5 BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Umum Penyakit Kanker Kanker adalah proses selular yang tidak berfungsi. Ketika menderita kanker, tubuh kehilangan kontrol selular, yang mengakibatkan pertumbuhan sel tidak baik dan menjadi tidak terkontrol. Sel-sel kanker ini akan menyerang jaringan lokal, berpindah ketempat lain dan berkembang biak (metatastik). Penyakit ini sendiri bermula dari sel yang bermutasi dan berubah. Sel abnormal ini mempertahankan mutasinya melalui proses reproduksi sel meskipun terdapat usaha dari sistem pertahanan tubuh yang berusaha mengeliminasi sel-sel abnormal. Sel-sel yang bermutasi ini berasal dari DNA yang abnormal, kemudian bergerak ke sekujur tubuh dan berdiam di satu atau lebih organ tubuh. Saat ini terdapat lebih dari seratus jenis kanker yang tumbuh dalam tubuh manusia, dengan keabnormalan DNA-nya masing-masing dan berbagai perbedaan pada gejala-gejala dan tanda-tandanya. (Solomon, 2006). Keabnormalan DNA dibeberapa lokasi tubuh dengan gejala-gejala yang berbeda, menyebabkan kanker dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu; (1) Leukimia, sumsum tulang belakang menghasilkan dan menyebarkan sel-sel darah putih yang kemudian berkembang secara abnormal dalam darah maupun sumsum tulang belakang. (2) Limfoma, limfosit (sejenis sel darah putih) yang dihasilkan organ-organ limfa melebihi batas normal. (3) Sarkoma, sejenis tumor ganas yang berasal dari jaringan ikat seperti pada tulang otot, tulang dan tulang rawan. (4) Karsinoma, tumor padat yang berasal dari jaringan-jaringan epitel (kulit), alat pernafasan, kelenjar, kelenjar payudara, saluran pencernaan, saluran kencing, dan alat reproduksi (Samah, 2007). Kanker memiliki sifat-sifat umum, seperti pertumbuhan berlebihan umumnya berbentuk tumor, gangguan diferensial dari sel-sel dan jaringan, bersifat invasif - metastatik yang mampu tumbuh dijaringan sekitarnya dan menyebar, memiliki hereditas bawaan yaitu turunan sel kanker juga dapat menimbulkan kanker (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
28
Embed
Chapter 2. COMPLEXES COBALT(II) PYRIDINE-2,6-DICARBOXYLIC: SYNTHESIS, CHARACTERIZATION AND TOXICITY TEST
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
5
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Penyakit Kanker
Kanker adalah proses selular yang tidak berfungsi. Ketika menderita
kanker, tubuh kehilangan kontrol selular, yang mengakibatkan pertumbuhan sel
tidak baik dan menjadi tidak terkontrol. Sel-sel kanker ini akan menyerang
jaringan lokal, berpindah ketempat lain dan berkembang biak (metatastik).
Penyakit ini sendiri bermula dari sel yang bermutasi dan berubah. Sel abnormal
ini mempertahankan mutasinya melalui proses reproduksi sel meskipun terdapat
usaha dari sistem pertahanan tubuh yang berusaha mengeliminasi sel-sel
abnormal. Sel-sel yang bermutasi ini berasal dari DNA yang abnormal, kemudian
bergerak ke sekujur tubuh dan berdiam di satu atau lebih organ tubuh. Saat ini
terdapat lebih dari seratus jenis kanker yang tumbuh dalam tubuh manusia,
dengan keabnormalan DNA-nya masing-masing dan berbagai perbedaan pada
gejala-gejala dan tanda-tandanya. (Solomon, 2006).
Keabnormalan DNA dibeberapa lokasi tubuh dengan gejala-gejala yang
berbeda, menyebabkan kanker dapat dibagi menjadi 4 golongan, yaitu; (1)
Leukimia, sumsum tulang belakang menghasilkan dan menyebarkan sel-sel darah
putih yang kemudian berkembang secara abnormal dalam darah maupun sumsum
tulang belakang. (2) Limfoma, limfosit (sejenis sel darah putih) yang dihasilkan
organ-organ limfa melebihi batas normal. (3) Sarkoma, sejenis tumor ganas yang
berasal dari jaringan ikat seperti pada tulang otot, tulang dan tulang rawan. (4)
Karsinoma, tumor padat yang berasal dari jaringan-jaringan epitel (kulit), alat
pernafasan, kelenjar, kelenjar payudara, saluran pencernaan, saluran kencing, dan
alat reproduksi (Samah, 2007). Kanker memiliki sifat-sifat umum, seperti
pertumbuhan berlebihan umumnya berbentuk tumor, gangguan diferensial dari
sel-sel dan jaringan, bersifat invasif - metastatik yang mampu tumbuh dijaringan
sekitarnya dan menyebar, memiliki hereditas bawaan yaitu turunan sel kanker
juga dapat menimbulkan kanker (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
6
2.2 Hubungan Struktur Dengan Aktivitas Obat Antikanker
Obat antikanker adalah senyawa kemoterapi yang digunakan untuk
pengobatan tumor yang membahayakan (kanker). Obat antikanker sering
dinamakan pula sebagai obat sitotoksik, sitostatik atau antineoplasma. Tumor
adalah istilah umum untuk menunjukkan adanya ketidakormalan dari jaringan
yang tidak membahayakan kehidupan. Tumor terbentuk karena adanya mutasi
pada biosintesis sel, yaitu kekeliruan urutan DNA karena terpotong, tersubstitusi
atau ada pengaturan kembali, adanya adisi dan integrasi bahan genetik virus
kedalam gen dan adanya perubahan ekspresi genetik (Farrell, 1999). Tumor yang
membahayakan (malignant tumor) disebut sebagai kanker, sedangkan penyebab
kanker disebut karsinogen (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Beberapa contoh penting senyawa karsinogen adalah hidrokarbon
polisiklik aromatik seperti benz(a)antrasena, benzo(a)pirin, 3-metilkolantren,
7,12-dimetilbenz(a)antrasena. Amina aromatik, nitrosamin-nitrosamid, dan
alfatoksin juga menunjukkan sifat karsinogenitas (Manfred, 1994).
Pengobatan penyakit kanker yang sampai saat ini dilakukan adalah (1)
Pembedahan (surgery), terutama untuk tumor padat yang terlokalisasi, seperti
karsinoma pada payudara dan kolorektal. (2) Radioterapi, digunakan untuk
pengobatan penunjang setelah pembedahan. (3) Kemoterapi, terutama untuk
pengobatan tumor yang tidak terlokalisasi, seperti leukemia, kariokarsinoma,
limfoma, dan digunakan juga untuk pengobatan penunjang sesudah pembedahan.
(4) Endoktrinoterapi, adalah bagian dari kemoterapi yang menggunakan hormon
tertentu untuk pengobatan tumor pada organ yang proliferasinya tergantung pada
hormon, seperti karsinoma payudara dan prostat. (5) Imunoterapi, cara ini masih
dikembangkan yang kemungkinan berperan penting dalam pencegahan
mikrometatesis (Siswandono dan Soekardjo, 2000).
