Page 1
STATUS ILMU BEDAH
RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT DR. MINTOHARJO
BENDUNGAN HILIR, JAKARTA PUSAT
Nama penyusun : Mochamad Satrio Faiz
NIM : 030.10.180
Pembimbing : Dr. Andanu Indratnoto Sp.B. (K) BD
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Maisie Elisa, an.
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 6 tahun 6 bulan
Alamat : Jl. Laut Maluku N0.1 RT 01/11 komplek SESKOAL
Pendidikam : SD
Pekerjaan : Ayah : Perwira TNI-AL
Ibu : IRT
Ruang Perawatan : P. Sebatik
Tanggal Masuk : 12/11/2015
1
Page 2
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis terhadap ibu pasien di ruang 2 bangsal
P. Sebatik pada tanggal 13/11/2015.
1. Keluhan utama
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi sejak 10 jam SMRS.
2. Keluhan tambahan
Pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah 10 jam SMRS.
3. Riwayat penyakit sekarang (RPS)
Nyeri yang dirasakan pasien berlangsung sejak kurang-lebih 10 jam SMRS, nyeri
tajam dan terlokalisasi pada daerah kanan bawah perut. 2 bulan sebelumnya, pasien
mengalami nyeri yang diakui tidak terlokalisasi ke hanya satu bagian perut tertentu, nyeri
tersebut diakui terasa lebih ringan dibandingkan nyeri saat sebelum masuk rumah sakit.
Nyeri tersebut hilang saat pasien diberi obat sanmol oleh ibunya.
Pasien juga menderita diare 2 bulan yang lalu, muncul diwaktu yang sama saat
terjadi nyeri perut, dengan frekuensi BAB 2-3x/hari dengan konsistensi cair. Diare ini
diakui oleh ibunya, hilang dengan sendirinya.
2 minggu SMRS, pasien mengalami demam tinggi, demam tersebut diakui terasa
berkelanjutan. Ibu pasien kemudian membawa pasien berobat ke dokter anak di institusi
kesehatan terdekatnya, dan kemudian diberikan obat penurun demam dan antibiotik cair
oleh dokter tersebut. Gejala-gejala ini kemudian tidak terjadi hingga menjelang pasien
masuk ke rumah sakit.
Sekitar pukul 03.00 pagi pada tanggal 12 November 2015 atau sekitar 10 jam
SMRS. Pasien mengalami demam tinggi. Pasien kemudian dibawa ke Satkes TNI
2
Page 3
terdekat dan kemudian diperiksa oleh dokter Satkes. Ibu pasien mendeskripsikan bahwa
pasien merasakan sakit ketika dokter menekan bagian kanan bawah pasien dan juga
ketika dokter menekuk kaki kanan pasien. Oleh dokter puskesmas, pasien kemudian
dirujuk ke RSAL Mintoharjo dan diputuskan untuk menjalani operasi segera.
4. Riwayat penyakit dahulu (RPD)
Ibu pasien mengakui bahwa pasien tidak pernah menderita penyakit yang
membuatnya dirawatinapkan dirumah sakit sebelumnya. Penyakit yang diderita, diakui hanya
sebatas demam dan flu ringan.
5. Riwayat alergi (RA)
Pasien diakui tidak memiliki alergi, baik alergi makanan, debu, suhu, maupun obat.
Pasien tidak memiliki asma, tidak ada anggota keluarga yang menderita asma.
6. Riwayat kehamilan (RH)
Riwayat ibu saat hamil dengan pasien diakui baik. Sang ibu tidak menderita penyakit
tertentu ketika mengandung pasien. Dengan jadwal kunjungan kontrol kehamilan yang
teratur.
7. Riwayat kelahiran (RL)
Pasien dilahirkan dengan sectio caesaria di RS Marinir Cilandak, tanpa komplikasi.
Berat badan lahir normal, menangis spontan.
8. Riwayat imunisasi (RI)
Diakui ibunya bahwa pasien telah menjalani imunisasi, adapun jenis imunisasi yang
diberikan tidak diketahui pasti karena keterbatasan pengetahuan dan ingatan narasumber.
3
Page 4
9. Riwayat penyakit keluarga (RPK)
Ayah dan ibu pasien diakui memiliki tekanan darah tinggi. Ayah pasien pernah
menderita varicocele.
