CATATAN DAN REKOMENDASI LKPJ GUBERNUR JAWA TIMUR TAHUN 2011
BIDANG KESEJAHTERAAN MASYARAKAT (KESRA)
Di dalam Indikator Kinerja Utama (IKU) Pembangunan Provinsi Jawa
Timur, setidaknya terdapat tiga indikator yang bisa dikaji dalam
kerangka kebijakan bidang kesejahteraan masyarakat. Ketiga
indikator tersebut adalah; Tingkat pengangguran Terbuka, Angka
Kemiskinan, dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dalam kerangka
analisis atas capaian kinerja ketiga IKU tersebut, berikut
dipaparkan sejumlah catatan dan rekomendasi berdasarkan kajian atas
LKPJ Gubernur Jawa Timur tahun 2011.
I.
KEBIJAKAN KETENAGAKERJAAN Dilaporkan dalam LKPJ Gubenur Jawa
Timur 2011, bahwa angka TPT
(Tingkat Pengangguran Terbuka) di Jawa Timur tahun 2011 mencapai
4,16 persen, atau mengalami penurunan sebesar 0,09 point persen
dibanding nilai TPT tahun 2010 yaitu sebesar 4,25 persen.
Sebagaimana dipaparkan dalam Tabel 1 berikut ini, Tingkat
Partisipasi Angkatan Kerja ( TPAK ) di periode yang sama mengalami
kenaikan 0,41 point persen dibanding TPAK Tahun 2010 yang mencapai
69,08 persen menjadi 69,49 persen. Tabel 1
1
Dari data tersebut di atas, memang memberi gambaran adanya
peningkatan partisipasi angkatan kerja yang diiringi dengan
menurunnya tingkat pengangguran. Hal ini berarti situasi
ketenagakerjaan di Jawa Timur relatif membaik dibandingkan dengan
kondisi tahun sebelumnya. Namun bila ditelaah lebih jauh, utamanya
pada realitas lapangan, maka patut dicatat beberapa kondisi
ketenagakerjaan di Jawa Timur sebagai dasar rekomendasi peningkatan
kinerja kebijakan Pemprov. Jawa Timur di tahun yang akan datang;
Catatan Jumlah pengangguran di Jawa Timur sejak tiga tahun terakhir
memang menunjukkan tren menurun dengan adanya peningkatan jumlah
tenaga kerja yang terserap pada lapangan kerja utama. Namun harus
diakui bahwa kecenderungan peningkatan penyerapan tenaga kerja
tersebut lebih ditunjukkan oleh dominannya penyerapan tenaga kerja
di sektor primer pertanian.
2
Di lain sisi, kita mengatahui bahwa pekerja di sektor pertanian
masih dalam kategori jenis pekerja informal, dimana relatif tidak
membutuhkan keahlian khusus sehingga bisa dimasuki oleh siapa saja
yang sudah masuk usia kerja. Realitasnya, selain pertumbuhan
produktivitas sektor pertanian ini lebih kecil dibanding sektor
lainnya, pertumbuhan
produktivitasnya dari tahun ke tahun tidak mampu memberi surplus
atau insentif kesejahteraan bagi tenaga kerja di sektor ini.
Akibatnya sektor pertanian tidak mampu mencegah tenaga kerjanya
untuk berpindah ke sektor lainnya. Rekomendasi: Dengan kondisi
tingkat kesejahteraan pekerja di sektor pertanian yang masih sangat
rentan oleh fluktuasi ekonomi, maka diperlukan kebijakan sektor
pertanian yang mampu; 1. Meningkatkan asupan investasi teknologi
dan permodalan sektor
pertanian dengan semakin tegas mendorong dunia Perbankan agar
tidak selalu berlindung dengan alasan tingginya NPL (Non
Performance Loan) dan besarnya resiko kredit di sektor pertanian.
2. Meningkatkan kinerja penyuluhan pertanian berbasis kelompok tani
untuk meningkatkan adopsi inovasi (terutama bibit unggul),
penguasaan sumberdaya teknologi serta pendidikan petani. Dan;3.
