BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangPembangunan nasional
bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Peningkatan kualitas sumberdaya
manusia (SDM) Indonesia dari aspek lahiriah dan batiniah merupakan
kunci keberhasilan dari pembangunan nasional yang sedang dijalankan
oleh Pemerintah RI. Selain itu, peningkatan kualitas SDM yang
disesuaikan dengan keberagaman aspirasi dan hambatan kemajuan
keseluruhan kelompok masyarakat akan dapat menjamin keberhasilan
pembangunan.Pemikiran pembangunan SDM yang mutakhir telah
memberikan pencerahan tentang makna pembangunan, yaitu proses makin
meluasnya kemampuan rakyat (expansion of peoples capabilities) dan
bahwa pembangunan menuntut perluasan partisipasi dan emansipasi
seluruh rakyat. Terwujudnya pembangunan yang bersifat partisipatif
dan emansipatif menuntut suatu strategi yang tidak hanya
menempatkan posisi rakyat secara pasif, melainkan aktif sebagai
aktor pembangunan (a strategy which not only produces for the mass
of the people but in which the mass of the people are also
producers). Sekaitan dengan itu, Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 (RPJPN) telah pula menempatkan visi yang
menegaskan pentingnya SDM. Visi pembangunan Indonesia dalam RPJPN
adalah Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur. Penduduk
Indonesia yang separuhnya adalah perempuan, merupakan aset dan
potensi pembangunan yang besar yang belum sepenuhnya berkembang.
Dalam banyak aspek, kemampuan SDM perempuan tertinggal, sementara
itu, dampak dari pembanguann sampai saat ini menunjukkan bahwa
potensi perempuan sama besarnya dengan laki-laki. Upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM perempuan dilakukan dengan upaya
meningkatkan kesetaraan gender di semua bidang pembangunan dan
pemberdayaan perempuan, di samping itu pemantauan juga dilakukan
untuk melihat pada aspek mana saja, laki-laki mengalami
ketertinggalan atau tantangan serta masalah bagi laki-laki yang
belum disentuh dalam pembangunan. Ini semua akan memperluas
pencapaian kemampuan dan memberikan kesempatan yang sama kepada
kaum perempuan untuk mengembangkan potensinya sebagai SDM
Pembangunan dan mendapatkan manfaat yang maksimal dari pembangunan.
Prinsip kesetaran antara laki-laki dan perempuan tidak harus bias
pada salah satunya, namun diarahkan untuk menghapus kesenjangan
dalam membangun kemajuan keduanya. Di pihak lain, anak sebagai
generasi penerus bangsa merupakan investasi masa depan bagi bangsa
dan negara. Dalam rangka mewujudkan anak sebagai generasi penerus
bangsa yang sehat, cerdas, ceria, bertaqwa dan terlindungi, maka
pembangunan nasional menetapkan bahwa Pembangunan Anak sebagai
prioritas. Pembangunan Anak dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
non-diskriminasi, mempertimbangkan kepentingan terbaik anak,
perlindungan dan menghargai partisipasi anak. Semua itu diwujudkan
dalam bentuk pemenuhan Hak Anak. Pentingya membangun anak dapat
digambarkan dalam Gambar 1.Upaya untuk membangun anak menjadi SDM
yang berkualitas sudah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945,
Konvensi Hak Anak (KHA) atau Convention on the Right of the Child
(CRC) sebagai salah satu instrumen internasional yang telah
diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No. 36 Tahun
1990, dan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang mengamanatkan bahwa penjaminan dan pemenuhan hak-hak anak
merupakan tanggung jawab bersama antara orangtua, keluarga,
masyarakat, dan negara. Pada RPJMN 2010-2014, pembangunan anak yang
disebut perlindungan anak sudah dicakup di dalamnya, pelaksanaannya
masih mencari bentuk yang efektif. Uji coba yang dilakukan dengan
berbagai keterbatasan, menyebabkan pelaksanaan perlindungan anak
yang terpenggal-penggal (segmented), tidak berkelanjutan dan tidak
terintegrasi. Anak masih belum terlihat sosoknya, karena belum ada
instrumen yang bisa menggambarkannya. Selain itu, pemenuhan Hak
Anak, baru dilakukan di beberapa bidang pembangunan dan belum
menjadi perhatian dalam pembangunan daerah.Pelaksanaan RPJPN ini
akan dilakukan dalam 4 tahap melalui Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional RPJMN). Saat ini Indonesia berada di RPJMN ke II
tahun 2010-2014. Pentingnya SDM ini juga dicerminkan dalam RPJMN
2015-2019 yang ditujukan untuk memperkuat landasan kemampuan bangsa
melalui : SDM berkualitas dan berdaya saing Penguasaan IPTEKUntuk
mendayagunakan Sumber Daya Alam, landasan itu akan diikuti oleh
kemajuan lain, a.l.: Kehidupan demokrasi yg lebih mengakar
Desentralisasi dan otonomi daerah yang makin mantap Kepemimpinan
Indonesia di dunia internasional Meningkatnya kesetaraan gender;
Meningkatnya tumbuh kembang optimal, serta kesejahteraan dan
perlindungan anak.
Gambar 1. Tingkat kepentingan pembangunan anak dalam kemajuan
bangsa
RPJMN 2015-2019 ditujukan untuk lebih memantapkan pembangunan
secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian
daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber
daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu
dan teknologi yang terus meningkat. Pada RPJMN ke III tahun
2015-2019 juga akan menjadi sangat strategis, karena pada saat itu
Indonesia akan memasuki perubahan global yang signifikan. Komunitas
Asean 2015 (ASEAN Commnuty 2015) akan dimulai pada tahun 2015. Pada
saat ini, maka ASEAN akan menjadi satu komunitas dengan 3 pilar
yaitu: Komunitas politik dan keamanan, Komunitas Ekonomi dan
Komunitas Sosial Budaya. Dari aspek ekonomi, maka ASEAN akan
menjadi pasar bersama dan tempat produksi bersama. Dengan
pemberlakukan using Community ini, kawasan ASEAN akan menjadi
kawasan dimana barang dapat mengalir ke semua tempat (free flow
commodities) tanpa halangan. Dari aspek sosial budaya, maka kawasan
ASEAN akan menjadi kawasan yang diharapkan mempunyai keterkaitan
sosial budaya, toleransi dan stabilitas. Dengan perubahan global
ini, maka daya saing Indonesia semakin diperlukan. Pembangunan
selanjutnya harus pula memperhitungkan faktor keberadaan Indonesia
dalam kawasan dengan segala konsekuensinya. Pada tahun 2020,
Indonesia juga akan menjadi bagian dari kawasan perdagangan bebas
Asia Pasifik, yang memerlukan ketahanan yang besar. Peluang untuk
maju yang semakin besar harus dapat dimanfaatkan, sementara itu
persaingan juga semkain berat. Di samping itu, perubahan pola
perdagangan dunia juga akan menempatkan Indonesia pada peluang dan
ancaman yang semakin besar. Dengan perubahan situasi global, maka
program pembangunan SDM harus memperhitungkannya. Informasi yang
menjadi salah satu faktor keunggulan harus dapat dikuasai dan SDM
yang dikembangkan harus pula memperhitungkan peluang dan tantangan
yang berkembang dalam arus informasi.Di dalam pelaksanaan
pembangunan jangka panjang, tahap RPJMN ke III ini akan tetap
mengemban 8 misi, yaitu :1. Mewujudkan masyarakat berakhlak mulia,
bermoral, beretika, berbudaya, dan beradab berdasarkan falsafah
Pancasila; 2. Mewujudkan bangsa yang berdaya-saing; 3. Mewujudkan
masyarakat demokratis berlandaskan hukum;4. Mewujudkan Indonesia
aman, damai, dan bersatu; 5. Mewujudkan pemerataan pembangunan dan
berkeadilan; 6. Mewujudkan Indonesia asri dan lestari; 7.
Mewujudkan Indonesia menjadi negara kepulauan yang mandiri, maju,
kuat, dan berbasiskan kepentingan nasional; 8. Mewujudkan Indonesia
berperan penting dalam pergaulan dunia internasional. Pelaksanaan
RPJMN 2010-2014 (2010-2013) telah memasuki tahun ketiga dan
hasilnya telah menunjukkan adanya perkembangan cukup signifikan
dalam upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak yang
mengedepankan pemenuhan hak-hak perempuan dan anak dengan strategi
pengarusutamaan gender sebagai salah satu prinsip pelaksanaan
pembangunan nasional. Untuk menyiapkan RPJMN 2015-2019, perlu
dilakukan analisis pelaksanaan pada RPJMN 2010-2014 yang sedang
berjalan, maka perlu dilakukan analisis untuk mengetahui hasil dari
pelaksanaan pembangunan yang telah dilaksanakan, persoalan mendasar
dari masalah yang masih dihadapi dan kemunculan tantangan baru
karena dinamika perubahan situasi lingkungan strategis baik
nasional maupun global.Analisis ini akan digunakan untuk menyusun
strategi pelaksanaan agenda pembangunan SDM, khsuusnya pembangunan
pemberdayaan perempuan dan pembangunan anak dalam RPJMN 2015-2019.
Untuk itu perlu dilakukan kajian yang baik, dari aspek akademis
maupun programatis dan hasilnya sesuai dengan kebutuhan dan dapat
bermanfaat untuk melanjutkan pembangunan.1.2. TujuanTujuan dari
kegiatan kajian ini secara umum adalah merumuskan rekomendasi
kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender
periode tahun 2015 2019 berdasarkan hasil pencapaian dalam RPJMN
2010 2014 dan berbagai hal yang mempengaruhi serta merumuskan
rancangan kebijakannya sebagai masukan pembangunan pemberdayaan
perempuan, kesetaraan gender, dan perlindungan anak periode
2015-2019 yang merupakan tahap ketiga Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Secara spesifik kajian ini akan
melakukan:1. Pemetaan substansi kebijakan pembangunan pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender serta perlindungan anak yang
relevan. 2. Evaluasi mandiri dampak pelaksanaan pembangunan di
bidang pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender serta
perlindungan anak.3. Evaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender di berbagai isu
prioritas dan pembangunan anak4. Formulasi masukan arah kebijakan
dan strategi implementasi untuk meningkatkan efektifitas
pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender,
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan serta pembangunan anak
tahun 2015 - 2019.1.3. Ruang LingkupKajian Analisa Dampak
(Background Study) Pembangunan Perempuan dan Perlindungan Anak di
berbagai isu prioritas melingkupi:1. Pengertian Pembangunan
Perempuan dan Perlindungan Anak mengacu pada peraturan perundangan
yang berlaku.2. Substansi kebijakan pembangunan pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender serta perlindungan anak yang
di-review meliputi kebijakan pemerintah, baik pusat maupun daerah
dan kebijakan pemerintah terkait dengan kesepakatan-kesepakatan
Internasional.3. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender serta perlindungan
anak di tingkat daerah yang akan dievaluasi adalah berupa provinsi
dan kabupaten sampel.4. Isu prioritas yang akan dikembangkan dan
dirumuskan dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan
gender serta perlindungan anak meliputi lingkup bidang pendidikan,
kesehatan, ketenagakerjaan dan aspek kekerasan terhadap
perempuan.5. Hasil akhir kajian adalah terumuskannya masukan arah
kebijakan dan strategi implementasi pembangunan pemberdayaan
perempuan dan kesetaraan gender serta pembangunan anak dalam
pembangunan nasional tahun 2015-2019 berdasarkan hasil pelaksanaan
pembangunan nasional sampai tahun 2012.
