DAFTAR ISI BAB. I PENDAHULUAN …………………………………………………………. 01 A. Latar Belakang …………………………………….…………..……... 01 Tujuan Instruksional Umum …………………………………………... 01 Tujuan Instruksional Kusus ……………………….………………….. 01 BAB II MEKANISME DETEKSI DAN PENCACAHAN ………………..………. 02 A. Prinsip dasar Kerja Alat Ukur Radiasi …….………………………….. 02 B. Pengelompokan Alat Ukur Radiasi ……………………..……………. 03 C. Mekanisme Deteksi Radiasi ………………………………………….. 04 1. Proses Ionisasi ……………………………………………..…….. 04 2. Proses Sintilasi ……………………………………………..……. 04 3. Proses Termoluminensi ……………………………………..…… 05 4. Efek Pemanasan …………………………………………….…… 06 5. Reaksi Kimina ………………………………….……………….. 06 D. Cara Pengukuran Radiasi …………………………………………….. 07 1. Cara Pulsa ………………………………...……………………… 07 2. Cara Arus ………………………………………………………… 08 E. Sistem Pencacahan …………………………………………………… 10 1. Sistem Pencacahan Integral ……………………………………. 11 2. Sistem Pencacahan Differencial ……………………………….. 11 BAB III DETEKTOR ISIAN GAS …………………………………………………. 13 A. Sistem Kerja ……………………………….…………………………. 13 B. Detektor Kamar Pengionan ……………....…………………….…….. 18 C. Detektor Proporsional …………………….………………………….. 20 D. Detektor Geger Muller ………………………………….……………. 22 BAB IV. DETEKTOR SEMIKONDUKTOR ……………………………………….. 31 A. Sistem Kerja ………………………………………………….……….. 31 B. Jenis Detektor Semikonduktor ………………………………………... 33 C. Kelebihan Detektor Semikonduktor …………………………………. 36 BAB V. DETEKTOR SINTILASI ………………………………………………….. 36 A. Sistem Kerja ………………………….……………………………….. 37 B. Bahan Sintilasi ……………….……………………………………….. 38 C. Jenis Detektor Sintilasi ……………………………………………….. 38 D. Tabung Photomultiplier ………………………………………………. 39 BAB VI. DETEKTOR NEUTRON …………………………………………………. 42 A. Sistem Kerja ………………………………………………………….. 42 B. Jenis Detektor Neutron ……………………………………………….. 43 1. Boron Trifluoride Proportional Counter ………………………… 43
73
Embed
DAFTAR ISI - ansn. · PDF fileterhadap “peralatan”, ... Setelah perkuliahan ini diharapkan para siswa mampu memahami prinsip- ... Menjelaskan tata cara penggunaan surveimeter;
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
DAFTAR ISI
BAB. I PENDAHULUAN …………………………………………………………. 01A. Latar Belakang …………………………………….…………..……... 01
Tujuan Instruksional Umum …………………………………………... 01Tujuan Instruksional Kusus ……………………….………………….. 01
BAB II MEKANISME DETEKSI DAN PENCACAHAN ………………..………. 02A. Prinsip dasar Kerja Alat Ukur Radiasi …….………………………….. 02B. Pengelompokan Alat Ukur Radiasi ……………………..……………. 03C. Mekanisme Deteksi Radiasi ………………………………………….. 04
1. Proses Ionisasi ……………………………………………..…….. 042. Proses Sintilasi ……………………………………………..……. 043. Proses Termoluminensi ……………………………………..…… 054. Efek Pemanasan …………………………………………….…… 065. Reaksi Kimina ………………………………….……………….. 06
D. Cara Pengukuran Radiasi …………………………………………….. 071. Cara Pulsa ………………………………...……………………… 072. Cara Arus ………………………………………………………… 08
E. Sistem Pencacahan …………………………………………………… 101. Sistem Pencacahan Integral ……………………………………. 112. Sistem Pencacahan Differencial ……………………………….. 11
BAB III DETEKTOR ISIAN GAS …………………………………………………. 13A. Sistem Kerja ……………………………….…………………………. 13B. Detektor Kamar Pengionan ……………....…………………….…….. 18C. Detektor Proporsional …………………….………………………….. 20D. Detektor Geger Muller ………………………………….……………. 22
BAB IV. DETEKTOR SEMIKONDUKTOR ……………………………………….. 31A. Sistem Kerja ………………………………………………….……….. 31B. Jenis Detektor Semikonduktor ………………………………………... 33C. Kelebihan Detektor Semikonduktor …………………………………. 36
BAB V. DETEKTOR SINTILASI ………………………………………………….. 36A. Sistem Kerja ………………………….……………………………….. 37B. Bahan Sintilasi ……………….……………………………………….. 38C. Jenis Detektor Sintilasi ……………………………………………….. 38D. Tabung Photomultiplier ………………………………………………. 39
BAB VI. DETEKTOR NEUTRON …………………………………………………. 42A. Sistem Kerja ………………………………………………………….. 42B. Jenis Detektor Neutron ……………………………………………….. 43
BAB VII ALAT UKUR RADIASI PERORANGAN ……………………………….. 46A. Sifat Alat Ukur Radiasi Perorangan …………………………….......... 46B. Jenis-Jenis Alat Ukur Radiasi/ Monitor Radiasi Perorangan …………. 47
1. Dosimeter Saku ………………………………………………….. 472. Fim Badge ……………………………………………………….. 493. Dosimeter Termoliminensi (TLD) ………………………………. 53
C. Bioassay dan Whole Body Counting …………………………………. 56
BAB VIII PEMANTAUAN LINGKUNGAN ……………………………………….. 58A. Monitor Radiasi ………………………………………………………. 58B. Monitor Kontaminasi …………………………………………………. 60
BAB IX SPEKTROSKOPI …………………………………………………………. 61A. Sistem Kerja ……………………………………………….………….. 61B. Resolusi …………………….…………………………………………. 64C. Analisis Kualitatif …………………………………………………….. 64D. Analisis Kuantitatif …………………………………………………… 64
BAB X. PEMILIHAN, UJI FUNGSI DAN KALIBRASI ………………………….. 65A. Pemilihan Alat Ukur Radiasi …………………………………………. 65B. Uji Fungsi Alat Ukur Radiasi ………………………………………… 66C. Kalibrasi Alat Ukur Radiasi ………………………………………….. 68
Daftar Pustaka ……………………………………………………………… 70
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.
Alat ukur radiasi dibutuhkan bukan hanya karena radiasi tidak dapat
dirasakan oleh panca indera manusia, tetapi juga karena kita membutuhkan
nilai-nilai tertentu dari sumber radiasi seperti aktivitas dan dosis. Modul ini
berisi penjelasan mengenai berbagai tipe dan karakteristik alat ukur radiasi
untuk berbagai keperluan proteksi radiasi. Karena fokus pembahasan
terhadap “peralatan”, maka modul ini tidak membahas mengenai dosimeter
biologis.
Tujuan Instruksional Umum
Setelah perkuliahan ini diharapkan para siswa mampu memahami prinsip-
prinsip dasar deteksi dan pengukuran radiasi, serta menguasai pemilihan
jenis-jenis alat alat ukur radiasi dalam kaitannya dengan proteksi radiasi.
