CAMPAK MENGGILA A. Skenario Informasi 1 Dokter Maulana adalah seorang lulusan dokter baru yang ditempatkan di sebuah Puskesmas terpencil di Kabupaten Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur. Selama 2 bulan bertugas di Puskesmas, dr. Maulana mendapati peningkatan angka kejadian penyakit campak dengan pesat. Angka kejadian penyakit campak pada bulan November 2012 tercatat 25 kasus baru. Jumlah keseluruhan kasus campak periode bulan Januari – Oktober 2012 tercatat hanya 50 kasus (rata-rata 5 kasus perbulan). Angka kejadian penyakit campak kembali meningkat pada bulan Desember 2012 sehingga tercatat dalam periode bulan Januari – Desember 2012 total terdapat 125 kasus penyakit campak. Jumlah balita tercatat di wilayah kerja puskesmas adalah 1250 anak balita. Dokter Maulana melaporkan kejadian ini kepada dinas kesehatan kabupaten (DKK). DKK meminta kepada dr. Maulana untuk membuat laporan angka kejadian penyakit, dan status kejadian penyakit tersebut. Selain itu dr. Maulana diminta untuk menyelidiki kemungkinan penyebab peningkatan angka kejadian penyakit campak tersebut. Dokter Maulana merasa bingung karena baru pertama kali harus melakukan tugas tersebut. Informasi 2 Berdasarkan literatur yang dibaca, dr. Maulana mendapat informasi bahwa faktor risiko yang berhubungan dengan penderita campak adalah status imunisasi dan status gizi. Untuk mengatahui hubungan faktor risiko tersebut dr. Maulana mengambil sampel 40 balita penderita campak dan 40 balitasehat sebagai pembanding.Didapatkan data dari 40 balita
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
CAMPAK MENGGILA
A. Skenario
Informasi 1
Dokter Maulana adalah seorang lulusan dokter
baru yang ditempatkan di sebuah Puskesmas terpencil
di Kabupaten Tenggarong, Provinsi Kalimantan Timur.
Selama 2 bulan bertugas di Puskesmas, dr. Maulana
mendapati peningkatan angka kejadian penyakit campak
dengan pesat. Angka kejadian penyakit campak pada
bulan November 2012 tercatat 25 kasus baru. Jumlah
keseluruhan kasus campak periode bulan Januari –
Oktober 2012 tercatat hanya 50 kasus (rata-rata 5
kasus perbulan). Angka kejadian penyakit campak
kembali meningkat pada bulan Desember 2012 sehingga
tercatat dalam periode bulan Januari – Desember 2012
total terdapat 125 kasus penyakit campak. Jumlah
balita tercatat di wilayah kerja puskesmas adalah
1250 anak balita. Dokter Maulana melaporkan kejadian
ini kepada dinas kesehatan kabupaten (DKK). DKK
meminta kepada dr. Maulana untuk membuat laporan
angka kejadian penyakit, dan status kejadian
penyakit tersebut. Selain itu dr. Maulana diminta
untuk menyelidiki kemungkinan penyebab peningkatan
angka kejadian penyakit campak tersebut. Dokter
Maulana merasa bingung karena baru pertama kali
harus melakukan tugas tersebut.
Informasi 2
Berdasarkan literatur yang dibaca, dr. Maulana
mendapat informasi bahwa faktor risiko yang
berhubungan dengan penderita campak adalah status
imunisasi dan status gizi. Untuk mengatahui hubungan
faktor risiko tersebut dr. Maulana mengambil sampel
40 balita penderita campak dan 40 balitasehat
sebagai pembanding.Didapatkan data dari 40 balita
yang menderita campak 30 diantaranya status
imunisasi tidak lengkap dan 10 balita lengkap,
sedangkan pada kelompok pembanding hanya 15 balita
yang status imunisasi tidak lengkap dan 25 balita
lengkap. Untuk data status gizi didapatkan pada
penderita campak 25 balita berstatus gizi kurang,
dan 15 balita berstatus gizi baik. Sedangkan pada
kelompok pembanding didapatkan 20 balita berstatus
gizi kurang dan 20 blita berstatus gizi baik. Dokter
Maulana harus mengintepretasikan dan melaporkan
temuan ini kepada DKK.
Informasi 3
DKK meminta dr. Maulana mengevaluasi
pelaksanaan program imunisasi dasar yang dilakukan
di Puskesmas tersebut. Hasil evaluasimenunjukkan
bahwa cakupan imunisasi campak mencapai 55 %. Selain
itu didapatkan bahwasejak 3 bulanterakhir petugas
yang menangani penyimpanan vaksin telah pensiun dna
selama ini tugasnya dirangkap oleh petugas
imunisasi. Dokter Maulana mendapatkan ctatan
penyimpanan vaksin tidak terdokumentasikan dengan
baik sejak 3 bulan terakhir. Dokter Maulana
diperintahkan oleh DKK untuk memecahkan masalah
tersebut.
B. Klarifikasi Istilah
1. Campak adalah penyakit dengan gejala bercak
kemerahan di tubuh berbentuk makulopapular selama
3 hari atau lebih disertai panas badan 38°C atau
lebih dan disertai salah satu gejala batuk pilek
atau maat merah (Salim, 2008). Penyakit ini
disebabkan oleh virus dan dapat mendatangkan
komplikasi serius. Pada masa lalu, infeksi campak
sangat umum di kalangan anak-anak. Kini campak
jarang terjadi di NSW karena imunisasi .
Gejalanya pertama adalah demam, lelah, batuk,
hidung beringus, mata merah dan sakit, dan terasa
kurang sehat. Beberapa hari kemudian timbul ruam.
Ruam tersebut mulai pada muka, merebak ke tubuh
dan berlanjut selama 4-7 hari (Wong, 2007).
2. Angka kejadian penyakit adalah besarnya suatu
kejadian penyakit yang dipengaruhi oleh angka
(rate) dari suatu kelompok dan besaran relative
dari kelompok tersebut (umur, tahun, dll) (Noor,
2008).
3. Status kejadian penyakit adalah kondisi yang
berkaitan dengan penyakit sesuai variable
tertentu (Noor, 2008).
4. Balita adalah anak usia 0 sampai dengan 4 tahun
(0-59 bulan) yang dihitung sejak lahir sampai
dengan saat kunjungan pewawancara dengan
pembulatan kebawah (Supraptini, 2003).
C. Batasan Masalah
a. Adanya peningkatan angka kejadian penyakit yang
berkembang secara pesat
b. dr. Maulana diminta untuk membuat laporan angka
kejadian penyakit, dan status kejadian penyakit
tersebut.
c. dr. Maulana diminta untuk menyelidiki penyebab
peningkatan angka kejadian penyakit tersebut.
D. Analisis Masalah
1. Sebutkan macam-macam studi penelitian
epidemiologi/metode penelitian? Tentukan manakah
dari penelitian tersebut yang paling cocok pada
kasus ini?
Secara sederhana, studi epidemiologi dapat dibagi
menjadi dua kelompok sebagai berikut :
a. Epidemiologi deskriptif, yaitu Cross Sectional
Study/studi potong lintang/studi prevalensi
atau survei.
