CAPUNG SUMBA Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
1
CAPUNG SUMBATaman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
2 1
Andi IrawanWahyu Sigit Rahadi
CAPUNG SUMBATaman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
2 3
4 5
Capung Sumba
Penulis: Andi IrawanWahyu Sigit Rahadi
ISBN: 978-602-60691-0-8
Fotografer: Simon Onggo Eko HastomoWahyu Sigit Rahadi
Desain sampul dan tata letak:Simon Onggo Eko Hastomo
Penerbit:Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
Kantor:Jln. Adam Malik KM 5, Kel. KambajawaWaingapu, Sumba Timur, Nusa Tenggara TimurTelp: (0387) 61914E-mail: [email protected]
Bekerja sama dengan:Indonesia Dragonfly Society
Cetakan pertama, November 2016Cetakan kedua, Oktober 2018 (dengan revisi)
Hak Cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.
Dicetak dengan anggaran DIPA BTNMTLW 2018
Foto sampul: Rhinocypha sumbanaFoto pembuka 1: Eupharia lara laraFoto pembuka 2: Kompleks air terjun Kanabuwai.
6 7
Daftar Isi
Kata Pengantar 08Tentang Capung
30Capung Sumba, Dari Pulau Terluar Kami Menyapa 14
Jenis-jenis Capung
60
Karakter Ekosistem Perairan Sumba
18Spesies Kunci Capung Sumba 70
Habitat Capung
22 Catatan Perjalanan 132Kompleks air terjun Kanabuwai.
8 9
KATA SAMBUTAN
Taman nasional tidak dapat dipungkiri memiliki peranan yang sangat penting sebagai sumber keanekaragaman jenis baik flora fauna, bentang alam maupun gejala alam. Bentang alam yang luas serta tersebar diseluruh wilayah nusantara menjadi wadah kekayaan hayati di setiap daerah. Taman Nasional MaTaLaWa di ujung selatan bangsa ini menjadi salah satu wilayah yang cukup menyita perhatian para peneliti baik nusantara maupun manca negara dengan keunikan ekosistem karst dan padang savana yang didalamnya terdapat flora fauna dengan tingkat endemisitas tinggi. Satu hal lain yang sangat penting dalam pengelolaan kawasan konservasi saat ini adalah validitas informasi mengenai eksistensi satwaliar dan tumbuhan serta potensi komponen lainnya dalam kawasan tersebut yang selalu di-update oleh pengelola dan accessible oleh khalayak umum. Akselerasi informasi tidak serta merta dilaksanakan oleh pengelola sendiri, tetapi membuka ruang pelibatan multi pihak dari para pakar dan pemerhati lingkungan. Buku
ini merupakan salah satu perwujudan hal tersebut yang menjadi instrumen awal yang mencerminkan keseriusan pengelola dalam pengelolaan kawasan dan sekaligus pelayanan publik. MaTaLaWa menjadi unit pelaksana yang selalu berinovasi dan mempromosikan potensi kawasannya sehingga tidak hanya dinikmati oleh masyarakat setempat juga masyarakat lain di Indonesia dan bahkan dari negara lain. Sekali lagi, buku ini menunjukkan perjalanan yang berorientasi scientific based yang memberikan energi positif bagi kebangkitan pengelola kawasan konservasi, yang tidak hanya MaTaLaWa tetapi juga kesatuan kawasan-kawasan konservasi lain di Negara tercinta ini. Kami memberikan apresiasi atas karya nyata ini dan semoga menjadi inspirasi untuk mendorong terbitnya buku dengan tema Capung di wilayah konservasi lainnya. Kepada para penulis yang telah meluangkan waktu untuk terwujudnya karya ini, kami ucapkan terima kasih, dan kiranya Tuhan Yang Maha Esa senantiasa memberikan rahmat-Nya kepada kita sekalian untuk dapat berpartisipasi di bidang tugas kita masing-masing dalam rangka mewujudkan cita-cita luhur Bangsa Indonesia.
Ir. Wiratno, M.ScDirektur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem
10 11
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur mari kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahuwata’ala karena atas rahmat, nikmat dan hidayah-Nyalah sehingga buku Capung Sumba cetakan ke dua dengan data yang lebih lengkap dari Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti (TN Matalawa) selesai diperbaharui. Buku ini menjadi perwujudan kekayaan keanekaragaman hayati Taman Nasional Matalawa yang terletak di gugusan kepulauan Wallacea (Sulawesi, Maluku dan Nusa Tenggara). Taman Nasional Matalawa merupakan kawasan konservasi yang sangat eksotis dan memiliki keanekaragaman jenis flora dan fauna yang sangat khas dan endemik yang tidak dapat dijumpai di wilayah lainnya yang didominasi oleh ekosistem karst. Ekosistem karst umumnya dicirikan dengan adanya sungai bawah tanah, drainase permukaan, dan gua yang menyimpan potensi keanekaragaman hayati yang berbeda dengan daerah lainnya. Sungai-sungai kecil dengan tutupan tajuk yang
berbeda-beda di masing-masing tempat menjadi habitat berbagai jenis Capung. Capung merupakan salah satu keanekaragaman satwa yang dimiliki Taman Nasional Matalawa dari bangsa Odonata yang cukup unik mulai siklus hidupnya dan warnanya. Satwa ini juga dikenal predator yang ulung saat berburu mangsa sehingga menjadi pengendali hama alami baik di bidang pertanian, perkebunan maupun kehutanan. Capung juga mempunyai peranan yang sangat penting sebagai bio indikator lingkungan. Penulisan buku ini melengkapi daftar jenis dan sebaran hasil kegiatan penelitian dan survei yang telah dilakukan sebelumnya. Daftar awal distribusi Odonata di pulau Sumba pertama kali dilakukan oleh seorang ahli biologi dan zoology berkebangsaan Belanda pada tahun 1953 oleh Mauritz Anne Lieftinck. Hasil kerja Lieftinck dalam menyediakan data dasar distribusi Capung di Sumba patut diapresiasi, namun belum pernah diperbaharui sampai pada akhirnya Taman Nasional Matalawa dan Indonesia Dragonfly Society pada tahun 2015 s/d 2018 berjuang untuk melanjutkan pekerjaan itu. Akhir kata kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan buku Capung Sumba ini. Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak.
“Salam lestari, salam konservasi dari penjuru negeri”
Maman Surahman, S.Hut., M.SiKepala Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
12 13
PENGANTAR CETAKAN
Cetakan pertama buku Capung Sumba terbit pada tahun 2016 yang juga merupakan awal penggabungan antara Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti. Pada tahun 2015, pengumpulan data dilakukan di kawasan Taman Nasional Laiwangi Wanggameti sampai buku siap untuk diterbitkan kemudian terjadi penggabungan dua Kawasan Konservasi yang berada di Sumba. Para pihak yang terlibat dalam penyusunan dan pengumpulan materi Capung Sumba tanpa dilengkapi data kawasan Manupeu Tanah Daru, bersepakat untuk tidak menunggu sharing informasi melalui terbitnya buku Capung Sumba cetakan pertama. Cetakan kedua buku ini diterbitkan dengan perubahan sampul dengan tampilan yang lebih fresh dengan menambahkan catatan data hasil survei pada kawasan Taman Nasional Manupeu Tanah Daru. Keragaman jenis yang berhasil dicatat menjadi penting karena dari dua kawasan konservasi di pulau Sumba tersebut terdapat perbedaan tipe habitat. Di kawasan Laiwangi Wanggameti terdapat habitat pada ketinggian di atas 1000 mdpl sementara di kawasan Manupeu Tanah Daru tidak terdapat habitat di ketinggian tersebut. Sebaliknya, terdapat habitat pantai dikawasan Manupeu Tanah Daru sedangkan di kawasan Laiwangi Wanggameti tidak terdapat habitat capung di ekosistem tersebut. Buku pada cetakan ini terdapat penambahan jumlah yang didiskripsikan disertai foto yang mungkin dapat memicu rasa ingin tahu para penggiat satwa liar untuk datang langsung ke Taman Nasional Matalawa. Pada cetakan cetakan kedua ini menyajikan 48 spesies bertambah 6 spesies dari cetakan sebelumnya. Semoga penerbitan buku ini bermanfaat untuk masyarakat luas pada umumnya dan khususnya para pemerhati capung di seluruh nusantara.
Air terjun Matayangu
14 15
CAPUNG SUMBA, DARI PULAU TERLUAR KAMI MENYAPA
Capung Sumba, buku yang cukup lama dinanti oleh para pemerhati capung Indonesia, sekarang bisa kita baca dan pelajari. Indonesia Dragonfly Society sangat bangga bisa bekerja bersama dengan Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti dalam mengungkap kembali kekayaan capung di daerah Indonesia Timur khususnya pulau Sumba. Berawal dari perjumpaan dan diskusi kami dengan Simon Onggo, serta dukungan dari Bapak Hart Lamer Susetyo, impian kami mendata capung di kawasan timur mulai terwujud. Selama ini penelitian capung Indonesia bagian timur banyak dilakukan oleh peneliti asing, tetapi belum dilakukan oleh anak bangsa. Hal tersebut memicu kami untuk mempelajari dan membukukan keragaman capung di pulau Sumba. Pulau Sumba sebagai salah satu daerah yang berada di Kawasan Wallacea sering menarik perhatian para peneliti karena memiliki biodiversitas yang unik dengan tingkat endemisitas tinggi. Melalui buku ini, kita bisa mempelajari
Magdalena Putri N.Indonesia Dragonfly Society
hal tersebut. Pulau Sumba memiliki ekosistem karst yang seringkali dipandang sebagai daerah gersang karena tidak banyak memiliki hutan dan air permukaan. Akan tetapi, di kawasan taman nasional kita melihat hal yang berbeda. Di kawasan konservasi ini kita dapat mempelajari bagaimana hutan sangat berperan untuk ketersediaan air permukaan dan air bawah tanah. Survei pendataan capung ini dilakukan di 10 daerah perairan yang terdiri dari danau, telaga, sungai, dan gua dengan air yang melimpah. Di sekitar daerah perairan tersebut terdapat vegetasi pohon dengan tutupan rapat. Perairan di kawasan ini dibutuhkan oleh masyarakat sekitar untuk mendapatkan suplai air. Selain itu, perairan tersebut ternyata menyimpan keanekaragaman hayati yang tinggi, salah satunya capung. Di tengah keterbatasan literatur tentang capung di pulau Sumba, buku ini memberikan informasi terkini dan penting tentang capung di kawasan Wallacea khususnya pulau Sumba. Pendataan capung terdahulu di kawasan Nusa Tenggara dilakukan oleh M.A Lieftinck tahun 1949 (hasil penelitiannya diterbitkan tahun1953) seperti yang tercantum di buku Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Di pulau Sumba M.A. Lieftinck menemukan 68 jenis capung dan 11 jenis endemik pulau Sumba. Survei capung di kawasan taman nasional ini menghasilkan data yang sangat menarik. Survei pertama di tahun 2015 – 2016 di kawasan Laiwangi Wanggameti menemukan 48 jenis capung, 9 jenis endemik pulau Sumba, dan 7 jenis merupakan catatan baru. Delapan jenis capung endemik pulau Sumba, antara lain Rhinocypha sumbana, Indolestes bellax, Nososticta diadesma, Burmagomphus williamsoni austrosundanum, Paragomphus tachyerges, Hemicordulia chrysochlora, Idionyx orchestra dan Orthetrum austrosundanum, Euphaea lara lara. Tujuh jenis catatan baru, yaitu Euphaea lara lara, Pseudagrion pilidorsum deflexum, Drepanosticta berlandi, Burmagomphus williamsoni austrosundanum, Brachythemis contaminata, Neurothemis ramburi martini dan Potamarcha congener. Tujuh jenis capung tersebut sebelumnya tidak ditemukan
16 17
oleh M.A. Lieftinck di pulau Sumba. Euphaea lara lombokensis, Pseudagrion pilidorsum declaratum dan Drepanosticta berlandi sebelumnya telah ditemukan oleh M.A. Lieftinck di daerah Nusa Tenggara lainnya seperti Lombok, Sumbawa, serta Flores. Pada survei ke dua tahun 2018 di kawasan Manupeu Tanah Daru tidak menemukan tambahan jenis baru, hanya penambahan catatan sebaran dari ragam jenis yang sudah ditemukan saat survei pertama di kawasan Laiwangi Wanggameti. Berdasarkan hasil survei di taman nasional, kita juga menemukan capung dengan tingkat sensitivitas yang berbeda-beda, mulai dari tingkat sensitivitasnya tinggi sampai rendah. Capung dengan tingkat sensitivitasnya tinggi antara lain Burmagomphus williamsoni austrosundanum, Hemicordulia chrysochlora, Idionyx orchestra, Tetrathemis irregularis hyalina, Pseudagrion pilidorsum declaratum, Indolestes bellax, Drepanosticta berlandi, dan Nososticta diadesma. Capung-capung tersebut biasanya susah dan jarang ditemukan, berada di perairan yang bersih atau dekat mata air. Jika suatu perairan mengalami perubahan, capung yang tingkat sensitivitasnya tinggi akan merespon cepat perubahan tersebut dengan cara nimfa mengalami kematian atau capung dewasa berpindah ke perairan yang lebih sesuai dengan habitatnya sehingga capung menjadi lebih sulit dijumpai. Oleh karena itu, capung sering digunakan sebagai bioindikator perairan. Melalui survei ini, kita dapat mengetahui kualitas perairan di hulu Laiwangi dan Wanggameti. Kualitas perairan di kawasan konservasi ini masih bagus. Capung saat ini tidak hanya digunakan untuk mengetahui kualitas perairan, tetapi juga digunakan untuk memantau kualitas kawasan dan upaya konservasi kawasan. Hal tersebut dikarenakan sebagian besar jenis capung juga membutuhkan vegetasi terutama vegetasi riparian rapat dan masih terjaga, selain kondisi perairan yang bersih. Penggunaan capung sebagai indikator penilaian dan pemantauan kualitas suatu kawasan pertama kali dikembangkan oleh Michael J. Samways dan
J. P. Simaika tahun 2008-2012 di salah satu kawasan konservasi Afrika Selatan. Berdasarkan penelitian tersebut kita juga bisa mengetahui bahwa capung merupakan bioindikator yang mudah, dan cepat untuk memantau kualitas kawasan seperti lingkungan perairan air tawar, hutan, kawasan restorasi, kualitas landscape yang berubah, dan memantau pemulihan
habitat di suatu kawasan. Metode yang dikembangkan oleh kedua peneliti capung itu, beberapa tahun terakhir mulai digunakan oleh peneliti-peneliti capung lainnya antara lain di Republik Cekoslowakia. Survei capung di taman nasional ini merupakan langkah awal dan membuka pintu studi-studi capung selanjutnya dalam upaya konservasi kawasan di Sumba. Buku Capung Sumba diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk dunia pendidikan dan mengenalkan kekayaan alam Sumba kepada masyarakat terutama anak-anak. Buku ini juga diharapkan menjadi pemicu bagi kita untuk mempelajari capung di daerah Indonesia Timur lainnya. Kami yakin masih banyak temuan-temuan menarik yang belum terungkap di kawasan Indonesia Timur. Kita masih membutuhkan tangan-tangan dari ujung barat sampai ujung timur Indonesia untuk mewujudkan impian besar, yaitu mengumpulkan kembali informasi capung Indonesia, melestarikan alam Indonesia melalui capung. Mari kita mewujudkan cinta kita kepada tanah air dimulai dari hal sederhana di lingkungan sekitar. Memperhatikan, mengenal, mencintai, dan melestarikan hewan kecil seperti capung akan memberi arti untuk kehidupan yang lebih baik. Salam Capung Teman Kita!
