Top Banner
Program Magister BIOMEDIK FKUB 2010 Page [TUGAS BIOKIMIA : MINIREVIEW] Cystic Fibrosis CYSTIC FIBROSIS Dewi Mustika 106070100111006 Abstrak Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen autosom resesif yang mengkode protein cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) terletak pada kromosom 7. Pada kondisi normal protein CFTR berperan sebagai kanal klorida dan memastikan terdapat pergerakan elektrolit dan air yang cukup melewati membran. Mutasi menyebabkan abnormalitas dari transport ion klorida melewati sel epitel, dengan gangguan transport sodium dan air, berakibat pada sekret yang kental (viscous) dan kadar air yang rendah. Sekret yang tebal menghambat fungsi normal dari berbagai organ, meskipun komplikasi paru merupakan penyebab tersering kematian. Setidaknya mutasi pada lebih dari 1300 gen telah diidentifikasi. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi dari asimtomatik, mild hingga severe yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari. Cystic fibrosis memiliki variasi genotip maupun fenotip yang luas. Berbagai penelitian berusaha untuk memastikan korelasi antara genotif dengan fenotif pada cystic fibrosis sehingga tidak hanya dapat memperjelas pathogenesis, tapi juga kemungkinan strategi terapi yang lebih baik. Terdapat 5 kategori mutasi berdasarkan efeknya terhadap protein CFTR, yaitu mutasi Class I yang mengakibatkan defek produksi protein, class II (termasuk ΔF508) untuk defek pada maturasi dan processing protein, class III untuk defek regulasi kanal, class IV untuk perubahan konduktansi kanal dan class V untuk defek sintesis protein. Keuntungan dari klasifikasi ini selain untuk memprediksi fenotip juga untuk tujuan medikasi berdasarkan mutasi yang teridentifikasi. Lebih memungkinkan secara klinis untuk memberikan terapi berdasarkan kelas mutasinya daripada mutasi individu. Pendahuluan Data terbaru menunjukkan adanya variasi insiden penyakit cystic fibrosis antar berbagai kondisi geografis dan kultur. Contohnya, di daerah brazil rata-rata prevalensi sebesar 1:9600 kelahiran, tapi di daerah Finlandia hanya 1:25000 kelahiran. Di negara Perancis, prevalensi nasional sebesar 1:4600 dan meningkat 1:2630 pada populasi Brittany (Perancis bagian barat laut).sementara itu, penyakit ini sangat jarang di wilayah Asean dan Indian (Becq, 2010). Cystic fibrosis (CF) merupakan penyakit genetik yang lethal pada populasi kulit putih. Pada tahun 1950-an, bayi baru lahir dengan cystic fibrosis jarang dapat bertahan hingga usia 1 tahun (Gardner, 2007). Namun, dalam 10-20 tahun terakhir perkembangan pengetahuan terkait
29

Cystic Fibrosis Dewi Mustika

Jul 02, 2015

Download

Documents

Dewi Mustika
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

CYSTIC FIBROSIS

Dewi Mustika 106070100111006

AbstrakCystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen autosom resesif yang mengkode protein cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) terletak pada kromosom 7. Pada kondisi normal protein CFTR berperan sebagai kanal klorida dan memastikan terdapat pergerakan elektrolit dan air yang cukup melewati membran. Mutasi menyebabkan abnormalitas dari transport ion klorida melewati sel epitel, dengan gangguan transport sodium dan air, berakibat pada sekret yang kental (viscous) dan kadar air yang rendah. Sekret yang tebal menghambat fungsi normal dari berbagai organ, meskipun komplikasi paru merupakan penyebab tersering kematian. Setidaknya mutasi pada lebih dari 1300 gen telah diidentifikasi. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi dari asimtomatik, mild hingga severe yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari. Cystic fibrosis memiliki variasi genotip maupun fenotip yang luas. Berbagai penelitian berusaha untuk memastikan korelasi antara genotif dengan fenotif pada cystic fibrosis sehingga tidak hanya dapat memperjelas pathogenesis, tapi juga kemungkinan strategi terapi yang lebih baik. Terdapat 5 kategori mutasi berdasarkan efeknya terhadap protein CFTR, yaitu mutasi Class I yang mengakibatkan defek produksi protein, class II (termasuk ΔF508) untuk defek pada maturasi dan processing protein, class III untuk defek regulasi kanal, class IV untuk perubahan konduktansi kanal dan class V untuk defek sintesis protein. Keuntungan dari klasifikasi ini selain untuk memprediksi fenotip juga untuk tujuan medikasi berdasarkan mutasi yang teridentifikasi. Lebih memungkinkan secara klinis untuk memberikan terapi berdasarkan kelas mutasinya daripada mutasi individu.

Pendahuluan

Data terbaru menunjukkan adanya variasi insiden penyakit cystic fibrosis antar berbagai kondisi geografis dan kultur. Contohnya, di daerah brazil rata-rata prevalensi sebesar 1:9600 kelahiran, tapi di daerah Finlandia hanya 1:25000 kelahiran. Di negara Perancis, prevalensi nasional sebesar 1:4600 dan meningkat 1:2630 pada populasi Brittany (Perancis bagian barat laut).sementara itu, penyakit ini sangat jarang di wilayah Asean dan Indian (Becq, 2010). Cystic fibrosis (CF) merupakan penyakit genetik yang lethal pada populasi kulit putih. Pada tahun 1950-an, bayi baru lahir dengan cystic fibrosis jarang dapat bertahan hingga usia 1 tahun (Gardner, 2007). Namun, dalam 10-20 tahun terakhir perkembangan pengetahuan terkait penyakit ini meningkatkan angka harapan hidup pasien dari 31 tahun hingga 37 tahun dan bayi baru lahir dengan cystic fibrosis saat ini diprediksi dapat hidup hingga 50 tahun atau bahkan lebih (Freedman & O’Sulivan, 2009). Karena perbaikan dalam pelayanan klinis, 40% dari sekitar 30 ribu pasien CF di US berusia di atas 18 tahun (Gardner, 2007).

Cystic fibrosis disebabkan oleh mutasi pada gen autosom resesif yang mengkode protein cystic fibrosis transmembrane conductance regulator

(CFTR) terletak pada kromosom 7. Pada kondisi normal protein CFTR berperan sebagai kanal klorida dan memastikan terdapat pergerakan elektrolit dan air yang cukup melewati membran (Wiehe & Arndt, 2010). Sekret dari kelenjar eksokrin pada tubuh (keringat, air mata, saliva, digestive juice, dan mukus) normalnya bersifat tipis dan licin. Mutasi menyebabkan abnormalitas dari transport ion klorida melewati sel epitel, dengan gangguan transport sodium dan air, berakibat pada sekret yang kental (viscous) dan kadar air yang rendah. Sekret yang tebal menghambat fungsi normal dari berbagai organ. Meskipun komplikasi paru merupakan penyebab tersering kematian, banyak sistem organ yang juga dipengaruhi. Setidaknya mutasi pada lebih dari 1000 gen telah diidentifikasi. Tingkat keparahan penyakit ini bervariasi dari asimtomatik, mild hingga severe yang berpengaruh pada aktivitas sehari-hari (Wiehe & Arndt, 2010).

Meskipun fungsi CFTR terutama terkait dengan kanal klorida, CFTR juga berperan pada banyak regulasi lainnya , termasuk inhibisi transport sodium melalui kanal sodium epitel, regulasi kanal ATP, regulasi transport vesikel intraseluler, acidifikasi organel intraseluler, dan menghambat aktivasi kalsium endogen oleh kanal klorida. Selain itu CFTR juga terlibat dalam pertukaran bikarbonat-klorida.

Page 2: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Defisiensi dalam sekresi bikarbonat menyebabkan solubilitas mucin yang rendah dan berakibat pada agregasi mucin pada lumen (Freedman & O’Sulivan, 2009).

Terdapat 5 kategori mutasi berdasarkan efeknya terhadap protein CFTR, yaitu mutasi Class I yang mengakibatkan defek produksi protein, class II (termasuk ΔF508) untuk defek pada maturasi dan processing protein, class III untuk defek regulasi kanal, class IV untuk perubahan konduktansi kanal dan class V untuk perubahan stabilitas protein (Davies et al, 2005). Keuntungan dari klasifikasi ini selain untuk memprediksi fenotip, walaupun masih cukup sulit karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi, juga untuk tujuan medikasi berdasarkan mutasi yang teridentifikasi. Lebih memungkinkan secara klinis untuk memberikan terapi berdasarkan kelas mutasinya daripada mutasi individu (Becq, 2010).

Sejak ditemukannya mutasi gen CFTR pada tahun 1989, berbagai upaya dilakukan untuk menghubungkan antara keadaan klinis pasien CF yang memiliki 2 mutasi CFTR dengan faktor lingkungan, mutasi spesifik di dalam CFTR dan variasi pada modifier gene. Selain susceptibility genes, gen dengan varian fungsional yang menjadi sebab penyakit yang teridentifikasi melalui simple mendelian, terdapat modifier genes yang merupakan varian genetic yang mempegaruhi manifestasi klinik dari penyakit (Haston & Hudson, 2005). Selain itu, faktor lain diluar mutasi pada gen CFTR juga dapat menghasilkan fenotif yang secara klinik sama seperti cystic fibrosis nonklasik yang disebabkan oleh disfungsi CFTR (Groman et al, 2002). Sehingga dapat dikatakan bahwa cystic fibrosis memiliki variasi genotip maupun fenotip yang luas. Berbagai penelitian berusaha untuk memastikan korelasi antara genotif dengan fenotif pada cystic fibrosis sehingga tidak hanya dapat memperjelas pathogenesis, tapi juga kemungkinan strategi terapi yang lebih baik.

Selama 20 tahun terakhir, setelah berhasil dilakukan cloning gen CF, berkembang berbagai strategi terapi terhadap CF. Meskipun demikian, penderita CF sampai sekarang masih menunggu terapi kuratif dengan target terapi adalah gen atau protein CFTR, dimana sejauh ini obat-obatan yang diresepkan masih bertujuan untuk menekan manifestasi sekunder (Becq, 2010). Sejumlah obat-obatan yang potensial untuk pengobatan cystic fibrosis (CF) saat ini sedang dalam uji klinis (Jones & Helm, 2009). Tujuan terapi

yang berkembang ke arah perbaikan fungsi CFTR mutant yang dikenal sebagai ‘protein repair therapy’ diprediksi akan semakin meningkatkan kualitas hidup serta harapan hidup penderita CF (Becq, 2010).

