Daftar Isi Dari Redaksi Indonesia sebagai salah satu produsen nanas dunia, memiliki potensi besar untuk mengoptimalkan potensi pasar Jepang yang masih terbuka sebagai negara tujuan ekspor buah nanas. Namun, perlu mewaspadai Filipina yang merupakan pemasok utama nanas impor Jepang. Dimana, Filipina mendapatkan keuntungan dari sisi pengenaan TRQ dan tarif BM karena adanya investasi Jepang di bidang pertanian. Banyaknya toko online telah membantu masyarakat dalam mendapatkan barang dan jasa secara lebih mudah dan efisien. Namun, konsumen harus cerdas dalam memastikan bahwa barang atau jasa yang diperoleh dari belanja secara online tidak merugikan. Ekspor kayu manis Indonesia sebagian besar dalam bentuk gulungan dan broken. Belum banyak industri yang memberi nilai tambah dari kayu manis (cassiavera), sehingga Indonesia hanya mengekspor bahan mentah. Sehingga, pemerintah perlu menyusun target peningkatan ekspor produk kayu manis secara nasional. Defisit neraca perdagangan dapat berdampak pada defisit neraca transaksi berjalan yang melebar dan akan menekan nilai tukar. Pada akhirnya akan menjadikan suatu negara tidak dapat berdaya saing. Oleh karena itu, salah satu upaya memperbaiki neraca perdagangan bisa dilakukan dengan mencari mitra dagang baru, misalnya ke pasar non-tradisional. Adanya kerjasama perdagangan antara Indonesia dengan Mozambik dalam bentuk PTA akan memberikan beberapa manfaat salah satunya adalah daya saing produk Indonesia relatif menjadi lebih baik di pasar Mozambik karena adanya tarif bea masuk preferensi. Indonesia sendiri memiliki produk yang bisa diandalkan untuk meningkatkan ekspor ke Mozambik, dimana produk tersebut diimpor Mozambik dari dunia namun Indonesia belum mengekspornya atau nilainya relatif masih kecil. Mengelola kebijakan bukan tarif khususnya sistem kuota pada impor daging sapi bukanlah tugas yang mudah. Implementasi sistem kuota pada impor daging sapi di Indonesia tidak hanya menciptakan kegagalan pasar yang ditunjukkan oleh tingginya harga daging sapi yang harus ditanggung konsumen, tetapi juga dapat menyebabkan penyalahgunaan secara administratif sehingga berujung pada korupsi. Pemerintah Indonesia mungkin perlu memikirkan kebijakan alternatif yang bersifat jangka panjang sampai harga daging sapi yang terjangkau bagi konsumen tercapai. Penguatan hubungan ekonomi antara Indonesia dan negara-negara EFTA melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif akan memungkinkan peningkatan dan diversifikasi perdagangan dan investasi dua arah. Sebagai pasar besar dengan daya beli tinggi, EFTA memiliki reputasi sebagai mitra perdagangan dan investasi jangka panjang yang terpercaya. Diharapkan kerjasama ini dapat meningkatkan akses pasar perdagangan barang Indonesia ke EFTA, khususnya untuk produk-produk perikanan, tekstil, furnitur, sepeda, elektronik, dan ban mobil, kopi dan kelapa sawit. Potensi dan Tantangan Ekspor Buah Nanas di Pasar Jepang Berbelanja Online Secara Cerdas dalam Rangka Perlindungan Konsumen di Indonesia Pengembangan Ekspor Produk Kayu Manis Indonesia Ketuk Pintu Ekspor Ke Pasar Non-Tradisional: Strategi Memperbaiki Defisit Neraca Perdagangan Peluang Ekspor Indonesia Ke Mozambik Semakin Terbuka Kebijakan Bukan Tarif Impor Hewan dan Produk Hewan: Tantangan dan Alternatif Kebijakan Membuka Peluang Pasar Indonesia Melalui EFTA di Kawasan Eropa Hal. 2 Hal. 11 Hal. 25 Hal. 14 Hal. 21 Hal. 17 Hal. 6 Berita Pendek Perdagangan Halaman 29 Serba Serbi Halaman 32 Statistik Perdagangan Halaman 34 WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 1
36
Embed
Daftar Isibppp.kemendag.go.id/media_content/2019/10/Majalah_Warta... · 2019-10-08 · tambah dari kayu manis (cassiavera), sehingga Indonesia hanya mengekspor bahan mentah. Sehingga,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Daftar IsiDari Redaksi
Indonesia sebagai salah satu produsen nanas dunia, memiliki potensi besar untuk mengoptimalkan potensi pasar Jepang yang masih terbuka sebagai negara tujuan ekspor buah nanas. Namun, perlu mewaspadai Filipina yang merupakan pemasok utama nanas impor Jepang. Dimana, Filipina mendapatkan keuntungan dari sisi pengenaan TRQ dan tarif BM karena adanya investasi Jepang di bidang pertanian.
Banyaknya toko online telah membantu masyarakat dalam mendapatkan barang dan jasa secara lebih mudah dan efisien. Namun, konsumen harus cerdas dalam memastikan bahwa barang atau jasa yang diperoleh dari belanja secara online tidak merugikan.
Ekspor kayu manis Indonesia sebagian besar dalam bentuk gulungan dan broken. Belum banyak industri yang memberi nilai tambah dari kayu manis (cassiavera), sehingga Indonesia hanya mengekspor bahan mentah. Sehingga, pemerintah perlu menyusun target peningkatan ekspor produk kayu manis secara nasional.
Defisit neraca perdagangan dapat berdampak pada defisit neraca transaksi berjalan yang melebar dan akan menekan nilai tukar. Pada akhirnya akan menjadikan suatu negara tidak dapat berdaya saing. Oleh karena itu, salah satu upaya memperbaiki neraca perdagangan bisa dilakukan dengan mencari mitra dagang baru, misalnya ke pasar non-tradisional.
Adanya kerjasama perdagangan antara Indonesia dengan Mozambik dalam bentuk PTA akan memberikan beberapa manfaat salah satunya adalah daya saing produk Indonesia relatif menjadi lebih baik di pasar Mozambik karena adanya tarif bea masuk preferensi. Indonesia sendiri memiliki produk yang bisa diandalkan untuk meningkatkan ekspor ke Mozambik, dimana produk tersebut diimpor Mozambik dari dunia namun Indonesia belum mengekspornya atau nilainya relatif masih kecil.
Mengelola kebijakan bukan tarif khususnya sistem kuota pada impor daging sapi bukanlah tugas yang mudah. Implementasi sistem kuota pada impor daging sapi di Indonesia tidak hanya menciptakan kegagalan pasar yang ditunjukkan oleh tingginya harga daging sapi yang harus ditanggung konsumen, tetapi juga dapat menyebabkan penyalahgunaan secara administratif sehingga berujung pada korupsi. Pemerintah Indonesia mungkin perlu memikirkan kebijakan alternatif yang bersifat jangka panjang sampai harga daging sapi yang terjangkau bagi konsumen tercapai.
Penguatan hubungan ekonomi antara Indonesia dan negara-negara EFTA melalui Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif akan memungkinkan peningkatan dan diversifikasi perdagangan dan investasi dua arah. Sebagai pasar besar dengan daya beli tinggi, EFTA memiliki reputasi sebagai mitra perdagangan dan investasi jangka panjang yang terpercaya. Diharapkan kerjasama ini dapat meningkatkan akses pasar perdagangan barang Indonesia ke EFTA, khususnya untuk produk-produk perikanan, tekstil, furnitur, sepeda, elektronik, dan ban mobil, kopi dan kelapa sawit.
Potensi dan Tantangan Ekspor Buah Nanas
di Pasar Jepang
Berbelanja Online Secara Cerdas dalam Rangka
Perlindungan Konsumen di Indonesia
Pengembangan Ekspor Produk Kayu
Manis Indonesia
Ketuk Pintu Ekspor Ke Pasar Non-Tradisional: Strategi Memperbaiki
Defisit Neraca Perdagangan
Peluang Ekspor Indonesia Ke Mozambik Semakin
Terbuka
Kebijakan Bukan Tarif Impor Hewan dan Produk Hewan:
Tantangan dan Alternatif Kebijakan
Membuka Peluang Pasar Indonesia
Melalui EFTA di Kawasan Eropa
Hal. 2
Hal. 11
Hal. 25
Hal. 14
Hal. 21
Hal. 17
Hal. 6 Berita Pendek PerdaganganHalaman 29
Serba SerbiHalaman 32
Statistik PerdaganganHalaman 34
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 1
ISU PERDAGANGAN
Keterbatasan wilayah yang digunakan untuk perkebunan,
aging farmers dan tingkat kelembaban yang tinggi
mengakibatkan jumlah produksi buah-buahan di Jepang
terbatas. Hal tersebut kemudian dijadikan peluang bagi produsen
buah-buahan di luar Jepang untuk mengekspor hasil produksinya
ke Jepang (Ito & Dyck, 2010). Masih rendahnya produksi dalam
negeri membuka potensi ekspor buah-buahan salah satunya
nanas. Skala produksi buah nanas di Jepang yang masih sangat
rendah membuat potensi ekspor nanas ke pasar Jepang masih
terbuka. Indonesia merupakan produsen ke sembilan nanas dunia
dengan total produksi di tahun 2016 mencapai 1,4 juta ton atau
menyumbang 5,0% dari total produksi nanas dunia (FAO stat, 2018).
