SKABIES (F.1)
Oleh:dr. Oktania Putri Kusnawan
Anggota:dr. Rizki Trya Permatadr. Merry Susantidr. Syifa Andini
Suparmandr. Astri KaniaPendamping:dr. Dorlina Panjaitan
PROGRAM DOKTER INTERNSIPPPSDM KEMENTRIAN KESEHATAN RI DAN KOMITE
INTERNSIP DOKTER INDONESIAPUSKESMAS GUNUNG ALAMKABUPATEN ARGAMAKMUR
BENGKULU UTARA2014
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT
karena atas rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulisan laporan ini
dapat diselesaikan. Laporan ini disusun sebagai laporan tugas
Puskesmas formula 1 dokter internsip.Penulis menyadari bahwa
selesainya penulisan laporan ini tidak lepas dari bantuan berbagai
pihak baik berupa bimbingan, hasil diskusi kelompok, buku-buku
referensi serta hal lainnya. Oleh karena itu penulis berdoa
mudah-mudahan segala bantuan yang telah diberikan selama ini akan
mendapatkan pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT.Pada
kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang terhormat pendamping kami yang telah
banyak memberikan bimbingan. Penulis juga menyampaikan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada teman-teman yang telah banyak membantu
dalam proses penyelesaian laporan ini.Penulis menyadari bahwa
laporan ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis
sangat mengharapkan saran dan kritik membangun agar dapat
memberikan yang lebih baik di kemudian hari. Akhir kata,
mudah-mudahan laporan ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang
memerlukan. Arga Makmur, April 2014 Penulis
BAB IPENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG MASALAH
Penyakit infeksi kecacingan merupakan salah satu penyakit yang
masih banyak terjadi di masyarakat namun kurang mendapatkan
perhatian (neglected diseases). Penyakit yang termasuk dalam
kelompok neglected diseases memang tidak menyebabkan wabah yang
muncul dengan tiba-tiba ataupun menyebabkan banyak korban, tetapi
merupakan penyakit yang secara perlahan menggerogoti kesehatan
manusia, menyebabkan kecacatan tetap, penurunan intelegensia anak
dan pada akhirnya dapat pula menyebabkan kematian.Salah satu jenis
penyakit dari kelompok ini adalah penyakit kecacingan yang
diakibatkan oleh infeksi cacing kelompok Soil Transmitted Helminth
(STH), yaitu kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui tanah.
Penyakit parasitik yang termasuk ke dalam neglected diseases
tersebut merupakan penyakit tersembunyi atau silent diseases, dan
kurang terpantau oleh petugas kesehatan. Penyakit kecacingan yang
diakibatkan oleh infeksi Soil Transmitted Helminth merupakan salah
satu penyakit yang masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia.
Infeksi kecacingan ini dapat mengakibatkan menurunnya kondisi
kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktivitas penderita sehingga
secara ekonomi banyak menyebabkan kerugian, karena adanya
kehilangan karbohidrat dan protein serta kehilangan darah yang pada
akhirnya dapat menurunkan kualitas sumber daya manusia. Prevalensi
infeksi kecacingan di Indonesia masih relatif tinggi pada tahun
2006, yaitu sebesar 32,6 %, terutama pada golongan penduduk yang
kurang mampu dari sisi ekonomi. Kelompok ekonomi lemah ini
mempunyai risiko tinggi terjangkit penyakit kecacingan karena
kurang adanya kemampuan dalam menjaga higiene dan sanitasi
lingkungan tempat tinggalnya. Lima spesies cacing yang termasuk
dalam kelompok Soil Transmitted Helminth yang masih menjadi masalah
kesehatan, yaitu Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura,
Strongyloides stercoralis dan cacing tambang (Necator americanus
dan Ancylostoma sp).Cutaneous Larva Migrans (CLM) adalah penyakit
infeksi kulit parasit yang merupakan salah satu masalah kesehatan
masyarakat di negara-negara berkembang khususnya pada daerah tropik
yang diakibatkan infeksi cacing yang ditularkan melalui tanah.
