-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Alginat
Alginat adalah polisakarida alam yang umumnya terdapat pada
dinding sel dari
semua spesies alga coklat (Pheaophyceae). Asam alginat pertama
kali dan
dipatenkan oleh seorang ahli kimia dari Stanford Inggris tahun
1881 dengan
mengekstrak Lamanaria stenophylla (Anonim II, 2005). Asam
alginat dalam alga
coklat umumnya terdapat sebagai garam-garam kalsium, magnesium,
natrium.
Tahap pertama pembuatan alginat adalah mengubah kalsium alginat
dan
magnesium alginat yang tidak larut menjadi natrium alginat yang
larut dalam air
dengan pertukaran ion dibawah kondisi alkalin (Zhanjiang,
1990).
Dimana: M adalah kation bivalen seperti Ca2+, Mg2+ dan
lain-lain
Alg adalah alginat.
Proses pertukaran ion dari alginat dilakukan dengan mineral asam
sebelum
diekstraksi dengan alkali, persamaan rekasinya sebagai
berikut:
Larutan natrium alginat kasar yang diperoleh difiltrasi dan
diendapkan dengan
Ca2+ untuk membentuk garam kalsium yang tidak larut. Selanjutnya
pemisahan
dilakukan dengan proses asidifikasi untuk memisahkan asam
alginat dan ion-ion
kalsium.
Kemudian gel asam alginat yang terbentuk didehidrasi lalu
dicampur dengan
alkali (Na2CO3) untuk membuat kembali garam natrium yang
larut.
Universitas Sumatera Utara
-
Akhirnya diperoleh pasta natrium alginat, lalu dikeringkan dan
digiling untuk
memperoleh bubuk natrium alginat ( Zhanjiang, 1990).
2.1.1. Produksi
Penyedian alginat secara komersial diperoleh dari hasil
ekstraksi alga coklat,
sebagaian besar dari laminaria hyperbore, Macrocystis pryfera,
Laminaria
digitata, Ascophyllumnodosum, Laminaria joponica, Ecklonia
maxima, Lessonia
nigrescens, dan Durvillaea antarctive. Komposisi alginat dari
ganggang laut tidak
sama variasinya tergantung pada musim dan kondisi
pertumbuhannya, ketidak
samaan ini tergantung pada sifat dari tumbuhan itu (Bernd,
2009).
Ada beberapa Negara yang telah memproduksi alginat secara
komersial
diantaranya adalah Amerika Serikat. Pada Tahun 1927 Thornley
membangun
perusahan untuk memproduksi alginat di San Diego kemudian
diorganisasi
kembali tahun 1929 dengan nama Kelco Company. Produksi di United
Kingdom
dimulai oleh Alginate Industries Ltd. selama periode 1934-1939.
Dan sekarang
ada dua perusahaan terbesar di Amerika Serikat yaitu Kelco dan
Alginat
Industries yang memproduksi sekitar 70% alginat dari seluruh
dunia (Zhanjiang,
1990). Di China produksi alginat dimulai tahun 1957 di Qingdao
yang berasal dari
spesies Sargassum Pollidum. Negara negara penghasil alginat
terbesar lainya
yaitu Jepang dan Prancis.
2.1.2. Struktur Kimia dan Komposisi
Alginat merupakan polimer linear yang mengandung lebih dari 700
residu asam
uronat yaitu -D asam manuronat dan -L asam guluronat dengan
ikatan 1,4.
Rantai alginat yang mengandung residu asam manuronat disebut
blok M, rantai
alginat yang hanya mengandung residu asam gluronat disebut blok
G dan rantai
alginat yang mengandung residu asam manuronat serta asam
gluronat disebut blok
MG ( Masakatsu dan Inukai, 1999).
Universitas Sumatera Utara
-
Dengan adanya nitrogen dalam struktur polimer dari polisakarida,
stanford
mengusulkan dengan pasti jalan keluar dari penelitian tentang
struktur algina,
asam uronik merupakan penyusun utama dari struktur dasar alginat
yang
dipatenkan pada tahun 1926 (Bernd, 2009). Struktur dasar dari
monomer alginat
adalah cincin tetrahydopyran dan dapat membentuk 2 konfigurasi,
yaitu C1 dan
1C. -D-manuronat di alam terdapat dalam konfigurasi C1. Pada
konfigurasi 1C
-D-manuronat, interaksi -COOH pada C-5 dan -OH pada C-3 akan
kaku,
sedangkan pada C1 gugus-gugus ini berada pada posisi ekuatorial
sehingga lebih
stabil. Sebaliknya, untuk alasan yang sama, -L-guluronat
terdapat dalam
konfigurasi 1C dibandingkan C1.
Polimer alginat dibentuk dari hubungan antara C-1 dan C-4 tiap
monomer
dan dihubungkan oleh ikatan eter oksigen. Polimer alginat
terdiri dari 3 jenis,
yaitu blok M (mannuronat), blok G (guluronat), dan polimer MG
Polimer M
dibentuk dari struktur ekuatorial gugus C-1 dan C-4 dan
membentuk polimer
lurus, sedangkan polimer G dibentuk dari struktur aksial.
Perbedaan struktur
polimer ini menyebabkan polimer G lebih banyak digunakan untuk
proses
pembentukan gel alginat dengan penambahan ion Ca2+. Ion tesebut
akan
menggantikan ion H+ pada gugus karboksilat dan membentuk
jembatan ion
penghubung antara polimer G yang satu dengan yang lainnya.
Hubungan antara
polimer G ini akan membentuk struktur egg-box.
Alginat merupakan polimer linear yang mengandung -(1,4) linked
D-asam
manuronat (M) dan -(1-asam gluronat) (G). Gambar 2.1 menunjukkan
dalam
rantai polimer, monomer dapat tersusun sebagai blok GG, blok MM
dan blok GM
(Donati dan Paoletti, 2009).
Universitas Sumatera Utara
http://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Tetrahydopyran&action=edit&redlink=1http://id.wikipedia.org/wiki/Monomer
-
Residu asam manuronat mempunyai ikatan C 1,4 di-equtorial
sehingga
bentuknya rata seperti pita. Struktur ini menjadi stabil dengan
adanya ikatan H
antara proton dari OH dan C3 dengan cincin O dari residu
tetangganya, seperti
gambar 2.2 dibawah ini:
Gambar 2.2. Ikatan 1,4 di-equatorial dari natrium manuronat.
Struktur asam guluronat berbeda dengan asam manuronat. Residu
asam
gluronat mempunyai ikatan C 1,4 di-axial sehingga struktur pita
dari polimer ini
melengkung, berlawanan dengan bentuk merata dari manuronat.
Struktur ini stabil
Gambar 2.1. Struktur Kimia Alginat, a.Konformasi 4C1 Garam
Natrium dari
Asam -D-Mannuronat (M) dan Konformasi 1C4 Garam
Natrium dari Asam -L-Guluronat (G). b. Komposisi Blok
Alginat yaitu Blok G, Blok M dan Blok MG
Universitas Sumatera Utara
-
dengan adanya ikatan H antara gugus OH pada atom C2 dari residu
yang satu
dengan gugus COO- dari residu tetangganya ( Anonim II, 2005)
Gambar 2.3. Ikatan 1,4 di-axial dari asam guluronat.
Masing-masing spesies alga coklat mengandung tipe alginat atau
ratio
M/G yang berbeda tergantung dari waktu panen dan bagian anatomi
tumbuhan
(Robinson, 1987). Alginat yang mengandung asam guluronat yang
tinggi akan
cendrung mempunyai struktur rigid (kaku) serta mempunyai
porositas yang besar,
sedangkan alginat yang mengandung asam manuronat yang tinggi
mempunyai
struktur yang tidak rigid. Unit G dan M diatur dalam rantai dan
keseluruhan rasio,
M / G, dari dua unit dalam rantai dapat bervariasi dari satu
jenis rumput laut
dengan yang lain. Dengan kata lain semua "alginat" tidak selalu
sama. Jadi
beberapa rumput laut dapat menghasilkan alginat yang memberikan
viskositas
yang tinggi ketika dilarutkan dalam air, sedangkan yang lain
dapat menghasilkan
viskositas rendah. Kondisi-kondisi dari prosedur ekstraksi dapat
juga
mempengaruhi viskositas. Demikian pula, kekuatan gel yang
dibentuk oleh
penambahan garam kalsium dapat bervariasi dari satu alginat
dengan yang lain.
