Page 1
LAPORAN KASUSAnak 11 Tahun dengan Demam Tifoid
Pembimbing :dr. Afaf Susilawati, SpA
Disusun Oleh:Yoda Desika Kolim
11.2014.075
KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK
Rumah Sakit Umum Daerah KOJA
Periode 5 Oktober 2015 – 12 Desember 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No.6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat
1
Page 2
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
(UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA)
Jl. Terusan Arjuna No. 6 Kebon Jeruk – Jakarta Barat
KEPANITERAAN KLINIK
STATUS ILMU KESEHATAN ANAK
FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
Hari/Tanggal Ujian/Presentasi Kasus: Jumat, 30 Oktober 2015
SMF ANAK
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOJA
Nama : Yoda Desika Kolim Tanda Tangan
NIM : 112014075
Dr. Pembimbing/Penguji : dr. Afaf Susilawati, SpA
IDENTITAS PASIEN
PASIEN
Nama Lengkap : An. DHA
Tanggal Lahir (Umur): 7 Maret 2004 (11 Tahun 7 Bulan 4 Hari)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Alamat : Jl. Kali Baru Barat
Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Tanggal Masuk RS : 11 Oktober 2015
2
Page 3
Orang Tua
Ayah
Nama Lengkap : Tn. RA
Tanggal Lahir (Umur) : 1 November 1979 (35 Tahun)
Suku Bangsa : Betawi
Alamat : Jl. Kali Baru Barat 4
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Supir
Hubungan dengan Anak : Ayah Kandung
Ibu
Nama Lengkap : Ny. IM
Tanggal Lahir (Umur) : 1 Juli 1983 (32 Tahun)
Suku Bangsa : Betawi
Alamat : Jl. Kali Baru Barat 4
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Hubungan dengan Anak : Ibu Kandung
ANAMNESIS
Diambil dari : Alloanamnesis dari Ibu dan Ayah pasien
Tanggal : 12 Oktober 2015 Pukul : 12.00 WIB
3
Page 4
RIWAYAT PENYAKIT
Keluhan Utama
Demam sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit.
Keluhan Tambahan
Demam disertai menggigil dan keringat dingin, nyeri ulu hati, konstipasi, mual dan
muntah-muntah >5 kali.
Riwayat Perjalanan Penyakit
Sejak 6 hari SMRS, pasien demam naik-turun. Demam dirasakan naik secara perlahan-
lahan dari pagi sampai malam hari dan dirasakan naik-turun. Demam lebih tinggi terutama pada
sore sampai malam hari dan disertai dengan menggigil dan keringat dingin. Pasien juga
mengeluh mual dan nyeri di bagian ulu hati.
5 hari SMRS, pasien masih demam. Demam masih dirasakan naik dan turun, tinggi
terutama pada malam hari dan masih disertai menggigil dan keringat dingin. Pasien muntah-
muntah dengan frekuensi kurang lebih 5 kali, muntahan berisi cairan dengan volume kurang
lebih setengah gelas kecil, tidak ada lendir, tidak ada darah. Pasien juga masih merasakan mual
dan nyeri di ulu hati.
4 hari SMRS, pasien diberi obat warung oleh ibunya namun masih belum ada perubahan
sama sekali.
3 hari SMRS, pasien dibawa ke IGD oleh ibunya karena anaknya masih demam dan
belum ada perubahan. Pasien sudah diberikan obat (sucralfate, domperidone, paracetamol dan
santagesik) dari IGD.
2 hari SMRS, keluhan sudah berkurang namun demam masih dirasakan naik-turun dan
pasien masih merasakan mual dan muntah 1 kali isi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah,
volume muntahan kurang lebih ¼ gelas kecil. Selain itu pasien juga belum BAB selama 4 hari.
Pasien masih tidak nafsu makan dan lidah terasa pahit.
1 hari SMRS pasien dibawa lagi ke IGD jam 04.00 subuh karena demam tinggi lagi pada
malam hari dan pasien sampai menggigil dan keringat dingin. Pasien juga masih mengeluh nyeri
di ulu hati dan muntah 2x berisi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah, dengan volume kurang
lebih ¼ gelas kecil. Pasien belum BAB selama 5 hari ini.
4
Page 5
Menurut ibu pasien, tidak pernah terlihat adanya tanda-tanda perdarahan seperti mimisan,
gusi berdarah atapun muncul ruam merah pada tubuh pasien. Orang yang serumah dengan pasien
tidak ada yang mengalami gejala yang sama. Tidak ada keluhan kejang, batuk, pilek maupun
diare. Ibu pasien mengatakan bahwa anaknya sering jajan makanan di pinggir jalan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Sepsis (-) Meningoencephalitis (-) Kejang Demam (-)
Tuberkulosis (-) Pneumonia (-) ISK (-)
Asma (-) Alergic Rhinitis (-) Amoebiasis (-)
Polio (-) Difteri (-) Sindrom Nefrotik (-)
Diare akut (+) Diare kronis (-) Disentri (-)
Kolera (-) Tifus abdominalis (+) DHF (-)
Cacar air (-) Campak (-) Batuk rejan (-)
Tetanus (-) Glomerulonephritis (-) Penyakit Jantung Bawaan (-)
Lain-lain: Batuk pilek (+) Operasi (-) Kecelakaan(-)
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Penyakit Ya Tidak Hubungan
Alergi √
Asma √
Tuberkulosis √
Hipertensi √
Diabetes √
Kejang Demam √
Epilepsi √
5
Page 6
SILSILAH KELUARGA ( FAMILY TREE )
Laki-Laki
Perempuan
Pasien merupakan anak kandung pertama dari kedua orang tuanya.
