-
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Kesehatan
2.1.1 Pengertian Kebijakan
Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan
arti kebijakan.
Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah
untuk melakukan
atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do
or not to do).
Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu
kebijakan adalah adanya
tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose)
(Abidin, 2002).
Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung
makna
bahwa :
a. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah.
b. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau
tidak dilakukan
oleh badan pemerintah (Abidin, 2002).
Menurut Dunn proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan
yaitu sebagai
berikut :
a. Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar
suatu masalah bisa
mendapat perhatian dari pemerintah.
b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses
perumusan pilihan-
pilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh pemerintah.
8
Universitas Sumatera Utara
-
c. Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses
dimana pemerintah
menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria
yang harus
dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan
bagaimana proses
atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut.
d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu
proses untuk
melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini
perlu adanya
dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana
kebijakan.
e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses
untuk memonitor dan
menilai hasil atau kinerja kebijakan (Subarsono, 2005).
2.1.2.Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang
kesehatan
sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan
publik. Dari
penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian
kebijakan kesehatan yaitu
konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur
atau mengawasi
pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat
kesehatan yang
optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010).
Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi
semua
pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan
masyarakat dalam
penyelenggaraan pembangunan kesehatan dengan memperhatikan
kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
-
2.2. Implementasi Kebijakan
Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya
mencapai
hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh
policy makers
bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam
implementasinya
(Subarsono, 2005).
Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk
suatu
hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran
kebijakan
publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir)
kegiatan-kegiatan yang dilakukan
oleh pemerintah (Wahab, 2008).
Van Meter dan Horn menyatakan bahwa implementasi kebijakan
menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan
hasil kegiatan
pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun jaringan
yang
memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui
aktivitas instansi
pemerintah yang melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan
(policy
stakeholders) (Subarsono, 2005).
Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan
dengan tahap
pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan
proses yang
memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali
dengan penyampaian
aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan
implementasi
kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down,
dalam arti penurunan
alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan
konkrit atau mikro
(Parsons, 2008).
Universitas Sumatera Utara
-
Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi
actuating
dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi
tengah yang terkait
erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan
(planning), pengorganisasian
(organizing), pembenahan personil (stuffing) dan pengawasan
(controlling). Sebagai
langkah awal pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan
tujuan serta
formulasi kebijakan. Untuk langkah akhir dari rangkaian
kebijakan berada pada
monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002).
Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan
masing-
masing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain.
Dalam pandangan
Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel
yaitu :
a. Komunikasi
Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa
yang harus
dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus
ditransmisikan
kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi
implementasi.
Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau
bahkan tidak diketahui
sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi
resistensi
dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi
pengetahuan kelompok
sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan
kekeliruan
dalam mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009).
b. Sumber Daya
Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan
konsisten, tetapi
apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan,
implementasi
Universitas Sumatera Utara
-
tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud
sumberdaya
manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono, 2005).
Sumberdaya manusia
adalah kecukupan baik kualitas dan kuantitas implementor yang
dapat melingkupi
seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan
modal dalam
melaksanakan kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam
implementasi
kebijakan. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas
menjadi dokumen
saja (Indiahono, 2009).
c. Disposisi
Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh
implementor seperti
komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor
memiliki disposisi
yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik
seperti apa
yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor
memiliki sikap atau
perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses
implementasi
kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005).
Kejujuran mengarahkan
implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah
digariskan dalam
program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias
dalam
melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang
demokratis akan
meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan
anggota
kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari
masyarakat dan
menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran
terhadap
implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).
Universitas Sumatera Utara
-
d. Struktur Birokrasi
Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan
memiliki
pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah
satu dari aspek
struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya
prosedur operasi yang
standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi
pedoman bagi
setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang
terlalu panjang
akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape,
yakni
prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan
aktivitas
organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005).
Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward
memiliki
keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari
kebijakan. Semuanya
saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan
mempengaruhi
variabel yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan
mudah sekali
melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga
program tidak optimal
dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari
implementor kurang
demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan
kelompok sasaran.
Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat
menggambarkan
implementasi program diberbagai tempat dan waktu.
Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna
karena
pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari
sekedar
merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman tentang
berbagai aspek
dan disiplin ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai
pihak namun
Universitas Sumatera Utara
-
pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam
kenyataannya sering terjadi
implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa
yang dirumuskan
dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa
disebabkan karena tidak
dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation)
dan karena tidak
berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful
implementation) (Abidin
2002).
Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal
yang
biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain
:
a. Kondisi Fisik
Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal
kegagalan
pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini
sering dianggap
bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam
hal-hal tertentu
sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi
resiko yang terjadi.
b. Faktor Politik
Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran
pemerintahan dapat
mengubah orientasi atau pendekatan dalam pelaksanaan bahkan
dapat
menimbulkan perubahan pada seluruh kebijakan yang telah dibuat.
Perubahan
pemerintahan dari kepala pemerintahan kepada kepala pemerintahan
lain dapat
menimbulkan perbedaan orientasi sentralisasi ke desentralisasi
sistem
pemerintahan, perubahan dari orientasi yang memprioritaskan
strategi
industrialisasi ke orientasi agri-bisnis, perubahan dari
orientasi yang
memprioritaskan pasar terbuka ke strategi dependensi dan
sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
-
c. Attitude
Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar
menunggu
berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa
melakukan
perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum
kebijakan itu
dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan
perundang-undangan boleh saja
terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada
waktu baru
mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude
positif dalam budaya
bernegara.
d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor
inputs.
Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang
diharapkan tidak
tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah
satu faktor
dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup.
e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah
pelaksanaan.
Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A
> B > C > D,
kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B
dengan C dan atau
antara C dengan D.
f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat
terjadi karena teori
yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam
perumusan
kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002).
Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan
diinginkan, asumsi
yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi
tanpa pelaksanaan yang
baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun hanya akan
merupakan sekedar
Universitas Sumatera Utara
-
suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan
bermasyarakat
(Abidin, 2002).
2.3. Kebijakan Kesehatan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah
Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan
adalah
keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun
sosial yang memungkinkan
setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan
ekonomi.
Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa
setiap
orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat
kesehatan.
Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan
bahwa
pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur,
menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang
merata dan
terjangkau oleh masyarakat.
2.4. Kebijakan Kesehatan dalam Program Pemberantasan DBD
Depkes telah melewati pengalaman yang cukup panjang dalam
penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama
pemberantasan DBD
adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian
strategi
diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA
(Tempat
Penampungan Air). Kedua metode ini sampai sekarang belum
memperlihatkan hasil
yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus dan
bertambahnya jumlah
wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk
membunuh virus
dengue belum ada maka cara yang paling efektiv untuk mencegah
penyakit DBD
Universitas Sumatera Utara
-
ialah dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang dilaksanakan
oleh
masyarakat atau keluarga secara teratur setiap seminggu sekali.
Oleh karena itu saat
ini Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan upaya
Pemberantasan Sarang
Nyamuk (Ditjen PP & PL, 2004).
Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Bagian
PMK
(Pengendalian Masalah Kesehatan) Dinkes Tebing Tinggi tentang
kebijakan
pemberantasan DBD di Tebing Tinggi dipaparkan sebagai berikut
:
a. Untuk pencegahan penyakit DBD dilaksanakan PSN (Pemberantasan
Sarang
Nyamuk) melalui 3M Plus dengan melibatkan masyarakat yaitu 3M
yakni
menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat
tempat
penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air.
Kegiatan
lainnya yang melibatkan masyarakat yaitu gotong royong dan ini
dilakukan 1x
1minggu. Plus yakni memelihara ikan pemakan jentik, memasang
kawat kasa,
mengatur ventilasi dan pencahayaan dalam ruangan, mengganti air
vas bunga atau
tempat minum burung, menghindari menggantung pakaian dalam
kamar,
menggunakan obat anti nyamuk, menaburkan larvasida di tempat
penampungan
air, dan lainnya. Sosialiasi dibuat dalam bentuk leaflet,
spanduk, baliho. Selain
kegiatan tersebut pemerintah juga melakukan fogging massal dan
abatesasi.
b. Kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat diwujudkan
kembali dalam
kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilaksanakan 1
bulan 1 kali oleh
kader Jumantik ditiap puskesmas. Saat ini di Tebing Tinggi
terdapat 356 kader
Universitas Sumatera Utara
-
Jumantik (2 orang kader per lingkungan) dengan penggajian Rp.
