ventilasi dan intubasi. Tanyakan berat dan jenis epilepsi serta obat antiepilepsi yang dimakan. Tanyakan ada riwayat mual muntah. Cari adanya risiko perdarahan dengan melihat tipe dan lokasi tumor, dan terapi antikoagulan. Toleransi pasien terhadap nyeri dan tingkat kecemasan pasien serta adakah defisit neurologis.2 Memberikan keterangan yang tepat pada pasien merupakan ansiolisis yang sangat baik. Obat yang dapat diberikan antara lain: benzodiazepin, opioid, antiemetik, antibiotik, antikonvulsan, steroid, klonidin, atropin. Midazolam merupakan obat premedikasi yang paling sering diberikan. Beberapa penulis memberikan NSAID diclofenac atau asetaminofen.2

Persiapan Kamar BedahKamar bedah merupakan ruangan yang tidak

familier untuk pasien. Sebelum pasien dibawa masuk ke kamar bedah, para perawat dan dokter bedah saraf harus sudah siap sehingga semua anggota tim termasuk dokter anestesi, dapat mencurahkan perhatian pada pasien. Lingkungan harus tenang dan menyenangkan dengan suhu ruangan yang tepat. Meja operasi harus selunak mungkin, kalau perlu diberi tambahan matras, ganjal bagian yang dirasakan tidak enak, beri bantal, pada prinsipnya tanyakan ke pasien apakah posisinya sudah nyaman atau belum, jadi buat posisi senyaman mungkin. Untuk dokter anestesi persiapannya termasuk persiapan obat, alat monitor, mesin anestesi, sebab harus sudah siap bila terjadi komplikasi dan bila diperlukan anestesi umum. Persiapan lengkap untuk managemen jalan nafas, jalur vena, alat pantau. Untuk kenyamanan pasien disiapkan suhu kamar oprasi yang hangat, selimut hangat, bantal, ruangan tidak ribut. Tulis di pintu kamar oprasi “pasien bangun” atau ada AC. Posisi pasien harus memungkinkan spesialis anestesiologi dapat mengakses muka dan jalan nafas pasien.2

Posisi PasienPosisi pasien akan bergantung dimana lokasi tumor. Posisi lateral lebih menguntungkan bila terjadi obstruksi jalan nafas, mual-muntah, dan kejang. Posisi supine juga baik, untuk memudahkan melihat muka pasien dan membebaskan jalan nafas. Penting bahwa pasien harus bisa melihat dokter anestesi dan dokter anestesi harus bisa melihat pasien. Penempatan posisi kepala tergantung dari dokter bedah sarafnya. Posisi pasien harus memudahkan pasien menggerakan tangan atau kakinya. Paling baik diletakkan mikrophone didekat mulut pasien supaya pasien tidak berteriak bila diminta menghitung oleh dokter bedah saraf.2

Pengelolaan Anestesi1) MonitorStandar monitor termasuk EKG, tekanan darah non invasif, pulse oksimetri. Tekanan darah invasif tidak perlu. Monitor central venous pressure (CVP) tidak perlu, dengan pengecualian bila ditakutkan adanya emboli udara maka dipasang kateter vena sentral, kateter urine juga tidak diperlukan bila cairan intravena yang

Page 62: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

217 Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

diberikan minimal. Oksigen diberikan melalui face mask atau kanul binasal, dan lebih disukai pemakaian kanul binasal karena lebih nyaman untuk pasien dan dapat bebas berbicara. Bila dilakukan test bicara, lebih mudah untuk dokter anestesi untuk melihat muka pasien untuk melihat setiap gejala kejang. Dilakukan pemantauan end-tidal CO2 dan oksigen diberikan melalui nasal prong. Tujuan pemasangan capnograph adalah untuk mendeteksi respirasi bukan betul-betul untuk melihat end-tidal CO2.

2

2) FarmakologiPropofol Propofol telah digunakan secara luas dalam neuroanestesi juga dalam AC untuk periode tidurnya. Propofol mudah dititrasi untuk mendapatkan efek sedatif, pemulihan cepat, menurunkan metabolisme otak (cerebral metabolic rate for oxygen/CMRO2), menurunkan tekanan intrakranial (intracranial pressure/ICP), mempunyai gambaran anti convulsan dan antiemetik.Walaupun efek propofol terhadap tekanan perfusi otak (cerebral perfusion pressure/CPP) disebabkan oleh efek yang menurunkan tekanan darah, telah ditunjukkan bahwa efek hemodinamik yang tidak menyenangkan tersebut dapat dicegah dengan menghindari efek konsentrasi puncak. Efek propofol terhadap metabolime otak dan aliran drah otak (cerebral blood flow/CBF) sama seperti golongan barbiturat. Pada penelitian manusia, juga diperlihatkan bahwa

propofol menurunkan CBF dan metabolisme otak. Pada pasien dengan cedera otak, anestesia dengan propofol akan menurunkan CPP, ICP dan CBF. Reaktivitas perfusi serebral terhadap CO2 tetap ada. Profopol menurunkan CBF (sebanyak 30%), CMRO2 (30%), dan ICP, tetapi CPP juga menurun disebabkan oleh propofol yang mempunyai efek menurunkan tekanan darah yang hebat. Penelitian lain menyatakan bahwa propofol bisa menurunkan atau tidak mengakibatkan perubahan pada ICP. Dengan infus kontinyu, CPP dipertahankan adekuat sehingga total intravenous anesthesia (TIVA) dengan propofol cukup menyenangkan. Seperti halnya hipnotik sedatif yang lain, depresi susunan saraf pusat terjadi bergantung pada dosis.15

