BAB I
PENDAHULUAN
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api,
air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan
suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai
fase lanjut.1
Kasus luka bakar yang memerlukan perawatan terjadi pada pasien
500.000 per tahun di Amerika Serikat. 46% adalah luka bakar akibat
api . Jumlah luka bakar serius menurun di Amerika Serikat karena
peningkatan pencegahan seperti detektor asap, regulasi suhu air dan
berhenti merokok. Namun masih ada sekitar 3500 kematian dari
kebakaran area permukiman setiap tahun. Sekitar 75% dari kematian
tersebut terjadi di tempat kecelakaan atau selama transportasi
awal.1,2 Angka mortalitas penderita luka bakar di Indonesia masih
cukup tinggi, yaitu 27,6% (2012) di RSCM dan 26,41% (2012) di RS
Dr. Soetomo. Data epidemiologi dari unit luka bakar RSCM pada tahun
2011-2012 melaporkan jumlah pasien luka bakar sebanyak 257 pasien.
Dengan rerata usia adalah 28 tahun ( range : 2,5 bulan 76 tahun),
dengan rasio laki- laki : perempuan adalah 2,7 : 1. Luka bakar api
adalah etiologi terbanyak (54,9 %), diikuti air panas (29,2%), luka
bakar listrik (12,8%), dan luka bakar kimia (3,1%). Rerata luas
luka bakar adalah 26% (range 1-98%). Dan rerata lama rawatan adalah
13,2 hari. Angka mortalitas sebanyak 36,6% pada pasien dengan
rerata luas luka bakar 44,5%, dengan luas luka bakar > 60 %
semuanya mengalami kematian.3,4
Luka bakar menyebabkan hilangnya integritas kulit juga
menimbukan efek sistemik yang sangat kompleks. Luka bakar biasanya
dinyatakan dengan derajat yang ditentukan oleh kedalaman luka
bakar. Berat lukanya bergantung pada dalam, luas, dan letak luka.
Selain beratnya luka, umur dan keadaan kesehatan penderita
sebelumnya merupakan faktor yang sangat mempengaruhi prognosis.1BAB
II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI DAN ETIOLOGI
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan
jaringan yang disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api,
air panas, bahan kimia, listrik, dan radiasi. Luka bakar merupakan
suatu jenis trauma dengan morbiditas dan mortalitas tinggi yang
memerlukan penatalaksanaan khusus sejak awal (fase syok) sampai
fase lanjut.1
Luka bakar dapat disebabkan oleh paparan api, baik secara
langsung maupun tidak langsung, misal akibat tersiram air panas
yang banyak terjadi pada kecelakaan rumah tangga. Selain itu,
pajanan suhu tinggi dari matahari, listrik maupun bahan kimia juga
dapat menyebabkan luka bakar. Secara garis besar, penyebab
terjadinya luka bakar dapat dibagi menjadi:1,2
Paparan api
Flame: Akibat kontak langsung antara jaringan dengan api
terbuka, dan menyebabkan cedera langsung ke jaringan tersebut. Api
dapat membakar pakaian terlebih dahulu baru mengenai tubuh. Serat
alami memiliki kecenderungan untuk terbakar, sedangkan serat
sintetik cenderung meleleh atau menyala dan menimbulkan cedera
tambahan berupa cedera kontak.
Benda panas (kontak): Terjadi akibat kontak langsung dengan
benda panas. Luka bakar yang dihasilkan terbatas pada area tubuh
yang mengalami kontak. Contohnya antara lain adalah luka bakar
akibat rokok dan alat-alat seperti solder besi atau peralatan
masak.
Scalds (air panas)
Terjadi akibat kontak dengan air panas. Semakin kental cairan
dan semakin lama waktu kontaknya, semakin besar kerusakan yang akan
ditimbulkan. Luka yang disengaja atau akibat kecelakaan dapat
dibedakan berdasarkan pola luka bakarnya. Pada kasus kecelakaan,
luka umumnya menunjukkan pola percikan, yang satu sama lain
dipisahkan oleh kulit sehat. Sedangkan pada kasus yang disengaja,
luka umumnya melibatkan keseluruhan ekstremitas dalam pola
sirkumferensial dengan garis yang menandai permukaan cairan.
Uap panas
Terutama ditemukan di daerah industri atau akibat kecelakaan
radiator mobil. Uap panas menimbulkan cedera luas akibat kapasitas
panas yang tinggi dari uap serta dispersi oleh uap bertekanan
tinggi. Apabila terjadi inhalasi, uap panas dapat menyebabkan
cedera hingga ke saluran napas distal di paru.
Gas panas
Inhalasi menyebabkan cedera thermal pada saluran nafas bagian
atas dan oklusi jalan nafas akibat edema.
Aliran listrik
Cedera timbul akibat aliran listrik yang lewat menembus jaringan
tubuh. Umumnya luka bakar mencapai kulit bagian dalam. Listrik yang
menyebabkan percikan api dan membakar pakaian dapat menyebabkan
luka bakar tambahan.
Zat kimia (asam atau basa)
Radiasi
Sunburn sinar matahari, terapi radiasi.
KLASIFIKASI LUKA BAKAR
Kedalaman luka bakar ditentukan oleh tinggi suhu, lamanya
pajanan suhu tinggi, adekuasi resusitasi, dan adanya infeksi pada
luka. Selain api yang langsung menjilat tubuh, baju yang ikut
terbakar juga memperdalam luka bakar. Bahan baju yang paling aman
adalah yang terbuat dari bulu domba (wol). Bahan sintetis seperti
nilon dan dakron, selain mudah terbakar juga mudah meleleh oleh
suhu tinggi, lalu menjadi lengket sehingga memperberat kedalaman
luka bakar.1,2,3
Kedalaman luka bakar dideskripsikan dalam derajat luka bakar,
yaitu luka bakar derajat I, II, atau III: Derajat I
Pajanan hanya merusak epidermis sehingga masih menyisakan banyak
jaringan untuk dapat melakukan regenerasi. Luka bakar derajat I
biasanya sembuh dalam 5-7 hari dan dapat sembuh secara sempurna.
