BAB I TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Pendahuluan Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan keseimbangan perifer yang paling sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar diikuti mual muntah dan keringat dingin yang dipicu oleh perubahan posisi kepala terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat. Sekitar 50% penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik, penyebab terbanyak adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vistibular (15%), migraine, implantasi gigi dan operasi telinga, dapat juga sebagai akibat dari posisi tidur lama pada pasien post operasi atau bed rest total yang lama. Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis. BPPV pertama kali dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik nistagmus dan vertigo berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi ini terjadi akibat gangguan otolit. 1.2 Epidemiologi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Pendahuluan
Benign Paroxysmal Positional Vertigo (BPPV) adalah gangguan
keseimbangan perifer yang paling sering ditemui, dengan gejala rasa pusing berputar
diikuti mual muntah dan keringat dingin yang dipicu oleh perubahan posisi kepala
terhadap gaya gravitasi tanpa adanya keterlibatan lesi di susunan saraf pusat.
Sekitar 50% penyebab BPPV adalah idiopatik, selain idiopatik, penyebab
terbanyak adalah trauma kepala (17%) diikuti dengan neuritis vistibular (15%),
migraine, implantasi gigi dan operasi telinga, dapat juga sebagai akibat dari posisi
tidur lama pada pasien post operasi atau bed rest total yang lama.
Vertigo pada BPPV termasuk vertigo perifer karena kelainannya terdapat
pada telinga dalam, yaitu pada sistem vestibularis. BPPV pertama kali
dikemukakan oleh Barany pada tahun 1921. Karakteristik nistagmus dan vertigo
berhubungan dengan posisi dan menduga bahwa kondisi ini terjadi akibat
gangguan otolit.
1.2 Epidemiologi
Benign Paroxysmal Potitional Vertigo (BPPV) adalah gangguan
keseimbangan perifer yang sering dijumpai, kira-kira 107 kasus per 100.000
penduduk, dan lebih banyak pada perempuan serta usia tua (51-57 tahun). Jarang
ditemukan pada orang berusia dibawah 35 tahun yang tidak memiliki riwayat
cedera kepala.
1.3 Anatomi dan Fisiologi Alat Keseimbangan
Sistem keseimbangan tubuh terdiri dari vestibuler dan non vestibuler.
Sistem vestibuler terdiri dari sistem verstibuler sentral yang terletak pada batang
otak, serebelum dan serebrum dan system vestibuler perifer yang terletak pada
labirin dan saraf vestibuler. Sedangkan sistem non vestibuler terdiri dari visual
yang meliputi retina dan bola mata serta somatokinerik yang meliputi kulit, sendi
dan otot.
Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang
yang paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga
dalam, tetapi secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin
terdiri atas labirin tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam
labirin tulang dan bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang. Antara labirin
membrane dan labirin tulang terdapat perilimf, sedang endolimf terdapat didalam
labirin membrane. Berat jenis endolimf lebih tinggi daripada cairan perilimf.
Ujung saraf vestibuler berada dalam labirin membran yang terapung dalam
perilimf, yang berada pada labirin tulang. Setiap labirin terdiri dari tiga kanalis
semisirkularis, yaitu horizontal (lateral), anterior (superior), posterior (inferior).
Selain ke tiga kanalis ini terdapat pula utrikulus dan sakulus. Labirin juga dapat
dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam
pendengaran.
2. Labirin posterior (kanalis semisirkularis, sakulus dan utrikulus
Labirin posterior berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus
dan sakulus sel sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel
sensoriknya berada di krista ampulanya) Keseimbangan dan orientasi tubuh
seseorang terhadap lingkungan disekitarnya tergantung kepada input sensorik dari
reseptor vestibuler di labirin, organ visial dan proprioseptif. Gabungan informasi
ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP, sehingga menggambarkan
keadaan posisi tubuh pada saat itu.
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis
sel. Sel-sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap
percepatan sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier,
khususnya percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap
gravitasi. Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini
disebabkan oleh geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari
struktur-struktur yang menutupi sel rambut.
Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang
dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu gerakan
menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel rambut
akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga stereosilia
menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi.
Kanalis semisirkularis
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak
lurus satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga
terletak hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada waktu
rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang satunya
akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan terdapat
percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan, maka
serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi, sementara
serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang vertical
misalnya rotasi kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi akan
tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi.
Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang
hampir horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal.
Berbeda dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut
pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium terletak
di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu striola.
Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier, sebagian serabut
aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi
Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP
mendapat informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun
sesungguhnya hanya ada dua makula. Hubungan-hubungan langsung antara inti
vestibularis dengan motoneuron ekstraokularis merupakan suatu jaras penting
yang mengendalikan gerakan mata dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO
adalah gerakan mata yang mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah
dengan putaran kepala dan suatu komponen cepat yang searah dengan putaran
kepala. Komponen lambat mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi
menstabilkan suatu bayangan pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk
kembali mengarahkan tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan
arah gerakan mata selama rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari
nistagmus normal.
1.4 Etiologi
Pada sekitar 50% kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Beberapa
kasus BPPV dijumpai setelah mengalami jejas atau trauma kepala atau leher,
infeksi telinga tengah atau operasi stapedektomi dan proses degenerasi pada
telinga dalam juga merupakan penyebab BPPV sehingga insiden BPPV
meningkat dengan bertambahnya usia.
Banyak BPPV yang timbul spontan, disebabkan oleh kelainan di otokonial
berupa deposit yang berada di kupula bejana semisirkularis posterior. Deposit ini
menyebabkan bejana menjadi sensitif terhadap perubahan gravitasi yang
menyertai keadaan posisi kepala yang berubah.
1.5. Patofisiologi
Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori
kupulolitiasis dan kanalolitiasis.
Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Schuknecht mengajukan teori kupulolitiasis untuk
menjelaskan patofisiologi BPPV. Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang
melekat pada kupula krista ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik
yang melekat pada kupula melalui pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya
partikel ini maka kanalis semisirkularis menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi.
Teori ini dapat dianalogikan sebagai adanya suatu benda berat yang melekat pada
puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang menjadi sulit
untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih mengarah
ke sisi benda yang melekat. Oleh karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi
netral. Akibatnya timbul nistagmus dan pening (dizziness).2,4
Teori Kanalitiasis
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala
BPPV disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam
kanalis semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis
posterior. Bila kepala dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi
terendah dalam kanalis semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga
posisi supinasi, terjadi perubahan posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat,
gravitasi menarik kanalit hingga posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfa
dalam kanalis semisirkularis menjauhi ampula sehingga terjadi defleksi kupula.
Defleksi kupula ini menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala
dikembalikan ke awal, maka terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus
pada arah yang berlawanan.
Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi
kepala dengan timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991
memperkuat teori ini dengan menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis
semisirkularis poster. Saat melakukan operasi kanalis tersebut.
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras,
otokonia yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas
ini kemudian memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit
didalam kanalis semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo
pada BPPV, hal inilah yang mendasari BPPV pasca trauma kepala.
1.6. Diagnosis
1. Anamnesis
Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset akut kurang dari 10-20
detik akibat perubahan posisi kepala. Posisi yang memicu adalah berbalik di
tempat tidur pada posisi lateral, bangun dari tempat tidur, melihat ke atas dan
belakang, dan membungkuk. Vertigo bisa diikuti dengan mual. (BPPV jadi)
BPPV terjadi secara tiba-tiba, kebanyakan pasien menyadari saat bangun
tidur, ketika berubah posisi dari berbaring menjadi duduk. Pasien merasakan
pusing berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang. Terdapat jeda waktu
antara perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan pusing berputar. Pada
umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat kuat pada awalnya dan
menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya menjadi lebih
ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di
kemudian hari. Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat
mengalami mual dan muntah. Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala
dikembalikan ke posisi semula, namun arah nistagmus yang timbul adalah
sebaliknya.
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan
dengan memprovoksi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan
respon vertigo dari kanalis semisirkularis yang terlibat.
