BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun sistemik ditandai dengan banyaknya auto-antibodi dan kompleks imun yang beredar di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan di berbagai organ 1 . LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia rematologi. Insidensi LES biasanya lebih sering terjadi pada wanita muda daripada laki-laki, dengan perbandingan 6-10:1 2 . Biasanya LES akan muncul di usia reproduksi yaitu 15-40 tahun 3 . Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 10 sampai 400 per 100.000 tergantung pada ras dan gender; Prevalensi tertinggi adalah pada wanita kulit hitam dan terendah adalah pada orang kulit putih. LES dapat mempengaruhi berbagai organ pada tubuh, termasuk sendi, kulit, ginjal, jantung, paru- paru, pembuluh darah, dan otak. Beberapa gejala yang paling umum terjadi adalah demam, malaise, arthralgia, mialgia, sakit kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan 4 . Karena penyakit ini bersifat multiorgan dan manifestasi klinik penyakit ini sangat beragam dan biasanya muncul secara tidak bersamaan, LES jarang 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun
sistemik ditandai dengan banyaknya auto-antibodi dan kompleks imun yang
beredar di seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan di berbagai organ1.
LES memiliki kejadian yang tinggi di dunia rematologi. Insidensi LES
biasanya lebih sering terjadi pada wanita muda daripada laki-laki, dengan
perbandingan 6-10:12. Biasanya LES akan muncul di usia reproduksi yaitu 15-
40 tahun3. Prevalensi SLE di Amerika Serikat adalah 10 sampai 400 per
100.000 tergantung pada ras dan gender; Prevalensi tertinggi adalah pada
wanita kulit hitam dan terendah adalah pada orang kulit putih.
LES dapat mempengaruhi berbagai organ pada tubuh, termasuk sendi,
kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak. Beberapa gejala
yang paling umum terjadi adalah demam, malaise, arthralgia, mialgia, sakit
kepala, dan kehilangan nafsu makan dan berat badan4.
Karena penyakit ini bersifat multiorgan dan manifestasi klinik penyakit
ini sangat beragam dan biasanya muncul secara tidak bersamaan, LES jarang
terdiagnosa di awal perjalanan penyakit. Penanganan yang diberikan oleh
dokter pun akan berbeda-beda.
Pada tahun 1982, American College of Rheumatology (ACR/ARA)
telah menentukan kriteria untuk mendiagnosis penyakit LES. Kriteria ini
direvisi pada tahun 1997. Adapun kriterianya adalah : 1. Malar rash, 2.
matahari, menyebabkan pembentukan atau semakin memburuknya ruam
kulit, diperoleh dari anamnesis atau pemeriksaan fisik
5. Lupus diskoid, ruam berbentuk bulatan menimbul diatas pemukaan kulit
dengan lapisan terkelupas disertai penyumbatan folikel. Pada lesi yang lama
mungkin berbentuk jaringan parut
6. Salah satu kelainan darah/ hematologik :
a. anemia hemolitik dengan retikulositosis,
b. Leukopenia < 4000/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,
c. Limfopenia <1500/mm³ pada 2/ lebih pengukuran,
d. Trombositopenia <100.000/mm³ tanpa obat-obatan yang dapat
menimbulkan trombositopenia
7. Salah satu kelainan ginjal:
a. Proteinuria menetap > 0,5 g / 24 jam atau pemeriksaan proteinuria urin
sewaktu > 3+ , atau
b. Sedimen seluler. Adanya elemen abnormal dalam air kemih yang berasal
dari sel darah merah/ putih maupun sel tubulus ginjal
8. Salah satu Serositis :
a. Pleuritis, adanya riwayat nyeri pleura atau terdengar bunyi gesekan
pleura pada pemeriksaan atau ada efusi pleura
23
b. Perikarditis dari EKG atau didapatkannya bunyi gesekan perikardium
atau ada efusi perikardium
9. Salah satu kelainan Neurologis :
a. Konvulsi / kejang spontan bukan karena obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit
b. Psikosis tanpa adanya sebab lain seperti obat-obatan atau gangguan
metabolisme seperti uremia, ketoasidosis dan gangguan keseimbangan
elektrolit
10. Ulser Mulut, termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat ditemukan
11. Salah satu Kelainan Imunologi
a. Anti-DNA: titer abnormal antibodi terhadap native DNA, atau
b. Anti-SM: adanya antibodi terhadap antigen inti otot polos, atau
c. Antifosfolipid antibodi positif berdasarkan pada :
a) Titer serum abnormal IgG atau IgM antibodi anti-kardiolipin, atau
b) Antikoagulan lupus positif dengan menggunakan metode standar, atau
c) Uji serologis positif semu selama minimal 6 bulan dan dikonfirmasi
oleh uji imobilisasi Treponema pallidum atau uji fluorosensi absorpsi
antibodi treponema.
