Top Banner
Laporan Kasus I Chronic Kidney Disease Stage V et cause Hypertensive Nephropathy dengan Anemia Gravis PENYUSUN : Anasti Putri Paramatasari 030.10.028 PEMBIMBING : dr. Budowin, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RSUD KARAWANG PERIODE 18 AGUSTUS - 25 OKTOBER 2014 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
62

CKD Stage V

Oct 09, 2015

Download

Documents

please use it wisely..
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Nephropathy dengan Anemia Gravis
RSUD KARAWANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat
dan ridho-Nya laporan kasus pertama dengan judul “Chronic Kidney Disease et cause
 Hypertensive Nephophaty stage V dengan Anemia dan Hipertensi” dapat terselesaikan. 
Chronic Kidney Disease  merupakan  suatu keadaan menurunnya laju filtrasi
glomerulus (LFG) yang bersifat tidak reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium
sesuai dengan jumlah nefron yang masih berfungsi. Banyaknya angkka kejadian dari
CKD membuat penulis tertantang untuk mendalami CKD beserta variasinya.
Terimakasih kepada dr. Budowin, Sp. PD selaku dosen pembimbing atas bimbingan
dan pencerahan yang telah diberikan dalam laporan kasus ini, kedua orang tua dan keluarga
yang senantiasa memberikan doa, semangat dan motivasi, juga rekan seperjuangan Co-
 Assisten Dept, Penyakit Dalam RSUD Karawang.
Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua dalam menghadapi ujian
akhir kepaniteraan klinis dan ujian sesungguhnya dalam praktek klinis nanti.
Karawang, September 2014
Anasti Putri Paramatasari
1.1  IDENTITAS..................................................................................... 3
BAB IV KESIMPULAN ...................................................................................... 58
  Suku Bangsa / Agama : Sunda / Islam
  Tanggal Masuk : 19 September 2014
  Tanggal Keluar : 29 September 2014
1.2  ANAMNESIS
2014 secara autoanamnesis.
Lemas lebih kurang sejak 1 bulan sebelum masuk Rumah Sakit.
Keluhan Tambahan
Riwayat Penyakit Sekarang
OS datang ke IGD pada 19 Sepember 2014 pukul 19.38 WIB dengan keluhan
lemas lebih kurang sejak satu bulan sebelum masuk rumah sakit. Lemas dirasakan di
seluruh anggota gerak, muncul terus menerus, bahkan saat sebelumnya OS tidak
melakukan aktivitas berat. Keluhan ini dirasakan tidak membaik dengan istirahat,
 bahkan semakin hari dirasakan semakin berat, sehingga OS tidak mampu lagi
 bekerja serabutan. OS belum pernah mersakan keluhan yang sama. Riwayat
kecelakaan, trauma pada bagian tulang belakang disangkal.
OS juga merasa mual lebih kurang sejak tiga bulan sebelum masuk rumah sakit.
OS mengaku mulutnya terasa seperti ada besi yang berkarat. Hal ini mengurangi
nafsu makan. Riwayat muntah disangkal.
BAK dan BAB dirasakan pasien tidak ada keluhan. Namun, sebelumnya pasien
merasakan sering BAK lebih dari sepuluh kali dalam sehari. OS juga sering
terbangun pada malam hari karena ingin BAK. Sekarang frekuensi BAK pasien
dirasakan berkurang, tidak seperti sebelumnya,
OS merasakan adanya gatal-gatal di perut dan di kedua kaki hampir bersamaan
dengan rasa mual, sejak tiga bulan yang lalu.
Kedua kaki pasien dirasakan bengkak sejak satu bulan yang lalu.
Penurunan berat badan, batuk lama, terbangun karena batuk, sesak, rasa baal di
kedua tungkai, disangkal pasien.
Riwayat kencing manis, sakit jantung, kolesterol disangkal pasien.
Riwayat Penyakit Keluarga
OS menyangkal adanya riwayat darah tinggi, stroke, kencing manis pada
keluarga.
OS memiliki kebiasaan merokok 5-6 batang sehari, namun sudah berhenti
sejak lebih kurang satu tahun yang lalu. OS juga memiliki kebiasaan meminum obat
warung, P*ramex, dua tablet setiap pagi, sejak lebih kurang dua tahun yang lalu
sampai dengan tiga hari yang lalu, dengan alasan untuk mengurangi rasa lemas dan
 pusing di kepala.
1.3  PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan di IGD pada hari Jumat, 19 September 2014,
 pukul 19.38 WIB dan di bangsal pada hari Minggu 21 September 2014 untuk
 pengukuran berat dan tinggi badan.
Keadaan Umum
  Status Gizi : gizi lebih
 
  Suhu : 36,7
o C 
Thorax
  Pulmo : 
simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru, suara dasar
Vesikular +/+ normal, suara tambahan Rhonki -. Wheezing - 
  Cor : 
ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis
sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea midklavikularis sinistra,
 batas kiri atas ICS III linea para sternalis sinistra, batas kanan ICS II-V linea
sternalis dekstra, SISII regular, Murmur-, Gallop -. 
Abdomen
  Bising usus normal 
  Raba halus kasar : tangan 3/3; kaki 3/3 
1.4  DIAGNOSIS BANDING
 
1.5  PEMERIKSAAN PENUNJANG
Telah dilakukan pemeriksaan penunjang pada hari Jumat, 19 September 2014
 berupa pemeriksaan hematologi dan EKG.
Tabel 1.1. Hasil Pemeriksaan Hematologi Tn. Ade Sujana (35 tahun)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Leukosit* 10.13 x10 3 /  3,80-10,60 x10 /  
Trombosit 309 x10 /   150-440 x10 /  
Hematokrit* 12.9 % 40,0-52,0 %
Ureum* 324.8 mg/dl 15,0-50,0 mg/dl
Creatinin* 20.11 mg/dl 0,60-1,10 mg/dl
 
10
Gambar 1.1.Hasil EKG Tn. Ade Sujana (35 thn) pada hari Jumat, 19 September 2014 pukul 20.00 WIB
Gambar 1.2.Hasil EKG Tn. Ade Sujana (35 thn) pada hari Jumat, 19 September 2014 pukul 20.00 WIB
Kesan: normo EKG
1.7.  PEMERIKSAAN TAMBAHAN
  Foto Thorax PA 
  Konsul ke Sp. PD : rencana HD I
 
Subjektif :
OS masih berada di IGD, menunggu ruang rawat inap. OS masih merasa lemas,
kedua kaki dan pinggul terasa berat. Mual –  Muntah -. Demam pasca transfuse PRC
2 labu, mencapai 38.4 0 C pukul 01.00 WIB.
Objektif :
  Tanda Vital :
BP 200/120 mmHg; HR 80bpm; RR 18tpm; T 37,6 0 C
  Kepala :
sianosis -,
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop –  
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT -
  Ekstremitas :
Planning :
 
Subjektif :
OS masuk ke bangsal Rengasdengklok. OS masih merasa lemas, kedua kaki
dan pinggul terasa berat. Mual –  Muntah -.
Objektif :
  Tanda Vital :
BP 200/120 mmHg; HR 80bpm; RR 18tpm; T 37.0 0 C
  Kepala :
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT -
  Ekstremitas :
Planning :
Hari Ke-III (Senin, 22 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, kedua kaki dan pinggul terasa berat. Mual –  Muntah -.
Objektif :
  Tanda Vital :
 
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT -
  Ekstremitas :
Planning :
 
  Captopril 25 mg tab 3X1
  Amilodipin 5mg tab 1X1- pagi
Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Darah (Senin, 22 September 2014 pukul 19.01)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hari Ke-IV (Rabu, 23 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, kedua kaki dan pinggul terasa berat. Perut terasa
 begah. Mual –  Muntah -.
  Tanda Vital :
 