BAB IIMETODOLOGI PENELITIAN2.1. Waktu dan Lokasi KajianKajian
ini dilakukan selama 6 bulan tahun 2013. Kajian ini juga dilakukan
pada tingkat provinsi. Pada tingkat provinsi yang menjadi lokasi
kajian adalah Provinsi:a. Kepulauan Riaub. Jawa Tengahc. Kalimantan
TimurResponden dari provinsi yang dinilai dapat mewakili pemangku
kepentingan dari SKPD dan masyarakat diwawancara untuk mengkaji
sikap dan persepsi sosialnya terhadap:a. Efektifitas dan dampak
pelaksanaan kebijakan nasional pada tingkat provinsib. Isu yang
terkait dengan kebijakan pada tingkat provinsiKondisi kesetaraan
gender dan perlindungan anak yang dikaji adalah pada lingkup
bidang-bidang prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan dan kekerasan terhadap perempuan. 2.2. Alur Pikir
dan Pendekatan KajianDisain riset kebijakan ini diharapkan
menghasilkan masukan untuk penyusunan RPJMN III dan Renstra KPPPA
2015-2019. Disain riset ini bertumpu pada proses Sistem Analisa
yang mencakup dua hal pokok yaitu:1. Analisa Dampak (Impact
Analysis) dari implementasi arah pembangunan PP dan PA pada periode
RPJMN II (2009-2014), khususnya untuk mencapai tujuan evaluasi
dampak kebijakan pembangunan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak KPP-PA.2. Analisa Prospektif (Prospective
Analysis) terhadap isu prioritas sebagai prinsip penilaian dan
rekomendasi kebijakan yang diduga mempengaruhi pembangunan PP dan
PA pada periode 2015-2019, khususnya untuk memberikan masukan
kebijakan RPJMN 2015-2019 KPP-PA.Mempertimbangkan kompleksitas dan
dinamika lingkungan strategi dari pembangunan PP dan PA, maka
aplikasi terkait riset kebijakan dengan Soft System Methodology
(Checkland, 2008) menjadi landasan teori pengkajian. Isu prioritas
akan dikembangkan dan dirumuskan melalui proses System Thinking
sebagaimana dipaparkan pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram Venn Isu Strategis ( )
Gambar 3 secara umum menunjukkan alur pikir, pendekatan dan
teknik-teknik untuk menyelesaikan kajian dan mencapai tujuan yang
telah ditetapkan. Dalam kajian ini, pendekatan yang akan dilakukan
untuk mencapai tujuan-tujuan kajian adalah sebagai berikut:a.
Identifikasi dan pemetaan substansi kebijakan pembangunan
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak Kebijakan yang
berpengaruh terhadap pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
sangat luas dan multi sektor sehingga kajian akan dibatasi pada
lingkup bidang prioritas, yaitu pendidikan, kesehatan,
ketenagakerjaan dan kekerasan terhadap perempuan. RPJMN II, Renstra
KPPPA dan kebijakan/program lingkup bidang prioritas akan di-review
dan dianalisis tingkat relevansi dan kepentingannya terhadap
pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak.
Gambar 3. Alur pikir riset kebijakan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak
Program/kegiatan yang dievaluasi adalah program/kegiatan
prioritas terkait dengan Jumlah Rencana, Jumlah Realisasi dan
Tingkat Pencapaian Tingkat pencapaian dievaluasi berdasarkan
tingkat a) pencapaian berdampak, b) pencapaian bermanfaat, c)
pencapaian berfungsi, d) pencapaian telah terlaksana, dan e)
realisasi rencana sangat minim. Evaluasi dapat dilakukan dengan
pendekatan Regulatory Impact Analysis Teknik analisis dan
pengolahan data dapat dilakukan dengan Metode Perbandingan
Eksponensialb. Kajian pembangunan anak Metodologi yang digunakan
dalam kajian perlindungan anak adalah Soft System Methodology (SSM)
dan Scenario Planning. Identifikasi masalah akan dilakukan untuk
melihat situasi dan kondisi anak. Hal ini akan dapat menjadi
informasi untuk dijadikan sebagai baseline sasaran RPJMN atau
Renstra yang akan datang. Kajian kepustakaan tentang kebijakan
perlindungan anak.c. Formulasi masukan kebijakan untuk meningkatkan
efektifitas pembangunan pemberdayaan perempuan dan pembangunan anak
tahun 2015-2019 Identifikasi alternatif kebijakan/program/kegiatan
dan isu prioritas dilakukan melalui akuisisi pengetahuan pakar dan
dianalisis dengan teknik Intepretive Structural Modeling (ISM).
Pemodelan sistem lunak dan model konseptual digunakan untuk
merumuskan masukan kebijakan/program guna meningkatkan efektifitas
pembangunan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
2.3. Tahapan KajianUntuk mencapai tujuan, pelaksanaan kajian
dilakukan melalui beberapa tahap. Keseluruhan tahapan proses
pelaksanaan kajian mulai dari studi pustaka sampai penarikan
kesimpulan dan saran ditunjukkan pada Gambar 4. Kajian pada
prinsipnya dilakukan dengan pendekatan soft system methodology
(SSM). SSM menggunakan teknik Comparative Performance Index (CPI)
dan Interpretive Structural Modelling (ISM). Kajian ini dimulai
dengan studi pustaka dan penelusuran data sekunder. Kemudian
dilanjutkan dengan survai lapang untuk mendapatkan data sekunder
dan primer melalui penelusuran pustaka, wawancara mendalam,
diskusi/FGD dan pengisian kuesioner dengan responden pakar. Data
primer responden pakar diolah dengan menggunakan CPI dan ISM. Data
sekunder lainnya diolah dengan tabulasi dan content analysis.
Analisis situasional atau review menghasilkan gambaran
faktor-faktor yang berperan dan tantangan serta kendala dalam
pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan keadilan
gender pada isu-isu prioritas. Analisis kebijakan menghasilkan
asumsi dasar pengembangan kebijakan, struktur sistem dan peubah
kunci elemen dalam pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan dan keadilan gender yang dapat diintervensi dengan
kebijakan, serta peubah independen. Berdasarkan hasil analisis
kebijakan dan mempertimbangkan hasil analisis situasional maka
disusun alternatif-alternatif kebijakan. Model konseptual kebijakan
dibangun berdasarkan hasil pemilihan alternatif kebijakan prioritas
dan merupakan sintesis dari hasil analisis. Selanjutnya, model
kebijakan divalidasi melalui face validation. Dengan menggunakan
model yang telah valid maka disusun implikasi-implikasi kebijakan
untuk pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan
keadilan gender agar lebih efektif. Langkah terakhir adalah
penarikan kesimpulan berdasarkan hasil analisis dan sintesis yang
telah dilakukan serta formulasi saran yang dapat disampaikan.
Gambar 4. Tahapan kajian2.4. Metode dan Teknik Analisis1.
Comparative Performance Index (CPI)Comparative Performance Index
(CPI) digunakan untuk memilih beberapa alternatif. Teknik CPI
merupakan indeks gabungan (composite index) yang dapat digunakan
untuk menentukan penilaian atau peringkat dari berbagai alternatif
(i). Prosedur penyelesaian CPI adalah:a. Identifikasi kriteria tren
positif (semakin tinggi nilainya semakin baik) dan tren negatif
(semakin rendah nilainya semakin baik) b. Untuk kriteria tren
positif, nilai minimum pada setiap kriteria ditransformasi ke
seratus, sedangkan nilai lainnya ditransformasi secara proporsional
lebih tinggi. c. Untuk kriteria tren negatif, nilai minimum pada
setiap kriteria ditranspormasi ke seratus, sedangkan nilai lainnya
ditransformasi secara proporsional lebih rendah.Indeks gabungan
yang digunakan untuk menentukan penilaian atau peringkat dari
berbagai alternatif keputusan berdasarkan beberapa kriteria dari
setiap alternatif, dirumuskan sebagai berikut: ;i = 1, 2, ..., n
dan j = 1, 2, ..., m ;i = 1, 2, ..., n dan j = 1, 2, ..., mdi mana
:Aij= Nilai alternatif ke-i pada kriteria ke-jxij= Nilai awal
alternatif ke-i pada kriteria ke-jxij(min)= Nilai alternatif ke-i
pada kriteria minimum ke-jBi= Bobot kepentingan kriteria ke-jIi=
Indeks gabungan kriteria pada alternatif ke-i
2. Teknik Interpretive Structural Modelling (ISM)Salah satu
teknik pemodelan yang dapat digunakan untuk merencanakan kebijakan
ataupun strategi adalah Interpretive Structural Modelling (ISM).
Menurut Eriyatno (2003) ISM merupakan proses pengkajian kelompok
yang berguna untuk memberikan gambaran perihal yang kompleks dari
suatu sistem dan melalui pola yang dirancang secara seksama dengan
menggunakan grafis dan kalimat akan menghasilkan model-model
struktural. Teknik ISM merupakan salah satu teknik pemodelan sistem
untuk menangani kebiasaan yang sulit diubah dari perencana jangka
panjang yang sering menerapkan secara langsung teknik penelitian
operasional dan atau aplikasi statistik deskriptif.ISM merupakan
salah satu metode pemodelan berbasis komputer yang dapat membantu
kelompok perencana untuk mengidentifikasi hubungan antara ide dan
struktur tetap pada isu yang kompleks. ISM dapat digunakan untuk
mengembangkan beberapa tipe struktur, termasuk struktur pengaruh,
struktur prioritas, dan kategori ide ataupun struktur lainnya. ISM
merupakan sebuah metode yang interaktif dan dapat diimplementasikan
dalam sebuah wadah kelompok sehingga metode ini memberikan
lingkungan yang sangat sempurna untuk memperkaya dan memperluas
pandangan dalam konstruksi yang cukup kompleks. ISM menganalisis
elemen-elemen sistem dan memecahkannya dalam bentuk grafis dari
hubungan langsung antar elemen dan tingkat hierarki. Elemen-elemen
dapat merupakan tujuan kebijakan, target organisasi, maupun
faktor-faktor penilaian. Sedangkan hubungan langsung dapat
diformulasikan dalam konteks-konteks yang beragam (Marimin,
2005).Menurut Kanungo and Bhatnagar (2002), langkah-langkah
pemodelan dengan menggunakan ISM mencakup:a. Identifikasi elemen:
Elemen sistem diidentifikasi dan didaftar. Identifikasi elemen
dapat diperoleh melalui penelitian, diskusi curah pendapat maupun
cara yang lainnya.b. Hubungan kontekstual: Sebuah hubungan
kontekstual antar elemen dibangun berdasarkan pada tujuan dari
pemodelan.c. Matriks interaksi tunggal terstruktur (Structural Self
Interaction Matrix SSIM): Matriks ini mewakili elemen persepsi
responden terhadap hubungan elemen yang dituju. Empat simbol yang
digunakan untuk mewakili tipe hubungan yang terdapat antar dua
elemen dari sistem yang dikaji adalah: V terdapat hubungan dari
elemen Ei terhadap Ej, dan tidak sebaliknya A terdapat hubungan
dari elemen Ej terhadap Ei, dan tidak sebaliknya X terdapat
hubungan interrelasi antara Ei dan Ej, dan dapat sebaliknya O
menunjukkan bahwa Ei dan Ej tidak berkaitand. Matriks Reachability
(Reachability Matrix RM): Sebuah RM yang dipersiapkan kemudian
mengubah simbol-simbol SSIM ke dalam sebuah matriks biner. Konversi
SSIM menjadi SM menggunakan aturan-aturan berikut, Jika hubungan Ei
terhadap Ej = V dalam SSIM maka elemen Eij = 1 dan Eji = 0 dalam
RM. Jika hubungan Ei terhadap Ej = A dalam SSIM maka elemen Eij = 0
dan Eji = 1 dalam RM. Jika hubungan Ei terhadap Ej = X dalam SSIM
maka elemen Eij = 1 dan Eji = 1 dalam RM. Jika hubungan Ei terhadap
Ej = O dalam SSIM maka elemen Eij = 0 dan Eji = 0 dalam RM.RM awal
dimodifikasi untuk menunjukkan seluruh direct dan indirect
reachability, yaitu jika Eij = 1 dan Ejk = 1 maka Eik = 1.e.
Tingkat partisipasi dilakukan untuk mengklasifikasi elemen-elemen
dalam level-level yang berbeda dari struktur ISM. Untuk tujuan ini,
dua perangkat diasosiasikan dengan tiap elemen Ei dari sistem:
Reachability set (Ri) adalah sebuah set dari seluruh elemen yang
dapat dicapai dari elemen Ei, dan Antecedent Set (Ai) adalah sebuah
set dari seluruh elemen dimana elemen Ei dapat dicapai. Pada
iterasi pertama seluruh elemen, dimana Ri = Ri Ai adalah
elemen-elemen level 1. Pada iterasi-iterasi berikutnya
elemen-elemen diidentifikasi seperti elemen-elemen level dalam
iterasi-iterasi sebelumnya dihilangkan, dan elemen-elemen baru
diseleksi untuk level-level berikutnya dengan menggunakan aturan
yang sama. Selanjutnya, seluruh elemen-elemen sistem dikelompokkan
ke dalam level-level yang berbeda.f. Matriks Canonnical:
Pengelompokan elemen-elemen dalam level yang sama mengembangkan
matriks ini. Matriks resultan memiliki sebagian besar dari
elemen-elemen triangular yang lebih tinggi adalah 0 dan terendah 1.
