BAB I
PENDAHULUAN
Rhinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang
ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan
pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis kronik atrofikans
foetida, sebab ada rhinitis kronik atrofikans non foetida. Secara
klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang kental dan cepat
mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Etiologi
dan patogenesis rinitis atrofi sampai sekarang belum dapat
diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena etiologinya belum pasti,
maka pengobatannya belum ada yang baku. Pengobatan ditujukan untuk
menghilangkan faktor penyebab dan untuk menghilangkan gejala.
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau jika tidak
menolong, dilakukan operasi. Untuk kepentingan klinis, perlu
ditetapkan derajat ozaena sebelum diobati, yaitu ringan, sedang
atau berat, karena hal ini sangat menentukan terapi dan
prognosisnya. Biasanya diagnosis ozaena secara klinis tidak sulit.
Biasanya discharge berbau, bilateral, terdapat krusta kuning
kehijau-hijauan. Keluhan subjektif yang sering ditemukan pada
pasien biasanya napas berbau (sementara pasien sendiri menderita
anosmia).BAB IILAPORAN KASUS
RUMAH SAKIT TNI AU Dr ESNAWAN ANTARIKSA
SMF TELINGA HIDUNG TENGGOROK
Jl. Merpati No 2, Halim Perdanakusuma Jakarta Timur 13610
Nama: Richardo Rusli
Tanda Tangan
NIM: 11 2013 283
.............
Dr. Pembimbing / Penguji: dr. Asnominanda, Sp. THT-KLI.
IDENTITAS PASIENNama
: Tn HR
Jenis Kelamin: Laki-lakiUmur
: 19 tahun
Agama
: IslamPekerjaan:
Alamat
: Jl. Purdadi 163 no 1
Pendidikan: SMK
II. ANAMNESISDiambil secara: AutoanamnesisPada tanggal
: 23 Juli 2015
Jam: 11.30 WIBKeluhan utama: Telinga kanan tersumbat.Keluhan
tambahan: pilek lama.Riwayat penyakit sekarang (RPS):
Pasien datang dengan keluhan telinga kanan tersumbat sejak 1
minggu sebelum ke rumah sakit. Pusing terasa berdenyut mulai dari
dahi hingga belakang kepala, tidak berputar, tidak dipicu oleh
perubahan posisi atau aktivitas berlebihan. Pusing kepala sebelah
sering timbul terutama saat cuaca panas dan pasien sedang pilek.
Pasien juga mengeluh pilek hilang timbul selama satu tahun, sekret
encer, berwarna bening terkadang kuning kehijauan. Sekret terasa
menggumpal di dalam hidung, sulit dikeluarkan, lebih mudah keluar
jika cuaca panas. Pilek dikatakan pasien terjadi sepanjang hari,
tidak menentu. Riwayat demam lama dan berulang disangkal. Sejak
tahun 2011, pasien mengaku tidak bisa mencium apapun. Hal ini
diketahui ketika pasien sedang menggunakan aseton (pembersih kutek)
yang menyengat baunya, tetapi pasien tidak bisa mencium bau
tersebut.
Pasien mengatakan bahwa keluhannya dimulai pada usia 14 tahun,
saat pertama kali menstruasi dan semakin hari semakin memburuk.
Riwayat alergi disangkal. Riwayat operasi sinus disangkal. Riwayat
trauma pada daerah kepala disangkal. Riwayat menderita flek paru
disangkal. Riwayat menderita penyakit seksual menular
disangkal.
Pasien mengeluh nyeri dan berat di sekitar alis mata saat
menundukkan kepala. Nyeri tenggorokan berulang disangkal.
Tiga minggu yang lalu pasien berobat ke puskesmas, diberi lima
macam obat, diantaranya terdapat obat demam dan flu, namun pasien
mengaku lupa namanya. Satu hari setelah dari puskesmas, pasien
dirujuk ke poli THT RSPAU diberi obat semprot hidung, lalu pasien
disarankan untuk rontgen wajah.Riwayat penyakit dahulu (RPD) :
Pasien mengaku tidak memiliki riwayat alergi apapun. . Riwayat
operasi sinus disangkal. Riwayat trauma pada daerah kepala
disangkal. Riwayat menderita flek paru disangkal. Riwayat menderita
penyakit seksual menular disangkal. Tidak ada riwayat operasi
maupun dirawat karena sakit berat di rumah sakit.Riwayat penyakit
keluarga (RPK) :
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama dengan
pasien. Tidak ada riwayat alergi dalam keluarga dan riwayat
hipertensi maupun diabetes dalam keluarga.Keadaan Umum
Kesadaran
: Compos mentis
Tekanan darah
: 110/80 mmHg
Nadi
: 80 x/menit
Suhu
: 37.0C
Pernapasan
: 20 x/menit
Berat badan
: 45 kgIII. PEMERIKSAAN FISIK1. Telinga
KananKiri
Bentuk daun telingaNormotiaNormotia
Kelainan congenitaltidak ditemukantidak ditemukan
Tumor/ tanda peradangan
preaurikuler
retroaurikulertidak ditemukan
tidak ditemukantidak ditemukan
tidak ditemukan
Nyeri tekan tragus(-)(-)
Penarikan daun telinga(-)(-)
Liang TelingaCAE lapang, serumen (-),
Hiperemis (-)CAE lapang, serumen (-), Hiperemis (-)
Membran timpaniDalam batas normal, retraksi (-), edema (-),
reflex cahaya (+) jam 5
Dalam batas normal, retraksi (-), edema (-), refleks cahaya (+)
jam 7
Tes Penala:
Rinne
Weber
Swabachpositif
tidak ada lateralisasi
sama dengan pemeriksapositif
tidak ada lateralisasi
sama dengan pemeriksa
Kesimpulan:
Tidak ditemunya kelainan pada kedua liang telinga.
