1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebudayaan normatif asli yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat mempengaruhi tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistem hukum yang berlaku. Hingga sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum. Dilihat dari segi umurnya, maka hukum tertua yang berlaku di Indonesia adalah hukum adat, menyusul kemudian hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum tersebut memiliki ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem hukum di Indonesia disebut sistem hukum majemuk. 1 Inilah yang menyebabkan sistem hukum di Indonesia menjadi lemah. 1 Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994), Cet. Ke-1, h. 9.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan normatif asli yang dimiliki masyarakat Indonesia sangat
mempengaruhi tatanan kehidupan bangsa Indonesia, termasuk di dalamnya sistem
hukum yang berlaku. Hingga sekarang di Indonesia berlaku beberapa sistem hukum.
Dilihat dari segi umurnya, maka hukum tertua yang berlaku di Indonesia adalah
hukum adat, menyusul kemudian hukum Islam dan hukum Barat. Ketiga sistem
hukum tersebut memiliki ciri dan sistem tersendiri, tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dan Negara Republik Indonesia. Oleh karena itu, sistem hukum di
Indonesia disebut sistem hukum majemuk.1 Inilah yang menyebabkan sistem hukum
di Indonesia menjadi lemah.
Menurut Daud Ali, hukum Islam di Indonesia secara garis besar dapat dipilah
menjadi dua. Pertama, hukum Islam yang berlaku secara formal yuridis, yaitu hukum
Islam yang mengatur hubungan manusia dengan manusia lainnya dan benda yang
disebut muamalat (perdata). Bagian ini menjadi hukum positif berdasarkan atau
ditunjuk oleh peraturan perundang-undangan, seperti perkawinan, warisan dan wakaf.
Kedua, hukum Islam yang bersifat normatif, yang mempunyai sanksi atau padanan
kemasyarakatan, bisa berupa ibadah murni atau hukum pidana yang belum
1Sofyan Hasan dan Warkum Sumitro, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam di Indonesia, (Surabaya: Usaha Nasional. 1994), Cet. Ke-1, h. 9.
2
memerlukan peraturan perundangan karena lebih jelas sebagai tergantung kepada
tingkatan iman dan takwa serta kesadaran kaum muslimin sendiri.2
Hukum Islam secara formal yuridis pertama kali berlaku sebagai hukum
positif yaitu pada tahun 1974 dengan dikeluarkan UU No. 1 tahun 1974 tentang
perkawinan.3 Tidak sekedar itu, pada tahun 1977 lahir Peraturan Pemerintah Nomor
28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik yang hanya berlaku bagi umat Islam.4
Puncaknya dari keberhasilan umat Islam yaitu dengan diberlakukannya Kompilasi
Hukum Islam sebagai pijakan hukum dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 1
tahun 1991 yang merupakan hasil Loka Karya Nasional.5
Kompilasi Hukum Islam merupakan wujud kongkrit dalam rangka
pemberlakukan hukum Islam bagi Umat Islam di Indonesia.6 Dengan kata lain,
Kompilasi Hukum Islam secara khusus hanya berlaku bagi rakyat Indonesia yang
beragama Islam yang terdiri dari tiga bidang, yakni bidang hukum perkawinan,
bidang pewarisan dan bidang perwakafan.
Karena Kompilasi Hukum Islam merupakan produk manusia (sekalipun yang
menyusunnya adalah para ulama), maka tidak bisa dipungkiri pasal-pasal yang ada di
dalamnya masih terdapat banyak kekurangan dan juga tidak menutup kemungkinan
2Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2003), Cet. Ke-6, h. 23
3Ibid, h. 244
?Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers. 2004), Cet. Ke-1, h. 638
5Suparman Usman, Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 148
6Ibid, h. 150
3
terdapat kesalahan. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah pasal-pasal yang
berkenaan dengan waris, karena permasalahan merupakan syariat yang diperintahkan
oleh Allah Ta’ala.
Ilmu waris adalah salah satu cabang ilmu dalam dinul Islam yang sangat
urgen, karena di dalamnya terkandung begitu banyak masalah yang cukup pelik dan
kompleks. Kepelikan dan kekomplekan masalah waris ini tidak hanya terdapat dalam
teori-teori ilmu fara’idh sebagaimana yang telah dibahas secara eksplisit oleh para
ulama fikih klasik maupun kontemporer. Kenyataannya, dalam kehidupan
bermasyarakat juga terdapat banyak masalah waris yang kadang-kadang tidak sesuai
seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fikih, atau sudah ada namun belum dijelaskan
secara eksplisit oleh para ulama.
Para ulama juga telah menyepakati hal ini, mengingat harta dan
pembagiannya merupakan obyek yang sangat diminati manusia. Biasanya harta
warisan diperuntukkan bagi orang-orang yang lemah dan tidak memiliki kekuatan.
Maka Allah SWT perlu mengatur sendiri pembagiannya di dalam kitab-Nya dengan
penjelasan yang detail dan terperinci, agar tidak menjadi ajang perdebatan
berdasarkan hawa nafsu. Membaginya di antara para ahli waris sesuai dengan
tuntunan keadilan, kemaslahatan dan manfaat yang diketahuinya.7 Allah SWT
mengisyaratkan hal ini dalam al-Qur’an surah an-Nisa’ [4] ayat 11:
7Abdullah Ali Bassam, Taisiirul al-‘Allam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Terj: Kathur Suhardi, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, (Jakarta: Darul Falah. 2003), Jilid III, Cet. Ke-2, h. 725.
4
Di dalam Kompilasi Hukum Islam pembahasan tentang waris terdapat pada
buku II bab I pasal 171 sampai dengan bab VI pasal 214, atau dengan kata lain
terdapat 43 pasal yang membahas tentang kewarisan dalam Kompilasi Hukum Islam.8
Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam pada dasarnya
merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat jumhur fukaha (termasuk
Syafi’iyyah di dalamnya). Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian.9 Dari
beberapa ketentuan waris yang merupakan pengecualian antara lain yang berkaitan
tentang bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal tersebut
menjelaskan bahwa ayah berhak mendapatkan 1/3 (sepertiga) dari harta waris jika
pewaris tidak memiliki anak.
Bunyi pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang terdapat di dalam buku II pada
bab III Kompilasi Hukum Islam tertulis sebagai berikut:
”ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila
ada anak, ayah mendapat seperenam bagian.”10
Ayah yang menerima bagian seperenam dalam keadaan pewaris ada
meninggalkan anak, jelas telah sesuai dengan al-Qur’an maupun rumusannya dalam
fikih sebagaimana yang telah disepakati oleh jumhur ulama. Sedangkan jika tidak ada
8 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta : Akademika Pressindo. 2004), Cet. Ke-4. h. 155.
9Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, (Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002), Cet. Ke-2, h. 196
10
?Ibid, h. 157.
5
far’u al-warits, maka ayah mendapatkan ‘ashabah (sisa).11 Sebagaimana Firman
Allah SWT dalam surat an-Nisa’ [4] ayat 11:
Namun jika menetapkan ayah menerima sepertiga dalam keadaan tidak ada
anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, dan tidak pula tersebut
dalam kitab fikih manapun.12 Ayah kemungkinan mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan
ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul furud. Itupun dalam kasus tertentu
seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu menerima 1/3 harta sebagaimana
yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur Ahlusunnah.13
Dari keterangan di atas, terlihat jelas bahwa pembahasan tentang bagian waris
ayah yang tidak mempunyai far’u al-warits dalam Kompilasi Hukum Islam sangatlah
berbeda dengan apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam kitab-Nya, padahal
Kompilasi Hukum Islam merupakan hukum positif yang penyusunannya berdasarkan
kitab-kitab fikih para ulama dan telah menjadi rujukan para hakim dalam
menyelesaikan berbagai persoalan. Ini tentu bertolak belakang dengan keinginan
11Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 197
12Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 32913
?Ibid
6
seluruh rakyat Indonesia yang mengharapkan adanya persamaan dalam penerapan
hukum.
Terkait penjelasan di atas, penulis melihat bahwa masalah ini menarik untuk
dikaji lebih lanjut dan mendalam. Melakukan pembahasan yang intens terhadap isi
Kompilasi Hukum Islam pada pasal 177. Berdasarkan pemaparan di atas, maka judul
yang penulis angkat adalah “HAK WARIS AYAH MENURUT KOMPILASI
HUKUM ISLAM (Studi Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam)”
Alasan memilih permasalahan ini karena penulis melihat adanya kesenjangan
antara pendapat Kompilasi Hukum Islam dengan pendapat jumhur ulama terkait
masalah kewarisan ayah.
A. Rumusan Masalah
Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-
pertanyaan apa saja yang ingin dicarikan jawabannya.14 Dan sesuai dengan
pemaparan latar belakang di atas, maka penulis merumuskan permasalahan dalam
skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah ?
2. Bagaimana tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi Hukum Islam
tentang bagian waris ayah ?
B. Tujuan Penelitian
14Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1993), Cet. Ke-7, h. 312.
7
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam skripsi
ini adalah:
1. Untuk mengetahui ketentuan Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris
ayah.
2. Untuk mengetahui tinjauan kewarisan terhadap ketentuan Kompilasi Hukum
Islam tentang bagian waris ayah.
A. Signifikansi Penelitian
Dari hasil penelitian ini, penulis berharap karya ini memiliki manfaat sebagai
berikut:
1. Sebagai bahan informasi bagi pembaca yang ingin mengetahui tentang
pendapat Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris ayah.
2. Sebagai rujukan bagi yang berkeinginan melakukan penelitian lebih lanjut
terhadap permasalahan ini dengan tema yang sama dari sudut pandang yang
berbeda.
3. Sumbangsih bagi khazanah keilmuan Islam, terutama dibidang hukum Islam
bagi mahasiswa/i STIS Hidayatullah khususnya dan masyarakat pada
umumnya.
4. Sebagai tambahan kelengkapan referensi kepustakaan bagi perpustakaan STIS
Hidayatullah.
A. Definisi Operasional
8
Agar tidak terjadi interpretasi dalam penafsiran, maka dari judul skripsi yang
penulis angkat yaitu “Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi Pasal
177 Kompilasi Hukum Islam)” dapat diurai kata dan artinya sebagai berikut:
1. Hak Waris Ayah : Hak mempunyai beberapa makna,
yakni benar, bagian, milik, kepunyaan, kewenangan.15 Jadi, maksud penulis
dalam pembahasan ini adalah kewenangan warisan ayah dari pewaris.
2. Kompilasi Hukum Islam : Kompilasi Hukum Islam adalah salah satu
kitab hukum yang menjadi landasan Negara Indonesia sebagaimana yang
tercantum pada Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.16
Jadi yang penulis maksudkan di sini adalah bagian waris 1/3 ayah jika tidak
bersamanya anak seperti yang tertuang di dalam ketentuan pasal 177 Kompilasi
Hukum Islam.
A. Kajian Pustaka
Dalam penyusunan skripsi ini, pendekatan yang digunakan lebih cenderung
kepada segala sesuatu yang bersifat kepustakaan (library research). Dengan
demikian, secara tidak langsung penulis dituntut untuk menelaah secara intens
berbagai bentuk bahan tulisan, seperti buku, majalah, jurnal, artikel dan lain-lain yang
temanya seputar dengan tema yang sedang dikaji.
15Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa. 2008), h. 502
16
?Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam,…,h. 15.
9
Tema umum dalam penelitian ini adalah hukum waris. Oleh karena
pembahasan tentang hukum waris, terkhususnya di Negara Indonesia ini sangat luas
dan kompleks, maka penulis lebih mengkerucutkan lagi (focus research) obyek kajian
penulis pada permasalahan tertentu, sehingga lebih efektif dan terarah dalam
penulisannya. Akhirnya penulis menetapkan permasalahan ketentuan warisan bagi
ayah yang tercantum dalam Kompilasi Hukum Islam, terutama tentang kewarisan
ayah seperti yang tertuang pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Masalah ini akan
menjadi tema khusus dalam penelitian ini. Sehingga judul yang penulis angkat dalam
penelitian ini adalah “Hak Waris Ayah Menurut Kompilasi Hukum Islam (Studi
Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam).