Sejumlah antibakteri diformulasikan untuk digunakan perinhalasi berada pada berbagai tahap penelitian. Uji klinis agen anti-inflamasi, termasuk glutathione,-5 phosphodiesterase inhibitor juga sedang berlangsung (Jones & Helm, 2009). Agen modulasi kanal ion, seperti lancovutide (Moli1901, duramycin) dan denufosol, yang mengaktifkan kanal klorida alternatif (non-CF transmembran regulator [CFTR]), dan GS 9411, suatu antagonis saluran natrium, saat ini pada tahap studi klinis dan jika berhasil, akan menjadi agen terapeutik baru untuk pengobatan CF (Jones & Helm, 2009). Memulihkan gen CFTR yang defek merupakan salah satu tujuan utama bagi para ilmuwan medis untuk mengobati penyakit CF dengan memulihkan transport ion klorida dan homeostasis respirasi. Namun, hal ini tidak lepas dari kendala-kendala terkait dengan transfer gen termasuk barier-barier molecular (misalnya mucins, protein surfaktan), immunobiological (misalnya makrofag alveolar, antigen-presenting sel, sel dendritik, limfosit T), fisiologis (misalnya clearance mukosiliar; glycocalyx), serta barier intraselular (misalnya plasma membran, membran endosomal, amplop nuklear, endositosis, fagositosis) (Atkinson, 2008).

Gen dan Protein CFTR

Gen CFTR (gambar 1) berdasarkan lokasi kromosomnya (kloning posisional) terletak di lengan panjang kromosom 7 di q31 (7q31). Lokus CF diapit oleh dua lokus marker, MET dan D7S8 (Passarge, 2001). Gen CF sekitar 230 kb dan terdiri dari 27 ekson, dalam ukuran mulai 38-724 bp. Polipeptida yang dikodekan terbuat dari residu 1480 asam amino, yang terdiri dari sejumlah domain struktural dan fungsional, dan dua sisi glikosilasi (Zielenski & Sui. 1995).

Protein CFTR (gambar 1) merupakan cyclic adenosine monophosphat (cAMP)-regulated chloride (Cl-) channel yang memiliki berat molekul 180 kDa saat terglikolisasi penuh. Membran glikoprotein memiliki 2 membran spaining domain, masing-masing dibentuk oleh enam segmen transmembran yang membentuk kanal, 2 nucleotide binding domain intracellular (NDB1 dan 2), yang mana masing-masing memiliki kemampuan untuk melakukan binding dengan adenosine trifosfat (ATP), dan

Page 3: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

sebuah central intracellular regulatory-domain dengan phosphorylation site. Gating dari fungsi kanal Cl terjadi akibat interaksi ATP dengan kedua NBD, dimana terjadi sedikit hidrolisis pada NBD1 serta ikatan ATP dan hidrolisis pada NBD2 yang merupakan kunci dari normal gating (MacDonald et al, 2007).

CFTR memiliki fungsi multiple dan kompleks pada paru, sinus, kelenjar keringat, dan epitel pada organ reproduksi, intestinal, hepar, dan renal. Ketika terjadi gangguan fungsi CFTR, akan terjadi patologi organ-spesifik pada kesemuanya kacuali pada ginjal (MacDonald et al, 2007). Pada kondisi normal protein CFTR berperan sebagai kanal klorida dan

memastikan terdapat pergerakan elektrolit dan air yang cukup melewati membran (Wiehe & Arndt, 2010). CFTR juga berperan pada banyak regulasi lainnya , termasuk inhibisi transport sodium melalui kanal sodium epitel, regulasi kanal ATP, regulasi transport vesikel intraseluler, acidifikasi organel intraseluler, dan menghambat aktivasi kalsium endogen oleh kanal klorida. Selain itu CFTR juga terlibat dalam pertukaran bikarbonat-klorida. Telah terbukti bahwa terdapat korelasi antara sufisiensi pankreas dan konduktansi mediated bikarbonat CFTR. Defisiensi dalam sekresi bikarbonat menyebabkan solubilitas mucin yang rendah dan berakibat pada agregasi mucin pada lumen (Freedman & O’Sulivan, 2009).

Gambar 1 Gambaran Skematis dari Gen dan Protein CFTR (Passarge, 2001). Gen CF sekitar 230 kb dan terdiri dari 27 ekson mengkode ekspresi protein CFTR yang merupakan multi-domain transmembran glycoprotein yang terdiri dari dua struktrur yang mirip yaitu transmembran domain dan nucleotide-binding domain (NBD1 dan 2). Konduktansi klorida tergantung pada fosforilasi regulatory (R) domain. Binding dan hidrolisis ATP pada kedua NBD memediasi channel gating (Passarge, 2001).

Berikut adalah fungsi dari CFRT pada saluran pernafasan (MacDonald et al, 2007) : a. CFTR terletak di membran apikal sel epitel, di

mana terjadi pengangkutan ion Cl- masuk dan keluar dari sel. CFTR diatur oleh protein kinase cAMP yang mengarahkan pada fosforilasi dan pembukaan kanal. Dalam sel-sel epitel normal (seperti yang melapisi paru-paru), arus keluar ion Cl- dari sel yang berlawanan dengan reabsorpsi natrium (Na) mengakibatkan keseimbangan air di dalam lumen untuk menjaga cairan periciliary

dan mucus rheologi optimal (MacDonald et al, 2007).

b. Fungsi kedua CFTR adalah mengarahkan aktivitas kanal ion lain dalam sel, khususnya yang berperan dalam absorbs Na dari permukaan membran luminal. Sel dengan defek CFTR menyebabkan penyerapan berlebihan Na melalui saluran natrium epitel. Hal ini mengakibatkan hyperviscositas dari lapisan lendir di dalam lumen saluran napas dan clearance mukosiliar terganggu (MacDonald et al, 2007).

Page 4: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

c. Fungsi ketiga CFTR adalah pengenalan bakteri yang menginvasi. Pada sel normal, lipopolisakarida Pseudomonas aeruginosa dikenali oleh CFTR kemudian mengalami endositosis oleh sel. Fungsi ini tampaknya menjadi kunci dalam mengkoordinasikan respon imun bawaan yang efektif terhadap infeksi P. aeruginosa, yang merupakan infeksi bakteri kronis paru-paru paling sering pada CF (MacDonald et al, 2007).

Mutasi pada Gen CFTR dan Klasifikasinya

Produksi normal protein CFTR (gambar 2) melibatkan transkripsi gen untuk menghasilkan messenger RNA (mRNA), translasi menghasilkan polipeptida, processing dan folding protein dalam retikulum endoplasma (ER), maturasi dan transport melalui aparatus golgi, transportasi ke membran apikal, dan akhirnya, recycling pada vesikula endocytic. Mutasi telah ditemukan di berbagai bagian proses sintesis protein dan mempengaruhi satu atau lebih fungsi biosintesis atau transportasi (MacDonald et al, 2007). Lebih dari 1300 mutasi CFTR telah diidentifikasi, tetapi hanya sejumlah kecil yang dikenali kepentingan fungsionalnya . Tidak adanya fenilalanin pada posisi 508 (Phe508del, juga dikenal sebagai F508del), yang merupakan mutasi kelas II, merupakan dua pertiga dari mutasi alel pada populasi Eropa dan Amerika Utara utara. Meskipun frekuensi mutasi CFTR bervariasi dari populasi penduduk di seluruh dunia jumlah mutasi tunggal lainnya tidak lebih dari sekitar 5% dari mutasi CFTR (O’Sullivan & Freedman, 2008). Mutasi CFTR tersering pada populasi kaukasian terkait dengan ekspresi fenotipnya dan kelasnya diperlihatkan pada tabel berikut :

Tabel 1 Mutasi CFTR tersering dan fenotipnya (Moskowitz et al, 2008).

Dihadapkan dengan banyaknya jumlah abnormalitas gen yang menyebabkan CF, pada tahun 1993 Welsh dan Smith menggagas klasifikasi mutasi CF dikategorikan menjadi beberapa kelas (tabel 2). Mutasi gen CFTR telah diklasifikasikan ke dalam lima kelas (gambar 2) yang luas berdasarkan gangguan dalam produksi dan fungsi protein CFTR (MacDonald et al, 2007). Secara umum, mutasi kelas I adalah tidak adanya mRNA CFTR dan tidak ada protein CFTR yang terbentuk, mutasi kelas II merupakan trafficking defect, mutasi kelas III terjadi defek regulasi , mutasi kelas IV terjadi defek kanal sedangkan mutasi kelas V defek pada sintesis (Proesmans et al, 2008). Mutasi kelas I merupakan mutasi yang menyebabkan stop kodon premature dan transkripsi mRNA yang inkomplit berakibat pada delesi yang luas sehingga hampir semua CFTR menjadi non fungsional (MacDonald et al, 2007 ; Proesman et al, 2008). Mutasi kelas I dapat disebabkan oleh mutasi nonsense, frame shift, dan splicing yang menyebabkan stop kodon, contohnya G542X, R553X, dan W1282X yang berakibat pada transkripsi yang tidak stabil dan kegagalan translasi CFTR. Protein yang dihasilkan akan terdegradasi secara cepat atau tidak dihasilkan (Becq,2010).

Mutasi kelas II berdampak pada gangguan folding protein dan chaperoning di endoplasmic reticulum sehingga CFTR abnormal dikenali oleh fungsi kontrol kualitas dari sel dan didegradasi (MacDonald et al, 2007 ; Proesman et al, 2008). Trafficking protein F508del-CFTR dari ER menuju plasma yang tidak efektif menyebabkan penurunan jumlahnya pada membran plasma akibat retrotranslokasi dari lumen ER ke sitoplasma menyebabkan protein terdegradasi melalui proteosomal pathway. (Becq, 2010). Oleh karena itu, protein yang fungsional pada

Page 5: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

membran plasma jumlahnya hanya sedikit (MacDonald et al, 2007). Termasuk dalam kelas II ini adalah mutasi CFTR F508del. Trafficking mutan F508del dari ER menuju apical membrane plasma sangat tidak efisien. Bagaimanapun perlu dicatat bahwa apabila ada yang dapat mencapai membrane plasma, kanal CFTR F508del ini tetap fungsional dan diregulasi oleh proses yang cAMP-dependent meskipun terjadi gating defect ((Becq,2010).