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT –  Shifting dullness -
Planning :
  Captopril 25 mg tab 3X1
  Amilodipin 5mg tab 1X1- pagi
  HD dilakukan pada pukul 17.30
Tabel 1.2. Hasil Pemeriksaan Darah Post HD I (Selasa, 23 September 2014)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hari Ke-V (Rabu, 24 September 2014)  
Subjektif :
Pasca HD. OS masih merasa lemas, kedua kaki dan pinggul terasa berat. Perut
terasa begah. Mual –  Muntah -.
  Tanda Vital :
 
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
Hari Ke-VI (Kamis, 25 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, namun lebih baik dari kemarin. Kedua kaki masih
terasa berat namun lebih baik dari kemarin.. Perut terasa begah, dirasakan semakin
 berat. Mual –  Muntah -.
  Tanda Vital :
BP 200/130 mmHg; HR 86bpm; RR 22tpm; T 37.3 0 C
  Kepala :
  Leher :
22
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
  Captopril 25 mg tab 3X1
  Amilodipin 5mg tab 1X1- pagi
Tabel 1.3. Hasil Pemeriksaan Darah (Kamis, 25 September 2014 pukul 19.30)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hari Ke-VII (Jumat, 26 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, namun lebih baik dari kemarin. Kedua kaki masih
terasa berat namun lebih baik dari kemarin.. Perut terasa begah, dirasakan semakin
 berat. Mual-, muntah-. BAB berwarna hitam, konsistensi cair sedang 2 kali sehari
 banyaknya < 500ml.
  Tanda Vital :
BP 200/130 mmHg; HR 86bpm; RR 22tpm; T 37.3 0 C
  Kepala :
  Leher :
24
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
  Diet ginjal
  Telah dilakukan HD II
Tabel 1.4. Hasil Pemeriksaan Darah Post HD II (Jumat, 26 September 2014)
Parameter Hasil Nilai Rujukan
Hari Ke-VIII (Sabtu, 27 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, namun lebih baik dari kemarin. Kedua kaki masih
terasa berat namun lebih baik dari kemarin.. Perut terasa begah, lebih baik dari
kemarin. Mual-, muntah-. BAB normal, warna kuning kecoklatan, konsistensi cair
sedang, 1 kali.
  Tanda Vital :
BP 180/100 mmHg; HR 86bpm; RR 22tpm; T 37.3 0 C
  Kepala :
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
Hari Ke-IX (Minggu, 28 September 2014)  
Subjektif :
OS sudah tidak mengeluh lemas. Kedua kaki masih terasa berat namun lebih
 baik dari kemarin.. Perut terasa begah, lebih baik dari kemarin. Mual-, muntah-.
Objektif :
  Tanda Vital :
BP 180/110 mmHg; HR 86bpm; RR 22tpm; T 37.3 0 C
  Kepala :
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
 
28
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop -
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
 
Hari Ke-X (Senin, 29 September 2014)  
Subjektif :
OS masih merasa lemas, namun lebih baik dari kemarin. Kedua kaki masih
terasa berat, namun lebih baik dari kemarin.
Objektif :
  Tanda Vital :
BP 160/110 mmHg; HR 86bpm; RR 22tpm; T 37.3 0 C
  Kepala :
  Leher :
  Thorax :
Pulmo simetris saat statis dan dinamis, sonor di seluruh lapang paru,
suara dasar vesikular +/+, Rhonchi -/-, Wheezing  -/-.
Cor ictus cordis tampak dan teraba di ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri bawah ICS VI 1 cm lateral linea
midklavikularis sinistra, batas kiri atas ICS III linea para sternalis
sinistra, batas kanan ICS II-V linea sternalis dekstra, SISII regular,
Murmur-, Gallop –  
 paling banyak di region hipokondrium dan lumbal dextra, pus -. BU+,
 NT + region epigastrium, Shifting dullness -
  Ekstremitas :
Planning :
  Diet ginjal
 
  Valsartan 160 mg tab 1x1 No VII
  Amilodipin 10 mg tab 2X1 No. VII
1.10. PROGNOSIS
2.1  ANALISIS KASUS
Diagnosis kerja berupa Anemia Gravis, Hipertensi Urgency dan CKD Stage V
didapatkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Beberapa temuan yang mendukung diagnosis kkerja anemia gravis adalah
adanya keluhan yang mana OS merasa lemah, dan pada pemeriksaan fisik didapatkan
konjungtiva pars palpebralis yang tampak anemis. Diagnosis ini dipastikan lagi
dengan adanya hasil labooratorium berupa nilai Hb 4.3gr/dL.
Diagnosis hipertensi urgency didapatkan dari hasil pemeriksan fisik, dimana
tekanan darah pasien mencapai 210/130 mmHg tanpa ditemukan adanya target organ
damage seperti sroke, hipertensi encephalopathy dan sebagainya.
Dan diagnosis kerja CKD stage V et cause Hipertensi Nephropathy didapatkan
dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik berupa tensi yang meningkat, adanya tanda
uremic syndrome berupa pruritus dan dari hasil pemeriksaan lab diadapatkan Hb 4.3
gr/dl, ureum 324.8 mg/dl dan serum creatinine 20.11 mg/dl. Dan dari hasil
 perhitungan e-GFR didapatkan niali GFR pada pasien ini ⁄ .
Pada pasien ini dilakukan HD atas inidikasi GFR yang kurang dari
⁄ , kadar ureum yang lebih dari 200 mg/dL dan adanya  fluid
overloaded   dengan manifestasi pitting oedema bilateral pada tungkai.
 
Penyakit ginjal kronik (CKD) atau Chronic Kidney Disease  (CKD) adalah
suatu keadaan menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) yang bersifat tidak
reversibel, dan terbagi dalam beberapa stadium sesuai dengan jumlah nefron yang
masih berfungsi. 1
 berbahaya, dan dapat mematikan jika tidak diterapi. 2
Penyakit ini ditandai oleh
kerusakan ireversibel fungsi ginjal yang secara bertahap dapat berkembang menjadi
stadium akhir penyakit ginjal kronis,yaitu Gagal Ginjal Terminal (GGT) atau  End-
 stage Renal Disease  (ESRD). CKD telah muncul sebagai masalah kesehatan
masyarakat yang serius. Data dari United States Renal Data System  (USRDS)
menunjukkan bahwa kejadian gagal ginjal meningkat di kalangan orang dewasa dan
umumnya dikaitkan dengan hasil atau outcome  yang buruk dan tingginya biaya
 perawatan. Dalam dasawarsa yang lalu, insiden dari CKD pada anak-anak semakin
meningkat , terutama pada kaum miskin dan etnis minoritas.
Konsekuensi utama dari CKD tidak hanya mencakup progresi ke Gagal Ginjal
Terminal (GGT), tetapi juga peningkatan risiko penyakit kardiovaskular. Pedoman
 praktek klinis bedasarkan bukti (evidence-based ) menganjurkan deteksi dini dan
terapi untuk penderita CKD ,terutama yang terkait dengan komplikasinya untuk
meningkatkan pertumbuhan, perkembangan dan pada akhirnya kualitas hidup pada
anak-anak dengan kondisi kronis ini. 3  
Definisi dan klasifikasi dari CKD penting untuk dapat mengidentifikasi
 
mencapai tujuan ini,  Kidney Disease Outcomes Quality Initiative  (KDOQI) sebagai
kelompok kerja dari the  National Kidney Foundation of the United States memberi
definisi dari Penyakit ginjal kronik (CKD) atau Chronic Kidney Disease ( CKD)
sebagai "evidence of structural or functional kidney abnormalities (abnormal
urinalysis, imaging studies, or histology) that persist for at least 3 months, with or
without a decreased glomerular filtration rate (GFR), as defined by a GFR of less
than 60 mL/min per 1.73 m 2 . 3
Kriteria GFR <60 mL/menit pada anak-anak dengan usia lebih muda dari 2
tahun tidak berlaku secara absolut, karena mereka biasanya memiliki nilai Laju
Filtrasi Glomerular (LFG) atau Glomerular Filtration Rate  (GFR) yang rendah,
 bahkan setelah dikoreksi sesuai luas permukaan tubuhnya. Pada pasien ini, GFR yang
dihitung berdasar kreatinin serum dapat dibandingkan dengan nilai normal yang
sesuai usianya untuk mendeteksi kerusakan ginjal 3 ,   oleh karena itu sesuai dengan
 pedoman dari KDOQI CKD, ada satu kriteria diagnosis tambahan yaitu bukti adanya
kerusakan struktural ginjal,sehingga pada anak dengan GFR yang normal namun
memiliki bukti adanya kerusakan struktural atau fungsi ginjal maka sudah dapat
didiagnosis sebagai CKD 6 . 
 