Kelainan pendengaran tidak ditemukan.2. Hidung dan Sinus
Paranasal
Bentuk: Simetris
Tanda Peradangan: Tidak ditemukan tanda peradangan dari luar
Vestibulum Tampak bulu hidung bilateral +/+
Hiperemis -/-, massa -/-, lapang +/+, polip -/-
Hipertrofi -/- Mukosa kering kiri-kanan; krusta kuning kehijauan
+/+
Konka inferior kanan/kiri: Atrofi +/+, sekret -/-
Meatus nasi inferior kanan/kiri: Sekret -/-, hiperemis -/-
Konka medius kanan/kiri: Hipotrofi +/+
Meatus nasi medius kanan/kiri: Sekret -/-, hiperemis -/-
Septum nasi: Deviasi (-), sisa sekret (+/+)
Daerah sinus frontalis dan sinus maksilaris: Tidak dilakukan
pemeriksaan
Nasopharynx (Tidak dilakukan pemeriksaan rhinoskopi
posterior)
Koana
: -
Septum nasi posterior
: -
Muara tuba eustachius
: -
Torus tubarius
: -
Konka inferior dan media: -
Dinding posterior
: -Pemeriksaan Transiluminasi (Tidak dilakukan)3. Tenggorok
PHARYNX
Dinding pharynx
: tidak hiperemis, permukaan rata
Arcus
: simetris kanan-kiri, tidak hiperemis
Tonsil
: T1-T1, hiperemis (-), kripta lebar(-), detritus(-),
perlekatan (-) Uvula
: simetris di tengah, hiperemis (-)
Gigi
: bekas pencabutan gigi (-), oral hygiene baik
Lain-lain
: radang ginggiva (-), mukosa pharynx tenang
LARYNX (Tidak dilakukan pemeriksaan laringoskopi)
Epiglotis
: -
Plica aryepiglotis: -
Arytenoids
: -
Ventricular band: -
Pita suara
: -
Rima glotidis
: -
Cincin trachea
: -
Sinus piriformis: - MAKSILOFACIAL
Nervus Kranialis
Nervus 1 (olfaktorius)
: tidak dapat mencium bau bahan yang diberikan seperti teh,
kopi, parfum. Nevus 2 (optikus)
: pengelihatan baik, tidak kabur atau double. Nervus 3
(okulomotorius): gerakan kedua bola mata (atas-luar, atas-dalam,
bawah-luar, medial-horizontal) normal. Nervus 4 (trochlearis)
:gerakan kedua bola mata (bawah-medial) normal.
Nervus 5 (trigeminus)
: membuka mulut, mengunyah, menggigit nomal pada sisi kanan,
sisi kiri terdapat nyeri pada mengunyah.
Nervus 6 (abdusen)
: gerakan kedua bola mata ke arah lateral normal
Nervus 7 (fascialis)
: mengerutkan dahi, menutup mata, menyeringai
nomal/memperlihatkan gigi, pada sisi kiri nyeri.
Nervus 8 (vestibulocochlearis): pendengaran baik, tidak ada
gangguan
keseimbangan. Nervus 9 (glossopharingeus): tidak dilakukan
Nervus 10 (vagus)
: bicara dan menelan normal
Nervus 11 (aksesorius):mengangkat bahu dan memalingkan
kepala
normal
Nervus 12 (hipoglossus): pergerakan lidah normal, tremor lidah
(-),
artikulasi bicara baik.
