LAPORAN PRESENTASI KASUS (Periode 16 November 2015 – 18 Desember 2015 ) Bell’s Palsy Disusun oleh : Hilyatus Shalihat 1102010125 Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Bhayangkara tk.I R.S. Sukanto-Jakarta Pembimbing : Dr. Joko Nofianto, Sp. S 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
LAPORAN PRESENTASI KASUS
(Periode 16 November 2015 – 18 Desember 2015 )
Bell’s Palsy
Disusun oleh :
Hilyatus Shalihat
1102010125
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf Rumah Sakit Bhayangkara tk.I
R.S. Sukanto-Jakarta
Pembimbing :
Dr. Joko Nofianto, Sp. S
RS POLRI JAKARTA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
2015
1
KATA PENGANTAR
Pertama saya ucapkan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa. karena atas anugrah-
Nya saya dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Cephalgia et causa Abses Cerebri”
tepat pada waktunya. Adapun tujuan pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai salah satu
syarat dalam mengikuti dan menyelesaikan Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Saraf, Rumah
Sakit Kepolisian pusat TK.I Raden Said Soekamto.
Saya mengucapkan terima kasih kepada dr. Joko Nafianto. Sp.S. ,yang telah meluangkan
waktunya untuk membimbing saya dalam pembuatan laporan kasus ini. Saya menyadari banyak
sekali kekurangan dalam laporan kasus ini, oleh karena itu saran dan kritik yang membangun
sangat penulis harapkan. Semoga laporan kasus ini dapat bermanfaat bagi siapa pun yang
membacanya.
Jakarta , November 2015
Penulis
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR….................................................................................................................2
DAFTAR ISI....................................................................................................................................3
BAB I PENDAHULUAN ..............................................................................................................4
BAB II STATUS PASIEN............................................................................................................5
BAB III TINJAUAN PUSTAKA................................................................................................17
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................................................39
3
BAB I
PENDAHULUAN
Nervus fasialis mempunyai peran penting dalam fungsi gerak otot-otot wajah dan fungsi
sensorik. Tiap Nervus mengkoordinir satu sisi wajah, termasuk otot-otot yang menggerakan
kelopak mata juga otot-otot untuk ekspresi wajah. Selain itu nervus fasialis menginervasi
glandula lacrimal, saliva dan otot pendengaran yang mengatur tulang pendengaran. Indra
pengecapan juga diwakili oleh serabut saraf ini.
Bell‘s palsy adalah gangguan neurologis yang paling sering menyerang nervus fasialis
dan penyebab kelumpuhan wajah paling sering di dunia. Sekitar 60-75% serangan akut lumpuh
sebelah wajah adalah Bell‘s Palsy. Bell‘s palsy juga dikenal sebagai Idiopatic Facial Paralysis
(IFP) termasuk paralisis Lower Motor Neuron (LMN) yang bersifat akut, perifer, unilateral.
Kesembuhan sempurna tanpa terjadi defisit neurologis hampir didapatkan pada semua pasien.
Insidensi terjadi pada wanita dan pria sama dan dapat menyerang berbagai kelompok
usia. Namun ditemukan bahwa penderita diabetes melitus, wanita hamil dan wanita usia 10-19
tahun mempunyai angka kejadian lebih tinggi dibandingkan pria dengan usia yang sama.
4
BAB II
STATUS PASIEN
II.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 53 Tahun
Alamat : Cawang
Pekerjaan : Buruh kasar
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Status Perkawinan : Menikah
Pendidikan Terakhir : SD
Tanggal masuk RS : 21 November 2015
Tanggal Pemeriksaan : 22 November 2015
II.2 Anamnesa ( Autoanamnesis dan Alloanamnesis )
Keluhan Utama : Bibir mencong sebelah kanan sejak 1 jam SMRS
Keluhan Tambahan : Nyeri kepala sejak 2 jam SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RS POLRI pada tanggal 21 November 2015 dengan keluhan bibir
mencong sebelah kanan sejak 1 jam sebelum datang ke rumah sakit. Pasien mengaku sehari
sebelum serangan terdapat rasa kesemutan disekitar bibir dan pada malam hari pasien sedang
berkumpul bersama teman-temannya di tempat terbuka hingga tengah malam. Keesokan harinya
setelah pasien selesai beribadah tiba-tiba pasien merasakan bibir sebelah mencong ke sebelah
kanan dan tidak dapat dikembalikan ke posisi semula. Pasien mengatakan pada saat minum air,
air selalu keluar dari mulut. Kelopak mata kiri terasa sulit untuk menutup.
