Contoh bentuk-bentuk Tradisi Budaya Jawa. 1. Slametan. Slametan berasal dari kata slametyang berarti selamat, bahagia, sentausa. Selamat dapat dimaknai sebagai keadaan lepas dari insiden- insiden yang tidak dikehendaki. Sementara itu, menurut Clifford Geertz slametber art i gak ana apa -ap a (ti dak ada apa-apa) , atau lebih tep at “tidak akan terjadi apa-apa” (pada siapa pun). Konsep tersebut dimanifestasikan melalui praktik-praktik slametan. Slametan adalah kegiatan-kegiata n komunal Ja wa yang biasanya digambarkan oleh ethnografersebagai pesta ritual, baik upacara di rumah maupun di desa, bahkan memiliki skala yang lebih besar, mulai dari tedak siti (upacara menginjak tanah yang pertama), mantu (perkawinan), hi ngga upacara tahunan untuk memperingati ruh penj aga. Dengan demiki an, slametan merupa kan memili ki tuj uan aka n penegasan dan penguatan kemb al i tatanan kult ur umum. Di samping it u juga untuk menahan kekuatan kekacauan ( talak balak). Slametan dalam skala kecil yang dilakukan oleh indi vi du atau kel uar ga tampak ketika mereka mulai membangun rumah, pindahan, ngupati (slametan mendoakan calon bayi yang masih umur empat bulan dalam kandungan), mithoni (slametan untuk calon bayi yang masih umur tujuh bulan dalam kandungan), puputan (lepas pusar), dan masih banyak lai nnya. Ska la yang lebih bes ar dap at dij ump ai pra kti k-praktik sepert i bersih desa, resik kubur, dan lainnya. Menurut Pamberton praktik yang sarat dengan makna slametan dengan sajen (sesaji ) tersebut dilaksanakan dengan maksud agar dapat membangun kembali hubungan dengan roh, terutama dengan ruh penunggu desa ( dhanyang). Dengan kata lain, bersih desa bertu juan untuk menjalin hubungan damai dengan dunia ruh setempat 1 [2]. Dapat di paha mi bahwa sla metan seri ngkali merupakan pesta komuna l sebaga imana dis ebu tkan pad a slametan dal am skala bes ar. Hanya saja, slametan bentuk ini (skala) besar justru tidak tampak nilai keber samaan nya, tetapi yang menonjol adala h pesta ritual pemba gian 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
h. Urip-urip berupa sepasang ayam, atau bebek atau angsa sebagai lambang pasangan baru itu
akan bertanggung jawab atas kehidupan keluarganya10[11]
c) Pasrah tampi penganten kakung
Pasrah berarti menyerahkan, sedang tampi berarti menerima. Keluarga calon
penganten kakung menyerahkan calon penganten kakung pada keluarga calon penganten
putri untuk di-ijab kabul-kan. Secara administrasi, status calon penganten kakung harus satu
domisili dengan calon penganten putri, sehingga calon penganten kakung harus pindah
sementara ke domisili calon penganten putri
d) Ijab kabul
Nikah adalah persetujuan pria dan wanita untuk bersuami-isteri. Ijab adalah kalimat
menikahkan yang diucapkan oleh fihak wali (wakil) penganten putri, kabul berarti ucapan
tanda persetujuan dinikahkan, yang dilakukan oleh penganten kakung. Jadi, ijab kabul
adalah proses menikahkan oleh wali penganten putri, yang disetujui oleh penganten kakung.
Akad adalah perjanjian, jadi akad nikah berarti perjanjian untuk menikah
Setelah acara agama ini, dilakukan acara adat, yaitu panggih . Setelah ijab kabul, orang
tua penganten kakung, nyanggrah (dari kata sanggrah , istirahat) di rumah kerabat atau
tetangga yang dekat. Selama panggih, orang tua penganten kakung (besan), tidak bolehmenyaksikan. Tetapi, sekarang, banyak yang melanggar adat ini. Nantinya, pada acara
mertuwi. orang tua penganten kakung akan dijemput untuk mengikuti acara selanjutnya
e) Liru kembar mayang
Setelah ijab kabul, yang merupakan acara agama, diteruskan dengan acara adat Jawa.
Rombongan penganten kakung memasuki rumah penganten putri dan rombongan penganten
kakung diterima oleh keluarga penganten putri,
Panggih diawali dengan liru kembar mayang . Liru berarti menukar. Penganten
kakung beserta rombongan datang membawa sepasang kembar mayang kakung yang
dibawa oleh dua satriya kembar . Penganten putri beserta rombongan juga membawa
sepasang kembar mayang putri yang dibawa oleh dua putri domas . Ke empat
remaja itu saling menukarkan kembar mayang . Ini merupakan lambang, bahwa keluarga
kakung menyatu dengan keluarga putri dan sebaliknya. Nantinya, kembar mayang
putri dibuang atau dilarung, sedang kembar mayang kakung tetap mengikuti upacara,
KETUPAT bagi masyarakat Jawa tak hanya sekadar makanan, tetapi jugabagian tak terpisahkan dengan tradisi sejak dahulu kala. Tak percaya,coba bertanya kepada seseorang, mereka pasti akan mengingat tradisiyang dirayakan satu minggu setelah perayaan Idul Fitri, Bakda Syawalatau Bakda Kupat.
Ketupat bahkan dipakai untuk memberi nama perayaan tersebut. Karena
itu, Bakda Syawal pun sering disebut dengan nama Bakda Kupat.
Kemarin, masyarakat Solo dan sekitar merayakan tradisi tersebut.Setelah perayaan Lebaran pada 6-7 Desember berlangsung seminggu,Jumat kemarin saatnya merayakan Bakda Syawal. Gaung perayaan punsudah terasa dua hari menjelang hari H.
Karena itu jangan heran bila selongsong ketupat dijumpai di mana-mana.Tak hanya di rumah, di pasar-pasar juga ada. Sebab, memangselongsong tersebut diperjualbelikan. Yang ahli membuat bungkus
ketupat, kini waktu yang tepat untuk mengais rezeki.