Satu penelitian pada hewan coba, menunjukkan bahwa propofol meningkatkan eksotoksisitas glutamat, memicu terjadinya apoptosis, sehingga menambah jumlah kematian sel neuron.8

Fentanyl Efek narkotik terhadap CBF sulit diperkirakan karena laporan penelitian yang masih kontroversial. Dosis kecil narkotik mempunyai efek kecil pada CBF dan CMRO2 sedangkan pada dosis besar menurunkan CBF dan CMRO2. Tidak mempengaruhi autoregulasi dan reaktivitas pembuluh darah otak terhadap CO2.Fentanyl merupakan suatu obat yang mempunyai sifat sangat lipofilik dan dapat menembus sawar darah otak dengan cepat sehingga pemakaian fentanyl melalui intravena akan memberikan

Keterangan: A: Anesthesiologist S: Surgeon N: Nurse

Dikutip dari: Cottrell & Young 2012

Page 63: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

218 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

efek analgetik dengan segera. Hampir sama dengan morfin, fentanyl menghasilkan analgesik kuat untuk pembedahan, menimbulkan depresi pernafasan, bradikardia, mual, dan muntah. Akan tetapi, berbeda dengan morfin, fentanyl mempunyai mula kerja yang cepat, masa kerja singkat, efek mual muntah sedikit, dan relatif tidak berpengaruh pada sistem kardiovaskuler.15

Fentanyl merupakan narkotik pilihan pertama untuk neuroanestesia. Penggunaan fentanyl sedikit menurunkan ICP dan mempertahankan CPP lebih baik daripada sufentanil. Fentanyl menurunkan resistensi absorpsi cairan serebrospinal dan menyebabkan penurunan volume darah otak sebesar 10%. Pada dosis tinggi (>5μg/kg) fentanyl menurunkan minimum alveolar concentration (MAC) sebesar 65%. Dosis yang lebih kecil, lebih cocok untuk bedah saraf dan tidak banyak menurunkan MAC.

DexmedetomidinDexmedetomidin adalah suatu super-selektif a-2 adrenergik dengan perbandingan a2 : a1, 1600:1. Mempunyai efek sedatif dan analgesik, anesthesia sparring effect, menurunkan kebutuhan obat anestesi intravena, anestetika inhalasi, dan narkotik analgetik. Menurunkan tekanan darah dan denyut jantung. Efek sedasi tidak disertai dengan efek depresi nafas, dan pasien mudah dibangunkan dan kooperatif, sehingga dexmedetomidin sangat berguna untuk sedasi analgesi pascabedah dan pasien yang dirawat di ICU. Setelah beberapa penelitian, dexmedetomidin telah disetujui di Amerika pada tahun 1999 dan telah digunakan untuk analgesia dan sedasi di ICU. Akan tetapi, karena berefek stabilitas hemodinamik saat laringoskopi dan intubasi, penurunan kebutuhan obat anestesi, sedasi dan analgesi, menyebabkan obat ini dipakai sebagai adjuvan obat anestesi.9-!3,16,17

Obat anestesi untuk pasien dengan kelainan serebral, harus diketahui pengaruhnya terhadap aliran darah otak, volume darah otak, autoregulasi, respons reaktivitas pembuluh darah terhadap CO2, tekanan intrakranial, metabolisme otak, produksi dan absorpsi cairan serebrospinalis, dengan demikian pemberian sedatif untuk AC juga harus diketahui pengaruhnya terhadap hal-hal tersebut diatas. Oleh karena itu, kualifikasi

obat neuroanestesi harus mudah dikendalikan (mula kerja cepat, pemulihan cepat), stabil homeostasis intrakranial, tidak mempengaruhi monitoring neurofisologi, neuroproteksi, dan antinosisepsi.9-13,16,17

Secara umum, tujuan pengelolaan anestesi adalah untuk induksi yang lancar, slack brain, mempunyai efek proteksi otak, pemulihan yang cepat dan lancar, serta hemodinamik yang stabil sebab hipotensi akan membawa kearah terjadinya iskemi otak, sedangkan hipertensi dapat menimbulkan terjadinya hiperemia, vasogenik edema, bahkan perdarahan otak. Anesthesia sparring effect dari dexmedetomidin terlihat dengan adanya penurunan dosis propofol, menurunkan MAC isofluran 50–90%. Menurunkan dosis tiopental, MAC isofluran sampai 47%, MAC sevofluran 17%. 2, 9-13,16,17

