KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU BAGIAN SARAF Sekretariat : Gedung Kelas 03, RSUD Arifin Achmad Lantai 04 Jl. Mustika, Telp. 0761-7894000 E-mail : [email protected]STATUS Nama Koass : Indra Fakhreza N I M : 1408465673 Pembimbing : dr. Yossi Maryanti, Sp.S, M.Biomed I. IDENTITAS PASIEN Nama Ny.WB Umur 64 tahun Jenis kelamin Perempuan Alamat Jl. Jati, Gg. Jati, No. 9, Kec. Bukit Raya, Pekanbaru Agama Islam Status perkawinan Kawin Pekerjaan IRT Tanggal Masuk RS 9 Februari 2016 Tanggal Pemeriksaan 9 Februari 2016
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
BAGIAN SARAFSekretariat : Gedung Kelas 03, RSUD Arifin Achmad Lantai 04
gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan
neurodegeneratif.
Adapun faktor pencetus status epileptikus adalah2:1. Penderita epilepsi tanpa pengobatan atau dosis pengobatan yang tidak memadai
2. Pengobatan yang tiba-tiba dihentikan atau gangguan penyerapan GIT
3. Keadaan umum yang menurun akibat kurang tidur, stres psikis, atau stres fisik.
4. Pengunaan atau withdrawal alkohol, drug abuse, atau obat-obat anti depresi
2.4 Patofisiologi
Sel saraf di otak berkomunikasi melalui transmisi listrik dan kimia. Ada
keseimbangan yang teratur antara faktor yang menyebabkan eksistasi dan inhibisi aktifitas
listrik otak. Untuk dapat mempresentasikan sinyal listrik diotak menjadi perilaku, banyak sel
saraf yang terlibat. Dalam kebanyakan kasus kejang, sejumlah kecil kumpulan sel saraf yang
abnormal menyebabkan perubahan pada sel didekatnya atau pada sel yang memiliki
hubungan erat dengannya. Pada kejang, sejumlah besar kumpulan sel saraf tereksitasi
bersamaan (hipersinkroni), sehingga menyebabkan aktfitas tubuh berlebihan.2
Penyebab kelainan yang utama adalah hilangnya sel saraf yang menginhibisi sel
eksitasi dan membatasi penyebaran listrik otak atau mungkin dikarenakan produksi
berlebihan rangsangan kimia otak yang menyebabkan sel mengeluarkan sinyal listrik yang
abnormal. Neurotransmitter eksitasi juga dilepaskan berlebihan dan mengganggu bendungan
listrik sel saraf yang normalnya membatasi penyebaran sinyal listrik yang abnormal. Diantara
neurotansmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamat, aspartat, norepinefrin, dan
asetilkolin, sedangkan nerutransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid
(GABA).2
Mekanisme dasar terjadinya kejang adalah peningkatan aktifitas listrik yang
berlebihan pada neuron-neuron dan mampu secara berurutan merangsang sel
neuron lain secara bersama-sama melepaskan muatan listriknya. Hal tersebut diduga
disebabkan oleh kemampuan membran sel sebagai pacemaker neuro untuk melepaskan
muatan listrik yang berlebihan, berkurangnya inhibisi neurotransmitter asam amino gama
butirat (GABA) atau meningkatnya eksitasi sinaptik oleh transmiter asam glutamat dan
aspartat melalui jalur eksitasi yang berulang.2
Secara klinis dan berdasarkan EEG, status epileptikus dibagi menjadi lima fase. Fase
pertama terjadi mekanisme kompensasi, seperti peningkatan aliran darah otak dan cardiac
output, peningkatan oksigenasi jaringan otak, peningkatan tekanan darah, peningkatan laktat
serum, peningkatan glukosa serum dan penurunan pH yang diakibatkan asidosis laktat.