2. Pemeriksaan fisik dan penunjang.
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan
dengan cara memprovokasi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan
respon vertigo dari kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat
memilih perasat Dix-Hallpike atau Sidelying. Perasat Dix-hallpike lebih sering
digunakan karena pada perasat tersebut posisi kepala sangat sempurna untuk
canalith repositioning treatment. Pada pasien BPPV parasat Dix-Hallpike akan
mencetuskan vertigo (perasaan pusing berputar) dan nistagmus.
a) Pemeriksaan perasat Dix-Hallpike
Pemeriksaan perasat Dix-Hallpike merupakan pemeriksaan klinis standar
untuk pasien BPPV. Perasat Dix-Hallpike secara garis besar terdiri dari dua
gerakan yaitu perasat Dix- Hallpike kanan pada bidang kanal anterior kiri dan
kanal posterior kanan dan perasat Dix- Hallpike kiri pada bidang posterior kiri.
Untuk melakukan perasat Dix-Hallpike kanan, pasien duduk tegak pada meja
pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan cepat pasien
dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala pasien
menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai
respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ±1
menit atau sampai respon menghilang.
Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat langsung dilanjutkan dengan
canalith repositioning treatment (CRT). Bila tidak ditemukan respon yang
abnormal atau bila perasat tersebut tidak diikuti dengan CRT, pasien secara
perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan perasat Dix-
Hallpike kiri dengan kepala pasien dihadapkan 450 ke kiri, tunggu maksimal 40
detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan adanya respon abnormal,
dapat dilanjutkan dengan CRT, bila tidak ditemukan respon abnormal atau bila
tidak dilanjutkan dengan tindakan CRT, pasien secara perlahan-lahan didudukkan
kembali.
Gambar 1. Perasat Dix-Hallpike
2. Perasat Sidelying
Terdiri dari dua gerakan yaitu perasat sidelying kanan yang menempatkan
kepala pada posisi di mana kanalis anterior kiri/kanalis posterior kanan pada
bidang tegak lurus garis horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling
bawah, dan perasat sidelying kiri yang menempatkan kepala pada posisi dimana
kanalis anterior kanan dan kanalis posterior kiri pada bidang tegak lurus garis
horizontal dengan kanal posterior pada posisi paling bawah.
Pasien duduk pada meja pemeriksaan dengan kaki menggantung di tepi
meja , kepala ditegakkan ke sisi kanan, tunggu 40 detik sampai timbul respon
abnormal. Pasien kembali ke posisi duduk untuk untuk dilakukan perasat
sidelying kiri, pasien secara cepat dijatuhkan ke sisi kiri dengan kepala ditolehkan
450 ke kanan. Tunggu 40 detik sampai timbul respon abnormal.
RESPON ABNORMAL
Pada orang normal nistagmus dapat timbul pada saat gerakan provokasi ke
belakang, namun saat gerakan selesai dilakukan tidak tampak lagi nistagmus.
Pada pasien BPPV setelah provokasi ditemukan nistagmus yang timbul lambat, ±
40 detik, kemudian nistagmus menghilang kurang dari 1 menit jika penyebabnya
kanalitiasis, pada kupololitiasis nistagmus dapat terjadi lebih dari 1 menit,
biasanya serangan vertigo berat dan timbul bersamaan dengan nistagmus. 1,3,4
Pemeriksa dapat mengidentifikasi jenis kanal yang terlibat dengan
mencatat arah fase cepat nistagmus yang abnormal dengan mata pasien menatap
lurus ke depan.
· Fase cepat ke atas, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis
posterior kanan
· Fase cepat ke atas, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis
posterior kiri
· Fase cepat ke bawah, berputar ke kanan menunjukkan BPPV pada kanalis
anterior kanan.