1) Cross section
Cross sectional adalah suatu
penelitian untuk mempelajari dinamika
korelasi antara faktor-faktor resiko
dengan efek, dengan cara pendekatan,
observasi atau pengumpulan data sekaligus
pada suatu saat. Artinya, tiap subjek
penelitian hanya diobservasi sekali saja
dan pengukuran dilakukan terhadap status
karakter atau variabel subjek pada saat
pemeriksaan. Hal ini tidak berarti bahwa
semua subjek penelitian diamati pada waktu
yang sama. Desain ini dapat mengetahui
dengan jelas mana yang jadi pemajan dan
outcome, serta jelas kaitannya hubungan
sebab akibatnya (Notoatmodjo, 2002).
Ciri-ciri cross sectional adalah:
a) Pengumpulan data dilakukan pada satu
saat atau satu periode tertentu dan
pengamatan subjek studi hanya dilakukan
satu kali selama satu penelitian.
b) Perhitungan perkiraan besarnya sampel
tanpa memperhatikan kelompok yang
terpajan atau tidak.
c) Pengumpulan data dapat diarahkan sesuai
dengan kriteria subjek studi. Misalnya
hubungan antara Cerebral Blood Flow
pada perokok, bekas perokok dan bukan
perokok.
d) Tidak terdapat kelompok kontrol dan
tidak terdapat hipotesis spesifik.
e) Hubungan sebab akibat hanya berupa
perkiraan yang dapat digunakan sebagai
hipotesis dalam penelitian analitik
atau eksperimental.
Kelebihan dari cross sectional:
a) Studi cross sectional memungkinkan
penggunaan populasi dari masyarakat
umum, tidak hanya para pasien yang
mencari pengobatan, hingga
generalisasinya cukup memadai
b) Relatif murah dan hasilnya cepat dapat
diperoleh
c) Dapat dipakai untuk meneliti banyak
variabel sekaligus
d) Jarang terancam loss to follow-up (drop
out)
e) Dapat dimasukkan ke dalam tahapan
pertama suatu penelitian kohort atau
eksperimen, tanpa atau dengan sedikit
sekali menambah biaya
f) Dapat dipakai sebagai dasar untuk
penelitian selanjutnya yang bersifat
lebih konklusif
g) Membangun hipotesis dari hasil
analisis.
Kelemahan dari cross sectional :
a) Sulit untuk menentukan sebab akibat
karena pengambilan data risiko dan efek
dilakukan pada saat yang bersamaan
(temporal relationship tidak jelas)
b) Studi prevalens lebih banyak menjaring
subyek yang mempunyai masa sakit yang
panjang daripada yang mempunyai masa
sakit yang pendek, karena inidividu
yang cepat sembuh atau cepat meninggal
mempunyai kesempatan yang lebih kecil
untuk terjaring dalam studi
c) Dibutuhkan jumlah subjek yang cukup
banyak, terutama bila variabel yang
dipelajari banyak
d) Tidak menggambarkan perjalanan
penyakit, insidensi maupun prognosis
e) Tidak praktis untuk meneliti kasus yang
jarang
f) Tidak menggambarkan perjalanan
penyakit.
b. Epidemiologi analitik : terdiri dari :
Non eksperimental :
1) Studi kohort / follow up / incidence /
longitudinal / prospektif studi.
Kohort adalah rancangan penelitian
epidemiologi analitik observasional
yang mempelajari hubungan antara
paparan dan penyakit, dengan cara
membandingkan kelompok terpapar dan
kelompok tidak terpapar berdasarkan
status penyakit (Grimes & Schulz,
2002).
Skema Kohort (Grimes & Schulz,
2002).
Ciri – ciri kohort
Pemilihan subyek berdasarkan status
paparannya, kemudian dilakukan
pengamatan dan pencatatan apakah subyek
mengalami outcome yang diamati atau
tidak. Bisa bersifat retrospektif atau
prospektif(Grimes & Schulz, 2002).
Karakteristik penelitian kohort
a) Bersifat observasional
b) Pengamatan dilakukan dari sebab ke
akibat
c) Disebut sebagai studi insidens
d) Terdapat kelompok kontrol
e) Terdapat hipotesis spesifik
f) Dapat bersifat prospektif ataupun
retrospektif
g) Untuk kohor retrospektif, sumber
datanya menggunakan data sekunder
(Grimes & Schulz, 2002).
Keuntungan kohort
a) Kesesuaian dengan logika normal
dalam membuat inferensi kausal
b) Dapat menghitung laju insidensi
c) Untuk meneliti paparan langka
d) Dapat mempelajari beberapa akibat
dari suatu paparan (Grimes & Schulz,
2002).
Kelemahan kohort
a) Lebih mahal dan butuh waktu lama
b) Pada kohort retrospektif, butuh data
sekunder yang lengkap dan handal
c) Tidak efisien dan tidak praktis
untuk kasus penyakit langka
d) Risiko untuk hilangnya subyek selama
penelitian, karena migrasi,
partisipasi rendah atau meninggal
(Grimes & Schulz, 2002).
Sumber kelompok pada yang terpapar
berasal dari populasi umum dan populasi
khusus
Populasi umum
a)Prevalensi paparan pada populasi
cukup tinggi
b)Mempunyai batas geografik yang jelas
c)Secara demografik stabil
d) Ketersediaan catatan demografik yang
lengkap dan up to date (Grimes &
Schulz, 2002).
Populasi khusus
a) Prevalensi paparan dan kejadian
penyakit pada populasi umum rendah
b) Kemudahan untuk memperoleh informasi
yang akurat dan pengamatan yang
lebih terkontrol (Grimes & Schulz,
2002).
Sumber kelompok tak terpapar
berasal dari populasi umum dan populasi
khusus yang bisa dipilih dari populasi
yang sama atau tidak sama dengan
populasi terpapar(Grimes & Schulz,
2002).
Analisa Analisa data kohort
Perhitungan relative risk (RR)
Relati
Relative risk (RR) = A:A+BC:(C+D)
Risiko atribut (RA) = (A/A+B) – (C/C+D)
Jika RR = 1, tidak ada asosiasi antara
faktor risiko dengan penyakit
Jika RR > 1, berarti ada asosiasi
positif antara faktor risiko dengan
penyakit
Jika RR<1, berarti ada asosiasi negatif
antara faktor risiko dengan penyakit
(Grimes & Schulz, 2002).
2) Studi kasus kontrol/case control
study/studi retrospektif.
Penelitian case control adalah suatu
penelitian analitik yang menyangkut
bagaimana faktor risiko dipelajari
dengan menggunakan pendekatan
retrospektif, dimulai dengan
mengidentifikasi pasien dengan efek atau
penyakit tertentu (kelompok kasus) dan
kelompok tanpa efek (kelompok kontrol),
kemudian diteliti faktor risiko yang
dapat menerangkan mengapa kelompok kasus
Outcome + Outcome
-Exposu
re +
A B A + B
Exposu
re -
C D C + D
A + C B + D
terkena efek, sedangkan kelompok kontrol
tidak (Friedman, 1993).
kelebihan dan kelemahan studi case
control
Kelebihan studi case control
Kelebihan studi case control adalah
(Friedman, 1993):
a) Studi kasus kontrol kadang atau bahkan
menjadi satu-satunya cara untuk
meneliti kasus yang jarang atau yang
masa latennya panjang, atau bila
penelitian prospektif tidak dapat
dilakukan karena keterbatasan sumber
atau hasil diperlukan secepatnya.
b) Hasil dapat diperoleh dengan cepat.
c) Biaya yang diperlukan relatif lebih
sedikit sehingga lebih efisien.
d) Memungkinkan untuk mengidentifikasi
berbagai faktor risiko sekaligus dalam
satu penelitian (bila faktor risiko
tidak diketahui).
e) Tidak mengalami kendala etik seperti
pada penelitian eksperimen atau
kohort.
f) Mudah mendapatkan kasus dan control.