Mutasi kelas III menyebabkan panjang keseluruhan protein CFTR menempel pada membrane, tapi terdapat defek pada regulasinya sehingga CFTR tidak berfungsi (Proesman et al, 2008). Dengan kata lain, protein CFTR mencapai apical membran tapi dengan regulasi yang salah (MacDonald et al, 2007). Error yang menyebabkan protein kinase tidak mampu berikatan pada domain regulatory atau ATP tidak

bisa berikatan pada NBD terjadi pada mutasi kelas III. Hal ini menghasilkan CFTR yang berhasil diproduksi dan mengalami maturasi serta berhasil ditransport ke apical membran mengalami penurunan kemampuan dalam menjalankan fungsinya dalam transport klorida (MacDonald, 2007). Bentuk mutasi CFTR kelas III yang paling sering adalah G551D, yang mana terjadi pada 2,2% alel mutant. G551D terletak pada NBD I dan berhubungan dengan fenotip CF yang severe (Rubenstein, 2006). Bentuk lainnya adalah G1349D. Tidak ada atau penurunan fungsi aktivasi klorida CFTR pada membrane plasma juga menyebabkan impermeabilitas Cl- epitel dan penyakit yang severe terjadi sebagaimana pada kelas I dan II (Becq,2010). Ketiga kelas ini merupakan penyebab dari fenotip CF klasik dengan insufisiensi pancreas, meskipun tingkat keparahan dari penyakit paru sangat bervariatif (Proesman et al, 2008).

Page 6: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Gambar 2 Produksi CFTR normal dan efek mutasi terhadap CFTR berdasakan kelasnya (MacDonald et al, 2007). Produksi normal CFTR melibatkan transkripsi gen untuk menghasilkan messenger RNA (mRNA), processing dan folding protein dalam retikulum endoplasma (ER), maturasi dan transport melalui aparatus golgi, transportasi ke membran apikal, dan akhirnya, recycling pada vesikula endocytic. Mutasi kelas I menghasilkan transkripsi mRNA yang inkomplit. Mutasi kelas II gagal dalam folding dan chaperoning di endoplasmic reticulum. Mutasi kelas III mencapai apical membran tapi dengan regulasi yang salah. Mutasi kelas IV juga mencapai membran tapi dengan perubahan geometri kanal. Mutasi kelas V mengalami penurunan kompleks CFTR pada membran (MacDonald et al, 2007).

Missense mutation yang menyebabkan gangguan konduktansi klorida dengan lokalisasi protein yang normal dikelompokkan dalam kelas IV dimana terjadi perubahan geometri kanal (Rubenstein, 2007). Contoh ari mutasi kelas IV adalah R117H, R334W, dan R234P yang menyebabkan konduktansi kanal menurun meskipun processing CFTR ke membrane apical dan regulasi cAMP dan cAMP-dependent protein kinase (PKA) tidak

terpengaruh (Becq,2010). Sedangkan mutasi kelas V melibatkan disregulasi transkripsi akibat splicing error yang menghasilkan jumlah CFTR mengalami penurunan (MacDonald et al, 2007 ; Proesman et al, 2008). Contoh dari mutasi kelas V adalah A455E dan P574H yang bertanggung jawab terhadap produksi protein yang fungsional dengan aktivitas dan regulasi kanal Cl yang normal, tapi terjadi penuruan jumlah sintesis. Kelas yang

Page 7: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

keenam muncul untuk pengklasifikasian penurunan jumlah ekspresi protein CFTR yang mengalami mutasi akibat pemindahan yang cepat dari membrane apical (accelerated turn over) akibat C-

terminal truncation (Becq, 2010). . Ketiga kelas terakhir ini dihubungkan dengan fenotip yang lebih ringan dan sufisiensi pancreas (MacDonald et al, 2007 ; Proesman et al, 2008).

Tabel 2 Klasifikasi fungsional mutasi cystic fibrosis transmembrane conductance regulator (CFTR) (Rubenstein, 2006)

Patofisiologi Cystic Fibrosis

Terdapat beberapa hipotesis tentang bagaimana disfungsi CFTR menyebabkan penyakit yang dikenal fenotipik sebagai cystic fibrosis. Empat hipotesis ini memiliki kemungkinan berkontribusi bersama terhadap patogenesis penyakit. Hipotesis low-volume menyebutkan bahwa hilangnya penghambatan saluran sodium epitel, karena disfungsi CFTR, menyebabkan reabsorpsi sodium dan air yang selanjutnya berakibat pada dehidrasi permukaan jalan napas. Hilangnya efflux klorida menghalangi epitel untuk mengoreksi permukaan jalan nafas yang rendah air. Penurunan volume air periciliary menyebabkan pengurangan lapisan pelumas antara epitel dan mucus. Akibat kompresi silia oleh lendir menyebabkan penghambatan clearance mukus menggunakan cilia normal dan batuk. Menurut hipotesis ini, mukus pada epitel membentuk plak dengan ceruk hipoksia yang dapat menjadi tempat berkembang bakteri, terutama Pseudomonas aeruginosa (O’Sullivan & Freedman, 2009).

Hipotesis high salt berpendapat bahwa dalam keadaan tidak adanya CFTR fungsional, kelebihan natrium dan klorida disimpan di liquid permukaan saluran napas. Peningkatan konsentrasi klorida pada lapisan periciliary mengganggu fungsi penting molekul antibiotik bawaan (misalnya, human β defensin 1), yang memungkinkan bakteri dibersihkan oleh saluran udara normal dari bertahan dalam paru-paru (O’Sullivan & Freedman, 2009).

Disregulasi dari respon inflamasi host digunakan sebagai dasar defek pada cystic fibrosis. Dukungan untuk hipotesis ini terletak pada kenyataan bahwa konsentrasi abnormal mediator inflamasi yang tinggi terlihat dalam kultur sel cystic fibrosis dan sample jaringan ex vivo yang tidak terinfeksi. Peningkatan molekul proinflamasi seperti interleukin 8, interleukin 6, tumor nekrosis faktor α, dan metabolit asam arakidonat telah ditemukan pada pasien dengan kista fibrosis. Stimulasi dari jalur nuklear Faktor-kB, hiperreaktivitas platelet, dan kelainan pada apoptosis neutrofil juga telah dilaporkan. Pada saat yang sama, konsentrasi zat native anti-inflammatory seperti interleukin 10, lipoxin, dan asam docosahexaenoic

Page 8: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

berkurang, menyebabkan ketidakseimbangan antara mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi yang berakibat pada berlanjutnya peradangan (O’Sullivan & Freedman, 2009).

Hipotesis lain menunjukkan bahwa kecenderungan utama infeksi adalah suatu mekanisme yang menyebabkan disfungsi CFTR kistik fibrosis. Pada host normal, P aeruginosa terikat pada CFTR fungsional dan suatu respon imun bawaan dimulai, yang mana bersifat cepat dan self limiting. Pada pasien dengan CF, peningkatan asialo-GM1 di membran sel apikal memungkinkan peningkatan pengikatan P aeruginosa dan Staphylococcus aureus untuk epitel saluran napas, tanpa inisiasi dari respons imun yang dimediasi oleh CFTR. Hasilnya adalah bahwa pada cystic fibrosis, respon cepat dalam membatasi diri dari P aeruginosa pada saluran udara hilang bersamaaan dengan terjadi peningkatan kemampuan bakteri menempel ke permukaan epitel (O’Sullivan & Freedman, 2009).

Mutasi pada CFTR 90% memunculkan fenotip pada pancreas. Penyakit pankreas diperkirakan sebagai dampak dari penurunan volume sekresi pankreas akibat rendahnya konsentrasi HCO3- (Ratjen & Doring, 2003). Defisiensi dalam sekresi bikarbonat menyebabkan solubilitas mucin yang rendah dan berakibat pada agregasi mucin pada lumen (Freedman & O’Sulivan, 2009). Tanpa cukup cairan dan HCO3-, proenzymes pencernaan disimpan pada saluran pankreas dan diaktifkan sebelum waktunya, pada akhirnya menyebabkan kerusakan jaringan dan fibrosis. Malabsorpsi yang dihasilkan memberikan kontribusi kepada kegagalan untuk memenuhi kebutuhan energi yang meningkat bersamaan dengan hypermetabolic terkait infeksi endobronchial (Ratjen & Doring, 2003).

Manifestasi Klinik

CF mempengaruhi epitel pada berbagai organ sehingga menghasilkan kompleks penyakit yang multisistem melibatkan pankreas, intestinal, traktus respiratorius, traktus genetalia laki-laki, sistem hepatobiliar, dan kelenjar eksokrin keringat. Ekspresi penyakit bervariasi berdasarkan tingkat keparahan mutasi, genetic modifier, dan faktor lingkungan. Mulai dari kematian anak usia dini sebagai akibat penyakit paru obstruktif progresif dengan bronkiektasis hingga insufisiensi pankreas dengan berangsur-angsur muncul penyakit paru obstruktif progresif selama masa remaja dan meningkatnya

frekuensi rawat inap untuk penyakit paru di masa dewasa awal, serta sinusitis berulang dan bronkitis atau infertilitas laki-laki dewasa muda (Moskowitz et al, 2008).

Sebagian besar individu dengan CF mengalami insufiensi pankreas. Individu dengan CF dan sufisiensi pankreas (<10%) memiliki gejala klinis yang lebih ringan dengan median kelangsungan hidup yang lebih besar yaitu, 56 tahun dibandingkan dengan insufisiensi pankreas. Kelangsungan hidup rata-rata keseluruhan adalah 36,5 tahun (95% CI, 33,7-40,0 tahun) (Cystic Fibrosis Foundation, 2006). Perbedaan gender pada CF menunjukkan rata-rata kelangsungan hidup lebih besar pada laki-laki dari pada wanita (Moskowitz et al, 2008).

Respiratory

Penyakit paru tetap menjadi penyebab utama morbiditas dan kematian pada CF (Cystic Fibrosis Foundation, 2006). Individu yang terkena mengalami inflamasi dan infeksi saluran napas bagian bawah endobronchial kronis. Kegagalan pertahanan paru-paru menyebabkan infeksi bakteri endobronchitis (paling sering Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa), obstruksi jalan napas dan radang neutrophilic intens. Manifestasi awal adalah batuk kronis, produksi dahak intermiten, dan dyspnea exertional. Sejalan berkembangnya endobronchitis kronis, terjadi cedera struktural saluran udara dan mengakibatkan bronkiektasis. Stadium akhir penyakit paru-paru ditandai dengan kerusakan yang luas saluran udara (kista / abses) dan fibrosis parenkim paru yang berdekatan dengan saluran udara (Moskowitz et al, 2008).