Awalnya ditemukan pada daerah daerah tropikal dan subtropikal
beriklim hangat, saat ini karena kemudahan transportasi keseluruh
bagian dunia, penyakit ini tidak lagi dikhususkan pada daerah
daerah tersebut. Creeping itch atau rasa gatal yang menjalar,
merupakan karakteristik utama dari CLM.Faktor resiko utama bagi
penyakit ini adalah kontak dengan tanah lembab atau berpasir, yang
telah terkontaminasi dengan feces anjing atau kucing. Penyakit ini
lebih sering dijumpai pada anak-anak dibandingkan pada orang
dewasa. Pada orang dewasa, faktor resikonya adalah pada tukang
kebun, petani, dan orang-orang dengan hobi atau aktivitas yang
berhubungan dengan tanah lembab dan berpasir.Aktivitas hidup cacing
tanah dalam suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain
sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban,
kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara)
dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta
pemanfaatan dan pengelolaan tanah. Kelembaban sangat berpengaruh
terhadap aktivitas pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya
terdiri atas air berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah
sebabnya usaha pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi
cacing tanah. Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup
dalam kondisi kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara
berpindah ke tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus
terrestris misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air
tubuhnya. Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan
jumlah cacing tanah.Infeksi akibat cacing umumnya tidak menyebabkan
penyakit berat sehingga sering kali diabaikan walaupun sesungguhnya
memberikan gangguan kesehatan. Tetapi dalam keadaan infestasi berat
atau keadaan yang luar biasa, kecacingan cenderung memberikan
analisa keliru kearah penyakit lain dan tidak jarang dapat
berakibat fatal. Penularan infeksi cacing tambang melalui hewan
vektor (zoonosis) dengan gejala klinis berupa ground itch dan
creeping eruption, Pneumonitis, abdominal discomfort,
hipoproteinemia dan anemia defisiensi besi merupakan manifestasi
infeksi antropofilik. Komponen sistim imun yang berperan utama
ialah eosinofil, IgE, IgG4 dan sel Th2. Tidak terdapat kekebalan
yang permanen dan adekuat terhadap infeksi cacing tambang.
Diagnosis data epidemiologi berupa pengamatan manifestasi klinis,
pemeriksaan penunjang termasuk pemeriksaan imunologis.Pengobatan
dilakukan dengan mebendazole, albendazole, pirantel pamoat dan
berbagai terapi suportif. Belum ada vaksin yang efektif terhadap
cacing tambangsehingga perbaikan higiene dan sanitasi adalah hal
yang utama. CLM dapat diterapi dengan beberapa cara yang berbeda,
yaitu: terapi sistemik (oral) atau terapi topikal. Berdasarkan
beberapa penelitian yang ada terapi sistemik merupakan terapi yang
terbaik karena tingkat keberhasilannya lebih baik daripada terapi
topikal.
BAB IITINJAUAN PUSTAKA DAN PERMASALAHAN
2.1. INFEKSI CACING TAMBANG2.1.1. DEFINISIInfeksi cacing tambang
pada manusia terutama disebabkan oleh Ancylostoma duodenale (A.
duodenale) dan Necator americanus (N.americanus). Kedua spesies ini
termasuk dalam famili Strongyloidae dari filum Nematoda. Selain
kedua spesies tesebut, dilaporkan juga infeksi zoonosis oleh
Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum yang ditemukan pada
berbagai jenis karnivora dengan manifestasi klinik yang relatif
lebih ringan, yaitu creeping eruption akibat cutaneus larva
migrans. Terdapat juga infeksi Ancylostoma ceylanicum yang diduga
menyebabkan enteritis eosinofilik pada manusia. Diperkirakan
terdapat 1 miliar orang di seluruh dunia yang menderita infeksi
cacing tambang dengan populasi penderita terbanyak di daerah tropis
dan subtropis, terutama di Asia dan subsahara Afrika. Infeksi N.
