BAB I PENDAHULUAN 1.1 General Anestesi Anestesiologi berasal
dari bahasa yunani yang berarti keadaan tanpa rasa sakit. Anastesi
adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan
meliputi pemberian anestesi maupun analgesi, pengawasan keselamatan
pasien di operasi atau tindakan lainnya, bantuan hidup (resusitas),
perawatan intensif pasien gawat, pemberian terapi inhalasi, dan
penanggulangan nyeri menahun.1 Istilah anestesi dikemukakan pertama
kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi
dibagi menjadi dua kelompok yaitu : (1) anestesi lokal, yaitu
hilangnya sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran
dan (2) anestesi umum yaitu hilangnya segala modalitas rasa
disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah
tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi dan relaksasi
otot.1,2 Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu
operasi terdapat beberapa tahap yang harus dilaksanakan yaitu pra
anestesi, tahap penatalaksanaan anestesi dan pemeliharaan serta
tahap pemulihan dan perawatan pasca anestesi.3 Tahap pra anestesi
merupakan tahap persiapan yang sangat menentukan keberhasilan suatu
anestesi. Hal yang penting dalam tahap ini adalah : (1) menyiapkan
pasien yang meliputi riwayat penyakit pasien, keadaan umum pasien,
dan mental pasien, (2) menyiapkan tehnik, obat obatan dan macam
anestesi yang digunakan, (3) Memperkirakan kemungkinan kemungkinan
yang akan timbul pada waktu pelaksanaan anestesi dan komplikasi
yang mungkin timbul pasca anestesi.3 Tahap pelaksanaan anestesi
meliputi premedikasi, induksi dan pemeliharaan yang dapat dilakukan
secara intravena maupun inhalasi. Pada tahap ini perlu monitoring
dan pengawasan ketat serta pemeliharaan jalan nafas karena pada
saat ini pasien dalam keadaan sadar dan kemungkinan komplikasi
anestesi maupun pembedahan dapat terjadi.1,2,3 Berdasarkan analisis
kata anastesi (an = tidak, aestesi = rasa) dan reanimasi (re =
kembali, animasi/ animation = gerak = hidup) maka ilmu anastesi dan
reanimasi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tata
laksana untuk me matikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa
tidak nyaman yang lain sehingga pasien nyaman dan ilmu yang
mempelajari tata laksana untuk menjaga/mempertahankan hidup dan
kehidupan pasien selam mengalami kematian akibat obat anastesia.3
Berdasarkan batasan tersebut di atas, maka ruang lingkup pelayanan
medis yang di cakup cabang ilmu anestesi dan reanimasi meliputi :
1
a. Usaha-usaha penanggulangan nyeri dan setres emosional agar
pasien merasa nyaman, baik pada keadaan nyeri akut maupun nyeri
kronik b. Usaha-usaha kedokteran gawat darurat yang meliputi
bantuan resusitasi, PPGD dan terapi intensif c. Usaha-usaha
kedokteran perioperatif yang meliputi evaluasi/ persiapan pra
operatif, tindakan anestesi dan reanimasi intraoperatif dan
tindakan anestesi dan reanimasi pascaoperatif.3 Anestesi dibagi
menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal.
Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan
atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar
pembedahan. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi
general yaitu tindakan meniadakan nyeri secara sentral disertai
hilangnya kesadaran yang bersifat reversible.1 1.2 Defenisi3,4
Anestesi umum adalah suatu keadaan di mana hilangnya kesadaran di
sertai dengan hilangnya perasaan sakit diseluruh tubuh akibat
pemberian obat-obatan anestesi dan bersifat refersible ( dapat
kembali kepada keadaan semula). Komponen anestesi yang ideal
terdiri : (1) Hipnotik ( tidak sadarkan diri = mati ingatan) (2)
Analgesia ( analgesia bebas nyeri = mati rasa ) (3) Relaksasi otot
rangka ( mati gerak ) 1.3 Stadium Dokter atau petugas yang
memberikan anestesia sangan penting mengetahui stadium anestesia
pada pasien terutama dalam menentukan stadium atau saat yang tepat
untuk memulai pembedahan pada pasien. Disamping itu pemahaman
tentang perjalanan dari stadium ke stadium berikutnya sangat
penting agar petugas mampu mengantisipasi segala kemungkinan yang
terjadi dan mampu mengatasi penyulit-penyulit yang mengancam
keselamatan pasien selama dibius.3 Parameter yang dipakai pegangan
oleh Guedel. Pembagian stadium tersebut adalah sebagai berikut,
yaitu:1,3 1) Stadium I, disebut sebagai stadium analgesia. 2)
Stadium II, disebut sebagai stadium eksitasi. 3) Stadium III,
disebut sebagai stadium pembedahan, di bagi menjadi 2
a. Plana 1 (P1) b. Plana 2 (P2) c. Plana 3 (P3) : optimal untuk
operasi d. Plana 4 (P4) 4) Stadium 4, disebut stadium paralisis
(kelebihan obat). TABEL : Stadium anestesi menurut Guedel Stadium
(St) I: analgesia Respirasi Pupil Ritme Volume ukuran letak sampai
Tidak Kecil Kecil Difergen Besar Besar Sedang Sedang Kecil Lebar
Kecil Setengah lebar lebar Lebar maksimal pause sampai otot Tidak
teratur, nafas cepat dan panjang IV. henti napas-henti jantung 1.4
Metode Metode anestesi umum dilihat dari cara pemberian obat. 1.