Sejauh yang penulis temukan, ada sebuah buku dengan judul “Fiqih
Mawaris” yang ditulis bersama oleh dua pakar hukum dari IAIN Sunan Gunung Jati
serang, yakni Suparman Usman dan Yusuf Somawinata. Dalam buku tersebut tertulis
bahwa : Hukum kewarisan sebagaimana diatur oleh Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia, pada dasarnya merupakan hukum kewarisan yang diangkat dari pendapat
jumhur fuqaha. Namun dalam beberapa hal terdapat pengecualian, salah satunya
terkait bagian waris ayah pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Bagian ayah
menurut jumhur adalah 1/6 bagian bila pewaris meninggalkan far’ul al-waris, dan
menerima ashabah apabila pewaris tidak meninggalkan far’ul al-waris. Sedangkan
dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian ayah apabila pewaris tidak meninggalkan
far’ul al-waris adalah 1/3 bagian.17
17Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 196-197
10
Selain itu, penulis juga menemukan sebuah skripsi yang ditulis oleh Yusron
Hamdi, mahasiswa fakultas syariah Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang
dengan judul “Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177
Kompilasi Hukum Islam)”. Dalam skripsi tersebut dijelaskan bahwa kandungan pasal
177 Kompilasi Hukum Islam sama seperti yang ada di dalam nash al-Qur’an dan fiqih
mawaris. Akan tetapi perbedaan kandungan dalam pasal tersebut ketika mayit
meninggalkan ayah, suami dan ibu. Dalam hal ini fiqih mawaris mengikuti ijtihad
Umar bin Khattab yang mana ayah mendapatkan ashabah, suami mendapatkan 1/3
bagian sedangkan ibu mendapat 1/3 sisa (setelah diambilnya bagian suami),
permasalahan ini disebut dengan gharrawain. Akan tetapi, Kompilasi Hukum Islam
memiliki ijtihad yang lain dengan menetapkan bahwa ayah mendapat 1/3 bagian
dengan pertimbangan kemaslahatan berdasarkan asas tanggung jawab yang adil dan
berimbang, yang mana ayah memiliki tanggung jawab yang besar daripada ibu,
sehingga memberikan kepastian atas bagian ayah.18
Perlu penulis tegaskan, bahwa meskipun objek yang diangkat penulis sama
dengan skripsi di atas, yakni tentang hak waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam.
Namun ada perbedaan yang sangat signifikan antara skripsi yang penulis susun
dengan skripsi Yusron Hamdi, yakni terkait sudut pandang terhadap interpretasi
kandungan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Dalam hal ini, skripsi Yusron tersebut
berusaha mendukung kepastian hukum terkait penetapan 1/3 bagian ayah apabila
18
?Yusron Hamdi, “Bagian Waris Sepertiga Bagi Ayah (Studi Analisis Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam)”, Skripsi, (Malang: UIN Malik Ibrahim, 2011)
11
tidak bersama far’ul al-waris, sedangkan hasil yang ingin penulis angkat dalam
skripsi ini, yakni mengkritisi penetapan 1/3 bagian ayah sebagai sebuah kepastian
hukum.
Penulis menyatakan bahwa sejauh ini di perpustakaan STIS Hidayatullah telah
ada beberapa skripsi yang membahas waris dan Kompilasi Hukum Islam. Namun
penelitian-penelitian mengenai waris dan Kompilasi Hukum Islam yang sudah ada
hanya terbatas pada satu bagian pembahasan dalam masalah waris ataupun Kompilasi
HukumIslam, sebagaimana uraian berikut ini:
1. Skripsi Halimatussa’diah dengan judul “Praktik Pembagian Waris di
Kelurahan Teritip-Balikpapan Timur”. Dalam penelitian tersebut, peneliti
menggunakan penelitian lapangan dengan terjun langsung ke masyarakat
untuk melihat realita praktik pembagian warisan menurut hukum waris Islam.
2. Skripsi Binti Musfiroh dengan judul “Zina Waris Menurut Mazhab Hanafi
dan Maliki”. Dalam tulisannya, peneliti lebih cenderung meneliti satu bagian
dari kewarisan yaitu tentang status waris anak zina. Sumber atau data primer
dari penelitian ini adalah kitab karangan Ulama Hanafiyyah dan kitab
karangan Ulama Malikiyyah.
3. Skripsi Fajriyah dengan judul “Waris Bagi Pembunuh Menurut Hukum Imam
Syafi’i”. Sumber atau data primer dari penelitian ini adalah kitab al-Umm jilid
VII.
12
4. Skripsi Nur Inayah dengan judul “Analisis Terhadap Pasal 49 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Wewenang Pengadilan
Agama Dalam Pelaksanaan Hukum Waris Islam”. Dalam penelitian ini, yang
menjadi data primer peneliti adalah Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor
7 Tahun 1989, tepatnya yang terdapat pada poin Nomor 2 alinea ke-6.
Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, peneliti belum menemukan satupun
karya skripsi yang mengangkat tema tentang bagian waris ayah dalam sudut
pandang Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif yang berlaku bagi warga
Negara yang beragama Islam. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan sebagai
pengisi kekosongan tersebut.
A. Metode Penelitian
1. Jenis dan Sifat Penelitian
a. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian kepustakaan
(library research) dengan mempelajari dan menelaah bahan-bahan yang
tertulis, seperti: buku, majalah, jurnal, dan sumber data lain yang ada
kaitannya dengan skripsi yang penulis angkat.
b. Sifat Penelitian
13
Penelitian ini bersifat deskriptif-analitik, maksudnya penulis tidak hanya
menyusun dan mengumpulkan data saja, tetapi juga menganalisa serta
menginterpretasi terhadap data tersebut.
2. Data dan Sumber Data
a. Data
Yang menjadi data dalam penelitian ini adalah bunyi pasal 177 KHI
tentang bagian waris ayah.
b. Sumber Data
1) Data Primer
Data primer yang menjadi rujukan utama yaitu pasal 177
Kompilasi Hukum Islam
2) Data sekunder
Adapun data sekunder yang menjadi bahan acuan penulis adalah
karya-karya yang terkait dengan obyek pembahasan serta yang
mendukung sumber data primer, baik dari buku, majalah, jurnal,
artikel, skripsi, internet dan lain-lain yang akurat dan dapat
dipertanggungjawabkan keilmiahannya.
3) Data Tertier
Adapun data tertier yang penulis gunakan yaitu berupa kamus dan
ensiklopedi.
3. Metode Analisis Data
14
1) Content analisis, yaitu menganalisis data dalam upaya yang relevan
sebagai dasar bagi penulis untuk mengkaji teori dan mencari hubungan
fungsional dengan tema penelitian.
2) Studi analisis, yaitu upaya menganalisis lebih mendalam pasal 177
Kompilasi Hukum Islam terkait persoalan bagian waris 1/3 ayah
dengan menggunakan data kualitatif, yakni data yang tidak bisa diukur
secara langsung.19
A. Sistematika Penulisan
Sistematika dalam penulisan skripsi ini penulis kemukakan sebagai upaya
menjawab rumusan masalah yang telah penulis paparkan di atas. Skripsi ini akan
dibagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup yang kemudian akan
disusun menjadi beberapa bab yang masing-masing terbagi dalam beberapa sub-bab.
BAB I, yang berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian, signifikansi penelitian, definisi operasional,
kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penelitian.
BAB II, merupakan landasan teori yang meliputi definisi waris, Sejarah waris,
Asas-asas Kewarisan, Syarat dan Rukun Waris, , Sebab dan Penghalang Waris, Ahli
Waris, dan bagian waris ayah menurut ulama.
BAB III, disini akan menjelaskan secara rinci tentang Sejarah Pembentukan
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Landasan dan Kedudukan Kompilasi Hukum
19Cf. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya. 2001), h. 67
15
Islam, Tim Penyusun Kompilasi Hukum Islam, Isi dari Kompilasi Hukum Islam, dan
Ketentuan Waris Ayah Dalam Kompilasi Hukum Islam
BAB IV, berisi analisa penulis sebagai peneliti terhadap pandangan Kompilasi
Hukum Islam berkaitan dengan bagian waris ayah yang kemudian disesuaikan
kebenarannya berdasarkan tinjauan hukum Islam.
BAB V, adalah bagian penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI
16
KETENTUAN WARIS
A. WARIS
1. Definisi Waris
a. Menurut Hukum Islam
Waris berasal dari bahasa Arab, yakni waratsa yang memiliki arti:
mengganti, memberi, dan mewarisi.20 Sedangkan warisan yaitu harta
peninggalan yang terdiri atas barang-barang berwujud atau tidak berwujud,
bernilai atau tidak bernilai, dan ada pada saat seseorang meninggal dunia.21
Lafaz mawarits ( yang merupakan jamak dari lafaz (المواريث mirats (
(ميراث yang merupakan mashdar dari kata waratsa-yaritsu-miiratsan.
Maknanya menurut bahasa adalah berpindahnya sesuatu dari seseorang
kepada orang lain.22 Maksudnya adalah harta peninggalan yang ditinggalkan
oleh si mati dan diwarisi oleh yang lainnya (ahli waris).23
Sedangkan pengertian mawarits menurut istilah ialah seseorang yang
mempunyai hak tertentu setelah pemilik harta meninggal dunia dengan sebab-
20Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, …, h. 35521
?Ensiklopedi Nasional Indonesia, (Jakarta: Cipta Adi Pustaka. 1991), Jilid 17, Cet. Ke-1, h. 249
22
?Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari’atil Islamiyah ‘ala Dhauil Kitab Was Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, (Jakarta:Gema Insani Press. 2007), Cet. Ke-10, h. 33.
23
?Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, (Kairo: Lajnah al-Bayyan al-Araby. 1958), h. 9.
17
sebab tertentu dan dengan syarat tertentu.24 Muhammad Ali ash-Shabuni
mengatakan bahwa mawarits adalah: “Berpindahnya hak milik orang yang
meninggal dunia kepada para ahli warisnya yang masih hidup, baik yang
ditinggalnya itu berupa harta bergerak dan tidak bergerak atau hak-hak
menurut hukum syara’ “.25 Dengan demikian lafaz mawarits tidaklah terbatas
pada hal-hal yang berkaitan dengan harta benda semata, tetapi juga mencakup
yang selainnya. Ayat-ayat al-Qur’an banyak menegaskan hal ini, di antaranya
Allah Ta’ala berfirman dalam pada QS. An-Naml [6] ayat 16:
Hal ini juga kita dapati dalam hadits Nabi Muhammad SAW:
26العلماءورثةاألنبياء
Ilmu mawarits sering disebut juga ilmu fara’idh, yang secara bahasa
berarti ketentuan,27 yaitu ilmu mengenai pembagian waris secara pemahaman
dan penghitungan.28 Kamil Muhammad ‘Uwaidah mendefinisikan fara’idh
sebagai bagian yang telah ditentukan bagi ahli waris.29
24Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits fi asy-Syari’ah al-Islamiyah ‘ala Madzahib al-Arba’ah, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. 2006), Cet. Ke-1, h. 126.
25
?Muhammad Ali Ash-Shabuni, al-Mawarits fi asy-Syari’atil …, h. 4126
?Ibid, h. 33.27
?Abu Malik K amal, Shahih Fiqih as-Sunnah, Terj, Abu Ihsan al-Atsari dan Amir Hamzah Fachiruddin, Shahih Fiqih Sunnah, (Jakarta: Pustaka at- Tazkia. 2009), Jilid 4,
28Muhammad al-Utsaimin, Fiqh al-Mar’ah al-Muslimah, Terj: Faisal Saleh dan Yusuf Hamdani, Shahih Fiqih Wanita, (Jakarta: Akbar Media. 2009), Cet. Ke -2, h. 482.Cet. Ke-2, h. 581
29Kamil Muhammad ‘Uwaidah, Al-Jami’ fi Fiqhi An-Nisa, Terj: Abdul Ghoffar, Fikih Wanita, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar. 2005), Cet. Ke-17, h. 503
18
Selain itu dinamai fara’idh karena di dalam ketentuan kewarisan Islam
yang terdapat dalam al-Qur’an lebih banyak yang telah ditentukan bagiannya
dibandingkan dengan yang tidak ditentukan bagiannya.30
Ilmu fara’idh mencakup tiga unsur penting,31 yaitu:
1) Pengetahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris.