RIWAYAT KEHAMILAN DAN KELAHIRAN
KEHAMILAN : Perawatan antenatal : Baik, rutin kontrol ke puskesmas dan
bidan.
Penyakit kehamilan : Tidak ada.
KELAHIRAN : Tempat Kelahiran : Rumah Bersalin
Penolong Persalinan : Bidan
Cara Persalinan : Spontan, tanpa penyulit
Masa Gestasi : Cukup Bulan
Keadaan Bayi : Berat Badan Lahir : 3400 gram
Panjang Badan Lahir : 50 cm
Lingkar Kepala : Tidak Diketahui
Menangis : Langsung Menangis
Tidak Pucat, Tidak Biru, Tidak Kuning, Tidak Kejang
NILAI APGAR : Ibu pasien mengatakan bayinya langsung
menangis saat lahir, suara nyaring, kulit
kemerahan, dan bergerak aktif. APGAR
Score diperkirakan 8/9.
Kelainan Bawaan : Tidak Ada Kelainan Bawaan
6
Page 7
RIWAYAT PERKEMBANGAN
Sektor Personal Sosial :
Berusaha menggapai mainan : Usia 5 bulan
Tepuk tangan : Usia 7 bulan
Sektor Motor Halus Adaptif :
Kepala menoleh ke samping kanan dan kiri : Usia 2 bulan
Memegang dengan ibu jari dan jari : Usia 8 bulan
Sektor Bahasa :
Mengoceh : Sekitar usia 8 bulan
Memanggil papa mama : Usia 12 bulan
Sektor Motor Kasar :
Tengkurap : Usia 4 bulan
Merangkak : Usia 6 bulan
Duduk : Usia 7 bulan
Berdiri : Usia 9 bulan
Berjalan : Usia 12 bulan
RIWAYAT IMUNISASI
VAKSIN DASAR
(Umur)
ULANGAN
(Umur)
BCG 2 bulan
DPT/DT 2 bulan 4 bulan 6 bulan 2 tahun 5 tahun
Polio 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak 9 bulan
Hepatitis B 1 bulan 6 bulan
MMR 15 bulan
Tifoid
7
Page 8
PEMERIKSAAN FISIS
Tanggal : 12 Oktober 2015 Jam: 12.00 WIB
RIWAYAT NUTRISI
Variasi : Bervariasi
Jumlah : 1 Piring
Frekuensi : 3 kali/hari
Nafsu Makan : Baik
RIWAYAT PERSONAL SOSIAL
Lingkungan tempat tinggal pasien berada di pinggir jalan raya. Pasien tinggal di rumah
bersama dengan kedua orang tuanya, lingkungan rumah tidak terlalu bersih, rumah hanya terdiri
dari satu lantai dan sinar matahari yang masuk juga kurang. Pasien juga aktif berinteraksi dengan
anak tetangga. Personal hygiene kurang, karena pasien sering kali tidak mencuci tangan sebelum
makan.
PEMERIKSAAN UMUM
Keadaan Umum : Tampak sakit ringan
Frekuensi Nadi : 118 kali/menit
Tekanan Darah : 100/60 mmHg
Frekuensi Napas : 26 kali/menit
Suhu Tubuh : 37.6 oC
8
Page 9
Data Antropometri
Berat Badan : 35 kg
Tinggi Badan : 145 cm
Status Gizi : BB/U = 35/38 x 100% = 92,10%
TB/U = 145/146 x 100% = 99,31 %
BB/TB= 35/36 x 100% = 97,22 %
Kesan: Gizi Baik
Lingkar Kepala : 53 cm
Lingkar Dada : 75 cm
Lingkar Lengan Atas : 21 cm
PEMERIKSAAN SISTEMATIS
Kepala
- Bentuk dan Ukuran : Normosefali
- Rambut dan Kulit Kepala : Rambut berwarna hitam tidak mudah dicabut, distribusi
merata.
- Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik, pupil
isokor Ø 2mm/2mm, refleks cahaya +/+ normal.
- Telinga : Normotia, tidak ada benjolan maupun fistula, tidak ada
sekret yang keluar dari kedua lubang telinga.
- Hidung : Cavum nasi lapang, sekret (-), hipertrofi konka inferior
(-), septum deviasi (-), mukosa hiperemis (-), napas cuping
hidung (-).
- Bibir : Bibir merah muda, tidak kering, sianosis (-), trismus (-).