Jangan kaget pula, bila sulit menemukan nasi saat perayaan BakdaSyawal, lantaran untuk sementara makanan pokok sehari-hari itu digantidengan lontong ketupat. Ya bahannya memang sama dari beras, tapirasanya lain di lidah. Wah sungguh lezat bila dilengkapi opor.
Simbol
Belum diketahui sejak kapan tradisi itu ada. Hanya saja lantaranperayaan itu berkaitan dengan Idul Fitri, kemungkinan tradisi itu adasejak agama Islam masuk ke Jawa.
Sumanto SKar MS, dosen Kebudayaan Jawa Sekolah Tinggi SeniIndonesia (STSI) Surakarta, menyatakan belum ada kepastian sejakkapan tradisi itu mulai berlangsung. ''Memang belum ada jejak, mulaikapan tradisi itu berlangsung.''
Meski demikian dia mengemukakan, jika memandang sebuah tradisisebagai sebuah budaya (Jawa), itu akan selalu identik dengan simbol-simbol, sama halnya dengan perayaan tradisi Bakda Kupat. MasyarakatJawa sering menggunakan simbol bila memandang sesuatu hal. Begitu juga dengan ketupat yang dalam pandangannya merupakan simbolkesempurnaan. ''Jika dicermati, bentuk ketupat itu hampir mirip denganbentuk stupa di Candi Borobudur. Dan, bentuk itu perlambang pencapaiankesempurnaan hidup.''
Dalam kaitan itu, tentu saja dilakukan setelah seseorang menjalani puasasebulan penuh dan kemudian mencapai kesempurnaan pada Idul Fitri.Masyarakat Jawa lalu menyimbolkan hal itu dengan ketupat. ''Fitri ituartinya bersih. Pada seseorang yang mencapai kesempurnaan hidup,kebersihan akan selalu ada padanya.''
Jika sudah mencapai taraf kesempurnaan, dosen yang juga PembantuKetua I STSI Surakarta tersebut menjelaskan, seseorang akan dapatmengendalikan hawa nafsunya. Selain sebagai simbol kesempurnaan,ujar dia, ada juga masyarakat Jawa yang meyakini Bakda Kupat adalahsaat lebaran hewan berkaki empat.
''Sebab, ada masyarakat Jawa yang mengatakan kupat itu jarwadasa suku papat (kaki empat). Karena itu kemudian terjadi saat Bakda Syawal,sapi atau kerbau dikalungi ketupat.''
Namun lepas dari itu semua, dengan tetap bertahan tradisi itu, berartimasyarakat Jawa masih mau nguri-uri budayanya.
acara, isinya bermaksud untuk mengucapkan rasa syukur dan terima kasih
kepada warga yang sudah bersedia menyediakan makanan, ambengan, dan lain-
lain termasuk waktunya. Setelah itu, Mbah Kaum (ulama lokal) yang sudah
dipilih menjadi rois, maju untuk memimpin doa yang isinya memohon maaf dan
ampunan atau dosa para leluhur atau pribadi mereka kepada Tuhan Yang
Mahakuasa.
Doanya menggunakan tata cara agama Islam, warga dan anak-anak mengamini.
Suasana ceria anak-anak tergambar dengan semangat melafalkan amin sambil
berteriak. Selesai berdoa, semua yang hadir mencicipi makanan yang digelar.
Pada saat itu ada yang tukar-menukar kue, ada yang asyik ngobrol dengan
kanan-kiri, maklum beberapa warga pulang dari perantauan hadir dalam kenduri.
Biasanya Mbah Kaum diberi uang wajib dan makanan secukupnya, sedangkan
yang tak hadir atau si miskin diberi gandhulan, nasi, kue yang dikemas khusus
kemudian diantar ke rumah yang sudah disepakati diberi gandhulan.
Dari tata cara tersebut, jelas nyadran tidak sekadar ziarah ke makam leluhur,
tetapi juga ada nilai-nilai sosial budaya, seperti budaya gotongroyong, guyub,
pengorbanan, ekonomi. Bahkan, seusai nyadran ada warga yang mengajak
saudara di desa ikut merantau dan bekerja di kota-kota besar.
Di sini ada hubungan kekerabatan, kebersamaan, kasih sayang di antara warga
atau anggota trah. Di samping itu, semakin jelas adanya nilai transformasi
budaya dan tradisi dari yang tua kepada yang muda.
Mengenai pola keberagamaan yang ada di Jawa, C Geertz (1981) melalui
penelitiannya di Mojokerto menghasilkan sebuah konsep keberagamaan
masyarakat yang bersifat abangan, santri, dan priayi. Ketiganya merupakan
akumulasi dari hasil akulturasi budaya lokal masyarakat, Hidhu-Buddha dengan
nilai-nilai Islam. Pola interaksi antara budaya lokal dan nilai Islam menjadikan
Islam warna-warni.
Nyadran merupakan ekspresi dan ungkapan kesalehan sosial masyarakat di
mana rasa gotong- royong, solidaritas, dan kebersamaan menjadi pola utama
dari tradisi ini. Ungkapan ini pada akhirnya akan menghasilkan sebuah tatahubungan vertikal-horizontal yang lebih intim. Dalam konteks ini, maka nyadran
akan dapat meningkatkan pola hubungan dengan Tuhan dan masyarakat
(sosial), sehingga akhirnya akan meningkatkan pengembangan kebudayaan dan
tradisi yang sudah berkembang menjadi lebih lestari.
Dalam konteks sosial dan budaya, nyadran dapat dijadikan sebagai wahana dan
medium perekat sosial, sarana membangun jati diri bangsa, rasa kebangsaan
dan nasionalisme (Gatot Marsono). Dalam prosesi ritual atau tradisi nyadran kita
akan berkumpul bersama tanpa ada sekat-sekat dalam kelas sosial dan status
sosial, tanpa ada perbedaan agama dan keyakinan, golongan ataupun partai.