Sebagai salah satu produsen nanas dunia, Indonesia diharapkan
dapat mengoptimalkan potensi pasar Jepang sebagai negara
tujuan ekspor buah nanas Indonesia.
Peluang Pasar
Jepang merupakan negara importir nanas ke-9 dunia dengan
pangsa di tahun 2017 mencapai 4,8%. Di tahun 2017, impor nanas
Jepang mencapai USD 125,6 Juta yang terdiri dari impor nanas
segar (fresh pineapple) dan nanas kering (dried pineapple) dengan
nilai impor masing-masing mencapai USD 125,2 juta dan USD 0,4
juta. Selama kuartal I 2018, impor nanas Jepang mencapai USD
26,9 juta, mengalami penurunan 6,1% YoY. Meskipun demikian, tren
impor nanas di Jepang selama tiga tahun terakhir masih mengalami
pertumbuhan positif dengan peningkatan mencapai 7,2% per tahun
(ITC Trademap, 2018). Nanas terutama popular untuk dikonsumsi
pada saat musim panas yaitu antara bulan Mei sampai Agustus.
Masyarakat Jepang menilai bahwa kandungan vitamin C dan B1
pada nanas dapat membantu dan mengurangi kelelahan di musim
panas. Selain itu, konsumsi buah nanas dipercaya bagus untuk kulit
(okinawatravelinfo.com, 2018).
Meskipun sebesar 99,7% impor nanas Jepang merupakan
nanas dalam bentuk segar (fresh pineapple), namun diprediksi
penjualan nanas dalam bentuk dried pada masa mendatang akan
meningkat. Hal tersebut terlihat dari perubahan struktur impor nanas
Jepang. Pada kuartal I 2017, pangsa impor dried pineapple hanya
POTENSI DAN TANTANGAN EKSPOR
BUAH NANAS DI PASAR JEPANGSeptika Tri Ardiyanti & Fitria Faradila
mencapai 0,2% dari total impor nanas Jepang, sedangkan di kuartal
I 2018 pangsanya mengalami peningkatan menjadi 0,6% (Gambar
1).
Gambar 1. Struktur Impor Nanas Jepang
Sumber: ITC Trademap (2018), diolah
Keterangan: Q1 : Kuartal I
Filipina masih mendominasi dan menjadi pemasok utama pasar
nanas Jepang. Di tahun 2017, pangsa impor Jepang dari Filipina
mencapai 91,9%, kemudian diikuti oleh Kosta Rika (5,3%), Indonesia
berada pada urutan ketiga (1,3%) dan Taiwan berada di posisi
keempat (0,8%). Tingginya pangsa pasar yang dimiliki oleh Filipina
tidak terlepas dari adanya investasi Jepang di bidang pertanian di
Filipina dengan nilai mencapai USD 1 Milyar di tahun 2016. Nilai
investasi tersebut, terdiri dari kerjasama di bidang pengembangan
project biomass dan persetujuan untuk peningkatan dan ekspor
buah pisang, nanas dan alpukat Filipina ke pasar Jepang.
Meskipun demikian, tren pertumbuhan impor nanas Jepang dari
Filipina mengalami perlambatan. Selama tiga tahun terakhir, impor
Jepang dari Filipina meningkat sebesar 4,3% per tahun, jauh lebih
rendah jika dibandingkan dengan peningkatan impor dari Kosta
Rika dan Indonesia yang masing-masing mengalami pertumbuhan
sebesar 367,6% per tahun dan 80,6% per tahun. Berbeda dengan
ketiga negara pemasok utama tersebut, impor nanas Jepang dari
Taiwan justru mengalami penurunan sebesar 25,3% per tahun.
Kondisi ini dapat dijadikan peluang bagi Indonesia untuk merebut
pangsa pasar Filipina dan Taiwan di pasar Jepang (Tabel 1).
Fresh Pineapple
, 99.8
Dried Pineapple
, 0.2
QI 2017
Fresh Pineapple
, 99.4
Dried Pineapple
, 0.6
QI 2018
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 20192
IMPOR TOTAL 937,26 842,65 861,17 1.058,68 1.098,84 5,62 100,001 BARANG KONSUMSI 71,38 134,10 166,95 129,17 115,44 9,68 10,51
1. Makanan dan Minuman (Belum Diolah) Untuk Rumah Tangga
0,36 3,35 8,28 22,78 21,69 175,201,97
2. Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Rumah Tangga 19,14 17,49 16,74 25,02 25,74 9,98 2,343. Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 0,03 0,04 0,01 0,01 0,01 -25,89 0,004. Mobil Penumpang - - - - 0,06 - 0,015. Alat Angkutan bukan untuk Industri 4,13 0,11 0,01 0,00 - - 0,006. Barang Konsumsi Tahan Lama 5,05 8,14 13,49 10,78 16,87 30,92 1,547. Barang Konsumsi Setengah Tahan Lama 2,30 2,69 3,13 5,56 8,07 38,26 0,738. Barang Konsumsi Tidak Tahan Lama 40,19 93,94 65,96 61,56 41,37 -3,58 3,769. Barang Yang Tidak Diklasifikasikan 0,19 8,35 59,32 3,46 1,62 40,33 0,15
2 BAHAN BAKU PENOLONG 622,23 525,77 560,54 785,87 860,17 11,07 78,281. Makanan dan Minuman (Belum diolah) Untuk Industri 0,00 - 0,12 0,01 0,45 - 0,042. Makanan dan Minuman (Olahan) Untuk Industri 13,58 15,20 17,25 14,60 13,85 0,00 1,263. Bahan Baku (Belum Diolah) Untuk Industri 24,80 22,57 16,76 10,90 9,45 -23,33 0,864. Bahan Baku (Olahan) Untuk Industri 365,24 319,73 352,21 426,57 545,58 11,53 49,655. Bahan Bakar dan Pelumas (Belum Diolah) - - 3,31 141,28 34,38 - 3,136. Bahan Bakar Motor - - - - 123,75 - 11,267. Bahan Bakar dan Pelumas (Olahan) 0,41 0,69 0,32 0,56 27,51 126,66 2,508. Suku Cadang dan Perlengkapan Barang Modal 105,86 110,20 77,43 99,11 83,10 -5,73 7,569. Suku Cadang dan Perlengkapan Alat Angkutan 112,33 57,38 93,15 92,83 22,10 -24,20 2,01
3 BARANG MODAL 243,66 182,79 133,68 143,64 123,23 -14,82 11,211. Barang Modal Kecuali Alat Angkutan 230,39 173,61 133,26 126,50 123,15 -14,52 11,212. Mobil Penumpang - - - - 0,06 - 0,013. Alat Angkutan Untuk Industri 13,27 9,18 0,42 17,14 0,01 -74,64 0,00
pada berbagai jenis daging (bovine animals, fresh or chilled di
berbagai negara, 2016-2017
No. Negara Tarif MFN (%)Tarif Terikat
(%)
1. Australia 0 02. Brunei Darussalam 0 203. Kamboja 35 38,34. Kanada 26,5 13,35. Republik Rakyat Tiongkok 14,7 14,76. India 30 1007. Indonesia 5 508. Jepang 38,5 509. Malaysia 0 1510. Myanmar 15 16511. Selandia Baru 0 012. Filipina 10 38,513. Thailand 50 5014. Vietnam 21,3 21,315. Singapura 0 3.3
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 201924
Potensi Ekspor Indonesia di Pasar Non-tradisional
Laporan Neraca Pembayaran Indonesia yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) (2018) menunjukkan bahwa sejalan dengan permintaan domestik yang menguat, defisit neraca transaksi
berjalan pada triwulan III 2018 mengalami peningkatan sebesar USD 8,8 miliar (3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan defisit triwulan sebelumnya yaitu sebesar USD 8,0 miliar (3,02% dari PDB). Namun demikian BI menegaskan bahwa secara kumulatif defisit neraca transaksi berjalan sampai dengan triwulan III 2018 masih berada dalam kisaran aman yaitu 2,86% dari PDB. Salah satu faktor yang bertanggungjawab terhadap meningkatnya defisit neraca transaksi berjalan adalah penurunan neraca perdagangan barang dan meningkatnya defisit neraca jasa.
