DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA KELIOPAS KREY SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI
ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA
KELIOPAS KREY
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2008
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Daerah Penyebaran dan Variasi
Morfologi Ular Putih (Micropechis ikaheka) di Papua adalah karya saya sendiri dan
belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, 16 Mei 2008
Keliopas Krey G351050051
ABSTRACT
KELIOPAS KREY. Area of Distribution and Morphological Variation of the
White Snake (Micropechis ikaheka) in Papua. Under direction of BAMBANG
SURYOBROTO and ACHMAD FARAJALLAH
The objectives of the research were to identify the area of distribution and the
specific habitat of the white snake (Micropechis ikaheka) in Papua (Western New
Guinea), and also to explain the morphological variation among the populations of
that snake. About eight months of field work were taken to conduct the survey
(April 2002; June 2006; and March to Augusts 2007) in several areas in the mainland
and off-shore islands of Papua. Observation were carried out in the field at night and
during the day to collect the snake. Also, studies were done on a collection of
specimens that were found in the Museum Zoologicum Bogoriense LIPI in Cibinong,
Conservation International in Jayapura and the Biology Laboratory of the Papua
State University in Manokwari.
The results showed that the white snake Micropechis ikaheka can be divided
into three separate groups based on the color of the scales, i.e. Black, Brown and
Yellow. The black one is the new group found in this research, and also there was
one individual snake with transitional coloration between the brown group and the
yellow group. However, M. ikaheka is common and has a relatively wide
distribution in New Guinea, but every group has a specific and limited area of
distribution. The group with black color is distributed in the islands of Waigeo and
Batanta and the group with yellow color is distributed starting from Manokwari,
Sorong, upto the islands of Salawati, Batanta and Waigeo. Meanwhile, the brown
colored sanke is distributed from the island of Yapen, mainland of waropen,
Mamberamo, Jayawijaya, Mindiptana upto Papua New Guinea.
Key words : the white snake, Micropechis ikaheka, area of distribution, morphological variation, Papua
RINGKASAN
KELIOPAS KREY. Daerah Penyebaran dan Variasi Morfologi Ular Putih
(Micropechis ikaheka) di Papua. Dibimbing oleh BAMBANG SURYOBROTO dan
ACHMAD FARAJALLAH
Penelitian ini bertujuan untuk menjajaki daerah penyebaran dan habitat spesifik
ular Micropechis ikaheka di Papua (bagian Barat New Guinea), dan juga untuk
menjelaskan variasi morfologi antar populasi ular ini. Selama sekitar delapan bulan
(April 2002; Juni 2006 dan Maret hingga Agustus 2008) survey lapangan dilakukan
pada beberapa daerah di daratan utama Papua dan pulau-pulau satelit di sekitarnya.
Observasi lapangan dilakukan pada siang dan malam hari untuk mencari dan
menangkap ular M. ikaheka. Dilakukan juga kajian terhadap spesimen koleksi di
Museum Zoologicum Bogoriense LIPI Cibinong, Conservation International Papua
dan Laboratorium Biologi Universitas Papua.
Hasil menunjukkan terdapat tiga kelompok ular M. ikaheka yang
dikelompokkan berdasarkan warna sisik, yaitu hitam, coklat dan kuning. Warna
hitam merupakan kelompok yang baru ditemukan pada penelitian ini. Terdapat satu
individu dengan warna transisi antara kelompok coklat dan kuning. Walaupun M.
ikaheka memiliki penyebaran yang luas di New Guinea, tetapi setiap kelompok
warna ular ini memiliki daerah penyebaran yang spesifik dan terbatas. Kelompok
warna hitam menyebar di Pulau Waigeo dan Batanta, kelompok warna kuning
menyebar mulai dari Manokwari, Sorong hingga Pulau Salawati, Batanta dan Pulau
Waigeo, sedangkan kelompok warna coklat menyebar mulai dari Pulau Yapen,
daratan Waropen, Mamberamo, Jayawijaya, Mindiptana hingga Papua New Guinea.
Kata kunci : ular putih, Micropechis ikaheka, daerah penyebaran, variasi morfologi, Papua
© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian karya
ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjaun suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya ini dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB
DAERAH PENYEBARAN DAN VARIASI MORFOLOGI ULAR PUTIH (Micropechis ikaheka) DI PAPUA
KELIOPAS KREY
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada Program Studi Biologi
S E K O L A H P A S C A S A R J A N A INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2008
Judul Tesis : Daerah Penyebaran dan Variasi Morfologi Ular Putih (Micropechis
ikaheka) di Papua
Nama : Keliopas Krey
NIM : G351050051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Bambang Suryobroto Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Biologi Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Dedy Duryadi Solihin, DEA Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 16 Mei 2008 Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, atas
penyertaan dan perlindunganNya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan
dengan baik.
Karya ilmiah ini terselesaikan karena bantuan dan masukkan saran dari
berbagai pihak. Untuk itu ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan
kepada Dr. Bambang Suryobroto dan Dr. Ir. Achmad Farajallah, M.Si, selaku
pembimbing yang telah membantu penulis dalam diskusi dan memberi saran guna
perbaikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Mr. Stephen Richard
(Vertebrate Department South Australian Museum zoology), Mr. David Prais (SIL
Papua) dan Mr. Burhan Tjaturadi (Herpetologist Indonesia), yang telah membantu
memberikan informasi dan juga koleksi spesimen. Disamping itu, penghargaan
penulis sampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen
Pendidikan Nasional Indonesia, Conservation International Indonesia-Papua
Program, Laboratorium Herpetologi-Puslit Biologi-LIPI Cibinong dan BP-LNG
Tangguh, yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Ungkapan terima
kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, istri serta seluruh keluarga dan teman, atas
segala doa dan kasih sayangnya.
Kekurangan dan kelemahan dari karya ilmiah ini diharapkan dapat dilengkapi
dan disempurnakan oleh para pembaca. Akhirnya segala kritik dan saran dari para
pembaca sangat diharapkan penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat dan juga bagi
perkembangan ilmu pengetahuan di Indonesia.
Bogor, 16 Mei 2008
Keliopas Krey
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Manokwari pada tanggal 14 April 1979 dari ayah Rudolf
Krey dan ibu Ledemina Padwa. Penulis merupakan putra ke delapan dari sembilan
bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan strata satu (1998-2002) pada Program Studi
Pendidikan Biologi, Jurusan Pendidikan MIPA, FKIP Universitas Cenderawasih
Jayapura. Selama mengikuti perkuliahan penulis giat dalam berbagai kegiatan
pelatihan dan penelitian. Pada tahun 2000-2002 penulis ditunjuk sebagai koordinator
kelompok studi Herpetofauna pada organisasi Ikatan Mahasiswa Biologi Konservasi
dan menyelenggarakan beberapa kegiatan pelatihan lapangan. Penulis adalah salah
satu peserta Research Award for Student dalam kajian Herpetofauna yang
diselenggarakan oleh Conservation International Papua pada tahun 2002.
Pada tahun 2003 penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi
Biologi FMIPA Universitas Negeri Papua Manokwari. Pada tahun 2005 penulis
melanjutkan pendidikannya pada sekolah pascasarjana (S2) Program Studi Biologi
IPB dengan sponsor BPPS.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL............................................................................................ DAFTAR GAMBAR………………………………………………...............
xi xi
PENDAHULUAN Latar Belakang…...………………………………………………….. Perumusan Masalah…………………………………………………. Tujuan………………………………………………………………... TINJAUAN PUSTAKA Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae………………………….... Deskripsi Morfologi Ular Micropechis ikaheka………….................. Habitat, Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Ular M. ikaheka............... Umur dan Jenis Kelamin Reptil……………………………………... Kulit dan Sisik Ular.............................................................................. Manfaat Ular bagi Masyarakat Papua.……………………………..... BAHAN DAN METODE Lokasi Penelitian …………………………………………………..... Waktu Penelitian..………………..………………..………………… Alat dan Bahan.........................................…………………………… Metode Penelitian……………………………………………............ Variabel Pengamatan........................................................................... Analisa Data....………………………………………………………. HASIL Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka.................................................... Habitat, Iklim dan Kebiasaan Hidup.................................................... Sisik : Pola Warna dan Jumlah............................................................ Ukuran Tubuh...................................................................................... PEMBAHASAN Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka........................ Pola Warna........................................................................................... Sisik dan Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka............................................ SIMPULAN DAN SARAN Simpulan.............................................................................................. Saran.................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA.………………………………………………………. LAMPIRAN...........………………………………………………….……….
1 3 4 5 6 7 8 10 11 12 13 13 13 14 15 16 19 22 24 28 29 32 34 34 36 39
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Lokasi penemuan ular M. ikaheka berdasarkan kelompok warna.....................
2 Data meristik dan ukuran tubuh dari tiga kelompok ular M. ikaheka dewasa...
3 Data meristik dan ukuran tubuh dari ular M. ikaheka juvenil...........................
4 Perbedaan ukuran tubuh pada jenis kelamin......................................................
5 Perbandingan nilai rata-rata ukuran tubuh ketiga kelompok warna..................
19
25
26
27
27
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Ular putih (Micropechis ikaheka) yang ditemukan di Pulau Waigeo dan
Batanta Papua, memiliki dua variasi pola warna sisik.....................................
2 Sketsa umum perbedaan jenis kelamin pada ular.............................................
3 Peta lokasi penelitian........................................................................................
4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan kelompok warna sisik….
5 Penyebaran ular M. ikaheka di Pulau Waigeo (a), Batanta dan Pulau
Salawati (b).......................................................................................................
6 Ular M. ikaheka yang tertangkap di serasah dan semak pada kebun
campuran di Manokwari...…………………………………………………….
7 Kadal Sphenomorpus simus ditemukan dalam perut ular M. ikaheka………..
8 Individu dewasa M. ikaheka dengan variasi warna sisik..................................
9 Ular M. ikaheka asal Tanah Merah (Lokasi LNG-site).....................................
4
9
12
17
18
20
21
22
24
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Papua merupakan salah satu pulau terbesar di Indonesia dengan luas
wilayah + 416.129 km2 (≈ 3,5 kali luas Pulau Jawa) atau 30% dari luas seluruh
wilayah daratan Indonesia. Papua memiliki topografi dan ekosistem yang sangat
bervariasi. Selain memiliki daratan yang luas, Papua juga memiliki sejumlah
daerah kepulauan dengan topografi yang beragam. Keberadaan kepulauan ini
dengan ukuran yang bervariasi merupakan salah satu faktor penunjang tingginya
biodiversitas dan endemisitas tumbuhan maupun hewan (Primack et al. 1998).
Sejarah geologi turut memberi kontribusi yang penting bagi penyebaran
hewan dan tumbuhan di Papua. Pulau New Guinea (Papua dan Papua New
Guinea) dapat dipandang dalam terminologi geologi yang sederhana sebagai
wilayah pegunungan, perubahan tektonik garis utara Australia (Polhemus 2007).
Garis pemisahan fauna oleh A.R. Walacea menginformasikan pola penyebaran
hewan di Indonesia. Pulau Jawa, Kalimantan dan Sumatera selama periode
pleistosen dihubungkan oleh daratan sampai ke Asia, oleh karena itu daerah-
daerah ini memiliki satwa-satwa yang sama. Pulau Papua dan Aru berhubungan
dengan Australia, sehingga satwa di daerah ini berbeda dengan satwa di daerah
tropik Asia (Primack et al. 1998).
