M. Umer Chapra (1 Februari 1933, Bombay India) adalah salah satu
ekonom kontemporer Muslim yang paling terkenal pada zaman modern
ini di timur dan barat. Ayahnya bernama Abdul Karim Chapra. Umer
Chapra dilahirkan dalam keluarga yang taat beragama, sehingga ia
tumbuh menjadi sosok yang mempunyai karakter yang baik. Keluarganya
termasuk orang yang berkecukupan sehingga memungkinkan ia
mendapatkan pendidikan yang baik.Masa kecilnya ia habiskan di tanah
kelahirannya hingga berumur 15 tahun. Kemudian ia pindah ke Karachi
untuk meneruskan pendidikannya disana sampai meraih gelar Ph.D dari
Universitas Minnesota. Dalam umurnya yang ke 29 ia mengakhiri masa
lajangnya dengan menikahi Khairunnisa Jamal Mundia tahun 1962, dan
mempunyai empat anak, Maryam, Anas, Sumayyah dan Ayman.Dalam karir
akademiknya DR. M. Umer Chapra mengawalinya ketika mendapatkan
medali emas dari Universitas Sindh pada tahun 1950 dengan prestasi
yang diraihnya sebagai urutan pertama dalm ujian masuk dari 25.000
mahasiswa. Setelah meraih gelar S2 dari Universitas Karachi pada
tahun 1954 dan 1956, dengan gelar B.Com / B.BA ( Bachelor of
Business Administration ) dan M.Com / M.BA ( Master of Business
Administration ), karir akademisnya berada pada tingkat tertinggi
ketika meraih gelar doktoralnya di Minnesota, Minneapolis.
Pembimbingnya, Prof. Harlan Smith, memuji bahwa Umer Chapra adalah
seorang yang baik hati, mempunyai karakter yang baik dan
kecemerlangan akademis. Menurut Profesor ini, Umer Chapra adalah
orang yang terbaik yang pernah dikenalnya, bukan hanya dikalangan
mahsiswa namun juga seluruh fakultas.DR. Umer Chapra terlibat dalam
berbagai organisasi dan pusat penelitian yang berkonsentrasi pada
ekonomi Islam. Saat ini dia menjadi penasehat pada Islamic Research
and Training Institute (IRTI) dari IDB Jeddah. Sebelumnya ia
menduduki posisi di Saudi Arabian Monetary Agency (SAMA) Riyadh
selama hampir 35 tahun sebagai penasihat peneliti senior.
Aktivitasnya di lembaga-lembaga ekonomi Arab Saudi ini membuatnya
di beri kewarganegaraan Arab Saudi oleh Raja Khalid atas permintaan
Menteri Keuangan Arab Saudi, Shaikh Muhammad Aba al-Khail. Lebih
kurang selama 45 tahun beliau menduduki profesi diberbagai lembaga
yang berkaitan dengan persoalan ekonomi diantaranya 2 tahun di
Pakistan, 6 tahun di Amerika Serikat, dan 37 tahun di Arab Saudi.
Selain profesinya itu banyak kegiatan ekonomi yang dikutinya,
termasuk kegiatan yang diselenggarakan oleh lembaga ekonomi dan
keuangan dunia seperti IMF, IBRD, OPEC, IDB, OIC dan
lain-lain.Beliau sangat berperan dalam perkembangan ekonomi Islam.
Ide-ide cemerlangnya banyak tertuang dalam karangan-karangannya.
Kemudian karena pengabdiannya ini beliau mendapatkan penghargaan
dari Islamic Development Bank dan meraih penghargaan King Faisal
International Award yang diperoleh pada tahun 1989.Beliau adalah
sosok yang memiliki ide-ide cemerlang tentang ekonomi islam. Telah
banyak buku dan artikel tentang ekonomi islam yang sudah
diterbitkan samapai saat ini telah terhitung sebanyak 11 buku, 60
karya ilmiah dan 9 resensi buku. Buku dan karya ilmiahnya banyak
diterjemahkan dalam berbagai bahasa termasuk juga bahasa
Indonesia.Buku pertamanya, Towards a Just Monetary System,
Dikatakan oleh Profesor Rodney Wilson dari Universitas Durham,
Inggris, sebagai Presentasi terbaik terhadap teori moneter Islam
sampai saat ini dalam Bulletin of the British Society for Middle
Eastern Studies (2/1985, pp.224-5). Buku ini adalah salah satu
fondasi intelektual dalam subjek ekonomi Islam dan pemikiran
ekonomi Muslim modern sehingga buku ini menjadi buku teks di
sejumlah universitas dalam subjek tersebut.Buku keduanya, Islam and
the Economic Challenge, di deklarasikan oleh ekonom besar Amerika,
Profesor Kenneth Boulding, dalam resensi pre-publikasinya, sebagai
analisis brilian dalam kebaikan serta kecacatan kapitalisme,
sosialisme, dan negara maju serta merupakan kontribusi penting
dalam pemahaman Islam bagi kaum Muslim maupun non-Muslim. Buku ini
telah diresensikan dalam berbagai jurnal ekonomi barat. Profesor
Louis Baeck, meresensikan buku ini di dalam Economic Journal dari
Royal Economic Society dan berkata: Buku ini telah ditulis dengan
sangat baik dan menawarkan keseimbangan literatur sintesis dalam
ekonomi Islam kontemporer. Membaca buku ini akan menjadi tantangan
intelektual sehat bagi ekonom barat. ( September 1993, hal. 1350 ).
Profesor Timur Kuran dari Universitas South Carolina, mereview buku
ini dalam Journal of Economic Literature untuk American Economic
Assosiation dan mengatakan bahwa buku ini menonjol sebagai
eksposisi yang jelas dari keterbukaan pasar Ekonomi Islam.
Kritiknya terhadap sistim ekonomi yang ada secara tidak biasa
diungkap dengan pintar dan mempunyai dokumentasi yang baik. Umer
Chapra, menurutnya telah membaca banyak tentang kapitalisme dan
sosialisme sehingga kritiknya berbobot. Dan, Profesor Kuran
merekomendasikan buku ini sebagai panduan sempurna dalam pemahaman
ekonomi Islam.Pendapat M. Umer Chapra terhadap ekonomi Islam pernah
dikatakannya dan didefinisikannya sebagai berikut: Ekonomi Islam
didefinisikan sebagai sebuah pengetahuan yang membantu upaya
realisasi kebahagiaan manusia yang berada dalam koridor yang
mengacu pada pengajaran Islam tanpa memberikan kebebasan individu
atau tanpa perilaku makro ekonomi yang berkesinambungan dan tanpa
ketidakseimbangan lingkungan.
IBNU KHOLDUN-Di antara sekian banyak pemikir masa lampau yang
mengkaji ekonomi Islam, Ibnu Khaldun merupakan salah satu ilmuwan
yang paling menonjol. Ibnu Khaldun sering disebut sebagai raksasa
intelektual paling terkemuka di dunia. Ia bukan saja Bapak
sosiologi tetapi juga Bapak ilmu Ekonomi, karena banyak teori
ekonominya yang jauh mendahului Adam Smith dan Ricardo. Artinya, ia
lebih dari tiga abad mendahului para pemikir Barat modern tersebut.
Muhammad Hilmi Murad secara khusus telah menulis sebuah karya
ilmiah berjudul Abul Iqtishad : Ibnu Khaldun. Artinya Bapak Ekonomi
: Ibnu Khaldun.(1962) Dalam tulisan tersebut Ibnu Khaldun
dibuktikannya secara ilmiah sebagai penggagas pertama ilmu ekonomi
secara empiris. Karya tersebut disampaikannya pada Simposium
tentang Ibnu Khaldun di Mesir 1978.Ibnu Khaldun, nama lengkap: Abu
Zayd Abd al-Rahman ibn Muhammad ibn Khaldun al-Hadrami ( ) lahir 27
Mei 1332/732H, wafat 19 Maret 1406/808H) adalah seorang sejarawan
muslim dari Tunisia dan sering disebut sebagai bapak pendiri ilmu
historiografi, sosiologi dan ekonomi. Karyanya yang terkenal adalah
Muqaddimah (Pendahuluan).Bapak EkonomiSebelum Ibnu Khaldun,
kajian-kajian ekonomi di dunia Barat masih bersifat normatif,
adakalanya dikaji dari perspektif hukum, moral dan adapula dari
perspektif filsafat. Karya-karya tentang ekonomi oleh para imuwan
Barat, seperti ilmuwan Yunani dan zaman Scholastic bercorak tidak
ilmiah, karena pemikir zaman pertengahan tersebut memasukkan kajian
ekonomi dalam kajian moral dan hukum.Sedangkan Ibnu Khaldun
mengkaji problem ekonomi masyarakat dan negara secara empiris. Ia
menjelaskan fenomena ekonomi secara aktual. Muhammad Nejatullah
Ash-Shiddiqy, menuliskan poin-poin penting dari materi kajian Ibnu
Khaldun tentang ekonomi.(Ibn Khaldun membahas aneka ragam masalah
ekonomi yang luas, termasuk ajaran tentang tata nilai, pembagian
kerja, sistem harga, hukum penawaran dan permintaan, konsumsi dan
produksi, uang, pembentukan modal, pertumbuhan penduduk, makro
ekonomi dari pajak dan pengeluaran publik, daur perdagangan,
pertanian, indusrtri dan perdagangan, hak milik dan kemakmuran, dan
sebagainya. Ia juga membahas berbagai tahapan yang dilewati
masyarakat dalam perkembangan ekonominya. Kita juga menemukan paham
dasar yang menjelma dalam kurva penawaran tenaga kerja yang
kemiringannya berjenjang mundur,).Sejalan dengan Shiddiqy Boulokia
dalam tulisannya Ibn Khaldun: A Fourteenth Century Economist,
menuturkan :(Ibn Khaldun telah menemukan sejumlah besar ide dan
pemikiran ekonomi fundamental, beberapa abad sebelum kelahiran
resminya (di Eropa). Ia menemukan keutamaan dan kebutuhan suatu
pembagian kerja sebelum ditemukan Smith dan prinsip tentang nilai
kerja sebelum Ricardo. Ia telah mengolah suatu teori tentang
kependudukan sebelum Malthus dan mendesak akan peranan negara di
dalam perekonomian sebelum Keynes. Bahkan lebih dari itu, Ibn
Khaldun telah menggunakan konsepsi-konsepsi ini untuk membangun
suatu sistem dinamis yang mudah dipahami di mana mekanisme ekonomi
telah mengarahkan kegiatan ekonomi kepada fluktuasi jangka
panjang)Lafter, penasehat economi president Ronald Reagan, yang
menemukan teori Laffter Curve, berterus terang bahwa ia mengambil
konsep Ibnu Khaldun. Ibnu Khaldun mengajukan obat resesi ekonomi,
yaitu mengecilkan pajak dan meningkatkan pengeluaran (ekspor)
pemerintah. Pemerintah adalah pasar terbesar dan ibu dari semua
pasar dalam hal besarnya pendapatan dan penerimaannya. Jika pasar
pemerintah mengalami penurunan, maka adalah wajar jika pasar yang
lainpun akan ikut turun, bahkan dalam agregate yang cukup
besar.S.Colosia berkata dalam bukunya, Constribution A LEtude DIbnu
Khaldaun Revue Do Monde Musulman, sebagaimana dikutip Ibrahim
Ath-Thahawi, mengatakan, Apabila pendapat-pendapat Ibnu Khaldun
tentang kehidupan sosial menjadikannya sebagai pionir ilmu filsafat