Matriks ini selanjutnya digunakan untuk mempersiapkan digraph.g.
Digraph adalah konsep yang berasal dari Directional Graph, yaitu
sebuah grafik dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara
langsung dan level hierarki. Digraph awal dipersiapkan dalam basis
matriks canonical. Graph awal tersebut selanjutnya dipotong dengan
memindahkan semua komponen yang transitif untuk membentuk digraph
akhir.h. Interpretive Structural Model: ISM dibangkitkan dengan
memindahkan seluruh jumlah elemen dengan deskripsi elemen aktual.
Oleh sebab itu ISM memberikan gambaran yang sangat jelas dari
elemen-elemen sistem dan alur hubungannya.Eriyatno (2003)
menyatakan bahwa metode dan teknik ISM dibagi menjadi dua bagian,
yaitu penyusunan hierarki dan klasifikasi sub elemen. Prinsip
dasarnya adalah identifikasi dari struktur di dalam suatu sistem
yang memberikan nilai manfaat yang tinggi guna meramu sistem secara
efektif dan untuk pengambilan keputusan yang lebih baik. Struktur
dari suatu sistem yang berjenjang diperlukan untuk lebih
menjelaskan pemahaman tentang perihal yang dikaji. Menentukan
jenjang dapat dilakukan dengan berbagai pendekatan, namun harus
memenuhi kriteria: a) kekuatan pengikat dalam dan antar kelompok
atau tingkat, b) frekuensi relatif dari oksilasi dimana tingkat
yang lebih rendah lebih cepat terguncang dari yang diatas, c)
konteks dimana tingkat yang lebih tinggi beroperasi pada jangka
waktu yang lebih lambat daripada ruang yang lebih luas, d) liputan
dimana tingkat yang lebih tinggi mencakup tingkat yang lebih
rendah, dan e) hubungan fungsional, dimana tingkat yang lebih
tinggi mempunyai peubah lambat yang mempengaruhi peubah cepat
tingkat dibawahnya.Menurut Eriyatno (2003), teknik ISM dapat
memberikan basis analisis program dimana informasi yang dihasilkan
sangat berguna dalam formulasi kebijakan dan perencanaan strategis.
Selanjutnya Saxena, Sushil and Vrat (1992) menyatakan bahwa
penggunaan ISM dalam analisis, program dapat dibagi menjadi
sembilan elemen utama:a. Sektor masyarakat yang terpengaruhb.
Kebutuhan dari programc. Kendala utama programd. Perubahan yang
diinginkane. Tujuan dari programf. Tolok ukur untuk menilai setiap
tujuang. Aktivitas yang dibutuhkan guna perencanaan tindakanh.
Ukuran aktivitas untuk mengevaluasi hasil yang dicapai setiap
aktivitasi. Lembaga yang terlibat dalam pelaksanaan
programSelanjutnya, untuk setiap elemen dari program yang dikaji
dijabarkan menjadi sejumlah sub elemen. Kemudian ditetapkan
hubungan kontekstual antara sub elemen yang mengandung adanya suatu
arah yang menuju pada perbandingan berpasangan. Berdasarkan
hubungan kontekstual tersebut, maka disusun Structural Self
Interaction Matrix dengan menggunakan simbol:V jika eij = 1 dan eji
= 0A jika eij = 0 dan eji = 1V jika eij = 1 dan eji = 1V jika eij =
0 dan eji = 0Nilai eij = 1 berarti ada hubungan kontekstual antara
elemen ke-i dan elemen ke-j, sedangkan eij = 0 adalah tidak ada
hubungan kontekstual antara elemen ke-i dan elemen ke-j. Hasil
penilaian ini kemudian dibuat dalam Structural Self Interaction
Matrix yang berbentuk tabel Reachability Matrix (RM) dengan
mengganti V, A, X, dan O menjadi bilangan 1 dan 0. Matriks RM
selanjutnya dikoreksi sampai menjadi matriks tertutup yang memenuhi
kaidah transitivitas.Matriks RM yang telah memenuhi kaidah
transitivitas kemudian diolah untuk mendapatkan nilai Driver-Power
(DP) dan nilai Dependence (D) untuk menentukan klasifikasi sub
elemen. Eriyatno (2003) menyebutkan bahwa untuk mengetahui peran
masing-masing sub elemen, sub elemen dikelompokkan ke dalam 4
sektor:Sektor 1:Weak driver-weak dependent variables (Autonomous),
sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya tidak berkaitan
dengan sistem, mungkin mempunyai hubungan yang sedikit walaupun
hubungan tersebut bisa saja kuat. Sektor 2:Weak driver-strongly
dependent variables (Dependent), sub elemen yang berada pada sektor
ini umumnya sub elemen yang tidak bebas atau dipengaruhi oleh sub
elemen lain. Sektor 3:Strong driver-strongly dependent variables
(Linkage), sub elemen yang berada pada sektor ini perlu dikaji
secara hati-hati sebab hubungan antar sub elemen tidak stabil.
Setiap tindakan pada sub elemen tersebut akan memberikan dampak
terhadap peubah lain dan umpan balik pengaruhnya bisa lebih
besar.Sektor 4:Strong driver-weak dependent variables
(Independent), sub elemen yang berada pada sektor ini umumnya
merupakan sub elemen bebas yang memiliki kekuatan penggerak yang
besar terhadap sub elemen lain.Pengembangan model kebijakan
strategi implementasi ini bertujuan untuk membangun alternatif
strategi implementasi pembangunan pemberdayaan perempuan dan
kesetaraan dan keadilan gender berdasarkan perkembangan sampai saat
ini dan peraturan yang berlaku. Pengembangan model kelembagaan ini
didasarkan atas hasil analisis kebijakan dengan menggunakan metode
ISM. Elemen-elemen yang dipilih dalam melakukan analisis kebijakan
ini adalah elemen yang berperan secara dominan dalam menentukan
keberhasilan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan
keadilan gender. Dari 11 elemen yang dikembangkan oleh Saxena,
Sushil and Vrat (1992), dan berdasarkan hasil diskusi terpilih 3
elemen yang berpengaruh secara dominan, yaitu a) elemen lembaga
yang terlibat dalam pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan
dan kesetaraan dan keadilan gender, b) elemen kendala utama dalam
pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan
keadilan gender, dan c) elemen strategi implementasi dalam
pelaksanaan pembangunan pemberdayaan perempuan dan kesetaraan dan
keadilan gender. Analisis terhadap model kebijakan ini pada
dasarnya untuk menyusun hirarki setiap sub elemen pada elemen yang
dikaji, dan kemudian membuat klasifikasinya ke dalam 4 sektor
dimana masing-masing sub elemen akan dimasukkan ke dalam variabel
Autonomous, Dependent, Linkage, atau Independent.3. Soft System
Methodology (SSM)Soft System Methodology (SSM) adalah pendekatan
sistem untuk mengatasi situasi problematik dari dunia nyata. SSM
adalah pendekatan serba sistem yang tidak membedakan hard system
dan soft system akan tetapi sebuah pendekatan yang memberi jalan
untuk mengatasi situasi yang dianggap bermasalah atau problematik.
SSM lebih menggunakan epistemology dari pada ontology.SSM
membandingkan antara kondisi nyata yang ada dengan model konsepsual
sehingga dapat membangun pemahaman yang lebih baik atas suatu
kondisi yang menjadi objek kajian atau penelitian. Pendekatan ini
akan menghasilkan gagasan-gagasan untuk menghasilkan perbaikan
sejumlah keadaan dan menyusun rencana aksinya.Langkah-langkah yang
dilakukan mencakup:a. Menemu-kenali situasi masalahMenghimpun dan
menggali semua keadaan yang ada dalam lingkup kajian atau
penelitian berdasarkan pengetahuan terbaik yang dapat dihimpun.
Tujuannya adalah untuk mendapatkan beberapa situasi atau keadaan
yang akan dijadikan parameter dalam penyusunan struktur masalah
yang ada, sehingga dihasilkan sejumlah pilihan relevan dan mungkin.
b. Menetapkan pokok kebijakan yang akan diambilPada langkah ini
masalah yang sudah dipetakan diformulasikan dalam Root Definition
yaitu pendefinisan dari situasi yang ada dan bagaimana cara
mengatasinya. Untuk membuat Root Definition yang menjadi dasar dari
langkah selanjutnya digunakan analisis CATWOE. Matriks analisis ini
digambarkan di bawah ini. Pada tahap ini inign diidentifikasi
proses transformasi yang diinginkan, yaitu perubahan dari input
menjadi output.c. Menyusun model konsepsualPada tahap ini dibangun
konsep sistem dan model, yaitu gambaran bagaimana hubungan
bagian-bagian dalam sistem atau model yang dibuat untuk
menyelesaikan masalah. Pembuatan model ditentukan oleh sudut
pandang akan konsep yang ideal dari suatu keadaan. Identifikasi
kelompok-kelompok stakeholder yang terlibat dengan sudut pandang
yang berbeda, akan menghasilkan output yang berbeda-beda.Metode
analisis yang akan digunakan adalah metode Analisis Pemenuhan Hak
Anak (PUHA) yang dikembangkan oleh Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak. Dalam kerangka analisis ini
digambarkan bahwa situasi anak dipengaruhi oleh berbagai faktor
yang terdiri dari 5 unsur yaitu: Unsur Hukum; Unsur Peradilan,
Unsur Kesejahteraan Sosial, Unsur Budaya dan Perilaku serta Sistem
Data. Situasi dan kondisi anak disebabkan oleh berbagai sebab dalam
kelompok unsur-unsur tersebut, baik penyebab langsung, tidak
langsung maupun akar masalahnya. Penyebab-penyebab ini ditemukenali
dan dianalisis yang kemudian hasil analisisnya akan digunakan
sebagai masukan untuk memperbaiki situasi anak yang ada saat
ini.
BAB IIISASARAN, KEBIJAKAN DAN PENCAPAIAN PEMBANGUNAN BERBASIS
GENDER3.1. Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
AnakPembangunan Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
merupakan bagian dari pembangunan nasional bidang sosial budaya dan
kehidupan beragama yang bertujuan untuk peningkatan kualitas hidup
manusia dan masyarakat Indonesia. Pembangunan manusia sebagai insan
menekankan pada manusia yang berharkat, bermartabat, bermoral dan
memiliki jati diri serta karakter tangguh baik dalam sikap mental,
daya pikir maupun daya ciptanya. Adapun pembangunan manusia sebagai
sumberdaya pembangunan yaitu sebagai pelaku pembangunan menekankan
pada manusia yang memiliki etos kerja produktif, keterampilan,
kreatif dan inovatif, disiplin dan profesional, berorientasi pada
ilmu pengetahuan dan teknologi serta berwawasan lingkungan dan
kemampuan manajemen. Pembangunan manusia sebagai insan dan
sumberdaya pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak
terpisahkan, dilakukan pada seluruh siklus hidup manusia yaitu
sejak dalam kandungan sampai usia lanjut. Upaya tersebut dilandasi
oleh pertimbangan bahwa kualitas manusia yang baik ditentukan oleh
pertumbuhan dan perkembangannya sejak dalam kandungan. Di samping
itu, pembangunan manusia juga dilaksanakan dengan memperhatikan
kebutuhan yang berbeda-beda dari tiap tahap kehidupan manusia, baik
laki-laki maupun perempuan. Kemampuan bangsa untuk berdaya saing
tinggi merupakan kunci bagi tercapainya kemajuan dan kemakmuran
bangsa. Daya saing bangsa yang tinggi akan menjadikan Indonesia
siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan
peluang yang ada. Untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan
nasional diarahkan untuk mengedepankan pembangunan sumber daya
manusia (SDM) yang berkualitas, baik laki-laki maupun
perempuan.Pembangunan nasional bidang pemberdayaan perempuan
terdiri dari pembangunan dengan fokus prioritas kesetaraan gender,
pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, kebijakan
pengarusutamaan gender dan kebijakan lintas bidang perlindungan
anak. Masing-masing mempunyai sasaran, kebijakan dan program
sebagai berikut:1. Fokus Prioritas Kesetaraan Gender, Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan AnakPeningkatan kesetaraan dan keadilan
gender dan pemberdayaan perempuan merupakan salah satu upaya untuk
mewujudkan pembangunan yang dapat dinikmati secara adil, efektif,
dan akuntabel oleh seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki
maupun perempuan. Berbagai kemajuan dalam pembangunan yang
responsif gender telah dicapai baik di bidang kesehatan,
pendidikan, ekonomi, maupun dalam bidang politik dan jabatan
publik. Selain indikator IPG, kemajuan pembangunan gender juga
ditunjukkan dengan indikator gender empowerment measurement (GEM)
atau indeks pemberdayaan gender (IDG), yang diukur melalui
partisipasi perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan
keputusan.Sasaran pembangunan bidang pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak dalam RPJMN 2010-2014 yang akan dicapai pada
akhir tahun 2014 adalah:1. Meningkatnya efektivitas kelembagaan PUG
dalam perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, dan
evaluasi kebijakan dan program pembangunan yang responsif gender di
tingkat nasional dan daerah.2. Meningkatnya efektivitas kelembagaan
perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun
daerah.Peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan
perlindungan anak dilakukan melalui dua fokus prioritas,
yaitu:Pertama, peningkatan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan
gender (PUG) dan pemberdayaan perempuan melalui penerapan strategi
PUG, termasuk mengintegrasikan perspektif gender ke dalam siklus
perencanaan dan penganggaran di seluruh kementerian dan lembaga.