Gastrointestinal

Ileus Mekonium terjadi pada 15% -20% bayi yang baru lahir dengan diagnosis CF. Insufisiensi eksokrin pankreas terjadi pada sekitar 90% dari pasien dengan CF. Manifestasi klinis berupa steatorrhea dan pertumbuhan yang terhambat terkait dengan malabsorpsi lemak dan anemia hemolitik, kelainan koagulasi, atau ruam kulit berhubungan dengan kekurangan vitamin yang larut dalam lemak dan seng. Pankreatitis akut atau kronis berulang dapat menjadi manifestasi CF, dan hal ini lebih sering terjadi pada sufiensi pankreas (prevalensi 10%) dibandingkan dengan insufisiensi pankreas (prevalensi 0,5%) (Moskowitz et al, 2008).

Page 9: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Diabetes melitus terkait Cystic fibrosis (CFRDM) dapat muncul pada masa remaja. Hal ini didiagnosis pada 7% dari usia 11 sampai 17 tahun (Cystic Fibrosis Foundation, 2006). Penyebabnya merupakan kombinasi dari berkurangnya sekresi insulin ,sekunder terhadap fibrosis pankreas dan berkurangnya jumlah sel islet) serta resistensi insulin perifer (Moskowitz et al, 2008).

Penyakit Hepatobiliary, dengan peningkatan konsentrasi enzim hati serum pada anak usia sekolah, jarang berkembang menjadi sirosis bilier pada remaja dan orang dewasa. Seiring berkembangnya penyakit hati, hipertensi portal dan varices ikut terjadi (Moskowitz et al, 2008).

Fertilitas

Lebih dari 95% laki-laki dengan CF tidak subur sebagai akibat dari azoospermia disebabkan oleh perubahan vas deferens berupa tidak ada, atrofi, atau fibrosis. Tubuh dan ekor epididimis dan vesikula seminalis dapat melebar atau tidak ada. Wanita dengan CF tetap fertil, meskipun beberapa perempuan memiliki lendir serviks yang abnormal, yang dapat mengakibatkan infertilitas. Tingkat kelahiran hidup pada wanita dengan usia 13-45 tahun CF adalah 1,9 per 100 (Moskowitz et al, 2008).

Kehamilan

Laporan awal terkait kehamilan cukup mengecewakan. FVC (Forced Vital Capacity), yang merupakan prediktor outcome kehamilan bagi ibu dan/atau fetus menunjukan kurang dari 50% dari nilai prediksi dan status gizi buruk. FVC kurang dari 50% dari nilai prediksi adalah kontraindikasi mutlak untuk kehamilan. Namun, dengan semakin membaik pengobatan paru, manajemen agresif infeksi dengan berbagai antibiotik yang lebih besar, dan peningkatan gizi, kehamilan saat ini ditoleransi dengan baik, terutama pada wanita dengan CF ringan sampai moderat. Kepentingan prediktor outcome kehamilan untuk janin terkait dengan keparahan defek paru ibu dan status gizi, dimana selama kehamilan dapat menimbulkan kelahiran prematur (Moskowitz et al, 2008).

Korelasi Genotip - Fenotip

Hubungan terbaik antara genotip dan fenotip dilihat dalam konteks fungsi pankreas. Mutasi paling umum telah diklasifikasikan sebagai sufisiensi atau insufisiensi pankreas. Sebaliknya, korelasi genotip-

fenotip umumnya lemah untuk penyakit paru pada CF. Penyakit paru antara individu dengan genotip sangat bervariasi, terkait dengan genetic modifier dan faktor lingkungan. Walaupun demikian korelasi genotip-fenotip nampak pada bentuk mutasi pada masing-masing alel terkait dengan bentuk fenotip klasik atau non klasik. Bentuk klasik merupakan mutasi kelas I-III, sedangkan bentuk non klasik merupakan mutasi kelas IV-V. Berdasar tabel 3 dibawah dapat dilihat pola “milder” alel bersifat dominan dalam kondisi heterozigot dengan “classic” alel (Moskowitz et al, 2008).

Insufisiensi pankreas sangat erat kaitannya dengan mutasi kelas I-III, namun, variabilitas latar belakang genetik (yaitu, semua gen lain dalam genom) dan lingkungan membuat asosiasi genotip-fenotip menjadi lemah, khususnya yang berkaitan dengan penyakit paru-paru. Manifestasi cystic fibrosis bisa sangat berbeda antara pasien, bahkan saudara kandung, dengan genotip CFTR yang sama (O’Sullivan & Freedman, 2009). Tidak hanya CFTR itu sendiri yang mempengaruhi fenotip tetapi faktor lingkungan juga berperan. Hal ini mencakup keterlambatan dalam diagnosis, ketersediaan dan kepatuhan terhadap pengobatan, serta faktor 'lingkungan' yang lebih konvensional, seperti paparan tembakau (dalam rahim dan merokok aktif atau pasif) dan polusi udara. Faktor Stochastic (yang terjadi secara acak), seperti waktu akuisisi infeksi, memberi efek yang tidak diketahui, tapi mungkin signifikan. Contohnya adalah (Moskowitz et al, 2008):- Senyawa heterozigot dengan mutasi

ΔF508/A455E mempunyai fungsi paru yang lebih baik daripada individu yang homozigot untuk ΔF508.

- Tingkat keparahan penyakit paru-paru pada individu dengan mutasi satu atau dua R117H tergantung pada adanya variasi dalam poli T tract intron 8. Individu dengan mutasi CFTR plus varian 5T dalam konfigurasi cis dengan mutasi R117H biasanya menyebabkan perkembangan penyakit paru-paru CF, tetapi orang-orang dengan R117H dengan varian 7T atau varian 9T memiliki fenotip yang dapat berkisar dari tidak ada gejala hingga penyakit paru-paru ringan.

- Karena A455E dan R117H mutasi dikaitkan dengan sufisiensi pankreas, penyakit paru-paru kurang parah bisa menjadi konsekuensi dari status gizi yang lebih baik (Moskowitz et al, 2008).

Page 10: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Tabel 3 Korelasi Genotip-Fenotip (Moskowitz et al, 2008).

Fakta bahwa fenotip lebih mirip pada anak kembar monozigot dibandingkan kembar dizigotik atau saudara kandung memunculkan pendapat adanya pengaruh faktor genetik tambahan non-CFTR, disebut ' modifier genes ' (Davies et al, 2005). Polimorfisme dalam gen non-CFTR mungkin menjelaskan perbedaan ini. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa polimorfisme dalam gen TGF β1 dan mannose-binding- lektin 2 mengubah manifestasi pada paru-paru menjadi lebih parah (O’Sullivan & Freedman, 2009). Urutan DNA dari dua individu yang tidak berhubungan adalah sekitar 99,9% identik. 0,1% sisanya berisi variasi (polimorfisme), yang dapat mempengaruhi kemungkinan atau keparahan penyakit dan mempengaruhi respon terhadap obat. Polimorfisme mencakup substitusi nukleotida single-basa (juga dikenal sebagai polimorfisme nukleotida tunggal atau SNP), delesi atau insersi multi-base (juga disebut deletion insertion polimorfisme), dan repeat variation (juga disebut short tandem repeat) (Davies et al, 2005).

Berbeda dengan mutasi, yang terjadi pada frekuensi rendah (kurang dari 1%) pada populasi umum, polimorfisme adalah varian genetik umum yang terjadi lebih sering. Diperkirakan bahwa hingga 10 juta SNP yang ada dalam genom manusia. Dalam gen, jumlah SNP sangat bervariasi, dari satu atau dua sampai beberapa ratus. Kemungkinan bahwa semua SNP tidak sama penting sehingga analisis sering dibatasi pada: (a) ekson (daerah pengkode gen), khususnya jika mengarah ke sebuah substitusi asam amino, (b) peraturan daerah , yang dapat mempengaruhi pengikatan faktor transkripsi, (c)

batas ekson intron, yang dapat mempengaruhi splicing; (d) conserve region, karena hal ini biasanya mempunyai fungsi signifikan(Davies et al, 2005).

Selain gen modifier non-CFTR, lebih dari 200 polimorfisme telah diidentifikasi dalam CFTR. Hal ini tidak menyebabkan CF, tapi dapat mengubah produksi protein CFTR dan / atau fungsinya. Perubahan tersebut dapat secara klinis signifikan berpengaruh pada fenotip penyakit pada pasien. Sebagai contoh adalah polimorfisme intron 8 dalam gen CFTR. Jumlah residu timidin (T) pada lokus ini adalah 5, 7 atau 9. Pada individu dengan polimorfisme 5T, sekitar 10% dari populasi umum, dapat mengurangi jumlah CFTR fungsional karena penyambungan yang tidak efisien dari ekson . Menariknya, panjang pengulangan timidin / guanin (TG) yang berdekatan dengan 5T juga mempengaruhi splicing CFTR. Gen CFTR yang membawa dua mutasi pada kromosom yang sama , juga dapat mempengaruhi fenotipe. Walaupun jarang, ada contoh pasien dengan alel yang kompleks di mana mutasi kedua memodulasi pengaruh mutasi pertama dan dapat mengubah fenotipnya (Davies et al, 2005).

Terapi terhadap Basic Defect

Penelitian untuk menemukan modulator CFTR yang poten dimulai segera setelah kloning gen CFTR dilakukan. CFTR sendiri bukan merupakan satu-satunya target melainkan berbagai agen dikembangkan dengan sasaran terapi meliputi membran reseptor, protein fosfatase, kinase dan fosfodiesterase (PDEs) dan berbagai target yang terlibat dalam signaling sel terkait transport ion

Page 11: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

transepitelial. Contohnya adalah PDE inhibitor xanthine derivative isobutyl methylxanthine (IBMX) yang mampu menstimulasi aktivitas kanal Cl- baik pada CFTR normal maupun mutan (termasuk F508) pada berbagai model sel in vitro namun tidak pernah mencapai tahap pengembangan klinis (Becq, 2006). Selanjutnya pendekatan terapi melalui jalur cAMP yang berpotensi menstimulasi sekresi cairan dilakukan dengan transepithelial electric nasal potential difference (NDP), menggunakan agonist isoproterenol untk menstimulasi sekresi Cl-. Meskipun demikian isoproterenol menstimulasi sekresei Cl- pada epitel nasal subyek yang sehat tetapi tidak memberi efek yang signifikan terhadap penderita CF dengan mutasi F508del homozigot. Bermula dari agen-agen farmakologi yang tidak spesifik ini, berkembang perspektif terapi dengan tujuan mengidentifikasi agen terapi yang selektif dan poten (Becq, 2010).