4
Page 5
III. PEMERIKSAAN FISIK (12/11/2015 & 13/11/2015)
Keadaan u mum
- Kesadaran : Compos mentis
- Kesan sakit : Tampak sakit sedang
- Kesan gizi : Gizi cukup
T anda-tanda vital :
- TD : 120/80 mmHg
- N : 110 x/menit (reguler)
- RR : 42 x/menit
- S : 38.0 oC
- Antropometri : BB : 25 kg, TB : 65 cm
Status Generalis :
KULIT
Warna kulit sawo matang, pucat (-), sianosis (-), ikterik (-), turgor kulit baik
KEPALA
Normochepali, deformitas (-), rambut : hitam, distribusi merata, tidak mudah dicabut.
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor, ptosis (-), palpebra
oedem (-).
Telinga : Normotia
Hidung : Deformitas (-),
Mulut : sianosis (-), bibir dan mukosa mulut tidak kering,
LEHER
Inspeksi : KGB dan kelenjar tiroid tidak tampak membesar
5
Page 6
THORAKS
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna, gerak pernafasan simetris, tidak
tampak pergerakan nafas yang tertinggal, tulang iga tidak terlalu vertikal maupun
horizontal, retraksi otot-otot pernapasan (-).
Auskultasi :
- Jantung : Bunyi jantung I & II regular, murmur (-) gallop (-).
- Paru : Suara napas vesikuler (+/+), wheezing (-/-), Ronki (-/-).
ABDOMEN
Inspeksi : Tidak tampak efloresensi yang bermakna.
EKSTREMITAS
Inspeksi : Simetris, tidak tampak efloresensi yang bermakna, oedem (-) pada keempat
ekstremitas.
Palpasi : Akral teraba hangat.
Status lokalis
Status lokalis pada kuadran kanan bawah abdomen
Look: dbn
Feel: McBurney’s sign (+), rebound tenderness (+)
Move: Obturator sign (+), psoas sign (+)
6
Page 7
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium (12/11/15)
Hb : 15,1 g/dl (Normal: 12-16 g/dl)
Ht : 44 vol % (Normal : 37-43 vol %)
Leukosit : 13.500/mm3 (Normal : 5.000-10.000/mm3)
LED : 52 mm/jam(Normal : <38 mm/jam)
Trombosit : 227.000/mm3 (Normal :200.000-500.000/mm3)
Hitung Jenis : Basofil : 0 % (0-1 %)
Eosinofil : 0 % (1-3 %)
Batang : 1 % (2-6 %)
Segmen : 90 % (50-70%)
Limfosit : 15 % (20-40 %)
Monosit : 4 % (2-8 %)
V. RINGKASAN
Pasien datang dengan keluhan demam tinggi sejak 10 jam SMRS dan mengeluh nyeri
perut kanan bawah 10 jam SMRS. Nyeri tajam dan terlokalisasi pada daerah kanan bawah
perut. Pasien juga mengalami demam tinggi, demam tersebut diakui terasa berkelanjutan.
Pasien merasakan sakit ketika dokter menekan bagian kanan bawah pasien dan juga ketika
dokter menekuk kaki kanan pasien. Pada pemeriksaan fisik ditemukan peningkatan suhu,
McBurney’s sign (+), rebound tenderness (+), obturator sign (+), dan psoas sign (+).
Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis, peningkatan LED dan shift to
the right pada hitung jenis leukosit.
7
Page 8
VI. DAFTAR MASALAH
Appendicitis kronik eksaserbasi akut
VII. ANALISA MASALAH
Pada pasien ini, masalah ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis yakni nyeri
berulang sejak 2 bulan SMRS, dari pola difus, kemudian bermigrasi ke kanan bawah perut;
disertai dengan gangguan pencernaan berupa diare dengan frekuensi 2-3x sehari dengan
konsistensi cair. Pasien juga mengalami demam yang cukup tinggi yang juga berulang sejak 2
minggu SMRS dengan pola berkelanjutan pada saat demam. Ketiga gejala tersebut kemudian
kembali berulang dengan intensitas yang lebih tinggi yang membuat pasien dibawa ke rumah
sakit.
Selain itu, pada pemeriksaan fisik ditemukan kenaikan suhu, dan pada pemeriksaan
lokal kuadran kanan bawah abdomen ditemukan tanda McBurney (+), tanda obturator (+),
tanda psoas (+) dan rebound tenderness (+). Tanda-tanda tersebut indikatif terhadap masalah
yang dialami pasien.