· Fase cepat ke bawah, berputar ke kiri menunjukkan BPPV pada kanalis
anterior kiri. Respon abnormal diprovokasi oleh perasat Dix-Hallpike/
sidelying pada bidang yang sesuai dengan kanal yang terlibat. 1,3,4
Pemeriksaan elektronistagmografi (ENG) tidak dapat memperlihatkan
nistagmus jenis rotatoar yang dapat ditemukan pada penderita BPPV. ENG
berguna dalam deteksi adanya nistagmus dan waktu timbulnya pada nistagmus
jenis lain. Tes kalori akan menunjukkan hasil yang normal. BPPV dapat dijumpai
pada telinga yang tidak menunjukkan adanya respon terhadap tes kalori. Hal ini
disebabkan tes kalori menguji kanalis semisirkularis (KSS) horizontal. KSS
Horizontal dan posterior memiliki persarafan dan suplai pembuluh darah yang
berbeda. Dengan demikian BPPV yang timbul pada pasien yang tidak
memberikan respon pada tes kalori disebabkan oleh kanalit pada KSS posterior
atau anterior.
1.7 Diagnosis Banding
1. Vestibular Neuritis
Vestibular neuritis penyebabnya tidak diketahui, pada hakikatnya
merupakan suatu kelainan klinis di mana pasien mengeluhkan pusing berat
dengan mual, muntah yang hebat, serta tidak mampu berdiri atau berjalan.
Gejala-gejala ini menghilang dalam tiga hingga empat hari. Sebagian pasien
perlu dirawat di Rumah Sakit untuk mengatasi gejala dan dehidrasi.
Serangan menyebabkan pasien mengalami ketidakstabilan dan
ketidakseimbangan selama beberapa bulan, serangan episodik dapat berulang.
Pada fenomena ini biasanya tidakada perubahan pendengaran.
2. Labirintitis
Labirintitis adalah suatu proses peradangan yang melibatkan mekanisme
telinga dalam. Terdapat beberapa klasifikasi klinis dan patologik yang berbeda.
Proses dapat akut atau kronik, serta toksik atau supuratif. Labirintitis toksik akut
disebabkan suatu infeksi pada struktur didekatnya, dapat pada telinga tengah
atau meningen tidak banyak bedanya. Labirintitis toksik biasanya sembuh
dengan gangguan pendengaran dan fungsi vestibular. Hal ini diduga disebabkan
oleh produk-produk toksik dari suatu infeksi dan bukan disebabkan oleh
organisme hidup. Labirintitis supuratif akut terjadi pada infeksi bakteri akut
yang meluas ke dalam struktur-¬struktur telinga dalam. Kemungkinan gangguan
pendengaran dan fungsi vestibular cukup tinggi. Yang terakhir, labirintitis
kronik dapat timbul dari berbagai sumber dan dapat menimbulkan suatu hidrops
endolimfatik atau perubahan-perubahan patologik yang akhirnya menyebabkan
sklerosi labirin.
3. Penyakit Meniere
Penyakit Meniere adalah suatu kelainan labirin yang etiologinya belum
diketahui, dan mempunyai trias gejala yang khas, yaitu gangguan pendengaran,
tinitus, dan serangan vertigo. Terutama terjadi pada wanita dewasa.
Patofisiologi : pembengkakan endolimfe akibat penyerapan endolimfe
dalam skala media oleh striavaskularis terhambat.
Manifestasi klinis : vertigo disertai muntah yang berlangsung antara 15
menit sampai beberapa jam dan berangsur membaik. Disertai pengurnngan
pendengaran, tinitus yang kadang menetap, dan rasa penuh di dalam telinga.
Serangan pertama hebat sekali, dapat disertai gejala vegetatif Serangan lanjutan
lebih ringan meskipun frekuensinya bertambah.
1.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan BPPV meliputi observasi, obat-obatan untuk menekan
fungsi vestibuler (vestibulosuppressan), reposisi kanalit dan pembedahan. Dasar
pemilihan tata laksana berupa observasi adalah karena BPPV dapat mengalami
resolusi sendiri dalam waktu mingguan atau bulanan. Oleh karena itu sebagian
ahli hanya menyarankan observasi. Akan tetapi selama waktu observasi tersebut
pasien tetap menderita vertigo. Akibatnya pasien dihadapkan pada kemungkinan
terjatuh bila vertigo tercetus pada saat ia sedang beraktivitas.