Ular merupakan salah satu satwa liar yang dapat dijumpai pada daerah
perairan maupun daratan. Ular hidup di setiap benua kecuali Antartika (Taylor
dan O’Shea 2004). Ular terdapat di berbagai macam habitat mulai dari teresterial,
arboreal hingga akuatik dan beberapa jenis dapat hidup bahkan di habitat yang
telah terganggu. Walaupun ular dapat hidup pada berbagai macam habitat,
penyebaran tiap jenis ular akan berbeda. Berbagai faktor dapat mempengaruhi
penyebarannya seperti sejarah geografik, ketinggian tempat, iklim, dan kondisi
habitat (mikro maupun makro).
Jenis ular di New Guinea sangat beragam mulai dari jenis berbisa tinggi
hingga yang tidak berbisa. Di Papua New Guinea (PNG) terdapat sebanyak 93
jenis fauna ular (O’Shea 1996), sedangkan di Papua ada 82 jenis (Allison 2007).
Jenis ular yang ada dikelompokkan dalam famili Elapidae (front-fanged venomous
2
terrestrial snakes), Boidae (boas and phyton), Typhlopidae (blindsnakes),
Acrochordidae (filesnakes), Colubridae (treesnakes, watersnakes and ground
snakes) dan famili Hydrophiidae (seasnakes). Famili elapidae tersebar luas di
wilayah Asia-Australia dan merupakan kelompok ular paling dominan di
Australia dan New Guinea (Muller 2005).
Berbeda dengan wilayah lainnya di Indonesia, distribusi dan ekologi ular
di Papua sampai saat ini kurang diketahui. Beberapa hasil publikasi yang telah ada
kebanyakan merupakan hasil penelitian yang berasal dari negara tetangga PNG.
Misalnya beberapa jenis ular dari Kawasan Cagar Alam Gunung Arfak dan
beberapa daerah disekitarnya antara lain Ramphotyphlops flaviventer, R. similis,
Leiopython albertisi, Tropidonophis doriae dan Micropechis ikaheka (O’Shea
1996). Informasi ini terbatas hanya pada penyebaran ular-ular sejenis yang
ditemukan di dalam dan di luar PNG. Hal ini menyebabkan sangat terbatasnya
informasi mengenai ekologi dan biologi ular di Papua. Kajian distribusi serta
adanya variasi morfologi populasi jenis ular di kawasan inipun belum banyak
dilakukan, seperti contoh variasi morfologi populasi jenis ular M. ikaheka.
Keterbatasan informasi tentang fauna ini selain disebabkan belum banyak
dilakukannya penelitian dan publikasi, terdapat kecenderungan ular tidak disukai
oleh manusia walaupun ular mempunyai peranan juga di alam.
Beberapa jenis ular mempunyai peranan penting di alam, misalnya dalam
suatu rantai makanan. Di Pulau Jawa, misalnya jasa ular yang terbesar sebagai
pengendali hama tikus-tikus yang sering menyerang tanaman padi. Walaupun
demikian manusia cenderung tidak menyukai ular sehingga peranannya tersebut
tidak sebesar yang dapat dilakukannya (Whitten et al. 1999). Karena tidak disukai
oleh manusia, ular sering dibunuh bila ditemukan. Hal inipun berlaku pada
masyarakat di Papua. Dari jenis ular berbisa hingga yang tidak berbisa, walaupun
tidak menyerang (jika tidak diganggu) mereka tetap saja dibunuh.
Terdapat kurang lebih 2.700 jenis ular di dunia, tetapi hanya 300 jenis dari
jumlah tersebut dapat membunuh manusia (Taylor dan O’Shea 2004). Ular
Micropechis ikaheka adalah salah satu jenis ular yang bisanya dapat membunuh
manusia. Ular M. ikaheka dengan nama lokal “ular putih” (nama dalam bahasa
Inggris “New Guinea Small-Eyed atau Ikaheka Snake”) merupakan salah satu
3
jenis ular berbisa endemik New Guinea dan tersebar di daratan pulau New Guinea
termasuk pulau-pulau kecil yang mengelilinginya (O’Shea 1996).
Perumusan Masalah
Informasi mengenai penyebaran, habitat dan variasi morfologi ular M.
ikaheka dan juga jenis ular lainnya di Papua sampai saat ini masih kurang.
Informasi yang telah ada yaitu hasil publikasi Rooij (1917), O’Shea (1996) dan
Allison (2007).
Penelitian lainnya yang pernah dilakukan di Pulau Waigeo Kabupaten
Kepulauan Raja Ampat Papua, berhasil menemukan sebanyak tujuh jenis ular
yaitu Candoia aspera (Boidae), Boiga irregularis, Dendrelaphis punctulatus,
Tropidonophis picturatus, Tropidonophis elongatus (Colubridae), serta dua jenis
ular dari famili Elapidae yaitu Toxicocalamus sp. dan Micropechis ikaheka (Krey,
2003). Yang menarik dari tujuh jenis ular ini adalah jenis ular yang teridentifikasi
sebagai jenis Toxicocalamus sp. (Gambar 1a) sebenarnya hanya merupakan
variasi morfologi (warna) dari ular M. ikaheka (Gambar 1b). Walaupun
perhitungan sisik dilakukan, pengelompokan sebagai jenis ular Toxicocalamus sp.
lebih berdasarkan pada warna sisik yang mirip dengan ular dari genus ini, yaitu
warna sisik dorsal hitam mulai dari anterior kepala hingga ujung ekor dan sisik
bagian ventral berwarna putih dengan bercak coklat.
Pengelompokan ulang ular Toxicocalamus sp. menjadi jenis Micropechis
ikaheka merupakan hasil identifikasi yang dilakukan bersama ahli herpetofauna
dari Vertebrate Department South Australian Museum zoology (Mr. Stephen
Richards) dalam penelitian terpisah pada tahun 2005 di Pulau Batanta dan Pulau
Salawati (Kabupaten Raja Ampat). Selanjutnya Farid dan Burhan (2005)
melaporkan bahwa dari penelitian tersebut berhasil ditemukan ular yang sangat
beracun bermata kecil atau ular putih (M. ikaheka) yang penampakannya berbeda
dengan jenis yang sama di daratan utama Papua. Informasi ini sangat penting
untuk pengkajian lebih detail terhadap variasi morfologi M. ikaheka yang
ditemukan, sehingga data dasar dalam penelitian ini pada waktu mendatang dapat
menunjang bila dilakukan kajian pada aspek-aspek yang lain.
4
(a) (b)
Keterangan : (a) - M. ikaheka yang teridentifikasi sebagai jenis Toxicocalamus sp. (b) - M. ikaheka yang umum ditemukan di daratan utama Papua Gambar 1 Ular putih (Micropechis ikaheka) yang ditemukan di Pulau Waigeo
dan Batanta Papua, memiliki dua variasi pola warna sisik
Berangkat dari perumusan masalah di atas, maka perlu dilakukan
penelitian tentang daerah penyebaran dan variasi morfologi antar populasi ular M.
ikaheka di wilayah Papua. Kajian ini diharapkan dapat menjelaskan daerah
penyebaran serta variasi morfologi yang ada, baik karakter sisik, pola warna serta
ukuran tubuh. Selain itu penelitian ini diharapkan menyediakan dan memberikan
informasi dasar yang baru dan penting bagi ilmuwan dan masyarakat di Papua
dalam upaya pelestarian ular.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk menjajaki daerah penyebaran dan habitat spesifik jenis ular M. ikaheka
di wilayah Papua.
2. Untuk menjelaskan variasi morfologi antar populasi jenis ular M. ikaheka.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengenalan Ular berbisa Famili Elapidae
O'Shea (1996) menjelaskan bahwa di Papua terdapat enam famili ular
yaitu Acrochordidae (filesnakes), Boidae (jenis ular sanca), Colubridae (ular
pohon, ular air dan ular tanah), Elapidae (ular berbisa terestrial), Hydrophiidae
(ular laut), dan Typhlopidae (ular buta).
Micropechis ikaheka merupakan salah satu jenis ular dari famili Elapidae.
Famili ini merupakan kelompok ular berbisa yang sangat mematikan disamping
famili Viperidae dan Hydropidae. Ular dari famili Elapidae dan lainnya
mempunyai bahan racun saraf atau neurotoksin dan bahan racun darah atau
haematoksin (O’Shea 1996). Neurotoksin merupakan suatu toksin yang berperan
secara spesialisasi pada sel syaraf-neuron, sedangkan haematoksin bekerja pada
sel darah. Pada umumnya (neurotoxin) saling berinteraksi dengan protein
membran dan kanal ion. Banyak dari bisa (sengitan) dan toksin lain digunakan
organisma dalam pertahanan melawan hewan lain. Suatu efek umum adalah
kelumpuhan yang ekstrim dan sangat cepat. Contoh neurotoxin meliputi
tetrodotoxin (pada ikan buntal), batrachotoxin (pada ikan lele) dan komponen
dari venom (bisa atau sengitan) dalam lebah, laba-laba dan kalajengking (Schenk
1995).
Kedudukan ular M. ikaheka dalam taksonomi menurut O’Shea (1996)
adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Serpentes
Famili : Elapidae
Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis. Selain M. ikaheka, ular lain
yang termasuk famili Elapidae antara lain kobra, mamba, taipan, dan ular death
adders. Famili elapidae dilengkapi dengan taring yang pendek dan kokoh pada
6
rahang atas bagian depan. Kajian taksonomi ular M. ikaheka dijelaskan dalam
O’Shea (1996). Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan sebelumnya menjadi dua
subspesis yaitu M. ikaheka fasciatus dan M.i. ikaheka, tetapi cakupan distribusi
dari kedua subspesies ini terus diperdebatkan. M. i. fasciatus direkam sebagai
jenis endemik pulau Aru (Klemer, 1963 diacu dalam O’Shea 1996), tetapi
kemudian oleh Loveridge (1948) diacu dalam O’Shea (1996) dikemukakan
bahwa daerah asal M.i. fasciatus juga mencakup pulau Aru sampai Aitape (West
Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG sedangkan M. i. ikaheka dibatasi pada daerah
Irian Jaya (sekarang Papua) berdasarkan spesimen dari Fak Fak. Loveridge
mempertimbangkan spesimen Aitape dan Gusiko berdasarkan banyak sedikitnya
pita (band), jumlah sisik ventral 180-185 dan sisik subcaudal 37-39, tetapi jumlah
ini sangat tumpang tindih dengan jumlah sisik yang diperoleh dari spesimen
Fakfak. Jumlah sisik diperoleh dari sampel yang sangat sedikit, sehingga ketika
dibandingkan dengan jumlah sisik spesimen type dari Dore, dihubungkan dengan
karakteristik dari spesimen yang tidak memiliki pita (band), mereka dilengkapi
data yang tidak cukup untuk membedakan antara kedua subspesies di daratan
utama New Guinea. Jadi ular putih (small-eyed) yang diacu hingga sekarang
adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk subspesies yang manapun. Selanjutnya,
Loveridge juga menyebutkan jenis yang ketiga yaitu M.i. elapoides dari
kepulauan Salomon yang saat ini diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah yaitu
Loveridgelaps elpoides.
Deskripsi Morfologi Ular Micropechis ikaheka
M. ikaheka memiliki bentuk badan bulat, gemuk dengan ekor yang relatif
pendek. Batasan kepala dan leher hanya berbeda sedikit dan kepala lebih luas dari
leher, mata sangat kecil dengan pupil yang bulat, O’Shea (1996). Rooij (1917)
menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang
dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Dijelaskan pula bahwa sisik warna
hitam dikelilingi warna kuning, kepala dan ekor berwarna hitam. Permukaan sisik
ventral kuning, kadang beberapa sisik dilapisi warna hitam. Oleh masyarakat lokal
Papua, M. ikaheka diberi nama lokal ular putih. Mereka menyebutnya ular putih
oleh karena ular ini memiliki warna yang terang.
