CASE REPORT TERAPI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK PADA TUMOR PHYLLODES BILATERAL PEMBIMBING: dr. NELLA ABDULLAH,Sp.An DISUSUN OLEH: DYKA JAFAR HUTAMA P. (030.09.076) NABILA RAMADHINI (030.11.204) NURICHWANI WARDIANDA (030.11.220) KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUP FATMAWATI PERIODE 29 JUNI – 7 AGUSTUS 2015
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
CASE REPORT
TERAPI CAIRAN PADA SYOK HIPOVOLEMIK PADA TUMOR PHYLLODES
BILATERAL
PEMBIMBING:
dr. NELLA ABDULLAH,Sp.An
DISUSUN OLEH:
DYKA JAFAR HUTAMA P. (030.09.076)
NABILA RAMADHINI (030.11.204)
NURICHWANI WARDIANDA (030.11.220)
KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUP FATMAWATI
PERIODE 29 JUNI – 7 AGUSTUS 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
BAB I
PENDAHULUAN
Syok adalah keadaan dimana terjadi kegagalan sistem kardiovaskuler yang
menyebabkan gangguan perfusi jaringan, keadaan ini menyebabkan hipoksia, metabolisme
seluler terganggu, kerusakan jaringan, gagal organ dan kematian.
Patofisiologi syok perdarahan adalah terjadi kekurangan volume intravaskuler
menyebabkan penurunan venous return sehingga terjadi penurunan pengisian ventrikel
menyebabkan penurunan stroke volume dan cardiac output , maka menyebabkan gangguan
perfusi jaringan. Resusitasi pada syok perdarahan akan mengurangi angka kematian,
pengelolaan syok perdarahan ditujukan untuk mengembalikan volume sirkulasi, perfusi
jaringan dengan mengkoreksi : hemodinamik, kontrol perdarahan, stabilisasi volume
sirkulasi, optimalisasi oksigen transport dan bila perlu pemberian vasokonstriktor bila
tekanan darah tetap rendah setelah pemberian loading cairan.
Pemberian cairan merupakan hal penting pada pengelolaan syok perdarahan dimulai
dengan pemberian kristaloid/koloid dilanjutkan dengan transfusi darah komponen,
Koagulopati yang berhubungan dengan transfusi masif masih merupakan masalah klinis yang
penting. Strategi terapi termasuk mempertahankan perfusi jaringan, koreksi hipotermi dan
anemia, dan penggunaan produk darah hemostatik untuk mengkoreksi microvascular
bleeding
1
BAB II
LAPORAN KASUS
1. IDENTITAS
No RM : 01375456
Nama : M. F. Dewi Rosalina W
Tanggal Lahir : 08/05/1979
Usia : 36 tahun 2 bulan
Agama : Katolik
Alamat : Jalan Babakan Perumnas RT/RW 10/06 Kelurahan Baranangsiang
Kecamatan Bogor Timur Kodya Kota Bogor Provinsi Jawa Barat
Pendidikan terakhir : Tamat SLTA
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Status perkawinan : Kawin
2. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Luka pada payudara kiri sejak kurang lebih 1 bulan SMRS
Anamnesis Pra-Operasi : Pasien datang melalui IGD RSF dengan keluhan luka pada payudara kiri sejak
kurang lebih 1 bulan yang awalnya sebesar koin dan saat ini sebesar telapak tangan.
Terdapat darah, nanah dan berbau. Sejak kurang lebih 1 tahun lalu pasien memiliki
benjolan di payudara kiri sebagai tumor phyllodes melalui pemeriksaan PA.
Kemudian dilakukan operasi pada Februari 2015. Tidak dilakukan biopsi lagi setelah
operasi. Kemudian, muncul benjolan kembali di kedua payudara yang sangat cepat
membesar hingga saat ini sebesar bola basket pada kedua payudara. Belum dilakukan
pemeriksaan dan pengobatan apapun untuk benjolan tersebut.
Tidak ada riwayat diabetes mellitus, hipertensi, hepatitis dan alergi. Tidak ada
riwayat tumor/kanker pada keluarga. Terdapat riwayat penggunaan kontrasepsi
hormonal selama kurang lebih 6 tahun.
2
3. PEMERIKSAAN FISIK
Tanda vital
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : compos mentis
c. Berat Badan : 50 kg
d. Tinggi Badan : 158 cm
e. Tekanan Darah : 99/63 mmHg
f. Suhu : 36oC
g. Nadi : 76 x/m
h. RR : 18 x/m
Status General
Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Leher : Simetris, trakea di tengah, pembesaran KGB (-)
Catatan : Jam 16.20 ekg asistole, nadi carotis (-) lokasi operasi diberikan KJL,
kemudian resusitasi cairan dengan 3 way tap ± 2.
Jam 16.40 dilakukan KJL setelah luka operasi ditutup, adrenalin 1 amp.
Suspek fraktur iga -> KJL di jantung. Total cairan Kristaloid :
2000 cc, Gelofusine : 1000 cc, PRC : 500 cc
Monitoring selama operasi
9
BAB III
ANALISA KASUS
Sebelum tindakan operasi berlangsung, penting dilakukan persiapan praoperasi
terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan anestesia. Tujuan utama kunjungan
pra anestesia ialah untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas selama operasi dan
mengembalikan pasien pasca-operasi ke fungsi yang diharapkan secepat mungkin. Tindakan
ini dapat mengurangi angka kesakitan saat operasi, mengurangi biaya operasi, dan
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien
dioperasi harus dilakukan sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang
akan di operasi, menentukan jenis operasi yang akan di gunakan, melihat kelainan yang
berhubungan dengan anestesi (riwayat hipertensi, asma, alergi, ataupun penyakit jantung).
Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien secara keseluruhan, dokter anestesi dapat
menentukan cara anestesi dan pilihan obat yang akan digunakan kepada pasien. Kunjungan
pre operasi pada pasien juga bisa menghindari kejadian salah identitas dan salah operasi.
Penilaian dan persiapan pra-anestesi meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang (laboratorium), klasifikasi status fisik, asupan oral, serta premedikasi.
Dari anamnesis diketahui terdapat luka pada payudara kiri pasien sejak kurang lebih 1
bulan sebelum masuk rumah sakit yang awalnya sebesar koin dan saat ini sebesar telapak
tangan. Terdapat darah, nanah, dan berbau. Sejak kurang lebih 1 tahun yang lalu pasien
memiliki benjolan di payudara kiri sebagai tumor phyllodes melalui pemeriksaan PA. Pernah
dilakukan operasi pada bulan Februari 2015 di RSUD Bogor. Tidak dilakukan biopsi lagi
setelah operasi. Kemudian muncul kembali benjolan di kedua payudara yang sangat cepat
membesar hingga saat ini sebesar bola basket pada kedua payudara. Pasien tidak memiliki
riwayat alergi. Penyakit seperti Hipertensi, DM, Asma dan penyakit jantung yang dapat
menjadi penyulit anastesi juga disangkal.