Dihadapkan dengan banyaknya jumlah abnormalitas gen yang menyebabkan CF, pada tahun 1993 Welsh dan Smith menggagas klasifikasi mutasi CF dikategorikan menjadi beberapa kelas. Keuntungan dari klasifikasi ini selain untuk memprediksi fenotip, walaupun masih cukup sulit karena manifestasi klinis yang sangat bervariasi, juga untuk tujuan medikasi berdasarkan mutasi yang teridentifikasi. Lebih memungkinkan secara klinis untuk memberikan terapi berdasarkan kelas mutasinya (gambar 3) daripada mutasi individu. Sebagai contoh adalah berupa pengembangan agen farmakologi yang hanya sesuai dengan mutasi CFTR kelas II seperti F508del (homozygous atau heterozygous) namun tidak sesuai untuk mutasi CFTR kelas lainnya. Contoh lainnya, agen yang menstimlasi aktivitas kanal ion pada mutasi CFTR lebih sesuai untuk mutasi kelas II dan III, atau alternative untuk mutasi kelas II dengan kombinasi korektor trafficking yang abnormal (Becq, 2010).

Terapi Mutasi CFTR Kelas I (Amioglicoside dan Ataluren)

Promoting read melalui mutasi nonsense pada messenger RNA yang mengalami mutasi merupakan pendekatan terapi untuk pasien dengan mutasi CFTR kelas I (gambar 3). Prinsipnya adalah menemukan obat yang dapat mensupresi kodon terminasi prematur dengan cara membiarkan asam amino tetap terbentuk pada stop kodon, sehingga translasi tetap berlangsung hingga akhir transkrip yang normal (Becq, 2010). Antibiotik aminoglikosida tertentu, contohnya gentamicin, diketahui dapat berperan dalam proses ini dengan melakukan blocking proses ’proofreading’ dari tRNA pada ribosom.dengan cara melekat pada ribosomal RNA dan mengganggu matching kodon-antikodon menyebabkan misreading kode RNA dan insersi asam amino random pada daerah kodon yang mengalami mutasi sehingga translasi tetap berlangsung (MacDonald et al, 2007). Menariknya tobramycin dan aminoglycoside lainya yang telah digunakan secara luas kurang efektif jika dibandingkan dengan gentamicin (Rubenstein, 2006).

Pemaparan gentamisin jangka pendek pada epitel nasal pasien dengan stop mutation CFTR (homozigot dan heterozigot) dibandingkan dengan pasien homozigot F508del menunjukkan abnormalitas elektrofisiologi (transephitelial NPD) hanya pada pasien dengan stop mutation. Gangguan transport ion melalui epitel respirasi dapat diukur pada nasal epithelia berupa nasal potential difference, dimana sekresi atau absorbsi aktif ion seperti Cl-

menyebabkan perubahan voltase NPD. Pada penelitian ini, subyek yang digunakan adalah pasien CF dengan stop mutation homozigot W1282X dan heterozigot W1282X/F508del serta pasien homozigot F508del. Secara doble-blind pasien mendapatkan nasal drop yang berisi gentamicin atau placebo. NPD diukur sebelum dan setelah terapi. Hasilnya menunjukkan bahwa gentamicin menyebabkan penurunan yang signifikan NPD pada 19 pasien yang mengalami stop mutation. Selain itu, ditemukan terjadinya peningkatan yang signifikan pada pengecatan perifer dan surface untuk CFTR pada sel epitel nasal yang diambil dari pasien dengan stop mutation. (Wilchanski et al, 2003).

Agen non-antibiotik terkait dengan terapi pada mutasi CFTR kelas I adalah small molecule (<500Da), PTC124 (3-[5-(2-fluorophenyl)-1,2,4-oxadiazol-3-yl]benzoic acid) yang telah diidentifikasi dapat membiarkan ribosom terus membaca premature stop codon pada mRNA CFTR. Hal ini

nampak sebagaimana fungsi aminoglikosida gentamicin tanpa sifat toksisitasnya. Selain itu, agen ini memiliki bioavailabilitas yang baik secara peroral (MacDonald et al, 2007). PTC-124, yang memiliki nama lain ataluren, telah diuji klinis pada fase II dengan subyek penelitian pasien CF dengan mutasi

Page 12: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

CFTR kelas I (G542X, W1282X) melalui pemberian per oral dapat menurunkan elektrofisiologis epitel abnormal yang disebabkan oleh disfungsi kanal (Kluren dierem et al, 2008). Penelitian fase IIA dengan ataluren di perancis telah sampai pada mengevaluasi activity, safety, dan pharmacokinetic pada anak-anak dengan nonsense mutation

(WG542X, W1282X, R1162X). Ataluren ditoleransi dengan baik oleh 21 anak dengan hasil yang mengindikasikan keberhasilan dalam menginduksi fungsi protein CFTR yang berada di apical dengan perbaikan NPD dan immunofuorescence (Sermet-Gaudelus, 2008).

Gambar 3 Gambaran skematik jalur biosintesis produksi cystic fibrosis (CF) transmenbrane conductance regulator (CFTR) yang mengindikasikan kelas mutasi dan potensi target intervensi farmakologi (Becq, 2010). Secara detail akan dibahas pada makalah. Kelas mutasi CF ditunjukkan dengan lingkaran biru dengan nomer I sampai IV. Obat dituliskan berdasarkan target pada jalur biosintesis CFTR. ClCa = cansenselcium-dependent chloride channel; CNX=calnexin; ENaC = epithelial sodium channel; ER=endoplasmic reticulum; GI dan GII=glucosidases I and II ER; HSP=heat shock protein; IBMX=isobutyl methylxanthine; MPB= benzoquinolizinium; PDE=phosphodiesterase; PM=plasma membrane; SERCA= sarcoplasmic calcium adenosine triphospatase; Ub = ubiquitin (Becq, 2010).

Terapi Mutasi CFTR Kelas II

Mutasi CFTR F508del homozigot merupakan 70% penyebab defek kanal CFTR, dan setidaknya 90% pasien memiliki 1 alel F508del-CFTR. Trafficking protein F508del-CFTR dari ER menuju plasma yang

tidak efektif menyebabkan penurunan jumlahnya pada membran plasma (Becq, 2010). Hal ini karena

terjadinya misfolded atau incompletely folded pada protein tersebut, sehingga retrotranslokasi dari lumen ER ke sitoplasma menyebabkan protein terdegradasi melalui proteosomal pathway. Oleh karena itu, protein yang fungsional pada membran plasma jumlahnya hanya sedikit (MacDonald et al, 2007). Karena F508del-CFTR masih bisa berfungsi sebagai kanal Cl-, penelitian yang berkembang mengusahakan untuk memperbaiki kegagalan trafficking (gambar 2) sehingga dapat meningkatkan jumlah F508del-CFTR yang berada di membran sel (Becq, 2010).

Page 13: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Percobaan in vitro menunjukkan bahwa sangat mudah untuk memperbaiki masalah intracellular trafficking pada CFTR F508del dengan cara menurunkan suhu kultur sel epitel CF menjadi 27oC (Rubenstein, 2006). Pada penelitian, intracellular trafficking dari F508del-CFTR dapat diperbaiki dengan sejumlah agen farmakologi yang disebut dengan corrector (Becq, 2010). Corrector merupakan istilah untuk agen yang dapat mengkoreksi protein processing dan ekspresinya. Sedangkan agen yang dapat memberi pengaruh positif terhadap CFTR channel gating sering disebut dengan potentiator (MacDonald et al, 2007).

Corrector

Agen 4-phenylbutyrate merupakan contoh corrector yang mana dalam konsentrasi tinggi terbukti mampu memperbaiki intracellular trafficking pada sel epitel CF. Hal ini dapat terjadi melalui regulasi ekspresi molekull Chaperon seperti heat shock protein Hsc70 dan Hsp70 sehingga terjadi perbaikan transport klorida yang dimediasi cAMP pada permukaan sel. Penelitian lain menyebutkan bahwa pemberian thapsigargin dan curcumin (gambar 3) ke mencit F508del-CFTR dapat menormalkan transport Na+ dan Cl- setelah terjadinya perbaikan trafficking F508del-CFTR. Hal initerjadi melalui mekanisme inhibisi sarcoplasmic reticulum Ca2+-ATPase pupm (SERCA). Namun fase I clinical trial dari curcumin ini menunjukkan hasil yang mengecawakan karena tidak menampakkan adanya perbaikan pada fungsi CFTR. Konsentrasi yang tinggi dari PBA dan curcumin dibutuhkan untuk dapat memperbaiki trafficking F508del, sehingga pada kondidi in vivo dibutuhkan konsumsi dalam jumlah yang besar. Padahal 4PBA dalam jumlah yang besar dapat menimbulkan efek samping yang tidak diinginkan(Becq, 2010 ; MacDonald et al, 2007; Rubenstein, 2006).

Dulu, inhibitor enzim PDE merupakan sumber penting sebagai modulator CFTR. Saat ini, corrector diidentifikasi dari cyclic guanosine monophosphate-dependent PDE-5 ihibitor seperti sildenafil (termasuk derivatnya), vardenafil, dan zaprinast serta KM11060 (pada konsentrasi rendah). KM11060 memiliki efficacy nanomolar dalam mengembalikan fungsi trafficking pada sistem ekspresi, kultur epitel saluran nafas manusia, dan pada tikus. Pada study preklinik, sildenafil dan vardenavil terbukti mampu memperbaiki transport Cl- in vivo pada epitel jalan nafas tikus CFTR F508del/F508del. Inhibitor PDE-5 diinjeksikan intraperitoneal kemudian NPD 1-24 jam

diukur setelah pemberian sildenafil dan vardenafil. Namun tidak ditemukan efek terhadap konduktansi sodium. Selain itu inhibitor PDE-5 dilaporkan dapat memperbaiki kelainan glikosilasi protein, perlekatan bakteri dan respon inflamasi (Poschet et al, 2007).

Kandidat potensial yang sedang dalam tahap uji coba salah satunya adalah HTS yang menunjukkan kemampuan memperbaiki fungsi F508del-CFTR in vivo. Selain itu corrector VX-809 yang diformulasikan dalam bentuk per oral telah sampai pada clinical trial fase II degan 90 pasien F508del-CF. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untk mengetahui safety dan tolerability dosis multipel. Selain itu, uji coba ini akan mengevaluasi efek potensial dari VX-809 dalam memperbaiki fungsi CFTR. Corrector F508del lainnya adalah biamino-methylbithiazole derivative, yang merupakan komposisi heterocycle dari 2 molekul aminomethylthiazole dan berbagai modifikasi kimia yang memunculkan beberapa derivat, diantaranya adalah corr4a. Corr4a terbukti mampu mengkoreksi dengan potensi micromolar pada studi in vitro, meskipun kemampuan koreksi terhadap sekresi Cl-

pada sel epitel jalan nafas manusia CF kecil (sekitar 8%) jika dibandingkan dengan epitel non-CF (Becq, 2010).

