MAKALAH
MATA KULIAH IPH 331
PARASITOLOGI VETERINER: ENDOPARASIT
Cryptosporidium spp. pada SapiKelompok
Kodrat Zulfikar BandoroB04120121..................
Nur Hana Safitri
B04120122..................
Siti Khunaefah
B04120123..................
Jannatul Ajilah
B04120124..................
Kanti Rahmi Fauziyah
B04120125..................Sarah Minarni
TampubolonB04120126..................
Noor Ihsan Anzari BakhtiarB04120127..................
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2015
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pemenuhan protein hewani di Indonesia terutama pada daging sapi
yang berguna untuk kebutuhan gizi masyarakat dan pemenuhan pangan.
Daging sapi merupakan salah satu jenis pangan yang memiliki
kandungan gizi dan protein yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan
tubuh manusia. Namun ketersediaan daging sapi di dalam negeri cukup
terbatas dikarenakan rendahnya populasi sapi yang dimiliki peternak
sapi. Ditambah lagi dengan munculnya berbagai macam penyakit yang
dapat menurunkan produk maupun populasi sapi. Terdapat salah satu
masalah penyakit yang dihadapi peternak yaitu kriptosporidiosis
yang disebabkan oleh parasit Cryptosporodium sp.Cyrptosporidium,
Isospora belli, dan Cyclospora merupakan parasit protozoa koksidia
yang menginfeksi sel epitel saluran pencernaan pada banyak spesies
mamalia dan manusia, menyebabkan enteritis dan diare. Pada mulanya,
Cryptosporidium diduga pathogen secara tersendiri pada orang dengan
gangguan imun, dan jarang menyebabkan penyakit pada individu
imunokompeten. Cryptosporidium sekarang dikenal sebagai protozoa
utama yang menyebabkan diare. Cryptosporidium parvum sebagai
penyebab diare ringan sampai berat, mulai dari beberapa hari sampai
dengan lebih dari satu bulan (Bazeley 2003). Protozoa C. parvum
dikenal sebagai parasit obligat intraseluler dan bersifat sangat
patogen, dapat menginfeksi saluran pencernaan manusia (Sreter et
al. 2000) dan hewan mamalia seperti sapi, kambing, domba, kuda dan
lainnya. Secara klinis, infeksinya ditandai diare, dan dapat kronis
pada penderita immunocompromise (Paul dan Nichols 2002).Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui
morfologi dan siklus hidup Cryptosporidium sp., infeksi dan
patogenesis Cryptosporidium sp pada sapi, serta cara pengendalian
yang dapat diterapkan untuk menanggulangi kejadian
kriptosporidiosis. TINJAUAN PUSTAKA
TaksonomiKingdom: Protista
Filum: Apicomplexa
Kelas: Conoidasida
Sub Kelas: CoccidiasinaOrdo: Eucoccidiorida
Sub Ordo: Eimeriorina
Famili: Cryptosporidiidae
Genus: Cryptosporidium
(Levine 1985)
Morfologi Dan UkuranParasit ini berbentuk bulat, kecil, tipis
dan transparan. Bagian dalam nampak berkilau menyerupai mutiara,
memiliki dinding dan kadang nampak adanya sporozoit. Ukuran
diameternya bervariasi antara 46 m (Artama 2005).
studydroid.comProtozoa C. parvum dikenal sebagai parasite
obligat intraseluler (CDC 2005) dan bersifat sangat patogen, dapat
menginfeksi saluran pencernaan manusia (Sreter et al., 2000; Elon
et al., 1994) dan hewan mamalia seperti sapi, kambing, domba, kuda
dan lainnya. Secara klinis, infeksinya ditandai diare, dan dapat
kronis pada penderita immunocompromise (Paul dan Nichols 2002).
Distribusi geografis parasit ini tersebar luas (ubiquitos) dengan
vertebrata sebagai inang. Parasit keluar bersama tinja dan
mencemari lingkungan dalam bentuk ookista. Ookista yang bersumber
dari hewan maupun manusia dapat mengkontaminasi lingkungan secara
berlanjut (Grinberg et al. 2002). Ookista bertahan hidup dalam
periode waktu cukup lama pada lingkungan buruk, dan air minum.