sejarah, maka pemahamannya terhadap peranan kerja, kepemilikan dan
upah, menjadikannya sebagai pionir ilmuwan ekonomi modern .(1974,
hlm.477)Oleh karena besarnya sumbangan Ibnu Khaldun dalam pemikiran
ekonomi, maka Boulakia mengatakan, Sangat bisa dipertanggung
jawabkan jika kita menyebut Ibnu Khaldun sebagai salah seorang
Bapak ilmu ekonomi.[1] Shiddiqi juga menyimpulkan bahwa Ibn Khaldun
secara tepat dapat disebut sebagai ahli ekonomi Islam terbesar
(Ibnu Khaldun has rightly been hailed as the greatest economist of
Islam)(Shiddiqy, hlm. 260)Sehubungan dengan itu, maka tidak
mengherankan jika banyak ilmuwan terkemuka kontemporer yang
meneliti dan membahas pemikiran Ibnu Khaldun, khususnya dalam
bidang ekonomi. Doktor Ezzat menulis disertasi tentang Ibnu Khaldun
berjudul Production, Distribution and Exchange in Khalduns Writing
dan Nashat menulis al-Fikr al-iqtisadi fi muqaddimat Ibn Khaldun
(Economic Though in the Prolegomena of Ibn Khaldun).. Selain itu
kita masih memiliki kontribusi kajian yang berlimpah tentang Ibnu
Khaldun. Ini menunjukkan kebesaran dan kepeloporan Ibnu Khaldun
sebagai intelektual terkemuka yang telah merumuskan
pemikiran-pemikiran briliyan tentang ekonomi. Rosenthal misalnya
telah menulis karya Ibn Khaldun the Muqaddimah : An Introduction to
History, Spengler menulis buku Economic Thought of Islam: Ibn
Khaldun, Boulakia menulis Ibn Khaldun: A Fourteenth Century
Economist, Ahmad Ali menulis Economics of Ibn Khaldun-A Selection,
Ibn al Sabil menulis Islami ishtirakiyat fil Islam, Abdul Qadir Ibn
Khaldun ke maashi khayalat, (Economic Views of Ibn Khaldun), Rifaat
menulis Maashiyat par Ibn Khaldun ke Khalayat (Ibn Khalduns Views
on Economics) Somogyi menulis buku Economic Theory in the Classical
Arabic Literature, Tahawi al-iqtisad al-islami madhhaban wa nizaman
wa dirasah muqaranh.(Islamic Economics-a School of Thought and a
System, a Comparative Study), T.B. Irving menulis Ibn Khaldun on
Agriculture, Abdul Sattar menulis buku Ibn Khalduns Contribution to
Economic Thought in: Contemporary Aspects of Economic and Social
Thingking in Islam.PenutupPaparan di atas menunjukkan bahwa tak
disangsikan lagi Ibnu Khaldun adalah Bapak ekonomi yang
sesungguhnya. Dia bukan hanya Bapak ekonomi Islam, tapi Bapak
ekonomi dunia. Dengan demikian, sesungguhnya beliaulah yang lebih
layak disebut Bapak ekonomi dibanding Adam Smith yang diklaim Barat
sebagai Bapak ekonomi melalui buku The Wealth of Nation.. Karena
itu sejarah ekonomi perlu diluruskan kembali agar ummat Islam tidak
sesat dalam memahami sejarah intelektual ummat Islam. Tulisan ini
tidak bisa menguraikan pemikiran Ibnu Khaldun secarfa detail,
karena ruang yang terbatas dan lagi pula pemikirannya terlalu
ilmiah dan teknis jika dipaparkan di sini. Teori ekonomi Ibnu
Khaldun secara detail lebih cocok jika dimuat dalam journal atau
buku.
Pemikiran Ekonomi Islam Abu YusufAbu Yusuf adalah orang pertama
kali memperkenalkan konsep perpajakan di dalam karyanya al-kharaj.
Kitab ini, ditulis atas permintaan Khalifah Harun al-Rasyid, ketika
dia ingin mengatur sistem Bait al-mal, sumber pendapatan negara
seperti al-kharaj, al-'usyur, dan al-jizyah dan cara
pendistribusiannya, dan untuk menghindari manipulasi, kedzaliman,
serta untuk mewujudkan kepentingan penguasa (Al Junaidal, tt: 139).
Muatan konseptual al-Kharaj dan visi strategisnya terhadap
kebijakan sumber pendapatan negara mencerminkan keunggulan akademik
Abu Yusuf dalam bidang ekonomi, dan pengalamannya menjabat sebagai
hakim agung. Interaksinya dengan penguasa dari satu sisi, dan
kepakarannya dalam ilmu fiqh dari sisi lain, telah menempatkan
kitab al-kharaj sebagai karya monumental dan komprehensif.
Keberadaan kitab al-kharaj juga mempertegas bahwa ilmu ekonomi
adalah bagian tak terpisahkan dari seni dan menejemen pemerintahan
dalam rangka pelaksanaan amanat yang dibebankan rakyat kepada
pemerintah untuk mensejahterakan mereka. Dengan kata lain, tema
sentral pemikiran ekonominya menekankan pada tanggungjawab penguasa
untuk mensejahterakan rakyatnya. Ia adalah peletak dasar
prinsip-prinsip perpajakan yang dikemudian hari diambil oleh para
ahli ekonomi sebagai canons of taxation (Karim, 2001; Asmuni, 2005:
118). Al-Kharaj buah karya Abu Yusuf yang menjadi panduan manual
perpajakan pada masa Khalifah Harun al-Rasyid, sebenarnya memiliki
berbagai versi percetakan. Yang tertua di antaranya adalah edisi
Bulaq yang dicetak pada tahun 1302 H / 1885 M, dan tidak memiliki
kelengkapan editorial. Setelah itu Salafiah Press menerbitkan
kembali satu edisi, dan sempat mengalami beberapa kali cetakan
ulang yang memuat isi dan hadis yang sama. Pada edisi ini hanya
memberi kesan tampilan perbedaan halamannya saja. Sehingga tidak
salah bila diduga edisi ini bersumber pada bahan dan manuskrip yang
sama. Pada edisi Salafiyah Press sebagian memiliki editorial namun
hanya sebagian kecil saja. Sementara edisi yang lengkap tentang
kitab al-Kharaj ini terdapat dalam satu komentar yang diberi judul
Fiqhu al-Mulk wa miftah al-Ritaj yang ditulis oleh Abul Aziz bin
Muhammad al-Rahbi (W. 1194 H) (Majid, 2003: 33-34). Tulisan
tersebut kemudian di edit oleh A.U.Kabishi yang telah meletakkan
kitab al-Kharaj dalam beberapa komentar serta membuat perbedaannya
secara sistematis dengan edisi Rahbi, edisi ini terdapat dalam dua
manuskrip yang kemudian dicetak dengan hasil yang sangat memuaskan.
Selain itu juga ada teks yang dicetak dan diedit oleh Ikhsan Abbas,
namun tidak membuahkan hasil yang lebih baik dari edisi Kabishi
tersebut (Majid, 2003: 33-34). Tetapi yang digunakan sebagai
referensi tulisan ini adalah edisi yang dicetak pada tahun 1302 H,
diterbitkan oleh Daru al-Maarifah li al-Thabiah di Bairut Libanon,
yang memuat materi dan hadis yang sama dengan edisi Bulaq. Kitab
al-Kharaj ini memuat beberapa tulisan yang dimulai dari nasehat dan
wejangan yang dialamatkan Abu Yusuf kepada Amiru al-Muminin dan
putera mahkota, yang isinya tentang nasehat umum yang diikuti
dengan sejumlah hadis yang mayoritas dikategorikan sebagai
hadis-hadis marfu. Setelah memberi nasehat panjang lebar kepada
Khalifah dan putera mahkota, kemudian Abu Yusuf memaparkan
pemikirannya tentang hukum yang berhubungan dengan distribusi,
rampasan perang, kepemilikan tanah, pajak tanah, pajak-pajak hasil
pertanian, kemudian diperluas dengan diskusi tentang pajak-pajak
dengan istilah Kharaj yang kemudian menghasilkan beberapa istilah
seperti Ushr, Zakat, atau shadaqah (Yusuf, 1302: 4). Kitab
al-Kharaj tersebut didominasi pemikiran Abu Yusuf tentang ekonomi.
Hal ini terlihat dari pembahasan selanjutnya tentang jizyah yang
hanya diberlakukan untuk orang-orang non muslim serta pembahasan
mengenai status sosial, hak dan kewajiban penduduk non muslim di
negara Islam, selain itu pada bagian akhir membahas hudud, gaji
pegawai pemerintah, fiskal, devisa negara, kesejahteraan non muslim
dan lain sebagainya (Al-Kaaf, 2002: 149; Yusuf,1302: 28, 42, 94,
69, 117, 128). Kitab karya Abu Yusuf diberi nama al-Kharaj,
didasarkan kepada pemilihan persoalan mayoritas yang dibahas dalam
kitab tersebut yaitu pajak, jizyah, serta terinspirasi dari
penjelasan tentang beberapa persoalan yang menjelaskan tentang
administrasi pemerintahan. Selain itu kharaj diartikan sebagai
harta yang dikeluarkan oleh pemilik tanah untuk diberikan kepada
negara. ada bagian lain kharaj diartikan dengan apa yang dibayarkan
untuk pajak tanah pertanian atau pajak hasil bumi (Al-Kaaf, 2002:
149). Sedangkan pemikiran kontroversialnya ada pada sikapnya yang
menentang pengendalian dan penetapan harga (tasir) oleh pemerintah.
Pada zaman Abu Yusuf asumsi yang berkembang adalah, apabila
tersedia sedikit barang maka harga akan mahal dan jika tersedia
banyak maka harga akan murah. Tetapi beliau menolak asumsi
masyarakat tersebut. Menurutnya tidak selamanya persediaan barang
sedikit (supply) menyebabkan harga (price) mahal, demikian pula
persediaan barang banyak mengakibatkan harga akan murah. Karena
pada kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan (supply)
saja, tetapi juga bergantung pada kekuatan penawaran (demand)
(Habib, 2004: 10). Oleh karena itu peningkatan atau penurunan harga
tidak selalu berhubungan dengan peningkatan atau penurunan
permintaan akan barang. Menurut Abu Yusuf ada variabel lain yang
ikut mempengaruhi harga, tetapi tidak dijelaskan secara rinci. Bisa
saja variabel tersebut adalah pergeseran dalam permintaan atau
jumlah uang yang beredar di suatu negara atau terjadinya penimbunan
dan penahanan barang. Bagi Abu Yusuf tinggi rendahnya harga adalah
bagian dari ketentuan Allah, manusia tidak dapat intervensi atas
urusan dan ketetapanNya (Habib, 2004: 10; Al-Duri, 1394 H). Dapat
dipastikan, bahwa konsep "ekonomi makro" tidak ditemukan dalam
al-kharaj karya Abu Yusuf, dan juga belum dikenal di dunia Barat
sampai beberapa abad pasca Abu Yusuf. Kegiatan perekonomian,
menurut Abu Yusuf merupakan fenomena yang selalu berubah-ubah
(zawahir tsanawiyah) dan bersumber dari aktivitas kolektif
masyarakat muslim. Faktor-faktor yang mempercepat kegiatan
perekonomian tidak sama dari segi tingkat kepentingan dan
kekuatannya. Pertama, mewujudkan undang-undang tertinggi yang
dengannya dapat memerintah dengan pertolongan Tuhan. Kedua, usaha
untuk memenuhi kebutuhan material dan keinginan-keinginan lainnya.
