-
PROFIL TOKOH : GUBERNUR KALIMANTAN TENGAH
Agustin Teras Narang, SH :
Saya harus menegakkan sanksi-sanksi, pasal-pasal, ayat-ayat
dalam Undang-Undang Penataan
Ruang .......................
Sekilas Riwayat Hidup Agustin Teras Narang, SH Gubernur
Kalimantan Tengah
Agustin Teras Narang, SH sebelum menduduki kursi Gubernur di
Provinsi Kalimantan Tengah, telah melalui perjalanan dan
perjuangan yang teramat panjang. Diawali dari keteguhan tekadnya
untuk meninggalkan tanah kelahiran, Banjarmasin,
setamat SMA Negeri 1 Banjarmasin, tahun 1973.
Jakarta dipilih menjadi kota tempat melanjutkan belajarnya.
Universitas Kristen Indonesia menjadi kota tempat
penggodokan ilmu hukum bagi Teras Narang muda. Tahun 1979
dinyatakan lulus dari Fakultas Hukum-UKI, segera kiprah
sesungguhnya dimulai. Mengawali pengabdiannya sebagai pengacara
sejak tahun 1981, diteruskan melanglang di
berbagai kantor pengacara di Jakarta sebelum akhirnya tahun 1989
1999 mendirikan dan berkarier di Kantor Pengacara
A. Teras Narang, SH and Associates.
Tidak cukup puas sampai disitu, semangat perjuangan dan
pengabdiannya kepada nusa, bangsa dan negara membawa A.
Teras Narang, SH ke Senayan. Tahun 1999 2004 duduk sebagai
anggota DPR-RI menjabat Ketua Komisi II. Bakat sebagai
pimpinan terus terasah dan mendapat penyaluran yang pas. Periode
berikutnya, tahun 2004 2009 kembali terpilih
menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi PDI-Perjuangan, Daerah
pemilihan Kalimantan Tengah. Lagi-lagi beliau menduduki
jabatan sebagai Ketua Komisi, kali ini di Komisi III DPR-RI.
Kariernya terus melesat, kali ini tantangan lain disambutnya,
tampil sebagai Gubernur Kalimantan Tengah periode pengabdian
2005 2010, hasil pilihan rakyat Kalimantan Tengah.
Amanah dari rakyat beliau tempatkan pada tempat yang paling
tinggi di jiwa perjuangannya. Kemajuan Kalimantan
Tengah dan kesejahteraan masyarakatnya serta penguatan hukum di
semua aspek kehidupan terpateri kuat dalam
hatinya, menjadi tujuan yang tidak dapat ditawar. Itulah amanah
yang melekat pada jabatan yang beliau emban saat ini.
Pada hari Sabtu, 19 April 2008, Redaksi Buletin Tata Ruang telah
melakukan kunjungan ke Provinsi
Kalimantan Tengah untuk melaksanakan 2 (dua) tugas jurnalistik,
yaitu : wawancara dengan Bapak
Agustin Teras Narang, SH. (Gubernur Kalimantan Tengah), untuk
ditampilkan dalam rubrik Profil
Tokoh, tugas kedua adalah mengumpulkan data/informasi berkaitan
dengan Heart of Borneo untuk
bahan penulisan rubrik Profil Wilayah.
Berikut hasil wawancara dengan Bapak Agustin Teras Narang, SH
(Gubernur Kalimantan Tengah) :
Butaru : Secara garis besar Pak, kami ingin menanyakan tiga hal
utama, yaitu : pertama adalah
kebijakan dan strategi pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah.
Kedua adalah bagaimana
penerapan Undang-undang Penataan Ruang di Propinsi Kalimantan
Tengah. Dan yang ketiga adalah
bagaimana penerepan action plan Heart of Borneo, saya kira ini
ini adalah isu yang sangat menarik
pada saat ini. Saya langsung saja, pada pertanyaan pertama
mengenai kebijakan. Dengan kondisi
dan potensinya Kalimantan Tengah, kebijakan apa sebetulnya yang
ingin Bapak kembangkan di
propinsi ini, dan harapan-harapan apa yang ingin Bapak wujudkan
untuk Kalimantan Tengah untuk
menuju masa depan
Teras Narang : Jadi propinsi Kalimantan Tengah ini seperti
diketahui luasnya 153.267 km2, jadi luas
kita adalah satu setengah kali Pulau Jawa. Nah sedangkan
penduduknya pada tahun 2007 berjumlah
2 . 027. 000 jiwa, per kilometer persegi hanya dihuni 13 orang.
Saya mau cerita dulu, kita
-
mempunyai sumber daya alam macam-macam, apakah itu kayu, apakah
itu pertambangan, apakah
itu menyangkut masalah perkebunan dan lain sebagainya. Dan kita
juga mempunyai lahan gambut
yang cukup luas, sekitar 3,6 juta hektar. Jadi sekitar 300.000
kilometer persegi. Nah tentu penataan
ruang menurut hemat saya menjadi bagian penting, dalam rangka
untuk membuat kebijakan-
kebijakan yang terkait dengan pengembangan wilayah, dan
pembangunan yang berbasis pada
pembangunan yang berkelanjutan. Saya memandang bahwa yang paling
penting bagi provinsi ini
adalah Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, RTRWP. Mengingat
RTRWP selama ini berdasarkan
Perda Nomor 8 Tahun 2003, ternyata ini masih menimbulkan
masalah, nanti bisa dibaca di situ,
karena masih belum ada kesesuaian dengan departemen Kehutanan,
khususnya terkait dengan
masalah Tata Guna Hutan Kesepakatan, yang disingkat TGHK. Tentu
perda ini secara hukum di
daerah sudah delesai, tetapi masih belum ada kesepakatan, belum
ada persetujuan dari Departemen
Kehutanan. Akibatnya ini belum terlaksana dengan baik. Nah di
periode saya, Perda nomor 8 tahun
2003 ini kita buka revisi. Nah revisi di samping karena masih
belum ada kesepakatan dengan
Departemen Kehutanan, juga menyesuaikan dengan Undang-undang
Tata Ruang, nomor 26 itu.
Inilah spiritnya kenapa saya merasa bahwa masalah tata ruang ini
menjadi penting bagi saya di
dalam membuat kebijakan-kebijakan pembangunan, pengembangan
wilayah di Propinsi Kalimantan
Tengah.
Butaru : Jadi, saya menangkap bahwa apa yang dikerjakan sekarang
tidak hanya untuk saat ini,
tetapi juga untuk masa depan. Selanjutnya Pak....
Teras Narang :
Betul. Karena kalau kita bicara mengenai masalah tata ruang,
kita itu tidak boleh berpikir untuk satu
dua tahun, kita harus melihat pembangunan wilayah itu, 10 tahun,
15 tahun, dan mungkin sampai
50 tahun ke depan.
Proses pembangunan yang dilakukan di wilayah Provinsi Kalimantan
Tengah selama kami menjabat
Gubernur telah semakin memberdayakan dunia usaha dalam
peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Kualitas hidup penduduk Kalimantan Tengah juga
menunjukkan adanya peningkatan
dari kondisi sebelumnya.
Walaupun kualitas manusia telah meningkat, tetapi masih banyak
masalah-masalah pembangunan
yang masih harus direspon secara cepat dan tepat, seperti
pembukaan keterisolasian wilayah,
pemanfaatan lahan gambut, peningkatan kualitas program-program
pengentasan kemiskinan, serta
masalah-masalah pembangunan lainnya.
Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan dan pembangunan
Provinsi Kalimantan Tengah
sesuai dengan Visi Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Membuka
Isolasi Menuju Kalimantan Tengah
Yang Sejahtera dan Bermartabat.
Sedangkan upaya-upaya yang akan dilaksanakan untuk mewujudkan
harapan atau keinginan
dimaksud sesuai dengan Misi Provinsi Kalimantan Tengah disusun
dan difokuskan pada bidang :
Infrastruktur, Ekonomi, Pendidikan dan Kesehatan, Pemerintahan,
Hukum-Keamanan dan Hak azasi
Manusia, Politik, Sosial Budaya, Kepemudaan-Kepramukaan dan Olah
Raga, Kepariwisataan,
Sumberdaya Alam-Lingkungan Hidup dan Tata Ruang, Perhubungan dan
Telekomunikasi,
Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan.
-
Butaru : Terkait ditetapkannya Provinsi Kalimantan Tengah
sebagai salah satu provinsi ujicoba
konsep Kota Terpadu Mandiri kawasan hutan, bagaimana tanggapan
Bapak mengenai konsep ini
serta penetapan Kalimantan Tengah sebagai lokasi ujicoba? Apa
harapan Bapak untuk
pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah di masa mendatang
terkait dengan konsep ini?
Teras Narang :
Saya pada prinsipnya setuju terhadap Kota Mandiri Terpadu.
Apalagi ini dikaitkan dengan masalah
keberadaan transmigrasi. Tetapi yang saya tidak inginkan adalah
Kota Mandiri Terpadu hanya di
daerah transmigrasi, tetapi juga di simpul-simpul produksi,
karena saya tidak ingin adanya
kecemburuan dari masyarakat asli yang ada di daerah itu.
Butaru : Untuk menghindari kecemburuan, saya kira memang perlu
keterpaduan antara pendatang
dengan penduduk setempat. Pa Gubernur, sepertinya konsep KTM ini
sejalan dengan program Bapak
Mamangun Tuntang Mahaga Lewu....., Betul Pak ?
Teras Narang : Betul, di desa dan kelurahan. Konsep ini yang
saya kembangkan, Kenapa ? Karena
konsep ini saya pandang betul-betul fokus. Jangan sampai daerah
kita itu menggarami laut, jangan
sampai kita kayak mengecat langit, langit kan gak bisa dicat.
Saya menghindari terjadinya itu. Jangan
sampai terjadi bahwa anggaran-anggaran ini keluar banyak, tetapi
percuma, tidak ada fokus, dan
tidak ada suatu hasil yang konkrit. Sehingga timbul pemikiran
saya untuk program Mamangun
Tuntang Mahaga Lewu Nah program ini adalah program sinergi,
tidak akan mungkin propinsi
punya program kalau tidak memperoleh sambutan dari kabupaten
kota.
Kota Terpadu Mandiri (KTM), adalah kawasan transmigrasi dan
simpul-simpul produksi lainnya yang
pembangunannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang
mempunyai fungsi perkotaan melalui
pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Yang dimaksud fungsi-fungsi perkotaan adalah dibangunnnya
berbagai fasilitas-fasilitas sebagaimana
di kota-kota, antara lain :
a. Dibangun pusat kegiatan agribisnis yang mencakup pengolahan
hasil pertanian menjadi barang
produksi dan/atau barang konsumsi; pusat pelayanan agroindustri
khusus (pecial agroindustry
service) dan pemuliaan tanaman unggul; tempat pendidikan dan
pelatihan di sektor pertanian,
industri dan jasa.
b. Tempat pusat perdagangan wilayah yang dilengkapi dengan
lembaga keuangan, pasar grosir
dan pergudangan.
Untuk menumbuhkembangkan Kota Terpadu Mandiri (KTM) ini perlu
didukung dengan adanya
kegiatan usaha transmigrasi sebagai hinterlandnya. Oleh karena
itu perlu perencanaan
pembangunan wilayah pengembangan transmigrasi (WPT) yang
terintegrasi dengan perencanaan
tata ruang. Hal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya pusat
pertumbuhan ekonomi yang
berbasis perdesaan dan berwawasan perkotaan.
Saya selaku Gubernur mendukung sepenuhnya kebijakan Menakertrans
untuk membangun KTM
ujicoba yang berlokasi di Lamunti, Kecamatan Mentangai,
Kabupaten Kapuas dengan harapan
mempercepat tumbuhnya pusat-pusat pertumbuhan perekonomian
perdesaan yang pada akhirnya
akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Di samping itu,
program transmigrasi ke depan
diharapkan berdampak positif dan menarik minat generasi muda
untuk berpartisipasi dalam
program transmigrasi serta mengurangi terjadinya urbanisasi yang
tidak terarah dari desa ke kota-
kota.
