CASE REPORT
Efusi Pleura dd Suspect Tumor Paru DextraGastroenteritis Akut
Observasi febris ec Thyfoid Fever Disusun Oleh : Renny Dwi
Sandhitia S1102010235
Pembimbing :dr. Hj. Shelvi Febrianti, Sp.PD
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS YARSI JAKARTARSU dr.SLAMET
GARUTJANUARI 2015
I. Identitas PasienNama: Tn. FUsia: 31 tahunJenis Kelamin: Laki
- lakiAgama: IslamPekerjaan: wiraswastaMasuk RS: 24 Desember
2014Alamat: Pasir WangiKeluar RS: 08 Januari 2015Status: MenikahII.
ANAMNESISDiambil dari autoanamnesa pada tanggal 02 Januari 20151.
Keluhan UtamaMual muntah disertai mencret.
1. Keluhan TambahanSesak(+),nyeri ulu hati (+),Demam (+) naik
turun,batuk berdahak (+),neyri ulu hati ,tidak nafsu makan,berat
badan menurun.
1. Riwayat Perjalanan PenyakitOs datang ke RS dengan keluhan
mual dan muntah sejak 7 hari smrs.mual dan muntah dirasakan setiap
kali dimasukkan makanan,darah (-),nyeri ulu hati (+). Keluhan
disertai BAB cair 3-4 kali dalam sehari berwarna kuning kecoklatan
,lendir (+),darah (-). Os juga mengaku demam hilang timbul sejak 7
hari smrs. Nyeri kepala (+). Mimisan (-),bintik merah pada badan
(-),keringat (-),menggigil (-). Untuk menurunkan demam os meminum
obat warung.Sesak nafas juga dirasakan os sejak 1 bulan smrs. Sesak
nafas dirasakan hilang timbul, terutama saat os selesai
beraktifitas, udara dingin, dan sehabis batuk. Sesak nafas tidak
berhubungan dengan posisi tubuh.membaik jika os istirahat dan minum
air hangat. Keluhan disertai batuk berdahak berwarna putih. Sesak
dan batuk dirasakan semakin memberat sejak 1 minggu smrs ,kaki dan
tangan bengkak diakui os terjadi sejak 2 hari smrs. Dalam 3 bulan
terakhir os mengaku selera makan menurun dan berat badan turun 4kg.
BAK diakui os satu kali sehari berwarna kuning jernih.
1. Riwayat Penyakit DahuluRiwayat penyakit hipertensi disangkal.
Riwayat penyakit DM disangkal. Riwayat Asma disangkal. Riwayat
penyakit jantung disangkal.1. Riwayat Penyakit KeluargaKeluarga
pasien mengatakan bahwa tidak pernah menderita penyakit seperti ini
sebelumnya. Riwayat penyakit hipertensi disangkal. Riwayat penyakit
DM disangkal. Riwayat Asma disangkal. Riwayat penyakit jantung
disangkal.1. Riwayat kebiasaanPasien merokok 1 bungkus perhari
selama 15 tahun terakhir.1. Riwayat AlergiPasien tidak memiliki
alergi terhadap makanan tertentu ataupun obat-obatan.