Kelemahan studi case control
Kelemahan studi case control adalah
sebagai berikut (Friedman, 1993):
a) Data mengenai pajanan faktor risiko
diperoleh dengan mengandalkan daya
ingat atau catatan medik. Daya ingat
responden menyebabkan terjadinya
recall bias, baik karena lupa atau
responden yang mengalami efek
cenderung lebih mengingat pajanan
faktor risiko daripada responden yang
tidak mengalami efek. Data sekunder,
dalam hal ini catatan medik rutin
yang sering dipakai sebagai sumber
data juga tidak begitu akurat
(objektivitas dan reliabilitas
pengukuran variabel yang kurang).
b) Validasi informasi terkadang sukar
diperoleh.
c) Sukarnya meyakinkan bahwa kelompok
kasus dan kontrol sebanding karena
banyaknya faktor eksternal / faktor
penyerta dan sumber bias lainnya yang
sukar dikendalikan.
d) Tidak dapat memberikan incidence
rates karena proporsi kasus dalam
penelitian tidak mewakili proporsi
orang dengan penyakit tersebut dalam
populasi.
e) Tidak dapat dipakai untuk menentukan
lebih dari satu variabel dependen,
hanya berkaitan dengan satu penyakit
atau efek.
f) Tidak dapat dilakukan untuk
penelitian evaluasi hasil pengobatan.
g) Tidak bersifat mencegah karena
setelah kasus terjadi baru dicari
penyebabnya.
h) Tidak efisien untuk kasus yang
langka.
i) Pada kasus tertentu sulit untuk
mencari hubungan antara paparan dan
penyakit.
j) Kelompok kasus dipilih dari dua
kelompok yang terpisah sehingga sulit
dipastikan apakah kasus dan kontrol
benar-benar seimbang.
k) Data faktor resiko disimpulkan
setelah penyakit terjadi sehingga
data tidak lengkap dan sering terjadi
penyimpangan.
l) Odds Ratio tidak dapat digunakan untuk
mengestimasi resiko relatif jika
masalah kesehatan yang sedang
diteliti terdapat di masyarakat lebih
dari 5%.
m) Sulit untuk menghindari bias seleksi
karena populasi berasal dari dua
populasi yang berbeda.
Tabel case control pada kasus:
Faktor resikoCampak+ -
Imunisasi
tidak lengkap30 15
Imunisasi
lengkap10 25
Faktor
resiko
Campak+ -
Gizi
kurang25 20
Gizi baik 15 20
Odds ratio:
Odds ratio adalah salah satu cara
perhitungan tingkat asosiasi atau
hubungan yang hampir sama dengan angka
resiko relative. Odds ratio adalah rasio
antara probabilitas untuk terjadinya
penyakit tertentu dengan probabilitas
untuk tidak terjadinya penyakit tersebut
(Noor, 2008).
Odds ratio pada kasus:
Faktor resiko imunisasi tidak lengkap:
OR = a.db.c
OR = 30.2515.10
OR = 750150
OR = 5
Faktor resiko status gizi kurang:
OR = a.db.c
OR = 25.2020.15
OR = 500300
OR = 1,67
3) Studi ekologik. Studi ini memakai
sumber ekologi sebagai bahan untuk
penyelidikan secara empiris faktor
resiko atau karakteristik yang berada
dalam keadaan konstan di masyarakat.
Misalnya, polusi udara akibat sisa
pembakaran BBM yang terjadi di kota-
kota besar.
Eksperimental yaitu dimana penelitian dapat
melakukan manipulasi/mengontrol faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi hasil
penelitian dan dinyatakan sebagai tes yang
paling baik untuk menentukan cause and
effect relationship serta tes yang
berhubungan dengan etiologi, kontrol,
terhadap penyakit maupun untuk menjawab
pertanyaan masalah ilmiah lainnya. Studi
eksperimen dibagi menjadi 2 (dua) yaitu :
1) Clinical Trial. Contoh :
a) Pemberian obat hipertensi pada orang
dengan tekanan darah tinggi untuk
mencegah terjadinya stroke.
b) Pemberian Tetanus Toxoid pada ibu
hamil untuk menurunkan frekuensi
Tetanus Neonatorum.
2) Community Trial. Contoh : Studi Pemberian zat
flourida pada air minum.(Noor, 2008).
Penelitian yang cocok dengan kasus adalah Case
Control, karena
1. Biaya Murah
2. Waktu singkat
3. Menjelaskan hubungan sebab - akibat
2. Sebutkan faktor risiko terjadinya campak dan cara
penularan?
Menurut Casaeri ( 2003) , faktor resiko campak
adalah
a. Status tidak diimunisasi
Imunisasi campak dapat menekan angka
kejadian penyakit campak. Kematian yang
disebabkan oleh penyakit campak pada anak yang
tidak diimunisasi lebih tinggi dari anak yang
sudah pernah mendapatkan imunisasi.
b. Status gizi
Campak dapat dipengaruhi karena daya tahan
tubuh anak yang menuruna kibat dari defisiensi
gizi.
c. Kondisi Lingkungan
Lingkungan tempat tinggal dan tempat umum
lainnya dapat mempengaruhi intensitas
penyakit. Kondisi lingkungan seperti rumah non
permanen, jenis lantai dari rumah, ventilasi,
pencahayaan yang kurang dan penggunaan air
bersih secara bersama-sama merupakan faktor
risiko terhadap kejadian penyakit.
d. Umur
Menurut hasil penelitian, anak-anak yang
telah mendapat imunisasi campak, setelah 2
tahun titer antibodi yang ada dalam tubuhnya
akan menurun,s ehingga anak setelah umur 2
tahun dapat tertular penyakit campak. Pola
umur infeksi campak sebgaian menyebabkan
perbedaan mortalitas pada mereka yang terkena.
e. Kondisi sosial ekonomi
3. Bagaimana cara menurunkan angka kejadian
penyakit?
Tahapan pemberantasan campak
a.Tahap reduksi
Tahap ini dibagi dalam 2 tahap:
1) Tahap pengendalian campak
Pada tahap ini ditandai dengan upaya
peningkatan cakupan imunisasi campak rutrin
dan upaya imunisasi tambahan didaerah dengan
morbiditas campak yang tinggi. Daerah-daerah
ini masih merupakan daerah endemis campak,
tetapi telahterjadi penururnan insiden dan
kematian, dengan pola epidemiologi kasus
campak menunjukkan 2 puncak setiap tahun
( Depkes, R.I. 2004).