Umumnya alginat dengan kandungan G yang lebih tinggi akan
memberikan gel
yang lebih kuat, dikatakan alginat memiliki rasio M / G
rendah.
Penentuan rasio M/G dapat dilakukan dengan menghidrolisis parsil
alginat
dengan asam organik encer seperti asam oksalat 1 M, dimana
sebagian alginat
akan larut. Residu yang tidak larut dapat dipisahkan ke dalam
fraksi yang kaya
akan guluronat (blok G) yang tidak larut pada pH 2,85 tersebut.
Fraksi yang larut
oleh hidrolisis parsil mengandung uronat M dan G (blok MG) (
Zhanjiang, 1990).
Universitas Sumatera Utara
-
2.1.3. Sifat-sifat Fisika dan Kimia
2.1.3.1. Sifat Fisika
Kelarutan dan kemampuan mengikat air dari alginat bergantung
pada jumlah ion
karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air
meningkat bila
jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium
alginat kurang
dari 500, sedangkan pH di bawah 3 terjadi pengendapan. Secara
umum, alginat
dapat diabsorpsi air dan bisa digunakan sebagai pengemulsi
dengan viskositas
yang rendah (Kaban, 2008).
Asam alginat tidak larut dalam media berair, akan tetapi bila pH
dinaikkan
maka sebagian asam alginat diubah menjadi garam yang larut.
Total netralisasi
terjadi pada pH sekitar 4, dimana asam alginat secara sempurna
diubah menjadi
garam yang sesuai (ISP, 2001). Garam alginat yang larut dalam
air adalah alginat
yang mengandung logam alkali, amonia dan amina dengan berat
molekul rendah
serta senyawa amonium kuartener. Garam alginat dengan logam
polivalen bersifat
tidak larut dalan air kecuali magnesium alginat.
Alginat tidak stabil terhadap panas, oksigen, ion logam dan
sebagainya.
Dalam keadaan yang demikian, alginat akan mengalami degradasi.
Selama
penyimpanan, alginat secepatnya mengalami degradasi dengan
adanya oksigen
terutama dengan naiknya kelembaban udara. Alginat dengan
viskositas sedang
atau rendah. Urutan stabilisasi alginat selama penyimpanan
adalah: Natrium
alginat > amonium alginat > asam alginat. Alginat
komersial mudah terdegradasi
oleh mikroorganisme yang terdapat di udara, kerena bahan
tersebut mengandung
partikel alga dan zat nitrogen. Semua larutan alginat akan
mengalami
depolimerisasi dengan kenaikan suhu (Zhanjiang, 1990)
Larutan natrium alginat stabil pada pH sekitar 4-10. Pembentukan
gel atau
pengendapan alginat dapat terjadi pada pH dibawah 4, dengan
berubahnya garam
alginat menjadi asam alginat yang tidak larut. Penyimpanan
larutan alginat yang
lama diluar batasan pH diatas tidak dianjurkan, karena dapat
menyebabkan
depolimerisasi senyawa polimer akibat hidrolisis. Asam alginat
tidak larut dalam
air, sehingga yang bisa digunakan dalam industri adalah garam
natrium alginat
atau kalium alginat. Natrium alginat adalah bubuk warna kram,
larut dalam air
Universitas Sumatera Utara
-
dengan membentuk koloid, kental, tidak larut dalam alkohol,
klorofom, eter dan
larutan asam jika pH dibawah 3. Propilen glikol alginat
menunjukkan stabilitas
yang sangat baik dalam larutan asam khusus efektif pada batasan
pH 2,5-4.
Kondisi ini dihindari karena efek pelindung dari gugus ester
akan hilang secara
cepat disebabkan terjadinya saponifikasi (ISP, 2001).
2.1.3.2. Sifat Kimia
Metil ester alginat dibuat dengan mereaksikan asam alginat
dengan diazometan
atau asam klorida dalam metanol atau melalui reaksi antara
dimetilsulfat dengan
natrium alginat yang tersuspensi dalam larutan tidak berair.
Ester dapat dibentuk
pada kondisi yang biasa dengan 1,2-alkilen oksida. Jika
digunakan propilen
oksida, dapat dihasilkan propilen glikol eter yang dapat
digunakan sebagai zat
tambahan dalam makanan seperti jelly dalam bentuk garam
kalsium.
Esterifikasi gugus hidroksil dari alginat dapat dilakukan
melalui reaksi
antara asetil klorida dengan adanya basa organik atau reaksi
katalitik dengan
anhidrida asetat. Amonium diasetil alginat bersifat larut dalam
air, tidak larut
dalam pelarut organik dan mengembang dalam alkohol encer,
membentuk gel
atau mengendap dengan tembaga (II), timah (II) dan ion trivalen
atau tetravalen.
Tidak mengendap atau membentuk gel dengan kalsium, barium, besi
(II), mangan
(II), atau seng. Ester alginat sulfat diperoleh dengan asam
sulfat yang digunakan
dalam bidang medis sebagai zat anti beku darah (Muzzarelli,
1973)
Ester alginat seperti asam karboksimetil alginat diperoleh dalam
bentuk
garam natrium, melalui reaksi antara natrium alginat dengan asam
kloroasetat
dalam natrium hidroksida. Garam basa organik dari alginat dapat
mempengaruhi
kelarutan asam alginat dalam pelarut organik. Sebagai contoh,
tributilamin,
feniltrimetilamonium dan benziltrimetilamonium alginat larut
dalam etanol
absolut sedangkan trietanolamin alginat larut dalam etanol 75%.
Senyawa
amonium kuartener dengan hidrokarbon seperti asetil trimetil
amonium bromida
bereaksi dengan asam alginat membentuk endapan asetil trimetil
amonium alginat
(Kaban, 2007).
Universitas Sumatera Utara
-
2.1.4. Pembentukan Gel
Alginat dapat membentuk gel dengan adanya kation-kation divalent
seperti Ca2+, Mn2+, Cu2+, dan Zn2+ dimana ikatan silang terjadi
karena adanya kompleks khelat
antara ion-ion divalent dengan anion karboksilat dari blok G-G.
Intraksi ion logam
dengan gugus COO- dari alginat terjadi pada inter dan intra
molekul. Disamping
intraksi ion logam dengan gugus COO- dari alginat, gugus OH dari
polimer juga
ikut berperan (Zhanjiang, 1990). Ion Ca2+ mempunyai orbital d
yang kosong
sehingga alginat sebagai ligan dapat menyumbangkan elektronnya
kepada Ca2+.
Ion Ca2+ yang merupakan jambatan penghubung inter molekul
alginat hanya
dapat menerima 5 ligan oksigen, sementara alginat berpotensi
menyumbangkan
10 ligan oksigen dari kedua rantai yang paralel yaitu
masing-masing dari OH pada
C2 dan C3. Ikatan O yang menghubungkan 1-4 dan sebuah gugus
karboksil serta
cincin O dari residu tetangganya (Chaplin, 2005), seperti gambar
2.4 dibawah ini:
Gambar 2.4. Alginat sebagai ligan
Seperti dijelaskan diatas , rantai asam guluronat melengkung
sedangkan
rantai asam manuronat merata. Hal ini menyebabkan keduanyai
mempunyai
perbedaan dalam berikatan dengan ion Ca2+. Penambahan Ca2+ pada
asam
guluronat menjadikannya bentuk gel, seperti Ca2+ masuk kedalam
egg box antara
unit monomer, seperti gambar dibawah ini:
Universitas Sumatera Utara
-
Gambar 2.5. Pembentukan gel kalsium alginat
Ion Ca2+ dapat mengadakan ikatan dengan gugus COO- pada
masing-masing blok
yang paralel, seperti gambar 2.6 dibawah ini:
Gambar 2.6. Ion Ca2+ pada gugus COO- dari blok G yang
paralel
Rantai blok M yang seperti pita mendatar dapat berikatan dengan
Ca2+ dan
ini diharapkan terjadi pada konsentrasi kation yang tinggi.
Akibat adanya
perbedaan struktur antara blok M dan G maka gel yang dibentuk
dari blok M
bersifat elastis, sedangkan gel dari blok G sifat rigid.
Kekuatan dari gel yang
dibentuk dengan penambahan garam Ca bervariasi dari satu alginat
dengan alginat
lain. Alginat dengan kandungan blok G yang tinggi, seperti
Macrocytis
memberikan alginat dengan viskositas yang sedang. Sargassum
memberikan hasil
viskositas yang rendah, Laminaria digitata menghasilkan kekuatan
gel yang
Universitas Sumatera Utara
-
lembut sampai sedang sementara Laminaria hyperborea dan
Durvillaea
menghasilkan gel yang kuat (McHugh, 2003).