7
Warna sisik merupakan variabel lokal. Populasi dengan warna yang
bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah. O’Shea (1996)
menyebutkan bahwa populasi bagian utara memiliki warna yang berbeda dengan
populasi di selatan. Populasi utara umumnya memiliki warna kepala abu-abu agak
terang hingga gelap (light to dark grey) dan berbeda dari leher yang kuning atau
krem, yang tidak bernoktah. Spesimen bagian selatan memiliki tipe sisik dengan
pigmen lebih gelap. Sisik gelap sepanjang badan lebih lanjut ke arah bawah tubuh
sampai setengah tubuh (midbody) adalah pigmen warna merah atau coklat.
Kadang-kadang dengan pita-pita hitam yang dikelilingi warna kuning. Jarak dan
frekuensi pita (crossband) bertambah banyak ke arah posterior hingga ekor yang
semuanya gelap. Pigmen sisik ventral adalah kuning krem dan dikelilingi warna
hitam atau coklat.
Maksimum panjang ular M. ikaheka adalah 1.0-1.5 m atau 2.0 m
(spesimen dari Kar Kar dan Sepik-PNG). Jumlah sisik dorsal hingga melingkar
setengah tubuh (DMB : dorsal at midbody) 15, semua sisik halus (tidak berlunas);
sisik ventral (VS : ventral scales) 178-223; sisik sub ekor (SC : subcaudals) 37-
55, semua berpasangan; sisik anal berpasangan (divided); sisik supralabial
sebanyak 6 dengan sisik ke 3 dan 4 kontak dengan mata dan temporolabial antar 5
dan 6; sisik loreal dan subocular tidak ada (Rooij 1917; O’Shea 1996).
Habitat, Kebiasaan Hidup dan Penyebaran Ular M. ikaheka
Famili Elapidae tersebar luas di wilayah Asia-Australia dan merupakan
kelompok ular paling dominan di Australia (Muller 2005). Ular famili Elapidae
merupakan elemen fauna ular yang dominan di New Guinea. Sekitar 36% ular
terestrial Papua New Guinea (PNG) adalah elapid, dan sekitar 59% terdapat di
daerah New Guinea (O’Shea 1996).
Micropechis diwakili hanya oleh satu jenis seperti dijelaskan sebelumnya.
Mereka tersebar luas mulai dari dataran rendah hingga pegunungan dengan
ketinggian 1500 m dpl (Rooij 1917; O’Shea 1996). Penyebaran M. ikaheka di
Papua meliputi Pegunungan Arfak, wilayah kepala burung (vogelkop) dan
termasuk sebagian dari pulau di bagian utara, tenggara dan barat. Beberapa
8
tempat hidup ular ini juga disebutkan dalam Rooij (1917), antara lain Pulau
Batanta, Sorong, Fak Fak, Andai, Mansinam, Gunung Arfak, Mios Nom, Yapen,
Mimika dan beberapa daerah lainnya.
Berdasarkan Krey (2003), M. ikaheka juga ditemukan di Pulau Waigeo
Kepulauan Raja Ampat. Pada penelitian lainnya di Pulau Salawati dan Batanta
ditemukan juga ular M. ikaheka (Farid dan Burhan 2005).
Ular M. ikaheka beraktifitas pada malam hari (spesies nokturnal) pada
lantai hutan (Krey 2003). Ular ini menangkap mangsa dan melakukan aktifitas
lainnya pada malam hari dan pada siang hari mereka beristirahat. Menurut O’Shea
(1996), ular M. ikaheka pada umumnya adalah nokturnal tetapi kadang juga aktif
pada siang hari.
Reptil tersebar pada daerah-daerah padang rumput, padang gurun, daerah
basah/lembab, hutan beriklim sedang, hutan tropis, pulau, laut, gunung-gunung,
daerah pemukiman dan daerah pinggiran pemukiman (O'Shea dan Holliday 2001).
Setiap jenis reptil menggunakan secara spesifik setiap habitat yang ada, seperti
habitat ular M. ikaheka yang terbatas pada area hutan hujan (rainforest), rawa dan
habitat serupa mulai dari permukaan laut hingga ketinggian 1500 meter (O’Shea
1996). Ular ini juga tinggal atau menghuni gundukan atau tumpukan sekam
kelapa (Cocos nucifera) yang dibuang dalam perkebunan. Kebiasaan hidup M.
ikaheka adalah menghuni sampah dedaunan, bagian dalam tumbuhan-tumbuhan
yang membusuk pada lahan lepas.
Umur dan Jenis Kelamin Reptil
Abouheif dan Fairbairn (1997) menjelaskan bahwa diferensiasi seksual
dalam ukuran dan morfologi adalah luas pada Kingdom Animal. Pada hewan-
hewan seperti ikan, insekta, amphibi dan reptil yang berkelamin betina memiliki
ukuran tubuh lebih besar dari pada jantan. Umur reptil umumnya diketahui
berdasarkan pada ukuran SVL (snout to vent length) tetapi ini umumnya berlaku
bagi sejumlah reptil muda. Banyak reptil dapat diketahui jenis kelaminnya pada
saat musim kawin dengan meningkatnya aktifitas jantan, dan juga dapat melalui
determinasi warna atau perbedaan morfologi (Sutherland 2000). Kadal jantan
sering lebih terang warnanya daripada betina. Banyak jenis dapat juga diketahui
9
kelaminnya melalui hemipenis jantan yang mungkin keluar dari bagian kloaka
(vent) bila ditekan. Banyak kadal jantan juga memiliki tonjolan penial (sisik pada
dasar ekor) dan juga femoral pores (pori-pori pada susunan sisik posterior vemur)
(Sutherland 2000).
Sama halnya dengan kadal, jenis kelamin ular dapat diketahui dengan
mengamati beberapa ciri morfologi selain dengan cara menekan bagian sekitar
kloaka (vent). Sutherland (2000) menjelaskan umur dan jenis kelamin ular pada
umumnya dapat diketahui dengan mengamati beberapa karakter morfologinya.
Ular betina cenderung memiliki batas tubuh yang jelas lebih luas hingga batas
ekor yang meruncing, sedangkan jantan cenderung memiliki ekor yang panjang
dan seperti terbagi dua dari total panjang ekor (Gambar 2).
Sumber : Sutherland (2000)
Gambar 2 Sketsa umum perbedaan jenis kelamin pada ular
Karakteristik seperti pada Gambar 2 di atas tentunya tidak berlaku pada
semua jenis ular. Banyak ular tidak dapat ditentukan jenis kelaminnya baik dari
bentuk dan ukuran tubuh maupun warna. Karateristik yang tidak umum ini juga
dijelaskan oleh Shine (1981), yaitu pada umumnya ular betina memiliki ukuran
panjang dari ujung mulut hingga kloaka (UMK) yang lebih panjang dari jantan,
tetapi pada berapa jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga
menemukan tidak adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang SVL pada
kelompok ular berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan menurutnya kondisi ini
merupakan karakteristik dari banyak jenis ular elapid.
10
Kulit dan Sisik Ular
Sisik ular seperti reptil pada umumnya, bertumbuh dari lapisan atas (top
layer) atau epidermis kulit (Hildebrand 1974; Hikman et al. 2001; Tylor dan
O’Shea 2004). Ular seperti binatang melata lainnya, tubuh mereka ditutupi dalam
sisik yang melindungi mereka dari abrasi dan dehidrasi. Sisik bagian atas dan
samping ular lebih kecil dan halus dibanding sisik pada sisi perut yang tebal dan
besar. Sisik tebal dan besar pada perut ini disebut scutes, yang membantu
melindungi dan mendukung jaringan yang kontak langsung dengan dasar seperti
tanah, batu, batang pohon dan sebagainya (Tylor dan O’Shea 2004). Terdapat
beberapa jenis sisik yaitu sisik berlunas (keeled scales) dan sisik yang licin atau
tidak berlunas (smooth scales), dimana sisik berlunas membantu ular untuk
menahan permukaan, sedangkan sisik tak berlunas membuat kemudahan bagi ular
untuk melewati tekanan ruang atau celah yang sempit (Tylor dan O’Shea 2004).
Sisik reptil umumnya sangat berwarna-warni dan terorganisir dalam pola
yang menarik. Warna sisik muncul dari pigmen pada sisik dan juga dengan cara
sisik memantulkan cahaya (Tylor dan O’Shea 2004; Hildebrand 1974 ). Menurut
Withers dan O’Shea (1993), warna dari reptil teresterial beragam dan
pigmentasinya sangat kompleks, tetapi lebih sedikit pada kelompok fusorial.
Warna sering berhubungan dengan kamuflase, thermoregulasi, proteksi terhadap
sinar ultraviolet, interaksi tingkah laku dan dimorfisme seksual. Dijelaskan pula
bahwa warna berada dibawah kontrol fisiologi (neural atau endocrinal).
Warna gelap membantu ular untuk menyerap panas selama cuaca lebih
dingin. Tylor dan O’Shea (2004) dan Mattison (2005) menjelaskan teori umum
bahwa pada cuaca dingin (termasuk ketinggian tempat) menyebabkan warna
menjadi gelap karena pigmen hitam menyerab panas lebih efisien. Ular muda
kadang-kadang berbeda warna dari induknya, tetapi tidak diketahui mengapa.
Meskipun ular sering diuraikan sebagai sesuatu yang licin, kulit mereka
benar-benar sangat kering. Tidak seperti binatang lainnya, ular selalu kontinyu
untuk bertumbuh sampai hari mereka mati. Sebagai konsekuensi, ular secara
periodik pada waktu tertentu mengganti kulit (shedding scales) mereka, suatu
proses yang disebut ecdysis. Sebelum pergantian kulit, ular nampak berwarna
sedikit kebiru-biruan dan mata nampak keabuan seperti tertutup awan. Taylor dan
11
O’Shea (2004), menjelaskan sekitar 6 kali setahun, seekor ular dewasa terlihat
menggeliat karena menuanya kulit sampai memunculkan sebuah kulit baru di
bawahnya yang berkilau. Ular hanya merontokan sisik dan kulitnya pada saat
sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah kulit tua.
Manfaat Ular bagi Masyarakat Papua
Sejak dahulu ular telah dikaitkan dengan kejahatan dan dosa, maka oleh
perasaan inilah kebanyakan orang akan merasa geli atau takut terhadap ular.
Reaksi spontan biasanya terjadi dan orang tidak segan-segan membunuh ular
tanpa memikirkan apakah itu ular dari jenis yang berbisa atau tidak. Walaupun
demikian, ular juga memiliki manfaat yang cukup penting, seperti di Papua,
beberapa suku memanfaatkan ular sebagai bahan makanan dan pengobatan.
Suku Arfak di daerah Mokwam Kabupaten Manokwari selain memakan
daging ular M. ikaheka, mereka juga memanfaatkan lemak ular ini sebagai bahan
pengobatan tradisional. Lemak tubuh ular ini diekstrak menjadi minyak dan
digunakan sebagai obat gosok untuk mengobati otot yang mengalami
pembengkakan (Sutarno 2005).