Obat-obatan penekan fungsi vestibuler pada umumnya tidak
menghilangkan vertigo. Istilah “vestibulosuppresant” digunakan untuk obatobatan
yang dapat mengurangi timbulnya nistagmus akibat ketidakseimbangan sistem
vestibuler. Pada sebagian pasien pemberian obat-obat ini memang mengurangi
sensasi vertigo, namun tidak menyelesaian masalahnya. Obat-obat ini hanya
menutupi gejala vertigo. Pemberian obat-obat ini dapat menimbulkan efek
samping berupa rasa mengantuk. Obat-obat yang diberikan diantaranya diazepam
dan amitriptilin. Betahistin sering digunakan dalam terapi vertigo. Betahistin
adalah golongan antihistamin yang diduga meningkatkan sirkulasi darah ditelinga
dalam dan mempengaruhi fungsi vestibuler melalui reseptor H3.
Tiga macam perasat dilakukan umtuk menanggulangi BPPV adalah CRT
(Canalith repositioning Treatment ) , perasat liberatory dan latihan Brandt-Daroff.
Reposisi kanalit dikemukakan oleh Epley. Prosedur CRT merupakan prosedur
sederhana dan tidak invasif. Dengan terapi ini diharapkan BPPV dapat
disembuhkan setelah pasien menjalani 1-2 sesi terapi. CRT sebaiknya dilakukan
setelah perasat Dix-Hallpike menimbulkan respon abnormal. Pemeriksa dapat
mengidentifikasi adanya kanalithiasis pada kanal anterior atau kanal posterior dari
telinga yang terbawah. Pasien tidak kembali ke posisi duduk namun kepala pasien
dirotasikan tujuan untuk mendorong kanalith keluar dari kanalis semisirkularis
menuju ke utrikulus, tempat dimana kanalith tidak lagi menimbulkan gejala. Bila
kanalis posterior kanan yang terlibat maka harus dilakukan tindakan CRT
kanan.perasat ini dimulai pada posisi Dix-Hallpike yang menimbulkan respon
abnormal dengan cara kepala ditahan pada posisi tersebut selama 1- 2menit,
kemudian kepala direndahkan dan diputar secara perlahan kekiri dan
dipertahankan selama beberapa saat. Setelah itu badan pasien dimiringkan dengan
kepala tetap dipertahankan pada posisi menghadap kekiri dengan sudut 450
sehingga kepala menghadap kebawah melihat lantai akhirnya pasien kembali
keposisi duduk dengan menghadap kedepan. Setelah terapi ini pasien dilengkapi
dengan menahan leher dan disarankan untuk tidak merunduk, berbaring,
membungkukkan badan selama satu hari. Pasien harus tidur pada posisi duduk
dan harus tidur pada posisi yang sehat untuk 5 hari.
Perasat yang sama juga dapat digunakan pada pasien dengan kanalithiasis
pada kanal anterior kanan. Pada pasien dengan kanalith pada kanal anterior kiri
dan kanal posterior, CRT kiri merupakan metode yang dapat di gunakan yaitu
dimulai dengan kepala menggantung kiri dan membalikan tubuh kekanan sebelum
duduk.
Perasat liberatory, yang dikembangkan oleh semont, juga dibuat untuk
memindahkan otolit ( debris/kotoran) dari kanal semisirkularis. Tipe perasat yang
dilakukan tergantung dari jenis kanal mana yang terlibat. Apakah kanal anterior
atau posterior.
Bila terdapat keterlibatan kanal posterior kanan, dilakukan perasat
liberatory kanan perlu dilakukan. Perasat dimulai dengan penderita diminta untuk
duduk pada meja pemeriksaan dengan kepala diputar menghadap kekiri 450.
pasien yang duduk dengan kepala menghadap kekiri secara cepat dibaringkan ke
sisi kanan dengan kepala menggantung ke bahu kanan. Setelah 1 menit pasien
digerakkan secara cepat ke posisi duduk awal dan untuk ke posisi side lying kiri
dengan kepala menoleh 450 kekiri. Pertahankan penderita dalam posisi ini selama
1 menit dan perlahan-lahan kembali keposisi duduk. Penopang leher kemudian
dikenakan dan diberi instruksi yang sama dengan pasien yang diterapi dengan
CRT.
