Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal definition and classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence- based consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi (Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barret’s esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006), (Makmun, 2009). 2.2 Epidemiologi Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun 2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan 6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari 2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan 4 Universitas Sumatera Utara
14
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Chapter II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang

sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak

buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas

yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal

definition and classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-

based consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux

Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks

kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang

mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi

(Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barret’s

esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006),

(Makmun, 2009).

2.2 Epidemiologi

Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah

dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada

populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan

peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun

2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan

6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh

Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di

Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari

2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi

di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi

Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan

4

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Chapter II

kasus esofagitis sebanyak 22,8 % dari semua pasien yang menjalani endoskopi atas

dasar dispepsia (Makmun, 2009).

Gambar 2.1. Prevalensi GERD pada Studi berbasis Populasi di Asia.

GERD didefinisikan sebagai mengalami heartburn atau regurgitasi minimal setiap

minggu. Studi dilakukan terhadap subyek yang sedang menjalani medical check-up.

( Jung, 2011 )

2.3 Etiologi dan Patogenesis

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya GERD. Esofagitis

dapat terjadi sebagai akibat refluks esofageal apabila : 1). Terjadi kontak dalam

waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, 2). Terjadi

penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus (Makmun, 2009).

Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi (high pressure

zone) yang dihasilkan oleh kontraksi lower esophageal sphincter (LES). Pada

individu normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat sendawa atau

muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES hanya terjadi apabila tonus

LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg) (Makmun,2009).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme : 1).

Refleks spontan pada saat relaksasi LES tidak adekuat, 2). Aliran retrograd yang

mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3). Meningkatnya tekanan intra

abdomen. Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD

menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus (pemisah anti

5

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Chapter II

refluks, bersihan asam dari lumen esofagus, ketahanan epitel esofagus) dan faktor

ofensif dari bahan refluksat. Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya

gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks

fisiologis, antara lain dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed

gastric emptying (Makmun, 2009).

Peranan infeksi Helicobacter pylori dalam patogenesis GERD relatif kecil

dan kurang didukung oleh data yang ada. Pengaruh dari infeksi H. pylori terhadap

GERD merupakan konsekuensi logis dari gastritis serta pengaruhnya terhadap

sekresi asam lambung (Makmun, 2009). Tingginya angka infeksi H. pylori di Asia

dengan rendahnya sekresi asam sebagai konsekuensinya telah dipostulasikan sebagai

salah satu alasan mengapa prevalensi GERD di Asia lebih rendah dibandingkan

dengan negara-negara Barat. Hal tersebut sesuai dengan yang ditunjukkan pada satu

studi di Jepang yang dilakukan oleh Shirota dkk. Studi yang lain juga membuktikan

adanya hubungan terbalik antara derajat keparahan esofagitis refluks dengan infeksi

H. pylori. Hamada dkk menunjukkan insiden esofagitis refluks yang tinggi setelah

eradikasi H.pylori, khususnya pada pasien gastritis korpus dan mempunyai

predisposisi terhadap refluks hiatus hernia (Goh dan Wong, 2006).

Dalam keadaan di mana bahan refluksat bukan bersifat asam atau gas (non

acid reflux), timbulnya gejala GERD diduga karena hipersensitivitas viseral

(Makmun,2009).

Gambar 2.2 Patogenesis terjadinya GERD (Makmun, 2009).

6

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Chapter II

2.4 Manifestasi Klinik

Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di

epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri dideskripsikan sebagai rasa

terbakar (heartburn), kadang-kadang bercampur dengan gejala disfagia (kesulitan

menelan makanan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit di lidah. Walau demikian

derajat berat ringannya keluhan heartburn ternyata tidak selalu berkorelasi dengan

temuan endoskopik. Kadang-kadang timbul rasa tidak enak retrosternal yang mirip

dengan angina pektoris. Disfagia yang timbul saat makan makanan yang padat

mungkin terjadi karena striktur atau keganasan yang berkembang dari Barret’s

esophagus. Odinofagia bisa muncul jika sudah terjadi ulserasi esofagus yang berat

(Makmun,2009).