Pada pemeriksaan laboratorium juga didapatkan adanya leukositosis, LED yang
meningkat dan adanya pergeseran produksi netrofil ke kanan, menandakan inflamasi yang
terjadi merupakan inflamasi kronik. Hal ini juga mendukung terhadap masalah yang dialami
pasien.
8
Page 9
VIII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah open appendectomy cito pada
tanggal 12/11/2015 pukul 14.30. Hal ini dilakukan atas pertimbangan nyeri yang berulang
dan pasien terlihat kesakitan sehingga dibutuhkan relieve atas rasa sakitnya segera.
Pre-operatif
Pasien pada saat pre-operasi terlihat sangat gelisah, terdengar menjerit dan menangis.
Hal ini kemungkinan dikarenakan rasa sakit yang dialami pasien dan juga rasa takut yang
dialami pasien akibat kondisi ruang operasi.
Tipe anestesia yang dilakukan adalah anestesi umum.
Durante operasi
Setelah pasien berada dalam keadaan anestesia, operator (dr. Mozart Sp. B)
melakukan operasi open appendectomy dengan insisi McBurney-McArthur pada kuadran
kanan bawah abdomen kurang lebih 5 cm. Setelah itu dilakukan insisi terhadap fasia Camper
dan fasia Scarpa untuk dapat memisahkan m. oblique externus dengan klem dan retraktor.
Setelah itu dilakukan pengguntingan terhadap peritoneum dengan arah kranio-kaudal
sehingga rongga perut dapat dicapai. Setelah appendiks teridentifikasi, appendiks bersama
dengan mesoappendiks kemudian diangkat ke daerah insisi, kemudian dilakukan ligasi
terhadap arteri appendiks dan kemudian appendiks dipisahkan dari mesoappendiks. Setelah
itu, dilakukan ligasi ganda pada basis appendiks kemudian appendiks di klem untuk
kemudian dipotong.
9
Page 10
Post-operatif
Instruksi post-operatif yang diberikan pada pasien ini adalah sbb:
Puasa hingga BU (+) normal
Infusi RL15 tpm
Injeksi cefotaxim 2x500 mg
Injeksi ketorolac 3x1/2 amp
Perawatan luka 3 hari
IX. PROGNOSIS
Ad vitam : bonam
Ad sanationam : bonam
Ad functionam : bonam
10
Page 11
TINJAUAN PUSTAKA
Anatomi
Apendiks merupakan organ berbentuk tabung, panjangnya kira-kira 10cm (kisaran 3-
15cm), dan berpangkal di caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di
bagian distal. Namun demikian, pada bayi, apendiks berbentuk kerucut, lebar pada
pangkalnya dan menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab
rendahnya insiden appendicitis pada usia itu. Pada 65% kasus, apendiks terletak
intraperitoneal. Kedudukan itu memungkinkan apendiks bergerak dan ruang geraknya
bergantung pada panjang mesoapendiks penggantungnya.
Gambar 1: anatomi appendiks
Pada kasus selebihnya, apendiks terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di
belakang colon ascendens, atau di tepi lateral colon ascendens. Gejala klinis appendicitis
ditentukan oleh letak apendiks.
Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti a.mesenterica
superior dan a.apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n.torakalis X. Oleh
karena itu, nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilicus.
Pendarahan apendiks berasal dari a.apendikularis yang merupakan arteri tanpa
kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena thrombosis pada infeksi apendiks akan
mengalami gangren.
11
Page 12
2.2 Fisiologi
Apendiks menghasilkan lender 1-2ml per hari. Lendir itu normalnya dicurahkan ke
dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum. Hambatan aliran lender di muara apendiks
tampaknya berperan pada pathogenesis appendicitis.
Immunoglobulin sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (gut associated lymphoid tissue)
yang terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk apendiks, ialah IgA. Immunoglobulin itu
sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jkumlah jaringan limf disini kecil sekali jika
dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Insidensi
Terdapat sekitar 250.000 kasus appendicitis yang terjadi di Amerika Serikat setiap
tahunnya dan terutama terjadi pada anak usia 6-10 tahun. Appendicitis lebih banyak terjadi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 3:2. Bangsa Caucasia lebih
sering terkena dibandingkan dengan kelompok ras lainnya. Appendicitis akut lebih sering
terjadi selama musim panas.