Pseudagrion pilidorsum deflexum
18 19
SPESIES KUNCI CAPUNG SUMBA
Kawasan Wallacea terkenal dengan kawasan dengan biodiversitas yang unik dan tinggi tingkat endemisitasnya. Pulau Sumba termasuk dalam kawasan Wallacea dan merupakan gugusan Kepulauan Sunda Kecil. Apabila dilihat dari jumlah jenis capung, tercatat di kawasan Wallacea berjumlah 386 spesies, dengan hampir 40% jenis-jenis capung tersebut tersebar di Bali dan Nusa Tenggara. Capung endemik diketahui sejumlah 134 jenis. Sedangkan diversitas capung di Kepulauan Sunda Kecil sebanyak 152 spesies, dengan 24 jenis diantaranya endemik. Sebagian besar capung endemik di Kepulauan Sunda Kecil berada di kepulauan Nusa Tenggara, dimana 50% disumbangkan oleh pulau Sumba. Jenis capung kunci yang perlu dipantau dan dilestarikan adalah jenis-jenis endemik pulau Sumba, karena apabila jenis-jenis tersebut punah, maka tidak akan pernah ditemukan lagi. Terdapat 2 jenis capung endemik yang perlu mendapat perhatian lebih, yaitu Paragomphus tachyerges karena status IUCN masuk dalam kategori
Pungki Lupiyaningdyah Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Garis Wallacea386 spesies134 endemik
Kepulauan Sunda Kecil152 spesies24 endemik
Informasi dan grafik dibuat untuk tujuan penulisan buku ini, menggunakan konten dari tulisan Pungki Lupiyaningdyah (Pusat Penelitian Biologi LIPI), Lieftinck (1953), dan hasil survei capung di TN Matalawa.
* Hasil sementara mencakup dataran Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti
Seberapa banyak capung endemik?
Wallacea 134
Kep. Sunda Kecil 24
Sumba (1953) 11
Capung di Wallacea, kepulauan Sunda Kecil, dan Sumba
Wallacea 386
Kep. Sunda Kecil 152
Sumba (1953) 68
Sumba (2018)* 48
FAKTA CAPUNG SUMBASumba adalah bagian dari daerah Wallacea, suatu daerah yang sejak zaman dahulu terpisah dari pulau-pulau di sebelah barat dan timur Indonesia. Sumba juga bagian dari kepulauan Sunda Kecil (Lesser Sunda). Endemisitas di pulau Sumba menarik bagi banyak kalangan peneliti dan pemerhati hidupan liar, termasuk sang predator kecil di udara “punda” (capung).
65tahun
40%
Jarak waktu penelitian Lieftinck dan survei capung oleh taman nasional.
Capung di Wallacea tersebar di pulau Bali dan kepulauan Nusa Tenggara.
20 21
Rentan (Vulnerable) dan Indolestes bellax yang masuk status Hampir Terancam (Near Threatened). P. tachyerges dimasukkan dalam kategori rentan, karena dahulu jenis ini dapat ditemukan di 10 lokasi berdasarkan publikasi Lieftinck (1953), namun sekarang laporan jumlah populasinya belum diketahui dan dengan laju deforestasi yang cukup cepat, maka diperkirakan penemuan P. tachyerges hanya di area tertentu saja, tidak sebanyak 60 tahun lalu. Begitu pula halnya dengan I. bellax, dengan pertimbangan yang kurang lebih sama dengan P. tachyerges menyebabkan jenis ini masuk kategori hampir terancam. Disamping kedua jenis tadi, Drepanosticta berlandi yang merupakan catatan baru di Sumba dan Nososticta diadesma juga penting dipantau keberadaannya secara berkala, karena jenis-jenis tersebut sulit dijumpai, sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan dan sebarannya terbatas. Mempertahankan keberadaan jenis-jenis capung endemik memang bukan pekerjaan mudah, akan tetapi perlu diupayakan dengan sungguh-sungguh. Bahkan, apabila kita berhasil memantau populasi mereka di alam secara terus menerus dan tampak kecenderungan bahwa jenis-jenis endemik tersebut masih tetap ada atau bertambah populasinya, bisa jadi status IUCN menjadi turun atau hilang sama sekali.
Dragonfly Biodiversity Index (DBI) Salah satu cara memantau diversitas capung yang paling mudah adalah dengan menggunakan DBI (Dragonfly Biodiversity Index). DBI ini terukur parameternya, sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Akan tetapi, di Indonesia masih belum banyak yang mengaplikasikan sistem ini. Hal ini mungkin selain karena belum familiar juga disebabkan keterbatasan dari indeks ini, yaitu indeks ini dapat “berbicara” apabila kita konsisten dan kontinyu memantau capung di suatu area dalam kurun waktu tertentu. Sehingga, kita akan mendapatkan perbandingan nilai DBI di waktu awal dan akhir survei.
Salah satu negara yang telah berhasil mengaplikasikan DBI adalah Afrika Selatan, dimana pada sekitar tahun 1990-an akhir, mereka merestorasi seluruh sungai dari pohon-pohon invasif karena pohon tersebut menghalangi sinar matahari dan menyebabkan kemerosotan pinggiran sungai sehingga mengancam keberadaan capung-capung di Afrika Selatan. Berdasarkan pengalaman tersebut, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keberadaan capung bukan saja pengalihan lahan, deforestasi, pencemaran air, namun juga jenis tumbuhan invasif di badan sungai atau lahan basah dapat menggangu dan mengancam kehadiran capung di suatu habitat. Buku Capung Sumba dapat menjadi dasar maupun tonggak untuk pengelolaan data keanekaragaman hayati di Laiwangi dan Wanggameti yang berstatus sebagai taman nasional. Informasi yang disajikan dalam buku ini dapat menjadi acuan untuk mencetuskan penelitian dan studi lanjutan dalam menentukan langkah-langkah manajemen konservasi, seperti pemantauan keberadaan capung setiap tahun maupun pemetaan habitat capung secara berkala. Upaya mengungkap dan mengelola biodiversitas yang ada di Sumba, khususnya wilayah-wilayah yang menjadi kawasan konservasi, tentu tidak berhenti hanya pada kelompok capung saja, melainkan menambah dan mengembangkan inventarisasi dan studi lanjut pada kelompok hewan lainnya. Sehingga, data keanekaragaman hayati baik di pulau Sumba maupun di taman nasional menjadi lengkap. Data-data ini pun seyogyanya terbuka dan dapat diakses oleh para pemerhati lingkungan, pemegang kebijakan dan khalayak umum. Sehingga, banyak orang dapat berkontribusi lebih banyak dalam kegiatan konservasi di pulau Sumba, dengan tujuan untuk menyokong kehidupan penduduk pulau ini.
22 23
KARAKTER EKOSISTEM
PERAIRAN SUMBA
Air merupakan elemen penting dalam kehidupan. Penggunaan air dalam kehidupan sehari-hari tidak hanya terbatas pada pemenuhan kebutuhan dasar berupa air minum, tetapi juga sebagai sumber energi terbarukan (listrik), penunjang proses-proses industri, irigasi pertanian, hingga berbagai penggunaan lainnya yang memiliki nilai komersial. Di daerah tropis penggunaan air secara komersial telah dilakukan dengan sangat extensif, akan tetapi studi dan pengetahuan mengenai siklus, daya dukung, dan batas ekologis air dalam ekosistem, masih belum diketahui secara mendalam (Whitten et al., 1987). Hal tersebut mendorong munculnya kawasan-kawasan konservasi yang ditujukan untuk mengamankan
Air terjun Laputi
24 25
keanekaragaman hayati dan melindungi proses-proses alamiah yang penting bagi kehidupan, seperti siklus air (fungsi hidrologi). Di bagian selatan Indonesia, kita dapat jumpai salah satu pulau terluar nusantara - pulau Sumba. Pulau ini terbentuk dari teras terumbu karang yang terungkit satu juta tahun yang lalu, dengan kecepatan 0.5 mm/ tahun (Monk et al., 2000; Pirazzoli et al., 1991, 1993). Formasi batuan penyusun daratan di pulau ini bertumpuk-tumpuk (Efendi et al., 1994), dimana lapisan batuan kapur berada pada lapisan atas (Abdullah et al., 2000). Secara kimia batuan kapur pada ekosistem karst dapat terlarut oleh aliran-aliran air, sehingga membentuk lubang-lubang pori berukuran kecil maupun besar. Pelarutan batuan kapur pada ekosistem karst kerap dipandang sebagai pemicu terbentuknya jaringan air yang kompleks dibawah permukaan tanah. Air hujan mengalir melalui jaringan ini, hingga mencapai air tanah bebas (water table). Para ahli geologi percaya bahwa pelarutan batuan kapur yang terjadi pada ekosistem karst bahkan dapat memicu tebentuknya gua yang cukup besar. Serupa dengan ekosistem karst pada umumnya, ekosistem karst di pulau Sumba, juga memiliki gua-gua dengan beragam dimensi dan struktur, serta beragam galeri, bahkan banyak diantaranya dialiri sungai-sungai di bawah permukaan tanah. Dapat kita bayangkan, pulau Sumba menyerupai spons, dengan celah-celah batuan, gua dan sungai di bawah permukaannya. Desain ekosistem yang demikian sempurnanya, berperan sangat penting dalam mengatur ketersediaan air. Terlebih lagi, dengan curah hujan yang rendah, air menjadi isu penting di pulau ini. Kehadiran hutan tropis, disisi lain, juga memberikan pengaruh yang cukup besar bagi siklus hidrologi di Pulau Sumba. Pentingnya hutan tropis di berbagai daerah karst telah dikaji dalam berbagai studi (Chandler, 2006; Tuyet, 2001). Vegetasi pohon pada ekosistem karst memberikan beberapa keuntungan secara hidrologis, salah satunya adalah menunjang terbentuknya lubang
pori pada permukaan tanah yang sering disebut dengan istilah makropora. Sistem perakaran vegetasi hutan pada ekosistem karst dapat meningkatkan porositas tanah dan batuan kapur sehingga memungkinkan air untuk meresap melalui celah batuan, serta menunjang pengisian air di dalam ruang-ruang di bawah permukaan tanah. Kerusakan tutupan vegetasi hutan pada hamparan karst, oleh karenanya dapat memberikan dampak negatif yakni berkurangnya ketersediaan dan kualitas air tanah, yang diakibatkan oleh tertutupnya makropora dan sedimentasi. Deforestasi, pembakaran dan kerusakan hutan alam pada ekosistem karst telah sejak lama dipercaya dapat memicu timbulnya berbagai bencana seperti erosi, kelangkaan air, banjir, pergerakan batuan, hingga kekeringan dan perubahan karst akuifer (Tuyet, 2001). Berbeda halnya dengan ekosistem lain, para ahli percaya bahwa ekosistem karst bersifat rentan atau relatif tidak dapat dipulihkan dari kerusakan.
Air terjun bawah tanahJaringan air bawah tanah
Sungai bawah tanah
Batuan karst
Mata airLapisan kedap air
Gua horizontal
Rekahan batuan karst (clint & gryke)
Gua dengan stalaktit & stalakmit
Gua vertikal
Reruntuhan batuanSungai
Lubang air (sink hole)
Lapisan tanah
Proses aliran air pada bentang karst, digambar ulang oleh Elde N. Respatika Oscilata dari: https://web.viu.ca/geoscape/Karst.htm.
26 27
Hutan di pulau Sumba, telah mengalami degradasi sehingga menyisakan kantong-kantong kecil hutan yang terpisah antara satu dengan yang lainnya. Dengan kondisi pulau ini yang berupa ekosistem karst, maka sah-sah saja ketika kita berandai-andai bahwa air dapat menjadi isu yang lebih serius lagi pada masa mendatang jika kita tidak berbuat. Berbuat untuk menjaga hutan di pulau indah nan elok di bagian timur Indonesia ini. Kantong-kantong hutan di pulau Sumba kini tersisa di daerah-daerah yang dilindungi (kawasan konservasi). Kerap daerah-daerah ini disebut sebagai benteng terakhir bagi pelestarian keanekaragaman hayati. Namun sebenarnya lebih dari itu, kawasan-kawasan ini juga menjadi benteng terakhir kelangsungan hidup pulau Sumba, karena fungsinya dalam mengatur tata air. Kawasan hutan Laiwangi Wanggameti, merupakan salah satu kawasan konservasi di pulau Sumba. Di kawasan ini, lubang-lubang pada batuan kapur dapat terlihat dengan jelas, diantara lebatnya hutan maupun terpapar langsung diatas permukaan tanah. Lubang-lubang ini merupakan hasil dari pelarutan batuan kapur oleh air hujan yang berfungsi sebagai pintu masuk air (sink holes) ke bawah permukaan. Aliran air ini kemudian terakumulasi di dalam ruang-ruang dan gua di bawah permukaan tanah. Air yang terakumulasi tersebut masih dapat kembali bergerak melalui celah-celah batuan, yang kemudian bisa saja muncul sebagai mata air di tempat yang berbeda, kemudian mengalir ke sungai baik di atas maupun di bawah permukaan tanah. Sistem jaringan air yang kompleks ini memiliki fungsi sebagai penyimpan dan regulator air, bagi daerah hilir.
Sensitivitas Ekosistem Karst Karst dikenal sebagai ekosistem yang unik, berharga dan tak-terbarukan, serta sangat rentan terhadap gangguan, bahkan lebih rentan dari sumberdaya lahan pada umumnya. Karst memiliki sensitifitas yang tinggi karena menghubungkan tiga dimensi alam yaitu karakteristik permukaan karst yang unik, lorong-lorong
di bawah permukaan, dan fungsi hidrologi. Hubungan kompleks antara karakteristik permukaan karst yang unik dan lorong-lorong di bawah permukaan tanah serta hidrologi menciptakan sistem yang seimbang. Aktivitas aktivitas industri, seperti penambangan batu kapur, atau aktivitas lain yang mengubah vegetasi, jika tidak dilaksanakan dengan hati-hati, dapat menyebabkan erosi tanah yang berlebihan, perubahan pada aliran air dibawah permukaan, kontaminasi, sedimentasi serta penyumbatan aliran air di bawah dan di permukaan tanah. Bentuk-bentuk aktivitas manusia yang mengubah bentang lahan pada ekosistem karst harus dilaksanakan dengan sangat seksama dan penuh dengan pertimbangan untuk memastikan bahwa fungsi dan nilai karst tetap terjaga. Pun aktivitas rekreasi di daerah karst, juga perlu memperhatikan aspek kelestarian, guna mengantisipasi terjadinya kerusakan dan penggunaan yang berlebihan atas sumberdaya karst.
Gua Matawai La Rawa menjadi gua terpanjang yang pernah ditemukan di dalam kawasan taman nasional. Penelusuran oleh caver dari Ritsumeikan University telah mencapai 3 km dan belum mencapai ujung gua. Di dalam gua ini ditemukan beberapa genangan air yang kemungkinan besar saat musim hujan menjadi sungai bawah tanah. Foto oleh Yushiro Kuroki
28 29
Air terjun di dalam gua La Iring di desa Katikuwai. Di mulut guanya yang sempit ditemukan jenis catatan baru untuk Sumba yaitu Depranosticta berlandi.