americanus lebih luas penyebarannya dibandingkan A. duodenale, dan
spesies ini juga merupakan penyebab utama infeksi cacing tambang di
Indonesia. Infeksi A. duodenale dan N. americanus merupakan
penyebab terpenting anemia defisiensi besi. Selain itu infeksi
cacing tambang juga merupakan penyebab hipoproteinemia yang terjadi
akibat kehilangan albumin, karena perdarahan kronik pada saluran
cerna. Anemia defisiensi besi dan hipoproteinemia sangat merugikan
proses tumbuh kembang anak dan berperan besar dalam mengganggu
kecerdasan anak usia sekolah. Penyakit akibat cacing tambang lebih
banyak didapatkan pada pria yang umumnya sebagai pekerja di
keluarga. Hal ini terjadi karena kemungkinan paparan yang lebih
besar terhadap tanah terkontaminasi larva cacing. Sampai saat ini
infeksi cacing tambang masih merupakan salah satu penyakit tropis
terpenting. Penurunan produktifitas sebagai indikator beratnya
gangguan penyakit ini. Dalam kondisi infeksi berat, infeksi cacing
tambang ini dapat menempati posisi di atas tripanosomiasis, demam
dengue, penyakit chagas, schisostomiasis dan lepra.
2.1.2 TAKSONOMICacing tambang merupakan salah satu cacing usus
yang termasuk dalam kelompok cacing yang siklus hidupnya melalui
tanah (soil transmitted helminth) bersama dengan Ascaris
lumbricoides, Trichuris trichiura dan Strongyloides stercoralis..
Cacing ini termasuk dalam kelas nematoda dari filum
nemathelminthes. Famili Strongyloidae dari kelas nematoda terdiri
atas dua genus, yaitu genus Ancylostoma dan genus Necator. Dari
genus Ancylostoma dapat ditemukan Ancylostoma duodenale,
Ancylostoma caninum, Ancylostoma brazilliensis dan Ancylostoma
ceylanicum. Sedangkan dari genus Necator dapat ditemukan Necator
americanus. Taksonomi cacing tambang secara lengkap diuraikan
sebagai berikut.Sub Kingdom : MetazoaPhylum : NemathelminthesKelas
: NematodaSub Kelas : PhasmidiaOrdo : RhabtidiaSuper Famili :
StrongyloideaFamili : StrongyloidaeGenus : Ancylostoma,
NecatorSpesies : Ancylostoma duodenale, Ancylostoma caninum,
Ancylostoma brazilliensis, Ancylostoma ceylanicum, Necator
americanus
2.1.3 Siklus Biologis Cacing TambangCacing tambang jantan
berukuran 8-11 mm sedangkan yang betina berukuran 10-13 mm. Cacing
betina menghasilkan telur yang keluar bersama feses pejamu (host)
dan mengalami pematangan di tanah. Setelah 24 jam telur akan
berubah menjadi larva tingkat pertama (L1) yang selanjutnya
berkembang menjadi larva tingkat kedua (L2) atau larva rhabditiform
dan akhirnya menjadi larva tingkat ketiga (L3) yang bersifat
infeksius. Larva tingkat ketiga disebut sebagai larva filariform.
