BAB I PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30%-50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Berdasarkan penelitian di bagian neuroinfeksi RSUPNCM angka kejadian 31%. Diagnosis presumtif ensefalitis toksoplasma dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan penunjang serologis dan pencitraan, baik dengan tomografi komputer (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI). Diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan baku emasnya dengan pemeriksaan histopatologi dari biopsy dan ditemukannya takizoit dan bradizoit. Lesi toksoplasma ensefalitis (TE) sulit dibedakan dengan lesi lainnya, meskipun demikian gambaran yang dianggap khas yaitu lesi otak fokal tunggal atau multiperl yang menyangat bagian tepi menyerupai cincin, dengan lokasi tersering pada basal ganglia 75%, thalamus, periventrikular dan corticomedullary junction (subkotikal) disertai edema perifokal dan berdiameter 1 sampai ≤ 3 cm. Sejak 2 dekade terakhir setelah ditemukannya AIDS, jumlah penderita AIDS secara dramatis meningkat tajam. Sampai dengan tahun 1997, sekitar 30 juta orang terinfeksi HIV, dimana kasus baru untuk tahun 1997 sebesar 6 juta. Sembilan puluh persen individu yang terinfeksi ini tinggal di negara berkembang, termasuk Indonesia.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUANLATAR BELAKANG
Ensefalitis toksoplasma, merupakan penyebab tersering lesi otak fokal infeksi
oportunistik tersering pada pasien AIDS. Di Amerika angka kejadiannya mencapai 30%-
50%, sedangkan di Eropa mencapai 50% - 70%. Berdasarkan penelitian di bagian
serebelum, meningismus, movement disorders dan menifestasi neuropsikiatri.7
Pada pasien yang terinfeksi HIV, jumlah CD4 limfosit T dapat menjadi prediktor
untuk validasi kemungkinanan adanya infeksi oportunistik. Pada pasien dengan CD4
< 200 sel/mL kemungkinan untuk terjadi infeksi oportunistik sangat tinggi.
F. Diagnosa
Pemeriksaan Serologi :didapatkan seropositif dari anti-T.gondii IgG dan IgM.
Deteksi juga dapat dilakukan denganindirect fluorescent antibody (IFA),
aglutinasi, atau enzyme linked immunosorbent assay (ELISA).Titer IgG
mencapai puncak dalam 1-2 bulan setelah terinfeksi kemudian bertahan
seumur hidup.
Pemeriksaan cairan serebrospinal: menunjukkan adanya pleositosis ringan
dari mononuklear predominan dan elevasi protein.
Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) : m endeteksi DNA T.gondii.
PCR untuk T.gondii dapat juga positif pada cairan bronkoalveolar dancairan
vitreus atau aquos humor dari penderita toksoplasmosis yang terinfeksi HIV.
Adanya PCRyang positif pada jaringan otak tidak berarti terdapat infeksi aktif
karena tissue cyst dapat bertahanlama berada di otak setelah infeksi akut.
CT scan : menunjukkan fokal edema dengan bercak-bercak hiperdens
multiple disertai dan biasanyaditemukan lesi berbentuk cincin atau
penyengatan homogen dan disertai edema vasogenik padajaringan
sekitarnya. Ensefalitis toksoplasma jarang muncul dengan lesi tunggal atau
tanpa lesi.
Biopsi otak : untuk diagnosis pasti ditegakkan melalui biopsi otak
G. Penatalaksanaan
Toksoplasmosis otak diobati dengan kombinasi pirimetamin dan sulfadiazin.
Kedua obat ini dapat melalui sawar-darah otak.
Toxoplasma Gondii,membutuhkan vitamin B untuk hidup. Pirimetamin
menghambat pemerolehan vitamin B oleh tokso. Sulfadiazin menghambat
penggunaannya.
kombinasi pirimetamin 50-100 mg perhari yang dikombinasikan dengan
sulfadiazin 1-2 g tiap 6 jam.
pasien yang alergi terhadap sulfa dapat diberikan kombinasi pirimetamin 50-
100 mg perhari dengan clindamicin 450-600 mg tiap 6 jam.
pemberian asam folinic 5-10 mg perhari untuk mencegah depresi sumsum
tulang.
pasien alergi terhadap sulfa dan clindamicin, dapat diganti dengan
Azitromycin 1200 mg/hr, atau claritromicin 1 gram tiap 12 jam, atau
atovaquone 750 mg tiap 6 jam. Terapi ini diberikan selam 4-6 minggu atau 3
minggu setelah perbaikan gejala klinis.
