MAKALAH SISTEM REKAYASA SIPILSTUDI KELAYAKAN DISTRIBUSI MAL
DAERAH GROGOL DALAM SISTEM TATA RUANG KOTA JAKARTA
OLEHGerald Michael 1206255596Prayogo Hartono1206252070Ricky
Aristio1206239415Vincent1206250052
DEPARTEMEN TEKNIK SIPILFAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS
INDONESIADEPOK2014
ABSTRAK
Pembangunan mal di Jakarta sangat banyak setiap tahun. Jumlah
mal yang semakin tidak terkendali membuat tata ruang kota Jakarta
menjadi beranakan. Banyak mal yang dibangun tidak sesuai dengan
tempatnya. Banyak pula mal yang menimbulkan masalah seperti
kemacetan lalu lintas. Kehadiran mal juga berdampak pada
terbatasnya ruang kosong dalam kota yang sejatinya dapat
dimanfaatkan untuk interaksi publik. Untuk memperbaiki hal
tersebut, perlu dilakukan perubahan dalam peraturan pembangunan mal
dan harus dilakukan beberapa inovasi. Zonasi dan relokasi mal dapat
dilakukan agar mal tertata dengan baik dan saling terintegrasi
dengan warga.[footnoteRef:1] [1: x]
Kata Kunci: Mal, Distribusi Mal, Sistem Tata Ruang Kota,
Zonasi.
KATA PENGANTAR
Pertama, penulis mengucapkan Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha
Esa karena telah menyelesaikan makalah yang berjudul Studi
Kelayakan Distribusi Mal Daerah Grogol Dalam Sistem Ruang Tata Kota
Jakarta tepat pada waktunya. Dalam penulisan makalah ini, banyak
sekali yang penulis lalui hingga dapat menyelesaikan makalah ini
dengan baik guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Sistem Rekayasa
Sipil.Secara umum, makalah ini membahas mengenai distribusi mal
yang baik dalam kota Jakarta khususnya pada daerah Grogol. Pada
kenyataannya jumlah mal di Jakarta tidak terkendali dan
persebarannya tidak merata. Kondisi ini membuat tata ruang kota
menjadi berantakan karena ada beberapa mal yang dibangun di wilayah
yang tidak semestinya sehingga merusak estetika dan fungsi di
wilayah tersebut. Pada makalah ini, penulis akan membahas bagaimana
seharusnya sistem distribusi mal yang baik dan benar. Penulis akan
melihat bagaimana kelayakan mal yang tersebar di wilayah Grogol
berdasarkan parameter yang sesuai dengan peraturan daerah yang
berlaku.Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu penulis harapkan demi kesempurnaan
makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat, baik bagi penulis
maupun para pembaca. Atas perhatian Saudara, penulis mengucapkan
terima kasih.[footnoteRef:2] [2: xi]
Depok, 10 Mei 2014
Penulis
DAFTAR ISI
Cover Abstrak xKata Pengantar xiDaftar Isi xiiBAB 1
Pendahuluan1.1 Latar Belakang11.2 Identifikasi Masalah21.3 Rumusan
Masalah 2 1.4 Tujuan Penulisan 2 1.5 Batasan Masalah 2 1.6 Metode
Penelitian 3 1.7 Sistematika Penulisan 3 1.8 Manfaat Penulisan 3BAB
2 Tinjauan Pustaka 2.1 Definisi Mal 4 2.2 Mal di Jakarta 6 2.3 Mal
dan Kemacetan Lalu Lintas di Jakarta 7 2.4 Peraturan yang Mengatur
Tata Cara Pembangunan dan Letak Mal 8 2.5 Analisa Dampak Lalu
Lintas[footnoteRef:3]12 [3: xii]
BAB 3 Pembahasan 3.1 Permasalahan Sistem Distribusi Mal di
Jakarta 143.1.1 Permasalahan Secara Umum 13 3.1.2 Permasalahan
Distribusi Mal di Daerah Grogol 15 3.2 Permodelan Sistem Distribusi
Mal di Daerah Grogol16 3.3 Optimasi Sistem Distribusi Mal di Daerah
Grogol 21 3.4 Evaluasi Sistem Distribui Mal di Daerah Grogol 24BAB
4 Penutup 4.1 Kesimpulan 27 4.2 Saran 27Daftar
Pustaka[footnoteRef:4]28 [4: xiii]
Lampiran 29
BAB 1PENDAHULUAN
1.1 Latar BelakangMal adalah pusat berbelanja yang saat ini
menjadi trade center untuk orang berkumpul, berbelanja dan mencari
hiburan. Sisi hiburan atau entertainment merupakan salah satu daya
pikat orang-orang untuk datang ke mal. Dengan semakin berkembangnya
zaman, maka semakin berkembang pula pusat-pusat berbelanja/mal
tersebut, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta. Oleh karena
daya saing mal yang semakin meningkat guna mengundang pengunjung
dari tahun ke tahun, tentu tingkat pertumbuhan mal semakin
meningkat pula.Jakarta sebagai ibu kota dari Indonesia tentu
mengalami peningkatan pertumbuhan mal dari tahun ke tahun yang
semakin meningkat. Data menunjukkan bahwa per tanggal 16 September
2013, terdapat 173 buah mal di Jakarta. (Sumber:) Peningkatan
pembangunan mal tersebut semakin tinggi dari tahun ke tahun. Oleh
karena itu bukan tidak mungkin di masa mendatang Jakarta akan
dipenuhi dengan mal.Dalam makalah ini, akan lebih difokuskan
tentang masalah persebaran dari mal-mal tersebut di Jakarta.
Seperti yang diketahui, peningkatan pertumbuhan mal di Jakarta
tidak merata. Misalnya untuk sebagian daerah tertentu terdapat
sekitar 3-4 mal yang berdekatan, sedangkan di daerah lainnya hanya
terdapat 1-2 mal atau bahkan tidak ada sama sekali. Contoh yang
mencerminkan keadaan diatas adalah mal pada daerah Grogol. Perlu
diadakan studi kelayakan terkait dengan keadaan mal di daerah
Grogol. Studi kelayakan tersebut mencangkup parameter transportasi
seperti akses mal dan lintas sekitar.[footnoteRef:5] [5: 1]
Hal ini tentunya merupakan sesuatu yang menarik untuk dikaji
mengingat hal tersebut memiliki dampak negatif bagi kota Jakarta
seperti kemacetan dan lain-lain.
1.2 Identifikasi Masalah Apakah Mal di Jakarta memenuhi
persyaratan sistem tata ruang kota? Peraturan apa yang mendasari
distribusi mal di Jakarta yang memenuhi syarat sistem tata ruang
kota? Daerah mana di Jakarta yang memiliki mal yang tidak sesuai
dengan sistem tata ruang kota? Apa saja parameter yang menunjukan
bahwa persebaran mal di suatu wilayah tidak sesuai dengan tata
ruang kota?