-
Butaru : Saya kira itu sangat bagus. Pemerataan pertumbuhan,
Pak. Saya Lanjutkan, Bapak saat ini
masih menjadi Koordinator Forum Kerjasama Regional Kalimantan
dan masa tugas Bapak ini akan
berakhir tahun ini. Menurut Bapak apakah forum ini memberikan
dampak yang cukup positif bagi
pengembangan provinsi-provinsi di Kalimantan, dan khususnya
untuk Provinsi Kalimantan Tengah?
Apa hal-hal yang telah dihasilkan dari forum ini serta pekerjaan
rumah apa saja yang masih harus
diteruskan oleh calon Koordinator Forum ini di masa
mendatang?
Teras Narang : Forum Kerjasama Regional Kalimantan masih
diperlukan dan akan terus ditingkatkan
karena dengan forum ini pemerintah daerah se Kalimantan dapat
secara bersama-sama dan
terkoordinasi melaksanakan perencanaan pembangunan terpadu
lintas provinsi. Bidang
pembangunan yang menjadi prioritas dalam forum kerjasama ini
adalah bidang infrastruktur, bidang
perekonomian, bidang sumberdaya manusia, serta bidang tata ruang
dan lingkungan hidup.
Hasil kerjasama yang telah dicapai antara lain di bidang
infrastruktur misalnya percepatan
pembangunan jalan lintas Kalimantan poros selatan, poros tengah
dan poros utara, rencana
mengintegrasikan pelayanan transportasi udara antar kota di
Kalimantan; Bidang perekonomian
seperti pembangunan peningkatan ketahanan pangan, pengembangan
agribisnis pertanian,
pengembangan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan;
Bidang sumber daya manusia
seperti pembangunan bidang kesehatan dengan upaya-upaya
peningkatan pelayanan, peningkatan
kualitas Fakultas kedokteran Universitas Lambung Mangkurat di
Banjarmasin, pemberantasan
penyakit menular, penanganan penyakit AID dan korban Narkoba,
peningkatan kualitas dan
produktivitas tenaga kerja, peningkatan kualitas anak dan
perempuan, rencana pendirian STPDN
Regional Kalimantan; Bidang tata ruang dan lingkungan hidup
seperti sinkronisasi rencana tata
ruang provinsi se Kalimantan, penyusunan rencana tata ruang
pulau Kalimantan, penanggulangan
kebakaran hutan dan lahan, penanggulangan pencemaran air dan
udara, dan lain sebagainya.
Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah,
harapan apa yang ingin Bapak capai
dalam pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah, serta upaya-upaya
apa yang telah Bapak
lakukan untuk memenuhi harapan Bapak tersebut? Hambatan apa yang
Bapak alami dalam upaya
pengembangan Provinsi Kalimantan Tengah?
Teras Narang : Harapan yang ingin dicapai dalam pengembangan
Provinsi Kalimantan Tengah adalah
terwujudnya visi dan misi Provinsi Kalimantan Tengah sesuai yang
tertuang dalam RPJM dan
Rencana Tahunan Daerah.
Upaya-upaya yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut
antara lain pengembangan
keberdayaan masyarakat untuk pengembangan tata pemerintahan yang
baik (good governance)
sebagai salah datu bagian dari strategi baru dalam percepatan
pembangunan, peningkatan daya
saing dunia usaha, ancaman kerusakan lingkungan, kerawanan
pangan, pembangunan modal sosial
(social capital) paska kerusuhan dan optimalisasi modal sosial
(social capital) sebagai sumber daya
pembangunan, peningkatan kualitas pelayanan-pelayanan dasar yang
disediakan oleh satuan kerja
perangkat daerah seluruh Kabupaten Kota yang ada di wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah,
pembangunan kesadaran hukum, peningkatan kualitas sumber daya
manusia, perubahan pola
penularan penyakit, dan tantangan-tantangan pembangunan lainnya.
Selain itu juga dilakukan upaya
peningkatan peran Gubernur sebagai wakil Pemerintah di
daerah.
-
Butaru : Hambatan-hambatannya, Pak ?
Teras Narang :
Hambatan itu pasti ada, dan saya sulit untuk menguraikan
hambatan itu. Tetapii kalau saya
berpandangan bahwa hambatan itu justru menjadi tantangan buat
saya, dan saya tidak pernah
berpandangan bahwa hambatan itu menjadi kendala. Justru hambatan
itu yang menjadi tantangan
dan mendorong saya umtuk lebih bekerja keras lagi. Kalau
dibilang kerja keras ya harus, karena saya
ini dengan Pak Diran, ini kan dipilih oleh rakyat. Saya selalu
bilang kepada wakil Gubernur, pak Ir. H.
Ahmad Diran, saya bilang Pak kita berdosa ini kalau kita tidak
berbuat sesuatu. Kita berdosa kepada
rakyat kalau kita tidak berbuat sebagaiman yang mereka harapkan
Nah masalah hasilnya, saya
bilang, jangan kita yang menilai, masyarakat dan orang luar yang
menilai
Butaru : Selama Bapak memimpin Provinsi Kalimantan Tengah, cukup
banyak kerjasama serta
penandatanganan kesepakatan yang Bapak lakukan, baik dengan
perusahaan swasta dalam negeri
maupun luar negeri. Manfaat apa yang Bapak rasakan dari
penandatangan kesepakatan ini bagi
pengembangan Kalimantan Tengah serta adakah tentangan dari anak
buah Bapak terkait
penandatangan ini?
Teras Narang : Dengan telah ditandatanganinya kesepakatan
kerjasama baik dengan swasta dalam
negeri maupun luar negeri manfaat yang dicapai antara lain
meningkatnya minat investasi di Provinsi
Kalimantan Tengah.
Dalam penadatanganan kesepakatan kerjasama tersebut semua
jajaran pemerintah Provinsi
Kalimantan Tengah dan masyarakat mendukung dan siap untuk
melaksanakan tugas dan
tanggungjawab sesuai tugas dan fungsinya.
Butaru : Artinya Pak .......
Teras Narang : Inilah tuntutan inovatif dari seorang pemimpin.
Artinya dia tidak hanya berpikir atau
melaksanakan program yang berdasar pada APBN atau APBD. Karena
kalau kayak gitu semua orang
bisa jadi pemimpin. Nggak usah dipilih oleh rakyat, ditunjuk
saja, eh (jadi) pemimpin ya, sudah.
Semua orang bisa melakukan itu. Nah saya melihat, saya harus
mencari siapa yang bisa bantu. Satu-
satunya yang bisa bantu adalah para pengusaha. Satu-satunya yang
bisa bantu adalah negara-negara
lain yang memang mempunyai keinginan yang sama, mempunyai visi
yang sama. Nah ini yang saya
lakukan. Saya kerjasama dengan Cina, saya kerjasama dengan
India, saya kerjasama dengan New
Zealand, saya kerjasama dengan Australy, saya memperoleh bantuan
dari Negeri belanda, dengan
Jerman, dengan Inggris, karena apa? kita punya satu visi. Saya
bilang, saya mau membangun, tetapi
pembangunannya didasarkan pada keberlanjutan, yang didasarkan
pada memperhatikan kaidah-
kaidah lingkungan hidup. Makanya saya program yang namanya Green
Government Policy, kebijakan
pemerintahan yang didasarkan pada lingkungan. Sehingga saya
waktu itu diminta sebagai pembicara
pada saaat di Bali, forum WWF, khususnya terkait dengan
preparatio, persiapan dari Kalimantan
Tengah menghadapi Climate Change. Nah dengan para pengusaha itu
juga saya lakukan, yaitu di
dalam kita sharing dalam membangun. Contoh kecil saja, kita
punya kesepakatan antara Pemerintah
Provinsi dengan para pengusaha pertambangan, untuk kita
membangun rel kereta api. Kita punya
kesepakatan dengan pengusaha kebun, sawit, dan kemudian
perusahaan perkebunan karet dan
tambang. Untuk kita membiayai dengan sharing, untuk perbaikan
jalan. Nah apa yang saya lakukan
-
ini adalah suatu kebersamaan. Artinya kita win-win solution.
Kita harus cari solusi untuk bisa mutual
benefit
Butaru : Tentang rencana jalan kereta api, Pak. Rencana
pembangunan jalan kereta api, meskipun
masih dalam kajian, tetapi kami membaca pernyataan Bapak di
situs Kalimantan Tengah terkait
dengan rencana pembangunan jalur kereta api di Kalimantan,
dimana banyak orang berpendapat
bahwa Kalimantan belum layak mendapatkan transportasi kereta
api, kereta api adalah
pelayanan terhadap high density population, namun Bapak
mempunyai pendapat lain, yaitu
kereta api adalah lokomotif transportasi sumber daya alam dalam
skala ekonomi yang besar untuk
memasok kebutuhan daerah lain dan mata rantai ekonomi yang akan
timbul apabila tersedianya
kereta api Kalimantan tidaklah susah untuk ditebak. Apa maksud
dari pernyataan Bapak ini?
Apakah untuk saat ini moda transportasi ini memang sudah
diperlukan untuk dikembangkan di
provinsi-provinsi di Kalimantan dan khususnya di Kalimantan
Tengah?
Teras Narang : Mengapa dikembangkan Transportasi Kereta Api di
Kalimantan Tengah. Tadi saya
sudah sampaikan bahwa Kalimantan Tengah ini luasnya satu
setengah kali Pulau jawa dan kemudian
sumber daya alamnya itu tersebar dii mana-mana. Sebaran sumber
daya alam ini tidak akan
memberikan keuntungan yang maksimal bagi daerah kalau kita tidak
memanfaatkan ini dengan baik.
Nah satu-satunya (cara) pemanfaatan dengan baik, adalah dengan
kita membangun infrastruktur.
Kenapa saya membangun infrastruktur? Dengan terbangunnya
infrastruktur kereta api, ini akan
mempunyai multiplier effect yang luar biasa. Rakyat ikut
memanfaatkan itu, dan otomatis kiri kanan
rel itu, taruhlah sekarang kita 560 km, itu 560 km kiri kanannya
itu akan hidup. Ke depan di
Kalimantan Tengah sangat dibutuhkan sarana transportasi yang
diprioritaskan untuk melayani
angkutan barang dengan volume yang besar, terutama untuk
mengangkut barang hasil pemanfaatan
sumber daya alam dari daerah hulu ke outlet-outlet yang berupa
pelabuhan laut yang berada di
daerah hilir atau pantai. Hasil sumber daya alam tersebut antara
lain berupa hasil perkebunan
kelapa sawit dan karet, hasil tambang batubara, hasil hutan
ikutan misalnya rotan, dan hasil
pertanian dan tambang lainnya. Untuk itu diperlukan sistem
transportasi yang efektif dan efisien
untuk mengangkut barang dalam volume yang besar. Sistem
transportasi tersebut adalah jaringan
rel kereta api yang dikombinasikan antar moda transportasi darat
(jalan dan sungai) serta
transportasi laut yang saling mendukung.
Butaru :Kenapa harus kereta api, Pak ?
Teras Narang : Mengapa dipilih transportasi kereta api, karena
memiliki keunggulan kapasitas
angkut yang besar sehingga lebih efisien dan efektif, biaya
pemeliharaan relatif lebih murah, ramah
lingkungan, tingkat kemanan dan keselamatan tinggi selain
pertimbangan tersebut mengingat
adanya kendala bila hanya menggunakan transportasi sungai dimana
pada saat musim kemarau
umumnya sungai-sungai di Kalimantan Tengah tidak dapat dilayari
sampai ke daerah hulu, sehingga
tidak dapat diandalkan sebagai sarana angkutan sepanjang tahun.
Sedangkan apabila menggunakan
atau mengembangkan transportasi jalan darat mengingat
keterbatasan kemampuan anggaran
pemerintah sangat terbatas sehingga baik kekuatan atau struktur
jalan maupun lebar jalan terbatas,
umumnya MST 8 ton dengan lebar jalan 4,5 meter, padahal MST
pengguna jalan atau kendaraan
pengangkut hasil perkebunan dan pertambangan jauh di atas 8
ton.
