This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Perilaku Abnormal pada Anak dan Remaja
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Psikologi Abnormal
Disusun oleh:
Prima Septiana V (M2A 004 051)
Tyas Wulandari (M2A 004 073)
Andriani Rahmi (M2A 005 003)
Farida Nurrohmah (M2A 005 030)
Fitria Susanti (M2A 005 034)
Laelatus Syifa S. A (M2A 004 047)
Novita (M2A 005 055)
Waode Azman K (M2A 005 083)
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2007
BAB I
PENDAHULUAN
Untuk mengklasifikasikan perilaku abnormal pada anak-anak, hal pertama kita
harus mengetahui apa yang dianggap normal pada usia tersebut. Untuk menentukan apa
yang normal dan abnormal, khusus pada anak dan remaja yang perlu ditambahkan selain
kriteria umum yang telah kita ketahui adalah factor usia anak dan latar belakang budaya.
Banyak masalah yang pertama kali teridentifikasi pada saat anak masuk sekolah. Masalah
tersebut mungkin sudah muncul lebih awal tetapi masih ditoleransi, atau tidak dianggap
sebagai masalah ketika di rumah. Kadang-kadang stres karena pertama kali masuk
sekolah ikut mempengaruhi kemunculannya (onset). Namun, perlu diingat bahwa apa
yang secara sosial dapat diterima pada usia tertentu, menjadi tidak dapat diterima di usia
yang lebih besar. Banyak pola perilaku yang mungkin dianggap abnormal pada masa
dewasa, dianggap normal pada usia tertentu.
Gangguan pada anak-anak ini sering kali di kelompokkan dalam dua kelompok
yaitu eksternalisasi dan internalisasi. Gangguan eksternalisasi ditandai dengan perilaku
yang diarahkan ke luar diri, seperti agresivitas, ketidakpatuhan, overaktivitas, dan
impulsivitas dan termasuk berbagai kategori DSM-IV-TR, yaitu ADHD, gangguan
tingkah laku (GTL), dan gangguan sikap menentang (GSM). Gangguan internalisasi
ditandai dengan pengalaman dan perilaku yang lebih terfokus kedalam diri seperti
depresi, menarik diri dari pergaulan social, dan kecemasan, termasuk juga anxietas dan
mood dimasa anak-anak.
Anak-anak yang memiliki masalah-maslah yang terinternalisasi lebih besar
kemungkinannya untuk tidak tertangani dibandingkan mereka yang memiliki masalah
yang tereksternalisasi yang cenderung lebih mengganggu bagi orang lain. Anak laki-laki
memiliki resiko yang lebih besar untuk mengembangkan banyak masalah di masa kanak-
kanak, berkisar dari autisme sampai hiperaktif hingga ganggua eliminasi. Masalah
kecemasan dan depresi juga mempengaruhi leih banyak anak laki-laki daripada
perempuan. Namun demikian, pada masa remaja gangguan kecemasan dan gangguan
mood lebih umum dijumpai pada anak perempuan dan demikian seterusnya sampai masa
remaja.
BAB II
ISI
A. Gangguan Pemusatan Perhatian / Hiperaktivitas
Seorang anak yang selalu begerak, mengetuk-ketukkan jari, mengoyang-goyangkan
kaki, mendorong tubuh anak lain tanpa alasan yang jelas, berbicar tanpa henti, dan
bergerak gelisah sering kali disebut hiperaktif. Anak-anak tersebut sulit untuk
berkonsentrasi pada tugasyang dikerjakan dalam waktu tertentu yang wajar.
Diagnosis ADHD tidak tepat untuk anak-anak yang ribut, aktif, atau agak mudah
teralih perhatiannya karena di tahun-tahun awal sekolah anak-anak sering berperilaku
demikian (Whalen, 1983). Anak dengan ADHD mengalami kesulitan mengendalikan
aktifitas dalam berbagai situasi yang menghendaki mereka duduk tenang. Mereka
terdisorganisasi, eratik, tidak berperasaan, kerasa kepala, dan bossy. Banyak anak ADHD
mengalami kesulitan besar untuk bermain dengan anak seusia mereka dan menjalin
persahabatan (Hinshaw & Melnick, 1995; Whalen & Henker, 1985), hal ini mungkin
karena mereka cenderung agresif saat bermain sehingga membuat teman-temannya
merasa tidak nyaman.
Anak ADHD bermain agresif dengan tujuan mencari sensasi sedang anak normal
malakukan hal tersebut dangan tujuan untuk bermain sportif. Anak ADHD mengetahui
tindakan yang dibenarkan secara sosial dalam berbagai situasi hipotesis, namun tidak
mampu mempraktekan pengetahuan tersebut dalam perilaku interaksi sosialnya (Whalen
& Henker, 1985, 1999). Karena simtom-simtom ADHD bervariasai, DSM-IV-TR
mencantumkan tiga subkategori, yaitu:
1. Tipe predominan inatentif: anak-anak yang masalah utamanya adalah rendahnya
konsentrasi.