1.3 Rumusan Masalah Mal di Jakarta belum memenuhi persyaratan
sistem ruang tata kota. Peraturan yang medasari tentang distribusi
mal di Jakarta masih tumpang tindih dan belum jelas. Salah satu
daerah yang perlu dikaji sistem distribusi mal adalah wilayah
Grogol. Parameter yang akan dibahas adalah sistem lalu lintas di
sekitar mal dan lokasi mal.
1.4 Tujuan MasalahTujuan dari pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut: Mengidentifikasi masalah distribusi mal di
Jakarta. Mengidentifikasi masalah distribusi mal di daerah grogol.
Mengetahui pengaruh dari distribusi mal tersebut terhadap tata
ruang kota di Jakarta. Menganalisis solusi-solusi yang dapat
diberikan dan mencari solusi yang paling tepat dari masalah
persebaran mal di Jakarta.[footnoteRef:6] [6: 2]
1.5 Batasan MasalahBatasan dari masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini adalah : Objek studi kelayakan adalah mal yang berada
di daerah Grogol yang letaknya berdekatan, dimana mal-mal tersebut
adalah Mal Taman Anggrek, Mal Central Park dan Mal Ciputra. Studi
kelayakan ditinjau dari segi lalu lintas dan lokasi. Studi
kelayakan ini tidak meliputi tinjauan dari finansial.
Parameter-parameter studi kelayakan yang dilakukan berdasarkan
peraturan-peraturan daerah yang berlaku.
1.6 Metode PenelitianMenggunakan metode literatur dan survey.
Penulis mengambil sebagian data melalui survey langsung di lapangan
(mal pada daerah Grogol) dan melalui sumber literatur untuk data
seperti peraturan yang terkait dengan masalah mal.
1.7 Sistematika PenulisanMenggunakan metode empat bab dimana bab
1 adalah pendahuluan, bab 2 adalah deskripsi sistem yang disurvey,
bab 3 adalah pembahasan dan bab 4 berupa kesimpulan dan saran.
1.8 Manfaat Hasil dari makalah ini dapat memberikan saran
terkait dengan permasalahan distribusi mal di Jakarta.
[footnoteRef:7] [7: 3]
Solusi yang dihasilkan diharapkan mampu memberikan alternatif
sehingga dapat dibuat kebijakan atau peraturan baru terkait dengan
sistem distribusi mal.
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA2.1 Definisi MalMenurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Mal adalah gedung atau kelompok gedung yang berisi
macam-macam toko dengan dihubungkan oleh lorong (jalan penghubung).
Mal atau pusat perbelanjaan adalah suatu tempat berkumpulnya para
peritel yang mampu menjual aneka barang dan jasa yang dibutuhkan
pribadi dan rumah tangga (Maaruf, 2005:79). Namun, dewasa ini pusat
perbelanjaan tidak hanya sebagai tempat untuk membeli produk, tapi
juga tempat untuk melihat-lihat dan membandingkan barang atau jasa
yang ditawarkan, mencari hiburan yang pada ujungnya dapat
menimbulkan rangsangan untuk membeli sesuatu.Bangunan mal adalah
kumpulan dari satu atau lebih bangunan yang membentuk kompleks dari
suatu toko yang dihubungkan oleh suatu jalan yang memungkinkan
pengunjung berjalan dari satu unit ke unit yang lain. Pembangunan
mal memerlukan pertimbangan dan perencanaan yang matang dan
komprehensif karena memiliki berbagai macam komponen yang berbeda
namun masih berhubungan satu sama lain. Pembangunan tanpa
pertimbangan tata dan perencanaan yang baik tentu saja dapat
mempengaruhi perkembangan tata ruang kota secara negatif. Oleh
karena itu, aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam
pembangunan mal dan kenyataannya sekarang adalah:[footnoteRef:8]
[8: 4]
a.) Struktur: Mal biasanya memiliki bentuk melebar (luas) yang
terdiri atas tiga lantai. Sehingga pembangunan mal secara
konvensional menggunakan lahan yang besar yang belum termasuk
lapangan parkir. Namun, dewasa ini pembangunan mal di Jakarta lebih
cenderung ke bentuk vertical mal, karena semakin berkurangnya lahan
yang dapat digunakan sebagai daerah untuk dibangunnya sebuah mal.
Bentuk lapangan parkir juga didesain secara vertikal menjadi gedung
parkir. Persyaratan tata bangunan secara teknis juga harus dipenuhi
berdasarkan planologi dari KDB (Koefisien Dasar Bangunan), KLB
(Koefisien Luas Bangunan), KDH (Koefisien Daerah Hijau) serta
pemenuhan berbagai fasilitas seperti lapangan parkir dan sarana
pengolahan limbah dan sampah yang mengacu pada rencana tata ruang
wilayah.b.) Lokasi: Mal seharusnya berada di dekat lokasi perumahan
yang letaknya berada di pinggiran kota dan tidak berada berdekatan
dengan pusat perkantoran jika ditinjau dari lokasinya. Namun,
dewasa ini pembangunan mal berada di pusat kota untuk menarik
pengunjung yang datang lebih banyak dan dapat dijangkau oleh
seluruh wilayah pinggiran kota. Bisa dibayangkan jika pusat
perkantoran yang sudah padat, dibangun suatu mal yang didatangi
oleh banyak pengunjung, sudah dipastikan daerah tersebut akan macet
dan padat.c.) Jumlah dan Distribusi: Mal di Jakarta yang semakin
bertambah seiring bertambahnya waktu tidak diimbangi dengan
penambahan lahan. Tentu saja menyebabkan Jakarta menjadi kota yang
semakin macet. Belum lagi distribusi mal yang kesannya eksklusif di
pusat kota yang letaknya berdampingan dengan pusat perkantoran.d.)
Sosial dan Ekonomi: Pembangunan mal memicu gaya hidup hedonism dan
tentu saja melupakan budaya Indonesia dengan pasar tradisional.
Pembangunan mal juga menyebabkan kesenjangan sosial dan ekonomi
antara pengunjung mal yang kesannya mewah dengan penduduk
sekitar.Jenis-jenis pusat perbelanjaan dapat dibagi dalam beberapa
tipe berdasarkan (Noe dan Wing, 2005:8):1. Pusat perbelanjaan
berorientasi keluarga yang menyediakan semua hal dibawah satu atap
(All Under One Family Oriented Shopping Centre)Dengan luas bersih
area yang disewakan sekitar 400.000 500.000 kaki persegi. Yang
didominasi oleh toserba dan dilengkapi oleh Hypermarket, pusat
hiburan dan bermain.[footnoteRef:9] [9: 5]
2. Pusat perbelanjaan spesialis (Specialist Shopping
Centre)Jenis ini lebih kecil daripada pusat perbelanjaan orientasi
keluarga yang menyediakan bauran produk yang terspesialisasi. Pusat
perdagangan spesialis menawarkan satu kategori perdagangan utama
yang dilengkapi dengan sejumlah toko lain yang mendukung bisnis
utama seperti makanan, minuman dan layanan produk pendukung
lainnya.3. Pusat perbelanjaan gaya hidup (Lifestyle Shopping
Centre)Pusat spesialis ini seperti melayani para professional muda
yang bekerja di wilayah kota. Luas pusat perbelanjaan gaya hidup
ini sekitar 100.000 200.000 kaki persegi tanpa didominasi toserba.
