-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5362 Hal :53
POTENSI LONGSOR DASAR LAUT DI PERAIRAN MAUMERE
Yukni ARIFIANTI Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi,
Badan Geologi,
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral Jl. Diponegoro 57,
Bandung 40122 Telp. 022-7272606, Fax. 022-7202761
E-mail: [email protected]
ABSTRACT On December 1992, an earthquake with the intensity of
6.8 SR stroked Flores Sea and caused a huge
tsunami. This tsunami induced by submarine landslide killed
almost 2080 persons. Recent investigation shows that submarine
landslide caused a huge tsunami in Padang on 1797 and also in
Pangandaran on 2006 with many victims and losses of material.
Because of the destructive effect of submarine landslide, then a
research about the potency of submarine landslides occurrences and
distribution in the Maumere Bay region is needed. With the
interpretation on Bathymetry Map and 2 dimension reflection seismic
records to a morphological condition and geological structure then
the potency of submarine landslides and its distribution in the
Maumere Bay will be obtained. The presence of geological structure
in Flores Sea with a steep slope morphological is the main factor
of this submarine landslide which will trigger tsunami in Maumere
Bay. Keywords: landslide, submarine, bathymetry, seismic, Maumere
PENDAHULUAN
Proses geologi yang berhubungan dengan dinamika lantai samudera
diantaranya adalah longsor dasar laut yang berpotensi merusak dasar
laut. Longsor dasar laut yang berasosiasi dengan gempa bumi dapat
memicu terjadinya tsunami yang besar dengan dampak yang sangat
merusak.
Ada beberapa jenis longsor dasar laut yaitu flow slide (longsor
mengalir), mudflow (aliran lumpur) dan slump (nendatan). Flow slide
disebabkan oleh akumulasi bahan rombakan longsor yang mengalir dari
lereng atas ke bawah mengikuti lereng. Jenis longsor ini biasanya
muncul di sedimen lemah berupa pasiran dengan pergerakan yang
sangat cepat. Mudflow adalah longsor yang terjadi di daerah yang
mengalami pengendapan secara cepat. Bentuk longsor ini amat
kompleks sehingga mekanisme kejadiannya jarang bisa diketahui
(Garrison and Sangrey. 1977).
Slump adalah pergerakan material tidak terkonsolidasi atau
terkonsolidasi lemah di permukaan retakan yang berotasi turun
sepanjang bidang lengkung (Monroe and Wicander, 1997). Slump bisa
terjadi pada hampir semua daerah paparan benua
(continental shelf) yang memiliki gradien lereng cukup curam.
Walau slump sering bergerak lebih lambat daripada jenis longsor
lain tapi potensi kerusakan yang diakibatkannya lebih besar
mengingat perpindahan materialnya di sepanjang bidang luncur
(failure surface) akan merusak tiap struktur buatan
manusia(Garrison and Sangrey. 1977).
Penyelidikan awal tentang prediksi penyebab longsor dasar laut
hingga sekarang telah difokuskan pada pemicu seperti muatan seismik
(gempa bumi) dan daerah-daerah berlereng curam (Morgenstern, 1967,
Lee et al, 2000). Jenis longsor dasar laut seperti flow slide bisa
dikenali dengan adanya gangguan pada suatu keadaan morfologi yang
menunjukkan adanya pergerakan minor pada massa tanah-terganggu.
Keadaan morfologi pada massa tanah-terganggu akan menentukan apakah
longsoran akan berhenti pada jarak terdekat atau akan berubah
menjadi aliran yang akan mencapai jarak yang jauh (Whelan, 1977;
Hampton, 1982). Di lingkungan kontinental yang berasosiasi dengan
pulau-pulau gunung api juga bisa terjadi slump dan debris
avalanches dengan pergerakan yang bisa mencapai jarak sejauh 200
km. Bencana
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5462 Hal :54
tersebut bisa menyebabkan tsunami (Moore and Normark, 1994).
Penelitian Pre-Tsunami Investigation of Seismic Group
(PreTI-GAP) di Kepulauan Mentawai menghasilkan rekaman data yang
menunjukkan adanya bekas longsor dasar laut yang sangat besar.
Jejak-jejak longsor di area sepanjang 340 km segmen timur Kep.