Walaupun gejala khas/tipikal dari GERD adalah heartburn atau regurgitasi,

gejala tidak khas ataupun gejala ekstra esofagus juga bisa timbul yang meliputi nyeri

dada non kardiak (non cardiac chest pain/NCCP), suara serak, laringitis, batuk,

asma, bronkiektasis, gangguan tidur, dan lain-lain (Makmun 2009), (Jung, 2009).

Di lain pihak, beberapa penyakit paru dapat menjadi faktor predisposisi untuk

timbulnya GERD karena terjadi perubahan anatomis di daerah gastroesophageal

high pressure zone akibat penggunaan obat-obatan yang menurunkan tonus LES

(Makmun,2009). Asma dan GERD adalah dua keadaan yang sering dijumpai secara

bersaman. Selain itu, terdapat beberapa studi yang menunjukkan hubungan antara

gangguan tidur dan GERD (Jung, 2009).

Walaupun telah disampaikan bahwa heartburn merupakan gejala klasik dan

utama dari GERD, namun situasinya sedikit berbeda di Asia. Di dunia Barat, kata

”heartburn” mudah dimengerti oleh pasien, sementara tidak ada padanan kata yang

sesuai untuk heartburn dalam mayoritas bahasa-bahasa di Asia, termasuk bahasa

Cina, Jepang, Melayu. Dokter lebih baik menjelaskan dalam susunan kata-kata

tentang apa yang mereka maksud dengan heartburn dan regurgitasi daripada

mengasumsikan bahwa pasien memahami arti kata tersebut. Sebagai contoh, di

Malaysia, banyak pasien etnis Cina dan Melayu mengeluhkan ”angin” yang merujuk

pada dispepsia dan gejala refluks. Sebagai akibatnya, seperti yang terjadi di Cina,

banyak pasien GERD yang salah didiagnosis sebagai penderita non cardiac chest

7

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Chapter II

pain atau dispepsia (Goh dan Wong, 2006). Walaupun belum ada survei yang

dilakukan, berdasarkan pengalaman klinis sehari-hari, kejadian yang sama juga

sering ditemui di Indonesia.

GERD memberikan dampak negatif pada kualitas hidup pasien, karena

gejala-gejalanya sebagaimana dijelaskan di atas menyebabkan gangguan tidur,

penurunan produktivitas di tempat kerja dan di rumah, gangguan aktivitas sosial.

Short-Form-36-Item (SF-36) Health Survey, menunjukkan bahwa dibandingkan

dengan populasi umum, pasien GERD memiliki kualitas hidup yang menurun, serta

dampak pada aktivitas sehari-hari yang sebanding dengan pasien penyakit kronik

lainnya seperti penyakit jantung kongestif dan artritis kronik (Hongo dkk, 2007).

2.5 Diagnosis

Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan

pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan

untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,

pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi

gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam)

(Makmun,2009).

American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah

mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of

Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,

merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)

a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris

(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat

pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi,

atau berisiko untuk Barret’s esophagus, atau pasien dan dokter merasa

endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)

b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi

dugaan Barret’s esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.

Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk

mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)

8

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Chapter II

c. Pemantauan ambulatoar (ambulatory monitoring) esofagus membantu untuk

konfirmasi reluks gastroesofageal pada pasien dengan gejala menetap ( baik

khas maupun tidak khas) tanpa adanya kerusakan mukosa; juga dapat

digunakan untuk memantau pengendalian refluks pada pasien tersebut di atas

yang sedang menjalani terapi. (Level of Evidence : III)

d. Manometri esofagus dapat digunakan untuk memastikan lokasi penempatan

probe ambulatory monitoring dan dapat membantu sebelum dilakukannya

pembedahan anti refluks. (Level of Evidence : III)