Bauran jenis usahanya menawarkan produk tematis unik yang terkait
dengan gaya hidup seperti buku, musik, perabot rumah tangga,
makanan, jasa pelangganan sasaran mereka. Faktor penting bagi pusar
perbelanjaan gaya hidup adalah suasana keseluruhan, lingkungan
belanja dan kemudahan akses.
2.2 Mal di JakartaDKI Jakarta saat ini memiliki sebanyak 564
pusat perbelanjaan. Di mana, sebanyak 132 adalah pusat perbelanjaan
yang dikategorikan sebagai mal, sedangkan 432 termasuk sebagai
kategori hipermart, pusat grosir, pertokoan, pasar tradisional, dan
swalayan. Kondisi ini membuat wilayah Jakarta sudah mulai jenuh dan
padat, serta kerap kali menyebabkan kepadatan lalu lintas di
sekitar pusat perbelanjaan tersebut.Menurut proyeksi Research
Colliers International Indonesia, selama tahun 2012 hingga 2013 di
Jakarta akan ada tambahan 21 pusat perbelanjaan baru. Total luas
lantainya mencapai 827.376 m2, dengan 45% di antaranya berada di
Jakarta. Di antara pasokan mal-mal baru tersebut, separuhnya sudah
melebihi 50% tahap konstruksi. Menurut Yayat Supriatna, Planolog
Universitas Trisakti yang juga Sekjen Ikatan Ahli Perencanaan
(IAP), jumlah pusat belanja di sejumlah kota besar di dunia tidak
mencapai 100 mal. Jakarta dinilai sebagai kota megapolitan yang
mempunyai mal terbanyak di dunia, yaitu lebih dari 130 mal. Menurut
Yayat, Jakarta sudah tumbuh di luar kendali sehingga banyak kawasan
yang semula tidak direncanakan menjadi kawasan bisnis justru
beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan ada invasi serta
penetrasi kawasan yang semula untuk hunian menjadi kawasan
komersial akibat ketidaktegasan penegakan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) DKI Jakarta.[footnoteRef:10] [10: 6]
2.3 Mal dan Kemacetan Lalu Lintas di JakartaMenurut Ketua
Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Stefanus Ridwan,
mal bukanlah sumber kemacetan lalu lintas di kota Jakarta.
Menurutnya kemacetan yang terjadi bukan disebabkan oleh banyaknya
pusat perbelanjaan. Namun, tudingan tersebut sangat tidak
beralasan. Peak Hours pagi hari sebelum mal buka, kemacetan di
Jakarta memang cukup parah yang disebabkan oleh banyaknya kebutuhan
perjalanan masyarakat baik untuk keperluan bekerja, ke sekolah
maupun untuk kepentingan pribadi yaitu mencapai hampir 80%.
Sedangkan untuk kepentingan shopping baik ke mal/pasar dan
lain-lain hanya 12% saja. Jadi secara kuantitas penyumbang
kemacetan terbesar memang bukan disebabkan oleh adanya masyarakat
yang berbelanja ke mal. Namun keberadaan mal di sini turut
memberikan andil terjadinya kemacetan yang semakin parah di
Jakarta.Dengan adanya mal yang menawarkan berbagai macam kegiatan
seperti perbelanjaan yang lengkap, pusat hiburan keluarga, arena
bermain anak, dan restoran cepat saji tentu saja akan mempengaruhi
kinerja ruas jalan yang berada tepat disekitar mal. Dampak tersebut
berupa kepadatan lalu lintas dan menurunnya kecepatan jalan itu
sendiri. Hal disebabkan karena adanya peningkatan bangkitan lalu
lintas di sekitar area mal tersebut. Bangkitan lalu lintas menurut
Tamin (2000) mencakup 2 (dua) pergerakan lalu lintas, yaitu:a. Lalu
lintas yang meninggalkan suatu lokasi;b. Lalu lintas yang
menuju/tiba ke suatu lokasi.[footnoteRef:11] [11: 7]
Gambar 1. Jenis Bangkitan Lalu Lintas Menurut Tamin
(2000)Bangkitan dan tarikan lalu lintas tersebut tergantung pada
dua aspek tata guna lahan, yaitu:a. Jenis Tata Guna Lahan: Jenis
tata guna lahan yang berbeda akan mempunyai ciri bangkitan lalu
lintas yang berbeda pula. Baik itu berkaitan dengan jumlah arus
lalu lintasnya, jenis lalu lintasnya maupun intensitas lalu lintas
pada waktu tertentu;b. Jumlah Aktivitas (dan Intensitas) pada Tata
Guna Lahan tersebut: Semakin tinggi tingkat penggunaan sebidang
tanah, semakin tinggi pula pergerakan arus lalu lintas yang
dihasilkan.Meningkatnya pemanfaatan lahan untuk kepentingan
komersial seperti mal, semakin menurunnya kemampuan ruas jalan di
Ibu Kota Jakarta untuk menampung volume kendaraan sebagai akibat
tidak sebandingnya antara pertumbuhan jumlah kendaraan dengan
pertumbuhan jalan, membudayanya masyarakat menggunakan kendaraan
pribadi dan rendahnya kualitas pelayanan angkutan umum serta
rendahnya tingkat disiplin berlalu lintas, menjadikan Jakarta
semakin sulit mengatasi permasalahan kemacetan.2.4 Peraturan yang
Mengatur Tata Cara Pembangunan dan Letak MalPengendalian
pemanfaatan ruang sebagai upaya mengendalikan pemanfaatan ruang
agar sesuai dengan rencana tata ruang wilayah yang dirupakan dalam
bentuk indikasi peraturan zonasi, perizinan, insentif dan
disinsentif, serta sanksi yang diterapkan pada
pelanggaran/penyimpangan terhadap rencana tata ruang wilayah.
Sesuai Undang-Undang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
seluruh provinsi seharusnya menyesuaikan perda RTRW paling lambat
pada 2010 untuk tingkat provinsi, dan 2011 untuk tingkat
kabupaten/kota. Hal ini juga ditegaskan dalam Instruksi Presiden
No. 1 tahun 2010 tentang Prioritas Pembangunan
Nasional.[footnoteRef:12] [12: 8]
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta dalam Rapat
Paripurna Laporan Badan Legislasi Daerah (Balegda) telah menetapkan
Raperda menjadi Perda tentang RTRW 2010 2030 di Gedung DPRD DKI
Jakarta, pada hari Rabu, 24 Agustus 2011. Dengan disahkannya
Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) Provinsi DKI Jakarta 2010 2030 menjadi Peraturan Daerah
tentu akan menjadi pedoman dalam pemanfaatan dan pengendalian
penggunaan ruang Provinsi DKI Jakarta untuk 20 tahun ke depan.