Tujuan Instruksional Khusus
Setelah perkuliahan ini diharapkan para siswa mampu:
1. Menjelaskan perbedaan kuantitas, energi, dan dosis radiasi;
2. Menguraikan mekanisme pemantauan radiasi;
3. Menjelaskan prinsip kerja, keunggulan, dan kelemahan detektor isian
gas, sintilasi, semikonduktor, dan emulsi fotografi;
4. Menguraikan penggunaan dosimeter perorangan, surveimeter, dan
monitor radiasi;
5. Menjelaskan prinsip kerja, keunggulan dan kelemahan detektor saku,
film badge, dan TLD;
6. Menjelaskan tata cara penggunaan surveimeter;
7. Menguraikan prinsip kalibrasi alat ukur radiasi untuk proteksi;
8. Menjelaskan sistem pencacahan differensial dan integral serta sistem
spektroskopi.
1
BAB II
MEKANISME DETEKSI DAN PENCACAHAN
A. Prinsip Dasar Kerja Alat Ukur Radiasi
Hal yang paling mendasar untuk mengendalikan bahaya radiasi adalah
mengetahui besarnya radiasi yang dipancarkan oleh suatu sumber radiasi
(zat radioaktif atau mesin pemancar radiasi), baik melalui pengukuran
maupun perhitungan. Keberadaan radiasi tidak dapat dirasakan secara
langsung oleh sistem panca indera manusia. Radiasi tidak bisa dilihat,
dicium, didengar, maupun dirasakan. Oleh sebab itu, untuk keperluan
mengetahui adanya dan mengukur besarnya radiasi, manusia harus
mengandalkan pada kemampuan suatu peralatan khusus.
Pada prinsipnya, pendeteksian dan pengukuran radiasi dengan
menggunakan alat ukur radiasi memanfaatkan prinsip-prinsip kemampuan
interaksi (saling-tindak) antara radiasi dengan materi. Setiap alat ukur
radiasi selalu dilengkapi dengan detektor yang mampu mengenali adanya
radiasi. Apabila radiasi melewati bahan suatu detektor, maka akan terjadi
interaksi antara radiasi dengan bahan detektor tersebut (terjadi pemindahan
energi dari radiasi yang datang ke bahan detektor). Perpindahan energi ini
menimbulkan berbagai jenis tanggapan (response) yang berbeda-beda dari
bahan detektor tersebut. Jenis tanggapan yang ditunjukan oleh suatu
detektor terhadap radiasi tergantung pada jenis radiasi dan bahan detektor
yang digunakan. Pendeteksian keberadaan dan atau besarnya radiasi
dilakukan dengan mengamati tanggapan yang ditunjukan oleh suatu
detektor.
Untuk mengukur besarnya tanggapan yang diberikan oleh bahan detektor,
maka detektor tersebut dihubungkan dengan peralatan khusus yang mampu
mengubah tanggapan-tanggapan tersebut menjadi sinyal-sinyal elektronik.
Selanjutnya, sinyal-sinyal elektronik tersebut diubah/dikonversikan ke
dalam besaran tertentu. Dengan menggunakan faktor konversi tertentu,
besaran-besaran tersebut dapat ditampilkan secara digital/analog sebagai
2
hasil akhir berupa angka-angka yang menunjukan besarnya radiasi yang
diterima oleh bahan detektor.
B. Pengelompokan Alat Ukur Radiasi
Hingga saat ini, telah dikembangkan berbagai jenis alat ukur radiasi dengan
spesifikasi dan keunggulannya masing-masing. Dilihat dari garis besar
pemanfaatannya, alat ukur radiasi dapat dibedakan menjadi dua kelompok,
yaitu: (1). Untuk kegiatan proteksi radiasi, dan (2). Untuk kegiatan
aplikasi/penelitian radiasi nuklir. alat ukur radiasi yang digunakan untuk
kegiatan proteksi radiasi harus memiliki kemampuan untuk menunjukan
nilai intensitas atau dosis radiasi yang mengenai alat tersebut. Nilai
intensitas atau besaran dosis radiasi yang ditunjukkannya itu dapat
dijadikan sebagai bahan acuan oleh seorang pekerja radiasi untuk dapat
langsung mengambil tindakan tertentu. Sedangkan alat ukur radiasi yang
digunakan untuk kegiatan aplikasi radiasi dan penelitian biasanya
ditekankan memiliki kemampuan untuk dapat menampilkan nilai kuantitas
/spektrum energi dari radiasi yang mengenainya.
Dari segi cara pembacaannya, alat ukur radiasi juga dapat dibedakan pula
menjadi dua kelompok, yaitu: (1). Alat ukur pasif, yaitu alat ukur radiasi
yang hasil pengukurannya tidak dapat dibaca secara langsung, melainkan
harus melalui proses khusus terlebih dahulu. Contoh alat ukur radiasi pasif,
antara lain: Film badge dan TLD badge. (2). Alat ukur aktif, yaitu alat ukur
radiasi yang hasil pengukurannya dapat dibaca secara langsung. Contoh
alat ukur radiasi aktif, antara lain: surveimeter dan dosimeter saku.
Selain itu, berdasarkan fungsinya terhadap manusia atau lingkungan, alat
ukur radiasi dapat dibedakan pula menjadi dua kelompok, yaitu: (1). alat
ukur radiasi untuk pemonitoran dosis perseorangan, yaitu alat yang
digunakan untuk mengukur besarnya radiasi yang diterima oleh tubuh
manusia. Alat ini dapat berupa alat ukur aktif atau alat ukur pasif, dan (2).
alat ukur radiasi yang digunakan untuk pemonitoran lingkungan.
3
C. Mekanisme Deteksi Radiasi
Detektor radiasi bekerja dengan cara mendeteksi perubahan yang terjadi di
dalam bahan detektor/medium penyerap. Perubahan ini terjadi karena
adanya perpindahan energi dari radiasi ke medium tersebut. Terdapat
beberapa mekanisme yang pada umumnya digunakan untuk mendeteksi
dan mengukur radiasi, yaitu: (1). Proses ionisasi, (2). Proses sintilasi, (3).
Proses termoluminensi, (4). Efek pemanasan, dan (5). Reaksi kimia.
1. Proses Ionisasi
Ionisasi pada suatu medium secara langsung dapat disebabkan oleh
radiasi partikel alpha dan beta; dan ionisasi secara tidak langsung dapat
disebabkan oleh Sinar-X, sinar gamma, dan neutron. Kumpulan/jumlah
pasangan ion yang terjadi/diproduksi berkaitan erat dengan jumlah
energi radiasi yang mengakibatkan terjadinya proses ionisasi tersebut.
Dalam proses ionisasi ini, energi radiasi diubah menjadi peristiwa
terlepasnya sejumlah elektron dari atomnya (energi listrik).
Bila diberikan medan listrik terhadap pasangan ion yang terbentuk itu,
maka elektron akan bergerak menuju ke kutub positif, sedangkan
residual atom-nya yang bermuatan positif akan bergerak menuju kutub
negatif. Pergerakan elektron-elektron tersebut dapat menginduksikan
arus atau tegangan listrik. Arus dan tegangan listrik yang ditimbulkan ini
dapat diukur dengan menggunakan peralatan penunjang misalnya
Ampermeter atau Voltmeter. Semakin besar energi radiasinya, maka
akan dihasilkan lebih banyak pasangan ion. Semakin banyak pasangan
ion, maka arus atau tegangan listrik yang ditimbulkannya akan semakin
besar pula.
2. Proses Sintilasi
Yang dimaksud dengan proses sintilasi adalah terpancarnya sinar tampak
pada saat terjadinya perpindahan/transisi elektron dari tingkat energi
4
yang lebih tinggi ke tingkat energi yang lebih rendah. Perpindahan
elektron seperti ini dapat terjadi di dalam bahan detektor. Perpindahan
elektron dari tingkat energi yang lebih rendah ke tingkat energi yang
lebih tinggi terjadi karena adanya proses eksitasi. Dalam proses
kembalinya elektron dari tingkat energi yang lebih tinggi ke tingkat
energi yang lebih rendah/keadaannya semula, maka akan dipancarkan
energi yang berupa foton sinar-X. Karena bahan detektor ditambahkan
bahan pengotor berupa unsur aktivator, yang berfungsi sebagai
penggeser panjang gelombang, maka radiasi yang dipancarkannya bukan
lagi Sinar-X melainkan berupa sinar tampak.
