SAM
PLE
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, sebagaimana yang telah diatur dan diubah dari Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, bahwa:
Kutipan Pasal 113
(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi seba gai mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000,-(seratus juta rupiah).
(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud da lam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,-(lima ratus juta rupiah).
(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,-(satu miliar rupiah).
(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dila ku kan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,-(empat miliar rupiah).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA DARI ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
(Neurodevelopmental Disorders)
Edisi PertamaCopyright © 2020
ISBN 978-623-218-688-0 ISBN (E) 978-623-218-689-7
15,5 x 23 cmxii, 222 hlm
Cetakan ke-1, November 2020
Kencana. 2020.1350
PenulisDr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog
EditorAde Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons.
Diterbitkan oleh Kencana Bekerjasama dengan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara Medan
Desain SampulIrfan Fahmi
Penata LetakRendy & Iam
PenerbitK E N C A N A
Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220Telp: (021) 478-64657 Faks: (021) 475-4134
Divisi dari PRENADAMEDIA GROUPe-mail: [email protected]
www.prenadamedia.comINDONESIA
Dilarang memperbanyak, menyebarluaskan, dan/atau mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin tertulis
dari penerbit dan penulis.
SAM
PLE
PENGANTAR PENULIS
ALHAMDULILLAHIROBBILAALAMIIN....
Buku ini yang berjudul Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak-Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf (Neuro deve lopmental Di-sorders) merupakan buku keenam yang telah penulis rampungkan. Buku ini terinspirasi dari pengalaman penulis saat penelitian di Program Dok tor Ilmu Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Orang tua dari anakanak dengan gangguan perkembangan saraf (neuro-developmental disorders) merupakan orang tua istimewa, yakni orang tua yang dianugerahi anakanak be rupa keistimewaannya dengan segala kelebihan serta kekurangan yang anak miliki. Pada buku ini akan spesifik membahas pengasuhan orang tua yang memiliki anakanak dengan gangguan perkembangan saraf (children with neurodevelopmental disor ders), yaitu anakanak yang mengalami penurunan perkembangan pada sistem saraf di bagian otaknya, sehingga kemampuan penerimaan stimulasi di otak kurang optimal dan tampilan perilakunya kurang tepat untuk anakanak seusianya. Adapun kelompok anakanak dengan gangguan per kem bangan saraf, meliputi: autism spectrum disorder, intellectual disability, at tention deficit hyperactivity disorder (ADHD), communi ca tion disorders, de-velopmental coordination disorder). Dalam buku ini menspesifikkan pada anak dengan gangguan spectrum autis, anak ADHD, dan anak dengan keterbatasan intelektual.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
vi
Akhirakhir ini banyaknya penelitian dan buku yang bermunculan untuk membahas tentang kondisi psikologis dan pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf. Tu juan buku ini ditulis untuk membantu di dalam mempertajam penge tahuan akan bidang psikologi dan pendidikan, khususnya referensi tentang pengasuh an pada orang tua yang memiliki anakanak dengan gangguan perkembangan saraf, serta dilengkapi dengan hasil riset berdasarkan jurnaljurnal ilmiah terkini dan riset terbaru yang pernah diteliti tidak hanya di Indonesia namun juga penelitianpenelitian di negara lain, ditambah dengan tematema penting yang umumnya muncul dalam penelitian pengasuhan orang tuaanak.
Buku ini mengulas pengasuhan dan kondisi psikologis yang di ala mi orang tua dalam memberikan pengasuhan, serta upaya dalam me mini malisasi kendalakendala yang dihadapi dan upaya da lam mengelola emosi negatif selama mengasuh anak. Penelitian sebe lumnya telah membuktikan bahwa beratnya mengasuh anak dengan gangguan perkembangan, selain munculnya emosi negatif (seperti, cemas, sedih, merasa bersalah, marah, stres), juga ternyata kurangnya dukungan dari faktor luar diri orang tua (seperti, mahalnya biaya terapi anak, stigma negatif yang diterima dari masyarakat karena memiliki anak istimewa seperti ini) dapat meme ngaruhi tingkat stres yang lebih tinggi. Buku ini juga memberikan bebera pa alternatif orang tua dalam meminimalkan kondisikondisi yang dianggap mampu memunculkan stres pengasuhan, salah satunya adalah dengan koping religius.
Buku ini juga menjelaskan tentang makna stres pengasuhan dalam merawat anak istimewa. Stres tidak dapat terlepas dari kehidupan manusia, mengingat manusia adalah makhluk yang paling tinggi pen ciptaannya dengan kompleksitas permasalahan kehidupan yang dihadapinya, maka stres menjadikan salah satu reaksi atas kondisi tertekan. Secara keseluruhan, berdasarkan temuan penelitian yang penulis lakukan diperkaya dengan jurnaljurnal penelitian sebelumnya dan tertuang dalam buku ini, menunjukkan bahwa pada setiap diri manusia memiliki dua faktor penting, yaitu faktor pertahanan diri sebagai faktor protektif yang mampu meminimalisasi stres yang dirasakan, dan terdapat faktor pencetus sebagai faktor risiko atas kemunculan stres. Buku ini mampu menjelaskan faktorfaktor yang berperan penting dalam diri manusia, dan menjadikan refleksi diri sendiri ketika dihadapkan pada sumber stres, agar mampu menyikapi sumber stres dan mampu bereaksi dengan tepat hingga menjadikannya sosok yang tetap bahagia meskipun dalam kondisi yang tertekan.
SAM
PLE
PENGANTAR PENULIS
vii
Banyak dukungan dan perhatian yang penulis rasakan dalam menyelesaikan buku ini. Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan yang tulus dari suami “Rahmatsyah Putra Pu lungan, S.T.”, serta anakanak penulis “Syakirah Tazkiyah Pulungan & M. Azka Putra Pulungan”, yang terus memberikan semangat dan sentuhan kasih sayang dalam kehidupan penulis. Kepada Ayahanda Prof. DR. Haidar Putra Daulay, M.A., dan Ibunda Dra. Nurgaya Pasa, M.A., yang tak pernah henti mendoakan untuk kebaikan anakanaknya. Bagi penulis, ayahanda dan ibunda adalah sosok inspirator, sekaligus teman diskusi tentang karyakarya ilmiah dalam bidang akademik.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna dan masih terdapat kekurangan yang harus diperbaiki. Penulis mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca untuk membangun kesempurnaan buku ini di masa akan datang. Atas kesediaan para pembaca, penulis mengucapkan terima kasih.