2.1.5. Pertukaran Ion dalam Pembentukan Kalsium Alginat
Pertukaran ion adalah elektrolit tak larut yang mengandung gugus
ion positif atau
ion negatif yang dapat dipertukarkan dengan ion lain dari
larutan disekitarnya,
tanpa mengalami perubahan struktur dalam resin. Ada dua tipe
resin penukar ion
yaitu resin kation dan resin anion. Resin kation adalah ion yang
bermuatan positif,
mampu mempertukarkan kation yang berada dalam resin dengan
kation dari
larutan disekitar resin, misalnya Ca, Mg, Fe, dan H. Resin
penukar anion adalah
ion yang bermuatan negatif, mampu mempertukarkan anion dalam
resin dengan
anion dari larutan yang mengalir melewati resin, misalnya Cl,
SO, dan OH
(Benefield, 1982).
Alginat yang tidak larut menunjukkan reaksi seperti resin
pertukaran ion.
Kemampuan dari ion-ion logam divalent berikatan dengan alginat
tergantung pada
jumlah relatif dari unit asam D-manuronat dan L-guluronat dalam
alginat.
Pembentukan gel alginat terjadi karena adanya pertukaran ion Na+
dengan kation
divalent, sehingga dari yang bersifat larut dalam air menjadi
tidak larut dalam air
(Zhianjiang, 1990).
Jumalah ion divalent yang dibutuhkan untuk mengendapkan
alginat
meningkat sesuai dengan sesuai dengan tingkatan berikut: Pb, Cu
< Ca < Co, Ni,
Zn < Mn. Sifat pertukaran ion dari alginat tergantung pada
komposisi kimia dari
alginat. Alginat yang kaya asam manuronat seperti pada Laminaria
digitata
mempunyai affinitas yang rendah terhadap Ca dalam reaksi
pertukaran ion Na-Ca,
dibandingkan dengan alginat yang kaya akan unit guluronat
seperti pada
Laminaria hyperborea (Muzzarelli, 1973)
Kemampaun alginat untuk berikatan dengan ion-ion divalent
akan
berkurang sesuai dengan urutan dibawah ini
a) Untuk alginat yang kaya akan blok M dari Laminaria
digitata
Pb > Cu > Cd > Ba > Sr > Ca > Co, Ni, Zn, Mn
> Mg
b) Untuk alginat Laminaria hyperborea yang kaya akan blok G
Universitas Sumatera Utara
-
Pb > Cu > Ba > Sr > Cd > Ca > Co, Ni, Zn, Mn
> Mg
Sementara konsentrasi dari ion yang dibutuhkan untuk pembentukan
gel alginat
dari kedua jenis ganggang coklat diatas adalah sama, yaitu
semakin meningkat Ba
< Pb < Cu < Sr < Cd < Ca < Zn < Ni < Co
< Mn, Fe < Mg. ( Zhanjiang, 1990).
2.1.6. Kegunaan Alginat
Kegunaan alginat didasarkan pada tiga sifat utamanya yaitu
kemampuan untuk:
1. Larut dalam air serta meningkatkan viskositas larutan
2. Membentuk gel
3. Membentuk film dan serat ( McHugh, 2003)
Alginat dapat digunakan dalam berbagai bidang industri antara
lain industri
makanan, tekstil, medis/farmasi dan kosmotik (McCormick, 2001).
Dalam
industri tekstil, alginat digunakan sebagai pengental pesta yang
megandung zat
warna. Alginat tidak bereaksi dengan zat pewarna dan dengan
mudah dicuci dari
tekstil sehingga alginat menjadi pengental yang terbaik untuk
zat warna.
Dalam bidang makanan, sifat kekentalan alginat dapat digunakan
dalam
pembuatan saus serta sirup, sebagai penstabil dalam pembuatan es
krim (McHugh,
2003). Film kalsium alginat juga digunakan sebagai pembungkus
ikan, buah,
daging dan makanan lain untuk pengawetan dan merupakan pengepak
alternatif
karena mudah terurai oleh mikroorganisme sehingga bersifat ramah
lingkungan.
Sebagai pembungkus yang dapat dimakan, alginat berperan
sebagai
komponen diet seperti serat karena hanya meningkatkan volume
usus, tidak
diabsorbsi dalam saluran pencernaan, berkalori rendah dan tidak
berpotensi untuk
merusak (Cancela, 2003). Film pelapis kalsium alginat dapat
digunakan untuk
membantu mengawetkan ikan beku, jika ikan dibekukan dengan jeli
kalsium
alginat maka ikan dilindungi dari udara sehingga proses oksidasi
dihambat. Jika
jelli mencair bersama ikan, dengan mudah dapat dipisahkan.
Potongan daging
yang dibungkus dengan flim kalsium alginat sebelum dibekukan
menyebabkan
juice daging akan diabsorbsi kembali kedalam daging selama
proses pencairan,
sehingga pembungkus dapat melindungi daging dari kontaminasi
bakteri
(McHugh, 2003).
Universitas Sumatera Utara
-
Dalam bidang farmasi, alginat dapat digunakan sebagai pembalut
luka
yang dapat menyembuhkan luka karena dapat mengabsorpsi cairan
dari luka,
dimana kalsium alginat dalam serat diubah oleh cairan tubuh
menjadi natrium
alginat yang larut (McHugh, 2003). Alginat dalam bentuk garam
dapat digunakan
sendiri atau dikombinasikan dengan polimer pembentuk gel lainya
untuk
mengontrol pelepasan obat dari matriks tablet. Dalam cairan
lambung, natrium
alginat terhidrasi dan dikonversi menjadi bentuk asam alginat
yang tidak dapat
larut, sehingga menekan pelepasan obat dalam perut ( ISP, 2001 ;
McHugh,
2003).
Alginat dapat dibuat menjadi membran dengan melarutkan natrium
alginat
dalam air kemudian dibiarkan satu malam. Larutan tersebut
kemudian dituang
kedalam plat kaca dan dibiarkan selama 1 jam sampai ketebalannya
homogen, lalu
cetakan gelas diimersikan ke dalam larutan CaCl2 0,1 M selama
satu malam.
Cetakan gelas yang berisi membran alginat kemudian dicuci dengan
air dan
selanjutnya dibiarkan pada suhu kamar sehingga mengering, maka
diperoleh
lapisan tipis yaitu membran kalsium laginat (Inukai and
Masakatsu, 1999).
Gel alginat dalam bentuk butiran dapat digunakan sebagai
biokatalis
enzim untuk sel. Proses yang menggunakan immobilisasi biokatalis
adalah
menghasilkan etanol dari pati, membuat beer dengan immobilisasi
ragi,
fermentasi untuk menghasilkan butanol dan isopropanol serta
produk lanjutan dari
yoghurt ( McHugh, 2003)
2.2. Edible Packaging ( Kemasan yang Dapat Dimakan)
Penggunaan kemasan yang dapat dimakan dalam industri bahan
makanan telah
menjadi suatu topik yang menarik karena sangat potensial untuk
meningkatkan
masa berlaku dari banyak produk makanan. Kemasan yang dapat
dimakan
digabungkan dengan aditif bahan makanan dan zat lain dapat
meningkatkan
warna, flavor, tekstur serta mengontrol pertumbuhan mikroba.
Anti mokroba
ditambahkan ke kemasan yang dapat dimakan berfungsi untuk
menghalangi
pertumbuhan ragi, jamur dan bakteri selama penyimpanan dan
distribusi.
Universitas Sumatera Utara
-
Antimikroba yang umum digunakan termasuk asam benzoat, natrium
benzoat,
asam sorbat, kalium sorbat dan asam propinoat. (Kaban,
2007).
Penambahan antioksidan ke kemasan yang dapat dimakan dapat
meningkatkan stabilisasi dan mempertahankan nilai gizi dan warna
dari produk
makanan dengan cara melindungi produk tersebut terhadap
ketengikan akibat
oksidasi, degradasi dan diskolorasi. Tipe dari antioksidan
makanan yaitu asam
(juga dalam bentuk garam dan esternya) dan senyawa phenolat
(Kaban, 2008).
Asam yang digunakan seperti asam sitrat, asam askorbat dan
esternya, bertindak
sebagai zat pengkelat logam sinergis apabila digunakan
tersendiri atau
dikombinasikan antioksidan phenolat. Senyawa phenolat seperti
butylated
hydroxyanisole (BHA), butylated hydroxytoluene (BHT), tertiary
buttylated
hydroxyquinone (TBHQ), propil gallat dan tekoferol menghambat
oksidasi lemak
dan minyak yang terdapat pada bahan makanan.