Miglustat

Agen terapi terhadap mutasi CFTR kelas II yang telah diujicobakan hingga fase II lainnya adalah miglustat (N-butyldeoxynojirimycin) yang merupakan inhibitor glucosylceramide synthase dan α-1,2 glucosidas. Miglustat telah diindikasikan untuk terapi per oral pada pasien dewasa dengan penyakit Gaucher tipe 1 mild hingga moderate. Miglustat diidentifikasi bekerja dengan target terapi enzim dan molekul chaperone sehingga dapat memodulasi biogenesis intraseluler F508del-CFTR. Pemaparan miglustat konsentrasi rendah pada sel epitel nasal CF manusia setiap hari selama 2 bulan menghaslkan koreksi trafficking F508del-CFTR yang progresif, stabil, reversibel dan dapat dipertahankan. Mekanismenya melalui down-regulasi dari hyperabsorbsi Na+ dan regulasi homeostasis dari kalsium. Hal ini menjadi bukti awal bahwa sel respiratory CF dapat memiliki fenotif seperti non CF ketika dipapar oleh terapi farmakologi secara kronis (Norez, 2009).

Percobaan secara in vitro sebelumanya dikonfirmasi dengan uji coba secara in vivo pada mencit yang

Page 14: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

menunjukkan hasil bahwa pemberian dosis rendah intranasal dapat menormalkan konduktansi Na+ dan Cl-. Salain itu, efek inhibisi epithelial Na+ channel (EnaC) pada mencit CFTRF508del/F508del yang mendapat miglustat per oral selama 6 hari, tidak didapatkan efek yang serupa pada mencit CFTR normal. hal pentig lainnya adalah miglustat secara signifikan dapat menurunkan ekspresi IL-8 dan intercellular adhesion molecule (ICAM)-1 pada sel bronchial CF selam terjadinya infeksi Pseudomonas aeruginosa (Norez, 2009).

Dual-Activity Agent

Agen farmakologi small molecule yang memiliki dua aktivitas, yaitu corrector dan juga potentiator memiliki kemampuan memperbaiki trafficking yang abnormal dari F508del-CFTR sekaligus menstimulasi aktivitas kanal. Beberapa agen yang memiliki kemampuan ini contohnya aminoarylthiazole dan beberapa bahan kimia heterocycle dari famili benzoquinolizinium (MPB). Kanal F508del dengan respon yang dependen terhadap forskolin setelah diinkubasi lama dengan aminoarylthiazole menunjukkan adanya perbaikan. Efek yang serupa ditunjukkan oleh mutan G551D, G1349D, dan D1152H. Agen MPB merupakan aktivator wt-CFTR, mutan kelas II (F508del) dan kelas III (G551D). Inhibisi terhadap degradasi F508del-CFTR oleh derivat MPB memungkinkan terjadinya relokasi ke daerah apikal dari sel CF. Telah diketahui bahwa derivat MPB berinteraksi dengan F508del-CFTR melalui struktur yang spesifik untuk aktivasi kanal dan efek perbaikan trafficking (Mariving-maunir et al, 2004).

Maturation Stabilizer, Inhibitor Maturasi dan Inhibitor Proteosom

Pada sel epitel CF, half life dari F508-del-CFTR membran plasma mengalami perubahan. Hal ini menjadi salah satu sasaran terapi F598del-CFTR yaitu dengan cara meningkatkan residence time F508del-CFTR pada membrane plasma (setelah aksi dari corrector). Pertama, protein yang mengalami mutasi dapat distabilisasi pada membrane plasma dalam keadaan matur dan bentuknya yang fungsional. Contohnya, mekanisme potensial dari aksi corrector corr4a dalam memperbaiki trafficking yang abnormal melalui perbaikan folding protein pada ER dan stailitas protein pada permuakaan sel. Fraksi F508del-CFTR pada permukaan sel secara signifikan meningkat dengan pemberian corrector 2a, 3a, 4a,

dan 4b. Komponen corr2a merupakan stabilizer yang paling poten namun tidak mampu memperbaiki folding F508del-CFTR di ER. Disimpulkan bahwa peningkatan residence time F508del-CFTR yang berhasil diselamatkan dapat memberi kontribusi dalam memperbaiki permeabilitas Cl- pada epitel CF yang mengalami mutasi CFTR kelas II dan VI (gambar 3) (Pedemonte et al, 2005).

Kedua, penelitian yang berkembang juga memfokuskan pada inhibisi endocytosis. Sebuah penelitian mencari tahu tenteng kontribusi dynamin, sebuah GTPase yang berhubungan dangan pembentukan clanthrin-coated vesicle,dalam endositosis CFTR. Dynasore yang merupakan small molecule inhibitor dynamin menunjukkan kemampuan dalam menginhibisi proses internalisasi CFTR wild type maupun mutan secara reversible (gambar 3). F508del-CFTR-expressing cell yang diinkubasi dengan corr4a dan dynasore menghasilkan jumlah CFTR yang berada di permukaan sel secara signifikan lebih banyak jika dibandingkan pemberian corr4 saja (Young et al, 2009). Dari penelitian ini dapat diketahui bahwa melalui inhibisi endocytic internalization CFTR mutan dapat meningkatkan residence time CFTR mutan, sinergi dengan corrector biosynthesis CFTR.

Selain melalui stabilisasi maturasi dan inhibisi fagositosis, cara yang ketiga untuk meningkatkan residence time F508del-CFTR pada membrane plasma adalah dengan menurunkan jumlah degradasiprotein F508del-CFTR melalui modifikasi ubiquitin-proteosome pathway. Inhibitor proteosom yang pertama kali dievaluasi adalah lactacystin dan MG132 yang merupakan inhibitor proteosom klasik, namun tidak berrhasil karena keduanya tidak bisa mempromosikan F508del-CFTR ke permukaan sel (Heda et al, 2001). Dual-activity dari derivate MPB menginhibisi aktivitas proteosom sel hanya pada CFTR-expressig cell tapi tidak berpengaruh terhadap aktivitas purified 20S-proteosome, hal ini mengindikasikan bahwa agen ini tidak dapat dijadikan inhibitor proteosom. Menariknya, inhibisi proteosom menggunakan bortezomid (gambar 3) dapat menginduksi Hsp70 dan berakibat pada penyelamatan F508del-CFTR matur. Bortezomid telah diresepkan untuk meloma dan limfoma terkait dengan efek inhibitornya yang selektif terhadap proteosom 26S. Masih dibutuhkan uji klinis lebih lanjut pemakaian Bortezomid terhadap pasien CF (Vij et al, 2006).

Page 15: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

Agen lainnya seperti deoxyspergualin (gambar 3), sebuah inhibitor peptide binding ke Hsp70 dan Hsp90, menimbulkan perbaikan parsial fungsi CFTR pada sel yang mengekspresikan F508del-CFTR heterolog. Obat-obatan seperti geldanamycin dan herbimycin A menginhibisi penyusunan molekul dengan cara melakukan binding pada specific site di sitosol Hsp90 atau lumen ER Grp94. Hal ini telah terbuki pada penggunaan geldanamycin bersamaan degan corrector MPB dan miglustat mampu meningkatkan F508del-CFTR abnormal yang dapat dipertahankan pada sel CF epitel saluran pernafasan. Walaupun geldanamycin saja tidak dapat memberi perbaikan pada F508del. Beberapa penelitian ini menunjuakkan bahwa agen yang dapat mencegah interaksi antara Hsp90 dengan CFTR mempunyai kemungkinan memberikan perbaikan terhadapmutasi CFTR, walaupun Hsp90 normalnya juga berkontribusi pada CFTR folding (Norez et al, 2008).

Terapi Mutasi CFTR Kelas III

Kanal CFTR tergantung pada proses fosforilasi oleh protein kinase maupun defosforilasi oleh protein fosfatase untuk meregulasi aktivitas kanal. Eror yang menyebabkan protein kinase tidak mampu berikatan pada domain regulatory atau ATP tidak bisa berikatan pada NBD terjadi pada mutasi kelas III. Hal ini menghasilkan CFTR yang berhasil diproduksi dan mengalami maturasi serta berhasil ditransport ke apical membran mengalami penurunan kemampuan dalam menjalankan fungsinya dalam transport klorida (MacDonald, 2007). Bentuk mutasi CFTR kelas III yang paling sering adalah G551D, yang mana terjadi pada 2,2% alel mutant. G551D terletak pada NBD I dan berhubungan dengan fenotif CF yang severe (Rubenstein, 2006).

Pada kondisi ini, potentiator dibutuhkan untuk memperbaiki fungsi dari CFTR yang mengalami mutasi kelas III. Contohnya adalah 3-(2-benzyloxyphenyl)isoxazoles dan 3-(2-benzyloxyphenyl)isoxazolines yang merupakan activator kanal CFTR. Selain itu benzoquinolizinium juga diketahui dapat menjadi terapi yang potensial untuk mutasi CFTR kelas II (F508del) dan kelas III (G551D). Hal yang serupa juga ditunjukkan oleh trifluoromethylphenylbenzamine, yang terbukti mampu mengaktivasi mutan G551D dengan afinitas yang baik (Becq, 2010).

Potentiator CFTR pertama untuk pasien CF kelas III pada percobaan klinis adalah VX770. Agen ini

mampu meningkatkan konduktansi Cl- dan probabilitas pembukaan kanal G551D-CFTR in vitro. Penelitian VX770 fase IIA pada pasien G551D yang sedang berlangsung dilakukan untuk mengevaluasi safety, pharmacokinetic dan biomarker dari aktivitas CFTR. Sejauh ini menunjukkan hasil yang positif, dimana obat ini ditoleransi dengan baik pada 20 pasien dan respon yang signifikan dibandingkan dengan placebo yang ditunjukkan melalui NPD, penurunan klorida keringat, dan forced expiratory volume in 1 second (FEV1) melalui design penelitian doubleblind, randomized, two 14-day-period crossover study. Selain itu tidak ada laporan tentang efek samping yang spesifik (Accurso, 2008).

