BAB I PENDAHULUAN Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat yang serius dan sering mengancam jiwa serta memerlukan intervensi medis cepat. Kondisi ini dapat merupakan komplikasi penyakit akut seperti ensefalitis dan dapat terjadi sebagai kejang pertama pada 12% anak-anak dengan epilepsi. 1 Antara 10 sampai 20% anak-anak dengan epilepsi akan memiliki setidaknya satu episode Status Epileptikus. 2 Insiden pada masa kanak-kanak diperkirakan 17-23 episode per 100.000 per tahun. 3 Tingkat insiden, penyebab, dan prognosis bervariasi secara substansial dengan usia. Insiden tertinggi adalah pada tahun pertama kehidupan. Status epileptikus akibat demam merupakan etiologi yang paling umum. 4 Berdasarkan jenis serangan, dikenal SE konvulsivus dan non konvulsivus, Diagnosis SE nonkonvulsivus lebih sulit dibanding SE konvulsivus karena serangannya tidak nyata, namun bila dilakukan monitor melalui rekaman electroencephalogram (EEG) maka akan tampak aktifitas abnormal. Absence adalah salah satu kasus kejang nonkonvulsivus. Oleh karena itu EEG sangat penting untuk memonitor kasus status epileptikus. 2 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
Status epileptikus (SE) adalah keadaan darurat yang serius dan sering
mengancam jiwa serta memerlukan intervensi medis cepat. Kondisi ini dapat
merupakan komplikasi penyakit akut seperti ensefalitis dan dapat terjadi sebagai
kejang pertama pada 12% anak-anak dengan epilepsi.1 Antara 10 sampai 20%
anak-anak dengan epilepsi akan memiliki setidaknya satu episode Status
Epileptikus.2
Insiden pada masa kanak-kanak diperkirakan 17-23 episode per 100.000
per tahun. 3 Tingkat insiden, penyebab, dan prognosis bervariasi secara substansial
dengan usia. Insiden tertinggi adalah pada tahun pertama kehidupan. Status
epileptikus akibat demam merupakan etiologi yang paling umum.4
Berdasarkan jenis serangan, dikenal SE konvulsivus dan non konvulsivus,
Diagnosis SE nonkonvulsivus lebih sulit dibanding SE konvulsivus karena
serangannya tidak nyata, namun bila dilakukan monitor melalui rekaman
electroencephalogram (EEG) maka akan tampak aktifitas abnormal. Absence
adalah salah satu kasus kejang nonkonvulsivus. Oleh karena itu EEG sangat
penting untuk memonitor kasus status epileptikus.2
Dalam praktek sehari-hari, penatalaksanaan SE terutama di tempat-tempat
yang tidak memiliki fasilitas perawatan intensif akan menghadapi kendala teknis
dan nonteknis, sehingga dokter dituntut untuk dapat bekerja professional dan
mempunyai pemahaman tentang status epileptikus dengan penggunaan obat yang
adekuat.2
Adapun tujuan laporan kasus ini adalah untuk memberikan pemahaman
terhadap penanganan status epileptikus sehingga diharapkan penatalaksanaan
terhadap kasus status epileptikus dapat dilakukan secara efektif dan efisien.
BAB II
1
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Nama : An. MT
Umur : 11 tahun
Jenis Kelamin : 26 kg
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Dusun IV Desa Aur Duri Kecamatan Rambang Dangku
MRS : 13 April 2012
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dengan ibu penderita, 14 April 2012)
Keluhan Utama : Kejang
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 2 hari SMRS, penderita mendadak kejang, tanpa diawali demam
terlebih dahulu, tetapi setelah kejang badan terasa sedikit panas. Muntah-
muntah (-), BAK dan BAB tidak ada keluhan. Penderita kejang tidak lama
setelah bermain. Hingga saat masuk RS penderita telah kejang sebanyak 5
kali dengan lama kejang 5-30 menit tiap kejangnya. Saat kejang, tubuh
penderita bergerak tidak teratur. Di antara kejang, pasien tidak sadarkan diri
dan badan terasa lemas. Penderita tidak diberi obat apapun kemudian dibawa
ke Puskesmas Gunung Megang dan dirujuk ke RSUD Moh. Rabain M.Enim.
Setelah di RS penderita masih kejang. Kejang sebanyak 2 kali lama
kejang 5 menit dan 15 menit. Jarak antara kejang sekitar 30 menit dan
penderita tetap tidak sadar. Penderita diberikan diazepam injeksi 10 mg.