Aktivasi reseptor a-2 dapat menimbulkan sedasi dan ansiolisis, analgesia, penurunan katekholamin plasma, mempunyai efek hipotensi dan bradikardi, diuresis karena menginhibisi pelepasan ADH, efek dekongestan dan antisialogogus.9-13,16-17

Efek dexmedetomidin pada aliran darah otak pada binatang percobaan menunjukkan adanya penurunan aliran darah otak sampai 45%, tidak mempunyai pengaruh pada metabolisme otak, konstriksi pial arteri dan vena, mengurangi efek vasodilatasi akibat hipoksia-hiperkapni. Dexmedetomidin menyebabkan penurunan aliran darah otak pada anjing yang sedang dianestesi dengan isofluran. Intravena dexmedetomidin menghambat dilatasi serebrovascular akibat isofluran and sevofluran.9-13,16-17 Pada penelitian manusia dengan transcranial dopler (TCD) menunjukkan adanya penurunan velositas rerata aliran darah otak dengan meningkatnya konsentrasi plasma dexmedetomidin. Index pulsatilitas meningkat pada konsentrasi tinggi dexmedetomidin yang menunjukkan adanya peningkatan resistensi pembuluh darah otak.Penelitian pada binatang menujukkan bahwa tekanan intrakranial tidak berubah walaupun ada peningkatan tekanan darah, akan tetapi, tekanan intrakranial akan menurun bila sebelumnya ada peningkatan tekanan intrakranial. Penelitian pada manusia menunjukkan dexmedetomidin tidak mempengaruhi tekanan cairan serebrospinal

Page 64: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

219 Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

lumbal pada pasien yang sedang mengalami reseksi tumor hipofise transpenoidal.

Efek neuroproteksi dexmedetomidin disebabkan karena menghambat iskemia yang diakibatkan pelepasan norepinefrin karena dexmedetomidin menurunkan level norepinefrin saat bangun dari anestesi (2 sampai 3 kali lebih rendah daripada plasebo). Dexmedetomidin mencegah kematian sel neuron setelah iskemi fokal dan daerah yang mengalami iskemik turun 40% dibandingkan dengan plasebo. Dexmedetomidin mempertinggi pembuangan glutamin melalui metabolisme oksidatif pada astrosit. Alpha-2 agonists menurunkan konsumsi oksigen perioperatif. 9-13,16-

17

Obat sedatif yang ideal adalah mampu menurunkan CMRO2, menurunkan tekanan intrakranial tanpa menurunkan tekanan perfusi otak, mempertahankan autoregulasi serebral dan reaktivitas pembuluh darah terhadap CO2, mula kerja cepat dan lancar, mudah mengendalikan kedalaman dan lamanya sedasi, pada dosis therapeutic window dapat dilakukan evaluasi status neurologis dan komplikasi. Dexmedetomidin mempunyai sifat: sedasi reversibel tanpa depresi nafas, analgesia, anesthetic sparing effect, kardiovascular stabil, mempunyai efek minimal pada tekanan intrakranial, mempunyai efek neuroproteksi, pasien cepat bangun. Secara teori dexmedetomidin menguntungkan untuk sedasi selama dan pascabedah pada pasien dengan kelainan intraserebral.9-13,16-17 Efek samping dexmedetomidin adalah hipotensi, hipertensi selintas, bradikardi, mulut kering, efek amnesi sedikit. Melihat efek dexmedetomidin pada dinamika serebral, kiranya dapat dipertimbangkan pemakaian dexmedetomidin untuk anestesi bedah saraf dan operasi lain yang mana pasien mempunyai kelainan serebral.9-13,16,17

3) Scalp AnestesiDilakukan infiltrasi lokal anestesi dengan menggunakan bupivakain 0,25% atau levobupivakain yang ditambah epinefrin 1/200.000. Penambahan epinefrin dimaksudkan untuk menambah lama kerja obat anestesi lokal dan mengurangi perdarahan saat menyayat sclap. Dosis bupivakain-epinefrin total yang aman

adalah 2,5 mg/kg. Umumnya bisa diberikan 40-50 ml bupivakain 0,25% + epinefrin 1/200.000. Harus diingat mula kerja obat anestesi lokal, dari mulai saat menyuntikkan obat anestesi lokal pada daerah yang akan dipasang head pin (kira-kira 2 ml setiap tempat) sampai dipasang head pin.2

4) Teknik AnestesiManagemen anestesi sangat penting untuk keberhasilan AC. Ada 2 teknik anestesi utama yang digunakan untuk AC. Teknik yang paling sering digunakan adalah monitored conscious sedation, dan cara lain adalah teknik asleep-awake-asleep (AAA). Analgesia dapat diberikan secara intravena, anestesi local, atau scalp block. a) Monitored conscious sedation Awake craniotomy yang tradisional adalah mempertahankan pasien dalam conscious sedation atau neurolept analgesia di seluruh masa pembedahan. Sedasi dihentikan sebelum akan dimulainya testing stimulasi. Umumnya tidak ada manipulasi jalan nafas selama prosedur.2 b) Asleep-awake-asleep (AAA)Dengan menggunakan anestesi umum dengan laryngeal mask airway (LMA) atau diintubasi dengan pipa endotrakheal untuk pengelolaan jalan nafas selama kraniotomi. Kemudian pasien dibangunkan, LMA atau pipa endotrakhealnya diangkat, dan dilakukan testing. Setelah selesai testing dilakukan anestesi umum dan LMA atau pipa endotrakheal dipasang lagi.2

