Page 1
STATUS PASIEN
A. IDENTITAS PASIEN
• Nama : Tn. A.M
• Jenis kelamin : Laki-laki
• Umur : 18 tahun
• Pendidikan : Pelajar
• Agama : Islam
• Alamat : Gunung Sahari, Jakarta utara
• Tanggal masuk RS : 4 April 2015
• Tanggal Pengkajian : 6 April 2015
B. STATUS PASIEN
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesis
a. Keluhan Utama :
Pasien mengalami kecelakaan lalu lintas
b. Keluhan Tambahan :
Luka Lecet di lutut kanan dan siku kanan, pingsan, muntah, pusing.
c. Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke instalasi gawat darurat dibawa kecelakaan lalu lintas.
Kecelakaan terjadi pada malam hari sekitar pukul 23.00 bersama temannya
mengendarai sepeda motor. Pasien saat itu mengendarai motor bersama 2 orang
temannya dan tidak menggunakan helm dengan kecepatan sedang. Pasien tidak
ingat dengan kejadian sebelum kecelakaan. Setelah kecelakaan pasien langsung
pingsan ± 30 menit. Pasien baru tersadar setelah sampai di UGD. Pasien mengeluh
pusing, muntah darah, keluar darah dari hidung, dan penglihatan ganda. Terdapat
luka robek pada telapak tangan, dan bengkak pada kedua mata. Keluar cairan dari
hidung dan gangguan pendengaran disangkal.
Semua anggota badan masih dapat digerakkan. Kelemahan anggota gerak
disangkal. Pasien juga menyangkal tidak mengantuk, meminum alkohol atau
meminum obat-obat yang membuat mengantuk sebelum kecelakaan terjadi.
2
Page 2
d. Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien mengaku sebelumnya belum pernah mengalami. Riwayat alergi obat (-),
Riwayat hipertensi (-), Riwayat kejang (-) Riwayat diabetes melitus (-), Riwayat
asma (-), Riwayat sakit jantung (-), Riwayat sakit ginjal atau hati (-).
e. Riwayat Penyakit Keluarga :
Riwayat hipertensi (-), Riwayat diabetes mellitus (-), Riwayat stroke (-), Riwayat
epilepsi (-).
f. Riwayat Pola Hidup dan Kebiasaan
Pasien merokok ± 1 bungkus; minum alkohol dan penggunaan narkoba disangkal.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Sedang
Kesadaran : Compos Mentis GCS= E4M6V5=15
Kooperasi : Kooperatif
Sikap : Berbaring aktif
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 80 x / menit, isi cukup, irama reguler.
Suhu Badan : 36,70 C
Pernafasan : 20 x / menit,
b. Keadaan lokal
- Kepala : Normosefali, rambut hitam, distribusi merata, tidak mudah
dicabut, tidak ada alopesia, benjolan (-), Vulnus laceratum (-).
- Mata : konjungtiva anemis -/-, sclera -/-, hematoma kacamata (Brill
hematom) -/-, hematom palpebra +/+, oedem palpebra -/-
- Telinga : hematoma retroaurikuler (Battle’s sign) -/-, perdarahan -/-,
otorea-/-
- Hidung : vulnus excoriasi regio nasalis -/-, deviasi septum -/-, perdarahan
+/+, rhinorea -/-
- Mulut : mukosa oral basah, vulnus excoriasi regio oralis -/-
3
Page 3
- Gigi : Caries (-), missing (-)
- Leher : Bentuk simetris, trakea lurus di tengah, tidak teraba massa,
pembesaran KGB (-)
- Thorax
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V, 2 cm medial dari
lineamidklavikularis sinistra
Perkusi : batas jantung kanan pada ICS V linea parasternal dextra,
batas jantung kiri pada ICSV 2 jari lateral linea midklavikula
sinistra,
Auskultasi : BJ 1 BJ 2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Pemeriksan paru
Inspeksi : simetris, bentuk normal
Palpasi : Vocal fremitus kanan=kiri normal,
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Pemeriksaan abdomen
Inspeksi : Datar
Palpasi : hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Auskultasi : BU (+) normal
Pemeriksaan Ekstremitas :
Superior Inferior
Vulnus laseratum +/- post hecting
diperban
Vulnus excoriatum+/-
Edema -/- Edema -/-
Sianosis -/- Sianosis -/-
Capillary Refill Time <2 dtk CRT <2 dtk
3. Pemeriksaan Neurologis
a. Tanda Rangsang Meningeal
Kaku Kuduk : -
4
Page 4
Brudzinski I : -
Brudzinski II : -
Kanan Kiri
Laseque : > 70° >70˚
Kernig : > 135° >135˚
Peningkatan tekanan intrakranial
o Penurunan kesadaran (-)
o Pupil anisokor (-)
o Muntah proyekti (-)
o Sakit kepala hebat (-)
b. N. Kranialis
N.I : Normosmia +/+
N.II :
Visus : dengan menghitung jari, normal (keterbatasan
ruangan)
Lapang pandang : Normal
Funduskopi : tidak dilakukan
N.III; N.IV; N.VI
Pergerakan bola mata : +/+
Eksoftalmus : -/-
Nistagmus : -/-
Ptosis : -/-
Pupil
o Bentuk : Bulat / bulat
o Diameter : 3 mm / 3 mm
o Refleks cahaya langsung : +/+
o Refleks cahaya tidak langsung : +/+
N.V
5
Page 5
Cabang motorik
o Membuka mulut : Baik
o Menggerakkan rahang : Baik
o Jaw refleks : Baik
Cabang sensorik oftalmikus : Baik/Baik
Cabang sensorik maksilaris : Baik/Baik
Cabang sensorik mandibularis : Baik/Baik
N.VII
Kerut Kening +/ +, Menutup Mata +/+, Menyeringai +/+