Parenteral Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik
intravena maupun intra muskular biasanya digunakan untuk tindakan
yang singkat atau untuk tindakan induksi anestesi. Obat yang umum
dipakai adalah tiopental. Kecuali untuk kasus kasus tertentu dapat
digunakan ketamin, diazepam, dll. Untuk tindakan yang lama biasanya
dikombinasi dengan obat anestesi lain. 3 Difergen Difergen Menetap
ditengah Menetap ditengah Menetap ditengah Spingter dan karina ani
Faring peritoneum Depresi reflek Tidak ada Bulu mata,
tidak sadar teratur II:sampai pernapasan Tidak teratur atau
otomatis teratur III P1: sampai gerakan Teratur bola mata hilang.
P2: samapi awal parise Teratur otot lurik P3: sampai otot napas
Teratur lumpuh P4: diafragma lumpuh
kelopak mata Kulit konjungtiva Kornea
2. Perektal Anestesi umum yang diberikan melalui rektal
kebanyakan dipakai pada anak, terutama untuk induksi anestesi atau
tindakan singkat. 3. Perinhalasi, melalui pernafasan Anestesi
inhalasi ialah anestesi dengan menggunakan gas atau cairan anestesi
yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui
udara pernafasan. Zat anestetika yang dipergunakan berupa suatu
campuran gas (dengan O2) dan konsentrasi zat anestetika tersebut
tergantung dari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan
otak menentukan kekuatan daya anestesi, zat anestetika disebut kuat
bila dengan tekanan parsial rendah sudah mampu memberi anestesi
yang adekuat. Anestesi inhalasi masuk dengan inhalasi / inspirasi
melalui peredaran darah sampai ke jaringan otak.2 1.5 Intubasi
Intubasi trakea adalah tindakan memasukkan pipa trakea ke dalam
trakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung
distalnya berada kira-kira di pertengahan trakea antara pita suara
dan bifurcatio trakea. Indikasi intubasi trakea 1. Menjaga patensi
jalan nafas oleh sebab apapun Kelainan anatomi, bedah khusus, bedah
posisi khusus, pembersihan sekret jalan nafas, dan lain-lainnya. 2.
Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi Misalnya, saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan efisien,
ventilasi jangka panjang. 3. Pencegahan terhadap aspirasi dan
regurgitasi.2 Sebelum mengerjakan intubasi trakea, dipersiapkan
peralatan: S = Scope Stetoskop untuk mendengarkan suara paru dan
jantung. LaringoScope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai
dengan usia pasien. Lampu harus cukup terang.
4
Gambar 1. Laryngoscope
T = tubes
Pipa trakea. Pilih sesuai usia. Usia < 5 tahun tanpa balon
(cuffed) dan > 5 tahun dengan balon (cuffed).
Gambar 2. ETT
A = Airway
Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung
faring (naso tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat
pasien tidak sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan
nafas.
T = Tape I = Introducer C = Connector S = Suction
Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastik (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandu supaya pipa trakea mudah dimasukkan.
Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia. Penyedot lendir,
ludah dan lain lainnya.1,2
Gambar 3. Pemakaian ETT
5
Komplikasi tindakan intubasi trakea dapat terjadi saat
dilakukannya tindakan laringoscopy dan intubasi, selama pipa
endotrakeal di masukkan, dan setelah ekstubasi.1 A. Komplikasi
tindakan laringoscopy dan intubasi: 1. Malposisi: intubasi
esofagus, intubasi endobronkial, malposisi laringeal cuff. 2.