Kondisi tersebut dapat menyebabkan terjadinya infeksi secara
endemis. Kejadian infeksi C. parvum cukup tinggi menginfeksi bayi,
dan anak-anak di negara-negara berkembang (Clinton dan Flanigan
2003). Penularan parasit ini terutama terjadi melalui air minum dan
makanan yang terkontaminasi ookista yang infektif. Infeksi terjadi
secara langsung melalui tinja, dan masuk melalui oral.
Kriptosporidiosis menjadi masalah serius di Amerika Serikat dan
beberapa negara Eropa (Hannahs 2004).
Kriptosporidiosis dapat ditularkan melalui air minum ataupun
makanan yang terkontaminasi oleh ookista. Air permukaan yang
diminum tanpa dimasak seperti air sungai, danau, ataupun menelan
air dalam jumlah sedikit ketika berenang, dan air kolam yang sudah
diklorinasi juga dapat menularkan kriptosporidiosis. Air permukaan
dapat tercemar ookista mencapai 97% sedangkan dengan perlakuan
penyaringan mencapai 54%, serta dapat menyebabkan diare mencapai
27,30% (Barbara et al. 2004). Pengelolaan air permukaan yang
dialiri kotoran ternak merupakan salah satu resiko potensial
menyebarkan C. parvum (Sischo et al. 2000). Parasit juga dapat
menyebar melalui makanan yang tidak dimasak, ataupun makanan
lainnya yang dicuci dengan air terkontaminasi ookista. Buah-buahan
segar yang tidak tercuci ataupun sayuran kemungkinan juga
mengandung ookista jika lokasi panen dipergunakan menggembalakan
ternaknya (Barbara et al. 2004).
Salah satu faktor penyebab kriptosporidiosis pada pedet adalah
adanya kontak langsung dengan lantai yang sebelumnya sudah tercemar
C. parvum yang berasal dari ternak dan lingkungan tercemar.
Kualitas kolostrum yang bermutu jelek juga merupakan predisposisi
terjadinya kriptosporidiosis pada pedet. Penggunaan pupuk kandang
untuk tanaman baik di ladang dan sawah merupakan faktor yang dapat
menyebarkan kejadian kriptosporidiosis pada pedet (Sischo et al.
2000).
Kriptosporidiosis yang terjadi pada hewan dewasa dapat
disebabkan karena adanya autoinfeksi serta sebagai reservoar
parasite anthropozoonosis yang berbahaya bagi manusia serta
merupakan zoonotik pathogen yang potensial (Merle et al. 2004), dan
memungkinkan terjadinya infeksi berlanjut. Pada hewan dewasa
infeksi nampak tidak begitu menonjol dibandingkan dengan hewan
muda. Hal ini disebabkan adanya peran system kekebalan yang telah
terbentuk sehingga kriptosporidiosis dapat terjadi secara
asimtomatis yang bisa mencapai 80% (Meloni dan Thomson 1996]).
PEMBAHASANSiklus HidupTahap infeksi dari protozoa ini adalah
ookista dengan ukuran 5-7m, yang tahan terhadap kondisi lingkungan.
Infeksi terjadi karena ookista masuk dan teringesti ke induk semang
yang cocok. Ookista melakukan eksitasi dan mengeluarkan sporozoit
infektif yang akan menjadi parasit pada sel epitel terutama dalam
saluran pencernaan inang (Pazra 2004).
Ookista yang telah mengalami sporulasi terdiri dari 4 sporozoit
dikeluarkan melalui feses organisme yang terinfeksi dan mengalami
rute yang lain seperti sekresi lewat pernafasan. Transmisi dari
Cryptosporidium parvum dan Cryptosporidium hominis umumnya terjadi
melalui kontak dengan air yang telah terkontaminasi. Empat
sporozoit dikeluarkan dari tiap ookista, menembus sel sepitel usus
dan jaringan yang lain seperti saluran pernafasan. Sporozoit akan
berkembang menjadi trophozoit. Kemudian mengalami multiplikasi
aseksual (schizogoni atau merogoni) yang menghasilkan meront tipe
I. Merozoit yang dihasilkan dari meront tipe I dapat menginfeksi
sel dan mengulang kembali siklus aseksual atau menginfeksi sel dan
berkembang menjadi meront tipe II. Tiap meront II akan membebaskan
4 buah merozoit. Merozoit tipe II akan berkembang dan mengalami
multiplikasi seksual (gametogoni) menghasilkan mikrogamont dan
makrogamont. Mikrogamet yang keluar dari mikrogamont akan membuahi
makrogamont yang matang dan menghasilkan zigot yang akan berkembang
menjadi ookista berdinding tebal dan ookista berdinding tipis.