Sebagai gambaran umum, perdagangan Indonesia selama ini relatif lebih didominasi oleh empat negara mitra dagang utama yaitu Jepang, Amerika Serikat, China dan Singapura. Tabel 1 menggambarkan nilai perdagangan Indonesia ke negara tujuan utama mulai tahun 2012 sampai 2016.
Ketergantungan yang tinggi terhadap pasar tertentu dapat memberikan dampak negatif bagi aktivitas ekspor terutama jika terjadi goncangan di negara yang bersangkutan dan guncangan ekonomi dunia. Pertumbuhan rata-rata ekspor Indonesia ke negara tujuan utama sebagian besar bernilai negatif artinya ekspor Indonesia ke negara tradisional mulai mengalami penurunan. Penurunan ekspor ke pasar tradisional mengharuskan Indonesia untuk mencari pasar ekspor baru ke negara yang selama ini belum menjadi mitra utama (pasar non-tradisional). Diversifikasi pasar merupakan salah satu jalan keluar yang dapat dilakukan untuk meminimisasi dampak krisis global terhadap kinerja neraca perdagangan dan perekonomian Indonesia (Oktaviani et al, 2008). Diversifikasi pasar tujuan ekspor dibutuhkan Indonesia dalam melakukan ekspansi atau perluasan pasar baru khususnya pasar non-tradisional.
Beberapa penelitian memiliki definisi yang agak berbeda mengenai negara non-tradisional. Hasil penyaringan antara negara tradisional dan non-tradisional Indonesia yang dilakukan oleh Internasional Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS), Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Bank Indonesia (2018) menunjukkan bahwa terdapat 116 negara yang tergolong sebagai pasar non-tradisional Indonesia. Penyaringan dilakukan melalui beberapa tahapan yang digambarkan oleh Tabel 2.
Berdasarkan filtering tahap 3, maka negara yang didefinisikan sebagai negara tradisional dalam tulisan ini adalah (1) Jepang, (2) Singapura, (3) USA, (4) EU 27 (termasuk Inggris), (5) Korea Selatan, (6)
Hongkong, (7) Malaysia, (8) Australia, (9) Saudi Arabia, (10) Thailand, (11) Filipina , (12) China, dan (13) India. Selanjutnya dengan analisis Structural Match Indeks (SMI) dan Demand Indeks (DI) diidentifikasi negara non-tradisional potensial ekspor Indonesia. Dalam melakukan analisis SMI dan DI jumlah negara yang telah tersaring sebanyak 105 Negara dari 111 Negara yang telah difiltering diakibatkan keterbatasan data tersebut. Negara yang dikeluarkan tersebut yaitu Venezuela, Yaman, Kuba, Yugoslavia, Djibouti dan Montenegro. Penelitian ITAPS dan BI (2018) mengelompokkan negara-negara yang tersaring tersebut menjadi empat kuadran. Kuadran II merupakan kelompok negara non-tradisional yang memiliki Demand Indeks tinggi yang menunjukkan permintaan impor yang tinggi oleh negara pengimpor dan Structural Match Indeks (SMI) rendah yang menunjukkan kecocokan yang tinggi dari ekspor Indonesia terhadap kebutuhan negara-negara mitra non-tradisional. Berdasarkan kuadran II terpilih 19 negara Kanada, Myanmar, Meksiko, Switzerland, Mesir, Brazil, Kuwait, Turki, Oman, Tanzania, Bangladesh, Nigeria, Qatar,Uni Emirad Arab (UEA), Kongo, Pantai Gading, Guinea, Grenada, Islandia. Dari 19 negara, berdasarkan pertimbangan skala prioritas maka terpilih 8 negara yang didefinisikan sebagai negara non-tradisional yang potensial yaitu Kanada, Brazil, Mesir, Kuwait, Meksiko, UEA, Qatar, Nigeria, dan ditambah dengan satu negara yang tergabung di SACU yaitu Afrika Selatan.
Berbeda dengan penelitian ITAPS dan BI (2018), Sabaruddin (2016) melakukan clustering tujuan pasar ekspor Indonesia menjadi dua macam yaitu pasar tradisional dan pasar non-tradisional (pasar ekspor sudah berkembang dan untapped markets). Hasil analisis menyimpulkan bahwa negara-negara yang masuk dalam kategori pasar tradisional bagi Indonesia sebanyak 12 negara yaitu: Australia, Jerman, Italia, Jepang, Korea Selatan, Belanda, Malaysia, Filipina, Singapura, Inggris, Amerika Serikat, dan China (termasuk Hong Kong). Sedangkan, pada kategori pasar non-tradisional, untuk klasifikasi negara-negara ekspor sudah berkembang ditemukan terdapat sebanyak sembilan negara yaitu Belgia, Perancis, India, Arab Saudi, Uni Sovyet (dan Federasi Rusia), Spanyol, Thailand, Trinidad, Tobago, dan Vietnam. Sedangkan untuk kategori pasar yang belum digarap (untapped market) adalah seluruh negara dan entitas ekonomi selain diatas (sebanyak 219 negara dan entitas ekonomi).
Hasil kajian Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Tahun 2014 berjudul “Kajian Potensi Pengembangan Ekspor ke Pasar Non-tradisional”, negara tradisional didefinisikan sebagai negara (pasar) yang memiliki kriteria/syarat berupa syarat keharusan yakni ekspor
Widyastutik
KETUK PINTU EKSPOR KE PASAR NON-TRADISIONAL:
STRATEGI MEMPERBAIKI DEFISIT NERACA PERDAGANGAN
Tabel 1. Negara ekspor tujuan utama Indonesia, 2012 – 2016 (Juta USD)
Negara Tujuan 2012 2013 2014 2015 2016
Jepang 30.135,1 27.086,3 23.117,5 18.020,9 16.089,6
Amerika Serikat 14.874,4 15.691,7 16.530,1 16.240,8 16.141,4
China 21.659,5 22.601,5 17.605,9 15.046,4 16.790,8
Singapura 17.135,0 16.686,3 16.728,3 12.632,6 11.861,0
Sumber : BPS (2018)
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 25
ke negara tersebut sudah berlangsung lebih dari 40 tahun serta syarat kecukupan yakni tidak terpengaruh oleh kondisi perekonomian negara lain, konsumsi terhadap struktur PDB lebih dari 50% dan net ekspor terhadap struktur PDB kurang dari 5%. Dalam hasil kajian juga Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa (UE) didefinisikan sebagai negara tradisional. Selain tiga negara tradisional, tujuh negara tujuan ekspor Indonesia yang sudah terjadi selama lebih dari lima tahun adalah China, India, Singapura, Malaysia, Korea Selatan, Thailand dan Taiwan yang selanjutnya disebut dengan negara mitra dagang utama Indonesia. Sedangkan negara non-tradisional termasuk di dalamnya mitra dagang utama dan non mitra dagang utama yang terdiri dari Australia, Philipina, Hongkong, UEA, Vietnam, Saudi Arabia, Pakistan, Brasil, Turki, Afrika Selatan, Bangladesh, Mesir, Rusia dan lainnya. Secara detil, ekspor Indonesia ke negara tradisional dan non-tradisional berdasarkan definisi Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Tahun 2014 selama tahun 2011-2014 dapat dilihat pada Tabel 3.
Berdasarkan pertimbangan metode analisis yang digunakan, penulis sepakat dengan definisi ITAPS dan BI (2018) mengenai negara non-tradisional. Metode SMI dan DI memberikan “guidance” yang lebih komprehensif karena mempertimbangkan 2 hal sekaligus yaitu kecocokan antara ekspor Indonesia terhadap kebutuhan negara-negara mitra non-tradisional dan sekaligus pertimbangan mengenai permintaan terhadap impor yang semakin tinggi.
Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada Juni 2018 menunjukkan bahwa sepertiga dari pangsa pasar ekspor Indonesia didominasi oleh hanya tiga negara yaitu China, Amerika Serikat dan Jepang. Artinya ketiga negara tersebut mencakup 36,48% dari total nilai ekspor nonmigas Indonesia. Ditambah dengan negara-negara tujuan utama lain yakni Singapura, Malaysia, Thailand, Jerman, Belanda, Italia, India, Australia, Korea Selatan dan Taiwan, angka tersebut menjadi 71,31% pada Januari sampai April 2018. Hal ini berarti puluhan negara yang ada di dunia selain tiga belas negara
tersebut hanya mencakup 28,69% dari pasar ekspor Indonesia. Hal ini tentunya peluang dan sekaligus tantangan bagi Indonesia untuk melakukan diversifikasi pasar ke negara yang didefinisikan sebagai negara non-tradisional tersebut. Dengan membangun basis ekspor yang lebih luas, diversifikasi ekspor dapat mengurangi instabilitas penerimaan ekspor, meningkatkan penerimaan ekspor, meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui berbagai saluran. Lebih lanjut, negara-negara non-tradisional tersebut berpotensi sebagai hub ekspor Indonesia ke negara lainnya yang bermitra dengan negara non-tradisional.