Penderita sadar kira-kira 1 jam setelah kejang berakhir. Lalu penderita
dipindahkan ke bangsal anak.
Riwayat Penyakit Dahulu
2
Riwayat kejang dibenarkan ibu penderita.
Kejang pertama kali saat penderita berumur 3 minggu. Saat itu
penderita panas tinggi kemudian diikuti kejang sebanyak 1 kali. Lamanya
kejang sekitar 10 menit, kejang seluruh tubuh. Setelah kejang selesai,
penderita menangis. Penderita tidak dibawa berobat. Kejang sering terjadi
sejak usia 3 minggu sampai 3 bulan, frekuensi kejang minimal 1 x
seminggu dan lamanya kejang bervariasi 5 menit hingga 10 menit. Ibu
penderita tidak membawa penderita berobat. Hingga usia 6 tahun penderita
tidak pernah kejang. Namun usia 7 tahun – 8 tahun, penderita kembali
kejang. Saat itu penderita kejang saat bermain bola dengan teman-
temannya. Hampir tiap bulan penderita kejang dan diawali dengan
kelelahan setelah bermain. Orang tua penderita tetap tidak membawa
penderita ke dokter, karena beranggapan anaknya baik-baik saja walaupun
sering kejang. Sejak usia 8 tahun hingga ± 2 hari SMRS penderita tidak
pernah kejang.
Riwayat trauma sebelumnya disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga
Riwayat kejang dalam keluarga tidak ada
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
GPA : P1A0
Masa kehamilan : aterm
Partus : spontan
Penolong : dukun beranak
Berat badan : tidak diketahui
Panjang badan : tidak diketahui
Keadaan saat lahir : tidak langsung menangis, sianosis (+) akibat lilitan
tali pusat
Riwayat Makanan
3
0 bulan – 6 bulan : ASI
6 bulan – 1 tahun : Bubur saring
1 tahun – sekarang : Nasi biasa, 3 x sehari sebanyak 1 piring dengan
tahu, tempe atau ikan
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan kurang
Riwayat Vaksinasi
Penderita tidak pernah diimunisasi
Riwayat Perkembangan Fisik
Tengkurap : 6 bulan
Duduk : 9 bulan
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 3 tahun
Berbicara : 5 tahun
Kesan : Perkembangan motorik terhambat
Riwayat Pendidikan
Penderita tidak dapat menulis dan membaca.
Penderita pernah bersekolah 1 minggu di kelas 1 SD kemudian berhenti.
Riwayat Sosial Ekonomi
Penderita merupakan anak pertama dari 3 bersaudara. Adik penderita
masih sekolah SD dan bayi. Ayah penderita bekerja sebagai petani. Ibu
penderita seorang Ibu Rumah Tangga. Secara ekonomi, keluarga penderita
tergolong menengah ke bawah.
III. PEMERIKSAAN FISIK
4
Keadaan Umum ( 14 April 2012 )
Kesadaran : Compos mentis
Nadi : 88 kali/ menit, regular, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 28 kali/ menit
Suhu : 37,1 oC
Berat badan : 26 kg
Tinggi badan : 142 cm
Lingkar Kepala : 48 cm, mikrocephali
Anemis : tidak ada
Sianosis : tidak ada
Ikterus : tidak ada
Turgor : baik
Tonus : eutoni
Edema umum : tidak ada
Keadaan gizi : BB/U = 26/36 x 100% = 72,2 %
TB/U = 142/144 x 100% = 98,6 %
BB/TB = 26/35 x 100% = 76,5 %
Kesan : Gizi Kurang
Keadaan Spesifik
Kulit : sianosis tidak ada
Kepala
Bentuk : normocephali
Ukuran : mikrocephali
Rambut : hitam, lurus, tidak mudah dicabut
Mata : konjungtiva palpebra anemis -/-, sklera ikterik -/-, refleks
cahaya +/+, pupil bulat, isokor, ¢ 3 mm
Hidung : sekret tidak ada, nafas cuping hidung tidak ada, mukosa
hiperemis tidak ada, septum deviasi tidak ada
5
Telinga : sekret tidak ada, nyeri tarik aurikula tidak ada, nyeri
tekan mastoid tidak ada
Mulut : sianosis sirkumoral tidak ada, rhagaden tidak ada,
typhoid tounge tidak ada, mukosa mulut dan bibir basah,
karies dentis (-).