2) Tahap pencegahan KLB
Cakupan imunisasi dapat dipertahankan
tinggi > 80% dan mareta, terjadi penurunan
tajam kasus dan kematian, inseiden campak
telah bergeser kepada umur yang lebih tua,
dengan interval KLB antara 4-8 tahun( Depkes,
R.I. 2004).
b.Tahap eliminasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi > 95% dan
daerah-daerah dengan cakupan imunisasi rendah
sudah sangat kecil jumlahnya. Kasus campak
sudah jarang dan KLB hamper tidak pernah
terjadi. Anak-anak yang dicurigai rentan (tidak
terlindungi) harus diselidiki dan diberikan
imunisasi campak( Depkes, R.I. 2004).
c.Tahapan eradikasi
Cakupan imunisasi sangat tinggi dan merata,
serta kasus campak sudah tidak ditemukan.
Transmisi virus campak sudah dapat diputuskan,
dan Negara-negara didunia sudah memasuki tahap
eliminasi ( Depkes, R.I. 2004).
4. Sebutkan macam-macam status kejadian penyakit dan
expective level? Termasuk pada kelompok manakah
kejadian ini?
a. Endemi merupakan penyakit yang umum terjadi
pada laju konstan namun cukup tinggi pada
suatu populasi. Suatu keadaan dimana penyakit
secara menetap berada dalam masyarakat pada
suatu tempat/populasi tertentu ( Ranuh. 2008).
b. Epidemi adalah kejadian tersebarnya penyakit
pada daerah yang luas pada banyak orang namun
untuk menyebut penyakit yang menyebar
tersebut. Keadaan ini terjadi ketika
mewabahnya penyakit dalam komunitas/daerah
tertentu dalam jumlah yang melebihi batas
jumlah normal/yang biasa ( Ranuh. 2008).
c. Pandemi adalah kondisi dimana terjangkitnya
penyakit menular pada banyak orang dalam
daerah greografis yang luas. Pandemi juga
merupakan epidemik yang terjadi dalam daerah
yang sangat luas dan mencakup populasi yang
banyak di berbagai daerah/Negara di dunia
( Ranuh. 2008).
Kasus diatas termasuk dalam Epidemi
5. Apa yang dimaksud dengan surveilans dan bagaimana
caranya?
Surveilans sangatlah penting dalam mereduksi
campak, yaitu dapat menilai perkembangan program
pemberantasan campak serta dapat membantu
menentukan strategi pemberantasan di setiap
dareah dalam hal perencanaan , pengendalian , dan
evaluasi.
Surveilans campak bertujuan
a. Mengetahui perubahan epidemiologi campak
b. Mengidentifikasi populasi risiko tinggi
c. Memprediksi dan mencegahterjadinya KLB campak
d. Panyelidikan epidemiologi setiap KLB campak
Strategi surveilans campak meliputi
a. Surveilans rutin
b. SKD dan respon KLB campak
c. Penyelidikan dan penanggulangan setiap KLB
campak
d. Pemeriksaan laoratorium pada kondisi tertentu
e. Studi epidemiologi.
6. Apa yang dimaksud dengan rasio, proporsi, dan
rate
a. Ratio:
Rasio adalah suatu pernyataan frekuensi nisbi
kejadian suatu peristiwa terhadap peristiwa
lainnya (Noor, 2008).
Rumus rasio
Rasio = XY(k)
Dimana :
X : banyaknya peristiwa, manusia, dan lain-
lain yang mempunyai satu atau lebih
atribut tertentu
Y : banyaknya kejadian, manusia dan lain-lain
yang mempunyai satu atau lebih atribut
tertentu, namun dalam beberapa hal berbeda
atribut dengan anggota dari x
K : 1 (noor, 2008).
b. Proporsi:
Perbandingan yang mirip rate, tetapi dasarnya
bukan jumlah penduduk, melainkan jumlah semua
yang mengalami peristiwa sejenis (Noor, 2008).
Rumus proporsi
Proporsi = XY(k)
X : banyaknya orang, kejadian, dan lain-
sebagainya yang mempunyai satu atau lebih
atribut tertentu
Y : banyaknya manusia, peristiwa dan lain-
lainnya yang mempunyai satu atau lebih
atribut tertentu, namun dalam beberapa hal
berbeda atribut dengan anggota dari x
K : selalu sama dengan 100 (noor, 2008).
c. Rate:
Besarnya peristiwa yang terjadi terhadap jumlah
keseluruhan penduduk dan peristiwa tersebut
berlangsung dalam satu batas waktu tertentu
(Noor, 2008). Rate dibagi menjadi 2, yaitu:
prevalensi dan insidensi.
1) Rate insidensi pada kasus:
Bulan desember:
501250
x100=4
2) Rate prevalensi pada kasus:
Bulan desember:
1251250
x100=10
7. Jelaskan tentang disease of caution
Untuk menentukan faktor resiko utama dalam
penelusuran sebuah penyakit dibutuhkan penelaahan
secara disease of caution. Adapun disease caution
dibagi menjadi dua yaitu :
a. Single causation
Koch’s Postulate of Infectious Disease
Postulat Koch menetapkan empat kriteria yang
dirancang untuk mengidentifikasi hubungan
kausal antara mikroba kausatif dengan sebuah
penyakit. Dalil-dalil yang dirumuskan oleh
Robert Koch dan Friedrich Loeffler
disempurnakan pada tahun 1884 dan diterbitkan
oleh Koch pada tahun 1890. Koch menerapkan
dalil-dalil untuk menetapkan etiologi anthrax
dan TBC (Boundless, 2011).
Postulat Koch (Boundless, 2011) adalah
sebagai berikut:
1. Mikroorganisme patogen harus ditemukan
dalam sekumpulan semua organisme yang
menderita penyakit, tetapi tidak harus
ditemukan dalam organisme sehat.
2. Mikroorganisme harus diisolasi dari
organisme yang sakit dan tumbuh dalam kultur
yang murni.
3. Mikroorganisme yang dikultur harus
menyebabkan penyakit ketika diinokulasi ke
dalam organisme yang sehat.
4. Mikroorganisme harus diisolasi kembali
dari host baru, diinokulasi eksperimental,
dan diidentifikasi identik dengan agen
penyebab asli tertentu.
Postulat Koch dikembangkan pada abad ke-19
sebagai pedoman umum untuk mengidentifikasi
patogen yang dapat diisolasi dengan teknik
beberapa hari. Bahkan dalam waktu Koch, hal
inni telah diakui bahwa beberapa agen infeksi
bertanggung jawab terhadap penyakit meskipun
mereka tidak memenuhi semua postulat. Upaya
untuk menerapkan postulat Koch untuk diagnosis
penyakit virus pada akhir abad ke-19, pada saat
virus tidak bisa dilihat atau terisolasi,
mungkin telah menghambat perkembangan awal
bidang virologi. Saat ini, sejumlah agen
menular dapat diterima sebagai penyebab
penyakit meskipun mereka tidak memenuhi semua
postulat Koch. Oleh karena itu, postulat Koch
mempertahankan kepentingan sejarah dan terus
menginformasikan pendekatan diagnosis
mikrobiologis, pemenuhan keempat postulat tidak
diperlukan untuk menunjukkan kausalitas
(Boundless, 2011).