2) Pengetahuan tentang bagian ahli waris.
3) Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan
pembagian harta warisan.
b. Menurut Hukum Adat
Hukum waris menurut hukum adat adalah segala sesuatu yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris, harta
warisan, pewaris dan waris serta bagaimana cara harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan kepemilikannya dari pewaris kepada ahli waris.32 Menurut
Soepomo hukum waris adat adalah segala sesuatu yang memuat peraturan-
peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-
barang harta benda dari suatu angkatan manusia kepada keturunannya.33
Sedangkan menurut Ter Haar,34 hukum waris adat adalah meliputi aturan-30
?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam... h. 5.31
?Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Ahkamul Mawarits fi Fiqhil-Islami, Terj: Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris Terlengkap, (Jakarta: Senayan Abadi Publishing. 2011), Cet. Ke-3, h. 13.
32Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, (Bandung: Citra Aditya Bakti. 1990), h. 7 33Ahmad Azhar Basyir, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam,
(Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fak. Hukum UII, 1967), h. 2 34
19
aturan hukum yang bertalian dengan proses penerusan dan pengoperan
kekayaan yang berwujud material dan immaterial dari suatu generasi kepada
generasi lainnya.
2. Sejarah Waris
a. Waris Sebelum Islam
Pada zaman Jahiliyah orang-orang Arab merupakan bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kehidupan mereka bergantung dari hasil
perniagaan rempah-rempah serta hasil jarahan dan rampasan perang dari
bangsa-bangsa yang mereka taklukkan. Mereka beranggapan bahwa kaum
lelaki yang sudah dewasa saja yang mampu dan memiliki kekuatan dan
kekuasaan dalam memelihara harta kekayaan mereka. Anggapan semacam di
atas berlaku pula dalam hal pembagian harta warisan. Itulah sebabnya mereka
saat itu memberikan harta warisan kepada kaum laki-laki dan tidak kepada
perempuan, kepada orang-orang yang sudah dewasa dan bukan kepada anak-
anak, kepada orang-orang yang mempunyai perjanjian prasetia serta kepada
orang-orang yang diadopsi.35 Menurut mereka, anak-anak yang belum dewasa
dan kaum perempuan termasuk keluarga yang belum atau tidak pantas
menjadi ahli waris. Bahkan sebagian mereka beranggapan bahwa janda
perempuan dari orang yang meninggal termasuk wujud harta warisan yang
dapat diwariskan kepada dan diwarisi oleh para ahli waris suaminya.36
?Tokoh Belanda yang pernah tinggal di Indonesia dan sekaligus sebagai pakar dalam hukum yang ikut mendukung teori resepsi dalam Islam yang diciptakan oleh Christiaan Snouck Hurgronje.
Budak menjadi penghalang mewarisi karena status dirinya yang
dipandang sebagai tidak cakap melakukan perbuatan hukum, demikian
kesepakatan mayoritas ulama.61 Status seorang budak tidak dapat menjadi
ahli waris karena dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus
hubungan kekeluargaan dengan kerabatnya. Bahkan ada yang memandang
?Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Kewarisan dalam Syari’at Islam…, h. 54 59
?Komite Fakultas Syari’ah Universitas al-Azhar, Ahkamul Mawarits…, h. 47 60Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab
Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy), t.t 61
?Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia…, h. 405-406
32
budak itu statusnya sebagai harta milik tuannya. Dia tidak dapat
mewariskan harta peninggalannya, sebab dia sendiri dan segala harta yang
ada pada dirinya adalah milik tuannya.62
Oleh karena itu budak tidak mewarisi dan tidak diwarisi, baik itu
budak sempurna atau orang yang diperbudak sebagian seperti budak
mukatab (budak yang dalam proses kemerdekaan dirinya dengan
membayar sejumlah uang kepada pemiliknya), atau ibu dari anak majikan
(karena majikan menggauli budak wanita tersebut hingga melahirkan
anak), karena mereka semua dalam cakupan perbudakan. Sebagian ulama
mengecualikan orang yang diperbudak sebagian bahwa ia bisa mewarisi
sesuai dengan kemerdekaan yang dimilikinya, berdasarkan hadits dari
Abdullah bin Abbas ra. Bahwa Rasulullah SAW. bersabda tentang budak
yang dimerdekakan sebagian:
63منه عتق ما قدر على يرث
A. AHLI WARIS
1. Definisi Ahli Waris
Ahli waris adalah orang yang mendapat harta waris, karena memang haknya
dari lingkungan keluarga pewaris. Namun tidak semua keluarga pewaris termasuk
ahli waris. Demikian pula orang yang berhak mendapat harta waris mungkin saja
62
?A. Hasan, Al-Faraidh…, h, 4363Muslim bin al-Hajjajj Abu al-Husain al-Qusyairi an-Naisaburi, Shahih Muslim, Kitab
Faraidh, (Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy)
33
di luar ahli waris.64 Orang yang berhak menerima warisan adalah orang yang
mempunyai hubungan kekerabatan atau hubungan perkawinan dengan pewaris
yang meninggal. Di samping adanya hubungan kekerabatan dan perkawinan itu,
mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya
persyaratan sebagai berikut:
a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris.
b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima
warisan.
c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih
dekat.65
1. Kewajiban Ahli Waris terhadap Harta Peninggalan
Apabila seseorang meninggal dunia, harta benda peninggalannya tidak boleh
langsung dibagikan kepada ahli warisnya. Jika ada hal-hal yang bersangkut paut
dengan warisan, maka hal itu harus segera diselesaikan lebih dahulu. Adapun hal-
hal yang bersangkut paut dengan warisan yang harus diselesaikan lebih dahulu
adalah:
a. Tahjiz atau biaya penyelenggaraan jenazah, yaitu segala yang diperlukan
seseorang yang meninggal dunia mulai dari wafatnya sampai kepada
penguburannya. Di antara kebutuhan tersebut antara lain biaya
64
?Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam…, h. 61 65Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam…, h. 211
34
memandikan, mangkafankan, menguburkan, dan segala yang diperlukan
sampai diletakkannya ke tempat yang terakhir.
b. Hutang-hutang yang berkaitan dengan harta peninggalan. Apabila pewaris
mempunyai hutang, maka hutang itu harus diselesaikan terlebih dahulu
sebelum harta warisan dibagikan kepada ahli waris.66
c. Apabila pewaris telah berwasiat agar sebagian hartanya diberikan kepada
seseorang, maka wasiat itu harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum harta
warisan dibagikan kepada ahli waris. Dan banyaknya wasiat tidak boleh
melebihi sepertiga tirkah.67
d. Membagi sisa harta peninggalan kepada ahli waris sesuai dengan petunjuk
al-Qur’an, hadits dan ‘ijma ulama.
2. Golongan Ahli Waris
Ahli waris yang telah disepakati hak warisnya terdiri dari 2 golongan:
a. Golongan Laki-laki
Ahli waris dari golongan laki-laki yang telah disepakati ada 15 orang. Para
ulama syariat telah bersepakat mengenai pewarisan lima belas golongan laki-
laki tersebut.68 Mereka adalah:69
1) Al-Ibn, yaitu anak laki-laki.
66
?Muhammad Ali Ash-Shabuni, Hukum Waris…, h. 57 67Ibid, h. 43 68
?Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam Al-Mawarits fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah, …,. h. 230.
69
?A. HAsan, Al-Fara’id…, h. 22-23
35
2) Ibnul Ibn, yaitu cucu laki-laki (anak laki-laki bagi anak laki-laki), dan
seterusnya yaitu cucu laki-laki bagi anak laki-laki hingga ke bawah.
3) Al-Ab, yaitu bapak (ayah).
4) Al-Jadd min Jihati al-Ab, yaitu kakek, bapak bagi bapak hingga ke
atas, yaitu kakek bagi bapak dan kakek bagi kakek, dan seterusnya dari
pihak laki-laki.
5) Al-Akhusy-Syaqiq, yaitu saudara laki-laki seibu sebapak.
6) Al-Akhu –li Ab, yaitu saudara laki-laki sebapak, bukan seibu.
7) Al-Akh-li Um, yaitu saudara laki-laki seibu, bukan sebapak.
8) Ibnul Akhisy-Syaqiq, yaitu keponakan laki-laki seibu sebapak, anak
laki-laki bagi saudara laki-laki seibu sebapak.
9) Ibnul-Akh-li Ab, yaitu keponakan laki-laki sebapak, anak laki-laki bagi
saudara laki-laki sebapak.
10) Al-‘Ammusy-Syaqiq, yaitu paman seibu sebapak, saudara laki-laki
seibu sebapak bagi bapak.
11) Al-‘Ammu-li Ab, yaitu paman sebapak, saudara laki-;aki sebapak bagi
bapak.
12) Ibnul-‘Ammusy-Syaqiq, yaitu sepupu laki-laki seibu sebapak, anak
laki-laki bagi paman seibu sebapak.
13) Ibnul-‘Ammu-li Ab, yaitu sepupu laki-laki sebapak, anak laki-laki
paman sebapak.
36
14) Az-Zauj, yaitu suami.
15) Al-Mu’tiq, yaitu budak laki-laki yang dimerdekakan.
b. Golongan Perempuan
Para ulama bersepakat ada sepuluh orang dari golongan perempuan yang
bisa mendapatkan warisan.70 Mereka adalah:71
1) Al-Bint, yaitu anak perempuan.
2) Bintul-Ibn, yaitu cucu perempuan, anak perempuan bagi anak laki-laki
atau anak perempuan bagi cucu laki-laki hingga ke bawah.
3) Al-Umm, yaitu ibu (bunda).
4) Al-Jaddah min Jihatil-Umm, yaitu nenek dari pihak ibu, yakni ibu bagi
ibu, ibu bagi nenek dan seterusnya.
5) Al-Jaddah min jihatil-Ab, yaitu nenek dari pihak bapak, yakni ibu bagi
bapak, ibu bagi kakek dan seterusnya.
6) Al-Ukhtusy-Syaqiqah, yaitu saudara perempuan seibu sebapak.
7) Al-Ukhtu-li Ab, yaitu saudara perempuan sebapak.
8) Al-Ukhtu li-Umm, yaitu saudara perempuan seibu.
9) Az-Zaujah, yaitu isteri.
10) Al-Mu’tiqah, yaitu budak perempuan yang dimerdekakan.
3. Ash-habul Furudh
70Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyah…, h. 128
71
? A. Hasan, Al-Fara’id…, h. 24
37
Al-Fardh menurut bahasa ialah ketentuan atau ketetapan.72 Sedangkan
menurut istilah adalah bagian yang telah ditentukan secara syar’i untuk ahli waris
tertentu. Bagian tersebut tidak lebih, kecuali dengan jalan radd, dan tidak kurang
kecuali dengan jalan ‘aul.73 Di dalam al-Qur’an pembagian waris secara fardh
yang telah ditentukan jumlahnya merujuk pada 6 jenis pembagian, yaitu setengah
(1/2), seperempat (1/4), seperdelapan (1/8), dua pertiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).74
a. Setengah (1/2)
Para ahli waris yang menerima bagian setengah (1/2) ada lima orang, yaitu
suami, seorang anak perempuan, cucu perempuan dari keturunan anak laki-
laki, saudara perempuan sekandung, dan saudara perempuan sebapak.75
1) Suami
Suami berhak mendapat setengah dengan syarat jika tidak bersama-
sama dengan keturunan si mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak
perempuan serta cucu laki-laki dan cucu perempuan dari keturunan laki-
laki, serta generasi ke bawahnya.
2) Anak perempuan
Anak perempuan berhak mendapat setengah jika memenuhi dua
syarat. Pertama, tidak bersama dengan anak laki-laki yang menjadi
72Ibid, h. 33 73
?Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits…, h. 106 74Ibid, h. 107 75
?Ibid, h. 111
38
mu’ashib-nya. Kedua, tidak bersama dengan anak perempuan si mayit
yang lain.
