1 B A B CAHAYA SEBAGAI GELOMBANG Jejak kajian tentang cahaya secara mendalam bisa kita lacak sejak peradaban Yunani kuno bahkan jauh sebelumnya. Ilmuwan kunci dalam kajian ini ialah Euclid yang amat masyhur dengan pendapatnya, “manusia dapat melihat karena mata mengirimkan cahaya kepada benda“. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul Alhazen yang bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Al Hazen berhasil membuktikan kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang benar adalah justru sebaliknya. Kita dapat melihat karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata kita. Bukti untuk menyanggah pendapat Euclid sangatlah sederhana. Dapatkah kita melihat dalam kegelapan malam yang begitu pekat? Jika kita bisa melihat karena mata kita yang mengirimkan cahaya, maka tentu dalam keadaan yang bagaimanapun kita akan dapat melihat. Oleh karena kita hanya dapat melihat dalam suasana yang terang cahaya, maka tentulah kita dapat melihat karena benda mengirimkan cahaya ke mata kita. Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang dianggap berhasil melakukan 2
36
Embed
CAHAYA SEBAGAI GELOMBANG · PDF fileMorley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Sehingga cahaya ... interferensi pada lapisan tipis seperti gelembung
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
B A B CAHAYA SEBAGAI
GELOMBANG
Jejak kajian tentang cahaya secara mendalam bisa kita lacak sejak peradaban
Yunani kuno bahkan jauh sebelumnya. Ilmuwan kunci dalam kajian ini ialah Euclid yang
amat masyhur dengan pendapatnya, “manusia dapat melihat karena mata mengirimkan
cahaya kepada benda“. Pendapat Euclid bertahan cukup lama sampai kemudian muncul
Alhazen yang bernama asli Ibnu al-Haitham (965-1038). Al Hazen berhasil membuktikan
kekeliruan pendapat Euclid. Menurutnya, yang benar adalah justru sebaliknya. Kita dapat
melihat karena ada cahaya dari benda yang sampai ke mata kita. Bukti untuk
menyanggah pendapat Euclid sangatlah sederhana. Dapatkah kita melihat dalam
kegelapan malam yang begitu pekat? Jika kita bisa melihat karena mata kita yang
mengirimkan cahaya, maka tentu dalam keadaan yang bagaimanapun kita akan dapat
melihat. Oleh karena kita hanya dapat melihat dalam suasana yang terang cahaya, maka
tentulah kita dapat melihat karena benda mengirimkan cahaya ke mata kita.
Dalam perkembangan selanjutnya, beberapa fisikawan tertarik untuk mengetahui
cepat rambat cahaya ini. Fisikawan pertama yang dianggap berhasil melakukan
2
2
pengukuran terhadap cepat rambat cahaya ialah Ole Roemer (1644 -1710) meskipun
hasilnya tidak setepat hasil pengukuran sekarang. Menurut pengukuran Roemer pada
tahun 1675, cahaya mempunyai laju sebesar 200 ribu km per detik. Fisikawan
sebelumnya, Galileo Galilei, hanya menyebutkan secara kualitatif bahwa cahaya
mempunyai kecepatan yang luar biasa.
Perkembangan berikutnya tentang kajian cahaya ditengarai dengan terbitnya teori
korpuskular cahaya yang diusulkan oleh ’begawan’ fisika klasik Isaac Newton (1642-
1727). Dalam teori ini, Newton mengganggap cahaya sebagai aliran partikel (butir-butir
cahaya) yang menyebabkan timbulnya gangguan pada eter di dalam ruang. Eter
merupakan zat hipotetis (artinya masih perlu diuji) yang dipercaya mengisi seluruh ruang
jagad raya. Teori korpuskular cahaya dipercaya oleh fisikawan-fisikawan berikutnya
sampai penghujung abad ke-18.
Pada awal abad ke-19, tepatnya tahun 1801, Thomas Young (1773-1829)
menemukan adanya peristiwa interferensi pada cahaya. Peristiwa ini merupakan pertanda
bahwa teori gelombang diperlukan untuk menjelaskan hakikat cahaya. Usulan Young
diperkuat oleh James Clerk Maxwell (1831-1879) yang menyatakan bahwa cahaya
merupakan bagian dari gelombang elektromagnetik. Saat itu, Maxwell masih yakin
bahwa gelombang elektromagnetik membutuhkan medium khusus untuk dapat merambat
dan ia menamakan medium tersebut sebagai eter bercahaya.
