LAPORAN KASUSANESTESI UMUM PADA PASIEN LAPAROSKOPI
CHOLESISTECTOMY DENGAN RIWAYAT ASMA BRONKIAL DAN
HIPERTENSIPembimbing :
dr. Nurgani Aribinuko, Sp.An (KIC)
Disusun oleh : Fitria Ahdiyanti W. 030.09.094
Nanda Soraya 030.10.202
Putri Sarah 030.10.225KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESIRUMAH
SAKIT UMUM PUSAT FATMAWATIPERIODE 18 AGUSTUS 2014 20 SEPTEMBER
2014
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTIBAB I
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nomor RM
: 01307850
Nama
: Ny. SP
Tempat, tanggal lahir: Banyumas, 16 Juni 1951
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. Rambutan No. 33 Pesanggrahan Jakarta
Selatan, DKI Jakarta
Pendidikan
: SLTP
Pekerjaan
: Pensiunan
Status Perkawinan: Kawin
Tanggal Masuk Rawat Inap : 2 September 2014 Tanggal operasi
: 3 September 2014II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Nyeri perut kanan atas sejak 2 bulan SMRS
Riwayat Penyakit Sekarang
OS merasa nyeri perut di perut kanan atas sejak 2 bulan SMRS.
Nyeri perut hilang timbul. Keluhan ini pernah dirasakan os pada
tahun 2005, setelah dilakukan pemeriksaan fisik dan rontgen, os
mengatakan bahwa dokter mendiagnosis adanya batu empedu sebesar 2
cm. Dokter menyarankan untuk dilakukan operasi, namun os menolak
karena pada saat itu suami os sedang sakit juga. Akhirnya dokter
hanya memberikan obat anti nyeri saja. Setelah itu, os merasa
sakitnya sudah tidak pernah begitu terasa lagi sehingga os merasa
tidak perlu kembali berobat ke dokter. Sekitar bulan Juli 2014, os
merasa nyeri perut di kanan atas kembali timbul dan mulai
mengganggu aktivitas, sehingga os berobat ke RS Suyoto. Di RS
Suyoto, belum sempat dilakukan observasi lebih lanjut, os meminta
untuk dirujuk ke RSUP Fatmawati Jakarta. OS mengaku mual muntah.
Buang air besar lancar. Demam disangkal. Di RSUP Fatmawati Jakarta,
di poli bedah disarankan untuk melakukan USG perut. Hasil USG
ditemukan batu di kandung empedu dan disarankan untuk dilakukan
operasi pengangkatan batu empedu. Os dan keluarga setuju untuk
dilakukan operasi. Sebelum operasi, dilakukan konsultasi ke dokter
spesialis jantung, paru, dan penyakit dalam.
Riwayat Penyakit Dahulu
Riwayat maag
Riwayat operasi disangkal
Riwayat perawatan di rumah sakit disangkal
Riwayat batuk lama disangkal
Riwayat asma sejak usia muda, namun jarang kambuh Riwayat alergi
obat dan makanan disangkal
Riwayat Hipertensi tidak terkontrol dan oleh dokter diberikan
Captopril apabila tensi sedang tinggi Riwayat Diabetes Mellitus
disangkal
Pasien tidak sedang dalam pengobatan suatu penyakit tertentu dan
tidak mengkonsumsi obat-obatan apapunRiwayat Penyakit Keluarga
Os mengatakan bahwa salah satu anaknya menderita keluhan yang
sama Riwayat penyakit diabetes melitus atau kencing manis
disangkal
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
III. PEMERIKSAAN FISIK
KEADAAN UMUM
Kesadaran
: Compos MentisKesan sakit
: Sakit Sedang
Kesan gizi
: Gizi lebih
TANDA VITAL
Tekanan Darah
: 170/89 mmHg
Nadi
: 75 x/ menit
Suhu
: 36,50 C
Respirasi
: 20 x/ menit
STATUS GENERALIS
Kepala :
Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), refleks cahaya
(+/+), pupil isokor. Hidung: Bentuk normal, deviasi septum (-),
sekret (-)
Telinga: Normotia, nyeri tekan, sekret (-/-) Mulut
: Bibir kering (+), pucat (-), pecah-pecah (-),
Mallampati gradasi 1Leher
: Deformitas (-), pembesaran kelenjar getah bening (-)
Thoraks: Inspeksi: dinding dada simetris (+), sikatrik (-),
retraksi sela iga (-)
Palpasi
: nyeri tekan (-), fremitus sama kuat kanan kiri, Auskutasi:
suara nafas vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-,
suara jantung S1 dan S2 normal, murmur (-),
gallop (-) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru, batas
jantung
normal
Abdomen: Inspeksi: tampak buncit lemas Auskultasi: bising usung
(+) normal Palpasi : Nyeri Tekan (+) epigastrium sampai ke
hipokondria kanan. Perkusi: timpani Ekstremitas:
atas : akral hangat, sianosis (-/-), deformitas (-/-), oedema
(-/-) bawah: akral hangat, sianosis (-/-), deformitas (-/-), oedema
(-/-)IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
LABORATORIUM
LaboratoriumHasilNilai Rujukan
Hemoglobin13,9 g/dL11,7 - 15,5 g/dL
Hematokrit42 %33 - 45 %
Leukosit7600/ul5000 - 10000/ul
Trombosit242000/ul150000 - 440000/ul
Fungsi Hepar
SGOT27 U/L0 - 34 U/L
SGPT22 U/L0 - 40 U/L
Fungsi Ginjal
Ureum39 mg/dl22 - 40 mg/dl
Kreatinin1,4 mg/dl0,6 - 1,5 mg/dl
Hemostasis
APTT25,827,4' - 39,1'
PT12,411,4' - 14,7'
Diabetes
GDS 112 mg/dl< 140 mg/dl
GDPP118 mg/dl80 - 140 mg/dl
Lemak
Trigliserida
Kolesterol total
HDL
LDL193 mg/dl235 mg/dl43 mg/dl153 mg/dl< 150 mg/dl< 200
mg/dl< 37 92 mg/dl< 130 mg/dl
Elektrolit darah
Natrium
Kalium
Klorida147 mmol/l3.91 mmol/l114 mmol/l135 - 147 mmol/l3.10 -
5.10 mmol/l95 - 108 mmol/l
Urinalisa
Urobilinogen
Protein urine
Berat jenis
Bilirubin
Keton
Nitrit
pH
Lekosit
Darah/HB
Glukosa
Warna
Kejernihan
Sedimen urine
Epitel
Lekosit
Eritrosit
Silinder
Kristal
Bakteri
Lain-lain0.2 E.U./dlNegatif
1.025
Negatif
Negatif
Negatif
6.0
Negatif
Trace
Negatif
Kuning
Jernih
Positif
0 - 1
0 - 2
Negatif
Asam urat positif
Negatif
Negatif160Atau>100
Penilaian preoperatif penderita-penderita hipertensi esensial
yang akan menjalani prosedur pembedahan, harus mencakup 4 hal dasar
yang harus dicari, yaitu:Jenis pendekatan medikal yang diterapkan
dalam terapi hipertensinya.