Luka biasanya tampak sebagai eritema dan timbul dengan keluhan
nyeri dan atau hipersensitivitas lokal. Contoh luka bakar derajat I
adalah sunburn.1,2
Gambar 1. Luka Bakar derajat I Derajat II
Lesi melibatkan epidermis dan mencapai kedalaman dermis namun
masih terdapat epitel vital yang bisa menjadi dasar regenerasi dan
epitelisasi. Jaringan tersebut misalnya sel epitel basal, kelenjar
sebasea, kelenjar keringat, dan pangkal rambut. Dengan adanya
jaringan yang masih sehat tersebut, luka dapat sembuh dalam 2-3
minggu. Gambaran luka bakar berupa gelembung atau bula yang berisi
cairan eksudat dari pembuluh darah karena perubahan permeabilitas
dindingnya, disertai rasa nyeri. Apabila luka bakar derajat II yang
dalam tidak ditangani dengan baik, dapat timbul edema dan penurunan
aliran darah di jaringan, sehingga cedera berkembang menjadi
full-thickness burn atau luka bakar derajat III.1,2
Gambar 2. Luka Bakar derajat II
Derajat III
Mengenai seluruh lapisan kulit, dari subkutis hingga mungkin
organ atau jaringan yang lebih dalam. Pada keadaan ini tidak
tersisa jaringan epitel yang dapat menjadi dasar regenerasi sel
spontan, sehingga untuk menumbuhkan kembali jaringan kulit harus
dilakukan cangkok kulit. Gejala yang menyertai justru tanpa nyeri
maupun bula, karena pada dasarnya seluruh jaringan kulit yang
memiliki persarafan sudah tidak intak.1,2
Gambar 3. Luka Bakar derajat III
BERAT DAN LUAS LUKA BAKARBerat luka bakar bergantung pada dalam,
luas, dan letak luka. Usia dan kesehatan pasien sebelumnya akan
sangat mempengaruhi prognosis. Adanya trauma inhalasi juga akan
mempengaruhi berat luka bakar.1,2,4
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan
mortalitasnya meningkat, dan penanganannya juga akan semakin
kompleks. Luas luka bakar dinyatakan dalam persen terhadap luas
seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat untuk menentukan luas luka
bakar, yaitu:1,2,5
Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar
pasien. Luas telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan
tubuh. Luas luka bakar hanya dihitung pada pasien dengan derajat
luka II atau III.
Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa
Pada dewasa digunakan rumus 9, yaitu luas kepala dan leher,
dada, punggung, pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan,
ekstremitas atas kiri, paha kanan, paha kiri, tungkai dan kaki
kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing 9%. Sisanya 1%
adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Gambar 4. Luas Luka Bakar Dewasa
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif
permukaan kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan
kaki lebih kecil. Karena perbandingan luas permukaan bagian tubuh
anak kecil berbeda, dikenal rumus 10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20
untuk anak.
Gambar 5. Luas Luka Bakar pada Bayi dan Anak Metode Lund dan
Browder
Metode yang diperkenalkan untuk kompensasi besarnya porsi massa
tubuh di kepala pada anak. Metode ini digunakan untuk estimasi
besarnya luas permukaan pada anak. Apabila tidak tersedia tabel
tersebut, perkiraan luas permukaan tubuh pada anak dapat
menggunakan Rumus 9 dan disesuaikan dengan usia:
Pada anak di bawah usia 1 tahun: kepala 18% dan tiap tungkai
14%. Torso dan lengan persentasenya sama dengan dewasa.
Untuk tiap pertambahan usia 1 tahun, tambahkan 0.5% untuk tiap
tungkai dan turunkan persentasi kepala sebesar 1% hingga tercapai
nilai dewasa.
Gambar 6. Lund and Browder chart illustrating the method for
calculating the percentage of body surface area affected by burns
in children.PEMBAGIAN LUKA BAKAR
1.Luka bakar berat (major burn)
a.Derajat II-III > 20 % pada pasien berusia di bawah 10 tahun
atau di atas usia 50 tahun
b.Derajat II-III > 25 % pada kelompok usia selain disebutkan
pada butir pertama
c.Luka bakar pada muka, telinga, tangan, kaki, dan perineum
d.Adanya cedera pada jalan nafas (cedera inhalasi) tanpa
memperhitungkan luas luka bakar
e.Luka bakar listrik tegangan tinggi
f. Disertai trauma lainnya
g.Pasien-pasien dengan resiko tinggi
2.Luka bakar sedang (moderate burn)
a.Luka bakar dengan luas 15 25 % pada dewasa, dengan luka bakar
derajat III kurang dari 10 %
b.Luka bakar dengan luas 10 20 % pada anak usia < 10 tahun
atau dewasa > 40 tahun, dengan luka bakar derajat III kurang
dari 10 %
c.Luka bakar dengan derajat III < 10 % pada anak maupun
dewasa yang tidak mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum
3.Luka bakar ringan
a.Luka bakar dengan luas < 15 % pada dewasa
b.Luka bakar dengan luas < 10 % pada anak dan usia lanjut
c.Luka bakar dengan luas < 2 % pada segala usia (tidak
mengenai muka, tangan, kaki, dan perineum.1,2
PATOFISIOLOGI LUKA BAKAR
Keadaan yang pertama timbul pada luka bakar adalah syok.
Pembuluh kapiler yang terpajan suhu tinggi rusak dan permeabilitas
meninggi. Sel darah yang ada di dalamnya ikut rusak sehingga dapat
terjadi anemia. Meningkatnya permeabilitas menyebabkan edema dan
menimbulkan bula yang mengandung banyak elektrolit. Hal itu
menyebabkan berkurangnya volume cairan intravaskuler. Kerusakan
kulit akibat luka bakar menyebabkan kehilangan cairan akibat
penguapan yang berlebihan, masuknya cairan ke bula yang terbentuk
pada luka bakar derajat II, dan pengeluaran cairan dari keropeng
luka bakar derajat III.1,2
Bila luas luka bakar kurang dari 20%, biasanya mekanisme
kompensasi tubuh masih bisa mengatasinya, tetapi bila lebih dari
20%, akan terjadi syok hipovolemik dengan gejala yang khas, seperti
gelisah, pucat, dingin, berkeringat, nadi kecil dan cepat, tekanan
darah menurun dan produksi urin yang berkurang. Pembengkakan
terjadi pelan-pelan, maksimal terjadi setelah delapan jam. Pada
kebakaran ruang tertutup atau bila luka terjadi di wajah, dapat
terjadi kerusakan mukosa jalan napas karena gas, asap atau uap
panas yang terisap. Edema laring yang ditimbulkannya dapat
menyebabkan hambatan jalan napas dengan gejala sesak napas,
takipnea, stridor, suara serak dan dahak berwarna gelap akibat
jelaga.1,2,3
Dapat juga terjadi keracunan gas CO atau gas beracun lainnya. CO
akan mengikat hemoglobin dengan kuat sehingga hemoglobin tak mampu
lagi mengikat oksigen. Tanda keracunan ringan adalah lemas,
bingung, pusing, mual dan muntah. Pada keracunan yang berat terjadi
koma. Bila lebih dari 60% hemoglobin terikat CO, penderita dapat
meninggal.1,2
Setelah 12-24 jam, permeabilitas kapiler mulai membaik dan
terjadi mobilisasi serta penyerapan kembali cairan edema ke
pembuluh darah. Ini ditandai dengan meningkatnya diuresis.1,2
Luka bakar sering tidak steril. Kontaminasi pada kulit mati,
yang merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan kuman, akan
mempermudah infeksi. Infeksi ini sulit diatasi karena daerahnya
tidak tercapai oleh pembuluh kapiler yang mengalami trombosis.