Sayang sekali, keyakinan Maxwell bahwa gelombang elektromagnetik
memerlukan medium eter dalam perambatannya dipatahkan oleh fisikawan Michelson
dan Morley melalui sebuah percobaan pada tahun 1887. Hasil percobaan Michelson-
Morley menegaskan bahwa eter sesungguhnya tidak ada. Sehingga cahaya (sebagai salah
satu gelombang elektromagnetik) tidak memerlukan medium untuk merambat.
Upaya penyingkapan rahasia cahaya terus berkembang. Pada tahun 1905 Einstein
(1879-1955) menunjukkan bahwa efek fotolistrik hanya dapat dijelaskan dengan
menganggap bahwa cahaya terdiri dari aliran diskrit (tidak kontinyu) foton energi
elektromagnetik
Sampai pada tahap ini, kita melihat bahwa ada dua paham besar dalam teori
cahaya, yakni paham yang percaya bahwa cahaya dapat dijelaskan dengan
menganggapnya sebagai partikel (teori korpuskular) dan paham kedua yang percaya
bahwa cahaya hanya dapat dijelaskan jika kita menganggapnya sebagai gelombang (teori
undulasi). Kedua paham itu silih berganti merebut pengaruh dengan argumentasi yang
meyakinkan.
Pertentangan dua pendapat ini memang sangat pelik. Pada beberapa gejala,
cahaya menunjukkan wataknya sebagai partikel. Tetapi pada beberapa gejala yang lain
cahaya tampil sebagai gelombang. Dan tentu saja, betapa tidak mudah untuk
menyelesaikan perselisihan ilmiah ini dengan menyusun suatu model yang secara
kompak bisa memaparkan watak gelombang dan partikel yang dimiliki oleh cahaya.
Pertentangan-pertentangan ini perlahan-lahan menjadi reda seiring berkembangnya teori
kuantum sejak 1900-an. Teori ini sejatinya cenderung pada paham korpuskular. Teori
ini menganggap bahwa cahaya adalah partikel (foton) yang memiliki aspek gelombang.
Aspek gelombang ini menuntun kita menentukan keadaan foton-foton itu secara statistik.
Dalam perkembangan selanjutnya, juga tampak nyata bahwa elektron dan partikel-
partikel elementer menunjukkan perilaku yang serupa (lihat bab 6 buku ini).
3
Dalam bab ini kita akan mempelajari cahaya tetapi khusus yang menyangkut
aspek gelombangnya. Kita akan membahas beberapa gejala terkait dengan cahaya
sebagai gelombang, tepatnya gelombang elektromagnetik. Gejala-gejala tersebut tidak
mungkin dijelaskan dengan optika geometrk. Gejala-gejala yang dimaksud adalah
difraksi, interferensi dan polarisasi. Gejala pembiasan dan pemantulan telah kita pelajari
secara mendalam dalam bab 6 buku jilid 1. Oleh karenanya tidak akan dibahas di sini.
Agar lebih mudah memahami hal-hal yang akan disajikan dalam bab ini, anda disarankan
untuk memperkuat kembali pemahaman anda tentang konsep-konsep dasar gelombang.
2.1 Perubahan Fase Gelombang Cahaya
2.1.1 Karena Perubahan Kerapatan Medium
Persamaan cepat rambat gelombang cahaya (gelombang elektromagnetik) dapat
diperoleh melalui persamaan-persamaan Maxwell (telah dibahas dalam bab gelombang
elektromagnetik dan optika geometrik). Hasil perhitungan dari persamaan-persamaan
Maxwell menunjukkan bahwa cepat rambat gelombang elektromagnetik di dalam suatu
medium adalah
1v , (2.1)
dengan ε menyatakan permitivitas listrik medium tempat menjalarnya gelombang
elektromagnetik dan μ adalah permeabilitas magnetik medium itu. Permitivitas listrik
dan permeabilitas magnetik merupakan watak khas suatu medium. Oleh karena itu, cepat
rambat atau laju rambat gelombang elektromagnetik sangat tergantung dari medium
tempat ia menjalar. Dalam ruang hampa, ε = ε0 = [(4)( 9 × 109) ]
-1 farad/meter atau
8,85 × 10-12
coulomb2/N.m
2 dan μ = μ0 = 4 × 10
-7 henry/meter atau 1,26 × 10
-6 N/A
2.
Dengan memasukkan kedua tetapan tersebut ke dalam persamaan (2.1) maka akan
didapat nilai cepat rambat gelombang elektromagnetik di ruang hampa sebesar c = 3 ×108
m/dt.