Tantangan Diversifikasi Pasar Ekspor ke Negara Non-tradisionalKurangnya informasi produk Indonesia di mata konsumen dan
sedikitnya perjanjian perdagangan dengan negara-negara non-tradisional menjadi salah satu tantangan bagi upaya diversifikasi Indonesia. Tantangan lainnya adalah risiko-risiko yang terdapat pada pasar non-tradisional. Pemikiran bahwa pasar Non-tradisional lebih mudah untuk dimasuki oleh Eksportir Indonesia tidaklah sepenuhnya benar (Sthitaprajna, et al 2018). Apabila dicermati secara umum, maka negara-negara yang masuk dalam kelompok pasar Non-tradisional adalah negara-negara yang secara politis, ekonomi dan hukum belum stabil dan modern sebagai contoh adalah Amerika Tengah, Amerika Selatan, Timur Tengah dan Afrika, dimana prinsip coup d’etat (kudeta) adalah hal yang dianggap lumrah. Tidak hanya masalah politis dan keamanan, isu-isu ekonomi seperti fluktuasi nilai mata uang, lemahnya kapasitas membayar – baik importir maupun bank, juga relatif banyak ditemukan. Hal-hal tersebut tentunya bukanlah kondisi yang dapat mendukung serta kondusif bagi aktivitas bisnis, terlebih lagi untuk kegiatan ekspor (Batuparan, 2012). Salah satu contoh pengaruh non ekonomi terhadap kerjasama perdagangan adalah tertundanya pelaksanaan Comprehensive Economic Partnership (CEPA) antara Indonesia dengan Turki dikarenakan masalah politik yang melanda negara Turki (katadata, 2019). Turki sendiri merupakan potensi pasar
Tabel 2. Filtering negara tradisional dan Non-tradisional
Tahapan Filter Total Negara
1 Negara mitra dagang Indonesia berdasarkan data wits dari 1967 sitc rev 1 250 negara
2 Filter WTO Member dan EU Member 123 Negara dan 1 Region
3 Filter 13 negara yang konsisten sebagai mitra ekspor non migas Indonesia selama 30 sampai 40 tahun merupakan negara tradisional
111 negara
4 Analisis SMI dan demand indeks digunakan 105 Negara 105 negara non-tradisional
Sumber : ITAPS, FEM IPB dan Bank Indonesia (2018)
Gambar 1. Filtering Negara Non-tradisional Potensial Berdasarkan Structural Match Index dan Demand IndexSumber: Kajian ITAPS, FEM IPB dan BI (2018)
52
negara yang tersaring tersebut menjadi empat kuadran. Kuadran II merupakan kelompok negara non-
tradisional yang memiliki Demand Indeks tinggi yang menunjukkan permintaan impor yang tinggi oleh
negara pengimpor dan Structural Match Indeks (SMI) rendah yang menunjukkan kecocokan yang
tinggi dari ekspor Indonesia terhadap kebutuhan negara-negara mitra non-tradisional. Berdasarkan
kuadran II terpilih 19 negara Kanada, Myanmar, Meksiko, Switzerland, Mesir, Brazil, Kuwait, Turki,
Oman, Tanzania, Bangladesh, Nigeria, Qatar,Uni Emirad Arab (UEA), Kongo, Pantai Gading, Guinea,
Grenada, Islandia. Dari 19 negara, berdasarkan pertimbangan skala prioritas maka terpilih 8 negara
yang didefinisikan sebagai negara non-tradisional yang potensial yaitu Kanada, Brazil, Mesir, Kuwait,
Meksiko, UEA, Qatar, Nigeria, dan ditambah dengan satu negara yang tergabung di SACU yaitu Afrika
Selatan.
1,61,51,41,31,21,11,00,90,8
8
7
6
5
4
3
2
1
0
SMC
Dem
and
Inde
x
1,1591
2,210
NAM
LSOBWA
TJK
SLBVUT
UKR
TON SYC WSM
RWANPL MNGMDA
MDV
KGZ
KAZ
JAM
ISL
HTI
GRD
GEO GMBFJISLV
DMA
CRI
BDI
BLZBRB
ARMATGMUS
DOMTCD
BRN
RUS
BFA ZWEMWIALB
TGO
ISR
BEN
MLI GAB
PRY
NICGUY
GIN
CIVCOG
NER
ARE
QAT
HND
CAF
BHR
SLEUGAECUCMRAGO ZMB
URYGTM
BOLMRT
GHA
VNM
PNGMOZ
KHM
SEN
TUN
ZAF
LAO
COL
TTO
NGA
MDGLBR
BGD
TZA
PER
OMN
PAN
MAR
ARG
LKA CHL
TUR
SUR
KWT
KEN
BRA
JOREGY
CHE
MEX
PAK
NOR
NZL
MMR
CAN
Scatterplot of Demand Index vs SMC
Gambar 1. Filtering Negara Non-tradisional Potensial Berdasarkan Structural Match Index dan
Demand Index
Sumber: Kajian ITAPS, FEM IPB dan BI (2018)
Berbeda dengan penelitian ITAPS dan BI (2018), Sabaruddin (2016) melakukan clustering
tujuan pasar ekspor Indonesia menjadi dua macam yaitu pasar tradisional dan pasar non-tradisional
(pasar ekspor sudah berkembang dan untapped markets). Hasil analisis menyimpulkan bahwa
I II
III IV
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 201926
Tabel 3. Ekspor Indonesia ke Negara Tradisional dan Non-tradisional, 2011-2014
Sumber: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan (2014)
yang besar bagi Indonesia yang nilai perdagangan year to date bertumbuh 10,16 % dibandingkan tahun lalu (BPS, 2017). Produk Indonesia yang diekspor ke Turki merupakan karet dan bahan-bahan karet. Pertumbuhan ekspor untuk produk karet dan non karet ke Turki bertumbuh 62 % antara Januari hingga Oktober 2017 (BPS, 2017).
Khusus untuk negara di Afrika dan Amerika Latin, tantangan yang harus dihadapi Indonesia adalah upaya melakukan negosiasi secara multilateral, tidak hanya bilateral, karena mereka tergabung dalam blok perdagangan seperti ECOWAS (Economic Community of West African States) (BPPP, 2015) dan MERCOSUR (Mercado Comun del Sur). ECOWAS beranggotakan Benin, Burkina Faso, Tanjung Verde, Pantai Gading, Gambia, Ghana, Guinea, Guinea Bissau, Liberia, Mali, Niger, Nigeria, Senegal, Sierra Leone, and Togo. Sedangkan MERCOSUR beranggotakan Argentina, Brasil, Uruguay, Venezuela (Kemlu, 2019). Pada tingkat bisnis, tantangan diversifikasi pasar ekspor yang dihadapi pelaku-pelaku bisnis Indonesia adalah masalah di bidang pembiayaan dan penjaminan. Pembiayaan perdagangan luar negeri yang melibatkan pasar non-tradisional dipersepsikan memiliki risiko yang lebih tinggi dibanding pembiayaan ke pasar yang sudah familiar. Risiko yang harus ditanggung oleh pengusaha adalah tanggungan bunga lebih besar dan membayar biaya penjaminan yang lebih tinggi mengingat lembaga pembiayan ekspor perlu beradaptasi dengan struktur risiko yang dihadapi di pasar non-tradisional tersebut. Berdasarkan data International Chamber of Commerce (2013), secara global tingkat gagal bayar untuk pembiayaan perdagangan internasional berada di bawah 1%. Akan tetapi, ketika dilihat berdasarkan pasar tujuan, transaksi yang melibatkan negara Afrika dan negara berkembang lain cenderung menunjukkan tingkat gagal bayar yang lebih tinggi. Hal ini diakibatkan karena adanya ketidaksempurnaan pasar dan kemungkinan terkena guncangan yang tidak terduga.