Nyadran menjadi ajang untuk berbaur dengan masyarakat, saling mengasihi,
saling menyayangi satu sama lain. Nuansa kedamaian, humanitas dan familiar
sangat kental terasa. Apabila nyadran ditingkatkan kualitas jalinan sosialnya,
rasanya Indonesia ini menjadi benar-benar rukun, ayom-ayem, dan tenteram.
Nyadran dalam konteks Indonesia saat ini telah menjelma sebagai refleksi,wisata rohani kelompok masyarakat di tengah kesibukan sehari-hari.
Masyarakat, yang disibukkan dengan aktivitas kerja yang banyak menyedot
tenaga sekaligus (terkadang) sampai mengabaikan religiusitas, melalui nyadran,
seakan tersentak kesadaran hati nuraninya untuk kembali bersentuhan dan
bercengkrama dengan nilai-nilai agama: Tuhan.
Kebiasaan Orang Jawa
September 1, 2008 oleh ay
Saya orang jawa dan banyak sekali kebiasaan-kebiasaan orang jawa di sekitar saya yang
terbilang unik bahkan sama sekali nggak nyambung kalo pake logika. Untuk contohnya yang
sering dilakukan orang tua kepada anaknya ketika makan. Nach apabila anak makan dan
tidak dihabiskan pasti bilang seperti ini “nek ra ditelaske, kuthuk’e mati” (kalo tidak
dihabiskan anak ayamnya mati), kalo dipikir2 apa hubungannya antara makanan tidak dihabiskan dengan anak ayam mati???? itu yang membuat saya kepikiran sampe sekarang .
Selain itu juga ada kebiasaan unik lagi yakni antara cabe dengan geles gede (cepat besar).
Banyak sekali orang jawa yang meyakini kalo anak kecil berani makan cabe nanti cepat
besar. Nach loe apa nggak tambah penasaran lagi+bingung juga heran, apa hubungannya
coba antara cabe dengan cepat besar??? mang ada cabe yang bikin pertumbuhannya cepat
(cepat besar), kalo mau pertumbuhan yang cepet mah gizinya harus tercukupi. Mbok makan
cabe sampe 1 kg pun gak bakal cepet gede yang ada perut mules hehehehe.
Oh ya saya juga masih inget sampe sekarang yang bikin geli dan tertawa sendiri. Dulu pas
masih kecil ya umuran masih bau kencur, sering banyak orang bilang “nek dolan ojo adoh-
adoh mengko ndak digondol montor pelet” (kalo maen jangan jauh-jauh nanti ndak dibawamobil pelet). Tau mobil pelet??? Orang dulu yang masih -maaf- kolot, mobil pelet itu mobil
yang ada bermusik dengan bantuan toa sehingga musik terdengar kemana-mana. Padahal
waktu itu yang make mobil kaya gityu mobil yang jualan jamu keliling, masak mobil jualan
jamu dibilang mobil pelet, yang bener saja. Jujur sampe saya besar sampe umur saya yang
hampir kepala 2 ini belum pernah melihat yang namanya mobil pelet. Heran kenapa orang
dulu banyak bilang kaya gitu kalo ndak ada buktinya ya, jian aneh bener .
Yach sebenarnya kreatif juga walaupun nggak nyambung . Itu dilakukan orang tua tempo
dulu bahkan sampe sekarang pun masih ada juga kebiasaan seperti itu dan semata-mata
dilakukan agar si anak menurut (baiknya). Celoteh diatas sekedar refresh aja di hari pertama
puasa. Semoga puasa pertama ini berkesan
KEBUDAYAAN MASYARAKAT JAWA
Suku bangsa jawa adalah suku bangsa terbesar di indonesia. Jumlahnya mungkin ada sekitar
90 juta atau lebih. Mereka berasal dari pulau jawa dan terutama ditemukan di provinsi jawa
tengah dah jawa timur, tetapi di provinsi jawa barat banyak ditemukan suku jawa, terutama
dikabupaten indramayu dan cirebon yang mayoritas masyarakatnya merupakan orang-orang
jawa yang berbahasa dan berbudaya jawa. Dan di wilayah-wilayah lain juga terdapat populasi
mereka. Suku jawa juga memiliki sub-suku, yaitu seperti osing dan tengger
bahasa jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara
pembicara dan lawan bicara yang biasa dikenal dengan ungguh-ungguh. Hal tersebutlah yang
membedakan antara bahasa jawa yang dianggap kasar dan halus.
Sedangkan kepercayaan suku jawa yaitu sebagian besar menganut agama islam. Tetapi yang
menganut agama protestan dan khatolik juga banyak. Mereka juga terdapat di daerah pedesaan. Selain itu juga ada penganut agama buddha dan hindu, ada pula agama
kepercayaan suku jawa yang disebut sebagai agama kejawen. Kepercayaan ini terutama
berdasarkan kepercayaan animisme. Sedangkan profesi suku jawa di indonesia mempunyai
pekerjaan disegala bidang, terutama pegawai negri sipil dan militer. Orang jawa agak lemah
dalam bidang bisnis dan industri, dan tidak asing lagi masyarakat jawa lebih menonjol di
bidang pertanian sebagai petani.
Orang jawa memiliki stereotipe sebagai sukubangsa yang sopan dan halus, akan tetapi
mereka juga terkenal sebagai suku bangsa yang tertutup dan tidak mau terus terang. Ini
disebabkan karena mereka tidak ingin terjadi konflik. Karena itulah mereka justru cenderung
diam dan tidak membantah bila terjadi perbedaan pendapat. Namun tidak semua orang jawamemiliki sikap tertutup, banyak juga terdapat masyarakat suku jawa yang memiliki watak
lugas, terbuka, terus terang, apa adanya, dan tidak suka basa-basi.