Selanjutnya, RTRW Provinsi DKI Jakarta tersebut akan dirinci lebih
lanjut dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi
(Zoning Regulation).Dalam Perda RTRW DKI Jakarta 2010 2030 telah
diatur tentang sanksi terhadap pelanggaran di bidang penataan
ruang. Sanksi administrasi dilakukan secara berjenjang dalam bentuk
peringatan tertulis, penghentian sementara kegiatan, penghentian
sementara pelayanan umum, penutupan lokasi, pencabutan izin,
pembatalan izin, pembongkaran bangunan, pemulihan fungsi ruang
hingga sanksi administrasi. Sedangkan sanksi pidana, meliputi
pidana penjadara dan denda terhadap pengurus atau direksi atau
penanggungjawab korporasi serta pidana dan pemberhentian secara
tidak hormat dari jabatannya bagi setiap pejabat pemerintah daerah
yang diberi wewenang menerbitkan izin tidak sesuai dengan
RTRW.Peraturan Daerah RTRW DKI Jakarta 2010 -2030 dibuat untuk
memperlengkap dan memperbaiki peraturan yang sudah ada. Pembangunan
mal yang baik dan benar juga harus berdasarkan peraturan yaitu
Penataan Pasar Modern Pasal 12 Bagian Kedua Nomor 20 Tahun 2009
yaitu:1. Lokasi pendirian pasar modern wajib mengacu pada Rencana
Tata RuangWilayah Kabupaten, dan Rencana Detail Tata Ruang
Kabupaten, termasuk pengaturan zonasinya.2. Penyelengaraan dan
pendirian pasar modern wajib memenuhi ketentuan,sebagai berikut
:[footnoteRef:13] [13: 9]
a. Memperhitungkan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan
keberadaan pasar tradisional, usaha kecil, dan usaha menengah yang
ada di wilayah yang bersangkutan;b. Memperhatikan jarak dengan
pasar tradisional maupun pasar modern lainnya;c. Pasar modern dapat
dibangun dengan jarak radius terdekat dari pasar tradisional
minimal 1000 meter;d. Menyediakan fasilitas yang menjamin pasar
modern yang bersih, sehat, higienis, aman, tertib dan ruang publik
yang nyaman;e. Menyediakan fasilitas tempat usaha bagi usaha kecil
dan menengah, pada posisi yang sama-sama menguntungkan;f.
Menyediakan fasilitas parkir kendaraan bermotor dan tidak bermotor
yang memadai di dalam area bangunan;g. Menyediakan sarana pemadam
kebakaran dan jalur keselamatan bagi petugas maupun pengguna pasar
modern dan toko modern;h. Pemberian ijin usaha pasar modern wajib
memperhatikan pertimbangan Kepala Desa/Lurah dan BPD/LPM;i.
Pendirian Pasar Modern khususnya Minimarket diutamakan untuk
diberikan kepada pelaku usaha yang domisilinya sesuai dengan lokasi
Minimarket tersebut.3. Perkulakan hanya boleh berlokasi pada akses
sistem jaringan jalan arteri atau kolektor primer atau arteri
sekunder.4. Hypermarket dan Pusat Perbelanjaan:a. Hanya boleh
berlokasi pada atau pada akses sistem jaringan jalan arteri atau
kolektor;b. Tidak boleh berada kawasan pelayanan lokal atau
lingkungan di dalam kota/perkotaan.5. Supermarket dan Departemen
Store:a. Tidak boleh berlokasi pada sistem jaringan jalan
lingkungan; danb. Tidak boleh berada pada kawasan pelayanan
lingkungan di dalam kota/perkotaan[footnoteRef:14] [14: 10]
6. Minimarketa. Dapat berlokasi pada setiap sistem jaringan
jalan, termasuk pada sistem jaringan lingkungan pada kawasan
pelayanan lingkungan (perumahan) di dalam kota/perkotaan;b. jumlah
minimarket untuk setiap kawasan pelayanan lingkungan (perumahan) di
dalam kota/perkotaan maksimal hanya ada 2 (dua) minimarket dalam
jarak 2 km.Serta harus merujuk pada peraturan-peraturan lain
seperti Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 112 Tahun 2007
Tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat
Perbelanjaan dan Toko Modern.Pengesahan Perda No. 1 Tahun 2012
tentang RTRW 2030 ini merupakan tahap awal. Karena masih ada
tahapan pembuatan Perda perencanaan detail dan peraturan zonasi
yang harus disahkan. Kedua perda ini akan menjadi kendali
pelaksanaan RTRW di lapangan. Pemprov DKI mengajukan Raperda
tentang Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi ke
DPRD DKI. Hal ini berdasarkan Undang-Undang No. 26 tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang mengamanatkan pentingnya RDTR dan
Peraturan Zonasi sebagai salah satu diantara instrument
pengendalian pemanfaatan ruang, dan pendukung operasional RTRW
2030. Perda RDTR dan Peraturan Zonasi ini harus ditetapkan dalam
waktu paling lambat 36 bulan. Berarti pada pertengahan tahun 2014
Perda RDTR dan Peraturan Zonasi paling lambat harus sudah
disahkan.Dengan belum disahkannya RDTR dan Peraturan Zonasi ini,
otomatis hanya terdapat dua opsi akan pembangunan mal ataupun
pusat-pusat perbelanjaan di DKI Jakarta tidak boleh menabrak Tata
Ruang Perkotaan, yaitu:1.) Opsi Pertama: Mengizinkan kembali izin
pembangunan mal dengan masih mengacu pada Perda No. 6 Tahun 1999
tentang Tata Ruang Wilayah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta
1999 2009 yang seharusnya habis masa berlakunya pada tahun
2010.[footnoteRef:15] [15: 11]
2.) Opsi Kedua: Masih memberlakukan moratorium mengingat Perda
No. 1 Tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2010 2030 saat ini masih
belum bisa dioperasionalkan mengingat Raperda tentang Rencana
Detail Tata Ruang (RDTR) dan Peraturan Zonasi sampai dengan saat
ini belum ditetapkan menjadi Peraturan Daerah oleh DPRD DKI
Jakarta.Opsi pertama tentu saja sudah menyalahi aturan dan opsi
kedua merupakan pilihan terpaksa yang harus dilakukan bila
pemerintah provinsi DKI Jakarta betul-betul komit dan konsisten
terhadap upaya mengendalikan pemanfaatan ruang agar sesuai dengan
rencana tata ruang wilayah sebagaimana diatur dalam Perda DKI
Jakarta Nomor 1 tahun 2012.2.5 Analisa Dampak Lalu LintasAnalisa
dampak lalu lintas atau Traffic Impact Analysis (TIA) menurut
Stoper dan Koepke (1998) dalam bukunya yang berjudul Transportation
and Development, adalah Studi yang mempelajari secara khusus
tentang dampak lalu lintas yang ditimbulkan oleh suatu bangunan
yang mempengaruhi sistem transportasi. Dalam buku Evaluating Traffc
Impact Studies, A Recommended Practice for Michigan Communities
(hal 5), disebutkan bahwa analysis dampak lalu lintas merupakan
studi yang memperkirakan pengaruh langsung di mana penambahan lalu