Sementara itu, pada tahun 2008, American Gastroenterological Association

(AGA) menerbitkan American Gastroenterological Association Medical Position

Statement on the Management of Gastroesophageal Reflux Disease yang berisi 12

pernyataan, di mana pada poin ke-4 dijelaskan tentang peran dan urutan prioritas uji

diagnostik GERD pada dalam mengevaluasi pasien dengan sangkaan GERD sebagai

berikut : (Hiltz dkk, 2008)

a. Endoskopi dengan biopsi dilakukan untuk pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD dengan disfagia yang mengganggu. Biopsi harus

mencakup area yang diduga mengalami metaplasia, displasia, atau dalam

hal tidak dijumpainya kelainan secara visual, mukosa yang normal

(minimal 5 sampel untuk esofagitis eosinofilik.)

b. Endoskopi dilakukan untuk mengevaluasi pasien yang mengalami gejala

esofagus dari GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa

PPI 2 kali sehari. Biopsi harus mencakup area yang diduga mengalami

metaplasia, displasia, atau malignansi.

c. Manometri dilakukan untuk mengevaluasi pasien dengan dugaan gejala

GERD yang tidak berespon terhadap terapi empiris berupa PPI 2 kali

sehari dan gambaran endoskopinya normal.

d. Pemantauan dengan ambulatory impedance-pH, catheter-pH, atau wireless-

pH dilakukan (terapi PPI dihentikan selama 7 hari) untuk mengevaluasi

pasien dengan dugaan gejala GERD yang tidak berespon terhadap terapi

9

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Chapter II

empiris berupa PPI 2 kali sehari, gambaran endoskopinya normal dan tidak

memiliki kelainan pada manometri.

2.6 Sistem Skala Gejala GERD berdasarkan Kuesioner

Secara umum, skala pengukuran gejala dapat digunakan untuk tujuan

diagnostik, prediktif, atau evaluatif. Jika skala tersebut bertujuan diagnostik, maka

kuesioner yang digunakan haruslah bersifat sangat spesifik terhadap jenis penyakit

yang dimaksud, yang tergambar dari pertanyaan-pertanyaan dalam kuesioner,

sekaligus mengeksklusikan penyakit lain dengan probabilitas prediksi yang tinggi

(Stanghellini dkk, 2004).

Selain karena gejala-gejala pada pasien GERD yang seringkali tidak

menunjukkan gejala khas (heartburn, regurgitasi) sehingga menyulitkan untuk

diagnosis akurat, banyak pasien GERD tidak memiliki kelainan gambaran

endoskopi, sehingga evaluasi tingkat keparahan gejala, kualitas hidup serta respon

terapi menjadi sangat penting. Kuesioner berisi gejala-gejala yang dinilai oleh pasien

sendiri saat ini merupakan instrumen kunci pada berbagai penelitian klinis

(Stanghellini dkk, 2004). Di antara banyak kuesioner diagnostik yang banyak

digunakan adalah Questionnaire for the Diagnosis of Reflux Esophagitis (QUEST),

Frequency Scale for the Symptoms of GERD (FSSG), Reflux Questionnaire

(ReQuest), Reflux Disease Questionnaire (RDQ), dan yang baru dikembangkan

tahun 2009 yaitu GerdQ Questionnaire (Stanghellini dkk, 2004), (Carlsson dkk,

1998), (Kusano dkk, 2004), (Bardhan dan Berghofer, 2007), (Shaw dkk, 2001),

(Shaw dkk, 2008), (Danjo dkk, 2009), (Jones dkk, 2009).

Sistem skala FSSG dikembangkan di Jepang (Kusano dkk., 2004) dan banyak

digunakan di berbagai negara di luar Jepang. FSSG terdiri dari 12 pertanyaan yang

berhubungan dengan gejala-gejala yang tersering dialami oleh pasien, tidak hanya

heartburn dan acid taste, tetapi juga gejala-gejala dispepsia seperti ’perut penuh’ dan

’merasa cepat kenyang’. Diagnosis GERD dinyatakan dengan kuesioner ini pada

nilai cut-off 8 poin (Kusano dkk, 2004).

10

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Chapter II

Tabel 2.1. Frequency Scale for the Symptoms of GERD ( Danjo dkk, 2009)

Kuesioner GerdQ, yang dikembangkan oleh Jones dkk., termasuk kuesioner

terbaru, yang diolah dari RDQ, Gastrointestinal Symptom Rating Scale (GSRS) dan

Gastroesophageal Reflux Disease Impact Scale (GSIS) (Jones dkk, 2009), (Jones

dkk, 2007), (Rentz dkk, 2004), (Rubin dkk, 2008), (Wong dkk, 2003).

