DAFTAR ISI KATA PENGANTAR . i - USU Librarylibrary.usu.ac.id/download/fh/05012459.pdf · 3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Upaya mewujudkan penataan investasi asing secara multilateral sebenarnya telah
dimulai sejak tahun 1948 pada saat dilangsungkannya United Nations conference on Trade
and Employment di Havana. Konferensi tersebut telah membahas sejumlah ketentuan yang
bertujuan untuk mendorong kelancaran arus modal secara internasional sebagai salah satu
tujuan yang ingin dicapai oleh Organisasi Perdagangan Internasional (International Trade
Organization, ITO). Konferensi yang menghasilkan Havana Charter ini meminta kepada
negara-negara peserta agar menghindari perlakuan yang diskriminatif terhadap investor
asing.1 Namun, Havana Charter tidak berhasil mendapatkan persetujuan untuk diratifikasi
oleh para penandatangannya.2 Sejak saat itu praktis pembicaraan mengenai kebijakan
investasi dan perdagangan kurang mendapatkan perhatian dari negara-negara perserta, dan
hanya lebih fokus pada persoalan liberalisasi perdagangan.3 Keadaan ini berubah setelah
dilangsungkannya Uruguay Round pada kurun waktu 1986 - 1994 dimana masalah
penanaman modal menjadi salah satu agenda penting dalam pembicaraan menvangkut
perdagangan intemasional. 1United Nations, The Impact of Trade Related Investment Measures; Theory, Evidencv and Policy Implication, United Nations, New York, 1991, Hal, 79
2 Salah satu penyebabnya adalah tidak bersedianya kongres Amerika Serikat meratifikasi charter tersebut dan tindakan ini kemudian diikuti oleh negara-negara besar lainnya. Untuk mengisi kekosongan hukum dalam penataan perdagangan internasional, para peserta Konferensi menggunakan salah satu instrument dalam Havana Charter yakni Protocol of Provisional Aplication (PPA) yang penandatangannya cukup dilakukan oleh eksekutif. PPA inilah kemudian menjadi cikal bakal GATT. (Lebih lanjut lihat John H. Jackson, The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations, The MIT Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, 1989, Hal. 32-39
3 Mari Pangestu, “Perjanjian Intemasional Mengenai Investasi GATT 1994/WTO dan APEC”, Pertamina - Komite Nasional Indonesia - World Energy Council, Jakarta, 1996, hlm. 34.
terhadap persyaratan-persyaratan yang ditawarkan oleh Pemerintah Kanada. Setelah hampir
selama satu tahun melakukan negosiasi dengan Pemerintah Kanada, perusahaan itu baru
diberikan ijin untuk beroperasi di wilayah Kanada. Pemberian ijin ini pun diberikan setelah
“Apple Computer” menyetujui serangkaian persyaratan, antara lain mengenai kesediaan
“Apple Computer” untuk membeli barang-barang buatan Kanada dalam persentase tertentu
dari proses produksi dan persetujuan untuk merekomendasikan komponen-komponen buatan
Kanada kepada dealer-dealer “Apple Computer” di seluruh dunia.5
Pemerintah Amerika Serikat dalam tuntutannya yang diajukan tahun 1982
mendalilkan bahwa persyaratan pembelian dan penggunaan komponen lokal buatan Kanada
dalam proses produksi bertentangan dengan Artikel III.46, III.57, XI.18 dan Pasal VII.1. c9
GATT, sedangkan kewajiban ekspor sejumlah tertentu dari hasil produksi melanggar
ketentuan Artikel XVII. 1.c dan XXIII10 dan GATT.
5Robert II. Edward Jr. and Simon N. Lester, "Toward A More Comprehensif World Trade Organization ; Agreement on trade-Related Investment Measures", Stanford Journal of International Law, 1997, hal.l7
6Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use ...
7Article III.5 GATT : No contracting party shall establish or maintain any internal quantitative regulation relating to the mixture, processing or use of products in specified amount of proportions which requires, directly or indirectly, that any specified amount or proportion of any product which is the subject of the regulation must he supplied from domestic sources...
8 Article XI l GATT : No prohibiton or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, import or export licenses or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party...
9 Article XVII.I. [c] GATT : No cantracting party shall prevent any enterprise (whether or not an enterprise described in sub-paragraph (a) of this paragraph) under its jurisdiction from acting in accordance with the principle of sub-paragpraph (a) and (b) of this paragraph. Perhatikan sub-paragrap (a) dan (b) dari Article XVII.I sebagai berikut (a) Each contracting party undertake that if it establishes or maintains a State enterprise, wherever located, or
grants to Any enterprise, formally or in effect, exclusive or special privileges, such enterprise shall, in its purchases or sales involving either imports or exports, act in a manner consistent with the general principles of non-discriminatory treatment prescribed in this Agreement For govermental measures affecting imports or exports by private traders.