25.000 per bulan
untuk setiap jumantik.
c. Survailens / Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi
dilakukan pada setiap
kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah
penderita. Bila
ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya
ataupun
ditemukan faktor resiko (jentik) maka dilakukan fogging fokus
dengan siklus 2
kali dan fogging massal bila diperlukan.
d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini
Rumah Sakit
(KD-RS) DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis
sebagai
laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru
untuk segera
dilaksanakan surveilans epidemiologi.
Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar
Biasa) sesuai
dengan Peraturan Menkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 yaitu :
a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal
pada suatu daerah.
b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2
kali atau lebih
dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun
sebelumnya.
c. Angka kematian (CFR) dalam suatu kurun waktu tertentu
menunjukkan kenaikan
50% atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya
dalam kurun
waktu yang sama (Ditjen PP & PL 2011).
Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka
telah
dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain
:
a. UU RI No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
Universitas Sumatera Utara
-
b. Kepmenkes No.581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit
DBD.
c. PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah &
kewenangan provinsi
sebagai daerah otonom.
d. Kepmenkes No.004/Menkes/SK/I/2003 tentang kebijakan &
strategi
desentralisasi bidang kesehatan .
e. Permenkes No.741 tahun 2008 tentang SPM bidang kesehatan di
kabupaten/kota
dengan target 100% kejadian DBD ditangani sesuai standar.
f. Permenkes No.1501/Menkes/Per/X/2010 tentang jenis penyakit
menular tertentu
yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya (hasil
revisi dari
Permenkes No.560 tahun 1989 karena dipandang tidak memadai lagi
dalam
penanggulangan berbagai penyakit menular yang dapat menimbulkan
wabah).
Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU
No.22
tahun 1999 tantang pemerintahan daerah serta PP No.25 tahun 2000
tentang
kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi sebagai daerah
otonom telah terjadi
pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya
kewenangan
dalam bidang kesehatan. Namun lambatnya penanganan penyakit
demam berdarah itu
tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara
pemerintah pusat &
pemerintah kabupaten atau kota sebagai pelaksana program
(Hidayat, 2008).
Melalui Kepmenkes No. 581 tahun 1992, telah ditetapkan Program
Nasional
Penanggulangan DBD yang terdiri dari beberapa pokok program
yaitu :
a. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Untuk setiap
kasus DBD
harus dilakukan penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100
meter dari rumah
Universitas Sumatera Utara
-
penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya
penderita DBD
lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor resiko yaitu
ditemukan jentik,
maka dilakukan penyemprotan (Fogging Fokus) dengan siklus 2 kali
disertai
larvasidasi, dan gerakan PSN.
b. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (
PJB ) setahun 4
kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya.
c. Lebih mengutamakan pencegahan yaitu dengan melaksanakan
PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3M Plus, dengan
melibatkan
masyarakat.
d. Memfasilitasi terbentuknya tenaga Jumantik ( Juru Pemantau
Jentik)
e. Kemitraan melalui wadah Pokjanal (Kelompok Kerja
Operasional), bersama
Depdagri dan lintas sektor lainnya terutama Depdiknas.
f. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada
(Ditjen PP & PL,
2011).
Adapun beberapa pengembangan program pencegahan DBD dari
program-
program yang ada yaitu :
a. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di
berbagai
tingkat administrasi.
b. Pengendalian DBD masuk dalam SPM bidang kesehatan kabupaten
atau kota
sehingga upaya pengendalian (operasional dan non operasional)
menjadi
tanggung jawab kabupaten atau kota (Permenkes 741 tahun
2008).
Universitas Sumatera Utara
-
c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk
teknis BOK tahun
2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta
pengendalian dan
pemberantasan vektor.
d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar
meningkatkan komitmen
terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk
kegiatan juru
pemantau jentik (Jumantik) contoh DKI Jakarta, Mojokerto (Jawa
Tengah),
Denpasar (Bali).
e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD
contoh beberapa
daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara
lain DKI
Jakarta, Jawa Timur, NTT.
f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait :
1. Kementrian Pendidikan Nasional & Kementrian Agama :untuk
mengaktifkan
UKS.