Penulis dapat dihubungi pada email: [email protected]
Medan, 6 September, 2020 Penulis
Nurussakinah Daulay
SAM
PLE
PENGANTAR EDITOR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah Swt. Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkah, nikmat, dan rahmatNya kepada kita semua, se
hingga buku ini dapat diterbitkan. Selawat beserta salam kita hadiahkan kepada Junjungan Nabi Muhammad saw. yang telah membawa kita dari alam kegelapan kepada alam yang terang benderang penuh dengan ilmu pengetahuan seperti saat ini.
Buku Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak-anak de ngan Gang -guan Perkembangan Saraf ditulis dan diterbitkan dengan harapan bah wa semakin masyarakat akademik yang merasakan kebermanfaatan buku ini bagi proses belajar dan pembelajaran. Buku ini terdiri dari enam bab di mana masingmasing bab mengupas tuntas tentang pengasuhan bagi orang tua dari anak dengan gangguan perkem bangan saraf. Adapun masingmasing bab membahas Bab 1 Makna Pengasuhan berdasarkan Kajian Psikologi Pengasuhan, Bab 2 Anakanak dengan Gangguan Perkembangan Saraf, Bab 3 Fak tor Protektif dan Faktor Risiko Pengasuhan, Bab 4 Mak na Stres Pengasuhan, Bab 5 Stres Pengasuhan dan Koping, dan Bab 6 Layanan Pendidikan.
Buku Psikologi Pengasuhan bagi Orang Tua dari Anak dengan Gang guan Perkembangan Saraf ini sangat diperlukan dan sangat layak dijadikan buku pegangan, buku pedoman bagi para orang tua bahkan para pendi dik/guru, dosen yang memiliki dan menghadapi anakanak istimewa. Sebagai bahan renungan bahwa masih banyak orang tua yang memiliki anakanak istimewa akan tetapi tidak mempunyai pe ngetahuan khusus tentang pola pengasuhan yang baik dan tepat bagi anak istimewa. Sehingga mereka cenderung abai terhadap pola asuh yang mereka terapkan dan menya ma
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
x
kan pola asuhnya dengan anakanak normal pada umumnya. Akibatnya adalah anakanak istimewa tidak mendapatkan pola asuh yang tepat dari orang tua yang berakibat pada meningkatnya perilaku maladaptif pada anak istimewa. Buku ini hadir dengan membawa harapan baru bahwa setiap orang tua yang memiliki anakanak istimewa merupakan orang tua pilihan yang juga sangat istimewa yang berperan dalam pola pengasuh an yang baik (good parenting).
Semoga dengan terbitnya buku ini dapat memberikan manfaatnya bagi khalayak umum yang membacanya terkhusus bagi orang tua dengan anakanak istimewa dan dapat digunakan sebagai bahan acuan bagi mahasiswa yang sedang menyusun tugas atau dalam rangka menyiapkan penelitian terkait anakanak dengan gangguan perkembangan saraf ini. Buku ini juga bermanfaat bagi pendidik dan calon pendidik dalam pengem bangan ilmu pengetahuan terutama da lam dunia pendidikan di Fa kultas Ilmu Tarbiyah dan keguruan Universitas Islam Negeri Sumatra Utara Medan.
Medan, September 2020
Editor,Ade Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons.
SAM
PLE
DAFTAR ISI
PENGANTAR PENULIS V
PENGANTAR EDITOR IX
BAB 1 PENGASUHAN ORANG TUA 1A. Makna Pengasuhan (Perspektif Psikologi) .................... 1B. Makna Pengasuhan Ayah ........................................... 6C. Makna Pengasuhan Ibu ............................................... 7D. Peranan Keluarga dalam Penanganan Anak-anak
Istimewa ....................................................................... 9REFERENSI ........................................................................ 18
BAB 2 ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF 23
A. Anak-anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf (Neurodevelopmental Disorders) ....................... 23
B. Penelitian tentang Pengasuhan Orang Tua yang Memiliki Anak dengan Gangguan Spektrum Autis ... 37
C. Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf dan Neuropsikologi ............................................................ 78
REFERENSI ........................................................................ 85
BAB 3 FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN 97
A. Faktor Protektif ............................................................ 98B. Faktor Risiko ..............................................................108
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
xii
C. Intervensi Bagi Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf .................................................120
REFERENSI .......................................................................136
BAB 4 STRES PENGASUHAN 147A. Stres Pengasuhan: Sebuah Pengantar .......................147B. stres Pengasuhan pada Orang Tua Yang Memiliki
Anak dengan Gangguan Perkembangan Saraf ......154C. Faktor-faktor Penyebab Munculnya Stres
Pengasuhan ..............................................................157D. Pengukuran Stres Pengasuhan ..................................159E. Stres Pengasuhan dan Neuropsikologi ......................162REFERENSI .......................................................................164
BAB 5 STRES PENGASUHAN DAN KOPING 173A. Hakikat Koping ..........................................................173B. Stres Pengasuhan dan Koping ..................................177C. Penelitian terkait Peran Koping .................................179D. Peran Koping Religius Terhadap Stres Pengasuhan ..187E. Intervensi Stres Pengasuhan ......................................194REFERENSI .......................................................................196
BAB 6 LAYANAN PENDIDIKAN 203A. Pendidikan Khusus ....................................................205B. Pendidikan Inklusi .....................................................207C. Pusat Layanan Autis Indonesia .................................213REFERENSI .......................................................................216
TENTANG PENULIS 219
TENTANG EDITOR 221
SAM
PLE
Bab 1PENGASUHAN ORANG TUA
A. MAKNA PENGASUHAN (PERSPEKTIF PSIKOLOGI)Definisi pengasuhan berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2008) berarti proses, cara, perbuatan mengasuh. Menurut Lestari (2012) bah wa istilah parenting menggeser istilah parenthood, sebuah kata benda yang berarti keberadaan atau tahap menjadi orang tua, menjadi kata kerja yang berarti melakukan sesuatu pada anak seolaholah orang tualah yang membuat anak menjadi manusia. Pengasuhan bertujuan untuk meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak berlandaskan rasa kasih sayang tanpa pamrih. Dengan makna pengasuhan yang demikian, maka sejatinya tugas pengasuhan mur ni merupakan tanggung jawab orang tua. Dengan demikian, kurang tepat bila tugas pengasuhan dialihkan sepenuhnya kepada orang lain yang kemudian disebut pengasuh.