Fokus prioritas ini bertujuan untuk mendukung peningkatan kualitas
hidup dan peran perempuan dalam pembangunan, serta peningkatan
perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan. Kedua,
peningkatan kapasitas kelembagaan perlindungan anak, melalui: (a)
penyusunan dan harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait
perlindungan anak; (b) peningkatan kapasitas pelaksana perlindungan
anak; (c) peningkatan penyediaan data dan informasi perlindungan
anak; dan (d) peningkatan koordinasi dan kemitraan antarpemangku
kepentingan terkait pemenuhan hak-hak anak. Fokus prioritas
tersebut bertujuan untuk meningkatkan kualitas tumbuh kembang dan
kelangsungan hidup anak, serta meningkatkan perlindungan anak dari
segala bentuk kekerasan dan diskriminasi. Selain itu, pelaksanaan
peningkatan kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, dan
perlindungan anak tersebut juga didukung oleh: (a) peningkatan
kualitas manajemen dan tata kelola pembangunan bidang kesetaraan
gender, pemberdayaan perempuan, dan perlindungan anak; (b) sistem
manajemen data dan informasi tentang gender dan anak; dan (c)
peningkatan koordinasi dan kerjasama lintas bidang, lintas sektor,
lintas program, lintas pelaku, dan lintas kementerian/lembaga
(K/L).Dalam RPJMN 2010-2014, Prioritas bidang Peningkatan
Kesetaraan Gender, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak
terdiri dari 2 (dua) fokus prioritas yaitu:1. Peningkatan kapasitas
kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan perempuan
terdiri dari 16 kegiatan prioritas2. Peningkatan kelembagaan
perlindungan anak terdiri dari 11 kegiatan prioritas2. Kebijakan
Pengarusutamaan GenderPengarusutamaan gender dalam pembangunan
adalah strategi yang digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara
penduduk laki-laki dan perempuan Indonesia dalam mengakses dan
mendapatkan manfaat pembangunan, serta meningkatkan partisipasi dan
mengontrol proses pembangunan. Pengarusutamaan gender (PUG)
dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif (sudut pandang) gender
ke dalam proses pembangunan di setiap bidang. Penerapan
pengarusutamaan gender akan menghasilkan kebijakan publik yang
lebih efektif untuk mewujudkan pembangunan yang lebih adil dan
merata bagi seluruh penduduk Indonesia, baik laki-laki maupun
perempuan. Sasaran pengarusutamaan gender adalah meningkatnya
kesetaraan gender, yang ditandai dengan: (a) meningkatnya kualitas
hidup dan peran perempuan terutama di bidang kesehatan, pendidikan,
ekonomi termasuk akses terhadap penguasaan sumber daya, dan
politik; (b) meningkatnya persentase cakupan perempuan korban
kekerasan yang mendapat penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya
efektivitas kelembagaan PUG dalam perencanaan, penganggaran,
pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program
pembangunan yang responsif gender di tingkat nasional dan daerah.
Berdasarkan sasaran tersebut, maka pengarusutamaan gender dilakukan
melalui tiga isu nasional. Pertama, peningkatan kualitas hidup dan
peran perempuan dalam pembangunan, melalui harmonisasi peraturan
perundangan dan pelaksanaannya di semua tingkat pemerintahan,
dengan melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Kedua, perlindungan
perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, melalui upaya-upaya
pencegahan, pelayanan, dan pemberdayaan. Ketiga, peningkatan
kapasitas kelembagaan PUG dan pemberdayaan perempuan.Keberhasilan
peningkatan kesetaraan gender ini dapat diukur dengan Indeks
Pembangunan Gender (IPG) (Gender-related Development Index/GDI),
yang merupakan indikator komposit yang diukur melalui angka harapan
hidup sejak lahir, angka melek huruf, dan gabungan angka
partisipasi sekolah dasar, menengah, tinggi, serta Pendapatan
Domestik Bruto (PDB) per kapita dengan paritas daya beli
(purchasing power parity), dan dihitung berdasarkan jenis kelamin.
Di samping itu, kemajuan pembangunan gender juga ditunjukkan dengan
indikator Gender Empowerment Measurement (GEM) atau Indeks
Pemberdayaan Gender (IDG), yang diukur melalui partisipasi
perempuan di bidang ekonomi, politik, dan pengambilan
keputusan.Kebijakan pengarusutamaan gender terdiri dari 3 (tiga)
isu nasional/kebijakan, yaitu:1. Peningkatan kualitas hidup dan
peran perempuan dalam pembangunan, yang terdiri dari 29 kegiatan
prioritas2. Perlindungan Perempuan terhadap Berbagai Tindak
Kekerasan, terdiri dari 7 kegiatan prioritas3. Peningkatan
kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan pemberdayaan
perempuan, yang terdiri dari 20 kegiatan prioritas. 3. Kebijakan
Lintas Bidang Perlindungan AnakPembangunan perlindungan anak
ditujukan untuk memenuhi hak-hak anak Indonesia. Sesuai dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
perlindungan anak mencakup anak yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan, dan
meliputi hak-hak anak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi dalam berbagai aspek kehidupan, serta mendapat
perlindungan dari berbagai tindak kekerasan, perdagangan anak,
eksploitasi, dan diskriminasi. Dengan demikian, pemenuhan hak-hak
anak mencakup setiap bidang pembangunan. Pembangunan perlindungan
anak yang terintegrasi dan komprehensif akan menghasilkan kebijakan
publik yang lebih efektif dalam mewujudkan dunia yang layak bagi
seluruh anak Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan.Sasaran
bidang perlindungan anak adalah meningkatnya tumbuh kembang
optimal, kesejahteraan, dan perlindungan anak yang ditandai dengan:
(a) meningkatnya akses dan kualitas layanan perlindungan anak, yang
antara lain diukur dengan meningkatnya APK PAUD, APS 712 tahun, APS
1315 tahun, dan cakupan kunjungan neonatal, serta menurunnya
persentase balita gizi buruk yang mendapat perawatan; (b)
meningkatnya persentase cakupan anak korban kekerasan yang mendapat
penanganan pengaduan; dan (c) meningkatnya efektivitas kelembagaan
perlindungan anak, baik di tingkat nasional maupun daerah.Kebijakan
peningkatan perlindungan anak diarahkan pada: (a) peningkatan akses
terhadap pelayanan yang berkualitas, peningkatan partisipasi anak
dalam pembangunan, dan upaya menciptakan lingkungan yang ramah anak
dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup anak;
(b) peningkatan perlindungan anak dari kekerasan dan diskriminasi;
dan (c) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan
anak.Kebijakan peningkatan perlindungan anak dilaksanakan melalui 3
(tiga) fokus prioritas, yaitu:1. Peningkatan kualitas tumbuh
kembang dan kelangsungan hidup anak, antara lain, melalui
peningkatan aksesibilitas dan kualitas program pengembangan anak
usia dini; peningkatan kualitas kesehatan anak; dan peningkatan
pendidikan kesehatan reproduksi bagi remaja. Fokus prioritas ini
tediri dari 34 kegiatan prioritas. 2. Peningkatan perlindungan anak
dari segala bentuk tindak kekerasan dan diskriminasi, antara lain
melalui: peningkatan rehabilitasi dan pelindungan sosial anak;
peningkatan perlindungan bagi pekerja anak dan penghapusan pekerja
terburuk anak; dan peningkatan perlindungan bagi anak yang
berhadapan dengan hukum. Fokus prioritas ini terdiri dari 8
kegiatan prioritas.3.2. Pencapaian Pembangunan GenderKesetaraan
gender bukan dimaknai sebagai perbedaan fisik semata, namun jauh
lebih luas pengertiannya, yakni kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai
manusia dalam berperan dan berpartisipasi di segala bidang
kehidupan. Sementara itu, keadilan gender merupakan proses dan
perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki sehingga dalam
menjalankan kehidupan tidak ada pembakuan peran, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan dan laki-laki.
Terwujudnya Kesetaraan dan Keadilan Gender (KKG) ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam
memperoleh akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan. Untuk mengetahui sejauh mana tingkat keberhasilan
pembangunan yang selama ini dilaksanakan dengan mengakomodasi
persoalan gender, maka diperlukan sebuah ukuran yang dapat
menjelaskan pencapaian Kesetaraan dan Keadilan Gender. Indeks
Pembangunan Gender (IPG) merupakan ukuran komposit untuk mengukur
status perempuan khususnya mengukur prestasi dalam kemampuan dasar.
Melalui IPG perbedaan pencapaian yang menggambarkan kesenjangan
pencapaian antara laki-laki dan perempuan dapat terjelaskan.
Sedangkan pencapaian pembangunan manusia dapat dilihat dengan
menggunakan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Kesenjangan antara
IPM dan IPG mengindikasikan adanya kesenjangan pencapaian
kapabilitas antara laki-laki dan perempuan (KPPPA, 2012a).Persamaan
status dan kedudukan merujuk pada tidak adanya perbedaan hak dan
kewajiban antara perempuan dan laki-laki yang tidak hanya dijamin
oleh perundang-undangan, tetapi juga dalam praktek kehidupan
sehari-hari. Jaminan persamaan status dan kedudukan ini meliputi
partisipasi dalam program pembangunan terutama dalam peningkatan
kualitas hidup melalui program-program peningkatan kapabilitas
dasar. Program peningkatan kapabilitas dasar yang dimaksud mencakup
berbagai pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan kemudahan akses
ekonomi yang diberikan pemerintah kepada semua penduduk. Namun
kenyataannya, implementasi pada kehidupan sehari-hari khususnya
upaya peningkatan kapabilitas dasar penduduk perempuan belum
sepenuhnya dapat diwujudkan karena masih kuatnya pengaruh
nilai-nilai sosial budaya yang patriarki. Nilai-nilai sosial budaya
patriarki ini secara langsung maupun tidak langsung dapat
menempatkan laki-laki dan perempuan pada kedudukan dan peran yang
berbeda dan tidak setara. Belum lagi persoalan ketidaktepatan
pemahaman ajaran agama yang seringkali menyudutkan kedudukan dan
peranan perempuan di dalam keluarga dan masyarakat. Untuk itu,
diperlukan upaya lebih serius dan berkesinambungan dalam mewujudkan
persamaan status dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
melalui berbagai program pembangunan seperti peningkatan peran
perempuan dalam pengambilan keputusan di berbagai proses
pembangunan, penguatan peran masyarakat, dan peningkatan kualitas
kelembagaan berbagai instansi pemerintah, organisasi perempuan dan
lembaga-lembaga lainnya. Melalui upaya ini diharapkan peningkatan
kapabilitas dasar perempuan akan dapat segera diwujudkan (KPPPA,
2012a).Secara umum pencapaian pembangunan gender menunjukkan
kecenderungan yang semakin membaik. Hal ini ditunjukkan dengan
peningkatan IPG selama kurun waktu tahun 2005 2012 (Gambar 5). Pada
tahun 2005 IPG secara nasional mencapai 65,1 dan meningkat menjadi
66,8 pada tahun 2009. Pada tahun 2012 IPG meningkat lagi menjadi
68,5.