Strategi Ketuk Pintu Ekspor ke Negara Non-tradisionalKetika Indonesia mulai “menengok” ke pasar-pasar non-
tradisional, China, India, Korea, bahkan negara-negara maju pun telah berlomba-lomba untuk memanfaatkan potensi di pasar Non-tradisional. Kondisi ini membuat pasar-pasar tersebut tidak lagi merupakan pasar yang sepi, melainkan dipenuhi oleh para pelaku yang agresif dengan pemain-pemain besar yang telah berada di pasar tersebut yang ternyata telah melakukan penetrasi pasar untuk jangka waktu yang cukup lama. Hal tersebut bukan hanya merupakan respon sesaat atas upaya meningkatkan surplus atau
memperbaiki neraca perdagangan mereka yang defisit namun telah menjadi bagian dari strategi jangka panjang para pemain-pemain lama untuk mendiversifikasi pasar ekspor mereka. Berbagai tahapan strategi ekspor pun telah mereka tempuh mulai dari survey melalui riset mendalam, pemberian bantuan dan hibah oleh pemerintah untuk “menanam jasa”, membangun jaringan distribusi yang luas, membangun infrastruktur keuangan untuk transaksi, pembiayaan dan penjaminan dan banyak persiapan lainnya yang telah dilakukan jauh-jauh hari (Sthitaprajna, et al 2018). Dengan kata lain, bukanlah hal yang terbilang mudah dan tidak dalam jangka waktu pendek bagi pendatang baru seperti Indonesia untuk menghadapi situasi tersebut.
Bukan berarti tidak mungkin apabila Indonesia berkeinginan kuat untuk melakukan diversifikasi ke pasar ekspor. Adalah sangat mungkin apabila Indonesia melakukan penetrasi ekspor ke pasar non-tradisional yang tentunya diperlukan strategi yang komprehensif. Strategi ketuk pintu ekspor diadopsi dari strategi Ketuk Pintu Layani Dengan Hati (KPLDH) yang merupakan program kesehatan di Jakarta berbasis jemput bola. Program ini diluncurkan pada tanggal 24 Mei 2015 di Rusun Pinus Elok, Cakung, Jakarta Timur oleh Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama. Tidak jauh berbeda dengan KPLDH, ketuk pintu ekspor merupakan strategi ekspor dengan jemput bola. Secara sederhana strategi ini kebalikan dari sistem konvensional dimana pelaku ekspor Indonesia yang berperan sebagai penjual harus lebih aktif. Keuntungan sistem ini adalah negara non-tradisional sebagai konsumen akan semakin dimudahkan mendapatkan informasi dan penawaran terkait produk yang mungkin mereka butuhkan. Terkait dengan tujuan melakukan diversifikasi ekspor, strategi yang dapat dilakukan dalam upaya ketuk pintu ekspor Indonesia ke negara non-tradisional adalah sebagai berikut:1. Intelijen pasar dan promosi ekspor dengan mengoptimalkan
perwakilan Indonesia di luar negeri. Intelijen pasar diperlukan untuk memperoleh informasi mengenai peluang pasar, informasi kebutuhan produk, selera konsumen serta hambatan perdagangan di pasar non-tradisional. Dalam rangka meningkatkan kegiatan Intelijen pasar maupun promosi ekspor melalui kegiatan pameran di luar negeri, peran perwakilan Kementerian Perdagangan di luar negeri maupun KBRI perlu dioptimalkan. Ada 19 perwakilan melalui Indonesian Trade Promotion Center (ITPC), 24 Atase Perdagangan, Konsul Dagang di Hong Kong, dan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) Taipei. Indonesia jangan sampai kalah dengan negara tetangga ASEAN, yaitu Thailand yang secara agresif melakukan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 27
promosi ekspor. Thailand memiliki satu bagian khusus yang bertugas untuk mempromosikan dan mengembangkan ekspor. Departemen Promosi Perdagangan Internasional Department of International Trade Promotion (DITP) yang didirikan di bawah Kementerian Perdagangan Kerajaan Thailand membantu dalam pengembangan ekspor produk Thailand. Di bawah pengawasan DITP terdapat Pusat Perdagangan Luar Negeri (TTC) yang terletak di kota-kota besar di seluruh dunia. Lembaga ini terletak di berbagai negara di dunia yang berperan untuk mendukung penerapan kebijakan pengembangan ekspor. Fokus utama adalah memperkuat hubungan perdagangan antara eksportir Thailand dan importir potensial. Selain itu, lembaga ini juga menganalisis informasi yang relevan dan memberikan laporan tentang tren dan perkembangan pasar ekspor (intelegensi pasar) (Puska Daglu, BP2KP, Kementerian Perdagangan, 2014).
2. Mendirikan gerai/outlet/konter yang merupakan show case untuk produk unggulan ekspor Indonesia di pasar non-tradisional. Strategi ini dipandang perlu untuk memperkenalkan produk-produk buatan Indonesia di pasar non-tradisional. Dengan adanya show case yang berfungsi memamerkan produk-produk buatan Indonesia maka akan memudahkan pelaku usaha dari pasar non-tradisional untuk mengenal produk buatan Indonesia tanpa harus datang berkunjung ke Indonesia. Gerai/outlet/konter ini juga harus dilengkapi database pelaku usaha dari Indonesia yang menyediakan produk ekspor buatan Indonesia. Strategi pendirian show case untuk produk ekspor Indonesia diinisiasi oleh Direktorat Jenderal Pengembangan Ekspor Nasional, Kementerian Perdagangan khususnya untuk pengembangan ekspor di daerah perbatasan melalui pendirian marketing point-marketing point di wilayah perbatasan.
3. Asistensi dan capacity building untuk pelaku usaha (eksportir) agar produk ekspor Indonesia memenuhi persyaratan kebijakan/aturan yang diberlakukan oleh pasar non-tradisional.
Walaupun tidak seintens negara maju, negara non-tradisional juga kerapkali menetapkan standar dan mutu yang harus dipenuhi produk ekspor Indonesia. Sebagian besar negara non-tradisional adalah negara dengan pendapatan menengah ke atas. Hummels dan Lugovskyy (2009) menyatakan bahwa rata-rata unit value dari impor suatu negara cenderung meningkat dengan semakin meningkatnya tingkat pendapatan. Dengan atau tanpa standar, konsumen secara natural akan mengubah produk yang dikonsumsinya ke produk yang memiliki kualitas tinggi dan produk yang aman sejalan dengan pendapatannya yang meningkat yang dikenal dengan “income effect (IE) hypothesis”. Oleh karena itu asistensi dan capacity building diperlukan agar pelaku ekspor mampu memenuhi persyaratan yang diajukan oleh negara non-tradisional. Salah satu capacity building yang dilakukan oleh lembaga keuangan khusus milik pemerintah yaitu LPEI kepada UMKM adalah program Coaching Program for New Exporters (CPNE). Tidak hanya pendampingan, LPEI juga memiliki Digital Handholding Program yang merupakan pelatihan bagi UMKM agar siap masuk ke pasar internasional diantaranya pasar non-tradisional via marketplace global.
4. Fasilitasi perdagangan melalui harmonisasi regulasi dan kebijakan antara Indonesia dengan negara non-tradisional.
Untuk menjembatani permasalahan disharmonisasi regulasi dan kebijakan antara Indonesia dan negara non-tradisional Pemerintah seyogyanya mendirikan semacam “FTA Center” yang berfungsi memfasilitasi pelaku usaha dengan memberikan layanan konsultasi dan advokasi apabila terjadi disharmonisasi dalam regulasi yang diberlakukan oleh negara tujuan ekspor non-tradisional.
5. Insentif pembiayaan ekspor dan instrumen hedging Mengingat negara yang masuk ke dalam pasar Non-tradisional
umumnya negara berkembang dimana karakter umum yang
dimiliki negara-negara ini adalah tingginya permintaan barang dan jasa namun diiringi rendahnya kemampuan membayar maka diperlukan insentif pembiayaan ekspor berupa fasilitas pinjaman berbunga rendah atau bertenor panjang atau kombinasi keduanya. Pinjaman seperti ini dikenal sebagai Buyer’s Credit atau Export Credit yang dikelola oleh export agency dalam hal ini dapat dilakukan oleh LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia). Optimalisasi lembaga pembiayaan ekspor Indonesia dalam rangka menguatkan pembiayaan industri yang berorientasi ekspor dan sekaligus penyedia instrumen hedging untuk transaksi ekspor dan penyedia asuransi terkait ekspor diharapkan akan mengurangi kekhawatiran atas risiko terkait ekspor, apakah dari sisi gagal bayar atau kegagalan dalam hal pengiriman barang. Dengan demikian hal ini akan memberikan kenyamanan bagi pelaku usaha yang melakukan ekspor ke negara non-tradisional. Selain itu Pemerintah dapat menerapkan kebijakan dengan mewajibkan lembaga pembiayaan untuk mencapai porsi menyalurkan pembiayaan ke sektor produktif dalam rangka merangsang ekspor ke pasar non-tradisional.