Padahal, pembuluh ini membawa sistem pertahanan tubuh atau
antibiotik. Kuman penyebab infeksi pada luka bakar, selain berasal
dari dari kulit penderita sendiri, juga dari kontaminasi kuman
saluran napas atas dan kontaminasi kuman di lingkungan rumah sakit.
Infeksi nosokomial ini biasanya sangat berbahaya karena kumannya
banyak yang sudah resisten terhadap berbagai antibiotik.1,2
Pada awalnya, infeksi biasanya disebabkan oleh kokus Gram
positif yang berasal dari kulit sendiri atau dari saluran napas,
tetapi kemudian dapat terjadi invasi kuman Gram negatif,
Pseudomonas aeruginosa yang dapat menghasilkan eksotoksin protease
dari toksin lain yang berbahaya, terkenal sangat agresif dalam
invasinya pada luka bakar. Infeksi pseudomonas dapat dilihat dari
warna hijau pada kasa penutup luka bakar. Kuman memproduksi enzim
penghancur keropeng yang bersama dengan eksudasi oleh jaringan
granulasi membentuk nanah.1,2
Infeksi ringan dan noninvasif ditandai dengan keropeng yang
mudah terlepas dengan nanah yang banyak. Infeksi yang invasif
ditandai dengan keropeng yang kering dengan perubahan jaringan di
tepi keropeng yang mula-mula sehat menadi nekrotik; akibatnya, luka
bakar yang mula-mula derajat II menjadi derajat III. Infeksi kuman
menimbulkan vaskulitis pada pembuluh kapiler di jaringan yang
terbakar dan menimbulkan trombosis sehingga jaringan yang
didarahinya nanti.1,2,4
Bila luka bakar dibiopsi dan eksudatnya dibiak, biasanya
ditemukan kuman dan terlihat invasi kuman tersebut ke jaringan
sekelilingnya. Luka bakar demikian disebut luka bakar septik. Bila
penyebabnya kuman Gram positif, seperti stafilokokus atau basil
Gram negatif lainnya, dapat terjadi penyebaran kuman lewat darah
(bakteremia) yang dapat menimbulkan fokus infeksi di usus. Syok
sepsis dan kematian dapat terjadi karena toksin kuman yang menyebar
di darah.1,2,4
Bila penderita dapat mengatasi infeksi, luka bakar derajat II
dapat sembuh dengan meninggalkan cacat berupa parut. Penyembuhan
ini dimulai dari sisa elemen epitel yang masih vital, misalnya sel
kelenjar sebasea, sel basal, sel kelenjar keringat, atau sel
pangkal rambut. Luka bakar derajat II yang dalam mungkin
meninggalkan parut hipertrofik yang nyeri, gatal, kaku dan secara
estetik jelek. Luka bakar derajat III yang dibiarkan sembuh sendiri
akan mengalami kontraktur. Bila terjadi di persendian, fungsi sendi
dapat berkurang atau hilang.1,2,4
Pada luka bakar berat dapat ditemukan ileus paralitik. Pada fase
akut, peristalsis usus menurun atau berhenti karena syok, sedangkan
pada fase mobilisasi, peristalsis dapat menurun karena kekurangan
ion kalium.1,2,4
Stres atau badan faali yang terjadi pada penderita luka bakar
berat dapat menyebabkan terjadinya tukak di mukosa lambung atau
duodenum dengan gejala yang sama dengan gejala tukak peptik.
Kelainan ini dikenal sebagai tukak Curling.1,2
Fase permulaan luka bakar merupakan fase katabolisme sehingga
keseimbangan protein menjadi negatif. Protein tubuh banyak hilang
karena eksudasi, metabolisme tinggi dan infeksi. Penguapan
berlebihan dari kulit yang rusak juga memerlukan kalori tambahan.
Tenaga yang diperlukan tubuh pada fase ini terutama didapat dari
pembakaran protein dari otot skelet. Oleh karena itu, penderita
menjadi sangat kurus, otot mengecil, dan berat badan menurun.
Dengan demikian, korban luka bakar menderita penyakit berat yang
disebut penyakit luka bakar. Bila luka bakar menyebabkan cacat,
terutama bila luka mengenai wajah sehingga rusak berat, penderita
mungkin mengalami beban kejiwaan berat. Jadi prognosis luka bakar
ditentukan oleh luasnya luka bakar.1,2,4FASE PADA LUKA BAKAR
Dalam perjalanan penyakit, dapat dibedakan menjadi tiga fase
pada luka bakar, yaitu:1,2,4
1. Fase awal, fase akut, fase syok
Pada fase ini, masalah utama berkisar pada gangguan yang terjadi
pada saluran nafas yaitu gangguan mekanisme bernafas, hal ini
dikarenakan adanya eskar melingkar di dada atau trauma multipel di
rongga toraks; dan gangguan sirkulasi seperti keseimbangan cairan
elektrolit, syok hipovolemia. 2. Fase setelah syok berakhir, fase
sub akut
Masalah utama pada fase ini adalah Systemic Inflammatory
Response Syndrome (SIRS) dan Multi-system Organ Dysfunction
Syndrome (MODS) dan sepsis. Hal ini merupakan dampak dan atau
perkembangan masalah yang timbul pada fase pertama dan masalah yang
bermula dari kerusakan jaringan (luka dan sepsis luka)
3.Fase lanjut
Fase ini berlangsung setelah penutupan luka sampai terjadinya
maturasi jaringan. Masalah yang dihadapi adalah penyulit dari luka
bakar seperti parut hipertrofik, kontraktur dan deformitas lain
yang terjadi akibat kerapuhan jaringan atau struktur tertentu
akibat proses inflamasi yang hebat dan berlangsung lama
Pembagian zona kerusakan jaringan:1,2,4
1. Zona koagulasi, zona nekrosis
Merupakan daerah yang langsung mengalami kerusakan (koagulasi
protein) akibat pengaruh cedera termis, hampir dapat dipastikan
jaringan ini mengalami nekrosis beberapa saat setelah kontak. Oleh
karena itulah disebut juga sebagai zona nekrosis.