Pengecapan lidah
o Manis : Baik
o Asin : Baik
o Asam : Baik
o Pahit : Baik
N.VIII
Vestibular
Vertigo : Negatif
Nistagmus : -/-
Cochlear
Test Rinne : Tidak dilakukan
Webber : Tidak dilakukan
Schwabach : Tidak dilakukan
N.IX ; N.X
Motorik : Baik/baik
Sensorik : Baik/baik
N.XI
Mengangkat bahu : Baik/baik
Menoleh : Baik/baik
6
Page 6
N.XII
Pergerakan lidah : Lidah di tengah
Atrofi : -
Fasikulasi : dextra
Tremor : -
c. Sistem motorik tubuh
Trofi : eutrofi
Tonus Otot : normal
Kekuatan Otot : 5 5
5 5
d. Gerakan involunter
Tremor : -/-
Chorea : -/-
Atetose : -/-
Miokloni : -/-
Tics : -/-
e. Tes sensibilitas
Eksteroseptif : Dalam Batas Normal
Propioseptif : Dalam Batas Normal
f. Fungsi otonom
Miksi : Inkontinensia (-)
Defekasi : Inkontinensia (-)
Sekresi keringat : Baik
g. Refleks
Refleks Fisiologis Kanan Kiri
Biceps : (+) (+)
Triceps : (+) (+)
APR : (+) (+)
KPR : (+) (+)
7
Page 7
Refleks Patologis
Babinski : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Hoffman-Tromner : (-) (-)
h. Fungsi Luhur
Ingatan Lama : baik
Ingatan Baru : lupa dengan kejadian sebelum kecelakaan
Orientasi : baik
Afasia : -
Agnosia : -
Disgrafia : -
4. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil Nilai rujukan
Hematologi
Hemoglobin 14,4 11,7 – 15,5 g/dl
Hematokrit 42 35 – 47%
Leukosit 32,75 ↑ 3,6 – 11,0 rb/ul
Trombosit 242 154 – 366 rb/ul
Eritrosit 4,92 3,80 – 5,20 jt/ul
Kimia Klinik
Glukosa Darah Sewaktu 149 70-200 mg/dL
AST 126 10-31 U/L
ALT 76 9-36 U/L
5. Resume
Pasien datang ke instalasi gawat darurat karena mengalami kecelakaan lalu
lintas. Kecelakaan terjadi pada malam hari sekitar pukul 23.00 saat sedang
8
Page 8
mengendarai sepeda motor dan tidak menggunakan helm dengan kecepatan sedang.
Setelah kecelakaan pasien langsung pingsan ± 1 jam. Pasien baru tersadar setelah
sampai di UGD. Pasien tidak ingat dengan kejadian sebelum kecelakaan. Pasien
mengeluh pusing, muntah darah, keluar darah dari hidung, dan penglihatan ganda.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pasien tampak sakit sedang, GCS 15,
Vulnus laceratum, hematom palpebra +/+. Pada hasil lab didapatkan leukosit 32,75
µ/ul
6. Diagnosis Kerja
Diagnosa klinis
• Pingsan ± 1 jam, amnesia retrograde, vomitus, rhinorea, sakit kepala.
• Vulnus laceratum dorsum manus sinistra, Hematoma palpebra, bengkak pada os
zygomaticum
Diagnosa topis : Lesi intracranial difus
Diagnosa etiologi : Cedera kepala ringan
Diagnosa patologis : Kontusio serebri
7. Penatalaksanaan
Non-medikamentosa
ABC
Posisi tidur, bagian kepala ditinggikan sekitar 300
Perawatan luka
Medikamentosa
- IVFD RL 16 tetes/menit - Nonflamin 3 x 1
- Ranitidine 2 x 1 - Ceftriaxone 1x 2 gr
- Citicoline 2 x 500 - Remopain 2 x 1
- Narfoz 4 mg 2 x 1
10. Prognosa
Ad vitam : ad bonam
Ad functionam : dubia
Ad sanationam : ad bonam
9
Page 9
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Cedera kepala adalah cedera yang
mengenai kepala dan otak, baik yang terjadi
secara langsung maupun tidak langsung.
Tulang tengkorak yang tebal dan keras
membantu melindungi otak. Tetapi meskipun
memiliki helm alami, otak sangat peka
terhadap berbagai jenis cedera. Otak bisa
terluka meskipun tidak terdapat luka yang menembus tengkorak.
ETIOLOGI
Penyebab terbanyak trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas dimana lebih dari
setengah kasus terjadi lebih sering pada daerah perkotaan. Penyebab lainnya adalah jatuh dari
tempat tinggi, korban kekerasan, trauma akibat olahraga, dan trauma penetrasi. Trauma
kepala dua sampai empat kali lebih sering terjadi pada laki-laki dibandingkan pada
perempuan, dan lebih sering terjadi pada umur kurang dari 35 tahun.
PATOFISIOLOGI
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer
dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung
dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras
maupun oleh proses akselarasi deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala
dapat terjadi peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada daerah yang
berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut contrecoup. Akselarasi-
deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara mendadak dan kasar saat terjadi
trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi
semisolid) menyebabkan tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya.
10
Page 10
Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak
pada tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup).
Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang
timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak,
kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan
neurokimiawi.