Untuk medium lain, nilai permitivitas listriknya menjadi 0 r dan
permeabilitas magnetiknya 0 r sehingga laju rambat gelombangnya menjadi
n
ccv
rr
(2.2)
dengan εr dan μr masing-masing merupakan permitivitas relatif dan permeabilitas relatif
medium dan n menyatakan ukuran kerapatan medium yang kemudian disebut indeks
bias medium. Oleh karena permeabilitas relatif berbagai macam bahan pada umumnya
mendekati nilai 1, maka rn permitivitas listriknya saja. Tabel 2.1 menyajikan nilai
indeks bias beberapa bahan.
4
Tabel 2. 1 Beberapa indeks bias
Medium Indeks bias
Air 1,33
Etil alkohol 1,36
Karbon bisulfida 1,63
Udara (1 atm 20C) 1,003
Metilin Iodida 1,74
Leburan kuarsa 1,46
Gelas, kaca krona (Crown) 1,52
Gelas, flinta 1,66
Natrium Klorida 1,53
Telah dijelaskan dalam bab optika geometrik bahwa perpindahan berkas cahaya
dari satu medium ke medium yang lain akan disertai adanya pemantulan dan pembiasan.
Dalam bagian ini kita akan menyaksikan gejala lain yang menyangkut aspek gelombang
cahaya, yakni perubahan fase. Telah dijelaskan pula bahwa dalam perpindahan cahaya
dari satu medium ke medium yang lain besaran yang tidak berubah adalah ferkuensi.
Sekarang, bila seberkas sinar memiliki panjang gelombang dalam ruang hampa, maka
anda dapat membuktikan sendiri bahwa sinar itu dalam suatu medium berindeks bias n,
akan memiliki panjang gelombang
n = n
. (2.2)
Jadi, panjang gelombang sinar itu berubah dengan faktor 1/n. Semakin rapat suatu
medium, maka panjang gelombang sinar yang melaluinya semakin pendek. Ini berarti
jumlah gelombang (lebih tepatnya kalau disebut sebagai jumlah getaran) yang melalui
medium itu menjadi lebih banyak dibandingkan di ruang hampa atau di medium lain
yang kurang rapat untuk jarak tempuh yang sama. Marilah kita lihat hal ini lebih
seksama. Andaikan seberkas sinar yang diceritakan di atas menempuh jarak sejauh L
dalam medium itu, maka jumlah gelombang yang ada adalam rentang jarak L itu adalah
Nn = n
L
=
nL= n
L = nN,
dengan N adalah jumlah gelombang dalam rentang jarak yang sama di ruang hampa.
Karena n > 1, maka Nn > N. Ini menegaskan pernyataan di atas. Satu istilah lagi, lintasan
optis adalah hasil kali antara indek bias dengan panjang lintasan geometrik yang dilalui
oleh cahaya. Dalan kasus di atas lintasan optis bagi berkas sinar tersebut adalah nL.
Sekarang ambilah dua kaca plan paralel dengan ukuran yang sama tetapi terbuat
dari bahan yang berbeda. Masing-masing memiliki indeks bias n1 dan n2. Letakkanlah
5
kedua kaca itu berdampingan seperti diperlihatkan pada gambar 2.1. Kemudian pada
kedua kaca plan paralel itu dilewatkan dua berkas sinar dengan frekuensi yang sama
(dengan kata lain, kedua berkas itu koheren). Andaikan 1 fase sinar yang melalui kaca
pertama tepat sebelum masuk ke kaca plan paralel pertama dan 2 fase sinar yang melalui
kaca plan paralel kedua tepat sebelum masuk ke kaca itu. Jadi, sebelum memasuki kaca
plan paralel terdapat beda fase sebesar 2 − 1. Untuk jarak tempuh sejauh L, yakni
panjang kedua kaca plan paralel, kedua berkas sinar itu memiliki jumlah gelombang yang
berbeda, yakni
N1 = n1
L
Dan
N2 = n2
L,
dengan panjang gelombang berkas
sebelum memasuki kaca plan
paralel. Fase gelombang cahaya
tepat setelah keluar dari kaca plan
paralel pertama adalah
1 + 2N1 = 1 + 2 n1
L.
Sedangkan fase gelombang cahaya tepat setelah keluar dari kaca plan paralel kedua
adalah
2 + 2N2 = 2 + 2 n2
L.
Beda fase kedua berkas itu tepat setelah keluar dari kaca plan paralel adalah
2 − 1 + 2(n2 − n1)
L.
Terlihat adanya perubahan beda fase senilai
2(n2 − n1)
L. (2.3)
Khususnya, bila kedua berkas itu memiliki fase yang sama tepat sebelum memasuki
masing-masing kaca plan paralel, maka timbul beda fase senilai yang ditunjukkan oleh
ungkapan (2.3). Kesimpulannya adalah : Perbedaan fase antara dua berkas sinar yang
koheren dapat berubah manakala kedua berkas sinar itu melalui dua bahan yang
mempunyai indeks bias (kerapatan) berbeda.