2. Zona statis
Merupakan daerah yang langsung berada di luar/di sekitar zona
koagulasi. Di daerah ini terjadi kerusakan endotel pembuluh darah
disertai kerusakan trombosit dan leukosit, sehingga terjadi
gangguam perfusi (no flow phenomena), diikuti perubahan
permeabilitas kapilar dan respon inflamasi lokal. Proses ini
berlangsung selama 12-24 jam pasca cedera dan mungkin berakhir
dengan nekrosis jaringan.3. Zona hiperemi
Merupakan daerah di luar zona statis, ikut mengalami reaksi
berupa vasodilatasi tanpa banyak melibatkan reaksi selular.
Tergantung keadaan umum dan terapi yang diberikan, zona ketiga
dapat mengalami penyembuhan spontan, atau berubah menjadi zona
kedua bahkan zona pertama.
INDIKASI RAWAT INAP PASIEN LUKA BAKAR
Menurut American Burn Association, seorang pasien diindikasikan
untuk dirawat inap bila:1,6,7
Luka bakar derajat III > 5%
Luka bakar derajat II > 10%
Luka bakar derajat II atau III yang melibatkan area kritis
(wajah, tangan, kaki, genitalia, perineum, kulit di atas sendi
utama) ( risiko signifikan untuk masalah kosmetik dan kecacatan
fungsi
Luka bakar sirkumferensial di thoraks atau ekstremitas
Luka bakar signifikan akibat bahan kimia, listrik, petir, adanya
trauma mayor lainnya, atau adanya kondisi medik signifikan yang
telah ada sebelumnya
Adanya trauma inhalasiPEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan:1,4
1. Pemeriksaan darah rutin dan kimia darah
2. Urinalisis
3. Pemeriksaan keseimbangan elektrolit
4. Analisis gas darah
5. Radiologi jika ada indikasi ARDS
6. Pemeriksaan lain yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis
SIRS dan
MODS
PENATALAKSANAAN LUKA BAKAR
Pasien luka bakar harus dievaluasi secara sistematik. Prioritas
utama adalah mempertahankan jalan nafas tetap paten, ventilasi yang
efektif dan mendukung sirkulasi sistemik. Intubasi endotrakea
dilakukan pada pasien yang menderita luka bakar berat atau
kecurigaan adanya jejas inhalasi atau luka bakar di jalan nafas
atas. Intubasi dapat tidak dilakukan bila telah terjadi edema luka
bakar atau pemberian cairan resusitasi yang terlampau banyak. Pada
pasien luka bakar, intubasi orotrakea dan nasotrakea lebih dipilih
daripada trakeostomi.2,3,4Pasien dengan luka bakar saja biasanya
hipertensi. Adanya hipotensi awal yang tidak dapat dijelaskan atau
adanya tanda-tanda hipovolemia sistemik pada pasien luka bakar
menimbulkan kecurigaan adanya jejas tersembunyi. Oleh karena itu,
setelah mempertahankan ABC, prioritas berikutnya adalah
mendiagnosis dan menatalaksana jejas lain (trauma tumpul atau
tajam) yang mengancam nyawa. Riwayat terjadinya luka bermanfaat
untuk mencari trauma terkait dan kemungkinan adanya jejas inhalasi.
Informasi riwayat penyakit dahulu, penggunaan obat, dan alergi juga
penting dalam evaluasi awal.2,3Pakaian pasien dibuka semua, semua
permukaan tubuh dinilai. Pemeriksaan radiologik pada tulang
belakang servikal, pelvis, dan torak dapat membantu mengevaluasi
adanya kemungkinan trauma tumpul.2,6Setelah mengeksklusi jejas
signifikan lainnya, luka bakar dievaluasi. Terlepas dari luasnya
area jejas, dua hal yang harus dilakukan sebelum dilakukan transfer
pasien adalah mempertahankan ventilasi adekuat, dan jika
diindikasikan, melepas dari eskar yang
mengkonstriksi.2,3Tatalaksana resusitasi luka bakar
a.Tatalaksana resusitasi jalan nafas:1,2,3
Intubasi
Tindakan intubasi dikerjakan sebelum edema mukosa menimbulkan
manifestasi obstruksi. Tujuan intubasi mempertahankan jalan nafas
dan sebagai fasilitas pemelliharaan jalan nafas.
Krikotiroidotomi
Bertujuan sama dengan intubasi hanya saja dianggap terlalu
agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibanding intubasi.
Krikotiroidotomi memperkecil dead space, memperbesar tidal volume,
lebih mudah mengerjakan bilasan bronkoalveolar dan pasien dapat
berbicara jika dibanding dengan intubasi.
Pemberian oksigen 100%
Bertujuan untuk menyediakan kebutuhan oksigen jika terdapat
patologi jalan nafas yang menghalangi suplai oksigen. Hati-hati
dalam pemberian oksigen dosis besar karena dapat menimbulkan stress
oksidatif, sehingga akan terbentuk radikal bebas yang bersifat
vasodilator dan modulator sepsis.
Perawatan jalan nafas
Penghisapan sekret (secara berkala)
Pemberian terapi inhalasi
Bertujuan mengupayakan suasana udara yang lebih baik didalam
lumen jalan nafas dan mencairkan sekret kental sehingga mudah
dikeluarkan. Terapi inhalasi umumnya menggunakan cairan dasar
natrium klorida 0,9% ditambah dengan bronkodilator bila perlu.
Selain itu bias ditambahkan zat-zat dengan khasiat tertentu seperti
atropin sulfat (menurunkan produksi sekret), natrium bikarbonat
(mengatasi asidosis seluler) dan steroid (masih kontroversial)
Bilasan bronkoalveolar
Perawatan rehabilitatif untuk respirasi
Eskarotomi pada dinding torak yang bertujuan untuk memperbaiki
kompliansi parub.Tatalaksana resusitasi cairan
Resusitasi cairan diberikan dengan tujuan preservasi perfusi
yang adekuat dan seimbang di seluruh pembuluh darah vaskular
regional, sehingga iskemia jaringan tidak terjadi pada setiap organ
sistemik. Selain itu cairan diberikan agar dapat meminimalisasi dan
eliminasi cairan bebas yang tidak diperlukan, optimalisasi status
volume dan komposisi intravaskular untuk menjamin survival/maksimal
dari seluruh sel, serta meminimalisasi respons inflamasi dan
hipermetabolik dengan menggunakan kelebihan dan keuntungan dari
berbagai macam cairan seperti kristaloid, hipertonik, koloid, dan
sebagainya pada waktu yang tepat. Dengan adanya resusitasi cairan
yang tepat, kita dapat mengupayakan stabilisasi pasien secepat
mungkin kembali ke kondisi fisiologik dalam persiapan menghadapi
intervensi bedah seawal mungkin.1,2
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.