Menjaga kestabilan harga produksi pertanian sebagai upaya
menjaga
tingkat surplus yang bisa berdampak pada kesejahteraan pekerja
tani.
3
Catatan
Pada 2011, dilaporkan bahwa angka Penempatan Antar Kerja
Lokal (AKL) meningkat sampai 105,38%. Salah satu yang menjadi
pemicu peningkatan AKL 2011 atau selama tiga tahun terakhir adalah
mobilisasi tenaga kerja antar daerah di Jawa Timur akibat Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK). Meski tidak terlaporkan secara khusus,
mobilisasi tenaga kerja dari kota pusat industri ke kota asal jelas
dominan diakibatkan PHK yang dilakukan perusahaan yang berhenti
usaha. Kembalinya tenaga kerja ke kota asal ini malah sering
menimbulkan problem sosial dan ekonomi tersendiri di kota
asalnya.
Sebagian besar pekerja dalam kategori AKL ini beralih
pekerjaan ke sektor-sektor informal yang masih rentan
kemiskinan, seperti Pedagang Kaki Lima ataupun pedagang asongan.
Sementara AKL di pedesaan banyak beralih ke buruh tani dan
seringkali semakin meningkatkan angka pengangguran terselubung,
sekaligus angka ketergantungan di desa. Oleh karena itu,
peningkatan AKL yang begitu tinggi tahun 2011, harus diwaspadai
pula sebagai hijrahnya pengangguran dari kota ke desa.
Rekomendasi:
Terkait dengan kondisi di atas Pemprov Jawa Timur hendaknya
skema pelaksanaan program pembangunan pedesaan dan
memiliki
pengentasan kemiskinan yang mampu menyerap mantan tenaga kerja
di sektor industri perkotaan ini, dalam skema program yang ada.
Dengan kata lain, seharusnya program pemberdayaan masyarakat
pedesaan bukan4
sekedar dirancang untuk orang miskin, melainkan juga untuk
mencegah para usia kerja (korban PHK) yang di ambang garis
kemiskinan (near poor) agar tidak terjerumus menjadi miskin total
(destitute).
Memberikan insentif kebijakan daerah (fiskal maupun non
fiskal)
bagi kelompok industri yang berbasis bahan baku lokal, berwatak
padat karya dan berada di pedesaan. Hal ini untuk meningkatkan daya
serap tenaga kerja di sektor sekunder (industri dan konstruksi)
untuk mendorong Propinsi Jawa Timur sebagai daerah yang memiliki
keunggulan komparatif. Provinsi yang lebih mampu menjadi daerah
produsen daripada daerah konsumen. Provinsi yang tidak sekedar
menjadi pasar bagi produk daerah atau negara lain yang mampu
memanfaatkan peluang CAFTA dan era perdagangan bebas.
II.
PENANGGULANGAN KEMISKINAN
Selama kurun waktu 7 tahun terakhir, perkembangan angka
kemiskinan di Provinsi Jawa Timur menunjukkan penurunan dari tahun
ke tahun kecuali pada tahun 2006. Angka kemiskinan pada tahun 2011
sebesar 13,85 persen dan angka ini sudah mencapai angka yang
ditargetkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur (15,0-15,5 persen).