Bentuk
Tidak ditemukan deformitas os maxilla, os mandibula, dan os
zygomaticum . Hematoma (-)
LEHER
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening leher baik
submandibula maupun servikal.III. PEMERIKSAAN PENUNJANGBelum ada
pemeriksaan penunjang yang dilakukan.IV. RESUMEDari anamnesa
didapatkan :
Seorang wanita usia 22 tahun datang dengan keluhan utama nyeri
kepala sebelah kiri, hilang timbul dan berdenyut sejak 1 minggu
yang lalu. Pasien juga mengeluh sering pilek sudah lama dan
memberat sejak 1 tahun terakhir, terjadi sepanjang hari dan sekret
sulit dikeluarkan. Keluhan ini diperhatikan mulai timbul saat haid
pertama pasien pada usia 14 tahun. Pasien mengaku kehilangan
penciuman mulai tahun 2011. Pasien sering berobat ke puskesmas
namun keluhan tidak membaik. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
:
Tanda-tanda vital dalam batas normal.
Pada vestibulum nasi dextra dan sinistra ditemukan sisa sekret
(+/+) dan krusta kuning kehijauan (+/+)
V. DIAGNOSIS BANDING
Rhinitis atrofikans Rhinitis alergi RhinosinusitisVI. DIAGNOSIS
KERJA
Diagnosis Kerja : Rhinitis atrofikans ozaena derajat sedang
Dasar diagnosis :
- Diagnosis rhinitis atrofikans ozaena pada pasien ini diperoleh
melalui anamnesis dan pemeriksaan THT. Keluhan penderita rinitis
atrofi biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman, ingus
kental dan sulit keluar serta nyeri kepala. Pasien juga mengeluhkan
tidak dapat mencium bau-bauan. Pemeriksaan THT pada pasien ini
ditemukan rongga hidung yang penuh dengan krusta hijau kekuningan
terutama menempel pada bagian dalam konka media, saat krusta
diangkat, terlihat cavum nasi sangat lapang, terdapat atrofi pada
konka inferior dan hipotrofi pada konka media serta terdapat sekret
berwarna kuning kehijauan, mukosa hidung tampak tipis dan kering.
Hal ini sesuai dengan pemeriksaan yang umumnya ditemukan pada
pasien dengan rhinitis atrofikans.VII. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan darah rutin Nasal endoscopy Rontgen wajah CT- scan Tes
serologi darah (VDRL test)VIII. PENATALAKSANAAN
a) Konservatif Levofloxacin tablet 500 mg 1x1 Irigasi hidung
menggunakan NaCl 1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
atau larutan garam dapur Suplementasi vitamin A 1x1b) Operatif
Operasi Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan
hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau
seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian
masing-masing selama periode tiga tahun. Atau teknik operasi lain
yang disesuaikan dengan derajat rhinitis atrofikan pada pasienIX.
ANJURAN
Menggunakan obat sesuai dengan anjuran dokter.
Kontrol kembali ke dokter jika gejala dirasakan tidak membaik
atau bertambah parah.X. PROGNOSIS
Quo ad vitam
: dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malamBAB IIITINJAUAN
PUSTAKADefinisi
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang
ditandai adanya atrofi progresif pada mukosa dan tulang konka dan
pembentukan krusta. Disebut juga rhinitis chronica atrophicanscum
foetida, sebab ada rhinitis chronica atrophican non foetida.
Karakteristiknya ialah adanya atropi mukosa dan jaringan pengikat
submukosa struktur fossa nasalis, disertai adanya crustae yang
berbau khas. Secara klinis, mukosa hidung menghasilkan sekret yang
kental dan cepat mengering, sehingga terbentuk krusta yang berbau
busuk. Penyakit ini lebih banyak menyerang wanita daripada pria,
terutama pada umur sekitar pubertas.1,2,6InsidensiBeberapa
kepustakaan menuliskan bahwa rinitis atrofi lebih sering mengenai
wanita, terutama pada usia pubertas. Baser dkk mendapatkan 10
wanita dan 5 pria, dan Jiang dkk mendapatkan 15 wanita dan 12 pria.
Samiadi mendapatkan 4 penderita wanita dan 3 pria. Menurut Boies
frekwensi penderita rhinitis atrofi wanita : laki adalah 3 : 1.
Tetapi dari segi umur, beberapa penulis mendapatkan hasil yang
berbeda. Baser dkk mendapatkan umur antara 26-50 tahun, Jiang dkk
berkisar 13-68 tahun, Samiadi mendapatkan umur antara 15-49 tahun.
Penyakit ini sering ditemukan di kalangan masyarakat dengan tingkat
sosial ekonomi rendah dan lingkungan yang buruk dan di negara
sedang berkembang. Di RS H. Adam Malik dari Januari 1999 sampai
Desember 2000 ditemukan 6 penderita rinitis atrofi, 4 wanita dan 2
pria, umur berkisar dari 10-37 tahun.1,2Ozaena lebih umum di
negara-negara sekitar Laut Tengah daripada di Amerika Serikat.