Proses sintilasi ini akan terjadi apabila terdapat kekosongan elektron
pada orbit elektron yang lebih dalam. Kekosongan elektron ini dapat
disebabkan karena lepasnya elektron dari ikatannya (proses ionisasi) atau
proses loncatnya elektron ke tingkat energi yang lebih tinggi (lintasan
elektron yang lebih luar) karena dikenai radiasi. Semakin besar energi
radiasi yang diterima, maka akan terjadi kekosongan elektron di orbit
sebelah dalam akan semakin banyak, sehingga percikan cahaya yang
dikeluarkannya akan semakin banyak. Cahaya tampak yang terjadi ini
selanjutnya akan dikonversikan menjadi sinyal elektrik.
3. Proses Termoluminensi
Pada prinsipnya, proses termoluminensi ini hampir sama dengan proses
sintilasi. Letak perbedaannya adalah: pada proses sintilasi, elektron yang
tereksitasi akan kembali ke orbit semula secara langsung (selang waktu
yang sangat cepat) sambil memancarkan Sinar-X yang selanjutnya
dikonversikan menjadi cahaya tampak, sedangkan pada proses
termoluminensi, untuk membuat elektron-elektron yang tereksitasi
kembali ke orbitnya semula, maka medium detektornya harus
dipanaskan terlebih dahulu sampai dengan temperatur tertentu. Sebelum
medium detektor tersebut dipanaskan, elektron-elektron masih
terperangkap pada keadaan eksitasinya, sehingga tidak bisa kembali ke
orbitnya semula.
5
Semakin banyak radiasi yang diterima, maka akan semakin banyak pula
elektron yang terperangkap di orbit elektron yang lebih luar dari atom
medium detektor. Ketika medium detektor tersebut dipanaskan sampai
dengan temperatur tertentu, elektron-elektron tersebut kembali ke orbit
semula dengan memancarkan sinar tampak. Sinar tampak yang timbul
akan dikonversikan menjadi sinyal elektrik.
4. Efek pemanasan
Peristiwa lain yang diakibatkan oleh adanya perpindahan/penyerapan
energi radiasi oleh medium detektor adalah timbulnya kenaikan
temperatur pada medium. Semakin besar energi radiasi yang
dipindahkan/diserap, maka kenaikan temperaturnya akan semakin tinggi.
Jadi dalam mekanisme ini, energi radiasi diubah menjadi energi panas.
Mekanisme ini jarang/tidak cocok digunakan untuk melakukan
pengukuran radiasi secara rutin. Mekanisme pengukuran radiasi dengan
memanfaatkan mekanisme ini memiliki tingkat sensitivitas yang sangat
rendah (diperlukan dosis energi radiasi yang sangat tinggi untuk
menaikan temperatur medium, dan kenaikan temperatur medium pada
umumnya tidak tinggi). Mekanisme ini, pada umumnya hanya digunakan
sebagai standar primer untuk peralatan kalibrasi.
5. Reaksi kimia
Energi radiasi dapat mengakibatkan perubahan kimia. Perubahan atau
reaksi kimia ini juga merupakan suatu mekanisme yang sering digunakan
dalam pengukuran radiasi. Bahan yang diradiasi dengan dosis tertentu
akan mengalami perubahan kimia, misalnya perubahan warna.
Selain itu radiasi juga dapat berfungsi sebagai katalisator pada reaksi
kimia, sehingga apabila diberikan dosis radiasi dengan besar tertentu,
maka reaksi kimia dalam medium dapat berlangsung lebih cepat. Jadi
6
dalam mekanisme ini, energi radiasi diubah menjadi perubahan-
perubahan/reaksi kimia. Pada umumnya digunakan untuk menganalisa
film fotografi untuk dosimetri perseorangan, Sinar-X medis, dan
radiografi industri.
D. Cara Pengukuran Radiasi
Terdapat dua cara pengukuran radiasi, yang menampilkan hasil
pengukurannya secara langsung, yaitu cara pulsa (pulse mode), dan cara
arus (current mode).
1. Cara Pulsa
Setiap radiasi yang mengenai alat ukur akan dikonversikan menjadi
sebuah pulsa listrik. Apabila kuantitas/jumlah radiasi yang mengenai
suatu alat ukur semakin tinggi maka jumlah pulsa listrik yang
dihasilkannya akan semakin banyak pula.
Sedangkan energi dari setiap radiasi yang mengenai alat ukur akan
sebanding dengan tingginya pulsa listrik yang dihasilkan. Jadi semakin
besar energi radiasinya, maka akan semakin tinggi pula pulsa listrik
yang ditimbulkannya. Tingginya pulsa yang dihasilkan dapat dihitung
dengan persamaan:
CQV ∆=∆
(Persamaan II.1)
∆V adalah tinggi pulsa listrik yang dihasilkan, ∆Q adalah jumlah
muatan listrik, dan C adalah kapasitas detektor.
7
Contoh soal:
Bila ada 100 buah radiasi dalam 10 detik, dengan energi radiasi
sebesar 35 keV memasuki detektor gas yang mempunyai daya ionisasi
35 eV, maka setiap radiasi tersebut akan mengionisasi detektor dan
akan menghasilkan 1000 pasangan ion (elektron). Muatan listrik setiap
elektron adalah 1,6 x 10-19 Coloumb, sehingga jumlah muatan yang
dihasilkan oleh radiasi tersebut adalah 1,6 x 10-16 coloumb. Tinggi
pulsa yang dihasilkan oleh muatan tersebut adalah 0,1 mVolt
(misalkan kapasitas detektor tersebut adalah 1,6 x 10-12 farad). Jadi
dalam contoh ini akan menghasilkan 100 buah pulsa listrik dalam 10
detik dengan tinggi pulsa masing-masing adalah 0,1 mVolt.
Informasi yang dihasilkan oleh alat ukur radiasi yang menggunakan
cara pulsa ini adalah jumlah pulsa listrik (cacahan) dalam selang waktu
pengukuran tertentu dan tinggi pulsa listriknya. Jumlah pulsa listrik
yang ditimbulkannya akan sebanding dengan jumlah radiasi yang
masuk detektor, sedangkan tinggi pulsa akan sebanding dengan energi
radiasinya.
Kelemahan alat ukur radiasi yang menerapkan cara pulsa ini adalah
adanya kemungkinan tidak tercacahnya radiasi karena terlalu cepatnya
proses konversi radiasi yang masuk menjadi pulsa listrik.
Untuk dapat mengubah sebuah radiasi menjadi sebuah pulsa listrik
dibutuhkan waktu konversi tertentu. Apabila jumlah radiasi yang akan
diukur sedemikian banyaknya sehingga selang waktu antara dua buah
radiasi yang berurutan lebih cepat dari konversi alat, maka radiasi yang
terakhir tidak akan tercacah.
2. Cara Arus
Pada cara arus ini, radiasi yang masuk detektor tidak dikonversikan
menjadi pulsa listrik melainkan rata-rata akumulasi energi radiasi per
satuan waktunya akan dikonversikan menjadi arus listrik. Semakin
8
banyak jumlah radiasi per satuan waktu yang memasuki detektor, maka
akan semakin besar arusnya. Demikian pula bila energi radiasi semakin
besar, arus yang dihasilkannya semakin besar.