Perubahan saraf reversibel pada tahap ini. Setelah 30 menit, ada perubahan ke fase kedua,
kemampuan tubuh dalam beradaptasi berkurang dimana tekanan darah, pH dan glukosa
serum kembali normal. Kerusakan saraf irreversibel pada tahap ini. Pada fase ketiga aktivitas
kejang berlanjut mengarah pada terjadinya hipertermia (suhu meningkat), perburukan
pernafasan dan peningkatan kerusakan saraf yang irreversibel.2
Aktivitas kejang yang berlanjut diikuti oleh mioklonus selama tahap keempat, ketika
peningkatan pernafasan yang buruk memerlukan mekanisme ventilasi. Keadaan ini diikuti
oleh penghentian dari seluruh klinis aktivitas kejang pada tahap kelima, tetapi kehilangan
saraf dan kehilangan sel otak berlanjut. Kerusakan dan kematian saraf tidak seragam pada
status epileptikus, tetapi maksimal pada lima area dari otak (lapisan ketiga, kelima, dan
keenam dari korteks serebri, serebellum, hipokampus, nukleus thalamikus dan amigdala).
Hipokampus mungkin paling sensitif akibat efek dari status epileptikus, dengan kehilangan
saraf maksimal dalam zona Summer.2
Mekanisme yang tetap dari kerusakan atau kehilangan saraf begitu kompleks dan
melibatkan penurunan inhibisi aktivitas saraf melalui reseptor GABA dan meningkatkan
pelepasan dari glutamat dan merangsang reseptor glutamat dengan masuknya ion natrium dan
kalsium dan kerusakan sel yang diperantarai kalsium.
Status epileptikus terjadi karena eksitasi yang berlebihan dan berlangsung terus-
menerus ataupun akibat proses inhibisi yang tidak sempurna. Melalui mediasi ion Na+ dan
Ca+ saat berlangsungnya aktivasi, terutama oleh depolarisasi yang kuat atau berkelanjutan
(umpamanya pada saat serangan berlangsung), yang menyebabkan cetusan berulang.
Tambahan lagi terhadap faktor-faktor sinaptik, mekanisme non sinaptik mungkin memegang
faktor penting dalam berlanjutnya aktifitas epilepsi. Pengaliran ion-ion ada hubungan
terhadap aktifitas dari keterlibatan neuron-neuron yang mencetuskan bangkitan yang tersebar
dalam ruang ekstra seluler, menginduksi eksitabilitas dari membran neuron sekitarnya
melalui efek lapangan medan elektrik. Lebih lanjut lagi aktifitas neuronal yang kuat
menghasilkan fluktuasi ion-ion ektra seluler terutama ion K+ yang juga cenderung
mengimbas neuron berdekatan. Aktifitas epilepsi sudah diketahui dapat menginduksi suatu
kaskade fisiologik dari neuron-neuron instrinsik dan mekanisme sinaps yang cenderung dapat
meredakan aktifitas, sebagai hasilnya banyak serangan epilepsi yang dapat membaik dengan
sendirinya. Kelumpuhan dari mekanisme penghentian serangan inilah yang mencetuskan
perpanjangan bangkitan yang akhirnya menjadi status epileptikus.8
2.5 Manifestasi Klinis dan Diagnosis
Pengenalan terhadap status epileptikus penting pada awal stadium untuk mencegah
keterlambatan penanganan. Status tonik-klonik umum (Generalized Tonic-Clonic)
merupakan bentuk status epileptikus yang paling sering dijumpai, hasil dari survei ditemukan
kira-kira 44-74%, tetapi bentuk yang lain dapat juga terjadi.6
1. Status Epileptikus Tonik-Klonik Umum (Generalized tonic-clonic Status Epileptikus)
Ini merupakan bentuk dari Status Epileptikus yang paling sering dihadapi dan
potensial dalam mengakibatkan kerusakan. Kejang didahului dengan tonik-klonik umum atau
kejang parsial yang cepat berubah menjadi tonik klonik umum. Pada status tonik-klonik
umum, serangan berawal dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan
kesadaran diantara serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik yang melibatkan
otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-putus. Pasien menjadi sianosis
selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi CO2. Adanya takikardi dan peningkatan
tekanan darah, hyperpireksia mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat
serum terjadi yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus yang tidak
tertangani.
2. Status Epileptikus Klonik-Tonik-Klonik (Clonic-Tonic-Clonic Status Epileptikus)
Adakalanya status epileptikus dijumpai dengan aktivitas klonik umum mendahului
fase tonik dan diikuti oleh aktivitas klonik pada periode kedua.
