BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 PENDAHULUAN Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara. Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas. Adapun pembagian trauma kapitis adalah: Simple head injury Commotio cerebri Contusion cerebri Laceratio cerebri Basis cranii fracture Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan sebagai cedera kepala berat. Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 PENDAHULUAN
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Adapun pembagian trauma kapitis adalah:
Simple head injury
Commotio cerebri
Contusion cerebri
Laceratio cerebri
Basis cranii fracture
Simple head injury dan Commotio cerebri sekarang digolongkan sebagai cedera
kepala ringan. Sedangkan Contusio cerebri dan Laceratio cerebri digolongkan
sebagai cedera kepala berat.
Pada penderita harus diperhatikan pernafasan, peredaran darah umum dan
kesadaran, sehingga tindakan resusitasi, anmnesa dan pemeriksaan fisik umum dan
neurologist harus dilakukan secara serentak. Tingkat keparahan cedera kepala harus
segera ditentukan pada saat pasien tiba di Rumah Sakit.
Trauma kapitis akan terus menjadi problem masyarakat yang sangat besar,
meskipun pelayanan medis sudah sangat maju pada abad 21 ini. Sebagian besar
pasien dengan trauma kapitis (75-80%) adalah trauma kapitis ringan; sisanya
merupakan trauma dengan kategori sedang dan berat dalam jumlah yang sama.
Di Indonesia, data tentang trauma kapitis ini belum ada. Yang ada barulah
data dari beberapa RS (sporadis). Prediksi insiden per tahunnya di dunia akan
menurun secara signifikan, dengan adanya adanya UU pemakaian helm dan sabuk
pengaman bagi pengaman motor/mobil. Diperkirakan sebanyak kurang lebih 10 juta
orang menderita trauma kapitis berat dengan angka kematian sekitar separuhnya.
Telah banyak manajemen terapi standar yang berdasarkan evidence based
medicine yang diajukan dan diterapkan di pusat kesehatan di seluruh dunia. Tetapi
mengingat kemampuan dan fasilitas yang tersedia di pusat kesehatan tersebut,
terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia, maka beberapa penyesuaian
perlu dilakukan.
Beberapa penelitian berbasis penderita orang Indonesia perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran manajemen maksimum dan optimum yang dapat diterapkan
dan yang sesuai dengan karakter serta fasilitas yang tersedia.
1.2 ANATOMI
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika,
loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 3,4
Gambar 1. Lapisan Kranium3
B. Tulang Tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis krani. Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria
khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis.
Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat
bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis,
fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak
dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu :
1. Duramater
Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan
lapisan meningeal.4 Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan
ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial
(ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering
dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang
berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau
disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan
sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat. 3,4,5,7
Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang
epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-
arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami
cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa
media).3,4
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang. Selaput
arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang
meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang
potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid
yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arachnoid umumnya
disebabkan akibat cedera kepala.3,4
3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri. Pia mater adalah membrana
vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci
yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan
epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia
mater.3,4,5
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14
kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari
serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak
belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum.5
Gambar 2. Lobus-lobus Otak
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus. Lobus frontal berkaitan dengan
fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan
dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori
tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon
dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran
dan kewapadaan. Pada medulla oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik.
Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.3,8
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan
produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui
foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV.
CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang
terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat
granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan
kenaikan takanan intracranial. Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa
volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.3,9
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial (terdiri
dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial (berisi fosa
kranii posterior).3
G. Perdarahan Otak
Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis. Keempat arteri
ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan membentuk sirkulus Willisi.
Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot didalam dindingnya yang sangat tipis
dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam
sinus venosus cranialis.4
1.3 PATOFISOLOGILesi pada kepala dapat terjadi pada jaringan luar dan dalam rongga kepala.
Lesi jaringan luar terjadi pada kulit kepala dan lesi bagian dalam terjadi pada
tengkorak, pembuluh darah tengkorak maupun otak itu sendiri. Cedera Focal pada
kulit kepala seperti lecet dan luka dapat menjadi indikator yang berguna sebagai
indikator tempat cedera dan mungkin memberikan beberapa petunjuk mekanisme
cedera. Scalp lecet mungkin merupakan jalur penting untuk infeksi dan dapat
menyebabkan perdarahan yang berlebihan.