Alat ukur radiasi yang menerapkan cara arus ini dapat menghilangkan
kerugian penerapan cara pulsa, karena yang akan ditampilkan dalam cara
ini bukanlah informasi dari setiap radiasi yang memasuki detektor,
melainkan integrasi dari jumlah muatan yang dihasilkan oleh radiasi
tersebut dalam satu satuan waktu
tQI
∆∆=
(Persamaan II.2)
I adalah arus listrik yang dihasilkan oleh detektor, ∆Q adalah jumlah
muatan listrik, sedangkan ∆t adalah tetapan waktu (time constant)
detektor. Bila menggunakan contoh soal di atas, maka araus listrik yang
dihasilkan adalah 1,6 x 10-15 Ampere.
Terlihat di sini, bahwa proses konversi pada cara arus ini tidak dilakukan
secara individual untuk setiap radiasi, melainkan dilakukan secara
akumulasi untuk seluruh radiasi. Informasi yang ditampilkannya adalah
intensitas radiasi yang memasuki detektor. Kelemahan cara arus ini
adalah ketidakmampuannya untu memberikan/menampilkan informasi
energi dari setiap radiasi. Keuntungan cara arus ini adalah proses
pengukurannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan cara pulsa.
Sistem pengukur radiasi dengan menerapkan mode arus ini pada
umumnya digunakan dalam kegiatan proteksi radiasi, seperti
surveimeter. Sedangkan dalam kegiatan penelitian, pada umumnya
menerapkan cara pulsa.
9
E. Sistem Pencacahan
Seperti halnya dengan alat ukur yang digunakan untuk keperluan proteksi
radiasi, sistem pencacah radiasi juga terdiri atas detektor dan peralatan-
peralatan lain sebagai penunjang. Perbedaannya, peralatan penunjang pada
alat ukur proteksi radiasi biasanya sudah merupakan satu kesatuan yang
sifatnya portabel (mudah untuk dibawa-bawa), sedangkan pada sistem
pencacah radiasi, peralatan-peralatan penunjang tersebut terpisah dan
terdiri atas beberapa modul yang mengikuti standar tertentu, seperti: NIM
(Nuclear Instrument Module), misalnya modul penguat (amplifier), modul
sumber beda potensial, modul pencacah (counter), dan modul-modul
lainnya.
Modul-modul tersebut bersifat bongkar-pasang, sehingga suatu modul
dapat digunakan untuk berbagai macam konfigurasi sistem pencacah.
Sistem pencacah radiasi yang digunakan dalam aplikasi dan penelitian
nuklir, bertujuan untuk mengukur kuantitas dan energi radiasi. Kuantitas
radiasi merupakan jumlah radiasi yang memasuki detektor. Besarnya
kuantitas radiasi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain: aktivitas
sumber radiasi, jenis dan energi radiasi, serta jarak dan jenis penahan
radiasi yang disimpan di antara sumber radiasi dan detektor. Sedangkan
energi radiasi merupakan kekuatan dari setiap radiasi yang dipancarkan
oleh suatu sumber radiasi. Besarnya energi radiasi ini bergantung pada
jenis radionuklidanya. Jenis radionuklida yang berbeda akan memancarkan
radiasi dengan energi yang berbeda.
Berdasarkan pada kegunaannya, untuk mengukur kuantitas dan atau energi
radiasi, sistem pencacah radiasi dapat dibedakan menjadi dua konfigurasi:
10
1. Sistem pencacah integral
Sistem pencacahan ini digunakan untuk menghitung jumlah radiasi
yang memasuki detektor tanpa memperhatikan tingkat energi
radiasinya. Modul peralatannya dapat dikatakan sangat sederhana. Jenis
detektor yang digunakan adalah detektor jenis G-M yang tidak dapat
membedakan tingkat energi radiasinya.
Gambar II.1. Sistem Pencacahan Integral
Inverter berfungsi untuk meng-inversi-kan polaritas pulsa yang berasal
dari detektor G-M, High Voltage Power Supply berfungsi untuk
memberikan sumber energi listrik pada detektor G-M, Counter
berfungsi untuk menghitung serta menampilkan jumlah pulsa dalam
rentang waktu tertentu, sedangkan pencatat waktu berfungsi untuk
menentukan rentang waktu pencacahan.
2. Sistem pencacahan differensial
Sistem pencacahan differensial ini digunakan untuk menghitung
jumlah radiasi yang memasuki detektor dengan memperhatikan rentang
energinya. Detektor yang digunakan harus mampu membedakan energi
radiasi yang memasukinya.
Detektor Geiger Muller
HV
Inverter Counter
Pencatat Waktu
11
Gambar II.2. Sistem Pencacahan Differensial
HV
Detektor
Amplifier Diskriminator
Counter
Pencatat Waktu
12
BAB III
DETEKTOR ISIAN GAS
A. Sistim Kerja
Salah satu jenis alat ukur radiasi yang pertama kali dikenalkan dan sampai
saat ini masih terus dan sering digunakan untuk mengukur radiasi adalah
detektor isian gas. Detektor ini terdiri dari dua elektroda, yaitu positif dan
negatif, serta berisi gas di antara kedua elektrodanya. Elektroda positif
disebut sebagai anoda yang dihubungkan ke kutub listrik positif, dan
elektroda negatif disebut sebagai katoda yang dihubungkan ke kutub listrik
negatif. Kebanyakan detektor ini berbentuk silinder yang terbuat dari bahan
gelas, dengan sumbu tengahnya sebagai konduktor yang berfungsi sebagai
anoda, dan dinding (selimut) silinder berfungsi sebagai katoda. Gas yang
digunakan sebagai bahan isian untuk detektor ini ( detektor-detektor isian
gas yang sederhana) dapat berupa udara kering pada tekanan atmosfir.
Gambar III.1. Detektor Isian Gas
Apabila konstanta waktu R.C jauh lebih besar daripada waktu yang
diperlukan untuk mengumpulkan semua ion yang terbentuk karena proses
ionisasi, maka tinggi pulsa dapat dihitung dengan menggunakan rumus
tinggi pulsa seperti yang telah dijelaskan di atas (persamaan II.1).
dKapasitansi C
Katoda
Anoda
Resistansi R
V(t) = Sinyal Output
13
Arus listrik yang mengalir di Resistansi R sangat kecil, alat ukur pada
daerah arus listrik sekecil itu adalah alat ukur beda potensial. Agar
besarnya beda potensial dapat diukur, pada arus listrik yang mengalir
sangat kecil, harus dipasang nilai resistansi R yang besar (biasanya
mencapi ratusan megaohm). Melakukan pekerjaan dengan menggunakan
nilai resistor yang besar seperti ini, besarnya kelembaban udara harus
diusahakan serendah mungkin.
Radiasi yang memasuki detektor akan memberikan sebagian atau seluruh
energinya untuk mengionisasi gas, sehingga timbul ion-ion positif (dari
atom atau molekul residu) dan ion-ion negatif (elektron bebas). Radiasi
partikel α dan β dapat melakukan proses ionisasi langsung pada bahan isian
gas, sedangkan gelombang elektromagnetik/foton (Sinar-X atau sinar γ)
dan neutron dapat melakukan proses ionisasi secara tidak langsung. Karena
bahan penyerap/bahan isian detektor yang akan mengalami proses ionisasi
adalah gas, maka disebut sebagai detektor isian gas. Sehingga pada
umumnya, semua alat ukur radiasi jenis ini harus kedap udara dari luar
untuk menghindari tercampurnya gas isian detektor dengan gas-gas yang
berasal dari udara di luar detektor.