Pada pemeriksaan fisik, tidak ditemukan adanya hilangnya gigi dan pasien tidak
menggunakan gigi palsu. Tindakan buka mulut >2 jari dan jarak thyromental >3 jari. Pada
10
pasien tidak ditemukan adanya masalah mobilisasi leher (gerakan leher maksimal) dan leher
pasien tidak pendek yang mana tidak akan menyulitkan dalam melakukan lanringoskopi
intubasi.
Pada status fisik ASA, pasien masuk dalam klasifikasi kelas III dengan catatan khusus
adanya sepsis, anemia (Hb 10,8 g/dL), dan hipoalbumin. Klasifikasi status fisik ASA bukan
merupakan alat perkiraan risiko anestesi, karena efek samping anestesi tidak dapat dipisahkan
dari efek samping pembedahan. Penilaian ASA diklasifikasikan menjadi 5 kategori. Kategori
ke-6 selanjutnya ditambahkan untuk ditujukan terhadap brain-dead organ donor. Pada bedah
cito atau emergency biasanya dicantumkan huruf “E”. Adapun klasifikasi status fisik ASA
terdiri dari :
Kelas I : Pasien sehat tanpa kelainan organik, biokimia, atau psikiatri.
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan sampai sedang, tanpa limitasi
aktivitas sehari-hari.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat, yang membatasi aktivitas normal.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit berat yang mengancam nyawa dan memerlukan
terapi intensif, dengan limitasi serius pada aktivitas sehari-hari.
Kelas V : Pasien sekarat yang akan meninggal dalam 24 jam, dengan atau tanpa
pembedahan.
Pasien mulai dipuasakan 6 jam sebelum operasi sehingga nanti saat pemberian cairan,
hilangnya cairan selama 6 jam juga harus digantikan.
Operasi mastektomi dilakukan pada tanggal 23 juli 2015. Pasien diberikan
premedikasi berupa fentanyl 100 mcg. Premedikasi ialah pemberian obat 1- 2 jam sebelum
induksi anestesia dengan tujuan untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari
anestesia yang diantaranya meredakan kecemasan dan ketakutan, memperlancar indukasi
anestesia, mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus, meminimalkan jumlah obat
anestetik, mengurangi mual-muntah pasca bedah, menciptakan amnesia, mengurangi isi
cairan lambung dan mengurangi refleks yang membahayakan. Fentanyl merupakan obat
analgesik opioid yang larut dalam lemak dengan kekuatan 100x morfin. Fentanyl
dimetabolisir di hati dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin. Efek depresi napasnya
lebih lama dibanding efek analgesiknya. Dosis 1-3 mcg/kgBB analgesiknya kira-kira hanya
11
berlangsung 30 menit. Pada pasien ini dengan berat kurang lebih 50 kg diberikan dosis
premedikasi sebanyak 100 mcg.
Induksi anestesia pada pasien diberikan propofol 100 mg. Induksi anestesia adalah
tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar, sehingga memungkinkan
dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi anestesia dapat dikerjakan secara intravena,
inhalasi, intramuskular atau rektal. Setelah pasien tidur akibat induksi anestesia langsung
dilanjutkan dengan pemeliharan anestesia sampai tindakan bedah selesai. Selama induksi
anestesia pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus diawasi dan selalu diberikan
oksigen. Pada pasien diberikan induksi berupa propofol secara intravena. Propofol
menghambat transmisi neuron yang dihantarkan oleh GABA. Propofol merupakan obat
sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi.
Injeksi intravena pada dosis terapetik memberikan efek hipnotif cepat, biasanya dalam waktu
40 detik dari awal pemberian injeksi. Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik. Terdapat resiko apnea sebesar 25%-35% pada pasien
yang mendapat propofol. Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan resiko
apnea. Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi pernapasan. Propofol lebih
menurunkan tekanan darah sistemik dari pada thiopental. Penurunan tekanan darah ini juga
dipengaruhi perubahan volume kardiak dan resistensi pembuluh darah. Relaksasi otot polos
pembuluh darah disebabkan hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi. Propofol tidak
mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim transamin hati dan konsentrasi
kreatinin. Dosis induksi propofol pada pasien dewasa adalah 1,5-2,5 mg/kgBB intravena
dengan kadar obat 2-5 μg/ml menimbulkan turunnya kesadaran yang bergantung pada usia
pasien. Kesadaran kembali saat kadar propofol di plasma sebesar 1,0-1,5μg/ml. Efek samping
penggunaan propofol yakni nyeri saat injeksi, myklonus, apneu, penurunan tekanan darah
arterial dan yang jarang adalah trombophlebitis. Efek samping yang paling signifikan adalah
penurunan tekanan darah sistemik. Pada pasien dengan berat kurang lebih 50 kg diberikan
dosis sebanyak 100 mg.
Pada saat pasien telah terinduksi, diberikan obat pelumpuh otot berupa rokuronium
bromide (esmeron) sebanyak 30mg secara intravena yang bertujuan untuk melumpuhkan
otot- otot lurik terutama otot pernafasan sehingga mudah untuk dilakukan intubasi dan
ventilasi kendali.
12
Setelah pasien tidak sadarkan diri dilakukan pemasangan endotrakeal tube. Sebelum
endotrakeal tube dimasukkan pasien diberi preoksigenisasi selama 3 menit dengan kecepatan
oksigen ditinggikan sehingga FiO2 mencapai 100%. Dengan demikian respirasi pasien
dibantu dengan ventilator dengan tidal volume 500cc dan frekuensi napas 12x/menit. Oksigen
2 l/menit dialirkan langsung melalui endotrakeal tube dari mesin anestesi. Induksi inhalasi
diberikan isofluran dengan volume 1% sebagai anestesi rumatan. Isofluran mempunyai efek
samping depresi respirasi dan kardiovaskuler yang sehingga digemari untuk digunakan.
Tekanan darah dan nadi relatif stabil selama anestesi. Selain itu, isoflurane juga lebih murah.
Pembiusan atau anestesi dilakukan pada jam 15.30 WIB. Dan operasi dimulai pada
jam 16.00 WIB. Pasien lalu diposisikan secara terlentang dan dipasang iv line di kedua
tangan.
Pada jam 16.20 terjadi ekg asistole dan nadi carotis tidak teraba. Lalu dilakukan
kompresi jantung luar (KJL) yang kemudian dilakukan resusitasi cairan dengan 3 way tap ±
2.
Pada jam 16.40 WIB operasi selesai. Setelah luka operasi ditutup dilakukan KJL
kembali dan diberikan adrenalin 1 ampul. Pasca operasi pasien diberikan obat analgetik
berupa ketorolac 30 mg dan tramadol 100 mg untuk tatalaksana nyeri pasca operasi. Pasien
juga diberikan obat ondansentron dengan dosis 4 mg untuk tatalaksana keluhan mual-muntah.
Setelah operasi selesai pasien dipindahkan ke ruang ICU.
Analisa Terapi C airan pada Pasien
Tujuan dilakukan terapi cairan adalah untuk menggantikan cairan yang hilang saat puasa,
mengganti cairan yang hilang saat pembedahan, mengoreksi dehidrasi, dan mengatasi syok.