Ketiga, inisiatif atau keinginan penguasa (Dahlan, 1996: 18).Oleh
karena itu, menurut Abu Yusuf, fenomena prekonomian tidak selalu
berhubungan secara langsung dengan sebab akibat (undang-undang
tentang perekonomian). Hubungan biasanya bersifat tidak langsung
karena melalui kehendak tertinggi, atau kehendak wakil Tuhan di
permukaan bumi dalam bentuk masyarakat muslim, penguasa atau
lainnya. Para khalifah Tuhan memiliki wewenang untuk mengambil
keputusan berkaitan dengan sejumlah fenomena-fenomena perekonomian
seperti perbaikan tanah dan lain-lain. Tentang keuangan Abu Yusuf
menyatakan bahwa uang negara bukan milik Khalifah dan Sultan,
tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya, yang harus dijaga dengan
penuh tanggungjawab. Hubungan penguasa dengan kas negara sama
seperti hubungan seorang wali dengan harta anak yatim yang
diasuhnya (Dahlan, 1996: 18).Menurut Abu Yusuf, sumber ekonomi
berada pada dua tingkatan: tingkat pertama meliputi unsur-unsur
alam (antara lain air dan tanah). Unsur-unsur ini paling kuat dan
melakukan produksi secara mandiri. Tingkatan kedua tenaga kerja.
Tingkatan yang kedua ini berperan kurang maksimal dan tidak rutin
seperti perbaikan dan pemanfaatan tanah, membuat sistem irigasi dan
lain-lain. Sebetulnya produksi dalam pengertian membuat barang baku
(setengah jadi) menjadi produk final melalui kerja, tidak banyak
menarik perhatian Abu Yusuf termasuk pada proses permulaan seperti
menghidupkan tanah mati (Ihya al-Mawaat) dan tidak bertuan harus
diberikan kepada seseorang yang dapat mengembangkan dan menanaminya
serta membayar pajak yang diterapkan pada tanah tersebut (Habib,
2004: 10).Menurut Abu Yusuf elemen dalam perekonomian adalah
Al-musytarakat al-diniyah (komunitas yang menganut agama samawi dan
agama ardhi), dan musytarakat al-mudun atau komunitas masyarakat
perkotaan dan pedesaan atau komunitas masyarakat dagang. Komunitas
jenis pertama terbentuk dari unsur agama, dan komunitas jenis kedua
membentuk pusat kekuasaan pemimpin. Kedua jenis komunitas tersebut
mempersatukan, atau minimalnya mempererat hubungan antara semua
unsur atau elemen prekonomian tersebut (Asmuni, 2005: 5). Pada masa
Abu Yusuf misalnya penduduk satu desa atau kota memenuhi kebutuhan
mereka secara mandiri dari sektor produk pertanian dan kerajinan
dan tidak mengantungkan diri pada barang-barang impor kecuali untuk
pelengkap. Demikian pula kesatuan sektor pajak karena penduduknya
konsisten untuk bersolidaritas dan untuk saling menjamin dalam
mengeluarkan nominal pajak dalam setahun baik dalam bentuk barang
atau uang. Terakhir kesatuan administrasi, artinya administrasi
pemerintahan pusat tidak melakukan interaksi dengan masing-masing
individu melainkan secara kolektif sebagai satu kesatuan melalui
tokoh desa (syaikh al-qoryah) atau pemimpin desa (Saad, 1979).
Adapun mengenai persoalan fakir miskin (fuqara') dan konsep kelas
sosial tidak dibahas oleh Abu Yusuf. Diskripsi masyarakat yang
dibuat Abu Yusuf, mencerminkan bahwa hubungan produksi dari satu
sisi merupakan hubungan antara umat Islam dengan kaum zimmi dalam
Dar al-Islam atau hubungan umat Islam dengan komunitas non muslim
dalam Dar al-harb. Dalam hubungan model pertama pendapatan
bersumber dari al-kharaj dan al-jizyah. Sedangkan hubungan model
kedua, pendapatan bersumber dari al-ganimah yang sebagiannya
didistribusikan untuk Bait al-mal. Selain itu, pemerintah juga
menarik bea cukai dari pedagang kafir harbi atas barang dagangan
mereka yang masuk ke negara Islam. Adapun umat Islam diwajibkan
untuk mengeluarkan zakat sebagai bentuk solidaritas sosial mereka
sesama muslim yang membutuhkan (Yusuf, 1302 H: 122).Abu Yusuf juga
mengenalkan konsep perdagangan luar negeri, yang secara implisit
diberi istilah tabadul. Pemahaman fleksibilitas dibangun Abu Yusuf
dengan melahirkan sikap toleran dengan kesepakatan damai dalam
hubungan perdagangan internasional. Kesepakatan tersebut adalah
jaminan keamanan berkala per empat bulan dengan pembaharuan apabila
perdagangan mereka belum selesai dalam waktu yang telah ditentukan.
Serta diperbolehkan tinggal di Dar al-Islam dengan status sebagai
ahli zimmi (Al Mawardi, tt: 291-292).Dalam melakukan
restrukturisasi sistem perekonomian negara Bagdad, ada beberapa
mekanisme yang dikembangkan oleh Abu Yusuf yaitu, a) Menggantikan
sistem Wazifah dengan sistem Muqasamah Istilah wazifah dan istilah
muqasamah adalah istilah untuk menyebut sistem pemungutan pajak.
Sistem wazifah adalah sistem pemungutan yang ditentukan berdasarkan
nilai tetap, tanpa membedakan ukuran tingkat kemampuan wajib pajak
atau mungkin dapat dibahasakan dengan pajak yang dipungut dengan
ketentuan jumlah yang sama secara keseluruhan. Sedang sistem
muqasamah adalah sistem pemungutan pajak yang diberlakukan
berdasarkan nilai yang tidak tetap (berubah) dengan
mempertimbangkan tingkat kemampuan dan persentase penghasilan atau
pajak proporsional (Yusuf,1302: 48).b) Membangun pemahaman
fleksibilitas sosial Meskipun hukum Islam hanya mengakui muslimin
sebagai individu dengan kapasitas hukum penuh, secara bersamaan
kaum non muslim sebenarnya juga dapat menuntut adanya kepastian
hukum untuk mendapatkan perlindungan dari penguasa Islam apabila
mereka diijinkan untuk memasuki wilayah Dar al-Islam. Seorang
muslim adalah seorang yang secara alamiah berada di bawah hukum
Islam,dan menikmati hak-hak kewargaannegaranya secara penuh. Namun
di balik itu setiap warga negara akan menikmati haknya secara
berbeda-beda, tergantung hubungan dan kepentingan mereka
masing-masin. Abu Yusuf dalam hal ini menyikapi perlakuan terhadap
tiga kelompok yang dianggap tidak mempunyai kapasitas hukum secara
penuh, yaitu kelompok Harbi, kelompok Mustamin, dan kelompok Zimmi.
Abu Yusuf berusaha memberi pemahaman keseimbangan dan persamaan hak
terhadap mereka di tengah masyarakatnya dengan mengatur beberapa
ketetapan khusus berkenaan dengan status kewarganegaraan, sistem
perekonomian dan perdagangan serta ketentuan hukum lainnya. (Al
Mawardi, tt: 252).
c) Membangun sistem dan politik ekonomi yang transparan
Transparansi yang dibangun Abu Yusuf terlihat ketika beliau
mendiskripsikan income negara yang meliputi ghanimah dan fay
sebagai pemasukan yang sifatnya insidental revenue, sedangkan
kharaj, jizyah, Ushr, dan shadaqah/zakat sebagai pemasukan yang
sifatnya permanen revenue. Abu Yusuf memberi interpretasi yang
jelas tentang aturan al-Quran dalam surat al-Anfal ayat 41 yang
artinya:....Ketika engkau mengambil setiap barang rampasan,
seperlima darinya adalah milik Allah dan Rasul, saudara-saudara
dekatnya, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir...
Interpretasi dari istilah seperlima dalam ayat ini di kalangan
para ahli fiqh terjadi perbedaan pandangan. Dalam kitab al-Kharaj
Abu Yusuf seperlima tersebut menurut:Riwayat Qais Bin mUslim yang
diriwayatkan dari Hasan Bin Muhammad Bin Hanafiyah, dibagi menjadi
tiga bagian, yaitu untuk Nabi (Para Khalifah penggantinya setelah
beliau wafat), untuk keluarga terdekat, dan untuk kelompok anak
yatim, fakir miskin dan musafir (Yusuf, 1302: 21).
Dari sistem pembagian harta yang dilaksanakan oleh Abu Yusuf,
akan terlihat dari empat bagiannya didistribusikan untuk prajurit,
sedangkan seperlimanya disimpan pada bendahara umat atau Baitu
al-Mal untuk kepentingan umat. Hal ini sesuai dengan ajaran
al-Quran surat al-Anfal ayat 41 yang mengatur tentang distribusi
harta rampasan perang tersebut. Melihat beberapa pertimbangan yang
lebih mengacu kepada kebijakan umar yang berlandaskan ayat di atas,
Abu Yusuf dalam kitab al-Kharaj memaparkan tentang distribusi harta
ini dengan menjelaskan perwujudan dari alokasi anggaran, maka
interpretasi dari tindakan tersebut, merupakan implementasi dari
asas transparansi sistem dan politik ekonomi yang melingkupi
beberapa aspek, seperti transparansi terhadap tentara sebagai
keamanan negara, gaji pegawai, perbaikan masjid, lampu penerang,
serta beberapa kepentingan lain yang sifatnya maslahah ammah
(Yusuf, 1302: 19-20).
d) Menciptakan sistem ekonomi yang otonom Upaya menciptakan
sistem ekonomi yang otonom terlihat pada pandangan Abu Yusuf dalam
penolakannya atas intervensi pemerintah dalam pengendalian dan
penetapan harga. Dalam hal ini beliau berpendapat bahwa jumlah
banyak dan sedikitnya barang tidak dapat dijadikan tolok ukur utama
bagi naik dan turunnya harga, tetapi ada variabel lain yang lebih
menentukan. Pendapat Abu Yusuf ini berdasarkan hadis Rasulullah
SAW: Diriwayatkan gari Abdu al-Rahman bin Abi Laila, dari Hikam Bin
Utaibah yang menceritakan bahwa pada masa Rasulullah harga pernah
melambung tinggi, maka sebagian masyarakat pernah mengadu kepada
Rasulullah dan meminta agar Rasulullah membuat ketentuan tentang
penetapan harga ini. Maka Rasulullah berkata: tinggi dan rendahnya
harga barang merupakan bagian dari keterkaitan dengan keberadaan
Allah, dan kita tidak bisa mencampuri terlalu jauh bagian dari
ketetapan tersebut. (Yusuf,1302: 87).