Karena prinsip kerjanya adalah pengumpulan muatan listrik yang terjadi
karena adanya radiasi, maka bentuk medan elektrostatik dalam tabung juga
memiliki pengaruh. Oleh karena itu untuk mencapai efisiensi dan
sensitivitas yang tinggi, geometri bentuk ruangan, letak dan bentuk
elektroda, dan campuran gas isiannya berbeda-beda.
Karena adanya medan listrik antara katoda dan anoda, muatan-muatan
listrik (ion positif dan ion negatif) tersebut dapat dikumpulkan. Besarnya
medan listrik ini dapat diatur melalui pengaturan tegangan kerja (High
Voltage) detektor. Elektron-elektron akan terkumpul di anoda, sedangkan
ion-ion positif akan terkumpul di katoda. Karena elektroda-elektroda
detektor menarik ion-ion yang muatannya berlawanan, maka akan terjadi
pengurangan muatan listrik pada masing-masing elektroda. Beberapa
14
muatan listrik dalam elektroda akan mengalami proses netralisasi oleh ion-
ion yang ditariknya. Penurunan jumlah muatan pada masing-masing
elektroda akan mengakibatkan pula penurunan tegangan listrik antara
kedua elektroda tersebut. Jumlah penurunan tegangan listrik antara
elektroda tersebut akan selalu sebanding dengan jumlah pasangan ion yang
terbentuk. Sedangkan jumlah pasangan ion itu sendiri tergantung pada jenis
dan energi radiasi yang masuk/ditangkap oleh detektor. Perubahan
tegangan listrik ini akan mengakibatkan terjadinya aliran listrik
(pulsa/denyut out-put) yang kemudian dapat diubah menjadi angka-angka
hasil cacahan radiasi.
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa jumlah ion yang dihasilkan akan
sebanding dengan energi radiasi dan berbanding terbalik dengan daya
ionisasi gas. Daya ionisasi gas pada umumnya berkisar antara 25 eV s.d. 40
eV. Ion-ion yang dihasilkan di dalam detektor tersebut akan memberikan
kontribusi terbentuknya pulsa listrik ataupun arus listrik.
Ion-ion yang dihasilkan oleh radiasi yang memasuki detektor dinamakan
sebagai ion primer. Apabila medan listrik di antara dua elektroda detektor
semakin tinggi maka energi kinetik ion-ion primer akan semakin tinggi.
Tingginya energi kinetik ion-ion primer akan mampu untuk mengadakan
proses ionisasi lainnya.
Ion-ion baru yang terbentuk karena proses ionisasi yang dilakukan oleh
ion-ion primer disebut sebagai ion sekunder. Bila medan listrik antara
kedua elektroda terlalu kecil, maka akan terjadi rekombinasi/penggabungan
kembali antara ion-ion positif dan ion-ion negatif dari gas isian. Bila medan
listrik di antara kedua elektroda semakin tinggi, maka jumlah ion-ion yang
dihasilkan oleh radiasi akan sangat banyak, yang terdiri dari dari ion-ion
primer dan ion-ion sekunder.
Jenis radiasi yang akan dideteksi mengharuskan juga pemakaian dinding
khusus pada detektor. Untuk mendeteksi sinar gamma, dapat dipakai semua
logam sebagai bahan dinding tabung, karena daya tembus sinar gamma
15
yang sangat besar. Tekanan gas isian dapat diperbesar melebihi tekanan
atmosfir. Untuk mendeteksi partikel jenis elektron, dinding detektor harus
dibuat setipis mungkin untuk memungkinkan partikel tersebut dapat
mencapai dan berinteraksi dengan gas isian. Dinding biasanya terbuat dari
plastik yang sangat tipis. Sedangkan untuk mendeteksi jenis proton,
dinding tersebut harus dibuat lebih tipis lagi.
Pada gambar III.2 di bawah ini akan dijelaskan hubungan antara beda
potensial dengan jumlah ion yang dapat terkumpul pada masing-masing
elektroda detektor isian gas.
Gambar III.2. Hubungan antara beda potensial elektroda detektor isian gas dengan
jumlah ion yang terkumpul pada masing-masing elektroda.
Jumlah ion yang terkumpul dalam satuan waktu
Beda Potensial0 V1 V2 V3 V4
Daerah 1 Daerah 2
Daerah 3Daerah 4 Daerah 5
16
Daerah 1.
Pada awal daerah ini, tegangan antara anoda dan katoda sangat rendah.
Medan listrik pada detektor tidak cukup kuat sehingga elektron dan ion
positif bergerak sangat lambat (energi kinetiknya kecil), sehingga elektron
dan ion positif bergabung kembali/rekombinasi ion, sebelum masing-
masing ion tersebut mencapai anoda/katoda. Karena terjadinya proses ini,
maka tidak ada ion yang terkumpul di masing-masing elektroda, sehingga
tidak ada pulsa yang tercatat. Daerah ini disebut sebagai daerah
rekombinasi.
Daerah 2.
Pada daerah ini, muatan yang terkumpul bersifat tetap/konstan, karena
tidak terjadi rekombinasi ion atau pembentukan ion sekunder. Seluruh ion
yang terbentuk dapat dikumpulkan, sehingga tingginya pulsa tidak
ditentukan oleh beda potensial antara kedua elektrodanya. Besarnya arus
listrik yang mengalir dalam sirkuit akan bersifat tetap, atau disebut
saturation current, dan hanya tergantung pada besarnya radiasi yang
diterima oleh detektor, apabila energi radiasi yang diterima besar, maka
saturation current akan besar juga. Daerah ini disebut daerah ionisasi.
Daerah 3
Dengan naiknya tegangan antara kedua elektroda detektor, maka elektron
dan ion positif memiliki energi kinetik yang cukup tinggi untuk bergerak
menuju elektrodanya masing-masing. Elektron-elektron dapat
mengionisasi atom lain pada gas isian, proses ini disebut sebagai ionisasi
sekunder. Karena proses ionisasi sekunder ini, muatan listrik yang
terkumpul pada masing-masing elekroda menjadi lebih besar, sehingga
akan terjadi multiplikasi/pelipatan besarnya muatan. Proses multiplikasi ini
pada tegangan tertentu tidak tergantung pada banyaknya ionisasi primer.
17
Jumlah total muatan yang terkumpul akan sebanding dengan ionisasi
primer. Jadi tinggi pulsa yang terjadi proporsional dengan ionisasi primer,
atau sebanding dengan energi radiasi yang masuk detektor. Oleh karena
itu, pada daerah ini detektor dapat digunakan untuk keperluan identifikasi
energi radiasi. Daerah ini disebut daerah proporsional.
Daerah 4.
Medan listrik dalam detektor sangat kuat sehingga satu pasangan ion
positif dan elektron cukup kuat untuk menginisiasi terjadinya guguran
elektron (electon avalenche). Guguran elektron ini akan menimbulkan
pulsa yang kuat, yang bentuk dan tingginya tidak tergantung pada ionisasi
primer dan tipe partikel radiasi. Pulsa hanya akan tergantung pada
elektronik pencacah. Pada daerah ini detektor tidak bisa lagi digunakan
untuk mengidentifikasi energi radiasi. Daerah ini disebut daerah Geiger
Muller.
Daerah 5
Jika tegangan detektor ditinggikan dan lebih besar lagi, ionisasi tunggal
akan menimbulkan lucutan kontinu (continous discharge) dalam gas, dan
alat tidak bisa untuk menghitung lagi. Jika detektor dioperasikan pada
tegangan yang lebih besar dari daerah kerja 4, maka detektor akan rusak.