Pentingnya proses pengasuhan juga tertuang dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 tentang Peng asuhan Anak:
“Pengasuhan anak adalah upaya untuk memenuhi kebutuhan akan kasih sayang, kelekatan, keselamatan, dan kesejahteraan yang menetap dan ber ke lanjutan demi kepentingan terbaik anak, yang dilaksanakan baik oleh orang tua atau keluarga sampai derajat ketiga maupun orang tua asuh, orang tua angkat, wali, serta pengasuhan berbasis residensial sebagai alternatif terakhir.”
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
2
Brooks (2011) mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yaitu orang tua memengaruhi anak, namun pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial di mana anak dibesarkan. Pengasuhan merupakan proses yang pan jang, mencakup interaksi antara anak, orang tua dan masyarakat, pe nye suaian kebutuhan hidup dan temperamen anak dengan orang tua nya dan pemenuhan tanggung jawab untuk membesarkan dan me me nuhi kebutuhan anak (Shochib, 2010). Hoghughi dan Long (2004) mendefinisikan pengasuhan dengan be ragam aktivitas yang bertuju an agar anak dapat berkembang secara op ti mal dan dapat bertahan hidup dengan baik. Dengan demikian pengasuhan merupakan inter aksi antara orang tua dan anak, prosesnya panjang, dengan bertuju an untuk memberikan usaha dan upaya dalam meningkatkan tumbuh kembang anak.
Menurut Baumrind (1991) pengasuhan adalah cara orang tua dalam memperlakukan, berkomunikasi, mendisiplinkan, memonitor, dan mendukung anak. Interaksi yang terjalin antara anak dan orang tua akan membentuk gambaran, persepsi, dan sikapsikap tertentu pada masingmasing pihak, yaitu sikap anak memengaruhi respons orang tua dan sebaliknya sikap orang tua pun akan memengaruhi respons anak. Baumrind juga mengidentifikasi dua dimensi dalam peng asuh an yaitu ketanggapan (responsiveness) dan tuntutan (deman ding ness). Responsiveness mengacu pada kualitas hubungan afeksi an ta ra orang tua dan anak, meliputi kehangatan, dukungan dan ke ter li bat an. Demandingness mengacu pada harapan yang realistis di ser tai mo nitoring terhadap perilaku anak. Bogenschneider dan Pal lock (2008) beranggapan bahwa responsiveness merupakan kom po nen dasar dalam kapasitas pengasuhan untuk anak. Hal ini berupa perhatian terhadap kebutuhan anak dan adanya kehangatan dalam keluarga. Responsiven ess diukur melalui penerimaan, kedekatan, kualitas hubungan, dan kehangatan orang tua dengan anak. Adapun de-mandingness meng acu pada ketegasan dalam aturan dan standar perilaku yang diingin kan. Berdasarkan teori pengasuhan dari Baumrind, sangat dipenting kan pengasuhan yang bersifat responsiveness pada ibu yang memiliki anakanak dengan keterbatasan khususnya pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis, penerimaan ibu akan kondisi keterbatasan anak autis merupakan hal utama dalam menciptakan kehangatan interaksi antara ibu dan anak (dalam Daulay, 2019).
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
3
Selain dua dimensi penting dalam pengasuhan, Baumrind (1991) juga mengemukakan empat bentuk sikap orang tua dalam mendidik anak, yaitu:1. Authoritarian, adalah gaya pengasuhan yang membatasi dan
menghukum, di mana orang tua mendesak anak untuk mengikuti arahan mereka dan menghormati pekerjaan dan upaya mereka, terlalu menuntut anak, tidak ada penghargaan dan kehangatan terhadap anak serta disiplin yang keras.
2. Authoritative, adalah gaya pengasuhan yang mendorong anak untuk mandiri, namun masih menerapkan batas dan kendali pada tindakan mereka. Model pengasuhan ini mengatur perilaku anak dengan kehangatan, harapan realistis dan memotivasi untuk ber pikir mandiri.
3. Neglectful (mengabaikan), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat tidak terlibat dalam kehidupan anak. Anak merasa diabai kan dan menganggap kehidupan orang tua lebih penting diban ding kan diri mereka.
4. Indulgent (menuruti), gaya pengasuhan di mana orang tua sangat terlibat dengan anak, namun tidak terlalu menuntut atau mengontrol mereka. Orang tua membiarkan anak melakukan apa yang diinginkannya. Hasilnya, anak tidak pernah belajar mengendali kan perilakunya sendiri dan selalu berharap mendapatkan ke inginannya.
Secara keseluruhan penulis menyimpulkan dari beberapa defi nisi peng asuhan yang telah disebutkan sebelumnya, maka pengasuh an adalah in ter aksi timbal balik antara orang tua dan anak, terda pat kedekatan emosional, orang tua bertanggung jawab atas peran nya dalam memenuhi kebutuhan serta berupaya meningkatkan perkem bangan anak.