Prevalensi CKD pada populasi anak diperkirakan mencapai 18 per 1 juta anak   
4 . Menurut laporan data tahunan USRDS tahun 2006, kejadian Gagal Ginjal
Terminal (GGT) /  End-Stage Renal Disease  (ESRD) di Amerika Serikat pada
 populasi usia 0-19 tahun adalah 14 per satu juta. Etiologi bervariasi dengan usia,
tetapi yang paling dominan adalah anomaly struktural. Pada data laporan terbaru dari
Chronic Renal Insufficiency arm of the North American Pediatric Renal Transplant
Cooperative Study (NAPRTCS) menunjukkan bahwa sekitar dua pertiga dari pasien
 
34
 prevalensi yang sama pada anak laki-laki maupun perempuan, walaupun pada laki-
laki lebih sering ditemukan adanya uropati obstruktif. Angka kejadian CKD lebih
sering pada dewasa dibandingkan pada anak-anak,dan pada anak lebih sering terjadi
 pada kelompok usia diatas 6 tahun .Studi kohort yang dilakukan dari NAPRTCS
menunjukkan persentase 19% pada kelompok usia 0-1tahun,17% pada kelompok usia
2-5tahun, 33% pada kelompok usia 6-12tahun, 31% pada kelompok usia diatas 12
tahun. Angka kejadian CKD pada anak di Indonesia yang bersifat nasional belum
ada. Pada penelitian di 7 rumah sakit Pendidikan Dokter Spesialis Anak di Indonesia
didapatkan 2% dari 2889 anak yang dirawat dengan penyakit ginjal (tahun 1984-
1988) menderita CKD. Di RSCM Jakarta antara tahun 1991-1995 ditemukan CKD
sebesar 4.9% dari 668 anak penderita penyakit ginjal yang dirawat inap, dan 2.6%
dari 865 penderita penyakit ginjal yang berobat jalan 1 . CKD pada anak umumnya
disebabkan oleh karena penyakit ginjal menahun atau penyakit ginjal kongenital.
Angka kejadian di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Soetomo Surabaya selama 5
tahun (1988-1992) adalah 0,07% dari seluruh penderita rawat tinggal di bangsal anak
dibandingkan di RSCM Jakarta dalam periode 5 tahun (1984-1988) sebesar 0,17% 1 .
3.3  DEFINISI
Penyakit ginjal kronis (CKD) didefinisikan sebagai kerusakan ginjal
(proteinuria) dan atau  laju filtrasi glomerulus (GFR)<60 mL/mnt/1.73 m 2   dalam
 jangka waktu lebih dari 3 bulan. 4  
Keberadaan penyakit ginjal kronik (CKD) harus ditetapkan berdasarkan adanya
kerusakan ginjal dan tingkat fungsi ginjal (laju filtrasi glomerulus (GFR)) 6 .
CKD telah didefinisikan sesuai dengan kriteria yang tercantum dalam kutipan
tabel dibawah ini 6 :
Tabel 3.1. Kriteria Chronic Kidney Disease (CKD) 6  
Di antara pasien dengan penyakit ginjal kronis (CKD), Stage atau derajat harus
ditentukan berdasarkan pada tingkat fungsi ginjal, sesuai kutipan tabel menurut
klasifikasi CKD KDOQI dibawah ini: 6
Tabel 3.2. Staging CKD berdasarkan GFR  6  
Semua individu dengan GFR <60 mL/mnt/1.73 m 2  selama lebih dari 3 bulan
diklasifikasikan sebagai Penyakit Ginjal Kronik (CKD), terlepas dari adanya maupun
tidak adanya kerusakan ginjal (contoh :ditemukannya proteinuria persisten, sedimen
urin yang abnormal, kimia darah dan urin yang abnormal, dan pencitraan yang
abnormal). Dasar pemikiran untuk mengikutsertakan individu dengan penurunan
 
menunjukkan bahwa telah terjadi kehilangan setengah atau lebih dari fungsi ginjal
sesuai tingkatan normal pada individu tersebut,karena hal itu terkait dengan beberapa
komplikasi yang dapat terjadi 6 .
Semua individu dengan kerusakan ginjal dapat diklasifikasikan sebagai CKD,
terlepas dari penurunan tingkat GFR. Dasar pemikiran untuk mengikutsertakan
individu dengan GFR 60 mL/min/1.73 m2 adalah bahwa GFR masih dapat
dipertahankan pada tingkat normal ataupun meningkat meskipun terjadi kerusakan
ginjal yang substansial , dan pada pasien dengan kerusakan ginjal mengalami
 peningkatan risiko dari dua komplikasi utama dari CKD: hilangnya fungsi ginjal dan
 perkembangan penyakit kardiovaskular 6 .
(acquired ), warisan (inherited ), atau penyakit ginjal metabolik, dan penyebab yang
mendasari berkorelasi erat dengan usia pasien pada saat CKD pertama kali
terdeteksi.
CKD pada anak-anak dengan usia dibawah 5 tahun paling sering akibat
kelainan bawaan seperti hipoplasia ginjal, displasia, dan atau obstruktif
uropati. Penyebab yang lain termasuk sindrom nefrotik kongenital, sindrom  prune
belly, nekrosis kortikal , focal segmental glomerulosclerosis, penyakit ginjal
 polikistik, trombosis vena ginjal, dan sindrom hemolitik uremik (HUS) .
Setelah usia 5 tahun, penyakit yang didapat (berbagai bentuk glomerulonefritis
termasuk lupus nefritis) dan kelainan bawaan ( familial juvenile nephronophthisis,
sindrom Alport) mendominasi. CKD yang terkait gangguan metabolisme (cystinosis,
hyperoxaluria) dan kelainan bawaan tertentu (penyakit ginjal polikistik) dapat muncul
sepanjang masa kanak-kanak 4 .
kasus CKD yang dilaporkan berasal dari pasien dengan diagnosa obstruktif uropathy
(22%), aplasia / hypoplasia / displasia ginjal (18%), dan refluks nefropati (8%)
,dimana kelainan struktural adalah penyebab yang dominan pada pasien dengan usia
yang lebih muda,dan insidensi glomerulonefritis (GN) meningkat pada pasien
dengan usia lebih dari 12 tahun. Di antara penyebab kelainan glomerular, hanya focal
 segmental glomerulosclerosis  (FSGS) yang memiliki persentase yang signifikan
(8,7%), sedangkan gabungan glomerulonefritis lain menyumbang kurang dari 10%
dari penyebab CKD pada anak-anak. Untuk alasan-alasan yang masih belum jelas,
FSGS adalah tiga kali lebih sering terjadi pada orang kulit hitam daripada putih (18%
vs 6%) dan ini terutama terjadi di kalangan remaja hitam dengan CKD . Angka
 penyebab CKD pada sebuah penelitian di amerika utara dapat dilihat pada tabel
dibawah ini: 7
Tabel 3.3. Diagnosis distribution of North American Pediatric Renal Trials and
Collaborative Studies (NAPRTCS) in chronic renal insufficiency (CRI) patients  7  
Distributions by diagnosis Number Percent
Male
Percent
white
Percent
black
Percent
other
Primary diagnosis
Aplastic/hypoplastic/dysplastic
kidney
Other 913 58 63 16 21
FSGS 557 57 40 39 21
 