6. Skema kerjasama yang lebih luas tidak hanya penurunan tarif namun juga skema kerjasama investasi.
Strategi keenam adalah membidik skema kerjasama perdagangan yang lebih mendalam baik melalui skema kerjasama bilateral maupun regional dengan negara non-tradisional untuk membuka akses pasar barang, jasa dan sekaligus investasi. Kajian ITAPS bekerjasama dengan BI (2018) dan Kemenko (2018) menunjukkan gain yang diperoleh Indonesia dan negara mitra non-tradisional akan semakin meningkat apabila skema kerjasama tidak hanya sekedar penurunan tarif barang dan jasa tapi juga skema investasi. Pendirian hub perdagangan dan investasi dirasa penting agar negara mitra non-tradisional juga memperoleh nilai tambah dari kerjasama tersebut. Model bisnis ekspor dengan mengikutsertakan FDI relatif lebih menjamin keberlanjutan hubungan kerjasama antar kedua belah pihak, Indonesia dengan negara non-tradisional. Salah satu pasar non-tradisional yang telah dibidik Indonesia adalah Chile. Indonesia telah menandatangani Indonesia-Chile Comprehensive Economic Partnership Agreement (IC-CEPA) pada tanggal 14 Desember 2017. Kedua belah pihak secara khusus juga bersepakat untuk memperluas kerja sama di sektor jasa dan investasi menyusul penerapan perjanjian perdagangan barang (Trade in Goods/TIGs). Negosiasi khusus untuk sektor jasa dan investasi direncanakan akan dimulai pada tahun 2020. Terkait dengan kerjasama bilateral lainnya, Indonesia sudah merintis kegiatan kerjasama dengan beberapa negara di kawasan Amerika Selatan walaupun beberapa belum sampai pada keputusan akhir seperti negara Brazil yang merupakan anggota dari Mercosur. Selain dengan Brazil, kerjasama Indonesia dengan Peru juga tengah dijajagi melalui Joint Study Group (JSG) untuk melihat potensi dan kelayakan kerjasama antar kedua negara.
7. Penguatan koordinasi dan sinergi antar KL Enam strategi yang diuraikan diatas tentunya tidak cukup
apabila tidak disertai dengan penguatan koordinasi antar K/L dan stakeholder yang terlibat dalam ketuk pintu ekspor ke negara non-tradisional. Koordinasi dan sinergi antar K/L dan stakholder yang terlibat merupakan syarat mutlak agar strategi ini memberikan gain bagi perekonomian Indonesia.
Biodata PenulisNama : WidyastutikJabatan : Direktur Eksekutif ITAPS, Fakultas Ekonomi
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 201928
Pada tahun 2018 kondisi ekonomi Jawa Tengah mengalami
pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan tahun 2017.
Ekonomi Jawa Tengah tahun 2018 tumbuh 5,32%, menguat
dibandingkan tahun 2017 sebesar 5,26% (BPS, 2018). Ada
beberapa faktor yang mendorong naiknya pertumbuhan ekonomi
Jawa Tengah. Beberapa factor tersebut diantaranya beroperasinya
beberapa tol di Jawa Tengah, peningkatan jumlah penumpang
kereta api, inflasi Jawa Tengah yang terkendali pada kisaran 2,82%,
dan peningkatan belanja online rumah tangga dari 16,14% tahun
2017 menjadi 29,20% tahun 2018. Salah satu program unggulan
pemerintah Provinsi Jawa Tengah tahun 2019-2023 di sektor
perdagangan adalah merevitalisasi pasar rakyat sesuai Standar
Nasional Indonesia (SNI) (Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Provinsi Jawa Tengah, 2019).
Dari 35 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Jawa Tengah,
laju pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah masih didominasi oleh
Kota Semarang. Kota Semarang merupakan ibu kota provinsi Jawa
Tengah dengan luas 373,7 km2 dan dihuni sekitar 1,6 Juta jiwa
(Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kota Semarang, 2018).
Kota Semarang sebagai penyangga utama pertumbuhan ekonomi
Provinsi Jawa Tengah dengan nilai 161,2 dan mempunyai laju inflasi
terendah kedua dari enam Kota Besar di Jawa Tengah setelah
BERITA PENDEK PERDAGANGAN
Kota Surakarta dan terendah kedua dari enam Kota Besar di Pulau
Jawa setelah Yogyakarta (BPS, 2018). Salah satu faktor pendukung
tumbuhnhya perekonomian dan inflasi yang terkendali di Kota
Semarang berasal dari sektor perdagangan, terutama transaksi
yang terjadi di pasar-pasar rakyat. Kota Semarang mempunyai 52
pasar dari 16 Kecamatan dan mempunyai total 13.239 pedagang
besar, menengah, dan kecil (Dinas Perdagangan Kota Semarang,
2019).
Melalui Dinas Perdagangan Kota Semarang, Pemerintah
berencana akan menuntaskan revitalisasi pasar tradisional di Kota
Semarang hingga 2021 mendatang. Dari total 52 pasar tradisional
yang ada di Kota Semarang, tercatat sudah ada 35 pasar yang telah
selesai direvitalisasi sampai dengan tahun 2018. Sementara itu 17
pasar lainnya, rencananya akan diselesaikan hingga tahun 2021
mendatang. Untuk anggaran revitalisasi pasar tradisional nantinya
akan dicarikan dari beberapa sumber pendanaan seperti Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), Dana Alokasi Khusus
(DAK) dan Dana Bantuan Tugas pembangunan (BTP). Hingga
Triwulan I 2019, beberapa pembangunan pasar rakyat yang telah
selesai diantaranya adalah Pasar Simongan, Pasar Banyumanik,
dan Pasar Johar (Hasil Wawancara Tim Survey Warta, 2019).
(DwiYulianto)
Perkembangan Perekonomian dan Revitalisasi Pasar di Kota Semarang
Sumber : http://tribunnews.com
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 29
Pemerintah Indonesia memiliki target program swasembada
daging sapi pada tahun 2026, dengan target produksi sapi
domestik dapat memenuhi minimal 90% permintaan daging
sapi nasional. Target ini akan sulit dipenuhi jika tidak didukung oleh
sistem produksi sapi dalam skala besar.
Berdasarkan siaran pers Direktur Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Dirjen PKH) Kementerian Pertanian (Kontan,
2019) menyebutkan bahwa ketersediaan produksi daging sapi lokal
tahun 2018 belum mencukupi kebutuhan nasional. Produksi daging
sapi di dalam negeri tahun 2018 sebesar 403.668 ton, sementara,
kebutuhan daging sapi di dalam negeri 2018 sebesar 663.290
ton. Angka tersebut memperlihatkan bahwa produksi daging sapi
Indonesia masih rendah dan produksi dalam negeri hanya mampu
memenuhi kebutuhan daging sapi nasional sebesar 60,9%.
Faktor yang mempengaruhi kekurangan pasokan daging sapi
ini antara lain jenis sapi (sapi potong dan sapi indukan), produksi
pakan yang terbatas, ketersediaan lahan yang terbatas, dan
kurangnya insentif peternak sapi potong. Selain itu, pengetahuan
dan keterampilan peternak yang kurang memadai tentang
pemeliharaan sapi potong yang baik.
Di Indonesia, produksi sapi potong didominasi 99% oleh
peternak kecil yang memelihara rata-rata dua ekor sapi. Mereka
memelihara sebagai kegiatan sampingan (selain bercocok tanam)
untuk mengumpulkan modal atau sebagai cadangan keuangan
saat gagal panen. Hasil penjualan sapi biasanya digunakan untuk
menutupi berbagai macam kebutuhan hidupnya yang memerlukan
pengeluaran besar.
Karakteristik kegiatan sampingan ini menunjukkan bahwa
peternak tersebut tidak begitu memperhatikan aspek pemeliharaan
ternak, sehingga berdampak pada rendahnya kualitas dan kuantitas
sapi yang dipelihara. Selain itu, mereka juga memiliki keterbatasan
pengetahuan tentang memelihara sapi yang baik dan tidak
mau meningkatkan pengetahuannya. Misalnya, peternak dalam
menghemat pakan ternak lebih memilih memberikan rumput di
pinggir jalan, tepi sungai, atau di pinggir lapangan sehingga kualitas
daun yang diberikan tidak jelas.
Selain itu, keterbatasan informasi pemasaran menyebabkan
posisi tawar peternak lemah dan tidak berdaya ketika dihadapkan
pada harga jual yang murah. Sehingga, peternak di desa sering rugi
karena mereka bergantung kepada pedagang sapi yang menekan
harga jual ternak. Akibatnya, para peternak tersebut mungkin akan
enggan terlibat dalam produksi sapi potong.