Terapi cairan yang adekuat dibuktikan berdasarkan perhitungan cairan dimana terpenuhinya
balans cairan normal. Perhitungan jumlah cairan yang dibutuhkan oleh pasien sebgai berikut:
A. Kebutuhan cairan maintenance normal
13
Kebutuhan cairan maintenance normal pasien dapat dihitung berdasarkan rumus pada
table berikut:
Sehingga kebutuhan cairan maintenance pada pasien wanita BB 50 kg, adalah
10 kg pertama: 4 ml/kg/jam x 10 kg = 40 ml/jam
10 kg kedua : 2 ml/kg/jam x 10 kg = 20 ml/jam
Tiap kg diatas 20 kg: 1 ml/kg/jam x 30 kg = 30 ml/jam +
TOTAL = 90 ml/jam
B. Mengganti cairan yang hilang saat puasa
Sebelum tindakan operasi, pasien diminta untuk berpuasa selama 6 jam. Selama berpuasa
pasien akan mengalami deficit cairan. Defisit cairan bisa dihitung dengan mengalikan
kebutuhan cairan maintenance dengan waktu puasa. Pada pasien ini terapi cairan sebagai
pengganti cairan yang hilang selama 6 jam adalah 6 x 90 = 540 ml/jam
C. Jenis operasi
Tindakan operasi/pembedahan akan menyebabkan cairan berpindah ke ruang peritoneum.
untuk menggantinya tergantung besar-kecilnya tindakan pembedahan.
6-8 ml/ kg untuk bedah bessar
4-6 ml/ kg untuk bedah sedang
2-4 ml/ kg untuk bedah kecil
pada pasien ini dilakukan tindakan mastektomi yang yang tergolong operasi besar, sehingga
perkiraan cairan yang hilang sekitar (6-8 ml/kg) x 50 kg = 300-400 ml.
14
TERAPI CAIRAN pada Ny. Dewi 36 thn, BB = 50 kg
Maintanance (M) 10 kg pertama x 4 ml
10 kg kedua x 2 ml
10 kg berikutnya dikali 1 ml
40+20+3090 ml
Pre Operatif
(pengganti puasa/ P)
Lama puasa (jam) x
Maintanance
6 x 90 540 ml
Operasi (O) Mastektomi = operasi besar (6-8) x 50 300-400 ml
Intra Operatif 1 jam pertama M + ½ P + O >> 90+270+300 660 ml
Berdasarkan perhitungan diatas, cairan yang harus diberikan kepada pasien pada saat
pre operatif sebesar 540 ml. Cairan tersebut yang mana bertujuan menggantikan cairan yang
hilang saat pasien puasa selama 6 jam sebelum operasi.
Operasi berlangsung selama 40 menit, sehingga untuk kebutuhan cairan selama
berlangsungnya operasi adalah sebesar 660 ml.
Cairan yang dapat digunakan sebagai cairan maintenance adalah cairan kristaloid
(asering, RL) dengan perhitungan perbandingan 3:1 ataupun adalah koloid dengan
perbandingan 1:1 ataupun kombinasi keduanya.
Pada pasien :
15
Cairan masuk Infuse :
- RL 4 fl (4 x 500 cc)
- Gelofusine 3 fl (3 x
500cc)
Darah :
- PRC (2 x 250cc)
2000 cc
1500 cc TOTAL
4000 cc
Cairan keluar Perdarahan ±1500 cc
Balance cairan 4000-660-1500 1840 cc
Selama operasi, manajemen perdarahan perlu dilakukan dengan mengkombinasikan
manajemen cairan normal dan estimasi darah yang hilang akibat tindakan operasi. Jika
perdarahan melebihi estimasi perdarahan yang masih dapat di toleransi, maka diindikasikan
untuk dilkaukan transfuse darah.
Estimasi perdarahan yang terjadi selama operasi yaitu :
Estimated blood volume (EBV) = BB(kg) x volume plasma(cc)
= 50 x 65
= 3250cc
16
500 cc
The initial Ht (Hi) = 33% → RBCV (Ht%) = 3250 x 33% = 1072 cc
The final lowest acceptable Ht (Hf) = 30% → RBCV (Ht 30%) = 3250 x 30%= 975 cc
MABL ( Maximum allowable blood loss); perkiraan maksimal jumlah darah yang
hilang:
MABL = EBV X (starting Ht – target ht)
Starting Ht
= 3250 x ( 1072 - 975 )
1072
= 294,07 cc ≈ 294 cc
Menentukan jumlah perdarahan yang hilang ketika operasi sangat penting, karena hal
tersebut dapat menentukan seberapa banyak cairan yang kita berikan baik berupa kristaloid,
koloid ataupun transfuse darah. Transfusi akan diberikan apabila jumlah perdarahan >20 %
EBV yaitu sebanyak 650 cc.
Pada pasien terjadi perdarahan sebanyak 1500 cc, maka saat operasi berlangsung
pasien mendapatkan transfusi darah untuk meningkatkan kapasitas transport oksigen dan
volume intravascular. Hal ini sesuai dengan indikasi transfuse darah yaitu bila kehilangan
volume darah >20% EBV atau mencapai MABL. Transfuse darah yang diberikan berupa
Packed Red Cell (PRC). Tujuan pemberian PRC adalah agar terkoreksinya kehilangan
volume darah yang dapat menggangu perfusi oksigen ke jaringan. PRC mengandung sel
darah merah dan ini penting bagi distribusi oksigen ke jaringan tubuh. Pemberian PRC
sebesar 10 ml/kgBB dapat menaikan Hb sampai 3 g/dl dan hematocrit sampai 10%.
17
Pada pasien ini telah kehilangan darah ± 1500 cc, dan ini termasuk kedalam
perdarahan kelas III. Perdarahan kelas III merupakan perdarahan yang sangat banyak, yang
biasanya bisa terjadi takikardi dan takipneu pada pasien.
Tabel. Klasifikasi Perdarahan
18
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
4.1 TUMOR PHILLODES
Tumor phyllodes adalah neoplasma fibroepitelial yang jarang ditemukan. Insidensnya 0,3-0,5% dari total tumor payudara, sedangkan frekuensi lesi maligna bervariasi sekitar 5-30%. Tumor phyllodes dikemukakan pertama kali oleh Johannes Muller dengan nama cystosarcoma phyllodes pada tahun 1838, untuk menunjukkan tumor yang makroskopik menyerupai daging dengan gambaran leaflike pada potongan melintang; juga disebut giant fibroadenoma, cellular intracanalicular fibroadenoma dan beberapa nama lain. Penyebutan sarcoma dianggap kurang tepat, karena phyllodes tidak selalu bersifat ganas. Saat ini penamaan yang dipakai adalah menurut WHO (1982) yaitu tumor phyllodes. Etiologi tumor phyllodes masih belum jelas apakah dari fibroadenoma yang sudah ada sebelumnya atau de novo.