5
Pasien menyatakan tidak demam, tidak pernah keluar cairan dari telinga, pusing berputar
tidak ada, nyeri kepala (+) seperti tercengkeram, mendengar bunyi berdenging tidak ada,
kelemahan anggota tubuh lainnya tidak ada, mual tidak ada, muntah tidak ada, tidak ada
kesulitan menelan, BAB dan BAK lancar. Kejadian ini adalah pertama kali dialami oleh pasien.
Pasien memiliki riwayat hipertensi sejak 5 tahun yang lalu.
Riwayat Penyakit Dahulu
- Pasien mengaku tidak pernah mengalami nyeri kepala seperti ini sebelumnya
- Pasien memiliki riwayat darah tinggi dan rutin kontrol dan minum obat
- Pasien tidak memiliki riwayat sakit telinga
- Riwayat trauma kepala disangkal pasien
- Riwayat gigi berlubang disangkal pasien
- Riwayat diabetes disangkal pasien
Riwayat Pengobatan
Pasien masih rutin minum obat darah tinggi yaitu amlodipin 1x sehari
Riwayat Penyakit Keluarga
Pasien menyangkal adanya penyakit yang sama yang dirasakan oleh keluarga pasien.
Riwayat Alergi
Riwayat alergi disangkal
Riwayat Kebiasaan
- Pasien menyangkal adanya kebiasaan merokok.
- Pasien mengaku memiliki pola makan yang teratur.
kiri dan kanan. Sebelum nervus fasialis meninggalkan batang otak, serabut motorik
melingkar di nucleus abdusen dan membentuk genu internal saraf. Setelah melewati
batang otak, nervus fasialis memasuki porus akustikus internus dengan nervus
vestibulokoklearis.
2. Intrameatal : bersamaan dengan nervus VIII, nervus fasialis memasuki porus akustikus
internus hingga ke fundus; disana melewati anterosuperior melalui foramen meatal.
Disana tempa kanalis falopi tersempit sehingga disana saraf-saraf sering terperangkap
karena proses inflamasi.
3. Labirin : setelah melewti dan meninggalkan nervus pertrosal mayor, yang juga
merupakan serabut saraf yang mempersarafi glandula lakrimalis dan glandulua mumosa
nasalis. Nervus fasialis turun secara tajam di ganglion genikulatum membentuk genu
pertama.
4. Timpanik : segmen nervus fasialis berjalan horizontal melalui telinga tengah.
Melewati diatas stapes, ke aditus ad antrum didekat kanalis semisirkular. Segmen
timpanik dilapisi selunung tulang tipis.
5. Mastoid : di segmen mastoid, nervus faasialis membuat genu sekunder oleh aditus
ad antrum, membelok secara vertical kebawah membentuk sudut 90 derajat. Kemudian
menuju mastoid dan saluran bertulang ke foramen stilomastoid. Sebelum meninggalkan
foramen, nervus fasialis meninggalkan korda timpani, yang berjalan kembali ke telinga
tengah dan kemudian melewati foramen yang mengandung serabut sensoris pengecapan.
6. Ekstrakranial : setelah keluar dari foramen, nervus fasialis memasuki glandula parotis.
20
Gambar 2. Komponen serabut nervus fasialis10
III.2 Epidemiologi
Bell’s palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralisis fasial akut.
Didunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bell’s palsy setiap tahun sekitar
23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai sisi wajah kanan. Penderita diabetes mempunyai
resiko 29% lebih tinggi, dibanding non-diabetes. Bell’s palsy mengenai laki-laki dan wanita
dengan perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda, yang berumur 10-19 tahun lebih
rentan terkena daripada laki-laki dengan kelompok umur yang sama. Penyakit ini mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trimester ketiga
dan 2 minggu pasca persalinan, kemungkinan timbulnya Bell’s palsy lebih tinggi daripada wanita
tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat.1
III.3 Etiologi
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh inflamasi pada nervus fasialis di ganglion
genikulatum. Reaksi inflamasi ini menyebabkan terjadinya kompresi dan kemungkinan bisa
menyebabkan iskemik dan demielinisasi. Ganglion ini terletak di kanalis fasialis, persimpangan
segmen labirin dan timpani, dimana nervus fasialis berbelok ke foramen stilomastoideus. Secara
21
umum, Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan
penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11
1. Infeksi Virus
Banyak kemiripan antara Bell’s palsy dengan neuropati lainnya yang disebabkan oleh
virus. Polio, mumps, Epstein-Barr dan rubella mempunyai manifestasi neuritik yang
progresif.
Herpes simplex virus tipe 1 merupakan virus penyebab utama terjadinya Bell’s palsy
selain virus Epstein-Barr. Virus ini dapat ditemukan pada nasofaring orang yang terkena
Bell’s palsy dalam fase akut. Virus ini predileksinya di ganglion sel sensoris dalam fase laten.
Nervus fasialis yang mengandung saraf sensoris terletak di ganglion genikulatum, dimana
apabila terjadi infeksi di nervus fasialis menyebabkan ganglionitis genikulatum yang dapat
mendasari terjadinya Bell’s palsy.3
Virus herpes simplex yang bereplikasi di sel ganglion akan menimbulkan kerusakan
setempat dan menyebabkan hipofungsi pada saraf tersebut. Kemudian hal ini dapat
diteruskan ke axon yang dapat menyebabkan radikulitis. Virus ini kemudian menginfeksi sel
schwann yang menyebabkan terjadi inflamasi dan reaksi imunologik. Infiltrasi limfositik
akhirnya menyebabkan terjadinya fragmentasi pada mielin, demielinisasi dan kromatolisis.
Ketika inflamasi dan reaksi imunologik teratasi, maka terjadilah proses remielinisasi.12
2. Vaskular iskemik
Bell’s palsy dapat disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis. Nervus
fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal media
(sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa
terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis
dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang
disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
22
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid
dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit
tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder
merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi
kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang
mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi
menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan
nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses
iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek
strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12
3. Herediter
Variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya kelumpuhan
fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan fasialis yang
rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus. Iskemik primer yang
terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa menyebabkan terjadinya
Bell’s palsy yang pemanen apabila tidak segera diatasi.12
23
Gambar 3. Etiologi Bell’s Palsy12
III.4 Patofisiologi
Patofisiologi pasti dari Bell’s palsy belum jelas. Nervus fasialis yang melewati tulang
temporal merupakan kanalis fasialis. Berdasarkan teori, proses edema dan iskemi dihasilkan
dari kompresi oleh nervus fasialis yang berada di tulang kanalis. Bagian pertama dari kanalis
fasialis, segmen labirin, merupakan bagian yang paling sempit, foramen meatal hanya
berdiameter 0,66 mm. Ini merupakan tempat tersering dari terjadinya kompresi nervus
fasialis pada Bell’s palsy. Mengingat ketatnya batas kanalis fasialis, sangat logis sekali
bahwa inflamasi, demielinisasi, iskemik atau proses kompresi dapat menghambat konduksi
pada nervus fasialis.1
Bell’s palsy didefinisikan sebagai idiopatik. Namun ada beberapa teori yang mengatakan
penyebab dari Bell’s palsy adalah infeksi virus, iskemik dan herediter.3,11
Infeksi virus atau kerusakan pembungkus myelin ke nervus kranialis tujuh dapat
menyebabkan gangguan konduksi. Infeksi virus dapat menyebabkan inflamasi yang
biasanya terjadi di meatus auditori intermus dimana ini akan mengakibatkan kompresi atau
penekanan pada kanal falopi pada segmen labirin yang akan mengakibatkan terjadinya
24
infark. Kerusakan pada pembungkus myelin dapat menyebabkan gangguan seperti
terhambatnya penghantaran sinyal dari otak ke otot-otot fasialis. Gangguan ini dapat juga
disebabkan oleh penyakit-penyakit seperti Lyme Disease, diabetes mellitus, tumor, HIV,
chickenpox atau trauma di wajah yang dekat dengan nervus fasialis.12
Bell’s palsy dapat juga disebabkan oleh penurunan sirkulasi darah ke nervus fasialis.