Lalu bagaimana kita mengetahui, bahwa ekosistem karst dan fungsi hidrologinya sudah berubah? Ekosistem karst sangat sensitif dan ketika terjadi kerusakan, sulit untuk dipulihkan. Kerusakan vegetasi pada ekosistem karst dapat memicu terjadinya sedimentasi, penyumbatan lorong-lorong air yang pada akhirnya akan mempengaruhi bukan saja kualitas tetapi juga ketersediaan air. Sehingga penting bagi kita untuk mengetahui, apakah ekosistem karst dan fungsi hidrologinya sedang mengalami perubahan karena terdampak oleh adanya kerusakan. Penggunaan indikator-indikator biologi merupakan salah satu alternatif untuk mendeteksi perubahan dan kerusakan pada ekosistem karst, dan capung adalah salah satu diantaranya. Capung (odonata) sangat sering dijumpai pada badan air dan konon mendominasi total biomassa dan jumlah spesies invertebrata (Batzer et al., 1999; Blois-Heulin et al., 1990; Sang et al., 2011; Wittwer et al., 2010). Banyak peneliti berpendapat bahwa odonata peka terhadap perubahan yang terjadi pada habitat perkembangbiakannya maupun ekosistem daratan di sekitarnya. Mereka merespon dengan cepat perubahan kualitas lingkungan, melalui persebaran aktif. Kehadiran satu atau beberapa spesies capung oleh karenanya dianggap mampu menggambarkan perubahan yang terjadi pada suatu habitat atau ekosistem. Tak terkecuali ekosistem karst yang erat kaitannya dengan sumberdaya air. Sebagai bioindikator, capung dewasa lebih populer, karena relatif lebih mudah diamati secara kasat mata dan lebih mudah untuk diidentifikasi, dibandingkan dengan fase perkembangan capung yang lain. (ANDI IRAWAN)
30 31
Capung dikenal sebagai hewan perairan, sehingga tempat terbaik untuk menemukan mereka tentunya di badan-badan air. Segala tipe lahan basah dapat menjadi tempat perkembang biakan yang baik bagi capung, hanya saja beberapa jenis capung mungkin dapat berkembang lebih baik pada kondisi badan air tertentu. Pada umumnya, jenis-jenis capung lebih banyak dijumpai pada danau dan badan air yang bersuhu hangat dengan tutupan vegetasi yang relatif baik. Banyak diantara jenis-jenis capung yang memiliki sifat “pemilih” (habitat specialist), sehingga untuk menemukannya perlu mengenal karakteristik habitat yang menjadi pilihan mereka. Cara terbaik untuk menemukan berbagai jenis capung adalah dengan melakukan pengamatan pada beragam tipe habitat, tidak hanya pada satu tipe danau dan sungai saja, melainkan berbagai macam tipe dan karakteristik badan air yang berbeda. Danau dan sungai-sungai besar, misalnya, bisa saja dihuni oleh jenis capung yang tidak ditemukan di badan-badan air yang berukuran lebih kecil. Beberapa jenis capung bahkan lebih memilih habitat buatan seperti waduk dan embung.
HABITAT CAPUNG
Man has been endowed with reason, with the power to create, so that he can add to what he’s been
given. But up to now he hasn’t been a creator, only a destroyer. Forests keep disappearing, rivers dry up, wild life’s become extinct, the climate’s ruined and
the land grows poorer and uglier every day.
Anton Chekhov, Uncle Vanya, 1897
Euphaea lara lara
32 33
Wahyu Sigit Rahadi sedang mengamati capung Lathrecista asiatica asiatica di sekitar danau Laputi.
Daftar distribusi jenis capung di Nusa Tenggara dan Maluku dipublikasikan pertama kali sebagai data dasar oleh Lieftinck pada tahun 1953, termasuk diantaranya capung di Pulau Sumba (Monk et al., 2013). Sejak saat dikeluarkannya daftar tersebut belum ada yang mempelajarinya kembali khususnya di pulau Sumba, hingga diterbitkannya buku ini. Pada tahun 2015, survei capung untuk yang kedua kalinya dilaksanakan, setelah 63 tahun sejak daftar jenis capung pulau Sumba pertama kali dirilis. Studi ini dilaksanakan atas kerjasama Balai Taman Nasional Laiwangi Wanggameti dan Indonesia Dragonfly Society. Meskipun pengambilan data masih terbatas di seputaran dataran Laiwangi hingga Wanggameti, kegiatan survei mampu mendata 48 jenis capung dimana 9 diantaranya adalah jenis endemik pulau Sumba. Hasil temuan ini sedikit lebih rendah dari daftar yang dibuat oleh Lieftinck pada tahun 1953. Kala itu, Lieftinck mendaftar 68 jenis capung, yang 11 jenis diantaranya endemik pulau Sumba. Hal menarik lainya dari hasil survei adalah ditemukannya 2 jenis capung yang belum tercatat pada kajian sebelumnya. Para pengamat sering menggunakan istilah catatan baru (new record), untuk disematkan pada jenis-jenis yang belum pernah tercatat sebelumnya. Kemudian dengan adanya penggabungan dua taman nasional di Sumba menjadi Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti maka diadakan survei lagi di tahun 2018 di kawasan Manupeu Tanah Daru. Pada survei di kawasan Manupeu Tanah Daru ini tidak menemukan tambahan jenis baru, hanya penambahan catatan sebaran dari ragam jenis yang sudah ditemukan saat survei pertama di kawasan Laiwangi Wanggameti. Hutan diperbukitan Manupeau Tanah Daru Laiwangi Wanggameti merupakan asosiasi dari beberapa ekosistem, salah satunya adalah ekosistem air tawar. Disana dapat dijumpai badan-badan air dengan tipe dan karakteristik
Capung di Pulau Sumba yang berbeda-beda, mulai dari yang alami hingga buatan, yang terbuka dan tertutup vegetasi. Tipe dan karakteristik yang berbeda-beda inilah yang mendukung berbagai jenis capung untuk hidup dan berkembang biak. Berikut ini adalah beberapa habitat capung yang berhasil kami jelajahi di Manupeau Tanah Daru Laiwangi Wanggameti.
34 35
Danau Laputi merupakan habitat capung bervegetasi alami di dataran Laiwangi. Tutupan vegetasi hutan menyelimuti danau ini, lantai hutan disekitar danau bersih, dan hanya ditumbuhi beberapa jenis herba. Suasananya masih sangat alami, dengan berbagai jenis pohon lebat tumbuh disekitarnya. Danau seluas kurang lebih 1 ha ini, menampung air dari sungai kecil yang berhulu di mulut gua. Aliran sungainya cukup deras dan terus mengalir sepanjang tahun. Danau Laputi terletak di bibir tebing. Luapan air dari danau ini jatuh dari tebing membentuk air terjun dan terus mengalir jauh menyusuri sungai, melewati desa-desa dibawahnya. Penduduk desa memanfaatkan air sungai yang bersumber dari danau Laputi untuk berbagai keperluan. Mulai dari keperluan sehari-hari, pengairan lahan pertanian, hingga untuk pembangkit listrik. Interaksi antara alam dan aktivitas manusia ini juga berperan dalam menciptakan habitat buatan bagi capung.
Danau Laputi
Nososticta diadesma
36 37
Terletak di bagian timur perbukitan Laiwangi, sungai Billa memiliki aliran yang relatif tenang. Sungai kecil ini merupakan sungai temporer, yang mengalirkan air di waktu tertentu saja, yakni di musim penghujan. Pada musim kemarau sungai ini hanya menyisakan genangan-genangan air yang terperangkap di ceruk-ceruk sungai. Pepohonan kecil tumbuh di sepanjang sungai, menutupi badan sungai. Tajuk-tajuk pepohonan tidak terlalu rapat, tetapi tetap berperan dalam mengatur suhu udara di sekitar sungai. Cahaya matahari masih sanggup menembus vegetasi pohon dengan intensitas sedang dan berperan menghangatkan suhu air. Kondisi sungai Billa yang sedemikian, cukup berpotensi bagi perkembangan capung.
Sungai Billa
Saat musim kemarau, sungai Billa tidak mengalir, hanya menyisakan sedikit genangan air saja.
Sungai Billa saat musim penghujan.
Kabut melingkupi hutan di Billa setiap pagi saat musim penghujan.
38 39
Tersembunyi di antara perbukitan Laiwangi, komplek air terjun Kanabuwai terisolir dari aktivitas manusia. Air terjun Kanabuwai berundak-undak bagai tangga, yang tersusun secara acak, hasil desain dari daya-daya alam. Air terjun Kanabuwai berhulu di sebuah mulut gua, di bagian puncak air terjun. Dari mulut gua itulah air memancar, menumbuk bebatuan kapur pada dinding tebing beberapa kali sebelum mencapai dasar tanah, dan mengalir mengikuti aliran sungai menuju Desa Waikanabu. Aliran air di komplek ini selalu ada sepanjang tahun, dan pada saat musim penghujan sungainya meluap dengan arus yang sangat deras. Ketika musim kemarau, tampak kolam-kolam air berwarna biru, dibagian tepi sepanjang sungai. Hutan alam dengan pepohonan yang sangat rindang menyelimuti komplek air terjun Kanabuwai. Pohon-pohon berukuran sedang dan besar melengkapi pemandangan dan menciptakan naungan bagi badan air di kompleks air terjun ini. Rotan, rumpun-rumpun bambu menghiasi tepian sungai. Berbagai jenis herba, paku-pakuan, dan lumut tumbuh di lantai hutan sekitaran sungai. Hal yang menandakan bahwa komplek ini selalu lembab. Percikan dan butiran-butiran air kerap terbawa angin hingga mencapai daratan sekitarnya. Lokasi yang nampaknya digemari oleh berbagai jenis capung untuk nerkumpul dan berkembang biak.
Kompleks Air Terjun Kanabuwai
Idionyx orchestra
40 41
Berbeda dengan habitat alami yang lain, telaga Pahulu Bandil sebenarnya merupakan embung. Cekungan yang digunakan untuk menampung air hujan sebagai persediaan air untuk ternak. Terletak di dataran tinggi Wanggameti, badan air ini mengering di saat musim kemarau. Tidak ada tajuk pohon di sekitar badan air, sinar matahari langsung mencapai permukaan air, dan menghangatkan suhu air di danau ini. Alang-alang dan semak belukar mendominasi vegetasi di sekitar badan air. Acapkali pada musim penghujan, air menjadi keruh. Sedimen-sedimen tanah terbawa air hujan, langsung menuju badan air, dan hanya sebagian kecil saja tertahan oleh rumput dan belukar. Parit-parit kecil disela-sela rerumputan, semakin menegaskan bahwa erosi permukaan terjadi secara terus-menerus di area ini.
Pahulu Bandil
Pantala flavescens
42 43
Dengan kondisi relatif terbuka dari naungan, telaga Ananjaki (foto kiri atas) dan telaga Praimadita (foto kiri bawah) didominasi vegetasi semak dan perdu. Beberapa batang pohon kesambi, serta rumpun bambu tumbuh di sekitar telaga terpisah satu dengan yang lain, dengan jarak yang saling berjauhan. Tajuk pohon tidak merata, sehingga badan air langsung terkena sinar matahari. Berbagai jenis rumput termasuk alang-alang tumbuh hingga tepian danau. Keberadaan beberapa jenis ikan, pada umumnya ikan nila, membuat telaga ini kerap dijadikan spot memancing oleh penduduk sekitar. Letak dua telaga di atas, berada di dataran rendah, di sebelah selatan dekat pantai Tawui. Terang saja, suhu udara di telaga ini hangat dan panas di siang hari.
Telaga Ananjaki dan PraimaditaTelaga Ananjaki
Telaga Praimadita
Tramea eurybia eurybia
Ischnura senegalensis
44 45
Air terjun di dalam gua La Iring.
Foto oleh Agus Hong
Merupakan salah satu spot penting, untuk pengamatan jenis-jenis capung endemik. Drepanosticta berlandii adalah salah satu jenis endemik yang ditemukan di spot ini. Gua La Iring memiliki karakter unik. Air terjun dan sungai aktif berada di dalam gua dan kerap menarik minat para petualang. Namun untuk dapat menikmatinya, dibutuhkan pengorbanan dan sedikit jiwa petualang, karena mulut gua La Iring berada di atas bukit terjal dan mulut guanya sempit.
Gua La Iring
Drepanosticta berlandi
46 47
Wanggameti adalah dataran tertinggi di pulau Sumba. Berbagai badan air dapat dijumpai di dataran tinggi ini. Sungai kecil di dalam lebatnya hutan Wanggameti merupakan salah satu spot pengamatan penting jenis-jenis endemik seperti Hemicordulia chrysochlora. Masih di seputaran dataran tinggi Wanggameti, di desa Katikuwai juga terdapat spot menarik berupa sungai. Sungai yang membelah desa ini merupakan sungai utama bagi masyarakat di Sumba. Aliran airnya sepanjang tahun, mengalir hingga bejarak ratusan kilometer menuju daerah-daerah hilir hingga ke pantai utara pulau Sumba. Di sisi-sisi sungai masih terdapat tegakan-tegakan pohon. Letaknya yang berada di dataran tinggi membuat sungai ini terasa dingin di pagi hari. Namun hangat di siang hari, oleh pancaran sinar matahari.
Wanggameti dan Katikuwai
Hemicordulia chrysochlora
48 49
Terletak di bagian timur kawasan Manupeu Tanah Daru yang berbatasan dengan kabupaten Sumba Timur, memiliki banyak aliran sungai mengalir tenang dan beberapa perairannya pada saat musim kemarau tidak mengering. Sedang beberapa perairan lain menyisakan genangan-genangan air saja. Tutupan pepohonan masih bagus di sekitar badan perairan. Walau tidak jauh dari sekitaran sungai sudah banyak ruang terbuka dengan tumbuhan savana dan perladangan. Watumbelar merupakan kawasan yang tidak jauh dengan pemukiman warga desa.
Watumbelar
50 51
Kawasan ini lebih banyak semak dan perdu. Tegakan pepohonan banyak dijumpai di sekitar karts menuju gua. Aliran sungai keluar dari dalam mulut gua yang berada di dinding tebing lubang besar. Kiri kanan sungainya tidak terdapat pepohonan, lebih banyak rerumputan dan semak. Aliran sungai yang keluar dari mulut gua juga tidak panjang dan sepanjang musim mengalir. Tidak banyak ragam jenis capung yang ditemukan di kawasan ini.
Kanabuwulang
52 53
Kawasan sungai besar hasil pertemuan dua aliran sungai yang sepanjang musim mengalir. Sekitar badan sungai penuh dengan tegakan pepohonan besar dan rapat. Sungai berbatu dengan aliran cukup deras jauh dari pemukiman ini menghadirkan banyak ragam capung. Aliran sungai yang sangat panjang dengan kiri kanan dipenuhi pepohonan menandai sebuah kawasan yang masih sehat. Sering terdengar teriakan monyet ekor panjang dan kicau aneka burung.
Praimahala Sungai 1
Merupakan aliran sungai di atas aliran sungai Praimahala 1 yang alirannya menyatu jadi satu sungai. Karakter sungai dengan bebatuan dasar karst akan tampak muncul pada saat musim kemarau. Sepanjang badan sungai penuh dengan pepohonan lebat. Ragam capung juga banyak ditemukan di sepanjang aliran sungai ini. Sinar matahari juga masih bisa tembus di antara aliran sungainya.