Teori harga Abu Yusuf tersebut memposisikan terbalik dari teori
ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa, naik dan turunnya harga
ditentukan oleh permintaan dan penawaran komoditi (teori Supply and
Demand). Meskipun Abu Yusuf tidak secara tegas menolak keterkaitan
supply dan demand, namun secara eksplisit memuat pemahaman bahwa
tingkat naik dan turunnya produksi tidak akan berpengaruh terhadap
harga. Dari pemikiran Abu Yusuf yang termuat dalam kitab al-Kharaj
dapat disimpulkan meliputi beberapa bidang sebagai berikut:1)
Tentang pemerintahan, Ia mengemukakan bahwa seorang penguasa
bukanlah seorang raja yang dapat berbuat secara diktator. Ia adalah
seorang khalifah yang mewakili Tuhan di bumi ini untuk melaksanakan
perintah-Nya. Oleh karena itu penguasa harus bertindak atas nama
Allah SWT. Dalam hubungan hak dan tanggung jawab pemerintah
terhadap rakyat, ia menyusun sebuah kaidah fikih yang sangat
populer yaitu tasharruf al-imam ala ar-raiyyah manutun bi
al-maslahah (setiap tindakan pemerintah yang berkaitan dengan
rakyat senantiasa terkait dengan rakyat senantiasa terkait dengan
kemaslahatan )2) Keuangan, Ia menyatakan bahwa uang negara bukan
milik khalifah dan sultan, tetapi amanat Allah SWT dan rakyatnya
yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. Hubungan penguasa
dengan kas negara sama seperti hubungan seorang wali dengan harta
anak yatim yang diasuhnya.3) Pertanahan, Ia meminta kepada
pemerintah agar hak milik tanah rakyat dihormati, tidak boleh
diambil dari seseorang lalu diberikan kepada orang lain. Tanah yang
diperoleh dari pemberian dapat ditarik kembali jika tidak digarap
selama tiga tahun dan diberikan kepada yang lain.4) Perpajakan, Ia
berpendapat bahwa pajak hanya ditetapkan pada harta yang melebihi
kebutuhan rakyat yang ditetapkan berdasarkan kerelaan mereka. 5)
Peradilan, Ia mengatakan bahwa jiwa dari suatu peradilan adalah
keadilan yang murni. Penghukuman terhadap orang yang tidak bersalah
dan pemberian maaf terhadap orang yang bersalah adalah suatu
penghinaan, terhadap lembaga peradilan. Menetapkan hukum tidak
dibenarkan berdasarkan hal yang subhat. Kesalahan dalam mengampuni
lebih baik daripada kesalahan dalam menghukum. Orang yang ingin
menggunakan kekuasaan untuk mencampuri persoalan keadilan harus
ditolak dan kedudukan seseorang atau jabatannya tidak boleh menjadi
bahan pertimbangan dalam persoalan keadilan (Dahlan, 1996: 18).
V. Studi Kritis Terhadap Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf Abu Yusuf
menjadi salah satu dari dua referensi utama fiqh dalam mazhab
Hanafi, selain Muhammad Ibn Hasan al-Syaibani. Pengetahuannya
tentang hadis juga tidak dapat diremehkan. Ini terlihat dalam kitab
al-Asar karya putranya Yusuf. Kitab ini sarat dengan wacana fiqh
Abu Hanifah dan Abu Yusuf (Al Junaidal, 1406 H: II/131). Keunggulan
karya Abu Yusuf dalam bidang fiqh karena ditulis dengan metode:
Pertama, menggabungkan metode fuqaha' (aliran ra'y) di Kufah dengan
metode fuqaha' (aliran al-hadis) di Madinah. Kedua, rumusan
hukumnya sejalan dengan fenomena aktual di tengah masyarakat
sehingga sangat aplikatif dan realistis. Pengalamannya dalam
menyelesaikan kasus-kasus riel, membuatnya banyak menghindar dari
rumusan fiqh yang asumtif. Ketiga, bebas dalam berpendapat.
Kemampuan Abu Yusuf menggabungkan metode fuqaha' aliran ra'yi dan
aliran hadis membentuknya menjadi faqih independen, tidak berpihak
kepada pendapat tertentu secara subyektif. Beliau melakukan ijtihad
secara mandiri dan tidak terpengaruh oleh pendapat guru-gurunya.
Keempat, komitmen pada sumber-sumber tekstual dan rasional. Metode
ini menjadi tradisi para ulama ahl al-ra'y yang menggunakan nalar
qiyas dan nalar istihsan serta mempertimbangkan al-'urf (tradisi
masyarakat yang baik) (Al Junaidal, 1406 H: II/131). Dalam bidang
ekonomi, terutama dalam kitab al-kharaj, Abu Yusuf pun menggunakan
motode-metode tersebut. Kitab al-Kharaj merupakan jawaban atas
proses dialogis yang dilakukan dengan Khalifah Harun al-Rasyid dan
persoalan-persoalan masyarakat yang dijumpai Abu Yusuf pada masa
itu. Jawaban atas semua persoalan tersebut diperkuat oleh
dalil-dalil aqli dan naqli sehingga lebih unggul secara akademik
dari pada kitab al-Kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin Jafar yang
hanya diperkuat oleh dalil-dalil naqli tanpa memberi kesempatan
kepada nalar (M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203). Abu Yusuf
menggunakan pendekatan rasional dalam menyimpulkan teks hadis.
Sehingga kualitas hadis dalam al-kharaj karya Abu Yusuf lebih sahih
ketimbang dalam kitab al-kharaj karya Ibn Adam dan Qudama Bin
Jafar. Dalam hal ini Abu Yusuf tidak mengabaikan praktek faktual
para sahabat (a'mal al-sahabah) asalkan relevan dengan situasi yang
ada mengingat kemaslahatan umum selalu menjadi pertimbangan utama
(M. Sadeq dan Aidit Ghazali, tt: 203).
PEMIKIRAN EKONOMI AL GHAZALISebagaimana halnya para cendekiawan
muslim terdahulu, perhatian Al- Ghazali terhadap kehidupan
masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi
meliputi seluruh aspek kehidupan manusia.Pemikiran ekonomi Al-
Ghazali didasarkan pada pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran
ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya Ulum al-Din, al-
Mustashfa, Mizan Al- Amal, dan At- Tibr al Masbu fi Nasihat Al-
Muluk. Dengan memperhatikan para perilaku individu yang dibahasnya
menurut perspektif Al-Quran , sunnah dan fatwa sahabat tabiin serta
petuah- petuah para sufi terkemuka. Menurut Mustafa Anas Zarqa,
Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang merumuskan
konsep fungsi kesejahteraan (maslahah) sosial yang
pertama.Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari sebuah
konsep yang dia sebut sebagai Fungsi Kesejahteraan Sosial Islami.
Menurut Al- Ghazali kesejahteraan dari semua masyarakat tergantung
pada pencarian dan pemeliharan lima tujuan dasar atau maqashid
assyariah.Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan
utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di
dunia dan akhirat ( maslahat al-dinwa al-dunya).[footnoteRef:2][4]
[2: ]
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi
kesejahteraan sosialnya dalam sebuah kerangka hierarki utilitas
individu dan sosial yang tripartie yakni Daruriat, Hajiyat dan
Tahsiniyat. Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi
peninggalan tradisi Aristotelian yang disebut sebagai kebutuhan
oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap
barang- barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang- barang
psikis.[footnoteRef:3][5] [3: ]
Mayoritas pembahsan Al-Ghazali mengenai berbagai permasalahan
ekonomi terdapat dalam kitab Ihya Ulum al-Din. Beberapa tema
ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali diantaranya
mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi,
barter dan evolusi uang,serta peran negara dan keuangan
publik.[footnoteRef:4][6] [4: ]
1. Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan
pembeli. Proses timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan
permintaan dan penawaran untuk menentukan harga dan laba. Tidak
disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun dasar- dasar dari
apa yang kemudian dikenal sebagai Semangat
Kapitalisme.[footnoteRef:5][7] [5: ]
Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari hukum alam
segala sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul
dari diri sendiri untuk saling memuaskan kebutuhan ekonomi. Al-
Ghazali jelas-jelas menyatakan mutualitas dalam pertukaran ekonomi
yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut daerah
dan sumber daya.
a. Permintaan, Penawaran, Harga, dan LabaSepanjang tulisannya,
Al- Ghazali berbicara mengenai harga yang berlaku seperti yang
ditentukan oleh praktek- praktek pasar, sebuah konsep yang
dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil ( harga yang
adil) dikalangan ilmuan muslin atau equilibrium price ( harga
keseimbangan ) dari kalangan Eropa kontemporer.[footnoteRef:6][8]
[6: ]
Beberapa paragraf dari tulisannya juga jelas menunjukkan bentuk
kurva penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang naik
dari kiri bawah ke kanan atas dinyatakan oleh dia sebagai jika
petani tidak mendapatkan pembeli dan barangnya, ia akan menjualnya
pada harga yang lebih murah. Sementara untuk kurva permintaan yang
turun dari kiri atas ke kanan bawah dijelaskan oleh dia sebagai
harga dapat diturunkan dengan mengurangi
permintaan.[footnoteRef:7][9] [7: ]
b. Etika Perilaku PasarDalam pandangan Al- Ghazali , pasar harus
berfungsi berdasarkan etika dan moral pelakunya.secara khusus
memperingatkan larangan mengambil keuntungan dengan cara menimbun
makanan dan barang- barang lainnya, memberikan informasi yang salah
mengenai berat, jumlah dan harga barangnya.