5) Induksi AnestesiInduksi anestesi dimulai bila posisi pasien di meja operasi sudah nyaman. Insersi head pin sangat sakit, karena itu dokter bedah saraf harus

Gambar 2. Salah satu cara scalp blok

Page 65: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

220 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

memberikan anestesi lokal di setiap tempat yang akan dipasang head pin. Tindakan menyuntikan obat anestesi lokal tersebut dapat menimbulkan rasa sakit dan kecemasan pasien, maka obat analgesi dan sedatif harus diberikan sebelum menyuntikan obat anestesi lokal. Salah satu teknik adalah pasien terlebih dulu diberi dosis bolus dexmedetomidin 1 ug/kg BB yang diberikan selama 10–15 menit, setelah pasien tersedasi dexmedetomidin dosisnya diturunkan menjadi 0,4 ug/kg/jam, bila perlu dapat ditambahkan fentanil 1 ug/kg BB diberikan pelan-pelan, lalu dilakukan penyuntikan anestesi local didaerah yang akan dipasang head-pin. Setelah dipasang head pin, pasien dibangunkan untuk menanyakan apakah posisinya sudah nyaman atau belum. Pada saat infiltrasi scalp, juga dexmedetomidin diteruskan dan pasien ditidurkan dengan propofol 2 mg/kg. Selama insisi scalp dan kraniotomi pasien ditidurkan dan setelah dura dibuka pasien dibangunkan untuk dimulainya pemetaan otak dan reseksi tumornya.1,2

6) Komunikasi dengan PasienSelain pemberian sedasi, komunikasi yang terus menerus dan menenteramkan pasien merupakan hal yang penting, antara lain memberitahu bila bakal ada rangsangan yang sakit, atau suara ribut saat membor tulang tengkorak. Juga membasahi bibir pasien, memegang tangannya akan sangat membantu dalam menenteramkan pasien.2

7) KomplikasiSemua komplikasi yang mungkin terjadi harus dipertimbangkan sebelum dimulainya pembedahan. Diperlukan persiapan untuk pengobatan komplikasi ini. Komplikasi intraoperatif yang sering terjadi adalah obstruksi jalan nafas karena terjadi oversedasi, kejang yang bisa fokal dan singkat atau menyeluruh, gelisah, mual-muntah, komplikasi hemodinamik, toksisitas anestetika local, nyeri, tidak kooperatif dan diperlukannya anestesi umum. Komplikasi lain yang jarang terjadi adalah emboli udara (pada operasi fossa posterior).2

a) Komplikasi Jalan NafasBila pasien mengalami penurunan frekuensi nafas, desaturasi, atau obstruksi total jalan nafas, dokter anestesi harus merencanakan secara sistematis

untuk mengatasi masalah ini. Bila masalahnya adalah oversedasi, maka pemberian sedasi harus dihentikan dan bila diperlukan bantuan jalan nafas dengan chin-lift atau dengan sungkup dan bantuan nafas. Akan tetapi, bila hilangnya jalan nafas disebabkan karena kejang, atau karena masalah intrakranial, maka diperlukan intubasi. Teknik dan pemilihan insersi pipa endotrakhea bergantung pada keahlian dokter anestesi tersebut. Bila pasien bangun dapat diinduksi dengan propofol, opioid, tanpa atau dengan pelumpuh otot.2

b) KejangKebanyakan kejang terjadi saat stimulasi listrik ketika melakukan cortical mapping, tapi bila pasien mempunyai riwayat kejang sebelum pembedahan, maka kejang dapat terjadi setiap saat. Pengobatannya adalah segera membuat diagnosa dan terapi secepat mungkin. Pasien memerlukan proteksi dari cedera terutama akibat pergerakan saat kejang yang hebat. Bila kejang berlangsung lama, jalan nafas harus dibebaskan. Kejang dapat dihentikan dengan dosis kecil pentotal (50mg), propofol (20mg), atau midazolam 1–2 mg, dosis ulangan mungkin diperlukan bila kejang tetap berlangsung. Antikonvulsan yang bekerja lama seperti fenitoin mungkin diperlukan. Ada bukti yang nyata bahwa irigasi korteks dengan larutan dingin dapat menolong.2

c) Mual dan MuntahMual-muntah intraoperatif sering terjadi selama operasi epilepsi. Akan tetapi, kejadian selama AC untuk operasi tumor sangat rendah dan komplikasi yang terjadi pascabedah lebih sedikit dibandingkan dengan anestesi umum. Bila terjadi mual-muntah dapat diterapi dengan ondansetron.2

d) Pasien tidak kooperatifKadang-kadang beberapa pasien menjadi sangat gelisah, agitasi, atau tidak kooperatif selama prosedur walaupun nampaknya penilaian prabedah adekuat dan diperkirakan pasien dapat dilakukan AC. Pada beberapa pasien kejadian tersebut adalah akibat dari pemakaian propofol. Terapinya adalah dengan mendangkalkan level sedasi sehingga kita dapat berkomunikasi dengan pasien, mengubah obat yang diberikan, mendalamkan level sedasi, atau dirubah ke anestesi umum.1,2