Praimahala Sungai 2
54 55
Kawasan Tanah Mas merupakan kawasan di Manupeau Tanah Daru yang berdekatan dengan pantai. Survei yang dilakukan di sekitar kantor resort merupakan kawasan yang masih sangat lebat vegetasi sekitar perairannya. Mengalir tenang dengan kondisi air yang jernih, sekitar badan sungai masih banyak ditumbuhi tanaman rotan. Perairan yang sepanjang musim tidak mengering. Tidak jauh dari perairan dengan kelebatan vegetasi merupakan lahan terbuka savana dengan penuh perdu dan semak. Banyak ragam capung yang ditemukan dan menjadi spot ragam capung endemik.
Taman Mas
56 57
Di bagian selatan Indonesia, kita dapat jumpai salah satu pulau terluar nusantara - pulau Sumba. Pulau ini terbentuk dari teras terumbu karang yang terungkit satu juta tahun yang lalu, dengan kecepatan 0.5 mm/ tahun. Formasi batuan penyusun daratan di pulau ini bertumpuk-tumpuk, dimana lapisan batuan kapur berada pada lapisan atas. Serupa dengan ekosistem karst pada umumnya, ekosistem karst di pulau Sumba, juga memiliki gua-gua dengan beragam dimensi dan struktur, serta beragam galeri, bahkan banyak diantaranya dialiri sungai-sungai di bawah permukaan tanah. Dapat kita bayangkan, pulau Sumba menyerupai spons, dengan celah-celah batuan, gua dan sungai di bawah permukaannya. Desain ekosistem yang demikian sempurnanya, berperan sangat penting dalam mengatur ketersediaan air. Terlebih lagi, dengan curah hujan yang rendah, air menjadi isu penting di pulau ini. Luas Taman Nasional Matalawa yang kurang dari 10 % luas Sumba, memiliki peran/fungsi dan manfaat yang begitu banyak bagi kehidupan mahluk hidup. Tegakan hutan alam yang tersisa di pulau ini sebagian besar terdapat di taman nasional. Begitu juga dengan ribuan mata air yang mengalirkan airnya menjadi banyak air terjun dan sungai-sungai besar, menjadikan Matalawa sebagai kawasan perlindungan hidrologi yang sangat penting. Perpaduan antara variasi ekosistem dan tegakan hutan dengan daerah alirah sungai yang beragam merupakan rumah yang nyaman bagi sekitar 48 jenis capung, dengan 8 jenis endemik pulau Sumba.
Ekosistem Karst Sumba
Matayangu
Taman MasPadiratana
Kanabuwulang
Watumbelar
Bentang Karst
Kawasan Taman Nasional
Pulau Sumba
Sungai Kambaniru
Sumba Timur
Sumba Tengah
Sumba Barat
Sumba Barat Daya
Dataran Manupeu Tanah Daru
Laiwangi Wanggameti
Manupeu Tanah Daru
58 59
Pula
u Su
mba
Wai
ngap
uW
aika
buba
kW
aiba
kul
Tanj
ung S
asar
Pant
ai T
arim
bang
Tam
bola
ka
Uta
ra
Dan
au L
aput
i
Air
Terju
n La
puti
Billa
Des
a W
aika
nabu
Des
a Ka
tikuw
ai
Sung
ai K
atik
uwai
Kana
buai
Dat
aran
Lai
wan
gi
Dat
aran
Tin
ggi W
angg
amet
i
Gua
La
Iring
Katik
uwai
Wan
ggam
eti Pa
ulub
andi
l
Tela
ga A
nanj
aki
Tela
ga P
raim
adita
Are
a di
perb
esar
di b
awah
Are
a di
perb
esar
di k
anan
Punc
ak W
angg
amet
i
Pula
u Sa
lura
Ekos
iste
m K
arst
Bent
ang
Kars
t
Kars
t Lai
wan
giKa
rst W
angg
amet
i
.
Pant
ai Ta
wui Pa
ntai
Lai
lung
gi
SAM
UD
ERA
HIN
DIA
LEG
END
A P
ETA
Pant
ai K
atun
du
Hut
an m
enan
gkap
air
huja
n ag
ar ti
dak
cepa
t men
galir
ke
laut
. Str
uktu
r ba
tuan
kar
st d
i baw
ahny
a m
enah
an a
ir ya
ng m
eres
ap. K
ombi
nasi
dua
fakt
or
ini m
embu
at k
awas
an T
aman
Nas
iona
l Man
upeu
Tan
ah D
aru
dan
Laiw
angi
W
angg
amet
i ber
fung
si ju
ga se
baga
i dae
rah
tang
kapa
n ai
r (w
ater
catc
hmen
t ar
ea).
Teka
nan
mem
buat
air
yang
ters
impa
n di
per
ut b
umi m
enca
ri ja
lann
ya
sehi
ngga
mem
bent
uk su
ngai
-sun
gai d
alam
tana
h da
n ke
luar
ke
perm
ukaa
n se
baga
i mat
a ai
r. M
elal
ui su
ngai
, air
men
jang
kau
ham
pir s
elur
uh p
ulau
Sum
ba.
Air
Sum
ber K
ehid
upan
Sung
ai
Billa
Des
a Pr
aing
kare
ha
Des
a W
aika
nabu
Des
a Ka
tikuw
ai
Dan
au L
aput
i
Air
Terju
n La
puti
Sung
ai K
atik
uwai
Sung
ai K
amba
niru
Kana
buw
ai
Dat
aran
Lai
wan
gi
Gua
La
Iring
Katik
uwai
Wan
ggam
eti
Paul
uban
dil
Tela
ga A
nanj
aki
Tela
ga P
raim
adita
Punc
ak W
angg
amet
i1.
225
m d
pl
..
Dat
aran
Lai
wan
gi te
rleta
k di
ata
s be
ntan
g ka
rst.
Bera
gam
tipe
dan
uku
ran
gua
ters
ebar
di d
atar
an
ini.
Sedi
kitn
ya te
rdap
at 4
0 gu
a di
ben
tang
kar
st
Laiw
angi
. Tak
dira
guka
n la
gi d
atar
an L
aiw
angi
be
rfun
gsi s
ebag
ai ta
ndon
air
bagi
dae
rah
hilir
. Kiri
Ka
rang
a sa
lah
satu
gua
meg
ah d
i dat
aran
Lai
wan
gi,
terp
ampa
ng s
ecar
a ve
rtik
al, d
enga
n ke
dala
man
m
enca
pai 5
8 m
eter
dan
pan
jang
471
met
er.
Dib
elah
an la
in, g
ua h
oriz
onta
l Mat
awai
La
Raw
a,
mas
ih te
rcat
at s
ebag
ai g
ua te
rpan
jang
di d
atar
an
ini.
Panj
ang
gua
yang
sud
ah d
itelu
suri
men
capa
i 3
km, n
amun
uju
ngny
a be
lum
dite
muk
an.
Gua
-gua
di
dat
aran
ini m
enel
an a
ir hu
jan
yang
ker
ap tu
run
di
data
ran
tingg
i Lai
wan
gi.
Sung
ai L
aput
i
Sung
ai T
amuj
iPa
njan
g: 1
5 km
Terle
tak
pada
ket
ingg
ian
1.22
5 m
.dpl
, men
jadi
titik
tert
ingg
i di
pula
u Su
mba
. Mes
ki re
latif
tida
k te
rlalu
ting
gi, p
unca
k W
angg
amet
i di
dom
inas
i veg
etas
i hut
an e
lfin
trop
is. D
i Ind
ones
ia, h
utan
ini p
ada
umum
nya
bera
da p
ada
ketin
ggia
n ≥2
000
mdp
l. (A
ri Pr
ihar
dian
to K
eim
, Pu
sat P
enel
itian
Bio
logi
LIP
I)
Dan
au L
aput
i dih
uni o
leh
belu
t (se
bena
rnya
sid
at, A
ngui
lla sp
.) ya
ng o
leh
mas
yara
kat d
iseb
ut “a
pu” a
rtin
ya n
enek
. Kep
erca
yaan
m
asya
raka
t unt
uk ti
dak
men
ggan
ggu
kebe
rada
an “a
pu” d
an
lingk
unga
n se
kita
r mem
buat
wila
yah
ini t
erja
ga k
eles
taria
nnya
.
Peta
ole
h A
ndi I
raw
anPe
ta S
ebar
an E
kosi
stem
Kar
st, F
ord,
D.,
& W
illia
ms,
P. D
. (20
13);
Peta
Rup
a Bu
mi,
Peta
Citr
a La
ndsa
t 8, U
SGS.
gov
Ilust
rasi
ole
h El
de N
. Res
patik
a O
scila
ta
..
.
.
.
..
.
.
Dat
aran
Tin
ggi W
anggameti
Panj
ang
sung
ai K
amba
niru
m
enca
pai 1
.174
km
. Tan
pa h
enti,
su
ngai
ini m
enyu
plai
keb
utuh
an
air p
endu
duk
Sum
ba T
imur
.
Neu
roth
emis
ram
burii
mar
tini
60 61
TENTANG CAPUNG
Capung merupakan serangga yang masuk ke dalam ordo (bangsa) Odonata. Dalam tingkatan takson, di bawah ordo Odonata masih ada sub ordo lagi yaitu Anisoptera dan Zygoptera. Anisoptera secara umum dikenal sebagai capung atau dragonfly, sementara Zygoptera disebut capung jarum atau damselfly. Cara yang mudah untuk membedakan capung dengan serangga lainnya adalah melihat bagian mata dan perut. Mata capung sangat besar dibandingkan dengan kepalanya. Dan perutnya kecil dan panjang.
EMBELAN(Anal apendages)
Embelan pada capung betina berfungsi sebagai ovipositor. Ovipositor adalah organ yang dimiliki serangga untuk meletakkan telurnya. Bentuknya seperti katup dan tumpul. Saat kopulasi, embelan betina akan menempel pada genital sekunder jantan.
BETINA
KEPALA
Terdiri dari mata, dahi, mulut, dan antena. Mata capung mendominasi seluruh kepalanya dengan 30.000 mata majemuk (ommatidia) dan sudut pandangnya bisa mencapai 360 derajat. Lebih dari 80% otak capung digunakan untuk menganalisis informasi visual yang ditangkap mata.
PROTORAKS (DADA DEPAN) SINTORAKS (DADA)
SAYAP
Capung memiliki empat sayap transparan yang melekat pada dada dengan otot yang terpisah. Setiap sayap bisa bergerak sendiri-sendiri. Hal ini membuat capung bisa terbang mundur dan berputar dengan cepat.
EMBELAN(Anal apendages)
Capung jantan dan betina memiliki embelan. Embelan jantan berbentuk seperti capit. Selain sebagai penanda jenis kelamin, embelan juga berfungsi membantu proses kopulasi (kawin). Saat terbang tandem, embelan jantan mencengkeram leher capung betina.
KAKI
Enam kaki capung jarang digunakan untuk berjalan. Tiga pasang kaki yang panjangnya berbeda ini berfungsi untuk menangkap mangsa dan bertengger baik saat beristirahat atau bertelur.
RUAS ABDOMEN
GENITAL SEKUNDER
Bagian yang tampak menonjol ini hanya dimiliki oleh capung jantan.
JANTAN
62 63
Anisoptera
Perbedaan Anisoptera dan Zygoptera
Dua sub ordo Odonata dapat dibedakan dari bentuk tubuh, mata, sayap, dan perilaku terbang.
KEPALA
PROTORAKS
SINTORAKS
EMBELAN
RUAS ABDOMEN
12
3
4
5
6
7
8
9
10
MATA
Bentuk mata capung Anisoptera terlihat menyatu dibandingkan Zygoptera yang terpisah.
SAYAP
Ukuran sayap Anisoptera antara depan dan belakang berbeda. Biasanya sayap belakang lebih besar. Sementara sayap Zygoptera relatif sama ukurannya. Saat hinggap, sayap Anisoptera terentang atau terbuka sementara Zygoptera dilipat atau menutup. Perilaku terbang Anisoptera cenderung cepat dan wilayah jelajahnya lebih luas, kebalikan dengan Zygoptera yang terbang pelan dan sempit wilayah jelajahnya.
KEPALA
PROTORAKS
SINTORAKS
SAYAP
RUAS ABDOMEN
EMBELAN
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Zygoptera
Anisoptera Zygoptera
MATA MAJEMUK
ANTENA
DAHI
OCELLI
MULUT
64 65
KOPULASIPertemuan alat kelamin jantan dan betina pada
hewan disebut kopulasi.
TANDEMPosisi saat capung jantan mengaitkan embelannya
pada leher betina disebut tandem. Posisi tandem
dilakukan saat capung akan kopulasi dan meletakkan telur.
TELURTelur diletakkan di benda-benda yang ada di dalam air. Setelah menetas menjadi larva yang disebut nimfa.
AIR
Ilustrasi oleh Elde N. Respatika Oscilata
MOLTINGNimfa yang sudah tua (mature) akan
merangkak keluar dari air.Capung yang telah sempurna akan merobek kulit nimfa
dan keluar. Proses ini disebut molting.
NIMFAMasa terpanjang dalam siklus hidup capung
berada pada fase nimfa. Kemampuan bertahan nimfa pada berbagai jenis kualitas perairan
menjadikan capung bisa menjadi bioindikator pencemaran air.
CAPUNG DEWASASetelah keluar dari nimfa,
capung butuh waktu beberapa jam untuk mengeraskan organ
tubuhnya sampai kuat untuk terbang.
Siklus Hidup Capung
66 67
Kopulasi capung Pseudagrion pilidorsum deflexum
Posisi tandem Pseudagrion calosomum
Molting Anax sp
Cangkang nimfa Anax sp yang banyak ditemukan di telaga Ananjaki
68 69
Aliran sungai sebelum mencapai air terjun Kanabuwai.
70 71
JENIS-JENIS CAPUNG MANUPEU TANAH DARU DAN LAIWANGI WANGGAMETI
E Jenis Endemik Sumba
Neurothemis ramburi
72 73
Pseudagrion pilidorsum deflexum
ZygopteraSUBORDO
74 75
CHLOROCYPHIDAE
Libellago naiasLieftinck, 1932
Capung sangat cantik dengan ukuran kecil ini merupakan jenis endemik NTT. Panjang abdomen jenis ini sekitar 14-16 mm dengan panjang sayap 15-18 mm. Spot kecil di bagian ujung sayapnya menjadi penanda bagi jenis ini Mata bagian atas pejantan berwarna abu-abu kebiruan, dengan dahi berwarna biru. Terdapat garis hitam cokelat di bagian toraks, dengan
bagian samping berwarna biru muda bergaris hitam. Bagian perut jantan ber-warna kemerahan cerah mulai ruas pertama sampai kesepuluh, tiap ruasnya
memiliki garis hitam tipis. Capung betina memiliki ukuran sedikit lebih kecil dari pejantan, dengan warna dominan kecokelatan dan variasi spot hitam cokelat di bagian toraks dan perutnya.