Pada tahun sebelumnya (2010) penduduk miskin berjumlah 5,53 juta
atau sebesar 15,26 persen dari total penduduk di Jawa Timur. Selama
kurun waktu setahun, persentase penduduk miskin mengalami penurunan
sebesar 1,03 persen poin. Sebagaimana tergambar dalam Grafik
berikut;
5
Grafik 1
Salah satu strategi pembangunan Jawa Timur yaitu PRO POOR dimana
terutama dilaksanakan dalam 3 Program Prioritas yaitu Bosda,
Jamkesda dan Jalinkesra. Dari ketiga program prioritas tersebut,
bisa dicatat sejumlah temuan; a. BOSDA
Terkait dengan pelaksanaan BOSDA yang salah satunya
diperuntukkan untuk lembaga Madin (Madrasah Diniyah), persoalan
mendasar dari program ini adalah masalah pencairan anggaran dari
Pemerintah Propinsi yang sering dinilai tidak tepat waktu. Pada
Tahun 2011, sampai memasuki triwulan
terakhir, pencairan anggaran bantuan Pemprov. Jawa Timur belum
masuk ke rekening Madin. Rekomendasi Bosda:6
Persoalan keterlambatan realisasi anggaran bantuan Pemprov
kepada lembaga Madin, hendaknya tidak hanya dipandang sebagai
persoalan administratif keuangan daerah semata. Problem yang hampir
setiap tahun terjadi khususnya dalam belanja bantuan hibah dan
bantuan sosial, tentu terkait dengan upaya peningkatan kualitas
pelayanan aparatur SKPD pelaksana kegiatan pengguliran anggaran
bantuan dan hibah Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Selain rekomendasi di atas, Pemprov. Jatim hendaknya juga
semakin memperjelas pola pelaksanaan Nota kesepahaman (MoU) antara
Pemprop dan Pemerintah Kabupaten/kota di dalam merealisasikan
program bantuan biaya pendidikan sehingga dicapai persepsi
pelaksanaan dan komitmen sharing anggaran yang memadai.
b.
JAMKESDA
Keberhasilan pencapaian tujuan program Jamkesda setidaknya
tergantung dari pola koordinasi/kerjasama yang baik antara Pemprov.
Jatim dengan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sayangnya, sejauh ini masih
muncul persoalan dimana pasien miskin tidak mendapatkan pelayanan
Jamkesda akibat tidak masuk database penerima dan kekurangan
anggaran Jamkesda di RSUD Provinsi. Sampai Tahun 2011, jumlah
peserta program Jamkesda di Jatim tercatat sebanyak 1.411.742 jiwa.
Sementara yang mendapatkan kartu Jamkesda baru 1.256.811 jiwa, atau
masih ada sekitar 200 ribu orang yang belum terdaftar.
7
Rekomendasi Jamkesda Sebagaimana kita ketahui, sebagian besar
kewenangan penyelenggaraan urusan kesehatan telah
didesentralisasikan kepada Kabupaten/kota. Untuk itu Pemprov. Jawa
Timur harus mampu;o
Memastikan bahwa penerima/pemanfaat Kartu Jamkesda dan Surat
Pernyataan Miskin (SPM) benar-benar tervalidasi di tingkat
Kabupaten/kota. Hal ini utamanya untuk mengurangi kecenderungan
kekurangan pembiayaan jamkesda Provinsi akibat adanya
kabupaten/kota yang menerbitkan SPM dengan mudah. Tanpa
pengendalian terhadap pemanfaatan SPM oleh pihak pemerintah
Kabupaten/Kota, maka anggaran Jamkesda pada APBD Provinsi Jatim
akan sangat rentan penyimpangan oleh pihak Pemerintah
Kabupaten/kota.o
Memastikan adanya alokasi anggaran kesehatan dalam APBD Provinsi
Jawa Timur dan Kabupaten/kota sesuai pembiayaan pelayanan kesehatan
sebagaimana UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 171 ayat
(2) dinyatakan bahwa Besar anggaran kesehatan pemerintah daerah
provinsi, kabupaten/kota dialokasikan minimal 10% (sepuluh persen)
dari anggaran pendapatan dan belanja daerah di luar gaji. Terutama,
hal ini untuk memastikan bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota
menyediakan anggaran yang memadai untuk
mendukung pelaksanaan Jamkesda di tingkat Kabupaten/Kota. o
Memastikan bahwa MOU (Perjanjian Kerjasama) antara Gubernur dengan
Kabupaten/Kota dalam pelaksanaan Jamkesda secara efektif
8
dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota. Utamanya bagaimana Kab/kota
mematuhi jumlah dana sharing yang seharusnya dipenuhi.
c.