Cedera kepala yang berat dapat merobek, meremukkan atau menghancurkan saraf,
pembuluh darah dan jaringan di dalam atau di sekeliling otak. Bisa terjadi kerusakan pada
jalur saraf, perdarahan atau pembengkakan hebat. Perdarahan, pembengkakan dan
penimbunan cairan (edema) memiliki efek yang sama yang ditimbulkan oleh pertumbuhan
massa di dalam tengkorak. Karena tengkorak tidak dapat bertambah luas, maka peningkatan
tekanan bisa merusak atau menghancurkan jaringan otak. Karena posisinya di dalam
tengkorak, maka tekanan cenderung mendorong otak ke bawah. Otak sebelah atas bisa
terdorong ke dalam lubang yang menghubungkan otak dengan batang otak, keadaan ini
disebut herniasi.
Sejenis herniasi serupa bisa mendorong otak kecil dan batang otak melalui lubang di
dasar tengkorak (foramen magnum) ke dalam medula spinalis. Herniasi ini bisa berakibat
fatal karena batang otak mengendalikan fungsi vital (denyut jantung dan pernafasan). Cedera
kepala yang tampaknya ringan kadang bisa menyebabkan kerusakan otak yang hebat. Usia
lanjut dan orang yang mengkonsumsi antikoagulan (obat untuk mencegah pembekuan darah),
sangat peka terhadap terjadinya perdarahan disekeliling otak (hematoma subdural).
KLASIFIKASI CEDERA KEPALA
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal 3 deskripsi
klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, beratnya cedera kepala, dan morfologinya.
11
Page 11
1. Mekanisme
Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan terbuka. Istilah
cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan
pukulan, dan cedera kepala terbuka sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka
tusuk.
a. Trauma kepala terbuka
Trauma kepala ini menyebabkan fraktur tulang tengkorak dan laserasi
duramater. Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak menusuk otak. Fraktur
longitudinal sering menyebabkan kerusakan pada meatus akustikus interna, foramen
jugularis dan tuba eustachius. Setelah 2-3 hari akan tampak battle sign (warna biru
dibelakang telinga diatas os mastoid) dan otorrhoe (liquor keluar dari telinga).
Perdarahan dari telinga dengan trauma kepala hampir selalu disebabkan oleh retak
tulang dasar tengkorak. Fraktur basis tengkorak tidak selalu dapat dideteksi oleh foto
rontgen, karena terjadi sangat dasar. Tanda-tanda klinik yang dapat membantu
mendiagnosa adalah :
a. Battle sign (warna biru/ekhimosis dibelakang telinga di atas os mastoid )
b. Hemotipanum (perdarahan di daerah gendang telinga )
c. Periorbital ecchymosis (mata warna hitam tanpa trauma langsung )
d. Rhinorrhoe (liquor keluar dari hidung)
e. Otorrhoe (liquor keluar dari telinga)
Komplikasi pada trauma kepala terbuka adalah infeksi, meningitis dan perdarahan.
b. Trauma kepala tertutup
Secara klasik kita kenal pembagian : komosio, kontusio dan laserasio serebri.
Pada komosio serebri kehilangan kesadaran bersifat sementara tanpa kelainan PA.
Pada kontusio serebri terdapat kerusakan dari jaringan otak, sedangkan laserasio
serebri berarti kerusakan otak disertai robekan duramater.
Trauma kepala dapat menyebabkan cedera pada otak karena adanya aselerasi,
deselerasi dan rotasi dari kepala dan isinya. Karena perbedaan densitas antara
tengkorak dan isinya, bila ada aselerasi, gerakan cepat yang mendadak dari tulang
tengkorak diikuti dengan lebih lambat oleh otak. Ini mengakibatkan benturan dan
goresan antara otak dengan bagian-bagian dalam tengkorak yang menonjol atau
dengan sekat-sekat duramater. Bila terjadi deselerasi (pelambatan gerak), terjadi
benturan karena otak masih bergerak cepat pada saat tengkorak sudah bergerak
12
Page 12
lambat atau berhenti. Mekanisme yang sama terjadi bila ada rotasi kepala yang
mendadak. Tenaga gerakan ini menyebabkan cedera pada otak karena kompresi
(penekanan) jaringan, peregangan maupun penggelinciran suatu bagian jaringan di
atas jaringan yang lain. Ketiga hal ini biasanya terjadi bersama-sama atau berturutan.
Kerusakan jaringan otak dapat terjadi di tempat benturan (coup), maupun di tempat
yang berlawanan (countre coup). Diduga countre coup terjadi karena gelombang
tekanan dari sisi benturan (sisi coup) dijalarkan di dalam jaringan otak ke arah yang
berlawanan; teoritis pada sisi countre coup ini terjadi tekanan yang paling rendah,
bahkan sering kali negatif hingga timbul kavitasi dengan robekan jaringan. Selain itu,
kemungkinan gerakan rotasi isi tengkorak pada setiap trauma merupakan penyebab
utama terjadinya countrecoup, akibat benturan-benturan otak dengan bagian dalam
tengkorak maupun tarikan dan pergeseran antar jaringan dalam tengkorak. Yang
seringkali menderita kerusakan-kerusakan ini adalah daerah lobus temporalis,
frontalis dan oksipitalis.
Komusio serebri
Trauma kapitis yang tampaknya berat atau ringan biasanya hanya
mengakibatkan pingsan sejenak, dengan atau tanpa amnesia retrograde. Tanda-
tanda kelainan neurologic apapun tidak terdapat pada penderita yang
bersangkutan. Diagnosis digunakan untuk kasus semacam itu ialah komusio
cerebri.
Komosio merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi pingsan
(kurang dari 10 menit). Gejala lain mungkin termasuk pusing, noda-noda didepan
mata dan linglung. Komosio adalah hilangnya kesadaran sekejap, setelah
terjadinya cedera pada otak yang tidak menyebabkan kerusakan fisik yang nyata.