Tabel 3. Kritera LES American College of Rheumatology Revisi 1982
24
Pemeriksaan penunjang minimal lain yang diperlukan untuk diagnosis dan
monitoring:
1. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila diperlukan
kreatinin urin.
25
No Kriteria
1 Ruam malar Eritema menetap, datar atau meninggi pada
tonjolan pipi
2 Ruam discoid Bercak eritematosa yang meninggi dengan
skuama keratotik lekat dan sumbatan folikel
dapat terjadi jaringan parut atrofik
3 Fotosensivitas -
4 Ulkus oral termasuk oral dan nasofaring : terlihat oleh
dokter
5 Artritis Artritis nonerosif yang mengenai dua atau
lebih sendi perifer. Ditandai oleh nyeri,
pembengkakan, atau efusi
6 Serositis Pleuritis atau perikarditis yang tercatat
dengan EKG atau terdengar sebagai rub atau
bukti perfusi pericardial
7 Gangguan ginjal Proteinuria > 0,5 gr/dl atau > 3+, atau
silinder sel
8 Gangguan neurologik Kejang atau psikosis tanpa sebab lain
9 Gangguan hematologik Anemia hemolitik atau leukopenia (<4000)
atau limfopenia (<1500) atau tombositopenia
(<100.000) tanpa ada obat penyebab
10 Gangguan imunologik Preparat sel LE atau anti-dsDNA atau anti-
Sm positif atau VDRL positif palsu
11 Antibodi
Antinukleus
Titer ANA yang abnormal pada pemeriksaan
imuno fluresensi atau pemeriksaan yang
ekivalen pada setiap saat tanpa adanya obat
yang diketahui dapat menginduksi ANA
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)
4. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid
5. Serologi ANA (untuk diagnosis awal), anti-dsDNA, komplemen (C3,C4))
6. Foto polos thorax
Pemeriksaan tambahan lainnya tergantung dari manifestasi LES. Waktu
pemeriksaan untuk monitoring dilakukan tergantung kondisi klinis pasien19.
2.1.7 Penatalaksanaan
Berdasarkan National Institute of Arthritis and Musuloskletal and Skin
Disease (2012), obat yang digunakan dalam pengobatan lupus meliputi20:
1. NSAID: NSAID (obat anti-inflamasi non steroid) merupakan obat yang
sering digunakan untuk pasien dengan nyeri sendi atau dada atau demam,
serta obat-obatan yang digubakan untuk mengurangi peradangan. NSAID
dapat digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan jenis lain dari obat
untuk mengontrol rasa sakit, bengkak, dan demam.
Namun, NSAID dapat menyebabkan iritasi lambung atau, dalam kasus kecil,
dapat mempengaruhi fungsi ginjal. Semakin lama seseorang menggunakan
NSAID, semakin besar kemungkinan memiliki efek samping, mulai dari yang
ringan sampai yang serius. Banyak obat tidak dapat dikonsumsi bersamaan
dengan NSAID karena NSAID mengubah farmakodinamik dan
farmakokinetik obat-obatan lainnya. NSAID berhubungan dengan masalah
pencernaan serius, termasuk bisul, perdarahan, dan perforasi lambung atau
usus. Para manula dengan usia 65 atau lebih, serta orang-orang dengan
riwayat ulkus atau perdarahan gastrointestinal, harus menggunakan NSAID
dengan hati-hati.
2. Antimalaria: Antimalaria adalah salah satu obat yang biasa digunakan untuk
mengobati lupus. Antimalaria yang umum digunakan untuk mengobati lupus
adalah hydroxychloroquine. Obat ini dapat digunakan tunggal atau dalam
kombinasi dengan obat lain dan umumnya digunakan untuk mengobati
26
kelelahan, nyeri sendi, ruam kulit, dan radang paru-paru. Pengobatan terus
menerus dengan antimalaria dapat mencegah flare berulang pada lupus.