Sebagaimana telah dijelaskan pada bab 1 bahwa superposisi dua gelombang yang
koheren menghasilkan penguatan pada beberapa tempat dan pelemahan di beberapa
n2
n1
L
Gambar 2.1
6
tempat yang lain tergantung dari beda fase kedua gelombang itu. Gejala ini disebut
interferensi gelombang. Superposisi dua gelombang koheren beramplitudo sama
menghasilkan interferensi dengan penghapusan di beberapa tempat yang memiliki beda
fase n (dengan n ganjil). Dengan adanya perubahan beda fase akibat perubahan indeks
bias, maka orang dapat menghasilkan gejala interferensi dari dua berkas cahaya koheren
yang memiliki fase yang sama.
2.1.2 Karena Pemantulan
Perubahan fase gelombang cahaya dapat pula diakibatkan oleh peristiwa
pemantulan. Tetapi perubahan fase yang terjadi akibat pemantulan bersifat diskret dan
lebih tepat kalau disebut pembalikan fase. Pemantulan cahaya oleh bidang batas dua
medium yang memiliki indeks bias berbeda dapat dianalogikan dengan pemantulan
gelombang yang merambat pada tali (lihat kembali bab 1 buku ini) dengan ujung tetap
dan ujung bebas. Bila cahaya datang dari medium dengan indeks bias lebih tinggi dan
dipantulkan oleh medium dengan indeks bias yang lebih rendah, maka tidak ada
perubahan atau pembalikan fase. Hal ini terjadi sebagaimana pada pemantulan
gelombang yang merambat pada tali oleh ujung bebas. Bila cahaya menjalar dari medium
dengan indeks bias lebih rendah dan dipantulakn oleh permukan medium dengan indeks
bias lebih tinggi maka terjadi pembalikan fase, yakni mengalami perubahan fase sebesar
. Hal ini terjadi sebagaimana pada pemantulan gelombang yang merambat pada tali oleh
ujung tetap. Pembalikan fase oleh pemantulan ini mengakibatkan misalnya gejala
interferensi pada lapisan tipis seperti gelembung sabun ataupun tumpahan minyak tanah
di atas air. Gejala lain yang diakibatkan oleh pembalikan fase akibat pemantulan ini
adalah peristiwa interferensi pada cermin Llyod.
Latihan Konsep 2.1 :
1. Dari uraian di atas, terlihat bahwa gelombang cahaya mengalami perubahan pada
saat cahaya itu berpindah dari satu medium ke medium yang lain, sedangkan
frekuensi cahaya itu tidak berubah. Pengalaman keseharian menunjukkan bahwa
cahaya tidak mengalami perubahan warna pada saat berpindah medium. Hal ini
dapat dibuktikan dengan menjatuhkan sebuah benda ke dalam bak mandi yang
terisi air. Benda itu tetap berwarna merah di dalam air manakala benda itu juga
berwarna merah di udara. Lalu apa sesungguhnya yang menentukan warna
cahaya?
2. Hitunglah cepat rambat cahaya dalam beberapa medium yang nilainya tercantum
dalam tabel 2.1! Hitunglah jumlah gelombang cahaya merah yang merambat
dalam medium-medium itu untuk jarak tempuh sejauh 1 meter. Berapakah
panjang gelombang cahaya merah dalam medium-medium itu?
3. Perhatikanlah gambar 2.1. Andaikan berkas cahaya yang dilewatkan dalam
medium-medium itu memiliki panjang gelombang dan masing-masing medium
itu memiliki tebal yang sama, katakanlah d. Bila indeks bias ketiga medium itu
berturut-turut nX, nY dan nZ, pada saat melewati medium manakah berkas cahaya
itu memiliki jumlah gelombang (jumlah getaran) paling banyak? Hitunglah
perubahan fase yang dialami berkas cahaya itu!
7
2.2 Dispersi
Cahaya matahari bersifat polikromatik,
artinya terdiri dari banyak frekuensi. Di ruang
hampa seluruh frekuensi yang dimiliki cahaya
merambat dengan kecepatan yang sama. Tetapi
begitu ia memasuki medium, kerapatan medium
itu besarnya berlainan untuk tiap-tiap frekuensi,
sehingga masing-masing frekuensi merambat
dengan kecepatan yang berbeda satu dari yang
lain. Dengan suatu teknik tertentu (memakai
prisma, misalnya), cahaya akan terurai menjadi
komponen-komponenya, mulai dari warna merah dengan frekuensi paling rendah sampai
dengan warna ungu dengan frekuensi paling tinggi. Kita menyebut spektrum cahaya
matahari ini dengan istilah pelangi.