Ookista ini akan bersporulasi (berkembang menjadi sporozoit yang
infektif). Keluarnya sporozoit dari ookista berdinding tipis akan
menyebabkan autoinfeksi. Sementara ookista yang berdinding tebal
akan dikeluarkan melalui feses dan apabila tertelan segera akan
menginfeksi inang lainnya (Pazra 2004).Dosis infektif kasus
kriptosporidiosis pada manusia adalah kurang dari atau sama dengan
1.000 ookista. Sedangkan pada hewan 1-10 ookista sudah dapat
menimbulkan infeksi (Pazra 2004). Mekanisme kriptosporidiosis
menyebabkan diare pada manusia karena kegagalan absorbsi dan
peningkatan sekresi usus halus. Adhesi/invasi dari
sporozoit/merozoit Cryptosporodium parvum ke membran apikal dari
sel epitel usus merangsang aktivitas dari beberapa seluler kinase.
Invasi seluler juga merangsang sel epitel usus halus untuk
memproduksi prostaglanding synthase, IL-8 dan TNF-. Adanya sel
polimorfonuklear (oleh IL-8), aktivasi makrofag (oleh TNF-),
diproduksinya prostaglandin (oleh prostaglanding synthase) dan
perubahan fungsi pertukaran ion (oleh seluler kinase) diperkirakan
merangsang sekresi usus untuk merespon infeksi seluler terhadap C.
parvum. Invasi seluler juga menghasilkan pendataran dan bersatunya
vili usus, merupakan kemungkinan kedua yang terjadi pada infeksi
sel di dalam respon immunoseluler. Adanya proses apoptosis sel-sel
yang mati pada enteric nervous system juga memberi peranan terhadap
patofisiologi diare ini (Pazra 2004).
http://bvetlampung.com/diare-ganas-pada-pedet-sangat-mematikan/PatogenesaFaktor
lingkungan yang endemis dapat mendorong terjadinya infeksi pada
berbagai tingkat umur. Keadaan lingkungan daerah dataran rendah dan
dataran tinggi menyebabkan perkembangan C. parvum berbeda.
Prevalensi kriptosporidiosis lebih tinggi di daerah dataran tinggi
dibandingkan dataran rendah. Kejadian kriptosporidiosis sangat erat
hubungannya dengan kondisi daerah. Kriptosporidiosis lebih tinggi
pada periode musim dingin daripada musim panas (Chai et al. 1996
dalam Ran Yu et al. 2004). Ookista C. parvum penyebarannya
dipengaruhi pula oleh sifat biologi yang dimiliki. Ookista cukup
tahan pada kondisi lembab. Ookista tahan di lingkungan akibat
morfologi dindingnya cukup tebal, yang menyebabkan tetap tahan di
alam sehingga dikenal dengan hidden spore atau underground spore
(Upton 2004). Ookista sangat tahan terhadap disinfektan termasuk
pengapuran, tetapi dapat mati pada tempertur 160oF (71oC) melalui
pengeringan atau suhu -200C (Barbara et al. 2004). InangHewan yang
peka terhadap infeksi Cryptosporidium sp. yaitu sapi, kambing,
ayam, tikus, babi, anjing dan kucing, sedangkan hewan yang sangat
rentan terhadap infeksi Cryptosporidium sp. yaitu sapi, domba, babi
dan kuda. Cryptosporidium sp. juga ditemukan pada spesies primata
dan herbivore. Infeksi Cryptosporidium sp. pada sapi dan domba
dapat menyebabkan diare (Artama 2015).TransmisiDistribusi geografis
parasit ini tersebar luas (ubiquitos) dengan vertebrata sebagai
inang. Parasit keluar bersama tinja dan mencemari lingkungan dalam
bentuk ookista. Ookista yang bersumber dari hewan maupun manusia
dapat mengkontaminasi lingkungan secara berlanjut (Grinberg et al.,
2002). Ookista bertahan hidup dalam periode waktu cukup lama pada
lingkungan buruk, dan air minum. Kondisi tersebut dapat menyebabkan
terjadinya infeksi secara endemis. Penularan parasit ini terutama
terjadi melalui air minum dan makanan yang terkontaminasi ookista
yang infektif. Infeksi terjadi secara langsung melalui tinja, dan
masuk melalui oral (Artama, 2005).PenyakitCryptosporidium sp
merupakan parasit yang menyebabkan kriptosporidiosis pada sapi.