3) Cucu perempuan dari anak laki-laki.
Cucu perempuan dari anak laki-laki dan generasi di bawahnya- berhak
mendapatkan setengah jika memenuhi tiga syarat. Pertama, tidak
bersama-sama dengan mu’ashib-nya. Kedua, tidak bersama-sama dengan
saudara perempuan lainnya dan anak perempuan pamannya yang
sederajat. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan mayit
yang derajatnya lebih tinggi.
4) Saudara perempuan kandung
Saudara perempuan kandung berhak mendapatkan setengah bagian
jika memenuhi empat syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan
saudara laki-laki sekandung (mu’ashibnya). Kedua, tidak bersama-sama
dengan saudara perempuan sekandung lainnya. Ketiga, tidak bersama-
sama dengan ahli waris keturunan mayit, yaitu anak laki-laki, anak
perempuan, cucu perempuan dari anak laki-laki, dan keturunan di
bawahnya. Keempat, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur si
mayit dari golongan laki-laki, yaitu ayah dan kakek serta keturunan ke
atasnya.
5) Saudara perempuan sebapak
39
Saudara perempuan sebapak berhak mendapatkan bagian waris jika
memenuhi lima syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan saudara laki-
lakinya yang sebapak. Kedua, tidak bersama-sama dengan saudara
perempuan sebapak yang lainnya. Ketiga, tidak bersama-sama dengan ahli
waris keturunan mayit (secara mutlak). Keempat, tidak bersama-sama
dengan ahli waris leluhur mayit dari golongan laki-laki. Kelima, tidak
bersama-sama dengan saudara sekandung, baik laki-laki maupun
perempuan.
b. Seperempat (1/4)
Ahli waris yang mendapatkan seperempat (1/4) hanya dua orang, yaitu
suami dan istri.76
1) Suami
Suami mendapatkan bagian seperempat setelah memenuhi satu syarat,
yaitu bila suami mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si
mayit (istri), yaitu anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-laki dari
anak laki-laki serta cucu perempuan dari anak laki-laki, baik keturunan
itu berasal darinya atau dari suami yang lain.
2) Istri
Untuk mendapatkan warisan seperempat, istri harus memenuhi satu
syarat, yaitu ia mewarisi harta peninggalan tidak bersama-sama dengan
ahli waris keturunan si mayit (suami).
76Ibid, h. 121
40
c. Seperdelapan (1/8)
Ahli waris yang mendapatkan bagian seperdelapan (1/8) hanya satu
orang, yakni istri. Untuk mendapatkan seperdelapan, istri harus memenuhi
satu syarat, yakni ia harus mewarisi bersama-sama dengan ahli waris
keturunan si mayit, baik yang berasal dari dirinya atau bukan.
d. Dua pertiga (2/3)
Ahli waris yang menerima bagian warisan dua pertiga (2/3) ada empat
orang yang semuanya dari golongan perempuan. Mereka yaitu dua orang anak
perempuan atau lebih, dua orang cucu perempuan dari anak laki-laki atau
lebih, saudara-saudara perempuan sekandung, dan saudara-saudara
perempuan sebapak.
1) Dua orang anak perempuan atau lebih
Dua orang anak perempuan atau lebih akan mendapatkan bagian dua
pertiga apabila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya anak
perempuan berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, dua orang anak
perenpuan atau lebih itu tidak mewarisi bersama-sama saudara laki-laki
yang menjadikannya ‘ashabah bersama (‘ashabah ma’al ghair).
2) Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki.
Dua orang cucu perempuan atau lebih dari anak laki-laki akan
mendapatkan warisan dua pertiga dengan memenuhi tiga syarat. Pertama,
hendaklah mereka berjumlah dua orang atau lebih. Kedua, tidak mewarisi
41
bersama-sama ahli waris yang menjadikannya ‘ashabah bersama. Ketiga,
tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang lebih
tinggi derajatnya, yaitu anak laki-laki atau anak perempuan.
3) Dua orang saudara sekandung atau lebih
Dua orang saudara sekandung atau lebih bisa mewarisi harta waris
dengan bagian dua pertiga jika telah memenuhi empat syarat. Pertama,
minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersama-
sama dengan saudara laki-laki sekandung. Ketiga, mereka tidak bersama-
sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak
bersama-sama dengan leluhur si mayit.
4) Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih
Dua orang saudara perempuan seayah atau lebih berhak mendapatkan
harta waris yang dua pertiga jika telah memenuhi lima syarat. Pertama,
minimal mereka berjumlah dua atau lebih. Kedua, mereka tidak bersama-
sama dengan saudara laki-laki seayah. Ketiga, mereka tidak bersama-sama
dengan ahli waris keturunan si mayit. Keempat, mereka tidak bersama-
sama dengan leluhur si mayit. Kelima, mereka mewarisi tidak bersama-
sama dengan saudara saudara-saudara kandung, baik laki-laki maupun
perempuan.
e. Sepertiga (1/3)
42
Ahli waris yang menerima sepertiga (1/3) ada dua orang, yaitu ibu dan
anak-anak ibu.
1) Ibu
Ibu dapat mewarisi sepertiga dari harta waris secara utuh bila telah
memenuhi tiga syarat. Pertama, ia tidak bersama-sama dengan ahli waris
keturunan si mayit. Kedua, ibu tidak bersama-sama dengan saudara-
saudaranya (baik laki-laki dan perempuan, saudara-saudaranya sekandung,
seayah, seibu, atau campuran).
1) Anak-anak ibu (saudara-saudara laki-laki dan perempuan seibu)
Anak-anak ibu dapat mewarisi sepertiga bagian dari harta waris bila
telah memenuhi 3 syarat. Pertama, hendaknya anak-anak ibu berjumlah
dua orang atau lebih, baik laki-laki maupun perempuan. Kedua, tidak
mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Ketiga,
tidak mewarisi bersama-sama dengan ahli waris leluhur si mayit dari
golongan laki-laki.
f. Seperenam (1/6)
Ahli waris yang mendapatkan bagian tetap seperenam (1/6) ada 7 orang,
yaitu ayah, ibu, kakek, nenek, cucu perempuan dari anak laki-laki, saudara
perempuan seayah, dan anak ibu (baik laki-laki maupun perempuan).
1) Ayah
43
Ayah mewarisi bagian seperenam dari harta waris jika telah memenuhi
satu syarat, yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan
si mayit, baik laki-laki maupun perempuan.
2) Ibu
Ibu dapat mewarisi seperenam bagian setelah memenuhi satu syarat,
yaitu ia mewarisi bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit atau
beberapa (berkumpulnya dua orang atau lebih saudara laki-laki atau
perempuan, atau salah satu dari mereka).
3) Kakek
Kakek yang dimaksud di sini adalah jadd shahih (kakek langsung dari
si ayah), bukan jadd ghair shahih (kakek yag hubungan nasabnya dengan
si mayit diselingi oleh perempuan). Adapun kakek berhak mendapat
seperenam bagian dari warisan ketika telah memenuhi 2 syarat. Pertama,
kakek bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit. Kedua, kakek
tidak bersama-sama dengan ayah.
4) Nenek
Nenek dapat mewarisi seperenam bagian warisan jika talah memenuhi
satu syarat, yaitu tidak bersama-sama dengan ibu.
5) Seorang cucu perempuan atau lebih
Seorang cucu perempuan atau lebih dapat mendapatkan warisan
seperenam jika telah memenuhi dua syarat. Pertama, dia tidak bersama-
44
sama dengan mu’ashib-nya yang sederajat dengan cucu laki-laki. Kedua,
dia tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit yang
derajatnya lebih tinggi, kecuali bila mewarisinya bersama-sama dengan
anak perempuan atau cucu perempuan yang sederajat lebih tinggi.
6) Seorang saudara perempuan seayah atau lebih
Seorang saudara perempuan seayah atau lebih dapat mewarisi bagian
tetap seperenam bila telah memenuhi dua syarat. Pertama, hendaknya dia
mewarisi bersama-sama saudara perempuan sekandung yang mewarisi
bagian tetap ½ (setengah). Kedua, dia tidak bersama-sama dengan
mu’ashib-nya (saudara laki-laki seayah)
7) Anak ibu
Anak-anak mewarisi bagian tetap seperenam jika telah memenuhi tiga
syarat. Pertama, tidak bersama-sama dengan ahli waris keturunan si mayit
secara mutlak. Kedua, tidak bersama-sama dengan ahli waris leluhur dari
golongan laki-laki. Ketiga, jika anak ibu hanya sendiri.
4. ‘Ashabah
Secara bahasa ‘ashabah adalah bentuk masdar dari kata at-ta’shib, yang
berasal dari kata ‘ashshoba-yu’ashshibu-ta’shib yang berarti kerabat si mayit
sebapak.77 Sedangkan secara istilah ‘ashabah adalah orang-orang yang tidak
77Ibid, h. 251-252
45
mempunyai saham-saham (bagian-bagian) tertentu, tetapi mengambil bagian yang
tersisa setelah diambil bagian ashhabul-furudh, atau mengambil seluruh harta
peninggalan apabila tidak ada seorang ahli waris ashhabul-furudh.78
‘Ashabah ada dua macam, yakni ‘ashabah nasabiyah, yaitu berdasarkan
adanya ikatan kekerabatan, dan ‘ashabah sababiyah, yaitu berdasarkan adanya
sebab memerdekakan budak.79 ‘Ashabah Nasabiyah terbagi menjadi tiga bagian,
yaitu ‘ashabah bil nafsi, ‘ashabah bil ghair dan ‘ashabah ma’al ghair.80
a. ‘Ashabah bil Nafsi
‘Ashabah bil Nafsi terdiri dari seluruh ahli waris laki-laki, selain dari pada
suami dan saudara laki-laki seibu.81 Jumlah mereka ada 12 orang, yaitu anak
sekandung; saudara laki-laki sebapak; anak laki-laki saudara laki-laki
sekandung; anak laki-laki saudara laki-laki sebapak; paman sekandung;
paman sebapak; anak laki-laki paman sekandung; anak laki-laki paman
sebapak.82
b. ‘Ashabah bil Ghair
78
?Hasanain Muhammad Makhluf, Al-Mawarits fi asy-Syari’ah al-Islamiyyah…, h.3479Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, h. 432 80
?Ahmad Rifa’i Arief, Taisir al-Ma’sur fi ‘Ilmi al-Faraidh, (Ponpes Daar El-Qalam: Tanggerang. t.t), h. 6
81
?Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 75 82
?Ibid
46
Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabah bil Ghair adalah seorang
atau sekelompok anak perempuan bersama seorang atau sekelompok anak
laki-laki, dan seorang atau sekelompok saudara perempuan dengan seorang
atau sekelompok saudara laki-laki manakala sekelompok laki-laki tersebut
menjadi ahli waris ‘ashabah bil nafsi.83 Mereka yang termasuk ‘ashabah bil
ghair ada empat kelompok. Pertama, satu anak perempuan atau lebih bersama
anak laki-laki yang sederajat dengannya. Kedua, satu cucu perempuan dari
anak laki-laki atau lebih bersama cucu laki-laki dari anak laki-laki yang
sederajat dengannya. Ketiga, satu orang saudara perempuan kandung atau
lebih bersama saudara kandung. Dan Keempat, satu orang saudara sebapak
atau lebih bersama saudara laki-laki sebapak.84
c. ‘Ashabah ma’al Ghair
Orang-orang yang menjadi ahli waris ‘ashabah ma’al ghair adalah
seorang atau sekelompok saudara perempuan, baik sekandung maupun
sebapak yang mewarisi bersama-sama dengan seorang atau sekelompok anak
perempuan atau cucu perempuan pancar laki-laki, manakala tidak ada anak
laki-laki, cucu laki-laki pancar laki-lakai atau bapak, serta tidak ada
saudaranya yang laki-laki yang menjadikannya sebagai ahli waris ‘ashabah
bil ghair.85 Mereka hanya ada dua kelompok yang berasal dari ashhabul
83
?Ibid, h. 7784Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 262-264 85
?Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah…, h. 438
47
furudh, yaitu seorang saudara perempuan kandung atau lebih bersama anak
perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki dan seorang saudara
perempuan sebapak atau lebih bersama anak perempuan atau cucu perempuan
dari anak laki-laki.86
A. BAGIAN WARIS AYAH
Ayah selamanya tidak bisa dihalangi untuk mendapatkan warisan, namun dia
dapat menghalangi orang lain. Sedangkan warisan yang diterimanya bisa berbeda-
beda sesuai perbedaan furu’ ahli ‘waris keturunan’ yang mewarisi, baik laki-laki
maupun perempuan.87 Dalam hal ini, warisan untuk ayah dipengaruhi oleh tiga
keadaan:
1. Ayah mewarisi dengan fardh atau hanya bagian tetap.
Bagian ayah seperenam (1/6) ketika ada furu’ laki-laki yang mewarisi, yaitu
anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki dan keturunan di bawahnya.