- Gigi-geligi : Karies (-).
- Mulut : Mukosa mulut dan bibir basah, hiperemis (-), pucat (-).
- Lidah : Normoglosia, warna merah muda, lidah kotor (-), tremor
(-).
- Tonsil : T1-T1, tidak hiperemis.
- Faring : Faring tidak hiperemis, granular (-).
9
Page 10
Leher
KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, trakea letak di tengah.
Toraks
- Paru
Inspeksi : Gerakan dada simetris, retraksi (-).
Palpasi : Fremitus taktil simetris.
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.
Auskultasi : Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-.
- Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : Ictus cordis teraba.
Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung.
Auskultasi : BJ I-II reguler, murni, gallop (-), murmur (-).
Abdomen
Inspeksi : Bentuk abdomen datar.
Palpasi : Supel, turgor kulit baik, nyeri tekan (-), pembesaran hati (-), pembesaran
limpa (-), pembesaran ginjal (-).
Perkusi : Terdengar timpani di seluruh permukaan abdomen.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Anus dan Rectum
Tidak dilakukan pemeriksaan.
Genitalia
Tidak dilakukan.
10
Page 11
Anggota Gerak
Tonus : Normotonus
Sendi :
Kekuatan +5 +5 Edema - -
+5 +5
- -
Sianosis - -
- -
Capillary Refill Time : < 2 detik
Tulang Belakang
Tulang belakang normal dan lurus, tidak terdapat benjolan, gibbus (-).
Kulit
Kulit normal, tidak terdapat lesi di kulit.
Rambut
Pertumbuhan rambut merata, rambut berwarna hitam.
Kelenjar Getah Bening
Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
11
Page 12
Pemeriksaan Neurologis
Tingkat Kesadaran : GCS 15
Delirium : Tidak ada
Tidak ada tremor, korea, ataksia
Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-), Kernig Sign (-), Brudzinsky Sign (-), Laseque
Sign (-)
Saraf Kranialis I-XII : Kesan dalam batas normal
Refleks Patologis : Babinsky -/-
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Tanggal : 11 Oktober 2015
Darah Rutin Hasil Satuan Nilai Rujukan
Hemoglobin 13.9 g/dL 12.5 – 16.1
Jumlah Leukosit 7.64 10^3/uL 4.00 – 10.50
Hematokrit 38.7 % 36.0 – 47.0
Jumlah Trombosit 363 10^3/uL 163 – 337
Serologi
WIDAL Hasil Rujukan
S. typhi O (+) 1/320 (-) Negatif
S. paratyphi AO (-) Negatif (-) Negatif
S. paratyphi BO (+) 1/60 (-) Negatif
S. paratyphi CO (-) Negatif (-) Negatif
12
Page 13
RESUME
Seorang anak 11 tahun datang dengan keluhan demam sejak 6 hari SMRS. Sejak 6 hari
SMRS, pasien demam naik-turun. Demam dirasakan naik secara perlahan-lahan dari pagi sampai
malam hari dan dirasakan naik-turun. Demam lebih tinggi terutama pada sore sampai malam hari
dan disertai dengan menggigil dan keringat dingin. Pasien juga mengeluh mual dan nyeri di
bagian ulu hati.
5 hari SMRS, pasien masih demam. Demam masih dirasakan naik dan turun, tinggi
terutama pada malam hari dan masih disertai menggigil dan keringat dingin. Pasien muntah-
muntah dengan frekuensi kurang lebih 5 kali, muntahan berisi cairan dengan volume kurang
lebih setengah gelas kecil, tidak ada lendir, tidak ada darah. Pasien juga masih merasakan mual
dan nyeri di ulu hati.
2 hari SMRS, keluhan sudah berkurang namun demam masih dirasakan naik-turun dan
pasien masih merasakan mual dan muntah 1 kali isi cairan, tidak ada lendir, tidak ada darah,
volume muntahan kurang lebih ¼ gelas kecil. Selain itu pasien juga belum BAB selama 4 hari.
Pasien masih tidak nafsu makan dan lidah terasa pahit.
1 hari SMRS pasien demam tinggi lagi pada malam hari dan pasien sampai menggigil
dan keringat dingin. Pasien juga masih mengeluh nyeri di ulu hati dan muntah 2x berisi cairan,
tidak ada lendir, tidak ada darah, dengan volume kurang lebih ¼ gelas kecil. Pasien belum BAB
selama 5 hari ini.
Dari hasil pemeriksaan penunjang didapatkan hasil pemeriksaan serologi Widal S. typhi
O (+) 1/320 yang mendukung diagnosa demam tifoid.
DIAGNOSA KERJA
Demam Tifoid
Dasar Diagnosis : Diagnosa ini ditegakkan karena pasien datang dengan demam yang naik
turun sejak 6 hari SMRS, demam terutama tinggi pada sore-malam hari disertai dengan
menggigil, mual dan muntah. Selain itu, pasien juga mengalami konstipasi, belum BAB selama 5
hari dan merasakan nyeri di perut terutama di ulu hati. Dari hasil pemeriksaan penunjang
didapatkan hasil pemeriksaan serologi Widal S. typhi O (+) 1/320 yang mendukung diagnosa
demam tifoid.