Kriptosporidiosis dapat ditularkan dari hewan ke manusia dan
sebaliknya (zoonosis) (Manalu 2014). Kriptosporidiosis pada pedet
kejadiannya mencapai 92% (Faubert dan Litvinsky 2000) dengan
menggunakan metode kit komersial immunoflorescent dan acid fast
assay untuk pewarnaan ookista. C. parvum umumnya lebih dominan
sebagai parasit ternak sapi yang masih muda. Pada hewan yang lebih
dewasa dapat menyebabkan infeksi dengan perkembangan yang lambat.
Kriptosporidiosis pada sapi setelah melahirkan mencapai 47,50%. Hal
ini karena sapi dewasa dianggap sebagai reservoar dan dapat
terinfeksi bersifat asimtomatik (Mizic et al. 2002). Daerah
peternakan dapat mencapai 55% (Fonseca et al. 2001). Kejadian pada
ternak biri-biri umur lebih dari 1 tahun prevalensinya 7,80%
(Causape et al. 2002).Kriptosporidiosis yang terjadi pada hewan
dewasa dapat disebabkan karena adanya autoinfeksi serta sebagai
reservoar parasit anthropozoonosis yang berbahaya bagi manusia
serta merupakan zoonotik patogen yang potensial (Merle et al.
2004), dan memungkinkan terjadinya infeksi berlanjut. Pada hewan
dewasa infeksi nampak tidak begitu menonjol dibandingkan dengan
hewan muda. Hal ini disebabkan adanya peran sistem kekebalan yang
telah terbentuk sehingga kriptosporidiosis dapat terjadi secara
asimtomatis yang bisa mencapai 80% (Nizeyi et al.
2002).PenularanKriptosporidiosis dapat ditularkan melalui air minum
ataupun makanan yang terkontaminasi oleh ookista. Air permukaan
yang diminum tanpa dimasak seperti air sungai, danau, ataupun
menelan air dalam jumlah sedikit ketika berenang, dan air kolam
yang sudah diklorinasi juga dapat menularkan kriptosporidiosis. Air
permukaan dapat tercemar ookista mencapai 97% sedangkan dengan
perlakuan penyaringan mencapai 54%, serta dapat menyebabkan diare
mencapai 27,30% (Barbara et al. 2004). Pengelolaan air permukaan
yang dialiri kotoran ternak merupakan salah satu resiko potensial
menyebarkan C. parvum (Sischo et al. 2000). Parasit juga dapat
menyebar melalui makanan yang tidak dimasak, ataupun makanan
lainnya yang dicuci dengan air terkontaminasi ookista. Buah-buahan
segar yang tidak tercuci ataupun sayuran kemungkinan juga
mengandung ookista jika lokasi panen dipergunakan menggembalakan
ternaknya (Barbara et al. 2004).Salah satu faktor penyebab
kriptosporidiosis pada pedet adalah adanya kontak langsung dengan
lantai yang sebelumnya sudah tercemar C. parvum yang berasal dari
ternak dan lingkungan tercemar. Kualitas kolostrum yang bermutu
jelek juga merupakan predisposisi terjadinya kriptosporidiosis pada
pedet. Penggunaan pupuk kandang untuk tanaman baik di ladang dan
sawah merupakan factor yang dapat menyebarkan kejadian
kriptosporidiosis pada pedet (Sischo et al. 2000).Kriptosporidiosis
mencapai 93,30% terjadi pada sapi di daerah endemik positif ookista
C. parvum, dan 91% terjadi pada peternakan (Sischo et al. 2000).
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi C. parvum
pada semua tingkat umur adalah akibat tatalaksana peternakan.