Postulat Koch juga telah dipengaruhi ilmuwan
yang memeriksa patogenesis mikroba dari sudut
pandang molekul. Pada 1980-an, versi molekul
postulat Koch telah dikembangkan untuk memandu
identifikasi gen-gen mikroba yang mengkode
faktor virulensi (Boundless, 2011).
b. Multiple causation
Bradford Hills Postulates for Multicausal
Diseases
Penyebab dengan Kriteria Hills menguraikan
kondisi minimal yang diperlukan untuk membangun
hubungan sebab akibat antara dua hal. Kriteria
tersebut awalnya disampaikan oleh Austin
Bradford Hill (1897-1991), seorang ahli
statistik medis Inggris, sebagai cara untuk
menentukan hubungan sebab akibat antara faktor
tertentu (misalnya, merokok) dan penyakit
(seperti emfisema atau kanker paru-paru).
Kriteria Hill membentuk dasar dari penelitian
epidemiologi modern, yang berusaha untuk
membangun hubungan kausal ilmiah berlaku antara
agen penyakit potensial dan banyak penyakit
yang menimpa manusia. Sedangkan kriteria yang
ditetapkan oleh Hill (dan diuraikan oleh orang
lain) dikembangkan sebagai alat penelitian
dalam ilmu medis, mereka sama-sama berlaku
untuk ilmu sosiologi, antropologi dan sosial
lainnya, yang mencoba untuk membangun hubungan
kausal antara fenomena sosial. Memang, prinsip-
prinsip yang ditetapkan oleh Hill membentuk
dasar dari evaluasi yang digunakan dalam semua
penelitian ilmiah modern. Kriteria Hill
memberikan nilai tambahan yang digunakan untuk
mengevaluasi banyak teori dan penjelasan yang
diusulkan dalam ilmu-ilmu sosial (Hill, 1965).
Kriteria Hills (Hill, 1965) telah diterapkan
dalam penelitian epidemiologi, adalah sebagai
berikut:
1) Hubungan Temporal
Paparan selalu mendahului hasilnya. Jika
faktor "A" diyakini menyebabkan penyakit,
maka jelas bahwa faktor "A" harus selalu
mendahului terjadinya penyakit. Ini adalah
satu-satunya kriteria mutlak.
2) Kekuatan:
Ini didefinisikan oleh ukuran asosiasi
yang diukur dengan tes statistik yang
sesuai. Semakin kuat asosiasi, semakin besar
kemungkinan bahwa hubungan "A" untuk "B"
adalah kausal.
3) Hubungan Dosis-Respon:
Peningkatan jumlah paparan meningkatkan
risiko. Jika hubungan dosis-respons hadir,
itu adalah bukti kuat untuk hubungan kausal.
Namun, sama dengan spesifisitas (lihat di
bawah), tidak adanya hubungan dosis-respon
tidak mengesampingkan hubungan kausal. Pada
saat yang sama, jika faktor spesifik adalah
penyebab dari penyakit, kejadian penyakit
harus menurun ketika paparan faktor tersebut
dikurangi atau dihilangkan.
4) Konsistensi:
Asosiasi dikatakan konsisten ketika
hasilnya direplikasi dalam studi dengan
setting yang berbeda serta menggunakan metode
yang berbeda. Artinya, jika hubungan
tersebut kausal, kita akan menemukannya
secara konsisten dalam studi yang berbeda
dan di antara populasi yang berbeda. Inilah
sebabnya mengapa banyak percobaan harus
dilakukan sebelum laporan yang berarti
dibuat mengenai hubungan kausal antara dua
atau lebih faktor.
5) Masuk akal:
Asosiasi akan disetujui dengan pemahaman
yang dapat diterima secara proses patologis.
Dengan kata lain, perlu ada beberapa dasar
teori untuk memposisikan hubungan antara
vektor dan penyakit, atau sebuah fenomena
sosial dan lainnya.
6) Pertimbangan Penjelasan Alternatif:
Dalam menilai hubungan kausal apakah yang
dilaporkan, maka sangat perlu untuk
menentukan sejauh mana peneliti telah
mengambil penjelasan lain yang mungkin
diperhitungkan dan secara efektif
mengesampingkan penjelasan alternatif
tersebut. Dengan kata lain, perlu
mempertimbangkan beberapa hipotesis sebelum
membuat kesimpulan tentang hubungan sebab
akibat antara dua hal dalam penelitian.
7) Eksperimen:
Kondisi ini dapat diubah (dicegah atau
diperbaiki) oleh regimen eksperimental yang
tepat.
8) Spesifisitas:
Hal ini akan dibuat bila penyebab diduga
tunggal menghasilkan efek tertentu. Hal ini
dianggap oleh beberapa orang untuk menjadi
yang paling lemah dari semua kriteria.
9) Koherensi:
Asosiasi harus kompatibel dengan teori
yang ada dan pengetahuan. Dengan kata lain,
perlu untuk mengevaluasi klaim–klaim
kausalitas dalam konteks keadaan pengetahuan
dalam bidang tertentu dan dalam bidang-
bidang terkait saat ini. Apa yang kita
korbankan adalah apa yang saat ini diketahui
agar dapat menerima klaim tertentu dari
kausalitas. Namun, seperti isu yang masuk
akal, penelitian yang tidak setuju dengan
teori mapan dan pengetahuan tidak secara
otomatis palsu. Mereka mungkin, pada
kenyataannya, memaksa peninjauan kembali
atas keyakinan dan prinsip-prinsip diterima.
8. PIN
Pekan Imunisasi Nasional (PIN) adalah Pekan
dimana setiap balita termasuk bayi baru lahir
yang bertempat tinggal di Indonesia diimunisasi
dengan vaksin polio, tanpa mempertimbangkan
status imunisasi sebelumnya. Pemberian imunisasi
dilakukan 2 kali masing-masing 2 tetes dengan
selang waktu satu bulan ( Dinkes Jatim, 2011).
Pemberian imunisasi polio secara serentak
terhadap semua sasaran akan mempercepat pemutusan
siklus kehidupan virus polio liar. Pemberian
imunisasi 2 kali dengan interval 1 bulan akan
memberikan kekebalan rongga usus selama 100 hari.
Dengan pemberian serentak kepada seluruh balita
di Indonesia terjadi penekanan serentak terhadap
berkembang biaknya virus polio liar apabila masuk
kedalam usus. Di alam bebas, virus akan bertahan
hanya selama 48 jam. Oleh karena itu pemberian
serentak pada seluruh balita merupakan kunci
keberhasilan memutuskan rantai penularan ( Dinkes
Jatim, 2011).
9. Bagaimanan cara pelaksanaan PIN
Pelaksanaan PIN menurut Depkes RI (2005) adalah
a. Penggerakan sasaran
Penggerakan sasaran melalui pengumuman di
masjid, gereja atau dengan menggunakan surat
undangan. Selain itu dapat dilakukan hal-hal
sebagai berikut:
1) Melibatkan kader dalam kunjungan rumah
sebelum hari imunisasi berlangusung.
2) Memberitahukan tentang PIN waktu kegiatan
posyandu rutin.
3) Surat himbauan dari bupati, camat, kepala
desa dan ketua PKK untuk hadi di pos PIN
pada tanggal yang telah ditetapkan.