Komosio menyebabkan kelainan fungsi otak tetapi tidak menyebabkan kerusakan
struktural yang nyata. Hal ini bahkan bisa terjadi setelah cedera kepala yang
ringan, tergantung kepada goncangan yang menimpa otak di dalam tulang
tengkorak.
Kontusio serebri (Memar otak)
Merupakan perdarahan kecil / ptechie pada jaringan otak akibat pecahnya
pembuluh darah kapiler. Lesi kontusio adalah adanya akselarasi kepala, yang
seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi
yang destruktif. Akselarasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Karena itu
otak membentang batang otak terlampau kuat, sehingga menimbulkan blokade
13
Page 13
reversibel terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blokade tersebut otak
tidak mendapatkan input aferen dan karena itu kesadaran hilang selama blokade
reversible berlangsung.
Timbulnya lesi kontusio di daerah-daerah dampak (“coup”), “contercoup”,
dan “intermediet”, menimbulkan gejala defisit neurologik, yang bisa berupa
refleks babinski positif dan kelumpuhan UMN. Pada jaringan otak akan terdapat
kerusakan-kerusakan yanghemoragik pada daerah coup dan countre coup,
denganpiamater yang masih utuh pada kontusio dan robek padalaserasio serebri.
Kontusio yang berat di daerah frontal dan temporal sering kali disertai
adanya perdarahan subdural dan intra serebral yang akut. Sebagai kelanjutan dari
kontusio akan terjadi edema otak. Penyebab utamanya adalah vasogenik, yaitu
akibat kerusakan B.B.B. (blood brain barrier). Disini dinding kapiler mengalami
kerusakan ataupun peregangan pada sel-sel endotelnya. Cairan akan keluar dari
pembuluh darah ke dalam jaringan otak karena beda tekanan intra vaskuler dan
interstisial yang disebut tekanan perfusi. Bila tekanan arterial meningkat akan
mempercepat terjadinya edema dan sebaliknya bila turun akan memperlambat.
Edema jaringan menyebabkan penekanan pada pembuluh-pembuluh darah yang
mengakibatkan aliran darah berkurang. Akibatnya terjadi iskemia dan hipoksia.
Asidosis yang terjadi akibat hipoksia ini selanjutnya menimbulkan vasodilatasi dan
hilangnya auto regulasi aliran darah, sehingga edema semakin hebat. Hipoksia
karena sebab-sebab lain juga memberikan akibat yang sama. Jika otak
membengkak, maka bisa terjadi kerusakan lebih lanjut pada jaringan otak;
pembengkakan yang sangat hebat bisa menyebabkan herniasi otak. Gejala dari
kontusio adalah pusing, kesulitan dalam berkonsentrasi, menjadi pelupa, depresi,
emosi atau perasaannya berkurang dan kecemasan. Biasanya gejala berlangsung
selama beberapa hari sampai beberapa minggu. Sindroma pasca konkusio yaitu
kesulitan dalam bekerja, belajar dan bersosialisasi. Kontusio serebri dan robekan
otak lebih serius daripada konkusio. MRI menunjukkan kerusakan fisik pada otak
yang bisa ringan atau bisa menyebabkan kelemahan pada satu sisi tubuh yang
diserati dengan kebingungan atau bahkan koma.
Perdarahan intracranial
Merupakan penimbunan darah di dalam otak atau diantara otak dengan
tulang tengkorak. Hematoma intrakranial bisa terjadi karena cedera atau stroke.
Perdarahan karena cedera biasanya terbentuk di dalam pembungkus otak sebelah
14
Page 14
luar (hematoma subdural) atau diantara pembungkus otak sebelah luar dengan
tulang tengkorak (hematoma epidural). Kedua jenis perdarahan diatas biasanya bisa
terlihat pada CT scan atau MRI. Sebagian besar perdarahan terjadi dengan cepat dan
menimbulkan gejala dalam beberapa menit. Perdarahan menahun (hematoma kronis)
lebih sering terjadi pada usia lanjut dan membesar secara perlahan serta
menimbulkan gejala setelah beberapa jam atau hari. Hematoma yang luas akan
menekan otak, menyebabkan pembengkakan dan pada akhirnya menghancurkan
jaringan otak. Hematoma yang luas juga akan menyebabkan otak bagian atas atau
batang otak mengalami herniasi. Pada perdarahan intrakranial bisa terjadi penurunan
kesadaran sampai koma, kelumpuhan pada salah satu atau kedua sisi tubuh,
gangguan pernafasan atau gangguan jantung, atau bahkan kematian. Bisa juga terjadi
kebingungan dan hilang ingatan, terutama pada usia lanjut.
Hematoma epidural
Hematoma epidural berasal dari perdarahan di arteri yang terletak diantara
meningens dan tulang tengkorak. Hal ini terjadi karena patah tulang tengkorak
telah merobek arteri. Darah di dalam arteri memiliki tekanan lebih tinggi sehingga
lebih cepat memancar. Gejala berupa sakit kepala hebat bisa segera timbul tetapi
bisa juga baru muncul beberapa jam kemudian. Sakit kepala kadang menghilang,
tetapi beberapa jam kemudian muncul lagi dan lebih parah dari
sebelumnya.Selanjutnya bisa terjadi peningkatan kebingungan, rasa ngantuk,
kelumpuhan, pingsan dan koma. Diagnosis dini sangat penting dan biasanya
tergantung kepada CT scan darurat. Hematoma epidural diatasi sesegera mungkin
dengan membuat lubang di dalam tulang tengkorak untuk mengalirkan kelebihan
darah, juga dilakukan pencarian dan penyumbatan sumber perdarahan.