H.Pemeriksaan FisikKeadaan Umum: Sakit sedangKesadaran: Compos
MentisBB : 65 kgTB: 160 cmTekanan Darah: 100 /60 mmHgNadi: 84 x /
menitRespirasi: 28x / menitSuhu: 36.5 o CSianosis: Tidak tampak
sianosisEdema: ekstremitas atas( +/+),ekstremitas bawah (+/+)Cara
Berjalan.: Tidak diperiksa. ( Pasien lemas lesu untuk berjalan
)Mobilitas: Pasif ( Pasien tidak banyak bergerak di tempat
tidur)
Aspek Kejiwaan: Tingakah laku: Wajar: Alam Perasaan: Biasa:
Proses Berpikir : WajarKulit: Warna: Sawo matang: Jaringan Parut:
Tidak ditemukan: Pembuluh Darah: Tidak tampak melebar: Keringat:
Tampak umum: Lapisan Lemak: Cukup: Efloresensi: Tidak ditemukan:
Pigmentasi: Tidak ditemukan: Suhu Raba: Hangat: Kelembapan: Biasa:
Pitting Edema: + pada ekstremitas atas dan bawah (edema
anasarka)Kepala: Normocephal: Ekspresi Wajah: Wajar: Simetrisitas
Muka: Simetris: Rambut: Hitam Tidak mudah dicabut.Mata:
Exophthalmus: - / -: Endophtalmus: - / -: Kelopak: Tidak ada
kelainan: Conjungtiva Anemis : - / -: Sklera Ikterik: - / -: Lapang
Penglihatan: Tidak diperiksa: Deviatio Konjugae: Tidak diperiksa:
Lensa: Normal: Visus: Tidak diperiksa: Tekanan Bola Mata: Tidak
diperiksa
Telinga: Lubang: Normal: Serumen: Tidak diperiksa: Selaput
Pendengaran: Tidak diperiksa: Cairan:Tidak tampak ada cairan:
Penyumbatan: Tidak tampak Hidung: Pernafasan cuping hidung : Tidak
tampak Mulut: Bibir: kering: Sianosis peroral : Tidak tampakLeher:
Kelenjar getah bening: Tidak teraba pembesaran : Tiroid: Tidak
teraba pembesaranTORAKCardio: Inspeksi: Iktus cordis terlihat:
Palpasi: Ictus cordis teraba di ics 6 ,2 jari lateral linea mid
clavicula sinistra.: Perkusi:Batas kanan atas ics 2 linea
parasternalis dextra. Batas kiri atas iscs 2 linea parasternalis
dextra. Batas kanan Bawah ics 4 linea axilaris posterior. Batas
kiri bawah ics 6 linea midclavicularis sinistra.: Auskultasi: Bunyi
jantung S1 = S2 murni regular: Murmur ( - ) Gallop ( - )Pulmo:
Inspeksi:Hemitoraks simetris statis dan dinamis tidak tampak adanya
sikatrik, massa dan fraktur pada kedua hemitoraks.: Palpasi:
Fremitus vokal kanan kiri Tidak teraba massa dan krepitasi :
Perkusi: Pekak pada basal paru dextra mulai ics 4, Sonor pada
lapang paru sinistra: Auskultasi: suara dasar vesiculer (+) menurun
di paru dekstra, suara dasar vesikuler(+) di paru sinistra. RH +/+
,WH -/-Abdomen: Inspeksi: Datar normal: Auskultasi: BU ( + ) 8 x /
menit di 4 kuadran: Perkusi: Timpani di 4 kuadran: Palpasi: nyeri
tekan + di epigastriumEkstremitas: Purpura: Tidak ditemukan:
Petechie: Tidak ditemukan: Hematom: Tidak ditemukan: Kelenjar getah
bening Axila: Tidak teraba pembesaran Inguinal: Tidak teraba
pembesaran: Edema : Tampak edema pada ekstremitas atas dan bawah:
Varises:Tidak tampak varises pada ekstremitas: Akral: Hangat
H.Pemeriksaan Penunjang(25 desember 2014)DARAH RUTINHb:
12,9g/dl(11,5-15,5)Ht: 35%(35-45)Leukosit: 6.050
/mm3(3.500-13.500)Trombosit: 228.000/mm3(150.000-440.000)Eritrosit:
4.390juta/mm3(4.88-6.16)LED: 30/61mm/jam(0-10)KIMIA KLINIKSGOT:
18U/lSGPT: 10U/lUreum: 65mg/dLKreatinin: 2.0mg/dLGDS:
118mg/dlKolesterol Total : 155mg/dLTrigliserida: 403mg/dLAsam Urat:
12mg/dLIMUNOSEROLOGIWidalAnti S. Thypi- H:1/160Anti S. Thypi-O
:1/16(27 desember 2015)Kimia KlinikAlbumin: 3.50g/dLUreum:
93mg/dLKreatinin: 2.2mg/dLKolesterol Total : 134mg/dLKolesterol HDL
: 39mg/dLKolesterol LDL : 73mg/dLTrigliserida: 185mg/dL
URINE(28 Desember 2014)URINE RUTINKimia UrineBJ Urine: 1.010
(1.002~1.030)pH Urine: 6.0(4.8~7.5)Nitrit Urine:
Negatif(Negatif)Protein Urine: positifmg/dl(Negatif)Glukosa Urine:
Negatifmg/dl(Negatif)Keton Urine: Negatifmg.dl(Negatif)Urobilinogen
Urine: NORMALmg/dl(0.2~1.0)Bilirubin Urine:
Negatif(Negatif)Mikroskopis UrineEritrosit: >100/lpb 38,50C,
adanya darah dan/atau lender pada feses, ditemukan leukosit pada
feses, laktoferin, dan diare persisten yang belum mendapat
antibiotik.13Dalam praktek sehari-hari acapkali dokter langsung
memberikan antibiotik/antimikroba secara empiris. Pedoman sederhana
pemberian antibiotik pada diare akut dewasa seperti terlihat pada
table 3.