Ada beberapa cara untuk menghitung kebutuhan cairan ini:1,2
Cara Evans
1. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL NaCl per 24 jam
2. Luas luka bakar (%) x BB (kg) menjadi mL plasma per 24
jam
3. 2.000 cc glukosa 5% per 24 jam
Separuh dari jumlah 1+2+3 diberikan dalam 8 jam pertama. Sisanya
diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan
setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga diberikan
setengah jumlah cairan hari kedua.
Cara Baxter
Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4 mL
Separuh dari jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama.
Sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari kedua
diberikan setengah jumlah cairan hari pertama. Pada hari ketiga
diberikan setengah jumlah cairan hari kedua.
c. Resusitasi nutrisi
Pada pasien luka bakar, pemberian nutrisi secara enteral
sebaiknya dilakukan sejak dini dan pasien tidak perlu dipuasakan.
Bila pasien tidak sadar, maka pemberian nutrisi dapat melalui
naso-gastric tube (NGT). Nutrisi yang diberikan sebaiknya
mengandung 10-15% protein, 50-60% karbohidrat dan 25-30% lemak.
Pemberian nutrisi sejak awal ini dapat meningkatkan fungsi
kekebalan tubuh dan mencegah terjadinya atrofi vili usus. Dengan
demikian diharapkan pemberian nutrisi sejak awal dapat membantu
mencegah terjadinya SIRS dan MODS.1,2Perawatan luka bakarAntibiotik
sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah infeksi. Yang
banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang efektif terhadap
pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik diberikan berdasarkan
hasil biakan dan uji kepekaan kuman.1,4,5
Untuk mengatasi nyeri, paling baik diberikan opiat melalui
intravena dalam dosis serendah mungkin yang bisa menghasilkan
analgesia yang adekuat namun tanpa disertai hipotensi.Selanjutnya,
diberikan pencegahan tetanus berupa ATS dan/atau toksoid.1 Luka
bakar derajat satu dan dua yang menyisakan elemen epitel berupa
kelenjar sebasea, kelenjar keringat, atau pangkal rambut, dapat
diharapkan sembuh sendiri, asal dijaga supaya elemen epitel
tersebut tidak hancur atau rusak karena infeksi. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pencegahan infeksi. Pada luka lebih dalam, perlu
diusahakan secepat mungkin membuang jaringan kulit yang mati dan
memberi obat topikal yang daya tembusnya tinggi sampai mencapai
dasar jaringan mati. Perawatan setempat dapat dilakukan secara
terbuka atau tertutup.1,4,5
Ada beberapa jenis obat yang dianjurkan seperti golongan silver
sulfadiazine dan yang terbaru MEBO (moist exposure burn ointment).
Obat topikal yang dipakai dapat berbentuk larutan, salep atau krim.
Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk sediaan kasa (tulle).
Antiseptik yang dipakai adalah yodium povidon atau nitras-argenti
0,5%. Kompres nitras-argenti yang selalu dibasahi tiap 2 jam
efektif sebagai bakteriostatik untuk semua kuman. Obat ini
mengendap sebagai garam sulfida atau klorida yang memberi warna
hitam sehingga mengotori semua kain. Krim silver sulfadiazine 1%
sangat berguna karena bersifat bakteriostatik, mempunyai daya
tembus yang cukup, efektif terhadap semua kuman, tidak menimbulkan
resistensi, dan aman. Krim ini dioleskan tanpa pembalut, dan dapat
dibersihkan dan diganti setiap hari.1,6,8 Keuntungan perawatan
terbuka adalah mudah dan murah. Permukaan luka yang selalu terbuka
menjadi dingin dan kering sehingga kuman sulit berkembang.
Kerugiannya, bila digunakan obat tertentu, misalnya nitras-argenti,
alas tidur menjadi kotor. Penderita dan keluarga pun merasa kurang
enak karena melihat luka yang tampak kotor. Sedapat mungkin luka
yang tampak kotor dibiarkan terbuka setelah diolesi obat.1,8
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi
tutupnya sedemikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk
berlangsungnya penguapan. Keuntungan perawatan tertutup adalah luka
tampak rapi, terlindung, dan enak bagi penderita. Hanya, diperlukan
tenaga dan dan lebih banyak pembalut dan antiseptik. Kadang suasana
luka yang lembap dan hangat memungkinkan kuman untuk berkembang
biak. Oleh karena itu, bila pembalut melekat pada luka, tetapi
tidak berbau, sebaiknya jangan dilepaskan, tetapi ditunggu sampai
terlepas sendiri.1,6,8
Terapi pembedahan pada luka bakar1. Eksisi diniEksisi dini
adalah tindakan pembuangan jaringan nekrosis dan debris
(debridement) yang dilakukan dalam waktu kurang dari 7 hari
(biasanya hari ke 5-7) pasca cedera termis. Dasar dari tindakan ini
adalah:1,3,4,8
a. Mengupayakan proses penyembuhan berlangsung lebih cepat.
Dengan dibuangnya jaringan nekrosis, debris dan eskar, proses
inflamasi tidak akan berlangsung lebih lama dan segera dilanjutkan
proses fibroplasia. Pada daerah sekitar luka bakar umumnya terjadi
edema, hal ini akan menghambat aliran darah dari arteri yang dapat
mengakibatkan terjadinya iskemi pada jaringan tersebut ataupun
menghambat proses penyembuhan dari luka tersebut. Dengan semakin
lama waktu terlepasnya eskar, semakin lama juga waktu yang
diperlukan untuk penyembuhan.
b. Memutus rantai proses inflamasi yang dapat berlanjut menjadi
komplikasi komplikasi luka bakar (seperti SIRS). Hal ini didasarkan
atas jaringan nekrosis yang melepaskan burn toxic (lipid protein
complex) yang menginduksi dilepasnya mediator-mediator
inflamasi.
c. Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin banyaknya
proses angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di sekitar luka.
Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat dilakukan
tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan meningkatkan
resiko kolonisasi mikro organisme patogen yang akan menghambat
pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat tindakan
eksisi semakin sulit.