Proses perubahan telur sampai menjadi larva filariform terjadi
dalam 24 jam. Larva filariform kemudian menembus kulit terutama
kulit tangan dan kaki, meskipun dikatakan dapat juga menembus kulit
perioral dan transmamaria. Adanya paparan berulang dengan larva
filariform dapat berlanjut dengan menetapnya cacing di bawah kulit
(subdermal). Secara klinis hal ini menyebabkan rasa gatal serta
timbulnya lesi papulovesikular dan eritematus yang disebut sebagai
ground itch. Dalam 10 hari setelah penetrasi perkutan, terjadi
migrasi larva filariform ke paru-paru setelah melewati sirkulasi
ventrikel kanan. Larva kemudian memasuki parenkim paruparu lalu
naik ke saluran nafas sampai di trakea, dibatukkan, dan tertelan
sehingga masuk ke saluran cerna lalu bersarang terutama pada daerah
1/3 proksimal usus halus. Pematangan larva menjadi cacing dewasa
terjadi disini. Proses dari mulai penetrasi kulit oleh larva sampai
terjadinya cacing dewasa memerlukan waktu 6-8 minggu. Cacing jantan
dan betina berkopulasi di saluran cerna selanjutnya cacing betina
memproduksi telur yang akan dikeluarkan bersama dengan feses
manusia. Pematangan telur menjadi larva terutama terjadi pada
lingkungan pedesaan dengan tanah liat dan lembab dengan suhu antara
23-33o C. Penularan A. Duodenale selain terjadi melalui penetrasi
kulit juga melalui jalur orofekal, akibat kontaminasi feses pada
makanan. Didapatkan juga bentuk penularan melalui hewan vektor
(zoonosis) seperti pada anjing yang menularkan A. brazilienze dan
A. caninum. Hewan kucing dan anjing juga menularkan A. ceylanicum.
Jenis cacing yang yang ditularkan melalui hewan vektor tersebut
tidak mengalami maturasi dalam usus manusia. Cacing N. americanus
dewasa dapat memproduksi 5.000 - 10.000 telur/hari dan masa hidup
cacing ini mencapai 3-5 tahun, sedangkan A. duodenale menghasilkan
10.000-30.000 telur/hari, dengan masa hidup sekitar 1 tahun.
Larva masuk / penetrasi kekulit, masuk ke alirandarahLarva
dewasa masukke usus halusCacing dewasaLarvaberkembangTelur
dikeluarkanbersama denganfecesLarva diatas rumputLarva dibatukkan
dantertelan
Gambar Siklus Biologis Cacing Tambang
2.2. CUTANEOUS LARVA MIGRANS2.2.1 Definisi dan EtiologiCutaneus
larva migrans adalah kelainan kulit khas berupa garis lurus atau
berkelok-kelok, progresif, akibat larva yang menginvasi kulit.
Sedangkan creeping eruption, istilah ini digunakan pada kelainan
kulit yang merupakan peradangan berbentuk linear atau
berkelok-kelok, menimbul dan progresif, disebabkan oleh invansi
larva cacing tambang yang berasal dari anjing dan kucing.Cutaneous
larva migrans dapat juga disebut creeping eruption, dermatosis
linearis migrans, sandworm disease (di Amerika Selatan larva sering
ditemukan di tanah pasir atau di pantai), atau strongyloidiasis
(creeping eruption pada punggung). Etiologi umum kulit larva
migrans (CLM) yang paling sering ditemukan adalah sebagai
berikut:1. Ancylostoma braziliense (cacing tambang domestik anjing
liar dan kucing) adalah penyebab paling umum. Hal ini dapat
ditemukan di Amerika Serikat tengah dan selatan, Amerika Tengah,
Amerika Selatan, dan Karibia.2. Ancylostoma caninum (cacing tambang
anjing) ditemukan di Australia.3. Uncinaria stenocephala (cacing
tambang anjing) ditemukan di Eropa.4. Bunostomum phlebotomum
(ternak cacing tambang)Etiologi lainnya meliputi:a. Ancylostoma
ceylonicumb. Ancylostoma tubaeforme (cacing tambang kucing)c.
Necator americanus (cacing tambang manusia)d. Strongyloides
papillosus (parasit domba, kambing, dan sapi)e. Strongyloides
westeri (parasit kuda)f. Ancylostoma duodenaleg. Pelodera
(Rhabditis) strongyloides 2.2.2 PatogenesisPenyebab utama adalah
larva yang berasal dari cacing tambang binatang anjing dan kucing,
yaitu Ancylostoma braziliense dan Ancylostoma caninum. Selain itu
dapat pula disebabkan oleh larva dari beberapa jenis lalat, seperti
Castrophillus (the horse bot fly) dan cattle fly. Biasanya larva
ini merupakan stadium ketiga siklus hidup. Nematoda hidup pada
hospes (anjing, kucing atau babi), ovum terdapat pada kotoran
binatang dan karena kelembaban berubah menjadi larva yang mempu
mengadakan penetrasi ke kulit. Larva ini tinggal di kulit
berjalan-jalan sepanjang dermo-epidermal, setelah beberapa jam atau
hari, akan timbul gejala di kulit.