13
Page 14
DIAGNOSA BANDING
- Dengue Fever
ANJURAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Darah Rutin
PENATALAKSANAAN
Non Medika Mentosa
- Tirah baring
- Observasi keadaan umum dan tanda-tanda vital
Medika Mentosa
- IVFD Asering 1500 cc/24 jam
- Inj. Ranitidine 2 x 30 mg IV
- Inj. Ondansentrone 2 x 2 mg IV
- PCT syrup 3 x 2 cth (k/p)
- Antasida syrup 3 x 1 cth
- Laxadine syrup 1 x 15 cc
PROGNOSIS
Ad vitam : Dubia ad bonam
Ad functionam : Dubia ad bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
EDUKASI
- Tidak jajan di pinggir jalan, usahakan makan makanan dari rumah yang dicuci dan
dimasak dengan bersih.
- Makan makanan yang bergizi, bersih, dan matang.
- Menjaga kebersihan diri.
14
Page 15
FOLLOW UP
Tanggal 12 Oktober 2015
S : Sudah tidak merasa demam, tidak mual, tidak muntah, belum BAB 5 hari, ulu hati
masih sedikit nyeri, BAK dalam batas normal, nafsu makan sudah mulai membaik.
O : HR 92 kali/menit RR 24 kali/menit Suhu 36.7oC
Mata CA -/- SI -/-
Thoraks pulmo : Suara nafas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-
Cor : Bunyi jantung I-II murni regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : Supel, bising usus (+)
Ekstremitas : Akral hangat
A : Demam Tifoid
Konstipasi
P : IVFD Asering 1500 cc/24 jam
Inj. Ranitidine 2 x 30 mg IV
Inj. Ondansentrone 2 x 2 mg IV
PCT syrup 3 x 2 cth (k/p)
Antasida syrup 3 x 1 cth
Laxadine syrup 1 x 15 cc
15
Page 16
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh
Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama
terletak di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan
penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene
industri pengolahan makanan yang masih rendah.1
Demam Tifoid
Demam tifoid adalah suatu penyakit sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh
Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia
tanpa keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi
ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyer’s patch.2
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan demam
enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid
namun biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis
sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid. Terdapat 3
bioserotipe Salmonella enteriditis yaitu bioserotipe paratyphi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri)
dan paratyphi C (S. Hirschfeldii).2
Sejarah
Pada tahun 1829 Pierre Louis (Perancis) mengeluarkan istilah typhoid yang berarti seperti
typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini
dipakai pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada
tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan tifoid dari typhus. Pada
tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari
kelenjar limfe mesentarial dan limpa. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan Salmonella
typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air bukan udara.2
16
Page 17
Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metode untuk diagnosis penyakit demam
tifoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi
terhadap demam tifoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman
hidup yang dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi Vi kapsul polisakarida. Pada tahun 1948
Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa kloramfenikol adalah efektif untuk pengobatan
penyakit demam tifoid.2
Epidemiologi
Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di berbagai negara
sedang berkembang. Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini sangat sukar
ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat
luas.2 Sebagian besar kasus terjadi pada anak berusia >5 tahun tetapi gejala dan tanda klinisnya
masih sangat luas sehingga sukar didiagnosis. Sekitar 95% kasus demam tifoid di Indonesia
disebabkan oleh S. typhi, sementara sisanya disebabkan oleh S. parathypi. Keduanya merupakan
bakteri Gram-negatif. Masa inkubasi sekitar 10-14 hari.3
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17
juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun. Di
negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95%
merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar
dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
provinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah
perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun.4
Diperkirakan angka kejadian dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan dan 900/100.000/tahun
di Asia. Umur penderita yang terkena di Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3-19
tahun mencapai 91% kasus. Angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika
Selatan.2
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural
reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret
saluran nafas, urin dan tinja dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang
berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es,
debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S.typhi hanya dapat hidup
17
Page 18
kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi
(temp 63oC).2
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui minuman/makanan yang
tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar
bersama-sama dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal).2
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam
bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi oro-fekal dari seorang ibu
pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya dan sumber kuman berasal dari
laboratorium penelitian.2
Etiologi
Salmonella typhi sama dengan Salmonela yang lain adalah bakteri Gram-negatif,
mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, fakultatif anaerob. Mempunyai
antigen somatic (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein
dan envelope antigen (K) yang terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular
lipopolisakarida kompleks yang membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan
endotoksin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan
resistensi terhadap multiple antibiotik.2
Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme,
yaitu: (1) penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch, (2) bakteri bertahan hidup dan
bermultiplikasi di makrofag Peyer’s patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ
ekstra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan
(4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan
menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.2
Bakteri awalnya masuk bersama makanan hingga mencapai epitel usus halus (ileum) dan
menyebabkan inflamasi lokal, fagositosis, serta pelepasan endotoksin di lamina propria. Bakteri
kemudian menembus dinding usus hingga mencapai jaringan limfoid ileum yang disebut Peyer’s
patch (plak Peyeri). Dari tempat tersebut, bakteri dapat masuk ke aliran limfe mesenterika
hingga ke aliran darah (bakteremia I) bertahan hidup dan mencapai jaringan retikuloendotelial
18
Page 19
(hepar, limpa, sumsum tulang) untuk bermultiplikasi memproduksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus yang menyebabkan keluarnya elektrolit dan air
ke lumen interstinal. Selanjutnya, bakteri kembali beredar ke sirkulasi sistemik (bakteremia II)
dan menginvasi organ lain, baik intra maupun ekstraintestinal.3
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui
mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (pH <2) banyak bakteri yang mati.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel
mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan
yeyunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat
internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, mengikuti aliran ke
kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES
di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.2
Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella typhi akan ke luar dari
habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini
organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella
typhi adalah hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal.
Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograde
dari empedu. Ekskresi organism di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.2
Peran Endotoksin
Peran endotoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti
dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus.
Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel
limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem vaskular yang tidak
19
Page 20
stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem
imunologik.2
Respons Imunologik
Pada demam tifoid terjadi respons imun humoral maupun seluler baik di tingkat local
(gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme imunologik ini dalam
menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan
pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih berperan. Penurunan jumlah limfosit T
ditemukan pada pasien sakit berat dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan
reaktivitas seluler terhadap antigen Salmonella ser. typhii pada uji hambatan migrasi leukosit.
Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap harinya dan dikeluarkan dalam tinja,
tanpa memasuki epitel pejamu.2
Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan
perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala ini disebabkan
faktor galur Salmonela, status nutrisi dan imunologik pejamu serta lama sakit dirumahnya.2
- Masa inkubasi (10-14 hari): asimtomatis;3
- Fase invasi: demam ringan, naik secara bertahap, terkadang suhu malam lebih tinggi
dibandingkan pagi hari. Gejala lainnya adalah nyeri kepala, rasa tidak nyaman pada
saluran cerna, mual, muntah, sakit perut, batuk, lemas, konstipasi;3
- Di akhir minggu pertama, demam telah mencapai suhu tertinggi dan akan konstan
tinggi selama minggu kedua. Tanda lainnya adalah bradikardia relatif, pulsasi
dikrotik, hepatomegali, splenomegali, lidah tifoid (di bagian tengah kotor, di tepi
hiperemis), serta diare dan konstipasi;3
- Stadium evolusi: demam mulai turun perlahan, tetapi dalam waktu yang cukup lama.
Dapat terjadi komplikasi perforasi usus. Pada sebagian kasus, bakteri masih ada
dalam jumlah minimal (menjadi karier kronis).3
Manifestasi klinis demam tifoid pada anak seringkali tidak khas dan sangat bervariasi
yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan
20
Page 21
sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah
disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi,
gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus
atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja.5
Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua
penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah
dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus
daripada S. typhi. Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita
yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria.
Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit
kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S.
typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala
mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri
perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran
peritonitis akibat perforasi usus.2,5
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti pada saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pda
akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4 demam
turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi focus infeksi seperti kolesistitis, abses jaringan
lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa
demam lebih tinggi pada saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem saraf pusat, seperti
kesadaran berkabut dan delirium atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai
koma.2
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada kasus yang berpenampilan
klinis berat, pada saat demam tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai
penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai akibat kurang masukan
cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pasien
21
Page 22
dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian
pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak
dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih
banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.2
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 1-5 mm
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang kulit
putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7-
10 dan bertahan selama 2-3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid. Bradikardia
relatif jarang dijumpai pada anak. Pada penderita tifoid peningkatan denyut nadi tidak sesuai
dengan peningkatan suhu, dimana seharusnya peningkatan 1°C diikuti oleh peningkatan denyut
nadi sebanyak 8 kali/menit. Bradikardi relatif adalah keadaan dimana peningkatan suhu 1°C
tidak diikuti oleh peningkatan nadi 8 kali/menit.2
Penyulit (Komplikasi)
- Peritonitis dan perdarahan saluran cerna: suhu menurun, nyeri abdomen, muntah,
nyeri tekan pada palpasi, bising usus menurun atau menghilang, ditemukan defans
muskular, dan pekak hati menghilang;3
- Perforasi intestinal;3
- Ensefalopati tifoid (toxic typhoid);3
- Hepatitis tifosa.3
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3%, sedangkan perdarahan usus
pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3 sakit,
walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan penurunan
suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh
nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga nyeri yang
menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defence muscular,
hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis lain. Beberapa kasus perforasi usus halus
mempunyai manifestasi klinis yang tidak jelas.2
Dilaporkan pula kasus dengan komplikasi neuropsikiatri. Sebagian besar bermanifestasi
gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor bahkan koma. Beberapa penulis
mengaitkan manifestasi klinis neuropsikiatri dengan prognosis buruk. Penyakit neurologi lain
22
Page 23
adalah thrombosis serebral, afasia, ataksia sereberal akut, tuli, mielitis transversal, neuritis perifer
maupun kranial, meningitis, ensefalomielitis, sindrom Guillan-Barre. Dari berbagai penyulit
neurologic yang terjadi, jarang dilaporkan gejala sisa yang permanen (sekuele).2
Miokarditis dapat timbul dengan manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST-T pada
EKG, syok kardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Hepatitis tifosa
asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar
transaminase yang tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar
transaminase, maupun kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang
terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu
empedu dan fenomena pembawa kuman (karier).2
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin pada
saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan penyulit
demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis yang dapat
bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan
oleh kuman Salmonella typhi, namun seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain.