2. Skin grafting
Skin grafting adalah metode penutupan luka sederhana. Tujuan
dari metode ini adalah:6
a. Menghentikan evaporate heat lossb. Mengupayakan agar proses
penyembuhan terjadi sesuai dengan waktu
c. Melindungi jaringan yang terbuka
PROGNOSIS
Prognosis dan penanganan luka bakar terutama tergantung pada
dalam dan luasnya permukaan luka bakar, dan penanganan sejak awal
hingga penyembuhan. Selain itu faktor letak daerah yang terbakar,
usia dan keadaan kesehatan penderita juga turut menentukan
kecepatan penyembuhan.5,10
Penyulit juga mempengaruhi progonosis pasien. Penyulit yang
timbul pada luka bakar antara lain gagal ginjal akut, edema paru,
SIRS, infeksi dan sepsis, serta parut hipertrofik dan
kontraktur.8KOMPLIKASI
Sistemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS), Multi-system
Organ Dysfunction Syndrome (MODS),dan Sepsis
SIRS adalah suatu bentuk respon klinik yang bersifat sistemik
terhadap berbagai stimulus klinik berat akibat infeksi ataupun
noninfeksi seperti trauma, luka bakar, reaksi autoimun, sirosis,
pankreatitis, dll.8,10Respon ini merupakan dampak dari pelepasan
mediator-mediator inflamasi (proinflamasi) yang mulanya bersifat
fisiologik dalam proses penyembuhan luka, namun oleh karena
pengaruh beberapa faktor predisposisi dan faktor pencetus, respon
ini berubah secara berlebihan (mengalami eksagregasi) dan
menyebabkan kerusakan pada organ-organ sistemik, menyebabkan
disfungsi dan berakhir dengan kegagalan organ terkena menjalankan
fungsinya; MODS (Multi-system Organ Disfunction Syndrome) bahkan
sampai kegagalan berbagai organ (Multi-system Organ
Failure/MOF).8,10SIRS dan MODS merupakan penyebab utama tingginya
angka mortalitas pada pasien luka bakar maupun trauma berat
lainnya. Dalam penelitian dilaporkan SIRS dan MODS keduanya menjadi
penyebab 81% kematian pasca trauma; dan dapat dibuktikan pula bahwa
SIRS sendiri mengantarkan pasien pada MODS.8,10Ada 5 hal yang bisa
menjadi aktivator timbulnya SIRS, yaitu infection, injury,
inflamation, inadequate blood flow, dan ischemia-reperfusion
injury. Kriteria klinik yang digunakan, mengikuti hasil konsensus
American College of Chest phycisians dan the Society of Critical
Care Medicine tahun 1991, yaitu bila dijumpai 2 atau lebih
menifestasi berikut selama beberapa hari, yaitu:8,10
Hipertermia (suhu > 38C) atau hipotermia (suhu < 36C)
Takikardi (frekuensi nadi > 90x/menit)
Takipneu (frekuensi nafas > 20x/menit) atau tekanan parsial
CO2 rendah (PaCO2< 32 mmHg)
Leukositosis (jumlah lekosit > 12.000 sel/mm3), leukopeni
(< 4000 sel/mm3) atau dijumpai > 10% netrofil dalam bentuk
imatur (band).
Bila diperoleh bukti bahwa infeksi sebagai penyebab (dari hasil
kultur darah/bakteremia), maka SIRS disebut sebagai sepsis. SIRS
akan selalu berkaitan dengan MODS karena MODS merupakan akhir dari
SIRS.5,7Pada dasarnya MODS adalah kumpulan gejala dengan adanya
gangguan fungsi organ pada pasien akut sedemikian rupa, sehingga
homeostasis tidak dapat dipertahankan tanpa intervensi. Bila
ditelusuri lebih lanjut, SIRS sebagai suatu proses yang
berkesinambungan sehingga dapat dimengerti bahwa MODS menggambarkan
kondisi lebih berat dan merupakan bagian akhir dari spektrum
keadaan yang berawal dari SIRS.8,10Tatalaksana
Penatalaksanaan luka bakar bersifat lebih agresif dan bertujuan
mencegah perkembangan SIRS, MODS, dan sepsis.8
Pemberian Nutrisi Enteral Dini (NED) melalui pipa nasogastrik
dalam 8 jam pertama pasca cedera. Selain bertujuan mencegah
terjadinya atrofi mukosa usus, pemberian NED ini bertitik tolak
mencegah dan mengatasi kondisi hipometabolik pada fase akut / syok
dan mengendalikan status hiperkatabolisme yang terjadi pada fase
flow. Pemberian antasida dan antibiotika tidak dibenarkan karena
akan merubah pola / habitat kuman yang mengganggu keseimbangan
flora usus.8
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang
disebabkan cedera termis harus segera dilakukan nekrotomi dan
debridement, dan dilakukan sedini mungkin (eksisi dini, hari
ketiga-keempat pasca cedera luka bakar sedang, hari
ketujuh-kedelapan pada luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan
dilakukan penutupan segera (immediate skin grafting) untuk
mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup
(mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan
metabolisme), barrier terhadap kuman dan proses inflamasi
berkepanjangan yang mempengaruhi proses penyembuhan, tidak menunggu
jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.8
Pemberian obat-obatan yang bersifat anti inflamasi seperti
antihistamin dianggap tidak bermanfaat. Pemberian steroid
sebelumnya dianggap bermanfaat namun harus diingat saat pemberian
serta efek sampingnya.8
Pemberian zat yang meningkatkan imunologik seperti Omega-3 akan
menjinakkan leukotrien (LTB4 yang bersifat maligna) dengan cara
mempengaruhi lypoxygenase pathway pada metabolisme asam
arakhidonat, sehingga menghasilkan leukotrien yang lebih benigna.