3. Status Epileptikus Tonik (Tonic Status Epileptikus)
Status epilepsi tonik terjadi pada anak-anak dan remaja dengan kehilangan kesadaran
tanpa diikuti fase klonik. Tipe ini terjadi pada ensefalopati kronik dan merupakan gambaran
dari Lenox-Gestaut Syndrome.
4. Status Epileptikus Mioklonik
Biasanya terlihat pada pasien yang mengalami enselofati. Sentakan mioklonus adalah
menyeluruh tetapi sering asimetris dan semakin memburuknya tingkat kesadaran. Tipe dari
status epileptikus tidak biasanya pada enselofati anoksia berat dengan prognosa yang buruk,
tetapi dapat terjadi pada keadaan toksisitas, metabolik, infeksi atau kondisi degeneratif.
5. Status Epileptikus Absens
Bentuk status epileptikus yang jarang dan biasanya dijumpai pada usia pubertas atau
dewasa. Adanya perubahan dalam tingkat kesadaran dan status presen sebagai suatu keadaan
mimpi (dreamy state) dengan respon yang lambat seperti menyerupai “slow motion movie”
dan mungkin bertahan dalam waktu periode yang lama. Mungkin ada riwayat kejang umum
primer atau kejang absens pada masa anak-anak.
6. Status Epileptikus Non Konvulsif
Kondisi ini sulit dibedakan secara klinis dengan status absens atau parsial kompleks,
karena gejalanya dapat sama. Pasien dengan status epileptikus non-konvulsif ditandai dengan
stupor atau biasanya koma. Aktifitas motorik biasanya normal pada sebagian besar kasus,
kadang ditemukan kekakuan (clumsiness), apraksia, jerking fokal, twiching pada otot wajah
(kedip-kedip mata) mengunyah atau mengecap-ngecap makanan, gerakan automatisme dalam
bentuk gerak yang nyata sangat jarang seperti flexi, ekstensi dari ekstermitas, deviasi
kepala.8
Ketika sadar, dijumpai perubahan kepribadian dengan paranoid, delusional, cepat
marah, halusinasi, tingkah laku impulsif (impulsive behavior), retardasi psikomotor dan pada
beberapa kasus dijumpai psikosis.
7. Status Epileptikus Parsial Sederhana
a. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut, ibu jari dan jari-jari pada
satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi
jacksonian march pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral dan
kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu menunjukkan periodic
lateralized epileptiform discharges pada hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering
berhubungan dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau gangguan berbahasa
(status afasik).
b. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik dengan gejala sensorik
unilateral yang berkepanjangan atau suatu sensory jacksonian march.
8. Status Epileptikus Parsial Kompleks
Dapat dianggap sebagai serial dari kejang kompleks parsial dari frekuensi yang cukup
untuk mencegah pemulihan diantara episode. Dapat terjadi otomatisme, gangguan berbicara,
dan keadaan kebingungan yang berkepanjangan. Pada EEG terlihat aktivitas fokal pada lobus
temporalis atau frontalis di satu sisi, tetapi bangkitan epilepsi sering menyeluruh. Kondisi ini
dapat dibedakan dari status absens dengan EEG, tetapi mungkin sulit memisahkan status
epileptikus parsial kompleks dan status epileptikus non-konvulsif pada beberapa kasus.6
5. Penatalaksanaan Status Epileptikus Epilepsi
1. Protokol penanganan status epileptikus konvulsivus.9
Stadium PenatalaksanaanStadium I (0-10 menit) Memperbaiki fungsi kardiorespirasi : ABCStadium II (10- 60 menit) Pemeriksaan fisik umum dan
neurologist EKG Pemasangan infuse Melakukan pemeriksaan lab darah
Menghentikan kejang dengan segera : diazepam 10-20 mg IV dengan kecepatan <2-5 mg/menit atau rectal. Dapat diulang 15 menit kemudian.
Pemberian 50 cc dextrose 50% dengan atau tanpa thiamin 250 mg IV
Stadium III ( 0-60 / 90 menit) Menentukan etiologi Bila kejang berlangsung setelah
pemberian kejang demam pertama, beri fenitoin IV 15-18 mg/kgBB dengan kecepatan 50 mg/menit
Stadium IV (30-90 menit) Bila kejang tidak teratasi dalam 30-60 menit, rawat di ICU untuk pemberian propofol atau thiopentone (konsul dr. Sp.An atau dokter intensive care)
Monitoring bangkitan dan EEG serta mulai dengan OAE dosis rumatan.