Dasar atau dalil dari keadaan ini adalah firman Allah Ta’ala dalam surat an-Nisa’
[4] ayat 11:
Apabila ayah telah mengambil fardh-nya, maka sisa harta warisan itu untuk
ahli waris laki-laki yang terdekat dan furu’ laki-laki lebih berhak mendapatkan
86
?Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 266 87Ibid, h. 201
48
‘ashabah daripada ayah.88 Contohnya: seorang wafat meninggalkan istri, ayah dan
anak laki-laki. Asal masalah kasus ini adalah 24, dengan perincian: istri
mendapatkan seperdelapan (1/8) karena ada furu’ yang mewarisi; ayah
mendapatkan seperenam (1/6) karena ada furu’ laki-laki yang mewarisi, yaitu
anak laki-laki; dan anak laki-laki mendapatkan sisa sebagai ‘ashabah.
Istri 1/8 3
Ayah 1/6 4
Anak laki-laki Sisa 17
2. Ayah mewarisi hanya dengan cara ‘ashabah.
Ayah dapat mengambil semua harta waris atau sisa harta setelah pembagian
fardh, dengan syarat dia seorang diri atau tidak ada furu’sama sekali, baik laki-
laki maupun perempuan. Dengan demikian, jika si mayit hanya meninggalkan
ayah, maka ayah dapat mengambil seluruh harta warisan. Dalam keadaan itu,
ayah menjadi ashabah bil nafsi.
3. Jika dalam keadaan Gharrawain
Masalah gharrawain hanya terjadi manakala para ahli waris yang ditinggalkan
oleh pewaris terdiri atas ibu, ayah dan suami atau istri.89 Dalam kasus ini
berdasarkan petunjuk al-Qur’an, istri menerima furudh sebanyak ¼ karena
pewaris tidak meninggalkan anak, ibu menerima furudh 1/3 karena pewaris tidak
88
?Komite Fakultas Syariah Universitas al-Azhar,Ahkam al-Mawaris…, h. 202 89Suparman Usman & Yusuf Somawinata, Fiqh Mawaris…, h. 131
49
menerima anak dan beberapa orang saudara. Jumlah furudh adalah 1/4 + 1/3 =
3/12 + 4/12 = 7/12. Ayah sebagai ‘ashabah akan mendapat 5/12. Jumhur ulama
tetap memahami furudh ibu 1/3 yag disebutkan dalam al-Qur’an itu sebagai 1/3
sisa harta sebagaimana bila ayah dan ibu itu didampingi oleh suami.90
Berdasarkan pemahaman jumhur ini ibu mendapat 1/3 dari ¾ (atau sisa
setelah diambil hak istri) menjadi ¼. Bila istri mendapat ¼ dan ibu juga
mendapat ¼ maka ayah sebagai ahli waris ‘ashabah mendapat ½. Dengan cara
begini hak ayah menjadi dua kali hak ibu.91
90Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam …, h. 110-111 91
?Ibid, h. 111
50
BAB III
SAJIAN DATA
A. Kompilasi Hukum Islam (KHI)
1. Sejarah Kompilasi Hukum Islam
Gagasan untuk mengadakan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia untuk
pertama kali diumumkan oleh Menteri Agama R.I. Munawar Sadzali, MA pada
bulan Februari 1985 Dalam ceramahnya di depam mahasiswa IAIN Sunan Ampel
Surabaya, semenjak itu ide ini menggelinding dan mendapat sambutan hangat dari
berbagai pihak. Apakah ini merupakan ide dari menteri agama sendiri ? Mengapa
demikian ? Karena kalau membaca buku “Prof. K.H. Ibrahim Husein dan
pembaharuan hukum Islam di Indonesia” maka kesan yang muncul seakan-akan
ide ini berpangkal dari pemikiran K.H. Ibrahim Husein yang kemudian
disampaikan kepada Prof. H. Bustanul Arifin SH, hakim agung ketua muda
Mahkamah Agung yang membawahi pengadilan agama yang menerima dan
memahami dengan baik.92
Menurut Abdul Chalim Mohammad, gagasan untuk melakukan Kompilasi
Hukum Islam (KHI) ini pada awal mulanya setelah 2,5 tahun lebih Mahkamah
Agung terlibat dalam kegiatan pembinaan badan-badan peradilan agama dan
dalam penataran-penataran ketrampilan teknis justisial para hakim, agama baik
92Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia…, h. 31
51
ditingkat nasional maupun regional. Selanjutnya, ia mengutip pidato sambutan
Bustanul Arifin pada upacara pembukaan pelaksanaan wawancara dengan para
alim ulama se-jawa timur tangal 16 oktober 1985 yang menyatakan bahwa dalam
rapat-rapat gabungan antara Mahkamah Agung dan Departeman Agama telah
diperoleh kesimpulan bahwa kesempurnaan pembinaan badan-badan Peradilan
Agama beserta aparatnya hanya dapat dicapai antara lain dengan :
a. Memberikan dasar formal: kepastian hukum dalam bidang hukum acara
dan dalam susunan kekuasaan peradilan agama dan kepastian hukum
(legal security) dibidang hukum materil.
b. Demi tercapainya legal security bagi para hakim, bagi para justibelen
(orang awam) penarik keadilan maupun bagi masyarakat Islam sendiri
perlu aturan-aturan hukum Islam yang tersebar itu dihimpun atau
dikompilasi dalam buku-buku hukum tentang munakahat (perkawinan),
faraidl (kewarisan), dan wakaf.93
Dalam rangka inilah, Bustanul Arifin tampil dengan gagasannya, bahwa
perlunya membuat kompilasi Hukum Islam. Gagasan ini didasari oleh
pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:94
a. Untuk dapat berlakunya hukum (Islam) di Indonesia, harus ada antara lain
hukum yang jelas yang dapat dilaksanakan oleh aparat penegak hukum
maupun oleh masyarakat.93Ibid, h. 32 94
?Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama, 1993/1994, h.135
52
b. Persepsi yang tidak seragam tentang syari’ah akan dan sudah
menyebabkan hal-hal: (1) ketidakseragaman dalam menentukan apa-apa
yang disebut hukum Islam itu (maa anzalallahu), (2) tidak mendapat
penjelasan bagaimana menjalankan syariat itu (yanfidziyah), dan (3) akibat
kepanjangannya adalah tidak mampu menggunakan jalan-jalan dan alat-
alat yang tersedia dalam undang-undang dasar 1945 dan perundang-
undangan lainnya.
c. Di dalam sejarah Islam, pernah ditiga Negara, hukum Islam diberlakukan
sebagai perundang-undangan Negara: (1) di India pada masa Raja al Rijeb
yang menbuat dan memberlakukan perundang-undangan yang terkenal
dalam fatwa alamfiri, (2) di kerajaan Turki Utsmani yang terkenal dengan
nama majalah al-Ahkam al-Adliyah, dan (3) hukum Islam pada tahun 1983
dikodifikasikan di Subang.95
Kemudian gagasan Bustanul Arifin disepakati. Maka untuk itu, dibentuklah
tim pelaksana proyek yang ditunjuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKB)
Ketua Mahkamah Agung RI dan Menteri Agama RI No. 07/KMA/1985 dan No.
25 tahun 1985, tertanggal 25 maret 1985. Dalam tim tersebut, Bustanul Arifin
dipercaya sebagai pimpinan umum dengan anggota tim yang meliputi para
pejabat Mahkamah Agung dan Departemen Agama. Dengan kerja keras seluruh
anggota tim Bustanul Arifin mendekati para ulama, akhirnya keluar instruksi
95Amrullah Ahmad. Sf. Dkk, Dimensi Hukum Islam dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Gema Insani Press), cet. Ke-1, h. 11-12
53
presiden No. 1 tahun 1991 kepada Menteri Agama RI untuk menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang terdiri dari Buku I tentang hukum
perkawinan, Buku II tentang hukum kewarisan, dan Buku III tentang hukum
perwakafan. Instruksi presiden tanggal 10 Juni 1991 itu kemudian ditindaklanjuti
oleh Menteri Agama dengan mengeluarkan keputusan Menteri Agama No. 154
tahun 1991 tanggal 22 juli 1991.96
Eksistensi hukum Islam di Indonesia selalu mengambil dua bentuk; hukum
normatif yang diimplementasikan secara sadar oleh umat Islam, dan hukum
formal yang dilegislasikan sebagai hukum positif bagi umat Islam. Yang
pertama menggunakan pendekatan kultural, sementara yang kedua menggunakan
penghampiran struktural. Hukum Islam dalam bentuk kedua ini pun proses
legislasinya menggunakan dua cara. Pertama, hukum Islam dilegislasikan secara
formal untuk umat Islam, seperti PP Nomor 28 tahun 1977 tentang pewakafan,
UU Nomor 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan ibadah haji, dan UU Nomor
38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat. Kedua, materi-materi hukum Islam
diintegrasikan ke dalam hukum nasional tanpa menyebutkan hukum Islam secara
formal, seperti UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan UU nomor 7
tahun 1989 tentang peredilan agama.
Berbeda dengan itu, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam sejarahnya adalah
produk kebijakan hukum pemerintah yang proses penyusunannya didasarkan pada
hukum normatif Islam, terutama fiqih mazhab Syafi’i. Oleh karenanya, boleh jadi
96Ibid.
54
hal itu membuat Kompilasi Hukum Islam (KHI) tampil dalam wajah yang tidak
akrab dengan hukum-hukum nasional dan internasional yang memiliki komitmen
kuat pada tegaknya masyarakat yang egaliter, pluralis, dan demokratis. Bahkan
disinyalir oleh sejumlah pemikir muslim bahwa alih-alih menjadi landasan agama
untuk demokratisasi, Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam beberapa
pasalnya mengandung potensi sebagai penghambat laju gerak demokrasi di
Indonesia. Kalau pasal-pasal tersebut dibiarkan, maka Kompilasi Hukum Islam
(KHI) akan terus menerus turut menyuburkan praktik diskriminasi dalam
masyarakat, terutama terhadap perempuan dan kaum minoritas.
Tentu saja praktik ini bertentangan dengan produk-produk hukum nasional,
seperti UU Nomor 7 tahun 1984 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, undang-undang yang terakhir ini dirumuskan sebagai
konsekuensi logis dari ratifikasi Negara terhadap CEDAW (the Convention On
the Elimination of All From Discrimination Against Women), UU Nomor 39
tahun 1999 tentag HAM yang sangat menekankan upaya perlindungan dan
penguatan terhadap perempuan, bahkan dengan UUD 1945 dan Amandemen
UUD 1945.
2. Landasan dan Rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI)
a. Landasan Kompilasi Hukum Islam
55
Landasan dalam artian sebagai dasar hukum keberadaan kompilasi hukum
Islam di Indonesia adalah Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tanggal 10
Juni 1991. Menurut Ismail Suny, oleh karena sudah jelas bahwa dalam bidang
perkawinan, kewarisan dan wakaf bagi pemeluk-pemeluk Islam telah
ditetapkan oleh undang-undang yang berlaku adalah hukum Islam, maka
Kompilasi Hukum Islam itu yang memuat hukum materiil-nya dapat
ditetapkan oleh Keputusan Presiden/Instruksi Presiden.