Male
Percent
white
Percent
black
Percent
other
Unknown 168 52 47 20 32
HUS 134 58 81 7 11
SLE nephritis 96 25 27 41 32
Cystinosis 97 48 92 3 5
Familial nephritis 99 86 61 12 27
Pyelo/interstitial nephritis 87 39 64 20 16
Medullary cystic disease 82 50 84 9 7
Chronic GN 76 50 43 29 28
MPGN-type I 67 61 48 19 33
Berger’s (IgA) nephritis  64 63 64 16 20
Congenital nephrotic syndrome 68 46 46 12 43
Idiopathic crescentic GN 46 48 52 24 24
Henoch-Schönlein nephritis 40 65 78 3 20
MPGN-type II 29 72 79 3 17
Membranous nephropathy 33 48 30 39 30
 
Male
Percent
white
Percent
black
Percent
other
Wilms tumor 28 54 57 21 21
Wegener’s granulomatosis  17 76 94 0 6
Sickle cell nephropathy 13 62 0 92 8
Diabetic GN 11 50 36 45 18
Oxalosis 6 67 83 0 17
Drash syndrome 6 100 67 0 33
 FSGS= focal segmental glomerulosclerosis, HUS  =hemolytic uremic
syndrome, SLE =systemic lupus erythematosus, GN  =glomerulonephritis, MPGN
=membranoproliferative GN, IgA =immunoglobulin A
 Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective.
 Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007
3.5 PATOGENESIS
Pada Penyakit Ginjal Kronik (CKD), kerusakan atau cedera pada ginjal oleh
sebab struktural maupun penyakit metabolik genetik masih tetap berlanjut meskipun
 penyebab utamanya telah dihilangkan 4 . Hal ini menunjukkan adanya mekanisme
adaptasi sekunder yang sangat berperan pada kerusakan yang sedang berlangsung
 
kerusakan ginjal yang awal akan menyebabkan pembentukan jaringan ikat, dan
kerusakan nefron yang lebih lanjut. Demikian seterusnya keadaan ini berlanjut
menyerupai suatu siklus yang berakhir dengan gagal ginjal terminal (GGT) atau
 Kidney Failure atau  End-Stage Renal Disease (ESRD) 1 .
 Hyperfiltration injury  / cedera hiperfiltrasi adalah perjalanan umum dari
kerusakan glomerulus,dan tidak bergantung pada penyebab yang mendasari
kerusakan ginjal. Dengan hilangnya nefron , sisa nefron yang lain mengalami
hipertrofi struktural dan fungsional ditandai dengan peningkatan aliran darah
glomerular. Kekuatan pendorong untuk filtrasi glomerulus meningkat pada nefron
yang masih hidup. Meskipun mekanisme hiperfiltrasi ini sementara dapat memelihara
fungsi ginjal , hal ini dapat menimbulkan kerusakan progresif pada glomeruli yang
masih hidup,disebabkan efek langsung dari peningkatan tekanan hidrostatik pada
intergritas dinding kapiler dan atau efek beracun dari peningkatan protein yang
melintasi dinding kapiler. Seiring waktu, dengan populasi nefron yang mengalami
 sclerosing  meningkat, nefron yang masih hidup akan mengalami peningkatan beban
ekskresi yang bertambah,sehingga akan menyebabkan lingkaran setan hiperfiltrasi
dan peningkatan aliran darah glomerulus 4 .
Proteinuria sendiri dapat menyebabkan penurunan fungsi ginjal, sebagaimana
dibuktikan oleh penelitian bahwa pengurangan proteinuria dapat menunjukan efek
yang menguntungkan. Protein yang melintasi dinding kapiler glomerulus dapat
memberikan efek toksik langsung dan mendatangkan monosit atau makrofag, hal itu
meningkatkan proses glomerular sclerosis dan tubulointerstitial fibrosis 4 .
Hipertensi yang tidak terkontrol dapat memperburuk perkembangan penyakit
dengan menyebabkan arteriolar nephrosclerosis disebabkan proses hiperfiltrasi yang
sudah dijelaskan sebelumnya 4 .
kalsium-fosfat di intersitium ginjal dan pembuluh darah 4 .
 
Hiperlipidemia, sebuah kondisi umum pada pasien CKD, dapat merusak fungsi
glomerular melalui oxidant-mediated injury 4 .
3.6 MANIFESTASI KLINIK
Awal CKD biasanya tanpa gejala, atau hanya menunjukkan keluhan-keluhan
yang tidak khas seperti sakit kepala, lelah, letargi, nafsu makan menurun, muntah,
gangguan pertumbuhan 1 . Presentasi CKD sangat bervariasi dan tergantung pada
 penyakit ginjal yang mendasarinya.Anak-anak dan remaja dengan CKD dari
glomerulonefritis kronis (membranoproliferative glomerulonefritis) dapat hadir
dengan edema, hipertensi, hematuria, tanda overload volume cairan ekstraselular dan
 proteinuria. Bayi dan anak-anak dengan kelainan bawaan seperti obstruktif uropati,
displasia ginjal dapat hadir dalam periode neonatal dengan gagal tumbuh, dehidrasi
 poliuria, infeksi saluran kemih, atau insufisiensi renal. Banyak bayi dengan penyakit
ginjal bawaan dapat diidentifikasi dengan USG prenatal, memungkinkan diagnostik
dan intervensi terapeutik awal 4 .
Pada pemeriksaan fisik pasien tampak pucat dan lemah. Pasien CKD lama yang
tidak diobati dapat dijumpai perawakan yang pendek dan kurus ,disebabkan oleh
kelainan osteodistrofi ginjal 4 .
,dapat juga dijumpai hiperkalemia, hiponatremia (jika volume berlebihan), asidosis,
hipokalsemia, hiperfosfatemia, dan peningkatan asam urat. Pasien dengan proteinuria
 berat mungkin memiliki Hipoalbuminemia. Pada pemeriksaan darah lengkap
(complete Blood Count   / CBC) biasanya menunjukkan anemia normositik
normokrom. Serum kolesterol dan kadar trigliserida biasanya tinggi. Anak-anak
dengan CKD yang disebabkan oleh glomerulonefritis, dapat ditemui hematuria dan
 proteinuria pada urinalisis. Pada anak-anak dengan CKD oleh sebab kongenital
seperti displasia ginjal, maka urine biasanya memiliki berat jenis yang rendah dan
kelainan yang minimal 4 .
Gangguan ekskresi air, Ginjal adalah pengatur volume cairan tubuh yang
utama. Karena ginjal memiliki kapasitas untuk mengencerkan dan memekatkan urin.
Pada CKD,kapasitas ini terganggu sehingga dapat menyebabkan retensi dari zat
sampah maupun overload cairan pada tubuh 11
.
mengatur keseimbangan natrium menjadi terganggu, pada pasien dengan CKD yang
stabil jumlah total natrium dan cairan pada tubuh menigkat,walau kadang tidak
 begitu terlihat pada pemeriksaan fisik.Pada berbagai bentuk gangguan ginjal
(cth,Glomerulonefritis),terjadi gangguan pada glomerulotubular sehingga tidak dapat
menjaga keseimbangan dari intake natrium yang berlebih terhadap jumlah yang
diekskresikan,hal ini menyebabkan retensi natrium dan ekspansi dari cairan
ekstraselular sehingga terjadi hipertensi,yang dapat semakin menambah kerusakan
 pada ginjal 10
 penderita CKD,hal ini disebabkan retensi dari air yang berlebihan,sehingga
menyebabkan dilusi pada cairan intravascular 11
.
kalium,dan biasanya hiperkalemia yang berat terjadi saat GFR <10mL/menit/1.73m 2 .
apabila hiperkalemia terjadi pada GFR >10mL/menit/1.73m 2   ,harus dicari penyebab
dari hiperkalemia,termasuk diantaranya : intake kalium yang berlebih, hyporeninemic
hypoaldosteronism, asidosis metabolic yang berat,tranfusi darah, hemolisis,
katabolisme protein, penggunaan obat-obatan seperti ACE inhibitor ,B-blocker, dan
aldosteron antagonist 10,11
hal ini terjadi biasanya karena intake kalium yang rendah,penggunaan diuretic yang
 berlebihan, kehilangan kalium dari GIT.Dapat juga terjadi karena terbuangnya kalium
yang berlebihan pada penyakit primer yang mendasari CKD,misalnya fanconi
syndrome, renal tubulah acidosis, maupun bentuk kelainan herediter atau yang
didapat yang lain. Namun pada keadaan GFR yang menurun sekali,maka hipokalemia
sendiri akan berkurang dan dapat terjadi hiperkalemia 10
.
 