Trauma jalan nafas: kerusakan gigi, laserasi bibir, lidah atau
mukosa mulut, cedera tenggorok, dislokasi mandibulae dan diseksi
retrofaringeal. 3. Gangguan refleks: hipertensi, takikardi, tekanan
intra karnial meningkat, tekanan intraoculern meningkat dan spasme
laring 4. Malfungsi tuba: perforasi cuff B. Komplikasi pemasukan
pipa endotrakel 1. Malposisi: ekstubasi yang terjadi sendiri,
intubasi ke endobronkial, malposisi laryngeal cuff. 2. Trauma jalan
nafas: inflamasi dan ulserasi mukosa, serta eksoriasi kulit hidung.
3. Malfungsi tuba: obstruksi C. Komplikasi setelah ekstubasi 1.
Trauma jalan nafas: oedem dan stenosis (glotis, subglotis atau
trakea), suara serak/ parau (granuloma atau paralisis pita suara),
malfungsi dan aspirasi laring 2. Gangguan refleks: spasme laring.
Indikasi intubasi nasal: 1. Bila oral tube menghalangi pekerjaan
ahli bedah, misalnya tonsilektomi, pencabutan gigi, operasi pada
lidah 2. Pemakaian laringoskop sulit karena anatomi pasien 3. Bila
direct vision intubation gagal 4. Pasien pasien yang tak sadar
untuk memperbaiki jalan nafas.
1.6 Langkah-langkah baku anastesi dan reanimasi Langkah-langkah
baku yang selalu dilakukan apabila hendak memberikan pelayanan
anestesi-anelgesia pada pasien yang akan dilakukan pembedahan atau
prosedur diagnostik lain adalah :
6
A. PERSIAPAN PRA ANESTESI Kunjungan pra anestesi pada pasien
yang akan menjalani operasi dan pembedahan baik elektif dan darurat
mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan tersebut. Adapun
tujuan pra anestesi adalah : 1. Mempersiapkan mental dan fisik
secara optimal. 2. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat
anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. 3.
Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society
Anesthesiology): a. ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah
terlokalisir, tanpa disertai kelainan faali,biokimiawi,dan
psikiatris. Angka mortalitas 2%. b. ASA II: Pasien dengan gangguan
sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah
atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. c. ASA III:
Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian
terbatas. Angka mortalitas 38%. d. ASA IV: Pasien dengan gangguan
sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan
operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%. e. ASA V: Pasien dengan kemungkinan hidup kecil.
Tindakan operasi hampir tak ada harapan. Tidak diharapkan hidup
dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka mortalitas 98%.
Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat
.2,3 Pada dasarnya persiapan untuk anestesi umum seperti hal hal
yang perlu diperhatikan dibawah ini :3 1. Informed consent ( izin
dari pasien ). 2. Pemeriksaan keadaan umum pasien: a) Anamnesa b)
Pemeriksaan fisik c) Pemeriksaan laboratorium d) Konsultasi dan
koreksi terhadap kelainan fungsi organ vital e) Menentukan
prognosis pasien perioperatif sesuai ASA 3. Persiapan psikis dan
fisik 7
Persiapan fisik meliputi menghientikan kebiasaan-kebiasaan
buruk, melepas segala macam protesis, tidak menggunakan kosmetik
misalnya cat kuku atau cat bibir 4. Puasa dengan aturan Usia 36 1.7
Premedikasi anestesi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat
sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain :2 1.
2. 3. Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.
Menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam Membuat amnesia,
misal : diazepam, midazolam Makanan formula/ASI 4 jam 6 jam 8 jam 2
jam 3jam 3 jam padat susu Cairan jernih tanpa partikel
4. Memberikan analgesia, misal pethidin 5. Mencegah muntah,
misal : cendantron, metoklopropamid 6. Memperlancar induksi, misal
: pethidin 7. Mengurangi jumlah obat-obat anesthesia, misal
pethidin 8. Menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal :
sulfas atropin. 9. Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal
: sulfas atropin dan hiosin. Pemberian premedikasi pada pediatrik
sangat beraneka ragam bahkan seringkali premedikasi tidak harus
diberikan pada neonates, bayi, pasien gawat jalan dan anak yang
sudah besar, kecuali bayi/neonatus dengan kelainan jantung.
Beberapa obat pilihan premedikasi yang paling disukai antara
lain:
B. PERSIAPAN ANESTESI 8
INDUKSI
Pasien diusahakan tenang dan diberikan O2 melalui sungkup muka.