Penilaian ada tidaknya kerusakan atau komplikasi target organ
yang telah terjadi.
Penilaian yang akurat tentang status volume cairan tubuh
penderita.
Penentuan kelayakan penderita untuk dilakukan tindakan teknik
hipotensi, untuk prosedur pembedahan yang memerlukan teknik
hipotensi.
Semua data-data di atas bisa didapat dengan melakukan anamnesis
riwayat perjalanan penyakitnya, pemeriksaan fisik, tes laboratorium
rutin dan prosedur diagnostik lainnya. Penilaian status volume
cairan tubuh adalah menyangkut apakah status hidrasi yang dinilai
merupakan yang sebenarnya ataukah suatu hipovolemia relatif
(berkaitan dengan penggunaan diuretika dan vasodilator). Disamping
itu penggunaan diuretika yang rutin, sering menyebabkan hipokalemia
dan hipomagnesemia yang dapat menyebabkan peningkatan risiko
terjadinya aritmia. Untuk evaluasi jantung, EKG dan x-ray toraks
akan sangat membantu. Adanya LVH dapat menyebabkan meningkatnya
risiko iskemia miokardial akibat ketidakseimbangan antara suplai
dan kebutuhan oksigen. Untuk evaluasi ginjal, urinalisis, serum
kreatinin dan BUN sebaiknya diperiksa untuk memperkirakan seberapa
tingkat kerusakan parenkim ginjal. Jika ditemukan ternyata gagal
ginjal kronis, maka adanya hiperkalemia dan peningkatan volume
plasma perlu diperhatikan. Untuk evaluasi serebrovaskuler, riwayat
adanya stroke atau TIA dan adanya retinopati hipertensi perlu
dicatat. Tujuan pengobatan hipertensi adalah mencegah komplikasi
kardiovaskuler akibat tingginya TD, termasuk penyakit arteri
koroner, stroke, CHF, aneurisme arteri dan penyakit ginjal.
Diturunkannya TD secara farmakologis akan menurunkan mortalitas
akibat penyakit jantung sebesar 21%, menurunkan kejadian stroke
sebesar 38%, menurunkan penyakit arteri koronaria sebesar 16%.
Pertimbangan Anestesia Penderita Hipertensi
Sampai saat ini belum ada protokol untuk penentuan TD berapa
sebaiknya yang paling tinggi yang sudah tidak bisa ditoleransi
untuk dilakukannya penundaan anestesia dan operasi.12,13 Namun
banyak literatur yang menulis bahwa TDD 110 atau 115 adalah cut-off
point untuk mengambil keputusan penundaan anestesia atau operasi
kecuali operasi emergensi.11,12 Kenapa TD diastolik (TDD) yang
dijadikan tolak ukur, karena peningkatan TD sistolik (TDS) akan
meningkat seiring dengan pertambahan umur, dimana perubahan ini
lebih dianggap sebagai perubahan fisiologik dibandingkan patologik.
Namun beberapa ahli menganggap bahwa hipertensi sistolik lebih
besar risikonya untuk terjadinya morbiditas kardiovaskuler
dibandingkan hipertensi diastolik. Pendapat ini muncul karena dari
hasil studi menunjukkan bahwa terapi yang dilakukan pada hipertensi
sistolik dapat menurunkan risiko terjadinya stroke dan MCI pada
populasi yang berumur tua. Dalam banyak uji klinik, terapi
antihipertensi pada penderita hipertensi akan menurunkan angka
kejadian stroke sampai 35%-40%, infark jantung sampai 20-25% dan
angka kegagalan jantung diturunkan sampai lebih dari 50%. Menunda
operasi hanya untuk tujuan mengontrol TD mungkin tidak diperlukan
lagi khususnya pada pasien dengan kasus hipertensi yang ringan
sampai sedang. Namun pengawasan yang ketat perlu dilakukan untuk
menjaga kestabilan hemodinamik, karena hemodinamik yang labil
mempunyai efek samping yang lebih besar terhadap kardiovaskular
dibandingkan dengan penyakit hipertensinya itu sendiri. Penundaan
operasi dilakukan apabila ditemukan atau diduga adanya kerusakan
target organ sehingga evaluasi lebih lanjut perlu dilakukan sebelum
operasi.
The American Heart Association / American College of Cardiology
(AHA/ACC) mengeluarkan acuan bahwa TDS > 180 mmHg dan/atau TDD
> 110 mmHg sebaiknya dikontrol sebelum dilakukan operasi,
terkecuali operasi bersifat urgensi. Pada keadaan operasi yang
sifatnya urgensi, TD dapat dikontrol dalam beberapa menit sampai
beberapa jam dengan pemberian obat antihipertensi yang bersifat
rapid acting. Perlu dipahami bahwa penderita hipertensi cenderung
mempunyai respon TD yang berlebihan pada periode perioperatif. Ada
2 fase yang harus menjadi pertimbangan, yaitu saat tindakan
anestesia dan postoperasi. Contoh yang sering terjadi adalah
hipertensi akibat laringoskopi dan respons hipotensi akibat
pemeliharaan anestesia. Pasien hipertensi preoperatif yang sudah
dikontrol tekanan darahnya dengan baik akan mempunyai hemodinamik
yang lebih stabil dibandingkan yang tidak dikontrol dengan
baik.Perlengkapan Monitor
Berikut ini ada beberapa alat monitor yang bisa kita gunakan
serta maksud dan tujuan penggunaanya: EKG: minimal lead V5 dan II
atau analisis multipel lead ST, karena pasien hipertensi punya
risiko tinggi untuk mengalami iskemia miokard.