Secara keseluruhan tumor phyllodes terjadi pada 2,1 kasus per satu juta wanita, sangat jarang pada laki-laki. Sebagian besar kasus tumor Phyllodes terjadi pada dekade ke-4, jarang pada remaja, dapat terjadi pada semua umur. Tumor biasanya jinak namun dapat terjadi rekurensi lokal dan terkadang dapat menyebar secara sistemik; jarang bilateral (baik sinkronous atau metakronous). (1)
MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis tumor phyllodes umumnya unilateral, tunggal, tidak nyeri, dengan benjolan yang dapat teraba. Tumor tiba-tiba muncul dan terus membesar, atau berupa benjolan yang awalnya menetap lalu bertambah besar dalam beberapa bulan terakhir. Pada pemeriksaan fisik payudara, tumor phyllodes berupa benjolan lunak dan bulat, mirip fibroadenoma, namun berukuran besar (>2-3 cm). Tumor dapat terlihat jelas jika cepat membesar. Pembesaran cepat tidak selalu mengindikasikan sifat ganas. Terlihat mengilat dengan permukaan kulit seperti teregang disertai pelebaran vena permukaan kulit. Pada kasus-kasus yang tidak tertangani baik, dapat terjadi luka borok kulit akibat iskemi jaringan. Walaupun perubahan kulit seperti layaknya pada tumor payudara selalu menunjukkan tanda-tanda keganasan (lesi T4), namun tidak pada tumor phyllodes; borok pada kulit dapat terjadi
19
pada jenis lesi jinak, borderline ataupun ganas. Retraksi puting tidak umum terjadi. Ulserasi mengindikasikan nekrosis jaringan akibat penekanan tumor yang besar.(1)
Metastasis dapat ditemukan bersamaan atau hingga 12 tahun kemudian. Metastasis dapat menyebar secara hematogen, ke paru-paru (66%), tulang (28%), otak (9%) dan lebih jarang ke hati dan jantung. Dapat disertai pembesaran limfonodi regional, walaupun tanpa sel tumor. Tidak banyak literatur yang melaporkan metastasis limfonodi.
Mamografi abnormal dijumpai pada 75% kasus, sering menyerupai gambaran fibroadenoma. Ultrasonografi menunjukkan massa homogen solid disertai internal echo dan berdinding tipis. (1)
KARAKTERISTIK TUMOR
Gambaran Makroskopik
Sebagian besar tumor phyllodes berupa massa berbentuk bulat sampai oval, multinodular, tanpa kapsul yang jelas. Ukuran bervariasi dari 1-40 cm. Sebagian besar tumor berwarna abu-abu-putih dan menonjol dari jaringan payudara sekitar. Pada tumor berukuran besar dapat terjadi nekrosis dengan perdarahan. Sebagian besar tumor tipe benign dapat menyerupai fibroadenoma. Banyak peneliti menemukan tumor berukuran kurang dari 5 cm, oleh karena itu diagnosis tidak dapat ditegakkan hanya berdasarkan ukuran. Celah-celah yang memanjang (leaf-like appearance) pada penampang merupakan tanda khas tumor phyllodes, kadang-kadang tampak daerah nekrotik, perdarahan, dan degenerasi kistik. (1)
Gambaran Mikroskopik
Tumor phyllodes memiliki gambaran histopatologi yang luas, dari gambaran menyerupai fibroadenoma hingga bentuk sarcoma. Seperti fibroadenoma, gambaran phyllodes berupa campuran stroma dan epitel. Norris dan Taylor mengemukakan bahwa kriteria histopatologi yang berguna untuk memprediksi risiko menjadi ganas meliputi pertumbuhan stroma berlebihan, nuclear pleiomorphism, kecepatan mitosis tinggi, dan mengalami infiltrasi. Penelitian lain juga menunjukkan tingkat nekrosis yang tinggi dan peningkatan vaskularisasi pada tumor. Tumor dipastikan maligna jika komponen stroma didominasi sarkoma. Sekitar 10-40% tumor jenis ini memiliki risiko rekurensi lokal dan menyebar secara sistemik. Stromal immunoreactivity p53 terbukti meningkat pada tumor phyllodes ganas sehingga dapat digunakan untuk membedakannya dari fibroadenoma. (1)
KLASIFIKASI
Pada tahun 1981, WHO mengadopsi penamaan tumor phyllodes dan membaginya menjadi tipe benign, borderline, dan malignant berdasarkan karakteristik stroma. Karakteristik tersebut berupa derajat atipikal selular stroma, aktivitas mitosis per-10 lapang
20
pandang besar, ada tidaknya overgrowth stroma, dan batas tumor yang infi ltratif atau batas tumor yang tegas. Tumor phyllodes tipe benign memiliki atipikal seluler ringan sampai sedang, dengan peningkatan sel-sel stroma. Rasio mitosis tinggi (10 atau lebih mitosis dalam 10 lapang pandang besar), adanya infiltrasi, dan overgrowth stroma. Overgrowth stroma telah dihubungkan dengan aktivitas metastasis, yang tidak terdapat pada tipe benign dan borderline. (1)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan tumor phyllodes masih diperdebatkan dan tidak sama pada semua kasus. Terapi utama adalah pembedahan komplet dengan batas adekuat. Banyak peneliti menganjurkan batas eksisi 1 cm sebagai reseksi yang baik. Rekurensi berkaitan dengan margin eksisi dan tidak berkaitan dengan grade dan ukuran tumor. Eksisi luas pada tumor kecil atau mastektomi simpel umumnya menunjukkan hasil memuaskan. Eksisi otot-otot pektoral perlu dipertimbangkan jika telah terjadi infi ltrasi. Mastektomi dengan rekonstruksi payudara dapat menjadi pilihan pada tumor berukuran besar. Tumor phyllodes, sama halnya dengan sarkoma jaringan lunak, jarang menyebabkan metastasis ke kelenjar getah bening (KGB). Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa diseksi KGB aksila tidak rutin dilakukan, mengingat jarangnya infiltrasi ke KGB aksila. Norris dan Taylor menganjurkan mastektomi dengan diseksi KGB aksila bagian bawah jika terdapat pembesaran KGB, tumor ukuran >4 cm, biopsi menunjukkan jenis tumor agresif (infi ltrasi kapsul, kecepatan mitosis tinggi, dan derajat selular atipikal tinggi). Jika terindikasi ada keterlibatan KGB secara klinis atau pada pemeriksaan imaging, dapat dilakukan biopsi jarum dengan panduan USG. Jika hasilnya negatif, dapat dipertimbangkan biopsi sentinel limfonodi.