CHLOROCYPHIDAE
Rhinocypha sumbana Foerster, 1897
Merupakan salah satu jenis capung dengan ukuran lebih pendek dari capung jarum lainnya. Perut berbentuk bulat dengan warna merah menyala pada pejantan dan kekuningan untuk betina. Mata berwarna hitam kecokelatan, dengan bagian atas toraks berwarna hitam sedangkan bagian bawahnya berwarna merah, dan antehumeral berwarna
kuning pucat. Keseluruhan tubuh betina berwarna cokelat kekuningan dengan variasi garis hitam. Habitat capung ini diperairan yang mengalir
dan berbatu, baik berupa sungai ataupun parit. Dapat dijumpai pula di kolam telaga pegunungan dengan vegetasi rapat.
E
76 77
EUPHAEIDAE
Euphaea lara lara
Capung ini memiliki kepak sayap yang indah dan relatif mudah dijumpai karena jumlahnya cukup melimpah. Pejantan penuh dengan warna oranye. Seluruh sayapnya berwarna
Krüger, 1898
oranye dan memiliki toraks berwarna oranye dengan variasi garis hitam. Mata berwarna kehitaman, mulut putih kebiruan seturut berjalannya dewasa. Perut, mulai ruas ketiga sampai
Jantan
ruas terakhir berwarna kehitaman. Sedangkan betina berwarna cokelat kekuningan muda pucat. Perut berwarna hitam dan toraks cokelat kekuningan pucat dengan variasi garis hitam. Mata berwarna hitam dan mulut berwarna putih. Sayap betina tanpa warna. Habitat perairan capung jenis ini antara lain sungai, selokan, kolam, telaga, yang pada umunya bervegetasi.
Betina
E
78 79
LESTIDAE
Indolestes bellax Lieftinck, 1930
Capung jenis ini memiliki sosok tubuh berwarna biru. Mulut berwarna biru, mata biru kehitaman, toraks biru hitam sampai dengan perut ruas kedua. Setelah itu perut
berwarna hitam bagian atas dan memutih bagian bawah. Anal apendages panjang menyerupai jarum. Habitat jenis ini di perairan dengan kanopi rapat dengan vegetasi
beragam baik di sungai maupun parit. Capung ini sensitif terhadap perubahan lingkungan dan sulit untuk dijumpai.
E
LESTIDAE
Lestes concinnus
Spesies Lestes concinnus ini akan sering di jumpai jauh dari sumber air, lahan terbuka dan kawasan tandus. Jarang terlihat dan tidak tampak kontras, kemunculannya tidak setiap waktu musim. Capung jarum jenis ini saat bertengger akan terlihat sayap lebih sering terbuka. Habitatnya juga biasanya
Hagen, 1862
di kawasan udara kering dengan banyak tanaman-tanaman batang kering, di atas tanah lumpur coklat kering. Jantan berwarna lebih cokelat terang. Sedang betinanya lebih tampak pucat. Capung jarum ini mempunyai bentuk abdomen yang cukup panjang.
Foto oleh Heri Andri
80 81
COENAGRIONIDAE
Agriocnemis femina
Spesies ini tergolong capung terkecil, yang mempunyai banyak variasi warna berdasarkan tingkat kedewasaannya. Jantan muda berwarna hijau dan hitam dengan noktah oranye pada dua ruas terakhir. Pada jantan yang lebih tua noktah oranye hilang dan ada serbuk
Brauer, 1868
putih pada toraksnya. Pada jantan, anal apendages bagian bawah sedikit panjang. Betina muda berwarna merah terang pada toraks dan perutnya sedang betina yang sudah dewasa berwarna hijau
kekuningan dengan corak cokelat tua. Habitat capung ini ada di area berumput pada kolam, rawa dan persawahan.
COENAGRIONIDAE
Agriocnemis pygmaea Rambur, 1842
Sering keliru diidentifikasi sebagai A. femina karena mempunyai ukuran, warna dan corak yang hampir sama. Jantan mempunyai toraks berwarna hijau dengan garis hitam. Pada dua ruas
terakhir terdapat corak berwarna oranye. Pada jantan, anal apendages bagian bawah pendek. Sedang betina berwarna hijau muda dengan garis hitam pada bagian atas toraks. Abdomen berwarna
hijau dengan garis hitam sepanjang abdomen. Spesies ini sering ditemui di area berumput dekat kolam, sawah, maupun rawa.
Jantan
Betina
82 83
COENAGRIONIDAE
Ischnura senegalensis
Jantan mempunyai mata dan toraks berwarna hijau kebiruan. Perut warna hitam bagian atas dan kekuningan bagian samping bawah. Ciri khas dari spesies ini ada pada warna biru di ruas ke-9.
Rambur, 1842
Sedang betina memiliki dua warna berbeda yaitu oranye dan kuning kehijauan seturut tingkat kedewasaan. Spesies ini dapat ditemukan di kolam-kolam lahan basah dengan air mengalir ataupun rawa dan kolam.
Posisi kopulasi capung dengan pejantan berada di atas.
84 85
Betina
Jantan
COENAGRIONIDAE
Pseudagrion calosomum Lieftinck, 1936
Capung jarum dengan kemiripan warna dan ukuran seperti ini cukup banyak. Sehingga cukup membingungkan kalau tidak cermat. Pseudagrion calosomum menjadi berbeda dengan Pseudagrion yang lain karena habitat ada di perairan mengalir berbatu dengan kanopi rapat, teduh dan vegetasi ragam. Sifatnya soliter, cukup agresif dan mempunyai kemampuan terbang cukup jauh. Individu sedikit dijumpai. Warna biru mulai mata, toraks dan perut ruas ke 1 – 2 dan ruas 8 – 9 –dan
10 (ada sedikit spot hitam bagian atas) juga biru. Selebihnya perut warna hitam. Secara umum sama dengan capung Pseudagrion lain, hanya bedanya di toraks garis antehumeral lebih luas (bidang warna biru di toraks). Di samping itu habitat dan sifat kebiasaan juga berbeda. Sedang untuk betina, warna biru dengan sedikit hijau variasi hitam ada di mata, toraks dan perut. Ruas perut 9 – 10 ada sedikit warna biru.
Tandem
86 87
COENAGRIONIDAE
Pseudagrion microcephalum
Kepala berwarna biru, mata berwarna biru dengan garis hitam pada bagian atas. Keseluruhan tubuh dominan berwarna biru dengan garis hitam di bagian lateral thoraks; Kaki hitam dan sayap transparan dengan pterosigma berwarna hitam kecoklatan di ujung sayap. Pola venasi berwarna hitam. Bagian abdomen ruas kesatu bagian atas berbatas dengan ruas kedua ada noktah sedikit hitam. Capung betina, warnanya lebih muda dibandingkan dengan capung jantan. Kebiasaan aktif pada pagi dan siang hari, banyak dijumpai ditempat-tempat perairan terbuka dengan tanaman air dan intensitas sinar tinggi, terbang dengan kecepatan rendah di antara rumpun-rumpun tanaman air dan hinggap diantara batang tanaman air dan di ujung daun. Bukan jenis capung jarum yang soliter, karena akan dijumpai bersama individu-individu lain.
Rambur, 1842
Habitat dan distribusinya tersebar sampai di darah dataran rendah sampai dataran tinggi, di sekitar aliran mengalir tenang dan sekitar kolam atau genangan air. Menyenangi dan biasa dijumpai di sekitar habitat yang banyak tanaman air dan rerumputan.
COENAGRIONIDAE
Pseudagrion pilidorsum deflexum
Catatan baru untuk Sumba. Capung dengan mata majemuk merah di bagian atas, oranye di bagian bawah dan moncong. Toraks dan kaki berwarna merah. Perut warna hitam di setiap ruasnya, kecuali ruas 9-10 warna merah. Betina mempunyai mata majemuk hijau muda. Thoraks hijau
Lieftinck, 1936
kekuningan. Perut warna hitam, di ruas satu hijau kekuningan, sedang ujung perutnya di ruas 9 ada noktah putih. Jenis ini umum ditemui di perairan bersih daerah pegunungan sampai perairan hutan dataran rendah dengan aliran berbatu tenang dan rerumputan di sekitar perairan.
88 89
COENAGRIONIDAE
Pseudagrion rubriceps rubriceps
Secara morfologi menyerupai P. microchephalum dengan warna tubuh dominan biru dan hitam serta terdapat garis hitam horisontal yang terletak pada sisi lateral thoraks. Perbedaan dengan P. microchephalum, adalah adanya warna jingga pada bagian kepala dan kaki kuning kecoklatan. Sayap belakang berwarna transparan dengan pola venasi hitam kecoklatan. Capung betina memiliki pola warna yang mirip dengan capung jantan tetapi lebih pudar. Biasanya ditemukan tidak jauh bersama-sama dengan P. microchephalum. Aktif pada pagi dan siang hari, banyak dijumpai di tempat-tempat perairan terbuka dengan tanaman air dan intensitas sinar tinggi, Terbang dengan kecepatan rendah di antara rumpun-rumpun tanaman air dan hinggap di antara batang tanaman air dan di ujung daun.
Selys, 1876
Habitat dan distribusinya tersebar sampai di darah dataran rendah sampai dataran tinggi, di sekitar aliran mengalir tenang dan sekitar kolam atau genangan air. Menyenangi dan biasa dijumpai di sekitar habitat yang banyak tanaman air dan rerumputan.
PLATYCNEMIDIDAE
Copera marginipes
Jantan capung dewasa memiliki toraks berwarna hitam dengan garis-garis kuning. Kaki berwarna kuning terang. Abdomen hitam dan putih pada dua ruas terakhir hingga
Rambur, 1842
embelan. Betina dewasa sama seperti jantan. Betina yang masih muda seluruh tubuhnya berwarna putih. Fase ini biasa disebut ‘fase hantu’, karena warna putih sedikit cokelat muda jadi
susah teramati. Habitat capung ini ada di sungai, parit mengalir tenang, rawa dan kolam-kolam yang teduh.
Jantan
Betina
90 91
PLATYSTICTIDAE
Drepanosticta berlandi Lieftinck, 1939
Catatan baru untuk data Sumba dan dicatat sebagai capung endemik pulau Sumbawa. Dibantu terident oleh Rory Dow, capung yang habitatnya di kawasan hutan yang masih baik, dengan kelembaban tinggi, vegetasi basah, dan kanopi rapat. Warna yang
hitam gelap mulai dari mata, toraks sampai perut menyulitkan untuk mudah menjumpai capung ini. Kebiasaan bertengger di balik daun atau tanaman yang jauh dari intensitas cahaya. Jantan di bagian ruas perut ke sembilan ada spot warna biru muda,
Jantan
toraks ada satu bidang putih dan mulut warna putih. Pangkal kaki putih, seturut kebawah sedikit cokelat. Sedang betina, hampir sama dengan jantan hanya keseluruhan perut berwarna hitam, dengan sedikit warna putih kebiruan di setiap garis ruas perutnya.
Capung ini termasuk sangat sensitif terhadap perubahan lingkugan. Sangat jarang dijumpai, dan dapat dijadikan salah satu jenis yang dipakai untuk pemantauan kesehatan kawasan.
Betina
92 93
PROTONEURIDAE
Nososticta diadesma
Merupakan capung endemik Sumba. Pejantan memiliki toraks berwarna biru hijau, mata berwarna hitam. Pada bagian atas perut ruas pertama dan kedua terdapat spot biru
Lieftinck, 1936
ungu. Ruas ke-3 s.d. ke-7, berwarna hitam sedangkan ruas ke-8 s.d. ke-10 berwarna biru ungu dibagian atasnya. Selebihnya ruas perut berwarna hitam.
E
Capung ini cukup sulit dijumpai. Perairan dengan kanopi rapat dan beragam vegetasi merupakan habitatnya. Capung jenis ini juga sensitif terhadap perubahan lingkungan.
94 95
PROTONEURIDAE
Nososticta selysi
Warna oranye cerah sangat menonjol di bagian toraks dan sintoraks, serta ruas ke-8 s.d. ke-10 bagian perut (digunakan untuk mencermati jenis ini). Di setiap batas ruas perut
(Foerster, 1896)
terdapat garis oranye. Warna oranye juga tampak sangat jelas di bagian dahi. Sayap transparan, pterostigma hitam jelas dan kaki hitam. Perairan sungai dengan kondisi masih baik
Jantan
dengan beragam vegetasi dan kanopi sedikit terbuka merupakan habitat capung ini. Perjumpaan individu masih cukup banyak.
Betina
96 97
Paragomphus tachyerges
AnisopteraSUBORDO
98 99
AESHNIDAE
Anax sp.
Capung ini berukuran cukup besar. Temuan di Sumba ini belum bisa dipastikan antara Anax gibbosulus atau Anax guttatus. Sedang catatan data Sumba tidak tercantum
Lieftinck, 1964
Anax guttatus (Buku Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku). Dada berwarna hijau, cerah untuk jantan. Sebagian besar perut coklat kehitaman dengan sedikit pucat dan keseluruhan ruas ada band kuning. Di ruas satu dan dua bagian atas perut berwarna biru.
Sayap transparan dan besar, menghabiskan sebagian besar waktu untuk terbang dan mencari mangsa. Habitat di perairan terbuka baik sungai atau telaga danau dengan vegetasi tegakan dan semak di sekitarnya.
GOMPHIDAE
Burmagomphus williamsoni austrosundanumLieftinck, 1964
Capung endemik Sumba ini dapat dijumpai di perairan sungai berbatu mengalir deras. Seluruh dadanya berwarna hijau bergaris hitam. Bagian perut hitam dengan cincin
hijau sebagai batas setiap ruasnya. Capung ini tergolong jenis yang susah dan jarang ditemukan. Sifatnya yang sensitif membuatnya hanya mendiami habitat
yang cukup terlindungi. Penyebaran umum di beberapa wilayah, sementara jenis sub species ini berada di Sumba.
E
100 101
GOMPHIDAE
Paragomphus tachyerges
Capung ini endemik Sumba; Individu masih banyak ditemui di sekitar perairan sungai mengalir berbatu, baik sungai besar ataupun perairan kecil. Mata hijau cerah, toraks
Lieftinck, 1934
variasi bidang antara hitam dan kuning. Perut sepanjang ruas berwarna hitam dengan variasi spot kuning di tiap ruasnya. Pada jantan anal apendages bagian atas berbentuk mata
pancing, dan pada ruas ke 8 s.d. ke 9 ada embelan mirip sayap dibagian kiri-kanannya. Motif antara jantan dan betina kurang lebih sama. Habitat perairan mengalir dengan di sekitar masih kaya ragam vegetasi, penyebaran baik di pegunungan maupun di perairan dataran rendah.
ECORDULIIDAE
Hemicordulia chrysochlora Lieftinck, 1953
Capung endemik Sumba ini pertama kali dipublikasikan pada tahun 1953 oleh ahli capung Belanda bernama Lieftinck. Seluruh tubuhnya berwarna hijau gelap metalik,
dengan mata sedikit hitam kecokelatan. Habitat di sekitar perairan yang masih baik dengan kanopi vegetasi yang rapat, dan intensitas cahaya sedang. Warna
tubuh antara jantan dan betina tidak begitu berbeda. Jenis ini sensitif terhadap perubahan lingkungan.
E
102 103
CORDULIIDAE
Idionyx orchestra
Capung dengan mata hijau kecokelatan dan dewasa hijau penuh. Sosoknya ramping, hitam kecokelatan dengan bidang hijau logam dan kuning di toraks. Perut gelap, sedikit kuning dibagian bawahnya. Habitat di perairan sungai pegunungan berbatu, vegetasi rapat dengan intensitas cahaya teduh. Sensitif terhadap perubahan lingkungan.