Insidensi Appendicitis acuta di negara maju lebih tinggi daripada di negara
berkembang, tetapi beberapa tahun terakhir angka kejadiannya menurun secara bermakna.
Hal ini disebabkan oleh meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-
hari. Appendicitis dapat ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu
tahun jarang dilaporkan. Insidensi tertinggi pada kelompok umur 20-30 tahun, setelah itu
menurun. Insidensi pada laki-laki dan perempuan umumnya sebanding, kecuali pada umur
20-30 tahun, insidensi lelaki lebih tinggi.
Etiologi
Appendicitis disebabkan karena adanya obstruksi pada lumen appendix sehingga terjadi
kongseti vaskuler, iskemik nekrosis dan akibatnya terjadi infeksi. Appendicitis umumnya
terjadi karena infeksi bakteri. Penyebab obstruksi yang paling sering adalah fecolith. Fecolith
ditemukan pada sekitar 20% anak dengan appendicitis. Penyebab lain dari obstruksi
appendiks meliputi:
1. Hiperplasia folikel lymphoid
2. Carcinoid atau tumor lainnya
3. Benda asing (pin, biji-bijian)
4. Kadang parasit
12
Page 13
Penyebab lain yang diduga menimbulkan Appendicitis adalah ulserasi mukosa
appendix oleh parasit E. histolytica. Berbagai spesies bakteri yang dapat diisolasi pada pasien
appendicitis yaitu:
Bakteri aerob fakultatif Bakteri anaerob
Escherichia coli
Viridans streptococci
Pseudomonas aeruginosa
Enterococcus
Bacteroides fragilis
Peptostreptococcus micros
Bilophila species
Lactobacillus species
Patogenesis
Appendicitis terjadi dari proses inflamasi ringan hingga perforasi, khas dalam 24-36
jam setelah munculnya gejala, kemudian diikuti dengan pembentukkan abscess setelah 2-3
hari.
Appendicitis dapat terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi
oleh fecalith, gallstone, tumor, atau bahkan oleh cacing (Oxyurus vermicularis), akan tetapi
paling sering disebabkan obstruksi oleh fecalith dan kemudian diikuti oleh proses
peradangan. Hasil observasi epidemiologi juga menyebutkan bahwa obstruksi fecalith adalah
penyebab terbesar, yaitu sekitar 20% pada ank dengan appendicitis akut dan 30-40% pada
anak dengan perforasi appendiks. Hiperplasia folikel limfoid appendiks juga dapat
menyababkan obstruksi lumen. Insidensi terjadinya appendicitis berhubungan dengan jumlah
jaringan limfoid yang hyperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau
general misalnya akibat infeksi Yersinia, Salmonella, dan Shigella; atau akibat invasi parasit
seperti Entamoeba, Strongyloides, Enterobius vermicularis, Schistosoma, atau Ascaris.
Appendicitis juga dapat diakibatkan oleh infeksi virus enteric atau sistemik, seperti measles,
chicken pox, dan cytomegalovirus. Pasien dengan cyctic fibrosis memiliki peningkatan
insidensi appendicitis akibat perubahan pada kelenjar yang mensekresi mucus. Carcinoid
tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi appendiks, khususnya jika tumor berlokasi di 1/3
proksimal. Selama lebih dari 200 tahun, benda asaning seperti pin, biji sayuran, dan batu
cherry dilibatkan dalam terjadinya appendicitis. Trauma, stress psikologis, dan herediter juga
mempengaruhi terjadinya appendicitis.
Awalnya, pasien akan merasa gejala gastrointestinal ringan seperti berkurangnya
nafsu makan, perubahan kebiasaan BAB yang minimal, dan kesalahan pencernaan. Anoreksia
berperan penting pada diagnosis appendicitis, khususnya pada anak-anak.
13
Page 14
Distensi appendiks menyebabkan perangsangan serabut saraf visceral dan
dipersepsikan sebagai nyeri di daerah periumbilical. Nyeri awal ini bersifat nyeri dalam,
tumpul, berlokasi di dermatom Th 10. Adanya distensi yang semakin bertambah
menyebabkan mual dan muntah, dalam beberapa jam setelah nyeri. Jika mual muntah timbul
lebih dulu sebelum nyeri, dapat dipikirkan diagnosis lain.