Materi pengasuhan banyak diperbincangkan akhirakhir ini. Keingin tahuan dan antusias orang tua untuk menambah pemahaman seputar pengasuhan positif dan pengupayaan agar menjadi orang tua yang baik buat anaknya terbukti dengan diselenggarakannya ke giatan paren ting pa da setiap sekolah. Kegiatan parenting yang dilak sa nakan juga telah meng hadirkan narasumber profesional yang ahli di bidangnya, sehingga memberikan penguatan bagi orang tua un tuk menciptakan dan mengondisikan keluarga yang harmonis. Demiki an pula dengan kehadiran variasi bukubuku yang bertemakan posi tive parenting juga semakin membuktikan bahwa ketika orang tua memberikan pengasuhan yang berkompeten sejak dini, tentu ini akan berdampak positif pada tumbuh kembang anak saat ini dan di masa depannya.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
4
Berbicara tentang pengasuhan tentu perlu diperhatikan keaktifan, kre ativitas, dan kooperatif dari orang tua. Di balik keberhasilan seorang anak terdapat kekuatan luar biasa yang dapat memengaruhi tumbuh kembangnya mejadi optimal. Jane Brooks (2011) dalam bu kunya The Pro-cess of Parenting mengemukakan banyak penelitian baru mengidentifikasi cara orang tua berkontribusi bagi pertumbuhan positif anaknya dan perkembangan anak melalui cara yang besar dan kecil. Misalnya, dukungan positif dan kemampuan ibu mengurasi rasa depresi dan mengatasi frustrasi mereka sendiri sambil tetap optimal membantu anakanak dalam belajarnya. Kuncinya adalah perilaku orang tua tidak hanya memunculkan perkembangan yang sehat tetapi juga meredam dampak negatif yang diterima anak dari berbagai ke jadian yang menimbulkan stres.
Orang tua yang dianugerahi anakanak dengan keistimewaan nya, salah satunya anakanak dengan gangguan perkembangan saraf (seperti, anak dengan gangguan spektrum autis, ADHD, anak dengan intellectual disability), pengasuhan orang tua bukanlah sesuatu hal yang mudah, sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang mengalami gangguan perkembangan dapat ditunjukkan dengan me mahami kekurangan anak, berusaha meningkatkan tumbuh kembang anak, berusaha menyesuaikan diri dalam menghadapi masalahma salah yang muncul selama mengasuh anak autis. Peran orang tua un tuk mengembangkan kedekatan hubungan secara emosional dan me numbuhkan kepribadian positif pada anak dapat diwujudkan da lam bentuk seperti mengerti perasaan anak, menerima pikiran anak, menerima kondisi fisik dan mental anak, membantu anak lebih mema hami dirinya dan membantu dalam mengatasi kesulitan (Armsden & Greenberg, dalam Buist dkk., 2004).
Rohner (2004) mengungkapkan tentang teori pengasuhan akan penerimaan dan penolakan orang tua (parental-acceptance-rejection theory/PART) adalah teori yang menjelaskan bahwa orang tua merupakan figur yang penting dan unik bagi anakanak karena kondisi aman secara emosi serta kondisi psikologis bergantung pada kualitas hubungan antara orang tua dan anak. Jika kebutuhan ini terpenuhi maka akan berdampak positif terhadap perilaku dan emosi anak. Rohner, Khaleque, dan Cournoyer (2012) membagi persepsi tentang pengasuhan menjadi dua bagian, yaitu penerimaan (parental acceptance) dan penolakan (parental rejection). Keduanya digambarkan dalam suatu rentang dimensi yang terkait dengan kualitas ikatan emosi antara orang tua dengan anakanak mereka dan de ngan tingkah laku fisik, verbal dan simbolik yang digunakan orang tua untuk mengekspresikan dan menyatakan perasaannya. Dimensi pe
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
5
ne rimaan ditandai dengan kehangatan, kasih sayang, perhatian, kenyamanan, kepedulian, dukungan atau cinta yang didapatkan anakanak dari orang tuanya. Sementara dimensi penolakan ditandai dengan kurang nya perasaan penuh cinta, hadirnya beragam emosi dan tingkah laku fisik serta psikis yang menyakitkan.
Teori pengasuhan akan penerimaan dan penolakan orang tua (pa-rental-acceptance-rejection theory/PART) ini menekankan kehangat an dan kedekatan emosi dari orang tua dalam lingkungan seorang anak adalah suatu kebutuhan penting untuk perkembangan psikologis anak. Ji ka kebutuhan ini tidak terpenuhi dapat menyebabkan masalah da lam perkembangan perilaku dan emosional anak. Anak juga akan me nun jukkan perilaku kasar, agresif, kepercayaan diri yang rendah, emosi yang tidak stabil, dan pandangan hidup yang negatif (Rohner, Khalaque, & Cournoyer, 2012).
Teori parental-acceptance-rejection theory/PART penting dihubungkan dengan kondisi pengasuhan orang tua dari anakanak istime wa, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Aydin dan Ya mac (2014) bertujuan untuk menguji korelasi penerimaanpenolakan orang tua dari anak mental disability (anak berusia 712 tahun) dan sikap perawatan orang tua dalam kaitannya dengan variabel sosiode mografi. Hasil peneliti an nya membuktikan terdapat hubungan po sitif antara perilaku peneri maanpenolakan dan sikap perawatan orang tua, dan dampak jenis kelamin dan status pendidikan orang tua da lam memberikan pengasuhan efektif.