Lieftinck, 1953E
Jantan
Betina
LIBELLULIDAE
Acisoma panorpoides Rambur, 1842
Merupakan salah satu capung yang tergolong berukuran kecil. Lima ruas pertama dari perut melebar. Kemudian mengecil dari ruas keenam dan seterusnya seperti tabung terompet. Jantan mencolok dengan mata biru cerah, warna biru dan hitam di dada dan perut. Dua ruas perut terakhir berwarna hitam sedangkan pelengkap anal
berwarna putih. Jantan yang baru moulting akan berwarna kuning hijau seperti betina dewasa dan saatnya menuju dewasa perubahan warna dari kuning ke biru. Habitat di perairan tenang dengan banyak vegetasi tanaman air dan ruang terbuka, seperti danau, telaga atau kolam.
104 105
LIBELLULIDAE
Agrionoptera insignis insignis Rambur, 1842
Capung dengan ukuran sedang, dengan perut ramping berwarna merah. Ujung abdomen berwarna hitam mulai ruas ke-8 s.d. ke-10. Kepala dan dada berwarna hijau terang. Sayapnya relatif panjang. Mata berwarna kuning dan coklat bagian atas. Dada berbintik-bintik kekuningan tidak teratur. Saat dewasa dada akan berubah warna menjadi gelap abu-abu.
Jantan
Perut tipis dan sebagian banyak berwarna merah bagian atas. Sedang betina, perut sama bentuknya tapi sedikit lebih tebal dan kusam warnanya. Habitat di kawasan hutan dataran rendah, dekat dengan perairan tenang dan teduh.
LIBELLULIDAE
Brachythemis contaminata Fabricius, 1793
Capung berukuran sedang dengan keseluruhan tubuhnya berwarna orange dan sayap orange terang untuk jantan dan kuning pucat untuk betina. Tersebar luas di habitat terbuka, kolam, danau
dan sungai aliran tenang. Capung ini toleran terhadap gangguan, sehingga mudah untuk dijumpai.
106 107
LIBELLULIDAE
Crocothemis servilia
Capung berwarna merah dengan garis hitam membujur di perut bagian atas ini sangat umum dan luas penyebarannya, di seluruh daratan tropis dan subtropis. Betina berwarna kuning kecokelatan. Akan dijumpai di bentuk habitat apapun, mulai sungai, kolam, danau, selokan, persawahan dari dataran rendah sampai di perairan gunung.
Drury, 1773
LIBELLULIDAE
Diplacodes trivialis Rambur, 1842
Capung yang tergolong kecil dalam ukuran, dengan warna biru seluruh badannya dan untuk betina berwarna kuning kehijauan dengan perut mulai ruas ke-8 berwarna hitam. Menyukai beraktifitas dan bertengger di atas permukaan tanah dan rerumputan. Intensitas terbang rendah. Akan mudah dijumpai di ruang terbuka yang banyak ditumbuhi rerumputan atau tanaman.
Jantan
Betina
108 109
LIBELLULIDAE
Lathrecista asiatica asiatica Hampir sama dengan Agrionoptera insignis insignis, jantan akan dikenali oleh perutnya yang lurus tipis dan sepenuhnya merah, kecuali untuk dua ruas terakhir yang hitam. Dada berwarna coklat dengan garis-garis kuning gelap, terutama di bagian sisi. Saat dewasa warna dada berubah menjadi abu-abu. Sedang betina memiliki perut merah kecoklatan dan lebih tebal daripada jantan. Ada garis kuning di atas dada melalui perut dan secara bertahap menyempit menjadi garis ke arah ujung. Habitat capung ini ada di sekitar rawa-rawa dan berkembang di kolam hutan dataran rendah yang teduh.
Fabricius, 1798
Jantan
Betina
LIBELLULIDAE
Nesoxenia lineata Selys, 1879
Perjumpaan dengan jenis ini hanya betinanya saja. Tidak banyak catatan, hanya catatan menurut buku Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku untuk jenis capung ini tidak disebutkan penyebarannya ada di pulau Sumba. Sekilas akan mirip dengan Agrionoptera insignis, tetapi akan terlihat berbeda di bagian pola garis toraksnya; Baik jantan ataupun betinanya.
Betina
Capung ukuran sedang ini ruang hidupnya menyukai kawasan hutan dataran rendah, dekat dengan perairan mengalir tenang dan teduh.
110 111
LIBELLULIDAE
Neurothemis ramburii Brauer, 1866
Mata bagian atas merah kecokelatan dan di bagian bawah abu-abu kehijauan dengan sedikit bintik hitam. Abdomen dan toraks merah gelap. Sisi atas dan samping ruas-ruas perut
terdapat garis kehitaman. Kedua sayap merah matang kecokelatan. Sedang tubuh betina berwarna kuning kecokelatan. Mata cokelat di bagian atas dan abu-abu kehijauan dibagian bawah.
Di sisi atas dan samping perut terdapat garis hitam. Warna sayap capung betina transparan saat muda dan menuju dewasa akan cokelat kekuningan. Habitat dapat ditemukan di perairan tenang yang banyak tanaman air, kolam taman atau tepi sungai, maupun area persawahan mulai dataran tinggi - dataran rendah.
Jantan
Betina
LIBELLULIDAE
Neurothemis ramburii martini
Neurothemis ramburii martini adalah subspesies dari Neurothemis ramburii. Hanya saja sub species ini peredarannya di sekitar Nusa Tenggara Timur tidak sampai ke Sunda Besar dan
Krueger, 1903
Peninsular Malaysia. Separuh dari sayap capung jantan berwarna merah. Mata, toraks dan keseluruhan perut berwarna merah matang. Sedang capung betinanya berwarna
kecokelatan. Habitat di segala perairan baik sungai, kolam, telaga dengan ruang terbuka dan masih banyak vegetasi disekitarnya.
Jantan
Betina
112 113
LIBELLULIDAE
Neurothemis terminata Ris, 1911
Capung marga Neurothemis memang hampir mirip antara species satu dengan yang lain; Untuk N. terminata memiliki ciri warna merah gelap pada mata, toraks, sayap dan perutnya. Pada
sayap, warna merah hampir memenuhi keseluruhan dua pasang sayap, sampai melebihi pterostigma. Habitatnya danau, kolam, perairan tenang, area persawahan dan rawa-rawa.
LIBELLULIDAE
Orthetrum austrosundanum
Capung ini endemik Sumba; Cukup umum ada di perairan sungai berbatu yang sekitarnya masih banyak vegatasi. Mata warna biru tosca, sedikit kehitaman seturut dengan menuju dewasa. Toraks kuning kecokelatan dengan
Lieftinck, 1953
bidang garis hitam dan perut cokelat hitam dengan serbuk abu-abu di sekitar ruas perut ke 1 s.d 4. Sedang betina dari capung ini secara umum tubuhnya cokelat tua-muda, dan mata kebiruan hampir sama dengan jantan.
E
114 115
LIBELLULIDAE
Orthetrum glaucum Brauer, 1865
Mata jantan berwarna biru kehijauan, toraksnya biru tua, dan perutnya biru muda. Pada dua ruas terakhir abdomen berwarna gelap. Sedang betina berwarna cokelat
kekuningan dengan mata biru keabu-abuan. Habitat capung ini mudah ditemukan tidak jauh dari perairan berbatu mengalir deras.
LIBELLULIDAE
Orthetrum sabina
Mata berwarna hijau pucat. Toraks mempunyai pola hijau kekuningan. Embelan berwarna putih. Jantan dan betina mempunyai warna dan bentuk tubuh yang sama. Spesies ini umum dijumpai pada berbagai macam
Drury, 1773
habitat. Sifat soliter, dan mampu berkembang di berbagi karakter lingkungan perairan.
Jantan
Kopulasi
116 117
LIBELLULIDAE
Orthetrum testaceum soembanumForster, 1903
Jantan mempunya mata berwarna abu-abu kecokelatan, toraks merah jingga gelap, dan abdomen merah.
Terdapat corak berwarna oranye pada pangkal sayap depannya.
Betina berwarna cokelat kekuningan, sayap tidak berwarna. Capung ini
merupakan sub species Orthetrum testaceum dari yang ada di Sunda besar. Dapat dijumpai di perairan
mengalir sungai, selokan dan persawahan.
Jantan
Saat capung betina meletakkan telurnya di air, pejantan menjaga dengan terbang di atasnya.
LIBELLULIDAE
Pantala flavescens
Mata jantan berwarna cokelat kemerahan di bagian atas dan abu-abu terang di bagian bawah. Toraks berwarna oranye dan abdomen berwarna cokelat-oranye. Warna tubuh betina adalah kuning muda. Ukuran sayap belakang lebar baik pada jantan maupun betina. Capung ini merupakan jenis yang mampu
Fabricius, 1798
melakukan migrasi dan kerap terlihat berkelompok dalam jumlah ratusan individu. Seringkali terbang jauh dari perairan dan area persawahan atau ladang. Capung ini hidup pada berbagai karakter habitat, dan memiliki kebiasaan meletakkan telurnya pada air yang tidak mengalir atau mengalir tenang.
Foto oleh Agus Hong
Jantan
118 119
LIBELLULIDAE
Potamarcha congener Rambur, 1842
Capung jantan mempunyai mata cokelat kemerahan. Toraks dan perut pada ruas ke-1 s.d. ke-4 berwarna biru abu-abu dengan ditutupi serbuk putih. Ruas ke-5 dan seterusnya berwarna
cokelat dengan corak warna oranye. Ruas ke-9 s.d. ke-10 berwarna hitam. Sedang toraks betina bercorak kuning-hitam. Perutnya berwarna hitam dengan corak oranye pucat, bentuknya sedikit pipih
dan dua ruas terakhir ada embel sayap kecil disamping kiri kanannya. Spesies ini sering ditemui di berbagai tipe habitat. Mempunyai kebiasaan bertengger di media yang keras (kayu, ranting, bambu).
LIBELLULIDAE
Rhodothemis rufa
Capung jantan memiliki mata, toraks dan abdomen berwarna merah. Baik Jantan atau betina terdapat garis putih pucat sepanjang toraks dan perut bagian atas. Jantan sering dijumpai hinggap pada daun yang permukaannya datar. Jantan yang belum dewasa mempunyai corak dan warna yang sama dengan betina.
Rambur, 1842
Capung ini berkembang biak pada kolam dan rawa yang berumput serta danau dengan banyak tanaman air.
Jantan
Betina
120 121
LIBELLULIDAE
Rhyothemis phyllis ixias Lieftinck, 1953
Capung berukuran sedang; Yang sebarannya di pulau Sumba merupakan sub species dari Rhyothemis phyllis. Jantan memiliki mata majemuk merah tua di bagian atas serta kuning kecokelatan pada bagian bawah. Toraks hitam keemasan sampai hijau metalik. Abdomen hitam. Sayap depan transparan dengan ujung hitam dan sedikit warna hitam di bagian tengah. Sayap belakang memiliki corak yang khas, transparan dengan pangkal hitam-kuning-hitam dan venasi kuning. Betina sangat mirip dengan jantan, biasanya abdomen lebih gemuk. Ruang terbuka dengan cahaya kuat di dataran rendah merupakan tempat yang disukai. Kebiasaan sangat menyukai sinar matahari. Intensitas terbang sangat aktif, mampu sepanjang hari.
Adakalanya terbang berkerumun. Kemampuan terbang capung jenis ini
sekaligus digunakan untuk mencari mangsa dengan menyambar.
Jantan
Betina
LIBELLULIDAE
Rhyothemis regia thisbe Lieftinck, 1953
Sulit dijumpai, capung jenis ini mempunyai kemampuan terbang cukup tinggi. Mata berwarna cokelat kebiruan dan toraks sampai perut berwarna biru tua. Sayap
cukup lebar, lebih dari capung pada umumnya, dengan corak spot biru tua cerah mewarnai hampir keseluruhan dua pasang sayapnya. Capung yang sangat indah saat terbang
maupun hinggap. Habitat di ruang terbuka rawa, telaga danau, atau di sekitar perairan tenang dataran rendah.
122 123
LIBELLULIDAE
Tetrathemis irregularis hyalina
Capung ini berukuran kecil. Mempunyai mata hijau metalik, toraks hitam dengan garis-garis kuning, perut hitam dengan sedikit titik-titik kuning. Capung ini biasanya hinggap di vegetasi teduh. Habitat capung ini ada di sungai beraliran lamban yang dekat dengan area hutan atau vegetasi rapat.
Brauer, 1868
Jantan
Betina
LIBELLULIDAE
Tholymis tillarga Fabricius, 1798
Mata capung jantan berwarna oranye di bagian atas dan kuning kehijauan di bagian bawah. Toraks dan perut berwarna oranye. Jantan mudah dikenali dari corak warna cokelat dan
semburat putih pada sayap bagian belakang. Betina berwarna cokelat muda dan sayapnya tidak bercorak. Jantan yang belum dewasa terlihat seperti betina. Capung ini merupakan
spesies crepuscular. Pada sore hari, sering terlihat terbang di atas permukaan air. Habitatnya di kolam dan perairan tenang dengan ruang terbuka.
124 125
LIBELLULIDAE
Tramea eurybia eurybiaSelys, 1878
Untuk capung marga Tramea ini memang banyak kemiripan antar species satu dengan yang lain. Capung jantan yang sangat khas di anal apendages, meruncing cukup panjang warna merah tua kehitaman dam mata kepala merah
kecokelatan. Sedang toraks merah muda sedikit cokelat dan sepanjang ruas perut warna merah dengan spot hitam di ruas 8-9-10 bagian atasnya. Sayap belakang ada spot merah tegas di pangkal. Yang polanya bisa untuk bedakan antar
beberapa marga Tramea. Capung ini menurut Rory Dow teridentifikasi Tramea eurybia eurybia (Selys, 1878), habitat di perairan rawa-rawa, danau telaga dengan kawasan terbuka.
LIBELLULIDAE
Trithemis aurora
Jantan mempunyai mata berwarna merah. Toraks dan abdomen berwarna merah muda magenta dan mengkilat. Pada pangkal sayap depan terdapat corak berwarna kuning tua. Sayap berwarna merah muda. Betina berwarna cokelat muda dan warna kuning
Burmeister, 1839
pada pangkal sayap bagian belakang. Jantan yang belum dewasa sama seperti betina namun dengan sayap yang tidak bercorak. Spesies ini dapat ditemui di pinggir danau, rawa-telaga atau kolam yang luas juga sekitar sungai terbuka.
Jantan
Capung betina ini akan segera meletakkan telurnya dan pejantan selalu menjaga dari atas.
126 127
LIBELLULIDAE
Trithemis festivaRambur, 1842
Capung ini ukuran sedang, mata berwarna cokelat tua dan biru tua. Seluruh toraks warna biru tua. Perut berwarna sedikit kehitaman dengan corak cokelat kekuningan. Betina berwarna kuning kecokelatan pada toraks dan tiap ruas perut ada garis hitam. Dapat dijumpai di sungai yang berbatu mengalir deras atau selokan berbatu dengan vegetasi ragam disekitarnya.