Pemerintah Kanada dalam membantah tuntutan Pemerintah Amerika Serikat
mempergunakan pendekatan tentang kedaulatan dan kompetensi GATT sebagai dasar
argumentasi penolakan. Pemerintah Kanada mendalilkan bahwa ketentuan-ketentuan GATT
tidak meliputi masalah investasi. GATT sejak saat pembentukannya diterima sebagai sebuah
kesepakatan multilateral yang menyangkut masalah pengaturan liberalisasi perdagangan
barang, tidak termasuk di dalamnya masalah investasi. Penataan investasi asing menyangkut
langsung pada persoalan kedaulatan negara Kanada sebagai sebuah negara merdeka. Oleh
karena itu ketentuan-ketentuan GATT tidak dapat diterapkan atas persyaratan penanaman
modal yang ditetapkan oleh Pemerintah Kanada bagi perusahaan-perusahaan investasi asing
di wilayah hukum mereka.
Keberatan Pemerintah Kanada berkenaan dengan masalah kedaulatan negara Kanada
untuk menerapkan tindakan-tindakan tertentu di wilayah hukumnya pada dasarnya diterima
oleh Panel Penyelesaian Sengketa GATT yang (b) 'The provision of sub paragraph (a) of this paragraph shall be understood to require that such enterprises
shall, having due regard to the other provisions f this Agreement, make any such purchases o sales solely in accordance with commercial consideration, including price, quality, availability, marketability, transportation and other conditions of purchase or sale, and shall affordtne enterprises of the other contracting parties adequate opportunity, in accordance with customarv business practice, to compete for participation in such purchases or sales. 10 Article XX III (1) GATT : If any contracting party should consider that any benefit accruing to it
directly or indirectly under this Agreement is being nullified or impaired or that the attainment of any objective of the Agreement is being impeded as the result of (a) the failure of another contracting party to carry out its obligation under this Agreement, or (b) the application by another contracting party of any measures, whether or not it conflicts with the provision of this Agreement, or (c) the existence of any other situation, the contracting party may, with a view to the satisfactory adjustment of the matter, make written representations or proposals to the another contracting party or parties which it considers to be concerned. Any contracting party thus approached shall give sympathetic consideration to the representations or proposals made to it.
Article XXIII (2) If no satisfactory adjustment is effected between the contracting parties concerned within a reasonable time, or if the difficulty is of the type described in paragraph 1 [cl of this Article, the matter may be rcffored to the contracting parties. The contracting parties shall promptly investigate any matter so reffered to them and shall make appropriate recommandations to the contracting parties which they considered to be concerned, or give a ruling on the matter, as appropriate. The contracting parties, woth the Economic and Social Council of the United Nations and with any appropriate inter-govermental organization in case they consider such consultation necessary.
memeriksa dan mengadili FIRA Case ini, akan tetapi alasan tersebut tidak menyebabkan
Pemerintah Kanada menyampingkan kewajiban-kewajiban mereka berdasarkan perjanjian
internasional yang telah mereka sepakati, khususnya dalam hal ini adalah General
Agreement on Tariffs and Trade. Pendapat ini tercermin dari pertimbangan hukum Panel
yang diputuskan pada tahun 1984 yang menyatakan sebagai berikut :
"... in view of the fact that the General Agreement does not prevent Canada from exercising its sovereign right to regulate foreign direct investment, the panel examined the purchase and export undertaking by investors solely in the light of Canada's trade obligation under the General Agreement. Thus, the Panel clearly stated that this is not an inquiry into a sovereign state's right to regulate foreign investment in Canoda 's territory, but is only designed to determine whether or not the regulation effected Canada 's trade obligations within the framework of the GATT11 .
Dengan memperhatikan keterkaitan antara persyaratan penanaman modal dan
kewajiban-kewajiban Kanada di bawah ketentuan GATT selanjutnya Panel memutuskan
bahwa tindakan Pemerintah Kanada yang menjadikan syarat pembelian dan atau penggunaan
produk buatan dalam negeri Kanada serta menentukan jumlah tertentu dari hasil produksi
yang wajib diekspor, dijadikan sebagai pertimbangan utama untuk memberikan ijin operasi
bagi investasi asing, maka secara meyakinkan Perubahan Undang-Undang Penanaman Modal
Asing Kanada tersebut telah melanggar ketentuan Artikel III.4 GATT tentang national
treatment.