Page 66: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

221 Awake Craniotomy: Pengalaman dengan Dexmedetomidin

Teknik memberikan anestesi/sedasi.2

1. Pasien disiapkan seperti biasa: puasa prabedah, pemeriksaan lab, obat yang biasa dimakan tetap diteruskan, pasien diwawancara /diberitahu tentang teknik anestesi dan apa yang harus dilakukan selama pemetaan otak.

2. Pasang monitor tekanan darah noninvasif, EKG, SpO2, oksigen binasal. Tidak dipasang kateter urine, CVP, atau tekanan darah invasif.

3. Meja operasi disiapkan senyaman mungkin, pasien ditanya apakah posisinya sudah enak atau belum. Temperatur ruangan diatur.

4. Larutkan 2 ml dexmedetomidin (2 ml precedex mengandung 200 ug dexmedetomidin) dengan 48 ml NaCl 0,9% dalam spuit 50 ml, sehingga per cc mengandung 4 ug dexmedetomidin.

5. Dosis bolus 1 ug/kg yang diberikan dalam waktu 10–15 menit, kemudian dosis diturunkan menjadi 0,4 ug/kg BB/jam (0,2–0,7 ug/kg/jam). Dexmedetomidin diteruskan sampai operasi selesai.

6. Ditempat yang akan dipasang head pin diberi anestesi lokal dengan 2 ml bupivakain 0,25% + adrenalin 1/200.000.

7. Saat dipasang head pin pasien dalam kedaan tidur dengan propofol 2 mg/kg. Bila analgesi dilihat tidak adekuat dapat ditambah fentanyl 1 ug/kg BB yang diencerkan menjadi 5ml dan suntikan pelan-pelan.

8. Di daerah yang akan disayat dilakukan blokade saraf scalp dengan bupivakain 0,25% + adrenalin 1/200,000 sebanyak 40 cc.

9. Pasien dibangunkan kembali, dan ditanya apakah posisi kepala sudah enak atau tidak. Operasi bisa dimulai dengan keadaan tidur dengan propofol (Propofol yang dipakai biasanya paling banyak 20 ml) sampai selesai mengangkat tulang tenggkorak.

10. Setelah duramater dibuka pasien dibangunkan dan bila diperlukan pemetaan otak pasien diminta bicara dengan menghitung 1 sampai 10 atau menggerakkan tangan atau kaki.

Pengelolaan PascabedahSegera setelah selesai operasi pasien dimonitor untuk beberapa jam di post anesthesia care unit (PACU). Bila stabil dan tidak ada perubahan neurologis, pasien dipindahkan ke ruang perawatan bedah saraf untuk diobervasi dan besok paginya pasien dapat dipulangkan. Dexamethasone tetap diteruskan, bila ada kejang obat antiepilepsi harus diberikan, akan tetapi, tidak diberikan sebagai profilaksis. Pasien tidak dimasukkan ke ICU tapi cukup diobservasi di PACU minimal 4 jam pascabedah sebelum dipindahkan ke ruangan. Pasien yang dimasukkan ke ICU pascabedah adalah pasien yang yang prabedah mempunyai penyakit sistemis yang berat atau kondisi neurologis pascabedah memerlukan pemantauan yang ketat.2

V. Simpulan

Awake craniotomy dapat dilakukan untuk reseksi tumor hampir semua tumor otak. Dengan teknik AC, lama dan biaya perawatan menurun, dan dapat dilakukan sebagai bedah rawat jalan. Dexmedetomidin yang berefek sedasi, ansiolitik, analgesi, tidak mendepresi nafas, pasien bangun bila distimulasi, mempunyai efek proteksi otak, menurunkan aliran darah otak menyebabkan AC dapat dilakukan dengan memuaskan dengan dexmedetomidin.

Daftar Pustaka

1. Bekker AY, Kaufman B, Samir H, Doyle W. The use of dexmedetomidine infusion for awake craniotomy. Anesth Analg 2001;92:1251–3.

2. Bisri T. Pemakaian dexmedetomidine infus untuk awake craniotomy. Anestesia & Critical Care 2004;22(2):182–89

3. Manninen P, Contreras J. Anesthetic consideration for craniotomy in awake patients.

Page 67: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

222 Jurnal Neuroanestesi Indonesia

Int Anesthesiol Clinic 1986;24:157–74.

4. Blanshard HJ, Chung F, Manninen PH, Taylor MD, Bernstein M. Awake craniotomy for removal of intracranial tumor: considerations for early discharge. Anesth Analg 2001;92:89–94.