Memar mungkin tidak selalu menjadi indikator lokasi yang dapat diandalkan.
Mekanisme terjadinya benturan pada kepala dapat terjadi melalui 3 jenis mekanisme
yaitu:
1. Kepala diam dibentur oleh benda yang bergerak,
2. Kepala yang bergerak membentur benda yang diam
3. Kepala yang tidak dapat bergerak karena bersandar pada benda yang lain dibentur
oleh benda yang bergerak (kepala tergencet).
Terjadinya lesi pada jaringan otak dan selaput otak pada cedera kepala
diterangkan oleh beberapa hipotesis yaitu getaran otak, deformasi tengkorak,
pergeseran otak dan rotasi otak. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa contre coup dan coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat
terjadi kapan saja pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala.
Cedera kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi
yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah
benturan.
Pada contra coup otak di dalam rongga tengkorak setelah proses percepatan
membentur permukaan tengkorak yang memiliki permukaan tidak rata. Cedera relatif
jarang pada bayi muda kaena tengkorak memiliki lantai berkontur halus. cedera ini
dapat menyebabkan perdarahan ke dalam parenkim otak, sering tegak lurus terhadap
permukaan korteks. Keadaan ini akan menimbulkan pendarahan selama jam-jam awal
setelah cedera yang memberikan kontribusi signifikan untuk meningkatkan tekanan
intrakranial. Pendarahan dapat mencapai subkortikal, atau melalui leptomeninges ke
ruang subdural yang menghasilkan “brust lobe”, paling sering di frontal dan temporal.
Setelah beberapa hari-minggu darah akan terserap, sehingga akan terbentuk kavitasi
di girus yang berwarna coklat karena kerusakan produk darah. Meskipun mungkin
cedera tanpa gejala tapi dapat menyebabkan epilepsi jangka panjang.
Gambar 3. Coup dan contercoup
Patofisiologi fraktur tengkorak akan menggambarkan jenis fraktur tengkorak.
fraktur Linear adalah jenis yang paling umum, berawal dari tempat benturan dan
memanjang hingga bagian terkeras tengkorak, namun arah fraktur juga tergantung
pada anatomi tengkorak. Sebuah kekuatan yang kuat apabila diberikan di area yang
besar pada tengkorak dapat menyebabkan fraktur comminuted dengan beberapa
fragmen, sedangkan jika gaya tersebut diberikan di area yang relatif kecil pada
tengkorak akan menyebabkan fraktur depres dengan fragmen tengkorak menonjol ke
dalam otak. fraktur Diastatic yang mengikuti garis jahitan, lebih sering terjadi pada
anak-anak. Trauma tembus pada fraktur tengkorak meningkatkan kemungkinan
infeksi intrakranial melalui luka pada kulit di atasnya.
Faktur dasar tengkorak dapat mengakibatkan kebocoran cerebrospinal fluid
(CSF) dan masuk ke rongga sinus, menyebabkan Aerocels yang merupakan sumber
infeksi. Fraktur dasar tengkorak memanjang sepanjang tulang petrosus dan melalui
fosa hipofisis yang akan menghasilkan “hinge” fraktur ,yang menandakan cedera
kepala yang serius yang berakibat fatal. fraktur di sekitar foramen magnum biasanya
merupakan hasil dari hyperextension leher yang kuat, atau jatuh dari ketinggian
dengan kaki yang mendarat terlebih dahulu.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi cedera kepala
primer dan cedera kepala skunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang
terjadi saat atau bersamaan dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena
mekanik. Cedera ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa
dilakukan kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal.
Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik. Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan/keluaran penderita. Penyebab cedera kepala skunder antara lain
penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat, hematoma,
edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan infeksi).
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain, hematoma epidural
(perdarahan yang terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan
subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma
subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan
subarakhnoidal cederatik (perdarahan yang terjadi di dalam ruangan antara
arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang mendesak
jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak (tertimbunnya cairan
secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak (pembengkakan otak yang
tampak terutama berupa sulci dan ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal
(kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis
dan lesi sekunder pada cedera otak.
1.4 KLASIFIKASI
Klasifikasi cedera kepala:
A. Berdasarkan mekanisme
1. Cedera kepala tumpul, dapat disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor,
jatuh, atau pukulan benda tumpul.