4) Pengumuman di sekolah, TK, kelompok bermain
dan tempat
pengajian.
b. Pelayanan Imunisasi
1) Di pos PIN
Pengelolaan pos PIN dan logistik, setiap pos
pin harus mempunyai:
a) Satu vaccine carrier atau termos dengan ice
park.
b) Vaksin polio dibungkus dalam plastik dan
jumlah cukup sesuai target sasaran yang
telah ditetapkan.
c) Format registrasi dan form pelaporan.
d) Pensil/pulpen
e) Pinset/ gunting kecil untuk membuka tutup
vial.
f) Cat kuku/spidol permanen/gentian violet 5%
untuk memberikan tanda pada jari
kelingking kiri anak yang telah
diimunisasi.
g) Poster atau tanda pos pin yang berisikan
pesan dan tanggal pelaksanaan kegiatan PIN
Puataran 1 dan puataran2 sebagai tanda
petugas tempet pos pelayanan imunisasi
polio.
Kegiatan pos PIN dan pemberian imunisasi
polio
a)Kegiatan pos imunisasi harus dimulai pagi
hari.
b)Imunisasi pada anak-anak harus teratur dan
bergiliran.
c) Bukan hanya satu vial vaksin dan
diletakkan diluar termos atau vaccine carrier.
d)Kantong es tidak boleh dikeluarkan dari
vaccine carrier atau termos dan jangan terlalu
sering membuka vaccine carrier atau termos
karena akan berakibat suhu akan menjadi
panas.
e) Satu petugas menerima orang tua dan
anaknya, mendaftarkannya pada form
register serta petugas memberikan
imunisasi pada anak-anak balita.
f)Setelah anak balita diimunisasi, orang
tuanya diberi saran untuk meneruskan
imunisasi rutin dan mengingatkan mereka
untuk kembali pada pelayanan putaran
berikutnya.
g)Satu petugas lain mencatat anak yang sudah
diimunasi dan petugas lainnya memberikan
tanda pada jari kelingking kiri anak.
h)Satu anggota bertugas mengatur alur
antrian agar tidak berdesakan.
i)Lokasi pos imunisasi hendaknya yang teduh
sehingga vaksin dalam vial yang berada
diluar dan vaksin carrier tidak terkena
sinar matahari.
j)Pada waktu siang hari ketika kunjungan
mulai menurun, kader melakukan kunjungan
rumah dan menggerakan sasaran untuk datang
ke pos PIN sementara itu petugas lainnya
tetap di pos imunisasi untuk memberikan
imunisasi.
2) Kegiatan imunisasi rumah ke rumah
Kunjungan rumah untuk mencari anak yang
tidak datang ke pos PIN merupakan langkah
untuk meyakinkan bahwa tidak ada satupun
anak yang terlewat. Sambil mengadakan
kunjungan rumah, petugas perlu menanyakan
apabila mengetahui adanya anak yang saat ini
menderita kelumpuhan.
Menurut Depkes RI ( 2005), strategi dalam
pelaksanaan PIN dapat diupayakan dengan adanya
a. Dukungan politisi dari pemerintah pusat dan
daerah, peranan dari kabupaten atau kota
menentukan keberhasilan PIN.
b. Peran aktif sektor terkait termasuk swasta,
LSM, masyarakat dalam persiapan, pelaksanaan,
pemantauan dan evaluasi PIN.
c. Pemasaran sosial yang efektif dalam rangka
penyebarluasan informasi serta penggerakan
masyarakat.
d. Penggerakan sasaran oleh sektor terkait, PKK,
tokoh masyarakat serta LSM.
e. Dukungan sumber daya dan teknologi dalam
pelayanan imunisasi.
10. Pelaksanaan PIN
Pelayanan imunisasi meliputi kegiatan-kegiatan :
a. Persiapan petugas
Kegiatan ini meliputi :
1) Inventarisasi sasaran
Kegiatan ini dilakukan di tingkat Puskesmas
dengan mencatat :
a) Daftar bayi dan ibu hamil/WUS dilakukan
oleh kader, dukun terlatih, petugas KB,
bidan di desa.
Sumber : Kelurahan, form registrasi
bayi/ibu hamil, PKK.
b) Daftar murid sekolah tingkat dasar
melalui kegiatan UKS.
Sumber : Kantor Dinas Pendidikan/SD yang
bersangkutan.
c) Daftar calon pengantin di seluruh wilayah
kerja Puskesmas.
Sumber : KUA, kantor catatan sipil.
d) Daftar murid Sekolah Menengah Umum/Aliyah
melalui kegiatan UKS.
Sumber : Kantor Dinas Pendidikan/SMU
Aliyah yang bersangkutan.
e) Daftar WUS di tempat kerja/Pabrik.
Sumber : Dinas Tenaga Kerja/Perusahaan
yang bersangkutan.
2) Persiapan vaksin dan peralatan rantai
vaksin
Sebelum melaksanakan imunisasi di
lapangan petugas kesehatan harus
mempersiapkan vaksin yang akan dibawa.
Jumlah vaksin yang dibawa dihitung
berdasarkan jumlah sasaran yang akan
diimunisasi dibagi dengan dosis efektif
vaksin pervial/ampul. Selain itu juga harus
mempersiapkan peralatan rantai dingin yang
akan dipergunakan di lapangan seperti
termos dan kotak dingin cair.
3) Persiapan ADS dan safety box.
b. Persiapan masyarakat
Untuk mensukseskan pelayanan imunisasi,
persiapan dan penggerakkan masyarakat mutlak
harus dilakukan. Kegiatan ini dilakukan dengan
melakukan kerjasama lintas program, lintas
sektoral, organisasi profesi, LSM, dan petugas
masyarakat/kader.
c. Pemberian pelayanan imunisasi
Kegiatan pelayanan imunisasi terdiri dari
kegiatan imunisasi rutin dan tambahan. Dengan
semakin mantapnya unit pelayanan imunisasi,
maka proporsi kegiatan imunisasi tambahan
semakin kecil.
1) Pelayanan Imunisasi Rutin
Vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin
meliputi :
Pada Bayi : Hepatitis B, BCG, Polio, DPT dan
Campak.
Pada Anak Sekolah : DT , Campak dan TT.
Pada WUS : TT.
Jadwal pemberian imunisasi baik pada
bayi, anak sekolah dan wanita usia subur
berdasarkan jadwal pada tabel berikut.
Tabe
l 3. Jadwal Pemberian Imunisasi Pada Anak
Sekolah
Pelayanan imunisasi rutin dapat
dilaksanakan di beberapa tempat, antara
lain:
1) Pelayanan imunisasi di komponen statis
(Puskesmas, Puskesmas pembantu, rumah
sakit dan rumah bersalin).
2) Pelayanan imunisasi rutin dapat juga
diselenggarakan oleh swasta seperti:
a) Rumah sakit swasta.
b) Dokter praktek.
c) Bidan praktek.
3) Pelayanan imunisasi di komponen lapangan
antara lain di sekolah, posyandu dan
kunjungan rumah..
4) Pelayanan imunisasi di posyandu diatur
mengikuti sistem pelayanan lima meja.
5) Kunjungan rumah dilakukan untuk pemberian
imunisasi HB (0 – 7 hari)
2) Pelayanan Imunisasi Tambahan
Pelayanan imunisasi tambahan hanya
dilakukan atas dasar ditemukannya masalah
dari hasil pemantauan, atau evaluasi.
Meskipun beberapa diantaranya telah memiliki
langkah-langkah yang baku, namun karena
ditujukan untuk mengatasi masalah tertentu
maka tidak dapat diterapkan secara rutin.