lintas tertentu akan mempengaruhi jaringan transportasi di
sekitarnya.[footnoteRef:16] [16: 12]
Sesuai Pasal 99 ayat (1) Undang Undang Nomor 22 Tahun 2009
tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Pasal 47 Peraturan
Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011 disebutkan bahwa setiap rencana
pembangunan Pusat Kegiatan Permukiman, dan Infrastruktur yang akan
menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban dan
kelancaran lalu lintas dan angkutan jalan wajib dilakukan analisis
dampak lalu lintas. Sesuai penjelasan Kadishub DKI Jakarta bahwa
setiap pembangunan pusat perbelanjaan, harus memiliki kajian lalu
lintas. Menurutnya, untuk lokasi perbelanjaan seperti mal, harus
ada penerbitan Surat Izin Penunjukkan Pemanfaatan Tanah (SIPPT),
dimana dalam SIPPT, salah satu syaratnya adalah melengkapi kajian
lalu lintas. Sebelum SIPPT keluar, Dishub DKI Jakarta telah
merekomendasikan para pengembang terkait hal-hal yang penting untuk
mengatasi dampak lalu lintas yang timbul: Kajian lalu lintas itu
antara lain berisi trotoar, tempat penyebrangan orang, tempat
mengambil karcis parkir, tempat pemeriksaan keamanan mobil dan
lainnya. Dengan mematuhi kajian lalu lintas dalam SIPPT diharapkan
dapat mengantisipasi kemacetan. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 95
ayat (1) Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 12 Tahun 2003 yang
berbunyi: Setiap pembangunan & peningkatan kegiatan yang
menimbulkan bangkitan dan tarikan lalu lintas serta yang dapat
mempengaruhi kelancaran lalu lintas wajib dilakukan analisis dampak
lalu lintas.Pemerintah DKI Jakarta saat ini belum
mengimplementasikan amanah Pasal 99 ayat (1) Undang Undang Nomor 22
Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Pasal 47
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2011. Permasalahan lain dalam
implementasi analisis dampak lalu lintas ini adalah belum
terbentuknya tim evaluasi dokumen analisis dampak lalu lintas yang
minimal terdiri dari tiga unsur yaitu Dishub, Dinas PU & POLRI
yang bertugas melakukan penilaian terhadap hasil Amdal Lalin dan
menilai kelayakan rekomendasi yang diusulkan dalam hasi Amdal
Lalin. Kemudian belum dijadikannya acuan bahwa dokumen Amdal Lalin
sebagai salah satu prasyarat utama diterbitkannya izin lokasi, IMB
& izin mendirikan bangunan dengan fungsi khusus, dan belum
dilakukannya sosialisasi Perda RTRW DKI Jakarta Tahun 2010 2030
serta belum adanya aturan turunan lainnya seperti Rencana Detail
Tata Ruang (RDRT) tingkat kotamadya dan Peraturan Zonasi (Zoning
Regulation).[footnoteRef:17] [17: 13]
BAB 3INTI PEMBAHASAN
3.1 Permasalahan Sistem Distribusi Mal di Jakarta3.1.1
Permasalahan Secara UmumMal di Jakarta jumlahnya mencapai ratusan
dan tersebar di seluruh wilayah Jakarta. Namun kondisi yang ada
saat ini banyak sekali mal yang tidak sesuai dengan aturan
distribusi di Jakarta. Lokasi: seharusnya mal berada di dekat
wilayah perumahaan agar dengan mudah dapat dijangkau warga. Namun
sekarang banyak sekali mal yang berada di pusat kota sehingga
membuat kepadatan kota menjadi bertambah. Akses: banyak mal yang
dekat dengan pusat perkantoran sehingga akses di wilayah tersebut
menjadi sangat padat. Mal dapat menjadi pusat kemacetan. Apalagi
jika banyak kendaraan pribadi yang dibawa ke dalam mal. Jumlah:
jumlah terlalu banyak dan tidak merata. Contoh banyak mal berada di
daerah pusat dan selatan sementara di timur sangat sedikit.Dari
segi syarat pendirian bangunan, banyak kasus mal yang juga
bermasalah menurut Penataan Pasar Modern Pasal 12 No. 20 Tahun
2009. Pertama tidak ada zonasi yang jelas dalam kota Jakarta
mengenai mal sehingga mal bisa berada di mana saja. Peraturan lain
yang dilanggar adalah terdapat mal yang tidak berada di dalam akses
jalan arteri.Banyak kawasan yang semula tidak direncanakan menjadi
kawasan bisnis namun beralih fungsi menjadi kawasan komersial dan
menggusur lahan terbuka hijau. Efeknya adalah kemacetan semakin
besar dan membuat fungsi taman kota hilang. Kondisi ini tentu
membuat tata ruang kota menjadi buruk karena mal yang tak memenuhi
sistem tata ruang kota.[footnoteRef:18] [18: 14]
Contoh negara yang telah menerapkan sistem distribusi mal yang
baik adalah di Singapura. Di sana zonasi dilakukan dengan sangat
baik. Terdapat wilayah-wilayah khusus yang memang ditujukan untuk
pusat perbelanjaan yang terintegrasi dengan baik terhadap
komponen-komponen pendukungnya seperti transportasi, akses, lokasi
dan sebagainya. Pertama dari segi lokasi, disana lokasi yang
dipilih cukup strategis dan dilalui oleh MRT sehingga pusat
perbelanjaan dapat dikunjungi dengan berjalan kaki tanpa perlu
menggunakan kendaraan pribadi. Jarang pusat perbelanjaan disana
yang memiliki gedung parkir yang luas karena tak perlu membawa
mobil atau motor untuk menuju ke lokasi.Kedua, pusat perbelanjaan
disana saling terintegrasi antara satu mal dengan mal lainnya
sehingga dalam satu jalan bisa terdiri dari banyak mal yang
terhubung. Jadi pada lokasi tersebut memang khusus untuk pusat
perbelanjaan. Penataan mal juga teratur sehingga pengunjung tidak
menyadari sudah berada di mal yang berbeda karena integrasi yang
begitu baik. Hal inilah yang dapat diterapkan di Jakarta yaitu
sistem zonasi dan terintegrasi.Pembangunan mal di Jakarta
berlangsung secara masif. Banyak mal didirikan setiap tahun namun
tak sedikit yang melakukan pelanggaran. Pemerintah sebetulnya dapat
menertibkan mal bermasalah namun terkendala oleh peraturan yang
dibuatnya sendiri. Contohnya adalah ada mal yang menganggu lalu
lintas namun tidak bisa dibongkar karena memiliki izin yang lenkap
untuk mendirikan bangunan. Kontradiksi aturan mengenai pembangunan
mal ini yang harus dikaji. Peraturan tidak boleh tumpah tindih dan
harus tegas untuk menghasilkan peraturan yang baik.[footnoteRef:19]
[19: 15]
Sebaliknya ada pula mal yang belum memiliki perizinan yang
lengkap namun telah beroperasi. Pelanggaran lain yang muncul antara
lain melanggar garis sempadan jalan dan tidak adanya ruang terbuka
hijau.