Bila kanal anterior kanan yang terlibat, perasat yang dilakukan sama,
namun kepala diputar menghadap kekanan. Bila kanal posterior kiri yang terlibat,
perasat liberatory kiri harus dilakukan (pertama pasien bergerak ke posisi
sidelying kiri kemudian posisi sidelying kanan) dengan kepala menghadap ke
kanan. Bila kanal anterior kiri yang terlibat, perasat liberatory kiri dilakukan
dengan kepala diputar menghadap ke kiri.
Latihan Brandt Daroff merupakan latihan yang dilakukan di rumah oleh
pasien sendiri tanpa bantuan terapis. Pasien melakukan gerakan-gerakan posisi
duduk dengan kepala menoleh 450 , lalu badan dibaringkan ke sisi yang
berlawanan. Posisi ini dipertahankan selama 30 detik. Selanjutnya pasien kembali
ke posisi duduk 30 detik. Setelah itu pasien menolehkan kepalanya 450 ke sisi
yang lain, lalu badan dibaringkan ke sisi yang berlawanan selama 30 detik.
Latihan ini dilakukan secara rutin 10-20 kali. 3 seri dalam sehari.
Gambar 3. Latihan Brandt-Daroff
Tindakan bedah hanya dilakukan bila prosedur reposisi kanalit gagal
dilakukan. Terapi ini bukan terapi utama karena terdapat risiko besar terjadinya
komplikasi berupa gangguan pendengaran dan kerusakan nervus fasialis.
Tindakan yang dapat dilakukan berupa oklusi kanalis semisirkularis posterior,
pemotongan nervus vestibuler dan pemberian aminoglikosida transtimpanik.
1.9 Prognosis
Prognosis setelah dilakukan CRP (canalith repositioning procedure)
biasanya bagus. Remisi dapat terjadi spontan dalam 6 minggu, meskipun beberapa
kasus tidak terjadi. Dengan sekali pengobatan tingkat rekurensi sekitar 10-25%.
BAB II
ILUSTRASI KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama : Tn. M
Jenis kelamin : Laki-laki
Umur : 19 tahun
Suku bangsa : Minangkabau
Alamat : Lolong, Padang
Pekerjaan : Mahasiswa
Autoanamnesis :
Seorang pasien, Tn. M ,laki-laki, umur 19 tahun datang ke poliklinik Neurologi RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 10 April 2014 dengan:
Keluhan utama :
Pusing berputar
Riwayat Penyakit Sekarang :
Kepala terasa pusing berputar sejak 2 hari yang lalu, timbul tiba-tiba waktu pasien bangun tidur. Pasien merasakan pusing seperti ruangan berputar. Kemudian pasien duduk dan mendiamkan kepalanya, pusing berlangsung sekitar 3 menit, kemudian menghilang perlahan. Pusing kemudian dirasakan kembali saat pasien mengubah posisi kepala. Pusing dirasakan setiap hari, hampir selalu setiap bangun tidur atau ketika pasien mengubah posisi kepala. Lama keluhan 2-3 menit/kali.
Pasien pernah mengalami hal ini sejak 5 hari yang lalu, dibawa ke IGD dengan keluhan yang sama, namun disertai dengan muntah sebanyak 6 kali dan diikuti dengan penurunan kesadaran. Di IGD pasien didiagnosis sebagai BPPV.
Riwayat infeksi atau sakit telinga tidak ada.
Tidak ada riwayat tekanan darah tinggi, dan sakit DM.
Tidak ada riwayat benturan atau trauma pada kepala.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit atau keluhan seperti ini sebelumnya, hipertensi atau diabetes melitus.