Menurunnya insidens campak, scarlet fever, dan difteria di Eropa
Selatan sejak perang dunia ke II tampaknya timbul bersamaan dengan
suatu penurunan tajam dalam insidens ozaena.3EtiologiPenyebab
rinitis atrofi (Ozaena) belum diketahui sampai sekarang. Terdapat
berbagai teori mengenai penyebab rinitis atrofik dan penyakit
degeneratif sejenis. Beberapa penulis menekankan faktor
herediter.4-6 Namun ada beberapa keadaan yang dianggap berhubungan
dengan terjadinya rinitis atrofi (Ozaena), yaitu : 1,3,51. Infeksi
setempat/ kronik spesifik.
Paling banyak disebabkan oleh Klebsiella Ozaena. Kuman ini
menghentikan aktivitas sillia normal pada mukosa hidung manusia.
Selain golongan Klebsiella, kuman spesifik penyebab lainnya antara
lain Stafilokokus, Streptokokus, Pseudomonas aeuruginosa,
Kokobasilus, Bacillus mucosus, Diphteroid bacilli, Cocobacillus
foetidus ozaena.
2. Defisiensi Fe dan vitamin A.
Dilaporkan terjadi perbaikan pada 50% pasien yang mendapatkan
terapi besi dan pada 84% pasien yang diterapi dengan vitamin A
mengalami perbaikan simtomatis. Adanya hiperkoleterolemia pada 50%
pasien rhinitis atrofi menunjukkan peran dit pada penyakit ini.
3. Sinusitis kronis.
4. Ketidakseimbangan hormon estrogen.
5. Penyakit kolagen yang termasuk penyakit autoimun.
6. Ketidakseimbangan otonom.
Terjadi perubahan neurovaskular seperti deteriorisasi pembuluh
darah akibat gangguan sistem saraf otonom.
7. Variasi dari Reflex Sympathetic Dystrophy Syndrome
(RSDS).
8. Herediter.
Dilaporkan adanya rhinitis atrofi yang diturunkan secara dominan
autosom pada sebuah keluarga dimana ayah serta 8 dati 15 anaknya
menderita penyakit ini.
9. Supurasi di hidung dan sinus paranasal.
10. Golongan darah.
Berbagai infeksi seperti eksantema akut, scarlet fever, difteri
dan infeksi kronik telah diimplikasikan sebagai penyebab cedera
pembuluh darah submukosa. Penyebab dari lingkungan juga telah
diajukan karena angka insiden yang lebih tinggi pada masyarakat
sosio ekonomi rendah.1,5
Klasifikasi
Rinitis atrofi berdasarkan gejala klinis diklasifikasikan oleh
dr.Spencer Watson (1978) sebagai berikut :71. Rinitis atrofi
ringan, ditandai dengan pembentukan krusta yang tebal dan mudah
ditangani dengan irigasi.
2. Rinitis atrofi sedang, ditandai dengan anosmia dan rongga
hidung yang berbau.
3. Rinitis atrofi berat, misalnya rinitis atrofi yang disebabkan
oleh sifilis, ditandai oleh rongga hidung yang sangat berbau
disertai destruksi tulang.
Berdasarkan penyebabnya rinitis atrofi dibedakan atas :81.
Rinitis atrofi primer, merupakan bentuk klasik rinitis atrofi yang
didiagnosis pereksklusionam setelah riwayat bedah sinus, trauma
hidung atau radiasi disingkirkan. Penyebab primernya merupakan
Klebsiella ozenae.
2. Rinitis atrofi sekunder, merupakan bentuk yang paling sering
ditemukan di negara berkembang. Penyebab terbanyak adalah bedah
sinus, selanjutnya radiasi, trauma serta penyakit granuloma dan
infeksi.
Patogenesis
Analisis terhadap mukosa hidung menemukan hal yang sama baik
pada rinitis atrofi primer maupun sekunder. Mukosa hidung yang
normal terdiri atas epitel pseudostratifikatum kolumnar, dan
glandula mukosa dan serosa. Pada rintis atrofi, lapisan epitel
mengalami metaplasia squamosa dan kehilangan silia. Hal ini
mengakibatkan hilangnya kemampuan pembersihan hidung dan debris.
Glandula mukosa mengalami atrofi yang parah atau menghilang sama
sekali sehingga terjadi kekeringan. Selain itu terjadi juga
penyakit pada pembuluh darah kecil, endarteritis obliterans (yang
dapat menjadi penyebab terjadinya rinitis atrofi atau sebagai
akibat dari proses penyakit rinitis atrofi itu sendiri). Oleh
karena itu secara patologi, rinitis atrofi bisa dibagi menjadi dua
: 1a) Tipe I : adanya endarteritis dan periarteritis pada arteriole
terminal akibat infeksi kronik; membaik dengan efek vasodilator
dari terapi estrogen.
b) Tipe II : terdapat vasodilatasi kapiler, yang bertambah jelek
dengan terapi estrogen.