TD: monitoring secara continuous TD.
Pulse oxymeter: digunakan untuk menilai perfusi dan oksigenasi
jaringan perifer.
Analizer end-tidal CO2: Monitor ini berguna untuk membantu kita
mempertahankan kadar CO2.
Suhu atau temperature.
Premedikasi
Premedikasi dapat menurunkan kecemasan preoperatif penderita
hipertensi. Untuk hipertensi yang ringan sampai dengan sedang
mungkin bisa menggunakan ansiolitik seperti golongan benzodiazepine
atau midazolam. Obat antihipertensi tetap dilanjutkan sampai pada
hari pembedahan sesuai jadwal minum obat. Beberapa klinisi
menghentikan penggunaan ACE inhibitor dengan alasan bisa terjadi
hipotensi intraoperatif. Induksi Anestesi
Induksi anestesia dan intubasi endotrakea sering menimbulkan
goncangan hemodinamik pada pasien hipertensi. Saat induksi sering
terjadi hipotensi namun saat intubasi sering menimbulkan
hipertensi. Hipotensi diakibatkan vasodilatasi perifer terutama
pada keadaan kekurangan volume intravaskuler sehingga preloading
cairan penting dilakukan untuk tercapainya normovolemia sebelum
induksi. Disamping itu hipotensi juga sering terjadi akibat depresi
sirkulasi karena efek dari obat anestesi dan efek dari obat
antihipertensi yang sedang dikonsumsi oleh penderita, seperti ACE
inhibitor dan angiotensin receptor blocker. Hipertensi yang terjadi
biasanya diakibatkan stimulus nyeri karena laringoskopi dan
intubasi endotrakea yang bisa menyebabkan takikardia dan dapat
menyebabkan iskemia miokard. Angka kejadian hipertensi akibat
tindakan laringoskopi-intubasi endotrakea bisa mencapai 25%.
Dikatakan bahwa durasi laringoskopi dibawah 15 detik dapat membantu
meminimalkan terjadinya fluktuasi hemodinamik. Beberapa teknik
dibawah ini bisa dilakukan sebelum tindakan laringoskopi-intubasi
untuk menghindari terjadinya hipertensi. Dalamkan anestesia dengan
menggunakan gas volatile yang poten selama 5-10 menit.
Berikan opioid (fentanil 2,5-5 mikrogram/kgbb, alfentanil 15-25
mikrogram/kgbb, sufentanil 0,25- 0,5 mikrogram/kgbb, atau
ramifentanil 0,5-1 mikrogram/kgbb).
Berikan lidokain 1,5 mg/kgbb intravena atau intratrakea.
Menggunakan beta-adrenergik blockade dengan esmolol 0,3-1,5
mg/kgbb, propanolol 1-3 mg, atau labetatol 5-20 mg).
Pemeliharaan Anestesia dan Monitoring
Tujuan pencapaian hemodinamik yang diinginkan selama
pemeliharaan anestesia adalah meminimalkan terjadinya fluktuasi TD
yang terlalu lebar. Mempertahankan kestabilan hemodinamik selama
periode intraoperatif adalah sama pentingnya dengan pengontrolan
hipertensi pada periode preoperatif. Pada hipertensi kronis akan
menyebabkan pergeseran ke kanan autoregulasi dari serebral dan
ginjal. Sehingga pada penderita hipertensi ini akan mudah terjadi
penurunan aliran darah serebral dan iskemia serebral jika TD
diturunkan secara tiba-tiba. Terapi jangka panjang dengan obat
antihipertensi akan menggeser kembali kurva autregulasi kekiri
kembali ke normal. Dikarenakan kita tidak bisa mengukur
autoregulasi serebral sehingga ada beberapa acuan yang sebaiknya
diperhatikan, yaitu:8 Penurunan MAP sampai dengan 25% adalah batas
bawah yang maksimal yang dianjurkan untuk penderita hipertensi.
Penurunan MAP sebesar 55% akan menyebabkan timbulnya gejala
hipoperfusi otak. Terapi dengan antihipertensi secara signifikan
menurunkan angka kejadian stroke. Pengaruh hipertensi kronis
terhadap autoregulasi ginjal, kurang lebih sama dengan yang terjadi
pada serebral. Anestesia aman jika dipertahankan dengan berbagai
teknik tapi dengan memperhatikan kestabilan hemodinamik yang kita
inginkan. Anestesia dengan volatile (tunggal atau dikombinasikan
dengan N2O), anestesia imbang (balance anesthesia) dengan opioid +
N2O + pelumpuh otot, atau anestesia total intravena bisa digunakan
untuk pemeliharaan anestesia. Anestesia regional dapat dipergunakan
sebagai teknik anesthesia, namun perlu diingat bahwa anestesia
regional sering menyebabkan hipotensi akibat blok simpatis dan ini
sering dikaitkan pada pasien dengan keadaan hipovolemia. Jika
hipertensi tidak berespon terhadap obat-obatan yang
direkomendasikan, penyebab yang lain harus dipertimbangkan seperti
phaeochromacytoma, carcinoid syndrome dan tyroid storm. Kebanyakan
penderita hipertensi yang menjalani tindakan operasi tidak
memerlukan monitoring yang khusus. Monitoring intra-arterial secara
langsung diperlukan terutama untuk jenis operasi yang menyebabkan
perubahan preload dan afterload yang mendadak. EKG diperlukan untuk
mendeteksi terjadinya iskemia jantung. Produksi urine diperlukan
terutama untuk penderita yang mengalami masalah dengan ginjal,
dengan pemasangan kateter urine, untuk operasi-operasi yang lebih
dari 2 jam. Kateter vena sentral diperlukan terutama untuk
memonitoring status cairan pada penderita yang mempunyai disfungsi
ventrikel kiri atau adanya kerusakan end organ yang lain.Hipertensi
Intraoperatif
Hipertensi pada periode preoperatif mempunyai risiko hipertensi
juga pada periode anestesia maupun saat pasca bedah. Hipertensi
intraoperatif yang tidak berespon dengan didalamkannya anestesia
dapat diatasi dengan antihipertensi secara parenteral, namun faktor
penyebab bersifat reversibel atau bisa diatasi seperti anestesia
yang kurang dalam, hipoksemia atau hiperkapnea harus disingkirkan
terlebih dahulu.Pemilihan obat antihipertensi tergantung dari
berat, akut atau kronik, penyebab hipertensi, fungsi baseline
ventrikel, heart rate dan ada tidaknya penyakit bronkospastik
pulmoner dan juga tergantung dari tujuan dari pengobatannya atau
efek yang diinginkan dari pemberian obat tersebut. Berikut ini ada
beberapa contoh sebagai dasar pemilihan obat yang akan digunakan:
Beta-adrenergik blockade: digunakan tunggal atau tambahan pada
pasien dengan fungsi ventrikuler yang masih baik dan dikontra
indikasikan pada bronkospastik.