-
Perkembangan perencanaan pembangunan jalur kereta api untuk
Wilayah Utara Timur Kalimantan
Tengah adalah sebagai berikut :
Telah ditandatangani MoU dengan Stasiun Kota pada tanggal 22
Juni 2006 untuk dilaksanakan
riset dan pengembangan sarana transportasi kereta api termasuk
pembangunan infrastruktur
jalur kereta api sepanjang lebih kurang 600 kilometer dan
rencana investasi oleh pihak PT.
Stasiun Kota bai pengembangan dan pemanfaatan potensi sumber
daya alam di wilayah
Provinsi Kalimantan Tengah.
Ditandatanganinya MoU dengan Itochu Corporation pada tanggal 16
April 2007 yang bertujuan
untuk melakukan studi kelayakan pengembangan jalur kereta
api.
- Berdasarkan hasil pra studi kelayakan dari Itochu (perusahaan
Jepang) bahwa rute
jalan rel yang diusulkan adalah berada dalam kawasan Kabupaten
Murung Raya,
Barito Utara, Barito Selatan dan Barito Timur, (Palaci Puruk
Cahu Muara Teweh
Ampah Buntok Bangkuang/Mangkatip) sepanjang 185 km.
- Selanjutnya dari Bangkuang akan digunakan moda transportasi
sungai menuju outlet
di Muara Sungai Kapuas Murung di Lupak Dalam atau di Muara
Sungai Kahayan di
Bahaur, dengan rinsian rute alternatif sebagai berikut :
Alternatif rencana pengembangan/pembangunan jalur kereta api di
Kalimantan Tengah sebagai
prioritas I adalah :
1. Alternatif 1 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Lupak Dalam,
dengan ruas mulai dari
Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas
Murung
Kuala Kapuas sungai Kapuas Lupak Dalam laut Jawa, sepanjang 175
km.
2. Alternatif 2 adalah jalur Bangkuang/Mangkatip Bahaur, dengan
ruas dari
Bangkuang/Mangkatip sungai Barito Palingkau Lama sungai Kapuas
Murung
Kuala Kapuas sungai Kapuas Terusan Raya sungai Kahayan Bahaur
laut Jawa,
sepanjang 250 km.
Pemilihan ruas jalur kereta api tersebut didasarkan atas
pertimbangan :
- Disesuaikan dengan lokasi atau kawasan yang memiliki potensi
sumber daya alam yang lebih
besar,
- Outlet : Kumai/Bumiharjo, Sampit/Bagendang, Teluk
Segintong.
Butaru : Kalimantan Tengah dikenal sebagai provinsi yang miskin
ketersediaan infrastrukturnya.
Apakah Bapak setuju dengan anggapan ini? Apa upaya yang Bapak
lakukan untuk menghilangkan
image ini?
Teras Narang : Melihat kondisi eksisting saat sekarang, kita
semua mengetahuinya. Saya tidak
menentang siapapun yang mempunyai anggapan seperti tersebut.
Upaya-upaya yang kami lakukan seperti tertuang dala Visi dan
Misi RPJM Provinsi Kalimantan
Tengah, yaitu untuk membuka keterisolasian dan menempatkan
pembangunan bidang infrastruktur
pada prioritas pertama. Untuk mewujudkan hal tersebut dilakukan
upaya-upaya antara lain telah
dibuat suatu rencana pengembangan sistem transportasi antar moda
di Provinsi Kalimantan Tengah,
melakukan koordinasi/konsultasi dengan Pemerintah agar lebih
dapat berperan baik dalam aspek
perencanaan, pelaksanaan maupun pembiayaannya untuk percepatan
pengembangan dan
pembangunan sarana dan prasarana transportasi di Provinsi
Kalimantan Tengah sehingga
memberikan dampak positif terhadap meingkatnya kesejahteraan
masyarakat, pertumbuhan
ekonomi serta pemerataan pembangunan di Kalimantan Tengah untuk
mengejar ketertinggalan
-
Provinsi Kalimantan Tengah pada khususnya dan provinsi di
Kalimantan pada umumnya terhadapa
provinsi-provinsi di wilayah Indonesia Barat.
Butaru : Saat ini telah berlaku UU No. 26/2007 tentang Penataan
Ruang. Menurut Bapak, apakah
UU ini telah memenuhi harapan Bapak terkait penyelenggaraan
penataan ruang? Bagaimana
penerapan Undang-undang ini di Provinsi Kalimantan Tengah?
Pernah adakah upaya penerapan
ketetapan sanksi sebagaimana disebutkan dalam UU tersebut?
Teras Narang : Secara umum saya katakan bahwa Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang secara komprehensif telah mengatur
penyelenggaraan penataan ruang baik dari
tingkat nasional, regional maupun provinsi dan kabupaten/kota,
bahkan telah mengatur matra ruang
mulai dari perencaan, pemanfaatan ruang dan pengendalian
pemanfaatan ruang serta ketentuan
sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tata ruang. Namun
demikian ketentuan secara teknis bahwa
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang masih
perlu dan segera
ditindaklanjuti dengan peraturan-peraturan pelaksanaan lebih
lanjut, hal ini termasuk dengan
penerapan sanksi.
Setiap sanksi yang ada di dalam undang-undang itu kata-katanya
hanya ada satu yaitu : Harus
(ditegakkan). Jadi tidak ada kata maaf, tidak ada kata pembenar,
karena sudah menjadi undang-
undang. Nah, saya sebagai orang yang berlatar-belakang hukum,
saya harus katakan, dan karena itu
juga sumpah saya, saya harus menegakkan sanksi-sanksi,
pasal-pasal,ayat-ayat yang terkait dengan
masalah larangan. Permasalahannya sekarang adalah, sejauh mana
upaya dari semua pihak,
termasuk saya, untuk menyosialisasikan butir-butir yang ada di
dalam undang-undang (Penataan
Ruang) ini.
Terkait dengan penerapan undang-undang dimaksud di Provinsi
Kalimantan Tengah adalah dengan
dilakukannya penyelarasan (revisi) RTRWP Kalimantan Tengah
terhadap Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 yang sampai saat ini masih dalam proses paduserasi
antara RTRWP dengan TGHK
(Departemen Kehutanan).
Butaru : Terkait kasus kebakaran hutan, bagaimana pandangan
Bapak mengani cap bahwa
Indonesia mengeksport asap ke negara tetangga? Upaya-upaya apa
yang akan Bapak lakukan untuk
melindungi kawasan hutan lindung agar tetap berfungsi sesuai
dengan peruntukannya?
Teras Narang : Pandangan terhadap pernyataan bahwa Indonesia
mengekspor asap ke negara
tetangga, saya sangat tidak setuju.
Sebab dilihat dari kata mengekspor mengandung arti adanya unsur
kesengajaan, padahal kita semua
mengetahui bahwa asap yang timbul karena terjadinya kebakaran
hutan dan lahan tersebut sampai
di negara tetangga dibawa oleh angin yang bertiup melewati
Indonesia menuju ke negara tetangga.
Juga kita ketahui bahwa terjadinya kebkaran hutan dan lahan di
sebagian wilayah Indonesia tidak
hanya semata-mata disebabkan oleh faktor manusia tetapi juga
karena disebabkan oleh faktor alam.
Kawasan hutan di Indonesia yang masih sangat luas dibandingkan
negara-negara tetangga,
keberadaannya menyebar di berbagai wilayah di Indonesia dan
luasan terbesar berada di Pulau
Kalimantan dan Sumatera, sehingga hal ini cukup sulit untuk
melakukan upaya-upaya pengendalian
atau pencegahan dan penanganan terjadinya kebakaran hutan.
Apalagi dengan keterbatasan
kemampuan tenaga penanggulangan kebakaran hutan, ketersediaan
sarana dan prasarana
pemadam kebakaran, serta kondisi medan menuju kawasan kebakaran
yang berat. Pada kondisi
-
yang demikian diharapkan adanya peran negara tetangga dalam
rangka pengendalian dan
penanganan masalah kebakaran hutan di Indonesia melalui
kerjasama baik dalam bidang
peningkatan kapasitas dan kemampuan sumber daya manusia, teknis
pencegahan dan/atau
penanggulangan serta bantuan dana.
Butaru : Kalimantan Tengah merupakan salah satu provinsi yang
terkait dengan program Heart of
Borneo. Apa harapan Bapak berkaitan dengan program-program yang
telah diterapkan dalam HoB
ini? Hambatan-hambatan apa yang Bapak temui dalam melaksanakan
program HoB ini? Manfaat
apa yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah terkait dengan
penetapan ini?
Teras Narang : Harapan saya terkait dengan program-program yang
diterapkan HoB adalah
program-program yang telah dibuat dapat diimplementasikan sesuai
dengan rencana dan tujuan
yang hendak dicapai yaitu menyangkut konservasi dan pembangunan
berkelanjutan serta
dilaksanakan secara selaras, seimbang dan berkesinambungan serta
dikelola secara arif dan
bertanggungjawab tetap berpegang pada ketentuan dan peraturan
perundangan yang berlaku an
menghormati hak-hak masyarakat di sekitar kawasan HoB.
Dalam melaksanakan program HoB selama ini belum/tidak dijumpai
kendala atau hambatan yang
berarti. Kalaupun ada hambatan dapat diselesaikan bersama.
Manfaat yang akan didapat oleh Kalimantan Tengah utamanya
kelestarian hutan, spesies yang ada,
dan sumber daya alam serta kelestarian kondisi fisik hilirnya
seperti iklim, topografi/geologi,
hidrologi dan lain sebagainya serta manfaat dapat mengakomodir
kepentingan ekonomi, sosial dan
budaya baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun
global dan tidak kalah pentingnya
adalah terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar
HoB.
Butaru : Inisiatif HoB ini juga sangat relevan dan terkait
dengan Kerangka Konvensi PBB tentang
Perubahan Iklim, terutama dalam rangka pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi hutan
(Reduction of Emission from Deforestation and Degradation/REDD)
yang dibahas di Bali pada
Konferensi Para Pihak ke 13 di Bali, Desember 2007. dengan
konservasi dan pembangunan
berkelanjutan di wilayah HoB dimana deforestasi akan ditekan
sekecil-kecilnya, wilayah yang
tercakup dalam HoB akan diuntungkan dengan mekanisme perdagangan
karbon yang tercakup
dalam mekanisme REDD. Apa pendapat Bapak terkait dengan hal
ini?
Teras Narang : Terkait dengan pernyataan bahwa daerah yang
wilayahnya tercakup dalam HoB akan
diuntungkan dengan mekanisme perdagangan karbon yang tercakup
dalam mekanisme REDD,
bahwa pernyataan yang sama pernah saya dengar dari LSM asing
yang telah melaksanakan
konservasi di Kalimantan Tengah dan sampai sekarang belum ada
tindak lanjutnya. Seperti pernah
saya katakan menjelang dilaksanakan Konferensi PBB tentang
Perubahan Iklim di Bali bahwa hal
tersebut sebelumnya perlu dilakukan sosialisasi kepada
masyarakat di Kalimantan Tengah agar kita
semua ada kesepahaman terkait hal dimaksud.
Butaru : Sesuai hasil pertemuan pertama HoB antar ketiga negara
(1st HoB Trilateral Meeting) yang
diselenggarakan di Brunei Darussalam, tanggal 18 20 Juli 2007,
masing-masing negara diminta
untuk menusun Program Aksi HoB Nasional dan mekanisme kerjasama
antar ketiga negara. Bisa
Bapak gambarkan secara singkat Program Aksi HoB Nasional untuk
Provinsi Kalimantan Tengah?