Nervus fasialis mendapat pendarahan dari arteri labirintina (proksimal), arteri meningeal
media (sentral) dan arteri stilomastoid (distal). Beberapa pendapat mengatakan bahwa
terganggunya salah satu dari pembuluh darah yang memperdarahi nervus fasialis
menyebabkan iskemik primer, iskemik yang disebabkan oleh kompresi nervus fasialis
dikarenakan kekakuan kanal falopi menyebabkan iskemik sekunder sedangkan iskemik yang
disebabkan penebalan sarung fibrosa disebut iskemik tersier.12
Nervus fasialis mempunyai system pembuluh darah yang adekuat dari arteri stilomastoid
dan petrosal, sehingga iskemik primer jarang terjadi kecuali apabila disertai dengan penyakit
tambahan seperti diabetes mellitus. Hilger (1949) mengatakan bahwa iskemik sekunder
merupakan kelanjutan dari iskemik primer. Iskemik sekunder disebabkan karena dilatasi
kapiler dengan peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan terjadinya transudasi yang
mengakibatkan terjadinya kompresi. Kompresi dari kapiler dan venula di kanal falopi
menyebabkan timbulnya zona iskemik dan dikeadaan yang berlanjut dapat menimbulkan
nekrosis. Penyebab dari edema di kanal falopi tidak begitu jelas, namun beberapa teori
mengatakan bahwa hal ini dipicu oleh spasme pembuluh arah yang meningkatkan
permeabilitas sehingga terjadi pengeluaran histamin dan menimbulkan reaksi
hipersensitivitas. Begitu pula dengan iskemik tersier merupakan kelanjutan dari proses
iskemik sekunder, dimana penebalan sarung fibrosa yang mengeras dapat memberikan efek
strangulasi pada saraf fasialis yang akan menimbulkan gejala sisa pada Bell’s palsy.12
Selain itu, variasi anatomik familial kanalis fasialis memiliki kecendrungan terjadinya
kelumpuhan fasialis. Konstriksi dari kanal falopi menyebabkan terjadinya kelumpuhan
fasialis yang rekuren. Hal ini juga menyebabkan terjadinya iskemik dan infeksi virus.
Iskemik primer yang terjadi dapat berlanjut ke iskemik sekunder dan tersier dan bisa
menyebabkan terjadinya Bell’s palsy yang oemanen apabila tidak segera diatasi.12
25
III.5 Manifestasi klinis
Setelah satu hari atau dua hari terpapar, maka akan timbul demam, nyeri dibelakang
telinga dan nyeri dan kaku di leher. Manifestasi klinis ini muncul secara tiba-tiba atau
akut, dan kelumpuhan diwajah sebelah setelah bangun tidur. Rata-rata setengah dari
kasus ini, kelumpuhan dirasakan hanya dalam 48 jam pertama, namun kenyataannya
seluruh kasus kelumpuhan dirasakan selama 5 hari.13
Gambar 4. Manifestasi
klinis Bell’s palsy1
Manifestasi motorik13 :
Bell’s palsy biasanya mengalami kelemahan pada satu wajah. Kelemahan bersifat luas,
mulai dari tidak bisa menutup sebelah mata.
Alis turun
Ektropion pada kelopak bawah
Synkinesis
Manifestasi sensorik:
Gangguan mengecap
Nyeri dibelakang telinga
26
Manifestasi parasimpatik:
Penurunan produksi air mata
Hipersalivasi
Karena saraf pada bagian wajah memiliki banyak fungsi dan kompleks, kerusakan
atau gangguan fungsi pada saraf tersebut dapat mengakibatkan banyak masalah. Penyakit
ini seringkali menimbulkan gejala-gejala klinis yang beragam akan tetapi gejala-gejala
yang sering terjadi yaitu wajah yang tidak simetris, kelopak mata tidak bisa menutup
dengan sempurna, gangguan pada pengecapan, serta sensasi mati rasa pada salah satu
bagian wajah. Pada kasus yang lain juga terkadang disertai dengan adanya hiperakusis
(sensasi pendengaran yang berlebihan), telinga berdenging, nyeri kepala dan perasaan
melayang. Hal tersebut terjadi mendadak dan mencapai puncaknya dalam dua hari.