Pendapat tersebut antara lain didasarkannya pada disertasi dari A. Hamid
S. at-Tamimi. Selanjutnya dia mengatakan bahwa Instruksi Presiden tersebut
dasar hukumnya adalah pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
kekuasaan Presiden untuk memegang kekuasaan Pemerintahan Negara.
Apakah dinamakan Keputusan Presiden atau Instruksi Presiden, kedudukan
hukumnya adalah sama.97 Karena itu pembicaraan mengenai kedudukan
kompilasi tidak mungkin dilepaskan dari Instruksi Presiden di maksud.
Kemudian lebih lanjut yang menjadi dasar dan landasan dari kompilasi ini
adalah Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia tanggal 22 Juli 1991
No. 154 Tahun 1991 tentang Pelaksana Instruksi Presiden Republik Indonesia
No. 1 Tahun 1991. Konsideran Keputusan ini menyebutkan:
1) Bahwa Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 1 Tahun 1991
tanggal 10 Juni 1991 memerintahkan kepada Menteri Agama untuk
97Suny Ismail, Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Bandung: Remaja Rosdakarya. 1991), h. 44
56
menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam untuk digunakan oleh
Instansi Pemerintah dan oleh masyarakat yang memerlukannya.
2) Bahwa penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam tersebut perlu
dilaksanakan dengan sebaik-baiknyadan dengan penuh tanggung
jawab.
3) Bahwa oleh karena itu perlu dikeluarkan Keputusan Menteri Agama
Republik Indonesia tentang pelaksaan Instruksi Presiden Republik
Indonesia No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 juni 1991.98
Pengaturan lebih lanjut adalah termuat dalam Surat Edaran Direktur
Pembinaan Badan Pengadilan Agama Islam atas nama Direktur Jenderal
Pembinaan Kelembagaan Agama Islam tanggal 25 Juli 1991 No.
3694/EV/HK.003/AZ/91 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi dan
Ketua Pengadilan Agama di seluruh Indonesia tentang penyebarluasan
Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991.99
Bilamana kita berasumsi sesuai dengan Instruksi Presiden dan keputusan
Menteri Agama, kompilasi ini mempunyai kedudukan sebagai “Pedoman”,
dalam artian sebagai petunjuk bagi para hakim peradilan agama dalam
memutuskan dan menyelesaikan perkara, maka kedudukannya adalah
tergantung sepenuhnya dari para hakim dimaksud untuk menuangkan dalam
keputusan-keputusan mereka masing-masing, sehingga kompilasi ini akan
98Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia…, h. 55-5699
?Ibid, h. 58
57
terwujud dan mempunyai makna serta landasan yang kokoh dalam
yurisprudensi peradilan agama. Dengan cara demikian, maka peradilan agama
tidak hanya sekarang berkewajiban menerapkan ketentuan-ketentuan yang
sudah digariskan dalam Kompilasi Hukum Islam, akan tetapi justru
mempunyai peranan yang lebih besar lagi untuk memperkembangkan dan
sekaligus melengkapinya melalui yurisprudensi yang dibuatnya.100
Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh mengenai masalah ini kiranya
juga patut diperhatikan bagaimana pemikiran dan keinginan para pakar hukum
kita tentang bagaimana seharusnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) ini
didudukkan dalam sistem hukum Islam. M. Yahya Harahap, misalnya dalam
tulisannya menyebutkan tujuan dari Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
disusun pada waktu itu adalah:
1) Untuk merumuskan secara sistematis hukum Islam di Indonesia secara
konkrit.
2) Guna dijadikan sebagai landasan penerapan hukum Islam di
lingkungan peradilan Agama.
3) Dan sifat kompilasi bewawasan Nasional (bersifat supra sub kultural,
aliran satu madzhab) yang diperlakukan bagi seluruh masyarakat
Islam Indonesia, apabila timbul sengketa di depan sidang peradilan
100Ibid
58
agama (kalau di luar proses peradilan, tentu bebas menentukan pilihan
dari sumber kitab fikih yang ada).
4) Serta sekaligus akan dapat terbina penegakan kepastian hukum yang
lebih seragam dalam pergaulan lalu lintas masyarakat Islam.
Dalam konteks sosiologi, kompilasi yang bersubstansi hukum Islam jelas
merupakan produk keputusan politik. Instrumen hukum politik yang
digunakan adalah Inpres No. 1 tahun 1991. Selain formulasi hukum Islam
dalam tata hukum Indonesia, Kompilasi Hukum Islam bisa disebut sebagai
representasi dari sebagian substansi hukum material Islam yang dilegislasikan
oleh penguasa politik pada zaman orde baru.101
Dengan demikian, Kompilasi Hukum Islam (KHI) mempunyai kedudukan
yang penting dalam tata hukum Indonesia. Karena merupakan sebuah produk
hukum dari proses politik orde baru. Karena itu selain bersifat nisbi,
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan segala bentuknya, kecuali ruh hukum
Islamnya, merupakan cerminan kehendak sosial para pembuatnya.
Kehadirannya dengan demikian sejalan dengan motif-motif sosial, budaya dan
politik tertentu dari pemberi legitimasi, dalam hal ini rezim politik orde
terbagi tiga. Pendapat yang paling shahih mengatakan bahwa ibu dapat mengambil
sepertiga dari sisa pada dua kasus di atas, karena sisa itu bagaikan seluruh pusaka
dalam kaitan dengan ibu dan ayah. Allah telah menetapkan bagian setengah dari ibu
yang diambil dari bagian yang ditetapkan Allah bagi ayah. Maka ibu mengambil
sepertiga dari sisa dan ayah mengambil sisa sebagai bagian dua pertiganya itu. Inilah
pendapat Umar dan Utsman. Riwayat yang paling sahih dari dua riwayat yang ada
adalah dari Ali, dan riwayat inilah yang dipegang oleh Ibnu Mas’ud dan Zaid bin
Tsabit. Itulah pendapat para ulama, imam yang empat dan jumhur ulama.127
Penafsiran tentang bagian ayah dalam surat an-Nisa’ ayat 11 akan diketahui
berdasarkan dalalah al-iqtidha’ ayat tersebut yang menjelaskan tentang bagian waris
ayah. Terkait dalalah al-iqtidha’ (biasa juga disebut iqtidha an-nash), dia merupakan
salah satu cara yang dipakai para ulama dalam mengambil hukum berdasarkan dari
lafadz-lafadz dalam al-Qur’an dan al-Hadits, yang lebih populer dikalangan para
ulama dan para ahli bahasa dengan sebutan qawa’id al-lughat (pendekatan bahasa).128
Lebih rincinya adalah sebagaimana yang ditulis Ali Hasaballah dalam kitab Ushul al-
Tasyri’ al-Islami, bahwa qawa’id al-lughat ialah kaidah-kaidah yang dirumuskan
para ahli bahasa dan diadopsi oleh para pakar hukum Islam untuk melakukan
pemahaman terhadap makna lafal, sebagai hasil analisa induktif dari tradisi
kebahasaan bangsa Arab sendiri, baik bahasa prosa maupun syair atau nazam.129
127Ibid, h. 128Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, (Jakarta: Gaung Persada Press. 2007), h. 66 129Ali HAsaballah, Usul al-Tasyri’ al-Islami, (Mesir: Dar al-Ma’arif. 1971), h. 203
86
Adapun pengertian iqtidha’al-nash (dalalah al-iqtidha), sebagaimana yang
“Iqtidla’ al-nash ialah penunjukan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.”130
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu petunjuk makna lafal nash baru
bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang
terkandung dari suatu teks nash. Dalalah al-iqtidha adalah penunjuk lafal nash
kepada sesuatu yang tidak disebutkan dan penunjuk ini akan dapat dipahami jika
yang tidak disebutkan itu harus diberi tambahan lafal sebagai penjelasannya. Sebagai
contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada surat al-Alaq ayat 17 berikut ini:
Pengertian ayat ini belum jelas.Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan
menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya:
“Maka Biarlah Dia memanggil golongannya (untuk menolong)”
Jika dikaitkan dengan penafsiran surat an-Nisa ayat 11 tentang bagian ayah,
seharusnya ayah mengambila sisa harta (‘ashabah) setelah ibu mengambil bagian 1/3
(sepertiga). Hal ini seperti pada umumnya penafsiran mufassir tentang ayat tersebut,
bahwa bagian ayah adalah ‘ashabah jika tidak terdapat anak, dan hal tersebut sudah
menjadi ijma’.
130
? Zaky al-Din Sya’ban, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Mesir : Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah, 1965), h. 367-368.
87
Jika dirinci secara singkat, bagian ayah dalam ilmu mawaris adalah sebagai
berikut:
1. Ayah mendapat bagian 1/6 (seperenam) dengan ketentuan bahwa jika dia
mewarisi bersama far’ul waris (anak laki-laki, anak perempuan, cucu laki-
laki, dan cucu perempuan).
2. Ayah mendapat ‘ashabah bi an-Nafsi, yaitu apabila ayah mewarisi tidak
bersama far’ul waris.
3. Ayah mendapat 1/6 (seperenam) dan ashabah jika bersama dengan anak
perempuan atau cucu perempuan saja.
4. Ayah mendapat ‘ashabah jika bersama suami atau istri dan ibu. Sedangkan
ibu mendapat 1/3 (sepertiga) sisa. Permasalahan ini biasa disebut dengan
masalah gharrawain.
Sedangkan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam, secara garis besar terdapat dua
keadaan ayah mendapat bagian waris dari ahli warisnya (anaknya):
1. Ayah akan mendapat 1/3 (sepertiga) jika si mayit tidak memiliki anak.
2. Dan ayah akan mendapat 1/6 (seperenam) jika si mayit memiliki anak
Ayah mendapat bagian seperenam jika pewaris meninggalkan anak, hal ini
telah sesuai dengan al-Qur’an maupun rumusannya dalam fikih sebagaimana yang
telah disepakati oleh jumhur ulama. Jika pewaris tidak memiliki far’u al-warits, maka
ayah mendapatkan ‘ashabah (sisa).131 Akan tetapi jika menetapkan ayah menerima
sepertiga dalam keadaan tidak ada anak, maka yang demikian itu tidak terdapat dalam
131Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris…, h. 197
88
al-Qur’an, dan tidak pula tersebut dalam kitab fikih manapun.132 Ayah kemungkinan
mendapatkan 1/3, tetapi kedudukan ayah bukan sebagai salah satu dari ash-habul
furud. Itupun dalam kasus tertentu seperti bersama ibu dan suami, dengan catatan ibu
menerima 1/3 harta sebagaimana yang lazim berlaku dalam mazhab jumhur
Ahlusunnah.133
Berdasarkan analisa yang dilakukan, setidaknya penulis akan mengangkat
sebagai argumen yang dijadikan pembenaran terhadap ketentuan pasal 177 Kompilasi
Hukum Islam tentang besar 1/3 bagian bagi ayah. Walaupun kenyataannya argumen
tersebut masih perlu ditinjau jika melihat dari aspek syari’ah. Penulis perlu
memaparkan hal ini, agar arah penganalisaan terhadap kewarisan 1/3 ayah dalam
pasal 177 Kompilasi Hukum Islam lebih terarah dan sistematis.