Proses secara minimal telah banyak diterapkan pada buah-buahan.
Proses
secara minimal mencakup operasi pencucian, sortasi, pengupasan,
perajangan dan
pengemasan sehingga buah siap dikomsumsi dalam keadaan segar
(Krochta et al,
1994). Masalah yang sering muncul pada buah hasil proses minimal
adalah
meningkatnya kecepatan kerusakan akibat proses respirasi,
produksi etilen yang
meningkat karena jaringan rusak serta aktifnya enzim
polifenolase penyebab
pencoklatan. Akibat terjadi peningkatan proses biokimia sehingga
terjadi
perubahan flavor, tekstur dan kualitas gizi (Brecht, 1995).
Untuk itu diperlukan
pengetahuan dan teknik baru dalam pengemasan dan penyimpanan
pasca proses
minimal, sehingga kecepatan respirasi dapat ditekan dan
kenampakan
organoleptik mampu dipertahankan.
Penanganan produk buah proses minimal dengan aplikasi pengemas
dari
kemasan yang dapat dimakan (edible packaging) merupakan salah
satu alternatif
yang aman bagi kesehatan konsumen dan ramah lingkungan (Krochta
et al, 1994).
Fungsi kemasan pada bahan pangan adalah untuk mencegah atau
mengurangi
kerusakan, melindungi dari pencemaran serta gangguan fisik
seperti gesekan,
benturan dan getaran. Kemasan juga berfungsi sebagai wadah untuk
memberi
bentuk dan memudahkan penyimpanan, pengangkutan dan
pendistribusiannya.
Universitas Sumatera Utara
-
Selain itu kemasan juga berfungsi untuk menambahkan daya tarik
(appearance)
dari bahan pangan tersebut sebagai tujuan promosi.
Terdapat lima syarat kemasan untuk bahan pangan yaitu:
penampilan,
perlindungan, fungsi, biaya, dan limbah kemasan tersebut
bersifat ramah
lingkungan. Dengan adanya persyaratan ramah lingkungan, maka
penggunaan
edible packaging adalah sangat menjanjikan. Edible packaging
adalah kemasan
yang dapat langsung dimakan dan aman bagi lingkungan. Edible
packaging dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kemasan yang
berfungsi sebagai
penyalut (edible coating) dan kemasan yang berfungsi sebagai
dalam bentuk
pelapis dalam bentuk lembaran tipis (edible film).
Komponen dari penyalut dan pelapis yang dapat dimakan dapat
dibagi
menjadi tiga kategori yaitu hidrokoloid, lipida, dan komposit.
Hidrokoloid yang
sesuai termasuk protein, turunan selulosa, alginat, pektin,
starch dan asam lemak.
Komposit mengandung kedua komponen lipida dan hidrokoloid dan
lapisan kedua
adalah lipida, atau sebagai kesatuan dimana komponen lipida dan
hidrokoloid
berselang-seling sepanjang kemasan.
2.2.1. Edible Coating (Lapisan penyalut yang dapat dimakan)
Edibel coating telah banyak digunakan untuk penyalut bahan
pangan seperti
daging beku, makanan semi basah, produk konfeksionari, ayam
beku, produk
hasil laut, sosis, buah-buahan dan sebagai penyalut kapsul
obat-obatan (Krochta et
al, 1994). Beberapa jenis penyalut yang sering digunakan adalah
penyalut lilin
dan minyak, penyalut turunan polimer alam dan polimer
sintesis.
Penggunaan secara komersial dari lilin terutama pada jeruk,
apel, tomat
dan timun secara terbatas juga digunakan untuk alpokat, pisang,
cherry, anggur,
jambu biji, mangga, nanas, melon, dan lain-lain. Penyalut juga
digunakan untuk
sayur-sayuran seperti asparagus, biji-bijian, wortel,
umbi-umbian dan lain-lain.
Penyalut lilin dibuat dengan lilin alam, lilin sintesis dan asam
lemak, minyak
(minyak tumbuhan-tumbuhan dan minyak meneral), resin,
pengemulsi, pemlastis,
zat anti buih, surfaktan, dan pengawet.
Universitas Sumatera Utara
-
Penyalut dengan bahan polisakarida telah dikembangkan, terutama
untuk
produk buah dan biji yang sudah diproses. Penyalut pektin dibuat
dari pektin
metoksil rendah (kandungan metoksil 2-20%), kalsium klorida
(sebagai pengikat
silang), plastisizer dan dalam keadaan tertentu asam-asam
organik (Miers et al,
1953 ; Schultz et al, 1984). Permasalahn dengan penggunaan
penyalut paktin
adalah sangat permeabel terhadap uap air. Penyalut pektin
metoksil rendah
(kandungan metoksil 3,8%, viskositas intrinsik 3,2 dan ketebalan
parafin beeswax,
emulsifier, tritanolamina, atau minyak kelapa dan karboksimetil
selulosa, dan
asam oleat atau natrium oleat.
Penyalut komposit larut dalam air dengan sifat menahan uap air
yang baik
disebabkan kelarutan uap air yang bertambah dan penyalut,
menghasilkan
permeabilitas uap air yang tinggi. Penyalut ini digunakan pada
peaches yang
disimpan pada temperatur kamar dengan RH 57-63% menghasilkan
permeabilitas
O2 dan fermentasi yang rendah.
Nature-seal adalah penyalut komposit menggunakan turunan
sellulosa
pembentuk film, tapi tidak mengandung ester asam lemak sukrosa.
Pada
pengujian laboratorium, nature-seal menahan pemasakan buah tomat
dan mengga
dan menunda pencoklatan carambolas (Nisperos-Carriedo et al,
1992 ; Sanches
1990). Penyalut yang terdiri dari kitosan dan asam laurat kurang
parmeabel
terhadap uap air, tetapi lebih permeabel terhadap gas
dibandingkan kitosan
sendiri.
Penyalut bilayer adalah penyalut yang merupakan kombinasi dari
penyalut
lipida dan panyalut polisakarida. Penyalut lipida bersifat
penahan air yang baik
sedangkan penyalut polisakarida mempunyai sifat permeabilitas
gas yang baik.
Salah satu contoh penyalut seperti ini terdiri dari lapisan asam
palmitat dan asam
stearat dan lapisan hidroksipropil selulosa, banyak sekali
mengurangi transfer air
(Kamper dan Fennema, 1985). Penyalut yang lain terdiri dari 53%
hidroksipropil
metil selulosa dan 45% asam stearat mempunyai permeabilitas
0,17g air
Mil/(m2/hari/mmgH) pada 85% RH dibandingkan dengan 48 g air
Mil/
(m2/hari/mmgH) hanya hidroksipropil metilselulos (Kaban,
2008).
Protein juga telah dikembangkan untuk digunakan sebagai penyalut
untuk
buah dan sayur-sayuran. Protein untuk penyalut yang dapat
dimakan dapat
Universitas Sumatera Utara
-
diperoleh dari jagung, gandum, kacang kedelai dan collogen
(gelatin) dan ini
menghasikan penghalang yang terbaik terhadap O2 dan CO2 tapi
tidak demikian
terhadap air.
Penyalut komposit jagung yang mengandung minyak nabati,
gliserin, asam
sitrat, dan antioksidan mencegah ketengikan dalam produk seperti
biji dengan
bertindak sebagai penghalang kelembaban tapi juga barangkali
transport O2
dibatasi disamping bertindak sebagai pembawa antioksidan. Zein
telah digunakan
dalam formulasi penyalut yang dapat dimakan untuk tablet farmasi
dan produk
konfeksionari termasuk nut dan buah kering, sering pengganti
sebagai shelac.
Penyalut zein dilaporkan menghambat kemasakan tomat. Penyalut
gluten gandum
baik sebagai penghambat terhadap O2 dan CO2 dan sifat mekaniknya
sama dengan
penyalut polimer, tetapi penyalut ini mempunyai permeabilitas
air yang tinggi
disebabkan sifat hidropiliknya (Kaban, 2008).
2.2.2. Edible Film (Lapisan tipis yang dapat dimakan)
Lapisan tipis hidrokoloid dapat digunakan dalam aplikasi dimana
mengontrol
migrasi uap air bukan sebagai tujuan. Lapisan tipis ini mmiliki
sifat penahan yang
baik terhadap oksigen, karbon dioksida dan lipida. Kebanyakan
dari lapisan tipis
ini juga mempunyai sifat mekanik yang diinginkan membuatnya
berguna untuk
meningkatkan integritas struktur dari produk yang rapuh.