GerdQ terdiri dari enam pertanyaan sederhana meliputi gejala refluks,

dispepsia dan konsumsi obat untuk mengatasi gejala. Nilai cut-off untuk GerdQ

adalah 8 poin yang merepresentasikan diagnosis GERD. Hasil penelitian tersebut

memperlihatkan bahwa GerdQ berpotensi sebagai alat bantu diagnostik GERD bagi

dokter umum dengan akurasi yang sama dengan diagnosis yang dibuat oleh

gastroenterologist (Jones dkk, 2009).

11

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Chapter II

Tabel 2.2 Kuesioner GerdQ ( Jones dkk, 2009)

2.7 Gambaran Endoskopi GERD

Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku

untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esofagus (esofagitis

refluks). Dengan endoskopi, dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa

esofagus, serta dapat menyingkirkan kelainan patologis lain yang dapat

menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada endoskopi

pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai Non-erosive

Reflux Disease (NERD) (Makmun,2009).

Klasifikasi Los Angeles untuk diagnosis dan grading dari esofagitis refluks

pertama sekali didiskusikan pada World Congress of Gastroenterology tahun 1994,

kemudian dipublikasikan pada tahun1999. Sampai sekarang, klasifikasi Los Angeles

ini adalah klasifikasi yang paling banyak digunakan oleh para endoskopis

dibandingkan dengan klasifikasi lainnya yang terlebih dulu ada (Savary-Miller,

Hetzel/Dent system, MUSE) (Dent, 2008).

12

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Chapter II

Tabel 2.3 Klasifikasi Los Angeles (Makmun, 2009)

Derajat Kerusakan Gambaran Endoskopi

A Erosi kecil-kecil pada mukosa esofagus dengan

diameter< 5 mm

B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5

mm tanpa saling berhubungan

C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi

seluruh lumen

D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial

(mengelilingi seluruh lumen )

Namun demikian, beberapa kalangan menganggap tidak dimasukkannya

perubahan mukosa esofagus minimal (minimal changes) ke dalam klasifikasi Los

Angeles merupakan keterbatasan/kelemahan yang signifikan, terutama para

endoskopis di Jepang yang secara umum meyakini bahwa mereka dapat mengenali

minimal changes tersebut. Hal ini menjadi latar belakang untuk dikembangkannya

versi modifikasi dari klasifikasi Los Angeles yang secara luas digunakan oleh para

endoskopis Jepang. Modifikasi klasifikasi Los Angeles ini tetap mempertahankan

kriteria dan grading dari lesi mukosa, tetapi menambahkan grade “M” untuk

minimal change, dan grade “N” untuk menamai gambaran yang tidak menunjukkan

baik erosi maupun minimal change. Grade M merujuk pada eritema pada mukosa

dan/atau mukosa berwarna putih keruh (whitish turbidity) (Dent, 2008).

Hasil studi yang dilakukan oleh berbagai institusi kedokteran dan rumah sakit

di Jepang menemukan bahwa tidak ada perbedaan antara FSSG dibandingkan

dengan kuesioner QUEST (suatu kuesioner yang dikembangkan oleh Carlson dkk

tahun 1998 dan banyak digunakan di Jepang) dalam hal sensitivitas, spesifisitas dan

akurasi pada dalam menegakkan diagnosis GERD, di mana ternyata skor FSSG

merefleksikan keparahan gambaran endoskopi pasien-pasien tersebut (Danjo dkk,

2009).

13

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Chapter II

Pada penelitian ini , peneliti bermaksud untuk mengetahui kuesioner mana

yang lebih baik digunakan antara FSSG dengan kuesioner terbaru yang ada yaitu

GerdQ, serta hubungannya dengan gambaran endoskopi, di mana sepanjang

pengetahuan peneliti belum ada studi yang membandingkan FSSG dengan GerdQ

baik di Indonesia maupun di dunia.