Masyarakat jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pada tahun
1960-an seorang pakar antropologi amerika yg bernama Clifford Geertz membagi masyarakat
jawa menjadi tiga kelompok yaitu kaum santri, abangan dan priyayi. Kelompok santri adalah
penganut islam yang taat, sedangkan kelompok abangan adalah kelompok penganut islam
secara nominal atau penganut kejawen, dan kaum priyayi adalah kaum bangsawan atau yang
sering kita sebut sebagai kaum darah biru.
Orang jawa juga terkenal dengan budaya seninya terutama dipengaruhi oleh agama hindu- buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar
berdasarkan wiracarita ramayana dan mahabrata. Tetapi pengaruh islam dan dunia barat ada
pula.
KARAKTER KHAS SUKU JAWA DENGAN TRADISI
TRADISINYA Diposkan oleh pamomong semar , 10:22 AM 5 Comments so far
Suku Jawa merupakan salah satu suku terbesar yang berdiam di negaraIndonesia. Sebagai buktinya, kemana pun Anda melangkah kan kaki kebagian pelosok penjuru negeri ini, Anda pasti akan menemukan suku-suku
Jawa yang mendiami kawasan tersebut meskipun terkadang jumlahnyaminorotas,dengan kata lain di mana ada kehidupan di seluruh IndonesiaOrang Jawa selalu ada.
Suku Jawa hidup dalam lingkungan adat istiadat yang sangat kental.Adat istiadat Suku Jawa masih sering digunakan dalam berbagai kegiatanmasyarakat. Mulai masa-masa kehamilan hingga kematian. Di dalam halini di manapun Suku Jawa berada akan selalu dilaksanakan dan di jadkanUgeman atau Pathokan dalam kehidupannya.
Banyak yang bisa di gali dari literatur literatur yang sdh ada bahwa suku jawa punya banyak keaneka ragaman ciri khas dan budaya besertatradisi tradisinya
Dan bila kita seumpama sebagai suku lain yang ada di Indonesia akansangat dengan mudahnya berinteraksi dengan suku jawa di karenakansuku ini mempunyai sifat dan karakter yang sangat santun dalambermasyarakat dengan di terimanya suku Jawa sebagai bagian darianggota masyarakat oleh suku lain di seluruh Indonesia.
Suku jawa diidentikkan dengan berbagai sikap sopan, segan,menyembunyikan perasaan alias tidak suka langsung-langsung, menjagaetika berbicara baik secara konten isi dan bahasa perkataan maupunobjek yang diajak berbicara. Dalam keseharian sifat Andap Asor terhadapyang lebih tua akan lebih di utamakan, Bahasa Jawa adalah bahasaberstrata, memiliki berbagai tingkatan yang disesuaikan dengan objekyang diajak bicara.
Suku Jawa umumnya mereka lebih suka menyembunyikan perasaan.Menampik tawaran dengan halus demi sebuah etika dan sopan santunsikap yang dijaga. Misalnya saat bertamu dan disuguhi hidangan. Karakterkhas seorang yang bersuku Jawa adalah menunggu dipersilahkan untukmencicipi, bahkan terkadang sikap sungkan mampu melawan kehendakatau keinginan hati.
Suku Jawa memang sangat menjunjung tinggi etika. Baik secara sikapmaupun berbicara. Untuk berbicara, seorang yang lebih muda hendaknya
menggunakan bahasa Jawa halus yang terkesan lebih sopan.
Berbeda dengan bahasa yang digunakan untuk rekan sebaya maupunyang usianya di bawah. Demikian juga dengan sikap, orang yang lebihmuda hendaknya betul-betul mampu menjaga sikap etika yang baikterhadap orang yang usianya lebih tua dari dirinya, dalam bahasa jawaNgajeni
Ciri khas Narimo ing pandum adalah salah satu konsep hidup yangdianut oleh Orang Jawa. Pola ini menggambarkan sikap hidup yang serbapasrah dengan segala keputusan yang ditentukan oleh Tuhan. Orang
Jawa memang menyakini bahwa kehidupan ini ada yang mengatur dantidak dapat ditentang begitu saja.
Setiap hal yang terjadi dalam kehidupan ini adalah sesuai dengankehendak sang pengatur hidup. Kita tidak dapat mengelak, apalagimelawan semua itu. Inilah yang dikatakan sebagai nasib kehidupan. Dan,nasib kehidupan adalah rahasia Tuhan, kita sebagai makhluk hidup tidakdapat mengelak. Orang Jawa memahami betul kondisi tersebut sehingga
mereka yakin bahwa Tuhan telah mengatur segalanya.
Pola kehidupan orang jawa memang unik. Jika kita mencoba untuk menelusuripola hidup orang jawa, maka ada banyak nilai positif yang kita dapatkan. Bagiorang jawa, Tuhan telah mengatur jatah penghidupan bagi semua makhlukhidupnya, termasuk manusia. Setiap hari kita melihat banyak orang yang keluarrumah, seperti juga, banyak burung yang keluar sarang untuk mencaripenghidupan. Pagi mereka keluar rumah dan sore pulang dengan kondisi yanglebih baik
Urip Ora Ngoyo
Konsep hidup nerimo ing pandum ( ora ngoyo ) selanjutnyamengisyaratkan bahwa orang Jawa hidup tidak terlalu berambisi. Jalanisaja segala yang harus di jalani. Tidak perlu terlalu ambisi untukmelakukan sesuatu yang nyata-nyata tidak dapat di lakukan. Orang Jawatidak menyarankan hal tersebut.Hidup sudah mengalir sesuai dengan koridornya. Kita boleh sajamempercepat laju aliran tersebut, tetapi laju tersebut jangan terlaludrastis. Perubahan tersebut hanya sebuah improvisasi kita atas kehidupanyang lebih baik dari sebelumnya. Orang Jawa mengatakan dengan istilah
jangan ngoyo. Biarkan hidup membawamu sesuai dengan alirannya. Jangan membawa hidup dengan tenagamu!Bagi orang jawa hidup dan kehidupan itu sama dengan kendaraan. Diaakan membawa kita pada tujuan yang pasti. Orang jawa memposisikandiri sebagai penumpang. Kendaraan atau hiduplah yang membawamereka menuju kehidupan yang lebih baik. Mereka tidak membawakendaraan tersebut, melainkan dibawa oleh kendaraan.Seperti air di dalam saluran sungai, jika mereka mengalir biasa, makakondisinya aman dan nyaman. Tetapi ketika alirannya dipaksa untukbesar, maka aliran sungai tersebut tidak aman lagi bagi kehidupan. Orang
Jawa memahami hal tersebut sehingga menerapkan konsep hidup janganngoyo. Ngoyo artinya memaksakan diri untuk melakukan sesuatu. Jika kita memaksakan diri untuk melakukan sesuatu, maka kemungkinanbesar kita akan mengalami sesuatu yang kurang baik, misalnya kita akansakit. Rasa sakit terjadi karena ada pemaksaan terhadap kemampuansesungguhnya yang kita miliki.