Kealarutan dalam air
dari lapisan tipis polisakarida menguntungkan dalam situasi
dimana lapisan tipis
akan dikonsumsi dengan suatu produk yang dipanaskan sebelum
dikomsumsi.
Selama pemanasan, lapisan tipis hidrokoloid akan terlarut dan
idealnya tidak
mengubah sifat sensori dari makanan.
Hidrokoloid yang digunakan sebagai film pelapis dapat
diklasifikasikan
menurut komposisinya, muatan molekul dan kelarutannya dalam air.
Dari segi
komposisi, hidrokoloid dapat merupakan karbohidrat atau protein.
Karbohidrat
pembentuk film meliputi starch, gum tumbuh-tumbuhan (sebagai
contoh alginat,
pektin, dan gum arabic) dan starch yang dimodifikasi secara
kimia.
Protein pembentuk film meliputi glatin, casein, protein kacang
kedelai,
whey protein, wheat gluten, dan zein. Keadaan muatan dari
hidrokoloid dapat
Universitas Sumatera Utara
-
digunakan untuk pembentukan film. Alginat dan pektin membutuhkan
adisi dari
ion polivalen, pada umumnya kalsium untuk memfasilitasi
pembentukan film.
Hidrokoloid yang bermuatan tersebut, sama seperti protein, mudah
dipengaruhi
perubahan pH karena adanya muatannya. Untuk beberapa aplikasi,
keuntungan
dapat diperoleh melalui penggabungan hidrokoloid yang mempunyai
muatan yang
berlawanan seperti glatin dan gum arabic.
Meskipun film hidrokoloid pada umumnya mempunyai daya tahan
yang
rendah terhadap uap air karena sifat hidropiliknya, tapi untuk
hidrokoloid yang
mempunyai kelarutan yang sedang didalam air seperti
etilselulosa, wheat gluten,
dan zein memberikan daya tahan yang lebih besar terhadap
lewatnya uap air
dibandingkan hidrokoloid yang larut dalam air (Donhow,
1994).
Film lipida sering digunakan sebagai penahan terhadap uap
air.
Penggunaannya dalam bentuk murni sebagai free-standing film
dibatasi, karena
integritas dan durabilitas kurang memadai. Lilin pada umunya
digunakan untuk
pelapis buah dan sayur-sayuran menahan respirasi dan mengurangi
kelembaban.
Formulasi untuk pelapis lilin sering berbeda dan komposisi
sering ditentukan
peruntukannya. Meskipun asam lemak dan alkohol asam lemak adalah
penahan
efektif terhadap uap air, sifat kerapuhannya membutuhkan
penggunaan dengan
suatu matriks pendukung.
Banyak lipida berada dalam bentuk kristal dan kristal
individunya tidak
dapat ditembus (kedap) terhadap gas dan uap air. Sajak parmeate
dapat lewat
diantara kristal, sifat penahan kristal lipida sangat tergantung
pada susunan
kumpulan intrakristal. Lipida terdiri dari kristal yang dapat
pada memberikan
daya tahan yang besar terhadap difusi gas dibandingkan kristal
yang tersusun
renggang. Lipida yang terdapat dalam keadaan cair atau mempunyai
perbandingan
yang besar dari komponen cair memberikan daya tahan yang kurang
terhadap gas
dan transmisi uap dibanding dengan yang dalam keadaan padat
(Kemper and
Fennema, 1994; Kester and Fennema, 1989). Sifat barrier dari
lipida yang
mempunyai sifat kristal dapat dipengaruhi oleh kekerasan dan
bentuk polimorphis
(Kester and Fennema, 1989).
Film komposit dapat diformulasi dengan menggabungkan keunggulan
dari
komponen lipida dan hidrokoloid dan mengurangi kelemahan
masing-masing.
Universitas Sumatera Utara
-
Apabila penahan terhadap uap air diinginkan, komponen lipida
dapat memenuhi
fungsi ini sedangkan komponen hidrokoloid memberikan durabilitas
yang
diperlukan. Sifat-sifat film bilayer lipida-hidrokoloid telah
dipelajari secara luas
(Greener and Fennema, 1989). Film komposit terdiri dari gabungan
casein dan
monogliserida terasetilasi telah dipelajari oleh Krochta et al.
(1990). Film
komposit dari gum acasia dan gliserol monostearat dilaporkan
mempunyai sifat
penahan uap air yang baik pada gradien kelembaban relatif
43,8-23,6 % (Martin-
Polo and Voilley, 1990).
Fungsi organoleptik nutrisi dan sifat mekanik dari suatu edible
film dapat
diubah dengan penambahan berbagai-bagai bahan kimia dalam jumlah
yang
sedikit. Plastisizer seperti gliserol, monogliserida
terasetilasi, polietilena glikol
dan sukrosa sering digunakan untuk modifikasi sifat mekanik dari
film.
Penggabungan dari aditif ini menyebabkan perubahan yang
signifikan dalam sifat
barrier dari film. Sebagai contoh, penambahan plastisizer
hidropilik pada
umumnya menambahkan permeabilitas uap air pada film. Tipe lain
dari aditif
yang sering diujumpai dalam formulasi adalah zat antimikroba,
vitamin,
antioksidan, flavor dan pigmen.
Banyak teknik yang ditentukan untuk pembentukan film secara
langsung
pada permukaan makanan atau secara terpisah self-supporting
film. Beberapa
tehnik pembentukan film dapat digunakan dengan beberapa tehnik
aplikasi berikut
yaitu pencelupan (dipping), penyemprotan (spraying) dan
penuangan (casting).
Metode pencelupan melekatkan film ke produk makanan yang
membutuhkan
beberapa aplikasi atau keseragaman pada permukaan yang tidak
teratur. Setelah
pencelupan, kelebihan bahan pelapis dibiarkan mengering dari
produk, dan
kemudian dikeringkan dan dibiarkan memadat. Metode ini telah
digunakan untuk
film monogliserida terasetilasi terhadap daging, ikan dan ayam
serta pelapisan
lilin terhadap buah dan sayuran.
Film yang diaplikasi dengan penyemprotan dapat dibentuk dalam
thinner,
cara yang seragam dibandingkan dengan cara pencelupan.
Penyemprotan, tidak
seperti pencelupan, adalah lebih sesuai untuk penggunaan film
kepada bahan
makanan yang hanya satu permukaan ditutupi. Hal ini dikehendaki
apabila
perlindungan dibutuhkan pada hanya satu permukaan, misalnya
apabila pizza
Universitas Sumatera Utara
-
crust diarahkan ke saus lembab. Penyemprotan dapat juga
digunakan untuk
pelapis kedua yang tipis, seperti larutan kation yang dibutuhkan
membentuk
ikatan silang alginat atau pelapis pektin.
Teknik penuangan (casting) berguna untuk pembentukan lapisan
tipis
yang berdiri sendiri (free-standing film) dipinjamkan dari
metode yang
dikembangkan untuk film yang tidak dapat dimakan (non-edible
film). Pelapisan
adalah sederhana dan membiarkan ketebalan film dikontrol secara
teliti pada
permukaan yang halus dan rata. Penuangan dapat dilakukan melalui
penyebaran
dengan ketebalan terkontrol atau dengan penuangan. Penyebaran
dengan
ketebalan terkontrol membutuhkan pembentang (spreader) dengan
suatu reservoir
produk dan pintu penyesuaian, tinggi yang dapat diatur dengan
teliti dan dengan
pengulangan yang baik. Pembentang digerakkan diatas permukaan
penerima,
menghasilkan suatu lapisan dari larutan pembentuk film dengan
ketebalan yang
diinginkan, yang dilanjutnya dikeringkan. Alternatif lain,
larutan pembentukan
film dapat dituangkan kedalam area yang dibatasi dari suatu
level permukaan yang
menerima dan selanjutnya dikeringkan.
2.2.2.1. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Edible film
Dalam pembuatan edible film, faktor-faktor yang perlu
diperhatikan adalah: suhu,
konsentrasi polimer, dan plasticizer.