3.1.2 Permasalahan Distribusi Mal di daerah GrogolPada daerah
Grogol terdapat tiga buah mal yang berada sangat berdekatan di
sepanjang jalan. Mal tersebut adalah Mal Taman Anggrek, Central
Park dan Mal Ciputra. Letak ketiga mal ini yang berdekatan
menyebabkan beberapa permasalahan seperti kemacetan di wilayah
tersebut, tepatnya di Jalan S. Parman. Karena lahan parkir terbatas
menyebabkan sulitnya akses masuk ke dalam mal, sehingga munculnya
antrian kendaraan menuju kedalam mal.Dari permasalahan tersebut,
penulis memprioritaskan masalah kemacetan yang terjadi di Jalan S.
Parman akibat keberadaaan mal-mal tersebut.
3.2 Permodelan Sistem Distribusi Mal di Daerah GrogolPermodelan
yang digunakan mengacu pada keadaan lalu lintas di sekitar daerah
grogol.
Gambar 2. Model Grafik Keadaan Lalu Lintas Di Kawasan
Grogol[footnoteRef:20] [20: 16]
Dalam rencana umum tata ruang DKI Jakarta, kawasan Grogol
merupakan pusat ekonomi di wilayah Jakarta Barat. Oleh karena itu
tidak mengherankan banyaknya mal yang berada di lokasi ini. Selain
kawasan ekonomi, Grogol juga menjadi kawasan pendidikan swasta
terkenal yang terdapat di kawasan tersebut. Hal ini memicu lalu
lintas yang sangat padat sekitar kawasan Grogol terutama di Jl. S.
Parman sebagai jalan utama di kawasan tersebut. Gambar di atas
menyatakan kondisi eksisting dari jalan arteri yang terdapat di
kawasan tersebut.Mal yang terdapat di Jl. S. Parman antara lain:1.
Mal Taman Anggrek dengan luas areal 31,25 Ha.2. Mal Citraland dan
hotel Ciputra dengan luas 8,25 Ha.3. Kawasan Central Park dan
Apartemen dengan luas 65,5 Ha.Ketiga mal ini tentu membuat
kemacetan di daerah S. Parman semakin parah. Hal ini terbukti
dengan jumlah lahan parkir yang perlu disediakan oleh mal-mal
tersebut. Menurut Perda Jakarta yang berlaku, mal termasuk bangunan
industri dimana setiap 200 m2 luas bangunan tersebut dibutuhkan 1
buah parkir mobil, maka dapat kita identifikasi jumlah parkir yang
disediakan di mal-mal tersebut adalah: Mal Taman Anggrek, tempat
parkir yang harus disediakan adalah sebanyak 6.250 buah tempat
parkir mobil. Mal Citraland dan hotel Ciputra, tempat parkir yang
harus disediakan adalah sebanyak 1.650 buah tempat parkir mobil.
Mal Central Park dan kawasan bisnis Agung Podomoro, tempat parkir
yang harus disediakan sebanyak 6000 buah tempat parkir mobil.Dari
aktivitas mal tersebut saja, sudah dapat terlihat bahwa jumlah
kendaraan yang melintasi kawasan Grogol melalui Jalan arteri S.
Parman sudah mencapai kurang lebih 13.000 kendaraan. Belum ditambah
lagi dengan kendaraan yang berasal dari kawasan lain, seperti pusat
pendidikan dan perhotelan.[footnoteRef:21] [21: 17]
Gambar 3. Arus Kendaraan Yang Melintasi Jalan S. Parman.Dari
data survey tahun 2008 oleh Dinas Perhubungan DKI Jakarta, terdapat
5.937 kendaraan setiap jam-nya yang melintasi jalan S. Parman
tersebut. Pada survey ini, belum terdapat kawasan Mal Central Park.
Tentunya dengan tambahan mal Central Park, jumlah kendaraan yang
melintasi kawasan tersebut akan bertambah. Berdasarkan survey ini
juga, kecepatan rata-rata laju kendaraan adalah 12 km/jam. Apalagi
jika melintasi tol jalan S. Parman, antrian kendaraan bahkan sudah
terjadi sejak persimpangan Grogol di bawah flyover. Kondisi
kapasitas yang melintasi jalan S parman adalah 255 kendaraan/km.
Menurut survey di atas, kondisi ini belum memenuhi syarat karena
kapasitas kendaraan yang ada sesungguhnya adalah 281 kendaraan/km
pada tahun 2008. [footnoteRef:22] [22: 18]
Gambar 4. Titik Kepadatan Kendaraan Di Jalan Sekitar Kawasan
Grogol.Pada titik-titik diatas, terjadi antrian dan puncak
kepadatan kendaraan. [footnoteRef:23] [23: 19]
Gambar 4. Letak Bangkitan Masuk dan Keluar Kendaraan Kawasan
Grogol.Dari gambar di atas, penulis dapat melakukan analisis dampak
lalu lintas di daerah Grogol. Seperti yang sudah dibahas di dasar
teori, bangkitan lalu lintas dibagi menjadi dua yaitu masuk dan
keluar. Bangkitan masuk artinya area tersebut adalah area dimana
lalu lintas menuju ke area tersebut. Sedangkan bangkitan keluar
adalah area dimana lalu lintas keluar dari area
tersebut.[footnoteRef:24] [24: 20]
Di sekitar jalan S. Parman terdapat kedua jenis bangkitan
tersebut. Yang pertama adalah bangkitan masuk yang ditandai dengan
lingkaran merah yaitu posisi ketiga mal yang berada di daerah
tersebut. Panah warna kuning menandakan bahwa area tersebut adalah
area bangkitan masuk, dimana lalu lintas menuju ke area tersebut.