Banyak obat antikanker bekerja dengan cara mempengaruhi metabolisme
asam nukleat, terutama DNA, atau biosintesis protein. Obat antikanker dapat
mempengaruhi kehidupan sel, proses kehidupan sel merupakan suatu siklus yang
terdiri dari beberapa fase yaitu, (1) Fase mitotik, fase dimana terjadi pembelahan
sel aktif. (2) Fase pos mitotik, pada fase ini terjadi sintesis DNA, tetapi terjadi
sintesis RNA dan protein. (3) Fase sintetik, terjadi replikasi DNA sel. (5) Fase
pos sintetik, fase yang dimulai bila sel sudah menjadi tetraploid dan mengandung
dua DNA, kemudian sintesis RNA dan protein dilanjutkan.
dibagi menjadi lima kelompok, yaitu senyawa pengalkilasi, antimetabolit,
antikanker produk alam, hormon d
sintesis diarahkan sebagai obat antikanker kelompok pengalkilasi dan
antimetabolit (Fuertes, et al
Kelompok pengalkilasi
platina(II) [PtCl2(NH3)2]
antikanker yang pertama
kanker ovarian, testicular, kepala dan leher, karsinoma pada kandung kemih,
serviks, paru serta sarcoma osteogenik
mekanisme antikanker dari
rangkaian DNA. Cisplatin
dihidrat, kemudian mengikat atom N
pada rangkaian yang sama.
adenin yang letaknya berlawanan pada rantai DNA.
efek samping kerusakan ginjal, efek depresi sumsum tulang, namun kerusak
mukosa usus lebih rendah dibandingkan dengan obat antikanker lainnya
(Korolkavas, 1988).
Gambar 2.1 Mekanisme (Korolkavas, 1988).
7
sintetik, fase yang dimulai bila sel sudah menjadi tetraploid dan mengandung
dua DNA, kemudian sintesis RNA dan protein dilanjutkan. Obat antikanker
dibagi menjadi lima kelompok, yaitu senyawa pengalkilasi, antimetabolit,
antikanker produk alam, hormon dan golongan lainnya. Senyawa kompleks
sintesis diarahkan sebagai obat antikanker kelompok pengalkilasi dan
et al., 2002).
Kelompok pengalkilasi contohnya adalah kompleks cis-diaminadikloro
] atau yang dikenal sebagai cisplatin, diduga sebagai obat
antikanker yang pertama (Effendy, 2007). Cisplatin digunakan untuk pengobatan
kanker ovarian, testicular, kepala dan leher, karsinoma pada kandung kemih,
sarcoma osteogenik (Fuertes et al., 2002). Gambar 2.1
antikanker dari cisplatin yaitu dengan membentuk cross linking
Cisplatin melepaskan dua ion Cl membentuk ion Pt
dihidrat, kemudian mengikat atom N7 dari nukleosida guanosin yang berdekatan
pada rangkaian yang sama. Cross linking juga dapat terjadi pada gugus 6
yang letaknya berlawanan pada rantai DNA. Cisplatin dapat menimbulkan
efek samping kerusakan ginjal, efek depresi sumsum tulang, namun kerusak
mukosa usus lebih rendah dibandingkan dengan obat antikanker lainnya
Mekanisme cis-[PtCl2(NH3)2] dalam menghambat sel kanker(Korolkavas, 1988).
sintetik, fase yang dimulai bila sel sudah menjadi tetraploid dan mengandung
Obat antikanker
dibagi menjadi lima kelompok, yaitu senyawa pengalkilasi, antimetabolit,
an golongan lainnya. Senyawa kompleks
sintesis diarahkan sebagai obat antikanker kelompok pengalkilasi dan
diaminadikloro
, diduga sebagai obat
digunakan untuk pengobatan
kanker ovarian, testicular, kepala dan leher, karsinoma pada kandung kemih,
Gambar 2.1 adalah
cross linking pada
melepaskan dua ion Cl membentuk ion Pt-(NH3)22+
guanosin yang berdekatan
rjadi pada gugus 6-amino
dapat menimbulkan
efek samping kerusakan ginjal, efek depresi sumsum tulang, namun kerusakan
mukosa usus lebih rendah dibandingkan dengan obat antikanker lainnya
] dalam menghambat sel kanker
8
Selain agen pengalkilasi, obat antikanker melalui sintesis murni
diarahkan juga sebagai antimetabolit. Antimetabolit adalah senyawa yang dapat
menghambat jalur metabolik yang penting untuk kehidupan dan reproduksi sel
kanker, melalui penghambatan asam folat, purin, pirimidin dan asam amino, serta
jalur nukleosida pirimidin yang diperlukan pada sintesis DNA (Siswandono dan
Soekardjo, 2000). Hambatan replikasi DNA ini dapat secara langsung maupun
tak langsung menyebabkan sel tidak berkembangbiak dan mengalami kematian.
Spektrumnya lebih sempit dibandingkan golongan obat antikanker lainnya.
Struktur antimetabolit berhubungan erat dengan struktur metabolit normal dan
bersifat sebagai antagonis. Beberapa antimetabolit merupakan pra-obat yang
didalam tubuh mengalami metabolisme menjadi bentuk senyawa aktifnya
(Manfred, 1994).
Berdasarkan sifat antagonisnya antimetabolit dibagi menjadi empat
kelompok, yaitu antagonis pirimidin, antagonis purin, antagonis asam folat dan
antagonis asam amino. Contoh penting dari obat antikanker antimetabolit ini
adalah metotreksat, bersama dengan cisplatin digunakan dalam proses
kemoterapi. Metotreksat adalah antagonis asam folat yang ditimbun dalam sel
tumor melalui mekanisme pengangkutan aktif. Senyawa ini menghambat sintesis
DNA pada siklus kehidupan sel sehingga sel tumor mengalami kematian.
(Siswandono dan Soekardjo, 2000).
2.3 Kompleks Logam Antikanker
Kompleks logam adalah senyawa yang mengandung atom logam pusat
(asam lewis) dan dikelilingi oleh ligan-ligan baik berupa senyawa netral atau ion
(umumnya senyawa organik) yang memiliki pasangan elektron bebas (basa lewis).
Kedua spesies ini berikatan secara kovalen koordinasi menghasilkan molekul
dengan bentuk geometri yang spesifik, seperti planar, tetrahedral atau oktahedral
(Miessler, 2005). Bentuk geometri ditentukan oleh ukuran atom logam pusat,
jumlah elektron d, dan efek sterik ligan. Telah dikenal kompleks dengan
bilangan koordinasi antara 2 dan 9. Khususnya untuk kompleks dengan bilangan
koordinasi 4 sampai 6 seperti yang terlihat pada gambar 2.2 adalah yang paling
9
stabil secara elektronik dan secara geometri, sehingga kompleks berbilangan
koordinasi 4 sampai 6 sering dijumpai (Huheey, 1993).
Gambar 2.2 Struktur untuk bilangan koordinasi 4 sampai 6 (Saito, 2005)
Suatu ligan memiliki atom donor, yaitu atom yang terkoordinasi pada
atom logam. Ligan dengan satu atom donor disebut monodentat, ligan dengan
dua atom donor disebut bidentat, ligan dengan tiga atom donor disebut tridentat
dan seterusnya. Secara umum ligan dengan lebih dari satu atom donor disebut
ligan polidentat yang dapat membentuk efek khelat (Saito, 2005). Ligan yang
mampu membentuk kompleks khelat memiliki kestabilan tinggi dan banyak
digunakan untuk keperluan biomedis (Mewis, et al., 2010).
Kompleks logam sebagai antikanker didasarkan atas interaksi senyawa
kompleks logam tersebut dengan DNA. Memahami interaksi kompleks logam
DNA telah menjadi isu sentral riset yang sangat aktif pada interface antara kimia
dan biologi molekular. Beberapa contoh aplikasi riset ini dalam metodologi
fotokimia telah memberikan gambaran akan luasnya cakupan bidang ini. sebagai
contoh, indikator fluoresen etidium bromide telah dipakai suatu cara yang akurat
untuk mendeteksi DNA dalam gel elektroforesis (Scleif dan Wensink, 1981 ;
10
Mudasir, 2009). Pengembangan lebih lanjut pada aplikasi seperti ini akan sangat
membantu dengan adanya pemahaman yang lebih baik terhadap bentuk-bentuk
interaksi DNA dengan beberapa kompleks logam (Mudasir, 2009). Dengan
pemahaman yang mendasar dalam bidang ini akan dapat membantu
berkembangnya desain obat yang lebih efektif, khususnya antitumor dan
antikanker.