Leher : pembesaran KGB tidak ada
Thorax
Paru-paru
Inspeksi : statis dan dinamis simetris, retraksi tidak ada
N, Murmur (-), Gallop (-), Vesikuler (+) N, Rhonki (-), Wheezing (-)Abdomen: datar, lemas, H/L tidak teraba, BU (+) N, timpaniEkstrimitas: Capillary Refill Time < 2 detikMotorik:
tegangan cukup, reguler Pernapasan : 28 kali/ menit Suhu : 37,1 oC Lingkar Kepala : 48 cm mikrocephali Status gizi : Kurang GRM (-) IQ : 5 (retarded)
Status epileptikus + Gizi kurang + Mikrocephali +
Retardasi mental
dari anamnesis tidak terdapat riwayat muntah-muntah dan diare yang dapat
menyingkirkan diagnosa kejang akibat gangguan elektrolit (metabolik).
Tatalaksana meliputi terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Terapi
farmakologis. Dalam penanganan status epileptikus biasanya dilakukan 3 tahap
tindakan yaitu stabilisasi penderita, menghentikan kejang, menegakkan diagnosis.
Stabilisasi meliputi usaha-usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital
yang mungkin terganggu; membersihkan udara dan jalan pernafasan, serta
memberikan oksigen. Menghentikan kejang harus dilakukan segera sesudah tahap
stabilisasi selesai. Penghentian kejang yaitu dengan pemberian Obat Anti
Epilepsi (OAE) , antibiotik serta pemberian agen nootropik yaitu piracetam dan
pemberian dexamethasone. Pemberian piracetam untuk meningkatkan efektivitas
dari fungsi telenceophalon (fungsi kognitif) melalui peningkatan fungsi
neurotransmitter kolinergik dengan menstimulasi glikosis oksidatif, meningkatkan
konsumsi oksigen pada otak serta mempengaruhi pengaturan cerebrovaskular dan
juga mempunyai efek antitrombotik. Pemberian dexametason dimaksudkan untuk
mencegah terjadinya edema otak.
Selain itu, hal yang paling penting adalah memberikan edukasi kepada
orang tua mengenai obat rumatan. Os diberikan obat rumatan berupa antibiotik
cefixime, obat anti epilepsi yaitu asam valproat, dan piracetam sebagai agen
nootropik. Dan pemberian edukasi agar tidak panik jika os kembali kejang dan
menjelaskan apa yang perlu dilakukan oleh orang tua jika os kembali kejang.
Prognosis pada os adalah quo ad vitam bonam dan quo ad functionam dubia
ad malam, karena terdapatnya beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan
kemungkinan berulangnya status epileptikus pada pasien ini antara lain riwayat
serangan SE sebelumnya, usia saat onset pertama kali < 1 tahun, simptomatik
epilepsi sehingga kemungkinan nilai ambang batas kejang pada pasien yang sudah
sangat rendah, sehingga jika ada rangsangan yang memadai dapat menyebabkan
berulangnya kejang pada pasien ini. Terdapat kelainan fungsi motorik pada
anggota gerak sebelah kiri, yaitu lengan kiri dan tungkai kiri dengan kekuatan +3.
Sehingga aktivitas menggunakan tangan dan kaki kiri menjadi terbatas. Penelitian
menunjukkan bahwa hemiparese dapat terjadi pada kejang lama (>30 menit) baik
32
umum atau fokal, dimana kelumpuhannya sesuai dengan kejang fokal, mula-mula
flaksid lalu setelah 2 minggu spastic.
Selain itu pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan intelegensi
didapatkan nilai 5 sangat rendah (retardasi mental) sehingga akibat yang
ditimbulkan dari kejang berulang itu sendiri telah merusak telencephalon yang
berfungsi dalam mengatur fungsi kognitif.