Appendiks yang obstruksi merupakan tempat yang baik bagi bakteri untuk
berkembang biak. Seiring dengan peningkatan tekanan intraluminal, terjadi gangguan aliran
limf, terjadi oedem yang lebih hebat. Akhirnya peningkatan tekanan menyebabkan obstruksi
vena, yang mengarah pada iskemik jaringan, infark, dan gangrene. Setelah itu, terjadi invasi
bakteri ke dinding appendiks; diikuti demam, takikardi, dan leukositosis akibat kensekuensi
pelepasan mediator inflamasi dari jaringan yang iskemik. Saat eksudat inflamasi dari dinding
appendiks berhubungan dengan peritoneum parietale, serabut saraf somatic akan teraktivasi
dan nyeri akan dirasakan lokal pada lokasi appendiks, khususnya di titik Mc Burney’s. Nyeri
jarang timbul hanya pada kuadran kanan bawah tanpa didahului nyeri visceral sebelumnya.
Pada appendiks retrocaecal atau pelvic, nyeri somatic biasanya tertunda karena eksudat
inflamasi tidak mengenai peritoneum parietale sampai saat terjadinya rupture dan penyebaran
infeksi. Nyeri pada appendiks retrocaecal dapat muncul di punggung atau pinggang.
Appendiks pelvic yang terletak dekat ureter atau pembuluh darah testis dapat menyebabkan
peningkatan frekuensi BAK, nyeri pada testis, atau keduanya. Inflamasi ureter atau vesica
urinaria pada appendicitis dapat menyebabkan nyeri saat berkemih, atau nyeri seperti terjadi
retensi urine.
Perforasi appendiks akan menyebabkan terjadinya abscess lokal atau peritonitis
umum. Proses ini tergantung pada kecepatan progresivitas ke arah perforasi dan kemampuan
pasien berespon terhadap adanya perforasi. Tanda perforasi appendiks mencakup peningkatan
suhu melebihi 38.6oC, leukositosis > 14.000, dan gejala peritonitis pada pemeriksaan fisik.
Pasien dapat tidak bergejala sebelum terjadi perforasi, dan gejala dapat menetap hingga > 48
jam tanpa perforasi. Secara umum, semakin lama gejala berhubungan dengan peningkatan
risiko perforasi. Peritonitis difus lebih sering dijumpai pada bayi karena tidak adanya jaringan
lemak omentum. Anak yang lebih tua atau remaja lebih memungkinkan untuk terjadinya
abscess yang dapat diketahui dari adanya massa pada pemeriksaan fisik.
Konstipasi jarang dijumpai tetapi tenesmus sering dijumpai. Diare sering didapatkan
pada anak-anak, dalam jangka waktu sebentar, akibat iritasi ileum terminal atau caecum.
Adanya diare dapat mengindikasikan adanya abscess pelvis
14
Page 15
Gambaran Klinis
Appendicitis dapat mengenai semua kelompok usia. Meskipun sangat jarang pada
neonatus dan bayi, appendicitis akut kadang-kadang dapat terjadi dan diagnosis appendicitis
jauh lebih sulit dan kadang tertunda. Nyeri merupakan gejala yang pertama kali muncul.
Seringkali dirasakan sebagai nyeri tumpul, nyeri di periumbilikal yang samar-samar, tapi
seiring dengan waktu akan berlokasi di abdomen kanan bawah. Terjadi peningkatan nyeri
yang gradual seiring dengan perkembangan penyakit.
Variasi lokasi anatomis appendiks dapat mengubah gejala nyeri yang terjadi. Pada
anak-anak, dengan letak appendiks yang retrocecal atau pelvis, nyeri dapat mulai terjadi di
kuadran kanan bawah tanpa diawali nyeri pada periumbilikus. Nyeri pada flank, nyeri
punggung, dan nyeri alih pada testis juga merupakan gejala yang umum pada anak dengan
appendicitis retrocecal arau pelvis.
Jika inflamasi dari appendiks terjadi di dekat ureter atau bladder, gejala dapat berupa
nyeri saat kencing atau perasaan tidak nyaman pada saat menahan kencing dan distensi
kandung kemih.
Anorexia, mual, dan muntah biasanya terjadi dalam beberapa jam setelah onset
terjadinya nyeri. Muntah biasanya ringan. Diare dapat terjadi akibat infeksi sekunder dan
iritasi pada ileum terminal atau caecum. Gejala gastrointestinal yang berat yang terjadi
sebelum onset nyeri biasanya mengindikasikan diagnosis selain appendicitis. Meskipun
demikian, keluhan GIT ringan seperti indigesti atau perubahan bowel habit dapat terjadi pada
anak dengan appendicitis.