Terapi anti retro viral (ARV) diindikasikan pada penderita yang terinfeksi HIV
dengan CD4 kurang dari 200 sel/mL, dengan gejala (AIDS) atau limfosit total
kurang dari 1200. Pada pasien ini, CD4 42, sehingga diberikan ARV.
BAB III
KESIMPULAN
Toksoplasmosis merupakan infeksi oportunistik yang serius. Jika anda belum
terinfeksi tokso, anda dapat menghindari risiko terpajan infeksi dengan tidak
memakan daging atau ikan mentah, dan ambil kewaspadaan lebih lanjut jika anda
membersihkan kandang kucing. Anda dapat memakai obat anti-HIV yang manjur
untuk menahan jumlah CD4. Ini kemungkinan akan mencegah masalah kesehatan
diakibatkan tokso. Jika jumlah CD4 anda turun di bawah 100, anda sebaiknya bicara
dengan dokter tentang pemakaian obat untuk mencegah penyakit tokso.
Jika anda mengalami kepala nyeri, disorientasi, kejang-kejang, atau gejala tokso lain,
anda harus langsung menghubungi dokter. Dengan diagnosis dan pengobatan dini,
tokso dapat diobati secara efektif. Jika anda mengalami penyakit tokso, sebaiknya
anda terus memakai obat antitokso untuk mencegah penyakitnya kambuh.
Infeksi oportunistik dapat terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh pada
penderita HIV/AIDS,akibatnya mudah terkena penyakit-penyakit lain seperti penyakit
infeksi disebabkan oleh virus, bakteri,protozoa dan jamur dan juga mudah terkena
penyakit keganasan.Pengobatan untuk infeksi oportunistik bergantung pada
penyakit infeksi yang ditimbulkan.Pengobatan status kekebalan tubuh dengan
menggunakan immune restoring agents, diharapkan dapatmemperbaiki fungsi sel
limfosit, dan menambah jumlah limfosit. Penatalaksanaan HIV/AIDS bersifat
menyeluruh terdiri dari pengobatan, perawatan/rehabilitasidan edukasi. Pengobatan
pada pengidap HIV/penderita AIDS ditujukan terhadap: virus HIV (obat ART),infeksi
opportunistik, kanker sekunder, status kekebalan tubuh, simptomatis dan suportif
DAFTAR PUSTAKA
Aru W. Sudoyo, dkk. HIV/AIDS di Indonesia. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi IV.Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 20062. Sylvia Price dan Lorraine Wilson. Human Immunodeficiency (HIV)/Acquired ImmunodeficiencySindrome). Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Volume 1. Edisi 6. Jakarta: EGC,20063. Patric Davey. Infeksi HIV dan AIDS. At a Glance Medicine. Jakarta: EMS. 20064. Profesor.dr.H.Jusf Misbach, dkk. HIV-AIDS Susunan Saraf Pusat. Neurologi. Jakarta: PerhimpunanDokter Spesialis Saraf Indonesia 2006.5. Gilroy J. Basic Neurology. Mc Graw-Hill. 3rdedition. New York. 2000 : 482-90.6. Belman Anita L,Maletic-Savatic Mirjana. Human Immunodeficiency Virus and AcquiredImmunodeficiency Syndrome. In Textbook Clinical Neurology. Goetz. 2003:955-89.7. Harrington Robert. Opportunistic Infection in HIV Disease. Best Practice Medicine. Januari 2003.8. Howard L. Weiner, dkk. AIDS dan system saraf. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC. 20019. HIV and Hepatitis. 2008. Di unduh dari http://www.hivandhepatitis.com/recent/2008/09c.html10. HIV insite. 2003. Di unduh dari http://hivinsite.ucsf.edu/InSite?page=kb-04-01-011. Yayasan Spirita.2009. Neuropati Perifer. Diunduh dari http://spiritia.or.id/hatip/pdf/h01331.pdf 12. Yayasan Spirita. 2007. Oleh National institude of Neurological Disorders and Stroke. Diunduh darihttp://www.spirita.or.id13. Yayasan Spirita. Agustus 2010. Meningitis Kriptokokus