Obat-obat induksi dapat diberikan secara: Intravena a. Tiopental
Dosis : 3 7 mg/ KgBB Efek : Hipnotik kuat, Analgetik sedikit,
menimbulkan sedasi b. Propofol Dosis : 2 3 mg/ KgBB Efek : Hipnotik
murni, Depresi respirasi, Depresi sistem kardiovaskuler c. Ketamin
Dosis : 1 2 mg/KgBB Efek : Hipnotik kurang, Lakrimasi, Halusinasi,
Simpatonimatik Intramuscular Dengan menggunakan ketamin (ketalar)
denghan dosisi 5-7 mg/kgBB dan setelah 35 menit pasien tidur.
Inhalasi Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan Halotan ( fluotan
) atau sevofluran. Cara induksi ini biasa diberikan pada bayi dan
anak yang belum terpasang jalur vena, atau pada dewasa yang takut
disuntik. Cara ini hanya untuk anak atau bayi menggunakan teopental
atau midazolam.2 MUSCLE RELAXANT Relaksasi otot lurik dapat dicapai
dengan memberikan pelumpuh otot. Pelumpuh otot terbagi 2 : 1.
Pelumpuh otot depolarisasi Bekerjanya seperti acetil colin, tetapi
dicelah saraf otot tidak dirusak oleh polinesterase sehingga cukup
lama berada dicelah sinapstik dan terjadilah depolarisasi ditandai
oleh vasikulasi yang disusul relaksasi otot lurik. Termasuk
golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah succinil cholin dan
dekametonium. 2. Pelumpuh otot non depolarisasi Pelumpuh otot non
depolarisasi berikatan dengan reseptor nikotinik- cholinergik,
tetapi tidak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi acetil
cholin 9
menempatinya, sehingga aceti cholin tidak dapat bekerja.
Pelumpuh otot non depolarisasi digolongkan menjadi : Bensiliso
kuinolinum : d tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium,
mivakurium. Steroid : pankuronium, vekuronium,pipekuronium,
ropakuronium,rokuronium. Eter fenolik : gallamin Nortoksiferin :
alkuronium
Penawar pelumpuh otot atau anticholinesterase bekerja pada
sambungan saraf otot mencegah acetil cholinesterase, sehingga
acetil cholin dapat bekerja. Anticholinesterase yang paling sering
digunakan ialah neostigmin ( prostigmin) = 0,04-0,08 mg/kg,
piridostigmin= 0,1-0,4 mg/kg, dan endrophonium= 0,5-1,0 mg/kg.
Penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik sehingga pemberiannya
harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropin dosisnya
0,01-0,02 mg/kgBB.(2) RUMATAN ANESTESI
Rumatan (Maintenance ), biasanya mengacu pada trias anestesi
yaitu tidur ringan (Hipnosis) sekedar tidak sadar, analgesia cukup,
diusakan pasien agar selama di bedah tidak menimbulkan nyeri dan
relaksasi otot lurik yang cukup. Rumatan Anestesi dapat dilakukan
secara: a) Intravena Menggunakan opioid dosis tinggi, fentanyl
10-50 g/kgBB. Rumatan intra vena dapat juga menggunakan opioid
dosis biasa,tapi pasien di tidurkan dengan infus propofol 4- 12
mg/kg BB /jam b) Inhalasi Rumatan inhalasi biasanya menggunakan
campuran N2O dan O2 3:1 di tambah halothan 0,5 -2 volt% atau
enflurant 2 -4 volt% atau isofluran 2-4 volt% atau sefofluran 2-4
vol%. Bergantung apakah pasien bernafas spontan, dibantu ,
dikendalikan. 2 TERAPI CAIRAN
Prinsip dasar terapi cairan adalah cairan yang diberikan harus
mendekati jumlah dan komposisi cairan yang hilang. Terapi cairan
perioperatif bertujuan untuk: 10
1. Memenuhi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang
selama operasi. 2. Mengatasi syok dan kelainan yang ditimbulkan
karena terapi yang diberikan. Pemberian cairan operasi dibagi : Pra
operasi Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa,
muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang
ketiga seperti pada ileus obstriktif, perdarahan, luka bakar dan
lain-lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml /
kg BB / jam. Setiap kenaikan suhu 10 C kebutuhan cairan bertambah
10-15 %. Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena
proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : Ringan
= 4 ml/kgBB/jam. Sedang = 6 ml / kgBB/jam Berat = 8 ml /
kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan
kurang dari 10 % EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid
sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih
dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid /
dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit
cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
C.PASCA ANESTESI Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan
pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih
sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca
atau anestesi. Ruang pulih sadar batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di
ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat
terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau
pengaruh anestesinya.1
11
BAB II PEMBAHASAN MASALAH Batu empedu merupakan penyakit yang
sering ditemukan di negara maju dan jarang ditemukan di
negara-negara berkembang. Dengan membaiknya keadaan sosial ekonomi,
perubahan menu makanan ala barat serta perbaikan sarana diagnosis
khususnya
12
ultrasonografi, prevalensi penyakit batu empedu di negaranegara
berkembang cenderung meningkat.4 Di amerika serikat, 10% populasi
menderita kolelitiasis dengan batu empedu kolesterol mendominasi
yang terjadi dalam 70% dari semua kasus batu empedu. Sisanya 30%
dari batu pigmen dan komposisi yang bervariasi.5 2.1 Defenisi Batu
empedu merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu
material mirip batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu
(kolesistolitiasis) atau di dalam saluran empedu (koledokolitiasis)
atau pada kedua-duanya.3
Gambar 4. Gambaran batu dalam kandung empedu (Emedicine, 2007)
2.2 Anatomi kandung empedu Kandung empedu merupakan kantong
berbentuk alpukat yang terletak tepat dibawah lobus kanan hati.
Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, infundibulum, dan kolum.
Fundus bentuknya bulat, ujung nya buntu dari kandung empedu. Korpus
merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum adalah bagian
yang sempit dari kandung empedu.4 Empedu yang di sekresi secara
terus menerus oleh hati masuk ke saluran empedu yang kecil dalam
hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk dua saluran yang
lebih besar yang keluar dari permukaan hati sebagai duktus
hepatikus komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus
sistikus membentuk duktus koledokus.5
13
Gambar 5. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007) 2.3
Fisiologi Salah satu fungsi hati adalah untuk mengeluarkan empedu,
normalnya antara 6001200 ml/hari6. Kandung empedu mampu menyimpan
sekitar 45 ml empedu. Diluar waktu makan, empedu disimpan untuk
sementara di dalam kandung empedu, dan di sini mengalami pemekatan
sekitar 50 %. Fungsi primer dari kandung empedu adalah memekatkan
empedu dengan absorpsi air dan natrium. Kandung empedu mampu
memekatkan zat terlarut yang kedap, yang terkandung dalam empedu
hepatik 5-10 kali dan mengurangi volumenya 8090%.7,8 Menurut Guyton
&Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu : Empedu
memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi
partikel yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang
disekresikan dalam getah pankreas, Asam empedu membantu transpor
dan absorpsi produk akhir lemak yang dicerna menuju dan melalui
membran mukosa intestinal. Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk
mengeluarkan beberapa produk buangan yang penting dari darah,
antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari penghancuran
hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel- sel
hati. Pengosongan kandung empedu dipengaruhi oleh hormon
kolesistokinin, hal ini terjadi ketika makanan berlemak masuk ke
duodenum sekitar 30 menit setelah makan. Dasar yang menyebabkan
pengosongan adalah kontraksi ritmik dinding kandung empedu, tetapi
14
efektifitas pengosongan juga membutuhkan relaksasi yang
bersamaan dari sfingter oddi yang menjaga pintu keluar duktus
biliaris komunis kedalam duodenum. Selain kolesistokinin, kandung
empedu juga dirangsang kuat oleh serat-serat saraf yang menyekresi
asetilkolin dari sistem saraf vagus dan enterik. Kandung empedu
mengosongkan simpanan empedu pekatnya ke dalam duodenum terutama
sebagai respon terhadap perangsangan kolesistokinin. Saat lemak
tidak terdapat dalam makanan, pengosongan kandung empedu
berlangsung buruk, tetapi bila terdapat jumlah lemak yang adekuat
dalam makanan, normalnya kandung empedu kosong secara menyeluruh
dalam waktu sekitar 1 jam.9 Garam empedu, lesitin, dan kolesterol
merupakan komponen terbesar (90%) cairan empedu. Sisanya adalah
bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam empedu adalah
steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.6 2.4
Epidemiologi Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20%
sedangka angka kejadian di Indonesia tidak berbeda jauh dengan
negara lain di Asia Tenggara (syamsuhidayat). Peningkatan insiden
batu empedu dapat dilihat dalam kelompok resiko tinggi yang disebut
5 Fs : female (wanita), fertile (subur)-khususnya selama kehamilan,
fat (gemuk), fair, dan forty (empat puluh tahun).10 Kolelitiasis
dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko. Namun, semakin
banyak faktor resiko, semakin besar pula kemungkinan untuk
terjadinya kolelitiasis.8, Faktor resiko tersebut antara lain: 1.