Hematoma subdural
Hematoma subdural berasal dari perdarahan pada vena di sekeliling otak.
Perdarahan bisa terjadi segera setelah terjadinya cedera kepala berat atau beberapa
saat kemudian setelah terjadinya cedera kepala yang lebih ringan. Hematoma
subdural yang bertambah luas secara perlahan paling sering terjadi pada usia
lanjut (karena venanya rapuh) dan pada alkoholik. Pada kedua keadaan ini, cedera
tampaknya ringan; selama beberapa minggu gejalanya tidak dihiraukan. Hasil
pemeriksaan CT scan dan MRI bisa menunjukkan adanya genangan darah.
Hematoma subdural pada bayi bisa menyebabkan kepala bertambah besar karena
tulang tengkoraknya masih lembut dan lunak. Hematoma subdural yang kecil
15
Page 15
pada dewasa seringkali diserap secara spontan. Hematoma subdural yang besar,
yang menyebabkan gejala-gejala neurologis biasanya dikeluarkan melalui
pembedahan.
2. Berdasarkan Beratnya
a. Cedera kepala ringan (GCS 13-15)
Biasanya terjadi penurunan kesadaran dan apabila ada penurunan kesadaran hanya
terjadi beberapa detik sampai beberapa menit saja. Tidak ditemukan kelaianan
pada pemeriksaan CT-scan, LCS normal, dapat terjadi amnesia retrograde.
b. Cedera kepala sedang (GCS 9-12)
Dapat terjadi penurunan kesadaran yang berlangsung hingga beberapa jam. Sering
tanda neurologis abnormal, biasanya disertai edema dan kontusio serebri. Terjadi
juga drowsiness dan confusion yang dapat bertahan hingga beberapa minggu.
Fungsi kognitif maupun perilaku yang terganggu dapat terjadi beberapa bulan
bahkan permanen.
c. Cedera kepala berat (GCS <8)
Terjadi hilangnya kesadaran yang berkepanjangan atau yang disebut koma.
Penurunan kesadaran dapat hingga beberapa bulan. Pasien tidak mampu
mengikuti, bahkan perintah sederhana, karena gangguan penurunan kesadaran.
Termasuk juga dalam hal ini status vegetatif persisten.Tanpa memperdulikan nilai
SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila :
1. Pupil anisokor
2. Pemeriksaan motor tak ekual.
3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang
terbuka.
4. Perburukan neurologik.
5. Fraktura tengkorak depressed.
3. Berdasarkan Morfologi
a. Cedera kulit : vulnus, laserasi, hematom subkutan, hematom subgaleal
Luka dapat menimbulkan perdarahan, pembengkakan setempat, nyeri setempat,
nyeri pada pergerakan dan dirawat sebagaimana mestinya. Perdarahan subgaleal
dapat besar sekali hingga menimbulkan pembengkakan yang hebat dan bentuk
16
Page 16
kepala menjadi besar tidak teratur. Pada keadaan ini perlu diberi balut yang
menekan dan bila teraba lunak dapat dipungsi untuk mengeluarkan darah yang cair.
b. Fraktur tengkorak
Patah tulang tengkorak merupakan suatu retakan pada tulang tengkorak. Mungkin
tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linier atau stelata, mungkin terdepres
atau tidak terdepres. Fraktur tengkorak biasanya terjadi pada tempat benturan.
Garis fraktur dapat menjalar sampai basis cranii. Patah tulang tengkorak bisa
melukai arteri dan vena, yang kemudian mengalirkan darahnya ke dalam rongga
di sekeliling jaringan otak. Patah tulang di dasar tengkorak bisa merobek
meningens. Cairan serebrospinal (cairan yang beredar diantara otak dan
meningens) bisa merembes ke hidung atau telinga yang menandakan adanya
fraktur basis cranii. Depresi pada kepala atau muka (sunken eye) menandakan
terjadi fraktur maksila. Bakteri kadang memasuki tulang tengkorak melalui patah
tulang tersebut, dan menyebabkan infeksi serta kerusakan hebat pada otak.
Sebagian besar patah tulang tengkorak tidak memerlukan pembedahan, kecuali
jika pecahan tulang menekan otak atau posisinya bergeser.
Fraktur Os Temporalis
Cedera pada tulang temporal terjadi pada 30 sampai 70% kasuspadatrauma
kepala tumpul. Struktur tulang-tulang temporal terletak di lateral
tengkorak.Para tulang temporal membentuk bagian dari tengah dan posterior
fossa cranial dan berkontribusi ke neurocranium atau dasar tengkorak. Untuk
melindungi otak, masing-masing tulang temporal merupakan tempat untuk
struktur penting seperti telinga tengah dan apparatus telinga interna termasuk
koklea, vestibula dan saraf vestibulocochlear (kranial VIII saraf), saraf wajah
(saraf kranial VII), arterikarotis internal dan Vein jugularis. Trauma pada
tulang temporal dapat mengakibatkan cedera masing-masing struktur.
17
Page 17
Diagnosis dugaan fraktur dapat dibuat berdasarkan tiga temuan fisik:
hemotympanum (darah diamati di belakang membran timpani),
postaurikularecchymosis atau Battle ‘s sign (memar berbentuk lengkungan
belakang aurikel), dan periorbital ecchymosis atau rakoon eyes (melingkar
memar di sekitar mata). Tanda-tanda ini bersama dengan riwayat trauma
kepala dapat mendukung diagnosis fraktur tulang temporal, bahkan dalam
ketiadaan bukti radiografi.