5. Gignac E, Manninen PH, Gelb AW. Comparison of fentanyl, sufentanil and alfentanil during awake craniotomy for epilepsy. Can J Anaesth 1993;40;421–4.

6. Herrick IA, Craen RA, Gelb AW. Propofol sedation during awake craniotomy for seizure: patient controlled administration versus neurolept analgesia. Anesth Analg 1997;84:285-91.

7. Johnson KB, Egan TD. Remifentanil and propofol combination for awake craniotomy: case report with pharmacokinetic simulations. J Neurosurg Anesthesiol 1998;10:25-9.

8. Cotrell JE. Brain protection in neurosurgery: dos and don’ts. ASA Annual Meeting Refresher Course Lecture, October 2002.

9. Bhana N, Goa KL, Mc Clellan KJ. Dexmedetomidine. Drugs. Adis International 2000;59(2):263–268.

10. Bloor BC, Ward DS, Belleville JP, Maze M. Effect of intravenous dexmedetomidine in humans, hemodynamic changes. Anesthesiology 1992;77:1134–42.

11. Villela NR, Nascimento P. Dexmedetomidine in anesthesiology. Rev Bras Anestesiol 2003;53(1):97–113.

12. Frost EAM. History of neuroanesthesia. Dalam: Albin MS, ed. Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and Neuroscience Perspectives. New York: McGraw-Hill; 1997, 1–20

13. Wan Hassan MN. History of awake craniotomy in hospital Universiti Sains Malaysia. Malays J Med Sci. 2013 Oct; 20(5): 67–69.

14. Taylor MD, Bernstein M. Awake craniotomy with brain mapping as the routine surgical approach to treating patients with supratentorial intraaxial tumors: a prospective trial of 200 cases. Jour of Neurosurg 1999; 90(1).

15. Sakabe T, Matsumoto M. Effect of anesthetic agents and other drugs on cerebral blood flow, metabolism, and intracranial pressure. Dalam: Cottrell JE, Young WL, editor. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia; 2010, 78–94.

16. Ohata H, Iida H, Dohi S, Watanabe Y. Intravenous dexmedetomidine inhibits cerebrovascular dilatation induced by isoflurane and sevoflurane in dogs. Anesth Analg 1999;89:370–7.

17. Zornow MH, Fleisher JE, Scheller MS, Nakakimura K, Drummond JC. Dexmedetomidine, an a2-adrenergic agonist, decreases cerebral blood flow in isoflurane-anesthetized dog. Anesth Analg 1990;70:624–30.

18. Maninen PH, See JJ. Epilepsy, epilepsi surgery, awake craniotomy for tumor surgery, and intraoperative magnetic resonance imaging. Dalam: Newfield P, Cottrell JE, eds. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 2007, 197–215

19. Schubert A, Lotto M. Awake craniotomy, eplepsy, minimal invasive, and robotic surgery. Dalam: Cottrell JE, Young WL, eds. Cottrell and Young’s Neuroanesthesia. 5th ed, Philadelphia: Mosby Elsevier; 2010, 296–316

Page 68: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

Indeks Penulis

AAhmado Oktaria, 162Achmad Adam, 157

BBau Indah Aulyan, 203Bambang Suryono, 177Buyung Hartiyo Laksono, 193

CCaroline Wullur, 171

DDewi Yulianti Bisri, 157, 162, 171, 212

MM. Adli Boesoirie, 171Marsudi Rasman, 193Multivanya Inez M, 157

NNazaruddin Umar, 192

SSandhi Christanto, 177SilmiAdriman, 187Siti Chasnak Salaeh, 177, 187

TTatang Bisri, 212

Page 69: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

AAnestesi, 162Awake craniotomy, 212Analgesik sedatif, 212

CCedera kepala traumatik, 177Clipping aneurisma, 193

DDisability Index, 78Dexmedetomidin, 212

EEmboli udara vena, 203Epidural hemorrhage, 187

HHerniasi serebral, 187Hidrosefalus, 203

JJenis, 157

KKehamilan, 162, 171Kraniotomi otak, 171

LLetak, 157

MManajemen anestesi, 135Meningioma, 120

NNyeri pinggang bawah, 83

PPerdarahan intraserebral, 162 Perdarahan subdural akut, 177Penatalaksanaan perioperatif, 187Posisi prone, 203Proteksi otak, 193 SSeksio sesarea, 171SAH, 193

TTanda Cushing, 187Tumor supratentorial, 157Tumor fossa posterior, 203

VVasopasme, 193VP-shunting, 203

Indeks Subjek

Page 70: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

1. Ketentuan Umum

Redaksi majalah Jurnal Neuroanestesia Indonesia menerima tulisan Neurosains dalam bentuk Laporan Penelitian, Laporan Kasus, Tinjauan Pustaka, serta surat ke editor. Naskah yang dipertimbangkan dapat dimuat adalah naskah lengkap yang belum dipublikasikan dalam majalah nasional lainnya. Naskah yang telah dimuat dalam proceeding pertemuan ilmiah masih dapat diterima asalkan mendapat izin tertulis dari panitia penyelenggara.