Sistem interaksi senyawa kompleks logam dengan DNA mempunyai
jangkauan yang luas mulai dari senyawa kompleks khelat logam transisi
sederhana seperti cisplatin cis-[PtCl2(NH3)2], besi(II)-EDTA, kompleks bis- dan
tris- 1,10-fenantrolin (Mudasir, 2009), hingga beberapa kompleks organologam
yang rumit, seperti (η6-Arene) ruthenium, metal-N-heterocyclic carbenes (M-
NHCs), dan osmium(II) pikolinat (Gasser, 2010). Fakta ini menunjukkan akan
pentingnya kimia koordinasi yang mengambil bagian tersendiri dalam memahami
mekanisme interaksi yang terjadi antara kompleks logam dengan DNA pada level
molekuler.
Ada beberapa jenis interaksi antara kompleks logam dengan DNA, baik
melalui interaksi kovalen maupun nonkovalen (McMillin dan McNett, 1998 ;
Mudasir, 2009). Terdapat tiga macam interaksi nonkovalen antara kompleks
logam dengan DNA, (1) Interaksi elektrostatik atau ikatan luar (out side binding),
Interaksi ini terjadi antara molekul kecil kationik seperti kompleks logam
bermuatan positif dengan kerangka luar (fosfat) DNA yang bermuatan negatif.
Interaksi dapat terjadi pada bagian luar double helix DNA. Contoh interaksi ini
adalah interaksi antara kation natrium dan magnesium dengan sisi luar fosfat
DNA dan interaksi antara kompleks [Fe(Phen)3]2+ dengan DNA (Mudasir et al.,
1999). (2) Interaksi groove (groove binding), jenis interaksi yang sangat
dipengaruhi oleh geometri molekul kecil kompleks logam yang akan berinteraksi
dengan DNA serta medan listrik disekitar kerangka DNA, gaya Van der Waals,
ikatan hidrogen dan efek hidrofobik. Contoh interaksi ini adalah interaksi
senyawa kompleks logam [Pt(En)2]2+ dengan molekul DNA pada minor groove
DNA (Franklin et al., 1996 ; Mudasir, (2009). (3) Interaksi interkalasi, interkalasi
yang terjadi apabila suatu heteroatomik planar menembus ke celah diantara
pasangan DNA dan berinteraksi secara tegak lurus terhadap sumbu DNA double
11
helix. Interaksi jenis ini menuntut adanya perubahan konformasi (distorsi)
kerangka DNA untuk memberikan ruang pada molekul yang masuk. Pada
umumnya pasangan basa DNA yang berdekatan akan saling menjauhkan diri
untuk memberikan ruang yang cukup bagi masuknya interkalator aromatis planar.
Proses semacam ini menyebabkan peregangan struktur double helix DNA yang
berakibat pada terjadinya perubahan densitas elektron pada kerangka fosfat serta
terjadinya perubahan konformasi gula DNA (Mudasir, 2009).
Penggunaan senyawa kompleks logam sebagai interkalator DNA
memungkinkan untuk membidik situs DNA target dengan cara mengubah-ubah
jenis dan tingkat oksidasi logam serta memodifikasi bentuk, simetri dan gugus
fungsional yang terdapat pada ligan (Mudasir, 2009). Disamping itu dengan
memanfaatkan sifat-sifat fotofisika, fotokimia, serta sifat redoks interkalator
(kompleks logam) akan dapat dikembangkan penyelidikan yang lebih seksama
tentang reaktivitas dan sifat-sifat spektroskopik DNA seperti reaksi transfer
muatan, reaksi pemutusan DNA dan reaksi-reaksi lainnya (Erkkila et al., 1999 ;
Mudasir, 2006).
Pengembangan kompleks logam secara efisien dan selektif dan mampu
berinteraksi dengan DNA sampai saat ini terus dilakukan. Target yang ingin
dicapai dalam pengembangan tersebut adalah dihasilkannya beberapa kompleks
logam antikanker baru yang lebih baik dan mengurangi efek negatif yang
ditimbulkannya. Berbagai senyawa kompleks logam dengan ligan pikolinat (2-
piridin karboksilat) dan turunannya telah disintesis oleh para peneliti dan
dilaporkan memberikan pengaruh dalam menghambat sel-sel kanker. Seperti
yang ditunjukkan pada gambar 2.3, Van Rijt et al., (2008) telah melaporkan
kompleks osmium(II) [(η6biphenyl)OsII(X-picolinate)Cl] dengan X adalah
CO2H(4) dan Metil(6) menunjukkan aktivitasnya sebagai antikanker seperti pada
mekanisme cisplatin cis-[PtCl2(NH3)2]. Kompleks yang mengandung pikolinat
(2-piridin karboksilat), agen pengkhelat N-O memberikan aktivitas antikanker
ovarian dengan IC50=4,5 µM, nilai yang hampir sama seperti pada carboplatin
(IC50= 6 µM). Kedua kompleks (4,6) menunjukkan sitoksitas terhadap sel kanker.
Efek sterik dan elektronik pada posisi ortho- dan para- dari agen pengkhelat
pikolinat (2-piridin karboksilat) berperan dalam pengikatan N pada DNA.
12
Gambar 2.3 Struktur kristal kompleks [(η6biphenyl)OsII(X-picolinate)Cl], X = Br (A) dan metil (B), sumber : Van Rijt et al., (2008).
Kompleks kobalt-aspirin seperti yang telah dilaporkan oleh Ingo (2009),
juga menunjukkan peran dalam menghambat sel tumor. Aspirin (acetylsalicylic
acid) adalah golongan nonsteroidal antirheumatics (NSARs) yang telah lama
dikenal dalam bidang farmakologi sebagai obat antiradang dan penghilang rasa
sakit. Efek farmakologi dari NSARs berasal dari penghambatan enzim
cyclooxygenase. Enzim ini tidak hanya terlibat dalam peradangan namun terlibat
juga dalam merangsang pertumbuhan sel tumor. Pembentukan kompleks kobalt-
organologam-aspirin, menunjukkan kompleks ini lebih meningkat potensi
antitumornya dibandingkan kompleks-organologam [Co2(CO)6]. Kompleks
kobalt-aspirin mampu memblokir akses ke pusat aktif dari enzim sehingga terjadi
penghambatan sel-sel tumor. Kompleks kobalt-aspirin juga menunjukkan
aktivitasnya melalui jalur metabolisme lain, dengan mengaktifkan enzim caspase,
yang terlibat dalam mengarahkan proses-proses apoptosis (kematian sel
terprogram) dapat menghambat pertumbuhan sel dan pembentukan pembuluh
darah kecil, dua faktor yang penting bagi pertumbuhan tumor. Beberapa senyawa
organologam lainnya seperti metallocene, metal-arene, metal-carbonyl dan metal-
carbene, juga menjadi kandidat obat-obat antikanker dimasa depan (Gasser et al.,
2010), demikian juga kompleks logam dengan ligan-ligan produk degradasi
triptopan seperti pikolinat maupun dipikolinat (Song et al., 1999).
13
2.4 Asam piridin-2,6-dikarboksilat
Penelitian dibidang obat-obatan kimia anorganik, akhir-akhir ini telah
dikembangkan dengan memanfaatkan ligan-ligan pengkhelat yang terkoordinasi
bersama ion-ion logam, kompleks yang terbentuk diarahkan sebagai kontrol
dalam bioaktivitas. Agen pengkhelat dari ligan ini memberikan keuntungan
dalam stabilitas kompleks yang terbentuk (Mewis, 2010). Diantara contoh ligan
pengkhelat adalah ligan dengan sejumlah gugus karboksilat yang terikat pada
cincin piridin.