Flavonoid genistein merupakan salah satu bentuk activator yang poten, walaupun efeknya terhadap gating CFTR belum sepenuhnya dipahami. Telah diketahui bahwa hidrolisis ATP pada NBD1 diperlukan untuk membuka kanal CFTR sedangkan hidrolisis ATP pada NDB2 menyebabkan penutupannya. Genistein bekerja dengan cara berikatan pada NDB2, kemungkinan melalui proses bloking terhadap hidrolisis ATP pada NDB2 menyebabkan pembukaan kanal berlangsung lebih lama (Randak et al, 1999). Penelitian Illek et al dengan melakukan pengukuran NPD pada pasien CF dengan mutasi G551D setidaknya pada 1 alel yang distimulasi dengan genistein menunjukkan hiperpolarisasi sebagaimana pada individu sehat. Hal ini berarti bahwa genistein menginduksi konduktansi Cl- pada kedua kelompok (MacDonald, 2006).

Komponen lainnya untuk mutasi CFTR kelas III yang berada pada tahap preklinik contohnya adalah 6-phenylpyrrolo[2,3-b]pyrazines (aloisin) yang mengaktivasi kanal Cl- CFTR melalui cAMP-independent. Berbagai derivatnya mengaktivasi sekresi Cl_ yang dependent CFTR dengan afinitas molar yang rendah pada berbagai tipe sel epitel. Potensi dari agen ini kemungkinan dapat member keuntungan berupa efek terapi pada pasien CF maupun peyakit terkait CFTR lainnya (Noel et al, 2006).

Terapi Mutasi CFTR Kelas IV

Missense mutation dari CFTR yang menghasilkan lokalisasi protein yang normal dan penurunan fungsi transport klorida dimasukkan dalam mutasi kelas IV. Mutasi kelas IV, seperti R117H, mempengaruhi pori kanal CFTR dan kemampuan konduktansi kanal klorida (Rubenstein, 2007). Tidak seperti kelas I, II,

Page 16: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

dan III , mutasi kelas IV menghasilkan fenotip yang ringan, dimana apabila mutasi kelas IV terjadi pada 1 alel dapat memproteksi pasien dari diabetes mellitus, penyakit liver, dan onset infeksi P.aeruginosa yang lambat. Tercatat bahwa pasien dengan mutasi kelas IV dan V lebih jarang mendatangi pusat pelayanan kesehatan. Beberapa mutasi kelas IV seperti R117H, G341E, R334W dan R347P berhubungan dengan fosforilasi dan ATP-binding yang normal, dimana R347P mempengaruhi rata-rata aliran klorida, sedangkan R117H dan P574H menurunkan waktu pembukaan kanal (MacDonald, 2006). Dalam hal ini, potentiator, seperti genistein, merupakan agen yang mungkin dapat memperbaiki fungsi kanal (Rubenstein, 2007).

Terapi Mutasi CFTR Kelas V

Mutasi pada kelas ini biasanya, walaupun tidak selalu, menghasilkan fenotip yang ringan. Mutasi ini dikarenakan splicing error yang menghasilkan transkrip yang normal maupun abnormal yang selanjutnya mengekspresikan CFTR. Tipe ini biasanya terjadi pada pasien dengan penyakit paru seperti CF tapi memiliki kadar klorida keringat yang normal. Contoh mutasi kelas V adalah 3849+10kb CT dan 1811+1.2kb AG. Epithelial cell line dari polyp nasal paien CF dengan splicing mutation 3849+10kb CT dapat diobati dengan sodium butyrate, yang mana terjadi peningkatan kadar transkrip CFTR yang normal secara signifikan. Sebelumnya sodium butyrate telah diketahui mampu meyebabkan upregulasi ekspresi faktor splicing pada muscular atrophy (Nissim-Rafinia, 2004).

Selain karena penurunan effisiensi dari splicing mRNA CFTR, penurunan ekspresi fungsional CFTR juga dapat disebabkan oleh mutasi pada promoter CFTR yang menyebabkan penurunan ekspresi mRNA dan juga peningkatan removal CFTR dari plasma membrane yang kadang diklasifikasikan tersendiri dalam mutasi kelas VI. Sehingga tujuan dari terapi pada kelas V secara umum adalah meningkatkan ekspresi fungsional dari protein mutan menggunakan potentiator (Rubenstein, 2006).

Agen dengan target terapi protein non-CFTR

Pendekatan lainnya dalam memperbaiki basic defect pada CF adalah melalui perbaikan transport ion, rehidrasi mukosa permukaan saluran pernafasan, dan fluiditas sekresi digestif serta pH yang optimal untuk aktivitasenzim digestif. Oleh karena itu, berbagai reseptor dan kanal ion membran menjadi target

farmakoterapi CF. Diantaranya yang menjadi target paling penting adalah kanal Na+ dan Ca+-dependent Cl- transporter (Becq, 2010).

Salah satu karakteristik dari jaringan CF adalah peningkatan absorbsi Na+ yang dimediasi olah EnaC. Meskipun hal ini belum terlalu jelas, EnaC menjadi salah satu target molekul yang dicari inhibitornya untuk aktivitas kanal ini. Inhibitor EnaC yang dapat memblok absorbsi cairan diprediksi dapat berkontribusi dalam hidarasi dari sekresi mukus jalan nafas (Boucher, 2007). Pemberian aerosol amiloride untuk pasien CF terbukti mampu memperbaiki kualitas dari sekresi jalan nafas dan memfasilitasi aliran udara. Namun pada penelitian serupa di UK dan Perancis menunjukkan hasil yang sebaliknya, dimana amiloride inhalasi tidak menunjukkan efek yang menguntungkan. Selain amiloride, benzamil terbukti memiliki efek maksimal yang sama dengan durasi yang lebih panjang terkait dengan NPD pasien CF. sejauh ini struktur pyrazinoylguanilidine pada amiloride masih dievaluasi lebih lanjut terkait dengan efeknya pada mucociliary clearence, liquid permukaaan saluran nafas dan aktivitasnya terhadap EnaC (Hirsh et al, 2008)

Inhibitor absorbsi Na+ lainnya adalah serine protease inhibitor karena transport Na+ pada sel epitel bronkus manusia diaktivasi oleh endogenous serine protease. Efek serine protease inhibitor BAY399437 telah dicobakan pada aktivasi EnaC pada sel epitel bronchial manusia (Becq, 2010). Selain serine protease inhibitor BAY399437, juga telah diteliti QUA145 (camosat mesylate, gambar 3.1) yang merupakan inhibitor prostasin, trypsine like serine protease yang banyak terdapat pada epitel saluran nafas manusia. Agen ini ditoleransi dengan baik pada studi preklinik ke orang sehat. Pada 6 pasien CF mengindikasikan bahwa tidak ditemukan efek samping dan terjadi penurunan yang positif dari transport Na+ yang dievaluasi dari NPD diikuti dengan perfusi amiloride (Rowe et al, 2008).

Alternatif kanal Cl- kemungkinan dapat mengkompensasi defek pada fungsi CFTR dan berguna sebagai pendekatan terapi juga diinvestigasi melalui penelitian.nucleotide ATP dan uridine triphosphate merupakan agonis dari reseptor purinergic (P2Y2) dan menstimulasi sekresi Cl-

melalui aktivasi Ca2+-dependent Cl- channel pada epitel. Denufosol merupakan bentuk agonis reseptor P2Y2 yang dapat menstimulasi sekresi Cl- pada epitel jalan nafas. Pada uji coba fase II, doble blind,

Page 17: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

randomized trial menggunakan denufosol terhadap 90 pasien dengan CF mild di US selama 4 minggu, menunjukkan hasil perbaikan yang signifikan terhadp fungsi paru dibanding pasien yang mendapat plasebo. Hal ini mengindikasikan adanya potensi terapi dari agen ini. Denufosol dengan dosis 20-60 mg dievaluasi pada uji coba fase II selama 28 hari dan menunjukkan adanya perbaikan FEV1 dibanding plasebo pada pasien yang realtif memiliki fungsi paru yang normal. Denufosol tetrasodium inhalasi saat ini sudah mencapai pengembangan fase III, namun kegunaanya bagi pasien dengan disfungsi paru yang severe belum diketahui (Kellerman et al, 2008).

Terapi Gen

Memulihkan gen CFTR yang defek merupakan salah satu tujuan utama bagi para ilmuwan medis untuk mengobati penyakit CF dengan memulihkan transport ion klorida dan homeostasis respirasi. Karena epitel paru merupakan bagian yang paling banyak terkena dampak dari penyakit ini, penggunaan terapi gen untuk mentransfer gen normal ke sel yang mengalami defek pada epitel respirasi merupakan tantangan selama 15 tahun terakhir. Penelitian menunjukkan bahwa pemulihan fungsi 5-10 % gen CFTR yang mengalami defek sudah berpotensi memperbaiki transport klorida dan memperbaiki gejala severe pada pasien CF. Namun, hal ini tidak lepas dari kendala-kendala terkait dengan transfer gen termasuk barier-barier molecular (misalnya mucins, protein surfaktan), immunobiological (misalnya makrofag alveolar, antigen-presenting sel, sel dendritik, limfosit T), fisiologis (misalnya clearance mukosiliar; glycocalyx), serta barier intraselular (misalnya plasma membran, membran endosomal, amplop nuklear, endositosis, fagositosis) (Atkinson, 2008).

Sejak ditemukannya gen CFTR tahun 1989, CF merupakan kandidat untuk dilakukan pengembangan terapi gen karena : (1) merupakan penyakit autosom resesif yang monogenik, (2) sejumlah kecil protein CFTR yang fungsional sudah dapat memperbaiki transport klorida; (3) paru, organ utama yang terpengaruh, merupakan organ yang cukup udah dijangkau dengan menggunakan terapi gen nebulized. Bagaimanapun, pengiriman gen yang normal ke paru CF menghadapi berbagai tantangan, termasuk didalamnya adalah mengidentifikasi vektor yang dapat diterima tubuh. Terlebih lagi, sampainya vektor pada sel epitel bisa menjadi agen yang berbahaya karena mukus yang tebal (Proesmans, 2008). Saat ini

telah banyak diujicobakan berbagai vektor baik viral maupun nonviral sintetik dengan keuntungan dan kerugian masing-masing (Atkinson, 2008). Respon imun host yang spesifik terhadap vektor, contohnya virus, sering kali sulit dihindari. Uji coba yang telah mencapai fase 2 adalah dengan menggunakan vektor rekombinan (tgAAVCF) menunjukkan kegagalan secara klinis setelah pemberian selama 30 hari. Saat ini, integrating lentivirus dilaporkan memberikan efikasi yang cukup menjanjikan (Proesmans, 2008).