2. Cedera kepala tembus (penetrasi), disebabkan luka tembak atau pukulan benda
tumpul.
B. Berdasarkan beratnya
1. Ringan (GCS 14-15)
2. Sedang (GCS 9-13)
3. Berat (GCS 3-8)
C. Berdasarkan morfologi
1. Fraktura tengkorak
a. Kalvaria
1. Linear atau stelata
2. Depressed atau nondepressed
3. Terbuka atau tertutup
b. Dasar tengkorak
1. Dengan atau tanpa kebocoran CNS
2. Dengan atau tanpa paresis N VII
2. Lesi intrakranial
a. Fokal
1. Epidural
2. Subdural
3. Intraserebral
b. Difusa
1. Komosio ringan
2. Komosio klasik
3. Cedera aksonal difusa
1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi
seluruh ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang
keras dengan ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2. Pada benturan
yang terjadi, sebagian besar energi tidak digunakan untuk menimbulkan
deformitas lokal pada tulang tengkorak.7,8
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media,
perlu dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang
dijumpai melintasi daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka
perlu dicurigai adanya hematoma epidural vena.7,8
Gambar 4. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan raya
akibat kecelakaan lalu lintas.
2. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar
daripada fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya
benturan oleh martil, kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi
disini lebih terfokus dan lebih padat sehingga akhirnya melebihi kapasitas
elastisitas tulang dan terjadilah perforasi tulang. Fraktur deppressed diartikan
sebagai fraktur dengan tabula eksterna pecahan fraktur yang tertekan masuk ke
dalam sehingga terletak di bawah level anatomik tabula interna tulang tengkorak
sekitanya yang utuh. Sebagai akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi
terhadap duramater dan jaringan otak di bawahnya, dan dapat berakibat
kerusakan struktural dari jaringan otak tersebut.7,8
Gambar 5. Fraktur depressed pada tulang tengkorak
3. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium,
yang dapat terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur
jenis ini merupakan kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki
komplikasi yang tidak ringan. Beberapa literatur memberikan perkiraan kasus
fraktur basis cranii mencapai 3 - 24 % dari total seluruh kasus cedera kepala.
Fraktur basis cranii sering disertai dengan robeknya lapsan duramater, sehingga
terjadi kebocoran cairan serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan terjadinya
rhinorea dan otorhea. Adanya kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko
tinggi terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan otak.7,8
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus
clinoidalis anterior dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan
adalah rhinorea cairan serebrospinal, hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis
periorbita, bisa bilateral, biasa disebut sebagai brill hematoma atau raccoon
eyes. Ekimosis periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada struktur di
belakangnya, bukan karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk
membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas,
selalu terletak di bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada
lapisan kulit. 7,8
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian
posterior dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis
posterior dan dorsum sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis
pada mastoid (battle’s sign) yang muncul 24-48 jam setelah cedera kepala
terjadi, otorhea, dan hemotimpanum yaitu darah yang dijumpai pada canalis
auricularis eksterna, dapat terjadi bila membran timpani robek. 7,8
Gambar 6. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii fossa media
c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior
Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur
pada daerah ini kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering
tidak disertai dengan gejala dan tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan
kematian dalam waktu singkat karena penekanan terhadap batang otak. 7,8
4. Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater
dan tabula interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul
kepala, yang mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa
disertai fraktur. Lokasi yang paling sering adalah di bagian temporal atau
temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri
posterior. Darah pada hematoma epidural membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media,
akibat fraktur yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari
arteri dan vena lainnya, atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak
disertai fraktur tulang tengkorak akan memiliki kecenderungan lebih berat, karena
peningkatan tekanan intrakranial akan lebih cepat terjadi. 7,8
Gambar 7. Hematoma epidural.
5. Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater
dan arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging
vein yang melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang
subdural, dengan bermuara dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula
akibat robekan pembuluh darah kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang
disertai robeknya lapisan arachnoidea. 7,8
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan
memiliki angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut.7,8
Gambar 8. Hematoma subdural
6. Perdarahan Sub Arachnoid
Perdarahan sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub
arachnoid, atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak.
Robekan pembuluh darah terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak
bergerak atau menggeser. Perdarahan terletak antara arachnoid dan piamater,
mengisi ruang subarachnoid dan masuk ke dalam sistem cairan serebrospinalis.
Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi serebri. Perdarahan
subarachnoid yang terjadi murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %. Darah
yang masuk ke dalam subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut
akan menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.7,8
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri
mengalami spasme. Sebagai akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang,
bahkan diduga dapat turun hingga tinggal 40 %. Vasospasme biasanya mulai
terjadi pada hari ketiga dan mencapai puncaknya pada hari ke 6-8, dan akhirnya
menghilang pada hari ke-12. Vasospasme ini akan menyebabkan terganggunya
mikrosirkulasi dalam otak dan sebagai dampaknya akan terjadi edema otak. 7,8
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga
mengakibatkan terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non
komunikan. Tipe komunikan terjadi bila produk darah mengobstruksi villi
arachnoid, sedangkan tipe non komunikans dapat terjadi bila bekuan darah
mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga. 7,8
Gambar 9. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital
pada kasus Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan
lobus parietal. (C) Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii.
7. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim
otak). Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang
menyebabkan pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak
tersebut. Perdarahan dapat berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia
alba hemisfer serebri, serebellum, diensefalon, atau mungkin juga di corpus
callosum. Akan tetapi lokasi yang paling sering adalah lobus frontalis dan
temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan (coup) atau pada sisi
lainnya (countre-coup). 7,8
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa
perdarahan yang luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi
akselerasi-deselerasi, sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau kontusio
serebri berat. Beberapa sumber menyatakan definisi hematoma intraserebri adalah
perdarahan lebih dari 5 cc, sedangkan bila kurang maka disebut petechial
intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan dapat terjadi segera, dapat pula
beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien lanjut usia. 7,8
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya
herniasi uncus yang berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan
hematoma subdural, kontusio atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek
yang juga fatal, dan disebut sebagai ”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya
adalah yang disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu hematoma intraserebral yang
terjadi setelah beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan selama waktu
tersebuut pasien dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan dengan
keadaan hipotensi, syok, DIC, dan konsumsi alkohol. 7,8
Gambar 10. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia
basal (kanan).
8. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak
lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan
otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah dan
tampak pucat.
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri mungkin
pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang
terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya
rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat
adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan
selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan
mobilisasi bertahap.
9. Cedera Axonal Difus (Diffuse Axonal Injury)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri,
korpus kalosum, batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan
renggang pada saat benturan melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi
sobekan atau fragmentasi aksolemma, dan keteraturan susunan sitoskeleton akson
akan menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan, tetapi ada yang memberi batas
waktu dalam 60 menit sejak kejadian (primer axotomy). 7,8
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun
susunan sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung
pada sitoskeleton yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan
akson (retraction ball), yang pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson.
Terjadi antara 12 – 48 jam (secondary axotomy). 7,8
1.5 GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis ditentukan berdasarkan derajat cedera dan lokasinya. Derajat
cedera dapat dinilai menurut tingkat kesadarannya melalui system GCS, yakni
metode EMV (Eyes, Verbal, Movement)
1. Kemampuan membuka kelopak mata (E)
Secara spontan 4
Atas perintah 3
Rangsangan nyeri 2
Tidak bereaksi 1
2. Kemampuan komunikasi (V)
Orientasi baik 5
Jawaban kacau 4
Kata-kata tidak berarti 3
Mengerang 2
Tidak bersuara 1
3. Kemampuan motorik (M)
Kemampuan menurut perintah 6
Reaksi setempat 5
Menghindar 4
Fleksi abnormal 3
Ekstensi 2
Tidak bereaksi 1
A. Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
a. Skor GCS 13-15
b. Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit
c. Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
d. Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
B. Cedera Kepala Sedang (CKS)
a. Skor GCS 9-12
b. Ada pingsan lebih dari 10 menit
c. Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
d. Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
C. Cedera Kepala Berat (CKB)
a. Skor GCS <8
b. Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih
berat
c. Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
d. Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang
terlepas.
1.6 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Yang dapat dilakukan pada pasien dengan trauma kapitis adalah:
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek.
2. Lumbal Pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6
jam dari saat terjadinya trauma
3. EEG
Dapat digunakan untuk mencari lesi
4. Roentgen foto kepala
Untuk melihat ada tidaknya fraktur pada tulang tengkorak