Yang kedua adalah bangkitan keluar yang ditandai dengan lingkaran
ungu yaitu posisi perumahan yang berada di dekat ketiga mal
tersebut. Panah warna hijau menandakan arah bangkitan keluar dari
area perumahan tersebut.Maka dapat kita simpulkan dari gambar
tersebut maka permasalahan lalu lintas di daerah Grogol disebabkan
oleh dua jenis bangkitan. Oleh karena itu, pergerakan di sekitar
daerah Grogol sangat padat, dari daerah Grogol maupun menuju daerah
Grogol karena kedua jalur jalan S. Parman menuju ke kota Jakarta
dan keluar kota Jakarta sangat padat. Jadi penulis dapat mengkaji
bahwa keberadaan mal merupakan salah satu faktor penyebab
terjadinya kemacetan lalu lintas.3.3 Optimasi Sistem Distribusi Mal
Di Kawasan GrogolSistem perlu dikaji kelayakannya sehingga
didapatkan kinerja yang optimal. Sistem optimum jika memenuhi
kriteria sistem yang memuat tujuan, sasaran, dan kriteria yang
telah ditetapkan dan memenuhi sistem nilai berdasar pada prioritas
dan preferensi.Dari perumusan masalah dan model yang telah
dirumuskan diatas, penulis berpendapat bahwa sistem distribusi mal
di daerah grogol yang terdiri dari mal taman anggrek, ciputra dan
central park. Perlu dikaji ulang karena distribusi dan letak mal
tersebut membuat kemacetan lalu lintas, sehingga kajian ini
dimaksudkan untuk mengoptimasikan distribusi mal dengan acuan
keadaan lalu lintas di sekitarnya. Pada subbab sebelumnya
dijelaskan tentang permasalahan distribusi mal menurut model yang
sudah di buat adalah:1.) Kemacetan lalu lintas2.) Masalah
ketersediaan lahan parkirSementara tujuan dari optimasi distribusi
mal tersebut adalah membuat tata letak dan distribusi mal yang
tidak menyebabkan kemacetan lalu lintas, namun mudah diakses dan
tersedia lahan parkir yang memadai.Maka dari itu, penulis membuat
beberapa skenario optimasi:[footnoteRef:25] [25: 21]
1.) Merelokasi mal yang tidak layak berdasarkan analisis dampak
lalu lintas yang mengacu pada peraturan daerah yang berlaku.2.)
Membuat akses jalan baru di sekitar jalan S parman yang
terintegrasi dengan pintu tol sekitarnya sehingga dapat mengurai
titik kemacetan di daerah tersebut.3.) Apabila memungkinkan,
membangun sarana transportasi umum yang langsung terhubung menuju
mal tersebut, seperti monorail singapura sehingga meminimalisir
kendaraan pribadi yang masuk ke dalam mal.4.) Mengintegrasikan
mal-mal di daerah grogol ini menjadi satu kesatuan, sehingga ada
lahan yang terbebaskan untuk dibuat akses jalan yang baru.5.)
Memperketat peraturan pembangunan mal di daerah tersebut. Dengan
peraturan baru ini diharapkan pembangunan mal yang tidak sesuai
dengan persyaratan tersebut dilarang keras untuk dibangun.
3.4 Evaluasi Sistem Distribusi Mal di Daerah GrogolTerkait
dengan permasalahan ini, kita perlu menilai kelayakan dari
alternatif yang kita optimasikan di atas. Penilaian kelayakan
melibatkan penentuan apakah solusi masalah ini telah: Sesuai
(suitable) Bisa diterima (acceptable) Bisa dicapai
(attainable)Dalam penilaian kelayakan ini adalah 5 hal yang akan
dinilai terkait dengan engineering system: Engineering Feasibility
Economic Feasibility Political Feasibility Financial Feasibility
Environmental FeasibilityDari pilihan optimasi dari subbab
sebelumnya, kita dapat mengevaluasi melalui 5 segi kelayakan
penilaian di atas.[footnoteRef:26] [26: 22]
1. Merelokasi mal yang tidak layak berdasarkan analisis dampak
lalu lintas yang mengacu pada peraturan daerah yang berlaku.a.
Engineering FeasibilitySecara teknik, demolisi bangunan tentu saja
dapat dilakukan. Tetapi, ketidaktersediaan lahan baru sebagai
tempat relokasi menyebabkan permasalahan baru yang lebih kompleks
dan tidak dapat dilakukan karena bertentangan dengan peraturan yang
berlaku.b. Economic FeasibilitySecara ekonomi, alternatif solusi
ini tidak efisien karena relokasi suatu mal juga membutuhkan biaya
yang tidak sedikit. Biaya pembangunan mal tersebut memerlukan biaya
yang sangat besar. Ditambah lagi, keuntungan yang didapat pemilik
mal di lokasi yang baru tersebut belum tentu sebanyak yang ia dapat
di lokasi awal mal tersebut.c. Political FeasibilityTentunya akan
banyak pihak yang kurang setuju dengan alternatif ini. Pihak-pihak
tersebut seperti pemilik yang disebabkan oleh salah satunya faktor
biaya, pejabat-pejabat yang menentang dengan tujuan pencitraan
namanya, pedagang/penjual yang berinvestasi di mal tersebut
disebabkan salah satunya karena sudah memiliki banyak pelanggan di
mal tersebut.d. Financial FeasibilityBiaya pembangunan mal yang
baru membutuhkan biaya yang sangat besar. Selain itu, pihak
pengelola mal harus membayar biaya ganti rugi kepada pihak penyewa
toko yang berjualan di mal tersebut.e. Environmental
FeasibilityLokasi mal yang baru bisa saja dibangun di atas daerah
resapan air yang menyebabkan terganggunya aliran air sehingga dapat
mengakibatkan banjir.2. Membuat akses jalan baru di sekitar jalan S
parman yang terintegrasi dengan pintu tol sekitarnya sehingga dapat
mengurai titik kemacetan di daerah tersebut.a. Engineering
FeasibilityKetersediaan lahan yang ada di atas tanah kota Jakarta
semakin terbatas sehingga kita sebagai engineer harus
mengimplementasikan inovasi baru seperti jalan di bawah
tanah.[footnoteRef:27] [27: 23]
b. Economic FeasibilityPembuatan jalan baru membutuhkan biaya
yang sangat besar.c. Political FeasibilityPembuatan jalan baru
tentunya membutuhkan pembebasan lahan yang tidak sedikit. Hal ini
kemungkinan besar menyebabkan sengketa tanah.d. Financial
FeasibilitySelain membutuhkan biaya yang sangat besar untuk
pembuatan jalan, biaya yang tidak sedikit juga dibutuhkan untuk
pembebasan lahan. Sehingga dari aspek finansial, alternatif ini
cenderung merugikan.e. Environmental FeasibilityDengan dibuatnya
jalan baru, kendaraan yang akan berlintas cenderung akan lebih
banyak jumlahnya sehingga menyebabkan meningkatnya polusi
udara.
3. Apabila memungkinkan, membangun sarana transportasi umum yang
langsung terhubung menuju mal tersebut, seperti monorail singapura
sehingga meminimalisir kendaraan pribadi yang masuk ke dalam mal.a.
Engineering FeasibilityPembuatan alternatif seperti monorail
merupakan salah satu alternatif yang kurang feasible karena tanah
di Jakarta yang cenderung lembek, sehingga sebagai engineer kita
harus mencari solusi seperti penambahan zat kimia dan sebagainya.b.
Economic FeasibilitySecara ekonomi, pembangunan monorail yang
membutuhkan biaya yang sangat besar.c. Political
FeasibilityPembangunan yang pekerjaannya tertunda-tunda karena
munculnya kebijakan-kebijakan dari pejabat-pejabat dengan tujuan
pencitraan namanya.d. Financial FeasibilityDari aspek finansial,
pembuatan monorail membutuhkan biaya yang sangat besar sehingga
cenderung lebih merugikan.[footnoteRef:28] [28: 24]
e. Environmental FeasibilityPembuatan monorail dari segi
lingkungan menimbulkan dampak positif seperti berkurangnya polusi
udara yang ditimbulkan dari kendaraan-kendaraan pribadi.