Mentawai itu diduga sebagai penyebab terjadinya tsunami setinggi
lima meter di Kota Padang pada 1797 (Singh, 2008). Hal ini
disebabkan oleh adanya guncangan gempa dengan intensitas tertentu
yang mempengaruhi struktur geologi berupa sesar di timur laut Kep.
Mentawai dan menyebabkan longsor dasar laut yang kemudian memicu
tsunami besar (Permana H., 2008). Sama halnya dengan tsunami
setinggi dua meter yang menerjang Pangandaran pada 2006 pasca gempa
berkekuatan 7,2 Skala Richter diduga penyebabnya adalah longsor
dasar laut (Singh, 2008).
Daerah penelitian dan sekitarnya terletak di daerah Perairan
Maumere (Gambar 1) terletak di daerah Zona Sesar Flores dengan
rangkaian punggungan yang membentuk kelurusan berarah
baratdaya-timurlaut. Kelurusan tersebut di beberapa tempat
tergeserkan. Hal ini memberikan tanda adanya sesar geser pada
daerah tersebut (Permana H., dkk., 1993). Di antara punggungan
dasar laut Perairan Maumere terdapat perlapisan sedimen yang di
beberapa tempat mengalami perlipatan, penerobosan dan pensesaran.
Struktur sesar yang berkembang di sini menunjukkan sesar mendatar
(Setya Budhi. 1994).
Gambar 1. Peta lokasi daerah penelitian.
Daerah Perairan Maumere termasuk daerah yang memiliki tingkat
kegempaan yang cukup tinggi. Gempa bumi pada tanggal 12 Desember
1992 yang berintensitas IX X skala Mercally di daerah Maumere,
berdasarkan hasil interpretasi beberapa peneliti mempunyai harga
parameter yang berbeda, terutama pada posisi sumber gempa. Secara
lateral posisi gempa bumi ini 40 km barat laut kota Maumere, dan
getarannya mengakibatkan kerusakan di pulau Flores dan sekitarnya.
Disamping gempa utama juga terjadi gempa susulan dengan intensitas
magnitudo kurang dari 4 (Mb) (Soehaimi, A., dan Kertapati, E.
1993).
Dari kajian teori dapat dirumuskan hipotesis bahwa kondisi
morfologi dan keberadaan struktur geologi di dasar laut Maumere
merupakan faktor utama penyebab terjadinya longsor dasar laut.
Longsor dasar laut ini kemudian memicu tsunami besar dengan
mengabaikan faktor tingkat kegempaan, sedimen dasar lautnya dan
faktor keamanan lereng.
Adapun batasan permasalahan dalam penelitian ini adalah
menganalisis kondisi longsor dasar laut melalui keadaan morfologi
dengan menggunakan peta batimetri dan struktur geologi hasil
interpretasi rekaman seismik refleksi 2-dimensi. Tujuannya adalah
untuk mengetahui potensi longsor dasar laut di Perairan Maumere dan
sebaran longsor tersebut.
METODA PENELITIAN
Penelitian di kawasan Perairan Maumere hingga laut lepas dengan
luas daerah 1422 km ini ditunjang data-data sekunder berupa peta
batimetri dasar laut, penampang seismik refleksi 2 dimensi Perairan
Maumere, dan beberapa literatur tentang keadaan geologi daerah
penelitian. Penampang seismik refleksi 2 dimensi di perairan
tersebut terdiri dari 35 lintasan.
Pada tahap berikut dilakukan interpretasi data yang diperoleh
dengan analisis morfologi dan struktur geologi.
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5562 Hal :55
A. Analisis Morfologi Analisis peta batimetri dilakukan
untuk
mengetahui morfologi perairan Maumere. Hasilnya berupa peta
morfologi yang membagi daerah penelitian ke dalam beberapa satuan
morfologi. Interpretasi ini meliputi beberapa perhitungan sebagai
berikut :
1. Perhitungan slope Pengukuran kemiringan lereng (slope)
dilakukan terhadap peta batimetri dengan menggunakan metode
Wentworth, 1930 dengan persamaan 1 yaitu (Hidartan, H.A.,
1994):
( ) %100.1 x
hIcns
= ................. (1)
dengan : s = nilai kemiringan lereng dalam % n = jumlah kontur
Ic = interval kontur h = jarak horizontal (m)
Pengklasifikasian nilai kemiringan lereng didasarkan klasifikasi
kelas lereng oleh Van Zuidam (1983) diperlihatkan pada Tabel 1.
