BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dewasa ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. The Third National Health and Examination Survey (NHANES III) melaporkan prevalensi PGK pada penduduk berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% pada tahun 1988-1994 menjadi 16.8% pada tahun 1999-2004 1 . Di sisi lain, National Kidney Foundation (NKF) juga mengemukakan bahwa pada tahun 2011, diperkirakan paling tidak terdapat 26 juta jiwa penduduk Amerika dewasa yang menderita penyakit ginjal kronik dan jutaan lainnya dengan resiko untuk mengalaminya 2 . Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pertumbuhan PGK di Indonesia mencapai sekitar 10% setiap tahunnya dengan insidensi berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk 3,4 . Angka kejadian PGK yang terus mengalami peningkatan diduga diperantarai oleh karena bertambahnya angka harapan hidup, meningkatnya angka kejadian diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, serta penyakit jantung-pembuluh darah yang semuanya merupakan faktor risiko timbulnya PGK itu sendiri 1 . Adapun Penyakit Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal berupa kelainan struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Dikatakan PGK apabila terjadi penurunan LFG < 60 ml/ menit per 1.73 /m 2 luas permukaan tubuh (LPT) selama > 3 bulan 5 . Dahulu, penyakit ginjal infeksi seperti glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGK, namun dewasa ini hipertensi dan diabetes telah menjadi dua penyebab utama penyakit ginjal kronik 6 . Penyakit ginjal kronik (PGK) dapat mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif. Bila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat terjadi penyakit ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pasien ESRD harus mendapatkan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit ginjal kronik (PGK) merupakan salah satu penyakit yang dewasa
ini menjadi masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. The Third National
Health and Examination Survey (NHANES III) melaporkan prevalensi PGK pada
penduduk berusia di atas 20 tahun di Amerika Serikat meningkat dari 14.5% pada
tahun 1988-1994 menjadi 16.8% pada tahun 1999-20041. Di sisi lain, National
Kidney Foundation (NKF) juga mengemukakan bahwa pada tahun 2011,
diperkirakan paling tidak terdapat 26 juta jiwa penduduk Amerika dewasa yang
menderita penyakit ginjal kronik dan jutaan lainnya dengan resiko untuk
mengalaminya2.
Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronik juga terus
meningkat dari tahun ke tahun. Diperkirakan pertumbuhan PGK di Indonesia
mencapai sekitar 10% setiap tahunnya dengan insidensi berkisar 100-150 per 1
juta penduduk dan prevalensi mencapai 200-250 kasus per juta penduduk3,4
.
Angka kejadian PGK yang terus mengalami peningkatan diduga diperantarai oleh
karena bertambahnya angka harapan hidup, meningkatnya angka kejadian
diabetes mellitus, hipertensi, obesitas, serta penyakit jantung-pembuluh darah
yang semuanya merupakan faktor risiko timbulnya PGK itu sendiri1.
Adapun Penyakit Ginjal Kronik merupakan kelainan ginjal berupa
kelainan struktural maupun fungsional, dengan atau tanpa penurunan fungsi ginjal
yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG). Dikatakan PGK
apabila terjadi penurunan LFG < 60 ml/ menit per 1.73 /m2 luas permukaan
tubuh (LPT) selama > 3 bulan5. Dahulu, penyakit ginjal infeksi seperti
glomerulonefritis merupakan penyebab utama PGK, namun dewasa ini hipertensi
dan diabetes telah menjadi dua penyebab utama penyakit ginjal kronik6.
Penyakit ginjal kronik (PGK) dapat mengakibatkan penurunan fungsi
ginjal yang progresif. Bila tidak ditatalaksana dengan baik, dapat terjadi penyakit
ginjal stadium akhir atau end stage renal disease (ESRD). Pasien ESRD harus
mendapatkan terapi pengganti ginjal permanen dalam bentuk hemodialisis atau
2
transplantasi ginjal5. Sebagaimana banyak penyakit kronik lainnya, angka harapan
hidup pasien ESRD sangat berkurang. Tanpa transplantasi ginjal, pasien hanya
akan mampu bertahan beberapa bulan atau minggu sebelum akhirnya mengalami
uremia dan meninggal7. Angka kematian pasien yang menjalani dialisis paling
tinggi pada tahun pertama menjalani hemodialisis. Berdasarkan data USRDS (The
United States Renal Data System), angka kematian pada tahun pertama dialisis
pada tahun 2004 adalah 24,5%, yang setara dengan 17% lebih tinggi jika
dibandingkan dengan kematian pada tahun kedua dan seterusnya8.
