CANINE DISTEMPER VIRUS (CDV) PADA ANJING SHIT TZU (NOMOR PROTOKOL 427/N/12) Oleh : Drh. I Putu Arya Adikara, S.KH Email : [email protected]BAB I PENDAHULUAN 1.1. Riwayat Kasus Pada tanggal 6 Juli 2012 telah dilakukan pemeriksaan terhadap anjing shit tzu milik Bapak Wayan Patra yang terletak di Br. Manuk, Desa. Susut, Bangli. Anjing yang diperiksa berjenis kelamin betina, berumur 3 bulan dengan berat 1,5 kg. Anjing yang dimiliki pemilik sebanyak 6 ekor, 3 ekor sakit dan 2 ekor mati. Menurut keterangan pemilik, hewan sakit ini seminggu setelah divaksin parvo tunggal. Jumlah keseluruhan anjing yang dimiliki Bapak Wayan Patra dengan nomor protokol 427/N/12 berjumlah 6 ekor. 1 anjing dewasa dan 5 anjing muda. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
banyaknya sel-sel radang pada organ tersebut yang berfungsi untuk pertahanan
tubuh terhadap agen asing. Sebagian besar pada histoptologi mengalami
perdarahan dan kongesti. Kongesti terjadi akibat pembuluh darah mengalami
peningkatan permeabilitas dan bervasodilatasi untuk mengaktivasi sel-sel
pertahanan tubuh lalu bermigrasi keluar vaskuler. Vasodilatasi vaskuler inilah
yang menyebabkan volume darah pada pembuluh-pembuluh darah yang
mensuplai organ-organ tersebut meningkat dan menyebabkan kongesti.
20
Sedangkan terjadinya perdarahan diakibatkan peningkatan permeabilitas
sehingga sesuai dengan Kardena et al, (2001) menyatakan bahwa bukan hanya
sel-sel darah yang mampu keluar vaskuler, tetapi plasma darah juga mampu
mmerembes keluar dari pembuluh darah.
4.5.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Mikrobiologi
Spesimen yang ditanam pada pemeriksaan di laboratorium mikrobiologi
adalah paru-paru, hati, jantung, dan usus. Pemeriksaan ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya bakteri patogen di dalam tubuh anjing tersebut.
Hasil isolasi dan identifikasi yang dapat diamati adalah sebagai berikut:
Penanaman pada media umum Sheep Blood Agar (SBA), pada usus tumbuh
koloni (agak banyak) berwarna putih, bulat dengan ukuran ± 1-3 mm, tepi rata
dan licin dan beta hemolitik. Pada paru-paru juga tumbuh koloni yang sama
seperti pada usus, hanya saja jumlah koloni yang tumbuh di paru-paru lebih
sedikit. Sedangkan pada jantung dan hati hanya tumbuh beberapa koloni saja
(lebih sedikit dari paru-paru).
Bakteri pada spesimen usus dan paru-paru diambil koloninya untuk
dilanjutkan ditanam pada media selektif Methylen Blue Agar (EMBA). Dari
hasil isolasi pada media ini hanya di usus yang banyak tumbuh koloni,
sedangkan di paru-paru hanya sedikit tumbuh koloni.
Koloni pada EMBA diambil untuk identifikasi pada media Triple Sugar
Iron Agar (TSIA. Hasil isolasi teramati pada bagian acid slank dan acid butt
menunjukkan hasil positif, yaitu terjadi perubahan warna media dari kedua
bagian tersebut dari merah menjadi kuning, kuman tidak menghasilkan H2S dan
pada media terlihat adanya gelembung gas. Setelah dilakukan pewarnaan gram,
didapatkan kuman berwarna merah, gram negatif dan berbentuk batang.