Daerah ini disebut daerah discharge.
B. Detektor Kamar Pengionan
Kamar pengionan ialah bilik/ruangan tertutup yang berisi gas. Ionisasi yang
terjadi pada gas isian karena radiasi akan dikumpulkan pada elektroda dan
diukur. Medan listrik dalam bilik tersebut sangat sensitif untuk menarik
elektron-elektron bebas dan ion-ion positif ke elektrodanya masing-masing.
18
Detektor ini bekerja pada daerah ionisasi. Pada daerah ini tidak terjadi
proses multiplikasi muatan dalam detektor. Output pulsa
sebanding/proporsional dengan energi radiasi yang masuk/diserap oleh
detektor, sehingga energi radiasinya dapat diukur. Karena pulsa yang
terbentuk tidak besar, maka hanya partikel-partikel pengionisasi kuat
seperti α, proton, fragmen fisi, dan ion-ion besar yang bisa dideteksi secara
efektif dengan menggunakan jenis detektor ini.
Partikel alfa dan beta dengan tingkat energi yang sama akan menghasilkan
keluaran pulsa yang berbeda, pulsa dari partikel alfa akan lebih besar
daripada pulsa dari partikel beta. Beda potensial yang digunakan pada
umumnya kurang dari 1000 volt.
Apabila Variable High Voltage Power Supply kita hidupkan mulai dari 0
volt, maka akan terbentuk suatu daerah tegangan operasi yang disebut
daerah ionisasi, namun tegangan operasi ini masih relatif rendah, namun
sudah cukup untuk menarik ion-ion yang terbentuk ke elektroda-
elektrodanya, sebelum ion-ion tersebut bergabung kembali/rekombinasi
untuk membentuk atom netral gas isian.
Pergerakan elektron menuju anoda yang dikarenakan adanya perbedaan
potensial antara elektroda detektor tidak mungkin menghasilkan ionisasi
sekunder. Jadi jumlah elektron yang terkumpul pada anoda hanya
merupakan hasil ionisasi primer, sehingga tinggi pulsa yang terbentuk akan
sebanding dengan jumlah ion primer yang dihasilkan pada proses ionisasi
primer atau dengan kata lain faktor penguatan/multiplikasi pada detektor
ini sama dengan satu.
Aliran elektron di dalam detektor dapat menimbulkan aliran listrik yang
dipakai sebagai dasar untuk pengukuran radiasi. Seperti telah disebutkan di
atas, bahwa pada umumnya arus listrik yang timbul sebagai pulsa keluaran,
biasanya sangat rendah kira-kira 10-12 ampere, sehingga memerlukan
19
rangkaian elektronik penguat arus yang besar dan sangat sensitif.
Rangkaian penguat arus ini dikenal dengan amplifier dc (direct current).
Pada umumnya pengukuran radiasi dengan menggunakan jenis detektor ini
menerapkan mode arus (current mode). Namun, apabila ingin
menggunakan jenis detektor ini dengan menerapkan mode pulsa, maka
diperlukan penguat pulsa yang sangat baik
Dalam membuat kamar ionisasi, maka pengaruh dindingnya sangat penting
dan harus diketahui betul karakteristiknya. Jika bahan dari dinding kamar
ionisasi memiliki komposisi atom yang sama dengan komposisi atom gas
isian di dalamnya, maka kamar ionisasi ini disebut dengan kamar ionisasi
homogen. Jenis dinding lain yang sering digunakan juga ialah dinding
plastik yang mempunyai komposisi atomik seperti komposisi atomik
jaringan-jaringan tubuh manusia, dan diisi dengan gas yang memiliki
komposisi atomik yang sama. Ini disebut dengan Tissue Equivalent
Ionization Chamber.
Keuntungan detektor jenis ini adalah, dapat membedakan energi radiasi
yang memasukinya, serta tegangan kerja yang dibutuhkan dalam
pengoperasiannya tidak terlalu tinggi.
C. Detektor Proporsional
Dibandingkan dengan daerah ionisasi, jumlah pasangan ion yang dihasilkan
di daerah proporsional ini lebih banyak. Karena jumlah pasangan ion lebih
banyak maka tinggi pulsa keluarannya akan lebih tinggi. Detektor yang
bekerja pada daerah ini, pada umumnya memiliki beda potensial kerja
antara 800 s.d. 2000 volt. Karena pulsa keluarannya lebih tinggi, maka
pengukuran radiasi dengan menggunakan detektor ini lebih sering
menerapkan metode pulsa.
Dalam kurva karakteristik di atas dapat dilihat bahwa jumlah pasangan ion
yang dihasilkan sebanding dengan energi radiasi yang memasuki detektor,
20
sehingga detektor ini dapat membedakan energi radiasi. Misalnya: apabila
radiasi alfa dan beta yang memiliki energi radiasi yang sama besar, maka
radiasi alfa dapat menimbulkan pulsa yang lebih tinggi daripada radiasi β.
Namun demikian, jumlah pasangan ion atau tinggi pulsa keluaran yang
dihasilkan juga dipengaruhi oleh tegangan kerja detektor.
Dalam kurva tersebut slope kurva pada daerah proporsional berbentuk
curam, yang artinya adalah sedikit saja perubahan beda potensial/tegangan
kerja detektor maka akan meningkatkan jumlah pasangan ion juga
avalenche-nya yang lebih banyak secara signifikan. Karena sifat detektor
ini, maka tegangan operasi yang diperlukannya harus sangat stabil.
Selain dipengaruhi oleh tegangan kerjanya, besarnya multiplikasi muatan
juga tergantung pada diameter anoda. Apabila diameter anoda kecil, maka
multiplikasi muatan yang terjadi akan semakin besar.
Elektron-elektron yang terbentuk dari hasil proses ionisasi primer yang
tertarik ke elektroda positif dan negatif akan mengakibatkan proses ionisasi
sekunder. Proses ionisasi sekunder mengakibatkan jumlah ion sekunder,
atau yang lebih dikenal dengan nama avalenche menjadi lebih banyak
sehingga faktor pelipatan (multiplikasi) akan menjadi lebih besar dari satu.
Proses ionisasi sekunder dapat meningkatkan jumlah ion sebanyak 10000
kali lipat dari jumlah ion primer. Hal ini berarti bahwa untuk setiap elektron
yang dihasilkan dalam proses ionisasi primer akan menghasilkan tambahan
10000 elekton lagi karena terjadinya proses ionisasi sekunder ini.
Campuran dan tekanan gas isian harus dipilih agar proses multiplikasi
bersifat linear dengan radiasi yang diterima. Di samping itu pula, campuran
gas isian harus dapat juga berfungsi sebagai penghenti proses multiplikasi.
Sifat multiplikasi yang diskrit dan linear terhadap energi radiasi merupakan
sifat dasar detektor proporsional. Tekanan gas isian menentukan pula
proses multiplikasi.
21
Output-nya berupa rangkaian pulsa yang kemudian dihitung dengan
menggunakan sirkuit penghitung. Rentang waktu terbentuknya pulsa serta
pergerakan pulsa tersebut menuju sirkuit penghitung berhubungan dengan
waktu-mati (dead-time) dan resolusi detektor.
Pada umumnya waktu-mati detektor proporsional sangat singkat, kurang
dari microsekon. Singkatnya, waktu-mati detektor proporsional
memungkinkan bagi detektor ini untuk dapat menghitung laju pulsa yang
tinggi. Amplitudo untuk masing-masing pulsa pada umumnya sangat kecil,
lebih kurang berorde milivolt. Agar amplitudo pulsa ini dapat dibaca dan
dihitung, maka diperlukan proses preamplification. Sedangkan untuk
meningkatkan kemampuan resolusi detektor, dapat digunakan pulse height
discrimination circuit.