Terapi Supportif/Simtomatik : Selama periode diare, dibutuhkan
intake kalori yang cukup bagi penderita yang berguna untuk energi
dan membantu pemulihan enterosit yang rusak.13Obat-obatan yang
bersifat antimotiliti tidak dianjurkan pada diare dengan sindroma
disentri yang disertai demam. Beberapa golongan obat yang bersifat
simtomatik pada diare akut dapat diberikan dengan pertimbangan
klinis yang matang terhadap cost-effective. Kontroversial seputar
obat simtomatik tetap ada, meskipun uji klinis telah banyak
dilakukan dengan hasil yang beragam pula, tergantung jenis diarenya
dan terapi kombinasi yang diberikan. Pada prinsipnya, obat
simtomatik bekerja dengan mengurangi volume feses dan frekwensi
diare ataupun menyerap air. Beberapa obat seperti Loperamid,
Difenoksilat, Kaolin, Pektin, Tannin albuminat, Aluminium silikat,
Attapulgite, dan Diosmectite banyak beredar bahkan dijual bebas.12
Obat-obat Probiotik yang merupakan suplemen bakteri atau yeast
banyak digunakan untuk mengatasi diare dengan menjaga atau
menormalkan flora usus. Namun berbagai hasil uji klinis belum dapat
merekomendasikan obat ini untuk diare akut secara umum. Probiotik
meliputi Laktobasilus, Bifidobakterium, Streptokokus spp, yeast
(Saccaromyces boulardi),dan lainnya. Kesimpulan : Diare akut pada
orang dewasa banyak ditemukan di klinik dalam praktek sehari-hari.
Salah satu etiologinya adalah infeksi yang dapat disebabkan oleh
berbagai organisme seperti virus, bakteri, protozoa, dan helminth.
Pemahaman tentang patofisiologi diare akut dapat mengarahkan kita
untuk mencari dan mengetahui etiologi dan memberikan terapi yang
sesuai. Terapi simtomatik sebagai tambahan terhadap terapi kausal
kadang diperlukan untuk mengurangi keluhan penderita yang
mengganggu aktifitas sehari-hari akibat diare akut.
II.DEMAM TIFOIDDefenisi Demam Tifoid Demam tifoid disebut juga
dengan Typus abdominalis atau typoid fever. Demam tipoid ialah
penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih
disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa
gangguan kesadaran .
Infectious Agent Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella
typhi atau Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini
berbentuk batang, gram negatip, tidak membentuk spora, motil,
berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak dengan rambut getar).
Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam bebas
seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati
dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi,
pendidihan dan khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam
antigen, yaitu : 1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak
pada lapisan luar dari tubuh kuman. Bagian ini mempunyai struktur
kimia lipopolisakarida atau disebut juga endotoksin. Antigen ini
tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak tahan terhadap
formaldehid. 2. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada
flagella, fimbriae atau pili dari kuman. Antigen ini mempunyai
struktur kimia suatu protein dan tahan terhadap formaldehid tetapi
tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman
yang dapat melindungi kuman terhadap fagositosis. Ketiga macam
antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan menimbulkan
pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut aglutinin.