Pemberian Omega-6 memiliki efek pada cyclo-oxygenase pathway asam
arakhidonat, sehingga menghasilkan tromboksan yang lebih benigna
menggantikan tromboksan (ThromboxaneA2) yang bersifat maligna.8
BAB III
ILUSTRASI KASUS DAN BORANG PORTOFOLIO
Nama Peserta
: Janet Chandra
Nama Wahana
: RSUD Kanujoso Djatiwibowo
Topik
: Combustio
Tanggal Kasus
: 3 Juni 2015Tanggal Presentasi:Pembimbing
: dr. Rahmat Dianto, SpBP.REPendamping
: dr. Normasari dan dr. Elvi Agustina
Tempat Presentasi : RSUD Kanudjoso Djatiwibowo
Objektif Presentasi
Keilmuan / Keterampilan / Penyegaran / Tinjauan Pustaka
Diagnostik / Manajemen / Masalah / Istimewa
Neonatus / Bayi / Anak / Remaja / Dewasa / Lansia/ Bumil
Deskripsi
: Anak laki-laki, usia 1 tahun 2 bulan, dengan riwayat
terkena
minyak panasTujuan
: Mengatasi masalah pasien dengan diagnosis dan terapi yang
Tepat
Bahan Pembahasan: Tinjauan Pustaka / Riset / Kasus / Audit
Cara Pembahasan: Diskusi / Presentasi dan Diskusi / Email /
Pos
Nama
: An. G
No. RM: 61. 77. 31Usia
: 1 tahun 2 bulanJenis Kelamin: laki lakiAgama
: IslamAlamat
: Babulu Barat RT 030Pendidikan: -Pasien diterima di IGD tanggal
3 Juni 2015 pukul 22.00Keluhan Utama
Luka bakar di wajah dan leher akibat tersiram minyak panas
Riwayat Penyakit Sekarang
Anak laki-laki, usia 1 tahun 2 bulan datang diantar orang tua
dengan riwayat tersiram minyak panas pada daerah wajah dan leher
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit (jam 14.00 WITA). Nyeri pada
luka bakar di wajah dan leher, suara serak (-), sesak (-).
Sebelumnya pasien dibawa ke puskesmas dan mendapatkan terapi
Burnazin krim, Paracetamol dan Amoxilin.
Riwayat Pengobatan
Pasien mendapatkan tatalaksana Burnazin krim, Paracetamol dan
Amoxilin
Riwayat Kesehatan / Penyakit
-Riwayat Keluarga
DM (-), Hipertensi (-), Alergi (-), Asma (-)
Riwayat Imunisasi
Orang tua pasien mengatakan imunisasi pasien
lengkapLain-lain
Tidak ada data yang berkaitan dengan masalah yang dialami
pasien
RANGKUMAN HASIL PEMBELAJARAN PORTOFOLIO1. Subjektif
Pasien mengalami luka bakar akibat tersiram minyak panas.
Terdapat luka bakar pada bagian wajah dan leher.
2. Objektif
Primary Survey
Airway: Bebas, tidak terdengar suara nafas tambahan, tidak
terdapat hambatan cervical, tidak ditemukan adanya tanda-tanda
trauma inhalasi. Breathing: Spontan, teratur, pergerakan dinding
dada simetris, frekuensi nafas 24 x / menit Circulation : Arteri
radialis teraba, adekuat, reguler, frekuensi nadi 140 x / menit
Disability : GCS 15, E4V5M6, pupil isokor 3mm/3mm, RC +/+ Exposure
: Suhu aksila 36,5(CSecondary Survey
Status Generalis
Keadaan Umum: tampak sakit sedang
Kesadaran
: compos mentisGCS
: E4 V5 M6
Berat Badan
: 9 kg
Nadi
: 140x/menit
Suhu
: 36,5(C
Respirasi
: 24x/menit
Kepala
: normocephal, deformitas (-), Konjungtiva anemis(-),
Sklera ikterik(-), pupil bulat, isokor 3mm 3 mm,
refleks cahaya normal
Leher
: Trakea letak ditengah, pembesaran kelenjar getah
bening tidak adaTelinga
: deformitas -/-, serumen -/-, sekret -/-
Hidung
: deformitas (-), sekret -/-
Mulut
: oral hygene baik, faring tidak hiperemis
Thoraks
: Simetris kiri = kanan, retraksi (-)
Paru
: Suara napas vesikuler +/+, Ronkhi -/-, wheezing -/-
Jantung
: Iktus kordis tidak terlihat, iktus kordis teraba di ICS V
linea midclavicularis dextra, bunyi jantung I-II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen
: Cembung, supel, bising usus normal, nyeri tekan tidak
ada Hepar/Lien tidak teraba
Ekstremitas
: Akral hangat, edema (-), CRT < 2
Status Lokalis
Regio Facial luka bakar LLB 9% bula (+), hiperemis (+) Regio
Coli anterior luka bakar LLB 1% bula (+), hiperemis (+)Hasil
Laboratorium (01/06/2015)
Hb
: 8,6 g/dlLeukosit: 15.200/L
Eritrosit: 4,6 106/ L
Hematokrit: 27,2 %
Trombosit : 308.000 103/LGDS
: 102 mg/dl
Urinalisis tanggal 03/06/2015Makroskopis :
Warna
: Kuning
Kekeruhan: Jernih
Kimiawi :
Berat Jenis: 1.010
pH
: 8,0
Leukosit
: Negatif
Nitrit
: Negatif
Protein
: Negatif
Glukosa
: Negatif
Keton
: Negatif
Urobilinogen: +-Bilirubin
: Negatif
Darah
: Negatif
VTC
: Negatif
Sedimen :
Leukosit
: 0-1
Eritrosit
: 0-1
Silinder
: Negatif
Epitel
: 0-1
Kristal
: Negatif
Lain-lain
: Negatif
3. Assessment
Pada kasus ini, anak laki-laki usia 1 tahun 2 bulan dengan luka
bakar derajat II A-B (10%) akibat tersiram minyak panas. Luka bakar
atau combustio adalah kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas seperti api, air, suhu panas,
bahan kimia, listrik, dan radiasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bagian tubuh yang terkena luka
bakar tersebar pada wajah dan leher. Pada daerah wajah yang terkena
luka bakar tampak jaringan yang hiperemis dan tampak bullae.
Berdasarkan data tersebut pasien memenuhi kriteria diagnosa
combustio grade II AB akibat terkena minyak panas (10%).
Tidak ditemukan adanya tanda-tanda trauma inhalasi serta
didapatkan pernafasan yang spontan dan adekuat, oleh karena itu
tidak dibutuhkan pemasangan alat bantu pernafasan (intubasi).
Pada luka bakar yang luas, perlu dipikirkan adanya kekurangan
cairan yang hebat dan resiko untuk terjadinya gangguan sirkulasi
(syok hipovolemik). Oleh karena itu diperlukan pemberian cairan
sesuai dengan protab dan pengawasan ketat terhadap status
sirkulasi. Pemasangan urine kateter dan pemantauan urine output
merupakan hal yang sangat penting pada kasus luka bakar.
Dalam penanganan kasus trauma, termasuk di dalamnya trauma
thermal prinsip penaganan trauma menurut ATLS (Advanced Trauma Life
Support) merupakan hal pertama yang harus dilakukan untuk mengatasi
masalah kegawatdaruratan pasien sesegera mungkin. Penanganan yang
dilakukan meliputi primary survey dan secondary survey.