Gambar 5. Kecenderungan IPG dalam kurun waktu 2005 2012
(Marhaeni, 2013)
Walaupun terlihat cenderung meningkat dalam kurun waktu antara
2005 2012, peningkatan IPG belum menunjukkan pencapaian persamaan
status dan kedudukan menuju kesetaraan dan keadilan gender. Hal ini
disebabkan pencapaian IPG selama ini masih belum mampu mengurangi
kesenjangan secara substansial dalam pencapaian kapabilitas dasar
antara laki-laki dan perempuan. Kesenjangan antara IPM dengan IPG
masih relatif sama (Tabel 1). Seperti telah diketahui bahwa IPG
merupakan indeks komposit yang terdiri dari beberapa komponen,
yaitu angka harapan hidup, angka melek huruh dan rata-rata lama
sekolah, dan sumbangan pendapatan. Peningkatan IPG selama kurun
waktu tahun 2005 2012 sudah barang tentu merupakan kontribusi dari
kapabilitas dasar perempuan yang terangkum dalam dimensi kesehatan,
pendidikan maupun hidup layak dan mungkin juga meningkat seiring
dengan pelaksanaan program-program pembangunan. Angka harapan hidup
(AHH) merupakan rata-rata perkiraan umur yang dapat ditempuh oleh
seseorang selama hidup. Indikator AHH sering digunakan sebagai
proxy untuk menilai kinerja pemerintah dalam meningkatkan
kesejahteraan penduduk khususnya di bidang kesehatan. Perkembangan
AHH perempuan dan laki-laki terlihat mengalami kecenderungan
peningkatan selama kurun waktu tahun 2005 2012 (Gambar 6). Namun,
pencapaian angka harapan hidup laki-laki lebih rendah dari
perempuan. Pada tahun 2005 AHH perempuan telah mencapai 70,2 tahun
sedangkan laki-laki mencapai 66,2 tahun. Angka harapan hidup
perempuan pada tahun 2012 meningkat menjadi 71,7 tahun. Sedangkan
AHH laki-laki pada tahun 2012 masih tetap lebih rendah dari AHH
perempuan walaupun telah meningkat menjadi 67,7 tahun.
Tabel 1. Kecenderungan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), Indeks
Pembangunan Gender (IPG), dan Rasio IPG/IPM tahun 2005 -
2012TahunIndeks Pembangunan Manusia (IPM)Indeks Pembangunan Gender
(IPG)Rasio (%)
200569.665.193.5
200670.165.393.2
200770.665.893.2
200871.266.493.3
200971.866.893.0
201072.367.292.9
201172.867.893.1
201273.368.593.5
Sumber: Marhaeni (2013)
Gambar 6. Perkembangan angka harapan hidup (tahun) laki-laki dan
perempuan pada kurun waktu 2005 2012 (Marhaeni, 2013)
Secara umum pembangunan di bidang kesehatan telah membawa dampak
semakin membaiknya kualitas kesehatan penduduk. Hal ini dapat
ditunjukkan dari perkembangan angka harapan hidup yang cenderung
meningkat, baik AHH laki-laki maupun perempuan. Level AHH yang
dicapai penduduk laki-laki masih jauh dibawah level AHH yang
dicapai perempuan. Banyak faktor penyebab rendahnya AHH laki-laki
dibandingkan AHH perempuan seperti kesehatan, perilaku, dan
kemampuan bertahan hidup. Hasil kajian dari aspek kesehatan, salah
satunya mengungkapkan bahwa banyaknya kejadian kematian pada
laki-laki umumnya bersifat prematur yang seharusnya dapat dicegah
melalui tindakan promosi kesehatan atau pencegahan yang dapat
dilakukan sedini mungkin. Selain itu, beberapa penyakit yang
menjadi penyebab utama kematian pada laki-laki adalah penyakit
degeneratif seperti jantung, paru, stroke, hipertensi, diabetes dan
kanker (KPP-PA, 2012a).Kemajuan pembangunan di bidang pendidikan
juga memiliki kontribusi yang sangat besar dalam kemajuan
pembangunan manusia karena pendidikan dapat meningkatkan kualitas
manusia. Penuntasan buta huruf dan penurunan angka putus sekolah
telah menjadi program prioritas dalam kebijakan pemerintah, baik
pusat maupun daerah. Pembangunan dan revitalisasi gedung-gedung
sekolah merupakan salah satu upaya dalam meningkatkan partisipasi
sekolah. Indikator pendidikan yang merepresentasikan dimensi
pengetahuan dalam IPM maupun IPG adalah angka melek huruf (AMH) dan
rata-rata lama sekolah (MYS). AMH menggambarkan persentase penduduk
umur 15 tahun keatas yang mampu baca tulis, sedangkan indikator
rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang
dijalani oleh penduduk usia 15 tahun ke atas untuk menempuh semua
jenis pendidikan formal (KPP-PA, 2012a).Perkembangan angka melek
huruf laki-laki dan perempuan disajikan pada Gambar 7. Angka melek
huruf cenderung meningkat, walaupun peningkatan AMH perempuan
meningkat lebih tinggi dibandinkan AMH laki-laki. Secara
persentase, AMH laki-laki menunjukkan posisi yang lebih baik
dibanding AMH perempuan. Pada tahun 2005, AMH laki-laki telah
mencapai 94,3 persen dan meningkat menjadi 95,8 persen pada tahun
2012. Sedangkan pada tahun 2005 AMH perempuan sebesar 87,5 persen
dan meningkat menjadi 90,7 persen. Berdasarkan data terlihat bahwa
kesenjangan angka melek huruf antara laki-laki dan perempuan telah
menurun, pada tahun 2005 kesenjangan sebesar 6,8 turun menjadi 5,1
pada tahun 2012. Kondisi ini menunjukkan bahwa meskipun pembangunan
telah lebih responsif gender namun masih terjadi ketimpangan
kemampuan baca tulis antara laki-laki dan perempuan. Kemungkinan
salah satu penyebab ketimpangan ini adalah belum meratanya akses
pendidikan dasar bagi perempuan terutama untuk keluarga dengan
kemampuan ekonomi yang sangat terbatas atau keluarga miskin yang
jumlahnya masih cukup besar.
Gambar 7. Perkembangan angka melek huruf (%) laki-laki dan
perempuan (Marhaeni, 2013)
Sedangkan perkembangan angka rata-rata lama sekolah antara tahun
2005 2012 penduduk laki-laki dan perempuan menunjukkan
kecenderungan peningkatan walaupun sangat sedikit (Gambar 8).
Secara umum pendidikan laki-laki masih lebih tinggi dibandingkan
dengan pendidikan perempuan, walaupun hanya selisih 1 tahun. Pada
tahun 2012, rata-rata lama sekolah laki-laki mencapai 8,5 tahun
atau setara dengan kelas 2 SMP dan perempuan mencapai 7,6 tahun
atau setara dengan kelas 1 SMP.
Gambar 8. Perkembangan rata-rata lama sekolah (tahun) laki-laki
dan perempuan dalam kurun waktu 2005 2012 (Marhaeni, 2013)
Perkembangan sumbangan pendapatan dalam pekerjaan di sektor
non-pertanian dari laki-laki dan perempuan secara nasional disjikan
pada Gambar 9. Berdasarkan gambar ini terlihat bahwa kesenjangan
kontribusi pendapatan antara laki-laki dan perempuan cenderung
semakin membesar. Pada tahun 2005, terdapat kesenjangan sumbangan
pendapatan sebesar 20,6 dan meningkat menjadi 30,6 pada tahun
2012.
Gambar 9. Perkembangan sumbangan pendapatan (%) dari laki-laki
dan perempuan di sektor non-pertanian (Marhaeni, 2013)Sumbangan
pendapatan dalam pekerjaan non-pertanian ini terkait dengan dua
faktor yang mempengaruhinya, yaitu faktor angkatan kerja dan upah
yang diterima. Berdasarkan data tahun 2012, angkatan kerja
perempuan di Indonesia masih sekitar 37,9 persen dari seluruh
angkatan kerja (Tabel 2). Rendahnya proporsi angkatan kerja
perempuan tersebut tentunya akan sangat berpengaruh terhadap
sumbangan pendapatannya.
Tabel 2. Penduduk usia kerja menurut kegiatan dan jenis kelamin
tahun 2012KEGIATANJENIS KELAMIN (ORANG)JUMLAHJENIS KELAMIN (%)
Laki - lakiPerempuanLaki - lakiPerempuan
ANGKATAN KERJA 73,284,74844,768,362118,053,11062.137.9
BEKERJA69,068,96541,739,189110,808,15462.337.7
PENGANGGUR4,215,7833,029,1737,244,95658.241.8
BUKAN ANGKATAN KERJA 13,522,18542,351,40855,873,59324.275.8
SEKOLAH7,167,8306,916,80314,084,63350.949.1
MENGURUS RUMAH TANGGA1,417,53032,211,28433,628,8144.295.8
LAINNYA4,936,8253,223,3218,160,14660.539.5
PENDUDUK USIA KERJA86,806,93387,119,770173,926,70349.950.1
Sumber: Kemnakertrans (2013)
Faktor upah, secara nominal setiap tahun selalu mengalami
peningkatan baik yang diterima pekerja laki-laki maupun perempuan.
Hal ini dikarenakan adanya penyesuaian upah nominal yang diterima
pekerja sebagai dampak dari biaya kebutuhan hidup yang selalu
mengalami kenaikan agar kemampuan daya beli masyarakat tetap
terjaga. Pada penghitungan IPG, komponen upah menggunakan data upah
buruh di sektor non-pertanian. Tahun 2010, rata-rata upah perempuan
non-pertanian di Indonesia mencapai 1.292.300 rupiah per bulan.
Nilai upah ini masih lebih rendah dibanding upah yang diterima
laki-laki mencapai yang mencapai 1.593.600 rupiah per bulan. Hal
ini memberikan gambaran bahwa dalam dunia kerja ternyata masih
terdapat perbedaan jumlah upah yang diterima antara laki-laki dan
perempuan. Penduduk perempuan menerima upah lebih rendah dibanding
laki-laki. Perbedaan upah yang diterima antara laki-laki dan
perempuan berpengaruh terhadap kontribusi sumbangan pendapatan
dalam pekerjaan di sektor non-pertanian dari laki-laki dan
perempuan (KPPPA, 2012a). Kesenjangan upah antara laki-laki dan
perempuan di bidang non-pertanian yang rasionya sebesar 80,1 persen
ini sebenarnya sudah tidak terlalu besar karena pada tahun 2006
rasio upah perempuan terhadap laki-laki masih sebesar 46
persen.Banyak faktor yang diduga sebagai penyebab adanya perbedaan
upah yang diterima laki-laki dan perempuan. Salah satu faktor yang
berpengaruh pada perbedaan tingkat upah adalah tingkat pendidikan.
Kecenderungan pendidikan perempuan lebih rendah dibanding
pendidikan laki-laki jelas berpengaruh pada perbedaan upah yang
diterima antara laki-laki dan perempuan. Faktor lain juga erat
kaitannya dengan faktor lapangan pekerjaan, jenis pekerjaan, dan
status pekerjaan. Sebagian besar pekerja perempuan bekerja di
sektor jasa yang umumnya di perdagangan, dan jasa kemasyarakatan,
sosial dan perorangan. Sedangkan jenis pekerjaan yang dilakukan
perempuan sebagai tenaga usaha perdagangan, dan status pekerjaannya
sebagai buruh/karyawan dan pekerja tidak dibayar. Kategori
pekerjaan seperti ini pada umumnya mempunyai produktivitas yang
rendah dan upah yang dibayarkan relatif kecil. Sementara itu,
pekerja laki-laki lebih banyak bekerja di sektor padat modal,
sebagai tenaga profesional, teknisi dan kepemimpinan dengan upah
yang diterima relatif besar. Disini, perbedaan yang mendasar
tersebut menyebabkan kesenjangan upah yang diterima pekerja
laki-laki dan perempuan (KPPPA, 2012a).Kesenjangan gender masih
dijumpai dalam pencapaian kapabilitas dasar antara laki-laki dan
perempuan baik di tingkat nasional maupun daerah. Kesenjangan
gender dalam pencapaian kapabilitas dasar di daerah dijumpai pada
semua provinsi. Berdasarkan besaran rasio IPG terhadap IPM, maka
terdapat lima provinsi masuk dalam kategori urutan tertinggi dan
terendah (Tabel 3). Lima provinsi yang masuk kategori urutan
tertinggi berturut-turut adalah Nusa Tenggara Timur (NTT), Daerah
Istimewa Yogyakarta, Papua, DKI Jakarta, dan Maluku. Sedangkan
provinsi dengan urutan terendah secara berurutan adalah Papua
Barat, Kepulauan Riau, Kep. Bangka Belitung, Gorontalo, dan
Kalimantan Timur.