Sejak tahun 2001, uji klinis terkait dengan terapi gen CFTR mengalami hambatan berupa kesulitan memperbaiki fungsi CFTR secara signifikan dan mempertahankan efek dalam jangka waktu yang lama. Beberapa pendekatan dalam penelitian telah dilakukan terkait dengan jenis vektor yang digunakan, dimana masing-masing menghadapi permasalahan tersendiri (Atkinson, 2008). Saat ini, dua pilihan yang telah dieksplorasi sebagai vektor yang sesuai untuk mengirim gen yang fungsional dan jangka panjang adalah cationic liposom, membentuk kompleks dengan DNA dan masuk kedalam sel, dan lenti virus, yang merupakan retrovirus dengan kemampuan berintregasi dengan DNA kromosom dan berpotensi menghasilkan ekspresi yang stabil dalam jangka waktu lama (Pringle et al, 2009).

Kesimpulan

Berbagai penelitian terkait dengan patofisiologi molekuler, seluler, dan jalan nafas secara signifikan memberikan pemahaman tentang fungsi CFTR dan konsekuensi dari kelainan dalam jumlah maupun fungsinya. Cystic fibrosis memiliki variasi genotip maupun fenotip yang luas. Berbagai penelitian berusaha untuk memastikan korelasi antara genotif dengan fenotif pada cystic fibrosis sehingga tidak hanya dapat memperjelas pathogenesis, tapi juga kemungkinan strategi terapi yang lebih baik. Terdapat 5 kategori mutasi berdasarkan efeknya terhadap protein CFTR, yaitu mutasi Class I yang mengakibatkan defek produksi protein, class II (termasuk ΔF508) untuk defek pada maturasi dan processing protein, class III untuk defek regulasi kanal, class IV untuk perubahan konduktansi kanal dan class V untuk perubahan sintesis protein. Pemahaman ini memungkinkan identifikasi target intervensi yang rasional untuk memperbaiki disfungsi CFTR berdasarkan bentuk mutasinya yang spesifik, sehingga pendekatan terapi ke depan lebih ke arah penyebab yang fundamental dari patofisiologi CF

Page 18: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

dari pada terapi simtomatik yang saat ini banyak digunakan.

Rerefensi

Accurso FJ, Rowe SM, Durie PR, et al. Interim results of Phase 2A study of VX770 to evaluate safety, pharmacokinetics, and biomarkers of CFTR activity in cystic fibrosis subjects with G551D [abstract]. Pediatr Pulmonol 2008; Suppl. 31: 295

Atkinson T. Cystic Fibrosis, Vector-Mediated Gene Therapy, and Relevance of Toll-Like Receptors: A Review of Problems, Progress, and Possibilities. Current Gene Therapy, 2008, 8, 201-207 201

Becq F. Cystic Fibrosis Transmembrane Conductance Regulator Modulators for Personalized Drug Treatment of Cystic Fibrosis. Drugs 2010; 70 (3): 241-259

Becq F. On the discovery and development of CFTR chloride channel activators. Curr Pharm Des 2006; 12: 471-84

Boucher RC. Cystic fibrosis: a disease of vulnerability to airway surface dehydration. Trends Mol Med 2007; 13: 231-40

Cutting GR. Modifier Genetics: Cystic Fibrosis. Annu. Rev. Genomics Hum. Genet. 2005. 6:237–60

Cystic Fibrosis Foundation (2006) Patient Registry Annual Data Report To The Center Directors 2005, Bethesda, Md. Available At Www.Cff.Org.

Davies J, Alton, Griesenbach U . Cystic fibrosis modifier genes. J R Soc Med 2005;98(Suppl. 45):47–54.

Freedman SD, O’Sullivan BP. Cystic fibrosis. Lancet 2009; 373: 1891–904

Gardner J. Cystic Fibrosis. Nursing 2007. MedlinePlus. Httpyavwwnlm,Nih,Gov/ Inedlineplus/ Cysticfibrosis,Htinl

Groman Jd, Meyer Me, Wilmott Rw, Zeitlin Pl, Cutting Gr. Variant Cystic Fibrosis Phenotypes In The Absence Of Cftr Mutations. The New England Journal Of Medicine. Boston: Aug 8, 2002. Vol. 347, Iss. 6; Pg. 401, 7 Pgs

Heda GD, Tanwani M, Marino CR. The delta F508 mutation shortens the biochemical half-life of plasma membrane CFTR in polarized epithelial cells. Am J Physiol Cell Physiol 2001; 280: 166-74

Hirsh AJ, Zhang J, Zamurs A, et al. Pharmacological properties of N-(3,5-diamino-6-chloropyrazine-2-carbonyl)-N’-4-[4-(2,3 dihydroxypropoxy)phenyl]butyl-guanidine methanesulfonate (552-02), a novel epithelial sodium channel blocker with potential clinical efficacy for cystic fibrosis lung disease. J Pharmacol Exp Ther 2008; 325: 77-88

Johansen HK, Gotzsche PC. Vaccines for preventing infection with Pseudomonas aeruginosa in cystic fibrosis. Cochrane Database Syst Rev 2008; (4): CD001399

Jones AM dan Helm JM. Emerging Treatments in Cystic Fibrosis. Drugs 2009; 69 (14): 1903-1910

Kellerman D, Mospan AR, Engens J, et al. Denofosol: a review of studies with inhaled P2Y2 agonists that led to phase 3. Pulm Pharm Ther 2008; 21: 600-7

Kerem E, Hirawat S, Armoni S, et al. Effectiveness of PTC124 treatment of cystic fibrosis caused by nonsense mutations: a prospective phase II trial. Lancet 2008; 372: 719-27

MacDonald DK, McKenzie KR, Zeitlin P. Cystic Fibrosis Transmembrane Regulator Protein Mutations ‘Class’ Opportunity for Novel Drug Innovation. Pediatr Drugs 2007; 9 (1): 1-10.

Marivingt-Mounir C, Norez C, Derand R, et al. Synthesis, SAR, crystal structure, and biological evaluation of benzoquinoliziniums as activators of wild-type and mutant cystic fibrosis transmembrane conductance regulator channels. J Med Chem 2004; 47: 962-72

Moskowitz S, Sternen D, Cheng E, Cutting G. CFTR-Related Disorders. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 20301428. Diakses pada 27 November 2010 pukul 12.05

Nissim-Rafinia M, Aviram M, Randell SH, et al. Restoration of the cystic fibrosis transmembrane conductance regulator function by splicing modulation. EMBO Rep 2004; 5 (11): 1071-7

Noe l S, Faveau C, Norez C, et al. Discovery of pyrrolo[2,3-b]pyrazines derivatives as submicromolar affinity activators of wild-type, G551D and F508del CFTR chloride channels. J Pharmacol Exp Ther 2006; 319: 349-59

Norez C, Antigny F, Noel S, et al. A cystic fibrosis respiratory epithelial cell chronically treated by miglustat acquires a non-cystic fibrosis-like phenotype. Am J Respir Cell Mol Biol 2009; 41: 217-25

Norez C, Bilan F, Kitzis A, et al. Proteasome-dependent pharmacological rescue of cystic fibrosis transmembrane conductance regulator revealed by mutation of glycine 622. J Pharmacol Exp Ther 2008; 325: 89-99

O’Sullivan BP, Freedman SD. Cystic fibrosis. Lancet 2009; 373: 1891–904

Pedemonte N, Lukacs GL, Du K, et al. Small-molecule correctors of defective DF508-CFTR cellular processing

Page 19: Cystic Fibrosis Dewi Mustika

P r o g r a m M a g i s t e r B I O M E D I K F K U B 2 0 1 0 Page

[ ] Cystic Fibrosis

identified by high-throughput screening. J Clin Invest 2005; 115: 2564-71

Poschet JF, Timmins GS, Taylor-Cousar JL, et al. Pharmacological modulation of cGMP levels by phosphodiesterase 5 inhibitors as a therapeutic strategy for treatment of respiratory pathology in cystic fibrosis. Am J Physiol Lung Cell Mol Physiol 2007; 293: 712-9

Pringle IA, Hyde SC, Gill DR. Non-viral vectors in cystic fibrosis gene therapy: recent developments and future prospects. Expert Opin Biol Ther 2009; 9 (8): 991-1003

Proesmans M, Vermeulen F, Boeck KD. What’s new in cystic fibrosis? From treating symptoms to correction of the basic defect. Eur J Pediatr (2008) 167:839–849

Randak C, Auerswald EA, Assfalg-Machleidt I, et al. Inhibition of ATPase, GTPase and adenylate kinase activities of the second nucleotide-binding fold Normal function of the cystic fibrosis the cystic fibrosis transmembrane with homozygous delta F508 J 1999; 340 (Pt 1): 227-35

Ratjen F, Döring G. Cystic fibrosis. Lancet 2003; 361: 681–89.

Rowe SM, Reeves G, Young H, et al. Correction of sodium transport with nasal administration of the prostasin inhibitor QUA145 in CF subjects [abstract]. Pediatr Pulmonol 2008; Suppl. 31: 295.

Rubenstein RC. Targeted Therapy for Cystic Fibrosis Cystic Fibrosis Transmembrane Conductance Regulator Mutation-Specific Pharmacologic Strategies. Mol Diag Ther 2006; 10 (5): 293-301.

Sermet-Gaudelus I, De Boeck K, Casimir G, et al. Children with nonsense-mutation-mediated cystic fibrosis respond to investigational treatment with PTC124 [abstract]. Pediatr Pulmonol 2008; Suppl. 31: 313

Vij N, Fang S, Zeitlin PL. Selective inhibition of endoplasmic reticulum-associated degradation rescues DeltaF508-cystic fibrosis transmembrane regulator and suppresses interleukin-8 levels: therapeutic implications. J Biol Chem 2006; 281: 17369-78

Wiehe M & Arndt K. Cystic Fibrosis: A Systems Review. Aana Journal,June 2010, Vol. 78, No.3

Wilchanski M, Yahav Y, Yaacov Y, et al. Gentamicininduced correction of CFTR function in patients with cystic fibrosis and CFTR stop mutations. N Engl J Med 2003; 349: 1433-41

Young A,Gentzsch M, Abban CY, et al. Dynasore inhibits removal of wild-type and DeltaF508 CFTR from the plasma membrane. Biochem J 2009 Jul 15; 421 (3): 377-85

Zielenski J & Tsui Lc. Genotypic And Phenotypic Variations. Annu. Rev. Genetics. 1995. 29.777-8o7