Keragaman model koordinasi gugus karboksilat mengakibatkan
kompleks logam transisi karboksilat dapat membentuk struktur multidimensi
(Wang, et al., 2005). Kompleks metal karboksilat dapat dibangun dari ion logam
dengan asam pikolinat (asam 2-piridin karboksilat). Asam pikolinat merupakan
senyawa aromatik heterosiklik dengan gugus karboksilat yang terikat pada cincin
piridin. Asam pikolinat merupakan produk degradasi dari tryptophan (Barandika
et al., 1999). Asam pikolinat memiliki aktivitas biologi, dapat menginduksi sel
murine leukemia HL-60 (Heren et al., 2006). Pengujian bioaktifitas
menunjukkkan bahwa asam pikolinat dapat menghambat pertumbuhan
micobacterium ovium complex (Shimizu et al., 2006). Ligan pikolinat
membentuk kompleks dengan ion logam seperti Zn2+ dan Fe2+, ion-ion logam
tersebut merupakan nutrien penting bakteri sehingga tanpa adanya ion–ion logam
tersebut pertumbuhan bakteri terhambat. Selain itu asam pikolinat digunakan
untuk sintesis kompleks berinti banyak, kompleks yang dihasilkan bersifat spin
tinggi sehingga dapat digunakan sebagai material magnet (Odoko et al., 2001).
Aplikasi lain, asam pikolinat juga dapat digunakan sebagai inhibitor korosi.
Studi kompleks pikolinat dewasa ini banyak mendapat perhatian. Studi
ini menarik karena kompleks ini dapat diaplikasikan di berbagai bidang,
diantaranya menunjukkan kestabilan tinggi untuk katalisis dalam proses biokimia
dan dapat mempunyai sifat luminesens (Liang-Gui et al., 2007). Dalam bidang
medicine, kompleks kromium pikolinat digunakan sebagai pengaktif fungsi
insulin (Ghatak et al., 1995). Selain itu, kompleks timah(IV) pikolinat
menunjukkan aktifitas antitumor (Giellen et al., 1995). Asam pikolinat
14
merupakan regulator pada siklus sel dan bertindak sebagai inhibitor pada
pertumbuhan bakteri dan pertumbuhan sel tumor.
Selain itu ligan pikolinat sangat potensial untuk membangun polimer
koordinasi hibrid organik dan inorganik. Kompleks polimer dua dimensi dibentuk
dengan menggunakan ligan jembatan organik dan inorganik telah dilaporkan
(Novitski et al., 2008). Ligan pikolinat dapat membangun connectivity dengan
bermacam topologi. Model keragaman koordinasi ligan pikolinat ditunjukkan
pada Gambar 2.4
Gambar 2.4 Keragaman model koordinasi kompleks dengan ligan pikolinat (Wang et al., 2005).
Kompleks polimer dapat dibangun dengan penggabungan ligan jembatan
organik (asam pikolinat) dan ligan jembatan anorganik (dianion SO42-). Oleh
karena itu penggunaan “blend” ligan sulfat2- dan pikolinat telah dilaporkan
Papatriantafyllopoulou et al., (2007) dalam membangun polimer koordinasi ion
logam 3d dan 4f untuk mendapatkan senyawa baru. Dua senyawa baru yang
dihasilkan adalah [Zn2(SO4)(pikolinat)2(H2O)3] dan [Cd2(SO4)(pikolinat)2(H2O)3].
Strukur kristal ditunjukkan pada Gambar 2.5 dan Gambar 2.6,
15
Gambar 2.5 Ortep kompleks [Zn2(SO4)(pikolinat)2(H2O)3]
(Papatriantafyllopoulou et al., 2007)
Gambar 2.6 Ortep kompleks [Cd2(SO4)(pikolinat)2(H2O)3]
(Papatriantafyllopoulou et al., 2007)
Kompleks pikolinat dengan ion logam Cu(II) dilaporkan oleh Zhang,
(2005). Kompleks mengkristal dalam sistem monoklinik dengan kelompok ruang
P21/c. Kompleks tembaga(II)-pikolinat membentuk struktur oktahedral terdistorsi.
Dua atom nitrogen dan dua atom oksigen dari ligan pikolinat pada bidang
ekuatorial dan dua atom oksigen dari molekul air yang terkoordinasi pada posisi
16
aksial. Kompleks [Cu(pikolinat)2(H2O)2] dihubungkan oleh ikatan hidrogen
intermolekul dalam struktur tiga dimensi.
Diantara turunan 2-piridin dikarboksilat yang saat ini terus
dikembangkan sebagai ligan adalah piridin-2,6-dikarboksilat (dipikolinat).
Dipikolinat merupakan modifikasi pikolinat dengan penambahan satu gugus
karboksilat pada cincin piridinnya. Penambahan satu gugus karboksilat pada
ligan pikolinat, diharapkan terbentuk senyawa kompleks yang memiliki ikatan
rangkap terkonjugasi lebih banyak sehingga didapatkan senyawa framework
logam-organik yang lebih reaktif, selain itu diharapkan pula memiliki interaksi
yang lebih besar antar ion-ion logamnya karena terdapat ikatan kovalen, interaksi
π-π dan ikatan hidrogen (Martak, 2008). Struktur piridin-2,6-dikarboksilat
ditunjukkan pada gambar 2.4 dibawah ini,
Gambar 2.7 Struktur asam piridin-2,6-dikarboksilat (Yang et al., 2002)
Asam piridin-2,6-dikarboksilat atau dipikolinat dapat sebagai ligan
anionik berupa dipic2-. Ligan dipikolinat pada umumnya termasuk jenis ligan
tridentat dengan tiga atom donor pasangan elektron, yaitu N (nitrogen) dari cincin
piridin dan 2 buah atom O (oksigen) dari gugus karboksilatnya. Gambar 2.8
memperlihatkan delapan model koordinasi ligan dipikolinat melalui atom O yang
terkoordinasi dengan atom logam, dari model koordinasi ini secara teoritis ligan
piridin-2,6-dikarboksilat dapat bertindak sebagai ligan pentadentat (Yang et al.,
2002).
Kemampuan molekul asam piridin-2,6-dikarboksilat yang dapat
bertindak sebagai ligan tridentat maupun pentadentat, menunjukkan asam
dipikolinat adalah suatu agen pengkelat yang utama, sifat ini telah dipelajari
dalam pergeseran kesetimbangan chiral-induced, yang dikenal juga sebagai efek
Pfeiffer. Efek ini telah digunakan untuk membuktikan kemampuan optis dari
kelat ion dipikolinat dengan beberapa logam lanthanida (Pellegrino, 2001).
17
Gambar 2.8 Delapan model koordinasi pada kompleks logam-karboksilat (Huang,
et al., 2008).
Asam piridin-2,6-dikarboksilat (dipikolinat) dijumpai di alam sebagai
penyusun utama dari bakteri spora, berat kering spora mengandung 5 – 15% asam
piridin-2,6-dikarboksilat (Tang, et al., 2000). Asam dipikolinat (H2dipic), atau
piridin-2,6-dikarboksilat dipercaya merupakan faktor utama yang berperan dalam
melindungi spora dari panas dan radiasi UV, kandungan H2dipic yang tinggi pada
bakteri spora mempengaruhi sifat fisik dan kimia bakteri terhadap lingkungan
luar, seperti pemanasan dan UV (Berg dan Grecz, 1970). Senyawa ini juga
berperan untuk menjaga kestabilan dan pertumbuhan spora. Asam dipikolinat
dalam sistem biologis, dipelajari pertama kali oleh Udo pada tahun 1936.
Keberadaan asam piridin-2,6-dikarboksilat pada spora bakteri dipelajari oleh
Powell pada tahun 1953. Molekul ini juga terdapat pada beberapa jamur,
Molekul ini tidak bereaksi dalam beberapa perubahan kimia, karena sifatnya yang
inert dan tidak reaktif, tetapi mendapat perhatian yang lebih dalam bidang biologi,
karena keberadaannya pada spora bakteri (Tang, et al., 2000).