Pada appendicitis tanpa komplikasi biasanya demam ringan (37,5 -38,5 0 C). Jika suhu
tubuh diatas 38,6 0 C, menandakan terjadi perforasi. Anak dengan appendicitis kadang-
kadang berjalan pincang pada kaki kanan. Karena saat menekan dengan paha kanan akan
menekan Caecum hingga isi Caecum berkurang atau kosong. Bising usus meskipun bukan
tanda yang dapat dipercaya dapat menurun atau menghilang.
Anak dengan appendicitis biasanya menghindari diri untuk bergerak dan cenderung
untuk berbaring di tempat tidur dengan kadang-kadang lutut diflexikan. Anak yang
menggeliat dan berteriak-teriak jarang menderita appendicitis, kecuali pada anak dengan
appendicitis retrocaecal, nyeri seperti kolik renal akibat perangsangan ureter.
15
Page 16
Tabel 1. Gejala Appendicitis Akut
Gejala Appendicitis AkutFrekuensi
(%)
Nyeri perut 100
Anorexia 100
Mual 90
Muntah 75
Nyeri berpindah 50
Gejala sisa klasik (nyeri periumbilikal kemudian anorexia/mual/muntah
kemudian nyeri berpindah ke RLQ kemudian demam yang tidak terlalu tinggi)50
*-- Onset gejala khas terdapat dalam 24-36 jam
2.7 Pemeriksaan Fisik
Pada Apendicitis akut sering ditemukan adanya abdominal swelling, sehingga pada
pemeriksaan jenis ini biasa ditemukan distensi perut.
Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik:
Rovsing’s sign: dikatakan posiif jika tekanan yang diberikan pada LLQ abdomen
menghasilkan sakit di sebelah kanan (RLQ), menggambarkan iritasi peritoneum. Sering
positif tapi tidak spesifik.
Psoas sign: dilakukan dengan posisi pasien berbaring pada sisi sebelah kiri sendi
pangkal kanan diekstensikan. Nyeri pada cara ini menggambarkan iritasi pada otot psoas
kanan dan indikasi iritasi retrocaecal dan retroperitoneal dari phlegmon atau abscess.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yangterletak
retroperitoneal akan kontak dengan otot psoas pada saat dilakukan manuver ini.
Obturator sign: dilakukan dengan posisi pasien terlentang, kemudian gerakan
endorotasi tungkai kanan dari lateral ke medial. Nyeri pada cara ini menunjukkan peradangan
pada M. obturatorius di rongga pelvis. Perlu diketahui bahwa masing-masing tanda ini untuk
menegakkan lokasi Appendix yang telah mengalami radang atau perforasi.
Dasar anatomis terjadinya psoas sign adalah appendiks yang terinflamasi yang
terletak retroperitoneal akan kontak dengan otot obturator internus pada saat dilakukan
manuver ini.
16
Page 17
Skor Alvarado
Semua penderita dengan suspek Appendicitis acuta dibuat skor Alvarado dan
diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: skor <6>6. Selanjutnya dilakukan
Appendectomy, setelah operasi dilakukan pemeriksaan PA terhadap jaringan Appendix dan
hasilnya diklasifikasikan menjadi 2 kelompok yaitu: radang akut dan bukan radang akut.
Tabel Alvarado scale untuk membantu menegakkan diagnosis
Manifestasi Skor
Gejala Adanya migrasi nyeri 1
Anoreksia 1
Mual/muntah 1
Tanda Nyeri RLQ 2
Nyeri lepas 1
Febris 1
Laboratorium Leukositosis 2
Shift to the left 1
Total poin 10
Keterangan:
0-4 : kemungkinan Appendicitis kecil
5-6 : bukan diagnosis Appendicitis
7-8 : kemungkinan besar Appendicitis
9-10 : hampir pasti menderita Appendicitis
Bila skor 5-6 dianjurkan untuk diobservasi di rumah sakit, bila skor >6 maka tindakan bedah
sebaiknya dilakukan
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jumlah leukosit diatas 10.000 ditemukan pada lebih dari 90% anak dengan appendicitis
akuta. Jumlah leukosit pada penderita appendicitis berkisar antara 12.000-18.000/mm.