Tabel 3. Provinsi dengan peringkat tertinggi dan terendah
berdasarkan rasio IPG terhadap IPM tahun
2012KategoriProvinsiIPMIPGRasioSelisih
TertinggiNTT68.2865.9996.652.3
D I Yogyakarta76.7574.1196.562.6
Papua 65.8663.0695.752.8
DKI Jakarta78.3374.6695.313.7
Maluku72.4268.5494.643.9
TerendahPapua Barat70.2260.0285.4710.2
Kep. Riau76.2065.6086.0910.6
Kep. Babel73.7861.3883.1912.4
Gorontalo71.3158.3281.7813.0
Kalimantan Timur76.7161.8680.6414.9
Sumber: diolah dari data Marhaeni (2013)
Gambaran lebih lengkap mengenai tingkat pencapaian pembangunan
gender sebagai dampak dari kegiatan pembangunan di provinsi dapat
dilihat dari angka IPG provinsi. Sebaran capaian IPG setiap
provinsi disajikan pada Gambar 10.
IPG Indonesia 68,5Gambar 10. Sebaran pencapaian IPG provinsi
tahun 2012 (Marhaeni, 2013)Untuk tahun 2012, sebaran IPG di tingkat
provinsi menunjukkan bahwa pencapaian IPG pada 10 provinsi melebihi
rata-rata IPG nasional. Sepuluh provinsi tersebut secara berurutan
dari tertinggi adalah DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta,
Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara,
Bali, Bengkulu, Sumatera Selatan dan Maluku. Jika dibandingkan
dengan pencapaian IPG tahun 2009, pencapaian IPG provinsi yang
melebihi rata-rata IPG nasional hanya 9 provinsi (Gambar 11), yaitu
DKI Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Tengah,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Utara, Bali, Bengkulu dan
Maluku. Kondisi ini menunjukkan bahwa provinsi Sumatera Selatan
telah melakukan upaya yang besar sehingga pencapaian IPG dapat
melebihi rata-rata IPG nasional.Di tingkat provinsi pencapaian IPG
relatif beragam. Pencapaian IPG tertinggi pada tahun 2012 diraih
oleh DKI Jakarta dengan nilai 74,66, sedangkan yang paling rendah
adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan perolehan nilai IPG
57,58. Disparitas antar provinsi berarti sebesar 17.08 unit. Jarak
pencapaian IPG tertinggi dan terendah ini menurun jika dibandingkan
dengan hal yang sama pada tahun 2009 sebesar 17,29 unit. Pada tahun
2009, pencapaian IPG tertinggi DKI Jakarta sebesar 73,00 dan IPG
terendah pada Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan IPG sebesar
55,72. Kondisi ini menunjukkan bahwa disparitas pembangunan gender
pada tingkat provinsi tahun 2012 sedikit menurun dibandingkan
dengan tahun 2009 walaupun penurunannya masih sangat kecil.
Gambar 11. Sebaran pencapaian IPG provinsi tahun 2009 dan
20123.3. Pencapaian Pemberdayaan Gender Selain Indeks Pembangunan
Gender (IPG) yang merupakan ukuran untuk mencerminkan terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender. Pencapaian IPG menunjukkan besaran
diskriminasi antara perempuan dan laki-laki dalam mendapatkan
akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan
serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Di
samping itu, terdapat juga Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) yang
digunakan untuk mengukur persamaan peranan antara perempuan dan
laki-laki dalam pengambilan keputusan di bidang politik maupun
manajerial. Kedua indeks ini diharapkan mampu memberikan gambaran
kemajuan kesetaraan dan keadilan gender yang dicapai melalui
berbagai program-program pembangunan.Pencapaian pembangunan manusia
secara kuantitatif dapat dilihat dari besaran IPM. Besaran angka
IPM semata tidak dapat menjelaskan seberapa besar perbedaan (gap)
pencapaian kualitas hidup perempuan dan laki-laki yang diukur
melalui gabungan indikator kesehatan, pendidikan dan daya beli.
Melalui IPG (Indeks Pembangunan Gender), perbedaan pencapaian yang
menggambarkan kesenjangan pencapaian antara laki-laki dan perempuan
dapat terjelaskan, yakni dengan mengurangkan nilai IPM dengan IPG.
Sedangkan IDG dapat menggambarkan perbedaan peranan antara
perempuan dan laki-laki dari pencapaian kapabilitas berdasarkan
status dan kedudukan perempuan dibandingkan dengan laki-laki secara
kuantitas. Namun, berdasarkan aspek kualitas sebenarnya masih
banyak hal yang perlu ditingkatkan (KPPPA, 2012a).IDG dibentuk
berdasarkan tiga komponen, yaitu keterwakilan perempuan dalam
parlemen, perempuan sebagai tenaga profesional, manajer,
administrasi, dan teknisi; dan sumbangan pendapatan. Dengan
demikian, arah dan perubahan IDG sangat dipengaruhi oleh ketiga
komponen pembentuk IDG tersebut. Besaran nilai indikator yang
terekam dari kegiatan pengumpulan data merupakan hasil akumulasi
dampak dari berbagai kebijakan baik bersifat langsung maupun tidak
langsung dari program-program pembangunan yang telah dilaksanakan.
Hasilnya menggambarkan kondisi nyata perempuan sehubungan dengan
peranannya dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang
kehidupan. Kesetaraan dan keadilan gender bisa dimaknai sebagai
suatu kondisi dimana porsi dan siklus sosial perempuan dan
laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis, tanpa ada salah
satu kelompok yang merasa dirugikan atau dimarginalkan. Kesetaraan
gender tidak hanya merujuk pada persoalan persamaan status dan
kedudukan antara laki-laki dan perempuan, tetapi bisa juga bermakna
pada persoalan persamaan peranan. Persamaan peranan dalam hal ini
seperti partisipasi dalam proses pengambilan keputusan di bidang
politik maupun penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan
sosial, khususnya kontribusi perempuan dalam pendapatan rumah
tangga. Unsur-unsur persamaan peranan tersebut merupakan komponen
yang tercakup dalam penghitungan indeks pemberdayaan gender (IDG).
Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, IDG merupakan ukuran
komposit yang dapat digunakan untuk mengkaji sejauh mana persamaan
peranan perempuan dalam proses pengambilan keputusan serta
kontribusi dalam aspek ekonomi maupun sosial (KPPPA,
2012a).Perkembangan IDG antara tahun 2005 sampai dengan 2012
menunjukkan kecenderungan yang meningkat (Gambar 12). Pada tahun
2009, pencapaian IDG masih sebesar 63,5 dan dalam kurun waktu 3
tahun telah meningkat 6,6 unit atau menjadi 70,1 pada tahun 2012.
Kondisi ini menunjukkan bahwa peran serta perempuan dalam
pengambilan keputusan dan kegiatan ekonomi semakin meningkat dengan
lebih cepat dibandingkan kurun waktu 2005-2008.
Gambar 12. Kecenderungan Indeks Pemberdayaan Gender tahun
2005-2012 (Marhaeni, 2013)Secara umum pencapaian komponen-komponen
IDG untuk tahun 2012 untuk perempuan masih lebih rendah dari pada
laki-laki, baik dalam partisipasi politik, pengambilan keputusan
maupun dalam perekonomian seperti disajikan pada Gambar 13.
Rendahnya pencapaian perempuan dalam partisipasi politik,
pengambilan keputusan maupun dalam perekonomian dapat disebabkan
kemungkinan oleh dua hal. Pertama, pembangunan yang selama ini
dilakukan memang lebih banyak menguntungkan laki-laki. Dan kedua,
pembangunan telah memberikan kesempatan yang sama kepada penduduk
laki-laki maupun perempuan, namun kesempatan ini belum dapat
digunakan secara optimal oleh kelompok perempuan oleh berbagai
sebab. Kedua sebab ini yang seyogyanya lebih diperbaiki di masa
mendatang dengan intervensi pada penyebab yang mendasarinya.
Gambar 13. Komponen IDG antara laki-laki dan perempuan tahun
2012
Upaya pemerintah dalam meningkatkan kapabilitas penduduknya
masih meninggalkan persoalan yaitu masih terjadinya ketimpangan
aksesibilitas antara laki-laki perempuan. Pada uraian sebelumnya
telah dipaparkan bahwa pencapaianperempuan dalam bidang pendidikan
dan ketenagakerjaan relatif masih tertinggal dari pencapaian
laki-laki. Ketimpangan ini ternyata terjadi pula dalam bidang
politik. Keterwakilan perempuan dalam parlemen masih relatif kecil
yaitu hanya sebesar 17,49 persen. Nilai ini masih dibawah kuota
yang diatur dalam UU No.12 Tahun 2003, yang menyebutkan bahwa kuota
perempuan untuk dapat berpartisipasi dalam politik sekitar 30
persen. Apabila kuota perempuan yang telah diatur dalam UU tersebut
mampu dicapai secara optimal, tentu akan membawa dampak yang
positif dalam pemberdayaan perempuan mengingat kebijakan-kebijakan
yang dibuat akan lebih memperhatikan isu-isu gender. Meskipun belum
mencapai kuota sesuai UU, tetapi jika dibandingkan dengan hasil
pemilu 2004 yang hanya mencapai 65 kursi dari 550 kursi yang ada di
DPR atau sekitar 11,82 persen, keterwakilan perempuan di parlemen
telah menunjukkan peningkatan yang cukup berarti (KPPPA,
2012a).Indikator lain yang juga digunakan dalam mengukur indeks
komposit IDG yaitu persentase perempuan sebagai tenaga manager,
profesional, kepemimpinan, dan teknisi. Indikator ini menunjukkan
peranan perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang
penyelenggaraan pemerintahan, kehidupan ekonomi dan sosial.
Keterlibatan perempuan di posisi ini memberikan gambaran kemajuan
terhadap peranan perempuan. Jumlah perempuan dalam jabatan
pekerjaan dapat dilihat pada Tabel 4. Untuk tenaga profesional dan
teknisi, persentase perempuan sudah lebih tinggi dibanding
laki-laki. Sedangkan untuk tenaga kepemimpinan dan administrasi,
persentase perempuan (16,3%) masih sangat kecil dibanding dengan
laki-laki (83,7%). Namun jika kedua kategori ini dijumlahkan
sebagaimana komponen IDG, yaitu persentase tenaga profesional,
kepemimpinan/managerial, administrasi dan teknisi maka persentase
perempuan (45,2%) tetap masih lebih rendah dibandingkan laki-laki
(54,8%). Pencapaian perempuan sebagai tenaga profesional dan
teknisi yang mencapai 52,7% menunjukkan bahwa keterlibatan
perempuan dalam pengambilan keputusan dan berpartisipasi dalam
perekonomian sudah dapat disejajarkan dengan laki-laki, bahkan
melebihi laki-laki. Oleh karena itu, upaya-upaya pemberdayaan
perempuan sebenarnya masih sangat diperlukan dan seyogyanya
diarahkan untuk meningkatkan kemampuan perempuan sehingga dapat
berpartisipasi dalam pekerjaan dengan posisi jabatan
kepemimpinan/managerial.
Tabel 4. Penduduk yang bekerja menurut jabatan dan jenis kelamin
tahun 2012
Sumber: Kemnakertrans (2013)
Kontribusi perempuan dalam perekonomian, khususnya sumbangan
terhadap pendapatan masih rendah, yaitu 34,7% dibanding dengan
kontribusi laki-laki yang mencapai 65,3%. Hal ini menunjukkan bahwa
partisipasi perempuan dalam perekonomian masih rendah. Jika dilihat
dari struktur penduduk dalam ketenagakerjaan (Tabel 5) terlihat
bahwa tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) yang mencapai 67,9%
masih didominasi oleh laki-laki (62,1%). Proporsi perempuan masih
banyak yang mengurus rumah tangga. Oleh sebab itu, dapat dipahami
jika kontribusi perempuan terhadap pendapatan menjadi rendah.