Gambar Telur Cacing TambangReaksi yang timbul pada kulit, bukan
diakibatkan oleh parasit, tetapi disebabkan oleh reaksi inflammasi
dan alergi oleh sistem imun terhadap larva dan produknya. Pada
hewan, larva ini mampu menembus dermis dan melengkapi siklus
hidupnya dengan berkembang biak di organ dalam. Sedangkan pada
manusia, larva memasuki kulit melalui folikel, fissura atau
menembus kulit utuh menggunakan enzim protease, tapi infeksinya
hanya terbatas pada epidermis karena tidak memiliki enzym
collagenase yang dibutuhkan untuk penetrasi kebagian kulit yang
lebih dalam.
Gambar Cacing Tambang
2.2.3 Gejala KlinisMasuknya larva ke kulit biasanya disertai
rasa gatal dan panas. Mula-mula, pada point of entry akan timbul
papul, kemudian diikuti oleh bentuk yang khas, yakni lesi berbentuk
linear atau berkelok kelok (snakelike appearance bentuk seperti
ular) yang terasa sangat gatal, menimbul dengan lebar 2 3 mm,
panjang 3 4 cm dari point of entry, dan berwarna kemerahan. Adanya
lesi papul yang eritematosa ini menunjukkan larva tersebut telah
berada di kulit selama beberapa jam atau hari. Rasa gatal dapat
timbul paling cepat 30 menit setelah infeksi, meskipun pernah
dilaporkan late onset dari CLM.Perkembangan selanjutnya papul merah
ini menjalar seperti benang, berkelok- kelok, polisiklik,
serpiginosa, menimbul dan membentuk terowongan (burrow), mencapai
panjang beberapa sentimeter dan bertambah panjang beberapa
milimeter atau beberapa sentimeter setiap harinya. Umumnya pasien
hanya memiliki satu atau tiga lintasan dengan panjang 2-5 cm. Rasa
gatal biasanya lebih hebat pada malam hari, sehingga pasien sulit
tidur. Rasa gatal ini juga dapat berlanjut, meskipun larva telah
mati. Terowongan yang sudah lama, akan mengering dan menjadi
krusta, dan bila pasien sering menggaruk, dapat menimbulkan iritasi
yang rentan terhadap infeksi sekunder. Larva nematoda dapat
ditemukan terperangkap dalam kanal folikular, stratum korneum atau
dermis.Tempat predileksi adalah di tempat tempat yang kontak
langsung dengan tanah, baik saat beraktivitas, duduk, ataupun
berbaring, seperti di tungkai, plantar, tangan, anus, bokong dan
paha juga di bagian tubuh dimana saja yang sering berkontak dengan
tempat larva berada.
2.2.4 DiagnosisBerdasarkan bentuk yang khas, yakni terdapatnya
kelainan seperti benang yang lurus atau berkelok kelok, menimbul
dan terdapat papul atau vesikel diatasnya.
Gambar Creeping Eruption
Gambar Creeping Eruption
2.2.5 Diagnosis Bandinga. Skabies: Pada skabies terowongan yang
terbentuk tidak sepanjang seperti pada penyakit inib.
Dermatofitosis : Bentuk polisiklik menyerupai dermatofitosisc.
Dermatitis insect bite : Pada permulaan lesi berupa papul, yang
dapat menyerupai insect bited. Herpes zooster : Bila invasi larva
yang multipel timbul serentak, papul-papul lesi dini dapat
menyerupai herpes zooster stadium permulaan.
2.2.6 PrognosisPenyakit ini dapat sembuh sendiri setelah
beberapa minggu atau beberapa bulan. Pengobatan dimaksudkan untuk
mempercepat penyembuhan dan mengurangi rasa ketidaknyamanan pasien.
Umumnya pengobatan selalu memberikan hasil yang baik.
2.2.7 MortalitasMortalitas karena penyakit ini belum pernah
dilaporkan. Kebanyakan kasus larva migran sembuh sendiri dengan
atau tanpa pengobatan, dan tanpa diikuti efek samping jangka
panjang apapun.
2.2.8 MorbiditasMorbiditas dikaitkan dengan pruritus hebat dan
kemungkinan infeksi bakterial sekunder. Sangat jarang sekali, dapat
terjadi migrasi ke jaringan dalam, seperti ke paru dan usus, yang
dapat menyebabkan pneumonitis (Loefflers Syndrome), enteritis,
myositis (nyeri otot.