-
Teras Narang : Program Aksi HoB Nasional untuk Provinsi
Kalimantan Tengah dapat dijelaskan
sebagai berikut :
a. Kerjasama antar wilayah/kewenangan
Lingkup rencana aksi dan strategi untuk mewujudkan kerjasama
antar wilayah/kewenangan
adalah
1) Penggunaan lahan berkelanjutan (Sustainable Land Use),
meliputi :
- Kegiatan penentuan batas dan identifikasi kawasan yang masuk
dalam wilayah
HoB,
- Kegiatan survey dan kajian sinkronisasi tata ruang lintas
kabupaten dalam wilayah
pegunungan Schwanner,
- Kegiatan analisi land suitability System dan analisis
perubahan penggunaan lahan,
- Kegiatan Survey atau kajian ancaman tegakan hutan tropis di
kawasan Pegunungan
Muller Schwanner dan Gunung Lumut,
2) Pengembangan Kapasitas Lembaga (Institutional Capacity
Building), meliputi :
- Penguatan peran Kelompok Kerja Daerah untuk penguatan
kelembagaan daerah
sesuai dengan PP 38/2007 dan PP 41/2007,
- Melakukan kajian-kajian yang bersifat holistik.
b. Pengelolaan kawasan lindung
1) Advokasi Kebijakan (Policy Advocacy), meliputi :
- Mendorong pengelolaan kawasan konservasi dan/atau hutan
bernilai konservasi
tinggi,
- Pengamanan kawasan konservasi, khususnya di daerah
perbatasan,
- Program pengembangan, pengelolaan dan konservasi sungai, danau
dan sumber
daya alam lainnya,
- Program rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya
alam.
2) Informasi dan Manajemen Pengelolaan Kawasan Lindung
(Information and
Management), meliputi :
- Sosialisasi HoB di segala level,
- Program peningkatan kualitas dan akses informasi sumber daya
alam,
- Program pengawasan dan penertiban kegiatan yang merusak
lingkungan,
- Program pengelolaan kawasan pelestarian alam dan suaka
alam,
- Pengembangan program pariwisata alam di kawasan Taman Nasional
Bukit-Bukit
Raya (Kabupaten Katingan).
3) Pemberdayaan Masyarakat (Community Empowerment), meliputi
:
- Menyusun program pendidikan lingkungan,
4) Pelibatan peran swasta/BUMN (Corporate Engagement), meliputi
:
- Mediator penyelesaian permasalahan yang berkaitan dengan
HoB.
c. Pengelolaan Sumber Daya Alam di luar Kawasan Lindung
1) Penyempurnaan Kebijakan Sektor (Sector Reform), meliputi
:
- Kegiatan analisis kebijakan dalam permasalahan sosial, budaya
dan ekonomi,
- Kegiatan survey atau kajian sosial budaya dan ekonomi
masyarakat di dalam dan di
luar kawasan Pegunungan Muller Schwanner serta menemu kenali
potensi
pengembangan ekonomi masyarakat,
2) Penggunaan Lahan Berkelanjutan (Sustainable Land Use),
meliputi :
-
- Identifikasi produk unggulan lokal di masing-masing wilayah
dan kajian dan survey
terhadap pengalaman serta model kelola SDA yang dilakukan oleh
masyarakat di
sekitar kawasan HoB.
3) Information and Management, meliputi :
- Kegiatan inventarisasi dan identifikasi potensi konflik
permasalahan sosial.
Butaru : Saya kira sudah sangat banyak hal yang Bapak jelaskan,
terima kasih atas kesediaan Bapak
menyisihkan waktu untuk wawancara ini. Kami mohon pamit, terima
kasih, Pak .........
Teras Narang : Sami-sami .................
Profil Wilayah Heart Of Borneo
Dewasa ini kesadaran pentingnya aspek lingkungan dirasakan
semakin meningkat, bahkan menjadi topik yang
sering dibicarakan seiring dengan terjadinya berbagai gejala
perubahan alam. Semangat peduli lingkungan ini
telah menjadi kepedulian bersama di berbagai negara, antara lain
menjadi tema utama dalam pertemuan
United Nation For Climate Change (UNFCC) yang diselenggarakan
pada bulan Desember tahun 2007 di Bali,
yang dihadiri oleh delegasi negara maju maupun sedang
berkembang. Pertemuan ini menunjukkan kampanye
cinta lingkungan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat di
dunia. Salah satu contoh kepedulian terhadap
lingkungan di Indonesia yang dijadikan bahan pembahasan adalah
keberadaan Heart of Borneo (HoB).
Heart of Borneo merupakan sebuah perwujudan konsep konservasi
dan pembangunan berkelanjutan ke dalam
program manajemen kawasan di Pulau Borneo. Inisiatif HoB
dilatarbelakangi kepedulian terhadap penurunan
kualitas lingkungan terutama kualitas hutan di Pulau Borneo,
yang ditunjukkan dengan makin rendahnya
produktivitas hutan, hilangnya potensi keanekaragaman hayati,
serta fragmentasi hutan dari satu kesatuan
yang utuh dan saling terhubung. Penurunan kualitas lingkungan
tersebut antara lain disebabkan oleh
pengelolaan lingkungan yang kurang bijaksana, pengambilan kayu
secara ilegal dan pengalihan fungsi hutan.
Degradasi tutupan hutan di Pulau Borneo dapat dilihat seperti
pada Gambar 1.
-
Dengan latarbelakang permasalahan seperti yang telah disebutkan
di atas, inisiatif HoB secara resmi muncul
pertama kali pada tanggal 5 April 2005 dalam pertemuan yang
bertema Three Countries One Conservation
Vision yang menjadi pertemuan cikal bakal HoB. Launching
inisiatif HoB sendiri dilakukan pada side event
Convention On Biological Diversity (COB 8 CBD) di Curitiba
Brazil, berupa pernyataan kesediaan dari tiga
negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei. Kesediaan ini
kemudian ditindaklajuti dengan penandatanganan
deklarasi HoB yang dilaksanakan pada tanggal 12 Februari tahun
2007. Naskah Deklarasi HoB ditandatangani
oleh Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam,
Pehin Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji
Jumat, Menteri Kehutanan Republik Indonesia, M.S Kaban dan
Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Malaysia, Dato Seri Azmi bin Khalid (Gambar 2).
Gambar 1: Peta Tutupan Hutan tahun 1990, 1950, 1965, 2000, dan
2005, serta Peta Proyeksi Tutupan Hutan tahun 2010 dan 2020
berdasarkan kecendrungan tahun 1900-2005
(Sumber : WWF)
-
Gambar 2: Penandatanganan Naskah Deklarasi Heart of Borneo oleh
Menteri Industri dan Sumber Daya Primer Brunei Darussalam, Pehin
Dato Dr. Awang Haji Ahmad bin Haji Jumat; Menteri Kehutanan
Republik Indonesia, M.S Kaban dan
Menteri Sumber Daya Alam dan Lingkungan Malaysia, Dato Seri Azmi
bin Khalid (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan Tengah)
Naskah deklarasi HoB secara garis besar berisi tiga butir
kesepakatan. Pertama kerjasama manajemen sumber
daya hutan yang efektif dan konservasi terhadap area yang
dilindungi, hutan produktif, dan penggunaan lahan
lainnya yang berkelanjutan. Kedua inisiatif HoB merupakan
kerjasama lintas batas yang sukarela dari tiga
negara. Ketiga, kesepakatan untuk bekerjasama berdasarkan
prinsip pembangunan berkelanjutan. Naskah
deklarasi HoB secara lengkap dapat dilihat pada Gambar 3.
-
Gambar 3: Naskah Deklarasi HoB (Sumber: BKTRN)
Adapun luas cakupan wilayah HoB yang menjadi acuan sementara
sampai saat ini yaitu meliputi areal seluas
kurang lebih 22 juta hektar, yang secara ekologis saling
terhubung. Areal tersebut secara administratif
terbentang di wilayah tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia,
dan Brunei Darussalam. Deliniasi wilayah HoB
yang lebih rinci, masih dalam tahap pembahasan antarnegara untuk
mencapai kesepakatan, dibandingkan
-
dengan usulan awal wilayah HoB pada bulan April tahun 2005 dan
perkembangan usulan baru dari masing-
masing negara tahun 2008 ini. Peta usulan deliniasi wilayah HoB
pada awal tahun 2005 serta perkembangan
pada pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB pada bulan Januari
2008, dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4: Peta Usulan Awal Batas HoB Bulan April Tahun 2005 dan
Peta Usulan Batas HoB Hasil Pertemuan Pembahasan Tata Ruang HoB
Bulan Januari Tahun 2008
(Sumber: BKTRN)
Pertemuan Tiga Negara yang Kedua (Second Trilateral Meeting),
yang diadakan di Kota Pontianak Provinsi
Kalimantan Barat, pada tanggal 2-4 April 2008 yang lalu,
menghasilkan usulan batas baru wilayah HoB. Usulan
dari masing-masing negara tersebut diharmonisasikan dalam suatu
peta harmonisasi batas HoB yang dapat
dilihat pada Gambar 5. Batas yang diajukan dalam pertemuan ini
masih dalam tahap pembahasan, yang
diharapkan dapat mencapai suatu kesepakatan batas yang tidak
saja sesuai dengan kepentingan masing-
masing negara, namun lebih utama adalah kepentingan perwujudan
kelestarian lingkungan dan pembangunan
berkelanjutan yang menjadi tujuan utama inisiatif HoB.
-
Gambar 5: Peta Harmonisasi Batas HOB Sesuai dengan Usulan
Masing-Masing Negara pada 2
nd Trilateral Meeting
Sumber : 2nd Trilateral Meeting
Sejalan dengan deliniasi batas HoB yang sedang dalam proses
pembahasan, sampai saat ini juga belum
terdapat angka resmi yang telah disepakati oleh tiga negara
mengenai luasan definitif wilayah cakupan kerja
HoB. Sebagai acuan dalam mendiskusikan program HoB, digunakan
cakupan luas sementara wilayah HoB di
tiga negara. Berdasarkan data sementara dari Kelompok Kerja HoB
Provinsi Kalimantan Tengah, persentase
wilayah kerja HoB yaitu 57% berada di Indonesia, 42% di
malaysia, dan 1% di Brunei Darussalam, yang
perinciannya dapat dilihat pada Tabel 1.
-
Tabel 1. Pemanfaatan Lahan Heart of Borneo
Propinsi/Negara Bagian Negara Total Area HoB
(Ha) Persentase Area HoB
Kalimantan Tengah Indonesia 2,466,000 11,2
Kalimantan Barat Indonesia 4,010,000 18,2
Kalimantan Timur Indonesia 6,137,000 27,8
Brunei Brunei 131,570 0,6
Serawak Malaysia 5,373,000 24,3
Sabah Malaysia 3,968,000 17,9
Total 22,085,570 100
Sumber : Kelompok Kerja HoB Kalimantan Tengah
Wilayah cakupan HoB terdiri dari kawasan lindung (taman
nasional, cagar alam, suaka margasatwa, hutan
lindung), kawasan budidaya kehutanan (HPH dan HTI) serta kawasan
budidaya non kehutanan (perkebunan,
pertambangan, dll). Wilayah HoB Indonesia diperkirakan seluas
12,6 juta hektar yang terdiri dari 2,7 juta
hektar hutan konservasi (21,46%), 1,1 juta hektar hutan lindung
(9,5%), 4,9 juta hektar hutan produksi (38,9%),
serta 3,8 juta hektar (30,17%) areal penggunaan lainnya (Gambar
6).
-
Dari Gambar 6 dapat dilihat adanya
keberagaman pemanfaatan lahan pada
usulan wilayah HoB di Indonesia.
Pemanfaatan luas cakupan wilayah HoB
tersebut terdiri dari 31% kawasan lindung,
sementara sebagian besar justru merupakan
kawasan budidaya. Hal ini menunjukkan
bahwa inisiatif HoB bukan semata-mata
merubah keseluruhan kawasan menjadi
kawasan lindung, tetapi juga melaksanakan
manajemen pengelolaan kawasan budidaya
berbasis keberlanjutan lingkungan.