Asidosis metabolik   berkembang di hampir semua anak-anak dengan CKD
.
Uremia , walaupun konsentrasi urea serum dan kreatinin digunakan sebagai
ukuran kapasitas ekskresi dari ginjal . akumulasi hanya dari kedua molekul ini tidak
 bertanggung jawab atas gejala dan tanda yang karakteristik pada uremic syndrome 
 pada gagal ginjal yang berat.Ratusan toksin yang berakumulasi pada penderita gagal
ginjal berperan dalam uremic syndrome. Hal ini meliputi water-soluble, hydrophobic,
 protein-bound, charged, dan uncharged compound .Sebagai tambahan,produk
ekskresi nitrogen termasuk diantaranya guanido, urat, hippurat, produk dari
metabolism asam nukleat, polyamines, mioinositol, fenol, benzoate, dan indol.
Uremia sendiri menyebabkan gangguan fungsi dari setiap sistem organ. Dialisis
kronik dapat mengurangi insiden dan tingkat keparahan dari gangguan ini 10
.Kadar
urea yang tinggi dapat menyebabkan gangguan pada mulut,yaitu kadar urea yang
tinggi pada saliva dan menyebabkan rasa yang tidak enak (seperti ammonia), fetor
uremikum (bau nafas seperti ammonia),dan uremic frost   .Gangguan pada serebral
terjadi pada kadar ureum yang sangat tinggi,dan dapat menyebabkan coma
uremicum.Pada jantung dapat mengakibatkan uremic pericarditis  maupun uremic
cardiomyopathy 11
 berkelanjutan yang berkaitan dengan kelebihan beban volume intravascular dan atau
 produksi renin yang berlebihan berkaitan dengan penyakit glomerular 4 .
Anemia  ,hal ini umum terjadi pada pasien dengan CKD ,terutama disebabkan
karena produksi eritropoietin tidak memadai (dibentuk di korteks ginjal, pada
interstitial, tubular atau sel endotelial) dan biasanya tampak lebih nyata pada pasien
dengan CKD tahap 3-4. Faktor lain yang mungkin menyebabkan anemia termasuk
kekurangan zat besi, asam folat atau vitamin B12, dan penurunan survival-time dari
eritrosit 4,11
 
fibrinolitik karena fibrinolisin tidak tereliminir pada ginjal 10,11
.
Gangguan Pertumbuhan, perawakan yang pendek adalah sekuel jangka
 panjang dari CKD yang terjadi di masa kanak-kanak. Anak-anak dengan CKD berada
dalam keadaan resisten terhadap growth hormon (GH) walaupun terjadi peningkatan
kadar GH namun terjadi penurunan kadar insulin like growth factor 1(IGF-1) dan
abnormalitas dari insulin like growth factor  – binding proteins 4 .
Tabel 3.4. Faktor Penyebab Terjadinya Gangguan Pertumbuhan Pada Penderita
CKD
Gangguan keseimbangan air dan elektrolit, dan asidosis metabolik
Osteodistrofi renal
Ganguan hormonal
Terapi kortikosteroid
Faktor psikososial
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal
failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric
nephrology. 3 rd
digunakan untuk menunjukkan suatu spektrum kelainan tulang yang ditemui pada
 
adalah gangguan berupa tingginya turnover  pada tulang  yang disebabkan oleh
hiperparatiroidisme sekunder. Temuan patologik ini disebut osteitis fibrosa
cystica. Patofisiologi osteodistrofi ginjal sangat kompleks. Pada awal perjalanan
CKD, ketika GFR menurun kira-kira 50% dari normal, penurunan massa ginjal secara
fungsional menyebabkan penurunan aktivitas hidroksilase-1α ginjal, dengan
 penurunan produksi vitamin D aktif (1,25-dihydroxycholecalciferol ). Kekurangan
 bentuk aktif vitamin D ini mengakibatkan penurunan penyerapan kalsium di usus
halus, sehingga terjadi hipokalsemia, dan peningkatan aktivitas kelenjar paratiroid.
Peningkatan sekresi hormon paratiroid (PTH) sebagai upaya untuk memperbaiki
hipokalsemia,dengan meningkatan resorpsi tulang. Kemudian dalam perjalanan CKD,
ketika GFR menurun 20-25% dari normal, mekanisme kompensasi untuk
meningkatkan ekskresi fosfat menjadi tidak memadai, sehingga mengakibatkan
hiperfosfatemia yang kemudian lebih lanjut akan mengakibatkan hipokalsemia dan
 peningkatan sekresi PTH.
Manifestasi klinis osteodistrofi ginjal termasuk kelemahan otot, nyeri tulang,
dan mudah fraktur akibat trauma ringan. Pada anak-anak yang sedang tumbuh, dapat
terjadi perubahan rakitik, deformitas varus dan valgus pada tulang panjang , dan
terselipnya kepala epifisis tulang femur dapat dilihat. Studi laboratorium mungkin
menunjukkan penurunan kadar kalsium serum, peningkatan tingkat fosfor serum,
 peningkatan alkali fosfatase, dan tingkat PTH normal. Radiografi dari tangan,
 pergelangan tangan, dan lutut menunjukkan resorbsi subperiosteal tulang dengan
 pelebaran metafisis.
Adynamic Bone Disease  (low-turnover bone disease) dapat terjadi pada anak dan
orang dewasa dengan CKD. Temuan patologis yang ditemukan berupa osteomalasia
,hal ini berhubungan dengan supresi berlebihan dari PTH, mungkin terkait dengan
 penggunaan calcium containing-phosphat binder  dan analog vitamin D 4 .
 
 
Anamnesis dan pemeriksaan fisik penting untuk mengungkap penyebab gagal
ginjal, meskipun pada beberapa anak hal tersebut baru bisa diungkapkan melalui
 pemeriksaan2 yang spesifik 1 .dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 3.5. Investigasi Spesifik untuk Menentukan Penyebab Utama Terjadinya CKD 1  
Renal tract ultrasound
Antegrade pressure flow studies
Renal biopsy
Oxalate excretion
Purine excretion
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal
failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric
nephrology. 3 rd
 