Ciri khas lain yang tak bisa di tinggalkan adalah sifat Gotong royongatau saling membantu sesama orang di lingkungan hidupnya apalagi lebihkentara sifat itu bila kita bertandang ke pelosok pelosok daerah suku Jawadi mana sikap gotong royong akan selalu terlihat di dalam setiap sendi
Pola kehidupan orang jawa memang telah tertata sejak nenek moyang.Berbagai nilai luhur kehidupan adalah warisan nenek moyang yang adiluhung. Dan, semua itu dapat kita ketahui wujud nyatanya. Bagaimanaeksistensi orang jawa terjaga begitu kuat sehingga sampai detik ini pola-pola tersebut tetap diterapkan dalam kehidupan.
Pola hidup kerjasama ini dapat kita ketemukan pada kerja gotongroyongyang banyak diterapkan dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangatmemegang teguh pepatah yang mengatakan: ringan sama dijinjing, beratsama dipikul. Ini merupakan konsep dasar hidup bersama yang penuhkesadaran dan tanggungjawab.Kita harus mengakui bahwa kehidupan orang jawa memang begituspesifik. Dari sekian banyak suku bangsa di Indonesia, bahkan yang ada didunia, orang Jawa mempunyai pola hidup yang berbeda. Kebiasaan hidupsecara berkelompok menyebabkan rasa diri mereka sedemikian dekatsatu dengan lainnya, sehingga saling menolong merupakan sebuahkebutuhan.Mereka selalu memberikan pertolongan kepada orang lain yangmembutuhkan pertolongan. Bahkan dengan segala cara mereka ikutmembantu seseorang keluar dari permasalahan, apalagi jika sesaudaraatau sudah menjadi teman.
Ngajeni Pada Orang Yang Lebih TuaDan, yang tidak dapat kita abaikan adalah sikap hidup orang Jawa yangmenejunjung tinggi nilai-nilai positif dalam kehidupan. Dalam interaksiantar personal di masyarakat, mereka selalu saling menjaga segala katadan perbuatan untuk tidak menyakiti hati orang lain.
Mereka begitu menghargai persahabatan sehingga eksistensi orang lain sangatdijunjung sebagai sesuatu yang sangat penting. Mereka tidak ingin orang lainatau dirinya mengalami sakit hati atau terseinggung oleh perkataan danperbuatan yang dilakukan sebab bagi orang Jawa, ajining diri soko lathi, ajiningrogo soko busono artinya, harga diri seseorang dari lidahnya (omongannya),
Itungan Jawa. Hal tersebut dianggap sakaral. Hari atau bulan yang baik dan yang dipantang,
orang cenderung mematuhinya dan tidak berani melanggar.
Kembali ke undangan…….
Dengan menumpuknya undangan tersebut, tentu saja saya harus mengalokasikan pos
tambahan dalam anggaran pengeluaran keluarga. Ya, kebutuhan untuk Nyumbang. Pada
masyarakat Jawa, dikenal semacam tradisi untuk menghadiri acara suatu hajatan, misalnya
Pernikahan, Khitanan, Ruwatan, Kelahiran, dan lain sebagainya.
Pada saat menghadiri acara tersebut, biasanya membawa Cangkingan atau buah
tangan untuk yang punya hajat. Kebanyakan berupa makanan atau Sembilan bahan pokok.
Tradisi inilah yang dikenal masyarakat Jawa dengan istilah Nyumbang. Adapula yang
menyebutnya dengan istilah Lagan ataupun Jagong.
Seiring berkembangnya jaman, banyak masyarakat Jawa tidak lagi Nyumbang
menggunakan barang atau makanan. Mereke lebih memilih Nyumbang berupa uang sebagai
penggantinya . Hal itu dengan alasan kepraktisan. Orang tidak mau repot-repot mententeng
beras, gula,minyak goreng, atau lainnya. Cukup dengan sebuah amplop, sudah dapat
dimasukkan ke saku celana. Jauh lebih praktis. Namun, di daerah tertentu ( biasanya di
kampung ) ada juga yang masih Nyumbang berupa barang.
Mengenai besaran jumlah uang atau barang untuk Nyumbang ke Shohibul Hajat ,sebenarnya tidak ada aturan baku. Sebab pada hakekatnya, Nyumbang bersifat suka rela atau
seikhlasnya saja. Biasanya orang akan mengikuti kebiasaan pada masyarakat tersebut. Sebab,
antara daerah yang satu dengan daerah lainnya terkadang memiliki besaran yang berbeda.
Semisal begini : Di daerah A , Nyumbang untuk ukuran umum ( bukan keluarga, kerabat atau
sahabat ) standarnya 40 -50 ribu rupiah. Tetapi di daerah B, dengan 20- 30 ribu saja sudah
cukup.
Biasanya ketika Nyumbang berupa uang, maka dibagian luar amplop akan di
cantumkan nama dan alamat orang yang menyumbang. Namun, ada pula yang sengaja tidakdicantumkan. Kalau dicermati lebih jauh lagi berkaitan hal tersebut, ternyata ada hal unik.