3. Kortikosteroid: Kortikosteroid, seperti prednison, hidrokortison,
deksametason, dan methylprednisolone, terkait dengan kortisol, merupakan
hormon anti-inflamasi alami. Obat ini bekerja dengan cepat untuk menekan
peradangan. Kortikosteroid dapat diberikan oral, dalam krim diaplikasikan
pada kulit, dengan suntikan, atau intravena (IV).
4. Imunosupresif: obat imunosupresif dapat digunakan untuk pasien lupus yang
penyakitnya telah menyerang ginjal atau sistem saraf pusat. Imunosupresif,
seperti siklofosfamid dan mycophenolate mofetil, bekerja menahan sistem
kekebalan tubuh yang terlalu aktif dengan menghalangi produksi sel-sel
kekebalan. Obat ini dapat diberikan melalui mulut atau melalui infus
IV. Risiko efek samping meningkat dengan lamanya pengobatan.
5. Inhibitor BLyS-spesifik: belimumab, jenis zat disebut sebagai stimulator B-
limfosit (BLyS) inhibitor protein, telah disetujui oleh US Food and Drug
Administration (FDA) pada Maret 2011 untuk pasien dengan lupus yang
menerima terapi standar lainny. Belimumab bekerja dengan mengurangi
jumlah sel B yang abnormal dalam lupus dan diberikan dalam IV infus.
6. Terapi lain: Beberapa pasien menggunakan methotrexate yaitu obat rematik
untuk membantu mengendalikan penyakit lupus. Pengobatan lain termasuk
terapi hormonal seperti dehydroepiandrosterone (DHEA) dan imunoglobulin
intravena (protein yang berasal dari darah manusia), sering digunakan untuk
mengendalikan lupus ketika pengobatan lain tidak bekerja.
Karena beberapa perawatan dapat menyebabkan efek samping yang
berbahaya, setiap gejala baru pada pasien harus segera dilaporkan pada dokter.
Selain itu, disamping obat lupus itu sendiri, dalam beberapa kasus mungkin
diperlukan obat tambahan untuk mengobati masalah yang berkaitan dengan lupus
seperti kolesterol tinggi, tekanan darah tinggi, atau infeksi.
2.1.9 Prognosis
27
Penyakit LES masih merupakan penyakit dengan angka kematian yang
signifikan. Studi yang diterbitkan sekitar tahun 1980 menemukan bahwa sekitar
80% dari pasien dapat hidup selama 5 tahun dan sekitar 60% pasien bertahan 10
tahun. Banyak menelitian mengungkapkan bahwa pasien dengan keterlibatan
ginjal memiliki prognosis yang lebih buruk dibandingkan mereka yang tanpa
penyakit ginjal. Penyebab tersering yang menyebabkan kematian pada LES
adalah infeksi.
Prognosis LES tidak hanya mengenai kematian. Faktor morbiditas yang
timbul pada pasein LES cukup terkait dengan kelangsungan hidup setelah
diagnosis LES. Dokter akan banyak menemukan pasien yang penyakit aktifnya
telah disembuhkan tetapi menderita gejala yang berhubungan dengan akumulasi
kerusakan kronis. Baik penyakit aktif dan kerusakan dapat menimbulkan
gangguan kualitas hidup dan mengurangi kemampuan fungsional, meskipun
faktor-faktor lain seperti latar belakang psiko-sosial pasien akan mempengaruhi
persepsi pasien mengenai penyakit mereka.
Kemampuan terapi yang harus ditingkatkan untuk penyakit lupus adalah
memahami dan mencegah komplikasi jangka panjang dari penyakit ini, apakah
karena efek dari penyakit, terapi yang digunakan, atau penyakit co-morbid
(berdasarkan mekanisme penyakit atau kelainan genetik)21.
28
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pada kasus ini, pasien merupakan seorang wanita berusia 22 tahun.
Berdasarkan epidemiologi, SLE banyak diderita oleh wanita usia reproduksi (15-
40 tahun). Faktor yang menyebabkan terjadinya SLE adalah factor genetic,
hormonal dan lingkungan. Pada pasien ini, factor prodisposisinya adalah factor
genetic karena terdapat riwayat ibu memiliki penyakit yang sama dan factor
hormonal karena pasien ini seorang wanita. Selain itu, menurut pengakuan pasien,
salah satu manifestasi yaitu malar rash muncul setelah pasien bekerja sebagai
pegawai SPBU. Pekerjaan ini mengharuskan pasien berkontak dengan matahri
dan bahan kimia.