Sebagian besar kasus merupakan tipe I. Endarteritis di arteriole
akan menyebabkan berkurangnya aliran darah ke mukosa. Juga akan
ditemui infiltrasi sel bulat di submukosa. Taylor dan Young
mendapatkan sel endotel bereaksi positif dengan fosfatase alkali
yang menunjukkan adanya absorbsi tulang yang aktif. Atrofi epitel
bersilia dan kelenjar seromusinus menyebabkan pembentukan krusta
tebal yang melekat. Atrofi konka menyebabkan saluran nafas jadi
lapang. Ini juga dihubungkan dengan teori proses autoimun; Dobbie
mendeteksi adanya antibodi yang berlawanan dengan surfaktan protein
A. Defisiensi surfaktan merupakan penyebab utama menurunnya
resistensi hidung terhadap infeksi. Fungsi surfaktan yang abnormal
menyebabkan pengurangan efisiensi mucus clearance dan mempunyai
pengaruh kurang baik terhadap frekuensi gerakan silia. Ini akan
menyebabkan bertumpuknya lendir dan juga diperberat dengan
keringnya mukosa hidung dan hilangnya silia. Mukus akan mengering
bersamaan dengan terkelupasnya sel epitel, membentuk krusta yang
merupakan medium yang sangat baik untuk pertumbuhan kuman.1
Perubahan histopatologi dalam hidung pada rinitis atrofi (Ozaena),
yaitu : 3 Mukosa hidung. Berubah menjadi lebih tipis.
Silia hidung. Silia akan menghilang.
Epitel hidung. Terjadi perubahan metaplasia dari epitel torak
bersilia menjadi epitel kubik atau epitel gepeng berlapis.
Kelenjar hidung. Mengalami degenerasi, atrofi (bentuknya
mengecil), atau jumlahnya berkurang.
Gejala Klinis dan PemeriksaanKeluhan penderita rinitis atrofi
(ozaena) biasanya berupa hidung tersumbat, gangguan penciuman
(anosmi), ingus kental berwarna hijau, adanya krusta (kerak)
berwarna hijau, sakit kepala, epistaksis dan hidung terasa kering.
Keluhan subjektif lain yang sering ditemukan pada pasien biasanya
napas berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia). Pasien
mengeluh kehilangan indra pengecap dan tidak bisa tidur nyenyak
ataupun tidak tahan udara dingin. Meskipun jalan napas jelas
menjadi semakin lebar, pasien merasakan sumbatan yang makin
progresif saat bernapas lewat hidung, terutama karena katup udara
yang mengatur perubahan tekanan hidung dan menghantarkan impuls
sensorik dari mukosa hidung ke sistem saraf pusat telah bergerak
semakin jauh dari gambaran.1,2,4-6Pemeriksaan THT pada kasus
rinitis atrofi (ozaena) dapat ditemukan rongga hidung dipenuhi
krusta hijau, kadang-kadang kuning atau hitam; jika krusta
diangkat, terlihat rongga hidung sangat lapang, atrofi konka (konka
nasi media dan konka nasi inferior mengalami hipotrofi atau
atrofi), sekret purulen dan berwarna hijau, mukosa hidung tipis dan
kering.1,3 Bisa juga ditemui ulat/ telur larva (karena bau busuk
yang timbul). Sutomo dan Samsudin membagi ozaena secara klinik
dalam tiga tingkat :1Tingkat I: Atrofi mukosa hidung, mukosa tampak
kemerahan dan berlendir, krusta
sedikit.
Tingkat II: Atrofi mukosa hidung makin jelas, mukosa makin
kering, warna makin
pudar, krusta banyak, keluhan anosmia belum jelas.
Tingkat III: Atrofi berat mukosa dan tulang sehingga konka
tampak sebagai garis, rongga
hidung tampak lebar sekali, dapat ditemukan krusta di
nasofaring, terdapat
anosmia yang jelas.
Perubahan kontinu pada kompleks penyakit degeneratif kronik ini
mempunyai awitan yang timbul perlahan berupa atrofi hidung dini.