Genetik Batu empedu memperlihatkan variasi genetik. Kecenderungan
membentuk batu empedu bisa berjalan dalam keluarga10. Di negara
Barat penyakit ini sering dijumpai, di USA 10-20 % laki-laki dewasa
menderita batu kandung empedu. Batu empedu lebih sering ditemukaan
pada orang kulit putih dibandingkan kulit hitam. Batu empedu juga
sering ditemukan di negara lain selain USA, Chili dan Swedia.13 2.
Umur Usia rata-rata tersering terjadinya batu empedu adalah 40-50
tahun. Sangat sedikit penderita batu empedu yang dijumpai pada usia
remaja, setelah itu dengan semakin bertambahnya usia semakin besar
kemungkinan untuk mendapatkan batu empedu, sehingga pada usia 90
tahun kemungkinannya adalah satu dari tiga orang.6,9 15
3. Jenis Kelamin Batu empedu lebih sering terjadi pada wanita
dari pada laki-laki dengan perbandingan 4:1. Di USA 10- 20 %
laki-laki dewasa menderita batu kandung empedu, sementara di Italia
20 % wanita dan 14 % laki-laki. Sementara di Indonesia jumlah
penderita wanita lebih banyak dari pada laki-laki.10 4. Beberapa
faktor lain Faktor lain yang meningkatkan resiko terjadinya batu
empedu antara lain: obesitas, makanan, riwayat keluarga, aktifitas
fisik, dan nutrisi jangka vena yang lama.10,13 2.5 Patogenesis Batu
empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang pada
saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan
sempurna, akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting
tampaknya adalah gangguan metabolisme yang disebabkan oleh
perubahan susunan empedu, stasis empedu dan infeksi kandung empedu.
Perubahan susunan empedu mungkin merupakan yang paling penting pada
pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan kolesterol
dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan
pengendapan unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu
dapat berperan sebagian dalam pembentukan batu, melalui peningkatan
dan deskuamasi sel dan pembentukan mucus.5 Sekresi kolesterol
berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada kondisi yang
abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan batu
empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan
kolesterol adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu,
terlalu banyak absorbsi garamgaram empedu dan lesitin dari empedu,
terlalu banyak sekresi kolesterol dalam empedu, Jumlah kolesterol
dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak yang dimakan
karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. 6 Batu kandung empedu dapat
berpindah kedalam duktus koledokus melalui duktus sistikus. Didalam
perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet
sehingga menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di
dalam duktus sistikus karena diameternya terlalu besar atau
tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada disana sebagai batu
duktus sistikus.3 2.6 Patofisiologi batu empedu 16
a. Batu Kolesterol Empedu yang di supersaturasi dengan
kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari 90 % kolelitiasis di
negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu kolesterol
campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa
organik dan inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu
dalam daerah hidrofobik micelle, sehingga kelarutannya tergantung
pada jumlah relatif garam empedu dan lesitin.10 Menurut Meyers
& Jones, 1990 Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi
dalam empat tahap: Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Pembentukan nidus. Kristalisasi/presipitasi. Pertumbuhan batu oleh
agregasi/presipitasi lamelar kolesterol dan senyawa lain yang
membentuk matriks batu. b. Batu pigmen Batu pigmen merupakan
sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat. Ada dua bentuk
yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm),
multipel, sangat keras dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu
tersebut mengandung dalam jumlah bervariasi kalsium bilirubinat,
polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil kolesterol (3
sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua
batu empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai
hitam.10 Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol.
Kemungkinan mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat
atau pembentukan pigmen abnormal yang mengendap dalam empedu.
Sirosis dan stasis biliaris merupakan predisposisi pembentukan batu
pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin tak terkonjugasi
(anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara
Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan
dengan invasi bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di
infeksi parasit Clonorchis sinensis atau Ascaris Lumbricoides.
E.coli membentuk Bglukoronidase yang dianggap mendekonjugasikan
bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong pembentukan kalsium
bilirubinat yang tak dapat larut.14 c. Batu campuran 17
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu
ini sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita
kolelitiasis. batu ini bersifat majemuk, berwarna coklat tua.