Perilaku peternak umumnya menggabungkan ternak mereka pada satu
kandang. Selain itu belum tertanganinya limbah kotoran ternak
secara baik, dan belum adanya bak penampungan untuk menampung
kotoran ternak. Penanganan tali pusat setelah kelahiran juga
penting untuk pencegahan kriptosporidiosis dengan cara menjaga agar
selalu kering dengan pemberian iodine tincture. Jika tali pusat
dalam kondisi lembab maka agen infeksius akan masuk ke tubuh.
Ketiga, pemberian air susu yang kurang higienis yaitu susu basi,
susu mastitis, susu tercemar dari tangan yang kotor, tempat susu
kotor, atau tercemar dari lingkungan kandang akan sangat mudah
menyebabkan diare. Faktor lainya adalah adaptasi pedet terhadap
milk replacer pada masa awal substitusi susu dengan milk replacer
(Susilo 2014).Gejala KlinisGejala klinis yang terjadi karena
infeksi Cryptosporodium parvum pada pedet dengan periode inkubasi
anak sapi 1-4 hari (rata-rata 4 hari), anoreksia (tidak mau makan)
, diare , demam , tenesmus (mulas), kejang perut , dan kehilangan
berat badan serta dehidrasi. Diagnosa banding penyakit ini adalah
Eschericia coli, Salmonella, dan Giardiasis. Umur pedet paling
rentan infeksi umur 1 30 hari, dengan mengeluarkan ookista
berjumlah 106-107/gram feses. Diare akibat kriptosporidiosis
cenderung lebih lama beberapa hari dibandingkan dengan diare yang
disebabkan oleh rotavirus, coronavirus, atau enterotoksigenik
Escherichia coli. Tinja/feses pada hewan yang menderita
kriptosporidiosis berwarna kuning atau lebih pucat dengan
konsistensi berair dan berlendir (Susilo 2014).Penderita
kriptosporidiosis manifestasi klinisnya dapat bervariasi sesuai
dengan status kekebalan inang. Gejala infeksi umumnya ditemukan
pada wilayah endemik dan dapat diidentifikasi melalui survey
serologis yang dilakukan terhadap suatu populasi. Pada hewan muda
kemungkinan peran sistem kekebalan yang masih belum sempurna, jika
dibandingkan dengan hewan dewasa. Sehingga infeksi Cryptosporidium
pada hewan muda lebih tinggi dibandingkan dengan hewan dewasa
(Pazra 2004).
http://ilmuveteriner.com/gejala-klinis-kriptosporidiosis-pada-hewan/PengobatanPengobatan
awal yang dapat dilakukan adalah dengan penggantian cairan yang
hilang yaitu dengan pemberian elektrolit hangat. Selanjutnya
pengobatan causatif dengan obat anti infeksius berdasar agen
infeksinya. Pemberian obat supportif juga sangat membantu cepatnya
kesembuhan pada pedet. Lepas dari semua treatment yang dilakukan,
kondisi kekebalan tubuh dan faktor pendukungnya (lingkungan,
ketersediaan pakan, dan lainnya) menjadi faktor yang paling utama
dalam kesembuhan. Hal ini mengingat bahwa pedet dengan immunitas
baik akan mampu melawan dari agen infeksi dengan cara self cure
(Susilo 2014).KESIMPULANCyrptosporidium sp merupakan parasit
protozoa koksidia yang menginfeksi sel epitel saluran pencernaan
pada banyak spesies mamalia dan manusia, menyebabkan penyakit
kriptosporidiosis, enteritis dan diare. Tahap infeksi dari protozoa
ini adalah ookista. Infeksi terjadi karena ookista masuk dan
teringesti ke induk semang. Ookista melakukan eksitasi dan
mengeluarkan sporozoit infektif yang akan menjadi parasit pada sel
epitel terutama dalam saluran pencernaan inang. Pencegahan dan
pengendalian penyakit yang terinfeksi oleh Cryptosporidium sp.
dapat dilakukan dengan manajemen ternak yang benar terutama pada
sanitasi kandang, pemberian pakan dan air minum yang bebas
kontaminan serta pembuangan feses yang baik.
DAFTAR PUSTAKAArtama, I Ketut, U. Cahyaningsih dan E. Sudarnika.
2005. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium parvum pada Sapi Bali di
Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali.