Penanaman pada media Simon Indol Motility (SIM) diambil dari koloni
yang ada pada TSIA dan hasi yang di dapat adalah positif yaitu kekaburan
media di sekitar tempat tusukan ossa yang menunjukkan bakteri motil, serta
reaksi positif pada pengujian tes indol dengan terbentuknya cincin merah pada
permukaan media, yang artinya bakteri mampu memanfaatkan asam amino
21
tritofan sebagai sumber energinya. Pada media Simon Citrat Agar (SCA),
hasilnya negatifditandai dengan tidak terjadi perubahan warna pada media
(media tetap berwarna hijau). Hal ini menunjukkan bahwa bakteri tidak mampu
memanfaatkan sitrat sebagai sumber energinya. Pada uji MR-VP, tabung
pertama ditetesi reagen Voges Proskauer dan tabung kedua ditetesi reagen
Methyl Red. Hasil yang di dapat MR positif (+) dan VP negatif (-), reaksi positif
ditunjukkan dengan terbentuknya warna merah pada media. Hasil ini
menunjukkan adanya aktivitas bakteri untuk memfermentasi glukosa dan
menghasilkan produk fermentasi yang bersifat asam, namun bakteri tidak
mampu memfermentasi karbohidrat menjadi 2,3-butanadiol (Lay, 1994).
Pada uji oksidase hasilnya positif ditandai dengan terbentuknya
gelembung udara setelah ditetesi dengan larutan H2O2 3%. Pada uji gula-gula
(Laktosa dan Glukosa) menunjukkan hasil positif (+), ditandai dengan
perubahan warna menjadi kuning dan terdapat gas pada tabung durham.
Setelah dilakukan identifikasi bakteri dan melihat sifat-sifat
pertumbuhannya pada media dan uji-uji diatas, maka dapat disimpulkan bahwa
bakteri yang ditemukan ini adalah Escherichia coli. Hal ini disebabkan karena
bakteri E. coli merupakan flora normal pada saluran pencernaan. Namun, bakteri
E. coli merupakan bakteri oportunistik yang berkemampuan sebagai patogen
ketika mekanisme pertahanan inang diperlemah (Hirsh dan Zee, 1999). Seperti
halnya salah satu gejala klinis dari CDV, yaitu diare. Bakteri E.coli juga dapat
menyebabkan gejala klinis berupa diare.
Karena itu, seperti penjelasan sebelumnya bahwa CDV merupakan virus
yang bersifat imunosupresi, sehingga saat kondisi inang telah melemah, maka
E.coli yang sejatinya merupakan flora normal pada saluran pencernaan dapat
menjadi patogen, sehingga dapat pula menyebabkan diare pada anjing tersebut.
4.5.3 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Virologi
22
Pada pemeriksaan di laboratorium virologi didapatkan hasil positif
terinfeksi CDV (canine distemper virus) pada anjing kasus dengan nomor
protokol 427/N/12. Pemeriksaan diawali dengan pembuatan inokulum dari
spesimen otak, paru-paru, limpa, dan V.U, inokulasi pada telur ayam bertunas
umur 11 hari melalui jalur CAM dan dipanen pada hari ke-5. Setelah dipanen
dilakukan pengamatan untuk melihat adanya bentukan bunga karang (pox) pada
membrane korioalantois dan hasilnya adalah terjadi penebalan pada pembuluh
darah dan ditemukan bentukan bunga karang (pox) pada membran korioalantois.
Selanjutnya melakukan isolasi RNA virus, dilanjutkan dengan uji RT-PCR.
Dalam uji RT-PCR sampel menunjukkan hasil positif.
4.6 Canine Distemper Virus (CDV)
Distemper anjing atau canine distemper merupakan penyakit yang sangat
menular pada anjing, ditandai dengan kenaikan suhu bifase, leukopenia, radang
saluran pencernaan dan pernafasan dan sering diikuti oleh komplikasi berupa
gangguan syaraf pusat. Distemper juga menyerang segala umur maupun ras
terutama pada hewan yang tidak divaksinasi (Laurensius, 2009).
4.6.1 Etiologi
Virus distemper termasuk virus yang besar ukurannya. Diameternya
antara 150-300 um dengan nukleocapsid simetris (nucleocapsid of helical
symetryl) dan terbungkus lipoprotein (lipoprotein envelope). Virus distemper
terdiri atas 6 struktur protein yaitu Nukleoprotein (N) dan 2 enzim (P dan L)
pada nukleocapsidnya, juga membran protein (M) di sebelah dalam dan 2
protein lagi (H dan F) pada bungkus lipoprotein di sebelah luar. Hemaglutinasi
protein hanya terjadi pada virus measle tetapi tidak pada virus morbili lainnya
(Dharmojono, 2001).