Kebanyakan dari amplop yang tak beridentitas, bernilai kecil atau lebih kecil dari
umumya. Pun sebaliknya jika amplop bernilai besar, hampir dapatkan dipastikan bahwa nama
si penyumbang dicantumkan. Hal tersebut wajar dan sah-sah saja. Sebab masyarakat Jawa
masih mengenal Mbalek’ke Sumbang atau mengembalikan.. Maksudnya adalah, ketika si A
Nyumbang kepada kita sebesar 200 ribu misalnya, maka kelak jika si A mempunyai hajat,
dilakukan acara ruwatan. Ini dilakukan untuk menghindarkan bahaya. Ketika menjelang
remaja, tiba waktunya sang anak ditetaki atau dikhitan.
Orang Jawa kuno sejak dulu terbiasa menghitung dan memperingati usianya dalam
satuan windu atau setiap 8 tahun. Peristiwa ini dinamakan windon.
Tradisi masyarakat jawa
Ciblon
Ciblon adalah jenis kesenian yang hanya dapat dilakukan di dalam air, baik kolam maupun
sungai. Ciblon biasa dilakukan dengan menepuk-nepukan tangan ke dalam air sehingga
menghasilkan suara yang nyaring dan enak didengar. Ciblon ini biasa dilakukan oleh wargayang tinggal di pinggir sungai, untuk menghilangkan kelelahan setelah mencuci, ciblon
biasanya dilakukan sambil mandi di sungai atau di kolam.
Seperti di kolam / umbul yang tidak jauh dari rumah saya, yaitu umbul pluneng, seni ciblon
dipentaskan sebagai pertunjukan kesenian pada umumnya. pentas seni Ciblon
diselenggarakan setiap tahun sebagai tanda syukur kepada Tuhan atas terssedianya air yang
melimpah di wilayah Pluneng. Pentas seni Ciblon diselenggarakan apada malam hari di
pemandian Tirtomulyana dihadapan ratusan penonton. bersama dengan musik ciblon ini
biasanya diiringi oleh lagu-lagu daerah, yang isinya tentang ucapan rasa syukur kepada
Tuhan. Pementasan Seni ciblon juga disertai dengan pementasan seni rakyat yang lain, seperti
karawitan, tarian, srunthul, dolanan anak, dan sarasehan.
Padusan
Padusan diartikan sebagai mandi besar sebelum menyambut bulan Ramadahan, dalam tradisi
rakyat yang diselenggarakan setiap tahunnya ini, para warga di Pluneng berkumpul di
Pemamandian untuk bersuci menyambut bulan Ramadahan secara bersama-sama, mereka
terjun ke dalam air dan mandi bersama, tanpa membeda-bedakan status sosial, hal ini
ditujukan untuk mempererat hubungan antar warga sekaligus sebagai ritual pensucian diri.
Nyadran / Sadranan
Nyadran merupakan tradisi yang diadakan setiap tahunnya, tepatnya beberapa hari sebelum
bulan Ramadhan. Tradisi Nyadran diadakan oleh penduduk lokal sebagai tanda syukur ke
hadirat Tuhan YME atas rezeki yang telah dilimpahkan. Nyadran juga diselenggarakan
sebagai upacara untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Hidangan dalam tradisi
Nyadran berupa nasi, sayuran dan buah-buahan.
Merti Desa
Merti Desa merupakan sebuah prosesi tradisi lokal dalam bentuk kegiatan bersih desa.
Kegiatan ini dilakukan werga secara gotong royong, tujuannya supaya senantiasa mendapat
berkah dan perlindungan dari Tuhan YME.
Sambatan
Sambatan merupakan kegiatan yang dilakukan para warga secara gotong royong dalamrangka memperbaiki salah satu rumah warga.
Tradisi ini merupakan kegiatan yang dilakukan para warga dalam rangka mempersiapkan
hajatan yang akan diadakan salah satu warganya, khususnya hajatan perkawinan. Dalam
tradisi kumbakarnan, para warga dikumpulkan dan diberi tanggung jawab untuk
melaksanakan tugasnya masing-masing. Istilah Kumbakarnan sendiri muncul karena padatradisi ini, warga yang datang disediakan makanan yang berlimpah, layaknya ketika raja
Kumbakarna akan diangkat menjadi senopati perang dalam perang Bharatayuda.
Miwit
Miwit merupakan tradisi lokal yang diadakan oleh para petani, tradisi miwit dilaksanakan
sebelum petani mulai memanen padi di sawahnya, tradisi ini diadakan secara individual, yaitu
petani yang akan panen memasak berbagai macam sayur(biasanya gudangan atau pecel)
untuk dibagikan kepada anak-anak yang mengikuti miwit. Upacara Miwit diadakan di sawah
yang akan dipanen padinya. Sebagai tanda syukur kepada Tuhan YME, petani meletakkan
sebungkus nasi lengkap dengan sayuran di sudut-sudut sawah.
Sinoman, Tradisi Jawa yang Nyaris Terlupakan
Saya dilahirkan menjadi salah satu bagian dari suku terbesar di Indonesia yakni Suku Jawa.
Kedua orang tua saya yang berasal dari Jawa Tengah dan Jawa Timur telah membuat darah
Jawa mengalir di dalam diri ini. Apalagi saya juga tinggal di Kota Salatiga yang meskipun
terkenal dengan sebutan "Indonesia Mini" saking majemuknya penduduk di kota kecil ini,
tapi lingkungan saya tinggal masih didiami oleh mayoritas orang-orang Jawa yang mau tak
mau membuat nilai-nilai dan tradisi-tradisi Jawa masih terasa di aspek kehidupan saya. Yah,
meskipun tidak sekuat dan seintens pengaruh ke-Jawa-an masyarakat di Surakarta, Jogjakarta
atau pedesaan akan tetapi sedikit-sedikit beberapa tradisi Suku Jawa masih saya jalankan
hingga detik ini. Salah satu tradisi dari beraneka ragam tradisi Suku Jawa yang sering saya
lakukan adalah tradisi sinoman. Ada yang tahu apa itu Sinoman?