Peningkatan persentase jumlah neutrofil (shift to the left) dengan jumlah normal leukosit
menunjang diagnosis klinis appendicitis. Jumlah leukosit yang normal jarang ditemukan pada
pasien dengan appendicitis.
17
Page 18
Pemeriksaan urinalisis membantu untuk membedakan appendicitis dengan
pyelonephritis atau batu ginjal. Meskipun demikian, hematuria ringan dan pyuria dapat
terjadi jika inflamasi appendiks terjadi di dekat ureter.
Ultrasonografi
Ultrasonografi sering dipakai sebagai salah satu pemeriksaan untuk menunjang
diagnosis pada kebanyakan pasien dengan gejala appendicitis. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sensitifitas USG lebih dari 85% dan spesifitasnya lebih dari 90%.
Gambaran USG yang merupakan kriteria diagnosis appendicitis acuta adalah appendix
dengan diameter anteroposterior 7 mm atau lebih, didapatkan suatu appendicolith, adanya
cairan atau massa periappendix.
False positif dapat muncul dikarenakan infeksi sekunder appendix sebagai hasil dari
salphingitis atau inflammatory bowel disease. False negatif juga dapat muncul karena letak
appendix yang retrocaecal atau rongga usus yang terisi banyak udara yang menghalangi
appendix.
CT-Scan
CT scan merupakan pemeriksaan yang dapat digunakan untuk mendiagnosis
appendicitis akut jika diagnosisnya tidak jelas.sensitifitas dan spesifisitasnya kira-kira 95-
98%. Pasien-pasien yang obesitas, presentasi klinis tidak jelas, dan curiga adanya abscess,
maka CT-scan dapat digunakan sebagai pilihan test diagnostik.
Diagnosis appendicitis dengan CT-scan ditegakkan jika appendix dilatasi lebih dari 5-7
mm pada diameternya. Dinding pada appendix yang terinfeksi akan mengecil sehingga
memberi gambaran “halo” .
Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari Appendicitis dapat bervariasi tergantung dari usia dan jenis
kelamin
· Pada anak-anak balita
Diagnosis banding pada anak-anak balita adalah intususepsi, divertikulitis, dan
gastroenteritis akut.
Intususepsi paling sering didapatkan pada anak-anak berusia dibawah 3 tahun.
Divertikulitis jarang terjadi jika dibandingkan Appendicitis. Nyeri divertikulitis hampir sama
dengan Appendicitis, tetapi lokasinya berbeda, yaitu pada daerah periumbilikal. Pada
pencitraan dapat diketahui adanya inflammatory mass di daerah abdomen tengah. Diagnosis
banding yang agak sukar ditegakkan adalah gastroenteritis akut, karena memiliki gejala-
18
Page 19
gejala yang mirip dengan appendicitis, yakni diare, mual, muntah, dan ditemukan leukosit
pada feses.
· Pada anak-anak usia sekolah
Diagnosis banding pada anak-anak usia sekolah adalah gastroenteritis, konstipasi,
infark omentum.
Pada gastroenteritis, didapatkan gejala-gejala yang mirip dengan appendicitis, tetapi
tidak dijumpai adanya leukositosis. Konstipasi, merupakan salah satu penyebab nyeri
abdomen pada anak-anak, tetapi tidak ditemukan adanya demam. Infark omentum juga dapat
dijumpai pada anak-anak dan gejala-gejalanya dapat menyerupai appendicitis. Pada infark
omentum, dapat terraba massa pada abdomen dan nyerinya tidak berpindah
· Pada pria dewasa muda
Diagnosis banding yang sering pada pria dewasa muda adalah Crohn’s disease, klitis
ulserativa, dan epididimitis. Pemeriksaan fisik pada skrotum dapat membantu menyingkirkan
diagnosis epididimitis. Pada epididimitis, pasien merasa sakit pada skrotumnya.
· Pada wanita usia muda
Diagnosis banding appendicitis pada wanita usia muda lebih banyak berhubungan
dengan kondisi-kondisi ginekologik, seperti pelvic inflammatory disease (PID), kista
ovarium, dan infeksi saluran kencing. Pada PID, nyerinya bilateral dan dirasakan pada
abdomen bawah. Pada kista ovarium, nyeri dapat dirasakan bila terjadi ruptur ataupun torsi.