Patogenesis
Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh
manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman
dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus
dan berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus
kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel terutama sel M
dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman berkembang
biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag.
Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan
selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian ke
kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus
torasikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam
sirkulasi darah (mengakibatkan bakterimia pertama yang asimtomatik)
dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama
hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel
fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang
sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi yang
mengakibatkan bakterimia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam,
malaise, mialgia, sakit kepala dan sakit perut.
Gejala KlinisGejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih
ringan jika dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi
rata-rata 10 20 hari. Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala
prodromal, yaitu perasaan tidak enak badan, lesu, nyeri kepala,
pusing dan tidak bersemangat.
Kemudian menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu
:
a. Demam Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu.
Bersifat febris remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari,
biasanya menurun pada pagi hari dan meningkat lagi pada sore dan
malam hari. Dalam minggu kedua, penderita terus berada dalam
keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu tubuh beraangsur-angsur
turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.
b. Ganguan pada saluran pencernaan Pada mulut terdapat nafas
berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah (ragaden) . Lidah
ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung dan tepinya
kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan
keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa membesar
disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi, akan
tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare.
c. Gangguan kesadaran Umumnya kesadaran penderita menurun
walaupun tidak berapa dalam, yaitu apatis sampai somnolen. Jarang
terjadi sopor, koma atau gelisah.
Diagnosis serologikUji Widal Uji Widal adalah suatu reaksi
aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap Salmonella typhi terdapat dalam serum penderita
demam tifoid, pada orang yang pernah tertular Salmonella typhi dan
pada orang yang pernah mendapatkan vaksin demam tifoid. Antigen
yang digunakan pada uij Widal adlah suspensi Salmonella typhi yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji Widal
adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang
diduga menderita demam tifoid.25 Dari ketiga aglutinin (aglutinin
O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya
untuk diagnosis. Semakin tinggi titer aglutininnya, semakin besar
pula kemungkinan didiagnosis sebagai penderita demam tifoid. Pada
infeksi yang aktif, titer aglutinin akan meningkat pada pemeriksaan
ulang yang dilakukan selangwaktu paling sedikit 5 hari. Peningkatan
titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3 minggu
memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal
adalah sebagai berikut :12 a. Titer O yang tinggi ( > 160)
menunjukkan adanya infeksi akut b. Titer H yang tinggi ( > 160)
menunjukkan telah mendapat imunisasi atau pernah menderita infeksi
c. Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada
carrier.
Uji Enzym-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)a. Uji ELISA untuk
melacak antibodi terhadap antigen Salmonella typhi belakangan ini
mulai dipakai. Prinsip dasar uji ELISA yang dipakai umumnya uji
ELISA tidak langsung. Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA ini
tergantung dari jenis antigen yang dipakai. b. Uji ELISA untuk
melacak Salmonella typhi Deteksi antigen spesifik dari Salmonella
typhi dalam spesimen klinik (darah atau urine) secara teoritis
dapat menegakkan diagnosis demam tifoid secara dini dan cepat. Uji
ELISA yang sering dipakai untuk melacak adanya antigen Salmonella
typhi dalam spesimen klinis, yaitu double antibody sandwich
ELISA.