Buku ini menyampaikan bagaimana suka duka orang tua yang memiliki anak istimewa ini dan usaha yang dilakukan untuk dapat mengatasi suka duka tersebut. Beragam kondisi yang setiap saat dihadapi kerap memunculkan tekanan signifikan yang dapat berujung pada problem psikologis orang tua serta ketidaktepatan dalam peng asuhan anak. Kehadiran buku ini berupaya untuk mensosialisasikan kondisi psikologis orang tua, dan dapat menjadi rujukan bagi para peneliti, dan mahasiswa dalam mencari literatur terkait kondisi orang tua dan anak, serta meningkatkan pemahaman bagi masyarakat dan pemerhati anak dengan gangguan perkembangan saraf (termasuk gang guan spektrum autis) akan beratnya mengasuh anak dengan ke isti mewaan ini.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
6
B. MAKNA PENGASUHAN AYAHKeterlibatan sosok ayah dalam pengasuhan memiliki andil penting
dalam keluarga dan tumbuh kembang anak. Keterlibatan ayah juga akan mengembangkan kemampuan anak untuk berempati, ber si kap penuh perhatian dan kasih sayang, serta hubungan sosial yang lebih baik (Gottman & DeClaire, 1997). Berbagai penelitian juga me nun jukkan terda pat perbedaan sikap dan perilaku anak dalam peng asuhan antara ayah dan ibu. Penelitian yang dilakukan oleh Gott man dan DeClaire (1997) menunjukkan keterlibatan ayah akan memberikan manfaat yang positif bagi anak lakilaki dalam mengem bang kan kendali diri dan kemampuan menunda pemuasan keinginan, dan pada penyesuaian sosial remaja lakilaki (Maharani & Andayani, 2003).
Bagi anak perempuan, sosok kehadiran ayah cenderung tidak menjadi sexual promiscuous secara dini dan mampu mengembang kan hubungan yang sehat dengan lakilaki lain di masa dewasanya. Anakanak perempuan yang mendapatkan perhatian yang positif dari ayahnya akan menda patkan pemenuhan kebutuhan afektif dan pada saat yang sama ia akan belajar bagaimana berhubungan dengan lawan jenis secara sehat (Andayani & Koentjoro, 2004). Keterlibatan ayah umumnya dikenal dengan istilah paternal involvement atau fa ther involvement. Keterlibatan ayah dalam peng asuhan merupakan ke ikutsertaan positif ayah dalam kegiatan yang berupa interaksi lang sung dengan anakanaknya, memberikan kehangatan, melakukan pe mantauan dan kontrol terhadap aktivitas anak, serta bertanggung jawab terhadap keperluan dan kebutuhan anak (Lamb, 2010, dalam Rangkuti & Fajrin, 2015).
Kondisi tumbuh kembang anak dengan perkembangan normal dan anak dengan gangguan perkembangan juga sangat dipengaruhi bagaimana keaktifan dan penerimaan ayah dalam berinteraksi de ngan anaknya. Ayah memiliki peran dalam keterlibatan pengasuhan anak karena ayah memiliki tanggung jawab untuk memastikan bah wa anak tumbuh dengan nilai moral, agama, dan budaya yang ada di dalam masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Salsabila dan Masykur (2018) dengan mengguna kan interpretative phenomenological analysis (IPA) semakin menegaskan tentang posisi seorang ayah bagi anak Down Syndrome. Terdapat tiga tema utama yang menjadi fokus dari pengalaman ayah, yakni: 1) Penyesuaian diri, pa da awalnya muncul konflik diri yang ditandai dengan penolakan, pro ble matika lingkungan, adanya penyesalan, yang akhirnya seiring dengan berja lannya waktu ayah akhirnya menerima kondisi anak, dukung an
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
7
sosial dari keluarga dan lingkungan sekitar, komunitas, serta pemahaman tentang agama dan percaya kepada Tuhan, semakin me nguatkan ayah dan memberikan kesabaran dalam merawat anak. Upaya melakukan penyesuaian diri melalui berbagai macam proses penyesuaian, sehingga mendorong mereka dapat melakukan perannya dalam keluarga secara op timal dan melakukan persiapan untuk masa depan anaknya; 2) Peran ayah dalam keluarga, melakukan kontrol dan tugas penting dalam keluarga, memenuhi finansial keluarga, melindungi keluarga, dan memprioritas kan kebutuhan keluarga; 3) Persiapan masa depan, usahausaha yang di upayakan seorang ayah, di antaranya upaya pe nyembuhan, upaya mendi dik anak, dan antisipasi masa depan.
Terlihat perbedaan peran antara ayah dan ibu, ayah adalah sosok pencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan waktunya lebih banyak dihabiskan di luar rumah, sehingga dianggap perannya kurang banyak terlibat berinteraksi dengan anak.
Berikut beberapa hasil penelitian menegaskan bahwa stres peng asuhan lebih banyak dialami ibu dibandingkan ayah (Dabrowska & Pisula, 2010; GarciaLopez, Sarria, & Pozo, 2016; Jones, Totsika, Has tings, & Petalas, 2013; Tehee, Honan, & Hevey, 2009), sementara se orang ayah akan lebih cepat beradaptasi akan kondisi keterbatasan anak (GarciaLopez dkk., 2016).
Selain itu, faktor kebersyukuran (gratitude) mampu memberikan motivasi bagi ayah dalam pengasuhan bagi anakanak istimewa ini. Bersyukur dibuktikan dengan menerima, menjalani dengan tidak me ngeluh, semakin menguatkan ayah untuk memberikan yang terbaik bagi pengasuhan dan kehidupan anaknya. Seorang ayah terkadang dianggap jarang terlibat langsung dalam pengasuhan anaknya, pada hal peran ayah tak kalah penting dengan peran ibu, terutama dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga dan memberikan dukungan bagi pasangannya.
C. MAKNA PENGASUHAN IBUMengapa penelitian banyak dilakukan pada ibu? Ibu adalah so sok yang
telah mengandung, melahirkan, mendidik, dan mengasuh anak, sehingga jelaslah cinta kasih ibu terhadap anaknya merupakan jalinan emosi yang sangat kuat dan kompleks. Peran dan pengasuhan ibu memiliki hubungan yang signifikan dengan pertumbuhan dan per kembangan anak karena ibu merupakan seseorang yang pertama di kenal anak sejak dilahirkan dan menjadi figur lekat dalam kehidupan anak. Ibu yang sehat secara fisik
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
8
dan psikis adalah ibu yang mampu mendidik dan mengasuh anakanaknya dengan penuh kasih sayang, kesabaran, keuletan serta bertanggung jawab anaknya kelak menjadi sosok individu yang bermanfaat.