2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat
melalui PKK.
3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans
berdasarkan iklim.
g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja
masing-masing
daerah (misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan
komponen
masyarakat lainnya) dalam PSN (Ditjen PP & PL, 2011).
Pada tanggal 14 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil
menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya
di Jakarta yang
dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan
tanggal 15 Juni
sebagai Hari Dengue se-Asean. Bersamaan dengan itu telah
dilaksanakan pula dialog
Universitas Sumatera Utara
-
nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam
Negeri serta
dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO
yang
menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu :
a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu
mengatasi
permasalahan demam berdarah.
b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam
berdarah.
c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus
menerus
(surveilans).
d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang
memadai.
e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah,
swasta, dan masyarakat.
f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi
pemerintah , swasta, dan
masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat
umum lainnya.
g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga
pendidikan, karang
taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap
demam berdarah.
h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam
berdarah.
i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai
tingkatan baik
pusat, provinsi, kabupaten atau kota.
j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian
demam berdarah
(Ditjen PP & PL, 2011).
Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak
1975
Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak
memperkenankan adanya
jentik nyamuk di rumah. Begitu juga dengan Singapura sejak 1996
memberlakukan
Universitas Sumatera Utara
-
ketentuan serupa yang disebut Destruction of Disease Bearing
Insect untuk
mengendalikan penularan demam berdarah melalui pengontrolan
jentik di negaranya.
Lewat aturan tersebut tiap pemilik rumah didenda bila dijumpai
jentik nyamuk di
rumah. Bagi Malaysia dan Singapura aturan khusus itu juga bisa
menjadi sumber
pendapatan negara. Singapura mengumpulkan uang penalti hingga
317 ribu dolar
Singapura. Sedangkan Malaysia mencapai 2,4 juta ringgit
Malaysia. Rita Kusriastuti
berpendapat kalau pemerintah Indonesia berniat mengeluarkan
aturan seperti itu
harus dilaksanakan konsekuen sehingga tidak menjadi sia-sia.
Beliau setuju terhadap
aturan tersebut mengingat Indonesia belum ada regulasi seperti
halnya Singapura atau
Malaysia. Di Indonesia perkara mengeluarkan sebuah aturan memang
bukan
gampang setidaknya butuh waktu dan biaya apalagi pembuatan
regulasi setingkat UU
harus mengikutsertakan parlemen (Bantors, 2007).
Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan
Disiplin
Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat
dan gerakan lain
serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku
Hidup Bersih Sehat
(PHBS). Negara Sri Lanka menggunakan Green Home Movement
yaitu
menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat
kebersihan dan
kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti dan
menempelkan stiker
hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan
kesehatan. Bagi
pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3
kali untuk
membersihkan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan
maka orang
tersebut didenda (BPPN, 2006).
Universitas Sumatera Utara
-
Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN
DBD
maka pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru
yaitu
Komunikasi Perubahan Perilaku / KPP ( Communications for
Behavioral Impact /
COMBI ), tetapi beberapa Negara di dunia seperti Negara Asean
(Malaysia, Laos,
Vietnam), Amerika Latin telah menerapkan pendekatan ini dengan
hasil yang baik.
Di Indonesia sudah diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta
Timur dan
memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan
kepada kekompakan
kerja tim, yang disebut sebagai tim kerja dinamis dan
penyampaian pesan, materi dan
media komunikasi direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan
oleh
masyarakat dengan cara pemecahan masalah yang disetujui bersama.
Diharapkan
dengan pendekatan KPP / Combi ini, perubahan perilaku masyarakat
kearah
pemberdayaan PSN dapat tercapai secara optimal (Ditjen PP &
PL,2008).
DKI Jakarta telah memiliki Perda No.6 Tahun 2007 tentang
pengendalian
penyakit DBD dimana dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap orang
yang melanggar
ketentuan dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk
Aedes aegypti
atau jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai
berikut:
a. Teguran tertulis.
b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat
melalui penempelan
stiker di pintu rumah.
c. Denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah)
atau pidana
kurungan paling lama 2 (dua) bulan.