Keluhan yang terjadi diawali dengan nyeri pada bagian telinga yang seringkali dianggap
sebagai infeksi. Selain itu juga terjadi kelemahan atau paralisis otot, Kerutan dahi
menghilang, Tampak seperti orang letih, Hidung terasa kaku terus - menerus, sulit
berbicara, sulit makan dan minum, sensitive terhadap suara (hiperakusis), salivasi yang
berlebih atau berkurang, pembengkakan wajah, berkurang atau hilangnya rasa kecap, air
liur sering keluar, air mata berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif
terhadap cahaya.13
Selain itu masih ada gejala-gejala lain yang ditimbulkan oleh penyakit ini yaitu, pada
awalnya, penderita merasakan ada kelainan di mulut pada saat bangun tidur, menggosok
gigi atau berkumur, minum atau berbicara. Mulut tampak mencong terlebih saat meringis,
kelopak mata tidak dapat dipejamkan (lagoftalmos), waktu penderita menutup kelopak
matanya maka bola mata akan tampak berputar ke atas. Penderita tidak dapat bersiul atau
meniup, apabila berkumur maka air akan keluar ke sisi melalui sisi mulut yang lumpuh.13
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi14 :
a. Lesi di luar foramen stylomastoideus
27
Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat, makanan berkumpul di antar pipi dan
gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang, lipatan kulit dahi
menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi maka aur
mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, ditambah
dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi
yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana
korda timpani bergabung dengan nervus fasialis (N.VII) di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan musculus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di
kanalis fasialis, ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus. Lesi di kanalis
fasialis, lebih tinggi lagi disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam liang telinga.
Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.
e.Lesi di daerah meatus acusticus interna
Gejala dan tanda klinik seperti lesi di luar foramen stylomastoideus, lesi di kanalis
fasialis, lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi, lesi di tempat yang lebih tinggi lagi,
ditambah dengan tuli sebagai akibat dari terlibatnya nervus vagus (N.X).
f. Lesi di tempat keluarnya nervus fasialis (N.VII) dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan di atas, disertai gejala dan tanda terlibatnya
nervus trigeminal (N.V), nervus vagus (N.X), dan kadang-kadang juga nervus abdusen
(N.VI), nervus aksesorius (N.XI), dan nervus hipoglosal (N.XII).14
28
Untuk menentukan topografi kerusakan saraf fasialis dilakukan beberapa
pemeriksaan seperti tes Schirmer, pemeriksaan refleks stapedius, tes gustometri dan tes
salivaasi.
Tes Schirmer
Tes schirmer dilakukan untuk mengevaluasi fungsi saraf petrosus dengan menilai
fungsi lakrimasi pada mata kanan dan kiri. Hasil abnormal menunjukkan kerusakan pada
Greater Superficial Petrosal Nerve (GSPN) atau saraf fasialisdi proksimal ganglion
genikulatum. Lesi pada tempat ini dapat menybabkan terjadinya keratitis atau ulkus pada
kornea akibat terpaparnya kornea mata yang mengalami kelumpuhan.
Pemeriksaan Refleks Stapedius
Pemeriksaan refleks stapedius rutin dilakukan pada kelumpuhan saraf fasialis.
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengevaluasi fungsi cabang stapedius dari saraf fasialis.
Tes ini merupakan tes yang paling objektif dari beberapa tes topografi saraf fasialis
lainnya. Pada pasien Bell’s palsy dengan refleks stapedius yang masih normal
menandakan bahwa penyembuhan komplit dapat terjadi dalam 6 minggu.