2. Aktivitas ProduksiImam Al- Ghazali mengklasifikasikan
aktivitas produksi menurut kepentingan sosialnya serta
menitikberatkan perlunya kerjasama dan koordinasi. Fokus utamanya
adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar- dasar etos
Islam.[footnoteRef:8][10] [8: ]
a. Produksi Barang- barang Kebutuhan Dasar Sebagai Kewajiban
SosialDalam hal ini, pada prinsipnya , negara harus bertanggung
jawab dalam menjamin kebutuhan masyarakat terhadap barang- barang
kebutuhan pokok. Disamping itu Al- Ghazali beralasan bahwa
ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang
tersedia dengan yang dibutuhkan masyarakat cenderung akan merusak
kehidupan masyarakat.
b. Hierarki ProduksiKlasifikasi aktivitas produksi yang
diberikan Al-Ghazali hampir mirip dengan klasifikasi yang terdapat
dalam pembahasan kontemporer, yakni primer( agrikultur), sekunder (
manufaktur), dan tersier( jasa). Secara garis besar, ia membagi
aktivitas produksi kedalam tiga kelompok
berikut:[footnoteRef:9][11] [9: ]
1. Industri dasar , yakni industri- industri yang menjaga
kelangsungan hidup manusia.2. Aktivitas penyokong, yakni aktivitas
yang bersifat tanbahan bagi industri dasar.3. Aktivitas
komplementer, yakni yang berkaitan dengan industri dasar.
c. Tahapan Produksi , Spesialisasi, dan KeterkaitannyaAl-Ghazali
mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum produk
dikonsumsi. Selanjutnya , ia menyadari kaitan yang sering kali
terdapat dalam mata rantai produksi sebuah gagasan yang sangat
dikenal dalam pembahasan kontemporer.Tahapan dan keterkaitan
produksi yang beragam mensyaratkan adanya pembagian kerja ,
koordinasi dan kerja sama. Ia juga menawarkan gagasan mengenai
spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga.
3. Barter dan Evolusi Uang
Tampaknya Al- Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan
terpenting dalam perekonomian adalah uang. Ia menjelaskan bagaimana
uang mengatasi permasalahan yang timbul dari pertukaran barter.a)
Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap UangAl-Ghazali mempunyai
wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai problema barter
yang dalam istilah modren disebut sebagai:1) Kurang memiliki angka
penyebut yang sama( lack of common denominator)2) Barang tidak
dapat dibagi- bagi(indivisibility of goods) dan3) Keharusan adanya
dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)Walaupun dapat
dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien karena
adanya perbedaan karakteristik barang- barang ( seperti unta dengan
kunyit).Fungsi uang menurut Ghazali adalah: Sebagai satuan hitung
(unit of account) Media penukaran (medim of exchange) Sebagai
penyimpan kekayaan (store of value)Adapun fungsi uang yang ketiga
ini menurutnya adalah bukan fungsi uang yang sesungguhnya. Sebab,
ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja dengan penimbunan
harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah
pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan
perbuatan zalim
b) Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan Dengan
IlahiDalam hal ini , Al- Ghazali menekankan bahwa uang tidak di
inginkan karena uang itu sendiri. Uang baru akan memiliki nilai
jika digunakan dalam suatu pertukaran. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa tujuan satu- satunya dari emas dan perak adalah untuk
dipergunakan sebagai uang ( dinar dan dirham). Ia mengutuk mereka
yang menimbun kepingan- kepingan uang atau mengubahnya menjadi
bentuk lain.Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan
penimbunan uang merupaka orang yang berbuat zalim dan menghilangkan
hikmah yang terkandung dalam penciptaannya. Allah berfirman dalam
surat at-Taubah ayat 24: dan orang-orang yang menyimpan emas dan
perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka
beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa
yang pedih
c) Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang Dalam hai ini ia
membolehkan kemungkinan uang representatif ( token money), seperti
yang kita kenal dengan istilah modern- sebuah pemikiran yang
mengantarkan kita pada apa yang disebut sebagai teori uang
feodalistik yang menyatakan bahwa hak bendahara publik untuk
mengubah muatan logam dalam mata uang merupakan monopoli penguasa
feoda.
d) Larangan RibaAl- Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga
atas utang piutang berarti membelokkan uang darifungsi utamanya,
yakni untuk mengukur kegunaan objek pertukaran. Oleh karena itu,
bila jumlah uang yang diterima lebih banyak dari pada jumlah uang
yang diberikan , akan terjadi perubahan standar nilai. Perubahan
ini terlarang.4. Peranan Negara dan Keuangan Publik
Dalam hal ini, ia tidak ragu- ragu menghukum penguasa. Ia
menganggab negara sebagai lembaga yang penting, tidak hanya bagi
berjalannya aktifitas ekonomi dari suatu masyarakat dengan baik,
tetapi juga untuk memenuhi kewajiban sosial sebagaimana yang diatur
oleh wahyu. Ia menyatakan: Negara dan agama adalah tiang- tiang
yang tidak dapat dipisahkan darisebuah masyarakat yang teratur.
Agama adalah fondasinya , dan penguasa yang mewakili negara adalah
penyebar dan pelindungnya; bila salah satu dari tiang ini lemah,
masyarakat akan ambruk.[footnoteRef:10][12] [10: ]
a. Kemajuan Ekonomi Melalui Keadilan, Kedamaian dan
StabilitasAl- Ghazali menitikberatkan bahwa untuk meningkatkan
kemakmuran ekonomi, negara harus menegakkan keadilan, kedamaian dan
keamanan , serta stabilitas. Ia menekankan perlunya keadilan serta
aturan yang adil dan seimbang.Al- Ghazali berpendapat negara
bertanggung jawab dalam menciptakan kondisi yang layak untuk
meningkatkan kemakmuran dan pembangunan ekonomi. Disamping itu , ia
juga menulis panjang lebar mengenai lembaga al- Hisbah, sebuah
badan pengawasan yang dipakai di banyak negara Islam pada waktu
ini. Fungsi utama badan ini adalah untuk mengawasi praktik- raktik
pasar yang merugikan.[footnoteRef:11][13] [11: ]
Gambaran Al- Ghazali mengenai peranan khusus yang dimainkan oleh
negara dan penguasa dituliskan dalam sebuah buku tersendiri yang
berjudul Kitab Nasihat Al- Muluk.
b. Keuangan PublikAl- Ghazali memberikan penjelasan yang rinci
mengenai peran dan fungsi keuangan publik. Ia memperhatikan kedua
sisi anggaran , baik sisi pendapatan maupun sisi pengeluaran.1)
Sumber- sumber Pendapatan NegaraBerkaitan dengan berbagai sumber
pendapatan negara, Al-Ghazali memulai dengan pembahasan mengenai
pendapatan yang seharusnya dikumpulkan dari seluruh penduduk, baik
muslim maupun non muslim, berdasarkan hukum Islam.Al- Ghazali
menyebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan yang halal adalah
harta tanpa ahli waris pemiliknya, tidak dapat dilacak, ditambah
sumbangan sedekahah atau wakaf yang tidak ada pengelolanya.Pajak-
pajak yang dikumpulkan dari non muslim berupa Ghanimah, Fai,jaziyah
dan upeti atau amwal al masalih. Ghanimah adalah pajak atas harta
yang disita setelah atau selama perang.Fai adalah kepemilikan yang
diperoleh tanpa melalui peperangan.jaziyah dikumpulkan dari kaum
non muslim sebagai imbalan dari dua keuntungan : pembebasan wajib
militer dan perlindungan hak- hak sebagai penduduk.Disamping itu,
Al- Ghazali juga memberikan pemikiran tentang hal- hal lain yang
berkaitan dengan permasalahan pajak seperti administrasi pajak dan
pembagian beban diantara para pembayar pajak.2) Utang PublikDengan
melihat kondisi ekonomi, Al-Ghazali mengzinkan utang publik jika
memungkinkan untuk menjamin pembayaran kembali dari pendapatan
dimasa yang akan datang. contoh utang seperti ini adalah revenue
bonds yang digunakan secara luas oleh pemerintah pusat dan lokal di
Amerika Serikat.
3) Pengeluaran PublikPenggambaran fungsional dari pengeluaran
publik yang direkomendasikan Al- Ghazali bersifat agak luas dan
longgar , yakni penegakan keadlan dan stabilitas negara, serta
pengembangan suatu masyarakat yang makmur.Mengenai pembangunan
masyarakat secara umum Al- Ghazali menunjukkan perlunya membangun
infrastruktur sosioekonomi.Al- Ghazali mengakui Konsumsi bersama
dan aspek spill- over dari barang- barang publik. Di lain tempat ia
menyatakan bahwa pengeluaran publik dapat diadakan untuk fungsi-
fungsi seperti pendidikan, hukum dan administrasi publik,
pertahanan dan pelayanan kesehatan. [footnoteRef:12][1] [12: ]
PEMIKIRAN EKONOMI ASY SYAIBANIA. Al-Kasb (Kerja)Dalam kitab
Al-Kasb (Kerja) ini, asy-Syaibani mendefinisikan al-Kasb (kerja)
sebagai mencari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal.
Dalam ilmu ekonomi, aktivitas demikian termasuk dalam aktivitas
produksi. Definisi ini mengindikasikan bahwa yang dimaksud dengan
aktivitas produksi dalam ekonomi Islam adalah berbeda dengan
aktivitas produksi dalam ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam,
tidak semua aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa disebut
sebagai aktivitas produksi, karena aktivitas produksi sangat
terkait erat dengan halal-haramnya suatu barang atau jasa dan cara
memperolehnya. Dengan kata lain, aktivitas menghasilkan barang dan
jasa yang halal saja yang dapat disebut sebagai aktivitas
produksi.Produksi suatu barang atau jasa, seperti yang dinyatakan
dalam ilmu ekonomi, dilakukan karena barang atau jasa itu mempunyai
utilitas (nilai-guna). Islam memandang bahwa suatu barang atau jasa
mempunyai utilitas jika mengandung kemaslahatan. Seperti yang
diungkapkan oleh Al-Syatibi, kemaslahatan hanya dapat dicapai
dengan memelihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa,
akal dan harta. Dengan demikian seorang muslim termotivasi untuk
memproduksi setiap barang atau jasa yang memiliki maslahah
tersebut. Hal ini berarti bahwa konsep maslahah merupakan konsep
yang objektif terhadap perilaku produsen karena ditentukan oleh
tujuan (maqasid) syariah, yakni memelihara kemaslahatan manusia di
dunia dan akhirat. Pandangan Islam tersebut tentu jauh berbeda
dengan konsep ekonomi konvensional yang menganggap bahwa suatu
barang atau jasa mempunyai nilai-guna selama masih ada orang yang
menginginkannya. Dengan kata lain, dalam ekonomi konvensional,
nilai guna suatu barang atau jasa ditentukan oleh keinginan (wants)
orang per orang dan ini bersifat subjektif. Dalam pandangan Islam,
aktivitas produksi merupakan bagian dari kewajiban imaratul kaum,
yakni menciptakan kemakmuran semesta untuk semua makhluk. Berkenaan
dengan hal tersebut , Al-Syaibani menegaskan bahwa kerja yang
merupakan unsur utama produksi mempunyai kedudukan yang sanga
penting kehidupan karena menunjang pelaksanaan ibadah kepada Allah
SWT dan karenanya, hukum bekerja adalah wajib. Hal ini didasarkan
pada dalil-dalil berikut:1. Firman Allah SWT. Apabila telah
ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu
beruntung. (Al-Jumuah 62:10)2. Hadits Rasulullah SAW. Mencari
pendapatan adalah wajib bagi setiap muslim.Al-Syaibani menyatakan
bahwa sesuatu yang dapat menunjang terlaksananya yang wajib,
sesuatu itu menjadi wajib pula hukumnya. Lebih jauh ia menguraikan
untuk melaksanakan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan
kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri dapat diperoleh
dengan mengkonsumsi makanan yang di dapat dari hasil kerja keras.
Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam
menunaikan kewajiban, maka hukum bekerja adalah wajib.Asy-Syaibani
juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para rasul terdahulu
dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani cara hidup mereka.
Dari uraian tersebut, tampak jelas bahwa orientasi bekerja dalam
pandangan Al-Syaibani adalah hidup untuk meraih keridhaan Allah
SWT. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk mengaktifkan roda
perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan distribusi
yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi
suatu negara.B. Kekayaan dan KefakiranMenurut Asy-Syaibani walaupun
telah banyak dalil yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya,
sifat-sifat fakir mempunyai kedudukan yang lebih tinggi. Ia
menyatakan apabila manusia telah merasa cukup dari apa yang
dibutuhkan kemudian bergegaas pada kebajikan, sehingga mencurahkan
perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi mereka.
Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikan sebagai kondisi yang
cukup (kifayah) bukan kondisi meminta-minta (kafafah). Dengan
demikian Asy-Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam kecukupan
baik untuk diri sendiri bukan keluarganya. Di sisi lain ia
berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya
hidup dalam kemewahan. Sekalipun begitu ia tidak menentang gaya
hidup yang lebih dari cukup selama kelebihan tersebut hanya
dipergunakan untuk kebaikan. C. Klasifikasi Usaha-usaha
PerekonomianAsy-Syaibani membagi usaha perekonomian menjadi empat
macam, yaitu sewa-menyewa, perdagangan, pertanian dan
perindustrian. Dari keempat usaha perekonomian tersebut,
Asy-Syabani lebih mengutamakan usaha pertanian. Menurutnya
pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat
menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya. Dari segi hukum
Asy-Syaibani membagi usaha-usaha perekonomian menjadi dua, yaitu
fardu kifayah dan fardu ain.
D. Kebutuhan-kebutuhan Ekonomi Al-Syaibani mengatakan bahwa
sesungguhnya Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan
yang tubuhnya tidak akan berdiri kecuali dengan empat perkara,
yaitu makan, minum, pakaian dan tempat tinggal. Para ekonom lain
mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu ekonomi. Jika
keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi, ia
akan masuk neraka karena manusia tidak akan dapat hidup tanpa
keempat hal tersebut.E. Distribusi PekerjaanImam Asy-Syaibani
menyatakan bahwa manusia dalam hidupnya selalu membutuhkan yang
lain. Asy-Syaibani menandaskan bahwa seorang yang fakir membutuhkan
orang kaya dan orang kaya membutuhkan tenaga orang miskin. Dari
hasil tolong menolong itu, manusia jadi lebih mudah dalam
menjalankan aktivitas kepada-Nya. Dalam konteks dmikian, Allah
berfirman (Al-Maidah/5:2) : dan saling menolonglah kamu sekalian
dalam kebaikan dan ketakwaanLebih jauh Asy-Syaibani menyatakan
bahwa apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan
kepada-Nya atau membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah
kepada-Nya, pekerjaan tersebut niscaya akan diberi ganjaran sesuai
dengan niatnya. Dengan demikian, distribusi pekerjaan seperti yang
di atas merupakan objek ekonomi yang mempunyai dua aspek secara
bersamaan, yaitu aspek religius dan aspek ekonomis.
Pemikiran ekonomi Abu UbaidDari beberapa literatur yang ada
mengatakan bahwa Abu Ubaid hidup semasa Daulah Abbasiyah mulai dari
Khalifah al Mahdi (158/775 M). Dalam penelitian Nejatullah Siddiqi,
masa al Mahdi ini ditemukan tiga tokoh terkenal yang menuliskan
karyanya di bidang ekonomi adalah, Abu Ubaid (w.224/834 H), Imam
Ahmad bin Hambal (164-241 M/780-855 M) serta Harist bi Asad al
Muhasibi (165-243 11/781-857 M). Gottschalk (Adiwarman, 2004)
menyebutkan bahwa dari segi latar belakang kehidupannya, Abu Ubaid
merupakan seorang ahli hadits (muhaddits) dan ahli fiqih (fuqaha)
terkemuka di masa kehidupannya. Selama menjabat qadi di Tarsus, ia
sering menangani berbagai kasus pertanahan dan perpajakan serta
menyelesaikannya dengan sangat baik.Alih bahasa yang dilakukannya
terhadap kata-kata dari bahasa Parsi ke bahasa Arab juga
menunjukkan bahwa Abu Ubaid sedikit-banyak menguasai bahasa
tersebut. Menurut Gottschalk, pemikiran Abu Ubaid ada kemungkinan
sangat dipengaruhi oleh pemikiran Abu Amr Abdurrahman Ibn Amr al
Azwa'i, karena seringnya pengutipan kata-kataAmrdalamal-Amwal,
serta dipengaruhi oleh pemikiran ulama-ulama Syariah lainnya selama
ia menjadi pejabat di Tarsus. Adiwarman (2004) menyebutkan bahwa
Abu Ubaid berhasil menjadi salah seorang cendekiawan muslim
terkemuka pada awal abad ketiga Hijriyah (abad kesembilan Masehi)
yang menetapkan revitalisasi system perekonomian berdasarkan
Al-Quran dan Hadits melalui reformasi dasar-dasar kebijakan
keuangan dan institusinya. Dengan kata lain, umpan-balik dari teori
sosio-ekonomi Islami, yang berakar dari ajaran Al-Quran dan Hadits,
mendapatkan tempat yang eksklusif serta diekspresikan dengan kuat
dalam pola pemikiran Abu Ubaid. Dalam pandangan ulama lainnya,
seperti Qudamah Assarkhasy mengatakan bahwa Abu Ubaid yang paling
pintar bahasa Arab (ahli Nahwu). Sedangkan menurut Ibnu Rohubah,
"Kita memerlukan orang seperti Abu Ubaid tetapi dia tidak
memerlukan kita". Dalam pandangan Ahmad bin Hambal, Abu Ubaid
adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya. Menurut Abu
Bakar bin Al-Anbari, Abu Ubaid membagi malamnya pada 3 bagian, 1/3
nya untuk tidur, 1/3 nya untuk shalat malam dan 1/3 nya untuk
mengarang. Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama
baginya dari pada menggoreskan pedang di jalan Allah. Menurut
lshaq, Abu Ubaid itu yang terpandai diantara aku. Dari
pendapat-pendapat tersebut terlihat bahwa Abu Ubaid cukup
diperhitungkan dan memiliki reputasi yang tinggi di antara para
ulama pada masanya. Ia hidup semasa dengan para Imam besar
sekaliber Syafi'i dan Ahmad bin Hambal. Kesejajarannya ini membuat
Abu Ubaid menjadi seorang mujtahid mandiri dalam arti tidak dapat
diidentikkan pada satu mazhab tertentu.Awal pemikirannya dalamKitab
al-Amwaldapat ditelusuri dari pengamatan yang dilakukan Abu Ubaid
terhadap militer, politik dan masalah fiskal yang dihadapi
administrator pemerintahan di propinsi-propinsi perbatasan pada
masanya. Berbeda dengan Abu Yusuf, Abu Ubaid tidak menyinggung
masalah kelangkaan sistemik dan penanggulangannya. Namun,Kitab
al-Amwaldapat dikatakan lebih kaya dariKitab al-kharajdari sisi
kelengkapan hadis serta kesepakatan-kesepakatan tentang hukum
berdasarkan atsar (tradisi asli) dari para sahabat, tabi 'in dan
tabi' at-tabiin. Abu Ubaid tampaknya lebih menekankan standar
politik etis penguasa (rezim) daripada membicarakan syarat-syarat
etisiensi teknis dan manajerial penguasa. Filosof Abu Ubaid lebih
kepada pendekatan teknis dan profesional berdasarkan aspek etika
daripada penyelesaian permasalahan sosio-politis-ekonomis dengan
pendekatan praktis.Dengan tidak menyimpang dari tujuan keadilan dan
keberadaban, yang lebih membutuhkan rekayasa sosial, Abu Ubaid
lebih mementingkan aspek rasio/nalar dan spiritual Islam yang
berasal dari pendekatan holistik dan teologis terhadap kehidupan
manusia sekarang dan nantinya, baik sebagai individu maupun
masyarakat. Atas dasar itu Abu Ubaid menjadi salah seorang pemuka
dari nilai-nilai tradisional, pada abad III hijriah/abad IX M, yang
berpendapat bahwa revitalisasi dari sistem perekonomian adalah
melalui reformasi terhadap akar-akar kebijakan keuangan serta
institusinya dengan berdasarkan al-Quran dan Hadist. Dengan kata
lain, umpan balik dari teori sosio-politik-ekonomi Islam yang
secara umum berasal dari sumber-sumber yang suci, al-Quran dan
Hadist mendapatkan tempat eksklusif serta terekspresikan dengan
kuat pada pemikirannya.Meskipun fakta menunjukkan bahwa Abu Ubaid
adalah seorang ahli fikih yang independen, moderat, dan handal
dalam berbagai bidang keilmuan membuat beberapa ulama Syafi'i dan
Hambali mengklaim bahwa Abu Ubaid adalah berasal dari kelompok
madzhab mereka.Tetapi dalam Kitab al-Amwal tidak ada disebut nama
Abu Abdullah Muhammad ibn Idris asy-Syafi'i maupun nama Ahmad Ibn
Hambal, melainkan ia sangat sering mengutip pandangan Malik ibn
Anas dan pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafi'i lainnya. Ia
juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad
ibn al-Hasan asy-Syaibani. Sementara itu, tuduhan yang dilontarkan
oleh Husain ibn Ali al Karabisi seperti yang dikemukakan oleh Hasan
ibn Rahman ar-Ramharmudzibahwa Abu Ubaid melakukan plagiat terhadap
Kitab fikih karyanya dari pandangan dan persetujuan asy-Syafi'i,
adalah sangat sulit untuk dibuktikan kebenarannya, hal itu bukan
hanya karena Abu Ubaid dan asy-Syafii belajar dari sumber yang sama
tetapi mereka juga belajar satu sama lainnya, sehingga tidak
mustahil jika terdapat kesamaan atau hubungan dalam
pandangan-pandangan mereka. Bahkan, kadang kala Abu Ubaid mengambil
posisi yang berseberangan dengan asy-Syafi'i tanpa menyebut
nama.