Peran radioterapi dan kemoterapi adjuvan masih kontroversial, namun penggunaan radioterapi dan kemoterapi pada sarkoma mengindikasikan bahwa keduanya dapat digunakan pada tumor phyllodes. Radioterapi adjuvan dapat bermanfaat pada tipe maligna. Kemoterapi golongan antrasiklin, ifosfamid, sisplatin, dan etoposid jarang digunakan. Belum banyak penelitian mengenai penggunaan terapi hormonal, seperti tamoksifen. Sensitivitas hormonal pada tumor phyllodes juga belum teridentifi kasi dengan baik. Secara garis besar, terapi sistemik tumor phyllodes tidak berbeda dengan terapi pada sarkoma. (1)
4.2 SYOK HIPOVOLEMIK
Secara patofisiologi syok merupakan gangguan sirkulasi yang diartikan sebagai kondisi tidak adekuatnya transport oksigen ke jaringan atau perfusi yang diakibatkan oleh gangguan hemodinamik. Gangguan hemodinamik tersebut dapat berupa penurunan tahanan vaskuler sitemik terutama di arteri, berkurangnya darah balik, penurunan pengisian ventrikel dan sangat kecilnya curah jantung. Dengan demikian syok dapat terjadi oleh berbagai macam
21
sebab dan dengan melalui berbagai proses. Secara umum dapat dikelompokkan kepada empat komponen yaitu masalah penurunan volume plasma intravaskuler, masalah pompa jantung, masalah pada pembuluh baik arteri, vena, arteriol, venule atupun kapiler, serta sumbatan potensi aliran baik pada jantung, sirkulasi pulmonal dan sitemik. (2)
Penurunan hebat volume plasma intravaskuler merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya syok. Dengan terjadinya penurunan hebat volume intravaskuler apakah akibat perdarahan atau dehidrasi akibat sebab lain maka darah yang balik ke jantung (venous return) juga berkurang dengan hebat, sehingga curah jantung pun menurun. Pada akhirnya ambilan oksigen di paru juga menurun dan asupan oksigen ke jaringan atau sel (perfusi) juga tidak dapat dipenuhi. Begitu juga halnya bila terjadi gangguan primer di jantung, bila otot-otot jantung melemah yang menyebabkan kontraktilitasnya tidak sempurna, sehingga tidak dapat memompa darah dengan baik dan curah jantungpun menurun. Pada kondisi ini meskipun volume sirkulasi cukup tetapi tidak ada tekanan yang optimal untuk memompakan darah yang dapat memenuhi kebutuhan oksigen jaringan, akibatnya perfusi juga tidak terpenuhi. (2)
Gangguan pada pembuluh dapat terjadi pada berbagai tempat, baik arteri (afterload), vena (preload), kapiler dan venula. Penurunan hebat tahanan tahanan vaskuler arteri atau arteriol akan menyebabkan tidak seimbangnya volume cairan intravaskuler dengan pembuluh tersebut sehingga menyebabkan tekanan darah menjadi sangat rendah yang akhirnya juga menyebabkan tidak terpenuhianya perfusi jaringan. Peningkatan tahanan arteri juga dapat mengganggu sistim sirkulasi yang mengakibatkan menurunya ejeksi ventrikel jantung sehingga sirkulasi dan oksigenasi jaringan menjadi tidak optimal. Begitu juga bila terjadi peningkatan hebat pada tonus arteriol, yang secara langsung dapat menghambat aliran sirkulasi ke jaringan. Gangguan pada vena dengan terjadinya penurunan tahanan atau dilatasi yang berlebihan menyebabkan sistim darah balik menjadi sehingga pengisian jantung menjadi berkurang pula. Akhirnya menyebabkan volume sekuncup dan curah jantung juga menurun yang tidak mencukupi untuk oksigenasi dan perfusi ke jaringan. Ganguan pada kapiler secara langsung seperti terjadinya sumbatan atau kontriksi sistemik secara langsung menyebabkan terjadinya gangguan perfusi karena area kapiler adalah tempat terjadinya pertukaran gas antara vaskuler dengan jaringan sel-sel tubuh. Berdasarkan bermacam-macam sebab dan kesamaan mekanisme terjadinya itu syok dapat dikelompokkan menjadi beberapa empat macam yaitu syok hipovolemik, syok distributif, syok obstrukttif, dan syok kardiogenik. (2)
Syok hipovolemik merupakan syok yang terjadi akaibat berkurangnya volume plasma di intravaskuler. Syok ini dapat terjadi akibat perdarahan hebat (hemoragik), trauma yang menyebabkan perpindahan cairan (ekstravasasi) ke ruang tubuh non fungsional, dan dehidrasi berat oleh berbagai sebab seperti luka bakar dan diare berat. Kasus-kasus syok hipovolemik yang paing sering ditemukan disebabkan oleh perdarahan sehingga syok hipovolemik dikenal juga dengan syok hemoragik. Perdarahan hebat dapat disebabkan oleh berbagai trauma hebat
22
pada organorgan tubuh atau fraktur yang yang disertai dengan luka ataupun luka langsung pada pembuluh arteri utama. (2)
Patofisiologi dan Gambaran Klinis
Gejala-gejala klinis pada suatu perdarahan bisa belum terlihat jika kekurangan darah kurang dari 10% dari total volume darah karena pada saat ini masih dapat dikompensasi oleh tubuh dengan meningkatkan tahanan pembuluh dan frekuensi dan kontraktilitas otot jantung. Bila perdarahan terus berlangsung maka tubuh tidak mampu lagi mengkompensasinya dan menimbulkan gejala-gejala klinis. Secara umum syok hipovolemik menimbulkan gejala peningkatan frekuensi jantung dan nadi (takikardi), pengisian nadi yang lemah, kulit dingin dengan turgor yang jelek, ujung-ujung ektremitas yang dingin dan pengisian kapiler yang lambat. (2)
Pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosis adanya syok hipovolemik tersebut pemeriksaan pengisian dan frekuensi nadi, tekanan darah, pengisian kapiler yang dilakukan pada ujung-uung jari (refilling kapiler), suhu dan turgor kulit. Berdasarkan persentase volume kehilangan darah, syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi empat tingkatan atau stadium. Stadium syok dibagi berdasarkan persentase kehilangan darah, yaitu 15, 15-30, 30-40, dan >40%. Setiap stadium syok hipovolemik ini dapat dibedakan dengan pemeriksaan klinis tersebut.
1. Stadium-I adalah syok hipovolemik yang terjadi pada kehilangan darah hingga maksimal 15% dari total volume darah. Pada stadium ini tubuh mengkompensai dengan dengan vasokontriksi perifer sehingga terjadi penurunan refiling kapiler. Pada saat ini pasien juga menjadi sedkit cemas atau gelisah, namun tekanan darah dan tekanan nadi rata-rata, frekuensi nadi dan nafas masih dalam kedaan normal.
2. Syok hipovolemik stadium-II afalah jika terjadi perdarahan sekitar 15-30%. Pada stadium ini vasokontriksi arteri tidak lagi mampu menkompensasi fungsi kardiosirkulasi, sehingga terjadi takikardi, penurunan tekanan darah terutama sistolik dan tekanan nadi, refiling kapiler yang melambat, peningkatan frekuensi nafas dan pasien menjadi lebih cemas.
3. Syok hipovolemik stadium-III bila terjadi perdarahan sebanyak 30-40%. Gejala-gejala yang muncul pada stadium-II menjadi semakin berat. Frekuensi nadi terus meningkat hingga diatas 120 kali permenit, peningkatan frekuensi nafas hingga diatas 30 kali permenit, tekanan nadi dan tekanan darah sistolik sangat menurun, refiling kapiler yang sangat lambat.