Tabel 3.6. Investigasi untuk Menentukan Durasi dan Tingkat Keparahan CKD .
Full blood count
calcium, phosphate, alkalin
failure
Left hand and wrist X-ray For bone age and evidence of rena
osteodystrophy
ECG or echocardiogram To asses left ventricular hypertrophy
(Dikutip dari: Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage rena
failure in children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatri
nephrology. 3 rd
Kelainan struktural ginjal secara  gross appearance  umumnya berupa ginjal
yang mengecil dengan permukaan yang granular dan kapsul yang melisut. Namun
 bentuk ginjal sendiri sesuai dengan penyebab yang mendasari, pada amyloid dan
diabetic nephopathy dapat ditemukan ukuran ginjal yang normal, dan pada
hydronephrosis  dapat ditemukan ukuran ginjal yang membesar. Kelainan secara
mikroskopik menunjukkan adanya fibrosis interstitial yang difus, atropi tubular, dan
hyalinosis pada glomerulus. Sisa glomerulus dan tubulus yang masih hidup terjadi
dilatasi.Kadang pada pemeriksaan mikroskopik dapat ditemukan factor penyebab dari
PGK,misalnya renal amiloidosis 11
ditemukannya proteinuria, abnormalitas dari sedimen urin dan abnormalitas dari studi
 pencitraan. Pemeriksaan sedimen urin dan imaging studies /   studi pencitraan dapat
mengetahui bentuk kelainan yang mendasari PGK,dan juga mengetahui lokasi
kerusakan pada ginjal 12
.
Pada pemeriksaan sedimen urin, sel dapat berasal dari traktus urinarius hingga
genitalia eksterna, silinder cast  terbentuk di tubulus dari tamm-horsfall protein yang
menangkap sel-sel,debris,Kristal,lemak,dan protein yang terfiltrasi.Cast ini terbentuk
 pada urin yang konsentrat atau dalam keadaan pH yang asam. Sejumlah besar sel
darah merah, leukosit atau selular cast dalam sedimen urin menunjukkan adanya
 penyakit ginjal akut maupun kronis. Penyebab hematuria banyak ditemui pada
gangguan nefron dan urologik .dysmorphic red cell   dan red blood cell cast  sering
ditemukan pada glomerulonefritis, pyuria dan  pus cell cast   menunjukkan nefritis
tubulointerstitial, apabila disertai hematuria maka dapat merujuk pada kelainan
glomerular. Eosinofiluria secara khusus dikaitkan dengan  alergic tubulointerstitial
nephritis. 12
 Imaging studies atau studi pencitraan berguna pada kelainan urologik maupun
intrinsik ginjal.Misalnya hidronefrosis ditemukan pada obstruksi saluran kemih dan
reflus vesikoureter.adanya kista (kista multipel makroskopik atau pembesaran ginjal
 bilateral) dapat merujuk pada penyakit ginjal polikistik. Gambaran abnormal pada
korteks ginjal juga dapat menunjukkan kerusakan pada gomerulus, tubulointersitial
maupun vaskular ginjal.Pencitraan dapat dilakukan dengan menggunakan USG, CT-
Scan, MRI, IVP (intravenous pyelography), Nuclear scans. 12
Kelainan fungsi ginjal sendiri dapat ditentukan dengan tes fungsi ginjal ,yang
dapat dievaluasi dengan berbagai uji laboratorium secara mudah. Langkah awal
dimulai dengan pemeriksaan urinalisis lengkap, termasuk pemeriksaan sedimen
kemih. Berbagai informasi penting mengenai status fungsi ginjal dapat diperoleh dari
 
Dalam keterbatasannya kedua uji tersebut mampu membuat estimasi laju filtrasi
glomerulus (LFG) atau Glomerular Filtration Rate  (GFR) yang akurat. Untuk
menetapkan GFR yang lebih tepat dapat dilakukan pengukuran dengan klirens
kreatinin atau klirens inulin atau penetapan GFR secara kedokteran nuklir. Evaluasi
fungsi tubulus diukur melalui pengukuran metabolisme air dan mineral serta
keseimbangan asam basa 9 .
Kadar BUN normal pada seorang anak dengan gizi dan hidrasi yang baik
dianggap mencerminkan GFR yang normal.Meskipun bebas filtrasi dalam
glomerulus, urea mengalami reabsorbsi yang bermakna dalam tubulus renal.
Reabsorbsi urea disepanjang tubulus proksimal dan loop of Henle terjadi secara pasif,
reabsorbsi dalam duktus collegentes sangat bergantung pada vasopressin. Dalam
keadaan antidiuresis atau apabila aliran kemih berkurang, absorbsi urea dalam nefron
distal meningkat,dan menurun bila telah terjadi diuresis.Dibandingkan dengan
kreatinin serum, BUN agak kurang akurat dalam menilai GFR, hal ini dikarenakan
danya proses reabsorbsi urea dalam tubulus ginjal.
3.8 PENATALAKSANAAN  
1.  Mengganti fungsi ginjal yang hilang,dimana terjadi penurunan yang
 progresif sejalan dengan penurunan GFR.
2.  Memperlambat progresivitas dari disfungsi ginjal. Anak dengan PGK
sebaiknya dirawat di layanan kesehatan yang mampu memberikan layanan
multidisiplin,seperti medik, perawatan, nutrisi, sosial dan psikologi.
Pengelolaan PGK memerlukan pemantauan ketat terhadap klinis dan hasil
laboratorium pasien. Studi laboratorium darah harus diikuti secara rutin meliputi
serum elektrolit, BUN, kreatinin, kalsium, fosfor, albumin, alkalin fosfatase, dan
 
 Echocardiography  harus dilakukan secara berkala untuk mendeteksi adanya
hipertrofi ventiklel kiri dan disfungsi jantung sebagai akibat dari komplikasi PGK 4 .
Keseimbangan air dan elektrolit   1,4
 
Pada sebagian besar anak dengan PGK,mereka dapat menjaga keseimbangan air
dan elektrolit dengan normal dengan asupan natrium yang sesuai dari diit yang tepat .
Anak dengan PGK yang disebabkan displasia ginjal umumnya terjadi poliuria dengan
kehilangan natrium berlebih dari urin,asupan dengan volume yang tinggi,rendah
kalori disertai suplemen natrium khlorida sebaiknya diberikan pada kasus-kasus
tersebut dengan pemantauan ketat terhadap pertumbuhan, sembab, hipertensi, atau
hipernatremia. Kebutuhan air disesuaikan dengan jumlah urine yang keluar.
Anak-anak dengan penyakit ginjal primer yang menimbulkan hipertensi,edema,
dan gagal jantung dianjurkan untuk membatasi asupan natrium dan air.
Sebagian besar anak dengan GGK mampu mempertahankan homeostasis
kalium,kecuali bila fungsi ginjal sudah sangat menurun sampai tingkat dimana
dialisis diperlukan.Namun,hiperkalemia juga dapat ditemukan pada penderita yang
mendapat asupan kalium berlebihan, asidosis berat, atau hiporeninemic
hipoaldosteronisme (terkatit dengan kerusakan juxtaglomerular apparatus (JGA)
yang mensekresi renin). Bila terjadi hiperkalemia, perlu diterapi dengan restriksi
asupan kalium, oral alkalinizing agents  seperti natrium bicarbonate ,dan atau
 potassium exchange resin (kayexalate).
Untuk mempertahankan keseimbangan asam basa perlu diberikan suplemen
natrium bikarbonat dimulai dari dosis 2 mEq/kgBB/hari, dengan pemantauan pH dan
kadar bikarbonat pada analisis gas darahnya,diusahakan kadar dalam darah >22
mEq/L.
Pasien dengan PGKD biasanya membutuhkan pembatasan berbagai komponen
diet yang progresif sejalan dengan fungsi ginjal yang menurun. Diet fosfor, kalium,
dan natrium harus dibatasi sesuai dengan studi laboratorium dan keseimbangan cairan
 pasien. Pada bayi dengan PGK, susu formula dengan kadar fosfor yang dikurangi
umum digunakan.
Asupan kalori yang optimal pada pasien dengan CKD tidak diketahui, tetapi
dianjurkan untuk menyediakan setidaknya diet yang sesuai  Recommended Daily
 Allowance  (RDA) untuk umur. Asupan protein diusahakan 2.5g/kgBB/24jam dan
harus harus terdiri dari protein dengan nilai biologis tinggi ,yang akan dimetabolisme
menjadi sisa asam amino daripada limbah nitrogen. Protein ini biasanya didapat dari
telur dan susu, diikuti oleh daging, ikan, dan unggas.
Asupan makanan harus disesuaikan secara optimal melalui konsultasi dengan
ahli gizi dengan ekspertise PGK pada anak. Asupan kalori dapat ditingkatkan pada
 bayi dengan menambahkan formula dengan komponen karbohidrat , lemak (minyak
trigliserida rantai menengah /  Medium chained triglycerides (MCT)), dan protein
sebagaimana ditoleransi oleh pasien.
Jika asupan kalori secara oral tetap tidak memadai atau penambahan berat
 badan dan kecepatan pertumbuhan suboptimal, pemberian dengan pipa enteral harus
dipertimbangkan.Tambahan makanan mungkin tersedia melalui pipa nasogastrik,
gastrostomy, atau gastrojejunal.
Anak-anak dengan PGK mungkin mengalami kekurangan vitamin yang larut
dalam air baik karena asupan yang tidak memadai atau kehilangan lewat
dialisis. Sehingga vitamin ini harus secara rutin diberikan. Seng dan suplemen zat
 besi ditambahkan hanya jika terbukti ada defisiensi. Suplementasi dengan vitamin
 