11Lebih lanjut perhatikan Canada Administration of the Foreign Investment Review Act, FIRA Panel Report, Februari 7th 1994, Hal. 140 -144. Perhatikan juga Catherine Curtiss and Kathryn Cameroon, “The United State-Latin American Trade Laws”, Newyork Journal of International Law, 1995, Hal. 127. Lebih lanjut dijelaskan bahwa tidak ada ketentuan-ketentuan GATT yang mengatur tentang penanaman modal asing. Masalah investment measures masuk dalam lingkup GATT hanya jika tindakan tersebut berdampak langsung terhadap kebebasan arus perdagangan barang.
Persyaratan penanaman modal yang diterapkan oleh Pemerintah Kanada terhadap
para investor asing merupakan wujud perlakuan diskriminatif terhadap barang impor.
Perlakuan diskriminatif ini diwujudkan dengan cara memberikan perlakuan istimewa
terhadap barang-barang buatan dalam negeri Kanada. Dengan cara mewajibkan pembelian
atau penggunaan barang buatan dalam negeri Kanada, maka dengan sengaja Pemerintah
Kanada telah menghilangkan kesempatan bagi barang impor untuk bersaing secara adil
dengan barang-barang buatan dalam negeri Kanada di pasar Kanada sendiri. Tindakan ini,
meskipun keluar dalam bentuk kebijakan investasi asing tapi sebenarnya tindakan tersebut
ditujukan untuk mempengaruhi perdagangan barang-barang Kanada. Sehingga dapat
dikatakan bahwa tindakan investasi yang demikian merupakan bentuk hambatan
perdagangan.
Fontheim dan Gadbaw mendukung putusan Panel atas FIRA Case tersebut dengan
mengemukakan pendapat yang sedikit lebih luas sebagai berikut:
“Although no single article of GATT is applicable to all forms of (performance requirements), all (performance requirements) arguable violate one Article or another. Some (performance requirements) clearly run afoul of specific provisions while the case againts other forms is weaker, given a strict construction of treaty obligations. Nonetheless, where obligation do not appear, on their face, to prohibit certain (performane requirements), the general intent and context of the GATTMTN sistim should be considered. The sistim is intended to foster free trade, while (performance requirements) are protectionst measures. The presumption should, therefore, be againts considering any (performane requirements) valid under GATT.”12
Meskipun tidak ada satu pasal pun dari GATT yang dapat diterapkan untuk semua
bentuk persyaratan penanaman modal, dalam hal ini pembatasan tertentu, namun bukanlah
berarti tindakan seperti yang diterapkan oleh Kanada
12 Claude G.B. Fontheim and Micheal R. Gadbaw, “Trade Related Performance Requirement under the GATT-MTN System and US Law”, law and Policy International Bussiness, 1995, Hal. 143-144.
BENTU-BENTUK PERSYARATAN PENANAMAN MODAL YANG TIDAK
KONSISTEN DENGAN AGREEMENT ON TRADE-RELATED
INVESTMENT MEASURES
Pada dasarnya Agreement on Trade-Related Investment Measures adalah
implementasi prinsip-prinsip dasar GATT dalam bentuk yang lebih spesifik yang terkait
dengan kegiatan penanaman modal asing secara langsung (foreign direct investment), Hal ini
terlihat dari klausula-klausula dalam Kesepakatan tersebut yang tetap dapat dikembalikan
pada asas national treatment, prohibition on quantitative restriction, transparency, dan
reciprocity.
Bab ini akan membahas tentang bentuk-bentuk-bentuk dari performance requirement
yang bertentangan dengan GATT pada umumnya dan khususnya dengan Agreement on
Trode-Related Investment Measures. Uraian-uraian akan didasarkan pada prinsip dasar
GATT, yakni national treatment, prohibition on quantitative restriction, dan transparency. 2.1. Persyaratan Penanaman Modal yang Bertentangan dengan Prinsip National
Treatment
Peraturan penanaman modal dalam TRIM's Agreement sebenarnya merupakan
penegasan kembali secara lebih spesifik prinsip-prinsip perdagangan bebas yang telah
dinegosiasikan sejak tahun 1947.14 Salah satu prinsip dasar dari perdagangan internasional
yang ditransformasikan adalah pnnsip national treatment.15 Prinsip ini dijadikan sebagai
alasan mendasar bagi dilarangnya
14 Hata, Aspek-Aspek Hukum don Non hukum Perdagangun Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung, S'I'BH press, 1998, hlm.271
sebuah persyaratan penanaman modal karena dianggap mengandung tindakan diskriminatif
terhadap produk impor.