Hubungan yang erat dengan ibu di tahun pertama kehidupan anak merupakan syarat mutlak untuk menjamin tumbuh kembang anak yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial. Peran ibu se dini mungkin akan membuat anak merasa aman dan nyaman karena ada nya kontak fisik ketika ibu menyusui anak segera setelah lahir. Ke ku rangan kasih sayang ibu pada tahun pertama kehidupan mempu nyai dampak negatif pa da tumbuh kembang anak baik fisik, mental maupun sosial emosi (Soetjiningsih, 2004).
Setiawati (2014) menekankan peran ibu bagi anakanaknya ada lah: 1) membina keluarga sejahtera sebagai wahana penanaman nilai agama, etika, moral dan nilainilai leluhur bangsa, sehingga memi li ki integritas kepribadian dan etos kemandirian yang tangguh; 2) mem per hatikan kebutuhan anak (perhatian, kasih sayang, penerima an, perawatan); 3) bersikap bijaksana dengan menciptakan dan me melihara kebahagiaan, kedamaian dan kesejahteraan yang berkuali tas dalam ke luarga serta pemahaman atas potensi dan keterbatasan anak; 4) me laksanakan peran pendamping terhadap anak, baik dalam belajar, ber main dan bergaul, serta menegakkan disiplin dalam ru mah, mem bina kepatuhan dan ketaatan pada aturan keluarga; 5) men cu rahkan kasih sayang namun tidak memanjakan, melaksanakan kondisi yang ketat dan tegas namun tidak percaya atau mengekang anggota keluarga; 6) berperan sebagai kawan terhadap anakanaknya, sehingga dapat membantu mencapai jalan keluar dari kesulitan yang dialami anakanaknya; 7) memotivasi anak dan mendorong untuk me raih prestasi yang setinggitingginya.
Terkhusus bagi penelitian yang mengkaji bagaimana peran pen ting seorang ibu dalam merawat anak dengan gangguan perkem bangan saraf, pentingnya peran seorang ibu juga diteliti oleh Calza da, dkk. (2004) bahwa ibu terlibat lebih banyak merawat dan berin teraksi dengan anakanaknya dibandingkan ayah (Moes, Koegel, & Sch re ib man, 1992); ibu juga rentan mengalami stres, depresi dan kece mas an (Davis & Carter, 2008); sehingga berisiko menurunkan kesehat an mental (Hastings, 2003); kesibukan mengurus rumah tangga juga mengakibatkan ibu sering merasa lelah tidak hanya secara fisik, na mun juga psikis (Tehee dkk., 2009); untuk anakanak dengan gang gu an perkembangan saraf yang menjadi masalah utama terletak pa da perilaku bermasalah anak sehingga ibu kerap mengalami stres (De pape & Lindsay, 2015); agar ibu tetap kuat dalam merawat anak
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
9
se hingga diperlukan koping sepanjang hidup (Gray, 2006).
D. PERANAN KELUARGA DALAM PENANGANAN ANAK-ANAK ISTIMEWAPada buku ini dikhususkan membahas orang tua dari anakanak
istimewa adalah orang tua yang memiliki anak dengan perkembangan spesifik atau dengan kata lain perkembangannya tidak seperti anak normal pada umumnya, yakni: anak dengan gangguan perkembang an saraf. Orang tua yang mendapatkan dukungan dari keluarganya akan memiliki rasa kepercayaan diri, emosi yang positif, sehingga lebih me maknai kehadiran anak dengan gangguan perkembangan saraf ini di tengahtengah lingkungan keluarga dibandingkan keluarga yang tidak menerima kehadiran anak. Pada umumnya kemampuan anak yang keluarganya terlibat langsung di dalam proses pengasuhan akan jauh berkembang lebih baik dibandingkan anak yang orang tua dan keluarganya tidak terlibat.
Beberapa faktor yang memengaruhi orang tua dan keluarga untuk tetap bertahan mengatasi berbagai sumber stres yang hadir sela ma mengasuh anak. Penelitian yang dilakukan Perry (2004) mene mu kan terda pat dua sumber daya yang dimiliki oleh orang tua, ya itu sumber daya personal (misalnya pengetahuan, perasaan yakin dan mampu) dan sumber daya keluarga (misalnya kondisi sosial ekono mi, struktur keluarga). Selain sumber daya, maka dukungan sosial dianggap sebagai faktor yang menguatkan keluarga, terdapat dua jenis dukungan sosial yaitu dukungan sosial yang bersifat formal (diperoleh dari kalangan profesional dan lembaga), dan dukungan sosial yang bersifat informal (diperoleh dari keluarga besar, teman, tetangga, masyarakat, komunitas orang tua dari anak de ngan gang guan perkembangan).
Terdapat tiga peranan penting orang tua dan keluarga sebaiknya saling bekerja sama dalam penanganan anak, yaitu:1. Peran orang tua dan keluarga untuk mengasuh anak selama di ru mah. Penjelasan terkait kondisi anak degan gangguan perkembangan saraf
sepenuhnya akan dijelaskan pada bab dua. Pada intinya anakanak se perti ini merupakan anak dengan gangguan perkembang an pada area di otak, meskipun setiap anak mengalami gejala gangguan yang ber variasi antara anak yang satu dengan anak lainnya, dan pada beberapa anak ini menampilkan gejala dari beberapa gangguan (diagnosis komorbid) yaitu mendapatkan dua diagnosis gangguan bahkan lebih, misalnya: anak autis dan ADHD, anak autis dan mental re tar dasi. Dampak dari kurang ber fungsinya beberapa area di otak
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
10
mengakibatkan anakanak ini tidak mampu mengolah informasi yang diterimanya dari luar, se hingga muncul dalam perilaku yang kurang tepat dan kurang se suai seperti layaknya anakanak seusianya.