Penguatan Posisi Tawar Peternak
Salah satu cara untuk meningkatkan insentif produksi sapi
potong domestik adalah dengan meningkatkan daya tawar
peternak, misalnya melalui pengembangan kelompok peternak sapi
potong yang berorientasi laba. Dimana, semua anggota kelompok
dapat memelihara ternak di kandang kolektif atau di kandang
masing-masing, namun tidak boleh menjual sapi secara langsung
ke pembeli. Pengelola kelompok ini yang bertanggungjawab
terhadap pemasaran, sehingga harus memiliki informasi tentang
harga jual sapi dan potensi pembelinya untuk menentukan pembeli
yang menawarkan harga jual tertinggi. Kemudian ditentukan sistem
bagi hasilnya, misalnya apakah dengan bagi hasil keuntungan atau
dengan cara bagi hasil keturunan, atau dengan cara keduanya.
Selain itu, cara lain untuk meningkatkan insentif produksi
sapi potong domestik adalah dengan merangsang peternak untuk
memproduksi sapi yang berkualitas. Misalnya dengan mengadakan
kontes-kontes sapi sehat secara berkala, dengan menentukan
kategori-kategori tertentu. Tentunya hal ini akan menarik peternak
untuk menjaga kualitas sapinya dan mereka akan lebih tertarik untuk
mempelajari cara meningkatkan kualitas sapinya sehingga secara
tidak langsung meningtakan kualitas sapi potong domestik.
Guna mewujudkan program swasembada daging sapi pada
tahun 2026, diperlukan banyak pembentukan kelopok peternak sapi
potong untuk menggenjot produksi sapi potong di Indonesia. Selain
itu, pemerintah perlu bersinergi meningkatkan daya tarik kelompok
peternak sehingga peternak perorangan akan mendapatkan insentif
lebih tinggi jika bergabung dalam suatu kelompok. (Reni K. Arianti)
Optimisme Peningkatan Swasembada Daging Sapi
Sumber : http://majalahinfovet.com
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 201930
Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan perekonomian daerah, salah satunya dengan pengembangan ekonomi kreatif, termasuk Pemerintah Kota Balikpapan (Pemkot
Balikpapan). Pemkot Balikpapan menggarap enam subsektor industri kreatif dari total 16 subsektor ekonomi kreatif, diantaranya sektor kriya (Go Batik), aplikasi dan games, kuliner, film, videografi, fotografi, fashion, desain, dan seni pertunjukan hingga riset dan pengembangan wisata. Sedangkan kegiatan ekonomi kreatif yang berpotensi diunggulkan di Kota Balikpapan diantaranya aplikasi dan games serta kerajinan dan kuliner guna menunjang Balikpapan sebagai smart city.
Dalam empat tahun terakhir, Pemkot Balikpapan cukup konsisten dalam mengembangkan ekonomi kreatif di kota yang mempunyai sebutan “Kota Minyak” ini. Bahkan, pada peringatan HUT ke-122 Kota Balikpapan tahun 2019, tema yang diangkat fokus pada ekonomi kreatif. Balikpapan juga sudah mendapatkan penghargaan bidang Ekonomi Kreatif untuk tingkat Nasional dari Harian Sindo pada tahun 2017.
Dalam rangka mendukung pelaksanaan kegiatan Ekonomi Kreatif, telah diterbitkan Keputusan Walikota Balikpapan Nomor 188.45-455/2016 Tanggal 28 November 2016 tentang Kepengurusan Balikpapan Creative Forum (BCF)/Forum Ekonomi Kreatif Balikpapan (FEKB). Keberadaan Forum Ekonomi Kreatif di Balikpapan bertujuan untuk mendorong dan mengembangkan para pelaku ekonomi kreatif, tidak hanya sekedar merumuskan, menetapkan dan mengkoordinasikan tapi juga mensinkronisasi seluruh kebijakan terkait ekonomi kreatif.
Program yang dilaksanakan meliputi pelatihan-pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan para pelaku ekonomi kreatif, event dan kerjasama dengan banyak pihak terkait. Bahkan pada bulan Februari 2019 telah dilaksanakan peresmian Balikpapan Creative Center. Untuk program kegiatan tersebut diberikan dukungan anggaran melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) sebesar Rp 293 juta pada tahun 2018 dan Rp 390 juta untuk tahun 2019 serta dana Coorporate Sosial Responsibility (CSR).
Jumlah pelaku ekonomi kreatif di Kota Balikpapan mencapai 300 pelaku usaha dari berbagai subsektor dan yang terbesar bergerak di bidang kerajinan dan kuliner. Dalam hal kerajinan, salah satu identitas daerah yang tercermin dalam produk Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) khas Balikpapan adalah Kerajinan Etnis Dayak. Identitas tersebut terus berkembang mengikuti tren masa kini, namun tetap menjaga ciri khasnya sebagai satu dari jutaan cinderamata karya budaya Indonesia.
Kerajinan yang banyak dijadikan cinderamata adalah manik-manik. Manik-manik adalah salah satu produk dari tradisi yang telah lama dikenal masyarakat Kalimantan sejak abad ke-10 Masehi. Jenis manik-manik yang ditemukan di situs arkeologi Kalimantan dan sekitarnya terbuat dari bahan tanah liat, kerang, tulang, batu dan kaca. Sudah lama manik-manik menjadi bagian dari suku Dayak asli Kalimantan dan warna manik-manik memiliki makna yang berbeda-beda. Suku Dayak biasanya memakai warna merah, kuning, hijau, biru dan putih yang berarti semangat hidup, kekuatan, keagungan inti alam dan kesucian.
Saat ini bahan baku manik-manik telah diganti dengan bahan sintetis yang bentuk dan warnanya lebih artistik dan beraneka ragam. Manik-manik dijahit dan dirangkai sehingga membentuk motif khas Dayak untuk dijadikan berbagai macam perhiasan dan barang kerajinan etnik lainnya seperti kerajinan anjat (anyaman tas), baju adat dan lainnya. Barang- barang kerajinan tersebut dengan mudah di dapat di Pasar
Inpres Kebun Sayur, pasar yang khusus menjual barang kerajinan dari Kalimantan. Pasar Inpres Kebun sayur diresmikan pada tahun 1983 oleh Walikota Balikpapan pada waktu itu atas instruksi Presiden Suharto pada tahun 1981, hingga sampai sekarang nama”Inpres” masih dipakai dan terpampang di bagian depan pasar.
Pasar Inpres Kebun Sayur barangkali adalah semacam surga kecil bagi penggemar kerajinan etnik Kalimantan. Banyak aksesoris dari manik-manik dan batuan baik asli maupun sintetis, berbentuk gelang, kalung, bros dompet sampai tas terpajang dengan harga yang menggoda. Aksesoris wanita dari manik-manik misalnya kalung, dijual dari harga satuan Rp 20 ribu hingga jutaan rupiah tergantung dari bahannya, asli atau sintetis.
Selain aksesoris wanita, di pasar tersebut dijual pula berbagai kerajinan kayu ukir khas Dayak, senjata khas Dayak seperti Mandau dan tamengnya yang dijual dari harga Rp 50 ribu hingga Rp 2 juta. Produk lain yang dijual adalah baju adat, batik dengan motif khas Kalimantan, sarung Samarinda, songket Kalimantan, kain bordir, tenun, hingga kaos bertulis dan kerajinan rotan yang berupa tikar lampit hingga tas dan dompet. Harga yang ditawarkan sangat bervariasi dan terjangkau mulai dari Rp 50 ribu hingga jutaan Rupiah, dan apabila membeli lebih dari tiga barang akan mendapatkan harga yang spesial. Selain barang kerajinan, di Pasar Inpres Kebun Sayur juga dijual beragam batu mulia yang berasal dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Batu mulia yang dijual terdiri dari beragam jenis, seperti batu kecubung, batu akik, zamrud, safir, delima, hingga berlian. Batu mulia tersebut dijual dalam berbagai bentuk perhiasan maupun masih dalam bentuk mentah (belum dijadikan bentuk perhiasan). Harganya bervariasi, mulai yang berharga hanya puluhan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah, tergantung kualitasnya. Barang-barang kerajinan yang dijual di Pasar Inpres Kebun Sayur ini didatangkan dari daerah Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan, seperti tas anyam rotan didatangkan dari Melak Kabupaten Kutai Barat dan Lampit dari Kalimantan Selatan. Selain barang kerajinan, di pasar tersebut juga dijual makanan khas Kalimantan seperti amplang.
Walaupun barang yang tersedia bagus-bagus, bernilai seni tinggi dan harganya bersahabat, tapi penjual mengaku sepi pembeli. Omzet masing-masing penjual yang biasanya bisa mencapai diatas Rp 5 juta per hari, sekarang jauh berkurang karena daya beli masyarakat menurun.