Dipikolinat ini juga banyak ditemukan dalam beberapa senyawa alami
sebagai suatu produk degradasi oksidatif dari vitamin, koenzim, dan alkaloid,
serta merupakan suatu komponen dari fulvic acid. Asam dipikolinat (piridin-2,6-
dikarboksilat) juga menunjukkan beberapa fungsi biologis, diantaranya adalah
18
kemampuan untuk aktivasi-inaktivasi dari beberapa mettaloenzim, penghambat
transfer elektron, oksidasi LDL, selain itu juga toksisitas yang rendah (low
toxicity) dari piridin-2,6-dikarboksilat banyak digunakan dalam model senyawa
metallo-pharmaceutical (Siddiqi, 2009).
Paduan antara kobal-dipikolinat dalam suatu kompleks dan pengaruhnya
sebagai inhibitor sel kanker belum ada laporan. Kompleks kobalt-dipikolinat
sementara ini disintesis dan baru diaplikasikan dalam beberapa kajian medisinal,
seperti yang telah dilaporkan oeh Yang et al., (2002), kompleks kobal(II) dan
kobal(III) dipikolinat memberikan pengaruh yang efektif dalam mereduksi
hyperlipidemia pada diabetes.
2.5 Kompleks Kobalt(II) piridin-2,6-dikarboksilat
Kompleks kobalt(II) piridin-2,6-dikarboksilat atau kobal(II) dipikolinat
sebelumnya telah disintesis oleh Yang et al., (2002) dengan hasil senyawanya
yaitu K2[Co(dipic)2].7H2O, [CoII(dipic)(µ-dipic)CoII(H2O)5].2H2O dan
[CoII(H2dipic)(dipic)].3H2O struktur kompleks tersebut diperlihatkan pada gambar
2.9. Sintesis yang telah dilakukan menggunakan prekursor CoCl2.6H2O dengan
pelarut air (water turbidiy) dan hasil yang didapatkan adalah
K2[Co(dipic)2].7H2O 55,0 %, [CoII(dipic)(µ-dipic)CoII(H2O)5].2H2O 34.7 % dan
[CoII(H2dipic)(dipic)].3H2O 47.5 %.
Gambar 2.9 Struktur kompleks kobalt-dipikolinat yang telah disintesis oleh Yang et al., (2002). a. [CoII(H2dipic)(dipic)].3H2O dan b.[CoII(dipic)(µ-dipic)CoII(H2O)5].2H2O.
a b
19
Yang (2002) melaporkan, kompleks [CoII(H2dipic)(dipic)].3H2O terbentuk
dengan melibatkan dua atom nitrogen dan empat atom oksigen yang terkoordinasi
pada atom kobal dengan struktur oktahedral terdistorsi. Masing-masing dua ligan
tridentat piridin-2,6-dikarboksilat terkoordinasi melalui dua atom oksigen dan satu
atom nitrogen. Panjang ikatan Co–N(1) adalah 2.021 Å, Co–N(11) 2.017 Å,
sedangkan panjang ikatan untuk Co–O(1) 2.137 Å, Co–O(2) 2.222 Å, Co–O(11)
2.195 Å dan Co–O(12) 2.108 Å (Yang, 2002). Struktur CoII(H2dipic)(dipic)].
3H2O mempunyai kesamaan seperti pada struktur kompleks ([Ag(Hdipic)2].H2O)
(Drew et al., 1970 ; Yang et al., 2002) dan pada kompleks ([Cu(Hdipic)2]. 3H2O)
(Biagini, 1971 ; Yang et al., 2002).
Pada kompleks [CoII(dipic)(µ-dipic)CoII(H2O)5].2H2O, dua ligan dipic
masing-masing mengalami deprotonasi dalam kompleks. Kedua ligan dipic2-
terkoordinasi secara tridentat pada satu atom kobal, salah satu dari dipic menjadi
jembatan ligan (bridging ligand) terhadap unit pentaaquo-Co(II). Tipe kompleks
ini sebelumnya telah diamati pada [Zn2(H2O)5(dipic)2].2H2O (Hakansson, et al.,
1993 ; Yang et al., 2002), yang keduanya menunjukkan struktur sama yaitu
oktahedral terdistorsi. Panjang ikatan C – N adalah 2,026(2) Å dan 2,033(1) Å,
panjang ikatan Co(1) – O berada pada kisaran 2,123(1) hingga 2,225(1) Å,
(Yang et al., 2002).
Gambar 2.10 Diagram Kristal packing pada kompleks [CoII(dipic)(µ-dipic)CoII(H2O)5].2H2O.
20
Ikatan hidrogen yang kuat terlihat pada struktur kristal (gambar 2.10),
dimana terjadi ikatan hidrogen antara atom H pada ligan aquo (air) dengan atom O
gugus karboksilat dari ligan dipic yang terhubung pada molekul berinti ganda
(binuklir) untuk membentuk rantai satu dimensi (Yang et al., 2002). Ikatan
hidrogen tidak dijumpai pada kompleks [CoII(H2dipic)(dipic)].3H2O.
2.6 Karakterisasi Kompleks Kobalt(II) piridin-2,6-d ikarboksilat
2.6.1 Analisa Mikro Unsur
Metode analisis mikro unsur didasarkan atas oksidasi pada saat terjadi
proses pembakaran yang mengubah bahan-bahan organik dan anorganik menjadi
produk pembakaran. Gas yang dihasilkan dari proses pembakaran melewati
media reduksi dan mengalir ke kolom kromatografi oleh gas pembawa helium,
selanjutnya dipisahkan dan dideteksi oleh detektor konduktivitas termal (TCD),
yang memberikan sinyal keluaran sebanding dengan konsentrasi masing-masing
komponen campuran. Diantara instrumen dalam metode analisis mikro unsur
adalah Model Fison EA 1108 dan Carlo-Erba EA 1108 (Ahuja et al., 2006).
Teknik yang digunakan dalam penentuan CHNS didasarkan pada
dynamic flash combustion secara kuantitatif. Sampel dipersiapkan dalam wadah
kaleng, ditempatkan di dalam drum autosampler selanjutnya dibersihkan dengan
aliran gas helium secara berkesinambungan, dan suhu dijaga pada 1030oC (dalam
reaktor pembakaran). Ketika sampel yang terbawa masuk dalam tungku, aliran
helium diperkaya dengan oksigen murni, dan sampel yang ada pada kontainer
akan mencair selanjutnya mempromosikan terjadinya reaksi pembakaran dalam
suasana yang diperkaya dengan oksigen. Di bawah kondisi yang menguntungkan
bahkan zat yang tahan panas akan tetap dioksidasi (Ahuja et al., 2006).
Pembakaran secara kuantitatif kemudian dicapai dengan campuran gas
dengan lapisan katalis. Campuran gas pembakaran kemudian melewati tembaga
untuk menghilangkan kelebihan oksigen dan mengurangi oksida nitrogen.
Campuran yang dihasilkan diarahkan ke kolom kromatografi (PQS) di mana
masing-masing komponen dipisahkan dan dielusi sebagai nitrogen (N2), karbon
dioksida (CO2), dan air (H2O) dengan bantuan sebuah sinyal detektor
konduktivitas panas secara otomatis, dikenal sebagai Eager 200. Instrumen
21
dikalibrasi dengan analisis senyawa standar. Semua hasil untuk analisis elemen
dihitung berdasarkan nilai diketahui standar dengan menggunakan nilai K
perhitungan faktor. Nilai K ditentukan oleh analisis standar organik komposisi
unsur dikenal (Ahuja et al., 2006).
2.6.2 UV – Vis
Kompleks merupakan senyawa yang terdiri dari suatu spesi yang
merupakan donor elektron dan spesi lain bertindak sebagai akseptor elektron.
Senyawa kompleks seperti ini dapat membentuk struktur resonansi yang dapat
mengabsorpsi cahaya. Terjadinya fenomena splitting energi pada kompleks dapat
lebih menjelaskan absorbsi cahaya. Warna yang tampak (komplementer)
berhubungan dengan panjang gelombang cahaya (λ) yang terabsorb oleh
kompleks (Charlesworth, 2009). Karena senyawa seperti ini menunjukkan
absorptivitas yang besar (εmax > 10.000) maka banyak metoda analisis yang
didasarkan pada pembentukan jenis senyawa kompleks, diantaranya adalah
melalui analisa UV- Sinar tampak.