2. Tipe predominan Hiperaktif-Impulsif: anak-anak yang masalah utamanya diakibatkan
oleh perilaku hiperaktif-impulsif.
3. Tipe kombinasi: anak-anak yang mengalami kedua rangkaian masalah diatas.
Anak-anak yang mengalami masalah atensi, namun memiliki tingkat aktivitas yang
sesuai dengan tahap perkembangannya, tampak sulit memfokuskan perhatian atau lebih
lambat dalam memproses informasi (Barkley, Grodzinsky, & DuPaul,1992), mungkin
berhubungan dengna masalah pada daerah frontal atau striatal otak (Tannock,1998).
Gangguan ADHD, lebih berhubungan dengan perilaku tidak mengerjakan tugas di
sekolah, kelemahan kognitif, rendahnya prestasi, dan prognosis jangka panjangnya lebih
baik. Berbeda dengan anak yang mengalami gangguan tingkah laku, mereka bertingkah
disekolah dan dimana pun, dan kemungkinan jauh lebih agresif, serta mungkin memiliki
orang tua yang antisosial.
ADHD ini banyak terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan. Anak yang
mengalami ADHD, menunjukkan aktivitas yang berlebihan, perilaku temperamental, rasa
ingin tahu yang berlebihan, serta sangat energik dalam bermain.
A.1 Teori Biologi ADHD
a. Faktor genetik, penelitian menunjukan bahwa predisposisi genetika terhadap
ADHD kemungkinan berperan. Bila orang tua menderita ADHD, kemungkinan
sebagian anaknya akan mengalami gangguan tersebut (Biederman, dkk, 1995).
Mengenai apa yang diturunkan dalam keluarga sampai saat ini belum ditemukan,
namun studi baru-baru ini menunjukan bahwa ada perbedaan ungsi dan struktur
otak pada anak ADHD dan anak yang tidak ADHD. Frontal lobe pada anak
ADHD kurang responsif terhadap stimulasi (Rubia dkk,1999 ; tannock, 1998),
aliran darah cerebral berkurang (Sieg dkk, 1995). Terlebih lagi beberapa bagian
otak (frontal lobe, nucleus, kaudat, globus pallidus) pada anak ADHD lebih kecil
dari ukuran normal (Castellanos dkk, 1996; Filipek dkk, 1997; Hynd dkk, 1993).
b. Faktor perinatal dan prenatal, berbagai hal yang berhubungan dengan masa-
masa kelahiran, serta berbagai zat yang dikonsumsi ibu saat kehamilan,
merupakan prediktor simtom-simtom ADHD.
c. Racun lingkungan, teori pada tahu 1970-an menyangkut peran racun dalam
terjadinya hiperaktifitas. Zat-zat adiktif pada makanan mempengaruhi kerja
system saraf pusat pada anak-anak hiperaktif. Nikotin, merupakan racun
lingkungan yang dapat berperan dalam terjadinya ADHD.
A.2 Teori Psikologis ADHD
Bruno Bettelheim (1973), mengemukakan teori diathesis-stres mengenai ADHD,
yaitu hiperaktifitas terjadi bila suatu predisposisi terhadap gangguan dipasangkan dengan
pola asuh orang tua yang otoritarian. Pembelajaran juga dapat berperan dalam ADHD,
seperti yang dikemukakan Ross dan Ross (1982), hiperaktivitas dapat merupakan
peniruan perilaku orang tua dan saudara-saudara kandung. Dalam hubungan orang tua-
anak sangat kurang bersifat dua arah dan lebih mungkin merupakan “rantai asosiasi
kompleks” (Hinshaw dkk, 1997). Seperti halnya orang tua anak yang hiperaktif mungkin
memberi lebih banyak perintah dan memiliki interaksi negatif dengan mereka
(a.l.,Anderson, Hinshaw, & Simmel, 1994; Heller dkk, 1996), demikian juga anak-anak
hiperaktivitas diketahui kurang patuh dan memiliki interaksi yang lebih negative dengna
orang tua mereka (Barkley, Karlsson & Pollar; Tallmadge & Barkley, 1983).
A.3 Penanganan ADHD
1). Pemberian Obat Stimulan. Metilfenidat, atau Ritalin, telah diresepkan bagi
ADHD sejak awal tahun 1960-an (Sprague & Gadow, 1976), termasuk
amfetamin, atau Adderall, dan Pemolin atau Cylert. Obat-obatan ini digunakan
untuk mengurangi perilaku menganggu dan meningkatkan konsentrasi. Namun,
penelitian lain mengindikasikan bahwa obat-obatan tersebut tidak dapat
meningkatkan prestasi akademik untuk waktu lama. Efek samping dari obat-
obatan ini adalah hilangnya nafsu makan untuk sementara dan masalah tidur.