Biasanya pertama mengenai mukosa hidung tampak beberapa daerah
metaplasia yang kering dan tipis dimana epitel pernapasan telah
kehilangan silia, dan terbentuk krusta kecil serta sekret yang
kental. Dapat terjadi ulserasi ringan dan pendarahan.5Atrofi sedang
tidak hanya mempengaruhi daerah mukosa hidung yang lebih besar
namun terutama melibatkan suplai darah epitel hidung, secara
perlahan memperbesar rongga hidung ke segala jurusan dengan semakin
tipisnya epitel. Kelenjar mukosa atrofi dan menghilang, sementara
fibrosis jaringan subepitel perlahan-lahan menyeluruh. Jaringan
disekitar mukosa hidung juga ikut terlibat, termasuk kartilago,
otot, dan kerangka tulang hidung. Akhirnya kekeringan, pembentukan
krusta dan iritasi mukosa hidung dapat meluas ke epitel nasofaring,
hipofaring dan laring. Keadaan ini dapat mempengaruhi patensi tuba
Eustachius, berakibat efusi telinga tengah kronik dan dapat
menimbulkan perubahan yang tidak diharapkan pada apartus lakrimalis
termasuk keratitis sicca.4-7Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus rinitis atrofi (ozaena) yang
dapat dilakukan antara lain : 3,4 Transiluminasi.
Foto Rontgen. Foto sinus paranasalis.
Pemeriksaan mikroorganisme.
Uji resistensi kuman.
Pemeriksaan darah tepi.
Pemeriksaan Fe serum.
Pemeriksaan histopatologi. Dari pemeriksaan histopatologi
terlihat mukosa hidung menjadi tipis, silia hilang, metaplasia
torak bersilia menjadi epitel kubik atau gepeng berlapis, kelenjar
berdegenerasi atau atrofi, jumlahnya berkurang dan bentuknya
mengecil.
Pemeriksaan serologi darah (VDRL test) untuk menyingkirkan
sifilis.
Pemeriksaan CT-scan, dianjurkan jika diagnosis meragukan atau
untuk melihat komplikasi yang timbul, seperti sinusitis. Pada
CT-scan dapat ditemukan :
a. penebalan mukoperiosteum sinus paranasal
b. kehilangan ketajaman dari kompleks sekunder osteomeatal untuk
meresorbsi bula ethmoid dan prosesus uncinatus
c. hipoplasia sinus maksilaris
d. pelebaran kavum hidung dengan erosi dan membusurnya dinding
lateral hidung
e. resorpsi tulang dan atrofi mukosa pada konka media dan
inferior.
Pemeriksaan radiologis rinitis atrofi dapat dilakukan pada
penyakit primer maupun sekunder, tapi tidak ada tanda yang dapat
membedakan diantara keduanya. Perubahan kavum hidung bisa ditemukan
dengan foto sederhana atau CT-scan. Foto sederhana dapat
menunjukkan membusurnya dinding lateral hidung yang berkurang atau
tidak adanya aliran atau hipoplastik sinus maksilaris.6Diagnosis
Diagnosis rinitis atrofi (ozaena) dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan perubahan yang terjadi pada hidung seperti adanya
pelebaran kavum hidung, atrofi mukosa dan terdapatnya perlekatan,
penebalan dan krusta hijau-kuning; pemeriksaan darah rutin, rontgen
foto sinus paranasal, pemeriksaan Fe serum, mantoux test,
pemeriksaan histopatologi dan test serologi (VDRL test) untuk
menyingkirkan sifilis.1
Diagnosis Banding
Diagnosis banding rinitis atrofi (ozaena) antara lain :1,6-81.
Rhinosinusitis
Sekret melimpah dapat bilateral atau unilateral, penderita dan
orang lain disekitarnya mencium bau. Dapat terjadi baik pada
anak-anak maupun orang dewasa. Terkadang ditemukan hiposmia karena
adanya obstruksi.
2. Tumor hidung dan sinus
Terdapat bau busuk akibat tumor yang luruh.
3. Rhinolith dan benda asing
Adanya obstruksi hidung unilateral dan sekret berbau busuk.