Koordinasi.
4. Koordinasi
Ada dua macam fungsi koordinasi, yaitu vertikal
dan horizontal. Koordinasi horizontal terdiri
dari kerjasama lintas program dan kerjasama
lintas sektoral.
a. Kerjasama Lintas Program
Pengelola program imunisasi dapat mengadakan
kerjasama dengan program lain di bidang
kesehatan.
Beberapa bentuk kerjasama yang telah dirintis
adalah
1) Keterpaduan KIA – Imunisasi.
2) Keterpaduan Imunisasi – Survaillans.
3) Keterpaduan KB – Kesehatan (Imunisasi, Gizi,
Diare, KIA, PKM, KB).
4) Keterpaduan UKS – Imunisasi.
b. Kerjasama Lintas Sektoral
Kerjasama lintas sektoral yang telah terbentuk
adalah
1) Kerjasama imunisasi – Departemen Agama.
2) Kerjasama imunisasi – Departemen Dalam
Negeri.
3) Kerjasama imunisasi – Departemen Pendidikan
Nasional.
4) Kerjasama imunisasi – organisasi (IDI, IDAI,
POGI, IBI, PPNI, dll).
5) Bentuk lain dari koordinasi lintas sektoral
adalah peran Bantu PKK,
6) LSM.
7) Badan international seperti WHO, UNICEF,
GAVI, AusAID, PATH,JICA, USAID, CIDA.
11. Monitoring dan evaluasi PIN
Kegiatan pemantauan di lakukan disemua
tingkat administrasi. Hal-hal yang perlu di
pantau meliputi seluruh kegiatan persiapan dan
pelaksanaan PIN. Di tingkat pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota,kecamatan/pos PIN. Di kegiatan ini
di koordinir oleh bidang monev (monitoring dan
evaluasi). Hasil pemantauan di informasikan
kepada bidang lainnya untuk dibahas dan ditindak
lanjuti. Kegiatan pemantauan dalam bentuk
supervisi di lakukan dengan alat bantu checklist
(depkes.RI, 2005).
Evaluasi di lakukan untuk dapat menilai
apakah kegiatan berhasil dengan baik, mengetahui
masalah dan tindak lanjut yang diperlukan serta
dapat memberikan masukan atau umpan balik kepada
daerah secara berjenjang. Pertemuan evaluasi
sebaiknya dilakukan 2 kali yaitu setelah PIN
putaran 1 dan setelah putaran ke 2. Hasil
evaluasi di informasikan kepada panitia pin dan
pimpinan wilayah disemua tingkat administrasi
untuk dapat di manfaatkan untuk pelaksanaan PIN
berikutnya (depkes.RI, 2005).
Kegiatan monitoring dan evaluasi dalam tabel
berisi: pemantauan persiapan PIN, pemantauan
pelaksanaan PIN, dan pengumpulan data dan analisa
(depkes.RI, 2005).
Dalam melakukan evaluasi, hal ini tidak
terlepas dari proses pemantauan dari kegiatan
yang berlangsung. Kegiatan pemantauan dilakukan
di semua tingkat administrasi. Hal-hal yang perlu
dipantau meliputi seluruh kegiatan persiapan dan
pelaksanaan PIN. Di tingkat pusat, provinsi dan
Kabupaten/Kota, Kecamatan / Pos PIN. Kegiatan
pemantauan dalam bentuk supervisi dilakukan
dengan alat bantu checklist (Depkes RI, 2005).
Kegiatan-kegiatan ini dikoordinir oleh
bidang monev (monitoring dan evaluasi). Hasil
pemantauan dan evaluasi diinformasikan kepada
bidang lainnya untuk dibahas dan ditindak lanjuti
(Depkes RI, 2005).
Kegiatan Monitoring dan Evaluasi PIN
No KegiatanPus
at
Propi
nsi
Kab/
Kota
Kecamat
an
Desa/
KelKet
1.
Pemantaua
n
Persiapan
PIN
V V V V V
2.
Pemantaua
n
Pelaksana
an PIN
V V V V V V
3.
Pengumpul
an dan
Analisa
V V V V V V
a. Pemantauan Persiapan PIN
1) Hal –hal yang harus dilakukan adalah sebagai
berikut (Depkes, 2005):
a) Mendapatkan informasi tentang upaya khusus
di daerah sulit.
b) Memastikan apakah kebutuhan transportasi
untuk kegiatan supervisor, pergerakan
c) masyarakat, kebutuhan vaksin terpenuhi dan
cara pengiriman hasil cakupan
d) Bersama dengan panitia PIN setempat
mengidentifikasikan masalah dan
pemecahannya
e) Mengatur strategi pelayanan
f) Melakukan intensifikasi/mengganti metode
penggerakan masyarakat bila perlu.
g) Koordinasi dengan lintas sektor terkait.
2) Hal-hal yang perlu dibahas dalam pemantauan
putaran I adalah (Depkes, 2005):
a) Kecukupan vaksin
b) Kondisi cold chain
c) Penggerakan sasaran
d) Kemungkinan terjadinya KIPI
e) Kemungkinan cakupan yang belum tercapai
f) Pencatatan dan pelaporan
3) Pendanaan (Depkes, 2005)
a) Penyelesaian pertanggung jawaban keuangan
putaran I
b) Alokasi dana untuk kegiatan putaran II
b. Pemantauan lapangan pada hari pelaksanaan PIN
Pemantauan pelaksanaan PIN di tingkat
pusat dilakukan oleh eselon I /II dan staf
teknis keseluruh provinsi. Selain itu juga
dilakukan external evaluation dari tim WHO. Di
tingkat provinsi pemantauan dilakukan dengan
melakukan kunjungan kebeberapa Pos PIN di
seluruh Kabupaten/Kota terutama di daerah
risiko tinggi (Depkes, 2005).
12. Apa yang dimaksud dengan imunisasi rutin,
tambahan, khusus, dan KLB
a. Imunisasi rutin
Imunisasi adalah imunisasi yang secara
rutin dan terus-menerus harus dilaksanakan pada
periode waktu yang telah ditentukan.
Berdasarkan kelompok usia sasaran, imunisasi
rutin dibagi menjadi : imunisasi rutin pada
bayi, imunisasi rutin pada wanita usia subur
dan imunisasi rutin pada anak sekolah. Pada
kegiatan imunisasi rutin terdapat kegiatan-
kegiatan yang bertujuan untuk melengkapi
imunisasi rurin pada bayi dan Wanita Usia Subur
(WUS) seperti kegiatan sweeping pada bayi dan
kegiatan akselerasi MNTE (Maternal Neonatal Tetanus
Elimination) pada WUS. Pelayanan imunisasi rutin
dapat dilaksanakan di Puskesmas, Puskesmas
Pembantu, rumah sakit atau rumah bersalin,
Posyandu, di sekolah atau melalui kunjungan
rumah. Pelayanan imunisasi rutin ini dapat juga
dilakukan oleh swasta seperti rumah sakit
swasta, dokter praktek dan bidan praktek.
(Depkes RI,2008).
b. Imunisasi tambahan
Kegiatan imunisasi tambahan adalah kegiatan
imunisasi yang tidak rutin dilaksanakan, hanya
dilakukan atas dasar ditemukannya masalah dari
hasil pemantauan, atau evaluasi.