Fraktur linier pada kubah kranium
Fraktur linier terjadi secara sekunder terhadap kekuatan yang besar pada
permukaan yang lebar, merupakan cedera benturan yang disebabkan oleh
perubahan bentuk kepala dari sisi benturan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi adalah kejadian, sisi, arah dan tingkat fraktur.
Fraktur basis kranii
Fraktur basis kranii terjadi pada 19-21%
dari semua fraktur tulang kepala dan 4% dari
seluruh cedera kepala. Fraktur basis kranii
sering merupakan ekstensi dari fraktur kubah
kranium, dapat juga timbul dari aliran beban
pada benturan langsung pada basis kranii.
Tempat-tempat yang relatif lemah pada
basis kranii adalah sinus sfenoid, foramen magnum, hubungan temporal
dengan petrosum, sfenoid ring bagian dalam. Tempat-tempat ini mudah terjadi
fraktur. Gambaran fraktur tergantung dari kekuatan tenaga,struktur tulang dan
foramen pada basis kranii. Fraktur basis kranii dengan robek dura sangat
18
Page 18
mudah terjadi infeksi atau dapat juga terjadi fistula pada duramater yang
ditandati dengan bocornya LCS berupa rinorre dan ottorea.
Fraktur basis kranii juga berhubungan dengan cedera saraf otak dan
pembuluh darah, karena dapat terjadi terpotongnya saraf otak atau pembuluh
darah oleh fragmen fraktur atau strangulasi.
Fraktur depressed
Fraktur depressed biasanya merupakan dari gaya yang terlokalisir pada
satu tempat di kepala. Ketika gaya tersebut cukup besar, atau terkonsentrasi
pada daerah sempit, tulang terdesak ke bawah, sehingga menghasilkan fraktur
depressed. Keadaaan tersebut tergantung dari besarnya benturan dan
kelenturan tulang kepala.
Cedera Aksonal Difusa
Kerusakan akson oleh karena adanya proses akselerasi dan deserelasi yang
terjadi pada otak sewaktu terjadinya trauma kepala. Otak memiliki beberapa lapisan
yang membentuknya. Pada saat terjadinya trauma, lapisan – lapisan ini akan ikut
bergeser. Pergerakkan tiap lapisan ini akan berbeda – beda. Ilustrasi dibawah ini
menunjukkan adanya penarikan neuron akibat perbedaan waktu pergeseran yang bias
menyebabkan akson teregang, terpuntir, terputus, dan terjepit. Akibatnya cairan dan
ionic akan masuk ke axon dan menyebakan pembengkakkan, yang nantinya akan
menyebakkan kerusakkan neuron. Akson terputus dan akson bagian distal akan
terpisah. Pada stadium lanjut, akan terjadi kematian akson pada ujung distal.
19
Page 19
ANAMNESIS DAN PEMERIKSAAN FISIK
A. Anamnesis
1. Keluhan utama, dapat berupa : Penurunan kesadaran, Nyeri kepala
2. Anamnesis tambahan :
Kapan terjadinya ( untuk: mengetahui onset)
Bagaimana mekanisme terjadinya trauma, bagian tubuh yang terkena dan tingkat
keparahannya ?
Apakah ada pingsan ?
Apakah pernah sadar setelah pingsan ?
Apakah ada nyeri kepala, kejang, mual dan muntah ?
Apakah ada perdarahan dari telinga, hidung dan mulut ?
Riwayat AMPLE : Allergy, Medication (sebelumnya), Past Illness (penyakit
penyerta), Last Meal, Event/Environment yang berhubungan dengan kejadian
trauma
3. Komplikasi / Penyulit
Memakai helm atau tidak (untuk kasus KLL)
Pingsan atau tidak (untuk mengetahui apakah terjadi Lucid interval)
Ada sesak nafas, batuk-batuk
Muntah atau tidak
Keluar darah dari telinga, hidung atau mulut
Adanya kejang atau tidak
Adanya trauma lain selain trauma kepala (trauma penyerta)
Adanya konsumsi alkohol atau obat terlarang lainnya
Adanya riwayat penyakit sebelumnya (Hipertensi, DM)
Pertolongan pertama (apakah sebelum masuk rumah sakit penderita sudah
mendapat penanganan). Penanganan di tempat kejadian penting untuk menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya.
B. Pemeriksaan Fisik
1. Primary Survey
Airway, dengan kontrol servikal:
Yang pertama harus dinilai adalah jalan nafas, meliputi pemeriksaan adanya
obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah,
20
Page 20
fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea.
Bila penderita dapat berbicara atau terlihat dapat berbicara – jalan nafas bebas.
Bila penderita terdengar mengeluarkan suara seperti tersedak atau berkumur -
ada obstruksi parsial.
Bila penderita terlihat tidak dapat bernafas - obstruksi total.
- Jika penderita mengalami penurunan kesadaran atau GCS < 8 keadaan
tersebut definitif memerlukan pemasangan selang udara.
- Selama pemeriksaan jalan nafas, tidak boleh dilakukan ekstensi, fleksi atau
rotasi pada leher.
- Dalam keadaan curiga adanya fraktur servikal atau penderita datang dengan
multiple trauma, maka harus dipasangkan alat immobilisasi pada leher,
sampai kemungkinan adanya fraktur servikal dapat disingkirkan.
Breathing, dengan ventilasi yang adekuat
Pada inspeksi, baju harus dikendorkan untuk melihat ekspansi pernafasan dan
jumlah pernafasan per menit, apakah bentuk dan gerak dada sama kiri dan
kanan.
Perkusi dilakukan untuk mengetahui adanya udara atau darah dalam rongga
pleura.
Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknva udara ke dalam paru-paru.
Circulation, dengan kontrol perdarahan
a. Volume darah
Suatu keadaan hipotensi harus dianggap hipovolemik sampai terbukti
sebaliknya.
Jika volume turun, maka perfusi ke otak dapat berkurang sehingga dapat
mengakibatkan penurunan kesadaran.
Penderita trauma yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan
ekstremitas, jarang dalarn keadaan hipovolemik. Wajah pucat keabu-abuan
dan ekstremitas yang dingin merupakan tanda hipovolemik.
Nadi
o Periksa kekuatan, kecepatan, dan irama
o Nadi yang tidak cepat, kuat, dan teratur : normovolemia
21
Page 21
o Nadi yang cepat, kecil : hipovolemik
o Kecepatan nadi yang normal bukan jaminan normovolemia
o Tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar, merupakan tanda
diperlukan resusitasi segera.
b. Perdarahan
Perdarahan eksternal harus dikelola pada primary survey dengan cara
penekanan pada luka.
Disability
Evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai adalah tingkat
kesadaran, ukuran pupil dan reaksi pupil terhadap cahaya dan adanya parese.
Suatu cara sederhana menilai tingkat kesadaran dengan AVPU
A : sadar (Alert)
V : respon terhadap suara (Verbal)
P : respon terhadap nyeri (Pain)
U : tidak berespon (Unresponsive)
Glasgow Coma Scale adalah sistem skoring sederhana dan dapat
memperkirakan keadaan penderita selanjutnya. Jika belum dapat dilakukan pada
primary survey, GCS dapat diiakukan pada secondary survey.
Menilai tingkat keparahan cedera kepala melalui GCS :
A. Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)
o Skor GCS 15 (sadar penuh, atentif; orientatif)
o Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya : konklusi)
o Tidak ada intoksikasi alkohol atau obat terlarang
o Pasien dapat tnengeluh nyeri kepala dan pusing
o Pasien dapat menderita abrasi, Iaserasi, atau hematoma kulit kepala
o Tidak ada kriteria cedera sedang-berat.
B. Cedera kepala sedang, (kelompok risiko sedang)
o Skor GCS 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
o Konklusi
o Muntah
o Tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda Battle, mata rabun,
hemotimpanum, otorea atau rinorea cairan serebro spinal)
22
Page 22
o Kejang.
C. Cedara kepala berat (kelompok risiko berat)
o Skor GCS 3-8 (koma)
o Penurunan derajat kesadaran secara progresif
o Tanda neurologis fokal
o Cedera kepata penetrasi atau teraba fraktur depresi kranium
Penurunan kesadaran dapat terjadi karena berkurangnya perfusi ke otak
atau trauma langsung ke otak. Alkohol dan obat-obatan dapat mengganggu
tingkat kesadaran penderita. Jika hipoksia dan hipovolemia sudah disingkirkan,
maka trauma kepala dapat dianggap sebagai penyebab penurunan kesadaran,
bukan alkohol sampai terbukti sebaliknya.
Exposure
Penderita trauma yang datang harus dibuka pakaiannya dan dilakukan evaluasi
terhadap jejas dan luka.
2. Secondary Survey
Pemeriksaan dari kepala sampai kaki (head to toe, examination), termasuk reevaluasi
tanda vital.Cari adanya tanda-tanda:
Racoon eyes sign (echimosis periorbital)
Battle’s Sign (echimosis retroaorikuler)
Rhinorrhea, Otorhea (tanda kebocoran LCS)
Segera setelah status kardiovaskular penderita stabil, dilakukan pemeriksaan
naeurologis lengkap.
Tingkat kesadaran dengan GCS
Pupil : dinilai isokor atau anisokor, diameter pupil, reaksi cahaya.
Motorik : dicari apakah ada parese atau tidak
Interpretasi pemeriksaan pupil pada penderita cedera kepala
Ukuran Pupil Reaksi Cahaya Interpretasi
Dilatasi unilateral Lambat atau (-) Paresis N III akibat kompresi
sekunder herniasi tentorial
Dilatasi bilateral Lambat atau (-) Perfusi otak tidak cukup, parese
N III bilateral
23
Page 23
Dilatasi unilateral
(equal)
Reaksi menyilang
(Marcus-Gunn)
Cedera N. Optikus
Konstriksi Bilatral Sulit dilihat Obta atau opiat, enchepalopati
metabolik, lesi pons
Konstriksi unilateral Positif Cedera saraf simpatik
C. Pemeriksaan penunjang
1. Foto polos cranium ( scadel )
Foto polos tengkorak adalah prosedur mutlak yang dikerjakan pada setiap cedera
kepala. Foto ini membantu mendiagnosa dini adanya fraktur pada tulang tengkorak.
2. Pemeriksaan CT-Scan
CT scan merupakan metode standar terpilih untuk cedera kepala baik ringan
sampai berat terutama dikerjakan pada pasien – pasien yang mengalami penurunan
kesadaran dan terdapat tanda – tanda peningkatan tekanan intrakranial. Selain untuk
melihat adanya fraktur tulang tengkorak, CT scan juga dapat melihat adanya
perdarahan otak, efek desakan pada otak dan bisa digunakan sebagai pemantau
terhadap perkembangan perdarahan pada otak.
PENATALAKSANAAN
A. Cedera Kepala Ringan (Gcs 14-15)
Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan sembuh tanpa penanganan berarti.
Tetapi, sekitar 3% mengalami komplikasi yang tidak terduga, mengakibatkan disfungsi
neuroligik berat jika penurunan status mental terlambat dideteksi.