Kemiringan lereng rata-rata dalam setiap satuan dapat diketahui
dari persamaan 2 (Setyawan, dkk., 2002):
xnSSS
S nxnnn +++= )...( 21 ............... (2)
dengan :
nS = kemiringan lereng rata-rata pada satuan morfologi dasar
laut-n Snx = kemiringan lereng rata-rata pada unit grid/cell-n x =
jumlah unit grid/cell dalam satuan morfologi dasar laut-n
Tabel 1. Klasifikasi kelas lereng
Kelas lereng Slope (%) Keterangan
I II III IV V VI
0 2 2 7
7 15 15 25 25 45
> 45
Datar Landai
BergelombangCuram
Sangat curam Terjal
2. Perhitungan Morfometri a. Gradien Hipsometri
Gradien hipsometri merupakan suatu grafik yang akan memberikan
gambaran hubungan antara kemiringan lereng dengan luas sebarannya
dengan menggunakan rumus (Setyawan, dkk., 2002):
=A
nSAnS
. .............. (3)
dengan : An = persentase luas satuan morfologi dasar
laut-n A = luas setiap satuan morfologi dasar laut S =
kemiringan lereng rata-rata Kelas lereng yang kemiringannya curam
sekitar 20% atau lebih, umumnya berpotensi untuk bergerak atau
longsor (Setyawan, dkk., 2002). b. Relief Hipsometri
Relief hipsometri merupakan suatu grafik yang memberikan
gambaran hubungan antara kedalaman laut dengan luas sebaran kelas
kedalaman dan menentukan tingkat kedalaman yang paling besar dengan
menggunakan rumus (Setyawan, dkk., 2002):
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5662 Hal :56
=ADAr
D rat).(
......... (3)
dengan : Ar = luas setiap unit kelas kedalaman Drat = kedalaman
rata-rata setiap kelas
kedalaman D = kedalaman rata-rata B. Analisis Struktur
Geologi
Pengambilan data seismik refleksi dan batimetri di lapangan
didapat dengan cara pemeruman/soundings. Data ini dihasilkan dengan
memanfaatkan hasil pantulan gelombang akustik oleh bidang pantul
akibat adanya perbedaan berat jenis pada bidang batas antara
lapisan sedimen yang satu dengan yang lainnya. Hasil yang diperoleh
merupakan penampang seismik menerus sepanjang lintasan (Budiono, K.
2002).
Rekaman seismik refleksi dapat didefinisikan sebagai kumpulan
dari lintasan seismik pantul. Parameter seismik yang dianalisis
secara langsung di lintasan seismik adalah konfigurasi refleksi
seismik. Konfigurasi ini adalah pola stratifikasi atau perlapisan
kasar yang terdapat pada rekaman seismik. Penafsirannya menggunakan
prinsip-prinsip seismik stratigrafi, yaitu pengenalan terhadap
ciri-ciri reflektor batas atas, batas bawah, dan bagian dalam
setiap unit seismik (Priyono, 2000). Interpretasi yang dilakukan
terhadap lintasan seismik akan menghasilkan indikasi sesar dan
indikasi longsor dasar laut. Ada lima tipe dasar konfigurasi yaitu
(Rosandic, 1978): a. Pola paralel, terdiri dari tiga bagian
yaitu
pola datar, bergelombang, dan kombinasi keduanya pada bidang
datar dengan laju yang sama.
b. Pola divergen, dicirikan oleh bidang yang membaji di beberapa
tempat akibat laju pengendapan yang bervariasi.
c. Pola progradasi, pola yang dihasilkan oleh penambahan
deposisi lateral yang berubah terhadap posisi semula berupa
sigmoid, miring (oblique), clinoform, dan kombinasinya.
d. Kaotik (chaotic), dicirikan oleh banyaknya bidang
diskontuinitas pantulan sehingga menghasilkan kenampakan
berbintik-bintik dan bercak-bercak pada rekaman seismik. Sifat pada
pola ini adalah amplitudo yang bervariasi, menunjukkan adanya
komplikasi endapan tektonik.