BAHAN DAN METODE
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada beberapa tempat di Papua yaitu Manokwari,
Waropen, Sorong, Tanah Merah, Pulau Numfor dan Kepulauan Raja Ampat
(Pulau Waigeo, Salawati dan Pulau Batanta). Di daerah Manokwari terdapat
beberapa lokasi pengamatan yaitu Gunung Meja, Prafi, Minyambouw, Oransbari,
Nuni, Saukorem dan Kebar. Lokasi pengamatan di daerah Waropen dilakukan di
Noau, Kwaneha, dan Pitohui, sedangkan daerah Sorong observasi dilakukan di
hutan kampung Baengkete. Daerah lainnya seperti Jayawijaya, Jamursbamedi,
Mindiptana, Lembah Baliem dan Pulau Yapen bukan daerah pengamatan dalam
penelitian ini, tetapi merupakan daerah penyebaran ular M. ikaheka berdasarkan
studi spesimen yang dilakukan di laboratorium Herpetofauna Pusat Penelitian
Biologi - Bidang zoologi LIPI Cibinong dan Conservation International Papua
Program. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Peta lokasi penelitian
13
Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama kurang lebih 8 bulan secara terpisah yaitu
pada bulan April 2002, Juni 2006 dan Maret hingga Agustus 2007.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan adalah mikroskop, headlamp, senter besar,
kantung spesimen (kain), termometer, rol meter (ukuran 500 cm)
termohygrometer, jangka sorong (kaliper), Global Position System (GPSmap
60cs), stik kayu, kamera, kertas tisu, kotak plastik, 1 set alat bedah, formalin 10
% dan alkohol 70 %.
Metode Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif dengan
teknik observasi lapang dan kajian koleksi spesimen. Observasi lapang yang
dilakukan meliputi observasi nokturnal dan diurnal. Observasi dilakukan dengan
membuat jalur yang ditelusuri secara acak untuk mencari dan menangkap ular.
Pada setiap daerah observasi, dilakukan penangkapan ular dengan menggunakan
tongkat kayu.
Pencarian dan penangkapan ular Micropechis ikaheka yang dijumpai pada
siang dan malam hari dilakukan pada beberapa habitat seperti di sekitar sungai,
rawa, hutan, tepi hutan, areal perkebunan serta bekas kebun. Masing-masing ular
yang tertangkap dimasukan ke dalam kantung kain. Selanjutnya semua keterangan
dicatat, seperti dimana ular ditemukan, waktu, suhu, kelembaban udara, kondisi
cuaca (hujan, mendung atau cerah), kemiringan tempat, kanopi dan lain-lain.
Data lainnya dikumpulkan melalui kajian spesimen yang diperoleh dari
literatur dan pengkajian ulang spesimen pada Laboratorium Herpetofauna Pusat
Penelitian Biologi - Bidang Zoologi LIPI Cibinong, Conservation International
Papua Program dan Laboratorium Zoologi Universitas Negeri Papua Manokwari.
14
Variabel Pengamatan
Ciri morfologi
Ciri morfologi yang diteliti meliputi karakter meristik dan morfometri
(Lampiran 1, 2 dan 3), bentuk umum tubuh, pola warna sisik seperti dijelaskan
dalam Rooij (1917) dan O’Shea (1996).
1) Karakter morfometri
Karakter morfometri ular yang diukur antara lain panjang dari ujung mulut
hingga kloaka (UMK), panjang ekor (PE), panjang total tubuh (PTT), panjang
kepala (PK), lebar kepala (LK), diameter tengah badan (DTB), diameter
pangkal ekor (DPE), jarak mata - hidung (JMH), jarak mata - mata (JMM),
jarak mata - ujung mulut (JMUM).
Pengukuran karakter morfometri tubuh ular dilakukan menggunakan rol meter
(ukuran 500 cm) dan jangka sorong dengan ketelitian 0,01 mm.
2) Karakter meristik
Pola dan jumlah sisik meliputi :
1. Sisik pada tubuh
- Jumlah sisik sisi punggung hingga melingkar setengah tubuh (Dorsal at
midbody/DMB) dan pola permukaan sisiknya berlunas (keeled) atau
halus (smooth)
- Jumlah sisik sisi perut (SV)
2. Sisik pada ekor
- Jumlah sisik dari pangkal kloaka hingga ujung ekor (Subcaudal/Sc)
dengan pola single atau divided
- Keping pada anal (anal plate) dengan pola single atau divided
3. Sisik pada kepala
- Jumlah sisik bibir bagian atas (supralabial) dan bawah (infralabial),
dihitung dari ujung mulut ke arah pangkal mulut. Pada bagian
supralabial diperhatikan sisik keberapa yang bersentuhan dengan mata.
- Jumlah sisik di depan mata (preocular) dan di belakang mata
(postocular) dan sisik kepala lainnya.
15
- Ada tidaknya sisik loreal (tidak adanya sisik loreal pada ular merupakan
ciri kelompok ular berbisa). Sisik loreal merupakan sisik yang terletak
antara sisik nares (nares scales) dengan sisik di depan mata (pre ocular).
4. Warna sisik
Warna sisik dideskripsikan secara visual mulai dari bagian kepala hingga
ekor ular.
Karakteristik habitat
Variabel yang diamati dan dicatat baik makrohabitat maupun mikrohabitat,
meliputi tipe habitat, suhu dan kelembaban udara (siang dan malam hari)
menggunakan termohygrometer, ketinggian tempat menggunakan GPSmap 60
garmin, objek atau substrat yang digunakan ular untuk beraktifitas atau
beristirahat dideskripsikan berdasarkan visualisasi. Data vegetasi dikumpulkan
sebagai data penunjang untuk menggambarkan tipe hutan yang ada. Data vegetasi
diperoleh dari hasil identifikasi oleh Herbarium Bogor dan Manokwari.
Analisa Data
Data yang diperoleh dijadikan sebagai data perbandingan variasi morfologi
antara individu ular M. ikaheka. Seluruh karakter morfologi yang direkam
dianalisa secara deskriptif, ditabulasikan, dan divisualisasikan melalui gambar dan
foto. Selanjutnya untuk melengkapi informasi distribusi ular di Papua, maka hasil
yang diperoleh dalam penelitian ini diplotkan dalam peta penyebaran.
Untuk melihat ada tidaknya perbedaan ukuran tubuh antara jenis kelamin
ular M. ikaheka, digunakan uji-t (Venables dan Ripley 1999).
HASIL
Daerah Penyebaran Ular M. ikaheka
Ular M. ikaheka berhasil ditangkap pada beberapa lokasi pengamatan
sebanyak 14 ekor. Selain itu, terdapat spesimen koleksi sebanyak 17 ekor yang
dikoleksi pada Laboratorium Zoologi Universitas Negeri Papua (UNIPA)
Manokwari, Laboratorium Herpetofauna Pusat Penelitian Biologi bidang Zoologi
LIPI Cibinong dan Conservation International Indonesia (CII) Papua Jayapura.
Analisis berikutnya berdasarkan total 31 ekor yang ada.
Penyebaran ular M. ikaheka di Papua menurut Rooij (1917) adalah tersebar
di Manokwari (Pulau Mansinan, Gunung Arfak, Andai), Pulau Yapen, Waropen,
Sorong, Fak Fak, Mimika dan Sungai Lorentz, Pulau Numfor (Pulau Mios Noom)
dan beberapa tempat lainnya (Lampiran 4). Selanjutnya O’Shea (1996)
menambahkan daerah penyebaran ular M. ikaheka meliputi beberapa wilayah di
daratan utama (mainland) dan beberapa pulau di utara dan tenggara Papua sampai
Papua New Guinea. Dalam penelitian ini, lokasi penemuan ular M. ikaheka
meliputi daerah Manokwari, Tanah Merah, Waropen, Mindiptana, Mamberamo,
Jayawijaya dan beberapa pulau yaitu Pulau Waigeo, Salawati, Batanta dan Pulau
Yapen (Gambar 4 dan 5).
Gambar 4 memperlihatkan bahwa kelompok ular M. ikaheka dengan warna
yang bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah dan menunjukkan
adanya daerah penyebaran yang spesifik. Ular M. ikaheka kelompok pertama
(warna sisik hitam), hanya ditemukan di Pulau Waigeo dan Batanta Kepulauan
Raja Ampat, sedangkan kelompok kedua (warna sisik kuning) ditemukan pada
daerah yang lebih luas mulai dari Sorong, Manokwari hingga Pulau Waigeo,
Batanta dan Pulau Salawati. Kelompok ketiga (warna pigmen sisik coklat)
tersebar lebih luas dari kelompok pertama dan kedua yakni mulai dari Pulau
Yapen, dataran rendah Waropen, Mamberamo, Mindiptana, dataran tinggi
Lembah Baliem sampai daerah Negara tetangga Papua New Guinea. Distribusi
ular M. ikaheka di PNG dapat dilihat pada lampiran 5.
17
Gambar 4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan kelompok
warna sisik
Penelitian ini juga menemukan satu individu ular M. ikaheka yang
menunjukkan warna transisi antara kelompok kuning dan coklat (deskripsi
mengenai pola warna sisik ditelaah dalam sub bab selanjutnya). Daerah LNG site
Tanah Merah merupakan lokasi penemuan individu dengan warna transisi ini.
Gambar 4 menunjukkan juga beberapa lokasi yang tidak ditemukan ular M.
ikaheka, tetapi masyarakat setempat (wawancara) sering menemukan ular ini
ketika mereka sedang berburu atau membuka dan membersihkan lahan pertanian.
Hasil wawancara ini juga diperkuat dengan nama bahasa daerah setempat yang
diberikan bagi ular ini, misalnya di daerah Kebar (ketinggian 585 m dpl) disebut
Keterangan : = Daerah sebaran ular M. ikaheka hitam = Daerah sebaran ular M. ikaheka kuning = Daerah sebaran ular M. ikaheka coklat Perpaduan garis kuning dan coklat adalah transisi antara ular M. ikaheka kuning dan coklat
18
Kubik dan di Pulau Numfor (ketinggian 20 m dpl) disebut Ikak epyoper. Nama
lokal ini menunjukkan penyebaran ular M. ikaheka pada daerah-daerah tersebut.
(a)
(b)
Gambar 5 Penyebaran ular M. ikaheka di Pulau Waigeo (a), Batanta dan Pulau Salawati (b)
Di daerah Minyambow dan Pitohui tidak ditemukan ular M. ikaheka.
Minyambow adalah dataran tinggi (ketinggian 1700-2023 m dpl), sedangkan
daerah Pitohui adalah areal hutan mangrove dengan hutan transisi yang selalu
terendam air dan juga terdapat rawa yang ditumbuhi Nipa dan beberapa tumbuhan
lainnya. Masyarakat Minyambouw mengenal ular M. ikaheka dengan nama lokal
19
Hinokofu. Mereka sering menggunakan minyak dari lemak ular ini sebagai obat
tradisional, tetapi untuk mendapatkan ular tersebut mereka harus mencari ke
tempat yang lebih rendah seperti di daerah Warmare (ketinggian 305 m dpl).
Habitat, Iklim dan Kebiasaan Hidup
Semua ular M. ikaheka dalam penelitian ini tersebar pada hutan dataran
rendah mulai dari ketinggian 5 - 305 meter di atas permukaan laut (Tabel 1).