Sebagian besar dari batu campuran mempunyai dasar metabolisme yang
sama dengan batu kolesterol.10 2.6 Manifestasi klinis A. Batu
Kandung Empedu (Kolesistolitiasis) 1. Asimtomatik Batu yang
terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat
kolesistitis, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun
dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit sampai 50 % dari semua
pasien dengan batu kandung empedu, tanpa mempertimbangkan jenisnya,
adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien yang benar-benar
mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya yang
membutuhkan intervensi setelah periode wakti 5 tahun. Tidak ada
data yang merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien
dengan batu empedu asimtomatik.4 2. Simtomatik Keluhan utamanya
berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas. Rasa nyeri
lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit,
dan kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris,
nyeri pascaprandial kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh
makanan berlemak, terjadi 30-60 menit setelah makan, berakhir
setelah beberapa jam dan kemudian pulih, disebabkan oleh batu
empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering kali
berkaitan dengan serangan kolik biliaris.6,7 3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang
paling umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya
diantara wanita usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari
kandung empedu, berkaitan dengan obstruksi duktus sistikus atau
dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari kolesistitis akut adalah
nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa serangan
akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau
dengan pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung
skapula. Keluhan ini dapat disertai mual, muntah dan penurunan
nafsu makan, yang dapat berlangsung berhari-hari. Pada pemeriksaan
dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada kanan atas abdomen
dan tanda klasik Murphy sign (pasien berhenti bernafas sewaktu
perut kanan atas ditekan). Masa 18
yang dapat dipalpasi ditemukan hanya dalam 20% kasus. Kebanyakan
pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi terbuka atau
laparoskopik.7 B. Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis) Pada batu
duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila
terjadi kolangitis. Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya
disertai obstruksi, akan ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan
beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis akut yang ringan sampai
sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang ditandai
dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah
hati, dan ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa
kolangitis piogenik intrahepatik, akan timbul 5 gejala pentade
Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah syok, dan
kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.5
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius
karena komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa.
Batu duktus koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen
pasien serta dengan adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul
kolangitis akut. Episode parah kolangitis akut dapat menyebabkan
abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui ampula Vateri sewaktu
ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan duktus
pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu.
Tersangkutnya batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus
obstruktif.10 2.7 Penatalaksanaan Konservatif a) Lisis batu dengan
obat-obatan Sebagian besar pasien dengan batu empedu asimtomatik
tidak akan mengalami keluhan dan jumlah, besar, dan komposisi batu
tidak berhubungan dengan timbulnya keluhan selama pemantauan.
Kalaupun nanti timbul keluhan umumnya ringan sehingga penanganan
dapat elektif. Terapi disolusi dengan asam ursodeoksilat untuk
melarutkan batu empedu kolesterol dibutuhkan waktu pemberian obat
6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.
Terapi efektif pada ukuran batu kecil dari 1 cm dengan angka
kekambuhan 50 % dalam 5 tahun.3 b) Disolusi kontak
19
Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung
pelarut kolesterol ke kandung empedu. Prosedur ini invasif dan
kerugian utamanya adalah angka kekambuhan yang tinggi.5 c)
Litotripsi (Extarcorvoral Shock Wave Lithotripsy =ESWL) Litotripsi
gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun yang
lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk
pasien yang benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani
terapi ini. Efektifitas ESWL memerlukan terapi adjuvant asam
ursodeoksilat.10 Penanganan operatif a) Open kolesistektomi Operasi
ini merupakan standar untuk penanganan pasien dengan batu empedu