Pada dasarnya sinoman sebenarnya merupakan salah satu bentuk dari budaya Jawa yang
sangat mendasar yakni gotong royong. Sinoman adalah sebutan bagi orang-orang yang
menjadi juru laden atau orang-orang yang melayani para tamu manakala ada hajatan (acara
besar seperti pernikahan atau khitanan) yang tengah dilakukan oleh tetangga atau apabila
tengah ada acara di kampung (halal bihalal, tujuhbelasan, dsb). Kegiatan ini biasanya
dilakukan oleh para pemuda dan pemudi desa meskipun terkadang para orang tua juga ikut
membantu. Pekerjaan para sinoman benar-benar bagaikan pramusaji, manakala hidangan
telah selesai dipersiapkan para sinoman harus segera bergerak untuk membagikan hidangan
tersebut ke para tamu satu per satu lalu setelah para tamu selesai menyantap hidangan parasinoman pun bergerak kembali dengan mengambil piring, gelas ataupun mangkok yang
ditinggalkan oleh para tamu dan segera diberikan kepada para tukang cuci piring. Hap hap
hap semua tamu harus terlayani dengan baik dan tidak boleh ada tumpukan piring kotor di
sekitar tempat hajatan.
Sinoman itu cukup melelahkan bahkan terkadang kalau pas apes ya bisa sangat melelahkan.
Itu semua tergantung dari jumlah tamu undangan, jumlah hidangan, serta jumlah personel
para sinoman. Coba saja dibayangkan, misalnya dalam suatu acara pernikahan yang
mengundang sekitar 500-an tamu undangan. Itu berarti dalam satu sesi makan akan ada 500
hidangan yang harus diantar kepada para tamu dan akan ada 500 piring kotor yang harus
diambil kembali. Itu baru satu sesi, padahal biasanya di kampung saya sesi makan itu bisa berkali-kali lo mulai dari minuman, makanan ringan (snack), makan besar, barulah makan
penutup. Sadis. Untuk itulah biasanya jumlah personel sinoman harus disesuaikan dengan
jumlah para tamu. Idealnya sih menurut saya untuk acara pernikahan dengan mengundang
500-an orang setidaknya membutuhkan 15-20 personel sinoman itu saja terkadang masih
keteteran kemana-mana. Sayangnya, jumlah pemuda pemudi di kampung saya terus
berkurang sehingga misalnya tanpa dibantu bapak-bapak dan ibu-ibu yang lain, kami para
pemuda pemudi yang melakukan sinoman pasti sehabis acara usai akan menggelepar kelelahan. Huhuhuh.
Salah satu hal yang unik dari tradisi sinoman adalah biasanya para sinoman
memakai seragam. Umumnya sih menggunakan atasan berupa kemeja/hem
berwarna putih dan bawahan berupa celana/rok berwarna hitam. Hal ini
digunakan agar para sinoman mudah dikenali oleh pemilik acara hajatan, panitia
dan juga para tamu. Sekarang sih untunglah model atasan bawahan putih hitam
tergantikan dengan atasan batik dan bawahan hitam. Voila, entah kenapa saya
sekarang agak sensi kalau melihat warna putih hitam yang bagi saya tak
ubahnya pakaian para pekerja magang dan juga mengingatkan saya akan sidang
skripsi (skripsi apa kabar? tidaak *curhat berdarah*). Belum lagi memakai atasan
warna putih itu menurut saya tidak cocok karena pekerjaan seorang sinoman
sangat rentan terkena noda-noda membandel dari kuah hidangan atau
minuman. Sebel aja gitu. Hal unik lainnya adalah sinoman dilakukan secara
sukarela. Tidak ada kewajiban bagi pemilik acara hajatan untuk membayar para
sinoman meskipun terkadang ada yang berbaik hati memberikan kompensasi
berupa uang atau rokok (dan saya bukan seorang perokok, boleh saya minta
mentahnya saja? *eh*). Pekerjaan sinoman sejatinya murni dilakukan untuk
menolong tetangga kita yang tengah membutuhkan bantuan saja. Salah satu
imbalan tak resmi yang diberikan oleh para pemilik acara hajatan biasanya
adalah para sinoman dibebaskan untuk mengambil makan dan minuman
sepuasnya. Asyik! Heheh.
Baru-baru ini, saya dan para pemuda di kampung saya menjalani tugas sebagai sinoman di
acara pernikahan salah seorang tetangga kami. Waktu datang ke rapat panitia, saya kaget
bukan main. Tamu diperkirakan 700-an orang dengan 12 personel sinoman, prasmanan dan
acara pernikahan dilaksanakan di gedung! Benar saja, di hari H-nya semuanya pun terlihat
kacau. Tamu yang datang melebihi jumlah undangan sedangkan hidangan dan alat-alat
makan yang disediakan tidak sebanyak orang yang datang. Hal ini diperparah dengansedikitnya petugas cuci piring sehingga piring, gelas dan mangkok kotor pun terus
menumpuk. Yang kelabakan? Semua orang! Termasuk para sinoman. Saya dan tetangga-
tetangga yang lain pun terus hilir mudik mengambil piring-piring kotor yang ditinggalkan
para tamu, menyodorkan ke para tukang cuci piring, mengambil kembali piring yang telah
dicuci dan diserahkan kembali ke petugas penjaga stand makanan. Semuanya dilakukan serba
cepat dan berulang-ulang. Argh! Untung saja, kekacauan tersebut tidak mengganggu acara
pernikahan yang tengah dilaksanakan. Tidak pula terlihat para tamu undangan yang marah-
marah secara frontal walau saya yakin di dalam hati mungkin ada rasa kekecewaan mereka.
Catatan saja sih, acara pernikahan itu adalah acara sakral yang seharusnya tidak tercoreng
oleh hal-hal sepele semacam itu. Untuk itulah, semuanya harus diperhitungkan dengan
matang sampai hal-hal terkecil. Well, semua orang harus ikutan berbahagia kan?