Tabel 1 Lokasi penemuan ular M. ikaheka berdasarkan kelompok warna
Keterangan : * : Transisi antara ular M. ikaheka Kuning dan Coklat H : Hitam K : Kuning C : Coklat
Lokasi Pengamatan
Kelompok Warna Koordinat GPS Ketinggian
(m dpl) H K C Pulau Waigeo : - Waifoi (Sungai Kamtabai) - Lopintol (S. Bayon) - Urbinasopen ( S. Mamdifu)
√ - -
√ √ √
- - -
S 000 05,970’ E 1300 45,642’ S 000 18,999’ E 1300 51,542’ S 000 20,219’ E 1310 15,544’
50 5 15
Pulau Batanta : Wailebet (S. Yakut)
√
√
-
S 000 53,744’ E 1300 38,498’
13
Pulau Salawati (S. Webya) - √ - S 000 57,383’ E 1300 47,060’ 25 Manokwari : Oransbari (S. Muari) Saukorem (S. Wepay) Nuni (S. Nuni) Gunung Meja Andai (Perkebunan Kakao) Prafi (Perkebunan Sawit)
- - - - - -
√ √ √ √ √ √
- - - - - -
S 010 20’55.3”E 1340 11’19.8” S 000 44’45.3” E 1330 23’33.9” S 000 46’09.2” E 1330 58’57.0” S 000 50’51,5” E 1340 4’24,7” S 000 55’ 902” E 1340 0’ 557” S 010 00’ 03.0”E 134o 00’ 05.0”
276 34 24
155 36
305
LNG site Tanah Merah - * * S 020 28’ 31,4” E 1330 8’23.2” 49 Waropen (S. Noau) - - √ S 020 04’57.1” E 1370 27’32.1” 22 Spesimen Koleksi Pulau Yapen : - Warironi
-
-
√
S 010 51’ 456” E 1360 32’ 909”
5
Mindiptana (Ingembit) - - √ S 50 38’ 33” E 1410 - Mamberamo (Marina valen) - - √ - - Jayawijaya : - Kelila - Lembah Baliem
- -
- -
√ √
- -
- -
Sorong (Jamursbamedi) - √ - - -
20
Pengamatan di hutan pegunungan menengah Minyambouw sekitar Kawasan
Cagar Alam Pegunungan Arfak Manokwari (ketinggian 1700-2023 m dpl), tidak
menemukan ular M. ikaheka. Suhu malam hari (sekitar 190C) dan siang hari
(240C) yang dingin menjadi faktor pembatas bagi kehidupan ular M. ikaheka dan
beberapa jenis reptil lainnya.
Selama penelitian berlangsung, ular M. ikaheka teramati hidup dan
menghuni lantai-lantai hutan. Mereka memanfaatkan berbagai mikrohabitat
sebagai tempat beraktifitas. Pada saat penelitian, beberapa ular M. ikaheka
teramati sedang berada di atas serasah dengan kepala yang dimasukkan ke bawah
serasah. Kondisi ular seperti ini mungkin menunjukkan bahwa mereka sedang
menangkap mangsa. Beberapa ekor juga teramati sedang berada di dalam
gundukan tanah, dalam batang pohon palem yang tumbang, pada celah batu, di
bawah banir dan di bawah batang pohon yang tumbang serta di antara semak.
Ular M. ikaheka yang menghuni areal perkebunan kakao, sawit, dan kebun
campuran, dijumpai pada semak dan di bawah tumpukan daun maupun ranting
yang dibuang oleh para petani. Areal perkebunan umumnya memiliki lantai datar
dan banyak semak yang sangat mendukung kehidupan ular M. ikaheka. Gambar 6
memperlihatkan ular M. ikaheka yang tertangkap pada serasah dan semak pada
kebun campuran di Manokwari.
Gambar 6 Ular M. ikaheka yang tertangkap di serasah dan semak pada
kebun campuran di Manokwari
21
Pada areal ini hidup beberapa jenis kadal seperti Emoia caeruleucauda,
Sphenomorpus simus dan jenis kadal lainnya yang menjadi salah satu sumber
makanan ular M. ikaheka. Dalam perut salah satu individu ular M. ikaheka
ditemukan seekor kadal S. simus (Gambar 7).
Gambar 7 Kadal Sphenomorpus simus ditemukan dalam perut ular M. ikaheka
Lokasi penelitian di Pulau Waigeo (ketinggian 5 - 50 m dpl), Batanta (13 m
dpl) dan Salawati (25 m dpl) memiliki tipe vegetasi hutan hujan dataran rendah
dengan topografi yang datar hingga berbukit. Beberapa famili tumbuhan yang
umum dan sering dijumpai adalah Combreataceae, Cycadaceae, Sapindaceae,
Moracaeae, Dafisdaceae, Rutaceae dan Arecaceae (identifikasi vegetasi oleh
Herbarium Bogoriense). Suhu pada siang hari berkisar antara 27 – 320C dan suhu
pada malam hari berkisar antara 23 – 26 0C. Pada saat penelitian musim hujan
sedang berlangsung sehingga keadaan iklim mikro mempunyai suhu yang cukup
rendah. Suhu rata-rata/tahun menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG)
Sorong dalam lima tahun terakhir (2001-2005) adalah 27,47-27,930C.
Daerah penelitian Manokwari, Tanah Merah dan Waropen juga memiliki
tipe vegetasi hutan dataran rendah dengan ketinggian tempat lokasi penelitian 22-
305 m dpl. Suhu siang hari antara 28-320C sedangkan malam hari 26-280C. Suhu
rata-rata/pertahun menurut BMG Manokwari dalam lima tahun terakhir (2001-
2006) adalah 26,88-27,560C. Vegetasi pada daerah ini umumnya dari famili
Fabaceae, Sapindaceae, Sapotaceae, Dipterocarpaceae, Dafisdaceae,
Convaevulaceae, Hernandiaceae, Moraceae, Araucariaceae dan beberapa famili
lainnya (identifikasi vegetasi oleh Herbarium Manokwarinse, Universitas Negeri
Papua).
22
Sisik : Pola Warna dan Jumlah
Pengamatan spesimen ular M. ikaheka menunjukkan adanya beberapa
variasi warna sisik yang secara umum dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok
warna (Gambar 8). Pola warna pertama adalah hitam keabuan, pola warna kedua
kuning atau krem sedangkan pola warna ketiga adalah coklat kekuningan.
(a) (b)
(c)
Keterangan : a- Spesimen dari Pulau Waigeo dan Pulau Batanta b- Spesimen dari Manokwari, Sorong, Waigeo, Batanta,
Salawati dan Tanah Merah c- Spesimen dari Jaya Wijaya
Gambar 8 Individu dewasa M. ikaheka dengan variasi warna sisik
Kelompok pertama (Gambar 8a) meperlihatkan pigmen sisik yang hitam
keabu-abuan pada bagian dorsal hingga lateral tubuh. Pigmen warna ini tersebar
dari bagian kepala hingga ujung ekor. Pada bagian ekor, pigmentasi ini berlanjut
hingga sisik subcaudal. Pigmen sisik ventral lebih terang, dengan noktah-noktah
coklat keabuan yang tidak merata pada setiap sisik (kecuali pada sisik mulai dari
23
batas leher hingga ujung sisik mental, seluruhnya tertutup oleh pigmen coklat
keabuan).
Kelompok kedua (Gambar 8b) memiliki warna pigmen sisik bagian kepala
dan ujung ekor sama dengan warna dorsal kelompok pertama. Namun, pada
kelompok kedua hampir setengah bagian dari tubuh (mulai dari leher hingga
pertengahan bagian tubuh) ditutupi pigmen kuning atau krem. Warna pigmen sisik
subcaudal lebih terang dengan noktah coklat keabuan seperti pada warna pigmen
sisik ventral kelompok pertama.
Kelompok ketiga (Gambar 8c) memiliki pola warna pigmen sisik dorsal
yang berwarna coklat kekuningan dengan pita-pita lebih gelap sepanjang tubuh.
Jarak antar pita-pita ini ke arah posterior semakin dekat hingga ujung ekor yang
lebih gelap.
Penelitian pada daerah Tanah Merah berhasil menemukan ular M. ikaheka
(Gambar 9) yang menunjukkan warna transisi antara kelompok kuning dan coklat.
Ular M. ikaheka ini memiliki warna sisik yang sangat sama dengan kelompok
kedua, tetapi terdapat pita yang lebih gelap pada pertengahan tubuh hingga ke
arah ekor seperti yang dimiliki ular M. ikaheka kelompok ketiga.
Semua kelompok ular M. ikaheka baik dewasa maupun juvenil memiliki
sisik melingkar tubuh (dorsal at midbody) sebanyak 15 sisik dengan pola
permukaan sisik halus atau tidak berlunas. Jumlah sisik ventral (SV) sebanyak
174-190 dan sisik subcaudal sebanyak 34-48. Semua individu memiliki sisik
labial atas (supralabial) sebanyak 6/6 di mana sisik ke 3 dan 4 kontak dengan
mata, sisik labial bawah (infralabial) sebanyak 6/6, sisik di belakang mata (post
ocular) 2/2 dan sisik di depan mata (preokular) 1/1. Keping anal (anal plate)
berpasangan. Sisik loreal (loreal scales) tidak ada (Lampiran 3).
24
Gambar 9 Ular M. ikaheka asal Tanah Merah (Lokasi LNG-site)
Ukuran Tubuh
Ular M. ikaheka memiliki bentuk tubuh yang gemuk dan juga memiliki ekor
yang relatif pendek. Batasan kepala dan leher berbeda sedikit dengan kepala yang
lebih luas dari leher. Mata ular ini sangat kecil dengan pupil yang bulat. Deskripsi
ini sama seperti deskripsi dalam O’Shea (1996) dan Rooij (1917).
Data meristik dan beberapa ukuran bagian tubuh dari ketiga kelompok ular
M. ikaheka dewasa berdasarkan spesimen yang ditemukan dan spesimen koleksi
ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2 memperlihatkan ukuran tubuh (UMK dan PE)
tidak berhubungan dengan jumlah sisik (SC maupun SV).
25
Tabel 2 Data meristik dan ukuran tubuh tiga kelompok ular M. ikaheka dewasa Kode
Spesimen [Sex] Lokasi
Pengamatan SC SV UMK (cm)
PE (cm)
PTT (cm)
Hitam 3011 [E] Waifoi 45 187 106 15 121 7721 [E] Wailebet 40 182 115 14,8 129,8 7748 [E] Wailebet 41 183 101,6 13,4 115
Mode - - Kuning TM* [E] Tanah Merah 46 188 113,6 17,6 131,2 7803 [E] Webya 46 180 119 16,4 135,4 7801 [E] Webya 48 181 87,9 13,1 101 7750 [C] Webya 46 183 83,5 12,1 95,6 7802 [C] Webya 45 174 74,5 11,7 86,2 6326 [C] Andai 45 177 69 12,5 81,5 6327 [C] Prafi 45 184 78,7 13,2 91,9 6343 [C] Nuni 44 184 101 15,5 116,5 6342 [C] Gunung Meja 42 179 75 13 88 GM2 [C] Gunung Meja 44 181 74 13,5 87,5 GM3 [C] Gunung Meja 47 182 131 20,2 151,2 OB [C] Oransbari 34 174 75 13,3 88,3 2371 [C] Jamursbamedi 48 186 112 16,7 128,7 453** Irian 35 180 102,5 12 114,5 351** Irian 45 174 92,2 11,5 103,7
Mode 45 174 Coklat 2197 [E] Kelila 38 189 122,2 12,8 135 9810 [C] Marina Valen 39 190 138 15,7 153,7 7948 [C] Noau 39 186 136 15,5 151,5 2039 [C] Lembah Baliem 47 176 65 10,3 75,3
Mode 39 -
Keterangan : * : Warna Transisi antara ular M. ikaheka Kuning dan Coklat ** : Tidak ada data jenis kelamin dan lokasi yang pasti SC : Sisik subcaudal; SV : Sisik ventral; UMK : Panjang ujung mulut-kloaka; PTT : Panjang total tubuh; PE : Panjang ekor
Terdapat sedikit perbedaan antar setiap individu dalam hal ukuran panjang
UMK dan PE terhadap jumlah sisik. Beberapa individu dengan ukuran tubuh yang
lebih panjang memiliki jumlah sisik lebih sedikit dari pada individu dengan
ukuran tubuh yang lebih pendek, dan juga sebaliknya bahkan terdapat individu
dengan ukuran tubuh yang lebih besar memiliki jumlah sisik yang sama dengan
26
individu yang memiliki ukuran tubuh lebih kecil. Misalnya individu (GM3)
dengan PE terpanjang (20,2 cm) memiliki jumlah sisik subcaudal sama dengan
individu (2039) dengan PE terpendek (10,3 cm) yakni sebanyak 47. Pada bagian
ventral juga terlihat bahwa individu (6327) dengan panjang UMK 78,7 cm
memiliki sisik ventral sebanyak 184 sama dengan individu (6343) dengan panjang
UMK 101 cm. Data pada Tabel 2 juga menunjukkan bahwa jenis kelaminpun
tidak berhubungan dengan jumlah sisik.