Jantan
LIBELLULIDAE
Trithemis lilacina
Capung dengan warna indah ini tersebar luas di kawasan Nusa Tenggara pada umumnya. Jantan dengan toraks warna merah mawar, mata dan perut juga berwarna merah terang. Di ruas perut ke 8-9-10 spot hitam pada jantan, kaki hitam. Sedang betina lebih ke warna kuning kecokelatan, dengan variasi bidang hitam baik di toraks ataupun seluruh perutnya. Habitat di perairan sungai atau perairan kecil mulai dataran tinggi sampai dataran rendah.
Forster, 1899
Jantan
128 129
LIBELLULIDAE
Zygonyx ida
Mata berwarna cokelat tua keabu-abuan. Toraks berwarna hijau keemasan tua metalik. Abdomen cokelat tua metalik. Pada ruas perut ada cincin berwarna kuning. Betina mempunyai warna yang
Selys, 1869
Proses tandem, kopulasi, dan meletakkan telur di sungai
Kanabuwai yang airnya masih jernih dan mengalir cukup deras.
Jantan
hampir sama dengan jantan namun tidak dengan cincin kuning pada abdomen. Habitat capung ini berkembang biak di air sungai berbatu, biasanya di daerah perbukitan dan pegunungan. Beberapa populasi terancam oleh deforestasi, proyek perairan skala besar dan dengan pembangunan, tapi secara
keseluruhan spesies ini belum terancam. Mempunyai kebiasaan meletakkan telur di sekitar aliran jeram perairan. Cukup sensitif terhadap perubahan lingkungan.
LIBELLULIDAE
Zyxzoma obtosun
Capung berukuran sedang. Capung ini memiliki warna dominan putih pada seluruh bagian tubuh kecuali ujung-ujung sayap dan ujung abdomen yang berwarna cokelat gelap. Apabila diamati lebih teliti, mata majemuk berwarna putih kehijauan, ruas abdomen gemuk ruas 1-2, lebih ramping pada ruas ke -3 dan membesar kembali pada ruas 4-10. Betina berwarna cokelat terang. Sayap transparan dengan ujung cokelat. Kebiasaan aktif pada sore hari menjelang petang atau pagi hari sebelum intensitas cahaya matahari kuat/crepuscular. Lebih sering terlihat terbang di atas perairan seperti kolam dan tambak atau selokan dengan perairan yang tenang dan ruang yang teduh. Capung jenis ini sulit terlihat dalam posisi hinggap. Menangkap mangsa dalam aktifitas
Albarda, 1881
Jantan
terbang. Proses kopulasi dilakukan saat terbang. Jantan sering terlihat
terbang di atas betina yang sedang meletakkan telurnya di perairan.
Jantan
Betina
130 131
CATATAN PERJALANAN
Kami mengundang presiden Capung Indonesia Wahyu Sigit Rahadi di saat musim hujan akan berakhir. Saya menyambutnya sebagai alumni peserta Jambore Capung di Rawa Pening yang diselenggarakan Indonesia Dragonfly Society tahun 2014. Komunikasi tetap terjalin sampai kami bisa mengundangnya untuk meneliti capung di Sumba. Sesi pertama kunjungan ke lapangan dilakukan pada bulan Maret 2015 yang targetnya mengitari dataran Laiwangi hingga Wanggameti untuk
observasi awal. Selanjutnya menentukan lokasi yang potensial untuk dijelajahi lagi. Ketika matahari sedang di puncaknya, kami beserta tiga petugas taman nasional menyusuri lekuk aspal menuju desa Billa, yang berjarak 103 km dari kota Waingapu. Terik mentari sejak awal keberangkatan ternyata tidak menjamin hujan tak turun. Untungnya kami telah membungkus semua peralatan di bak belakang mobil dengan terpal. Awan gelap mulai
menutupi sang mentari. Kami melaju seiring gumpalan awan yang semakin pekat. Hujan pun mulai mengguyur di jalan aspal terakhir di Lailara. Embun di depan kaca mobil serta derasnya hujan yang menghalangi pandangan supir memaksa kami singgah di simpang Tarimbang. Bayangan menyesap kopi panas sejak hujan turun segera terwujud, sisa jagung rebus yang kami beli di jalan pun jadi rebutan. Bekal makan siang akhirnya kami santap sambil menanti hujan reda.
Hujan masih cukup deras namun kami tetap melanjutkan perjalanan. Bahkan sampai lokasi menginap di desa Billa pun hujan tak kunjung reda. Setelah benar-benar tak ada air menetes dari langit, kami mulai mencari capung. Namun tidak bisa lama karena matahari mulai tenggelam. Sambil menikmati suasana sore kami menanti gerombolan burung julang sumba melintas. Kebetulan hutan di Billa ini menjadi rumah yang nyaman bagi salah satu burung endemik ini.
Tak salah memang menunggu si burung bersuara helikopter itu, akhirnya sekitar 20 ekor terbang melintas di depan kami. Saya segera mendekati kamera dan merekamnya. Saya menekan tombol rekam karena memang telah bersiap membuat videonya. Meski hanya mendapat rekaman beberapa detik saja tapi cukup penting sebagai catatan pengamatan. Menurut informasi dari media dalam jaringan (online), malam ini bakal terjadi gerhana matahari
menjelang sunset. Sayangnya pemandangan kami dari tempat menginap terhalang bukit. Namun semburat jingga saat pergantian hari sudah cukup menghibur kami. Setelah makan malam pak Wahyu bercerita tentang capung yang telah menjadi perhatian dunia terkait perubahan iklim. Esok harinya kami gagal menyambut mentari pagi di atas bukit. Akhirnya hanya menikmati kabut yang silih berganti menutupi bukit sekitar tenda. Matahari cerah bersinar ketika kabut
Presiden Capung Wahyu Sigit Rahadi berjalan paling depan diikuti Oktovianus Klau, Agus Hong, dan Hasanul Satrio Utomo saat memulai pencarian capung di hutan Wanggameti. Suasana masih sangat hijau karena musim hujan yang belum berakhir.
132 133
mulai terbuka. Setelah kopi pagi tandas kami mulai bergegas, capung-capung sudah mulai beraktivitas. Kami menyusuri sungai yang deras alirannya karena hujan kemarin. Sungai yang melintasi hutan Billa ini hanya mengalir ketika musim hujan dan akan kering di musim kemarau. Ketika kami menyusuri sungai ke arah hulu ternyata aliran airnya terputus. Aliran air dari hulu sungai lenyap di tempat kami berdiri. Namun beberapa puluh meter ke arah hilir mata air besar muncul kembali. Mata air inilah yang dimanfaatkan penduduk desa untuk kebutuhan sehari-hari, sementara sisanya mengalir menjadi sungai melewati desa Billa. Setelah makan
Di depan mulut gua La Iring kami sempatkan diri berfoto bersama. Mulut guanya memang tidak terlihat karena ukurannya sangat kecil dan harus merangkak untuk memasukinya. Perjalanan panjang yang melelahkan terobati dengan temuan capung yang termasuk new record untuk daftar capung di Sumba yaitu Drepanosticta berlandi (Lieftink. 1939).
siang kami melanjutkan perjalanan menuju desa selanjutnya, desa Praingkareha. Desa ini berjarak 3 km di sebelah selatan desa Billa. Danau dan air terjun Laputi adalah tujuan utama kami di desa Praingkareha. Kami memutuskan untuk menginap satu hari di desa ini. Keesokan harinya kami menuju danau Laputi yang berada di bagian atas air terjun. Selesai dengan desa Praingkareha, kami melanjutkan perjalanan menyusuri pantai selatan melewati desa Tawui lalu
menuju desa Tandulajangga. Di daerah ini banyak ditemukan sungai dan danau-danau yang menampung air hujan, dan ketika musim kemarau biasanya mengering. Tipe habitat capung di lokasi ini berbeda dari lokasi sebelumnya yang tutupan hutannya rapat. Danau dan sungai di desa ini cukup terbuka dan dekat dengan pemukiman warga. Kami melakukan 2 hari pengamatan di desa ini. Selanjutnya kami menuju desa Wanggameti yang merupakan daerah yang paling tinggi di pulau
Sumba. Kami menyusuri sungai kecil yang membelah hutan Wanggameti yang sangat rapat kanopinya. Selain di tengah hutan kami juga menyusuri sungai Katikuwai yang berjarak sekitar satu jam perjalanan dari Wanggameti. Sungai Katikuwai merupakan salah satu sungai besar yang alirannya sampai di laut utara pulau Sumba dekat Waingapu, ibu kota kabupaten Sumba Timur. Ekspedisi capung yang pertama dilaksanakan di akhir musim penghujan, meski hujan masih sering turun. Kemudian
Foto kanan: Peralatan dan logistik cukup banyak yang perlu dibawa ke air terjun Kanabuwai, tenaga manusia ternyata masih kurang. Untungnya ada warga yang memiliki kuda yang sudah biasa membawa beban. Kuda Sumba memang terkenal dengan kekuatan dan ketangguhannya. Foto kiri: Paling tidak lima bukit harus kami lewati untuk sampai di kompleks air terjun Kanabuwai. Kami mulai mendaki bukit pertama menjelang matahari tenggelam. Malam membantu kami menjaga harapan untuk bisa sampai di base camp dengan stamina yang hampir tak tersisa. Karena kegelapan menyembunyikan tanjakan yang sebenarnya tak ingin kami hadapi. Gemerisik suara sungai melegakan kami.
134 135
dilanjutkan dengan ekspedisi kedua pada akhir musim kemarau. Kunjungan terakhir ini menyusuri kembali sungai di Wanggameti, Katikuwai, air terjun Laputi, dan danau Laputi. Selain itu kami juga menjelajah lokasi baru yaitu di air terjun Kanabuwai dan gua La Iring di Katikuwai. Dua lokasi terakhir membutuhkan tenaga lebih untuk mencapainya karena jaraknya jauh dan banyaknya perbukitan yang harus dilewati. Untuk mencapai air terjun Kanabuwai kami sampai
harus menggunakan kuda untuk mengangkut logistik dan peralatan lain. Rencana menginap awalnya dua malam saja namun kami tambah semalam lagi. Selain untuk mencari capung, penambahan waktu ini kami manfaatkan untuk memulihkan tenaga, sebelum kami kembali pulang. Perjalanan yang terhitung sangat berat ini seolah terbayarkan dengan pemandangan air terjun Kanabuwai yang bertingkat-tingkat. Terlihat dari jauh air keluar dari dinding batu dan mengalir melewati
Kawasan hutan Praingkareha merupakan salah satu hutan yang sangat penting untuk penampung air. Di dalamnya muncul mata air yang mengalir menuju danau Laputi dan menjadi air terjun di ujung tebing. Penelitian capung ini erat kaitannya dengan pemetaan potensi mata air dan perairan di kawasan taman nasional dan pengembangan potensi sumberdaya alam yang berkelanjutan.
beberapa lereng menjadi air terjun. Airnya begitu segar dan sangat bersih namun kandungan kapurnya sangat tinggi karena kayu yang tersangkut di tengah air terjun menjadi putih dan keras karena pengapuran. Air yang mengalir cukup deras meskipun di musim kemarau. Di atas tebing tempat keluar air terjun dikelilingi hutan yang sangat rapat. Kalau dilihat dari peta memang di atas air terjun Kanabuwai terbentang hutan yang luas dan sebidang padang savana yang disebut padang La
Pahar. Keduanya berfungsi sebagai penampung air hujan. Struktur batuan dan ekosistem di pulau Sumba pada umumnya berupa karst yang mampu menampung air. Air hujan yang terserap tertampung di dalam tanah kemudian mengalir melewati celah-celah karst sampai keluar di tebing. Namun ada juga yang tidak sampai keluar di permukaan. Terkadang terdapat aliran sungai bawah tanah di dalam gua. Di wilayah hutan di desa Katikuwai kami menjelajahi
Kanabuwai lebih tepat disebut kompleks air terjun karena jumlahnya lebih dari delapan air terjun. Tingkat yang paling atas bahkan belum dipastikan jumlahnya karena belum ada yang sampai di atas. Kolam-kolam kecil yang terbentuk juga menambah keunikan air terjun ini.
136 137
sebuah gua yang memiliki air terjun di dalamnya, namanya gua La Iring. Ternyata di dalam gua pun bisa terbentuk air terjun. Yang cukup aneh air dari dalam gua ini tidak mengalir menjadi sungai permukaan, hanya rembesan saja. Gua ini terletak di atas bukit yang terjal dengan mulut yang sempit. Perjuangan menyusuri sungai dan mendaki bukit terjal untuk mencapai gua ini terbayar tuntas dengan ditemukannya jenis capung Drepanosticta berlandi (Lieftink. 1939). Jenis ini merupakan jenis capung yang sangat sensitif terhadap perubahan habitat. Menyukai habitat yang rapat vegetasinya dan perairan yang masih bersih. Setelah dilihat dalam daftar jenis capung di Sumba,
jenis ini ternyata tidak tercantum. Artinya capung ini adalah catatan baru di Sumba. Begitu juga dengan Neurothemis ramburi martini yang merupakan temuan baru. Selama kegiatan kami melakukan pengamatan capung di sekitar wilayah perairan karena seluruh daur hidup capung tak bisa jauh dari air. Capung dewasa yang telah kawin akan meletakkan telurnya di permukaan air ataupun di bawah air. Begitu menetas akan menjadi larva yang disebut nimfa. Nimfa dapat hidup di dalam air selama beberapa bulan hingga bertahun-tahun. Capung menghuni wilayah perairan air tawar seperti sungai, danau, dan genangan. Salah satu kelompok serangga ini sensitif terhadap perubahan lingkungan perairan dan vegetasi. Perubahan keanekaragaman dan kemelimpahan capung di
suatu lokasi merupakan sinyal terbaik untuk mengetahui adanya perubahan kondisi lingkungan. Setiap jenis capung memiliki tingkat sensifitas yang berbeda sehingga bisa digunakan sebagai indikator dalam metode Capung Indikator Lingkungan atau Dragonfly Biotic Index. Namun syarat utamanya harus dikenali terlebih dahulu jenis-jenis yang ada di kawasan. Untuk mengidentifikasi jenis capung kami tidak menangkap dan
“Perubahan keanekaragaman dan kemelimpahan capung di suatu lokasi merupakan sinyal terbaik untuk mengetahui adanya perubahan kondisi lingkungan. “
mengawetkannya, namun menggunakan media fotografi. Kami memotret setiap jenis yang ditemui kemudian mencocokkan dengan buku-buku referensi dan bertanya pada para ahli capung. Beberapa kunci identifikasi harus terpotret dengan baik antara lain di bagian genitalia sekunder, embelan, abdomen, dan sayap. Secara teknis fotografi yang harus diperhatikan antara lain fokus, ruang tajam (depth of field), pencahayaan, warna, dan sudut bidik (angle). Capung yang dalam
Danau Laputi dikeramatkan masyarakat karena dihuni oleh “apu” yang dipercaya se-bagai nenek moyang mereka. Namun banyak pengunjung yang datang untuk menyaksi-kan sendiri keberadaan belut sang “apu”.