Nicardipine: digunakan pada pasien dengan penyakit
bronkospastik.
Nifedipine: refleks takikardia setelah pemberian sublingual
sering dihubungkan dengan iskemia miokard dan antihipertensi yang
mempunyai onset yang lambat.
Nitroprusside: onset cepat dan efektif untuk terapi
intraoperatif pada hipertensi sedang sampai berat.
Nitrogliserin: mungkin kurang efektif, namun bisa digunakan
sebagai terapi atau pencegahan iskemia miokard.
Fenoldopam: dapat digunakan untuk mempertahankan atau menjaga
fungsi ginjal.
Hydralazine: bisa menjaga kestabilan TD, namun obat ini juga
punya onset yang lambat sehingga menyebabkan timbulnya respon
takikardia.
Manajemen Postoperatif
Hipertensi yang terjadi pada periode pasca operasi sering
terjadi pada pasien yang menderita hipertensi esensial. Hipertensi
dapat meningkatkan kebutuhan oksigen miokard sehingga berpotensi
menyebabkan iskemia miokard, disritmia jantung dan CHF. Disamping
itu bisa juga menyebabkan stroke dan perdarahan ulang luka operasi
akibat terjadinya disrupsi vaskuler dan dapat berkonstribusi
menyebabkan hematoma pada daerah luka operasi sehingga menghambat
penyembuhan luka operasi. Penyebab terjadinya hipertensi pasca
operasi ada banyak faktor, disamping secara primer karena penyakit
hipertensinya yang tidak teratasi dengan baik, penyebab lainnya
adalah gangguan sistem respirasi, nyeri, overload cairan atau
distensi dari kandung kemih.
Sebelum diputuskan untuk memberikan obat-obat antihipertensi,
penyebab-penyebab sekunder tersebut harus dikoreksi dulu.3 Nyeri
merupakan salah satu faktor yang paling berkonstribusi menyebabkan
hipertensi pasca operasi, sehingga untuk pasien yang berisiko,
nyeri sebaiknya ditangani secara adekuat, misalnya dengan morfin
epidural secara infus kontinyu. Apabila hipertensi masih ada
meskipun nyeri sudah teratasi, maka intervensi secara farmakologi
harus segera dilakukan dan perlu diingat bahwa meskipun pasca
operasi TD kelihatannya normal, pasien yang prabedahnya sudah
mempunyai riwayat hipertensi, sebaiknya obat antihipertensi pasca
bedah tetap diberikan. Hipertensi pasca operasi sebaiknya diterapi
dengan obat antihipertensi secara parenteral misalnya dengan
betablocker yang terutama digunakan untuk mengatasi hipertensi dan
takikardia yang terjadi. Apabila penyebabnya karena overload
cairan, bisa diberikan diuretika furosemid dan apabila
hipertensinya disertai dengan heart failure sebaiknya diberikan
ACE-inhibitor. Pasien dengan iskemia miokard yang aktif secara
langsung maupun tidak langsung dapat diberikan nitrogliserin dan
beta-blocker secara intravena sedangkan untuk hipertensi berat
sebaiknya segera diberikan sodium nitroprusside. Apabila penderita
sudah bisa makan dan minum secara oral sebaiknya antihipertensi
secara oral segera dimulai.PERTIMBANGAN PERIOPERATIF PASIEN
ASMA
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan proses inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik
berulang, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan. Di seluruh dunia, kondisi ini diperkirakan
terjadi pada 300 juta orang sementara prevalensinya di Amerika
Serikat sekitar 6,7 % dari populasi, dalam satu hari diperkirakan
250 orang mengalami kematian.
Pasien asma seringkali menjalani pembedahan yang berisiko
menimbulkan morbiditas dan mortalitas perioperatif. Sebuah tinjauan
retrospektif mengungkapkan bahwa komplikasi pasca operasi lebih
sering terjadi dibandingkan dengan kejadian bronkospasme
intraoperatif. Sebuah analisis mengungkapkan bahwa meskipun angka
kejadian bronkospasme perioperatif hanya berkisar 2%, akan tetapi
lebih dari 90% kasus dapat berupa cedera otak parah dan kematian.
Singkatnya, walaupun angka kejadian bronkospasme intraoperatif
sangat rendah akan tetapi komplikasi perioperatif terbilang sangat
merugikan.
Sejarah menunjukan bahwa riwayat asma memiliki beberapa
implikasi perioperatif. Seringkali pasien mengalami eksaserbasi
akut di meja operasi. Hal ini disebabkan oleh hiper-reaktivitas
saluran napas yang dapat dengan mudah diinduksi oleh peralatan
bedah, berbagai agen anestesi, aspirasi, infeksi, atau trauma.
Risiko ini diperburuk dengan adanya penyakit kronis pada paru
seperti penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) atau merokok
aktif.
Patofisiologi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang
melibatkan banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang. Gejala tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat
reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
Bronkokonstriksi adalah hasil dari kontraksi otot polos bronkus
yang disebabkan faktor ekstrinsik maupun intrinsik seperti,
alergen, olahraga, stres, atau udara dingin. Rangsang vagal dan
simpatik secara langsung memodulasi saluran napas. Inflamasi mukosa
menyebabkan edema dan memperburuk aliran udara dan respons terhadap
terapi bronkodilator. Proses inflamasi kronik pada asma akan
menimbulkan kerusakan jaringan yang akan diikuti oleh proses
penyembuhan (healing process) yang menghasilkan perbaikan (repair)
dan pergantian sel-sel rusak dengan sel-sel yang baru. Pada asma,
kedua proses tersebut berkontribusi dalam proses penyembuhan dan
inflamasi yang kemudian akan menghasilkan perubahan struktur yang
dikenal dengan airway remodeling.