4. Mengintegrasikan mal-mal di daerah grogol ini menjadi satu
kesatuan, sehingga ada lahan yang terbebaskan untuk dibuat akses
jalan yang baru.a. Engineering FeasibilityDengan mengintegrasikan
mal-mal menjadi satu kesatuan, maka akses jalan ke mal tersebut
harus dibuat sedemikian rupa agar tidak menimbulkan kemacetan.b.
Economic FeasibilityPengintegrasian mal-mal menjadi satu kesatuan
berarti melakukan pembangunan besar-besaran di daerah yang menjadi
tempat kesatuan mal-mal tersebut dimana tentunya akan memerlukan
biaya yang sangatlah besar.c. Political FeasibilityDengan
diadakannya pengintegrasian mal-mal tersebut, para pihak developer
tentunya akan bersaing demi menjadi pemimpin dari pentrigasian
tersebut.d. Financial FeasibilityDari segi finansial, alternatif
ini bisa dibilang merugikan karena selain membutuhkan biaya yang
sangat besar untuk membangun mal-mal tersebut juga membutuhkan
biaya yang sangat besar pula untuk melakukan pembuatan akses jalan
baru di lahan yang terbebaskan.
5. Memperketat peraturan pembangunan mal di daerah tersebut.
Dengan peraturan baru ini diharapkan pembangunan mal yang tidak
sesuai dengan persyaratan tersebut dilarang keras untuk dibangun.
Persyaratan tersebut diuji dengan analisis dampak lalu lintas.a.
Engineering FeasibilitySecara teknis, alternatif ini sangat
feasible, tapi harus didukung dengan pengetahuan teknis yang
mendalam akan suatu persyaratan pembangunan gedung.b. Economic
Feasibility[footnoteRef:29] [29: 25]
Alternatif ini juga dianggap efisien dimana biaya yang
dikeluarkan sedikit namun diharapkan mendapatkan manfaat yang
besar.c. Political FeasibilityMasalah memperketat peraturan ini
masih terhambat akan adanya pihak-pihak yang bekerja sama dalam
usaha untuk meloloskan persyaratan-persyaratan tersebut.Solusi
nomor 5 merupakan alternatif solusi yang paling feasible dan
mungkin dilakukan berdasarkan 5 hal tersebut. Mal yang sudah
terbangun tidak mungkin secara serta merta dirubuhkan dan
dipindahkan. Namun solusi yang paling memungkinkan adalah membuat
regulasi agar kawasan yang sudah padat akan pusat perbelanjaan
tersebut tidak bertambah padat dengan pembangunan mal yang baru.
Diharapkan dengan solusi tersebut dicapai tata ruang kota yang
baik.
Gambar 5. Smart City[footnoteRef:30] [30: 26]
BAB 4PENUTUP4. 1 KesimpulanMenurut kajian yang sudah dilakukan
oleh kelompok kami, kami dapat menyimpulkan bahwa daerah Grogol
yang sudah memiliki jumlah mal sebanyak 3 di sekitar daerah
tersebut yang letaknya saling berdekatan memiliki berbagai
permasalahan di mana permasalahan utamanya adalah distribusi letak
mal yang memicu berbagai permasalahan lain seperti kemacetan dan
kepadatan lalu lintas. Sehingga kelompok kami berusaha memunculkan
berbagai macam alternatif solusi yang kemudian dikaji dari berbagai
aspek dan feasibility agar pada akhirnya solusi tersebut dapat
diaplikasikan dan dapat menyelesaikan pokok permasalahan yang
dikaji. Solusi akhir yang kami kira paling feasible dan aplikatif
untuk menyelesaikan permasalahan distribusi mal yang ada adalah
penegakan peraturan-peraturan dan menegaskannya kembali karena
peraturan yang sudah ada tidak ditegakkan dan masih banyak celah
yang dapat ditembus. Sehingga dengan adanya peraturan tersebut
diharapkan jumlah mal yang ada di daerah grogol tersebut tidak
bertambah lagi. Ketika jumlah mal yang sudah tidak bertambah lagi,
kemudian dapat dilakukan penanganan teknis dimana mal yang sudah
tidak layak atau sudah buruk kondisinya dapat direlokasi atau
didemolisi.[footnoteRef:31] [31: 27]
4. 2 SaranKelompok kami menyarankan agar pemerintah segera
menetapkan RTRW (Rencana Tata Ruang Kota) DKI Jakarta tahun
2010-2030 yang masih belum disahkan dan disosialisasikan. Dengan
adanya RTRW ini, diharapkan pembangunan kota Jakarta, termasuk di
dalamnya pembangunan mal dapat diarahkan menuju ke arah pembangunan
yang sesuai dengan rencana tersebut. Kemudian menegakkan sanksi
yang tegas bagi pelanggar peraturan. Penegakan sanksi ini dapat
dilakukan oleh suatu satuan khusus yang dibentuk oleh Dinas
Perhubungan, Dinas Pekerjaan umum dan Polri. Sehingga juga
diharapkan pembangunan mal di Jakarta dapat mempertimbangkan aspek
dampak lalu lintas dalam prosesnya.
Daftar Pustaka
Dedy Karyawan, Yakub. 2013. Pekerjaan Rumah Gubernur DKI Jakarta
Dalam Mengatasi Kemacetan Lalu Lintas. Jakarta.Departemen
Perhubungan. 2008. Laporan Akhir Analisis Dampak Lalu Lintas Jalan
Tol Dalam Kota Di Jakarta. Jakarta. Najid. 2000. Analisis dan
Penanganan Masalah Kemacetan Lalu Lintas Pada Lokasi Ramp On dan
Ramp Off Jalan Tol Dalam Kota. Institut Teknologi Bandung,
Bandung.Standly. 2004. Analisis Dampak Lalu Lintas Pada Pusat
Perbelanjaan Yang Telah Beroperasi. Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.Subechi Widodo, Arief. 2007. Analisis Dampak Lalu Lintas
(Andalalin) Pada Pusat Perbelanjaan Yang Telah Beroperasi Ditinjau
Dari Tarikan Perjalanan. Universitas Diponegoro, Semarang.Tri
Budhayanti, Christiana. 2012. Kriteria Kepentingan Umum Dalam
Peraturan Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Pembangunan Di
Indonesia. Jakarta.Utami Putri, Widiana. 2005. Pengaruh Pusat
Perbelanjaan Terhadap Keberadaan Aktivitas Perdagangan Di
Sekitarnya. Universitas Diponegoro, Semarang.[footnoteRef:32] [32:
28]
Lampiran
Gambar 6. Keadaan Kawasan Bisnis Agung Podomoro[footnoteRef:33]
[33: 29]
Gambar 7. Keadaan Kawasan Mal Taman Anggrek
Gambar 8. Keadaan Kawasan Mal Ciputra[footnoteRef:34] [34:
30]