1. Suhu
Perlakuan suhu diperlukan untuk membentuk edible film yang utuh,
tanpa
adanya perlakuan panas kemungkinan terjadinya interaksi
molekuler sangatlah
kecil. Sehingga pada saat film dikeringkan akan menjadi retak
dan berubah
menjadi potongan-potongan kecil. Perlakuan panas diperlukan
untuk membuat
pati tergelatinisasi, sehingga terbentuk pasta pati yang
merupakan bentuk awal
dari edible film. Kisaran suhu gelatinisasi pati rata-rata
64,50C - 70
0 C (McHugh
2003 dan Krochta, 1994)
2. Konsentrasi Polimer
Konsentrasi pati ini sangat berpengaruh, terutama pada sifat
fisik edible
film yang dihasilkan dan juga menentukan sifat pasta yang
dihasilkan. Menurut
Universitas Sumatera Utara
-
Krochta dan Johnson (1997), semakin besar konsentrasi pati maka
jumlah polimer
penyusun matrik film semakin banyak sehingga dihasilkan film
yang tebal.
3. Plasticizer
Plasticizer ini merupakan bahan nonvolatile, yang ditambahkan ke
dalam
formula film akan berpengaruh terhadap sifat mekanik dan fisik
film yang terbentuk
karena akan mengurangi sifat intermolekuler dan menurunkan
ikatan hidrogen
internal. Plasticizer ini mempunyai titik didih tinggi dan
penambahan plasticizer
dalam film sangat penting karena diperlukan untuk mengatasi
sifat rapuh film yang
disebabkan oleh kekuatan intermolekuler ekstensif. Menurut
Krochta dan Jonhson
(1997), plasticizer polyol yang sering digunakan yakni seperti
gliserol dan sorbitol.
Konsentrasi gliserol 1 - 2 % dapat memperbaiki karakteristik
film.
2.3. Edible Film Anti Mikroba
Salah satu cara tradisional untuk mengendalikan pertumbuhan
mikroba dalam
produk makanan untuk meningkatkan keselamatan dan menunda
kerusakan
adalah dengan memasukkan bahan antimikroba atau menyemprot
pada
permukaan. Dalam aplikasi ini, efisiensi dari unsur antimikroba
terbatas
disebabkan migrasi tidak dikendalikan dalam makanan dan aktivasi
parsial dari
senyawa aktif karena interaksi dengan komponen makanan. Pada
pengemas
antimikroba, bahan antimikroba diinkorporasi ke dalam bahan
pengemas, melapisi
permukaan film pengemas atau satu sachet campuran antimikroba
dapat
ditambahkan ke dalam kemasan (Emiroglu et al, 2010). Ketika
sistem pengemas
makanan diberi aktifitas antimikroba, bahan pengemas akan
membatasai atau
menghalangi mikroba untuk tumbuh pada permukaan makanan, dengan
demikian
akan memperpanjang umur simpan dan meningkatkan keamanan
terhadap
mikroba tersebut. Antimikroba yang terdapat dalam bahan pangan
dapat bersifat
bakterisidal (membunuh bakteri), bakteristatik (menghambat
pertumbuhan
bakteri), fungisidal (membunuh kapang), fungistatik (menghambat
pertumbuhan
kapang) dan germisidal (menghambat germinasi spora bakteri).
Mekanisme
senyawa antimikroba dalam menghambat pertumbuhan bakteri dengan
beberapa
cara, yaitu (i) merusak struktur dinding sel dengan cara
menghambat proses
pembentukannya atau menyebabkan lisis pada dinding sel yang
sudah terbentuk;
Universitas Sumatera Utara
-
(ii) mengubah permeabilitas membran sitoplasma yang akan
menyebabkan
terhambatnya pertumbuhan atau matinya sel; (iii) mendenaturasi
protein; (iv)
menghambat kerja enzim didalam sel yang mengakibatkan
terganggunya
metabolisme atau dinding sel.
Edible film dapat digunakan sebagai pembawa zat aditif
seperti
antioksidan, antimikroba, pewarna, flavors. Metode yang berbeda
dari aplikasi
langsung seperti inkorporasi bahan antimikroba kedalam edible
film atau edible
coating memberikan efek yang fungsional pada permukaan makanan.
Film
antimikroba adalah pengemas yang dapat mengurangi, mencegah
atau
memperlambat pertumbuhan mikroorganisme patogenik didalam
pembungkusan
makanan dan bahan pengemas. Penelitian mengenai film antimikroba
sedang
dikembangkan pada saat ini untuk mengkontrol aktivitas
mikribiologi pembusuk
dari makanan yang tidak tahan lama. Beberapa bahan organik
maupun anorganik
aktif dapat dimasukkan dalam struktur polimer untuk mencegah
mikroba
pembusuk yang tidak diinginkan selama masa penyimpanan. Bahan
antimikroba
yang digunakan dalam aplikasi pada makanan antara lain dapat
berupa minyak
atsiri, asam organik, bacteriocin, enzim, alkohol dan asam
lemak. Kemampuan
minyak atsiri untuk melindungi makanan-makanan melawan
mikroorganisme
patogen dan perusak telah dilaporkan oleh beberapa para
peneliti. Untuk
memperoleh efektivitas aktivitas antimikroba dalam aplikasi pada
makanan
langsung, dibutuhkan konsentrasi minyak atsiri yang tinggi, yang
mungkin
berdampak pada flavor dan bau-bau yang tidak sesuai di produk.
Oleh karena itu,
riset terbaru perlu berfokus pada inkorporasi minyak atsiri
kedalam edible film
sebagai aplikasi pengganti di dalam pengemasan makanan.
Pembuatan edible film
antimikroba dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain
yaitu dengan :
1. Penambahan sachetspads (kantong kecil) berisi bahan
antimikroba volatil ke
dalam kemasan.
2. Inkorporasi secara langsung bahan antimikroba volatil dan
yang tidak volatil
ke dalam polimer.
3. Coating atau adsorpsi antimikroba pada permukaan polimer.
4. Immobilisasi antimikroba pada polimer dengan ikatan ion atau
kovalen.
5. Penggunaan polimer yang memiliki sifat sebagai antimikroba.
(Zuhra., 2012)
Universitas Sumatera Utara
-
2.4. Plasticizer pada Edible Film
Untuk memperbaiki sifat plastik maka ditambahkan berbagai jenis
tambahan atau
aditif. Bahan tambahan ini sengaja ditambahkan dan berupa
komponen bukan
plastik yang diantaranya berfungsi sebagai plasticizer,
penstabil pangan, pewarna,
penyerap UV dan lain-lain. Pemlastis dalam konsep sederhana
adalah merupakan
pelarut organik dengan titik didih tinggi atau suatu padatan
dengan titik leleh
rendah yang ditambahkan kedalam resin seperti PVC yang keras dan
kaku,
sehingga akumulasi gaya intermolekuler pada rantai panjang akan
menurun. Hal
ini menyebabkan bagian rantai lebih mudah bergerak akibatnya
kelenturan,
kelunakan dan pemanjangannya akan bertambah (Yadav and Satoskar,
1997). dan
bahan yang tadinya keras dan kaku akan menjadi lembut pada suhu
kamar (Cowd,
1991). Plasticizer dapat menurunkan viskositas lelehan, suhu
transisi gelas (Tg)
dan modulus elastisitas produk tanpa mengubah sifat-sifat
kimiawi bahan plastik
tersebut (Meier, 1990).
Proses plasticizer, pada prinsipnya adalah terjadinya dispersi
molekul
plasticizer ke dalam fase polimer. Bilamana plasticizer
mempunyai gaya interaksi
dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala
molekul dan
terbentuk larutan polimer plasticizer sehingga keadaan ini
disebut kompatibel.
Interaksi antara plasticizerpolimer ini sangat dipengaruhi oleh
sifat afinitas
kedua komponen. Kalau afinitas polimer plasticizer tinggi, maka
molekul
plasticizer akan terdifusi ke dalam ruang yang berada diantara
rantai polimer dan
mempengaruhi mobilitas rantai (Efendi,2000).
Persyaratan yang harus dipenuhi harus kompatibel dan
parmanen.
Pemlastis harus larut dengan polimer dan menghasilkan gaya
intramolekul yang
sama diantara dua komponen tersebut, sehingga akan tercapai
kompatibilitas yang
baik. Permanence dari pemlastis ditentukan oleh titik didih,
berat molekul
pemlastis dan laju defusi pemlastis dalam polimer. Efesiensi
pemlastis juga
ditentukan oleh kadar pemlastis yang harus ditambahkan kedalam
resin polimer
(Bilmeyer, 1984 and Rudin, 1982). Sifat fisik dan mekanis yang
terplastisasi
merupakan fungsi distribusi dari sifat dan komposisi masing
masing komponen
dalam sistem, karenanya ramalan karakterisasi polimer yang
terplastisasi mudah
Universitas Sumatera Utara
-
dilakukan dengan variasi komposisi pemlastis. Secara umum
variasi jumlah
plasticizer akan efektif (mempunyai efek plastisasi) sampai
bahan kompatibel.