Komplikasi
Komplikasi rinitis atrofi (ozaena) dapat berupa :31. Perforasi
septum
2. Faringitis
3. Sinusitis
4. Miasis hidung
5. Hidung pelana
PenatalaksanaanHingga kini pengobatan medis terbaik rinitis
atrofik hanya bersifat paliatif. Termasuk dengan irigasi dan
membersihkan krusta yang terbentuk, terapi sistemik dan lokal
dengan endokrin, steroid, antibiotik, vasodilator, pemakaian iritan
jaringan lokal ringan seperti alkohol dan salep pelumas. Penekanan
terapi utama adalah pembedahan, yaitu usaha-usaha langsung
mengecilkan rongga hidung, sehingga dengan demikian juga
memperbaiki suplai darah mukosa hidung.5 Tujuan pengobatan adalah
menghilangkan faktor etiologi atau penyebab dan menghilangkan
gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif atau kalau
tidak menolong dilakukan operasi. Secara garis besar terdapat tiga
macam teknik penatalaksanaan pada rinitis atrofi, keseluruhan
teknik ini bertujuan untuk pemulihan hidrasi nasal dan
meminimalisir terbentuknya krusta.7
A. Terapi topikal
Salah satu teknik penatalaksanaan yang dipakai secara luas ialah
dengan irigasi nasal. Irigasi nasal lebih tepat disebut sebagai
suatu terapi pencegahan atau sebagai sebagai suatu terapi yang
bersifat rumatan. Fungsi dari irigasi nasal sendiri adalah mencegah
terbentuknya pengumpulan krusta dalam rongga hidung. Terdapat
beberapa variasi tipe dari bahan irigasi yang dianjurkan namun tak
ada literatur yang menunjukkan akan kelebihan bahan yang satu
dengan lainnya. Adapun bahan-bahan itu antara lain :1,3,5,7
a. Betadin solution dalam 100 ml air hangat atau
NaCl
NH4Cl
NaHCO3 aaa 9
Aqua ad 300 cc
1 sendok makan dicampur 9 sendok makan air hangat
b. Larutan garam dapur
c. Campuran :
Na bikarbonat 28,4 g
Na diborat 28,4 g
NaCl 56,7 g dicampur 280 ml air hangat
d. Obat tetes hidung , setelah krusta diangkat, diberi antara
lain : glukosa 25% dalam gliserin untuk membasahi mukosa, estradiol
dalam minyak Arachis 10.000 U / ml, kemisetin anti ozaena solution
dan streptomisin 1 g + NaCl 30 ml. diberikan tiga kali sehari
masing-masing tiga tetes.
Larutan dihirup ke dalam rongga hidung dan dikeluarkan lagi
dengan menghembuskan kuat-kuat, air yang masuk ke nasofaring
dikeluarkan melalui mulut, dilakukan dua kali sehari. Beberapa
literatur juga menyarankan untuk menambahkan rose oil (minyak
mawar) atau mentol untuk menutupi bau yang terdapat pada rinitis
atropi. Perlu diingat bahwa pengobatan topikal rinits atrofi bukan
untuk menyembuhkan penyakit, melainkan sekedar mencegah penaykit
sehingga harus dilakukan secara berkelanjutan. Ketidakpatuhan dalam
melanjutkan terapi biasanya berdampak dengan kambuhnya penyakit
dalam sebagian besar kasus.4,7B. Terapi sistemik
Terapi sistemik biasa digunakan secara simultan dengan terapi
topikal. Terapi yang biasa digunakan ialah dengan pemberian
antibiotik. Diberikan antibiotik berspektrum luas atau sesuai
dengan uji resistensi kuman dengan dosis yang adekuat sampai
tanda-tanda infeksi hilang. Penelitian terakhir merujuk pengobatan
akan terjadinya infeksi akut menggunakan antibiotik aminoglikosida
oral atau streptomisin injeksi. Meskipun penggunaannya seringkali
cukup efektif, efek toksisitas dari obat akan muncul setelah kurun
waktu 2 tahun pemakaian. Beberapa terapi sistemik lain juga
dianjurkan diantaranya ialah adjuvan berupa vitamin A dengan dosis
3 x 10.000 U selama 2 minggu yang terbukti berhasil mengalami
peningkatan >80% dalam sebuah penelitian dan adjuvan berupa besi
yang juga berhasil mengalami peningkatan >50%. Penggunaan
kortikosteroid juga pernah diajukan sebagai suatu ajuvan namun
beberapa ahli menyatakan penggunaan kortikosteroid merupakan
kontraindikasi bagi pasien dengan rinitis atropi. Vasokonstriksi
untuk kongesti nasal juga merupakan kontraindikasi karena
berhubungan dengan berkurangnya vaskularisasi di mukosa.2,4,5,8
Selain itu bila ada sinusitis, diobati sampai tuntas. Sinha,
Sardana dan Rjvanski melaporkan ekstrak plasenta manusia secara
sistemik memberikan 80% perbaikan dalam 2 tahun dan injeksi ekstrak
plasenta submukosa intranasal memberikan 93,3% perbaikan pada
periode waktu yang sama. Ini membantu regenerasi epitel dan
jaringan kelenjar. Samiadi dalam laporannya memberikan : trisulfa 3
x 2 tablet sehari selama 2 minggu, natrium bikarbonat, cuci hidung
dengan Na Cl fisiologis 3 x sehari, kontrol darah dan urine
seminggu sekali untuk melihat efek samping obat, pembersihan hidung
di klinik tiap 2 minggu sekali, cuci hidung diteruskan sampai 2-3
bulan kemudian dan didapatkan hasil yang memuaskan pada 6 dari 7
penderita.6
C. Terapi bedahPada kebanyakan kasus meskipun dengan terapi
medikamentosa yang maksimal, pasien akan selalu mengeluhkan krusta
yang terbentuk dan bau dari rongga hidung yang muncul meskipun
sudah seringkali melakukan terapi lanjutan. Dalam rangak mencegah
pasien untuk bergantung pada terapi medikamentosa sepanjang
hidupnya perlu dilakukan terapi bedah. Tujuan operasi pada rhinitis
atrofi (ozaena) antara lain untuk : menyempitkan rongga hidung yang
lapang, mengurangi pengeringan dan pembentukan krusta dan
mengistirahatkan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya
regenerasi.1 Secara umum terapi bedah terdiri dalam 3 bagian
kategori antara lain denervasi, reduksi volume rongga hidung dan
penutupan nasal.