Protokol penanganan status epilepticus non konvulsivus
Tipe Terapi pilihan Terapi lainSE lena Benzodiazepine IV/oral Valproate IVSE parsial kompleks Clobazam oral Lorazepam / fenitoin / fenobarbital IVSE lena atipikal Valproate oral Benzodiazepine, lamotrigine,
topiramate, metylphenidate, steroid oral
SE tonik Lamotrigine oral Metylphenidate, steroidSE non konvulsivus pada pasien koma
Phenytoin IV atau Phenobarbital
Anestesia dengan thiopentone, pentobarbital, propofol, atau midazolam.
.
DASAR DIAGNOSIS
Dasar Diagnosis Klinis : Status Epileptikus
Dari anamnensis didapatkan pasien mengalami kejang. Kejang berlangsung lebih dari 30 menit. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pandangan
mata melihat-lihat keatas. Setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Hal ini sesuai dengan status epileptikus didefinisikan sebagai keadaan dimana terjadinya
dua atau lebih rangkaian kejang tanpa adanya pemulihan kesadaran diantara kejang, atau
serangan yang berlangsung terus menerus selama 30 menit atau lebih. Serangan yang
berlangsung terus menerus lebih dari 5 menit atau yang kesadarannya belum pulih setelah
5 menit harus dipertimbangkan sebagai SE.5
Dasar Diagnosis Topis : Intrakranial
Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami kejang bersifat umum, ditandai adanya
bangkitan epileptik berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermiten yang terjadi
oleh karena lepas muatan listrik abnormal neuron-neuron secara paroksismal akibat
berbagai etiologi.
Dasar Diagnosis Etiologis : Simptomatik
Simptomatik, disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat (SSP), misalnya
darah otak, toksik (alkohol, obat), metabolik, kelainan neurodegeneratif.
Diagnosis Banding : SOLDari anamnensis didapatkan pasien mengalami kejang, kejang berlangsung lebih dari 30 menit. Kejang terjadi pada seluruh tubuh, pandangan
mata melihat-lihat keatas. Setelah kejang pasien tidak sadarkan diri. Pada riwayat penyakit dahulu didapatkan pasien pernah pecah pembuluh darah pada bagian kepala dan kejang setelahnya.
Diagnosis akhir
Diagnosis akhir pasien ini adalah status epilepticus e.c susp. post stroke.
DAFTAR PUSTAKA
1. Kusumastuti K., Gunadharma S., Kustiowati E. Pedoman tatalaksana epilepsy. Kelompok
studi epilepsy Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf (PERDOSSI) 2014. Airlangga
University Press Surabaya; 2014: 10-12.
2. Rahardjo TB. Faktor-faktor risiko epilepsi pada anak dibawah usia 6 tahun. Departemen
Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang; 2007.
3. Nordli DR, Pedley TA, Vivo DCD. Gangguan kejang pada bayi dan anak. In: Buku ajar
pediatric Rudolph, Ed 20, Vol 3. Hartanto H, Mahanani DA, Susi N, etc., eds. Penerbit
Buku Kedokteran EGC Jakarta; 2007: 2134-2150.
4. Lumbantobing SM. Etiologi dan faal sakitan epilepsy. In: Buku ajar neurologi anak.
Soetomenggolo TS, Ismael S, eds. BP IDAI Jakarta; 2000: 197-203.
5. Haslam RHA. Kejang-kejang pada masa anak. Pada: Behrman, Kliegman, Arvin, ed.
Ilmu Kesehatan Anak Nelson, Ed 15, vol 3. Penerbit buku kedokteran EGC Jakarta; 2000:
2053-2064.
6. Harsono. Epilepsi, Ed 2. Gadjah Mada University Press Yogyakarta; 2007.
7. Brophy GM, Bell R, Claassen J, Alldredge B, Bleck TP, Glauser T, etc. Guidelines for
the evaluation and management of status epilepticus. Neurocritical Care Society USA;
2012.
8. Frida M, Basjiruddin A. Status epileptikus non konvulsi. Bagian Saraf Fakultas