simtomatik. Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah
kolik biliaris rekuren, diikuti oleh kolesistitis akut. Komplikasi
yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD, perdarahan, dan
infeksi. Data baru-baru ini menunjukkan mortalitas pada pasien yang
menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989, angka kematian
secara keseluruhan 0,17 %, pada pasien kurang dari 65 tahun angka
kematian 0,03 % sedangkan pada penderita diatas 65 tahun angka
kematian mencapai 0,5 %.4 b) Kolesistektomi laparoskopik Kelebihan
tindakan ini meliputi nyeri pasca operasi lebih minimal, pemulihan
lebih cepat, hasil kosmetik lebih baik, menyingkatkan perawatan di
rumah sakit dan biaya yang lebih murah. Indikasi tersering adalah
nyeri bilier yang berulang. Kontra indikasi absolut serupa dengan
tindakan terbuka yaitu tidak dapat mentoleransi tindakan anestesi
umum dan koagulopati yang tidak dapat dikoreksi. Komplikasi yang
terjadi berupa perdarahan, pankreatitis, bocor stump duktus
sistikus dan trauma duktus biliaris. Resiko trauma duktus biliaris
sering dibicarakan, namun umumnya berkisar antara 0,51%. Dengan
menggunakan teknik laparoskopi kualitas pemulihan lebih baik, tidak
terdapat nyeri, kembali menjalankan aktifitas normal dalam 10 hari,
cepat bekerja kembali, dan semua otot abdomen utuh sehingga dapat
digunakan untuk aktifitas olahraga.16 c) Kolesistektomi
minilaparatomi. Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka
dengan insisi lebih kecil dengan efek nyeri paska operasi lebih
rendah. BAB III 20
KESIMPULAN Dalam suatu tindakan anestesi banyak hal yang harus
diperhatikan agar tindakan anestesi tersebut dapat berjalan dengan
baik sesuai dengan tujuan anestesi. Anastesi umum harus dilakukan
dengan mempertimbangkan keamanan pasien. Dalam hal ini pemeriksaan
pra anestesi memegang peranan penting pada setiap operasi yang
melibatkan anestesi. Pemeriksaan yang baik dan teliti memungkinkan
kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang
mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat
menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Selain itu, pemilihan
obat dan dosisnya harus benar-benar. Pada presentasi kasus ini
disajikan kasus penatalaksanaan general anestesi pada operasi
cholelitectomi pada penderita perempuan, umur 23 tahun, status
fisik ASA I , dengan diagnosis cholelithiasis. Dalam kasus ini
selama operasi berlangsung tidak ada hambatan yang berarti baik
dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang
pemulihan juga tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
Secara umum pelaksanaan operasi dan penanganan anastesi berlangsung
dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA 21
1. Lunn J. Farmakologi Terapan: Anestesi Umum. Catatan Kuliah
Anestesi, Edisi 4 .Jakarta : EGC. 2004 2. Latief S, Suryadi K,
Dachlan M. Anestesia Umum. Petunjuk Praktis Anestesiologi, Edisi
Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2009. 3. Mangku, Gde.Buku Ajar
Ilmu Anestesi dan Reanimasi.Macanan Jaya Cemerlang;Jakarta.2010 4.
Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1.
Edisi 3.Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. 2000. 5. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu
Bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2005. 570-9.
6. Schwartz,Seymour I. principles of surgery. 6th edition. United
States America : McGraw Hill, 1994. 7. Price SA, Wilson LM.
Kolelitiasis dan Kolesistisis dalam : Patofisiologi.Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, edisi 4. Jakarta : EGC. 1995. 8. Guyton AC,
Hall JE. Sistem Saluran Empedu dalam: Buku Ajar Fisiologi
Kedokteran. Edisi ke-9. Jakarta: EGC, 1997. 1028-1029. 9. Clinic
Staff. Gallstones. Available from: 10.
http:/www.6clinic.com/health/digetivesystyem/DG9999.htm. Last
update 25 11. Juli 2007 [diakses pada tanggal 16 April 2008] 12. 9.
7. Cholelithiasis. Available from: 13.
http:/www.7.com/healthmanagement/ManagingYourHealth/HealthReference/
14. Disease/InDepth.htm. Last update April 2007 [diakses tanggal 16
April 200]. 15. 10. Sarr MG, Cameron JL. Sistem empedu dalam : Buku
Ajar Bedah. Esentials of 16. Surgery, edisis ke-2. Jakarta: EGC,
1996. 121-123 17. 11.Garden Jet et al. Gallstone dalam: Principle
and Practice of Surgery. China: 18. Elseiver, 2007. 23. 19.
12.Bateson M. Batu Empedu dan Penyakit Hati. Jakarta: Arcan, 1991.
35-41. 20. 13. Latchie M. Cholelitiasis dalam : Oxford Handbook of
Clinical Surgery. 21. Oxford University. 1996. 162 22. 14.Bhangu AA
et al. Cholelitiasis and Cholesistitis dalam: Flesh and Bones of
23. Surgery. China: Elseiver, 2007. 123. 24. 15.Kasper DL et al.
Cholelitiasis, Cholesistitis, and Cholangitis dalam: Harrisons
22
25. Manual of Medicine, McGraw Hill, 2005, 751. 26. 16. Nealon
TF. Kolesistektomi Laparoskopi dalam : Ketrampilan Pokok Ilmu 27.
Bedah. Jakarta : EGC, 1996. 394 28. 19
23