Gambar 2.11 memperlihatkan splitting energi (∆o) suatu kompleks yang
dinyatakan dalam satuan 10Dq, secara teoritis dapat ditentukan dengan data
spektra UV/Vis. Harga 10Dq akan menjelaskan tentang sifat ligan pada
kompleks, ligan kuat (strong field) menunjukkan ∆o > P (P = pairing repultion)
sedangkan ligan lemah (weak field) ∆o < P (Huheey, 1993).
↑ ------ ------ eg
dz2 dx
2-y
2 ↑↓ ↑↓ ↑ ↑ ↑ Co2+
= ----- ----- ----- ----- ------ 10Dq d7
↑↓ ↑↓ ↑↓ ------ ------- ------- t2g
dxy dxz dyz
Gambar 2.11 Hubungan panjang gelombang (λ) yang diabsorb dengan splitting energi pada kompleks oktahedral medan kuat (t2g
6 eg1).
22
Melalui data UV-Vis, sifat spektral suatu kompleks yang lain seperti
pengaruh medan ligan oktahedral terhadap keadaan elektronik suatu ion bebas
juga dapat diamati. Mengacu pada skema kopling Russel-Saunders, gaya tolak-
menolak antarelektron dalam orbital d akan menghasilkan berbagai keadaan
elektronik yang dinyatakan dengan term symbol 2S+1 L, di mana 2S+1 adalah
multiplisitas spin dan L adalah momen orbitalnya. Energi setiap keadaan
elektronik ini biasa dihitung sebagai fungsi dua parameter Racah untuk gaya
tolak-menolak antarelektron, bernama B dan C (Huheey, 1993). Menggunakan
diagram Tanabe-Sugano dapat dilihat bagaimana pengaruh medan ligan
oktahedral terhadap setiap keadaan elektronik suatu ion bebas.
Gambar 2.12 Diagram Tanabe Sugano untuk konfigurasi elektron d7 (Miessler,
2005).
Spektroskopi UV - Sinar Tampak berasal dari hasil interaksi gelombang
elektronegatif dengan transisi elektronik ikatan dalam molekul. Tiga parameter
dalam menyatakan spektrum UV-Sinar tampak adalah, pelarut, panjang
gelombang maksimum (lmaks., nm) dan absorpsitas Molar (e, dalam bentuk log e,
l.mol-1.cm-1) (Sibilia, 1996).
23
Senyawa yang dianalisa dengan spektroskopi UV-Vis diradiasi dengan
sinar ultraviolet sehingga akan terjadi eksitasi elektron dari keadaan dasar ke
keadaan tereksitasi yang menimbulkan puncak gelombang maksimum. Sampel
yang dianalisis harus dalam keadaan encer, pengukuran yang dilakukan adalah
absorbansi terhadap berbagai panjang gelombang (Underwood, 2002). Rentang
nilai panjang gelombang spektrum tampak dan warna-warna komplementer dapat
dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.1 Spektrum tampak dan warna-warna Komplementer (Underwood,
2002).
Panjang gelombang (nm) Warna Warna komplementer 400 – 435 Ungu Kuning-kehijauan 435 – 480 Biru Kuning 480 – 490 Hijau-kebiruan Oranye 490 – 500 Biru-kehijauan Merah 500 – 560 Hijau Merah ungu 560 – 580 Kuning-kehijauan Ungu 580 – 595 Kuning Biru 595 – 610 Oranye Hijau-kebiruan 610 – 750 Merah Biru-kehijauan
2.6.3 FTIR
Spektroskopi FTIR dalam penerapannya digunakan untuk menentukan
macam ikatan yang terdapat dalam suatu molekul. Energi dari frekuensi
inframerah dapat menyebabkan ikatan kovalen mengalami stretching ataupun
bending. Vibrasi yang berbeda ini akibat dari perbedaan jumlah energi dan
frekuensinya. Ikatan yang berbeda akan mengalami vibrasi dengan frekuensi
yang berbeda pula. Saat molekul menyerap radiasi inframerah, energi yang di
absorb menyebabkan kenaikan amplitudo getaran atom-atom yang terikat
sehingga molekul dalam keadaan vibrasi tereksitasi. Energi yang diserap ini
kemudian akan dilepaskan dalam bentuk panas saat molekul kembali kedalam
dasar. (Hart, 1983).
Spektrofotometri infra merah umumnya digunakan untuk identifikasi
jenis senyawa kimia organik dan anorganik, penentuan komposisi melekul
pada permukaan, penentuan kelompok gugus fungsional dalam senyawa
24
organik, kualitatif dan kuantitatif senyawa dalam campuran. Identifikasi
senyawa dilakukan dengan cara membandingkan spektra senyawa yang 28
tidak diketahui dengan spektra referensi. Keuntungan metode ini adalah bahan
tidak rusak setelah dianalisa. Sampel dapat berupa padat, cair atau gas. Daerah
frekuensi infra merah adalah 13000 hingga 10 cm-1 atau panjang gelombang
dari 0,78 hingga 1000 µm (Cristian, 2003).
FTIR digunakan untuk mengidentifikasi material, menentukan
komposisi dari campuran, dan membantu memberikan informasi dalam
memperkirakan struktur molekul. Sampel yang digunakan biasanya berupa
material dalam keadaan padat, cair, atau gas. Ukuran sampel umumnya
beberapa milligram, tetapi spektra dapat diperoleh dari 50 pikogram dengan
teknik dan aksesoris spesifik. Analisa dengan metode ini didasarkan pada fakta
bahwa molekul memiliki frekuensi spesifik yang dihubungkan dengan vibrasi
internal dari atom gugus fungsi. Ketika sampel diletakkan dalam berkas radiasi
IR, sampel mengabsorpsi radiasi pada frekuensi yang sesuai dengan frekuensi
vibrasional molekular dan meneruskan seluruh frekuensi yang lain.
Spektrofotometer IR mengukur frekuensi dari radiasi yang terabsorp, dan
plot hasil dari energi terabsorp versus frekuensi dikenal sebagai spektrum IR
dari material yang dianalisis. Identifikasi senyawa dapat dilakukan karena
perbedaan struktur kimia material akan memberikan vibrasi karakteristik dan
menghasilkan spektra IR yang unik, yaitu, daerah sidik jari untuk tiap-tiap
material. Pengukuran FTIR standar berlangsung pada range 7000-400 cm-1,
tetapi dapat pula mencapai ~50 cm-1, dengan menggunakan tambahan sumber
sinar, optik, dan detektor. Keuntungan dari metode FTIR ini yaitu radiasi
sumber sinat yang lebih tinggi, perbandingan sinyal/noise ditingkatkan,
mengurangi waktu pengukuran, dan akurasi pengukuran yang lebih tinggi
dengan spektrometer dispersif cahaya konvensional (Sibilia, 1996).
Karakterisasi FTIR suatu kompleks, lebih banyak menggunakan FTIR
medium dengan bilangan gelombang 4000 – 200 cm-1, pada daerah finger print
(1400-200) cm-1 akan terlihat spektra molekul secara menyeluruh dan ikatan antar
logam-ligam, seperti pada vibrasi ikatan logam dengan gugus N dari ligan akan
muncul pada daerah 200-400 cm-1 (Nakamoto, 1978). Gambar 2.13 adalah
spektra FTIR kompleks
bilangan gelombang 1600
karakteristik dari logam atom
432 cm-1, v(N-Co-N) 150 cm
Gambar 2.13 Spektra FTIR (Nakamoto, 1978
2.6.4 Difraksi Sinar X
Prinsip kerja dari
yang terjadi akibat adanya tumbukan elektron
dan mengenai logam sasaran elektron ini membawa energi foton yang cukup
untuk mengionisasikan sebagian elektron di kulit K (1s), sehingga elektron yang
berada pada orbital kulit luar akan berpindah dan mengisi orbital 1s dengan
memancarkan sejumlah energi berupa sinar
ke orbital yang lain disebut sinar
ke kulit L, K2 adalah eksitasi elektron ke kulit M.
seterusnya (Sibilia, 1996).