Secara teoritis, detektor yang sama dapat digunakan sebagai kamar ionisasi,
detektor proporsional, atau penghitung Geiger Muller. Perbedaan mendasar
dari ketiga jenis detektor ini adalah terletak hanya pada perbedaan tegangan
kerjanya. Namun, pada kenyataannya dan juga karena pertimbangan
ekonomis-praktis, maka ketiga jenis detektor ini dibuat secara terpisah.
Gas flow proportional counters, adalah salah satu jenis detektor
proporsional yang sering digunakan untuk perhitungan sampel dalam fisika
kesehatan. Detektor ini memiliki end-window yang sangat tipis agar
memungkinkan partikel alfa dan beta dapat memasuki detektor. Gas flow
artinya adalah harus ada aliran gas yang masuk pada bilik penghitung,
untuk menggantikan gas isian yang telah didifusikan keluar detektor
melalui end-window yang sangat tipis tersebut.
Campuran gas yang pada umumnya digunakan pada detektor jenis ini salah
satunya adalah campuran inert gas dan hidrokarbon, antara lain: gas P-10,
yang terdiri dari 90% gas argon dan 10% metana.
D. Detektor Geiger Muller
22
Detektor ini merupakan salah satu jenis detektor yang tertua dan sampai
dengan sekarang masih sering digunakan, khususnya dalam bidang proteksi
radiasi. Penggunaan detektor ini untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh
Geiger dan Muller pada tahun 1928. Detektor G-M merupakan alat
pencacah radiasi yang sederhana dan tidak dapat digunakan untuk
keperluan spektroskopi.
Beberapa peralatan ukur radiasi portabel, menggunakan detektor jenis
Geiger Muller. Dari sudut pandang elektronika, detektor G-M sangat
sederhana dan juga ekonomis serta pengoperasiannya yang mudah.
Detektor ini bekerja pada daerah Geiger Muller. Pada umumnya, sebagai
bahan gas isiannya dipilih menggunakan gas P-10, seperti halnya gas isian
pada detektor proporsional. Namun sering juga digunakan gas Helium dan
Argon sebagai gas isiannya.
Jumlah pasangan ion dalam gas isian yang terjadi karena radiasi, pada
detektor yang bekerja di daerah ini sangat banyak, bahkan dapat mencapai
nilai saturasinya. Tinggi rendahnya pulsa keluaran tidak tergantung pada
energi radiasi yang memasukinya. Berapa pun besarnya energi radiasi yang
memasuki jendela detektor, banyaknya pasangan ion yang dihasilkan sama
dengan nilai saturasinya. Jadi pulsa keluaran tabung G-M hanya
menunjukan tinggi rendahnya muatan listrik yang terkumpul. Karena
jumlah muatan listrik yang terkumpul sangat besar (sekitar 109 s.d. 1010
pasangan ion), sehingga amplitudo pulsa keluarannya relatif tinggi (dalam
orde volt). Tingginya amplitudo pulsa keluaran merupakan salah satu
keunggulan detektor G-M, karena tidak memerlukan rangkaian sirkuit
elektronika penguat pulsa (pre-amplifier).
Detektor G-M pada umumnya dapat menghitung radiasi dengan
menerapkan metode pulsa sama halnya dengan detektor proporsional, dan
juga dapat menghitung radiasi dengan menerapkan metode arus sama
seperti halnya detektor kamar pengionan.
23
Tingginya tegangan kerja tabung detektor G-M, akan menimbulkan medan
listrik yang tinggi. Tingginya medan listrik pada tabung detektor G-M
dapat mengakibatkan terjadinya guguran elektron (electron avalenche).
Pada kondisi tertentu, satu guguran elektron menjadi pemicu terjadinya
guguran elektron berikutnya pada tempat yang berbeda di dalam tabung.
Pada satu nilai beda potensial tertentu, medan listrik akan bersifat kritis,
artinya setiap terjadinya guguran satu elektron akan diikuti oleh rata-rata
satu guguran elektron lainnya. Peningkatan jumlah guguran elektron
menyebar dengan cepat. Secara teoritis, jumlah guguran elektron dapat
meningkat secara eksponensial dalam rentang waktu yang singkat.
Elektron-elektron bebas yang terbentuk karena adanya guguran elektron
mengakibatkan molekul-molekul pada gas isian akan mengalami eksitasi.
Dalam rentang waktu yang singkat (orde nanosekon), molekul-molekul gas
yang tereksitasi tersebut akan kembali stabil, artinya elektron-elektron pada
molekul gas isian yang tereksitasi akan kembali pada tingkat
energi/orbitnya semula. Perpindahan elektron dari keadaan tereksitasi
menuju keadaan semula memancarkan gelombang elektromagnetik, dengan
panjang gelombang yang berada pada rentang panjang gelombang cahaya
tampak.
Gelombang elektromagnetik ini adalah elemen penting dalam reaksi rantai
yang terjadi dalam tabung G-M. Apabila satu foton berinterkasi fotolistrik
dengan atom/molekul gas isian maka akan terbentuk satu elektron bebas.
Elektron bebas tersebut akan bergerak menuju anoda dan akan memicu
terjadinya guguran elektron lain. Karena keadaan tereksitasinya molekul
gas isian sangat singkat, sementara foton bergerak dengan kecepatan
cahaya, maka terbentuknya elektron bebas yang dihasilkan dari proses
fotolistrik (elektron sekunder) hampir bersamaan dengan terjadinya
guguran elektron yang pertama.
Ketika Geiger discharge mencapai angka tertentu, efek kolektif dari
guguran elektron berperan dalam menghentikan rantai reaksi yang terjadi
dalam tabung G-M. Berhentinya rantai reaksi dalam tabung G-M akan
24
terjadi setelah kira-kira jumlah guguran elektron berikutnya sama dengan
jumlah elektron sebelumnya, maka seluruh pulsa keluaran memiliki besar
amplitudo yang sama, dan tidak tergantung pada jumlah pasangan ion awal
yang terjadi pertama kali dalam tabung G-M, sebagai akibat interaksi
radiasi dengan molekul gas isian.
Mobilitas ion positif jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan mobilitas
elektron. Ketika konsentrasi ion positif cukup tinggi, maka akan
menurunkan medan listrik dalam tabung. Karena multiplikasi/reaksi rantai
dalam gas isian memerlukan medan listrik di atas harga minimum tertentu,
maka penurunan medan listrik itu akan menghentikan proses Geiger
discharge.
Pada detektor jenis ini, proses discharge terjadi sepanjang anoda. Seluruh
proses discharge terjadi dalam waktu singkat (orde mikrosekon). Waktu ini
lebih kecil dibandingkan dengan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk
pulsa keluaran yang timbul karena guguran elektron tunggal.
Proses discharge ini, harus “didinginkan secara tiba-tiba” (quenching)
untuk mencegah terjadinya proses discharge yang terus menerus serta
untuk mencegah terjadinya multiplikasi pembentukan pulsa. Setelah proses
Geiger discharge berhenti, ion-ion positif bergerak lambat ke katoda.
Kemudian dinetralisir oleh elektron-elektron yang ada di permukaan
katoda. Dalam proses ini sejumlah energi, yang disebut sebagai fungsi kerja
(work function), dibebaskan. Energi tersebut sama dengan energi ionisasi
gas dikurangi dengan energi yang diperlukan untuk mengeluarkan elektron
dari permukaan katoda. Jika energi yang dibebaskan tersebut masih
melebihi fungsi kerja katoda, maka energi tersebut mungkin akan
mengeluarkan elektron lagi dari permukaan katoda. Elektron ini akan
bergerak ke anoda, dan akan memicu guguran lain yang akan menjadi
Geiger discharge yang kedua. Maka akan tercatat, pulsa tambahan yang
bukan berasal dari radiasi yang masuk.