Penyulit lain yang dapat dijumpai adalah trombositopenia, koagulasi intravascular diseminata,
hemolytic uremic syndrome (HUS), fokal infeksi di beberapa lokasi sebagai akibat bakteremia
misalnya infeksi pada tulang, otak, hati, limpa, otot, kelenjar ludah dan persendian.2
Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali dua minggu setelah
penghentian antibiotik. Namun pernah juga dilaporkan relaps timbul saat stadium konvalesens,
saat pasien tidak demam akan tetapi gejala lain masih jelas dan masih dalam pengobatan
antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid sebelumnya dan
lebih singkat.2
Pemeriksaan Fisis
Gejala klinis bervariasi dari yang ringan sampai berat dengan komplikasi. Kesadaran
menurun, delirium, sebagian besar anak mempunyai lidah tifoid yaitu di bagian tengah kotor dan
bagian pinggir hiperemis, meteorismus, hepatomegali lebih sering dijumpai daripada
splenomegali. Kadang-kadang terdengar ronki pada pemeriksaan paru.6
23
Page 24
Pemeriksaan Penunjang
Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting
di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti. Penegakan
diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala
klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama
pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium
untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid.7
Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat,
mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini
penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi
penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat
menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan
kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier.7
- Laboratorium hematologi rutin: anemia (pada umumnya terjadi karena supresi
sumsum tulang, defisiensi Fe, atau perdarahan usus), leukopenia (namun jarang
kurang dari 3000/uL), an-eosinofilia, limfositosis relatif, atau trombositopenia (pada
kasus berat);3,6
- Peningkatan laju endap darah;3
- Peningkatan enzim transaminase;3
- Serologi: serologi Widal terjadi kenaikan titer S.typhi titer O 1:200 atau kenaikan 4
kali titer fase akut ke fase konvalesens); kadar IgM dan IgG (Typhi-dot) / antibody
IgM 09 Salmonella typhi;3,6
- Pemeriksaan biakan Salmonela: biakan darah terutama pada minggu 1-2 dari
perjalanan penyakit; biakan sumsum tulang masih positif sampai minggu ke-4.6
- Pemeriksaan radiologi: rontgen toraks apabila diduga terjadi komplikasi pneumonia,
rontgen abdomen bila dicurigai terjadi komplikasi intraintestinal (peritonitis, perforasi
usus atau perdarahan saluran cerna). Pada perforasi usus tampak distribusi udara tidak
merata, air fluid level, bayangan radiolusen di daerah hepar, udara bebas pada
abdomen.3,6
24
Page 25
Gambaran Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit normal, bisa
menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal
atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama
pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis
leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal
yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,
akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam
tifoid.8
Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil
pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan
leukosit normal (65.9%).
Anemia normokromi normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi pada
sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/uL3. Apabila terjadi abses
piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000-25.000/uL3. Trombositopenia
sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.2
Identifikasi Kuman Melalui Isolasi/Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam
biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan
dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan
feses.4
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak
menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor
yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.4
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan
2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1
mL. Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
25
Page 26
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi
hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih
sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media
Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat
tumbuh pada media tersebut.4,8
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan
penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita
pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan
menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun
secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan
metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan
terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga
tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada
spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan
tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. Salah satu
penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum
hampir sama dengan kultur sumsum tulang.3,4,6
Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang
digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah,
volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah
dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai
metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.7
26
Page 27
Identifikasi Kuman Melalui Uji Serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan
mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu
sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang
diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan. Beberapa uji serologis yang dapat
digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX®; (3) metode enzyme
immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5)
pemeriksaan dipstik.7
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam
proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam
sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada
jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut,
jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan
spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).8
- Uji Widal
Uji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun
1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O)
dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi.
Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi
dalam serum.7,8
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide
test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan
dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit
tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.7,8
Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan
spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi
positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada
kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan
sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.7
27
Page 28
Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain
sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan
status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari
masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta
reagen yang digunakan.8
Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya
melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita
demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada
tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan
secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point).
Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer)
pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan
didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat. Penelitian oleh
Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal
dengan titer >1/200 pada 89% penderita.8
- Tes Tubex
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana
dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk
meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9
yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini
sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM
dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.7
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX® ini, beberapa
penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002)
mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan
sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan
yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan
sederhana, terutama di negara berkembang.7,8
28
Page 29
Diagnosis
Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat
oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian
yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha
penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal
dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui
isolasi Salmonella typhi dari darah. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan mengisolasi
Salmonella typhi dari dalam darah pasien lebih besar daripada minggu berikutnya. Biakan yang
dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan specimen yang
berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil psoitif didapat pada
90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasive, sehingga tidak dipakai dalam praktek
sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan specimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.2
Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan memakai uji Widal slide
agglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal
positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi
apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin
sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam
tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedangkan Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman Salmonella typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat
timbul positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus
demam tifoid yang terbukt biakan darah positif.2
Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi
antibody Salmonella typhi dalam serum, antigen terhadap Salmonella typhi dalam darah, serum
dan urin bahkan DNA Salmonella typhi dalam darah dan faeces. Polymerase chain reaction telah
29
Page 30
digunakan untuk memperbanyak gen Salmonella ser. typhi secara spesifik pada darah pasien dan
hasil dapat diperoleh hanya dalam beberapa jam. Metode ini spesifik dan lebih sensitif
dibandingkan biakan darah. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang
baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum
disepakati adanya pemerksaan yang dapt menggantikan uji serologi Widal.2
Diagnosa Banding
Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberculosis,
infeksi jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada
demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan penyakit Hodgkin dapat sebagai
diagnosis banding.2
Tatalaksana
Antibiotik6
- Kloramfenikol (drug of choice) 50-100 mg/kgBB/hari, oral atau IV, dibagi dalam 4
dosis selama 10-14 hari.
- Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, oral atau intravena, selama 10 hari.
- Kotrimoksasol 6 mg/kgBB/hari, oral, selama 10 hari.
- Seftriakson 80 mg/kgBB/hari, intravena atau intramuskular, sekali sehari, selama 5
hari.
- Sefiksim 10 mg/kgBB/hari, oral, dibagi dalam 2 dosis, selama 10 hari.
- Kortikosteroid diberikan pada kasus berat dengan gangguan kesadaran.
Deksametason 10-3 mg/kgBB/hari intravena, dibagi 3 dosis hingga kesadaran
membaik.
Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi
yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan
untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi
disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan dengan seksama. Pengobatan
30
Page 31
antibiotik merupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella
typhi berhubungan dengan keadaan bakteriemia.2
Kloramfenikol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-
14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau
penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut,
dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka
relaps dan karier. Namun pada anak hal tersebut jarang dilaporkan. Kloramfenikol tidak
diberikan apabila leukosit <2000/uL.2
Ampisilin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan
dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian secara intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian per oral selama 10 hari memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun
penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (TMP-SMZ)
memberikan hasil yang kurang baik dibanding kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah
TMP 10 mg/kg/hari atau SMZ 50 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis. Di beberapa negara sudah
dilaporkan kasus demam tifoid yang resisten terhadap kloramfenikol. Di India resistensi ganda
terhadap kloramfenikol, Ampisilin dan TMP-SMZ terjadi sebanyak 49-83%. Strain yang resisten
umumnya rentan terhadap sefalosporin generasi ketiga.2
Pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti Seftriakson 100 mg/kg/hari dibagi dalam 1
atau 2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis efektif pada isolat yang rentan. Efikasi kuinolin baik tetapi tidak dianjurkan
untuk anak. Akhir-akhir ini cefixime oral 10-15 mg/kgBB/hari selama 10 hari dapat diberikan
sebagai alternative, terutama apabila jumlah leukost <2000/uL atau dijumpai resistensi terhadap
Salmonella typhi.2,3
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma dan shock,
pemberian deksametason intravena (3 mg/kg diberikan dalam 30 menit untuk dosis awal,
dilanjutkan dengan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai,
dapat menurunkan angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit
perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi
perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu
31
Page 32
menegakkan diagnosis. Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai
penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis. Reseksi 10 cm di setiap sisi
perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan
untuk pengobatan trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan
perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam pertimbangan untuk dilakukan
intervensi bedah.2
Ampisilin (atau amoksisilin) dosis 40 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral ditambah dengan
probenecid 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis per oral atau TMP-SMZ selama 4-6 minggu
memberikan angka kesembuhan 80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Bila terdapat
kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antibiotik saja jarang berhasil, kolesistektomi dianjurkan
setelah pemberian antibiotik (ampisilin 200 mg/kgBB/hari dalam 4-6 dosis IV) selama 7-10 hari,
setelah kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30mg/kgBB/hari dalam 3 dosis per oral
selama 30 hari.2
Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam
tifoid serangan pertama.2
Indikasi Rawat
Demam tifoid berat harus dirawat inap di rumah sakit.6
a. Cairan dan Kalori
- Terutama pada demam tinggi, muntah atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori
diberikan melalui sonde lambung.
- Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan
kadar natrium rendah.
- Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan.
- Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik.
- Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu diberikan O2.
- Pelihara keadaan nutrisi.
- Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolit.
b. Antipiretik, diberikan apabila demam >39oC, kecuali pada pasien dengan riwayat kejang
demam dapat diberikan lebih awal.
32
Page 33
c. Diet
- Makanan tidak berserat dan mudah dicerna.
- Setelah demam reda, dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori
cukup.
- Transfusi darah: kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan
perforasi usus.
Pemantauan
Terapi6
- Evaluasi demam dengan memonitor suhu. Apabila pada hari ke 4-5 setelah
pengobatan demam tidak reda, maka harus segera kembali dievaluasi adakah
komplikasi, sumber infeksi lain, resistensi S.typhi terhadap antibiotik, atau
kemungkinan salah menegakkan diagnosis.
- Pasien dapat dipulangkan apabila tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik, nafsu
makan membaik, klinis perbaikan, dan tidak dijumpai komplikasi. Pengobatan dapat
dilanjutkan di rumah.
Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan kesehatan
sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan terapi antibiotik yang
adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya
karena keterlambatan diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti
perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia,
mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.2
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. ser. Typhi ≥ 3 bulan
setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko menjadi karier pada anak-anak rendah
dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.
Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi
umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada
individu dengan skistosomiasis.2
33
Page 34
Pencegahan
Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar Salmonella typhi, maka setiap
individu harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi.
Salmonella typhi di dalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa menit
atau dengan proses iodinasi/klorinasi.2
Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit dan secara merata juga
dapat mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah
tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta
tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan
angka kejadian demam tifoid.2
Vaksin Demam Tifoid
Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang
berisi kuman Salmonella typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine)
telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini
hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat
suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan
(Ty-21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya
perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada
penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat
transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara
suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.2
34
Page 35
Analisa Kasus
Pada pasien anak berusia 11 tahun 7 bulan 4 hari dengan berat badan 35 kg, didapatkan
keluhan demam sejak 6 hari SMRS sesuai dengan allo-anamnesa dari ibu kandung pasien. Sifat
demam pada anak ini naik secara perlahan-lahan dan tinggi terutama pada sore hingga malam
hari disertai dengan menggigil. Puncak titik tertinggi demam adalah pada akhir minggu pertama
dimana anak tersebut segera dibawa ke IGD oleh ibunya. Hal ini sesuai dengan gambaran klinis
sifat demam dari demam tifoid. Seminggu sebelum masuk rumah sakit, pasien memang sering
jajan makanan di tepi jalan, yang kemungkinan sudah terkontaminasi dengan S. typhi sehingga
terjadi penularan melalui makanan/minuman yang tercemar.
Selain sifat demam, terdapat gejala lain yaitu gejala gastrointestinal berupa muntah dan
konstipasi selama kurang lebih 5 hari berturut-turut. Hal ini juga mendukung diagnosa demam
tifoid dimana ada gangguan gastrointestinal seperti yang dijelaskan pada patofisiologi demam
tifoid. Jadi pada kasus ini konstipasi yang terjadi merupakan kesatuan gejala klinis yang
digambarkan dari demam tifoid itu sendiri.
Pasien juga mengeluh mual, nyeri ulu hati dan anoreksia. Hal ini sesuai dengan gejala
sistemik yang menyertai timbulnya demam tifoid. Oleh sebab itu dari anamnesis, dapat dilihat
bahwa apa yang dialami pasien sesuai dengan gambaran gejala klinis pada demam tifoid.
Dari hasil pemeriksaan penunjang, didapatkan hasil pemeriksaan serologi Widal S.typhi
O (+) 1/320 sehingga demam tifoid dapat ditegakkan.
35
Page 36
Daftar Pustaka
1. Cleary TG. Salmonella. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson
Textbook of Pediatrics. Ed 16. Philadelphia: WB Saunders; 2000.h.842-8.
2. Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS, Satari HI. Buku ajar infeksi dan pediatri
tropis. Ed 2. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2015.h.338-45.
3. Tanto C, Liwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita selekta kedokteran. Ed 4. Jakarta:
Media Aesculapius; 2014.h.74-5.
4. Diagnosis of typhoid fever. Dalam: Background document: The diagnosis, treatment and
prevention of typhoid fever. World Health Organization; 2003.h.7-18.
5. Darmowandowo D. Demam tifoid. Dalam: Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak
XXXIII. Surabaya: Surabaya Intellectual Club; 2003.h.19-34.
6. Pudjiadi AH, Hegar B, Handryastuti S, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati ED.
Pedoman pelayanan medis ikatan dokter anak Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia; 2009.h.47-9.
7. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam tifoid. Dalam: Soegijanto S, Ed.
Ilmu Penyakit Anak: Diagnosa dan Penatalaksanaan. Ed 1. Jakarta: Salemba Medika;
2002.h.1-43.
8. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of
typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.
36