Prinsip national treatment merupakan batu penyangga dalam sistem perdagangan
internasional dewasa ini. Dalam sistim GATT, bersama dengan prinsip most- favoured
nations prinsip ini menjamin tidak adanya tindakan diskriminatif diterapkan oleh
negara-negara anggota. 17 Jiwa dari prinsip national treatment adalah adanya perlakuan yang
sama oleh suatu negara baik terhadap kepentingannya sendiri maupun terhadap kepentingan
negara lain."
Berkaitan dengan mekanisme perdagangan bebas multilateral, prinsip ini melarang
negara-negara anggota GATT/ WTO menerapkan kebijakan yang menyebabkan diskriminasi
perlakuan antara produk impor dengan produk buatan sendiri. Dengan kata lain
negara-negara anggota memiliki kewajiban untuk tidak memperlakukan produk-produk
impor secara berbeda dengan kebijakan terhadap produk-produk yang sama buatan dalam
negeri.18 Ruang lingkup berlakunya prinsip ini juga berlaku terhadap semua diskriminasi
yang muncul dari tindakan-tindakan perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya. Prinsip ini
berlaku pula terhadap perundang-undangan, pengaturan dan persyaratan-persyaratan hukum
yang dapat mempengaruhi penjualan, pembelian, pengangkutan, distribusi atau penggunaan
produk-produk di pasar dalam, negeri. Prinsip ini juga memberikan 16 John H, .Jackson. The World Trading System ; Law and Policy of International Economic Relations. The MITpress, London, 1989, Hal. 199.
17 Perhatikan lebih lanjut Herman Mosler, The International Society as a Legal Community, Sijtihoff& Nordhoff USA, 1980, Hal. 254.
penggunaan komponen buatan dalam negeri (local content requirement) dan persyaratan
keseimbangan perdagangan (trade balancing requirement).
2.1.1. Persyaratan Kandungan Lokal (local content requirement)
Paragraf l.a illustrative list dari Agreement on TRIMs melarang negara-negara
anggota WTO menerapkan kebijakan local content requirement yang
21 Article III.4 GATT : The product of the territory of any contracting party imported into the territory of any other contracting party shall be accorded treatment no less favourable that accorded to like products of national origin in respect of all laws, regulation and requirement affecting their internal sale, purchase, transportation, distribution or use
Dengan kata lain, kebijakan ini sebenarnya ditujukan kepada perusahaan-perusahaan dari
Jepang.27
Panel dalam sengketa ini memutuskan bahwa tindakan EEC bertentangan dengan
Article III.4. GATT. Dalam pertimbangannya Penel menjelaskan bahwa Article III.4 GATT
berlaku pada setiap undang-undang dan peraturan lainnya yang menimbulkan dampak kepada
penjualan internal, penawaran, transportasi, distribusi dan penggunaan barang buatan dalam
negeri. Ketentuan ini dapat dikenakan tidak saja dalam keadaan dimana peraturan-peraturan
tersebut bersifat memaksa atau mewajibkan, tetapi juga terhadap tindakan sukarela yang
dianjurkan oleh peraturan yang demikian, seperti pada Perkara FIRA Case antara Pemerintah
Kanada dan Pemerintah Amenka Serikat. Amandement yang dilakukan EEC memang tidak
mewajibkan bagi perusahaan-perusahaan EEC untuk tidak mengimpor barang dari negara di
luar EEC, akan tetapi adanya pembebasan dari bea anti-dumping bila mematuhi peraturan
tersebut akan memberikan sejumlah keuntungan bagi perusahaan EEC dan ini sangat
mempengaruhi permintaan dan penjualan produk yang sama dari pasar EEC sendiri.
Keuntungan ini merupakan kerugian bagi perusahaan-perusahaan Jepang. Amandemen
tersebut nyata merupakan tindakan diskriminatif karena dengan kebijakan tersebut EEC telah
memberikan perlakuan yang lebih baik terhadap produk sendiri dari pada produk impor.28
Tindakan Pemerintah Kanada yang memberikan pengecualian kewajiban pajak impor
komponen pembuatan kenderaan bermotor oleh Panel Penyelesaian Sengketa WTO juga
dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Article III.4 27 Lebih lanjut, EEC - Regulation on Import of Parts and Componen : Report by the Panel adopted on 16th May 1990, Document L/6657 - 37S/132, Hal.5
berdasarkan Article 2 Agreement on TRIMs, khususnya mengenai larangan persyaratan
kandungan lokal dan memerintahkan Pemerintah India untuk mencabut Undang-Undang
tersebut.30
Perkara-perkara tersebut berbeda dengan kasus Indonesia. Pemerintah Indonesia
mencantumkan persyaratan local content requirement tetapi tidak merupakan persyaratan
wajib yang; harus dipenuhi oleh investor. Pemenuhan kandungan lokal terkait dengan
pemberian insentif investasi berupa pembebasan pajak impor dan pajak pertambahan nilai
barang mewah.