Manajemen wilayah HoB perlu dilakukan
secara terpadu mengingat pentingnya fungsi
HoB sendiri dan terhadap lingkungan
sekitarnya. HoB memiliki fungsi penting
sebagai sumber keanekaragaman hayati
seperti sebagai rumah bagi spesies penting
dan langka seperti orang utan dan badak,
serta memiliki berbagai jenis serangga yang
bahkan belum pernah ditemukan di bagian
dunia lainnya. Selain sebagai sumber keanekaragamn hayati, HoB
juga berperan sebagai menara air bagi
seluruh wilayah Pulau Borneo, yaitu setidaknya merupakan sumber
air bagian hulu bagi 14 dari 20 sungai
utama di Pulau Borneo antara lain Sungai Kapuas, Katingan,
Barito dan Mahakam.
Hal ini menunjukkan pentingnya keberadaan wilayah HoB dalam
perlindungan hulu sungai, yang menjadi
sumber air bagi anak-anak sungai di hampir seluruh wilayah Pulau
kalimantan. Lebih lanjut disadari bahwa
keberadaan HoB yang juga sebagai daerah resapan air yang akan
menjamin ketersediaan cadangan air, dan
peningktan kualitas air di Pulau Borneo.
Dengan demikian pemanfaatan wilayah HoB harus dikelola sebagai
satu kesatuan ekosistem, mulai dari hulu,
tengah hingga hilir. Berdasarkan pendekatan ekosistem ini,
program-program berkelanjutan dan konservasi
yang dilaksanakan dalam kerangka kerjasama tiga negara, yaitu
Indonesia, Malaysia dan Brunai Darussalam,
perlu terus dikembangkan. Ruang lingkup kegiatan HoB di tiga
negara tersebut antara lain:
Melakukan inventarisasi, analisis kesenjangan, merumuskan dan
melaksanakan program aksi (action
plan)
Melanjutkan aktivitas program yang sedang berjalan;
Melakukan konsultasi dengan pemangku kepentingan di tiga negara
untuk mengidentifikasi prioritas
kerja dan kesempatan investasi;
Bapak Moses, Pokja HoB (BPLHD) Kalimantan
Tengah
Salah satu konsep kegiatan HoB, termasuk di dalamnya adalah
tata
ruang. Konsep tersebut harus memperhatikan RTRWP dan RTRWK,
karena apabila tidak memperhatikan hal itu maka tidak jelas akan
dibawa
kemana pembangunan ini. Ada satu hal yang saya sarankan yaitu
kita
menyiapkan tata ruang dikaitkan dengan persoalan global
yaitu
perubahan iklim. Karena kita melihat kebakaran hutan dan
deforestasi
salah satu penyebabnya adalah pemanasan global. Ini menjadi visi
kita ke
depan untuk menyelematkan lingkungan dan mensejahterakan
masyarakat. Kesepakatan 3 negara terhadap HoB merupakan
langkah
awal untuk kita, bagaimana melindungi dan mengelola hutan di
kawasan
Indonesia, dan Kalimantan pada khususnya. Cara menyelamatkan
masalah lingkungan dan bagaimana pengelolaan lingkungan ke
depan,
merupakan hal yang harus masuk dalam rencana tata ruang.
Artinya
kalau kita tidak masukan ke dalam rencana tata ruang, maka
grand
design penyelamatan HoB ini tidak tahu mau dibawa kemana
lingkungan
kita ini. Untuk Kalimantan Tengah, Bapak Gubernur saat ini
sedang
mempersiapkan satu kegiatan yaitu bagaimana membawa semua
sektor
melahirkan satu kebijakan-kebijakan yang berwawasan
lingkungan,
kebijakan yang berkelanjutan, dan pembangunan yang
berkelanjutan.
Sedang dipersiapkan oleh satu pokja untuk menyusun naskah
akademis
dan naskah kebijakannya. Kita juga mendukung kebijakan pusat
berkaitan
dengan penetapan beberapa kawasan untuk dijadikan taman
nasional.
-
Membangun kelembagaan HoB di tiga negara; dan
Menentukan prioritas pembangunan lintas batas.
Berdasarkan ruang lingkup kegiatan tersebut, disusun
program-program kegiatan HoB antara lain:
a. Pengelolaan Kawasan Perbatasan, yang meliputi:
Penyusunan rencana induk (master plan) pengelolaan kawasan HoB
melalui proses-proses yang
partisipatif, mengakomodasi praktek dan prakarsa lokal,
transparan, dan bertanggung jawab;
Pelaksanakan kerjasama pengamanan dan penegakan hukum lebih erat
di antara tiga negara;
Penyelenggaraan mekanisme komunikasi dan pertukaran informasi
yang efektif untuk keselarasan
rencana tata ruang perbatasan, kebijakan atau aktivitas yang
berdampak penting pada HoB;
Pelaksanaan penelitian bersama melalui mekanisme yang berlaku di
masing-masing negara.
b. Pengelolaan Kawasan Lindung, yang meliputi:
Rekomendasi kawasan lindung dengan mempertimbangkan aspek
ekonomi, sosial, budaya, ekologi,
dan keanekaragaman hayati serta membangun sistem pengelolaan
kawasan lindung lintas batas;
Pelaksanaan kelanjutan inisiatif pengembangan kawasan konservasi
lintas batas dalam kerangka
kerjasama bilateral dan multilateral;
Pelaksanaan kegiatan konservasi sumberdaya air lintas batas;
Pelaksanaan evaluasi ekonomi untuk skema ekonomi jasa
lingkungan;
Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan
lindung yang rusak.
c. Pengelolaan Kawasan Budidaya
Penerapan prinsip-prinsip pemanfaatan berkelanjutan dalam
pelaksanaan pembangunan di
kawasan budidaya oleh pihak terkait;
Pelaksanaan sertifikasi terhadap kegiatan pemanfaatan sumber
daya alam berdasarkan kaidah-
kaidah kelestarian;
Pelaksanaan program rehabilitasi dan restorasi terhadap kawasan
budidaya yang rusak.
Sebagai kelanjutan dari penandatanganan Deklarasi HoB oleh 3
(tiga) negara, seperti disebutkan sebelumnya,
telah dilaksanakan Second Trilateral Meeting HoB pada tanggal
4-5 April 2008 di Pontianak. Pertemuan ini
dihadiri oleh delegasi dari masing-masing negara yaitu Delegasi
dari Malaysia dipimpin oleh Direktur
Kehutanan Sarawak, Delegasi dari Brunei Darussalam dipimpin oleh
Direktur Kehutanan Brunei Darussalam,
dan Delegasi dari Indonesia dipimpin oleh Direktur Konservasi
Kawasan Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan
dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan, serta para
peserta dari Menko Perekonomian, Bappenas,
dan Pemerintah Daerah terkait (Kalimantan Barat, Kalimantan
Tengah, Kalimantan Timur) dan perwakilan
WWF.
Sebagai perwujudan deklarasi HoB dan tindak lanjut dari cakupan
kegiatan di tiga negara yang telah
disebutkan di atas, pada Second Trilateral Meeting HoB tersebut
masing-masing negara telah menyusun dan
mengajukan program rencana aksi. Dengan menyusun rencana aksi
ini, setiap negara khususnya Indonesia
-
mengharapkan agar tercipta prinsip, definisi dan langkah
implementasi yang menjadi dasar bagi kebijakan HoB
di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten/kota. Selain itu,
diharapkan terdapat dasar yang terpadu dalam
implementasi manajemen sumber daya, pembangunan masyarakat, dan
pembangunan ekonomi bagi seluruh
pemerintahan di dalam wilayah HoB. Rencana aksi dan strategi
juga diharapkan menjadi suatu referensi dalam
implementasi program prioritas dan mobilisasi sumberdaya di
dalam manajemen HoB oleh seluruh elemen
pemerintah, baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah.
Adapun program rencana aksi yang disusun
oleh setiap negara tersebut dapat dilihat lebih jelas pada Tabel
2.
Tabel 2. Program Rencana Aksi Heart of Borneo, Negara Indonesia,
Malaysia, dan Brunei Darussalam
Program
Rencana Indonesia Malaysia Brunei Darussalam
-
Aksi
Membangun manajemen sumber daya kehutanan dan konservasi alam di
kawasan yang dilindungi
Meningkatkan kebijakan lokal
Mengimplementasikan prinsip pembangunan berkelanjutan melalui
kegiatan penelitian
Menyusun dokumen proyek nasional;
Menyusun anggaran pembiayaan di tingkat Pusat; dan
Merinci alokasi anggaran yang akan disusun oleh pemerintah
daerah
Melestarikan kawasan hutan, sumber daya air, dan berbagai jenis
ekosistem di dalamnya;
Memberikan kontribusi melalui diversifikasi ekonomi dengan cara
pemanfaatan produksi non kayu dalam rangka meningkatkan kelestarian
hutan;
Melakukan penghijauan kembali kawasan hutan yang telah mengalami
degradasi; dan
Melibatkan peran serta masyarakat dalam menjaga kelestarian
kawasan hutan
Sumber: Bappenas, 2008
Berbagai program dan rencana aksi yang dirumuskan di atas
merupakan suatu wujud upaya untuk mencapai
tujuan keberlanjutan lingkungan Borneo, melalui manajemen
kawasan Heart of Borneo. Instrumen yang sangat
penting dalam manajemen kawasan HoB adalah rencana tata ruang di
kawasan tersebut. Konsep pengelolaan
HoB sebagai suatu ekosistem terpadu turut terakomodasi dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
(RTRWN). Dalam PP nomor 26 tahun 2008 tentang RTRWN disebutkan
penetapan HoB sebagai salah satu
kawasan Strategis Nasional (KSN), dengan kriteria sebagai KSN
dalam tahapan pengembangan I dengan titik
berat pada rehabilitasi/revitalisasi kawasan.
Lebih lanjut, secara umum Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional,
Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
terkait, dan khususnya Rencana Induk (master plan) Heart of
Borneo menjadi suatu elemen penting dan
dijadikan sebagai acuan bagi pelaksanaan pengelolaan kawasan HoB
ke depan. Seperti dikutip dari kalimat
pembuka kegiatan sosialisasi ekowisata HoB di Palangkaraya
Apabila kita salah dalam perencanaan, berarti
kita merencanakan suatu kegagalan, dan sebaliknya, perencanaan
yang matang adalah langkah awal
keberhasilan.
-
Heart of Borneo (sumber: Pokja HoB Provinsi Kalimantan
Tengah)
KETERKAITAN RENCANA PEMBANGUNAN NASIONAL DENGAN
PENATAAN RUANG
Oleh :
Deddy Koespramoedyo, MSc.
-
Direktur Tata Ruang dan Pertanahan, Bappenas
I. Pendahuluan
UU No. 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
merupakan payung hukum bagi
pelaksanaan perencanaan pmbangunan dalam rangka menjamin
tercapainya tujuan negara, yang digunakan
sebagai arahan di dalam Sistem Perencanaan Pembangunan secara
nasional. Menurut undang-undang
tersebut, rencana pembangunan terdiri dari Rencana Pembangunan
Jangka Panjang (RPJP), Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM), dan Rencana Kerja Pemerintah
(RKP). Rencana pembangunan
memuat arahan kebijakan pembangunan yang dijadikan acuan bagi
pelaksanaan pembangunan di seluruh
wilayah Indonesia. Terkait hal ini, daerah akan menyusun RPJPD
dan RPJMD yang mengacu pada RPJP dan
RPJM Nasional serta membuat program pembangunan dan kegiatan
pokok yang akan dilaksanakan melalui
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang disusun oleh
Kementerian/Lembaga.
Lahirnya UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
turunannya berupa rencana tata ruang
merupakan upaya penting dalam menertibkan penyelenggaraan
penataan ruang di Indonesia yang
diwujudkan melalui beberapa aspek penting, diantaranya
pengendalian pemanfaatan ruang. Pengendalian
pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui
penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian
insentif dan disinsentif, serta sanksi. Kegiatan penataan ruang
terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait,
yaitu: perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang, dengan produk rencana
tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang secara
hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP), dan Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata
ruang tersebut harus dapat terangkum di
dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam
implementasi perencanaan pembangunan
berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai payung hukum dalam
penyelenggaraan penataan ruang, maka
Undang-Undang Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan
rencana tata ruang yang dapat
mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor
pembangunan, baik dalam pemanfaatan
sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan.