25
Proses quenching dapat dilakukan dengan menambahkan gas quenching
sekitar 5-10 %. Gas yang digunakan untuk quenching ini dipilih gas yang
memiliki potensial ionisasinya lebih rendah dari gas isian, dan memiliki
struktur yang lebih kompleks dibandingkan dengan komponen gas isian.
Ion-ion positif yang bergerak menuju katoda akan bertabrakan dengan
molekul gas quenching. Ion-ion positif ini akan mengionisasi gas
quenching, sehingga terbentuk elektron bebas dan molekul residu gas
quenching yang bermuatan positif. Jika konsentrasi gas quenching besar,
maka dapat dipastikan bahwa ion-ion positif yang menuju ke katoda adalah
ion-ion positif yang berasal dari gas quenching. Netralisasi ion-ion tersebut
akan menyebabkan tidak ada tambahan guguran elektron dalam tabung G-
M. Contoh gas quenching yang banyak digunakan secara luas adalah etil
alkohol dan etil format. Beberapa tabung menggunakan gas halogen (Cl
dan Br) sebagai gas quenching-nya. Gas-gas halogen memiliki kelebihan
lain yaitu bahwa gas ini tidak cepat habis dalam proses quenching.
Kerugian utama dari detektor G-M adalah tidak dapat membedakan energi
radiasi yang memasukinya. Contohnya: dengan menggunakan detektor
jenis ini, kita tidak akan bisa membedakan secara elektronik antara radiasi
partikel alfa dan beta, juga tidak bisa mengukur besarnya energi radiasi
masing-masing partikel tersebut.
Selain itu, kerugian detektor G-M adalah memiliki waktu-mati yang cukup
lama, (berkisar antara 100—300 µsekon), sehingga kemampuan ukurnya
hanya terbatas pada laju cacah yang rendah. Detektor G-M tidak cocok jika
digunakan untuk menghitung laju cacah yang tinggi dalam rentang waktu
yang singkat (laju pulsa yang tinggi, beberapa ratus pulsa per sekon),
karena akan menimbulkan pembentukan pulsa yang sangat cepat.
Kondisi ini disebut dengan fold back artinya tingginya radiasi dari sumber
radiasi yang diukur dengan menggunakan tabung G-M akan menimbulkan
pembentukan pulsa keluaran yang sangat cepat. Pulsa yang terbentuk pada
ujung akhir pulsa sebelumnya, terjadi karena anoda sudah menarik muatan
26
listrik negatif baru sebelum proses pembentukan pulsa keluaran karena
tangkapan muatan listrik negatif sebelumnya selesai.
Apabila detektor digunakan untuk mengukur radiasi yang tinggi, maka
detektor ini akan menunjukan hasil bacaan pulsa awal yang tinggi dan akan
kembali kepada titik nol dengan cepat.
Untuk menghindari terjadinya foldback biasanya tabung G-M dilengkapi
dengan sirkuit elektronik tambahan, ini dilakukan apabila dalam spesifikasi
tabung G-M yang diterbitkan oleh pabrik pembuatnya tidak menyatakan
bahwa: proses foldback tidak akan terjadi.
Segera setelah satu butir partikel masuk detektor, akan terjadi muatan
listrik positif dan negatif dalam gas isian. Muatan positif di dalam tabung
menyebabkan medan listrik dalam detektor menurun. Radiasi yang masuk
pada saat medan listrik menurun tidak dapat menghasilkan pulsa yang
cukup tinggi untuk tercacah. Waktu-mati detektor adalah waktu saat
detektor tidak dapat mencacah sama sekali. Bila sebagian muatan positif
sudah dinetralkan maka kuat medan berangsur-angsur menjadi besar
sehingga pulsa mulai terbentuk lagi walaupun masih kecil. Waktu ini
dinamakan waktu pulih (recovery time).
Pada beberapa sistem pencacahan pulsa harus mencapai tinggi amplitudo
tertentu dulu untuk dapat tercacah. Waktu yang dibutuhkan untuk
membentuk discharge kedua yang melebihi amplitudo tersebut disebut
resolving time. Dalam prakteknya, sering disebut dengan waktu-mati saja.
Harga waktu-mati detektor GM sekitar 50-100 µsekon/cacah.
Pada detektor GM, jika tegangan dioperasikan dari nol samapi tegangan
yang tinggi dan hasil cacahannya digambarkan maka akan ada bagian yang
datar. Daerah ini disebut plateau. Pada daerah plateau, jika ada perubahan
tegangan, hasil cacahan tidak berubah secara signifikan. Tegangan kerja
yang mulai timbulnya cacah disebut starting voltage. Bila V1 adalah
27
tegangan mulainya plateau, V2 adalah tegangan batas dari plateau. Lereng
plateau (slope) didefinisikan sebagai berikut:
Rumus plateau slope untuk daerah kerja detektor Geiger Muller adalah:
VNNPS
∆∆= /
(Persamaan III.1.)
VNNxPS
∆∆= /100(%)
(Persamaan III.2.)
Rumus perubahan prosentase laju cacah setiap perubahan beda potensial sebesar 100 V adalah:
Laju Cacah (Count/Menit)
V1 V2Beda Potensial (HV)
N1
N2
Gambar Hubungan antara Beda Potensial dengan Laju Cacah Detektor Geiger Muller
28
100/100 xV
NNPS∆∆=
(Persamaan III.3.)
( )12
1/12104
VVNNNPS
−−=
(Persamaan III.4.)
N1 dan N2 adalah laju cacah pada V1 dan V2, jika harganya ≤ 10 %/100
volt maka detektor itu baik. Hal ini berarti tegangan berubah 100 volt ada
kenaikan laju cacah 5 %. Di atas V2 tegangan terlalu tinggi untuk detektor
ini sehingga terjadi pulsa yang terus menerus. Jika detektor dioperasikan di
atas tegangan V2, maka akan rusak. Tegangan kerja detektor diambil pada
daerah plateau.
Karena satu pasangan ion yang terbentuk dalam gas dapat memicu Geiger
discharge penuh, maka efisiensi pencacahan untuk sembarang partikel
bermuatan yang masuk daerah aktif adalah 100%. Dalam situasi praktis,
efisiensi pencacah efektif ditentukan oleh probabilitas radiasi masuk
jendela detektor tanpa absorpsi atau hamburan.
Ada beberapa alasan mengapa detektor jenis GM jarang digunakan untuk
mendeteksi neutron. Untuk neutron termal gas GM memiliki tampang
lintang tangkapan yang kecil. Gas yang mempunyai tampang lintang
tangkapan yang tinggi (BF6) lebih cocok dioperasikan pada daerah
proporsional.
Neutron cepat dapat mereproduksi inti rekoil dalam gas isian yang dapat
menghasilkan pasangan ion. Karena itu tabung Geiger terutama yang berisi
gas Helium dapat mendeteksi netron cepat. Tetapi detektor isian gas untuk
netron dioperasikan sebagai detektor proporsional.
Sinar gamma dapat dideteksi dengan jalan sinar gamma tersebut
berinteraksi dengan dinding detektor. Interaksi tersebut menghasilkan
elektron. Jika interaksi tersebut terletak di bagian dalam dinding elektron
29
tersebut bisa masuk gas detektor. Kemudian elektron tersebut dideteksi