Individu juvenil (Tabel 3) juga memiliki jumlah sisik ventral dan subcaudal
yang bervariasi dan sisik-sisik tersebut jumlahnya sama dengan beberapa individu
dewasa.
Tabel 3 Data meristik dan ukuran tubuh dari ular M. ikaheka juvenil
Kode
Spesimen Asal
Spesimen SC SV UMK PE PTT
Kuning
3226 Manokwari 46 179 53,8 8,2 62 3008 Lopintol 39 180 26,6 4 30,6 7724 Wailebet 42 181 29,2 5,7 34,9 6495 Saukorem 46 177 46 7 53 6498 Saukorem 45 182 47 8 55 7625 Urbinasopen 45 184 32,7 6,3 39 7723 Urbinasopen 43 183 31,8 4,9 36,7 Mode 45, 46 - Coklat 1453 Mindiptana 44 182 21,3 4,2 25,5 JP Pulau Yapen 40 183 27,1 3,8 30,9 Mode - - Keterangan : SC : Sisik subcaudal; SV : Sisik ventral; UMK : Panjang ujung mulut-kloaka; PTT : Panjang total tubuh; PE : Panjang ekor
Hasil analisis ukuran tubuh pada jenis kelamin ular M. ikaheka (Tabel 4)
menunjukkan bahwa ular jantan dan betina memiliki ukuran tubuh yang tidak
berbeda nyata (P>5%). Ukuran tubuh semua kelompok warna (Tabel 5) juga
menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>5%).
27
Tabel 4. Perbedaan ukuran tubuh pada jenis kelamin. Probabilitas (P>5 %) menunjukkan perbedaan yang tidak nyata
No.
Ukuran Bagian Tubuh
Jenis Kelamin t
Probabilitas
(%) E
(n=7) C
(n=13) 1. PTT
(mean + Stdev) 124.06 + 12.62 107.38 + 29.17 1.353 19.3
2. UMK 109.33 + 11.83 93.28 + 27.00 1.483 15.5
3. PE 14.729 + 1.791 14.092 + 2.586 0.577 57.1
4. PK 4.0157 + 0.477 3.8500 + 0.981 0.417 68.1
5. LK 2.5300 + 0.398 2.2931 + 0.669 0.852 40.5
6. DTB 2.9680 + 0.255 2.4527 + 0.843 1.317 20.9
7. DPE 1.3560 + 0.175 1.1364 + 0.264 1.68 11.5
8. JMH 0.7000 + 0.044 0.5827 + 0.134 1.879 8.12
9. JMM 1.5680 + 0.141 1.2473 + 0.343 1.983 6.74
10. JMUM 1.2340 + 0.131 0.9818 + 0.286 1.853 8.5
Tabel 5 Perbandingan nilai rata-rata ukuran tubuh ketiga kelompok warna
No.
Ukuran
Bagian Tubuh
Warna
Hitam (n=3)
Kuning (n=13)
Coklat (n=4)
1. PTT (mean + Stdev) 121.93 + 7.44 106.38 + 23.22 128.88 + 36.68
2. UMK 107.53 + 6.83 91.86 + 20.82 115.30 + 34.26
3. PE 14.400 + 0.872 14.523 + 2.541 13.575 + 2.553
4. PK 3.8933 + 0.504 3.8092 + 0.787 4.2400 + 1.227
5. LK 2.3567 + 0.464 2.2938 + 0.560 2.6575 + 0.812
6. DTB 2.7650 + 0.077 2.6118 + 0.847 2.5200 + 0.717
7. DPE 1.2700 + 0.212 1.1982 + 0.272 1.1867 + 0.309
8. JMH 0.6750 + 0.021 0.5991 + 0.134 0.6567 + 0.138
9. JMM 1.4600 + 0.056 1.3145 + 0.357 1.3933 + 0.380
10. JMUM 1.1800 + 0.028 1.0173 + 0.283 1.1400 + 0.346
PEMBAHASAN
Taksonomi, Zoogeografi dan Habitat Ular M. ikaheka
Ular M. ikaheka pernah diperkenalkan menjadi dua subjenis yaitu M.
ikaheka fasciatus dan M. ikaheka ikaheka oleh beberapa peneliti sebelumnya.
Pembagian ini didasarkan pada variasi warna sisik dan zoogeografi. Subjenis M.
ikaheka fasciatus diperkenalkan oleh Klemer (1963) diacu dalam O’Shea (1996)
sebagai jenis endemik pulau Aru. Kemudian Loveridge (1948) diacu dalam
O’Shea (1996) mengemukakan bahwa daerah asal M.i. fasciatus selain pulau Aru
juga sampai Aitape (West Sepik) dan Gusiko (Morobe) PNG, sedangkan subjenis
M. ikaheka ikaheka dibatasi pada daerah Irian Jaya (Papua) berdasarkan spesimen
type dari Fak Fak. Karena dilengkapi data yang tidak cukup untuk membedakan
antara kedua subjenis di daratan utama New Guinea, maka ular putih (small-eyed)
yang diacu hingga sekarang adalah M. ikaheka, tidak dengan petunjuk dari salah
satu subjenis (O’Shea 1996). Selanjutnya, Loveridge juga menyebutkan subjenis
yang ketiga yaitu M. ikaheka elapoides dari kepulauan Salomon yang saat ini
diperkenalkan sebagai jenis yang terpisah Loveridgelaps elapoides.
Penyebaran flora dan fauna pada suatu wilayah sangat berhubungan dengan
sejarah geologi wilayah tersebut. Pulau Yapen adalah sebuah pecahan kecil dari
Pegunungan Van Rees pada daratan utama New Guinea (Polhemus dan Allen
2007), yang menyebabkan fauna pada pulau ini bergabung dengan pantai utara
Papua. Penyebaran ular M. ikaheka hingga Pulau Yapen diduga juga mengikuti
pola biogeografi ini.
Zoogeografi ular M. ikaheka juga mencakup Kepulauan Aru (O’Shea 1996).
Kepulauan Aru secara politik adalah bagian wilayah Maluku, tetapi termasuk
biogeografi New Guinea yang pernah dihubungkan oleh daratan (Allison 2007).
Kepulauan Aru merupakan satu-satunya kepulauan daratan yang sesungguhnya di
kawasan ini, terletak kira-kira 125 km dari pesisir Papua (Monk et al. 2000).
Ular M. ikaheka tersebar hingga pulau Waigeo, Batanta dan Salawati
walaupun pada kenyataanya pantai utara Pulau Salawati terpisah dengan Batanta
oleh selat Sagawin. Selat Sagawin dengan jarak kurang lebih lima km, membuat
diskontinyu biogeografik lokal hingga menyebabkan suatu pecahan vicarian bagi
29
spesies burung cenderawasih (Paradisaea minor dan Cicinnurus magnivicus)
dimana kedua spesies burung ini tidak ada di Waigeo dan Batanta. Namun
demikian, Polhemus dan Allen (2007) menyatakan bahwa selat Sagawin yang
memberikan batas biogeografik bagi burung, merupakan sebuah hipotesa
sementara yang perlu diverifikasi melalui survey lapangan pada masa mendatang.
Semua ular M. ikaheka tersebar pada hutan dataran rendah (22-305 m dpl),
menghuni bagian teresterial hutan serta aktif pada malam hari. Walaupun ular M.
ikaheka juga dapat hidup di sekitar rawa (O’Shea 1996), kondisi seperti di
Pitohui tidak memungkinkan bagi kehidupan ular M. ikaheka.
Ular M. ikaheka yang merupakan jenis ular semi-fossorial tersebar mulai
dari dataran rendah hingga ketinggian 1500 m dpl (O’Shea 1996). Pola
penyebaran ular M. ikaheka di New Guinea adalah melewati garis pantai dan tidak
melalui daerah pegunungan yang tinggi. Pada daerah Minyambouw (1700-2023 m
dpl) ular M. ikaheka tidak ditemukan. Hutan di daerah Minyambouw termasuk
hutan pegunungan menengah Johns (1997), yang mana faktor ketinggian tempat
menyebabkan suhu sangat rendah (190C) dan diduga menyebabkan ular M.
ikaheka tidak dapat hidup pada daerah ini. Sutarno (2005) menemukan
masyarakat suku Hattam di daerah ini memanfaatkan daging dan lemak ular M.
ikaheka untuk makanan tambahan dan obat tradisional, tetapi masyarakat harus
mencari ke daerah yang lebih rendah. Informasi ini turut mendukung tidak
tersebarnya ular M. ikaheka pada wilayah Minyambouw.
Kadal Shpenomorpus simus merupakan salah satu jenis pakan ular M.
ikaheka. Kadal jenis ini adalah teresterial dan sering dijumpai pada lokasi-lokasi
dimana ular M. ikaheka berada. Makanan ular M. ikaheka kurang diketahui, tetapi
katak, kadal dan beberapa mamalia kecil merupakan mangsa utama ular ini
(O’Shea 1996).
Pola Warna
Pola warna pada semua kelompok ular M. ikaheka yang ditelaah, sesuai
dengan pendeskripsian yang telah dilakukan sebelumnya oleh Rooij (1917) dan
O’Shea (1996), kecuali ular kelompok pertama (warna sisik hitam). Kelompok
pertama merupakan kelompok ular M. ikaheka yang baru ditemukan dalam
penelitian ini, sedangkan M. ikaheka kelompok kedua (warna sisik kuning) adalah
30
kelompok yang pernah diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka ikaheka dan
kelompok ketiga (warna sisik coklat) diperkenalkan sebagai subjenis M. ikaheka
fasciatus. Warna sisik pada kelompok ketiga sama dengan kelompok M. ikaheka
(Lampiran 6) yang tersebar di daerah Papua New Guinea (O’Shea 1996; Williams
2006). Pola warna sisik ini adalah ciri utama yang menggambarkan variasi dari
setiap individu ular M. ikaheka. Perbedaan warna ini juga merupakan ciri utama
pembeda antar individu pada setiap tempat.