Karena belum tersedianya kuesioner FSSG maupun GerdQ dalam bahasa

Indonesia yang telah divalidasi secara resmi penerjemahannya oleh para ahli

sebagaimana pada FSSG dan GerdQ versi bahasa Jepang, Cina, Italia, Spanyol,

Prancis, dll, maka untuk kepentingan studi ini peneliti menterjemahkan FSSG dan

GerdQ ke dalam bahasa Indonesia seperti berikut ini :

Tabel 2.4. FSSG versi bahasa Indonesia.

Skala – F

Nama MR Umur

Jenis

Kelamin

Pertanyaan Isilah di bagian ini

TAK

PERNAH

JARANG KADANG-

KADANG

SERING SELALU

1 Apakah anda

merasakan perasaan

seperti

terbakar/panas/perih

/menghisap yang

berasal dari perut

atau dada bagian

bawah naik ke

kerongkongan?

0 1 2 3 4

F.S.S.G (Frequency Scale for the Symptoms of GERD)

gerGERD)

Tgl:

14

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Chapter II

2 Apakah perut anda

terasa kembung?

0 1 2 3 4

3 Apakah perut anda

terasa penuh/sebah

sehabis makan?

0 1 2 3 4

4 Apakah anda

kadang-kadang

secara tidak sadar

menggosok dada

anda dengan

tangan?

0 1 2 3 4

5 Apakah anda pernah

merasa mual sehabis

makan?

0 1 2 3 4

6 Apakah anda

merasakan perasaan

seperti

terbakar/panas/perih

/menghisap yang

berasal dari perut

atau dada bagian

bawah naik ke

kerongkongan

setelah makan?

0 1 2 3 4

7 Apakah anda

merasakan sensasi

yang tidak

biasa/tidak lazim

misalnya seperti

terbakar di

kerongkongan anda?

0 1 2 3 4

15

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Chapter II

8 Apakah anda merasa

perut anda cepat

penuh /kenyang pada

saat sedang makan?

0 1 2 3 4

9 Apakah kadang-

kadang anda merasa

seperti ada sesuatu

yang mengganjal di

kerongkongan anda

saat menelan?

0 1 2 3 4

10 Apakah anda

merasakan cairan

yang pahit (asam)

yang naik dari perut

ke kerongkongan

anda?

0 1 2 3 4

11 Apakah anda sering

sendawa?

0 1 2 3 4

12 Apakah anda

merasakan perasaan

seperti

terbakar/panas/perih

/menghisap yang

berasal dari perut

atau dada bagian

bawah naik ke

kerongkongan pada

saat anda

membungkuk?

0 1 2 3 4

16

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Chapter II

Mohon

deskripsikan/jelaskan

gejala lain yang anda

alami

(jika ada).

Gejala yang berhubungan dengan refluks asam = poin

Gejala dispepsia (dismotiliti) = poin

Tabel 2.5 Kuesioner GerdQ versi bahasa Indonesia.

Pertanyaan Skor Frekuensi (Poin)

untuk gejala

0

hari

1

hari

2-3

hari

4-7

hari

1 Seberapa sering anda merasakan perasaan seperti

terbakar/panas di dada anda?

0 1 2 3

2 Seberapa sering anda merasakan isi perut/lambung

anda (makanan atau minuman) naik ke

tenggorokan atau ke mulut?

0 1 2 3

3 Seberapa sering anda merasakan sakit/nyeri di

bagian tengah atau di bagian atas dari perut anda?

3 2 1 0

4 Seberapa sering anda merasa mual? 3 2 1 0

5 Seberapa sering anda mengalami kesulitan untuk

tidur nyenyak karena keluhan seperti pada dan/atau

no.2 di atas?

0 1 2 3

6 Seberapa sering anda mengkonsumsi/memakan

obat tambahan lainnya untuk keluhan-keluhan

No.1 dan/atau No.2 di atas, selain dari obat yang

dianjurkan oleh dokter? (misalnya Antasida,

Ranitidin, dll)

0 1 2 3

- - - - --

-

-

17

Universitas Sumatera Utara