Jalur inflamasi yang terlibat dalam patogenesis asma sangat
kompleks, termasuk limfosit (Th1 dan Th2), imunoglobulin E,
eosinofil, neutrofil, sel mast, leukotrien, dan sitokin. Jalur ini
dipicu dan dimodifikasi oleh faktor ekstrinsik dan faktor
lingkungan seperti alergen, pernapasan infeksi, asap, dan
pekerjaan.
Efek Kardiopulmonal pada Bronkospasme
Bronkokonstriksi akut progresif yang terjadi sangat cepat dapat
meningkatkan respiration rate, retensi udara (hiperinflasi), (V/Q)
missmatch, dan resistensi vaskular, mengakibatkan overload
ventrikel kanan. Selama bronkospasme akan terjadi penurunan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), kapasitas vital paru (KVP),
volume cadangan ekspirasi, kapasitas inspirasi, rasio VEP1/ KVP
< 80% juga menurun, sedangkan volume residu, kapasitas residu
fungsional, dan kapasitas total paru-paru meningkat.
Udara yang terperangkap disertai dengan obstruksi saluran nafas
menyebabkan retensi udara dalam paru-paru sehingga daya regang
paru-paru tidak mampu untuk mendorong udara keluar dari paru, pada
saat ini otot-otot bantu nafas digerakan semaksimal mungkin.
Bersamaan dengan hal itu, kebutuhan O2 dalam tubuh semakin
meningkat dan CO2 dalam tubuh semakin menumpuk yang pada akhirnya
dapat menyebabkan gangguan oksigenasi miokard.
Pada bronkospasme yang parah, analisis gas darah menunjukkan
hasil V/Q missmatch. Obstruksi pada asma menimbulkan hiperinflasi
dan hipoinflasi yang dapat menyebabkan hypoxic pulmonary
vasoconstriction (HPV). Pada bronkospasme akut, hiperventilasi
menyebabkan alkalosis respiratorik, meningkatkan air trap level dan
kelelahan otot bantu nafas sehingga tubuh mengalami retensi CO2.
Pada akhirnya akan terjadi tamponade pulmo yang menyebabkan jantung
kehilangan aktivitas elektriknya.
Selama serangan akut, pembuluh darah paru mengalami resistensi
yang mengakibatkan peningkatan tekanan alveolar yang ditandai
dengan hipoksemia dan asidosis. Tingginya resistensi vaskular paru
menyebabkan ketidakseimbangan oksigenasi miokard yang dapat
berimbas pada ventrikel kanan, pada saat yang bersamaan, tekanan
vena sentral dan tekanan diastol arteri pulmo akan meningkat yang
menyebabkan gagal jantung akut pada ventrikel kanan.
Evaluasi Pre-Operasi
Asesmen dan intervensi yang baik merupakan salah satu kunci
keberhasilan manajemen penderita asma. Ketika keadaan telah
terkontrol dengan baik, maka kemungkinan komplikasi perioperasi
akan semakin kecil.
Anamnesis
Pasien dapat datang dengan tanpa gejala. Oleh karena itu perlu
ditanyakan riwayat keparahan serangan yaitu frekuensi eksaserbasi,
mondok, intubasi trakhea atau penggunaan ventilator mekanik. Pasien
juga harus ditanya tentang alergen yang mungkin memicu serangan.
Riwayat pengobatan juga menjadi perhatian penting pada pasien asma.
Tanyakan bagaimana respons pengobatan selama ini dan tanyakan pula
obat-obatan yang mungkin digunakan, terutama penggunaan steroid
baik secara inhalasi atau sistemik, sudah berapa lama penggunaan
dan tanyakan kemungkinan efek samping yang muncul.
Pasien asma sedang sampai berat harus dilakukan uji Arus Puncak
Ekspirasi (APE), nilai normal rata-rata APE harian didasarkan pada
umur, jenis kelamin, tinggi dan berat badan (pada umumnya nilai
normal 200 600 lpm). American Lung Association mengklasifikasikan
derajat fluktuasi penderita asma berdasarkan nilai APE dibandingkan
dengan tinggi badan-berat badan, hijau (80% prediksi), kuning
(50-80%), dan merah ( 6 detik menandakan rasio antara VEP1/KVP
menurun.
Penunjang
Pemeriksaan laboratorium adalah penunjang anamnesis, dan
pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis asma, untuk
mengklasifikasikan tingkat keparahan asma dapat dilakukan pulmonary
function test (PFTs) walaupun terkadang hasilnya kurang signifikan.
Selain itu dapat dilakukan analisis gas darah untuk mengevaluasi
adanya asidosis. Pemeriksaan EKG dapat dilakukan untuk
mengidentifikasi adanya hipertrofi ventrikel kanan, deviasi aksis,
atau right bundle branch block (RBBB). Foto radiologi berguna juga
untuk menentukan apakah terdapat hiperinflasi, oedem, infiltrat,
atau kongesti paru.
Rencana Tindakan Anestesi
Rencana tindakan anestesi harus mempertimbangkan kemungkinan
adanya bronkospasme perioperatif agar pasien aman, nyaman, dan
tenang. Pilihan metode anestesi, prosedur, klinis penilaian, dan
preferensi dari semua terlibat harus disesuaikan dengan kondisi
pasien. Hal yang harus diwaspadai adalah kecemasan atau nyeri pada
daerah anestesi yang dapat memicu bronkospasme. Jelas, risiko
tertinggi adalah di mana saluran pernafasan itu sendiri menjadi
objek operasi, atau operasi yang melibatkan dada atau perut bagian
atas di mana intubasi trakea harus dilakukan.
Persiapan Pre-Operasi
Jika evaluasi dapat dilakukan dalam jangka waktu lama, pasien
harus disarankan untuk berhenti merokok minimal 12-18 jam sebelum
operasi untuk menurunkan kadar carboxyhemoglobin. Fungsi paru-paru
harus membaik dengan mengoptimalkan obat dan kepatuhan, atau
mempertimbangkan kortikosteroid oral dalam jangka waktu terbatas.