Pencegahan sekunder dapat berupa : a. Penemuan penderita maupun
carrier secara dini melalui penigkatan usaha surveilans demam
tifoid. b. Perawatan umum dan nutrisi
Penderita demam tifoid, dengan gambaran klinis jelas sebaiknya
dirawat di rumah sakit atau sarana kesehatan lain yang ada
fasilitas perawatan. Penderita yang dirawat harus tirah baring
dengan sempurna untuk mencegah komplikasi, terutama perdarahan dan
perforasi. Bila klinis berat, penderita harus istirahat total. Bila
penyakit membaik, maka dilakukan mobilisasi secara bertahap, sesuai
dengan pulihnya kekuatan penderita.Nutrisi pada penderita demam
tifoid dengan pemberian cairan dan diet. Penderita harus mendapat
cairan yang cukup, baik secara oral maupun parenteral. Cairan
parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada komplikasi
penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus mengandung
elektrolit dan kalori yang optimal. Sedangkan diet harus mengandung
kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah serat untuk
mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita tifoid
biasanya diklasifikasikan atas : diet cair, bubur lunak, tim dan
nasi biasa. c. Pemberian anti mikroba (antibiotik)
Anti mikroba (antibiotik) segera diberikan bila diagnosa telah
dibuat. Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama, berdasarkan
efikasi dan harga. Kekurangannya adalah jangka waktu pemberiannya
yang lama, serta cukup sering menimbulkan karier dan relaps.
Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil, terutama
pada trimester III karena dapat menyebabkan partus prematur, serta
janin mati dalam kandungan. Oleh karena itu obat yang paling aman
diberikan pada wanita hamil adalah ampisilin atau amoksilin.
III. KANKER PARUKanker Paru merupakan tumor ganas primer
berasaldari saluran nafas Bronchogenic carcinoma.
DIAGNOSIS DAN PENDERAJATANTujuan pemeriksaan diagnosis adalah
untuk menentukan jenis histopatologi kanker, lokasi tumor serta
penderajatannya yang selanjutnya diperiukan untuk menetapkan
kebijakan pengobatan.
Deteksi diniKeluhan dan gejala penyakit ini tidak spesifik,
seperti batuk darah, batuk kronik, berat badan menurun dan gejala
lain yang juga dapat dijurnpai pada jenis penyakit paru lain.
Penernuan dini penyakit ini berdasarkan keluhan saja jarang
terjadi, biasanya keluhan yang ringan terjadi pada mereka yang
telah memasuki stage II dan III. Di Indonesia kasus kanker paru
terdiagnosis ketika penyakit telah berada pada staging lanjut.
Dengan rneningkatnya kesadaran masyarakat tentang penyakit ini,
disertai dengan meningkatnya pengetahuan dokter dan peralatan
diagnostik maka pendeteksian dini seharusnya dapat dilakukan.
Sasaran untuk deteksi dini terutama ditujukan pada subyek dengan
risiko tinggi yaitu: Laki -laki, usia lebih dari 40 tahun, perokok
Paparan industri tertentu dengan satu atau lebih gejala: batuk
darah, batuk kronik, sesak napas,nyeri dada dan berat badan
menurun. Golongan lain yang perlu diwaspadai adalah perempuan
perokok pasif dengan salah satu gejala di atas dan seseorang yang
dengan gejala klinik : batuk darah, batuk kronik, sakit dada,
penurunan berat badan tanpa penyakit yang jelas. Riwayat tentang
anggota keluarga dekat yang menderita kanker paru juga perlu jadi
faktor pertimbangan. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk deteksi
dini ini, selain pemeriksaan klinis adalah pemeriksaan radio toraks
dan pemeriksaan sitologi sputum. Jika ada kecurigaan kanker paru,
penderita sebaiknya segera dirujuk ke spesialis paru agar tindakan
diagnostik lebih lanjut dapat dilakukan lebih cepat dan
terarah.
Prosedur diagnostikGambaran KlinikA. AnamnesisGambaran klinik
penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru
lainnya, terdiri dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari
anamnesis akan didapat keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta
faktorfaktor lain yang sering sangat membantu tegaknya
diagnosis.
Keluhan utama dapat berupa : Batuk-batuk dengan / tanpa dahak
(dahak putih, dapat juga purulen) Batuk darah Sesak napas Suara
serak Sakit dada Sulit / sakit menelan Benjolan di pangkal leher
Sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan
rasa nyeri yang hebat.
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan
akibat metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul karena
kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang
kaki.
Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti : Berat badan
berkurang Nafsu makan hilang Demam hilang timbul Sindrom
paraneoplastik, seperti "Hypertrophic pulmonary osteoartheopathy",
trombosis vena perifer dan neuropatia.