Dalam upaya meningkatkan industri otomotif nasional, Pemerintah Republik
Indonesia menjalankan Program Mobil Nasional. Untuk menjalankan program ini kepada
perusahaan otomotif nasional akan diberikan status sebagai perusahaan “pioner” apabila
dalam proses produksi memenuhi kriteria penggunaan kandungan lokal sebanyak 20 % pada
tahun pertama produksi, dan jumlah ini terus meningkat menjadi 40 % pada tahun kedua dan
60 % pada akhir tahun ketiga produksi komersial.31 Diperolehnya status sebagai perusahaan
“pioner” setidaknya akan memberikan dua keuntungan ekonomis, yakni perusahaan yang
bersangkutan dapat melakukan impor bahan tambahan untuk keperluan produksi mobil
nasional tanpa dikenakan pajak dan adanya pembebasan dari kewajiban pembayaran pajak
pertambahan nilai barang mewah (PPn BM). Status "pioner" dapat diberikan kepada
perusahaan asing apabila perusahaan yang bersangkutan dapat memenuhi ketentuan local
content requirement tersebut.
Dalam pelaksanannya status pioneer berikut dengan fasilitas pembebasan pajak
barang mewah hanya diberikan kepada PT. Timor Putra Nasional (PT.TPN).
30 Http://www.wto.org/english/trato p/investment/dispu e.html 31 Instruksi Presiden No. 2 Tahun 1996. Keputusan Menteri perindustrian dan Perdagangan No. 31
Terhadap kebijakan Pemerintah India ini Panel Penyelesaian Sengketa WTO memutuskan
bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan Article III.4 GATT jo. Paragraf 1 (b)
Agreement on TRIMs.
Brazil adalah negara yang menerapkan persyaratan penanaman modal yang
mengkombinasikan antara insentif penanaman modal, kewajiban local content requirement
dan trade balancing. Berdasarkan Keputusan Presiden No. 1761 tanggal 26 Desember 1995
Pemerintah Brazil memberikan insentif penanaman modal berupa pengurangan bea masuk
sampai dengan 90 % untuk impor barang modal dan antara 40 % - 80 % untuk impor bahan
baku dan komponen pembuatan otomotif bagi para produsen yang memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan oleh Pemerintah Brazil. Keringanan pengurangan bea masuk kenderaan
impor sebesar 50 % juga diberikan kepada produsen otomotif yang memenuhi kualifikasi
yang ditetapkan.37 Produsen dikatakan memenuhi kualifikasi sehingga berhak atas insentif
tersebut adalah produsen otomotif yang memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a. wajib memenuhi persyaratan kandungan lokal sebesar 60 % dari total input yang
dipergunakan ;
b, wajib memenuhi rasio 1 : 1 atas impor barang mentah dengan yang dibuat di dalam
negeri serta terhadap perbandingan penggunaan barang modal impor dengan yang
dibuat di dalam negeri ;
c. impor kendaraan tidak boleh melebihi jumlah yang sudah ekspor ; 37 George Klenfeld and Deborah Wengel. Foreign Investment, International Law Journal, Summer, 1996, Hal.4
d. impor komponen tidak melebih 2/3 bagian dari total komponen yang diekspor oleh
produsen yang bersangkutan.38
Panel yang memeriksa perkara ini menetapkan bahwa tindakan pemerintah Brazil
menetapkan persyaratan penanaman modal yang mensyaratkan adanya kewajiban local
content requirement dan trade balancing bertentang dengan Article 2 Agreement on TRIMs,
Article III.4 dan Article XI.1 GATT 1994.39 Sementara insentif penanaman modal yang
diberikan oleh Pemerintah Brazil dalam bentuk pengurangan bea masuk tidak bertentangan
dengan Agreement on TRIMs akan tetapi melanggar ketentuan dari Article 3.1 Agreement on
Subsidies and Conterveiling Measures yang juga melarang persyaratan local content dan
trade balancing. Larangan ini berbeda dengan Agreement on TRIMs. Jika penerapan kedua
kebijakan tersebut dijadikan sebagai persyaratan untuk dapat beroperasinva sebuah
perusahaan asing, maka persyaratan tersebut bertentang dengan Agreement on TRIMs, akan
totapi apabila kedua persyaratan tersebut dijadikan sebagai prakondisi untuk mendapatkan
subsidi, maka bertentangan dengan Agreement on Subsidies and Conterveiling Measures.40
Dalam hal ini pemerintah Brazil telah dianggap memberikan subsidi kepada produsen dalam
38 Ibid. Hal. 5 39 Brazilian Automotif Measures, Panel Report, dapat diakses dalam Web Site WTO, http://www.wto.org/english/tratop e/investment/dispu c. 40 Article 1.1 Agreement Agreement on Subsidies and Contorveiling Measures menganggap subsidi ada jika terdapat kondisi sebagai berikut, antara lain :
a. kegiatan pemerintah melibatkan penyerahan dana secara langsung' (misalnya hibah, pinjaman dan penyertaan), kemungkinan pemindahan dana atau kewajiban secara langsung (misalnya jaminan hutang);
b. pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayar menjadi hapus atau tidak ditagih (misalnya insentif fiscal, seperti pengurangan pajak)
c. pemerintah menyediakan barang atau jasa selain dari infrastruktur umum atau pembelian barang ;
d. pemerintah melakukan pembayaran pada mekanisme pendanaan, atau mempercayakan, atau menunjuk suatu badan swasta untuk melaksanakan satu atau lebih dari jenis fungsi yang disebutkan pada point (a) sampai (c) diatas yang biasanya diberikan pada pemerintah dan pelaksanaannya secara nyata berbeda dari yang biasanya dilakukan oleh pemerintah.