2). Penanganan Psikologis. Selain pemberian obat, penanganan yang paling
menjanjikan bagi anak-anak ADHD mencakup pelatihan bagi orang tua dan
perubahan menajemen kelas berdasarkan prinsip-prinsip pengondisian operant.
Program ini mampu untuk memperbaiki perilaku sosial dan akademik. Pada
penanganan ini perilaku anak dipantau dan di rumah dan di sekolah, dan mereka
diberi penguatan untuk berperilaku sesuai dengan harapan.
Fokus program operant ini adalah meningkatkan karya akademik,
menyelesaikan tugas-tugas rumah, atau belajar keterampilan sosial spesifik, dan
bukan untuk mengurangi tanda-tanda hiperaktivitas, seperti berlari ke sana
kemari dan menggoyang-goyangkan kaki. Berbagai intervensi di sekolah bagi
anak ADHD, mencakup pelatihan bagi para guru untuk memahami kebutuhan
unik anak-anak tersebut dan menerapkan teknik-teknik operant tersebut di kelas
(Welsh dkk, 1997), pembimbingan oleh teman sebaya dalam keterampilan
akademik (DuPaul & Henningson,1993), meminta guru-guru untuk memberikan
laporan harian kepada orang tua mengenai perilaku anak di sekolah, yang
ditindaklanjuti dengan hadiah dan konsekuensi di rumah (Kelly, 1990).
B. Gangguan Tingkah Laku
Definisi gangguan tingkah laku pada DSM-IV-TR memfokuskan pada perilaku yang
melanggar hak-hak dasar orang lain dan norma-norma sosial utama. Tipe perilaku yang
dianggap sebagai simtom gangguan tingkah laku mencakup agresi dan kekejian terhadap
orang lain atau hewan, merusakkan kepemilikan, berbohong, dan mencuri. Gangguan
tingkah laku merujuk pada berbagai tindakan yang kasar dan sering dilakukan yang jauh
melampaui kenakalan dan tipuan praktis yang umum dilakukan anak-anak dan remaja.
Seringnya, perilaku ini ditandai dengan kesewenang-wenangan, kekejian dan kurang
penyesalan.
Kriteria gangguan tingkah laku dalam DSM-IV-TR :
1. Pola perilaku yang berulang dan tetap yang melanggar hak-hak dasar orang lain atau
norma-norma sosial konvensional yang terwujud dalam bentuk tiga atau lebih
perilaku dibawah ini dalam 12 bulan terakhir dan minimal satu diantaranya dalam
enam bulan terakhir :
a. Agresi terhadap orang lain dan hewan, contohnya mengintimidasi, memulai
perkelahian fisik, melakukan kekejaman fisik kepada orang lain atau hewan,
memaksa seseorang melakukan aktivitas seksual
b. Menghancurkan kepemilikan (properti), contohnya membakar, vandalisme
c. Berbohong atau mencuri, contohnya, masuk dengan paksa ke rumah atau mobil
milik orang lain, menipu, mengutil
d. Pelanggaran aturan yang serius, contohnya tidak pulang ke rumah hingga larut
malam sebelum usia 13 tahun karena sengaja melanggar peraturan orang tua,
sering membolos sekolah sebelum berusia 13 tahun
2. Disabilitas signifikan dalam fungsi sosial, akademik atau pekerjaan
3. Jika orang yang bersangkutan berusia lebih dari 18 tahun, kriteria yang ada tidak
memenuhi gangguan kepribadian anti sosial
Banyak anak yang mengalami gangguan tingkah laku juga menunjukkan gangguan
lain. Ada tingkat komorbiditas yang tinggi antara gangguan tingkah laku dan ADHD. Hal
ini terjadi pada anak laki-laki, namun jauh lebih sedikit yang diketahui mengenai
komorbiditas gangguan tingkah laku dan ADHD pada anak perempuan. Penyalahgunaan
zat juga umum terjadi bersamaan dengan gangguan tingkah laku dimana dua kondisi
tersebut saling memperparah satu sama lain.
Terdapat bukti bahwa anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku dan
komorbid dengan hambatan behavioral memiliki kemungkinan lebih kecil untuk
melakukan kejahatan dibanding mereka yang mengalami gangguan tingkah laku yang
komorbid dengan penarikan diri dari pergaulan sosial. Bukti-bukti menunjukkan bahwa
anak-anak perempuan yang mengalami gangguan tingkah laku beresiko lebih tinggi
untuk mengalami berbagai gangguan komorbid, termasuk kecemasan, depresi,
penyalahgunaan zat, dan ADHD dibanding dengan anak laki-laki yang memiliki
gangguan tingkah laku.