DAFTAR PUSTAKA
1. Proposal for revised clinical and electroencephalographic classification of epileptic seizures. From the Commission on Classification and Terminology of the International League Againts Epilepsy. Epilepsia 1981: 22: 489
2. Masayu RD. Status Epileptikus. Naskah Lengkap Tatalaksana Kasus-Kasus Kegawatan Pada Anak. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas KEdokteran Universitas Sriwijaya RSUP DR. Moh. Hoesin Palembang. 2012: 112-125
3. Chin RF, Neville BG, Peckham C, et al. Incidence, cause, and short term outcome of convulsive status epilepticus in childhoos: prospective population based study. Lancet 2006: 368: 222
4. Singh RK, Stephens S, Berl MM, et al. Prospective study of new onset seizures presenting as status epilepticus in childhood. Neurology 2010: 74: 636
5. Eriksson K, Metsaranta P, Huhtala H, et al. Treatment delay and the risk of prolonged status epilepticus. Neurology 2005; 65 : 1316
33
6. Shinnar S, Berg AT, Mohse SL, Shinnar R. How long do new onset seizures in children last? Ann Neurol 2001; 49 ; 469
7. Rivello JJ. Et al. Diagnosis assessment of the child with status epilepticus (an evidene based review). Report of the Quality Standards Subcommitee of the American Academy of Neurology and the Practice Committee of the Child Neurology Society. AAN 2006; 67 : 1542-50
8. Tay SK, Hirsch U, Leary L. et al. Nonconvulsic=ve status epilepticus in children: clinical and EEG characteristics. EPilepsia 2006; 47 : 1504
9. Treiman DM. Electronical features of status epilepticus. J CLin Neurophysial 1995; 12 : 343
10. Wasterlain CG, Chen JW. Definition and Classification of Status Epilepticus. Dalam: Wasterlain CG, Treiman DM. Status epilepticus mechanism and management. Cambridge: MIT press books 2. 006. H. 11-6
11. Manford M. Status Epilepticus in Practical Guide to Epilepsy. Burlington. Butterworth Heinemann 2003; 243-62
12. Coulter DA. Chronic epileptogenic cellular alterations in the limbic system after status epilepticus. Epilepsia 1999; 40. Suppl 1: S23
13. Wasterlain CG, Fujikawa DG, Penix L, Sankar R. Pathopysiological mechanisms of brain damage from status epilepticus. Epilepsia 1993; 34 Suppl 1:S37
14. Wasterlain, Baxter CF, Baldwin RA. GABA metabolism in the substantia nigra, cortex, and hippocampus during status epilepticus. Neurochem Res 1993; 18: S27
15. Coulter DA. Chronic epileptogenic cellular alterations in the limbic system after status epilepticus. Epilepsia 1999; 40 Suppl 1: S23
16. DeGiorgio et al. Neuron specific enolase, a marker of acute neuronal injury, is increased in complex partial status epilepticus. Epilepsia 1996; 37: 606
17. Shinnar S, et al. In whom does status epilepticus occur: age related differences in children. Epilepsia 1997; 38: 907
18. Haut SR, Shinnar S, et al. The association between seizure clustering and convulsive status epilepticus in patients with intractable complex partial seizures. Epilepsia 1999; 40: 1832
19. Novak G. Risk factors for status epilepticus in children with symptomatic epilepsy. Neurology 1997; 49: 533
20. Berg AT, et al. Status epilepticus adter the initial diagnosis in children. Neurology 2004; 63:1027
21. Antonius HP, Badriul H, Setyo H, dkk. Tatalaksana Kejang Akut dan Status Epileptikus. Pedoman Pelayanan Medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010: 310-15.
22. Maytal J, SHinnar S. Low morbidity and mortality od status epilepticus in children 1989; 83:323
23. Shinnar S, Maytal J. Recurrent status epilepticus in children. Ann Neurol 1992; 31:598
24. Walker MC. Serial Seizure and Status Epilepticus. Neurology 2003: 31-825. Delorenzo RJ. Incidence and causes od status epilepticus. Dalam: Wasterlain CG.
Status epilepticus mechanisms and management. Cambridge: MIT press books 206. h. 17-29
26. Guerrini R. Epilepsy in Children, The Lancet 2006: 367:499-52427. Shorvon S. Handbook of Epilepsy treatment. Oxford: Blackwell science Ltd.
2000. h. 181-94
34
28. Evrard P. Management Status epilepticus in Infant and Children. Cambridge MIT press books 2006. h. 515-21
29. Widodo DP. Algoritme Penatalaksanaan Kejang Akut dan Status Epileptikus pada Bayi dan Anak. Dalam: Pusponegoro HD,. Pediatric Neurology and Neuroemergency in Daily Practice. Naskah lenhkap pendidikan kedokteran berkelanjutan ilmu kesehatan anaka XLIX, Jakarta: Badan penerbit IDAI 2006. h. 63-9