Universitas Sumatera Utara
-
Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap pengelola, penanggung jawab
atau pimpinan
yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab
terhadap
urusan kerumahtanggaan dan atau kebersihan lingkungan masyarakat
yang melanggar
ketentuan dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik
nyamuk Aedes
albopictus pada lingkungan masyarakat yang menjadi lingkup
tanggung jawabnya
dikenakan sanksi sebagai berikut :
a. Teguran tertulis
b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada masyarakat
melalui penempelan
stiker di lobbi atau pintu masuk kantor
c. Denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau
denda paling banyak
Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau pidana kurungan
paling lama 3
(tiga) bulan.
Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih
kurang
43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada
tahun 1968
menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan
angka kesakitan.
Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin
luas, menyerang
tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua.
Pada tahun 2011
sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian
(CFR: 0,80 %).
Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22
Agustus 2011
tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan
DBD diatas target
nasional (Ditjen PP & PL, 2011).
Universitas Sumatera Utara
-
DBD sangat endemis di Indonesia, penyebab meluasnya penyakit DBD
di
Indonesia multi faktorial antara lain:
a. Faktor Manusia dan Sosial Budaya
1. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada
kejadian kasus
DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota
tersebut. Hal ini
karena berkaitan dengan penyediaan infrastruktur yang kurang
memadai seperti
penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga
terkumpul
barang-barang bekas yang dapat menampung air dan menjadi
tempat
perkembang biakan nyamuk Aedes, penular DBD.
2. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke
kota lain
mempengaruhi penyebaran penyakit DBD.
3. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan
sehari-hari
seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air
didalam bak mandi,
membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat
perkembangbiakan
nyamuk .
4. Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa
lingkungan
terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah-wadah dan
kurang
melaksanakan kebersihan dan 3M Plus ( menguras, menutup dan
mengubur,
serta Plus yaitu menaburkan larvasida , memelihara ikan pemakan
jentik dll. )
b. Faktor Agen dan Lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
-
1. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di
seluruh wilayah
Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan
siklusnya didalam
tubuh nyamuk.
2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas
diseluruh pelosok
tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan.
3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk,
namun di
Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang
cenderung
menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam
bak-bak
air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang
tahun.
c. Standar Operasional Prosedur
1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan
penatalaksanaan
penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah
Sakit,
Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga
sering terjadi
over diagnosis.
2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS (Kewaspadaan
Dini
Rumah Sakit) DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus
dari rumah
sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar,
seharusnya
setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari
24 jam agar
dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara
cepat dan tepat
sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi.
d. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
-
1. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti,
kurangnya petugas
lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan
program
pengendalian DBD.
2. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh
karena
keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan
Jentik
Berkala) dimana kader-kader jumantik melaksanakan pemeriksaan
jentik
seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana
operasional
maupun biaya pengganti transport bagi para kader jumantik
sehingga
kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur,
Pekalongan,
Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik
melalui
peran serta masyarakat dan Jumantik.
e. Kondisi Sarana Pendukung
Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau
Puskesmas jumlahnya
bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan.
Oleh karena itu
mesin-mesin yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali
diambil dari
mesin-mesin yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang
rusak.
f. SumberPembiayaan
1. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di
beberapa wilayah
sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih
tergolong
kecil di masing-masing wilayah endemis.
2. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA
, estimasi hanya
untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000 / 2
siklus. Area
Universitas Sumatera Utara
-
yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan
tujuan membunuh
nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat
meminta
penyemprotan yang tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus
menanggung
biaya itu sendiri. Penyemprotan liar ini biasanya dilakukan oleh
perusahaan
penyemprot/ pihak swasta yang hanya mengutamakan aspek
keuntungan saja.
3. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga
Maret dimana
pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari
APBD, ini
membuat hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di
lapangan.
g. Faktor kerjasama atau peran serta lintas sektor (Ditjen PP
&PL, 2011).