Anakanak yang telah terdiagnosis mengalami gangguan perkembangan saraf ini membutuhkan penanganan awal dalam keluar ga, dan menyegerakan pelaksanaan intervensi untuk anak agar semakin besar harapan yang dapat diraih dalam menurunkan gejala gangguan anak, hingga akhirnya mampu mencapai peri la ku yang sesuai dengan perkembangan anakanak seusianya. Ke ter libatan keluarga dalam program penanganan anak di rumah sangat berdampak positif terhadap perkembangan anak. Ke luar ga sebaiknya menambah informasi terkait pengasuhan, inter ven si yang tepat, pola makan anak, baik melalui usaha mencari informasi sendiri, berkonsultasi dengan para profesional, bekerja sama dengan lembaga yang menangani anak, bergabung dengan komunitas orang tua autis, dan aktif mengikuti kegiatan parenting tentang pengasuhan anak.
2. Peran orang tua dan keluarga untuk menjalin hubungan yang baik dengan para profesional dan bekerja sama dengan lembaga, sekolah, tempat terapi, rumah sakit, yang mampu memberikan pelayanan di bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial. Orang tua tidak dapat berdiri sendiri dalam pengasuhan anak, sehingga di bu tuhkan penanganan yang bersifat terpadu dan bekerja sama antara orang tua, keluarga, para profesional dan lembaga resmi. Keluarga harus kuat secara fisik dan psikis dalam mengasuh anak, sehingga akan menghasilkan sikap yang positif dan lebih me nerima kondisi anaknya. Orang tua dan keluarga yang bersi kap positif terhadap anak biasanya akan membuat anakanak lebih mudah untuk diarahkan dan menunjukkan sikap yang lebih positif pula.
Keterlibatan atau kerja sama orang tua, keluarga, dan lembaga resmi (misalnya sekolah, tempat terapi, rumah sakit) akan memengaruhi perkembangan anak. Terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan, misalnya orang tua dan keluarga aktif berpartisipa si dalam kegiatan pertemuan antara guru dan wali siswa untuk membicarakan dan mencari solusi atas perkembangan anak; aktif mengikuti kegiatan program parenting baik yang diadakan di se kolah maupun lembaga lain guna menambah informasi sekaligus memotivasi diri; aktif bertanya, jujur dan bersikap komunikatif terhadap kalangan profesional (misalnya dokter, psikolog) terkait kondisi anak seharihari; dan mampu melaksanakan programprogram intervensi anak
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
11
seperti yang disarankan para profesional.3. Peran orang tua dan keluarga untuk mensosialisasikan kondisi anak
kepada masyarakat. Orang tua dan keluarga yang memiliki anak dengan ganggaun
perkembangan saraf mengalami kesulitan dan tantangan yang ber variasi selama mengasuh anak. Tidak semua orang memiliki pemahaman dan pengetahuan serta dapat menerima kondisi anak seperti ini. Orang tua dan keluarga acapkali mendapatkan perlakuan yang kurang tepat terutama ketika membawa anak ke tempat umum. Berbagai stigma negatif tentang kondisi anak sering membuat masyarakat memberikan respons yang negatif pula. Hal ini dapat menjadi sumber stres tersendiri bagi orang tua dan keluarga serta dapat menghambat optimalisasi perkembangan anak.
Orang tua dan keluarga perlu mengomunikasikan kondisi anak kepada tetangga, kepada pihak lain yang dianggap mampu membe ri kan edukasi kepada masyarakat (misalnya ketua RW, ketua RT); orang tua dan keluarga aktif mengikuti kegiatankegiat an yang diadakan di lingkungan tempat tinggalnya sekaligus ter bu ka mengomuni ka sikan kondisi anak; orang tua dan keluarga ber pikir positif dan mempersiapkan diri saat membawa anak ke luar rumah dan berkumpul di tengahtengah masyarakat. Usahausaha yang dilakukan merupakan caracara yang dapat menyosia lisasikan kondisi anak kepada masyarakat.
Pentingnya peranan keluarga terhadap pengasuhan anakanak dengan gangguan perkembangan saraf ini dapat dijelaskan dengan menggunakan teori ekologi perkembangan manusia oleh Urie Bron fenbrenner (1994). Bronfenbrenner (1994) menekankan pentingnya pro ses atau interaksi timbal balik yang kompleks antara organisme dengan lingkungan dekatnya (proximal process). Teori ini penting un tuk dimaknai bagaimana peran keluarga dalam memengaruhi rasa kompeten dan kesejahteraan psikologis orang tua selama merawat anak. Orang tua tidak dapat berdiri sendi ri, diperlukan kerja sama dari keluarga terdekat untuk dapat menurunkan stres pengasuhan orang tua pada umumnya dan akhirnya meningkatkan tumbuh kem bang anak khususnya.
Menurut Bronfenbrenner (1994, dalam Mukhtar, 2017), untuk dapat memahami perkembangan seorang individu, maka harus mem pertimbangkan sistem ekologi di mana individu tersebut tumbuh. Sis tem ekologi ini terdiri dari lima subsistem yang terorganisasi secara sosial
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
12
(dapat dilihat Gambar 1), yaitu:1. Microsystems, merupakan subsistem yang mempunyai interaksi lang
sung dengan individu, dan individu juga secara aktif terlibat dalam subsistem ini, misalnya keluarga atau rumah, sekolah, te man sebaya, atau tempat tinggal.
2. Mesosystems, merupakan subsistem yang menghubungkan dua atau lebih microsystem yang berhubungan langsung dengan indi vidu, misal nya bagi seorang anak, salah satu mesosystem yang terkait dengannya adalah keluarga dan sekolah, kondisi anak di rumah akan memengaruhi atau berhubungan dengan kondisinya di sekolah.
3. Exosystems, merupakan subsistem yang menghubungkan dua atau lebih microsystem di mana individu tidak terlibat secara lang sung dalam salah satu dari konteks atau microsystem tersebut, dan mi crosys-tem tersebut juga tidak memengaruhi secara langsung perkembangan individu.