Metilprednisolon oral 40 mg selama 5 hari sebelum operasi telah
terbukti menurunkan angka kejadian wheezing pasca-intubasi.
Konsumsi steroid sistemik selama > 2 minggu dalam jangka waktu 6
bulan pertama sebelum operasi dapat menganggu fungsi adrenal dan
dapat menginduksi supresi perioperatif. Oleh karena itu, pasien
harus dirawat dengan short-acting steroid seperti hidrokortison
(misalnya 100 mg iv setiap 8 jam) selama periode perioperatif.
Terapi profilaksis dengan MDI atau nebulizer sangat tepat untuk
digunakan. Operasi elektif tidak boleh dilakukan ketika penderita
sedang mengalami bronkospasme aktif atau infeksi pernapasan akut
dan gejala harus diobati sampai pasien kembali ke status dasar.
Pre-medikasi yang optimal dapat mencegah kecemasan, menurunkan
kerja pernafasan, dan mencegah bronkospasme, oversedasi, dan
depresi pernafasan. Dexmedetomidine agonis alfa 2 memiliki efek
yang menguntungkan sebagai anxiolysis, sympatholysis, dan
pengeringan sekresi tanpa depresi pernapasan. Agen antikolinergik
seperti atropin atau glycopyrrolate dapat menurunkan reaktivitas
saluran napas dan harus dipertimbangkan.
Pemantauan yang lain harus diarahkan pada pada penilaian
mekanika saluran napas (volume, tekanan, saluran napas arus). Hal
ini sangat berguna untuk mengevaluasi volume tidal dan kadar CO2
dalam darah.
Manajemen Intraoperatif
Bronkospasme dapat dipacu dengan tindakan laringoskopi, intubasi
trakea, suction, ekstubasi trakea. Level PEEP (positive
end-respiratory pressure) dapat memburuk dan meningkatkan retensi
CO2 dalam paru-paru. Sementara itu, banyak obat-obatan perioperatif
yang dapat menginduksi bronkospasme melalui induksi histamin. Agen
blok neromuskular merupakan salah satu obat yang paling sering
menyebabkan reaksi alergi, contohnya antara lain mivacurium dan
rapacuronium.
Propofol tampaknya memiliki efek lebih kuat dibandingkan
thiopental dan etomidate dalam menghambat peningkatan resistensi
saluran napas.
Ketamine memiliki karakteristik induksi yang sangat baik dan
menginduksi bronkodilatasi, cara kerjanya belum diketahui secara
pasti mungkin dengan mengganggu jalur endotel. Seperti bius lainnya
agen, bukti yang mendukung ketamin sebagian besar didasarkan pada
studi hewan dan laporan kasus dan bukan acak. Lidokain dapat
mencegah bronkospasme karena lidokain menyebabkan kelemahan respon
sensorik saluran napas. Namun, inhalasi lidokain sendiri dapat
memicu atau memperburuk bronkospasme. Injeksi lidokain intravena
lebih dianjurkan karena lebih aman dan dapat dengan cepat mencapai
saluran napas.
Bronkospasme Akut Intraoperasi
Tanda-tanda obstruksi jalan napas atau bronkospasme adalah
peningkatan tekanan inspirasi puncak, memanjangnya fase ekspirasi,
dan melambatnya pergerakan dinding dada. Pasien harus diberikan
bantuan nafas agar saturasi oksigen menjadi 100% dan ventilasi
manual harus segera dilakukan dengan bagging untuk menilai
pernafasan. Dinding dada harus segera di-auskultasi untuk menilai
ada tidaknya wheezing. Suara dasar vesikuler yang rendah di kedua
lapang paru menunjukkan sedikitnya udara yang masuk ke paru-paru.
Diferensial diagnosis pada kasus ini termasuk obstruksi jalan nafas
karena adanya lendir atau oedem paru. Wheezing yang terjadi
unilateral menjadi salah satu indikasi intubasi endobronchial, bisa
disebabkan karena obstruksi benda asing seperti gigi copot, atau
bahkan tension pneumothorax.
Jika setelah ditangani kondisi ini masih tetap ada atau jika
bronkospasme tetap ada setelah dikoreksi, algoritma pengobatan
untuk bronkospasme akut intraoperatif harus dilakukan, seperti
analisis gas darah untuk mengevaluasi hipoksemia dan
hiperkarbia.
Pada kasus seperti ini, pemakaian ventilasi manual lebih
menguntungkan karena dapat mengatur kelegangan paru dan dapat
mengatur irama ekspirasi. Ventilator manual juga dapat
memfasilitasi paru untuk mencapai arus inspirasi yang cepat agar
waktu ekspirasi dapat memanjang.
Ringkasan dan Pedoman
Insiden asma meningkat di seluruh dunia, akan tetapi morbiditas
dan mortalitasnya menurun karena adanya perkembangan dalam
perawatan medis. Meskipun kejadian bronkospasme perioperatif
relatif rendah pada penderita asma yang menjalani anestesi,
peristiwa tersebut dapat merupakan kegawatan yang mengancam jiwa.