2.5. Demam Berdarah Dengue
2.5.1. Pengertian DBD
Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh
virus
dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi
mendadak tanpa sebab
yang jelas, berlangsung terus menerus selama 27 hari,
manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva,
epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan
gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet
(Rumple Leede) positif,
trombositopeni (jumlah trombosit 100.000/l ), hemokonsentrasi
(peningkatan
hemotokrit 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati
(hepatomegali) (Depkes RI,
2005).
Universitas Sumatera Utara
-
2.5.2. Etiologi DBD
Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok
B
anthropida borne virus (Arboviruses). Dikenal sebagai genus
Flavivirus, famili
Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu :DEN1, DEN2,
DEN3 dan
DEN4. Salah satu infeksi serotypeakan menimbulkan antibodi
terhadap serotype
yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap
serotype lain dan
sangat kekurangan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan
terhadap serotype
yang lain. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di
berbagai daerah di
Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan
diasumsikan
banyak yang menunjukkan manifestasi klinis berat. Serotype DEN3
berasal dari
Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imunitas rendah
dengan tingkat
penyebaran yang tinggi, sudah diketahui sejak 300 tahun yang
lalu
penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI, 2005).
2.5.3. Cara Penularan DBD
Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan
infeksi virus
dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue
ditularkan kepada
manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes
albopictus, Aedes
polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga
menularkan virus ini, namun
merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut
dapat mengandung
virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami
viremia.
Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak
dalam waktu 8-10 hari
Universitas Sumatera Utara
-
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali
kepada manusia pada
saat gigitan berikutnya.
Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada
telurnya
(transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus
tidak penting.
Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh
nyamuk, nyamuk
tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif).
Di tubuh manusia,
virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation
period) sebelum
menimbulkan penyakit.
Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila
nyamuk
menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari
sebelum panas
sampai 5 hari setelah demam timbul. Penyebaran nyamuk Aedes
aegypti dipengaruhi
oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik,
seperti kebersihan
halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi
masyarakat. Nyamuk ini
dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang
lebih 1000 meter,
nyamuk ini tidak dapat berkembang biak lebih dari ketinggian
tersebut, suhu udara
terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk
untuk
berkembang biak (Depkes RI, 2005).
2.5.4. Epidemiologi
Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat
menyerang semua
golongan umur, jenis kelamin, terutama anak anak. Tetapi dalam
dekade terakhir ini
terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada
golongan dewasa.
Kasus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada
musim
Universitas Sumatera Utara
-
penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus
DBD
memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI,
2005).
Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans
epidemiologi dan
upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai
upaya pencegahan
kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka
kematian meningkat
akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat
membersihkan
sarang nyamuk masih kurang (Sungkar, 2007).
2.5.5. Tanda dan Gejala Klinis
Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam
dekade
terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi
pada kelompok dewasa.
Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari
(Depkes RI, 2005).
Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa
WHO
tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk
mengurangi diagnosa
yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis).
Kriteria klinis
tersebut seperti:
a. Demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7
hari.
b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji
tornique positif,
petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan
gusi, hematemesis
dan melena.
c. Pembesaran hati.
d. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta
penurunan tekanan
nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan
penderita tampak
Universitas Sumatera Utara
-
gelisah. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 /
ul atau kurang
dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit
20% atau lebih.
Dua kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan
diagnosis
klinis DBD (Depkes RI, 2005).
WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu
:
Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya
manifestasi perdahan
ialah uji torniqet positif.
Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau
perdarahan lain. Derajat
III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lembut, tekanan jadi
menurun ( < 20 mmHg ) atau hipotensi disertai kulit yang
dingin, lembab dan
penderita menjadi gelisah.
Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba
dan tekanan darah
yang tidak dapat diukur (Depkes RI, 2005).
Panduan WHO di tahun 2009 telah diterbitkan yang merupakan
penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu WHO 1997,
penyempurnaan ini
dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal yang
kurang sesuai dengan
panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adnya redefenisi kasus
terutama untuk kasus
infeksi dengue berat. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak
memenuhi ke
empat kriteria WHO 1997 namun terjadi syok. Sehingga
disepakatilah panduan
terbaru WHO tahun 2009 :
Universitas Sumatera Utara
-
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah :
a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs)
yakni :
1. Bertempat tinggal di daerah endemik dengue atau bepergian ke
daerah
endemik dengue
2. Demam disertai 2 dari hal berikut : mual ataupun muntah,
ruam, sakit dan
nyeri, uji torniqet positif, leukopenia.
b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)yakni
:
nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan,
perdarahan
mukosa, letargi atau lemah, pembesaran hati > 2cm, kenaikan
hematokrit seiring
dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat.
c. Dengue berat (severe dengue ) yakni :
1. Kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan syok (DSS),
akumulasi
cairan dengan distress pernafasan.