Penjelasan mengenai 1/3 bagian bagi ayah merupakan hasil dari metode
interpretasi untuk memahami bunyi pasal tersebut. Sebab undang-undang merupakan
salah satu unsur dalam sistem hukum, maka sifat dasar sistem hukum juga merupakan
sistem dasar undang-undang.134 Lebih lanjut dikemukakan oleh Dworkin sebagaimana
dikutip Anton Freddy Susanto “hukum merupakan konsep interpretatif, ilmu hukum
apapun yang ingin dianggap haruslah dibangun atas dasar suatu interpretasi.”135
132
?Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana. 2008), Cet. Ke-3, h. 329
133Ibid 134Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: 1996), h. 23 135
?Anton Freddy Sutanto, Semiotika Hukum, Bandung, 2005
89
Berdasarkan jenisnya, maka metode penafsiran dalam ilmu hukum ada 9
macam, yaaitu: metode penafsiran gramatikal, otentik, teleologis (sosiologis),
sistematis (logis), historis (subjektif), komparatif, futuristis (antisipatif), restriktif dan
ekstensif. Metode interpretasi tersebut secara sederhana dapat dikelompokkan
berdasarkan 2 pendekatan, yaitu (1) the textualist approach (focus on text) dan (2) the
purposive approach (focus on purpose). Interpretasi gramatikal dan otentik termasuk
kategori pendekatan pertama, sementara metode interpretasi lainnya mengacu kepada
pendekatan kedua.136
Setelah penulis mencoba meneliti lebih lanjut, ternyata penulis mendapati
adanya kekeliuran yang sangat signifikan pada pasal 177 Kompilasi Hukum Islam.
Hal ini berdasarkan hasil revisi yang dilakukan Mahkamah Agung, yaitu Surat
Edaran Mahkamah Agung RI Nomor MA/Kumdil/148/VI/K/1994 tanggal 28 Juni
1994 tentang pengertian pasal 177 Kompilasi Hukum Islam. Pasal ini seharusnya
berbunyi sebagai berikut:
”ayah mendapat sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, tetapi
meninggalkan suami dan ibu. Bila ada anak, ayah mendapat seperenam
bagian.”
Jadi, maksud dari 1/3 bagian ayah dalam pasal tersebut adalah besar bagian
ayah dalam masalah gharrawain, yaitu jika ayah tidak bersama anak namun bersama
136
?Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.
90
ibu dan suami/istri. Penulis juga berpendapat bahwasanya arti yang terkandung dalam
revisi pasal di atas adalah bahwa ayah mempunyai tiga macam cara dalam
mendapatkan warisan:
1. Ayah menerima ‘ashabah, apabila pewaris tidak meninggalkan anak.
2. Ayah menerima 1/3 bagian bila tidak meninggalkan anak tetapi ayah bersama
suami/istri dan ibu.
3. Ayah menerima 1/6 bagian bila meninggalkan anak.
Kemudian bagian 1/3 bagi ayah jika tidak bersama anak pada pasal 177
Kompilasi Hukum Islam yaitu berdasarkan asas bilateral dalam kewarisan. Dalam hal
ini Kompilasi Hukum Islam bermaksud untuk melindungi posisi ayah untuk
mendapatkan bagian pasti, sebab jika mendapat ‘ashabah bisa saja bagian ayah akan
lebih sedikit dari ibu, dan yang lebih parah bisa jadi ayah tidak mendapatkan bagian
dari harta waris.
B. Tinjauan Kewarisan Terhadap Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam Tentang
Bagian Waris Ayah.
Hukum kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an
bersifat qath’i (absolute), baik keberadaannya maupun dalalah-nya (penunjukkan
hukumnya). Oleh karenanya, pengaplikasian dan penafsiran ilmu ini tidak dapat
91
dilakukan oleh sembarang orang, karena ilmu waris membutuhkan ilmu-ilmu yang
lainnya. Yaitu ilmu al-ansab (penasaban), ilmu al-hisab (perhitungan), dan juga ilmu
tentang fatwa, karena ketiga ilmu tersebut dapat membantu untuk memahami ilmu
waris.
Merujuk dari analisa yang dipaparkan penulis di atas, maka untuk memahami
makna pasal tersebut harus menggunakan metode penafsiran otentik yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung, bahwa 1/3 bagi ayah merupakan permasalahan gharrawain.
Jika dirinci, maka akan didapati bahwa masalah gharrwain ini besar bagiannya sama
dengan bagian ayah ketika ‘ashabah. Penjelasannya yaitu jika ayah tidak
meninggalkan anak namun bersama suami dan ibu, dalam perhitungannya maka
jumlah ‘ashabah sama besarnya dengan 1/3 bagian. Untuk lebih jelasnya lihat table di
bawah.
Tabel 1Ahli waris Besar bagian Asal masalah (6)
Suami ½ 3
Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian suami) 1
Ayah ‘ashabah 2
Dari table di atas terlihat jelas bahwa bagian ‘ashabah ayah sama dengan
bagian 1/3, maka hal tersebut tidak mengurangi ketetapan yang ditentukan
gharrawain tersebut, walaupun ada perubahan dari ‘ashabah menjadi 1/3.
Begitu juga dalam kondisi ayah mewarisi bersama istri dan ibu, kejadian ini
berbeda ketika ayah mewarisi bersama suami dan ibu, karena apabila ayah mendapat
92
1/3 bagian akan terdapat bagian yang lebih dan bagian tersebut dikembalikan kepada
ayah dalam keadaan ‘ashabah. Sebagaimana table di bawah ini.
Tabel 2
Ahli waris Besar bagian Asal masalah (4)
Istri ¼ 1
Ibu 1/3 sisa (setelah diambil bagian istri) 1
Ayah ‘ashabah 2
Biasanya, bagian ayah selalu lebih besar dari ibu. Akan tetapi dalam kondisi
seperti ini, bagian ayah yang ‘ashabah lebih kecil dibanding bagian ibu, sebab ibu
mendapat 1/3 sedangkan ayah sebagai ‘ashabah hanya mendapat 1/6. Oleh karena itu,
jika menggunakan argumen di atas, maka penulis berasumsi bahwasanya Kompilasi
Hukum Islam menggunakan ijtihad Umar ra. terkait masalah gharrawain di atas
untuk melindungi bagian ayah, jangan sampai lebih kecil dari bagian ibu, sebab al-
Qur’an menegaskan bahwa bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Sebagaimana
yang tercantum dalam al-Qur’an Surat a-Nisa [4] ayat 11:
….
Sebenarnya masalah gharrawain merupakan hasil pemikiran Umar ra. yang
dalam prakteknya jarang sekali terjadi. Masalah ini juga terkenal dengan sebutan
umariyyatain, dan karena jarang terjadi maka disebut pula ghoribatain.137 Jadi,
137Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fiqih Mawaris, …, h. 132
93
berdasarkan argumen ini berarti pasal 177 Kompilasi Hukum Islam hanya mengatur
tentang masalah gharrawain jika ayah hanya bersama suami dan ibu.
Dari penjelasan di atas, memang sangat berbeda dengan ketentuan yang
terantum dalam al-Qur’an, karena dalam al-Qur’an ayah hanya mendapatkan
‘ashabah apabila tidak meninggalkan anak, sebagaimana hasil ijma para ulama,
walaupun di sana terdapat ibu dan suami atau istri.
Terkait permasalahan gharrawain, maka dalam tinjauan kewarisan, pasal
tersebut sudah sejalan dengan yang telah tertetapkan dalam hukum Islam. Namun
kenyataannya dalam Kompilasi Hukum Islam terjadi ketimpangan lain yang tidak
sejalan dengan syari’at. Sebab Kompilasi Hukum Islam menghapus maksud lain,
yaitu bagian ‘ashabah jika tidak bersama anak dan menetapkan bagian ayah secara
pasti.
Di sinilah letak permasalahannya, karena Kompilasi Hukum Islam dalam
pasalnya menetapkan bagian waris ayah jika tidak meninggalkan anak secara pasti,
yakni 1/3 bukan ‘ashabah. Artinya, Kompilasi Hukum Islam secara berani merubah
status ayah yang semula ashabah ketika tidak bersamanya anak menjadi ash-habul
al-furudh. Meskipun maksud dari pasal tersebut adalah masalah gharrawain, ayah
dalam kondisi seperti ini tetap berposisi sebagai ‘ashabah, bukan salah satu bagian
dari ash-habul al-furudh sebagaimana yang telah tertetapkan dalam Kompilasi
Hukum Islam.
94
Kompilasi Hukum Islam mendasari penetapan 1/3 bagian ayah secara pasti
karena mashlahah yang akan didapat ayah dan mencegah mafsadat yang terjadi,
sebagaimana kaidah fiqhiyyah menyebutkan:
Gل�ُب KِحK الم#َص#ا َج# الم#َف#اسKد رُعG د� و# ل
“Mendatangkan mashlahah dan mencegah mafsadah”138
Mengomentari tentang mashlahah, Mustafa Zaid, sebagaimana yang
diungkapkan Hasbi Umar mengemukakan satu alasan penggunaan mashlahah dalam
kajian hukum sebagai berikut: “bahwa tujuan diturunkannya syariat adalah agar para
mukallaf tidak melakukan suatu tindakan atau perbuatan mengikuti hawa nafsunya,
karena jika hawa nafsu yang menjadi landasan perbuatan, maka mereka akan
dihadapkan pada mufsadat (kerusakan).”139
Lebih jauh lagi, para ulama membatasi kebebasan akal dalam kajian
mashlahah dengan menetapkan sejumlah kriteria sebagai berikut:140
a) Mashlahah tersebut bersifat reasonable (ma’qul) dan relevan (munasib) dengan
kasus hukum yang ditetapkan.
b) Mashlahah tersebut harus dapat diterima oleh pemikiran rasional.
c) Mashlahah tersebut harus sesuai dengan maksud syar’i dalam menetapkan
hukum, dan tidak bertentangan dengan nash, baik dengan dalil-dalil tekstualnya
138Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, (Makkah: Maktabah al-Asdiy, t.t), Juz 1, h. 73
139
?Hasbi Umar, Nalar Fiqih Kontemporer, …, h. 114
140Abi Ishaq al-Syatibiy, al-Muwafaqah fi Ushul al-Syari’ah, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. 1991), Jilid. 4, h. 364-367
95
maupun dengan dasar-dasar pemikiran substansialnya. Dengan kata lain,
mashlahah itu harus sesuai dengan maqasid asy-syari’ah.
Dengan demikian, jika melihat dari paparan di atas, seharusnya penetapan 1/3
(sepertiga) bagian untuk ayah dalam Kompilasi Hukum Islam bisa dikategorikan
sebagai sebuah mashlahah yang harus diterapkan. Namun sesungguhnya hal itu
belum, dan bahkan tidak bisa dikategorikan demikian, sebab yang paling penting dari
semua itu adalah bahwa penetapan besar bagian 1/3 bagi ayah dalam Kompilasi
Hukum Islam adalah penetapan hukum yang bertentangan dengan nash, yakni bagian
waris ayah yang tercantum dalam surat an-Nisa’ ayat 11. Dan juga karena hukum
kewarisan dalam Islam yang didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur’an bersifat qath’i
(absolute), baik tsubut (keberadaannya) maupun dalalah-nya (penunjukkan
hukumnya).
Sebagai seorang muslim, seharusnya meyakini dengan sepenuh hati
bahwasanya hukum waris dalam Islam merupakan aplikasi dari adanya maqasid asy-
syari’ah, yaitu hifz al-mal wa al-irdh. Artinya, individu seorang muslim pasti
terpenuhi hak-haknya karena adanya pembagian hak waris yang telah ditentukan
bagian-bagiannya, baik dalam al-Qur’an maupun al-Hadits. Termasuk dalam hal ini
bagian ayah yang telah ditetapkan Allah SWT dalam firman-Nya adalah sebagai
‘ashabah jika tidak mewarisi bersama anak.
Perlu penulis tekankan bahwa masalah waris sangatlah sensitif. Karena itu,
Allah SWT tidak membiarkan begitu saja hukum yang berkenaan dengan masalah
96
hak kepemilikan materi (harta) ini dibagi sekehendak manusia. Dia
menjelaskankannya di dalam al-Qur’an dengan detail agar tidak terjadi kezaliman dan
perbuatan aniaya dikalangan umat manusia, sebab bisa jadi di dalamnya terdapat hak
ahli waris yang lain. Dan juga Allah SWT melarang manusia untuk memakan harta
orang lain dengan cara yang batil, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S. al-Baqarah
[2] ayat 188:
Syariat Islam telah menetapkan tentang pembagian waris, baik orangnya,
hartanya maupun bagiannya secara rinci dalam nash yang sharikh. Terkait ahli waris
dan bagiannya, syariat telah menetapkan hak bagian dari setiap ahli waris,
sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nisa’ [4’] ayat 7:
Bersandar dari ayat ini, dan juga berdasarkan pemaparan-pemaparan terkait
ahli waris, maka dapat dipahami secara dzahir bahwa yang mendapatkan hak waris
secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat bagian. Pertama, yaitu yang
mendapatkan dengan cara fardh dan tidak akan mendapatkan dengan cara ‘ashabah.