bahasa Sumba disebut punda ini meskipun kecil tapi bisa memberikan pengetahuan baru tentang keanekaragaman hayati. Bagi pengelola penerbitan buku ini bisa dijadikan dasar pengelolaan, pemantauan, dan evaluasi wilayah perairan di dalam kawasan taman nasional. (SIMON ONGGO)
138 139
REFERENSI
Abdullah, C., Rampnoux, J.-P., Bellon, H., Maury, R., & Soeria-Atmadja, R. (2000). The evolution of Sumba Island (Indonesia) revisited in the light of new data on the geochronology and geochemistry of the magmatic rocks. Journal of Asian Earth Sciences, 18(5), 533-546. Batzer, D. P., Rader, R. B., & Wissinger, S. A. (1999). Invertebrates in freshwater wetlands of North America: ecology and management: John Wiley & Sons.Blois-Heulin, C., Crowley, P. H., Arrington, M., & Johnson, D. M. (1990). Direct and indirect effects of predators on the dominant invertebrates of two freshwater littoral communities. Oecologia, 84(3), 295-306. Chandler, D. G. (2006). Reversibility of forest conversion impacts on water budgets in tropical karst terrain. Forest Ecology and Management, 224(1), 95-103. Córdoba-Aguilar, A. (2008). Dragonflies & Damselflies: Model Organisms for Ecological and Evolutionary Research. Oxford University Press. New York.Efendi, A. C., & Apandi, T. (1994). Geology of the Waikabubak and Waingapu Sheets, Nusa Tenggara. Bandung, Indonesia: Geological Research and Development Centre.Ford, D., & Williams, P. D. (2013). Karst hydrogeology and geomorphology: John Wiley & Sons.Kalkman, V. 2009. Indolestes bellax. The IUCN Red List of Threatened Species 2009: e.T163863A5661210. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2009-2.RLTS. T163863A5661210.en Kalkman, V. (2009). Paragomphus tachyerges. The IUCN Red List of Threatened Species 2009: e.T163853A5660074. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2009-2. RLTS.T163853A5660074.enKosterin, Oleg E. Odonata briefly observed on the islands of Bali and Lombok, Lesser Sundas, Indonesia, in the late February 2014 1-48. - Volume 74 2014. Journal of the International Dragonfly Fund-ISSN 1435-3393
Lieftinck, M.A. 1953. The Odonata of the island Sumba with a survey of the dragonfly fauna of the Lesser Sunda Islands. – Verhandlungen der naturforschenden Gesell- schaft Basel 64 (1): 118-228.Lieftinck, M.A. 1954. Handlist of Malaysian Odonata. A catalogue of dragonflies of Ma- lay Peninsula, Sumatra, Java and Borneo, including the adjacent small islands. Treubia (suppl.) 22: 1-102.Monk, K., Fretes, D., & Liley, G. (2000). Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku (Vol. Buku V). Jakarta: Prehallindo.Orr, A.G. 2005. Dragonflies of Peninsular Malaysia and Singapore. A pocket guide. Natural History Publications (Borneo) Sdn. Bhd., Kota Kinabalu: 127 pp.Pirazzoli, P., Radtke, U., Hantoro, W., Jouannic, C., Hoang, C., Causse, C., & Best, M. B. (1991). Quaternary raised coral-reef terraces on Sumba Island, Indonesia. Science, 252(5014), 1834-1836. Pirazzoli, P., Radtke, U., Hantoro, W., Jouannic, C., Hoang, C., Causse, C., & Best, M. B. (1993). A one million-year-long sequence of marine terraces on Sumba Island, Indonesia. Marine Geology, 109(3-4), 221-236. Sang, A., & Teder, T. (2011). Dragonflies cause spatial and temporal heterogeneity in habitat quality for butterflies. Insect Conservation and Diversity, 4(4), 257-264. Steinmann, H. (1997). Das Tierreich, Teilband 111: World Catalogue of Odonata Volume II Anisoptera. Walter de Guyter, Berlin. New York.Tang, H.B., L.K. Wang, M. Hämäläinen. 2010. A Photographic Guide of the Dragonflies of Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapore.Tuyet, D. (2001). Characteristics of karst ecosystems of Vietnam and their vulnerability to human impact. Acta Geologica Sinica (English Edition), 75(3), 325-329. Wahyu Sigit Rhd, Bambang Feriwibisono, Magdalena Putri Nugrahani, Bernadeta Putri ID, dan Tabita Makitan. 2013. Naga Terbang Wendit : Keanekaragaman Capung Perairan Wendit, Malang, Jawa Timur; Indonesia Dragonfly Society, ISBN-13: 9786021793909 [paperback]Whitten, A. J., Mustafa, M., & Henderson, G. S. (1987). The Ecology of Sulawesi: Gadja Mada University Press, Yogyakarta.Wittwer, T., Sahlén, G., & Suhling, F. (2010). Does one community shape the other? Dragonflies and fish in Swedish lakes. Insect Conservation and Diversity, 3(2), 124-133.
140 141
PARA PENYUSUN
Wahyu Sigit [email protected]
Wahyu Ids (FB)@wahyu_ids (IG)
Andi [email protected]
Andi Irawan (FB)@banyumega (IG)
Simon Onggo E [email protected]
Simon Onggo (FB)@bocahsawah (IG)
UCAPAN TERIMA KASIH
Buku ini terwujud atas bantuan, kerjasama, dan dukungan dari banyak pihak, maka kami ucapkan terima kasih kepada: Maman Surahman, S.Hut, M.Si selaku kepala Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti; Ir. Hart Lamer Susetyo mantan kepala balai: Tim pengamatan capung yaitu Oktovianus Klau, Sekfamner Samiri Kapitarauw, Hasanul Satrio Utomo, Domingus Nguru, Melkianus Yohanis Damanuna, Awaliah Anjani, Heri Andri, Rimba Bintoro, Dwi Agung Herdiyanto, Titus Hamba Nduku, Eka Yanuar Pribadi, Tommy S.R. Dadi dan Agus Hong; Rory A. Dow, peneliti di Naturalis Biodiversity Center, Leiden yang telah membantu untuk identifikasi beberapa jenis capung; Pungki Soegihanto dari LIPI; Anggota Indonesia Dragonfly Society, Magdalena Putri, Diagal Wisnu, Amelia Nugrahaningrum, Nanang Kamaludin, Annisa Yuniar, Apen Irawan; Elde N. Respatika Oscilata; serta seluruh pegawai Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi Wanggameti.
142 143
No Jenis P Pro
DistribusiLieftink (1949)
Survei Capung Sumba (2015)
Survei Capung Sumba (2018)
Nusa Tenggara Maluku
ZYGOPTERA
Chlorocyphidae
1 Libellago naias N Ntt F, Sm • • •
2 Rhinocypha sumbana Y Ntt Sm • • •
Euphaeidae
3 Euphaea lara lara Y Ntt Sm • • •
4 Euphaea lara lombokensis N Sm
Lestidae
5 Indolestes bellax Y Ntt Sm • • •
6 Lestes concinnus N S, F, Sm • •
7 Lestes praemorsus decipiens N F, Sm, T •
8 Lestes sutteri Y Ntt Sm •
Coenagrionidae
9 Aciagrion fragili N Sm T •
10 Argiocnemis femina N L, S, F, Sm, T K,A,Am,S,Se,Bu,Su,Bc,te,Ha • • •
11 Argiocnemis pygmaea N S, F, Sm D • • •
12 Austroallagma sagittiferum N Ntt, M Sm T •
13 Ceriagrion aurantieum N Sm •
14 Ceriagrion calamineum Y S, Sm, T •
15 Ischnura a. aurora N Sm •
16 Ischnura senegalensis N L, S, Sm, R, T Su • • •
17 Pseudagrion calosomum N Ntb, Ntt S, Sm • • •
18 Pseudagrion microcephalum N F, Sm B,Am,S,Se,Bu,Su • •
19 Pseudagrion pilidorsum deflexum N Ntb, Ntt L, S, F, A, Sa, Sm* • •
20 Pseudagrion rubriceps rubriceps •
21 Xiphiagrion cyanomelas N F, Sm W,A,Am,S,Se,Bu,Su •
Platycnemididae
22 Copera marginipes N S, F, Sm • • •
Platystictidae
23 Drepanosticta berlandi N Ntb, Ntt L, S, Sm • •
Protoneuridae
24 Nososticta diadesma Y Sm • • •
Daftar distribusi Odonata di Sumba. Perbandingan data antara daftar awal distribusi oleh Lieftnick (1949) dan hasil survei capung di Laiwangi dan Wanggameti (2015) serta survei di Manupeu Tanah Daru (2018)
No Jenis P Pro
DistribusiLieftink (1949)
Survei Capung Sumba (2015)
Survei Capung Sumba (2018)
Nusa Tenggara Maluku
25 Nososticta selysi N Ntt Km, F, Sm, Sa, T • • •
ANISOPTERA
Aeshnidae
26 Anaciaeschna jaspidea N L, Sm Ba,Am,S •
27 Anax gibbosulus N L, S, F, Sm, T K,A,Ba,Am,S,Se,O,Bc,Te,Ha • • •
28 Gynacantha arthuri Y Ntt Sm •
29 Gynacantha bayadera N F, Sm, Sa •
30 Gynacantha subinterrupta N L, Sm •
31 Hemianax (Anax) papuensis N Sm •
Gomphidae
32 Burmagomphus williamsoni javicus N Sm •
33 Burmagomphus williamsoni austrosundanum
Y Ntt Sm* • •
34 Paragomphus tachyerges Y Ntt Sm • • •
Corduliidae
35 Hemicordulia chrysochlora Y Ntt Sm • • •
36 Hemicordulia eduardi N Ntt Sm, T •
37 Idionyx orchestra Y Ntt Sm • • •
38 Procordulia sambawana N L, S, F, Sm •
Libellulidae
39 Acisoma panorpoides N L, F, Sm • • •
40 Agrionoptera insignis insignis N F, Sm • • •
41 Brachydiplax duivenbodei N S, F, Sm A,Am,S,Se,Bu,Su,Bc,Te,Ha •
42 Brachythemis contaminata N Sm* • •
43 Camacinia gigantea N L, F, Sm, T Ki,A,Am,S,M,E •
44 Crocothemis servillia servillia N L, S, F, A, Sm • • •
45 Diplacodes bipunctata N Sm B,K,A,Am •
46 Diplacodes trivialis N L, S, Km, F, Sm, R, T W,T,A,Am,S,Se,Bu,Su,M • • •
47 Lathrecista asiatica asiatica N Km, F, Sm • • •
48 Lyriothemis magnificata N Sm •
49 Nesoxenia lineata N Sm •
50 Neurothemis intermedia excelsa •
51 Neurothemis r. ramburii N F, A, Sm Am • • •
52 Neurothemis ramburi martini N Sm* • •
53 Neurothemis t. terminata N L, S, F, Sm • • •
54 Orthetrum austrosundanum Y Ntt Sm • • •
144 145
No Jenis P Pro
DistribusiLieftink (1949)
Survei Capung Sumba (2015)
Survei Capung Sumba (2018)
Nusa Tenggara Maluku
55 Orthetrum caledonicum N Sm, T •
56 Orthetrum chrysis N S, Sm •
57 Orthetrum glaucum N L, S, F, Sm, T Am,S,Bu • • •
58 Orthetrum sabina sabina N L, F, A, Sm, R, T B,T,K,A,Am,S,Se,Bu,Su,Bc,Te,Ha • • •
59 Orthetrum testaceum soembanum N Ntt, M S, F, A, Sm W • • •
60 Pantala flavescens N S, Km, Sm, R, T W,Ki,T,K,A,Ba,Am,S,Se,Bu,Su • • •
61 Potamarcha obscura N L, S, F, Sm, T Am,S,Su •
62 Potamarcha congener N Sm* • •
63 Rhodothemis rufa N F, Sm K,A,Ba,Su,Bc,Te,Ha,M • • •
64 Ryothemis graphiptera N Sm, T A,Bu •
65 Ryothemis phyllis ixias N Ntt F, Sm • •
66 Ryothemis regia thisbe N F, Sm Bu • • •
67 Tetrathemis irregularis hyalina N S, F, Sm, T • • •
68 Tholymis tillarga N L, F, Sm A,Am,S,Se,Bu,Su,Bc,Te,ha,M • • •
69 Tramea euryale N Sm •
70 Tramea eurybia eurybia N L, Km, F, Sm, Sa B,K,Am,S,Bu • • •
71 Tramea loewi tillyardi N Sm, Sa, T T,K,A •
72 Trithemis aurora N F, Sm, T • • •
73 Trithemis festiva N F, A, Sm B,T,Am,S,Se,Bu,Bc,Te,Ha • • •
74 Trithemis lilacina N Ntb, Ntt, M L, S, F, Pa, A, Sm, T W • • •
75 Urothemis signata bisignata N Sm •
76 Zygonyx ida N L, Sm, T • • •
77 Zyxzoma obtosun N L, F, Sm • •
Jumlah 68 42 48
P = jenis endemik Pulau. N=tidak endemik, Y= EndemikPro= jenis endemik Provinsi. Nusa Tenggara Barat (Ntb), Nusa Tenggara Timur (Ntt), Maluku (M)Nusa Tenggara : L= Lombok, S=Sumbawa, Km= Komodo, F=Flores, Pa=Pantar, A=Alor, Sm=Sumba, Sa=Sawu, R=Rote, T=TimorMaluku: W= Wetar, Ki=Kisar, L=Leti, D= Damar, B= Babar, T= Tanimbar, K=Kai, A=Aru, Wa=Watubela, G=Gorong, Ba=Banda, Am=Ambon, H=Haruku, S=Saparua, N=Nusa Laut, Se=Seram, Bu=Buru, Su=Sula, O=Obi, Bc=Bacan, Te=Ternate, Ha=Halmahera, M=Morotai, E=Gebe(*) catatan baru (new record)
Jumlah catatan baru : 7 jenisJumlah endemik : 9 jenisJumlah catatan baru 2018 : 6 jenis
DAFTAR FOTO
Simon Onggo Eko HastomoHalaman: Pembuka 1, pembuka 2, daftar isi, 12-13, 17, 22, 28, 31, 33, 34, 35, 36, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 46, 47, 63 (Zygoptera), 66 (Pseudogrion calosomum), 68-69, 71, 83, 85 (tandem), 87 (tandem), 93, 101, 106, 108 (betina), 125 (terbang), 131, 132-133, 134, 135, 137, 140, 148-149.
Wahyu Sigit RahadiHalaman: Sampul depan, 39 (Idionyx orchestra), 41 (Pantala flavescens), 43 (Tramea eurybia eurybia), 45 (Drepanosticta berlandi), 47 (Hemicordulia chrysochlora), 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 55, 56, 60-61, 62-63 (mata Anisoptera dan Zygoptera), 66 (Pseudogrion pilidorsum deflexum), 67, 72-73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, 81, 83, 84, 86, 87 (kopulasi), 88, 89, 90, 91, 92, 94, 95, 96-97, 98, 99, 100, 102, 103, 104, 105, 106, 107, 108, 109, 110, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 146-147, sampul belakang.
146 147
148 149
150
Buku Capung Sumba merupakan dokumentasi pustaka tentang keanekaragaman capung di pulau Sumba. Buku ini melengkapi kajian pustaka sebelumnya berupa daftar awal distribusi Odonata di pulau Sumba. Daftar ini
disusun pada tahun 1953 oleh Mauritz Anne Lieftinck, seorang ahli biologi dan zoology berkebangsaan Belanda. Hasil kerja Lieftinck dalam menyediakan data dasar distribusi capung di Sumba patut diapresiasi. Setelah 63 tahun akhirnya
baru diperbaharui dan buku ini menjadi penerus tradisi saintifik Nusantara.