Kitab Al-amwal.Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya tentang
ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu
mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum
internasional. Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang
sistem keuangan publik islam terutama pada bidang administrasi
pemerintahan. Buku ini juga memuat sejarah ekonomi Islam selama dua
abad pertama hijriyah, dan merupakan sebuah ringkasan tradisi Islam
asli dari Nabi, para sahabat dan para pengikutnya mengenai
permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab al-Amwal, banyak
mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama
terdahulu. Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan
pandangan sebagian besar ulama madzhab Syafii lainnya, dan juga
mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad ibn
al Hasan asy-Syaibani.Beberorang meyakini bahwa Adam Smith dalam
bukunya yang legendaris, The Wealth of Nations, banyak dipengaruhi
kitab Al-Amwal. Arti kata Al-amwal sama dengan arti kata The
Wealth, yaitu kekayaan. Dalam Pembahasan Ekonomi Neoliberal
dihadapan 1.000 kiai di Pesantren Asshiddiqiyah, Kedoya, Jakarta
Barat, Sabtu (13/6), yang disampaikan Dr Adiwarman Karim dan
sejumlah ekonom lain serta Ketua MUI Pusat KH Maruf Amin,
dinyatakan bahwa The Wealth of Nation karya Adam smith banyak
menyinggung tentang ekonomi Islam, antara lain pada jilid dua dan
jilid lima.Imam Abu Ubaid dalam kitab berjudul Al Amwal memberikan
definisi tentang Sistem Keuangan Publik Islam, yaitu sebagai sunuf
al-amwal al-lati yaliha al-aimmah li al-raiyyah (sejumlah kekayaan
yang dikelola pemerintah untuk kepentingan subjek). Yang dimaksud
subjek di sini adalah rakyat. Dalam definisi ini terdapat empat
konsep penting, yaitu :1. istilahamwal, yang menjadi judul buku
mengacu kepada kekayaan publik,yang merupakan sumber keuangan utama
negara, dikelompokkan menjadi fay, khums, dan zakat.Fay yang
dimaksud adalah yang termasuk kharaj, jizyah dan penerimaan lainnya
seperti, penemuan barang-barang yang hilang (rikaz) kekayaan yang
ditinggalkan tanpa ahli waris, dan lain-lain.Khums adalah seperlima
dari hasil rampasan perang dan harta karun atau harta peninggalan
tanpa pemilik.2. Aimmahmengacu kepada otoritas publik yang diberi
kepercayaan untuk mengelola wilayah kekayaan publik.3.
Wilayahmengisyaratkan bahwa kekayaan itu tidak dimiliki otoritas,
tetapi merupakan kepercayaan demi kepentingan publik.4.
Istilahraiyyahmengacu pada publik umum yang terdiri atas subjek
muslim dan non muslim dalam administrasi Islam, yang mana kepada
mereka manfaat harta itu didistribusikan.
Dalam permasalahan zakat, Abu Ubaid berpendapat bahwa ada tiga
tingkatan pengelompokan sosio ekonomi yang terkait dengan status
zakat yaitu kalangan kaya yang terkena wajib zakat, kalangan
menengah yang tidak terkena wajib zakat tetapi juga tidak berhak
menerima zakat, kalangan penerima zakat (mustahik). Ia juga tidak
menyetujui penentuan batas tertinggi penerimaan zakat bagi para
mustahik. Ia menjelaskan bahwa dalam segi politik, kekayaan
seseorang di bagi menjadi dua, yaitu kekayaan yang tampak (amwal
zahiriyah) dan kekayaan yang tidak tampak (amwal batiniyah).
Menurutnya, pemerintah memiliki kekuatan politik hanya pada
kekayaan yang tampak (amwal zahiriyah). Sebaliknya, harta yang
tesembunyi (amwal batiniyah), pemerintah tidak memiliki hak politik
untuk memaksa orang membayar zakat dari jenis kekayaan ini.
berkebalikan dengan harta yang tampak, yang masuk dalam wilayah
zakat berkarakter politis, harta tersembunyi masuk dalam wilayah
zakat berkarakter religius.Menurut Abu Ubaid, penarikan dan
penyaluran zakat dilakukan oleh wilayah di mana masyarakat berada.
Jadi, Penarikan zakat yang dilakukan pada suatu komunitas
masyarakat tertentu, berarti penyalurannya dilakukan juga pada
komunitas masyarakat di mana zakat tersebut diambil. Seperti halnya
Muaz yang mengambil zakat dari penduduk Yaman (yang mampu),
kemudian menyalurkannya kembali kepada penduduk Yaman (yang
berhak). Dengan pola distribusi yang menjadikan daerah penarikan
sekaligus sebagai daerah penyaluran dapat memberikan pengaruh yang
sangat besar dalam menjaga dan menumbuhkan ukhuwah dan solidaritas
sosial dalam sebuah komunitis masyarakat. Mengenai Hal ini
menuturkan dengan kisah yang dialami imam terdahulu, yaitu:Al-Amwal
hal. 596:Pada masa Khalifah Abu Bakar dan Umar, Muadz terus
bertugas di sana. Abu Ubaid menuturkan dalam kitabnya, bahwa Muadz
pada masa Umar pernah mengirimkan hasil zakat yang dipungutnya di
Yaman kepada Umar di Madinah, karena Muadz tidak menjumpai orang
yang berhak menerima zakat di Yaman. Namun, Umar mengembalikannya.
Ketika kemudian Muadz mengirimkan sepertiga hasil zakat itu, Umar
kembali menolaknya dan berkata, Saya tidak mengutusmu sebagai
kolektor upeti, tetapi saya mengutusmu untuk memungut zakat dari
orang-orang kaya di sana dan membagikannya kepada kaum miskin dari
kalangan mereka juga. Muadz menjawab, Kalau saya menjumpai orang
miskin di sana, tentu saya tidak akan mengirimkan apa pun
kepadamu.Pada tahun kedua, Muadz mengirimkan separuh hasil zakat
yang dipungutnya kepada Umar, tetapi Umar mengembalikannya. Pada
tahun ketiga, Muadz mengirimkan semua hasil zakat yang dipungutnya,
yang juga dikembalikan Umar. Muadz berkata, Saya tidak menjumpai
seorang pun yang berhak menerima bagian zakat yang saya
pungut.(Al-Qaradhawi, 1995).Al-Amwal hal.256:Khalifah Umar Abdul
mengirim surat kepada Hamid bin Abdurrahman, gubernur Irak, agar
membayar semua gaji dan hak rutin di propinsi itu. Dalam surat
balasannya, Abdul Hamid berkata, Saya sudah membayarkan semua gaji
dan hak mereka tetapi di Baitul Mal masih terdapat banyak uang.
Umar memerintahkan, Carilah orang yang dililit utang tapi tidak
boros. Berilah dia uang untuk melunasi utangnya. Abdul Hamid
kembali menyurati Umar, Saya sudah membayarkan utang mereka, tetapi
di Baitul Mal masih banyak uang. Umar memerintahkan lagi, Kalau ada
orang lajang yang tidak memiliki harta lalu dia ingin menikah,
nikahkan dia dan bayarlah maharnya. Abdul Hamid sekali lagi
menyurati Umar,Saya sudah menikahkan semua yang ingin nikah tetapi
di Baitul Mal ternyata masih juga banyak uang. Akhirnya, Umar
memberi pengarahan,Carilah orang yang biasa membayar jizyah dan
kharaj. Kalau ada yang kekurangan modal, berilah pinjaman kepada
mereka agar mampu mengolah tanahnya. Kita tidak menuntut
pengembaliannya kecuali setelah dua tahun atau lebih.
(Al-Qaradhawi, 1995).
MOHAMMAD HATTA DAN PEMIKIRAN EKONOMINYAMohammad Hatta dilahirkan
pada tanggal 12 Agustus 1902 di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia
dikenal sebagai Bung Hatta. Nama kecil beliau ialah Muhammad Athar.
Bung Hatta juga dikenal sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Ia
menempuh pendidikan dasar di Sekolah Melayu, Bukittinggi, kemudian
pada tahun 1913-1916, ia melanjutkan pendidikannya di Sekolah
Europeesche Lagere (ELS) di kota Padang. Saat berusia 13 tahun,
Bung Hatta telah lulus ujian masuk ke HBS (setaraf SMU) di Batavia,
sekarang Jakarta. Namun ibunya menolak dan ingin Hatta tetap di
Padang dengan alasan usianya masih muda. Akhirnya ia melanjutkan
pendidikannya di MULO, Padang, dan pada tahun 1919, beliau ke
Batavia untuk belajar di HBS. Hatta menyelesaikan studinya pada
tahun 1921 dan kemudian melanjutkan di Rotterdam, Belanda. Ia
belajar ilmu perdagangan di Nederland Handelshogeschool (Pusat
Pengajian Perdagangan Rotterdam, sekarang Erasmus
Universiteit).Pada hari Senin tanggal 12 Agustus 2002 media
mengekspos besar-besaran sebagai Hari ulang tahun Bung Hatta yang
ke-100. Beliau Proklamator Kemerdekaan Republik Indonesia, bersama
Bung Karno, berani membubuhkan tanda tangannya pada naskah
proklamasi yang mengantarkan kita menjadi bangsa merdeka dan
berdaulat, sejajar dengan bangsa-bangsa di dunia. Beliau adalah
bapak bangsa sejati. Keberanian membubuhkan tanda tangan itu bukan
tanpa risiko. Oleh penjajah, mereka dituduh sebagai pemimpin
pemberontakan, makar, penggulingan kekuasaan, bahkan kemungkinan
akan dinyatakan sebagai penjahat perang. Sehingga tak heran bila
ketika itu ada tokoh pergerakan kemerdekaan yang secara
terang-terangan menolak untuk membubuhkan tanda tangan.Meskipun
Jepang telah takluk dalam Perang Pasifik dan PD II, tetapi Jepang
masih belum memberikan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia. Di lain
pihak, Belanda yang telah lama menjajah kepulauan nusantara dan
hanya 3,5 tahun diselingi Jepang, masih bernafsu untuk kembali
menduduki bekas koloninya. Maka, bila rakyat Indonesia tidak bisa
bertahan dan mempertahankan kemerdekaan, Bung Karno dan Bung Hatta
lah yang paling dianggap bertanggung jawab atas segala kekacauan
dan peralihan kekuasaan pemerintahan secara illegal. Tetapi Bung
Karno dan Bung Hatta telah yakin pada diri mereka, bangsa Indonesia
telah sadar akan arti pentingnya kemerdekaan. Bangsa Indonesia akan
mempertahankan kemerdekaan, bukan hanya untuk menyelamatkan mereka
berdua, tetapi menyelamatkan kebebasan dan kesempatan hidup
berbangsa dan bernegara secara berdaulat. Menyelamatkan harga diri
bangsa. Proklamasi kemerdekaan adalah ungkapan paling lantang akan
semangat besar untuk hidup sebagai bangsa yang berdiri sendiri dan
tidak dikangkangi penjajah. Proklamasi kemerdekaan, itulah hadiah
terbesar yang diterima bangsa Indonesia dari dua tokoh besar yang
lahir satu abad silam.Pada saat memperingati 100 tahun Bung Hatta
delapan tahun silam, yang dilahirkan di Bukittinggi, 12 Agustus
1902 diwarnai dengan berbagai seruan untuk meneladani moralitas
Bung Hatta. Berbagai media massa mengkampanyekan paling tidak tiga
nilai baik Bung Hatta, santun, jujur, dan hemat. Nilai-nilai yang
menjadi kepribadian Bung Hatta itu sampai sekarang tentu masih
sangat relevan untuk dilaksanakan. Sepanjang hidupnya, Bung Hatta
berperilaku senantiasa menampilkan sikap yang santun terhadap siapa
pun. Baik kawan maupun lawan. Terhadap Bung Karno yang pada masa
sebelum kemerdekaan melakukan kerja sama cukup erat namun kemudian
mereka tidak dapat bekerja sama secara politik, tetapi sebagai
sesama manusia, Bung Hatta masih menghormatinya. Ketika Bung Karno
sakit, Bung Hatta menengoknya. Demikian pula sebaliknya. Kesantunan
menjadi sikap dalam hidupnya untuk saling menghargai. Bahkan ada
ungkapan, bila ada pejabat negara yang paling jujur, hampir seluruh
bangsa Indonesia akan menyebut nama Bung Hatta. Bukan hanya jujur,
tetapi ia juga uncorruptable. Kejujuran hatinya membuat dia tidak
rela untuk menodainya melakukan tindak korupsi.Seorang mantan wakil
presiden, orang yang menandatangani proklamasi kemerdekaan, orang
yang memimpin delegasi perundingan dengan Belanda, negara yang
pernah menjajahnya, hingga Belanda mau mengakui kedaulatan
Indonesia, ternyata tidak mampu hanya untuk sekadar membeli
sepasang sepatu bermerek terkenal. Bahkan, dalam berbagai versi
disebutkan, untuk membayar rekening air dan listrik, Bung Hatta
yang mengandalkan hidupnya dari uang pensiunan seorang wakil
presiden ternyata tidak cukup. Apalagi untuk membeli keperluan
lain, seperti sepatu, yang dianggap oleh dirinya sebagai pemenuhan
kebutuhan pribadi. Ia masih memikirkan kehidupan keluarga, istri
dan tiga orang anaknya. Sampai akhir hayatnya Bung Hatta dikenal
sebagai orang yang tetap sederhana. Dengan pengalaman dan
pergaulannya yang sangat luas, serta memiliki pemahaman yang
mendalam di bidang ekonomi, hukum, pemerintahan, rasanya tidak akan
sulit bagi Bung Hatta untuk berlaku tidak sederhana. Ia bisa
menjadi orang yang kaya secara materi, dan tidak perlu merasakan
kesulitan dalam hidupnya. Tetapi, visi keneragarawannya mengatakan
dia harus menjaga simbol kenegaraan. Bukan untuk dirinya sindiri.