bentuk pendapatan pemerintah dari pajak atau bea yang tidak ditagih oleh pemerintah dari
produsen. Pemberian subsidi ini disertai dengan syarat kewajiban penggunaan local content
atau trade balancing.
Kebijakan trade balancing sebenarnya memaksa investor asing melakukan tindakan
yang; tidak efektif karena tidak dibenarkan melakukan impor langsung dan hal ini justru
merugikan host country karena tidak menarik untuk menarik investor yang lebih berorientasi
pada efisiensi usaha. Oleh karena itu dengan melarang trade balancing policy, Agreement on
TRIMs selain membantu menciptakan iklim penanaman modal yang lebih kondusif di
wilayah host country, juga memberikan perlindungan terhadap kemampuan investor untuk
membuat keputusan bisnis yang lebih bebas yang berdasarkan pada prinsip efisiensi usaha.41
Jika mencantumkan local content requirement sebagai kewajiban adalah dilarang
demi hukum, tanpa diperhatikan lebih lanjut apakah secara defakto telah terjadi diskriminasi
internal, maka tidak demikian halnya terhadap trade balancing policy. Dalam trade
balancing policy unsur yang harus dipenuhi untuk dapat dikatakan melanggar Article III.4
GATT adalah hanya apabila barang-barang impor sudah berada di dalam pasar domestik
negara host country. Apabila barang impor dimaksud belum berada di pasar domestik host
country maka tidak dapat dikatakan kewajiban national treatment telah dilanggar karena
tidak terjadi diskriminasi internal. 42 Hal ini penting untuk dipahami, karena jika barang
impor belum berada di pasar domestik negara host country, maka pelanggaran yang
41 Russin et.ll, “Trade Related Investment Measures and Vietnams Law”, US-Vietnam Trade Council, Education Forum, 2002. Hal. 8.
42 Morrisey, et.all, The GATT Agreement on Trade Related Investment Measures: lmplications for Developing Countries and Their Relationship with Transnational Corporations, The Journal of Development Studies, London, June, 1995, Vol.31, Iss No. 5, Hal. 6
hasil negosiasi dalam bidang-bidang tertentu sangat dipengaruhi oleh pertimbangan
komprehensif tentang manfaat secara umum yang dijanjikan oleh berjalannnya mekanisme
perdagangan bebas secara umum. Mungkin terjadi suatu keadaaan dimana suatu negara tidak
diuntungkan dalam perundingan bidang TRIM's. akan tetapi negara tersebut bisa memperoleh
manfaat yang lebih dengan berlakunya sistim perdagangan bebas (GATT) sccara umum.
Oleh karena itu analisis terhadap hash negosiasi perbidang perundingan tidak mungkin
mengabaikan dampak GATT secara umum bagi perekonomian suatu negara termasuk
Indonesia.