4. Stadium-IV adalah syok hipovolemik pada kehilangan darah lebih dari 40%. Pada saat ini takikardi lebih dari 140 kali permenit dengan pengisian lemah sampai tidak teraba, dengan gejala-gejala klinis pada stadium-III terus memburuk. Kehilangan
23
volume sirkulasi lebih dari 40% menyebabkan terjadinya hipotensi berat, tekanan nadi semakin kecil dan disertai dengan penurunan kesadaran atau letargik. (2)
Berdasarkan perjalanan klinis syok seiring dengan jumlah kehilangan darah terlihat bahwa penurunan refilling kapiler, tekanan nadi dan produksi urin lebih dulu terjadi dari pada penurunan tekanan darah sistolik. Oleh karena itu, pemeriksaan klinis yang seksama sangat penting dilakukan. Pemeriksaan yang hanya berdasarkan perubahan tekanan darah sitolik dan frekuensi nadi dapat meyebabkan kesalahan atau keterlambatan diagnosoa dan penatalaksanaan (neglected cases). Tekanan nadi (mean arterial pressure: MAP) merupakan merupakan tekanan efektif rata-rata pada aliran darah dalam arteri. Secara matematis tekanan ini dipadapatkan dari penjumlahan tekanan sistolik dengan dua kali tekanan diastolik kemudian dibagi tiga. (2)
Penurunan tekanan darah sistolik lebih lambat terjadi karena adanya mekanisme kompensasi tubuh terhadap terjadinya hipovolemia. Pada awalawal terjadinya kehilangan darah, terjadi respon sistim saraf simpatis yang mengakibatkan peningkatan kontraktilitas dan frekuensi jantung. Dengan demikian pada tahap awal tekanan darah sistolik dapat dipertahankan. Namun kompensasi yang terjadi tidak banyak pada pembuluh perifer sehingga telah terjadi penurunan diastolik sehingga secara bermakna akan terjadi penurunan tekanan nadi rata-rata. (2)
Berdasarkan kemampuan respon tubuh terhadap kehilangan volume sirkulasi tersebut maka secara klinis tahap syok hipovolemik dapat dibedakan menjadi tiga tahapan yaitu tahapan kompensasi, tahapan dekompensasi dan tahapan irevesrsibel. Pada tahapan kompensasi, mekanisme autoregulasi tubuh masih dapat mempertahankan fungsi srikulasi dengan meningkatkan respon simpatis. Pada tahapan dekompensasi, tubuh tidak mampu lagi mempertahankan fungsinya dengan baik untuk seluruh organ dan sistim organ. Pada tahapan ini melalui mekanisme autoregulasi tubuh berupaya memberikan perfusi ke jaringan organ-organ vital terutama otak dan terjadi penurunan aliran darah ke ekstremitas. Akibatnya ujung-ujung jari lengan dan tungkai mulai pucat dan terasa dingin. Selanjutnya pada tahapan ireversibel terjadi bila kehilangan darah terus berlanjut sehingga menyebabkan kerusakan organ yang menetap dan tidak dapat diperbaiki. Kedaan klinis yang paling nyata adalah terjadinya kerusakan sistim filtrasi ginjal yang disebut sebagai gagal ginjal akut. (2)
Prinsip Penatalaksanaan(2)
Penatalaksanaan syok hipovolemik meliputi mengembalikan tanda-tanda vital dan hemodinamik kepada kondisi dalam batas normal. Selanjutnya kondisi tersebut dipertahankan dan dijaga agar tetap pada kondisi satabil. Penatalaksanaan syok hipovolemik tersebut yang utama terapi cairan sebagai pengganti cairan tubuh atau darah yang hilang. Jika ditemukan oleh petugas dokter atau petugas medis, maka penatalaksanaan syok harus dilakukan secara komprehensif yang meliputi penatalaksanaan sebelum dan di tempat pelayanan kesehatan atau rumah sakit.
24
Penatalaksanaan sebelum di tempat pelayanan kesehatan harus memperhatikan prinsi-prinsip tahapan resusitasi. Selanjutnya bila kondisi jantung, jalan nafas dan respirasi dapat dipertahankan, tindakan selanjutnya adalah adalah menghentikan trauma penyebab perdarahan yang terjadi dan mencegah perdarahan berlanjut. Menghentikan perdarahan sumber perdarahan dan jika memungkinkan melakukan resusitasi cairan secepat mungkin. Selanjutnya dibawa ke tempat pelayaan kesehatan, dan yang perlu diperhatikan juga adalah teknik mobilisai dan pemantauan selama perjalanan. Perlu juga diperhatikan posisi pasien yang dapat membantu mencegah kondisi syok menjadi lebih buruk, misalnya posisi pasien trauma agar tidak memperberat trauma dan perdarahan yang terjadi, pada wanita hamil dimiringkan kea rah kiri agar kehamilannya tidak menekan vena cava inferior yang dapat memperburuh fungsi sirkulasi. Sedangkan saat ini posisi tredelenberg tidak dianjurkan lagi karena justru dapat memperburuk fungsi ventilasi paru.
Pada pusat layanan kesehatan atau dapat dimulai sebelumnya harus dilakukan pemasangan infus intravena. Cairan resusitasi yang digunakan adalah cairan isotonik NaCl 0,9% atau ringer laktat. Pemberian awal adalah dengan tetesan cepat sekitar 20 ml/KgBB pada anak atau sekitar 1-2 liter pada orang dewasa. Pemberian cairan terus dilanjutkan bersamaan dengan pemantauan tanda vital dan hemodinamiknya. Jika terdapat perbaikan hemodinamik, maka pemberian kristaloid terus dilanjutnya. Pemberian cairan kristaloid sekitar 5 kali lipat perkiraan volume darah yang hilang dalam waktu satu jam, karena distribusi cairan koloid lebih cepat berpindah dari intravaskuler ke ruang intersisial. Jika tidak terjadi perbaikan hemodinamik maka pilihannya adalah dengan pemberian koloid, dan dipersiapkan pemberian darah segera.
4. 3 TERAPI CAIRAN DAN TRANSFUSI
A. Terapi cairan
Terapi cairan dan elektrolit adalah salah satu terapi yang sangat menentukan
keberhasilan penanganan pasien kritis. Tujuan terapi cairan: (3)
1) Mengganti cairan yang hilang
2) Mengganti kehilangan cairan yang sedang berlangsung
3) Mencukupi kebutuhan per hari
4) Mengatasi syok
5) Mengoreksi dehidrasi
6) Mengatasi kelainan akibat terapi lain
Jenis cairan intravena ada tiga jenis :
1. Cairan kristaloid
25
Cairan kristaloid mengandung zat dengan berat molekul rendah (< 8000 dalton)
dengan atau tanpa glukosa. Cairan kristaloid tekanan onkotik nya rendah sehingga cepat
terdistribusi ke seluruh ruang ekstraseluler.(4) Cairan kristaloid akan terdistribusikan di
dalam rongga ekstraseluler sesuai dengan lokasi beradanya natrium. Sekitar 1/3 cairan
kristaloid tetap berada dalam vascular, sedangkan sisanya akan masuk ke dalam rongga
interstisial.(5)
Cairan kristaloid bertahan didalam intravascular 20-30 detik. Cairan kristaloid
memiliki massa molekular yang lebih rendah dibandingkan dengan koloid. Cairan
kristaloid yang lebih sering digunakan untuk mengganti cairan yang hilang adalah
ringer lactat karena, cairan ringer lactat meskipun memiliki sifat hipotonik tetapi
cenderung menurunkan kadar sodium.(3) Laktat dalam cairan akan mengalami
perubahan menjadi bikarbonat yang berfungsi sebagai buffer didalam darah.