Sinoman. Salah satu tradisi asli Suku Jawa yang mungkin nyaris dilupakan oleh orang
dewasa ini. Fenomena penggunaan catering dalam acara hajatan, membuat peran sinoman
tergantikan oleh para pramusaji dari pengusaha catering yang tentunya lebih profesional.
Padahal, banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari tradisi sinoman. Sinoman telah
mengajarkan saya untuk selalu ikhlas dalam menolong sesama sesuai dengan nilai gotong
royong yang terpatri kuat bagi orang-orang Jawa. Tradisi sinoman juga membuat saya lebihdekat dengan para tetangga yang lain dalam caranya sendiri. Kerjasama dan semangat
melayani orang lain tanpa pamrih. Inilah yang seharusnya tetap diuri-uri oleh masyarakat
Jawa kini yang kemudian nilai-nilai dan pelajarannya diterapkan dalam keseharian mereka.
Jadi, masih adakah tradisi sinoman di daerah anda?
Tradisi Suran (Suroan) Masyarakat Jawa
Assalamualaikum warahmatullah wabarakatuh
Apa kabar sobat Adiluhur ? Tanpa begitu kita sadari, ternyata waktu berjalan begitu cepat.
Rasanya baru kemarin hari raya Idul Fitri kita rayakan, belum begitu terasa sudah sampai
pada hari raya Idul Adha kemarin. Sekarang kita malah sudah memasuki babak baru dalam
sistem kalender hijriyah maupun Jawa. Meskipun telat, saya ingin mengucapkan "Selamat
Tahun Baru Hijriyah 1434H" pada sobat semua. Semoga apa yang sudah kita lalui di tahun
1433 H kemarin bisa kita jadikan bahan untuk introspeksi diri demi memperbaiki kehidupan
kita ditahun yang akan kita jalani ini.
Berbicara tentang tahun baru hijriyah yaitu bulan Muharram dalam kalender Islam atau bulan
Sura dalam sistem kalender Jawa, khususnya bagi masyarakat Jawa dan sekitarnya, pastitidak lepas dari berbagai macam ritual dan tradisi-tradisi yang sudah berlangsung secara turun
temurun. Tradisi-tradisi tersebut menurut masyarakat merupakan sebuah perayaan sebagai
wujud rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan begitu banyak
rahmat dan karunia-Nya kepada makhluk didunia ini.
Bulan Muharram/Sura merupakan bulan yang istimewa bagi masyarakat Jawa, bulan yang
keramat dan suci. Untuk itulah beberapa orang yang masih setia melestarikan Budaya Jawa
menjadikan bulan ini sebagai bulan untuk mensucikan diri dengan ritual-ritual seperti
tirakatan khususnya pada saat malam satu Sura kemarin, berpuasa, semedi dan berbagai ritual
lain. Bagi mereka yang memiliki benda-benda pusaka seperti keris, tombak, akik dan lain-
lain, mereka juga mengadakan ritual pembersihan benda pusaka tersebut dengan dimandikan pakai air kembang.
Penamaan bulan Sura dalam penanggalan Jawa sebenarnya juga diambil dari istilah Islam.
Dalam Islam, ada yang namanya hari 'Asyura yang jatuh pada tanggal 10 Muharram dimana
pada hari itu terjadi peristiwa-peristiwa penting yang dialami para nabi-nabi terdahulu. Untuk
itu Rasulullah SAW menyuruh umatnya untuk melakukan puasa sunnah pada tanggal 10
Muharram. Tidak heran jika masyarakat Jawa juga melakukan puasa pada bukan Sura karena
selain menjadi tradisi juga merupakan perintah dari Rasulullah SAW.
Bagi anak muda, terutama di daerah tempat tinggal saya, bulan Sura juga merupakan bulan
yang penuh hiburan. Karena di bulan ini masyarakat-masyarakat pedesaan mengadakan ritualyang dinamakan Ruwat Bumi dengan melakukan selamatan masal dan ditutup dengan acara
hiburan seperti pagelaran wayang kulit, tarian lengger, calung, kuda kepang (embeg), campur
sari dan lainnya untuk menghibur masyarakat. Hiburan ini biasanya diselenggarakan selama
satu hari satu malam. Bahkan dibeberapa tempat, ada yang menyelenggarakan sampai 2
sampai 3 hari khususnya untuk lenggeran.
Di desa saya sendiri ada tradisi khusus yang sudah jarang saya temukan di desa-desa tetanggayaitu selamatan weton untuk memperingati hari kelahiran seseorang. Biasa kami
menyebutkan bahwa bulan Sura adalah bulan yang penuh bubur. Karena selamatan weton ini
menggunakan bubur sebagai hidangan selamatan. Selamatan ini diselenggarakan oleh setiap
warga dengan waktu yang berbeda-beda tergantung hari kelahiran anggota keluarganya.
Intinya semua tradisi dan ritual Suran ini adalah untuk memperingati tahun baru hijriyah.
Berbagai tradisi tersebut tujuannya tidak lain adalah sebagai ungkapan para syukur kepada
Tuhan yang masih memberi kesempatan untuk menikmati kehidupan didunia sampai tahun
kembali berganti. Bagi saya pribadi, tidaklah penting segala tradisi dan ritual tersebut tapi
untuk menjaga kelestarian budaya jangan pula kita meninggalkannya asal jangan jadikan hal-
hal tersebut untuk kemusyrikan. Yang terpenting dalam setiap pergantian tahun adalah bagaimana kita menyikapinya. Apa saja yang pernah kita perbuat di tahun sebelumnya,
apakah sudah baik dan sesuai dengan ajaran yang kita anut atau belum. Jika belum, mari kita
perbaiki perilaku kita di tahun yang akan kita jalani, jika sudah, kita jadikan tahun yang ini
untuk lebih memperbaikinya lagi.
Orang yang hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang beruntung, orang yang
hari ini sama dengan hari kemarin adalah orang yang merugi, dan orang yang hari ini lebih