dihydroxycholecalciferol menurun, sejak mulai terjadinya insufisiensi ginjal ringan,
yaitu pada GRF 50-80 ml/menit/1.73m 2
. Kadar fosfat plasma merupakan sebab utama
terjadinya hiperparatiroidisme sekunder. Fosfat mengatur sel paratiroid secara
independen pada kadar calcium serum dan kadar 1,25-dihydroxycholecalciferol
endogen. Oleh karenanya kontrol terhadap fosfat plasma adalah hal paling penting
sebagai prevensi dan terapi hiperparatiroidisme sekunder, meskipun hal tersebut
 paling sulit dicapai dalam jangka panjang, oleh karena membutuhkan kepatuhan akan
diet rendah fosfat yang ketat and pemberian pengikat fosfat untuk mengurangi
absorbsinya. Diet rendah fosfat berarti membatasi intake susu sapi dan produknya.
Bila kadar fosfat plasma tetap diatas harga rata-rata untuk umur, pengikat fosfat
misalnya kalsium karbonat 100 mg/kg/hari diberikan bersama makanan, dosis
disesuaikan sampai kadar fosfat plasma berada antara harga rata-rata dan -2SD sesuai
umurnya. Kalsium asetat, dan yang lebih baru, sevelamer (non-calcium/non-
aluminium containing polymer) juga merupakan pengikat fosfat yang bermanfaat.
Penurunan kadar fosfat plasma dapat meningkatkan kadar 1,25-
dihydroxycholecalciferol endogen dan kalsium ion, yang mampu menormalkan kadar
PTH. Namun, bila kadar PTH tetap tinggi dan kadar fosfat plasma normal, perlu
ditambahkan vitamin D 3
hidroksilasi.
Tipe, dosis, frekuensi, dan rute pemberian vitamin D sebagai prevensi dan
terapi osteodistrofi renal masih merupakan kontroversi. Dianjurkan pemberian dosis
rendah 1,25-dihydroxycholecalciferol 15-30 ng/kg/sekali sehari untuk anak-anak
dengan berat kurang dari 20 kg, dan 250-500 ng sekali sehari untuk anak-anak yang
lebih besar, untuk menaikkan kadar kalsium plasma sampai batas normal atas: bila
kadar PTH telah normal, 1,25-dihydroxycholecalciferol dapat dihentikan sementara.
Pemberian 1,25-dihydroxycholecalciferol secara intravena lebih efektif untuk
 
53
menurunkan kadar PTH, tetapi dapat menyebabkan adynamic bone, oleh karena 1,25-
dihydroxycholecalciferol pada dosis tinggi mempunyai efek antiproliferatif pada
osteoblast.
Kadar kalsium, fosfat, dan alkali fosfatase plasma hendaknya diperiksa setiap
kunjungan. Kadar PTH diukur setiap bulan, atau setiap kunjungan bila anak
melakukan kunjungan yang lebih jarang, dan terapi disesuaikan. Bila anak
asimtomatik dan parameter biokimia normal, hanya perlu dilakukan pemeriksaan
radiologi manus kiri dan pergelangan tangan setiap tahun untuk menilai usia tulang.
Hipertensi 1,4
diperlukan diit rendah garam 2-3g/hari,dan terapi insial pilihan dapat digunakan
golongan thiazid (HCT 2mg/kgBB/24jam dalam 2 dosis) untuk PGK derajat 1-
3,namun pada PGK derajat 4, thiazid kurang efektif dan dapat diberikan diuretik dari
golongan furosemide dengan dosis 1-3 mg/kgBB/hari dalam 2-3dosis.
 Angiotensin-converting enzyme (ACE) inhibitors (enalapril, lisinopril) dan
angiotensin II blockers  (losartan) obat antihipertensi pilihan pada anak dengan
 penyakit ginjal yang disertai proteinuria karena memiliki potensi untuk
memperlambat progresivitas menjadi ESRD. Calcium channel blockers (amlodipine),
 β blockers  (propranolol, atenolol), dan agen yang bekerja sentral (clonidine) dapat
 berguna sebagai terapi pada anak dengan PGK dimana tekanan darah tidak dapat
dikontrol melalui restriksi asupan sodium, diuretik, dan ACE inhibitor.
 
 produksi eritropoietin yang tidak adekuat. Eritropoietin rekombinan (rHuEPO) telah
dipakai secara luas untuk mencegah anemia pada PGK.
Sebagian besar anak-anak dengan pra-GGT dapat mempertahankan kadar
hemoglobin tanpa bantuan terapi rHuEPO, dengan cara pengaturan nutrisi yang baik,
suplemen besi dan folat, dan bila diperlukan supresi hiperparatiroid sekunder dengan
memakai pengikat fosfat yang tidak mengandung aluminium. Bila anemia tetap
terjadi dan kadar hemoglobin dibawah 10g/dL, dapat diberikan rHuEPO dengan dosis
50 unit/kg secara subkutan dua kali seminggu, dosis dapat dinaikkan sesuai respon
agar mencapai target hemoglobin 10-12 g/dL. Kadar ferritin serum dipertahankan
diatas 100 mcg/l agar tercapai suplemen besi yang adekuat. Semua pasien yang
mendapat terapi rHuEPO harus diberikan suplementasi besi secara oral maupun
intravena.
kemungkinan adanya defisiensi besi, occult blood loss, infeksi / inflamasi kronik,
defisiensi vitamin B12  / folat, dan fibrosis sumsum tulang terkait hiperparatiroid
sekunder.
tepat dibutuhkan untuk memaksimalkan efektivitas dan mengurangi toksisitas.
Strategi dalam penyesuaian dosis dapat berupa pemanjangan interval pemberian antar
dosis, penguranan dosis absolute, maupun keduanya.
Progesivitas dari PGK 4
55
Walau tidak ada terapi yang definitive untuk meningkatkan fungsi ginjal pada
anak dan dewasa penderita PGK, ada beberapa strategi yang mungkin efektif untuk
memperlambat progresivitas disfungsi ginjal. Kontrol yang optimal pada hipertensi
(menjaga tekanan darah lebih rendah dari persentil 75) penting pada smuea pasien
PGK. ACE inhibitor atau  Angiotensin II receptor blocker   adalah obat pilihan pada
anak dengan proteinuria yang disertai/ tanpa disertai hipertensi. Kadar fosfor harus
dijaga sesuai dengan rentang normal sesuai umur. Terapi terhadap komplikasi infeksi
dan dehidrasi juga dapat mengurangi kerusakan parenkimal ginjal.
3.9 RENAL REPLACEMNET THERAPY
menurun sampai 15 ml/menit/1.73m 2
. Secara ideal sebenarnya transplantasi
dilakukan sebelum timbul gejala-gejala akibat PGK dan sebelum dialisis dibutuhkan.
Tetapi hal tersebut jarang bisa dilakukan karena masa tunggu untuk mendapatkan
donor yang cocok tidak bisa dipastikan, masalah-masalah medis yang tidak
memungkinkan anak segera menjalani transplantasi, atau yang paling sering adalah
memberikan waktu yang cukup untuk pasien dan keluarganya guna mempersiapkan
dan menyesuaikan diri menghadapi situasi yang baru.
Indikasi untuk memulai dialisis adalah:
1.  Timbulnya gejala sindrom uremia berupa letargi, anoreksia, atau muntah yang
mengganggu aktivitas sehari-harinya.
2.  gangguan keseimbangan asam basa dan elektrolit yang mengancam jiwa,
misalnya hiperkalemia yang tidak respon terhadap pengobatan konservatif.
 