2.2.9 PencegahanDi Amerika serikat, telah dilakukan de-worming
atau pemberantasan cacing pada anjing dan kucing, dan terbukti
mengurangi secara signifikan insiden penyakit ini. Larva cacing
umumnya menginfeksi tubuh melalui kulit kaki yang tidak
terlindungi, karena itu penting sekali memakai alas kaki, dan
menghindari kontak langsung bagian tubuh manapun dengan tanah.
2.2.10 PenatalaksanaanModalitas topikal seperti spray
etilklorida, nitrogen cair, fenol, CO2 snow, piperazine citrate,
dan elektrokauter umumnya tidak berhasil sempurna, karena larva
sering tidak lolos atau tidak mati. Demikian pula kemoterapi dengan
klorokuin, dietiklcarbamazine dan antimony juga tidak berhasil.
Terapi pilihan saat ini adalah dengan preparat antihelmintes baik
topikal maupun sistemik.
PENGOBATAN SISTEMIK (ORAL)1. Tiabendazol (Mintezol),
antihelmintes spektrum luas. Dosis 50 mg/kgBB/hari, sehari 2 kali,
diberikan berturut turut selama 2 hari. Dosis maksimum 3 gram
sehari, jika belum sembuh dapat diulangi setelah beberapa hari.
Sulit didapat. Efek sampingnya mual, pusing, dan muntah.2. Solusio
topikal tiabendazol dalam DMSO, atau suspensi tiabendazol secara
oklusi selama 24 48 jam. Dapat juga disiapkan pil tiabendazol yang
dihancurkan dan dicampur dengan vaseline, di oleskan tipis pada
lesi, lalu ditutup dengan band-aid/kasa. Campuran ini memberikan
jaringan kadar antihelmintes yang cukup untuk membunuh parasit,
tanpa disertai efek samping sistemik.3. Albendazol (Albenza), dosis
400mg dosis tunggal, diberikan tiga hari berturut turut.4.
Ivermectin (Stromectol)
AGEN PEMBEKU TOPIKAL1. Cryotherapy dengan CO2 snow (dry ice)
dengan penekanan selama 45 detik sampai 1 menit, selama 2 hari
berturut turut.2. Nitrogen liquid.3. Kloretil spray, yang
disemprotkan sepanjang lesi. Agak sulit karena tidak diketahui
secara pasti dimana larva berada, dan bila terlalu lama dapat
merusak jaringan disekitarnya.4. Direkomendasikan pula penggunaan
Benadryl atau krim anti gatal (Calamine lotion atau Cortisone)
untuk mengurangi gatal.
2.3. Ekologi Cacing TanahAktivitas hidup cacing tanah dalam
suatu ekosistem tanah dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor,
seperti: iklim (curah hujan, intensitas cahaya dan lain
sebagainya), sifat fisik dan kimia tanah (temperatur, kelembaban,
kadar air tanah, pH dan kadar organik tanah), nutrien (unsur hara)
dan biota (vegetasi dasar dan fauna tanah lainnya) serta
pemanfaatan dan pengelolaan tanah (Buckman & Brady, 1982).
Selanjutnya Wallwork (1970) menjelaskan bahwa keberadaan dan
kepadatan fauna tanah, khusunya cacing tanah sangat ditentukan oleh
faktor abiotik dan biotik. Disamping itu faktor lingkungan lain dan
sumber bahan makanan, cara pengolahan tanah, seperti di daerah
perkebunan dan pertanian turut mempengaruhi keberadaan dan
distribusi cacing tanah tersebut. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan cacing tanah sebagai berikut: 2.3.1
Kelembaban tanah Kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas
pergerakan cacing tanah karena sebagian tubuhnya terdiri atas air
berkisar 75-90 % dari berat tubuhnya. Itulah sebabnya usaha
pencegahan kehilangan air merupakan masalah bagi cacing tanah.