JALINKESRA
Program Jalin Kesra dirancang khusus sebagai bentuk keberpihakan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap Rumah Tangga Sangat Miskin
melalui bantuan cash transfer berupa barang/natura produktif serta
bantuan uang dan pangan. Ini sejalan dengan Peraturan Presiden
Nomor 15 Tahun 2010 tentang Percepatan Penanggulangan Kemiskinan,
dimana Program Percepatan
Penanggulangan Kemiskinan terdiri dari : Pertama, Kelompok
program bantuan sosial terpadu berbasis keluarga, bertujuan untuk
melakukan pemenuhan hak dasar, pengurangan beban hidup, dan
perbaikan kualitas hidup masyarakat miskin; Kedua, Kelompok
program
penanggulangan kemiskinan berbasis pemberdayaan masyarakat,
bertujuan untuk mengembangkan potensi dan memperkuat kapasitas
kelompok masyarakat miskin untuk terlibat dalam pembangunan Ketiga,
yang didasarkan pada prinsip-prinsip
pemberdayaan
masyarakat;
Kelompok
program
penanggulangan
kemiskinan berbasis pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil,
bertujuan untuk memberikan akses dan penguatan ekonomi bagi pelaku
usaha berskala mikro dan kecil. Sejak dilaksanakan Jalan Lain
menuju Kesejahteraan Masyarakat
(Jalinkesra), dilaporkan bahwa Jalinkesra telah menjangkau
sejumlah 162.340 RTSM. Selama tiga tahun pelaksanaannya, dengan
dilaksanakan oleh 7 SKPD/Biro telah teralokasikan anggaran sejumlah
Rp.655.216.352.372,-.
9
Sebagai kebijakan pro poor yang cukup menjadi andalan Pemprov.
Jatim maka beberapa catatan atas pelaksanaan Jalinkesra adalah;
Kapasitas
tenaga
pendamping masyarakat
masih perlu ditingkatkan.
Utamanya adalah dari sisi kemampuan mengidentifikasi/memahami
akar masalah ketidakberdayaan RTSM dan kemampuan komunikasi
masyarakat. Selain akibat pola rekrutmen tenaga pendamping yang
belum berbasis pada pertimbangan kemampuan intervensi kesejahteraan
sosial, banyak kalangan tenaga pendamping yang tidak mampu
membangun koordinasi yang baik dengan Pemerintah Kabupaten/kota.
Sekaligus Pemkab/Pemkot khususnya pihak kecamatan yang masih sering
mengabaikan keberadaan dan peran Tenaga Pendamping.
Masih terdapat RTSM yang merasa tidak memerlukan materi bantuan
yang diberikan oleh Pemprov. Jatim. Hal ini terutama pada kasus
RTSM yang dari sisi sumberdaya manusianya tidak mampu memanfaatkan
material bantuan untuk usaha dalam meningkatkan taraf pendapatan
keluarga, dan hanya menginginkan dalam bentuk bantuan berupa uang.
Sehingga segera setelah pelaksanaan akad penerimaan bantuan, RTSM
yang tidak memiliki kemauan dan kemampuan memanfaatkan material
bantuan sering menjual material bantuan yang diterima ke pihak
lain.
Rekomendasi Jalinkesra; 1. Meningkatkan kapasitas kerja
intervensi kesejahteraan masyarakat terhadap 318 pendamping,
sekaligus peran Crisis Center Pendampingan di 29 Kabupaten di Jawa
Timur. Peningkatan kapasitas terutama harus dilakukan melalui
intensitas monitoring, evaluasi dan supervisi di setiap10
daerah dengan mengoptimalkan kinerja 7 SKPD/biro pelaksana di
tingkat Pemprov. Jatim bersama Pemkab/Pemkot.2. Meningkatkan
akurasi data RTSM potensial penerima bantuan yang
mampu secara konsisten mengelola material bantuan sesuai Menu
Permintaan masing-masing (Peternakan, Pertanian, Perikanan,
Pengrajin, Perdagangan, Perkebunan dan Menu Permintaan Non
Produktif). Pelajaran berharga dari pelaksanaan agenda
penaggulangan kemiskinan di Jawa Timur yaitu bahwa upaya
memberantas kemiskinan tidaklah mungkin dapat berhasil jika
dilakukan secara sepotong-sepotong, temporer, tidak kontekstual,
dan apalagi jika semuanya dilakukan dengan tidak konsisten. Untuk
itu pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu menyusun strategi,
kebijakan, dan program
penanggulangan kemiskinan daerah sesuai dengan karakteristik dan
sumber daya masing-masing. Di Jawa Timur sendiri, peran strategis
Komite Penanggulangan Kemiskinan (KPK) Provinsi Jatim tentu harus
semakin dioptimalkan.