Populasi ular M. ikaheka di bagian utara PNG memiliki warna yang berbeda
dengan populasi di selatan (O’Shea 1996). Pada lampiran 6 dapat dilihat gambar
ular M. ikaheka dari bagian utara dan selatan PNG. Ular M. ikaheka bagian utara
memiliki warna yang lebih terang dengan pita yang lebih banyak dibanding
bagian selatan. Spesimen utara memiliki warna sisik yang sama dengan spesimen
dari daerah Mamberamo dan Pulau Yapen (pesisir utara Papua), sedangkan
spesimen dari daerah Mindiptana dan Jayawijaya (Kelila dan lembah Baliem)
memiliki warna sisik sama seperti M. ikaheka dari daerah selatan PNG. Pola
warna ini berlanjut hingga ke arah barat Papua dan berangsur-angsur pitanya
mulai memudar. Ular M. ikaheka asal Tanah Merah yang merupakan individu
dengan warna transisi mengindikasikan fenomena tersebut. Selanjutnya semakin
menjauh ke arah dataran Kepala Burung (vogelkop) hingga pulau-pulau di barat
laut Papua, pola pita menjadi hilang total dan membentuk kelompok ular dengan
pola warna yang berbeda. Proses evolusi sedang berlangsung dan diduga bahwa
variasi warna yang ada muncul dari satu populasi menjadi populasi lainnya mulai
dari arah timur ke barat New Guinea. Ketiga warna yang ada merupakan
kelompok warna melanin yang pada dasarnya adalah warna coklat dan kuning,
kemudian diikuti oleh warna hitam, yang oleh Vevers (1982) melanin sebagai
respon terhadap warna gelap (dark colours) dari hewan yang pada prinsipnya
adalah warna hitam dan coklat, tetapi kadang juga warna kuning.
Pola warna sisik M. ikaheka kelompok pertama berbeda sangat ekstrim dari
individu kelompok lainnya. Warna gelap pada kelompok ular ini diduga
dipengaruhi oleh kondisi lokal habitat, seperti dijelaskan oleh Rooij (1917) dan
O’Shea (1996) bahwa variasi pada M. ikaheka adalah variasi lokal. Gibson dan
Fals (1979) diacu dalam Heatwole dan Taylor (1987) menemukan warna melanin
31
dari seekor ular pada wilayah beriklim sedang, dipelihara oleh suhu tubuh yang
tinggi pada saat terkena radiasi matahari dibanding dengan ular yang lebih terang.
Warna melanin ular M. ikaheka pada kelompok lainnya (warna sisik kuning dan
warna sisik coklat) diduga selain disebabkan faktor genetik juga dipengaruhi oleh
lingkungan. Karena semi fusorial, M. ikaheka ditemukan menghuni mikrohabitat
seperti lubang atau celah tumpukkan batuan, celah banir pohon dan juga dibawah
tumpukan kayu yang gelap. Kondisi ini diduga berpengaruh terhadap perubahan
pigmen warna sisik ular M. ikaheka. Selain nokturnal dan juga merupakan
kelompok hewan ektoterm, M. ikaheka membutuhkan energi panas yang cukup
untuk beraktifitas. Heatwole dan Taylor (1987) menjelaskan sebuah habitat yang
memanas dengan cepat pada siang hari juga cepat dingin pada malam hari dan
kondisi ini juga berlaku pada tubuh reptil, dimana suatu jenis yang mengasorbsi
radiasi energi dengan baik akan cepat hilang panas melalui radiasi balik nokturnal.
Variasi warna sisik pada ular Milksnake (Lampropeltis triangulum) yang
tersebar di utara hingga bagian tengah Amerika, selain memiliki pita-pita merah,
hitam dan putih juga ukuran tubuhnya bervariasi sehingga dikelompokkan dalam
beberapa subspesies (Mattison 2005). Salah satu milksnake mengalami perubahan
warna secara kontinyu dari kecil hingga dewasa menjadi hitam total dan fenomena
ini disebabkan pada daerah beriklim dingin sisik ular menjadi lebih gelap karena
pigmen hitam menyerap panas lebih efisien. Pola pita merah, hitam dan putih
merupakan suatu mimikri terhadap salah satu ular coral berbisa di daerah itu,
dimana pada saat Milksnake kecil mimikri lebih penting dari pada kemampuan
mengabsorbsi panas. Ketika mereka bertumbuh besar, mereka berukuran lebih
besar dari pada ular coral, jadi merubah warna tidak menyebabkan kerugian.
Dalam penelitian ini variasi warna sisik ular M. ikaheka tidak muncul dengan cara
mimikri, sebab selain merupakan ular sangat berbisa, saat penelitian tidak
dijumpai jenis ular berbisa teresterial lainnya yang serupa kecuali ular tidak
berbisa Stegonotus sp. (Colubridae).
Walaupun hanya satu ekor yang ditemukan, ular M. ikaheka asal LNG site
Tanah Merah menunjukkan bahwa ada sebuah transisi warna yang
menghubungkan ular M. ikaheka kelompok kuning dan coklat. Rooij (1917)
menjelaskan bahwa M. ikaheka memiliki warna dorsal hitam dan kuning, kadang
32
dengan pita-pita melintang yang tidak teratur. Walaupun penelitian ini tidak dapat
menjelaskan secara pasti bagaimana proses munculnya variasi pola warna sisik
ini, tetapi Hildebrand (1974) menjelaskan bahwa warna pada epidermis muncul
melalui pigmen melanin (melanophores) dimana warna tersebut dapat konstant
atau dapat respon terhadap perubahan warna morfologi, sehubungan dengan umur,
musim dan sebagainya.
Variasi pola warna sisik ular M. ikaheka tidak ditentukan oleh jenis kelamin.
Dari 20 ekor ular M. ikaheka yang berhasil diidentifikasi jenis kelaminnya,
sebanyak 7 ekor (35%) berjenis kelamin jantan sedangkan sisanya sebanyak 13
ekor (65%) berjenis kelamin betina. Pengamatan ada tidaknya hemipenis yang
dilakukan pada semua spesimen dewasa M. ikaheka menunjukkan bahwa setiap
kelompok warna memiliki keduanya jenis kelamin jantan dan betina. Kelompok
pertama sebanyak tiga spesimen semuanya berjenis kelamin jantan. Setidaknya
dalam penelitian ini tidak bisa menerangkan dimorfisme seksual karena semua
spesimen pada kelompok pertama adalah jantan. Dalam deskripsi yang dibuat
sebelumnya, juga tidak terdapat pertelaahan mengenai dimorfisme seksual dalam
kaitannya dengan variasi warna sisik. Penentuan jenis kelamin ular M. ikaheka
tidak dapat dilakukan seperti pada beberapa jenis ular dari kelompok Python,
dengan mengacu pada karakteristik spur atau taji (struktur kecil seperti duri pada
sisi kloaka). Barker dan Barker (1994) menjelaskan pada kelompok Python kedua-
duanya jantan dan betina memiliki taji pada daerah sisi sekitar kloaka dan
karakteristik dari taji merupakan ciri pembeda dimorfisme seksual.
Sisik dan Ukuran Tubuh Ular M. ikaheka
Kisaran jumlah sisik ventral (SV) pada Tabel 2 adalah sebanyak 174-190,
sedangkan kisaran jumlah sisik ventral berdasarkan O’Shea (1996) dan Rooij
(1917) adalah 178-223. Data dalam penelitian ini menunjukkan bahwa beberapa
individu memiliki jumlah sisik ventral minimal jauh lebih sedikit, bila
dibandingkan dengan jumlah yang disebutkan oleh kedua peneliti sebelumnya.
Individu ular M. ikaheka dengan kode spesimen 7802, OB dan 351 memiliki
jumlah SV sebanyak 174, sedangkan 6326 dan 2039 masing-masing memiliki SV
sebanyak 177 dan 176.
33
Jumlah sisik subcaudal pada spesimen dengan kode OB dan 453 adalah
lebih rendah (34 dan 35) dari batasan yang diberikan oleh O’Shea (1996) dan
Rooij (1917) yakni 37 sisik. Lebih sedikitnya jumlah sisik ini akibat kondisi fisik
ujung ekor yang putus tanpa diketahui penyebabnya.
Data meristik pada Tabel 2 dan 3 menunjukkan bahwa bertambahnya ukuran
tubuh dan umur tidak mengakibatkan terjadinya penambahan jumlah sisik. Hal ini
disebabkan ular secara kontinyu bertumbuh dan secara periodik pada waktu
tertentu akan menggantikan kulitnya. Sisik ular bertumbuh dari lapisan atas (top
layer) atau epidermis kulit dan ular hanya merontokkan sisik dan kulitnya (sekitar
6 kali setahun) pada saat sebuah lapisan baru dari sisik dan kulit tumbuh di bawah
kulit tua (Hildebrand 1974; Taylor dan O’Shea 2004).
Semua kelompok warna ular M. ikaheka memiliki rata-rata ukuran tubuh
yang relatif sama dan kisaran panjang total tubuh (PTT) berada pada kisaran
panjang maksimum (1,0-1,5 meter) berdasarkan O’Shea (1996).
Analisis ukuran bagian tubuh semua kelompok warna menunjukkan tidak
terdapat perbedaan yang nyata (P>5%). Analisis ini juga menunjukkan bahwa
ukuran bagian tubuh antara jenis kelamin tidak berbeda nyata (P>5%). Seperti
dijelaskan oleh Shine (1981) bahwa pada umumnya ular betina memiliki ukuran
UMK atau SVL (snout vent length) lebih panjang dari jantan, tetapi pada beberapa
jenis ular karakter ini tidak ditemukan. Shine (1981) juga menemukan tidak
adanya dimorfisme seksual berdasarkan panjang UMK pada kelompok ular
berbisa (Drysdalia spp) di Australia dan kondisi ini merupakan karakteristik dari
banyak jenis ular elapid. How et al. (1996), juga menemukan tidak terdapat
perbedaan yang signifikan pada panjang UMK antara ular Lycodon aulicus jantan
dan betina.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Ular putih (Micropechis ikaheka) tersebar luas di daratan utama Papua
termasuk pulau-pulau sekitarnya hingga Papua New Guinea. Semua ular M.
ikaheka dalam penelitian ini tersebar pada hutan dataran rendah mulai dari
ketinggian 5 - 305 meter di atas permukaan laut. Di hutan pegunungan menengah
sekitar Kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak Manokwari (ketinggian 1700-
2023 m dpl), tidak ditemukan ular M. ikaheka.
Selama penelitian berlangsung ular M. ikaheka teramati hidup dan menghuni
lantai-lantai hutan dengan memanfaatkan berbagai mikrohabitat sebagai tempat
beraktifitas, seperti di dalam gundukan tanah, pada celah batu, dalam batang
pohon palem yang tumbang, di bawah banir dan juga di antara semak. Ular M.
ikaheka juga ditemukan menghuni areal perkebunan kakao, sawit dan kebun
campuran.
Terdapat tiga kelompok variasi warna sisik pada ular M. ikaheka yaitu hitam
keabuan, kuning atau krem dan coklat kekuningan. Kelompok ular M. ikaheka
dengan warna yang bervariasi menempati beberapa tempat yang terpisah dan
menunjukkan adanya daerah penyebaran yang spesifik. Proses evolusi sedang
berlangsung dan diduga bahwa variasi warna yang ada muncul dari satu populasi
menjadi populasi lainnya mulai dari arah timur ke barat New Guinea. Pengamatan
ada tidaknya hemipenis yang dilakukan pada semua spesimen dewasa M. ikaheka
menunjukkan bahwa setiap kelompok warna memiliki kedua jenis kelamin jantan
dan betina sehingga variasi warna tidak menunjukkan adanya dimorfisme seksual.
Individu M. ikaheka dengan kode spesimen 7802, OB, 351, 6326 dan 209
memiliki jumlah sisik ventral jauh lebih sedikit dari jumlah minimal yang
disebutkan oleh peneliti sebelumnya.