· Pada usia lanjut
Appendicitis pada usia lanjut sering sukar untuk didiagnosis. Diagnosis banding yang
sering terjadi pada kelompok usia ini adalah keganasan dari traktus gastrointestinal dan
saluran reproduksi, divertikulitis, perforasi ulkus, dan kolesistitis. Keganasan dapat terlihat
pada CT Scan dan gejalanya muncul lebih lambat daripada appendicitis. Pada orang tua,
divertikulitis sering sukar untuk dibedakan dengan appendicitis, karena lokasinya yang
berada pada abdomen kanan. Perforasi ulkus dapat diketahui dari onsetnya yang akut dan
nyerinya tidak berpindah. Pada orang tua, pemeriksaan dengan CT Scan lebih berarti
dibandingkan dengan pemeriksaan laboratorium.
Komplikasi
1. Appendicular infiltrat:
Infiltrat / massa yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix
yang meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus atau usus besar.
2. Appendicular abscess:
19
Page 20
Abses yang terbentuk akibat mikro atau makro perforasi dari Appendix yang
meradang yang kemudian ditutupi oleh omentum, usus halus, atau usus besar.
3. Perforasi
4. Peritonitis
5. Syok septik
6. Mesenterial pyemia dengan Abscess Hepar
7. Gangguan peristaltik
8. Ileus
Penatalaksanaan
Untuk pasien yang dicurigai Appendicitis :
- Puasakan
- Berikan analgetik dan antiemetik jika diperlukan untuk mengurangi gejala
- Penelitian menunjukkan bahwa pemberian analgetik tidak akan menyamarkan
gejala saat pemeriksaan fisik.
- Pertimbangkan KET terutama pada wanita usia reproduksi.
- Berikan antibiotika IV pada pasien dengan gejala sepsis dan yang
membutuhkan Laparotomy
Perawatan appendicitis tanpa operasi
- Penelitian menunjukkan pemberian antibiotika intravena dapat berguna untuk
Appendicitis acuta bagi mereka yang sulit mendapat intervensi operasi
(misalnya untuk pekerja di laut lepas), atau bagi mereka yang memilki resiko
tinggi untuk dilakukan operasi
Rujuk ke dokter spesialis bedah.
Antibiotika preoperative
- Pemberian antibiotika preoperative efektif untuk menurunkan terjadinya
infeksi post opersi.
- Diberikan antibiotika broadspectrum dan juga untuk gram negative dan
anaerob
- Antibiotika preoperative diberikan dengan order dari ahli bedah.
- Antibiotik profilaksis harus diberikan sebelum operasi dimulai. Biasanya
digunakan antibiotik kombinasi, seperti Cefotaxime dan Clindamycin, atau
Cefepime dan Metronidazole. Kombinasi ini dipilih karena frekuensi bakteri
20
Page 21
yang terlibat, termasuk Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa,
Enterococcus, Streptococcus viridans, Klebsiella, dan Bacteroides.
Prognosis
Kematian dari appendisitis di Amerika Serikat telah terus menurun dari tingkat 9,9 per
100.000 pada tahun 1939, dengan 0,2 per 100.000 pada 1986. Diantara faktor-faktor yang
bertanggung jawab adalah kemajuan dalam anestesi, antibiotik, cairan intravena, dan produk
darah. Faktor utama dalam kematian adalah apakah pecah terjadi pengobatan sebelum bedah
dan usia pasien. Angka kematian keseluruhan untuk anestesi umum adalah 0,06%. Angka
kematian keseluruhan dalam apendisitis akut pecah adalah sekitar 3%-peningkatan 50 kali
lipat. Tingkat kematian appendisitis perforasi pada orang tua adalah sekitar 15% peningkatan
lima kali lipat dari tingkat keseluruhan.
21
Page 22
DAFTAR PUSTAKA
1. Craig S, Brenner BE. Appendicitis: Practice Essentials. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/773895-overview?src=medscapeapp-
android&ref=email
2. Brunicardi, F. Charles, The appendix in Schwartz’z Principles of Surgery 8th edition,
McGraw-Hill’s, 2007.
3. Prince, A Sylvia, Wilson, Lorraine M, editor Hartanto, Huriawati, Susi Natalia, Wulansari,
Pita, Mahanani, Dewi Asih, Appendisitis in Patofisiologi konsep klinis proses-proses
penyakit vol 1, 6th edition, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2006.
4. World Health Organization. WHO Disease and injury country
estimates". http://www.who.int/healthinfo/global_burden_disease/estimates_country/en/
index.html
5.
22