e. Pola bebas refleksi, daerah bebas refleksi pada rekaman
seismik menunjukkan adanya kehomogenan, dan amplitudo yang terjadi
adalah nol.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Perairan Maumere memiliki rentang kedalaman yang cukup besar
sehingga interval kontur pada peta batimetrinya adalah 50 m. Dari
peta batimetri dapat dihasilkan dua klasifikasi, yaitu kelas
kemiringan lereng dan kelas kedalaman. Kelas kemiringan lereng
Perairan Maumere terdiri dari 3, yaitu Kelas Kemiringan Lereng II,
IV dan V. Sedangkan kelas kedalamannya dengan rentang kedalaman
sebesar 500 m, Perairan Maumere terdiri dari 5 kelas, yaitu Kelas
Kedalaman I, II, III, IV, dan V.
Hasil perhitungan gradien hipsometri menghasilkan nilai
kemiringan lereng rata-rata sebesar 19,4 %, diperlihatkan pada
Tabel 2 dan Gambar 2. Dari nilai tersebut disimpulkan bahwa
kemiringan lereng rata-rata Perairan Maumere relatif curam yang
berarti termasuk ke dalam Kelas Kemiringan Lereng IV.
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5762 Hal :57
Tabel 2. Hasil perhitungan kuantitatif gradien hipsometri
Kelas Slope
Luas (A) km2
Slope Rata-rata (Sn) %
A . Sn % km2
Persentase Luas (%)
Persentase Luas Kumulatif (%)
I II III IV V VI
45,125 90,250
406,125 451,250 383,563
45,125
2,75 5,90 10,32 20,18 30,81 40,00
124,09 532,47
4191,21 9106,22
11817,56 1805,00
3,17 6,34
28,60 31,74 26,98 3,17
3,17 9,51
38,11 69,85 96,83 100
1421,4375 27576,55 100
Hasil perhitungan relief hipsometri menghasilkan kedalaman laut
rata-rata yang didapatkan adalah 0,68 km, diperlihatkan pada Tabel
3 dan Gambar 1. Dari nilai tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa
terdapat variasi relief
daerah penelitian terdiri dari dua bidang hamparan teras yaitu
antara relief halus dan kasar.
Tabel 3. Hasil perhitungan kuantitatif relief hipsometri
Kelas Kedalaman (km) Luas (A) km
2 Drat A . Drat Persentase Luas (%)
Persentase Luas Kumulatif
0 0,5 0,5 1,0 1,0 1,5 1,5 2,0 2,0 2,5
654,3125 518,9375 112,8125 45,1250 90,2500
0,25 0,75 1,25 1,75 2,25
163,58 389,20 141,01 78,97
203,06
46 36,50 7,94 3,21 6,35
46 82,50 90,44 93,65
100
1421,4375 975,82 100
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5862 Hal :58
Gambar 2. Grafik gradien hipsometri dan kemiringan lereng
rata-rata (A) serta grafik relief hipsometri dan kedalaman
rata-rata (B).
Berdasarkan hasil perhitungan di atas
maka morfologi dasar laut Perairan Maumere dibagi menjadi tiga
jenis satuan morfologi dasar laut, yaitu Satuan Morfologi Dasar
laut Pedataran, Satuan Morfologi Dasar laut Curam, dan Satuan
Morfologi Dasar laut Sangat Curam.
Perairan Maumere relatif terletak di Satuan Morfologi Dasar laut
Curam. Satuan ini terdapat memanjang dengan arah timur laut barat
pada kisaran kedalaman laut 250 1350 m. Luas sebaran mencapai 568,8
km2 atau sekitar 40 % dari total luas daerah penelitian. Kemiringan
lereng pada satuan ini 7 sampai 24,6 % dengan relief sedang sampai
rapat, didominasi oleh topografi punggungan dengan kemiringan
lereng yang bervariasi dari yang bergelombang sampai curam.
Interprentasi terhadap kelurusan kontur, bentuk punggungan, dan
panjang serta kemiringan lereng di satuan morfologi tersebut maka
Perairan Maumere dibagi menjadi tiga daerah rawan yaitu Daerah
Rawan Longsor Dasar Laut I, II, dan III.
Dari interpretasi rekaman seismik refleksi didapat beberapa
indikasi struktur geologi
berupa sesar pada beberapa lintasan ditandai oleh beberapa
kenampakan yang khas, diantaranya: 1. Morfologi lembah sempit
dengan kedua sisi
yang mempunyai pola reflektor yang berbeda.