Yang termasuk dalam kegiatan imunisasi tambahan
ini adalah :
1. Backlog Fighting
Backlog fighting adalah upaya aktif melengkapi
imunisasi dasar pada anak yang berumur 1 - 3
tahun pada desa non UCI setiap 2 (dua) tahun
sekali.
2. Crash Program
Kegiatan ini ditujukan untuk wilayah yang
memerlukan intervensi secara cepat karena
masalah khusus seperti :
- Angka kematian bayi tinggi, angka PD3I
tinggi.
- Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang.
- Untuk memberikan kekebalan pada kelompok
sasaran yang belum
mendapatkan pada saat imunisasi rutin.
Karena biasanya kegiatan ini menggunakan biaya
dan tenaga yang banyak serta waktu yang relatif
panjang, maka perlu diikuti pemantauan,
supervisi dan evaluasi. Indikatornya perlu
ditetapkan misalnya cakupan DPT-1 dan
DPT-3/Campak untuk indikator pemantauan cakupan
dan angka morbiditas dan atau angka mortalitas untuk
indikator penilaian dampak (evaluasi). Hasil
sebelum dan sesudah crash program menunjukkan
keberhasilan program tersebut. Hasil evaluasi
ini akan menentukan bentuk follow up dari
kegiatanini.
c. Imunisasi Khusus
Imunisasi khusus meliputi:
1) PIN (Pekan Imunisasi Nasional)
PIN merupakan suatu upaya untuk
mempercepat pemutusan siklus kehidupan virus
polio importasi dengan memberikan vaksin polio
kepada setiap balita termasuk bayi baru
lahir tanpa mempertimbangkan status
imunisasi sebelumnya, pemberian imunisasi
dilakukan 2 (dua) kali masing-masing 2 (dua)
tetes dengan selang waktu 1 (satu) bulan.
Pemberian imunisasi polio pada waktu PIN
juga berguna sebagai booster atau imunisasi
ulangan polio.
2) Sub PIN
Sub PIN merupakan suatu upaya untuk
memutuskan rantai penularan polio bila
ditemukan satu kasus polio dalam wilayah
terbatas (kabupaten) yaitu dengan pemberian
dua kali imunisasi polio dalam interval satu
bulan secara serentak pada seluruh sasaran
berumur kurang dari satu tahun.
3) Catch Up Campaign Campak
Catch Up Campaign Campak merupakan suatu
upaya untuk pemutusan transmisi penularan
virus campak pada anak sekolah dan balita.
Kegiatan ini dilakukan dengan pemberian
imunisasi campak secara pada anak SD, tanpa
mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya.
Pemberian imunisasi campak pada waktu catch up
campaign campak di samping untuk memutus
rantai penularan, juga digunakan sebagai
booster atau imunisasi ulangan (dosis kedua).
d. Imunisasi KLB
Pelaksanaan imunisasi ini dalam penanganan KLB
di sesuaikan dengan situasi epidemiologis
penyakit.
13. Bagaimana indikator keberhasilan pada program
imunisasi
Indikator keberhasilan GAIN UCI (Gerakan
Akselerasi Imunisasi Nasional Universal Child
Immunization) mengacu pada RPJMN (Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional) Tahun 2010-
2014 dengan target pencapaian sebagai berikut:
Tahun 2010
a. Mencapai UCI desa/kelurahan 80%,
b. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang
mendapatkan imunisasi dasar lengkap 80%
Tahun 2011
a. Mencapai UCI desa/kelurahan 85%,
b. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang
mendapatkan imunisasi dasar lengkap 82%
Tahun 2012
a. Mencapai UCI desa/kelurahan 90%,
b. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang
mendapatkan imunisasi dasar lengkap 85%
Tahun 2013
a. Mencapai UCI desa/kelurahan 95%,
b. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang
mendapatkan imunisasi dasar lengkap 88%
Tahun 2014
a. Mencapai UCI desa/kelurahan 100%,
b. Persentase bayi usia 0-11 bulan yang
mendapatkan imunisasi dasar lengkap 90%
14. Bagaimana cara pengadaan , penyimpanan,
pendistribusian, dan pemakaian vaksin yang benar
a. Pengadaan
Pengadaan vaksin untuk program imunisasi
dilakukan oleh Ditjen. PPM & PL dari sumber
APBN dan BLN (Bantuan Luar Negeri). Pelaksanaan
pengadaan vaksin dilakukan melalui kontrak
pembelian dengan PT. Bio Farma sebagai produsen
vaksin satu-satunya di Indonesia.Vaksin
dari luar negeri pada umumnya diterima di
Indonesia apabila ada kegiatan khusus (seperti
Catch Up Campaign Campak) dan telah lolos uji dari
Casaeri. 2003. Faktor-faktor risiko kejadian penyakticampak di kabupaten kendal tahun 2002. Available athttp://eprints.undip.ac.id/14410/1/2003MIKM2202.pdfdiunduh 25 desember 2012
Depkes RI. 2005. Keputusan Meneteri Kesehatan RI NOMOR1287/MENKES/SK/VIII/2005. Pekan Imunisasi PolioNasional TAHUN 2005. Jakarta: Depkes
Depkes, R.I. 2004. Campak di Indonesia.Available at:http://www.penyakitmenular.info. Terakhir diakses 27desember 2012
DepKes RI. 2009. Pedoman Pengelolaan Vaksin. Diunduh dihttp://perpustakaan.depkes.go.id:8180/bitstream//123456789/1360/1/BK2009-Sep14.pdf, terakhir diaksespada tanggal 29 Desember 2012
Kemenkes RI. 2010. Strategi Pencapaian Kegiatan Imunisasi MelaluiGerakan Akselerasi Imunasasi Nasional Universal Child Imunization(GAIN UCI). Available at:http://www.slideshare.net/alunand350/strategi-gain-uci-pernas (Diakses 29 Desember 2012).
Depkes RI.2008.pekan imunisasi nasional.Perpustakaan.depkes.go id. 29 desember 2012.
Donna L. Wong. 2007. Pedoman Klinis KeperawatanPediatrik. EGC : Jakarta
I.G.N. Ranuh. 2008. Pedoman Imunisasi di Indonesia.Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Friedman, Gary D. 1993. Prinsip-prinsip Epidemiologi.Yogyakarta: Yayasan Essentia Medica.
Grimes, D. A. & Kenneth F. S. 2002. Cohort studies:marching towards outcomes. THE LANCET • Vol 359 •January 26, 2002
Hill, Austin Bradford. 1965. Proceeding of The Royal Societi ofMedicine. Available at:http://www.edwardtufte.com/tufte/hill (Diakses 29Desember 2012
Noor, Nur Nasry. 2008. Epidemiologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Salim A. 2008. Indikator prediksi kejadian luar biasacampak di provinsi Jawa Barat. Available at :journal.lib.unair.ac.id/index.php/IJPH/article/view/773/772 diunduh tanggal 25 desember 2012
Supraptini, Agustina Lubis, Joko Iranto. 2003. CakupanImunisasi Balita dan ASI Esklusif di Indonesia,Hasil Survei Kesehatan Nasional (SURKESNAS) 2001.Jurnal Ekologi Kesehatan. 2 (2): 249-254