Beberapa teknik operasi yang dilakukan antara lain :71. Operasi
Young
Penutupan total rongga hidung dengan flap. Sinha melaporkan
hasil yang baik dengan penutupan lubang hidung sebagian atau
seluruhnya dengan menjahit salah satu hidung bergantian
masing-masing selama periode tiga tahun.
2. Operasi Young yang dimodifikasi
Penutupan lubang hidung dengan meninggalkan 3 mm yang
terbuka.
3. Operasi Lautenschlager
Dengan memobilisasi dinding medial antrum dan bagian dari
ethmoid, kemudian dipindahkan ke lubang hidung.
4. Implantasi submukosa dengan tulang rawan, tulang, dermofit,
bahan sintetis seperti teflon, campuran triosite dan lem
fibrin.
5. Operasi Wittmack
Transplantasi duktus parotis ke dalam sinus maksilaris dengan
tujuan membasahi mukosa hidung.
Adapun operasi yang bertujuan sebagai denervasi nasal antara
lain :71. Simpatektomi servikal
2. Blokade ganglion stellata
3. Blokade atau ekstirpasi ganglion sfenopalatina
Beberapa penelitian melaporkan operasi penutupan faring
menggunakan flap faring pada penderita rinitis atrofi anak berhasil
dengan memuaskan. Penutupan ini juga dapat dilakukan pada nares
anterior yang bertujuan untuk mengistirahatkan mukosa hidung. Bila
pengobatan konsevatif adekuat yang cukup lama tidak menunjukkan
perbaikan, pasien dirujuk untuk dilakukan operasi penutupan lubang
hidung. Prinsipnya mengistirahatkan mukosa hidung pada nares
anterior atau koana sehingga menjadi normal kembali selama 2 tahun.
Atau dapat dilakukan implantasi untuk menyempitkan rongga
hidung.4Prognosis
Dengan operasi diharapkan perbaikan mukosa dan keadaan
penyakitnya. Pada pasien berusia diatas 40 tahun, beberapa kasus
menunjukkan keberhasilan dalam pengobatan.1,7BAB IV
PENUTUP
Rinitis atrofi adalah penyakit infeksi hidung kronik, yang
ditandai adanya atrofi progresif mukosa dan tulang konka disertai
pembentukan krusta. Etiologi dan patogenesis rinitis atrofi sampai
sekarang belum dapat diterangkan dengan memuaskan. Oleh karena
etiologinya belum pasti, maka pengobatannya belum ada yang baku.
Pengobatan ditujukan untuk menghilangkan faktor penyebab dan untuk
menghilangkan gejala. Pengobatan dapat diberikan secara konservatif
atau operatif.
Daftar Pustaka1. Cowan, Alan MD. Athropic Rhinitis. Grand round
presentation, UTMB: Dept. of Otolaryngology 2005.
2. Asnir, A. R. 2004. Rinitis Atrofi. Available from :
http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin
Dunia Kedokteran No. 144, 2004.
3. Soedarjatni. 1977. Foetor Ex Nasi. Available from :
http://www.kalbe.co.id. Accessed : 2008, April 12. Sumber : Cermin
Dunia Kedokteran No. 9, 1977.4. Al-Fatih, M. 2007. Rinitis Atrofi
(Ozaena). Available from : http://hennykartika.wordpress.com.
Accessed : 2008, April 12. Sumber : Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta :
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2006.
5. Arif, M., et al. 2006. Rinitis Atrofi (Ozaena). Available
from : http://www.geocities.com. Accessed : 2008, April 12. Sumber
: Buku Kapita Selekta Kedokteran. Ed. III, cet. 2. Jakarta : Media
Aesculapius. 1999.
6. Adams, L. G. et al. 1997. Boies Buku Ajar Penyakit THT. Ed.
ke-6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta.
7. Endang, M. & Nusjirwan, R. Rinorea, Infeksi Hidung dan
Sinus dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok,
Kepala & Leher. Ed. ke-5. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2006.8. Yucel et al. Athropic rhinitis. A
case report: Turk J med Sci 2003, vol. 33, pg.405-7.
18