Pada pasien ini, diagnosis SLE ditegakkan dari kriteria ARA. Pasien
memiliki 6 dari 11 kriteria berupa malar rash, ulkus oral, arthritis, gangguan
neurologis, gangguan hematologi dan fotosensitivitas.
Manifestasi awal yang muncul pertama pada pasien adalah badan lemas,
nyeri sendi serta sariawan. Lalu diikuti dengan malar rash. Gejala yang membuat
pasien datang ke rumah sakit adalah kejang dan tak sadarkan diri sehingga
membentur lantai. Terdapat penurunan seluruh komponen darah pada pasien atau
yang disebut pansitopenia.
29
Berdasarkan skor aktivitas lupus yaitu MEX SLEDAI, saat ini skor yang
dimiliki pasien adalah sebesar 6, namun pernah meningkat tajam ketika pasien
kejang yaitu saat masuk rumah sakit yaitu sebesar 17. Hal ini menunjukkan pasien
berada pada penyakit lupus berat.
Penyakit lupus yang dimiliki oleh pasien ini mengalami flare setelah
penyakit lupus terakhir yang diderita pada tahun 2012, dan saat ini memunculkan
gejala kejang. Kita perlu melakukan pemeriksaan penunjang lebih dalam untuk
menyingkirkan diagnosis banding serta tatalaksana yang baik agar penyakit ini
tidak memunculkan komplikasi yang serius seperti lupus nefritis, dan di kasus ini
dikhawatirkan adanya lupus cerebral.
DAFTAR PUSTAKA
1. Isbagio H. 2014. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Tanto, Chris dkk. 2014. Kapita Selekta Kedokteran Ed.IV. Jakarta: Media Aesculapius.
2. Pisetsky DS. 2013. Systemic Lupus Erythematosus: B. Epidemiology, Pathology, and Pathogenesis. In: Klippel JH, Stone JH, Crofford LJ, White PH, editors. Primer on the rheumatic disease. 13th ed. USA: Springer Science Bussiness Media, LLC; p. 319-26.
3. Price and Wilson, 2003. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6. Jakarta: EGC.
4. Conjocaru, Manole. 2011. Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus. http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3391953/
5. Wallace, Daniel dan Hahn, Bevra Hannahs. 2012. Dubois’ Lupus Erythematosus And Related Syndromes. Los Angeles:Saunders.
6. American Association for Chemical Chemistry, 2014. Anti DsDNA. (https://labtestsonline.org/understanding/analytes/anti-dsdna/tab/test/)
7. Swaak, Tom dan Ruud Smeenk. 1985. Detection of anti-dsDNA as a diagnostic tool: a prospective study in 441 non-systemic lupus erythematosus patients with anti-dsDNA antibody (anti-dsDNA). Annals of the Rheumatic Diseases.
30
8. Zelman, 2015. Laboratory Test For Lupus. (http://www.webmd.com/lupus/guide/laboratory-tests-used-diagnose-evaluate-sle)
9. Biesen, Robert dkk. 2011. Anti-dsDNA-NcX ELISA: dsDNA-loaded nucleosomes improve diagnosis and monitoring of disease activity in systemic lupus erythematosus. Arthritis Research & Therapy.
10. Isbagio H, Albar Z, Kasjmir YI, et al. 2009. Lupus Eritematosus Sistemik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.
11. Manson JJ, Isenberg DA. 2003. The Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Netherl Med.
12. Mok CC, Lau CS. 2014. Pathogenesis of Systemic Lupus Erythematosus. J Clin Pathol.
13. Sequeira JF, Keser G, Greenstein B, et al. 1993. Systemic lupus erythematosus: sex hormones in male patients. Lupus.
15. Cervera, Ricard, dkk. 2009. Systemic Lupus Erythematosus: Pathogenesis, Clinical Manifestations And Diagnosis. Eular On-line Course on Rheumatic Diseases.
16. Bawazier, Lucky Aziz, dkk. 2006. Lupus Nefritis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, et al, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi kelima. Jakarta: Interna Publishing.
17. Dooley MA and Nachman PH. 2013. Kidney Manifestations of Systemic Lupus Erythematosus and Rheumatoid Arthritis. In: Primer of Kidney Disease.
18. Goodfield MJD, Jones SK, Viale DJ. 2012. The Connective Tissue Diseases In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook’s textbook of dermatology 9th edition. UK: Wiley Blackwell.
19. Kasjmir, Yoga I dkk. 2011. Diagnosis dan Pengelolaan Lupus Eritematosus Sistemik. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Indonesia.