Meskipun demikian cacing tanah masih mampu hidup dalam kondisi
kelembaban yang kurang menguntungkan dengan cara berpindah ke
tempat yang lebih sesuai atau pun diam. Lumbricus terrestris
misalnya, dapat hidup walaupun kehilangan 70% dari air tubuhnya.
Kekeringan yang lama dan berkelanjutan dapat menurunkan jumlah
cacing tanah.Menurut Rukmana (1999) menjelaskan bahwa kelembaban
tanah yang terlalu tinggi atau terlalu basah dapat menyebabkan
cacing tanah berwarna pucat dan kemudian mati. Sebaliknya bila
kelembaban tanah terlalu kering, cacing tanah akan segera masuk ke
dalam tanah dan berhenti makan serta akhirnya mati.
2.4. PERMASALAHAN2.4.1Data Administrasi Pasien1. Nama / Umur:
An. W/ 5 tahun1. No. register : Poli Umum1. Status kepegawaian:
Pelajar1. Status sosial : menengah ke bawah
2.4.2 Data Demografis1. Alamat : Karang Anyar1. Agama : Islam1.
Suku : Rejang1. Pekerjaan : -1. Bahasa Ibu : Bahasa rejang1. Jenis
Kelamin : Laki-laki
2.4.3Data Biologik1. Tinggi Badan : 78 cm1. Berat Badan : 15
kg1. Habitus : Astenikus1. Gizi : Cukup
2.4.4Data Klinis1. Anamnesis:Keluhan utama : Timbul
bruntus-bruntus merah menyebar menjadi garis lurus yang semakin
memanjang, menimbul dan berkelok-kelok bersisik di punggung tangan
kanan disertai rasa gatal sejak 1 minggu yang lalu. Riwayat
Penyakit sekarang : 1 bulan yang lalu, ibu pasien mengeluh timbul
bruntus berwarna merah pada punggung tangan kanan pasien berbentuk
seperti digigit semut. Bruntus tersebut terasa gatal dan pasien
sering menggaruk sehingga terjadi luka. Pasien tidak berobat. 3
minggu yang lalu, bruntus kemerahan menyebar membuat garis lurus
berkelok- kelok ke bagian tepi kiri punggung tangan kanan pasien.
Keluhan gatal semakin hebat terutama pada malam hari. 2 minggu yang
lalu, bruntus tersebut semakin memanjang pada punggung tangan kanan
pasien. Timbul sisik akibat garukan. Ibu pasien menemukan
bruntus-bruntus awal yang bergaris lurus berkelok-kelok sudah
sembuh. Kisaran 1 minggu yang lalu, ibu pasien menemukan kulit pada
bagian lesi pada punggung tangan kanan pasien terkelupas. Pasien
sering bermain di tanah dan tidak mencuci tangan setelah bermain1.
Pemeriksaan jasmani Tanda vital Tekanan Darah : tidak diperiksa
Nadi : tidak diperiksa Respirasi : tidak diperiksa Suhu : tidak
diperiksa Untuk dugaan diagnosa :
STATUS DERMATOLOGIKUS Lokasi : Regio dorsum manus dekstra
Distribusi : Lokalisata Papul eritematosa: Multipel, linier,
berbatas tegas, penyebaran serpiginosa; permukaan ditutupi skuama
halus selapis putih. Pada bagian proximal lesi: Papul
hiperpigmentasi: Multipel, berbentuk bulat, diskret.
Dugaan DD (-)
2.4.5Pemeriksaan PenunjangTidak dilakukan.Anjuran Pemeriksaan
Penunjang :Tidak diperlukan.
2.4.6Diagnosis Cutaneous Larva Migrans
BAB IIIPERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI
3.1. Metode PenyuluhanMetode penyuluhan yang dilakukan untuk
mensosialisasikan penyakit Cutaneous Larva Migrans adalah metode
penyuluhan berkelompok dengan sasaran utama yang memiliki anak,
dilakukan diskusi dua arah dan pembagian lembaran leaflet.3.2.