Sedangkan, cairna normal saline dalam jumlah besar dapat menyebabkan dilutional
hyperchloremic acidosis. Ketika terjadi peningkatan chlorida, konsentrasi bikarbonat
plasma turun. Sehingga normal salin digunakan untuk alkalosis metabolic
hypochloremic dan untuk mendilusi PRC sebelum tranfusi. (3,5)
Cairan Kristaloid diantaranya(3,5)
Ringer laktat
Cairan paling fisiologis jika sejumlah volume besar diperlukan. Banyak digunakan
sebagai replacement therapy untuk syok hipovolemik, diare, trauma, luka bakar.
Laktat di dalam RL akan dimetabolisme oleh hati menjadi bikarbonat untuk
memperbaiki asidosis metabolik.
RL tidak mengandung glukosa sehingga bila dipakai sebagai cairan maintenance
harus ditambah glukosa untuk mencegah ketosis
Ringer
Komposisi mendekati fisiologis tetapi masih memiliki beberapa kekurangan, yaitu
- Kadar Cl- terlalu tinggi, sehingga bila penggunaan dalam jumlah besar dapat
menyebabkan asidosis dilutional, asidosis hyperchloremia
- Tidak mengandung laktat yang dapat dikonversi menjadi bikarbonat untuk
memperingan asidosis.
NaCl 0,9 % (NS)
26
Dipakai sebagai cairan resusitasi (replacement therapy) untuk beberapa kasus,
diantaranya:
- kadar Na+ rendah
- keadaan dimana RL tidak cocok untuk digunakan seperti pada alkalosis dan
retensi kalium
- merupakan cairan pilihan untuk kasus trauma kepala, dan dipakai untuk
mengencerkan sel darah merah sebelum transfusi.
Namun, NaCl masih memiliki kekurangan yaitu tidak mengandung HCO3-; tidak
mengandung K+; kadar Na+ dan Cl- relative tinggi sehingga dapat terjadi asidosis
hyperchloremia, asidosis dilutional, dan hypernatremia
Dextrose 5 % dan 10 % (cairan non elektrolit)
Digunakan sebagai cairan maintenance pada pasien dengan pembatasan intake
natrium atau cairan pengganti pada pure water deficit.
Penggunaan pada perioperative bertujuan untuk berlangsungnya metabolism;
menyediakan kebutuhan air; mencegah hipoglikemi; mempertahankan protein yang
ada dibutuhkan minimal 100 g KH untuk mencegah dipecahnya kandungan protein
tubuh; menurunkan level asam lemak bebas dan ketone; mencegah ketosis dibutuhkan
minimal 200 g KH.
Cairan infuse yang mengandung dextrose, khususnya Dextroxe 5% tidak boleh
diberikan pada pasien trauma kapitis (neuro-trauma). Sebab, Dextrose dan air dapat
berpindah bebas ke dalam sel otak. Sekali berada dalam sel otak, dextrose akan
dimetabolisme dengan sisa air, yang dapat menyebabkan edema otak.
Darrow
Digunakan pada defisiensi kalium.
D5%+NS dan D5%+1/4 NS
Untuk kebutuhan maintenance, ditambahkan 20 mEq/L KCl
27
Komposisi Caira kristaloid(6)
2. Cairan Koloid
Cairan yang mengandung zat dengan berat molekul tinggi (>8000 dalton),
misalnya protein. Tekanan onkotiknya tinggi sehingga sebagian besar akan tetap tinggal
diruang intravaskuler dan dapat menarik cairan keluar dari rongga interstisial ke dalam
vaskular. Koloid memiliki waktu paruh yang lebih lama pada intravascular (3-6 jam)
jika dibandingkan dengan kristaloid (20-30 menit), sehingga lebih efektif dalam
mengembalikan volume intravascular dan curah jantung. Koloid juga dapat
meningkatkan transport oksigen ke jaringan (DO2) dan konsumsi O2 serta menurunkan
laktat serum. Cairan koloid digunakan sebagai tambahan kristaloid ketika dibutukan
pengganti cairan lebih dari 3-4 L sebelum mendapatkan tranfusi.(5)
Adapun jenis-jenis cairan koloid adalah : (3)
- Albumin
- Blood product : RBC
- Plasma protein fraction : plasmanat
- Koloid sintetik : dextran, hetastrach
HES mengandung starches yang tersusun atas 2 tipe polimer glukosa yaitu
amilosa dan amilopektin. Reaksi alergi pada HES lebih kecil disbandingkan gelofusin
Dextran, pemberian dextran untuk resusitasi cairan pada syok dan kegawatan
menghasilkan perubahan hemodinamikberupa peningkatan transport oksigen. Cairan ini
28
digunakan pada sindrom nefrotik dan dengue syok sindrom. Komplikasi pemberian
cairan ini adalah reaksi anafilaktik dan gangguan pembekuan darah.
Gelatin cairan ini banyak digunakan sebagai cairan resusitasi terutama pada
orang dewasa. Pemberian gelatin (gelofusin) dapat menambah volume plasma dan
mempunyai efek antikoagulan namun lebih kecil dibandingkan HES. Penggunaan
gelofusin harus diperhatikan karena dapat menimbulkan reaksi alergi.
3. Cairan Nutrisi(4)
Termasuk dalam salah satu bagian dari terapi rumatan/maintenance, yang
bertujuan untuk memelihara keseimbangan cairan tubuh dan nutrisi sehingga tercukupi
kebutuhannya. Pada umumnya diberikan dengan kecepatan rumatan sekitar 80 mL/jam.
Cairan nutrisi terdiri dari amiparen, aminovel-600, pan-amin G, Ka-en MG 3, Martos
10, Triparen
Pembedahan dengan anestesi memerlukan puasa sebelum dan sesudah
pembedahan. Terapi cairan parenteral diperlukan untuk mengganti deficit cairan saat
puasa sebelum dan sesudah pembedahan, mengganti perdarahan yang terjadi dan
mengganti cairan pindah ke ruang ketiga (rongga peritoneum).
Kebutuhan cairan basal (3)
Kebutuhan cairan ini diberiakan pada saat operasi sebagai kebutuhan cairan
rumatan seseorang dengan cara:
- 4 ml/ kgBB/ jam untuk berat badan 10 kg pertama
- 2 ml/ kgBB/ jam tambahkan untuk berat badan 10 kg kedua
- 1 ml/ kgBB/ jam untuk sisa berat badan
Pembedahan akan menyebabkan cairan pindah ke ruang ketiga, keruang
peritoneum. Untuk menggantinya tergantung besar kecilnya pembedahan.