3.1.1. Penurunan Tariff dan Perluasan Akses Pasar Dunia
Sistim perdagangan bebas dengan perlindungan tariff dalam kalkulasi ekonomis akan
sangat menguntungkan bagi Indonesia. Pemyataan ini jelas menjadi asumsi yang sangat
berpengaruh dalam pandangan Pemerintah Republik Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh
Pemerintah, dalam hal ini Menteri Perdagangan, dalam Rapat Kerja antara DPR RI dengan
Pemerintah pada tanggal 30 September 1994 sehubungan dengan pembahasan RUU
Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia sebagai berikut :
“... bahwa negara-negara industri maju berdasarkan kesepakatan GATT harus menurunkan tingkat tariff mereka pada kisaran 0 - 5 %, sedangkan kita di sektor industri tidak perlu melakukan hal yang demikian. Bahkan kita mendapatkan komitmen apabila diperlukan untuk meningkatkan lagi bea masuk kita sampai sebesar 40 %. Jadi, komitmen dan ,hasil yang kita capai adalah bahwa kita dalam sektor industri tidak boleh mengenakan perlindungan melalui tariff sampai sebesar 40 %, padahal dalam sektor industri tariff yang kita kenakan jauh lebih rendah dari itu. Hal ini berarti bahwa kita tidak perlu menurunkan proteksi tariff terhadap industri dalam negeri, atau dengan kata lain proteksi tariff sektor industri tetap berlangsung sebagaimana adanya saat ini. Apabila kita menurunkan bea masuk terhadap barang-barang hasil produksi industri, maka akan kita lakukan sendiri berdasarkan kebutuhan kita sendiri untuk meningkatkan daya saing industri hilir, tapi tidak ada kewajiban bagi kita untuk menurunkan tariff, sebaliknya kita bisa untung karena masih bisa menaikkan tariff sampai 40 %.66
66 Pendapat Pemerintah Rl, dalam hal ini Menteri Perdagangan RI dalam Rapat Kerja dengan DPR RI
schubungan dengan Pembahasan RUU Ratifikasi pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia, pada tanggal 30
September 1994 dikutip dalam “Catatan Rapat Kerja Komisi I DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri
Perdagangan dan Menteri Kehakiman” tanggal 30 September 1994, Hal, 26.
“sebaiknya kita menyadari bahwa kita tidak bisa lepas dari tatanan perdagangan dunia yang semakin menuju pada perdagangan bukan barang tetapi perdagangan jasa yang berbasis pada keahlian sumber daya manusia dan teknologi. Maka dari itu, kita tidak bisa terlepas dari kewajiban kita untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan kita di bidang perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual. Ini merupakan suatu konsekuensi bagi kita untuk maju . ... Supaya film kita, audio visual kita bisa masuk ke pasar negara-negara lain, maka kita harus mengimbangkan dengan perlindungan yang kita berikan terhadap kekayaan intelektual dari negara lain sesuai kewajiban yang kita telah tandatangani.”67
Dalam pembicaraan RUU Ratifikasi Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia
dalam parlemen Indonesia tidak ditemukan pembahasan yang intensif tentang
persetujuan-persetujuan perdagangan yang terkait dengan penanaman modal. Sama halnya
dengan bidang perdagangan jasa, maka bidang ini pun dikatakan sebagai konsekuensi dari
kewajiban yang harus dipenuhi, sebagaimana dijelaskan Pemerintah sebagai berikut :
"Ada satu yang perlu kita sesuaikan yaitu di bidang kewajiban investasi, dimana kita mengikatkan diri untuk menyesuaikan ketentuan penanaman modal yang tidak lagi membolehkan diwajibkannya penggunaan komponen-komponen dalam negeri dalam berbagai hak industri dan ini dengan radar kita telah ikut menandatangani demi kemajuan industri kita di dalam negeri. Akibatnya, misalnya adalah di bidang industri otomotif tidak lagi akan menggunakan komponen dalam negeri kecuali harga buatan dalam negeri Indonesia itu sendiri sudah cukup murah untuk dipakai dalam kegiatan investasi asing. Namun sebaliknya dengan menggunakan komitmen itu kita masih ada jaga-jaga, dalam arti bahwa di bidang akses pasar mengenai barang industri kita masih bisa memberikan perlindungan tariff kepada komponen dalam negeri. Dengan demikian, maka dalam jangka panjang perjanjian ini akan memberikan keuntungan dalam akses pasar dan dalam jangka panjang akan memberikan keuntungan bahwa kita akan tergerak menjadikan suatu kekuatan ekonomi yang lebih berdaya saing.68
67 Ibid., Hal. 25. 68 Jawaban Pemerinlah atas pertanyaan fraksi-fraksi DPR RI pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI
Terutama karena negara berkembang membutuhkan pinjaman dari negara maju, khususnya
mitra dagang utama.70 Dengan kata lain, bahwa negara berkembang ditekan untuk membuka
akses pasar mereka, sementara disisi lain negara-negara maju tetap membangun
tembok-tembok yang sukar ditembus untuk melindungi pasar mereka.
Seperti diingatkan oleh Derry Salim, anggota Textile Advisory Committee
“Dalam era perdagangan bebas saat ini, Pemerintah RI agar lebih berhati-hati menjalin hubungan dagang dengan negara-negara besar, apalagi hal itu ditempuh melalui hubungan bilateral. Kondisi tersebut justru membahayakan posisi Indonesia yang sedang berorientasi ekspor.