Kunci keberhasilan perioperatif tidak rumit. Agen pemicu potensial
harus diidentifikasi dan dihindari. Banyak agen anestesi rutin
memiliki pengaruh pada penyempitan saluran napas. Terutama pada
pemakaian agen induksi dan harus segera dikelola dengan metode yang
benar.ANESTESI PADA LAPAROSKOPIKOLESISTEKTOMI
Dewasa ini penyakit batu empedu (kolelitiasis) yang terbatas
pada kantung empedu biasanya asimtomatis dan menyerang 10 20 %
populasi umum di dunia. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
ultrasonografi abdomen.Kira-kira 20% wanita dan 10 % pria usia 55
sampai 65 tahun memiliki batu empedu.Cholesistectomy diindikasikan
pada pasien simtomatis yang terbukti menderita penyakit batu empedu
(cholelitiasis). Indikasi laparoskopi untuk Cholesistectomy sama
dengan indikasi open cholesistectomy.Karena teknik minimal invasif
memiliki aplikasi diagnosis dan terapi di banyak pembedahan, bedah
laparoskopi meningkat penggunaannya baik pada pasien rawat inap
ataupun rawat jalan.Keuntungan melakukan prosedur laparoskopi pada
cholesistectomy yaitu: laparoskopi cholesistectomy menggabungkan
manfaat dari penghilangan gallblader dengan singkatnya lama tinggal
di rumah sakit, cepatnya pengembalian kondisi untuk melakukan
aktivitas normal, rasa sakit yang sedikit karena torehan yang kecil
dan terbatas, dan kecilnya kejadian ileus pasca operasi
dibandingkan dengan teknik open laparotomi. Namun kerugiannya,
trauma saluran empedu lebih umum terjadi setelah laparoskopi
dibandingkan dengan open cholesistectomy dan bila terjadi
pendarahan perlu dilakukan laparotomi.9 Kontra indikasi
padalaparoskopi cholesistectomy antara lain: penderita ada resiko
tinggi untuk anestesi umum; penderita denganmorbid obesity; ada
tanda-tanda perforasi seperti abses, peritonitis, fistula; batu
kandung empedu yang besar atau curiga keganasan kandung empedu; dan
hernia diafragma yang besar.3 Walaupun prosedur laparoskopi
memiliki keuntungan untuk pasien, namun prosedur ini juga merupakan
tantangan untuk spesialis anestesi.Pada laparoskopi
cholesistectomy, jenis anestesi yang direkomendasikan adalah
anestesi umum dengan intubasi endotrakeal dengan antibiotik
profilaksis preoperatif untuk mengatasi pathogen
empedu.3Laparoskopi Definisi LaparoskopiLaparoskopi adalah sebuah
prosedur pembedahanminimally invasivedengan memasukkan gasCO2ke
dalam rongga peritoneum untuk membuat ruang antara dinding depan
perut dan organ viscera, sehingga memberikan akses endoskopi ke
dalam rongga peritoneum tersebut.7Teknik laparoskopi atau
pembedahanminimally invasive diperkirakan menjaditrendbedah masa
depan. Laparoskopi cholecystectomymenjadi prosedur baku untuk
penyakit-penyakit kantung empedu di beberaparumah sakit besar di
Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia. Prosedur
LaparoskopiProsedur praoperasi laparoskopi hampir sama dengan
operasi konvensional. Pasien harus puasa empat hingga enam jam
sebelumnya, dibuat banyak buang air besar agar ususnya mengempis.
Sebelum puasa pasien laparoskopi diberikan makanan cair atau bubur,
makanan yang mudah diserap, tapi rendah sisa, untuk mengurangi
jumlah kotoran di saluran cerna.8Setelah pasien teranestesi,
tindakan operasi pertama yang dilakukan adalah membuat sayatan di
bawah lipatan pusar sepanjang 10 mm, kemudian jarumveres
disuntikkan untuk memasukkan gas CO2sampai batas kira-kira 12-15
milimeter Hg. Dengan pemberian gas CO2itu, perut pasien akan
menggembung. Itu bertujuan agar usus tertekan ke bawah dan
menciptakan ruang di dalam perut.
CO2 adalah gas pilihan untuk insuflasi karena tidak mudah
terbakar, mudah berdifusi melewati membrane, mudah keluar dari
paru-paru, mudah larut dalam darah dan risiko embolisasi CO2 kecil.
Kadar CO2 dalam darah mudah diukur, dan pengeluarannya dapat
ditambah dengan memperbanyak ventilasi. Selama persediaan O2cukup,
konsentrasi CO2darah dapat ditolelir.
Kerugian utamanya adalah fakta bahwa CO2lembam. Hal ini
menyebabkan iritasi peritoneal langsung dan rasa sakit selama
laparoskopi karena CO2 membentuk asam karbonat saat kontak dengan
permukaan peritoneum. CO2 tidak terlalu larut pada darah bila
terjadi kekurangan sel darah merah, oleh karena itu CO2 bisa
tersisa di intraperitoneum dalam bentuk gas setelah laparoskopi,
sehingga menyebabkan sakit pada bahu. Hiperkarbia danrespiratory
acidosisterjadi saat kapasitas CO2dalam darah melampaui batas.
Selain itu, CO2 dapat menimbulkan efek lokal maupun sistemik,
sehingga dapat terjadi hipertensi, takikardi, vasodilatasi pembuluh
darah serebral, peningkatan CO, hiperkarbi, danrespiratory
acidosis.7 Respon Fisiologi Selama Bedah LaparoskopiGoncangan
hemodinamik dan ventilasi dapat terjadi pada pasien yang menjalani
prosedur laparoskopi. Penyebab utama perubahan fisiologis pada
prosedur laparoskopi ini adalah insuflasi CO2.Insuflasi CO2ke dalam
rongga peritoneum menyebabkan terjadinya pneumoperitoneum yang
bermanfaat untuk visualisasi selama prosedur laparoskopi. Insuflasi
CO2ini juga meningkatkan tekanan intraabdomen dan meningkatkan
resistensi pembuluh darah sehingga curah jantung menjadi turun
sementara tekanan darah meningkat. Posisi pasien bisa merubah
respon ini. Pada saat posisi tredelenburg penurunan preload dan
peningkatan afterload tidak terlalu mencolok dibandingkan posisi
anti tredelenburg.
Selama prosedur Laparoskopi, efek respirasi yang disebabkan oleh
insuflasi CO2 memegang peranan utama. Setelah insiflasi CO2terjadi
hiperkapnia selama beberapa menit dimana kenaikan CO2biasanya
mencapai 30%, namun keadaan ini akan menjadi stabil kembali selama
satu jam sewaktu operasi. Hiperkapnia ini dapat menimbulkan
stimulasi simpatis dan berpotensi untuk terjadi disritmia dan
respiratori asidosis. Hal ini dapat dikoreksi dengan meningkatkan
ventilasi. Pengaruh tambahan dari pneumoperitoneum adalah efek
mekanik dari peningkatan tekanan intra abdomen yang menyebabkan
penurunanpulmonary compliancedan kapasitas residu fungsionalserta
peningkatandead space.Manajemen Anestesi pada Laparoskopi Evaluasi
PreoperasiSecara umum sebelum memulai anestesi, dilakukan terlebih
dulu anamnesis dan pemeriksaan fisik. Karena perubahan tekanan
hemodinamik dan respirasi terjadi pada pasien selama prosedur
laparoskopi, evaluasi sebelum operasi difokuskan untuk
mengidentifikasi pasien dengan penyakit paru berat dan gangguan
fungsi jantung.