- 6-8 ml/ kg untuk bedah bessar
- 4-6 ml/ kg untuk bedah sedang
- 2-4 ml/ kg untuk bedah kecil
Prinsip dasar terapi cairan
Intravenous Fluid Therapy (IVFD) bertujuan agar tercapai keseimbangan antara
input dan output cairan serta meminimalisir potensi kehilangan cairan yang dapat terjadi.
29
Secara umum, penggunaan cairan intravena memiliki fungsi sebagai resusitasi, rumatan
(maintenance), serta replacement dan redistribusi.(3)
1) Resusitasi
Resusitasi cairan diperlukan jika terjadi deficit/kehilangan cairan yang
signifikan sehingga mempengaruhi kondisi hemodinamik tubuh manusia. Pada
dasarnya, resusitasi cairan ini berfungsi untuk memaksimalkan perfusi nutrisi dan
oksigen ke jaringan perifer dengan cara meningkatkan volume intravascular. (3,5)
Terdapat beberapa indikator khusus untuk memulai resusitasi cairan, antara
lain sebagai berikut :(3)
- Tekanan darah sistolik <90 mmHg dan/atau mean arterial pressure (MAP) < 60
mmHg
- Pengisian kapiler > 2 sekon dan akral dingin
- Denyut nadi > 100 kali per menit
- Nafas >20 kali per menit
2) Rumatan/Maintenance
Cairan rumatan/maintenance berfungsi untuk mencukupi kebutuhan cairan dan
elektrolit yang tidak dapat terpenuhi melalui asupan oral ataupun enteral. Pemberian
cairan rumatan dengan ketentuan sebagai berikut :(6)
- Kebutuhan cairan rumatan berkisar antara 25-30 mL/kgBB/hari
- Kebutuhan K, Na, Cl sekitar 1 mmoL/kgBB/hari
- Kebutuhan glukosa 50-100 gr/hari untuk mencegah ketosis
- Pada pasien obesitas, pemberian cairan rumatan/maintenance mengikuti
berat badan ideal
- Pemberian cairan tidak melebihi 30 mL./kgBB/hari
Berikut adalah jenis cairan rumatan yang biasanya digunakan :
a) Ringer laktat/asetat
b) Nacl 0,9 % hanya untuk rumatan pada kehilangan cairan yang tinggi
kandungan Nacl dari saluran cerna ataupun ginjal
c) Glukosa 5 %
d) Glukosa saline (campuran glukosa 5 % dengan NaCl)
30
3) Penggantian/Replacement dan Redistribusi
Penggantian cairan dilakukan jika terdapat deficit cairan dan/atau elektrolit
atau kehilangan cairan ke luar tubuh yang sedang berlangsung. Biasanya kehilangan
cairan berasal dari traktus gastrointestinal atau traktus urinarius.
B. Tranfusi darah
Transfusi darah umumnya diberikan 50 % pada saat perioperative untuk menaikan
kapasitas pengangkutan oksigen dan volume intravascular. Jika hanya menaikan volume
intravascular saja cukup diberikan koloid atau kristaloid.(3)
Indikasi transfusi darah, diantaranya:
1. Perdarahan akut sampai HB < 8 gr % atau Ht < 30 %.
Pada orang tua, kelainan paru, kelainan jantung Hb < 10 g/dL
2. Bedah mayor kehilangan darah > 20 % volume darah
Berikut ini adalah gambaran volume darah pada masing-masing individu,
berdasarkan persentase berat badan adalah : (3,5,6)
a. Laki-laki : 7,5 % BB = 75 cc/kgBB
b. Perempuan : 6,5 % BB= 65 cc/kgBB
c. Bayi/ neonatus : 8,5 % BB = 85 cc/kgBB
Jenis transfusi dan kegunaannya : (6)
a. Darah lengkap (Whole Blood)
Diberikan pada pasien yang mengalami perdarahan akut, syok hemovolemik,
bedah mayor perdarahan >1500 ml. Pada orang dewasa diberikan bila kehilangan
darah lebih dari 15-20 % volume darahnya, sedangkan pada bayi lebih dari 10 %
volume darahnya.
b. Sel darah merah (Packed Red Cell)
Diberikan pada pasien dengan anemia kronik dan anemia yang disertai penyakit
jantung, hati dan ginjal. Keuntungannya bisa meningkatkan daya angkut oksigen
tanpa menambah beban volume darah. Untuk menaikan Hb 1 gr/dL dibutuhkan
packed red cell 4 ml/kgBB atau 1 unit dapat menaikan kadar Ht 3-5 %.
31
Untuk menentukan jumlah darah yang dibutuhkan agar hemoglobin pasien meningkat
dapat digunakan formula :
Volume darah yang diberikan =
Volume darah yang diberikan X Kenaikan Hb yang diinginkan
Hb yang diberikan
Catatan : Hb darah normal (donor) = 12 g %
Hb darah PRC = 24 g %
c. Sediaan trombosit (platelet concentrates)
Diberikan pada pasien dengan trombositopenia berat disertai kegagalan
pembentukan trombosit, misalnya pada leukemia dan tumor ganas yang lain.
d. Transfusi faktor anti hemofilik (Cryoprecipitate)
Diberikan pada pasien dengan hemophilia sebagai profilasis dan terapi
perdarahan.
e. Transfusi plasma segar beku (Fresh Frozen Plasma)
Diberikan pada pasien yang menderita deficit faktor pembekuan, misalnya pada
pasien yang mengalami perdarahan massif dan telah menerima transfuse darah massif.
f. Transfusi plasma
Diberikan pada pasien yang menderita luka bakar.
Transfusi darah masif
Perdarahan massif ialah perdarahan lebih dari sepertiga volume darah dalam waktu <
30 menit. Definisi lain tentang transfusi darah massif adalah :(3)
a) Transfusi darah sebanyak lebih dari 1-2 kali volume darah dalam waktu lebih dari
24 jam.
b) Transfusi darah lebih besar dari 50 % volum darah dalam waktu singkat (misalnya
5 unit dalam 1 jam untuk berat 70 kg).
Komplikasi transfusi darah
Komplikasi transfusi darah diantaranya :
1. Reaksi hemolitik
32
Reaksi Hemolytic pada umumnya melibatkan destruksi spesifik dari sel darah
merah yang ditransfusikan oleh antibody resipien. Lebih sedikit biasanya,
hemolysis sel darah merah resipien terjadi sebagai hasil transfusi antibody sel
darah merah.Trombosit konsentrat yang inkompatible, FFP, clotting faktor, atau
cryoprecipitate berisi sejumlah kecil plasma dengan anti-A atau anti-B ( atau
kedua-duanya) alloantibodies. Transfusi dalam jumlah besar dapat menyebabkan
hemolisis intravascular. Reaksi Hemolytic biasanya digolongkan akut
(intravascular) atau delayed ( extravascular).
Pada pasien sadar ditandai oleh demam, menggigil, nyeri dada-panggul, mual.
Pada pasien dalam anestesi ditandai oleh demam, takikardi tak jelas asalnya,