Oleh sebab itulah, tindakan pencegahan progresi PGK menjadi ESRD
menjadi sangat penting. Penatalaksanaan yang tepat terhadap PGK memegang
posisi kunci agar tidak terjadi perburukan PGK sampai ke tahap ESRD5. Meski
mekanisme yang mendasari progresi penyakit ginjal kronik menuju ESRD sudah
dipahami sepenuhnya, pilihan terapi pasien PGK masih sangat terbatas. Akibatnya
sampai sekarang, progresi PGK menjadi ESRD masih menjadi salah satu masalah
terbesar dalam bidang nefrologi. Meskipun angiotensin-converting enzyme
inhibitors (ACEI) sekarang diakui sebagai agen terapeutik yang paling
menjanjikan dalam menghambat progresi renal fibrosis, namun baik ACEI dan
atau ARBs belum optimal dalam memperlambat progresifitas PGK, sementara itu
pilihan terapi yang spesifik masih belum tersedia9.
Proses renal fibrosis pada dasarnya merupakan proses kunci yang
mendasari progresi PGK menjadi ESRD10
. Gambaran histopatologi keparahan
fibrosis ginjal berkorelasi kuat dengan menurunnya fungsi ginjal pada pasien-
pasien PGK11
. Dengan demikian, proses renal fibrosis adalah target terapi yang
sangat penting dalam penanganan PGK. Yang menjadi masalah adalah kenyataan
bahwa patogenesis fibrosis ginjal sangatlah rumit dan melibatkan banyak
mediator serta sel. Akibatnya banyak monoterapi atau bahkan terapi kombinasi
yang gagal membendung proses fibrosis ginjal ini10
.
Transforming growth factor-β1 (TGF-β1) telah lama diketahui memainkan
peranan sentral dalam proses fibrosis ginjal melalui suatu proses yang kompleks.
Penghambatan TGF- β telah terbukti menekan proses fibrosis pada ginjal pada
berbagai penelitian. Beberapa mediator diketahui berperan sebagai inhibitor TGF-
3
β1, diantaranya yang paling spesifik adalah Bone Morphogenetic Protein (BMP)
dan Hepatocyte Growth Factor (HGF).
Bone morphogenetic proteins (BMPs) sendiri adalah sekelompok faktor
pertumbuhan yang berfungsi sebagai sitokin dan berperan dalam berbagai proses
metabolisme tubuh 12
. Hingga sekarang, dua jenis BMP telah disetujui oleh Food
and Drug Administration (FDA) yakni BMP-2 (Medtronic) dan BMP-7 yang
disebut juga Osteogenic Protein/OP-1. Baik BMP-2 maupun BMP-7
menunjukkan potensi terapi jika diberikan pada penderita PGK. Keduanya telah
terbukti lebih ampuh daripada enalapril dalam mengurangi dan bahkan
menyembuhkan proses fibrosis interstisial ginjal pada berbagai model
eksperimen. Selain itu, pengobatan dengan BMP-7 dapat mengobati osteodistrofi
ginjal dan mengurangi kalsifikasi vaskular pada uremia13
. Di sisi lain, Hepatocyte
Growth Factor (HGF) juga terbukti bekerja sebagai antifibrotik yang potensial
lewat penghambatan Smad2/3 serta aktivasi SnoN, yang merupakan inhibitor
Smad210
. Pemberian HGF terbukti mampu mencegah aktivasi myofibroblast dan
proses fibrosis pada hewan coba yang mengalami obstruksi ginjal. Lebih lagi
sebagai faktor pertumbuhan, HGF telah terbukti mampu menginduksi proliferasi
dan diferensiasi selular, serta menginduksi regenerasi jaringan yang mengalami
fibrosis. Kemampuan HGF dalam menstimulasi proliferasi epitel tubulus ginjal
selama gagal ginjal akut telah diakui. Efek mitogenik HGF pada epitel tubulus
renal juga diperkirakan bermanfaat pada PGK, mengingat atropi tubular
merupakan gambaran utama fibrosis14
.