Dharmojono, (2001) juga menambahkan bahwa virus distemper termasuk
dalam famili Paramyxoviridae, genus Morbilivirus dan spesies Canine
Distemper Virus. Terdapat hanya satu serotipe virus, tetapi galur beraneka
ragam. Virus menjadi tidak aktif dengan cepat pada temperatur 37ºC dan dalam
23
beberapa jam pada temperatur kamar. Desinfektan dengan mudah dapat merusak
infektivitas virus.
4.6.2 Patogenesis
Penularan virus lewat udara menyebabkan infeksi ke dalam sel makrofag
alat pernafasan. Virus mula-mula akan berkembang di dalam kelenjar getah
bening lokal dan kemudian dalam 7 hari ke seluruh jaringan kelenjar getah
bening. Dalam 3-6 hari setelah infeksi virus distemper suhu badan akan
meninggi dan interferon virus mulai masuk ke dalam peredaran darah. Dalam
minggu kedua dan ketiga pasca infeksi, anjing mulai membentuk zat kebal baik
humoral maupun seluler untuk merespon infeksi dan jika mampu mengatasi
virus distemper anjing tersebut akan sembuh tanpa menunjukkan gejala klinik.
Apabila tidak mampu mengatasi virus tersebut maka anjing tersebut akan
memperlihatkan penyakit baik akut atau subakut (Dharmojono, 2001).
Anjing yang tidak mampu mempertahankan diri pada fase awal, maka
akan diikuti terjadinya viremia dan infeksi diseluruh organ limphatik, kemudian
limfosit dan makrofag yang terinfeksi akan membawa virus ke permukaan epitel
dari alat pencernaan, alat pernafasan, dan saluran urogenital sampai ke susunan
syaraf pusat (CNS) (Fraser, 1991).
Strain virus yang mampu menginfeksi secara akut dan fatal secara jelas
kelihatan merusak CNS. Gejala-gejala CNS dapat timbul pada anjing yang
sebelumnya tidak memperlihatkan penyakit ini (Dharmojono, 2001).
4.6.3 Gejala klinis
Gejala klinis pada kasus akut ditandai timbulnya demam dan kematian
secara mendadak. Anoreksia, pengeluaran lendir, konjungtivitis dan depresi
biasa terjadi selama stadium ini. Setelah masa inkubasi 3-7 hari, anjing yang
terinfeksi menderita 2 fase : 1) Fase mukosa : ditandai dengan gejala muntah
dan diare, kulit yang tebal dan keras pada hidung serta bantalan kaki (”Hard
Pad Disease”), 2) Fase Neurologi/saraf (gejala klasik dimulai dari gemeretak
dan gemetar dari rahang, gangguan hebat ke seluruh tubuh :”Chewing Gum
24
Fit”): tremor, hilang keseimbangan dan tungkai menjadi lemah, jika keadaan
melanjut bisa menyebabkan kematian atau dapat juga menjadi non progresif dan
permanen (Malole, 1998).
Beberapa anjing terutama dapat menderita gangguan pernafasan dan juga
terjadi gangguan pencernaan. Gejala pertama dari bentuk pulmonaris (paru)
adalah peradangan cair dari laring dan bronchi, tonsillitis dan batuk. Selanjutnya
terjadi bronchitis atau bronchopneumonia cair dan kadang-kadang pleuritis.
Sehingga hewan menunjukkan dyspnoe dan takypnoe. Kemudian terlihat adanya
akumulasi mukopurulen didaerah canthus medial mata, anjing terlihat depresi
dan anoreksia kemudian berkembang menjadi diare. Gejala saluran pencernaan
meliputi muntah yang hebat dan mencret berair. Setelah mulainya penyakit,
gangguan syaraf pusat dapat diamati pada sejumlah anjing, dicirikan oleh
perubahan tingkah laku, pergerakan yang dipaksakan, spamus, serangan
menyerupai ayan, ataxia, dan paresis (Fraser, 1991).
4.6.4 Diagnosa
Diagnosa didasarkan pada anamnesa (data epidemiologis), gejala klinis
yang ditemukan dan pemeriksaan laboratorium seperti RT-PCR, FAT, isolasi
virus pada TAB melalui jalur CAM, morfologi virus dan tes ELISA untuk
antibodi spesifik distemper.