Sinar-X yang dipakai dalam analisa suatu kristal biasanya memancarkan
pita-pita radiasi K1 dan K
sasaran dan logam Ni sebagai filter, dimana K
25
spektra FTIR kompleks K3[Co(NO2)6 (A) dan Na3[Co(NO2)6 (B) pada
bilangan gelombang 1600-100 cm-1. Pada daerah ini terlihat pita-pita serapan
karakteristik dari logam atom pusat dengan atom-atom donor pada ligan, v(Co
N) 150 cm-1.
Spektra FTIR kompleks K3[Co(NO2)6 (A) dan Na3[Co(NONakamoto, 1978)
Difraksi Sinar X
Prinsip kerja dari XRD adalah Sinar-X dihasilkan dari tabung sinar
yang terjadi akibat adanya tumbukan elektron-elektron yang bergerak sangat cepat
dan mengenai logam sasaran elektron ini membawa energi foton yang cukup
untuk mengionisasikan sebagian elektron di kulit K (1s), sehingga elektron yang
ada orbital kulit luar akan berpindah dan mengisi orbital 1s dengan
memancarkan sejumlah energi berupa sinar-X. Radiasi yang dihasilkan orbital K
ke orbital yang lain disebut sinar-X deret K, dimana K1 adalah eksitasi elektron
K2 adalah eksitasi elektron ke kulit M. Demikian juga untuk K3 dan
1996).
X yang dipakai dalam analisa suatu kristal biasanya memancarkan
dan K2. sebagai contoh adalah penggunaan logam Cu sebagai
n logam Ni sebagai filter, dimana K2 akan diserap oleh Ni dan Cu K
pada rentang
pita serapan
atom donor pada ligan, v(Co-N)
[Co(NO2)6 (B)
tabung sinar-X
elektron yang bergerak sangat cepat
dan mengenai logam sasaran elektron ini membawa energi foton yang cukup
untuk mengionisasikan sebagian elektron di kulit K (1s), sehingga elektron yang
ada orbital kulit luar akan berpindah dan mengisi orbital 1s dengan
Radiasi yang dihasilkan orbital K
X deret K, dimana K1 adalah eksitasi elektron
Demikian juga untuk K3 dan
X yang dipakai dalam analisa suatu kristal biasanya memancarkan
. sebagai contoh adalah penggunaan logam Cu sebagai
akan diserap oleh Ni dan Cu K1
26
dengan panjang gelombang 1,54 °A akan lolos dan digunakan untuk suatu analisa.
Berkas sinar radiasi Cu K1 ini jika mengenai bidang kristal dari suatu mineral,
maka akan dipancarkan oleh atom-atom dalam kristal (Rietveld, 1967).
Agar sinar-X yang didifraksikan oleh bidang kristal tertentu dalam
sampel kristalin dapat dideteksi, orientasi sumber sinar-X, kristal dan detektornya
harus tepat. Oleh karena itu, jika berkas sinar-X ditembakkan pada permukaan
kristal pada sudut θ, sebagian dihamburkan oleh lapisan atom-atom dipermukaan
ke segala arah yang mungkin sesuai dengan Hukum Bragg. Bagian yang tidak
dihamburkan akan menembus menuju lapisan kedua atom-atom dan dihamburkan
sebagian sehingga yang tidak terhambur selanjutnya akan lewat menuju lapisan
ketiga dan seterusnya. Efek kumulatif dari hamburan yang berasal dari pusat
kristal-pusat kristal yang berjarak teratur adalah terjadinya difraksi sinar.
Analisis cuplikan dengan metode difraksi sinar-X didasarkan atas
terdapatnya kristal dalam cuplikan tersebut. Apabila sinar monokromatis
mengenai cuplikan, ada dua proses yang terjadi, yaitu:
a. Bila cuplikan memiliki struktur dengan daerah Kristal maka sinar-X akan
terhambur secara koheren, proses ini dikenal sebagai efek difraksi sinar-
X dan diukur secara difraksi sinar sudut lebar.
b. Bila cuplikan memiliki struktur dengan daerah kristal dan amorf maka
sinar-X akan terhambur secara tidak koheren (hamburan Compton).
Proses ini terjadi 25 dengan perubahan panjang gelombang dan fase,
dikenal sebagai hamburan dan diukur dengan hamburan sinar sudut
sempit. Prinsip difraksi sinar-X yaitu cahaya monokromatik dari sinar-X
diarahkan pada materi kristalin, sehingga mengalami pantulan (refleksi)
atau difraksi pada sudut yang berbeda-beda terhadap sinar primer.
Hubungan antara panjang gelombang sinar-X (λ), sudut difraksi (2θ), dan
jarak tiap bidang atomik kisi kristal (d) dapat dijelaskan dengan persamaan
Bragg: n λ = 2 d sin θ.
W.L Bragg menggambarkan difraksi sinar-X oleh kristal ditunjukkan
seperti Gambar 2.14. Berkas cahaya sempit ditembakkan pada permukaan kristal
pada sudut θ, hamburan terjadi sebagai konsekuensi dari interaksi radiasi dengan
atom-atom pada lokasi O dan P. Jika :
27
AP + PC = nλ
Dimana n adalah suatu bilangan integrasi, radiasi yang terhambur dan kristal akan
nampak memantulkan radiasi sinar-X.
Gambar 2.14 Difraksi Sinar-X Sebuah Kristal yang Sesuai dengan Hukum Bragg. Sumber: http://xray0.princeton.edu/~phil/facility/
Dari gambar 2.14 dapat dijelaskan ;
AP = PC = d sin θ
Dimana d adalah jarak antar bidang kristal. Maka kondisi untuk
interferensi konstruktif disinari pada sudut θ adalah :
nλ = 2 d sin θ
Dengan λ = panjang gelombang sinar-X (Ǻ)
d = jarak antar bidang atom dalam kristal (Ǻ)
θ = sudut peristiwa sinar-X
n = tingkat difraksi
Persamaan ini dikenal dengan Hukum Bragg. Dengan menggunakan persamaan
tersebut, untuk kasus yang sederhana, parameter sel yang akurat dan tipe struktur
kristal dapat ditentukan (Saito, 2004). Sinar-X nampak dipantulkan dari kristal
hanya pada saat sudutnya memenuhi persamaan Bragg, selain dari sudut tersebut
maka terjadi interferensi destruktif.
Identifikasi spesies dari pola difraksi didasarkan pada posisi garis (dalam
θ dan 2θ) dan intensitas relatifnya. Harga 2θ ditentukan oleh harga d. Dengan
bantuan persamaan Bragg, maka harga d dapat dihitung dari panjang gelombang
28
yang diketahui dan sudut terukur. Intesitas garis tergantung pada jumlah dan jenis
pusat atom pemantul yang ada pada setiap lapisan. Identifikasi kristal dilakukan
secara empiris dimana diperlukan data standar mengenai harga d dan garis
intensitas dari senyawa murni. Standar diatur dengan urutan mulai dari harga d
dengan garis intensitas paling besar. Eliminasi dari senyawa-senyawa yang
mungkin dapat dilakukan dengan mempertimbangkan harga d dengan garis
intensitas tertinggi kedua, ketiga dan seterusnya. Biasanya tiga atau empat harga
d cukup untuk mengidentifikasi senyawa dengan tepat. Dengan mengukur
intensitas dari garis difraksi dan membandingkannya dengan standar maka analisis
kuantitatif dari campuran kristal dapat dilakukan (Skoog dan West, 1980).