Pendekatan top-down dan partisipatif dalam perencanaan
pembangunan yang ada dalam UU No. 25/2004
terwujud dalam bentuk rangkaian musyawarah perencanaan
pembangunan (Musrenbang) yang dilakukan secara
berjenjang dari mulai tingkat Kabupaten/Kota sampai dengan
Nasional. Rangkaian forum ini menjadi bagian
dalam menyusun sistem perencanaan dan alokasi anggaran untuk
pelaksanaan kegiatan pembangunan setiap
tahun. Secara top down, Pemerintah telah menetapkan rencana
kerja pemerintah berikut alokasi anggaran yang
ditetapkan dan akan digunakan didalam membiayai kegiatan
pembangunan secara nasional. Secara partisipatif,
proses perencanaan pembangunan dilaksanakan dengan melibatkan
seluruh stakeholder di pusat dan daerah.
Perencanaan pembangunan adalah suatu proses yang bersifat
sistematis, terkoordinir dan berkesinambungan,
sangat terkait dengan kegiatan pengalokasian sumberdaya, usaha
pencapaian tujuan dan tindakan- tindakan di
masa depan. Segala bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya harus
diatur di dalam rencana tata ruang seperti
yang tercantum di dalam UU No. 26/2007, bahwa penataan ruang
terbagi atas kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan demikian
keterkaitan antara perencanaan
pembangunan dan penataan ruang sangat penting dalam rangka
optimalisasi sumberdaya alam dan buatan yang
terbatas dan mengurangi resiko bencana yang ditimbulkan oleh
kegiatan manusia.
Keterkaitan antara rencana pembangunan dengan penataan ruang
dapat dilihat pada skema berikut.
Gambar 1.
Skema Keterkaitan Rencana Pembangunan dengan Rencana Tata
Ruang
mengacu mengamanatkan mengamanatkan
-
Penjelasan Skema:
1) RPJPN merupakan amanat yang disusun berdasarkan UU No.
25/2004, sedangkan RTRWN disusun berdasarkan amanat yang terdapat
pada UU No. 26/2007.
2) Rencana Pembangunan (Nasional dan Daerah) dan Rencana Tata
Ruang harus dapat saling mengacu dan mengisi. Berdasarkan pasal 19
UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang, bahwa di dalam
penyusunan
RTRWN harus memperhatikan RPJPN, dan pada pasal 20 ayat (2)
menyatakan bahwa RTRWN menjadi
pedoman untuk penyusunan RPJPN. RTRWN merupakan pedoman bagi
penyusunan dan pelaksanaan
kegiatan yang bersifat keruangan. RPJPN dan RTRWN memiliki batas
waktu selama 20 tahun. Untuk RTRWN dapat ditinjau kembali satu kali
dalam 5 tahun apabila terjadi perubahan lingkungan strategis
seperti terjadi bencana alam skala besar yang ditetapkan dengan
peraturan perundang-undangan,
perubahan batas teritorial negara yang ditetapkan dengan UU,
perubahan batas wilayah provinsi yang
ditetapkan dengan UU (khusus RTRWP dan RTRWK), dan perubahan
batas wilayah kabupaten/kota
yang ditetapkan dengan UU (khusus RTRWK).
3) RPJMN merupakan turunan dari RPJPN yang memiliki batas waktu
selama 5 tahun. Penjabaran RPJMN tertuang di dalam RKP yang
dirumuskan setiap tahun dan disusun melalui Murenbangnas.
II. Tantangan Penyelenggaraan Penataan Ruang dalam Pembangunan
Nasional
Peranan penataan ruang didalam pelaksanaan kegiatan pembangunan
yang terjabarkan pada rencana
pembangunan sangatlah penting. Segala kegiatan yang tentu saja
membutuhkan ruang sebagai wadah
pendukung kegiatan pembangunan tersebut harus diatur di dalam
rencana tata ruang. Namun, dalam
pelaksanaannya masih banyak terdapat berbagai kendala dan
tantangan yang disebabkan oleh beberapa faktor,
diantaranya:
1. Perencanaan Tata Ruang
Penyusunan rencana tata ruang di masa lalu pada umumnya sudah
baik namun dalam beberapa hal produk
rencana tata ruang yang dihasilkan masih belum diacu dalam
pelaksanaan pembangunan. Hal ini disebabkan
beberapa hal diantaranya adalah: data dan informasi yang
digunakan kurang akurat dan belum meliputi analisis
pemanfaatan sumberdaya kedepan, penyusunan rencana tata ruang
sering dilaksanakan hanya untuk memenuhi
mengisi
UU No.
25/2004
UU No.
26/2007
RPJMN
RKP
mengisi
RPJPN RTRWN
mengacu
-
kewajiban pemerintah (Pusat dan Daerah) sesuai Undang-undang dan
Peraturan Daerah, rencana tata ruang uang
disusun, terutama di tingkat daerah, seringkali dianggap sebagai
produk satu instansi tertentu dan belum menjadi
dokumen milik semua instansi karena penyusunannya belum
melibatkan berbagai pihak.
Permasalahan lain yang terjadi terkait dengan perencanaan tata
ruang adalah seringkali perencanaan suatu
kegiatan yang menggunakan ruang secara blue print tidak
tergambar secara detail di dalam suatu peta rencana
yang dapat menyebabkan pada pelanggaran didalam pemanfaatan
ruang.
2. Pemanfaatan Ruang
Pemanfaatan ruang suatu wilayah atau daerah seringkali tidak
sesuai dengan peruntukannya yang ada dalam
rencana tata ruang suatu wilayah atau daerah. Kebutuhan mendesak
akan ruang, baik yang disebabkan oleh
pengguna ruang ilegal maupun pemerintah, telah menyebabkan alih
fungsi lahan yang tidak terkendali. Hal ini
terkait erat dengan rencana tata ruang yang tidak sesuai, dengan
kebutuhan masyarakat dan pemerintah dalam
jangka menengah maupun panjang maupun tidak adanya sanksi hukum
terhadap pelanggaran rencana tata
ruang. Kebutuhan ruang bagi masyarakat dan pemerintah (daerah)
terutama terjadi di daerah-daerah yang baru
dibentuk sebagai akibat pemekaran daerah.
Dalam mengantisipasi kebutuhan masyarakat dan pemerintah,
perubahan rencana tata ruang serta suatu
peraturan dan perundangan yang mengatur tata ruang seringkali
tidak dapat dilaksanakan dengan segera dan
membutuhkan waktu yang relatif lama. Misalnya dalam proses alih
fungsi kawasan hutan (produksi maupun
lindung) yang diminta oleh daerah, maka prosesnya harus
mengikuti ketentuan yang ada sesuai Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, dan proses ini akan
memakan waktu yang cukup lama (hampir satu
tahun bahkan lebih).
3. Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari penataan
ruang digunakan sebagai alat untuk
menertibkan kegiatan yang akan dan atau telah melanggar tata
ruang pada jalur yang sesuai dengan muatan yang
terdapat pada produk rencana tata ruang.
Tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama yang disebabkan
oleh arus urbanisasi mengakibatkan
pengelolaan ruang kota semakin berat. Selain itu daya dukung
lingkungan dan sosial yang ada juga menurun,
sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan
penduduk. Masalah perekonomian yang menjadi
pemicu didalam pembangunan nasional, menjadikan berbagai
kegiatan pendukung ekonomi menjadi faktor
utama di dalam kegiatan pembangunan. Hal tersebut berdampak pada
maraknya alih fungsi lahan yang
dilakukan dalam rangka melangsungkan dan mendukung kegiatan
ekonomi.
Kewenangan yang sudah banyak didelegasikan kepada Pemerintah
Daerah melalui kebijakan otonomi daerah
dan desentralisasi memberikan kesempatan bagi daerah untuk
mencari berbagai sumber pendapatan baru untuk
meningkatkan pendapatan asli daerah melalui berbagai kegiatan
ekonomi, termasuk alih fungsi lahan tanpa
memperhitungkan keberlanjutannya dalam jangka panjang. Salah
satu upaya tersebut antara lain melalui
pemberian perizinan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah yang
terdapat di dalam rencana tata ruang. Sebagai
dampaknya, bentuk pelanggaran-pelanggaran tata ruang semakin
marak terjadi yang dapat mengganggu
lingkungan dan pada akhirnya dapat mengakibatkan bencana yang
tentunya merugikan bagi masyarakat.
4. Kelembagaan Penataan Ruang
Kelembagaan penataan ruang mempunyai peranan yang sangat penting
di dalam mensinkronisasikan kegiatan
pembangunan dengan rencana tata ruang. Namun, permasalahan yang
terjadi seringkali sulit untuk menciptakan
sinkronisasi kelembagaan dan hal ini terwujud dalam bentuk
konflik penataan ruang yang disebabkan oleh tidak
sinkronnya kegiatan antar sektor dan antar daerah. Ego sektoral
dan daerah masih menjadi masalah utama
dalam hal ini. Selain itu, konflik kewenangan pun terjadi secara
hirarki antar instansi pemerintahan. Sebagai
contoh, konflik antar sektor kehutanan dengan pemerintah daerah
dalam pemanfaatan kawasan hutan. Hal ini
berdampak pada sulitnya pemerintah daerah dalam melaksanakan
penyusunan rencana tata ruang wilayahnya.
Oleh karena itu peranan kelembagaan penataan ruang dalam
menjembatani hal tersebut sangatlah penting.
-
III. Beberapa Solusi dalam Menghadapi Tantangan Penyelenggaraan
Penataan Ruang dan Pembangunan Nasional
Berdasarkan uraian tantangan yang telah dikemukakan di atas,
maka beberapa solusi yang dianggap perlu
sebagai bahan pertimbangan untuk menghadapi tantangan tersebut
adalah:
1. Penyelarasan implementasi terhadap rencana pembangunan dengan
rencana tata ruang melalui mekanisme yang diatur didalam suatu
kebijakan/peraturan.
2. Perlunya sinkronisasi kebijakan antar sektor dan instansi
pemerintahan secara hirarki untuk mewujudkan keselarasan program
pembangunan.
3. Mewujudkan keterpaduan dan kerjasama pembangunan lintas
provinsi dan lintas sektor untuk optimasi dan sinergi struktur
pemanfaatan ruang.
4. Perlunya penyusunan rencana tata ruang yang berkualitas dan
menyeluruh.
5. Produk rencana tata ruang daerah harus dibuat sesuai dengan
kebutuhan masing-masing daerah yang selaras dengan visi dan misi
daerah.
6. Ketegasan sanksi dan ketetapan hukum sebagai alat yang
digunakan untuk mengendalikan segala bentuk pemanfaatan ruang.
7. Penyelenggaraan sosialisasi dalam rangka memberikan informasi
pentingnya peranan penataan ruang didalam pelaksanaan program
pembangunan kepada masyarakat.
8. Peningkatan manajemen kelembagaan penataan ruang baik di
Pusat maupun di daerah.
9. Mendorong kemitraan secara vertikal dan horisontal yang
bersifat kerjasama pengelolaan (co-management) dan kerjasama
produksi (co-production).
10. Mewujudkan konsistensi dalam penyerasian rencana tata ruang
dengan rencana pembangunan antar pemangku pemerintahan, baik pada
tingkat legislatif maupun eksekutif.
Implikasi Ketentuan Sanksi
Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang
Oleh
Indra Perwira1
1 Indra Perwira adalah Kepala Pusat Penelitian Perkembangan
Hukum dan Dinamika Sosial, Lembaga Penelitian Universitas
Padjadjaran.
-
Akibat Tidak ada Sanksi Pidana
Sebagai salah seorang yang diminta BKTRN untuk menyusun Naskah
Akademik yang kemudian melahirkan
UU Nomor 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, ada baiknya bila
penulis terlebih dahulu menyampaikan
latar belakang kenapa dalam UU ini terdapat ketentuan sanksi,
sementara dalam undang-undang sebelumnya
(UU 24 tahun 1992) tidak ada.
Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UUPR)
ditetapkan berdasarkan pemikiran
bahwa ruang wilayah NKRI sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa
kepada bangsa Indonesia dengan letak dan
kedudukan yang strategis sebagai negara kepulauan perlu
disyukuri, dilindungi dan dikelola untuk sebesar-
besarnya kesejahteraan rakyat. Untuk itu, Ruang baik sebagai
wadah maupun sebagai sumberdaya alam di
wilayah daratan, lautan dan udara harus dilola secara terpadu
dan terkoordinasi dengan sumberdaya manusia dan
sumberdaya buatan, sehingga tercipta tatanan lingkungan yang
dinamis, serasi dan seimbang antara
pertumbuhan ekonomi, pelestarian kemampuan lingkungan dan
ketahanan nasional.
Sejalan dengan pendekatan di atas, UUPR terdahulu lebih banyak
mengatur keterpaduan proses dan institusi,
sehingga kaidah-kaidah hukum yang dimuat lebih bersifat
adminitratif. Kaidah-kaidah perilaku masyarakat yang
berkaitan dengan pemanfaatan ruang memang sengaja tidak banyak
diatur dalam Undang-undang ini. Hal ini
didasarkan pertimbangan bahwa kaidah-kaidah perilaku tersebut
telah diatur dalam undang-undang sektoral,
seperti Undang-undang Kehutanan, Undang-undang Pertambangan,
Undang-undang Perindustrian, Undang-undang Pengairan dan
sebagainya. Dengan semikian, jika seseorang melanggar tata ruang
maka penerapan
sanksi pidana tergantung pada peruntukan yang dilanggar. Mungkin
sanksi pidana dari Undang-undang
Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan,
Undang-undang Konservasi, atau Undang-undang
yang lainnya.
Pendekatan yang komprehensif tersebut ternyata dalam prakteknya
tidak dapat berjalan efektif, antara lain
disebabkan karena Undang-undang sektoral belum spesifik
mengadopsi pendekatan ruang. Contohnya Undang-
undang No.23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup,
yang terkait langsung dengan penataan
ruang, hanya dapat diterapkan sanksinya sepanjang pada perubahan
fungsi ruang (peruntukan) itu terdapat unsur
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan. Dengan demikian,
terdapat beberapa kaidah perilaku yang luput dari pengaturan
UUPR.
Kewajiban setiap orang untuk menaati Rencana Tata Ruang adalah
kaidah perilaku yang sangat mendasar dalam UUPR. Sebab upaya apapun
yang dilakukan dalam Penataan Ruang tidak berguna apabila tidak
disertai dengan
kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan.
Ketika kepatuhan terhadap hukum mengendor
karena pudarnya kesadaran hukum maka ancaman sanksi pidana
memang diperlukan. Sayangnya UUPR tidak
mengatur sanksi pidana, sehingga pelanggaran terhadap Rencana
Tata Ruang diserahkan sepenuhnya pada
instrumen penegakan hukum administrasi.
Sebenarnya terdapat berbagai macam instrumen hukum administrasi
yang dapat dijalankan oleh administrasi
negara di tingkat pusat dan daerah, seperti pengawasan,
pelaporan, teguran, penertiban dan pencabutan izin.
Akan tetapi, instrumen penegakan hukum administrasi ini dalam
praktek belum banyak digunakan. Hal itu
disebabkan antara lain:
1. Belum ada Undang-undang khusus (Hukum Administrasi) yang
dapat digunakan sebagai pedoman bagi administrasi negara untuk
melakukan tindakan-tindakan hukum terhadap pelanggar aturan dan
kebijakan,
termasuk Rencana Tata Ruang. 2. Beberapa Undang-undang, seperti
Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Kehutanan,
Undang-undang Perlindungan Konsumen dan lain-lain sebenarnya
telah cukup mengatur instrumen hukum
administrasi tersebut, tetapi aparatur pemerintah kurang kreatif
dan hanya menggunakannya terhadap isu yang spesifik diatur dalam
undang-undang tersebut.
3. Penegakan hukum administrasi dianggap high cost, baik dari
aspek ekonomi, sosial dan politik.
Belum terdapat mekanisme penyesesaian konflik penataan ruang
Dalam Undang-undang terdahulu mengenai penataan ruang (UU No.
24/1992) pada pasal 26 menyatakan:
(1) Izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang wilayah Kabupaten/Kota yang ditetapkan berdasarkan
undang-undang ini dinyatakan batal oleh Kepala daerah
bersangkutan.
(2) Apabila izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat
dibuktikan telah diperoleh dengan itikat baik, terhadap kerugian
yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat
dimintakan penggantian yang
layak.
-
Berdasarkan pasal di atas, memberikan makna bahwa ketentuan ayat
(1) berada dalam wilayah hukum
admisistrasi, sementara ayat (2) berada dalam wilayah hukum
perdata. Dengan demikian UUPR yang lama, di
satu sisi telah memberikan wewenang yang kuat kepada
Bupati/Walikota untuk membatalkan izin, di sisi lain
menjamin perlindungan hukum atas kerugian yang diderita oleh
pihak yang beritikad baik.
Namun sayangnya kewenangan itu belum disertai dengan prosedur
penegakannya yang akan dapat membuat
persoalan-persoalan hukum yang terkait menjadi jelas.
Persoalan-persoalan yang mungkin akan timbul antara lain:
a. Apakah pembatalan satu izin akan membatalkan izin-izin lain
yang terkait ? Contohnya, apakah pembatalan izin lokasi akan
berpengaruh pada izin mendirikan bangunan (IMB) ? Sebab jika hal
tersebut tidak
berkaitan, maka pembatalan itu tidak akan berpengaruh apapun.
Seseorang dapat terus mendirikan
bangunan atas dasar IMB yang diperolehnya.
b. Apakah Bupati/Walikota dapat membatalkan izin-izin yang
diterbitkan oleh instansi/pejabat lain, seperti Gubernur atau
Menteri ?
Prinsip umum hukum administrasi menyatakan bahwa izin hanya
dapat dicabut atau dibatalkan oleh pejabat
yang menerbitkannya, atau apabila terjadi sengketa dapat
dibatalkan oleh putusan pengadilan (PTUN). Jadi
Bupati/Walikota tidak dapat membatalkan izin yang diterbitkan
oleh Gubernur atau Menteri. Lalu apa yang
dapat dilakukan Bupati/walikota terhadap izin tersebut padahal
izin tersebut bertentangan dengan Rencana Tata
Ruang Kabupaten/Kota?.
Pengawasan adalah tindakan hukum administrasi yang dilakukan
pemerintah atau pemerintah daerah untuk
mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran. Pengawasan mempunyai
dua dimensi, yaitu internal dan ekternal.
Pengawasan ekternal ditujukan untuk memantau kepatuhan
masyarakat, sedangkan pengawasan internal
ditujukan terhadap instansi/pejabat pemerintah.
UUPR menetapkan hirarki Rencana Tata Ruang sedemikian rupa guna
menjamin keterpaduan, sehingga
Rencana Tata Ruang wilayah Kabupeten/Kota tidak boleh saling
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang
daerah tetangganya serta dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi, dan yang terakhir tidak boleh
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Namun
demikian, UUPR tidak mengatur
mekanisme untuk mengatasi kenyataan empirik bahwa banyak Rencana
Tata Ruang Kabupaten/kota
bertentangan dengan Rencana Tata Ruang Provinsi.
Kaidah-kaidah Multi Tafsir
Dalam UUPR terdahulu, kaidah-kaidah perilaku hanya diatur dalam
Bab III mengenai Hak dan Kewajiban yang
terdiri dari Pasal 4, 5 dan 6. Pasal 4 ayat (1) menyatakan :
Setiap orang berhak menikmati manfaat ruang termasuk pertambahan
nilai ruang sebagai akibat penataan ruang.
Ketentuan dalam ayat ini dalam prakteknya melahirkan berbagai
interpretasi. Selain pertanyaan apakah ruang yang dimaksud
berkaitan dengan hak atas tanah yang bersangkutan, terhadap ruang
publik, atau termasuk pada ruang yang secara hukum terkait dengan
hak orang lain? Ada yang berpendapat ketentuan itu sesungguhnya
mengatur dua kaidah (norma) berjenjang, yaitu :
a. Hak menikmati pemanfaatan ruang; b. Hak menikmati pertambahan
nilai ruang.
Untuk dua kaidah berjenjang seperti itu lazimnya di antara
keduanya diletakkan tanda , (koma). Penafsiran lain menyatakan
bahwa kaidah yang kedua merupakan salah satu bentuk konkritisasi
hak menikmati manfaat
ruang. Pertanyaannya, selain hak menikmati pertambahan nilai
ruang, hak apa lagi yang termasuk dalam hak
menikmati manfaat ruang ?
Pertanyaan selanjutnya berkaitan dengan anak kalimat akibat
penataan ruang. Apakah mengacu kepada kedua kaidah tersebut atau
pada yang terakhir saja ? Jika mengacu pada keduanya maka timbul
pertanyaan, bagaimana
sekiranya penataan ruang itu mengurangi hak seseorang untuk
menikmati ruang? Perancang UUPR menunjuk
pada ayat berikutnya, sebagai berikut:
Setiap orang berhak untuk memperoleh penggantian yang layak atas
kondisi yang dialaminya sebagai akibat pelaksanaan kegiatan
pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang
Dalam Penjelasan disebutkan bahwa:
Penggantian yang layak diberikan kepada orang yang dirugikan
selaku pemegang hak atas tanah, hak pengelolaan sumberdaya alam
seperti hutan, tambang, bahan galian, ikan, dan atau ruang, yang
yang dapat
-
membuktikan bahwa secara langsung dirugikan sebagai akibat
pelaksanaan pembangunan sesuai dengan
rencana tata ruang dan oleh perubahan nilai ruang sebagai akibat
penataan ruang
Persoalan hukum yang terdapat pada ayat (1) di atas, ternyata
dijawab tidak dalam Batang Tubuh, melainkan
dalam Penjelasan Ayat (2) huruf c, dan sebagaimana layaknya
Penjelasan, maka hal ini berarti tidak mempunyai
kekuatan mengikat yang kuat.
Ayat (2) huruf c itu sendiri mengandung beberapa persoalan
hukum, yaitu: a. Dimanakah perlindungan bagi hak rakyat untuk
memperoleh ganti rugi akibat pelaksanaan pembangunan
yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang ?
b. Apakah rencana tata ruang cukup dijadikan bukti dan dasar
bagi tuntutan ganti rugi atas perubahan nilai ruang ? Pertanyaan
ini muncul sebab ditegaskan bahwa perubahan nilai ruang itu akibat
penataan ruang,
sementara Pasal 1 telah menetapkan definisi penataan ruang
sebagai proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang.
Kewajiban-kewajiban masyarakat diatur dalam Pasal 5, sebagai
berikut:
(1) Setiap orang berkewajiban berperan serta dalam memelihara
kualitas ruang. (2) Setiap orang berkewajiban menaati Rencana Tata
Ruang yang telah ditetapkan
Perumusan norma pada Ayat (1) sangat kabur (vague norm).
Perumusan sebuah norma yang tegas akan
berbunyi, setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas
ruang. Istilah peran serta (participation) dari perspektif hukum
menunjukkan bahwa subjek hukum bersangkutan bukan pihak yang
berkewajiban atau mempunyai tanggung jawab utama memelihara
kualitas ruang. Dalam Pasal 24 ayat (1) ditegaskan bahwa,
Negara menyelenggarakan penataaan ruang untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat yang pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Berdasarkan pasal tersebut, maka pelaku utama penataan ruang adalah
Pemerintah. Oleh karena itu terhadap subjek hukum selain
Pemerintah, lazimnya tidak diletakkan
kewajiban, melainkan hak, seperti yang diatur dalam Pasal 4 ayat
(2) huruf b.
Penjelasan ayat (1) tersebut menyatakan bahwa kewajiban dalam
memelihara kualitas ruang merupakan penceminan rasa tanggung jawab
sosial setiap orang terhadap pemanfaatan ruang. Penjelasan ini
memuat kaidah yang jauh lebih tegas, dan mengandung satu makna
bahwa setiap orang berkewajiban dalam memelihara kualitas
ruang.