2. Judul

Bahasa Indonesia tidak melebihi 12 kata, judul bahasa Inggris tidak melebihi10 kata.

3. Abstrak

Ditulis dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia serta tidak boleh lebih dari 250 kata.

Abstrak Penelitian:

Terdiri dari IMRAD (Introduction, Method, Result, and Discussion). Dalam introduction mengandung latar belakang dan tujuan penelitian. Dalam Discussion diakhiri oleh Simpulan.

Contoh Penulisan Abstrak Penelitian:

Latar Belakang dan Tujuan: Disfungsi kognitif pascaoperasi (DKPO) sering terjadi dan menjadi masalah serius karena dapat menurunkan kualitas hidup pasien yang menjalani pembedahan dan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui angka kejadian DKPO pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo dan menganalisa faktor-faktor yang dapat mempengaruhinya.Subjek dan Metode: Penelitian ini melibatkan 50 orang sampel berusia 40 tahun atau lebih yang menjalani pembedahan lebih dari dua jam. Dilakukan serangkaian pemeriksaan fungsi kognitif praoperasi dan tujuh hari pascaoperasi.

Domain kognitif yang diukur adalah atensi dan memori. Faktor yang diduga mempengaruhi kejadian DKPO dalam penelitian ini adalah usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi.Hasil: Tujuh hari pascaoperasi 30% sampel mengalami gangguan atensi, 36% sampel mengalami gangguan memori dan 52% sampel mengalami disfungsi kognitif pascaoperasi. Pemeriksaan kognitif yang mengalami penurunan bermakna adalah digit repetition test, immediate recall, dan paired associate learning. Analisa logistik regresi variabel usia (p=0,798), tingkat pendidikan (p=0,921) dan durasi operasi (p=0,811) terhadap kejadian DKPO menunjukkan hubungan yang tidak bermakna. Namun bila dianalisa pada masing masing kelompok usia tampak bahwa persentase pasien yang mengalami DKPO konsisten lebih tinggi pada usia ≥50 tahun, tingkat pendidikan ≤6 tahun dan durasi operasi ≥180 menitSimpulan: Kejadian disfungsi kognitif pada pasien yang menjalani operasi elektif di GBPT RSU dr. Sutomo cukup tinggi. Faktor usia, tingkat pendidikan dan durasi operasi tampaknya mempengaruhi kejadian DKPO meskipun secara statistik tidak signifikan.

Kata kunci: anestesi umum, atensi, kognitif pascaoperasi, memori

Abstrak Laporan Kasus:

Terdiri dari Pendahuluan, Kasus, Pembahasan, simpulan

Contoh Penulisan Abstrak Laporan Kasus:

Abstrack

Meningoencephaloceles are very rare congenital malformations in the world that have a high incidence in the population of Southeast Asia, include in Indonesia. Children with anterior meningoencephaloceles should have surgical correction as early as possible because of the facial dysmorphia, impairment of binocular vision,

Pedoman Bagi Penulis

Page 71: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

increasing size of the meningoencephalocele caused by increasing brainprolapse, and risk of infection of the central nervous system. In the report, we presented a case of a 9 months-old baby girl with naso-frontal encephalocele and hydrocepahalus non communicant, posted for VP shunt (ventriculo-peritoneal shunt) and cele excision. Becaused of the mass, nasofrontal or frontoethmoidal and occipital meningoencephalocele leads the anaesthetist to problems since the anaesthesia during the operation until post operative care. Anaesthetic challenges in management of meningoencephalocele, which most of the patients are children, include securing the airway with intubation with the mass in nasofrontal or nasoethmoidal with its associated complications and accurate assessment of blood loss and prevention of hypothermia

Key words: Anaesthesia, difficult ventilation, difficult intubation, naso-frontal, meningoencephalocele, padiatrics

Abstrak Tinjauan Pustaka:

Terdiri dari Pendahuluan, Isi, dan Simpulan

Abstrak

Stroke hemoragik merupakan penyakit yang mengerikan dan hanya 30% pasien bertahan hidup dalam 6 bulan setelah kejadian. Penyebab umum dari perdarahan intrakranial adalah subarachnoid haemorrhage (SAH) dari aneurisma, perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM), atau perdarahan intraserebral. Perdarahan intraserebral sering dihubungkan dengan hipertensi, terapi antikoagulan atau koagulopati lainnya, kecanduan obat dan alcohol, neoplasma, atau angiopati amyloid. Mortalitas dalam 30 hari sebesar 50%. Outcome untuk stroke hemoragik lebih buruk bila dibandingkan dengan stroke iskemik dimana mortalitas hanya sekitar 10-30%. Stroke hemoragik khas dengan danya sakit kepala, mual muntah, kejang dan defisit neurologic fokal yang lebih besar. Hematoma dapat menyebabkan letargi, stupor dan koma. Disfungsi neurologik dapat terjadi dari rentang sakit kepala sampai koma. Pengelolaan dini difokuskan pada: 1)

pengelolaan hemodinamik dan jantung, 2) jalan nafas dan ventilasi, 3) evaluasi fungsi neurologik dan kebutuhan pemantauan tekanan intrakranial atau drainase ventrikel atau keduanya.