Saran
Perlu adanya penelitian lanjutan pada hewan lainnya guna membuktikan
faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi munculnya variasi warna. Selain itu,
35
disarankan pula penelitian lanjutan untuk menganalisa variasi genetik pada ular
M. ikaheka.
DAFTAR PUSTAKA Abouheif E, Fairbairn DJ. (1997). A comparative analysis of allometry for sexual
zise dimorphism: assessing rensch’ rule. The American Naturalist 149: 540-562.
Allison A. 2007. Herpetofauna of Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM,
editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm. 564-616.
Barker DG, Barker TT. 1994. Phytons of the World. Volume ke-1, Australia.
California: Advanced Vivarium Systems, Inc. Beehler BM. 2007. Papuan Terrestrial Biogeography, with Special Reference to
Birds. Di dalam: Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm. 196-206.
Farid M, Tjaturadi B. 2005. Peneliti muda mengungkap kekayaan hayati
[editorial]. Jurnal Tropika Indonesia 9 : 42-45. Hikman CP, Roberts LS, Larson A. 2001. Integrated Principles of Zoology.
Volume ke-11. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc. Hildebrand M. 1974. Analysis of Vertebrate Structure. Canada: John Wiley &
Sons, Inc. Heatwole HF, Taylor J. 1987. Ecology of Reptiles. Australia: Surrey & Sons. Pty
Limeted. Johns RJ. 1997. Background Papers for the Study of the Flora and Vegetation of
the N.E. Kepala Burung Irian Jaya, Indonesia. Kew: Royal Botanic Gardens.
Klemer, K. 1963. Liste der rezenten Giftschlangen. In. Die Giftschlangen der
Erde. Marburg an der Lahn.N.G.Elwert Univ. und Verlag Buch. Krey K. 2003. Laporan Penelitian Inventarisasi Herpetofauna (Reptil dan Amfibi)
di Pulau Waigeo Kabupaten Kepulauan Raja Ampat Papua. Universitas Negeri Papua. Manokwari.
Loveridge A. 1948. New Guinean Reptiles and Amphibians in the Museum of
Comparative Zoology and United State National Museum. Bull. Mus. Comp. Zool Harvard 101: 307-430.
Monk AK, De Fretes Y, Lilley GR. (2000). Seri Ekologi Indonesia, Buku V.
Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta: Prenhalindo.
37
Mattison C. 2005. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians, an Essential Guide to Reptiles and Amphibians of the World. Singapore: Grange Books Plc.
Muller K. 2005. Keragaman Hayati Tanah Papua. Tim, penerjemah; Wanggai F,
Sumule A, editor. Manokwari: Universitas Negeri Papua. Terjemahan dari : The biodiversity of New Guinea.
O’Shea M. 1996. A Guide to the Snakes of Papua New Guinea. Singapure:
Beaumont Publishing Pte Ltd, 9 Joo Koon Circle. O’Shea M, Halliday T. 2001. Reptiles and Amphibians. London: Dorling
Kindersley Limited. Polhemus DA. 2007. Tectonic Geology of Papua. Di dalam: Marshall AJ, Beehler
BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm 137-164.
Polhemus DA, Allen GR. 2007. Freshwater Biogeography of Papua. Di dalam:
Marshall AJ, Beehler BM, editor. The Ecology of Papua (Part 1). Singapore: Periplus editions. hlm. 207-245.
Primack RB, Supriatna J, Indrawan M, Kramadibrata P. 1998. Biologi Konservasi.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Rooij ND. 1917. The Reptiles of the Indo-Australian Archipelago. Volume ke-2,
Ophidia. Leiden: E. J. Brill Ltd. Sutarno S. 2005. Laporan Penelitian Pemanfaatan Hewan sebagai Obat
Tradisional dalam kehidupan Suku Hattam di Kampung Mokwam Manokwari. Manokwari: Universitas Negeri Papua.
Shine R. 1981. Venomous snakes in cold climates: ecology of the Australian
genus Drysdalia (serpentes : Elapidae). American Society of Ichthyologists and Herpetologists 14-25.
How RA, Schmitt LH, Suyanto A. 1996. Geographical variation in the
morphology of four snake species from the Lesser Sunda Islands, eastern Indonesia. Biological Journal of the Linnean Society 59:439-456.
Schenk G. 1995. The Book of Poisons. New York: Rinehort & Company, Inc. Sutherland JW. 2000. The Conservation Handbook Research, Management and
Policy. USA: Blackwell Science Ltd. Taylor B, O’Shea M. 2004. The Great Big Book of Snakes & Reptiles. London:
Anness Publishing Ltd Hermes House, 88-89 Blackfriars Road.
38
Venables WN, Ripley BD. 1999. Modern Applied Statistics with S-Plus. Volume ke-3. New York: Springer-Verlag New York, Inc.
Vevers G. 1982. The Colours of Animals. Studies in Biology no. 146. London:
Edward Arnold (Publishers) Limited. Whitten T, Soeriaatmadja RE, Afiff SA. 1999. Ekologi Jawa dan Bali. Jakarta:
Prenhallindo. Whiters PC, O’Shea JE. 1993. Morphology and physiology of the squamata. Di
dalam : Glasby CG, Ross GJB, Beesley PL, editor. Fauna of Australia Series. Australian Government Publishing Service. hlm 1-53.
Williams D. 2006. Species Profile: New Guinean small-eyed snake (Micropechis
ikaheka). Australian Venom Research Unit PNG Snakebite Project. [terhubung berkala]. http://www.aussiereptilekeeper.com/Internet%20data/ Ikaheka. html. [9 Desember 2006]
LAMPIRAN
40
Lampiran 1 Karakterisik umum sisik ular (O’Shea 1996)
41
Lampiran 2 Bagian tubuh ular M. ikaheka yang diukur
(a) Ukuran panjang: UMK= ujung mulut kloaka; PE = panjang ekor
(b) Ukuran kepala : PK=panjang kepala; LK=lebar kepala; JMH=jarak mata mata; JMUM=jarak mata ujung mulut; JMH=jarak mata hidung
UMK PE
LK PK
JMM
JMUM
JMH
42
Lampiran 3 Pola dan jumlah sisik ular M. ikaheka
(a) Sisik kepala
(b) Sisik ekor
1 2 3 4 5 6
3
6
45
1 2
Pre okular
Post okular
subcauda
keping anal
sisik ventral
43
Lampiran 4 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua berdasarkan data Rooij (1917)
Mimika
Kep. Aru
S. Lorentz
Fak Fak
P. Batanta Sorong Manokwari P. Numfor
P. Yapen
Kep. Tanimbar
Kep. Kei
Seram
P. Misol
P. Biak
P. Waigeo
Asmat
44
Lampiran 5 Penyebaran ular M. ikaheka di Papua New Guinea (O’Shea 1996)
Karkar Is
45
Lampiran 6 Spesimen ular M. ikaheka asal Papua New Guinea (O’Shea1996;
Williams 2006)
a. Spesimen dari Pulau Karkar Provinsi Madang, bagian Utara PNG
b. Spesimen dari Popondetta, Provinsi Oro, bagian Selatan PNG.
46
Lampiran 7 Spesimen ular M. ikaheka (kelompok coklat) asal Papua
a. Spesimen dari Warironi (Pulau Yapen) b. Spesimen dari Noau (Waropen)
c. Spesimen dari Lembah Baliem d. Spesimen dari Mindiptana (Ingembit)
47
Lampiran 8 Data ukuran tubuh ular M. ikaheka berdasarkan jenis kelamin (sex), lokasi dan kelompok warna
Lokasi Pengamatan Kelompok Warna Sex
Ukuran Tubuh UMK PE PTT PK LK DTB DPE JMH JMM JMUM
Pulau Salawati Sungai Webya Kuning E 119 16,4 135,4 4,6 2,89 3,19 1,6 0,73 1,76 1,32 S. Webya Kuning C 74,5 11,7 86,2 3,63 2,08 2,14 1,01 0,54 1,2 0,9 S. Webya Kuning C 83,5 12,1 95,6 3,11 1,96 * * * * * S. Webya Kuning E 87,9 13,1 101 3,4 2,19 * * * * *
Pulau Waigeo Waifoi Hitam E 106 15 121 4,09 2,62 2,82 1,12 0,69 1,42 1,2 Waifoi Kuning Juv. 26,6 4 30,6 * * * * * * * S. Mamdifu Kuning Juv. 32,7 6,3 39 1,6 0,9 * * * * * S. Bayon Kuning Juv. 31,8 4,9 36,7 1,38 0,85 * * * * *
Pulau Batanta S. Yakut Kuning Juv. 29,2 5,7 34,9 * * * * * * * S. Yakut Hitam E 115 14,8 129,8 4,27 2,63 2,71 1,42 0,66 1,5 1,16 S. Yakut Hitam E 101,6 13,4 115 3,32 1,82 * * * * *
Pulau Yapen Warironi Coklat Juv. 27,1 3,8 30,9 * * * * * * * Manokwari Andai Kuning C 69 12,5 81,5 3,32 1,69 1,86 0,94 0,46 0,91 0,7
Prafi Kuning C 78,7 13,2 91,9 3,53 1,78 1,61 1,02 0,5 1,01 0,74 Nuni Kuning C 101 15,5 116,5 3,91 2,29 2,63 1,13 0,57 1,24 1,01 Gunugn meja Kuning C 75 13 88 3,35 1,95 2,13 1,09 0,45 1,05 0,79 Gunung meja Kuning C 74 13,5 87,5 2,85 1,89 2,55 1,16 0,48 0,93 0,84 Gunung meja Kuning C 131 20,2 151,2 5,27 3,45 4,19 1,65 0,73 1,83 1,47 Oransbari Kuning C 75 13,3 88,3 3,1 1,82 1,75 0,82 0,6 1,2 0,87 Manokwari Kuning Juv. 53,8 8,2 62 1,95 0,95 1,02 0,56 0,3 0,66 0,59 Saukorem Kuning Juv. 46 7 53 * * * * * * * Saukorem Kuning Juv. 47 8 55 * * * * * * *
48 Tanah Merah LNG site Transisi E 113,6 17,6 131,2 4,3 2,95 2,83 1,29 0,66 1,49 1,08 * Irian (Papua) Kuning * 102,5 12 114,5 3,45 1,75 1,74 1,19 0,49 1,21 0,93 * Irian (Papua) Kuning * 92,2 11,5 103,7 3,13 1,84 2,1 0,94 0,59 1,28 1,01 Sorong Jamursbamedi Kuning C 112 16,7 128,7 5,15 2,88 3,85 1,47 0,87 1,84 1,47 Mamberamo Marina Valen Coklat C 138 15,7 153,7 5,52 3,4 * * * * * Bouvendigul Ingembit Coklat Juv. 21,3 4,2 25,5 * * * * * * * Waropen atas Noau Coklat C 136 15,5 151,5 4,7 3,08 2,4 1,38 0,71 1,55 1,26 Jaya Wijaya Kelila Coklat E 122,2 12,8 135 4,13 2,61 3,29 1,35 0,76 1,67 1,41 Lembah Baliem Coklat C 65 10,3 75,3 2,61 1,54 1,87 0,83 0,5 0,96 0,75 Keterangan : * : Tidak diketahui Juv. : Juvenil UMK : panjang ujung mulut hingga kloaka DTM : diameter tengah badan PE : panjang ekor DPE : diameter pangkal ekor PTT : panjang total tubuh JMH : jarak mata hidung PK : panjang kepala JMM : jarak mata ke mata; LK : lebar kepala JMUM : jarak mata ujung mu lut.