Suasana Pasar Inpres Kebun Sayur BalikpapanSumber: Balikpapan Pos (2017)
Saat ini bangunan pasar masih bersifat sementara setelah pada tahun 2015 yang lalu terjadi kebakaran. Rencananya Pemerintah Kota Balikpapan akan merenovasi sekitar 100 kios pada bangunan pasar ini secara bertahap disesuaikan dengan dana yang tersedia sehingga akan menjadi salah satu tujuan wisata yang nyaman. (Dyah Ekowati Sulistyarini)
Melongok Pasar Inpres Kebun Sayur sebagai Pasar Kerajinan di Balikpapan
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 31
SERBA SERBI
1. DISEMINASI HASIL KAJIAN I BPPP DI JAKARTA
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) menyelenggarakan Diseminasi Hasil Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan dengan tema Penguatan Daya Saing Ekspor dan Neraca Perdagangan Indonesia, yang berlangsung di Auditorium Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, pada tanggal 14 Februari 2019. Diseminasi dibuka secara resmi oleh Kepala BPPP Kasan, dihadiri para pejabat Eselon II di lingkungan BPPP, perwakilan unit Eselon II dan perwakilan dari Instansi terkait. Dalam sambutan pembukaannya, Kepala BPPP antara lain mengatakan bahwa penetrasi ekspor ke pasar non tradisional membutuhkan strategi yang tepat, baik dari sisi produk maupun pemilihan negara. Dikatakan bahwa pada tahun 2018 BPPP telah melakukan beberapa analisis terkait perluasan akses pasar ekspor Indonesia termasuk juga strategi peningkatan daya saing ekspor serta pengendalian impor.
2. DISEMINASI HASIL KAJIAN II BPPP DI UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan membuka Diseminasi Hasil Kajian BPPP dengan tema Penguatan Pasar Dalam Negeri, sekaligus sosialisasi Rumusan Raker Kementerian Perdagangan pada tanggal 18 Maret 2019 di Aula Gedung F, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
2. DISEMINASI HASIL KAJIAN II BPPP DI UNIVERSITAS BRAWIJAYA, MALANG
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan membuka Diseminasi Hasil Kajian BPPP dengan tema Penguatan Pasar Dalam Negeri, sekaligus sosialisasi Rumusan Raker Kementerian Perdagangan pada tanggal 18 Maret 2019 di Aula Gedung F, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur.
Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP) menyelenggarakan Diseminasi Hasil Pengkajian dan
Pengembangan Perdagangan dengan tema Penguatan Daya Saing
Ekspor dan Neraca Perdagangan Indonesia, yang berlangsung
di Auditorium Kantor Kementerian Perdagangan Jakarta, pada
tanggal 14 Februari 2019. Diseminasi dibuka secara resmi oleh
Kepala BPPP Kasan, dihadiri para pejabat Eselon II di lingkungan
BPPP, perwakilan unit Eselon II dan perwakilan dari Instansi
terkait. Dalam sambutan pembukaannya, Kepala BPPP antara
lain mengatakan bahwa penetrasi ekspor ke pasar non tradisional
membutuhkan strategi yang tepat, baik dari sisi produk maupun
pemilihan negara. Dikatakan bahwa pada tahun 2018 BPPP telah
melakukan beberapa analisis terkait perluasan akses pasar ekspor
Indonesia termasuk juga strategi peningkatan daya saing ekspor
serta pengendalian impor.
Diseminasi Hasil Kajian I BPPP di Jakarta
Diseminasi Hasil Kajian II BPPP di Universitas Brawijaya, Malang
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kasan membuka Diseminasi Hasil Kajian BPPP dengan
tema Penguatan Pasar Dalam Negeri, sekaligus sosialisasi Rumusan
Raker Kementerian Perdagangan pada tanggal 18 Maret 2019 di
Aula Gedung F, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Brawijaya,
Malang, Jawa Timur.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 201932
3. DISEMINASI HASIL KAJIAN II BPPP DI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN, BALI
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan, membuka acara Diseminasi Hasil Pengkajian BPPP Tahun 2018 di Ruang Auditorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian, Denpasar, Bali pada tanggal 11 April 2019. Dalam diseminasi dengan tema Peningkatan Daya Saing dan Perluasan Akses Pasar Ekspor, para peneliti BPPP memaparkan empat hasil kajian dengan judul: (1) Analisis Komoditas Unggulan Daerah yang Berpotensi Masuk Dalam Global Value Chain; (2) Kajian Dampak Pembebasan Bea Masuk Impor Suku Cadang Pesawat Terbang Terhadap Daya Saing dan Ekspor Jasa Pemeliharaan Pesawat; (3) Kajian Pengembangan Kerjasama Perdagangan Perdagangan Indonesia - Inggris Pasca Referendum Brexit; dan (4) Kajian BIaya dan Manfaat Trade Preferential System of THe Organization of Islamic Cooperation (TPS-OIC). Hadir dalam acara tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Bali, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali, perwakilan dari Dinas/Kementerian terkait, Akademisi dan pelaku usaha.
3. DISEMINASI HASIL KAJIAN II BPPP DI BALAI PENGKAJIAN TEKNOLOGI PERTANIAN, BALI
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan, membuka acara Diseminasi Hasil Pengkajian BPPP Tahun 2018 di Ruang Auditorium Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Kementerian Pertanian, Denpasar, Bali pada tanggal 11 April 2019. Dalam diseminasi dengan tema Peningkatan Daya Saing dan Perluasan Akses Pasar Ekspor, para peneliti BPPP memaparkan empat hasil kajian dengan judul: (1) Analisis Komoditas Unggulan Daerah yang Berpotensi Masuk Dalam Global Value Chain; (2) Kajian Dampak Pembebasan Bea Masuk Impor Suku Cadang Pesawat Terbang Terhadap Daya Saing dan Ekspor Jasa Pemeliharaan Pesawat; (3) Kajian Pengembangan Kerjasama Perdagangan Perdagangan Indonesia - Inggris Pasca Referendum Brexit; dan (4) Kajian BIaya dan Manfaat Trade Preferential System of THe Organization of Islamic Cooperation (TPS-OIC). Hadir dalam acara tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Bali, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali, perwakilan dari Dinas/Kementerian terkait, Akademisi dan pelaku usaha.
4. WORKSHOP PENYUSUNAN PROSIDING BERTARAF INTERNASIONAL
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP), Kasan memberikan pengarahan kepada peserta workshop penyusunan prosiding bertaraf internasional, di Hotel AONE Jakarta pada tanggal 6-7 Mei 2019. Kepala BPPP menekankan bahwa workshop ini merupakan rangkaian kegiatan The 3rd International Conference on Trade 2019 yang akan diselenggarakan pada bulan September 2019. Sehingga, di akhir pelaksanaan workshop ini, semua peserta langsung submit abstrak dengan bimbingan para narasumber.
Suku Cadang Pesawat Terbang Terhadap Daya Saing dan Ekspor
Jasa Pemeliharaan Pesawat; (3) Kajian Pengembangan Kerjasama
Perdagangan Perdagangan Indonesia - Inggris Pasca Referendum
Brexit; dan (4) Kajian BIaya dan Manfaat Trade Preferential System
of THe Organization of Islamic Cooperation (TPS-OIC). Hadir dalam
acara tersebut, Kepala Dinas Perdagangan Provinsi Bali, Kepala
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Provinsi Bali, perwakilan dari
Dinas/Kementerian terkait, Akademisi dan pelaku usaha.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kasan memberikan pengarahan kepada peserta workshop
penyusunan prosiding bertaraf internasional, di Hotel AONE Jakarta
pada tanggal 6-7 Mei 2019. Kepala BPPP menekankan bahwa
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan
(BPPP), Kasan, membuka acara Diseminasi Hasil Pengkajian
BPPP Tahun 2018 di Ruang Auditorium Balai Pengkajian Teknologi
Pertanian, Kementerian Pertanian, Denpasar, Bali pada tanggal
11 April 2019. Dalam diseminasi dengan tema Peningkatan
Daya Saing dan Perluasan Akses Pasar Ekspor, para peneliti
BPPP memaparkan empat hasil kajian dengan judul: (1) Analisis
Komoditas Unggulan Daerah yang Berpotensi Masuk Dalam Global
Value Chain; (2) Kajian Dampak Pembebasan Bea Masuk Impor
Diseminasi Hasil Kajian III BPPP di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian, Bali
Workshop Penyusunan Prosiding Bertaraf Internasional
workshop ini merupakan rangkaian kegiatan The 3rd International
Conference on Trade 2019 yang akan diselenggarakan pada bulan
September 2019. Sehingga, di akhir pelaksanaan workshop ini, semua
peserta langsung submit abstrak dengan bimbingan para narasumber.
WARTA PENGKAJIAN PERDAGANGAN, Volume I, No. 17, Tahun 2019 33