Intervensi Menjelaskan kepada orangtua pasien tentang penyakit,
bahwa penyakit Cutanoeus Larva Migrans ditularkan melalui kontak
dengan tanah lembab atau berpasir, yang telah terkontaminasi dengan
feces anjing atau kucing. Memberikan edukasi kepada pasien mengenai
terapi terhadap penyakit. Menjelaskan kepada para orangtua agar
anaknya jangan dibiarkan bermain di tanah, pasir atau rumput tanpa
alas kaki. Memberitahukan agar segera berobat ke dokter apabila
menjumpai tanda-tanda cacing kulit. Menjelaskan bahwa jangan
menggaruk lesi agar tidak terjadi infeksi sekunder.
BAB IVPELAKSANAAN (PROSES INTERVENSI)
4.1. Strategi Penanganan Masalah Diagnosis Klinis : Cutaneous
Larva MigransPenanganan masalah : Promotif penyuluhan tentang
penyakit & cara penularan penyakit Cutaneous Larva Migrans.
Preventif penyuluhan tentang upaya-upaya supaya penyakit tidak
berulang kembali. Kuratif medikamentosa Rehabilitatif anjuran agar
pasien kontrol kembali untuk menilai keefektifan terapi dan upaya
agar penyakit tidak menjadi burukDiagnosis sosial : Belum
mengetahui cara penularan dan pencegahan penyakit.Penanganan
masalah: Berobat ke Puskesmas dan mengikuti penyuluhan yang
diberikan.4.2. Gambar-gambar Pelaksanaan Intervensi
Gambar 1. Penyuluhan Cutaneous Larva Migrans
Gambar 2. Leaflet Penyuluhan Cutaneous Larva Migrans
Gambar 3. Pemeriksaan pada pasien, gejala dan tanda yang
didapat
Gambar 4. Peran pasien dan keluarga dalam pencegahan
penyakit
Gambar 5. Peran pasien dan keluarga dalam pengobatan
penyakitnyaBAB VMONITORING DAN EVALUASI5.1. MonitoringPeran serta
keluarga dan masyarakat adalah syarat mutlak bagi keberhasilan,
kelangsungan dan kemandirian pembangunan kesehatan, terutama dalam
hal ini mengenai pengobatan dan pencegahan penyakit Cutaneous Larva
Migrans. Peran serta keluarga dan masyarakat dalam pencegahan
penyakit Cutaneous Larva Migrans diwujudkan antara lain dengan
menjalankan cara hidup sehat dan penyelenggara berbagai upaya dan
pelayanan kesehatan.5.2. Evaluasi Diharapkan pasien dan keluarga
mengerti tentan penyakitnya, cara penularan, pencegahan dan
pengobatan penyakitnya. Anggota keluarga ataupun tetangga sekitar
rumah yang menderita gejala yang sama agar segera datang ke pelanan
kesehatan untuk diobati. Mengetahui cara pengobatan yang benar,
berdasarkan anjuran dokter. Tidak memelihara binatang peliharaan.
Merawat kebersihan diri ( mandi minimal 2x sehari) Membiasakan
perilaku cuci tangan sebelum dan sesudah makan, setelah melakukan
aktivitas seperti bermain, berkebun dan mengetahui cara cuci tangan
yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
1. Jusych, LA. Douglas MC.Cutaneous Larva Migrans: Overview,
Treatment and Medication. Diunduh dariwww.emedicine.com. 2.
Anonymous. Clinical Presentation in Humans. Diunduh dari
www.stanford.edu/group/parasites/parasites2002/cutaneous_larva_migrans/clinical%20presentation.html,
29 Desember 20093. Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff KW, Austen KF,
Goldsmith LA, Katz SI, eds. Fitzpatricks Dermatology in Gerneral
Medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Co. Inc. 2003.4. Aisah,
Siti. 2008. Creeping Eruption, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Edisi ke 5. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta :
Balai Penerbit FK UI. Hal 125-1265. Emmy dkk. 2005. Creeping
Eruption, Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia, Sebuah Panduan
Bergambar. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : PT
Medical Multimedia Indonesia. Hal 716. Siregar, R.S. 2004. Creeping
Eruption, Saripati Penyakit Kulit. Edisi ke 2. Jakarta : Penerbit
Buku Kedokteran, EGC. Hal 172.