Gejala seperti ini dikenal sebagai peristiwa
penguaraian cahaya atau dispersi, yaitu peristiwa
penguraian gelombang elektromagnetik berfrekuensi
banyak (polikromatik) atas komponen-kompnennya
yang berfrekuensi tunggal (monokromatik).
Salah satu gejala alamiah yang terjadi sebagai
akibat dispersi adalah pelangi. Gejala ini tentu sangat
kita kenali, tetapi belum tentu kita pahami dengan
baik. Medium pengurainya adalah titik-titik air di
angkasa setelah hujan turun. Kita bisa menemukan
gejala yang serupa dengan pelangi pada saat
bertamasya di sekitar air terjun pada siang hari.
Semenatara di dalam laboratorium, anda dapat
menampilkan dispersi dengan menggunakan prisma
atau kekisi penghambur (difraksi) atau melalui
interferensi. Pada saat cahaya berada di dalam bahan
prisma, warna-warna cahaya akan terpecah. Pecahan
warna-warna ini akan keluar sebagai spektrum
pelangi karena memiliki sudut pembelokan yang
berbeda-beda (lihat kembali bab 6 jilid 1).
Indeks bias untuk warna merah dan ungu dari
beberapa bahan bening dapat kita lihat dalam tabel
2.2. Tampak bahwa indeks bias untuk warna ungu lebih besar daripada indeks bias untuk
warna merah. Sebab itulah, urutan pelangi adalah warna merah dulu di sebelah atas
kemudian berturut-turut sampai dengan ungu, persis yang ditampilkan oleh dispersi pada
prisma. Lebar spektrum pelangi diukur dengan sudut dispersi. Secara geometri sudut
dispersi tergantung pada sudut atap prisma dan dapat dihitung dengan menerapkan
hukum Snellius.
Gambar 2.3 Spektrum war-
na pelangi yang indah
medium X
medium Y
medium Z
udara
Gambar 2.2
in
8
Tabel 2. 2 Indeks bias warna merah dan ungu
dalam beberapa bahan
Bahan Indeks warna
merah
Indeks warna
ungu
Udara 1,0002914 1,0002957
Air 1,331 1,340
Es 1,3060 1,3170
Alkohol 1,360 1,370
Kaca flinta 1,5850 1,6040
Kaca krona 1,5200 1,5380
Quartz 1,5420 1,5570
Intan 2,4100 2,4580
Bila seberkas sinar berfrekuensi f jatuh dari udara dengan sudut datang pada
permukaan sebuah prisma yang memiliki sudut atap dan indeks bias terhadap sinar itu
nf, maka sinar itu akan dibelokkan dari arah semula dengan sudut pembelokan sebesar
f = ]cossinsinsin[sin 221
fn . (2.4)
Dispersi juga bisa terjadi pada lensa. Namun, acapkali dispersi seperti ini bersifat
merugikan sehingga kehadirannya tidak diinginkan, misalnya pada lensa kamera. Untuk
melenyapkan gejala dispersi pada lensa kamera kita dapat membuat susunan lensa yang
akromatik. Cahaya putih akan masuk ke lensa pertama dan terjadi dispersi. Spektrum
n
Gambar 2.4 Pembelokan oleh
prisma di udara
’
9
hasil dispersi lensa pertama akan masuk ke lensa kedua dan dikeluarkan sebagai cahaya
putih lagi.
Contoh 1 : Sebuah prisma dengan sudut atap 30° terbuat dari kaca krona. Sebuah berkas
cahaya putih jatuh pada prisma itu dengan sudut datang 60°. Hitunglah sudut dispersi
pada prisma itu!
Jawab : Dari tabel tampak bahwa indeks bias sinar merah untuk kaca krona adalah
Pembelokan sinar merah adalah 1,52. Jadi, dari persamaan (2.4) didapatkan
merah = ]cossinsinsin[sin 22
merah
1 n
= ]30cos60sin30sin60sin)52,1([sin3060 221
= 22,8°
Karena indeks bias sinar ungu untuk kaca krona 1,54, maka dengan cara yang sama
diperoleh bahwa ungu = 23,5°. Jadi, perbedaan sudut pembelokan sinar merah dari sinar
ungu adalah 0,7°. Inilah sudut dispersi pada prima itu.
Latihan Konsep :
1. Mengapa gemerlap warna-warni cahaya intan lebih indah dibandingkan dengan
dengan yang dimiliki oleh kaca biasa walau bentuknya sama?