Kita tidak mungkin menghadapi masalah hubungan perdagangan dengan negara-negara besar seperti Amerika Serikat atas dasar perjanjian bilateral. Jelas posisi kita lemah, soalnya mereka bisa bertindak unilateral. Sebaiknya pemerintah tetap berpegang pada prinsip multilateral sesuai kesepakatan GATT.” 71
Keadaan seperti ini sulit diatasi dengan sistim GATT sebelum Putaran Uruguay.
Mungkin proteksi yang diterapkan negara ma.ju tidak tercakup dalam
kesepakatan-kesepakatan yang ada saat itu. Bisa juga terjadi karena suatu negara tidak
meratifikasi suatu kesepakatan bidang tertentu sehingga tidak terikat dengan ketentuan
perdagangan yang mengatur bidang tersebut, mengingat sistim ratifikasi sebelum Putaran
Uruguay adalah bersifat a la carte. Dengan semakin komprehensifnya ketentuan
perdagangan multilateral versi Putaran Uruguay, maka negara-negara berkembang dapat
menuntut ke WTO setiap tindakan negara maju yang bertentangan dengan kesepakatan
Putaran Uruguay.72
70 “Pengantar Musyawarah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia dalam Rapat Kerja DPR RI tanggal 30
September 1994”, Catatan Rapat Kerja DPR RI dengan Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan dan Menteri
Kehakiman, jumat, 30 September 1994, Hal. 18-19. 71 “Ambivalensi RI dalam Membuka Pasar Merugikan Swasta”, Harian Bisnis Indonesia, 15 Juli 1994. 72 Keterangan Pemerinlah pada Rapat Pleno Komisi I DPR RI, Catatan Rapat Komisi I DPR RI tanggal
Sebagai pengganti kebijakan otomotif nasional, Pemerintah mengeluarkan Paket
Kebijaksanaan Pemerintah tentang Otomotif Tahun 1999. Jika sebelumnya perubahan
kebijakan lebih dikarenakan untuk memanfaatkan peluang terbukanya pasar, maka perubahan
kebijakan otomotif pada tahun 1999 lebih dikarenakan desakan internasional. Dalam Siaran
Pers Pemerintah pada bulan Juni 1999 dicantumkan beberapa faktor eksternal sebagai latar
belakang perubahan kebijakan, antara lain Letter if Intent antara RI dan IMF yang
mengharuskan dihapuskannya program-program subsidi tertentu, termasuk di dalamnya
subsidi untuk program mobil nasional (kebijakan otomotif 1996) dan subsidi pajak yang
dikaitkan dengan tingkat kandungan lokal (kebijakan otomotif tahun 1993) ; putusan DSB
WTO tentang kebijakan otomotif nasional tahun 1996 (mobil nasional) yang mewajibkan
dihapuskannya persyaratan kandungan lokal ; dan desakan liberalisasi regional yang
menuntut secara mutlak dilakukannya efesiensi dan daya saing industri otomotif nasional.78
Paket kebijaksanaan otomotif 1999 ini terdiri dari satu peraturan pemerintah79 dua
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangang80 dan enam Surat Keputusan Menteri
Keuangan RI.81. Jika dilihat secara keseluruhan paket
78 Siaran Pers Paket Kebijaksanaan Industri Otomotif 1999, Departemen Perindustrian dan
Pardagangan, 24 Juni 1999, Hal. 1-2 79 PP No. 59 Tahun 1999 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan UU No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, sebagaimana telah diubah dengan UU No. 11 Tahun 1994,
80 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 275/MPP/Kep/6/1999 tentang lndustri Kenderaan Bermotor, dan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI No. 276/MPP/Kep/6/1999 tentang Pendaftaran Tipe dan Varian Kenderaan Bermotor.
81 Keputusan Menteri Keuangan RI No. 344/KMK.01/1999 tentang Ketentuan Umum Menginterpretasi pada Harmonized System, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Bahan Baku untuk Pembuatan Komponen Kenderaan Bermotor, Keputusan Menteri Keuangan R1 No. 345/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan Bahan untuk Pembuatan Komponen, Peralatan, dan Karoseri Kenderaan Bermotor Khusus, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 347/KMK.01/1999 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang dan atau Bahan dari Gudang Berikat untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain untuk Pembuatan Kenderaan Bermotor dengan Tujuan Ekspor, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 348/KMK.01/1999 tentang Macam dan Jenis Kenderaan Bermotor yang Dikenakan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 349/KMK.01/1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat sebagaimana Telah Diubah Terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01 / 1998.