III.
INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
merupakan indikator keberhasilan
upaya membangun kualitas hidup manusia, dan juga untuk melihat
seberapa jauh pertumbuhan ekonomi berdampak pada pembangunan
manusia. Dengan
mengevaluasi angka IPM, keterbandingan/posisi pembangunan
manusia antar kabupaten/kota di Jawa Timur dapat diketahui baik
dari angka IPMnya sendiri maupun dari tiga komponen pembentuknya
(indikator kesehatan, indikator pendidikan dan indikator daya
beli).
11
Selama periode 2007-2011 angka IPM di Jawa Timur secara umum
menunjukkan kenaikan. Pada tahun 2007 nilainya 69,78, dan
selanjutnya meningkat terus menjadi 70,38 (2008); 71,06 (2009);
71,62 (2010) dan pada tahun 2011 mencapai 72,15. Tabel 2
Catatan IPM:
Secara kapasitas fiskal daerah, dibanding Jawa Tengah dan Jawa
Barat, APBD Jawa Timur relatif lebih besar. Oleh karena itu dengan
rangking IPM Jawa Timur sebesar 72,15 atau di posisi 18 di bawah
kedua Provinsi tersebut, tentu harus menjadi perhatian serius,
utamanya dalam kebijakan fiskal daerah di masa mendatang.
Dari hasil penghitungan IPM tahun 2011, diperoleh gambaran bahwa
19 Kabupaten/Kota mempunyai IPM lebih tinggi daripada IPM Jawa
Timur, sedangkan 19 kabupaten lainnya memiliki nilai IPM lebih
rendah12
daripada angka IPM Jawa Timur. Nilai IPM tertinggi dicapai oleh
Kota Blitar sebesar 77,89 sedangkan urutan kedua ditempati Kota
Surabaya dengan angka IPM 77,87 dan urutan ketiga adalah Kota
Malang sebesar 77,83. Urutan terendah IPM adalah Kabupaten Sampang
dengan nilai 60,49, namun angka ini lebih baik jika dibandingkan
dengan angka tahun sebelumnya yang hanya sebesar 59,70.
Rekomendasi IPM:
Masih adanya 19 kabupaten/kota yang angka IPMnya di bawah
ratarata IPM Provinsi oleh karena itu diperlukan kebijakan
desentralisasi fiskal Provinsi kepada Kabupaten/Kota menurut
kondisi capaian IPM. Dengan memperhatikan perkembangan IPM dan
kapasitas fiskal masing-masing Kabupaten yang berada di bawah
rata-rata IPM Jawa Timur, beberapa skenario kebijakan berkaitan
dengan peningkatan kesejahteraan bagi kabupaten tersebut antara
lain.o
Pertama, bagi kabupaten dengan kenaikan IPM rendah, kapasitas
fiskal tinggi dan nilai IPM rendah, intervensi kebijakan yang
diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas
pemerintah daerah melalui pembenahan tata pemerintahan.o
Kedua, bagi kabupaten dengan kenaikan IPM rendah, kapasitas
fiskal rendah dan nilai IPM rendah intervensi kebijakan yang
diperlukan adalah upaya memperkuat kapasitas fiskal melalui
13
prioritasi
pengalokasian
dana
bantuan
provinsi
dan
pembenahan tata pemerintahan secara bersamaan.
14