Pemanfaatan terapi kombinasi BMP dan HGF membawa harapan baru
dalam penanganan PGK. BMP dan HGF akan menghambat jalur sinyal TGF-β
yang berperan penting dalam patogenesis fibrosis renal. HGF juga akan
menginduksi proliferasi sel-sel ginjal sehingga bersifat spesifik dalam pengbatan
fibrosis ginjal pada PGK. Namun yang menjadi masalah, mengingat TGF-β
merupakan imunosupresan endogen tubuh yang kuat, penghambatan TGF-β akan
menimbulkan masalah. Tikus percobaan yang mengalami defisiensi reseptor
TGF-β terbukti meninggal akibat proses inflamasi multifokal10
. Untuk mengatasi
hal ini, pemanfaatan molekul pembawa obat yang selektif terhadap ginjal
diharapkan akan meningkatkan keberhasilan terapi dengan meningkatkan jumlah
4
obat lokal dalam ginjal serta menghindari interaksi obat dengan organ lain.
Franssen dkk dalam penelitiannya menemukan bahwa low molecular weight
proteins (LMWPs) seperti lysozyme (LZM) dapat dimanfaatkan sebagai molekul
pembawa obat yang spesifik terhadap sel ginjal. LMWPs sendiri adalah molekul
berukuran sangat kecil dibawah 20 kDa sehingga akan difiltrasi di glomerulus15
.
Penelitian sebelumnya berhasil menunjukkan LZM dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan penghantaran ACE-I ke ginjal16
. Dengan demikian pemanfaatan
LZM sebagai drug carrier BMP dan HGF akan menjadi agen terapeutik yang
spesifik dan mutakhir dalam penatalaksanaan PGK. Dilatarbelakangi oleh
keadaan tersebutlah, kami tertarik untuk mengangkat topik Potensi Pemanfaatan
Lysozime Conjugated-Bone Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan
Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif
dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimana Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP-
2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen
Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal
Kronik?
1.2.2 Bagaimana peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan
HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui Potensi Pemanfaatan Bone Morphogenetic Protein (BMP-
2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor (HGF) sebagai Agen
Antifibrotik dan Renoprotektif dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal
Kronik.
1.3.2 Mengetahui peranan Lysozime Conjugate sebagai drug carrier BMP dan
HGF dalam Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.
5
1.4 Manfaat Penulisan
1.4.1 Memberikan informasi tentang Pemanfaatan Lysozime Conjugated-Bone
Morphogenetic Protein (BMP-2/BMP-7) dan Hepatocyte Growth Factor
(HGF) sebagai Agen Antifibrotik dan Renoprotektif dalam
Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronik.
1.4.2 Memberikan sumbangsih pemikiran dan bahan pertimbangan bagi peneliti
lain yang ingin menggali dan memperdalam lebih jauh tentang terapi
Antifibrotik pada Penyakit Ginjal Kronik.
1.4.3 Memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dan memperkokoh landasan
teoritis ilmu kedokteran, khususnya dalam bidang Penyakit Ginjal Kronik.
6
BAB II
TELAAH PUSTAKA
2.1 Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik (PGK) merupakan kelainan ginjal struktural atau
fungsional, yang ditandai dengan adanya kelainan patologi atau petanda
kerusakan ginjal secara laboratorik ataupun radiologik, baik dengan atau tanpa
penurunan fungsi ginjal yang ditandai dengan penurunan laju filtrasi glomerulus
(LFG) yang berlangsung > 3 bulan4. PGK memiliki etiologi yang bervariasi dan
tiap negara memiliki data etiologi PGK yang berbeda-beda. Di Amerika Serikat
misalnya, diabetes melitus tipe 2 merupakan penyebab terbesar PGK, sementara
menempati urutan kedua. Di Indonesia, menurut data Perhimpunan Nefrologi
Indonesia (2000), glomerulonefritis merupakan 46.39% penyebab PGK.
Sedangkan diabetes melitus, insidennya 18,65% disusul obstruksi / infeksi ginjal
(12.85%) dan hipertensi (8.46%)5.
KDOQI (Kidney Disease outcome Quality Initiatiative) membuat
klasifikasi PGK dalam 5 tahap berdasarkan tingkat penurunan fungsi ginjal yang
dinilai dengan laju filtrasi glomerulus (LFG). PGK stadium I ditandai dengan