B.1 Prognosis Gangguan Tingkah Laku
Gangguan tingkah laku di masa kanak-kanak tidak dengan sendirinya berlanjut
menjadi perilaku antisosial di masa dewasa, meskipun memang menjadi faktor yang
mempredisposisi. Studi baru-baru ini, menunjukkan bahwa meskipun sekitar separuh
anak laki-laki yang mengalami gangguan tingkah laku tidak memenuhi kriteria lengkap
bagi diagnosis tersebut pada pengukuran terkemudian (1-4 tahun kemudian), hampir
semuanya tetap menunjukkan beberapa masalah tingkah laku (Lahey dkk.,1995).
Beberapa individu tampaknya menunjukkan pola perilaku anti sosial yang “tetap
sepanjang hidup”, dengan masalah tingkah laku yang bermula di usia 3 tahun dan
berlanjut menjadi kesalahan perilaku yang serius di masa dewasa. Sementara itu, yang
lain “terbatas di usia remaja”. Orang-orang tersebut mengalami masa kanak-kanak yang
normal, terlibat dalam perilaku antisosial dengan tingkat yang tinggi selama masa renaja,
dan kembali ke gaya hidup tidak bermasalah di masa dewasa.
Lahey, dkk (1995) menemukan bahwa anak laki-laki dengan gangguan tingkah laku
perilaku antisosialnya jauh lebih mungkin untuk berlanjut jika memiliki salah satu orang
tua yang mengalami gangguan kepribadian antisosial atau jika mereka memilki
kecerdasan verbal rendah. Interaksi beberapa faktor individual, seperti temperamen,
psikopatologi yang dialami orang tua, dan interaksi orang tua-anak yang disfungsional,
dan faktor-faktor sosiokultural, seperti kemiskinan, dan dukungan sosial rendah,
berkontribusi terhadap lebih banyaknya kemungkinan timbulnya perilaku agresif di usia
dini dengan sifat tetap.
B.2 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tingkah Laku
a. Faktor-faktor biologis. Dalam tiga studi adopsi berskala besar di Swedia, Denmark,
dan Amerika Serikat, mengindikasikan bahwa perilaku kriminal dan agresif
dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan dimana faktor lingkungan
pengaruhnya sedikit lebih besar. Dari studi terhadap orang kembar mengindikasikan
bahwa perilaku agresif (a.l kejam terhadap hewan, berkelahi, merusak kepemilikan)
jelas diturunkan, sedangkan perilaku kenakalan lainnya (a.l mencuri, lari dari rumah,
membolos sekolah) kemungkinan tidak demikian. Kelemahan neurologis, tercakup
dalam profil masa kanak-kanak dari anak-anak yang mengalami gangguan tingkah
laku. Kelemahan tersebut termasuk keterampilan verbal yang rendah, masalah dalam
fungsi pelaksanaan (kemampuan mengantisipasi, merencanakan, menggunakan
pengendalian diri, dan menyelesaikan masalah) dan masalah memori.
b. Faktor-faktor psikologis. Teori pembelajaran yang melibatkan modelling dan
pengondisian operant memberikan penjelasan yang bermanfaat mengenai
perkembangan dan berlanjutnya masalah tingkah laku. Anak-anak dapat mempelajari
agresivitas orang tua yang berperilaku agresif. Anak juga dapat meniriu tindakan
agresif dari berbagai sumber lain seperti televisi. Karena agresi merupakan cara
mencapai tujuan yang efektif , meskipun tidak menyenangkan , kemungkinan hal
tersebut dikuatkan. Oleh karena itu setelah ditiru, tindakan agresif kemungkinan akan
dipertahankan.Berbagai karakteristik pola asuh seperti disiplin keras dan tidak
konsisten dan kurangnya pengawasan secara konsisiten dihubungkan dengan perilaku
antisosial pada anak-anak.
c. Pengaruh dari teman-teman seusia. Penelitian mengenai pengaruh teman seusia
terhadap agresi dan antisocial anak-anak memfokuskan pada dua bidang besar, yaitu:
1) Penerimaan atau penolakan dari teman-teman seusia. Penolakan menunjukkan
hubungan yang kausal dengan perilaku agresif, bahkan dengan tindakan
pengendalian perilaku agresif yang terdahulu (Coie & Dodge, 1998).
2) Afiliasi dengan teman-teman seusia yang berperilaku menyimpang. Pergaulan
dengan teman seusia yang nakal juga dapat meningkatkan kemungkinan perilaku
nakal pada anak (Capaldi & Patterson, 1994).
d. Faktor-faktor sosiologis. Tingkat pengangguran tinggi, fasilitas pendidikan yang
rendah, kehidupan keluarga yang terganggu, dan subkultur yang menganggap
perilaku criminal sebagai suatu hal yang dapat diterima terungkap sebagai faktor-