1. Airway
Periksa dan bebaskan jalan nafas dari sumbatan.
2. Breathing
Perhatikan gerak napasnya, jika terdapat tanda – tanda sesak segera pasang oksigen.
3. Circulation
Periksa tekanan darah dan denyut nadi. Jika ada tanda – tanda syok segera pasang
infuse. Bila disertai dengan perdarahan yang cukup banyak bisa ditambah dengan
tranfusi darah ( whole blood ). Pasang kateter untuk memonitoring balans cairan.
4. Setelah kondisi pasien stabil, Periksa tingkat kesadaran pasien,
perhatikankemungkinan cedera spinal. Adanya cedera/ luka robek atau tembus. Jika
ada luka robek, bersihkan lalu di jahit.
24
Page 24
5. Foto rontgen tengkorak.Dilakukan pada posisi AP dan Lateral.
6. CTscan kepala.
Pemeriksaan ini perlu dilakukan pada semua cedera kepala, kecuali pada pasien –
pasien yang asimptomatik tidak perlu dilakukan.
7. Observasi
Jika pasien asimtomatik, sadar penuh, normal secara neurologis, maka pasien diamati
selama beberapa jam, diperiksa ulang, dan jika masih normal, akan dipulangkan.
B. Cedera Kepala Sedang (Gcs 9-13)
Sekitar 10% dari pasien cedera kepala adalah termasuk cedera kepala sedang. Pasien
masih dapat mengikuti perintah sederhana tetapi pasien biasanya bingung dan somnolen
dan mungkin terdapat defisit neurologis fokal seperti hemiparesis. Sekitar 10-20% dari
pasien ini mengalami penurunan kesadaran hingga koma.
Semua pasien ini memerlukan observasi di ruang ICU atau unit serupa yang
memudahkan observasi dan evaluasi neurologis ketat untuk 12 hingga 24 jam pertama.
CT scan untuk follow up dalam 12-24 jam dianjurkan jika hasil CT scan awal abnormal
atau jika terjadi penurunan pada status neurologis pasien.
25
Page 25
C. Cedera Kepala Berat (Gcs 3-8)
Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip ABC seperti pada cedera kepala ringan.
Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau gangguan di
bagian tubuh lainnya.
Pemeriksaan neurologis, meliputi : reflex buka mata, reflex cahaya pupil, respon
motorik, respon verbal, respon okulo sefalik ( Doll’s eye ).
Pemeriksaan penunjang : CT-scan, angiografi.
Rawat selama 7 – 10 hari.
Beri manitol 20 % ( 1 gr/BB ) bolus dalam 5 menit.
Furosemid ( 0,3 – 0,5 mg/BB ) diberi bersama manitol.
Antikonvulsan : fenitoin dan fenobarbital.
26
Page 26
D. Tatalaksana Fraktur Os Temporal
Intervensi pada fraktur temporalis diperlukan dalam dua situasi pada trauma tulang
temporal. Herniasi (encephalocele) ke dalam telinga tengah, mastoid, ataumeatus akustik
eksternal membutuhkan stabilisasi neurologis dan medis segera, dan CT scan untuk
menentukan kemungkinan koreksi dengan pembedahan dan yang kedua adalah
pendarahan masiv dari laserasi arteri karotis intra temporal namun merupakan komplikasi
yang jarang pada trauma temporal. trauma tulang temporal. Oklusi balon dengan
intervensi radiologi umumnya lebih cepat daripada ligasi bedah dan perbaikan dalam
situasi ini.
Riwayat fraktur tulang temporal berkaitan erat dengan evaluasi awal fungsi saraf
kranial. Pasien dengan fungsi saraf wajah yang baik umumnya dapat tanpa operasi,
meskipun onset kelumpuhan yang lambat dapat terjadi. Manajemen operasi ditentukan
jika fungsi saraf wajah memiliki prognosis buruk melalui hasil pengujian atau jika ada
bukti gangguan yang berat melalui CT scan.
PROGNOSIS
Cedera kepala bisa menyebabkan kematian atau penderita bisa mengalami
penyembuhan total. Jenis dan beratnya kelainan tergantung kepada lokasi dan beratnya
kerusakan otak yang terjadi. Tetapi semakin tua umur penderita, maka kemampuan otak
untuk menggantikan fungsi satu sama lainnya, semakin berkurang. Kemampuan berbahasa
pada anak kecil dijalankan oleh beberapa area di otak, sedangkan pada dewasa sudah
dipusatkan pada satu area. Jika hemisfer kiri mengalami kerusakan hebat sebelum usia 8
tahun, maka hemisfer kanan bisa mengambil alih fungsi bahasa. Penderita cedera kepala berat
kadang mengalami amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesadaran. Jika kesadaran telah kembali pada minggu pertama, maka
biasanya ingatan penderita akan pulih kembali.
27
Page 27
DAFTAR PUSTAKA
Alpen Patel, and Eli Groppo. Management of Temporal Bone Trauma. Department
of Otolaryngology–Head and Neck Surgery,Towson Medical Center,
Lutherville, Maryland; Department of Otolaryngology–Head and Neck
Surgery, University of California San Francisco. 2010.
Anatomy & Causes: Cranial Anatomy. Available at:
http://dryogeshgandhi.com/cranial.htm. Accessed on : 17 November 2014
David, Bernath. Head Injury. Available at : www.e-medicine.com. Accessed on : 17
Novovember 2014
Neural System Development - Cerebrospinal Fluid. Available at:
http://embryology.med.unsw.edu.au/Notes/neuron6a.htm. Accessed on : 17
November 2014
Sidharta, Priguna. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Penerbit : Dian Rakyat.
Jakarta : 2009
28