4.  terjadi gagal tumbuh yang menetap meskipun telah dilakukan terapi
konservatif yang adekuat.
Keuntungan dan kerugian dialisis peritoneal dan hemodialisis dapat dilihat pada
tabel di bawah ini. Di Inggeris, Amerika Serikat, dan banyak negara-negara lain,
dialisis peritoneal lebih banyak dilakukan pada anak-anak.
Hemodialisis adalah suatu teknik untuk memindahkan atau membersihkan solut
dengan berat molekul kecil dari darah secara difusi melalui membran semipermeabel.
Hemodialisis membutuhkan akses sirkulasi, yang paling baik adalah pembuatan
 fistula A-V pada vasa radial atau brachial dari lengan yang tidak dominan.
Pada dialisis peritoneal, membran peritoneal berfungsi sebagai membran semi-
 permeabel untuk melakukan pertukaran dengan solute antara darah dan cairan
dialisat. Untuk memasukkan cairan dialisat kedalam rongga peritoneum perlu
dipasang kateter peritoneal dari Tenckhoff. Ada 2 cara pelaksanaan dialisis
 peritoneal, yaitu:
1. Automated Peritoneal Dialysis (APD), dimana dialisis dilakukan malam
hari dengan mesin dialisis peritoneal, sehingga pada siang hari pasien bebas dari
dialisis.
2. Continuous Ambulatory Peritoneal Dialysis (CAPD), dialisis
 berlangsung 24 jam sehari dengan rata-rata pertukuran cairan dialisat setiap 6 jam
sekali.
ginjal yang efektif, angka mortalitas dialisis lebih tinggi daripada transplantasi untuk
semua kelompok umur. Keuntungan dari Perionial dialysis dan hemodialisis dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
 
Peritoneal dialysis Haemodialysis
metabolites
holiday
associated with a less severe degree of
anaemia
care-giver
less disruptive to daily routine
facilitates regular school attendance
molecule mass tranfer
responsibility
session/week depending on patient size
Rigden SPA (2003). The management of chronic and end stage renal failure in
children. In: Webb NJA and Postlethwaite RJ, editors. Clinical paediatric
nephrology. 3 rd
Transplantasi Ginjal 1 
 
wajar. Transplantasi dilakukan dengan ginjal jenazah atau ginjal yang berasal dari
keluarga hidup yang berusia relatif lebih tua, biasanya dari orang tuanya.
Di Eropa pada tahun 1984-1993 hampir 21% anak yang berusia kurang dari 21
tahun mendapat ginjal dari donor hidup,  
sedangkan di Amerika Utara donor hidup
mencapai 50% dari seluruh donor yang diterima anak-anak yang berusia kurang dari
21 tahun pada tahun 1987-2000.
3.10.  PROGNOSIS 7  
Angka mortalitas pada anak dengan PGK lebih rendah daripada penderita
dewasa. Anak dengan penyakit kistik / herediter / kongenital mempunyai
kemungkinan 5 years survival rate yang lebih baik, dibandingkan dengan pasien yang
mengalami ESRD karena vaskulitis atau glomerulonefritis sekunder. Bayi yang
menjalani dialysis memiliki angka mortalitas yang lebih buruk dibanding anak yang
usianya lebih tua. Sebuah studi pada 5.961 pasien dengan usia ≤18 tahun, yang
 berada dalam daftar tunggu transplantasi ginjal di USA ditemukan bahwa anak yang
telah menjalani transplantasi memiliki angka mortalitas yang lebih rendah (13,1
kematian/1.000 pasien per tahun) dibanding anak yang masih berada dalam daftar
tunggu (17,6 kematian/1.000 pasien per tahun). Pada tahun 2005 Annual Data report
(ADR) menunjukkan bahwa 92% anak-anak yang menjalani transplantasi ginjal dapat
 bertahan selama 5 tahun kedepan dibanding 81% dari anak-anak yang menjalani
hemodialisis maupun peritoneal dialysis. Akhirnya, Usia harapan hidup untuk anak
 berusia 0 – 14 tahun dan sedang menjalani dialisis hanya 18.3 tahun, dimana populasi
 
Penyakit ginjal kronik (PGK) adalah suatu kerusakan parenkim ginjal yang
dapat / tidak disertai menurunnya laju filtrasi glomerulus (LFG) ,dimana kerusakan
ini bersifat tidak reversibel dan terbagi dalam 4 stadium sesuai dengan jumlah nefron
yang masih berfungsi. Jumlah penderita PGK pada anak lebih sedikit dibanding pada
dewasa.Pada anak-anak PGK dapat disebabkan oleh berbagai hal, terutama karena
kelainan kongenital, glomerulonefritis, penyakit multisistem, dan lain-lain. Gejala
klinis PGK merupakan manifestasi dari penurunan fungsi filtrasi glomerulus yang
mengakibatkan terjadinya uremia, gangguan keseimbangan cairan-elektrolit dan
asam-basa, serta gangguan fungsi endokrin berupa berkurangnya kadar eritropoietin
dan vitamin D 3 .Pada anak juga sering disertai gangguan pertumbuhan dan penulangan
karena metabolism kalsium-fosfat yang terganggu. Penanganan PGK disesuaikan
dengan tahap penurunan laju filtrasi glomerulus, yang secara prinsip dibagi menjadi
terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal (TPG). 
 
DAFTAR PUSTAKA
1.   Sjaifullah M,Noer, Gagal ginjal kronik pada anak (Chronic Renal Failure in
Children).Divisi Nefrologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNAIR:RSU
Dr. Soetomo.2005.Surabaya
2.  SN,Wong. Hongkong Journal of Pediatrics (New Series).Chronic Renal Failure
in Children. Vol 9. No. 1, 2004
3.  Sanjeev,Gulati. Chronic Kidney Disease . Department of Nephrology and
Transplant Medicine, Fortis Hospitals, India. 2010.
4.  Robert M. Kliegman, MD. Nelson Textbook of Pediatrics, 18th ed.  Chapter  
535.2 Chronic Kidney Disease 2007 Saunders, An Imprint of Elsevier.
5.  Grifin P,Rodgers.  Prospective Study of Chronic Kidney Disease in Children.
 NIDDK ( National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney
 Disease).2009.USA.
6.  
Classification, and Stratification  .National Kidney Foundation (NKF)
 NKDOQI.2002.
7.   Bradley A. Warady, Chronic kidney disease in children: the global perspective. 
Pediatric Nephrology,Berlin,Germany.2007.
Manual for Pediatric House Officers, 17th ed.Chapter VIII:Renal Function tests.
2005:An Imprint of Elsevier.
Soetomo.2005.Surabaya
10.  Kasper,L .Braunwald,E. Harrison the principal of internal medicine.17 th
edition.chapter 274:Chronic Kidney Disease.2008.The McGraw-Hill Companies,
 Inc.USA.
Mansoura, Egypt.1996
12.  
Indian Society of Nephrology.  Markers of Chronic Kidney Disease other than
 Proteinuria. Indian J Nephrol 2005;15, Supplement 1: S10-S