2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan dokter / petugas
kesehatan.
3. Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT 1000, gangguan
kesadaran,
gangguan jantung, dan organ lain) (Primal, 2010).
Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spesifik
untuk DBD
tidak ada, karena obat terhadap virus dengue belum ada. Prinsip
dasar pengobatan
penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena
kebocoran
plasma (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
-
2.6. Landasan Teori
Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh
George
Edward III (1980) menunjukkan empat variabel yang berperan
penting dalam
pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut
adalah komunikasi,
sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi.
a. Komunikasi, yaitu bagaimana petugas kesehatan menyampaikan
program dari
suatu kebijakan dengan tujuan dan sasaran yang jelas sehingga
kelompok sasaran
mengetahui hal tersebut. Semakin tinggi pengetahuan kelompok
sasaran tentang
program tersebut maka akan mengurangi kekeliruan dalam
mengaplikasikannya.
Dalam hal ini peneliti meneliti apakah masyarakat mengetahui
program-program
pemberantasan DBD yang ditetapkan Pemerintah Kota Tebing
Tinggi.
b. Sumber daya, yaitu sumber daya manusia maupun sumber daya
finansial.
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun
kuantitas petugas
kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok masyarakat.
Dalam hal ini
peneliti meneliti apakah petugas kesehatan yang akan
melaksanakan kebijakan
memadai jumlahnya, bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang
akan
mengaplikasikan kebijakan tersebut, tingkat pemahaman terhadap
tujuan dan
sasaran serta aplikasi detail program, dan kemampuan
menyampaikan program
dan mengarahkan. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal
investasi atas
sebuah kebijakan. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah
program memiliki
sarana dan prasarana yang baik dan berjalan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
-
c. Disposisi, yaitu bagaimana watak karateristik petugas
kesehatan. Karateristik yang
penting adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Peneliti
meneliti tentang
karakter petugas kesehatan yaitu bagaimana tingkat komitmen dan
kejujurannya
yang dapat diukur dengan tingkat konsistensi antara pelaksanaan
kegiatan dengan
aturan yang ditetapkan, semakin sesuai dengan aturannya maka
semakin tinggi
komitmennya. Tingkat demokratis dapat diukur dengan intensitas
pelaksana
melakukan komunikasi dengan kelompok sasaran dan mencari solusi
dari masalah
yang dihadapi.
d. Struktur birokrasi, mencakup dua aspek penting yaitu
mekanisme dan struktur
organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program
biasanya sudah
ditetapkan melalui Standar Operating Procedur (SOP) yang
dicantumkan dalam
guideline kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja
yang jelas,
sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun
karena akan menjadi
acuan dalam bekerjanya implementor. Dalam hal ini peneliti
meneliti seberapa
jauh rentang kendali antara pimpinan atas dan bawahan dalam
sturuktur
organisasi pelaksana, semakin jauh berarti semakin rumit,
birokratis dan lambat
untuk merespon perkembangan program. Struktur organisasi
pelaksana harus
dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar
biasa dalam
program secara cepat.
Universitas Sumatera Utara
-
2.7. Kerangka Konsep
Dari landasan teori yang disebut diatas, maka disusunlah
kerangka teori
bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana implementasi kebijakan
dengan
variabelnya yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi memiliki
pengaruh terhadap
kejadian DBD di kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi. Dalam
hal ini, peneliti
membatasi variabel yang akan diteliti dengan menghilangkan
variabel struktur
birokrasi dikarenakan variabel tersebut bersifat struktur
organisasi dinas kesehatan
yang tidak dapat ditanyakan kepada responden masyarakat.
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Implementasi Kebijakan :
1. Komunikasi
2. Sumber Daya
3. Disposisi
Kejadian DBD
Universitas Sumatera Utara