4.6.5 Diagnosa banding
- infeksi Adenovirus 2
- infeksi Bordetella broncoseptica
- mikoplasma
- toxoplasmosis.
4.6.6 Prognosa
25
Pada infeksi ringan, terutama pada anjing yang telah divaksinasi
prognosisnya baik. Sedangkan untuk kasus berat (belum divaksinasi),
prognosisnya meragukan sampai infausta ( Subronto., 2006).
4.6.7 Terapi dan Pencegahan
1. Antibiotik Pemberian antibiotik dimaksudkan untuk mengatasi terjadinya
infeksi sekunder. Antibiotik yang digunakan adalah antibiotik broad
spektrum.
2. Terapi cairan dan elektrolit untuk mengganti cairan yang hilang dan
mengatasi dehidrasi akibat diare atau muntah.
3. Obat-obat sedativa dan anti konvulsi di berikan bila anjing meninjukkan
gejala sarafi.
4. Vaksin dengan vaksin hidup dapat memberikan imunitas yang cukup dan
berdurasi lama asalkan prosedur penggunaan tersebut dipatuhi, misalnya
berapa kali harus diulang sebelum vaksinasi booster tahunan.
5. Memberikan gizi yang baik agar nutrisi yang diperlukan anjing dapat
terpenuhi. Dengan terpenuhinya nutrisi maka kondisi tubuh dapat terjaga
dan tidak mudah terserang penyakit.
6. Kontrol terhadap adanya endoparasit dan ektoparasit. Menjaga kebersihan
lingkungan sekitar untuk menekan serendah mungkin penyebaran virus.
BAB V
26
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Berdasarkan data epidemiologi, gejala klinis, patologi anatomi, diagnosis
sementara yang dapat dimunculkan adalah suspect Canine Distemper
Virus (CDV). Setelah dilakukan pemeriksaan lanjutan di laboratorium
virologi untuk meneguhkan diagnose, anjing kasus dengan nomor protokol
427/N/12 menunjukkan hasil positif terinfeksi Canine Distemper Virus
pada uji RT-PCR.
2. Ditemukannya E. coli pada identifikasi bakteri melalui biakan pada usus
tersebut merupakan flora normal.
5.2 Saran
1. Melakukan pencegahan secara dini dengan vaksinasi pada anak anjing
umur 6-8 minggu dan vaksinasi diulang pada umur 12 minggu.
2. Pengobatan dengan antibiotika dan antelmentik untuk mengurangi infeksi
bakteri dan cacing.
3. Isolasi anjing yang sakit dan selalu mendesinfeksi lingkungan tempat
kandang, baik itu di tempat anjing yang sakit maupun yang sehat.
27
DAFTAR PUSTAKA
Dharmojono, H. (2001). Kapita Selekta Kedokteran Veteriner. Hewan Kecil Volume I. Pustaka Populer Obor. Jakarta.
Fraser, CM. (1991). The Merck Veterinary Manual. USA: Merck & Co., Inc
Hirsh, D.C. dan Y.C. Zee. (1999). Veterinary Mikrobiology. Blackwell Science, Inc. USA.
Kardena, I. M., I. B. O. Winaya, I. K. Berata. (2011). Gambaran Patologi Paru-Paru Anjing Lokal Bali yang Terinfeksi Penyakit Distemper. Jurnal Veteriner 3 (1) : 17-24.
Laurensius, A. (2008). Distemper Pada Anjing. Fakultas Kedokteran Hewan. Yogyakarta. (http://annavet.blogspot.com/2009/04/distemper-pada-anjing-olehlaurensius.html ) Tanggal akses : 12 November 2011.
Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba di Laboratorium. PT Grafindo Persada. Jakarta.
Levine, Norman D. (1994). Texbook of Veterinary Parasitology. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Lobetti, R. (2009). http://www.lowchensaustralia.com/health/distemper/htm . Tanggal akses : 17 November 2011.
Malole, M. B., (1998). Virologi. Bogor: Pusat Antar Universitas Institut Pertanian Bogor bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Informasi-IPB.
Murphy, F. A., E. P. J. Gibbs, M. C. Horzinek, M. J. Studert. (2008). Veterinary Virology Ed3th. USA: Academic Press.
Subronto, (2006). Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba Pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.