B. Pemeriksaan jasmaniPemeriksaan jasmani harus dilakukan secara
menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat bergantung pada
kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan
terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai
atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif.
Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk penentuan stage
penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis
ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar,
pemeriksaan funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan
intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke
tulang.
Gambaran radiologisHasil pemeriksaan radiologis adalah salah
satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan
lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium
penyakit berdasarkan sistem TNM. Pemeriksaan radiologi paru yaitu
Foto toraks PA/lateral, bila mungkin CT-scan toraks, bone scan,
Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT dibutuhkan untuk menentukan
letak kelainan, ukuran tumordan metastasis.
a. Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan
dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm.
Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai
identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga
dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura, efusi
perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB
untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks
saja.
Kewaspadaan dokter terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang
penderita penyakit paru dengan gambaran yang tidak khas untuk
keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang tergolong
dalam golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru,
harus disertai difollowup yang teliti. Pemberian OAT yang tidak
menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus
menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya
pengobatan pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian
antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan
kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut Bila foto toraks
menunjukkan gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau pemasangan WSD
dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat
diperlihatkan. Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat
produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b.CT-Scan toraks : Tehnik pencitraan ini dapat menentukan
kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan
dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara
lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga
tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan
terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura
yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan,
keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga
lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi.
Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan metastasis
intrapulmoner.
c.Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan
CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain,
misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang kepala /
jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat mendeteksi
metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat
melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ
lain dalam rongga perut.
Pemeriksaan khususa. BronkoskopiBronkoskopi adalah pemeriksan
dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat
mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya
sel ganas. Pemeriksaan ada tidaknya masa intrabronkus atau
perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan mukosa
tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis
infiltratif, mudah berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di
ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan,
sikatan atau kerokan bronkus.
b. Biopsi aspirasi jarumApabila biopsi tumor intrabronkial tidak
dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah berdarah, atau apabila
mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi
jarum, karena bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan
hasil negatif.
c. Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)TBNA di karina, atau
trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila
tumor ada dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat
bahan untuk sitologi dan informasi metastasis KGB subkarina atau
paratrakeal.
d.Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)Jika lesi kecil dan lokasi
agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi
paru lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
e.Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)Jika lesi
terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan
flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan
terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan CTscan.
f. Biopsi lainBiopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat
pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial.
Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis
sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi
Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi tentang
jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan jika ada
efusi pleura.
g.Torakoskopi medikDengan tindakan ini massa tumor di bagaian
perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan mediastinum
dapat dilihat dan dibiopsi.
h. Sitologi sputumSitologi sputum adalah tindakan diagnostik
yang paling mudah dan murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi
bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik
pengumpulan dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat.
Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum
dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan pemeriksaan
tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik
untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus
dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat sediaan apus, lalu
difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua
bahan jaringan harus difiksasi dalamformalin 4%.
Pemeriksaan invasif lainPada kasus kasus yang rumit terkadang
tindakan invasif seperti Torakoskopi dan tindakan bedah
mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru
terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini
merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang
telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat
ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan :1. Jenis histologis.2. Derajat (staging).3. Tampilan
(tingkat tampil, "performance status").Sehingga jenis pengobatan
dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.
Pemeriksaan laina. Petanda TumorPetanda tumor yang telah,
seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
b. Pemeriksaan biologi molekulerPemeriksaan biologi molekuler
telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai
ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker
paru,seperti protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari
pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis
penyakit.
SindromanefrotikSindroma nefrotik (SN) merupakan salah satu
manifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema
anarsarka, proteinuria massif 3,5 g/hari, hiperkolesterolemia dan
lipiduria. Pada proses awal atau SN ringan, untuk menegakkan
diagnosis tidak semua gejala ditemukan. Proteinuria massif
merupakan tanda khas SN akan tetapi pada SN berat yang disertai
kadar albumin rendah, ekskresi protein dalam urin juga berkurang.