Manajemen IntraoperatifPasien biasanya menjalani prosedur
laparoskopi dengan anestesi umum dengan menggunakan monitor
standar. Pengukuran tekanan darah noninvasive dan kapnografi
penting untuk mengikuti efek hemodinamik dan pneumoperitoneum pada
respirasi dan perubahan posisi. Dalam situasi tertentu, monitor
pengukuran tekanan arteri sebaiknya dilakukan. Indikasi tindakan
monitor tekanan arteri secara invasif antara lain: penyakit paru
berat, end tidal CO2.arteri yang sangat tinggi, dan fungsi
ventrikel yang menurun. Sama halnya dengan monitor pengukuran
tekanan vena sentral, pemasangan kateter arteri paru atau
transesofageal echocardiografi bisa berguna untuk pasien dengan
gangguan fungsi jantung atau hipertensi paru.1Akses untuk
memasukkan obat secara intravena harus memadai pada prosedur
laparoskopi, seperti pada keadaan kehilangan darah. Akses untuk
memasukkan obat secara intravena yang adekuat adalah kunci dari
resusitasi cairan yang tepat untuk keadaan pendarahan yang tidak
terkontrol atau emboli gas. Akses ke vena sentral harus
dipertimbangkan pada pasien dengan gangguan vena perifer.1Untuk
mencegah aspirasi paru dan menjaga jalan nafas, perlu pemasangan
pipa endotrakeal. Pemasangan sebuah pipa orogastrik atau
nasogastrik setelah jalan nafas dikuasai dapat mengurangi tekanan
udara lambung, menurunkan resiko kerusakan gaster, dan memperbaiki
visualisasi selama operasi. Pada saat tekanan intraabdomen
meningkat karena pneumoperitoneum, pipa endotracheal dapat
digunakan untuk memberikan tekanan ventilasi yang positif untuk
mencegah hipoksemia dan untuk mengekskresikan kelebihan CO2yang
diabsorbsi. Pneumoperitoneum dapat menyebabkan perubahan posisi
pipa endotrakeal pada pasien dengan trakea yang pendek, dimana
ketika carina bergerak ke atas pipa endotrakeal bisa masuk ke salah
satu bronkus, sehingga memasang pipa endotrakeal sebaiknya pada
pertengahan trakea dan disarankan untuk lebih sering mengecek
posisi pipa endotrakeal pada pasien.1Obat anestesi yang digunakan
biasanya berupavolatile agent, opioid intravena, dan obat pelumpuh
otot. Ada studi yang mengatakan bahwa N2O sebaiknya dihindari
selama prosedur laparoskopi karena ini akan meningkatkan pelebaran
usus dan resiko mual pasca operasi. Penggunaan klinis N2O ini masih
menjadi perdebatkan.
Selama prosedur laparoskopi, pasien biasanya diposisikan
Trendelenburg atau Reverse Trendelenburg. Trauma saraf pada pasien
sebaiknya dihindari dengan mengamankan dan membantali seluruh
ekstremitas. Tekanan pernafasan bisa meningkat dengan perubahan
posisi dan ventilasi, biasanya butuh penyesuaian.Dua tujuan utama
selama pemeliharaan pasien selama bedah laparoskopi dengan anestesi
umum adalah menjaga agar tetap normokapnia dan mencegah
ketidakseimbangan hemodinamik. Hiperkapnia biasanya berawal
beberapa menit setelah insuflasiCO2. Untuk menormalkan
kembaliCO2ini, ventilasi ditingkatkan biasanya dengan meningkatkan
RR (respiratory rate) dengan volume tidal yang tetap. Jika
hiperkapnia memburuk, misalnya pada kasus sulit prosedur bedah
diubah menjadi prosedur bedah terbuka.Perubahan hemodinamik harus
diantisipasi dan dimanajemen selama prosedur laparoskopi. Jika
tekanan darah meningkat maka pemberian kadar obat anestesi inhalasi
dapat ditingkatkan. Walaupun pasien yang sehat dapat mentoleransi
perubahan hemodinamik, namun pasien dengan fungsi jantung yang
buruk bisa dipengaruhi menjadi lebih buruk. Hal ini dapat dicegah
dengan penggunaan monitor secara invasif (arterial line, central
line, transesofageal echocardiografi) selama prosedur berlangsung.
Manajemen Pasca OperasiPada ruang pemulihan pasca anestesi,
hiperkapnia bisa tetap terjadi selama 45 menit setelah prosedur
selesai. Insiden mual muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan
cukup tinggi yaitu mencapai 42%.7Mual muntah pasca operasi setelah
prosedur laparoskopi dipengaruhi oleh tipe dari prosedur, sisa dari
pneumoperitoneum, dan karakteristik pasien. Beberapa obat baik itu
tunggal maupun dalam kombinasi untuk mencegah dan mengobati
komplikasi ini meliputi metoclopramide, ondansentron, dan
dexamethasone. Untuk menurunkan insiden mual dan muntah pasca
operasi dapat dilakukan dengan meminimalkan dosis opioid dan
mempertimbangkan pemberian propofol untuk anestesi. Karena banyak
prosedur laparoskopi direncanakan pada pasien rawat jalan, evaluasi
pada saat pasien akan pulang juga diperlukan.Penggunaan analgetik
setelah prosedur laparoskopi umumnya lebih sedikit dibandingkan
dengan sesudah bedah terbuka. Modalitas penggunaan analgesik harus
menghilangkan nyeri yang bisa terjadi karena insisi, visceral, atau
akibat gas residu dan pneumoperitoneum. Manajemen nyeri diawali
sebelum atau selama prosedure pembedahan. Pemberian opioid
intravena (fentanyl, morfin) dalam kombinasi dengan NSAID intravena
membantu agar pasien nyaman pada akhir dari prosedur. Infiltrasi
dari anestesi lokal, seperti bupivacaine padaport siteskulit dan
peritoneum memblock nyeri somatik dan visceral.