Kapasitas Kelembagaan yang Dibentuk Kurang Kuat
Aspek kelembagaan yang dimaksud tidak sebatas struktur
organisasi, wewenang, tugas, dan fungsinya, tetapi
lebih dari itu yaitu bagaimana menguji dan menilai apakah
lembaga tersebut sudah efektif dan responsif dengan
tuntutan untuk memecahkan berbagai masalah dalam penataan ruang.
Untuk itu perlu dilakukan kajian yang
komprehensif mengenai keberadaan kelembagaan beserta aspek-aspek
yang melingkupinya.
Untuk kelembagaan di daerah, UUPR mengadopsi kelembagaan yang
ada berdasarkan UU No.5 Tahun 1974
tentang Pemerintahan di Daerah beserta peraturan-peraturan
pelaksanaannya, seperti PP No.6 tahun 1988
tentang Kordinasi Instansi Vertikal di Daerah. Penyelenggaan
penataan ruang wilayah Provinsi dilakukan oleh
Gubernur dengan kewenangan yang lebih bersifat kordinatif.
Penataan ruang wilayah Kabupaten/Kota
dilaksanakan oleh Bupati/Walikota dengan kewenangan-kewenangan
nyata (action), sesuai dengan prinsip Pasal
11 UU No. 5 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa titik berat
otonomi daerah berada di Tingkat II (Kabupen/Kota). Di tingkat
Nasional, Pasal 29 UUPR menyatakan kewenangan penataan ruang berada
pada
Presiden, dan menugaskan Presiden untuk menunjuk seorang Menteri
yang bertugas mengkoordinasikan penataan ruang.
Dengan demikian UUPR mengatur bahwa kelembagaan dalam
penyelenggaraan penataan ruang di tingkat
nasional dilaksanakan oleh Menteri dan di tingkat Daerah
dilaksanakan oleh Gubernur dan Bupati/Walikota.
Pengertian menyelengarakan adalah suatu pengertian yang
mengandung kewajiban dan wewenang dalam bidang
hukum publik. Adapun tugas dan kewajiban Menteri dalam penataan
ruang wilayah negara antara lain adalah
memadukan kegiatan antar instansi pemerintah dengan
masyarakat.
Untuk mengatasi kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di
antara instansi sektoral, maka UUPR telah
menyatakan dengan tegas perlunya koordinasi. Dalam hal ini
kemudian menugaskan kepada Presiden untuk
menunjuk seorang menteri yang bertugas mengkoordinasikan
penataan ruang. Tugas koordinasi tersebut
meliputi keseluruhan penataan ruang wilayah nasional, provinsi,
dan kabupaten/kota. Adapun sektor yang
berada di bawah koordinasi menteri tersebut antara lain
kehutanan, pertambangan, pertanian, pariwisata, permukiman,
perindustrian dan perdagangan.
-
Di atas kertas misi yang diamanatkan oleh UUPR tersebut relatif
jelas, yakni terkoordinasikannya wewenang,
tugas, dan kewajiban setiap instansi dalam penataan ruang, baik
secara struktural, substansial, maupun
fungsional. Namun demikian apabila kita tilik lebih jauh apa
yang terdapat di dalam peraturan perundang-
undangan sektoral yang berkaitan erat dengan penataan ruang,
maka tugas menteri yang mengkoordinasikan
tidak ringan, sebab masing-masing instansi sektor tersebut
didukung (di-backup) oleh dasar hukum yang kuat
dalam pelaksanaan wewenang, tugas, dan kewajibannya
masing-masing. Tentu saja masing-masing peraturan
perundang-undangan sektor tersebut tidak ada sama sekali, baik
eksplisit maupun implisit, suatu klausul yang
menyatakan misalnya bahwa dalam hal terkait dengan wewenang
penataan ruang (di sektornya), maka perlu
berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan penataan ruang. Hal ini
dapat dilihat, misalnya di sektor pertambangan, pada Pasal 29
Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Pertambangan disebutkan bahwa: tata usaha, pengawasan pekerjaan
usaha pertambangan dan pengawasan hasil pertambangan dipusatkan
kepada Menteri Pertambangan. Demikian juga di sektor pengairan
disebutkan bahwa Menteri Pertanian diserahi tugas, wewenang dan
tanggung jawab untuk mengkoordinasikan segala pengaturan
usaha-usaha perencanaan, teknis, pengawasan, pengusahaan,
pemeliharaan, serta perlindungan
dan penggunaan air dan atau sumber-sumber air.
Demikian pula dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan yang menyatakan bahwa:
penetapan wilayah-wilayah hutan dilakukan oleh Menteri yang
mengurusi urusan kehutanan. Namun tidak disebutkan bahwa dalam hal
penetapan wilayah-wilayah hutan tersebut, harus terlebih dahulu
berkoordinasi dengan Menteri yang bertanggung jawab dalam
mengkordinasikan penataan ruang. Contoh lainnya dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya,
dikatakan bahwa Pemerintah berwenang untuk menetapkan
wilayah-wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem
penyangga kehidupan, namun tidak disebutkan siapa yang berwenang
menetapkan tersebut, apakah Presiden, setingkat Menteri? lalu
Menteri apa yang diserahi wewenang menetapkan wilayah-
wilayah tersebut? Semua hal tersebut masih tidak jelas. Demikian
pula dalam PP No. 68/1998 tentang Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, menyebutkan bahwa dalam
penataan batas dilakukan oleh Panitia
Batas yang keanggotaan dan taat kerjanya ditetapkan oleh
Menteri.
Berdasarkan pandangan-pandangan di atas, maka dalam proses
penyusunan UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang dirumuskan untuk menjawab beberapa persoalan yang
tidak terjawab dalam UU Nomor 24
tahun 1992 melalui 3 isu pokok, yaitu: 1. Penguatan instrumen
pengendalian tata ruang; 2. Penguatan aspek kelembagaan penatataan
ruang 3. Penguatan hak-hak masyarakat
Implikasi Pengaturan Sanksi
UU Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur tiga
bentuk sanksi, yaitu sanksi administrasi (Pasal
62 sampai dengan 64), sanksi perdata (Pasal 66 ,67, dan 75), dan
sanksi pidana (Pasal 69 sampai dengan 74).
Sepintas sederetan pasal-pasal tersebut akan mampu menutupi
celah yang terdapat dalam undang-undang
sebelumnya dalam hal pengendalian tata ruang.
Sisi lain yang terkait dengan proses pembuatan undang-undang
adalah keseimbangan, keselarasan antara
kesadaran hukum yang ditanamkan dari atas oleh penguasa negara
(legal awareness) dengan perasaan hukum
masyarakat yang bersifat spontan dari rakyat (legal
feeling).
Dalam kondisi yang demikian diharapkan budaya hukum (legal
culture) dapat tumbuh lebih baik. Penegakan
hukum yang ideal harus disertai kesadaran bahwa penegakan hukum
merupakan sub-sistem sosial, sehingga
pengaruh lingkungan cukup berarti, seperti pengaruh perkembangan
politik, ekonomi, sosial budaya, hankam,
Iptek, pendidikan dan sebagainya. Lebih ideal lagi apabila para
penegak hukum menyadari sepenuhnya bahwa
supremasi hukum dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara merupakan salah satu refleksi dan
bahkan prakondisi sistem pemerintahan yang demokratis dan
berwibawa. (Muladi, 1997).
Persoalan sanksi pidana dalam rangka revisi UUPR muncul dari
anggapan sementara kalangan bahwa rusaknya
struktur dan merosotnya kualitas tata ruang disebabkan karena
UUPR tidak mengatur sanksi pidana. Kasus tata
ruang Cekungan Bandung adalah salah satu contoh dimana Rencana
Tata Ruang hanyalah kebijakan di atas kertas.
Bagian ini dimulai dengan sebuah pertanyaan, apakah pengaturan
sanksi pidana dalam Undang-undang Penataan Ruang akan membuat
pengendalian pemanfaatan ruang berjalan lebih efektif ?
Kepatuhan terhadap peraturan hukum dapat timbul dari beberapa
sebab. Pertama, rasa takut terhadap ancaman
sanksi dan paksaan, seperti pencabutan izin, hukuman kurungan,
denda, dan sebagainya (hard enforcement).
-
Kepatuhan hukum seperti ini sangat tergantung pada konsistensi
aparat penegakan hukum. Sekali konsistensi itu
dilanggar atau intensitas pengawasan menurun, maka potensi
pelanggaran semakin besar. Dalam hal ini
kepatuhan hukum masyarakat tergantung pada faktor aparat penegak
hukum. Kedua, kepatuhan yang dilakukan
atas keinginan masyarakat itu sendiri (soft enforcement). Dalam
hal ini kepatuhan hukum timbul dari kesadaran
masyarakat, yang dikenal sebagai kesadaran hukum. Kedua sebab
tersebut di atas sama pentingnya, walau untuk penegakan jangka
panjang kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran hukum terbukti
lebih efektif.
Dengan demikian, pengaturan sanksi pidana yang berat sekalipun
tidak akan bermanfaat apabila pengawasan
atau penegakan hukum tidak berjalan. Akan tetapi, situasi ini
akan jauh lebih baik daripada tidak terdapat sanksi apapun yang
dapat diterapkan bagi pelanggar hukum.
Sejalan dengan asas pencegahan (the precautionary principle) dan
asas pengendalian (principle of restraint)
yang juga merupakan syarat kriminalisasi, menyatakan bahwa
sanksi pidana hendaknya baru dimanfaatkan
apabila instrumen hukum lain tidak efektif, yang dalam hukum
pidana dikenal sebagai asas subsidaritas atau
ultima ratio principle atau ultimum remedium.
Pertanyaan selanjutnya, siapa dan perilaku seperti apa yang
layak diganjar oleh sanksi pidana ? Terhadap siapa
atau pelaku yang dikenakan sanksi pidana, UU 26 tahun 2007 telah
menjawab secara lugas, yaitu orang
perseorangan atau badan hukum (korporasi). Sementara terhadap
perilaku yang dikategorikan sebagai tindak
pidana (kriminalisasi), masih menjadi persoalan. Apakah perilaku
itu layak diketagorikan sebagai sebuah
kejahatan dan pelanggaran berat sehingga patut diganjar dengan
sanksi yang berat?
Sanksi pidana yang diatur dalam Pasal 69 sampai pasal 71 UU
Nomor 26 tahun 2007 ternyata ditujukan pada
perilaku yang melanggar kewajiban yang diatur dalam Pasal 61,
yaitu:
a. Menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b.
Memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari
pejabat yang berwenang; c. Mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam
persyaratan izin pemanfatan ruang; dan d. Memberikan akses terhadap
kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan
sebagai milik umum.
Anehnya, pasal 62 dan 63 memberikan sanksi administratif
terhadap perilaku serupa, sehingga dalam
penerapannya akan menimbulkan kerancuan. Sesungguhnya
pelanggaran terhadap ketentuan pasal 61 itu
merupakan pelanggaran administrasi atau pidana? Penulis kira
disini ada kekeliruan pemahaman terhadap asas
ultimum remedium. Sebab secara prinsip pelanggaran atau
kesahahan pada tataran hukum administrasi harus diselesaikan oleh
instrumen hukum administrasi, kecuali dalam pelangaran hukum
administrasi itu memang
ditemukan unsur-unsur tindak pidana. Unsur-unsur tindak pidana
itu sayangnya tidak dirumuskan dengan jelas
dalam UU 26 tahun 2007, sehingga sulit untuk ditegakkan.
Ketentuan pidana yang agak unik karena belum lazim dalam sistem
hukum kita, terdapat dalam Pasal 73 ayat (1) menyatakan:
Setiap pejabat pemerintah yang berwenang yang menerbitkan izin
tidak sesuai dengan rencana tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 37 ayat (7), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
tahun dan
dengan paling banyak Rp. 500.000.000
Unsur tindak pidana muncul berdasarkan asumsi bahwa selayaknya
pejabat pemberi izin pasti mengetahui
rencana tata ruang, dan logika hukum (rasio legis) tidak mungkin
pejabat memberikan izin yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang karena izin itu