Maka, ia menikmati hidup dari uang pensiun. Dengan jumlah yang
tidak seberapa, namun mampu melaksanakan gaya hidup yang hemat,
uang pensiun itu cukup menghidupinya sekeluarga. Bagi Bung Hatta,
tentu saja sangat mudah menerima tawaran bekerja dari berbagai
perusahaan, baik lokal maupun internasional. Tetapi, bagaimana
dengan citra wakil presiden. Bagaimana mungkin seorang mantan wakil
presiden menjadi konsultan perusahaan A. Apakah hal itu tidak
memunculkan bias dalam persaingan usaha, mengingat hebatnya
pengalaman Bung Hatta? Inilah yang Bung Hatta hindari. Ia ingin
menjaga nama baik. Bukan hanya dirinya sendiri, tetapi nama baik
bangsa dan negara.Sebagai orang yang memiliki kesempatan memperoleh
pendidikan lebih tinggi dibanding saudara-saudaranya sebangsa dan
setanah air, Hatta merasa memiliki kewajiban untuk ikut menyebarkan
pemikiran dan pemahaman, terutama dalam hal kehidupan dalam sebuah
negara merdeka. Ia banyak menulis tentang bagaimana sengsaranya
rakyat yang hidup dalam jajahan bangsa lain. Sebaliknya, bangsa
yang menjajah hanya tinggal menikmati hasil dari keringat rakyat
yang dijajah. Dalam sistem ini, secara tegas Hatta tidak melihat
adanya keadilan. Untuk menyadarkan rakyat akan pentingnya arti
kemerdekaan, bukan hal yang mudah. Jauh lebih sulit lagi ketika
harus menjelaskan apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh
dilakukan ketika sudah merdeka. Rakyat Indonesia harus memiliki
kesamaan pandang dalam menatap masa depan. Untuk itu rakyat perlu
dididik. Yang paling mendasar adalah mereka bebas dari buta huruf,
baca dan tulis . Sehingga pengetahuan mereka akan terus terbuka
dengan membaca berbagai informasi yang beragam. Diharapkan nantinya
akan muncul pemahaman yang baik mengenai perjalanan mengisi
kemerdekaan. Tentu, membaca tidak akan berguna banyak bila tidak
ada bahan bacaan. Maka, Bung Hatta secara konsisten membuat tulisan
yang menggugah semangat kemerdekaan, mewujudkan cita-cita negara
setelah kemerdekaan, mengelola negara dengan baik agar tidak
menyusahkan rakyat di era yang sudah merdeka, meningkatkan
kesejahteraan rakyat, dan berbagai tulisan lainnya.Antara tulisan
dan perbuatan Bung Hatta dengan sikap dan tindakannya tidak terjadi
pertentangan. Ia adalah orang yang konsisten menjalankan sikap yang
telah diambilnya. Tak perlu heran ketika tiba-tiba Bung Hatta
mengundurkan diri dari jabatan Wakil Presiden RI pada 1 Desember
1956, karena merasa tidak cocok lagi terhadap Bung Karno, presiden
Indonesia saat itu. Ia menganggap Bung Karno sudah mulai
meninggalkan demokrasi dan ingin memimpin segalanya. Sebagai
pejuang demokrasi, ia tidak bisa menerima perilaku Bung Karno.
Padahal, rakyat telah memilih sistem demokrasi yang mensyaratkan
persamaan hak dan kewajiban bagi semua warga negara dan
dihormatinya supremasi hukum. Bung Karno mencoba berdiri di atas
semua itu dengan alasan rakyat perlu dipimpin dalam memahami
demokrasi dengan benar. Jelas, bagi Bung Hatta ini adalah sebuah
contradictio in terminis. Di satu sisi ingin mewujudkan demokrasi,
sedangkan di sisi lain duduk di atas demokrasi. Pembicaraan,
teguran, dan peringatan terhadap Bung Karno, sahabatnya sejak masa
perjuangan kemerdekaan, telah dilakukan. Tetapi, Bung Karno tidak
berubah sikap. Hatta pun tidak menyesuaikan sikap dengan Bung
Karno. Karena merasa tidak mungkin lagi menjalin kerja sama,
akhirnya Bung Hatta memilih mengundurkan diri dan memberi
kesempatan kepada Bung Karno untuk membuktikan konsepsinya.Bung
Hatta memang tidak pernah menjadi presiden republik ini meski bila
ditinjau dari jasa, pengetahuan, peran, dan risiko yang diambilnya,
ia layak untuk menduduki jabatan itu. Kesempatan memang tidak
datang padanya. Tetapi, ia telah menjadi bapak bangsa dengan
moralitas tinggi. Ia adalah cermin dan pedoman dari tokoh yang
lurus dan bersih serta memiliki nama baik yang senantiasa
dijaganya. Sampai kini, nama Bung Hatta tetap terjaga baik dan
harum.Hatta menginginkan agar koperasi menjadi wadah ekonomi yang
dapat menolong masyarakat dari kemelaratan dan keterbelakangan.
Banyak jasa bung hatta dalam perkembangan koperasi di Indonesia.
Hal ini jelas dari gagasan Bung Hatta agar kekuatan-kekuatan
ekonomi ada ditangan rakyat. Agar kekuatan ekonomi dikuasai oleh
rakyat banyak dan bukan dikuasai oleh perusahaan, koperasi adalah
satu-satunya wadah. Untuk tujuan itu, Bung Hatta bersama dengan
tokoh lainnya ikut aktif merintis Dewan Koperasi Indonesia (DKI),
Gerakan Koperasi Indonesia (GKI), dan Kesatuan Koperasi Seluruh
Indonesia (KOKSI).Konsep pemikiran Bung Hatta banyak diterima pada
kongres koperasi I di Tasikmalaya dan Kongres Koperasi II. Beliau
juga member gagasan pendirian Sekolah Menengah Ekonomi Jurusan
Koperasi dan bahkan pendidikan tinggi koperasi.Disisi lain kondisi
kapitalisme saat ini telah menggerogoti seluruh aspek kehidupan
kita. Dari tukang becak sampai para pejabat tinggi. Tidak pandang
bulu sadar atau tidak pemikiran kita telah terkontaminasi tradisi
kapitalisme. Maka tidak heran banyak suap menyuap di peradilan.
Gayus bisa leluasa berkeliaran kemana saja saat dipenjara. Ini
semua karena Gayus memegang capital. Hal ini tidak mungkin terjadi
ketika yang dipenjara tidak punya apa-apa. Harta telah mempengaruhi
segalanya. Keputusan hakim bahkan bias dibeli dengan harta. Penjara
bias dibeli dengan harta. Penjara yang tadinya untuk menjerakan
sekarang menjadi menyenangkan bagi yang beruang. Kerakusan pemilik
modal telah menjarah kehidupan masyarakat. Nah untuk melawan para
pemilik modal yang rakus ini kita memerlukan komunitas-komunitas
ekonomi yang mandiri. Komunitas-komunitas ekonomi yang memiliki
komitmen untuk mensejahterakan seluruh anggota komunitasnya dan
mencoba terus berjuang melawan kerakusan dan keserakahan para
pemilik modal yang menjadi tuan-tuan dalam ranah kapitalisme. Dan
satu-satunya sistem ekonomi yang memiliki kekuatan komunitas ini
mennurut Mohammad Hatta adalah koperasi. Mohammad Hatta salah satu
proklamator kemerdekaan bangsa dan negara ini telah mengajari kita
bagaimana caranya. Kita sebaiknya menggali kembali pemikiran Bapak
Guru bangsa ini sambil melakukan penyempurnaan yang masih dirasa
kurang. Satu-satunya sistem ekonomi dari, oleh dan untuk komunitas
adalah koperasi. Produk-produk koperasi bisa terus dikembangkan.
Bahkan segala kelebihan sistem perbankan pun bisa kita adopsi pada
koperasi ini yang tentu saja koperasi akan memihak kesejaheraan
anggoata-anggotanya bukan para pemilik modal yang rakus dan
korup.Sekuat apapun peruasahaan besar (saya menganalogikan vendor
dalam dunia software) tidak akan berpengaruh banyak terhadap
komunitas-komunitas (anggota koperasi) jika masing-masing diri
tetap berkomitmen terhadap komunitasnya, seperti kehebatan .NET
tidak mempu memalingkan komunitas Java yang semakin hari semakin
terasa kekuatannya. Sampai-sampai Bill Gates pun kelimpungan
bagaimana cara membendung kekuatan komunitas ini. Satu-satunya
kekuatan yang mampu menggulingkan tahta kekuasaan kapitalisme dari
kerajaan sistem ekonomiadalah komunitas koperasi. Akhirnya saya
ingin menutup tulisan ini dengan kalimat Kekuatan itu adalah
komunitas. Islam tegak dengan kekuatan, dan kekuatan ada dalam
jamaah. Bagi teman-teman pergerakan yel-yel rakyat bersatu tak bisa
dikalahkan, memang benar adanya. Hanya saja untuk menyatukannya
butuh strategi dan -dalam dunia kapitalis- kekuatan ekonomi.