Kata kunci: perdarahan intrakranial, stroke perdarahan

Diakhir abstrak dibuat kata kunci yang ditulis berurutan secara alphabet, 3–5 buah.

4. Cara Penulisan Makalah Penulisan Daftar Pustaka:

• Nomor Kepustakaan berdasarkan urutan datang” di dalam teks, Vancouver style.

• Jumlah kepustakaan minimal 8 dan maksimal 20 buah.

Contoh cara penulisannya:

Dari Jurnal:

1. Powers WJ. Intracerebral haemorrhage and head trauma. Common effect and common mechanism of injury. Stroke 2010;41(suppl 1):S107–S110.

2. Qureshi A, Tuhrim S, Broderick JP, Batjer HH, Hondo H, Hanley DF. Spontaneus intracerebral haemorrhage. N Engl J Med 2001,344(19):1450–58.

Dari Buku:

1. Ryan S, Kopelnik A, Zaroff J. Intracranial hemorrhage: Intensive care management. Dalam: Gupta AK, Gelb AW, eds. Essentials of Neuroanesthesia and Neurointensive Care. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2008, 229–36.

2. Rost N, Rosand J. Intracerebral Hemorrhage. Dalam: Torbey MT, ed. Neuro Critical Care. New York: Cambridge University Press;2010,143–56.

Materi Elektronik

Artikel Jurnal dalam Format Elektronik Lipton B, Fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of

Page 72: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

attachment theory and affective neuroscience. Journal of Psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011]. Tersedia dari: http://www.sciencedirect.com

5. Jumlah halaman

Laporan Kasus : 10-12 halamanLaporan Penelitian : 15 halamanTinjauan Pustaka : 15-20 halamanSurat Pembaca : 1 halamanDitik 1,5 spasi, Times New Roman, 11 font.

Page 73: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

Penanggungjawab, pemimpin, dan segenap redaksi Jurnal Neuroanestesi Indonesia menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya serta ucapan terima kasih yang tulus

kepada mitra bebestari:

Prof. Siti Chasnak Saleh, dr., SpAnKIC,KNA(Universitas Airlangga ‒ Surabaya)

Dr. Sri Rahardjo, dr., SpAnKNA, KAO(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)Dr. M. Sofyan Harahap, dr., SpAnKNA(Universitas Diponegoro ‒ Semarang)

MH. Sudjito, dr., SpAnKNA(Universitas Sebelas Maret ‒ Surakarta)

Bambang Suryono, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes(Universitas Gadjah Mada ‒ Yogyakarta)

Bambang J. Oetoro, dr., SpAnKNA(Universitas Khatolik Atmajaya–Tangerang)

Dr. Nazaruddin Umar, dr., SpAnKNA(Universitas Sumatera Utara–Medan)

I Putu Praman Suarjaya, dr., SpAnKNA, KMN, M.Kes(Universitas Udayana–Denpasar)

Dr. Diana Lalenoh, dr., SpAnKNA, KAO, M.Kes(Universitas Sam Ratulangi–Manado)

Dr. MM. Rudi Prihatno, dr., SpAnKNA, M.Si(Universitas Soedirman–Purwokerto)

Atas kerjasama yang terjalin selama ini, dalam membantu kelancaran penerbitan Jurnal Neuroanestesi Indonesia, semoga kerjasama ini dapat berjalan lebih baik untuk masa yang akan

datang

Redaksi

Page 74: Daftar Isi Laporan Penelitian - inasnacc.orginasnacc.org/images/Artikel/vol4no3okt2015/Volume04Nomor03Oktober... · Laporan Penelitian Insidensi Tumor Supratentorial berdasarkan Jenis

FORMULIR PESANAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:Nama Lengkap : ………………………………………………………………...Alamat Rumah : ………………………………………………………………... ………………………………………………………………... ……………….. Kode pos…………………………................. Telepon …………………………Faks …………………......... HP ………………………………E-mail…………...................Alamat Praktik : ………………………………………………………………... Telepon …………………………Faks ……………….............Alamat Kantor : ………………………………………………………................ ……………………….. Kode pos…………………………….. Telepon …………………………Faks ……………………......Mulai berlangganan : ………………………………. s.d ……………………………...

Saya bermaksud untuk berlangganan JNI secara teratur dengan mengirimkan biaya berlangganan sebesar Rp. 250.000,00 per tahun**

Pembayaran melalui : □ Langsung ke Sekretariat Redaksi Jl. Prof. Dr. Eijkman No. 38 – Bandung 40161 Mobile : 087722631615

JNI dikirimkan ke* : □ Alamat Rumah □ Alamat praktik □ Alamat Kantor

Bandung, ………………………………… Hormat Saya

( )

* pilih salah satu** foto kopi bukti transfer mohon segera dikirimkan/faks ke Sekretariat Redaksi*** termasuk ongkos kirim untuk wilayah Jawa Barat, Jakarta, dan Banten