[terhubung]
http://peternakan.litbang.pertanian.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=1632%3Asemnas&catid=300%3Asemnas2005&Itemid=1#sthash.0sKWfRvq.dpuf
(14 Maret 2015).Barbara, K., dkk. 2004. Cryptosporidium; a
Waterborne Pathogen. USDA Water Quality Program, Cornell University
Cooperative Extension.Bazeley, K. 2003. Investigation of Diarrhoea
in The Neonatal Calf. In Practice.Causape, A.C., dkk. 2002.
Prevalence and analisis of potential risk factors for
Cryptosporidium parvum infection in lambs in Zagaroza (northeastern
Spain). Vet. Parasitol. 104(4): 287298.Centres for Disease Control
and Prevention. 2005. Cryptosporidium parvum. Foodborn Pathogenic
Microorganism and Natural Toxins Handbook. http://vm.cfsan.fda.
gov/mow/chap24.html (14/3/2015).Clinton W and TP Flanigan. 2003.
Cryptosporidiosis. Current Treatment Options in Infectious
Diseases. 5: 301306.El-On, J.,dkk . 1994. Detection of
Cryptosporidium and Giardia intestinalis in Bedouin Children from
Southern Israel. International J. Parasitol. 24(3): 409411.Faubert,
G.M. and Litvinsky. 2000. Natural Transmission of Cryptosporidium
parvum between dams and calves on a dairy farm. J. Parasitol.
86(3): 495500.Fonseca, I.P.D.A., dkk. 2002. Genetic
characterizations of Cryptosporidium parvum isolates from cattle in
Portugal: animal and human implications. J. Eukaryotic Microbiol.
Portugal.Grinberg, A. Marcovics, dkk. 2002. Controlling The Onset
of Natural Cryptosporidiosis in Calves with Paromomycin sulphate.
Veterinary Record. 151: 606608.Hannahs G. 2004. Cryptosporidium
parvum: An Emerging pathogen. Kenyon College. Manalu, Sarah Friska.
2014. Prevalensi infeksi Cryptosporidium sp pada Sapi Potong di
Kecamatan Cijulang dan Cimerak, Ciamis, Jawa Barat. [terhubung]
URI: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/66799 (14 Maret
2015).Meloni, B.P. and Thomson R.C.A. 1996. Simplified Method for
Obtaining Purified Oocysts from Mice and for Growing
Cryptosporidium parvum in vitro. J. Parasitol. 82(5): 757762.Merle,
E.O., dkk. 2004. Update on Cryptosporidium and Giardia infections
in cattle. Trends in Parasitology. 20(4): 188191.Misic, Z., dkk.
2002. Cryptosporidium infection in weaners, bull calves and
postparturient cows in the Belgrade area. Acta Veterinaria
(Beograd). 52(1): 3441.Nizeyi, J.B., dkk. 2002. Cattle near the
Bwindi Impenetrable National Park, Uganda, as a reservoir of
Cryptosporidium parvum and Giardia duodenalis for local Community
and freeranging gorillas. Parasitol. Res. 88(4): 380385.Paul, R.H.
and G. Nichols. 2002. Epidemiology and Clinical Features of
Cryptosporidium Infection in Immunocom-promised Patiens. American
Society for Microbiology. Clinical Microbiology Reviews. 15(1):
145154.Ran Yu, J.,dkk. 2004. Prevalence of Cryptosporidiosis among
the villagers and domestic animals in several rural areas of Korea.
The Korean J. Parasitol. 42(1): 16.Sischo, W.M, dkk. 2000.
Cryptosporidia on dairy farms and the role these farms may have in
contaminating surface water supplies in th northeastern United
States. Preventive Vet. Med. 43: 253267.Sreter, T, dkk. 2000.
Morphologic, Host Specificity, and Molecular Characterization of a
Hungarian Cryptosporidium meleagridis Isolate. Applied and
Environmental Microbiol. 66(2): 735738.Susilo, Joko. 2014. Diare
Ganas Pada Pedet Sangat Mematikan. [terhubung]
http://bvetlampung.com/diare-ganas-pada-pedet-sangat-mematikan/ (14
Maret).Upton, R.C.A., dkk. 2004. Basic Biology of Cryptosporidium.
Division of Biology, Kansas State University.
http://www.ksu.edu/parasitology/basicbio. (14 Maret 2015)..