Tes Gustometri
Tes gustometri dilakukan untuk menilai fungsi saraf korda timpani dengan menilai
pengecapan pada lidah 2/3 anterior dengan rasa manis, asam dan asin. Tes ini sangat
subjektif. Disamping fungsi pengecapan, korda timpani juga berperan pada fungsi
salivasi. Kita dapat menilai fungsi dari duktus wharton’s dengan mengukur produksi
saliva dalam 5 menit.
Tes Salivasi
Produksi saliva berkurang dapat diprediksi korda timpani tidak berfungsi dengan
baik. Menurut beberapa literatur, pada kasus Bell’s palsy sering terdapat kesenjangan
topografi saraf fasialis seperti pada pasien terdapat kehilangan fungsi lakrimasi
sedangkan refleks stapedius dan fungsi pengecapan masih normal atau dapat juga fungsi
lakrimasi dan refleks stapedius mengalami gangguan namun fungsi salivasinya normal.
Hal ini disebabkan karena terdapatnya multipel inflamasi dan demielinisasi disepanjang
perjalanan saraf fasialis dari batang otak ke cabang perifer.
29
Blink Reflex
Blink reflex merupakan tehnik elektrofisiologi untuk mengevaluasi pasien dengan
keterlibatan nervus trigeminal dan fasialis, demielinisasi polineuropati dan lesi sentral di
batang otak.15
Sama dengan refleks cornea.
Afferen dari cabang N.V cabang oftalmicus dan efferen N.VII serabut motorik.
Stimulasi saraf supraorbital15 :
Pasien berbaring pada sebuah tempat tidur dengan mata tertutup.
Elektroda yang aktif diletakan dibagian lateral dari m. Orbikularis okuli atau
ditempelkan pada hidung dan dagu
Elekteroda dasar diletakkan dileher atau dahi
Respon dari refleks:
Komponen R1à Periodenya lebih dari 13 ms disebut abnormal. Perbedaan antara
sisi periodenya harus kurang dari 1,2 ms.
Komponen R2 à Jika periode ipsilateral dan kontralateral lebih dari 14 ms
dikatakan tidak normal.
Respon dari R1 : Adanya ketiadaan atau perlambatan mengindikasikan adanya gangguan
dari nervus trigeminus atau fasialis.
Respon dari R2 : Keterlibatan dari R2 mengindikasikan tempat dari lesi ketika R1
abnormal. Lesi saraf trigeminus memiliki ciri adanya keterlambatan bilateral atau
kelemahan dari R2 ketika terjadi stimulasi dari sisi wajah yang terpengaruh. Lesi saraf
fasialis memiliki ciri adanya keterlambatan pada R2 pada sisi yang terkena, biarpun
adanya rangsangan dari sisi kiri atau kanan jika lesinya ada dikanan tetap kanan yang
terkena.15
30
Gambar 5.
Respon blink normal15
III.6 Pemeriksaan penunjang
Bell’s palsy merupakan diagnosis klinis sehingga pemeriksaan penunjang perlu dilakukan
untuk menyingkirkan etiologi sekunder dari paralisis saraf kranialis. Pemeriksaan radiologis
dengan CT-scan atau radiografi polos dapat dilakukan untuk menyingkirkan fraktur, metastasis
tulang, dan keterlibatan sistem saraf pusat (neoplasma di tulang temporal, otak, glandula parotis,
atau untuk mengevaluasi sklerosis multipel. Selain itu, MRI dapat memvisualisasi perjalanan dan
penyengatan kontras saraf fasialis.15
Pemeriksaan neurofisiologi pada Bells palsy sudah dikenal sejak tahun 1970- sebagai
prediktor kesembuhan, bahkan dahulu sebagai acuan pada penentuan kandidat tindakan
dekompresi elektromiografi (EMG) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dibandingkan
elektroneurografi (ENOG). Selain itu pemeriksaan pada Bell’s palsy dapat pula dilakukan
pemeriksaan uji stimulasi maksimal.17
3. Elektromiografi (EMG)
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respon reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai
31
respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan
suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah
paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial
denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukan kepulihan sebagai
serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.17
3. Elektroneuronografi
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf.
Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila
dibandingkan dengan sisi lainnya dama sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang
secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25% berakibat
penyembuhan tidak lengkap pada 88% pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu
mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.17
3. Uji stimulasi maksimal
Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakan sonde ditekankan pada wajah di
daerah nervus fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 mA, atau sampai
pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi dan bibir bawah diuji
dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan didaerah-daerah ini menunjukan
suatu respon normal. Perbedaan respon yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang
lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi
kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25% dari arus yang digunakan pada sisi
yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari 92% persen menderita Bell’s palsy kembali dapat
melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami
pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bntuk pengujian yang
paling dapat diandalkan adalah uji funsgi saraf secara langsung.17
III.7 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
2. Agen antiviral.Meskipun pada penelitian yang pernah dilakukan masih kurang menunjukkan efektifitas obat-obat antivirus pada Bell’s palsy, hampir semua ahli percaya
pada etiologi virus. Penemuan genom virus disekitar nervus fasialis memungkinkan digunakannya agen-agen antivirus pada penatalaksanaan Bell’s palsy. Oleh karena
32
itu, zat antiviral merupakan pilihan yang logis sebagai penatalaksaan farmakologis dan sering dianjurkan pemberiannya. Acyclovir 400 mg selama 10 hari dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bell’s palsy. Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset penyakit untuk mencegah replikasi virus.1
Nama obat Acyclovir (Zovirax)–menunjukkan aktivitas hambatan langsung
melawan HSV-1, HSV-2 dan sel yang terinfeksi secara selektif.
Dosis dewasa 4000 mg/24 jam peroral selama 7-10 hari.
Dosis pediatrik < 2 tahun : tidak dianjurkan.
> 2 tahun : 1000 mg peroral dibagi 4 dosis selama 10 hari.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas.
Interaksi obat Penggunaan bersama dengan probenecid atau zidovudine dapat
memperpanjang waktu paruh dan meningkatkan toksisitas
acyclovir terhadap SSP.
Kehamilan C – keamanan penggunaan selama kehamilan belum pernah
dilaporkan.
Perhatian Hati-hati pada gagal ginjal atau menggunakan obat yang bersifat
nefrotoksik.
Tabel 1. Obat Bell’s palsy antiviral1
2. Kortikosteroid.
Pengobatan Bell’s palsy dengan menggunakan steroid masih merpakan suatu kontroversi.
Berbagai artikel penelitian telah diterbitkan mengenai keuntungan dan kerugian pemberian
steroid pada Bell’s palsy. Para peneliti lebih cenderung memilih menggunakan steroid untuk
memperoleh hasil yang lebih baik. Bila telah diputuskan untuk menggunakan steroid, maka harus
segera dilakukan konsensus. Prednison dengan dosis 40-60 mg/ hari per oral atau 1 mg/ kgBB/
hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian, dimana pemberiannya
dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan peluang
kesembuhan pasien.18
33
Nama obat Prednisone (Deltasone, Orasone, Sterapred) – efek
farmakologis yang berguna adalah efek antiinflamasinya,
yang menurunkan kompresi nervus fasialis di kanalis
fasialis.
Dosis dewasa 1 mg/kg/hari peroral selama 7 hari.
Dosis pediatrik Pemberian sama dengan dosis dewasa.
Kontraindikasi Pernah dilaporkan adanya hipersensitivitas; infeksi virus,
jamur, jaringan konektif, dan infeksi kulit tuberkuler;
penyakit tukak lambung; disfungsi hepatik; penyakit
gastrointestinal.
Interaksi obat Pemberian bersamaan dengan estrogen dapat menurunkan
klirens prednisone; penggunaan dengan digoksin dapat
menyebabkan toksisitas digitalis akibat hipokalemia;
fenobarbital, fenitoin, dan rifampin dapat meningkatkan
metabolisme glukokortikoid (tingkatkan dosis
pemeliharaan); monitor hipokalemia bila pemberian
bersama dengan obat diuretik.
Kehamilan B – biasanya aman tetapi keuntungan obat ini dapat
memperberat resiko.
Perhatian Penghentian pemberian glukokortikoid secara tiba-tiba dapat