Hasil analisis mekanik yang dilakukan menunjukkan bahwa
membran
membran yang lebih kuat dan lebih liat (kenyal) dihasilkan
ketika sedikit
plasticizer yang digunakan dalam membran. Hasil uji plasticizer
ini menunjukkan
bahwa plasticizer yang mempunyai berat molekul yang relatif
rendah akan
memperbaiki kekuatan dan keliatan membran. Ketika sejumlah kecil
plasticizer
ditambahkan pada suatu polimer, plasticizer ini akan menyebabkan
molekul
polimer bergerak ke dalam konfigurasi energi yang lebih rendah.
Dalam
konfigurasi ini molekul molekul menjadi kurang bergerak, dengan
demikian
akan meningkatkan kekuatan dan keliatan yang baik dari polimer.
Sebaliknya jika
plasticizer yang ditambahkan terlalu banyak molekul molekul
polimer banyak
bergerak, akibatnya terjadi penurunan kekuatan dan keliatan
polimer
(Efendi, 2000)
2.4.1. Gliserol
Gliserol adalah salah satu plasticizer yang paling sering
digunakan pada
pembuatan film, disebabkan stabilitas dan kecocokan dengan
rantai hidrofilik bio
polimer. Fungsi utama gliserol adalah sebagai suatu zat yang
berfungsi untuk
menjaga kelembutan dan kelembaban. Gliserol dapat digunakan
sebagai pelarut,
pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient
dalam kosmetik.
Berdasarkan sifatnya gliserol banyak digunakan sebagai
plasticizer dan didalam
industri resin untuk menjaga kelenturan.
Gliserol memiliki rumus kimia C3H5(OH)3. Gliserol merupakan
trihidrat
alkohol, dimana mempunyai dua gugus hidroksil primer dan satu
gugus hidroksil
sekunder. Gliserol alami merupakan hasil samping konversi lemak
dan minyak
dari splitting lemah yang dapat diperoleh 15-20% larutan
gliserol dalam air.
Proses transesterifikasi menghasilkan 75-90% larutan gliserol
dalam alkohol.
Proses ini bergantung pada perbandingan jumlah alkohol dan lemak
atau pun
minyak dan konsentrasi katalis (Nouredini and Medikondura,
1997)
Universitas Sumatera Utara
-
Fungsi utama gliserol adalah sebagai humuctant (suatu zat yang
berfungsi
untuk menjaga kelembutan dan kelembaban). Gliserol juga dapat
juga digunakan
sebagai pelarut. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan
sebagai zat
pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan
minuman.
Hal ini disebabkan karena gliserol tidak beracun. Gliserol juga
dapat digunakan
dalam industri resin untuk menjaga sifat kelenturan
(Bommardeaux, 2006).
2.5. Karakteristik Edibel Film
Keberhasilan suatu proses pembuatan film kemasan dapat dilihat
dari karakteristik
film yang dihasilkan. Karakteristik utama yang diinginkan dari
film adalah sifat
laju transmisi uap air yang rendah dan kekuatan mekanis tinggi.
Sifat Mekanik
dari edible film (kekuatan tarik, uap air dan dapat menyerap air
atau gas oksigen)
berhubungan dengan peningkatan integritas mekanik dari makanan,
pencegahan
kehilangan kelembaban dan penampilan produk akhir. Suatu analisa
yang lengkap
sifat mekanik, permeabilitas dan biodegradasi adalah penting
untuk meramalkan
bagaimana film nantinya berfungsi di dalam sistim makanan.
2.5.1. Sifat Mekanik
Sifat mekanik dari suatu edible film sangat mempengaruhi hasil
edible film yang
dihasilkan Untuk mengetahui sifat-sifat mekanik dari suatu bahan
harus dilakukan
beberapa pengujian. Masing-masing pengujian memiliki cara yang
berbeda-beda.
Secara umum dapat dikatakan bahwa pembebanan secara statik dan
pembebanan
secara dinamik. Kuat tarik dan persen pemanjangan merupakan
suatu sifat
mekanis yang penting dari film. Kuat tarik merupakan kemampuan
suatu bahan
dalam menahan tekanan yang diberikan saat bahan tersebut berada
dalam
regangan maksimal. Peregangan maksimal menggambarkan tekanan
maksimal
yang dapat diterima oleh sampel. Persen pemanjangan adalah satu
indikasi
fleksibilitas film-film dan kemampuan meregang (sifat
dapat-regang), yang
ditentukan pada titik di mana film putus pada saat diregangkan
dan dinyatakan
sebagai persentase dari perubahan panjang spesimen akibat gaya
yang diberikan.
Universitas Sumatera Utara
-
Dalam pengujiannya, bahan uji ditarik sampai putus. Secara
sederhana,
kekuatan tarik diartikan sebagai beban maksiumum (Fmaks) yang
dibutuhkan untuk
memutuskan spesimen bahan, dibagi dengan luas penampang bahan.
Karena
selama dibawah pengaruh tegangan, spesimen mengalami perubahan
bentuk
(deformasi) maka defenisi kekuatan tarik dinyatakan sebagai
besarnya beban
maksimum yang dibutuhkan untuk memutuskan spesimen bahan, dibagi
dengan
luas penampang semula (Ao).
=
Jiks didefinisikan besaran kemuluran () sebagai nisbah
pertambahan
panjang terhadap panjang spesimen semula adalah:
() =
100%
Hasil pengamatan sifat kekuatan tarik dinyatakan dalam bentuk
kurva tegangan,
yakni nisbah beban dengan luas penampang (F/A) terhadap panjang
bahan
(regangan) yang disebut dengan kurva tegangan-regangan
(Wirjosentono, 1995).
Bentuk kurva tegangan-regangan ini merupakan karakteristik yang
menunjukkan
indikasi sifat mekanis bahan yang lunak, keras, kuat, lemah,
rapuh dan liat.
Gambar 2.7 Kurva Tegangan Regangan Bahan Polimer
Tega
ngan
Tegangan pada yield
Kemuluran pada yield
Kekuatan tarik akhir
Kemuluran
Universitas Sumatera Utara
-
2.5.2. Biodegradable
Plastik sintetik (non-biodegradable) sangat berpotensi menjadi
material yang
mengancam kelangsungan hidup di bumi ini. Untuk menyelamatkan
lingkungan
dari bahaya plastik, saat ini telah dikembangkan plastik
biodegradable, artinya
plastik ini dapat diuraikan kembali oleh mikroorganisme secara
alami menjadi
senyawa yang ramah lingkungan. Biasanya plastik konvensioanl
berbahan dasar
petroleum, gas alam atau batu bara. Sementara plastik
biodegradable terbuat dari
material yang dapat diperbaharui, yaitu dari senyawa senyawa
yang terdapat
dalam tanaman, misalnya pati, selulosa, kolagen, kasein, protein
atau lipid yang
terdapat dalam hewan. Beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat
biodegradabilitas kemasan setelah kontak dengan mikroorganisme,
yakni : sifat
hidrofobik, bahan aditif, proses produksi, struktur polimer,
morfologi dan berat
molekul bahan kemasan Plastik biodegradable berbahan dasar
pati/amilum dapat
didegradasi bakteri pseudomonas dan bacillus memutus rantai
polimer menjadi
monomer-monomernya.
Senyawa-senyawa hasil degradasi polimer selain menghasilkan
karbondioksida dan air, juga menghasilkan senyawa organik lain
yaitu asam
organik dan aldehid yang tidak berbahaya bagi lingkungan.
Plastik berbahan dasar
pati/amilum aman bagi lingkungan. Sebagai pembanding, plastik
tradisional
membutuhkan waktu sekitar 50 tahun agar dapat terdekomposisi
alam, sementara
plasik biodgradable dapat terdekomposisi 10 hingga 20 kali lebih
cepat. Hasil
degradasi plastik ini dapat digunakan sebagai makanan hewan
ternak atau sebagai
pupuk kompos. Platsik biodegradable yang terbakar tidak
menghasilkan senyawa
kimia berbahaya. Kualitas tanah akan meningkat dengan adanya
plastik
biodegradable, karena hasil penguraian mikroorganisme
meningkatkan unsur hara
dalam tanah (Zuhra, 2012.)