2. Reflektor pada dasar lembah adalah chaotik.
3. Kontak yang tegas antar sekuen. 4. Adanya perlipatan sedimen
yang kuat di
sekitar bidang sesar. Indikasi sesar diperlihatkan pada
lintasan
S-21, S-27, dan L-53 (berarah selatan utara); S-23 dan S-45
(berarah utara selatan); S-30, S-34, dan S-38 (berarah barat
timur); S-36 (berarah timur barat); L-52 (berarah barat laut
tenggara); dan L-60 (berarah tenggara barat laut). Dua contoh
penampang seismik yang di dalamnya ditemukan indikasi sesar ada di
lintasan S-21 dan S-23 pada Gambar 3 dan Gambar 4.
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 5962 Hal :59
Gambar 3. Rekaman seismik refleksi lintasan S-21.
Rekaman seismik refleksi lintasan S-21: 1. Arah lintasan selatan
utara. 2. Ciri-cirinya : morfologi lembah sempit
dengan kedua sisi yang mempunyai pola reflektor yang berbeda,
reflektor pada dasar lembah adalah chaotic, kontak yang tegas antar
sekuen, adanya perlipatan sedimen yang kuat di sekitar bidang
sesar.
Gambar 4. Rekaman seismik refleksi lintasan S-23.
Rekaman seismik refleksi lintasan S-23: 1. Arah lintasan utara
selatan. 2. Ciri-cirinya : morfologi lembah sempit
dengan kedua sisi yang mempunyai pola reflektor yang berbeda,
reflektor pada dasar lembah adalah chaotic, kontak yang tegas antar
sekuen, adanya perlipatan sedimen yang kuat di sekitar bidang
sesar. Sedangkan indikasi longsor dasar laut
dicirikan oleh adanya reflektor chaotik yang terdapat di kaki
suatu bidang gelincir pada lereng tinggian. Beberapa indikasi
longsor dasar laut berjenis slump, diperlihatkan oleh penampang
seismik di lintasan S-28 dan S-36 (berarah timur barat), S-38
(berarah barat - timur), dan L-60 (berarah tenggara barat laut).
Dua contoh penampang seismik yang di dalamnya ditemukan indikasi
longsor dasar laut ada di lintasan S-21 dan S-23 pada Gambar 5 dan
Gambar 6.
Gambar 5. Rekaman seismik refleksi lintasan S-36.
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 6062 Hal :60
Rekaman seismik refleksi lintasan S-36: 1. Arah lintasan timur
barat. 2. Ciri-cirinya : reflektor chaotik yang
dibatasi oleh reflektor paralel pada bagian atasnya yang
terdapat di kaki suatu tinggian dengan bidang gelincir pada lereng
tinggian tersebut. Di sebelah timur indikasi slump ini ditemui juga
indikasi sesar.
Gambar 6. Rekaman seismik refleksi lintasan L-60.
Rekaman seismik refleksi lintasan L-60: 1. Arah lintasan
tenggara barat laut. 2. Ciri-cirinya : reflektor chaotik pada
kaki
lereng suatu tinggian dengan reflektor paralel pada bagian
atasnya. Di sebelah timur indikasi slump ini ditemui juga indikasi
sesar. Setelah dilakukan pengeplotan dan korelasi
antar lintasan dari setiap indikasi longsor dasar laut dan
struktur geologi (Gambar 7), kemudian digabung kondisi morfologi,
maka hasilnya adalah Peta Potensi Longsor Dasar Laut (Gambar 8).
Peta tersebut memuat empat longsor dasar laut yang terjadi pada
Perairan Maumere, yaitu dua longsor pada sebelah utara, satu
longsor di bagian tengah dan satu longsor lagi di timur laut daerah
penelitian.
Peta Potensi Longsor Dasar Laut memuat informasi tentang daerah
rawan struktur geologi dan potensi longsor dasar laut. Dari peta
tersebut terlihat bahwa struktur geologi dan lokasi longsor dasar
laut pada perairan Maumere letaknya berada di Daerah Rawan Longsor
Dasar Laut II dan Daerah Rawan Longsor Dasar Laut III.