Primary survey meliputi :
A = Airway (Jalan nafas)
Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa hidung dan mulut, mencari
tanda-tanda trauma inhalasi dan trauma servikal. Bila perlu
dilakukan intubasi. Pada pasien ini tidak ditemukan adanya gangguan
jalan nafas.
B = Breathing (Pernafasan)
Pastikan pernafasan adekuat, perhatikan frekuensi, pola nafas,
jenis nafas (pernafasan dada atau perut), dan pengebangan dada kiri
dan kanan (kesimetrisan). Bila perlu diberikan suplementasi olsigen
sesuai kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92%. Pada pasien
tidak ditemukan gangguan pernafasan.
C = Circulatin (Sirkulasi)
Pertahankan tekanan darah sistolik > 90mmHg. Pasang jalur
intravena dan berikan cairan intravena sesuai dengan tatalaksana
fase akut pada pasien luka bakar. Pada pasien tidak ditemukan
adanya gangguan sirkulasi.
D = Disability
Memeriksa kesadaran dan status neurologis lainnya. Pada pasien
tidak ditemukan adanya gangguan neurologis.
E = Exposure and Enviromental Control
Mengamankan pasien dari lingkungan sekitar. Melakukan kontrol
terhada suhu tubuh pasien degan meleps seluruh pakaian dan menutupi
pasien dengan selimut hangatuntuk mencegah terjadinya hipotermia.
Pada pasien tidak ditemukan adanya tanda-tanda hipotermia.
Secondary survey meliputi :
Pemeriksaan lanjutan setelah kondisi pasien stabil, meliputi
pemeriksaan fisik ulang, pemeriksaan rontgen, rekam jantung dan
pemeriksaan penunjang lainnya. Pasien diberikan terapi yang sesuai
untuk menghindari terjadinya syok hipovolemik serta terapi untuk
mencegah terjadinya infeksi sekunder.
4. Plan
Diagnosis
Berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang, dapat ditegakkan diagnosis Combustio grade II A B ( luas
luka bakar 10%) Pengobatan
Fase akut (24 jam pertama) : IVFD D5 ND 360cc/24jam
Resusitasi cairan dilakukan dengan memberikan cairan pengganti.
Dengan menggunakan rumus Baxter Luas luka bakar (%) x BB (kg) x 4
mL. Cendofenicol salep mata (dioleskan pada mata)
Paracetamol 3 x 1 cth
Cefixime 2 x 1 cth
Antibiotik sistemik spektrum luas diberikan untuk mencegah
infeksi. Yang banyak dipakai adalah golongan aminoglikosida yang
efektif terhadap pseudomonas. Bila ada infeksi, antibiotik
diberikan berdasarkan hasil biakan dan uji kepekaan kuman.
Perawatan tertutup dilakukan dengan memberikan balutan yang
dimaksudkan untuk menutup luka dari kemungkinan kontaminasi, tetapi
tutupnya sedemikian rupa sehingga masih cukup longgar untuk
berlangsungnya penguapan. Pasien direncanakan untuk dilakukan
Debridement, yaitu tindakan eksisi dini untuk pembuangan jaringan
nekrosis dan debris. Hal ini dilakukan untuk mengupayakan
penyembuhan berlangsung lebih cepat. Dengan dibuangnya jaringan
nekrosis, debris dan eskar, proses inflamasi tidak akan berlangsung
lebih lama dan segera dilanjutkan proses fibroplasia. Selain itu,
tindakan debridement juga dilakukan untuk memutus rantai proses
inflamasi yang dapat berlanjut menjadi komplikasi luka bakar
(seperti SIRS). Semakin lama penundaan tindakan eksisi, semakin
banyaknya proses angiogenesis yang terjadi dan vasodilatasi di
sekitar luka. Hal ini mengakibatkan banyaknya darah keluar saat
dilakukan tindakan operasi. Selain itu, penundaan eksisi akan
meningkatkan resiko kolonisasi mikro organisme patogen yang akan
menghambat pemulihan graft dan juga eskar yang melembut membuat
tindakan eksisi semakin sulit Pendidikan
Dilakukan edukasi pada keluarga pasien untuk membantu proses
penyembuhan dan rehabilitasi pasien dengan memberikan pemahaman
terhadap penyakit dan kondisi pasien. Konsultasi
Diperlukan konsultasi ke dokter spesialis bedah / bedah plastik
dan anestesi untuk penatalaksanaan lebih lanjut pada pasien ini.
RujukanRujukan tidak diperlukan, karena sarana di RSUD Kanujoso
Djatiwibowo telah lengkap baik srana, prasarana maupun dokter
spesialis. Kontrol
Bila pasien diijinkan pulang, diperlukan kontrol rutin ke poli
bedah plastik untuk kontrol terhadap luka bakar
post debridement, KU pasien baik, luka terawat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ahmadsyah I, Prasetyono TOH. Luka. Dalam: Sjamsuhidajat R, de
Jong W, editor. Buku ajar ilmu bedah. Edisi 2. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 73-5.2. Moenadjat Y. Luka bakar.
Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003.3. Gibran N. Burns. In:
Mulholland MW, Lillemoe KD, Doherty GM, Maier RV, Simeone DM,
Upchurch GR, editors. Greenfields surgery : scientific principles
and practice. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 20114. Heimbach DM, Holmes JH. Burns. In: Brunicardi FC,
Andersen DK, Billiar TR, Dunn DL, Hunter JG, Pollock RE, editors.
Schwartzs principal surgery. 8th ed. USA: The McGraw-Hill
Companies; 2007. 5. Saffle JR, Banister M, Cahalane M, Lee JO,
Palmieri TL. Burns. In: Lawrence PF, Bell editor. Essentials of
general surgery. 5th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins; 20136. Martina RN, Wardhana A. Mortality Analysis of Adult
Burn Patients. Jakarta: Jurnal Plastik Rekonstruksi; 2013.7. World
Health Organization. Surgical care at the district hospital. Malta:
Interprint Limited; 20038. Naradzay JFX, Alson R. Thermal burns.
Dalam: Slapper D, Talavera F, Hirshon JM, Halamka J, Adler J,
editors. Diunduh dari: http://www.emedicinehealth.com. 28 Agusuts
2009.9. Split & Full Thickness Skin Grafting. Diunduh dari
http://www.burnsurvivorsttw.org/burns/grafts.html.30Agustus
2009.
10. Hettiaratchy, Dziewulski P. ABC of Burns: Pathophysiology
and Types of Burns. USA: BMJ; 2004.