2.6.5 Analisis TGA
Analisa Thermogravimetric (TGA) adalah suatu teknik analitik untuk
menentukan stabilitas termal suatu material dan fraksi komponen volatile dengan
menghitung perubahan berat yang dihubungkan dengan perubahan temperatur.
Seperti analisis ketepatan yang tinggi pada tiga pengukuran: berat, temperatur,
dan perubahan temperatur. TGA biasanya digunakan riset dan pengujian untuk
menentukan karakteristik material seperti polymer, untuk menentukan penurunan
temperatur, kandungan material yang diserap, komponen anorganik dan organik di
dalam material, dekomposisi bahan yang mudah meledak, dan residu bahan
pelarut. TGA juga sering digunakan untuk kinetika korosi pada oksidasi
temperatur tinggi.
Analisis pada umumnya memiliki high-precision keseimbangan suatu
tempat (platina) yang terisi dengan sampel. Tempat sampel diletakkan pada
pemanas elektrik dengan thermocouple untuk mengukur temperatur. Atmosfir
murni dengan gas inert digunakan untuk mencegah oksidasi atau reaksi lain yang
tidak diinginkan. Komputer digunakan untuk mengontrol instrumen. Analisis
dilakukan dengan meningkatkan temperatur secara berangsur-angsur dan
membuat plot antara berat dengan temperatur. Temperatur pada banyak metoda
telah di uji mencapai 1000°C atau lebih besar (Reutzel-Edens, 2004).
Gambar 2.15 Kurva TGA dan [Sm2
Gambar 2.15 adalah contoh
senyawa kompleks. Kura TGA akan memperlihatkan dekomposisi suatu senyawa
karena peningkatan temperatur, dan
dihubungkan dengan perubahan temperatur
terjadi penghilangan air kristal
dekomposisi air yang terkoordinasi (air ligan) pada suhu 150
diatas 405oC adalah respon terjadinya dekomposisi Sm
2.7 Uji Toksisitas Brine Shrimp Lethality
Ada beberapa macam metode uji toksisita
bioaktivitas, yaitu uji kematian
hambatan tumor pada lempeng k
Inhibition), dan uji hambatan pada p
Material on Growth of Lemna Minor
cenderung lebih banyak digunakan dalam uji bioaktivitas, karena terdapat
keuntungan dari penggunaan metode ini, yaitu (1) waktu pelaksanaan cepat,
biaya relatif murah, (3) p
aseptik, (5) tidak memerlukan perawatan khusus, (6) m
relatif sedikit, dan tidak memerlukan serum hewan
29
Kurva TGA senyawa kompleks [Dy2(H2dipic)3(H2O)4]n(H2dipic)3(H2O)6]n.2nH2O(2) (Huang, et al., 2007)
adalah contoh termogram TGA dalam analisa senyawa
Kura TGA akan memperlihatkan dekomposisi suatu senyawa
karena peningkatan temperatur, dan menghitung perubahan berat yang
dihubungkan dengan perubahan temperatur. Contoh kurva diatas menunjukkan
penghilangan air kristal kompleks (air hidrat) pada suhu
air yang terkoordinasi (air ligan) pada suhu 150-230oC
C adalah respon terjadinya dekomposisi Sm2O3.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT)
Ada beberapa macam metode uji toksisitas yang digunakan dalam studi
ematian Artemia salina (Brine Shrimp Lethality Test
hambatan tumor pada lempeng kentang (Potato Disc Crown Gall Tumour
uji hambatan pada pertumbuhan kuncup lemna minor a
ial on Growth of Lemna Minor L.). Metode Brine Shrimp Lethality Test
cenderung lebih banyak digunakan dalam uji bioaktivitas, karena terdapat
keuntungan dari penggunaan metode ini, yaitu (1) waktu pelaksanaan cepat,
biaya relatif murah, (3) pengerjaan sederhana, (4) tidak memerlukan teknik
dak memerlukan perawatan khusus, (6) menggunakan sampel yang
idak memerlukan serum hewan.
n.6nH2O(1) ., 2007).
TGA dalam analisa senyawa-
Kura TGA akan memperlihatkan dekomposisi suatu senyawa
menghitung perubahan berat yang
menunjukkan
30-150oC,
C dan suhu
digunakan dalam studi
Brine Shrimp Lethality Test), uji
Potato Disc Crown Gall Tumour
lemna minor assay (Test
Brine Shrimp Lethality Test,
cenderung lebih banyak digunakan dalam uji bioaktivitas, karena terdapat
keuntungan dari penggunaan metode ini, yaitu (1) waktu pelaksanaan cepat, (2)
idak memerlukan teknik
kan sampel yang
30
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) merupakan salah satu metode uji
toksisitas yang banyak digunakan dalam penelusuran senyawa senyawa bioaktif
yang bersifat toksik dari bahan alam. Metode ini dapat digunakan sebagai
bioassay-guided fractionation dari bahan alam, karena mudah, cepat, murah dan
dan cukup reproducible. Beberapa senyawa bioaktif yang telah telah berhasil
diisolasi dan dimonitor aktivitasnya dengan BSLT menunjukkan adanya korelasi
terhadap suatu suatu uji spesifik antikanker (Meyer, 1982). Prinsip metode Brine
Shrimp Lethality Test adalah sifat toksisitas senyawa bioaktif dari tanaman pada
dosis tinggi, sehingga dapat diartikan kematian hewan sederhana seperti anak
udang laut (Artemia salina) secara invivo dapat digunakan sebagai alat pemantau
yang tepat untuk praskrining dan fraksinasi senyawa bioaktif baru dari sumber
alam (Setlow et al., 1993). Gambar 2.16 dibawah ini adalah larva udang Artemia
salina berumur 14 hari yang digunakan dalam uji BSL.
Gambar 2.16 Larva udang Artemia salina (Mayorga, 2009).
Pada uji ini ditentukan nilai LC50 (Lethal Concentration 50% yaitu
konsentrasi yang menyebabkan kematian 50% pada hewan uji) dari suatu sampel
(ekstrak tumbuhan, fraksi tumbuhan atau senyawa lainnya). Suatu sampel
dikatakan memiliki efek toksik bila nilai LC50 < 1000µg/ml, sedangkan untuk
senyawa murni bila LC50 < 200µg/ml (Meyer, et al., 1982 ; Nurhayati et al.,
2006).
Larutan uji dibuat dengan perlakuan konsentrasi dari sampel dalam
satuan µg/ml, kemudian dimasukkan vial yang telah dikaliberasi 10 ml dan telah
berisi 5 ml air laut serta berisi 10 ekor anak udang. Masing-masing konsentrasi
31
disiapkan dalam 5 vial. Didiamkan selama 24 jam kemudian dihitung jumlah
anak udang yang mati secara visual. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
pelaksanaan metode ini adalah: (1) Ekstrak yang dipakai harus benar-benar
bebas dari pelarut. (2) Vial yang akan dipakai harus dikaliberasi terlebih dahulu.
(3) Perhitungan jumlah Artemia salina yang mati harus dilakukan dengan teliti.
(4) Larva Artemia salina dikatakan mati apabila tidak menunjukkan gerakan
sama sekali pada saat pengamatan.
Σ larva yang diamati % larva = -------------------------- x 100 % Σ larva uji
Dengan mengetahui kematian larva Artemia salina, kemudian dicari angka probit
melalui tabel dan dibuat persamaan garis :
Y = Bx + A (Y adalah log konsentrasi, dan x angka probit)
Dari persamaan tersebut kemudian dihitung LC50 dengan memasukkan
nilai probit (50% kematian), apabila pada kontrol terdapat larva yang mati, maka
% kematian ditentukan dengan rumus Abbot (Meyer et al., 1982 ; Nurhayati et
al., 2006) :
Σ larva yang mati – Σ larva yang mati pada kontrol % Kematian = ---------------------------------------------------------------- x 100 %