Tabel 5. Penduduk usia kerja menurut kegiatan dan jenis kelamin
tahun 2012
Sumber: Kemnakertrans (2013)
Pembangunan nasional seyogianya merupakan pembangunan merata di
seluruh wilayah Indonesia, tetapi salah satu masalah pembangunan di
Indonesia adalah kesenjangan pembangunan antar wilayah. Wilayah
bagian barat Indonesia cenderung mengalami pembangunan yang lebih
pesat dibandingkan wilayah bagian timur Indonesia. Akibatnya,
kualitas sumber daya di wilayah timur Indonesia jauh tertinggal
dibandingkan sumber daya manusia di wilayah bagian barat Indonesia.
Banyak faktor yang menyebabkan ketertinggalan pembangunan di
wilayah bagian timur Indonesia, salah satunya terkait dengan
kondisi alamnya dan kondisi Infrastruktur di bagian pedalaman yang
sangat buruk sehingga tercipta daerah-daerah kantong yang
terisolasi. Ketertinggalan pembangunan di wilayah bagian timur
Indonesia menyebabkan terjadinya kesenjangan capaian pembangunan di
berbagai bidang kehidupan antarwilayah. Kesenjangan pemberdayaan
gender antar wilayah masih menjadi fenomena yang perlu mendapat
perhatian khusus dari pemerintah daerah dan pemerintah pusat
(KPPPA, 2012).Indeks Pemberdayaan Gender secara nasional pada tahun
2009 sebesar 63,52 dan meningkat 6,45 unit menjadi 70,07 pada tahun
2012. Peningkatan nilai indeks ini mencerminkan adanya peningkatan
persamaan peranan perempuan dengan laki-laki secara nasional dalam
partisipasi politik, pengambilan keputusan maupun dalam
perekonomian. Namun, jika dilihat nilai IDG antar provinsi maka
masih menunjukkan keragaman yang cukup besar, yaitu antara
tertinggi di Provinsi Maluku dengan indeks 73,00 dengan terendah
Provinsi Aceh dengan nilai 55,72, sebagaimana disajikan pada Gambar
14. Perbedaan IDG tertinggi dan terendah mencapai 17,3 unit. Jika
dibandingkan dengan IDG nasional maka terdapat 6 provinsi yang
mencapai IDG melebihi IDG nasional. Provinsi-provinsi tersebut
meliputi Provinsi Maluku, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Sulawesi
Utara, Jawa Tengah dan Kalimantan Tengah.
IDG Indonesia 70,07Gambar 14. Sebaran pencapaian IDG tingkat
provinsi tahun 2012 (Marhaeni 2013)
3.4. Prioritas Daerah Pembangunan dan Pemberdayaan Gender Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) dan Indeks Pembangunan Gender (IPG)
merupakan dua jenis indikator yang sering digunakan dalam analisis
capaian pembangunan negara dan wilayah. IPM secara khusus mengukur
capaian pembangunan manusia yang terdiri dari tiga komponen, yaitu
pembangunan ekonomi yang diukur dengan pendapatan per kapita dan
didekati dengan pengeluaran per kapita, pembangunan kesehatan yang
diukur dengan angka harapan hidup dan pembangunan pendidikan yang
diukur dengan angka melek huruf. IPM yang lebih tinggi menunjukkan
capaian pembangunan yang lebih baik pula. Walaupun dengan
menggunakan IPM akan dapat dilakukan analisis terhadap capaian
pembangunan di suatu wilayah, akan tetapi indikator ini tidak mampu
mencerminkan disparitas gender yang justru sedang menjadi perhatian
global. Untuk memenuhi kebutuhan terakhir maka disusun Indeks
Pembangunan Gender (IPG), yang pada dasarnya hampir sama dengan IPM
tetapi dilakukan pemilahan jenis kelamin untuk masing-masing
komponennya. Jadi, dengan menggunakan IPG akan dapat diukur capaian
pembangunan manusia yang telah memasukkan aspek disparitas gender.
Penting untuk dicatat bahwa IPG sebenarnya merupakan IPM setelah
dikoreksi dengan tingkat disparitas gendernya. Artinya, nilai
maksimal dari IPG di suatu wilayah tidak akan pernah melampaui
nilai IPM-nya. Nilai IPG yang semakin jauh dari nilai IPM-nya
memperlihatkan bahwa disparitas gender yang terjadi di wilayah
pengamatan juga akan semakin tinggi pula. Dalam kondisi ideal maka
selisih antara IPM dan IPG akan mendekati nol (KPPPA, 2012a).Untuk
mendorong pembangunan gender di daerah agar lebih intensif,
pemerintah seyogyanya memberikan perhatian yang lebih besar pada
provinsi yang pencapaian IPG masih rendah atau dibawah rata-rata
nasional dan provinsi dengan kesenjangan IPM dan IPG yang masih
besar. Berdasarkan pada kriteria tinggi rendahnya pencapaian IPG
dan kesenjangan IPM IPG maka hasil pengolahan dengan teknik CPI
dapat ditunjukkan prioritas pembangunan gender di tingkat provinsi
seperti disajikan pada Tabel 6. Sedangkan penentuan prioritas untuk
tingkat kabupaten/kota dalam provinsi yang menjadi prioritas dapat
ditentukan dengan teknik dan kriteria yang sama dengan penentuan
prioritas tingkat provinsi. Sedangkan untuk mendorong pemberdayaan
gender di tingkat provinsi, seyogyanya pemerintah memberikan upaya
yang lebih besar kepada provinsi dengan kriteria pencapaian IDG dan
IPG serta IPM. Berdasarkan kriteria ini maka hasil pengolahan
dengan teknik CPI dapat ditunjukkan prioritas pemberdayaan gender
di tingkat provinsi seperti disajikan pada Tabel 7.
Tabel 6. Prioritas pembangunan gender tingkat provinsi Sumber:
Hasil pengolahan data sekunder
Tabel 7. Prioritas pemberdayaan gender dan pembangunan tingkat
provinsi
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder
BAB IVISU-ISU PRIORITASHak asasi manusia merupakan sekumpulan
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai
makhluk hidup yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi
oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan
serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Penghormatan,
perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, termasuk hak asasi
laki-laki dan hak asasi perempuan termaktub dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). UUD 1945
mengamanatkan 14 (empat belas) Rumpun Hak Dasar dan terjabarkan
dalam 40 (empat puluh) Hak Konstitusional bagi seluruh warga negara
Indonesia. UUD 1945 juga menjamin hak setiap warga negara Indonesia
untuk dapat menikmati dan berpartisipasi dalam pembangunan di
berbagai bidang. Namun, kenyataan masih menunjukkan bahwa dalam hal
perolehan akses, manfaat, dan partisipasi dalam pembangunan serta
kontrol terhadap sumber daya masih terdapat kesenjangan antara
penduduk perempuan dan laki-laki (KPPPA, 2012a). Di samping itu,
keberhasilan pencapaian pembangunan seyogyanya tidak diukur dari
pencapaian pembangunan ekonomi semata, melainkan dilihat juga dari
pembangunan sumber daya manusianya. Pembangunan kualitas hidup
manusia merupakan upaya terus menerus yang dilakukan pemerintah
dalam rangka mencapai kehidupan yang lebih baik. Upaya pembangunan
ini ditujukan untuk kepentingan seluruh penduduk tanpa membedakan
laki-laki atau perempuan. Namun, dalam pelaksanaannya masih
terdapat kelompok penduduk perempuan yang tertinggal dalam
pencapaian kualitas hidup. Ketertinggalan ini dapat terjadi akibat
belum terintegrasikannya secara penuh kesetaraan dan keadilan
gender dalam pembangunan. Di lain pihak, keberhasilan pembangunan
yang dilaksanakan oleh pemerintah, swasta maupun masyarakat sangat
tergantung dari peran serta seluruh penduduk laki-laki maupun
perempuan sebagai pelaku dan sekaligus pemanfaat dari hasil
pembangunan. Sebagai pelaku pembangunan, sebenarnya perempuan
dituntut untuk berkualitas. Perempuan yang berkualitas akan dapat
menjadi mitra kerja aktif laki-laki dalam mengatasi berbagai
masalah sosial, ekonomi maupun politik untuk menjamin pemerataan
dan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Perempuan yang
berkualitas juga akan sangat nyata mempengaruhi kualitas generasi
penerus karena fungsi reproduksi perempuan berperan penting dalam
pengembangan sumber daya manusia di masa datang. Namun, peran serta
perempuan sebagai pelaku dalam pelaksanaan pembangunan masih belum
dapat dioptimalkan. Faktor penyebab belum optimalnya peran serta
perempuan dalam pembangunan karena masih rendahnya kualitas sumber
daya perempuan sehingga belum mampu bermitra secara sinergis dan
sejajar dengan laki-laki dalam berbagai bidang pembangunan (KPPPA,
2012b). Untuk memperkecil kesenjangan antara laki-laki dan
perempuan, gender telah ditetapkan sebagai salah satu prinsip yang
harus diarusutamakan dalam pelaksanaan pembangunan. Landasan untuk
pelaksanaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan ini tertuang
dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan
Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025. Lebih lanjut dalam
Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014,
pengarusutamaan gender meliputi tiga kebijakan nasional, yaitu 1)
peningkatan kualitas hidup dan peran perempuan dalam pembangunan,
2) perlindungan perempuan terhadap berbagai tindak kekerasan, dan
3) pening-katan kapasitas kelembagaan pengarusutamaan gender dan
pemberdayaan perempuan. Kelembagaan menurut Ridgeway (2011)
merupakan salah satu kekuatan yang dapat mendorong terwujudnya
kesetaraan gender. Dinamika organisasi ekonomi dan sosial sebagai
bagian dari kelembagaan ekonomi dan sosial dapat merasionalisasikan
prosedur dan mekanisme kerjanya sehingga menghasilkan kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan dalam kerangka efisiensi dan
optimalisasi organisasi. Dinamika ekonomi dan sosial yang mengarah
kepada kesetaraan gender ini diperkuat juga oleh peningkatan
rasional individu untuk mematuhi hak-hak asasi manusia dan
ketentuan hukum yang melarang adanya praktek diskriminasi dalam
pendidikan, pekerjaan maupun aspek lain dalam kehidupan sosial.
Kekuatan lain yang dapat memperkecil kesenjangan antara laki-laki
dan perempuan adalah inovasi sosial dan teknologi. Inovasi sosial
dan teknologi akan membawa perubahan dalam menawarkan solusi
terhadap masalah ketidak-efisienan ekonomi dan kehidupan sosial
serta akan menciptakan peluang untuk mengerjakan sesuatu dengan
cara yang berbeda, khususnya pengorganisasian relasi sosial dengan
cara yang baru dan mengarah kepada kesetaraan gender. Di samping
itu, keinginan perempuan dan komitmen laki-laki dan perempuan untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan melalui pilihan-pilihan
kehidupan sehari-hari dalam bidang pekerjaan (ekonomi), relasi
sosial maupun politik merupakan kekuatan lain yang dapat mendorong
untuk mewujudkan kesetaraan gender. Upaya untuk mencapai kesetaraan
gender telah mengalami kemajuan di beberapa area kunci kebutuhan
dasar yaitu pada bidang kesehatan dan pendidikan, terbuka
kesempatan yang lebih besar bagi perempuan untuk berpartisipasi dan
pengambilan keputusan maupun ketersediaan perangkat hukum yang
diperlukan untuk pengarusutamaan gender dalam pembangunan. Indeks
paritas gender di bidang pendidikan telah tercapai. Kesehatan ibu
telah meningkat secara signifikan dan tidak ada kesenjangan gender
yang berarti pada kematian bayi dan anak di bawah umur lima tahun.
Tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan terus tumbuh dengan
tingkat penghasilan perempuan berpendidikan yang lebih baik
dibanding dengan laki-laki. Representasi politik perempuan juga
meningkat walaupun masih belum dapat memenuhi kuota yang telah
disediakan. Namun, tantangan kesetaraan dan keadilan gender,
pemberdayaan perempuan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan
masih cukup besar di masa mendatang. Beberapa tantangan yang masih
harus mendapatkan perhatian yang besar antara lain implementasi
komitmen global untuk kesetaraan gender, belum mantapnya
kelembagaan pengarusutamaan gender dalam pembangunan, kekerasan
terhadap perempuan dan anak, pengarusutamaan gender dalam
implementasi proses pendidikan, isu-isu gender dan anak dalam
kesehatan, ketenagakerjaan informal, trafficking perempuan dan
anak, politik dan pengambilan keputusan, serta gender dan bencana
alam perubahan iklim.4.1. Kesetaraan Gender Dalam Komitmen
GlobalPeran penting perempuan dalam pembangunan semakin mendapat
perhatian. dan kesadaran masyarakat dunia untuk melaksanakan
pembangunan yang berbasiskan gender juga semakin besar. Beragam
persoalan yang dialami perempuan sehingga menyebabkan adanya
ketidaksetaraan akses, partisipasi maupun memperoleh manfaat
pembangunan serta kontrol terhadap sumber daya menjadi perhatian
dan keprihatinan dunia. Keprihatinan negara-negara di dunia ini
diwujudkan dalam berbagai bentuk pertemuan yang menghasilkan
beragam deklarasi, konvensi maupun kesepakatan yang telah tercatat
dalam dokumen yang tidak mengikat (legally non-binding) maupun
dokumen yang mengikat (legally binding) bagi negara-negara yang
telah menyepakatinya. Kesepakatan ini dimulai dari dicetuskannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of
Human Rights) oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada
tahun 1948 dan selanjutnya diikuti oleh berbagai deklarasi dan
konvensi lainnya (KPPPA, 2012). Kondisi pada waktu itu setelah
Deklarasi Universal HAM menurut Sitorus (2006) menunjukkan bahwa
secara statistik terdapat perbedaan nyata secara ekonomi dan sosial
antara laki-laki dan perempuan. Perempuan merupakan golongan
mayoritas dari kelompok orang miskin di dunia dan jumlah perempuan
di pedesaan miskin telah meningkat 50% sejak tahun 1975. Perempuan
juga merupakan mayoritas penyandang buta huruf di dunia. Perempuan
di Asia dan Afrika setiap minggu bekerja 13 jam lebih banyak dari
pada laki-laki dan sebagian besar tidak mendapatkan bayaran. Di
seluruh dunia penghasilan perempuan berkisar antara 30 sampai 40
persen lebih rendah dari penghasilan laki-laki untuk suatu
pekerjaan yang sama. Bahkan hampir di seluruh dunia hanya 10 sampai
20 persen jabatan manajerial dan administrasi dilakukan oleh
perempuan dan kurang dari 20 persen untuk jabatan di pabrik.
Pekerjaan perempuan di rumah dan dalam lingkup keluarga tidak
dibayar dan apabila pekerjaan ini diperhitungkan sebagai
produktivitas nasional maka penghasilan global akan meningkat
antara 25 sampai 30%. Kondisi ini mendorong ditetapkannya oleh
Majelis PBB pada tahun 1979 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of
All Forms of Discrimination Against Women CEDAW). CEDAW merupakan
konvensi yang mengikat bagi negara yang telah meratifikasinya.
Indonesia telah meratifikasi CEDAW dan mengesahkan konvensi ini
melalui Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1984.
Pemerintah Indonesia menyetujui CEDAW sebagai perwujudan keinginan
untuk berpartisipasi dalam usaha-usaha internasional menghapus
segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena isinya sesuai
dengan dasar negara Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menetapkan bahwa segala negara bersamaan kedudukannya di dalam
hukum dan pemerintahan. Ketentuan dalam konvensi CEDAW tidak akan
mempengaruhi asas dan ketentuan dalam peraturan perundangan
nasional yang mengandung asas persamaan hak antara laki-laki dan
perempuan sebagai perwujudan tata hukum Indonesia yang sudah
dianggap baik atau lebih baik bagi dan sesuai, serasi serta selaras
dengan aspirasi bangsa Indonesia. Sedangkan dalam pelaksanaannya,
ketentuan dalam konvensi CEDAW disesuaikan dengan tata kehidupan
masyarakat yang meliputi nilai-nilai budaya, adat istiadat serta
norma-norma keagamaan yang masih berlaku dan diikuti secara luas
oleh masyarakat (UU Nomor 7 tahun 1984). CEDAW menurut UN Women
(2010), berupaya untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan
dalam segala bentuk dan perwujudannya dengan berlandaskan pada tiga
prinsip kunci, yaitu prinsip kesetaraan substantif,
non-diskriminasi dan kewajiban negara. Ketiga prinsip ini
membingkai kerangka konseptual yang menjadi komitmen dan tertuang
dalam konvensi yang terdiri dari preambul dan 30 pasal. Pasal-pasal
ini mengatur tentang kewajiban substantif negara, Komite CEDAW,
fungsi dan prosedurnya, serta administrasi, interpretasi dan
masalah lain. Kewajiban substantif menurut CEDAW meliputi :1.
Kewajiban umum negara untuk menghapus dan memastikan kesetaraan,
yang meliputi :a. Penjaminan kesetaraan dan non-diskriminasib.
Larangan diskrimisasic. Perlindungan hukum perempuand. Lembaga dan
mekanisme untuk implementasi dan monitoringe. Inkorporasi dan
aplikasi perjanjianf. Langkah-langkah khusus sementara2. Kekerasan
berbasis gendera. Kekerasan dalam rumah tanggab. Perkosaan dan
bentuk-bentuk penyerangan seksual lainnya3. Perdagangan dan
eksploitasi prostitusi4. Kehidupan politik dan publik5.
Kewarganegaraan6. Pendidikan7. Ketenagakerjaan8. Kesehatan9.
Kehidupan ekonomi dan sosial10. Perempuan pedesaan11. Kesetaraan
dihadapan hukum12. Perkawinan dan keluargaNegara yang telah
meratifikasi CEDAW memiliki komitmen untuk melaksanakan kewajiban
yang tertuang dalam konvensi dan menyampaikan laporan tentang
langkah-langkah legislatif, kehakiman, administratif atau lainnya
yang telah diadopsi untuk memberi pengaruh tingkat pemenuhan
kewajiban pada ketetapan konvensi CEDAW. Laporan ke-6 dan 7 dari
Indonesia mendapatkan apresiasi untuk kemajuan yang telah dicapai
dalam pencapaian kesetaraan perempuan. Beberapa hal mendasar yang
masih perlu mendapatkan perhatian meliputi :1. Kemungkinan
perempuan kurang menyadari akan hak-haknya berdasarkan konvensi
CEDAW atau Undang-Undang Nomor 28 tahun 1984 sehingga tidak
memiliki kapasitas untuk mengklaim hak-haknya.2. Kemungkinan kurang
sadarnya pengadilan, profesional di bidang hukum dan aparat penegak
hukum terhadap kewajiban dalam CEDAW maupun kegagalan untuk secara
penuh dan sistematis mengintegrasikan kewajiban-kewajiban dalam
CEDAW ke dalam perundang-undangan Indonesia.3. Pengertian dan
definisi diskriminasi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 39
tahun 1999 tentang hak asasi manusia, yaitu diskriminasi adalah
setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun
tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama,
suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekomomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik. yang berakibat
pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan
atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik,
ekonomi, hukum, sosial, budaya. dan aspek kehidupan lainnya masih
memberikan peluang untuk terjadinya diskriminasi terhadap
perempuan.4. Kekhawatiran kegagalan untuk secara konsisten
mengimplementasikan ketentuan dalam CEDAW pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota karena setelah penerapan kebijakan desentralisasi
banyak pemerintah daerah yang menerbitkan peraturan dan kebijakan
yang sangat diskriminatif terhadap perempuan.5. Praktek sunat
perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia.6. Upaya
penghapusan stereotip melalui review kurikulum dan introduksi
perspektif gender dalam pendidikan dan agama serta kampanye
kesadaran melalui media telah dilakukan, akan tetapi stereotip yang
berakar dari norma budaya, tradisi, sikap patriarki terkait peran,
tanggung jawab dan identitas laki-laki dan perempuan dalam keluarga
dan masyarakat dikhawatirkan akan masih persisten. Persistensi
stereotip ini dikhawatirkan akan berkontribusi dalam persistensi
kekerasan terhadap perempuan dan anak perempuan.7. Keterbatasan
informasi tentang prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan
ketiadaan mekanisme monitoring untuk penegakan hukum Undang-Undang
Nomor 23 tahun 2004 tentang kekerasan dalam rumah tangga serta
belum ada pengaturan perkosaan dalam perkawinan sebagai sebuah
pelanggaran.8. Keterbatasan data dan informasi perdagangan orang,
kesenjangan penegakan hukum Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap
pemberantasan kejahatan perdagangan orang, Rencana Aksi Nasional
Penghapusan Perdagangan Wanita dan Anak, rendahnya jumlah pelaku
perdagangan orang yang dihukum, dan persistensi ekploitasi seksual
prostitusi perempuan dan anak perempuan.9. Keprihatinan terhadap
status perempuan pedesaan dan pedalaman yang kondisinya miskin dan
terbatas dalam akses pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial serta
adanya diskriminasi dalam kepemilikan dan pewarisan lahan.Sedangkan
rekomendasi yang disarankan untuk dapat ditunaikan sebagai
kewajiban atau komitmen terhadap CEDAW meningkatkan kesetaraan
perempuan dengan laki-laki meliputi :1. Peningkatan kesadaran
perempuan terhadap hak-hak perempuan dan upaya penegakan hukumnya
serta penyebaran informasi kepada perempuan dan laki-laki tentang
CEDAW dengan berbagai cara termasuk melalui media,2. Penyediaan
pelatihan kepada hakim, termasuk hakim Pengadilan Agama, jaksa dan
pengacara agar budaya hukum dapat mendukung kesetaraan laki-laki
dan perempuan serta non-diskriminasi berbasis jenis kelamin dapat
terbangun.3. Pengintegrasian dan pengadopsian prinsip-prinsip,
konsep dan kewajiban CEDAW ke dalam ketentuan perundangan dan
peraturan nasional maupun daerah. 4. Advokasi pengambil kebijakan
bahwa pemberdayaan perempuan merupakan cara untuk meningkatkan
demokrasi, non-diskriminasi dan kesetaraan gender.5. Penguatan
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan
kelembagaan pemberdayaan perempuan pada tingkat provinsi dan
kabupaten/kota dengan penyediaan sumber daya manusia, kemampuan
teknis dan finansial agar dapat berfungsi secara efektif serta
memastikan aktifitasnya didukung secara penuh pada semua
tingkatan.6. Pengembangan strategi komprehensif dan tindakan
sistematis dengan pendekatan berorientasi pada hasil
(result-oriented approach) untuk memodifikasi atau menghapuskan
stereotip dan praktek-praktek yang membahayakan perempuan dan anak
perempuan. Upaya ini merupakan upaya yang terpadu dengan kerangka
waktu yang jelas dan berkolaborasi dengan masyarakat madani dan
melibatkan sistem sekolah, media, komunitas keagamaan dan tokoh
masyarakat untuk memberikan pendidikan dan peningkatan kesadaran
masyarakat.7. Pemberantasan akar masalah penyebab perdagangan orang
dengan peningkatan potensi ekonomi perempuan dan peningkatan
kesadaran masyarakat pedesaan dan daerah asal pekerja migran
perempuan terhadap bahaya perdagangan orang dan penyampaian
informasi modus operandi perdagangan orang.8. Pembangunan basis
data dan mekanisme yang tepat untuk identifikasi awal dan referensi
agar dapat dilakukan asistensi dan dukungan kepada korban
perdagangan orang, termasuk pekerja migran perempuan dan penyediaan
layanan bantuan, rehabilitasi, pemulihan dan reintegrasi.9.
Pelatihan pejabat kehakiman dan penegakan hukum, pekerja sosial,
penyedia layanan kesehatan menyangkut perkosaan dan serangan
seksual dengan cara-cara standar yang sensitif gender dalam
menangani korban dan kasus perkosaan dan serangan seksual.10.
Peningkatan perhatian kepada perempuan pedesaan dan pedalaman untuk
memastikan ketersediaan akses terhadap kesehatan, pendidikan, air
bersih, sanitasi lingkungan dan kegiatan ekonomi untuk menambah
penghasilan, serta penghapusan diskriminasi terhadap perempuan
dalam kepemilikan dan pewarisan lahan.11. Pengembangan strategi
yang efektif dengan prioritas dan waktu yang jelas untuk
penghapusan diskriminasi terhadap perempuan dalam aspek perkawinan
dan hubungan keluarga. Di samping itu, direkomendasikan juga untuk
mengkaji ulang Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
untuk memastikan pelarangan poligami, menetapkan umur minimal
perkawinan bagi laki-laki dan perempuan pada umur 18 tahun,
menghilangkan perbedaan peran laki-laki dan perempuan dalam rumah
tangga, menyediakan perlindungan kepada perempuan yang melakukan
pernikahan lain agama, menjamin hak pewarisan yang sama sebagai
anak pe