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 6162 Hal :61
Gambar 7. Korelasi antar lintasan indikasi struktur geologi (A)
dan korelasi antar lintasan indikasi longsor dasar laut (B)
Gambar 8. Peta potensi longsor dasar laut Perairan Maumere
-
Potensi Longsor Dasar Laut di Perairan Maumere (Yukni
Arifianti)
Bulletin Vulkanologi dan Bencana Geologi, Volume 6 Nomor 1,
April 2011 : 6262 Hal :62
KESIMPULAN Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bentuk
lereng, kemiringan lereng (aspek morfologi), dan keberadaan sesar
(aspek struktur geologi) mempengaruhi terjadinya longsor dasar
laut. Longsor dasar laut umumnya terletak pada kemiringan lereng
yang curam (sekitar 24 % 35 %) atau pada Daerah Rawan Longsor Dasar
Laut II dengan bentuk lereng cembung, panjang lereng cukup kecil
dan terdapat struktur geologi di sekitarnya. Kelas lereng yang
kemiringannya curam 20% atau lebih berpotensi untuk bergerak atau
longsor dan bisa mengakibatkan tsunami. SARAN Hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan informasi mengenai potensi longsor
dasar laut di daerah Perairan Maumere, Kabupaten Maumere, Provinsi
Nusa Tenggara Timur. Pada penelitian lebih lanjut perlu diteliti
mengenai faktor pemicu seperti gempa, sedimen lautnya, serta faktor
keamanan lereng. Kemudian dijadikan peta dasar dari pembuatan peta
resiko bencana dengan melibatkan unsur bencana geologi lain dan
data-data sosial ekonominya. Sehingga diharapkan dari hal tersebut
dapat diberikan langkah-langkah untuk meminimalisasi kerusakan yang
akan disebabkan oleh bencana geologi tersebut. UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih disampaikan kepada Ir. Kris Budiono, M.Sc. selaku
pembimbing Tugas Akhir. Terima kasih juga disampaikan kepada
Yudhicara, M.T. atas saran dan masukannya dalam penulisan makalah
ini. DAFTAR PUSTAKA Antara News. 2008. Longsor di Dasar Laut
Picu
Tsunami. www.antara.co.id, diakses tanggal 22 Juli 2009.
Budiono, K. 2002. Submarine Landslides on the Sea Bottom of
Maumere Bay, Flores, Based on the Interpretation of Seismic
Reflection Records Proceeding. Surabaya. The 31st Annual Conference
of Indonesian Association of Geologist.: Hal. 364-376.
Garrison and Sangrey. 1977. Submarine Landslides. USGS Yearbook.
USA. Hidartan H.A. 1994. Pemetaan Geomorfologi Sistematis Untuk
Studi Geologi. IAGI. Locat, Lee, and Homa. 2002. Submarine
Landslides: Advances and Challenges 1, Can Geotech J. Vol 39,
NRC Research Press. http://cgj.nrc.ca. diakses tahun 2002.
Permana H., Pramumijoyo S., dan Kumoro Y. 1993. Pola Kelurusan
Geologi Daerah Flores : Implikasinya Terhadap Kerusakan Akibat
Gempabumi 1992. PIT IAGI ke 22. Jakarta.
Setya Budhi. 1994. Laporan Penyelidikan Geologi dan Geofisika
Kelautan di Perairan Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur. Laporan
Penelitian. Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.
Setyanto, Usman dan Setiady. 2008. Potensi Mineral Kuarsa dan
Endapan Timah Letakan dalam Kaitannya dengan Batuan Granit Lp-1017
Batam, Riau Kepulauan. www.dim.esdm.go.id. diakses tanggal 20 Juli
2009.
Setyawan,Wilopo dan Suparno. 2002. Mengenal Bencana Alam Tanah
Longsor dan Mitigasinya.
http://io.ppi-jepang.org/article.php?id=196. diakses tanggal 17
Februari 2009.
Soehaimi, A., dan Kertapati, E. 1993. Gempabumi Laut Flores 12
Desember 1992. Pertemuan Himpunan Ahli Geologi Indonesia.
Jakarta.
Susilo, B.K. 2008. Longsor.
http://budhikuswansusilo.files.wordpress.com/2008/05
/l-o-n-g-s-o-r.pdf, diakses tanggal 20 Juli 2009.
Universitas Padjadjaran. 2001. Prinsip-Prinsip Seismik. tidak
dipublikasikan. UNPAD. Bandung.