Riwayat Pekerjaan dan Sosio Ekonomi
Pasien seorang pensiunan pelajar.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : tampak sakit sedang
Kesadaran : GCS 15 (E4 M6 V5)
Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Napas : 22x/menit
Suhu : 37 oC
Status Internus
Rambut : tidak ditemukan kelainan
Kulit dan kuku : tidak ditemukan kelainan
KGB : tidak ditemukan pembesaran
Keadaan regional
Kepala : tidak ditemukan kelainan
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Hidung : tak ditemukan kelainan
Telinga : tidak ditemukan kelainan
Leher : JVP 5-2 cmH2O
PARU
Inspeksi : Simetris kiri=kanan
Palpasi : Fremitus kanan=kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : vesikuler N, ronkhi(-), wheezing(-)
JANTUNG
Inspeksi : ictus tidak terlihat
Palpasi : ictus teraba 1 jari medial LCMS RIC V
Perkusi : Kiri : 1 jari medial LMCS RIC V
Kanan : linea sternalis dextra
Atas : RIC II
Auskultasi : bunyi jantung murni, irama teratur, bising (-)
ABDOMEN
Inspeksi : tak tampak membuncit
Palpasi : hepar dan lien tak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus (+) Normal
Status Neurologis
Kesadaran CMC, GCS 15 (E4 M6 V5)
Tanda Rangsangan Meningeal (-)
Tanda Peningkatan Intra Kranial (-)
Nervus Kranialis :
Nervus I : penciuman baik
Nervus II : pupil isokhor, diameter 3mm, reflek cahaya +/+
Nervus III,IV,VI : bola mata bisa digerakkan ke segala arah, Nistagmus (-)
Nervus V : buka mulut (+), mengigit (+), menguyah (+)
Nervus VII : raut muka simetris kiri dan kanan, menutup mata +/+, mengerutkan dahi (+)
Nervus VIII :
Nervus IX : Refleks muntah (+)
Nervus X : menelan(+), artikulasi baik
Nervus XI : dapat menoleh dan mengangkat bahu kiri dan kanan
Nervus XII : kedudukan lidah normal, deviasi (-)
Koordinasi : Tes telunjuk hidung tidak terganggu, tes romberg terganggu, supinasi pronasi tidak terganggu, tes jari hidung tidak terganggu.
Manuver dix-hallpike (+)
Motorik : Kekuatan 555 555
555 555
Sensibilitas halus dan kasar baik
Reflek fisiologis ++/++
Reflek Patologis -/-
Fungsi luhur tak terganggu
Fungsi otonom : miksi dan defekasi terkontrol, sekresi keringat baik
Telah diperiksa seorang laki-laki, 19 tahun di poliklinik neurologi RS DR
M Djamil Padang dengan diagnosis klinik vertigo vestibuler perifer, diagnosis topik
apparatus vestibuler, dan diagnosis etiologi susp BPPV.
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar. Pusing pada pasien ini
dapat dikategorikan sebagai vertigo. Vertigo pada pasien ini tergolong vertigo
vestibuler karena dipengaruhi oleh gerakan kepala dan perubahan posisi (membaik
saat berbaring dan kembali ketika berubah posisi tidur). Selain itu juga terdapat
gejala penyerta mual yang merujuk ke sistem vestibuler.
Vertigo vestibuler diklasifikasikan berdasarkan letak lesinya menjadi dua,
yaitu vertigo sentral dan vertigo perifer. Vertigo sentral dapat disingkirkan karena
pada pasien ini tidak terdapat gangguan koordinasi yang merupakan gejala
gangguan serebelar maupun gejala gangguan batang otak seperti diplopia,
parestesia, gangguan sensorik dan motorik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa
pada pasien ini, letak lesinya adalah di perifer. Karakteristik vertigo vestibular tipe
perifer yang ditemukan pada pasien ini adalah onset yang tiba-tiba, pengaruh
perubahan posisi dominan, intensitas berat, terdapat mual, tidak ada gejala sistem
saraf pusat seperti parese nervus kranialis, kejang, kelumpuhan motorik. Dengan
data di atas, dapat disimpulkan bahwa pasien mengalami vertigo vestibularis tipe
perifer.
Langkah selanjutnya adalah mencari penyebab vertigo. Penyebab vertigo
vestibularis perifer yang sering dijumpai adalah vertigo posisional benigna,
neuronitis vestibular, penyakit Meniere, trauma kepala, fisiologis (mabuk
kendaraan), obat-obatan dan tumor di fossa posterior, misalnya neuroma akustik.