Prosedur analitik untuk mengamati biodegradasi antara lain:
pengamatan
visual, perubahan sifat mekanik dan massa molar, pengukuran
pengurangan berat
(penentuan polimer residu), konsumsi O2 dan perubahan CO2,
penentuan biogas,
Universitas Sumatera Utara
-
pelebelan radio aktif, penurunan ukuran partikel, dan penentuan
asam bebas.
Standarisasi uji biodegradable terbagi berdasarkan lingkungan
uji yakni:
pengujian kompas, pengujian biodegradasi anerobik, pengujian
biodegradasi di
tanah (Muller, 2005)
2.5.3. Scanning Electron Microscopy (SEM)
SEM adalah adalah alat yang dapat membentuk bayangan permukaan
spesimen
secara mikroskopik. struktur permukaan suatu benda diuji dapat
dipelajari dengan
menggunakan scanning electron mikroskop karena jauh lebih mudah
untuk
mempelajari struktur permukaan ini secara langsung.
Dengan berkas sinar elektron difokuskan kesuatu titik dengan
diameter
sekitar 100 dan digunakan untuk melihat permukaan dalam suatu
layar.
Elektron-elektron dari benda diuji difokuskan dengan suatu
elektroda elektrostatik
pada suatu alat pemantul yang dimiringkan. Sinar yang dihasilkan
diteruskan
melalui suatu pipa sinar pantulan kesuatu alat pembesar foto dan
sinyal yang
dapat digunakan untuk memodulasikan terangnya suatu titik
osikoskop yang
melalui suatu layar dengan adanya persesuaian dengan berkas
sinar elektron pada
permukaan benda uji.
Sebagai pengertian awal, mikroskop elektron payaran
menggunakan
hamburan elektron-elektron (dengan E = 30 kV) yang merupakan
energi datang
dan elektron-elektron sekunder (dengan E = 100 eV) yang
dipantulkan dari benda
uji. Karena elektro-elektron sekunder mempunyai energi yang
rendah, maka
elektron-elektron tersebut dapat dibelokkan membentuk sudut dan
menimbulkan
banyangan topografi. Intensitas dari hamburan balik elektron
yang cendrung
tertimbun karena energi yang lebih tinggi maka tidak mudah
dikumpulkan oleh
sistem kolektor normal seperti yang digunakan pada elektron
payaran. Jika
elektron-elektron sekunder akan terkumpul, maka kisi didepan
detektor akan
mengalami kemiringn sekitar 200 V (Smallman, 1991).
Sampel yang dianalisa dengan teknik ini harus mempunyai
permukaan
dengan konduktivitas tinggi. Karena polimer mempunyai
konduktivitas rendah
maka bahan perlu dilapisi dengan bahan konduktor (bahan
pengantar) yang tipis.
Universitas Sumatera Utara
-
Bahan yang biasa digunakan adalah perak, tetapi juga dianalisa
dalam waktu yang
lama, lebih baik digunakan emas atau campuran emas dan palladium
(Rusdi,
2008).
2.5.4. Differential Thermal Analysis (DTA)
Analisa thermal dalam pengertian luas adalah pengukuran sifat
kimia fisika bahan
sebagai fungsi suhu. Penetapan dengan metode ini dapat
memberikan informasi
pada kesempurnaan kristal, polimorfisma, titik lebur, sublimasi,
transisi kaca,
dehidrasi, penguapan, pirolisis, intraksi padat-padat dan
kemurnian. Data
semacam ini berguna untuk karakterisasi senyawa yang memandang
kesesuaian,
stabilitas, kemasan, dan pengawasan kualitas.
Differential Thermal Analysis merupakan teknik yang paling tua,
dimulai
oleh LeChatelier pada abad 19, tetapi pada sampai tahun 1960-an
tidak diterapkan
dalam bahan-bahan polimer. DTA merupakan suatu teknik/metode
dimana suatu
sampel polimer dan referensi inert dipanaskan, biasanya dalam
atmosfer nitrogen,
dan kemudian transisi-transisi termal dalam sampel tersebut
dideteksi dan diukur.
Pemengang sampel yang paling umum dipakai adalah cangkir
alluminium sangat
kecil (emas atau grafit dipakai untuk analisis-analisis diatas
800oC), referensi
berupa cangkir kosong atau cangkir yang mengandung bahan inert
dalam daerah
temperatur yang diingikan, misalnya alluminium bebas air. Dengan
DTA, sampel
dan referensi keduanya dipanaskan oleh sumber pemanasan yang
sama, dan
dicatat beda temperaturnya (T) antara keduanya (Stevens,
2007).
2.5.5. Infra Merah (IR)
Atom molekul bergetar dengan berbagai cara, tetapi pada tingkat
energi yang
berbeda. Jika kita perlakukan atom-atom sebuah molekul beratom
banyak sebagai
bola yang terangkai oleh pegas yang fleksibel, hukum gerak
menyatakan bahwa
akan ada 3n-6 cara (ragam) geratan. Energi getaran rentang untuk
molekul
organik bersesuaian dengan radiasi infrahmerah dengan bilangan
gelombang
antara 1200 dan 4000 cm-1. Bagaian tersebut dari spektrum
inframerah khususnya
Universitas Sumatera Utara
-
berguna untuk mendeteksi adanya gugus fungsi dalam senyawa
organik. Daerah
ini sering dinyatakan sebagai gugus fungsi karena kebanyakan
gugus fungsi yang
dianggap penting oleh para kimiawan organik mempunyai serapan
khas dan nisbi
tetap pada panjang gelombang tersebut (Pine, 1980).
Spektroskopi inframerah dapat digunakan untuk mengkarakterisasi
gugus
fungsi suatu polimer. Indentifikasi dari sampel polimer dapat
dibuat dengan
menggunakan daerah sidik jari, dimana identifikasi sampel pada
akhirnya
mungkin satu polimer untuk mempertunjukkan spektrum yang sama
persis seperti
yang lain. Daerah ini terletak dalam jangka 6,67 sampai 12,50 m
(Cowie, 1973)
Kelebihan FT-IR mencangkup persyaratan ukuran sampel yang
sedikit,
perkembangan spektrum yang cepat, dan karena instrumen ini
memiliki sistem
komputerisasi terdeteksi, kemampuan untuk menyimpan dan
menipulasi
spektrum. FTIR sangat berguna dalam penelitian struktur polimer.
Karena
spektrum-spektrum bias di-scan, disimpan, dan transformasikan
dalam hitungan
detik. Teknik ini memudahkan penelitian reaksi-reaksi polimer
seperti degradasi
dan ikatan silang (Stevens, 2007)
2.5.6. Swelling
Fenomena ini merupakan mekanisme dimana gel dapat menyerap
cairan dari
system sehingga volume pada gel dapat bertambah dan airnya akan
terperangkap
dalam matriks yang terbentuk pada gel. Swelling merupakan
kebalikan dari
fenomena syneresis dimana terjadi penyerapan cairan oleh suatu
gel dengan
diikuti oleh peningkatan volume. Gel juga dapat menyerap
sejumlah cairan tanpa
peningkatan volume yang dapat diukur, ini disebut inibisi.
Cairan-cairan yang
dapat mengakibatkan penggembungan adalah cairan-cairan yang
dapat mensolvasi
suatu gel (Martin, 1993).
Daya larut merupakan salah satu sifat fisik edible film yang
menunjukkan
persentase berat kering terlarut setelah dicelupkan dalam air
selama 24 jam (Gontard
et al, 1993). Daya larut film sangat ditentukan oleh sumber
bahan dasar pembuatan
film. Edible film berbahan dasar pati tingkat kelarutannya
dipengaruhi oleh ikatan
gugus hidroksi pati. Makin lemah ikatan gugus hidroksil pati,
makin tinggi kelarutan
film. Edible film dengan daya larut yang tinggi menunjukkan film
tersebut mudah
Universitas Sumatera Utara
-
dikonsumsi. Kadang-kadang pati mengalami masalah terhadap
kelarutannya, dalam
hal ini setelah mengalami gelatinisasi. Kelarutan edible film
juga dipengaruhi oleh
gliserol, selain sebagai plasticizer. Sedangkan Flores et al
(2007) menyatakan bahwa
kelarutan film adalah sama pada semua cara (metode) pembuatan
film, tetapi
kelarutan meningkat secara signifikan jika menggunakan kalium
sorbat dalam film
berbahan dasar pati tapioka.
Universitas Sumatera Utara