Mereka ini terdiri dari dua dari kalangan laki-laki, yaitu suami dan laki-laki seibu,
dan lima dari kalangan perempuan, yaitu istri, ibu, saudara perempuan seibu, nenek
dari jalur ibu ke atas dan nenek dari jalur ayah ke atas.
97
Kedua, yaitu yang mendapatkan warisan dengan cara ‘ashabah saja, tidak
pernah mendapatkan dengan cara fardh. Mereka adalah anak laki-laki, cucu dari anak
laki-laki ke bawah, saudara laki-laki sekandung, anak saudara laki-laki sekandung,
saudara laki-laki seayah, anak saudara laki-laki seayah, paman laki-laki sekandung,
anak dari paman laki-laki sekandung ke bawah, paman laki-laki seayah, anak dari
paman laki-laki seayah ke bawah, al-mu’tiq dan al-mu’tiqah.
Ketiga, yaitu mereka yang terkadang mendapatkan warisan dengan cara fardh,
dan terkadang mendapatkan warisan dengan cara ‘ashabah. Terkadang juga mereka
dalam kondisi mendapatkan warisan dengan cara fardh sekaligus sebagai ’ashabah.
Mereka ini yaitu ayah dan kakek. Dan keempat, yaitu mereka yang terkadang
mendapatkan warisan dengan cara fardh, dan terkadang mendapatkan warisan dengan
cara ‘ashabah. Namun mereka tidak berada dalam kondisi mendapatkan warisan
dengan cara fardh sekaligus sebagai ’ashabah. Mereka itu terdiri dari empat dari
kalangan perempuan, yaitu satu anak perempuan atau lebih, satu cucu perempuan dari
anak laki-laki atau lebih, satu saudara perempuan kandung atau lebih, satu saudara
perempuan seayah atau lebih.
Dengan memperhatikan dalil-dalil dari al-Qur’an dan seluruh pembahasan
mengenai hak bagian setiap ahli waris dalam hukum syara’, maka hasil penetapan
Kompilasi Hukum Islam dalam pasal 177 yang menentukan ayah mendapatkan
sepertiga bagian jika tidak terdapat anak adalah tindakan yang keliru karena
menyalahi hukum syara’. Berdasarkan hal tersebut, maka tidak sepantasnya bagi
98
umat Islam di Indonesia, terkhusus bagi para hakim di Pengadilan Agama
berpedoman kepada ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam dalam
menyelesaikan permasalahan bagian waris ayah jika tidak ada anak, Sebab secara
tidak langsung ia telah menentang syari’at Allah. Seharusnya sebagai individu
muslim untuk selalu mendahulukan hukum Allah (Syari’at) daripada hukum lain,
terlebih jika hukum tersebut bertentangan dengan ketentuan syari’at.
Menurut hemat penulis, asas ijbari yang mengandung arti bahwa ketentuan
tentang pembagian harta warisan yang terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadits
merupakan ketentuan hukum yang bersifat memaksa, karenanya wajib pulalah bagi
setiap pribadi muslim untuk melaksanakannya. Jadi hukum adanya penetapan
sepertiga bagian bagi ayah jika tidak ada anak pada pasal 177 Kompilasi Hukum
Islam adalah tidak tepat (salah), karena jelas bertentangan dengan hukum Allah
Ta’ala. Karena secara tidak langsung aturan tersebut mengajak seorang muslim,
khususnya bagi umat Islam di Indonesia untuk tidak taat pada ajaran Allah Ta’ala dan
mengajak mereka menyimpang dari ketentuan Allah dan Rasul-Nya dalam membagi
harta waris. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Q.S An-Nisa’ [4] ayat 13-14:
Bahkan orang semacam ini digolongkan oleh Allah Ta’ala sebagai orang
kafir, zhalim dan fasik. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah [5]
ayat 44:
99
Firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah [5] ayat 45:
Firman Allah Ta’ala dalam Q.S. Al-Maidah [5] ayat 47:
Berdasarkan pemaparan terkait dengan alasan pembenaran sekaligus
sanggahan terhadap pasal 177 Kompilasi Hukum Islam yang dipaparkan penulis di
atas, maka sebagai umat Islam yang sekaligus sebagai rakyat Indonesia, penulis
menghimbau kepada otoritas negara ini untuk sesegera mungkin mengambil langkah
bijak terhadap bagian waris ayah dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 177. Satu-
satunya langkah bijak yang bisa diambil yaitu dengan merevisi pasal 177 Kompilasi
Hukum Islam, khususnya pada bagian 1/3 bagian ayah.
Oleh karena itu, penulis mencoba untuk menawarkan tiga opsi yang bisa
diambil oleh otoritas Negara terkait yang diamanahi untuk mengubah Kompilasi
Hukum Islam ini.
Pertama, ketentuan pasal 177 Kompilasi Hukum Islam tentang bagian waris
1/3 ayah tersebut dihapus keseluruhan. Ini harus dilakukan karena mengakibatkan
kemudharatan pada umat Islam, letak kemudharatannya yaitu pasal tersebut mengajak
umat Islam untuk mengambil hukum yang tidak sesuai dengan hukum syara’. Hal ini
sesuai dengan kaidah fiqhiyyah:
Gر الG الض#ر# Gَز# ي
“Kemudharatan harus dihilangkan”141
141Abdullah Ali Bassam, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, h. 52
100
Kedua, mengubah dan memperjelas teks pasal 177 Kompilasi Hukum Islam
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan Allah SWT. Yaitu kalimat “ayah
mendapatkan sepertiga bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak” dengan
kalimat “ayah mendapatkan sisa harta (‘Ashabah) bila pewaris tidak meninggalkan
anak”. Sebab mengubah ketentuan tersebut wajib hukumnya, sebagaimana kaidah
Arto, Mukti, Hukum Waris Bilateral Dalam Kompilasi hukum Islam, Solo. Balqis Quen. 2009.
Ash-Shabuni, Muhammad Ali, Al-Mawarits fi Asy-Syari’atil Islamiyah ‘Ala Dhauil Kitab Was Sunnah, Terj: A. M. Basalamah, Panduan Waris Menurut Islam, Jakarta. Gema Insani Press, Cet.Ke-10, 2007.
As-Sajastani, Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy’ats, Sunan Abu Dawud, Kairo. Mustafa al-Babiy.
As-Syatibiy, Abi Ishaq, al-Muwafaqah fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al ‘Ilmiyah, Jilid. 4, 1991.
Bassam, Abdullah Ali, Taisiirul al-‘Allam Syarh ‘Umdatul Ahkam, Terj: Kathur Suhardi, Syarah Hadits Pilihan Bukhori-Muslim, Jakarta. Darul Falah, Cet. Ke-2, Jilid III, 2003.
---------, Abdullah Ali, Taudhihul Al-Ahkam min Bulughul Maram, Makkah. Maktabah al-Asdiy, t.t, Juz 1, t.t
Basyir, Ahmad Azhar, Hukum Kewarisan Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam, Yogyakarta. Bagian Penerbitan Fak. Hukum UII, 1967.
Bukhari, al-Jami’ ash-Shahih al-Bukhari, Bab al-Wala-u liman A’taqa wa Mirats al Laqith. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabiy, t.t
Cf. Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung. Remaja Rosda Karya. 2001
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta. Pusat Bahasa. 2008.
Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departeman Agama, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, 1993/1994.
Efendi, Satria, problematika Hukum Keluarga Kontemporer Islam, Jakarta. Kencana, Cet. Ke-1, 2004.
Ensiklopedi Nasional Indonesia, Jakarta. Cipta Adi Pustaka, Jilid 17, Cet. Ke-1, 1991. Hadikusuma, Hilman, Hukum Waris Adat, Bandung. Citra Aditya Bakti, 1990.
106
Hamid, Muhammad Muhyidin Abdul, Ahkam al-Mawarits Fi Asy-Syari’ah Al Islamiyah ‘ala Madzahib Al-Arba’ah, Jakarta. Pustaka Al-Kautsar, Cet. Ke-1, 2006.
Harahap, M. Yahya, Tujuan Kompilasi Hukum Islam, Jakarta. Hikmah Syahid Indah. 1988.
Hasaballah, Ali, Usul al-Tasyri’ al-Islami, Mesir. Dar al-Ma’arif. 1971.
Hasan, Sofyan, dan Sumitro, Warkum, Dasar-dasar Memahami Hukum Islam Di Indonesia, Surabaya. Usaha Nasional. Cet. Ke-1, 1994.
Ismail, Suny, Kedudukan Hukum Islam Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung. Remaja Rosdakarya. 1991.
Jakfar, Idris, dan Yahya, Taufik, Hukum Kewarisan Nasional, Jakarta. Tinta Mas. 1995.
Kamal, Abu Malik, Shahih Fiqih as-sunnah, Terj, Abu Ihsan al-Atsari dan Amir Hamzah Fachiruddin, Shahih Fiqih Sunnah, Jakarta. Pustaka at- Tazkia, Jilid 4, 2009.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM bekerja sama dengan Coastal Resources Management Project/ Mitra Pesisir, Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir, Jakarta, 2005.
Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar, Ahkamul Mawarits fi Fiqhil-Islami, Terj: Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris Terlengkap, Jakarta. Senayan Abadi Publishing, Cet. Ke-3, 2011.
Mahfud, Mohammad, MD, Perkembangan Politik Hukum, Yogyakarta, 1993.
Makhluf, Hasanain Muhammad, Al-Mawarits fi al-Syari’at al-Islamiyyah, Kairo. Lajnah al Bayyan al-Araby, 1958.
Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: 1996.
Rahman, Fathur, Ilmu Waris, Bandung. al-Ma’arif. 1981.
107
Rofiq, Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta. Rajawali Pers. Cet. Ke-6, 2003.
Sabiq, Sayid, Fiqh al-Sunnah, Semarang. Toha Putra. 1972.
Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta. Pradnya Paramita, t.t.
Suma, Muhammad Amin, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya Di Indonesia, Jakarta. Rajawali Pers, Cet. Ke-1, 2004.
Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW, Bandung. Refika Aditama, t.t.
Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu (Sebuah Pengantar Populer), Jakarta. Pustaka Sinar Harapan, Cet. Ke-7, 1993.
Sutanto, Anton Freddy, Semiotika Hukum, Bandung, 2005.
Sya’ban, Zaky al-Din, Ushul al-Fiqh al-Islami, Mesir . Dar al-Ta’lif Lit-tiba’ah, 1965.
Syarifuddin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta. Kencana, Cet. Ke-3, 2008.
---------------, Amir, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, Padang. Angkasa Raya, Cet. Ke-2, 1993.
Thalib, Sayuti, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta. Sinar Grafika, 1993.
Umar, Hasbi, Nalar Fiqih Kontemporer, Jakarta. Gaung Persada Press. 2007.
Usman, Suparman, dan Somawinata, Yusuf, Fiqih Mawaris, Jakarta. Gaya Media Pratama, Cet. Ke-2, 2002.
---------, Suparman, Hukum Islam, Jakarta. Gaya Media Pratama, Cet. Ke-2, 2002.
Uwaidah, Kamil Muhammad, Al-Jami’ fi Fiqhi An-Nisa, Terj: Abdul Ghoffar, Fikih Wanita, Jakarta. Pustaka al-Kautsar, Cet. Ke-17, 2005.
108
Wahid, Abdul, dan Muhibbin, Hukum Kewarisan Islam Sebagai Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta. Sinar Grafika. 2009.
Wahid, Marzuki dan Rumadi, Fikih Mazhab Negara, Yogyakarta: LKIS, 2001.
Dari Internet
http://mohammadrafiul.blogspot.com/2010/05/ Makalah Kompilasi Hukum Islam