Proteinuria juga berkontribusi terhadap berbagai komplikasi yang
terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria,
gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulabilitas, gangguan
metabolisme kalsium dan tulang serta hormone tiroid sering dijumpai
pada SN. Umumnya, SN dengan fungsi ginjal normal kecuali sebagian
kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap akhir (PGTA).
Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan
respone yang baik terhadap terapi steroid akan tetapi sebagian lain
dapat berkembang menjadi kronik. EtiologiSindroma nefrotik dapat
disebabkan oleh GN primer dan GN sekunder akibat infeksi,
keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue
disease), akibat obat atau toksin dan akibat penyakit sistemik
seperti yang tercantum pada tabel 1.Tabel 1 Klasifikasi dan
Penyebab Sindrom Nefrotik:Glomerulonefritis Primer-0 GN lesi
minimal (GNLM)-1 Glomerulosklerosis fokal (GSF)-2 GN Membranosa
(GNMN)-3 GN Membranoploriferatif (GNMP)-4 GN Proliferatif
lainGlomerulonefritis sekunder akibat :Infeksi :-5 HIV, hepatitis
virus B dan C-6 Sifilis, malaria, skistosoma-7 Tuberkulosis,
lepraKeganasan :Adenokarsinoma paru, payudara, kolon, limfoma
Hodgkin, myeloma multiple, dan karsinoma ginjal.Penyakit jaringan
penghubungLupus Eritematosus Sistemik, Artritia Reumatoid, MCTD
(mixed connective tissue disease)Efek obat dan toksinObat
antiinflamasi non-steroid, preparat emas, penisilinamin,
probenesid, air raksa, kaptpril, heroin.Lain-lain :Diabetes
mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia, rejeksi alograf kronik,
refluks vesikoureter, atau sengatan lebah.Glomerulonefritis primer
atau idiopatik merupakan penyebab SN yang paling sering. Dalam
kelompok GN primer, terbagi atas: (a) GN lesi minimal (GNLM) sering
pada anak anak, (b) Glomerulosklerosis fokal (GSF), (c) GN
membranosa (GNMN) sering pada orang dewasa dan (d) GN
membranoproliferatif (GNMP).
Glomerulonefritis sekunder akibat ineksi yang sering dijumpai
misalnya pada GN pasca infeksi Streptokokus atau infeksi virus
hepatitis virus B, akibat obat misalnya obat anti inflamasi non
steroid atau preparat emas organic, dan akibat penyakit sistemik
misalnya pada lupus eritematosus sistemik dan diabetes mellitus.
PatofisiologiReaksi antigen antibodi menyebabkan permeabilitas
membran basalis glomerulus meningkat diikuti oleh kebocoran protein
(albumin).Proteinuri:Proteinuri merupakan kelainan dasar SN.
Proteinuri sebagian besar berasal dari kebocoran glomerulus
(proteinuri glomerular) dan hanya sebagian kecil berasal dari
sekresi tubulus (proteinuri tubular). Perubahan integritas membrana
basalis glomerulus menyebabkan peningkatan permeabilitas glomerulus
terhadap protein plasma dan protein utama yang diekskresikan dalam
urin adalah albumin. Protein lain yang diekskresi adalah globulin
pengikat tiroid, IgG, IgA, antitrombin III dan protein pengikat
vitamin D. Derajat proteinuri tidak berhubungan langsung dengan
keparahan kerusakan glomerulus. Pasase protein plasma yang lebih
besar dari 70 kD melalui membrana basalis glomerulus normalnya
dibatasi oleh charge selective barrier (suatu polyanionic
glycosaminoglycan) dan size selective barrier. Pada nefropati lesi
minimal, proteinuri disebabkan terutama oleh hilangnya charge
selectivity sedangkan pada nefropati membranosa disebabkan terutama
oleh hilangnya size selectivity. HipoalbuminemiKeadaan ini
disebabkan oleh kehilangan sejumlah protein tubuh melalui urine
(proteinuria) dan usus (protein loosing enteropathy), katabolisma
albumin, pemasukan protein yang kurang kerana nafsu makan yang
menurun dan utilisasi asam amino yang menyertai penurunan faal
ginjal. Jika kompensasi hepar dalam mensintesa albumin tidak
adekuat, akan terjadi hipoproteinemi. Konsentrasi albumin plasma
ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin hati dan
kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia
disebabkan oleh protenuria massif dengan akibat penurunan tekanan
onkotik plasma. Oleh itu, untuk mempertahankan tekanan onkotik
plasma, maka hati berusaha meningkatkan sintesis albumin.
Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi
timbulnya hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan
sintesis albumin hati. Akan tetapi tetap dapat mendorong
peningkatan ekskresi albumin melalui urin. Hipoalbuminemia dapat
pula terjadi akibat peningkatan reabsorbsi dan katabolisme albumin
oleh tubulus proksimal. HiperlipidemiKolesterol serum, very low
density lipoprotein (VLDL), low density lipoprotein (LDL),
trigliserida meningkat sedangkan high density lipoprotein (HDL)
dapat meningkat, normal atau menurun. Hal ini disebabkan
peningkatan sintesis lipid di hepar dan penurunan katabolisme di
perifer (penurunan pengeluaran lipoprotein, VLDL, kilomikron dan
intermediate density lipoprotein dari darah).(3)Peningkatan
sintesis lipoprotein lipid distimulasi oleh penurunan albumin serum
dan penurunan tekanan onkotik. LipiduriLemak bebas (oval fat
bodies) sering ditemukan pada sedimen urin. Sumber lemak ini
berasal dari filtrat lipoprotein melalui membrana basalis
glomerulus yang permeabel. EdemaTeori underfil menjelaskan bahwa
hipoalbuminemia merupakan factor utama terjadinya edema pada SN.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma
sehingga cairan bergeser dari intravascular ke jaringan
interstisium dan terjadi edema. Oleh kerana itu, ginjal melakukan
kompensasi dengan meningkatkan retensi natrium dan air. Mekanisma
kompensasi ini akan memperbaiki volume intravascular tetapi juga
akan mengeksaserbasi terjadinya hipoalbuminemia sehingga edema
semakin berat. Teori overfill menjelaskan bahwa retensi natrium
sebagai defek renal utama. Retensi natrium oleh ginjal menyebabkan
cairan ekstraselular meningkat sehingga terjadi edema. Penurunan
laju filtrasi glomerulus akibat kerusakan ginjal akan menambah
terjadinya retensi natrium dan edema. Kedua mekanisma tersebut
ditemukan pada pasien SN. Beberapa penjelasan berusaha
menggabungkan kedua teori ini, misalnya disebutkan bahwa
pembentukan edema merupakan proses dinamis. Didapatkan bahwa volume
plasma menurun secara bermakna pada saat pembentukan edema dan
meningkat selama fase diuresis.HiperkoagulabilitasKeadaan ini
disebabkan oleh hilangnya antitrombin (AT) III, protein S, C dan
plasminogen activating factor dalam urin dan meningkatnya faktor V,
VII, VIII, X, trombosit, fibrinogen, peningkatan agregasi
trombosit, perubahan fungsi sel endotel serta menurunnya faktor
zimogen (faktor IX, XI).Kerentanan terhadap infeksiPenurunan kadar
imunoglobulin Ig G dan Ig A karena kehilangan lewat ginjal,
penurunan sintesis dan peningkatan katabolisme menyebabkan
peningkatan kerentanan terhadap infeksi bakteri berkapsul seperti
Streptococcus pneumonia, Klebsiella, Haemophilus. Pada SN juga
terjadi gangguan imunitas yang diperantarai sel T. Sering terjadi
bronkopneumoni dan peritonitis.Manifestasi klinis Protenuria : >
3.0 gr/24 jam. Perubahan pada membrana dasar glomerulus menyebabkan
peningkatan permebilitas glomerulus terhadap protein plasma yaitu
albumin.Hipoalbuminemia : albumin serum 3,5 g/1,73m2 luas permukaan
tubuh/hari), hipoalbuminemi (