Neuronitis vestibular dapat disingkirkan karena tidak terapat nistagmus spontan.
Ketajaman pendengaran pada neuritis vestibular tidak terganggu, sedangkan pada
pasien terdapat gangguan pendengaran. Penyakit Meniere dapat disingkirkan
karena pada penyakit ini, tinitus timbul sebelum serangan, dapat berminggu-
minggu atau berbulan-bulan sebelumnya. Pasien juga tidak mempunyai riwayat
trauma kepala sebelumnya, sehingga penyebab vertigo karena trauma kepala juga
dapat disingkirkan. Demikian juga vertigo fisiologis, dapat disingkirkan karena
vertigo muncul tidak saat pasien berada dalam kendaraan yang sedang berjalan.
Pasien juga tidak sedang mengkonsumsi obat-obat yang vestibulotoksik, seperti
aminoglikosid, antikonvulsan atau aspirin. Tumor dapat disingkirkan karena tidak
terdapat gejala peningkatan tekanan intrakranial maupun keterlibatan saraf kranial.
Dari gejala yang dialami pasien, yang lebih memungkinkan sebagai etiologi adalah
vertigo posisional benigna. Pasien juga mengalami mual dan muntah
Beberapa kasus vertigo posisional benigna dijumpai setelah mengalami jejas
atau trauma kepala atau leher, infeksi telinga tengah atau operasi stapedektomi.
Pada sekitar 50% kasus penyebabnya tidak diketahui (idiopatik). Pasien ini tidak
mengalami trauma kepala, infeksi telinga tengah maupun operasi. Sehingga
penyebab vertigo posisional benigna pada pasien ini masih idiopatik.
Terapi yang diberikan adalah betahistin mesylate 3x6 mg dan flunarizin 2
x 5 mg. Betahistin mesylate, suatu analog histamin, dapat meningkatkan sirkulasi di
telinga dalam sehingga dapat mengatasi gejala vertigo. Flunarizin merupakan suatu
golongan antagonis kalsium yang bersifat supresan vestibular (sel rambut vestibular
banyak mengandung terowongan kalsium), bersifat antikolinergik dan antihistamin.
Pada pasien juga perlu diberikan terapi rehabilitatif berupa latihan
vestibuler (latihan posisional) untuk meningkatkan habituasi sehingga lama
kelamaan vertigo tidak akan terulang kembali. Latihan yang digunakan adalah
metode Brandt-Daroff.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bashiruddin J, vertigo posisi paroksisimal jinak. dalam : Soepardi EA, Iskandar N editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. Edisi keenam. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.2007. hal 104-109
2. Li J, Benign paroxysmal positioning vertigo. Diakses dari : www.emedicine.com. Pada tanggal 5 Mei 2009.
3. Lumbantobing SM. Vertigo Tujuh Keliling. Edisi pertama. Jakarta:Balai Penerbit FK-UI.1996
4. Riyanto B. Vertigo: Aspek Neurologi Jakarta: Cermin dunia Kedokteran no.144.2004. hal 41-46
5. Anderson JH, Levine SC, sistem vestibulari. Dalam: Adams GL, Boies LR, Higler PA, editor. Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi keenam. Jakarta: EGC.1997.Hal 39-44
6. Hain, Timothy C. Benign Paroxismal Positioning Vertigo. Diakses dari : www.entgr.com/bppv.htm. pada tanggal 11 April 2014
7. Nurimaba N, Patofisiologi. Dalam : PERDOSSI editor. Vertigo Patofisiologi, Diagnosis, dan Terapi. Jakarta:Jansen Pharmaceutica.1999 Hal 29-31
8. Johnson J & Lalwani AK. Vestibular Disorders. In : Lalwani AK, editor. Current Diagnosis & treatment in Otolaryngology- Head & Neck Surgery. New York : Mc Graw Hill Companies. 2004. p 761-5
10. Sherwood L. Telinga, Pendengaran, dan Keseimbangan. Dalam: Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: EGC. 1996. p 176-189