4. Macrosystems, merupakan lapisan konteks yang paling luar, yang akan memengaruhi dan terdiri dari keseluruhan subsistem di bawahnya. Menurut Krishnan (2010) misalnya adalah karakteristik budaya, pergolakan politik, atau kekacauan ekonomi.
5. Chronosystems, merupakan konsep waktu yang berkaitan dengan konteks di mana pertumbuhan individu terjadi. Konsep waktu yang dikemukakan oleh Bronfenbrenner (1994) tidak hanya mencakup karakteristik personal seperti usia kronologis, tetapi juga mencakup lingkungan tempat individu, seperti perubahan struktur keluarga, perubahan status ekonomi, ataupun perubahan tempat tinggal.
Gambar 1. Model Ekologi tentang Perkembangan Manusia (Berns, 2007, h. 21).
Pentingnya peranan dan interaksi keluarga terhadap proses pengasuhan orang tua telah dijelaskan dengan menggunakan teori ekologi dari
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
13
Bronfenbrenner (1994), kemudian terdapat satu model teori lagi yang dianggap mampu menjelaskan tentang peranan orang tua dalam proses pengasuhan anak dengan gangguan perkembangan saraf, yaitu model teori pencapaian peran ibu (maternal role attainment model) oleh Mercer (1986). Teori ini juga menggunakan peran ekologi di da lam membantu pengasuhan ibu.
Pada awalnya model teori ini diperkenalkan oleh Rubin pada ta hun 1967. Rubin menjelaskan proses wanita menuju pencapaian akan identitas perannya sebagai ibu. Gambaran ideal diri sebagai ibu ber landaskan pada proses selama masa kehamilan dan postpartum, kemudian wanita akan mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang ibu (Bryar & Sinclair, 2011). Model identitas peran ibu dikembang kan kembali oleh mahasiswa didikan Rubin yaitu Ramona T. Mercer (1986). Mercer mengembangkan beberapa konsep mengenai identitas peran ibu melalui berbagai penelitian. Mercer mendefinisikan iden titas peran ibu sebagai persepsi seorang wanita yang di dalam dirinya sendiri telah terintegrasi sebagai seorang ibu (Mercer, 1986).
14
Gambar 2. Model Pencapaian Peran Ibu (Mercer, 1986, hal. 198-204).
Identitas peran ibu terbentuk karena adanya interaksi dari berbagai komponen
dalam sistem ibu, yaitu: makrosistem, mesosistem, dan mikrosistem (Mercer, 1986).
Berdasarkan gambar di atas, terlihat bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas pengasuhan
anak juga dipengaruhi oleh lingkungannya. Mengasuh anak dengan gangguan
perkembangan saraf bukanlah hal mudah, yang perlu ditekankan adalah mengasuh anak
bukanlah sepenuhnya tanggub jawab dilimpahkan kepada ibu, tetapi perlunya kerjasama
dari berbagai pihak yang terkait dengan anak. Model ini menjelaskan bahwa pengasuhan
ibu terhadap anaknya tidak terlepas dari sistem-sistem yang melingkupinya, yakni
macrosystem, mesosystem, microsystem.
Macrosystem berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilai-nilai sosial memiliki
kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembangan anak. Pengasuhan anak tidak
terlepas dari bagaimana harapan masyarakat terhadap peran yang mesti dijalankan oleh
seorang anak di masa dewasanya kelak. Jika dikaitkan dengan perkembangan anak dan
pengaruh stigma negatif masyarakat akan kondisi anak dengan keistimewaan ini
(termasuk anak dengan gangguan spectrum autis) maka secara tidak langsung dapat
memengaruhi keoptimalan orang tua dalam proses pengasuhan. Hal ini pernah diteliti
oleh Tucker (2013), berdasarkan hasil penelitiannya selama setahun di Indonesia, Tucker
(2013) mengungkapkan bahwa pada tahun 1990an orang tua di Indonesia masih
MotherEmpaty, sensitivity to childSelf esteem/self concept
Parenting received as childMaturity/flexibility
AttitudesPregnancy/birth experienceHealth/depression/anxiety
Maternal Role/IdentityCompetence/confidence in role
SatisfactionAttachment to child
ChildTemperament
Ability to give cuesAppearance
CharacteristicResponsiveness
Health
Child s OutcomeCognitive/mental development
Behavior/attachmentHealth
Social competence
MicrosystemMother-father relationship
Mesosystem
Macrosystem
Stress
Parent s work settings
Transmitted cultural consistencies
Gambar 2. Model Pencapaian Peran Ibu (Mercer, 1986, l. 198-204).
Identitas peran ibu terbentuk karena adanya interaksi dari ber ba gai komponen dalam sistem ibu, yaitu: makrosistem, mesosistem, dan mi krosistem (Mercer, 1986). Berdasarkan gambar di atas, terli hat bahwa keberhasilan pelaksanaan tugas pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh ling kungannya. Mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
14
bukanlah hal mudah, yang perlu ditekankan ada lah mengasuh anak bukanlah sepenuhnya tanggub jawab dilimpah kan kepada ibu, tetapi perlunya kerja sama dari berbagai pihak yang ter kait dengan anak. Model ini menjelaskan bahwa pengasuhan ibu terhadap anaknya tidak terlepas dari sistemsistem yang melingkupinya, yakni macrosystem, mesosystem, microsystem.
Macrosystem berupa politik, budaya, ekonomi, dan nilainilai so sial memiliki kontribusi terhadap proses sosialisasi dan perkembang an anak. Pengasuhan anak tidak terlepas dari bagaimana harapan ma syarakat terhadap peran yang mesti dijalankan oleh seorang anak di masa dewasanya kelak. Jika dikaitkan dengan perkembangan anak dan pengaruh stigma negatif masyarakat akan kondisi anak dengan keistimewaan ini (termasuk anak dengan gangguan spectrum autis), maka secara tidak langsung da pat memengaruhi keoptimalan orang tua dalam proses pengasuhan. Hal ini pernah diteliti oleh Tucker (2013), berdasarkan hasil penelitiannya sela ma setahun di Indonesia, Tucker (2013) mengungkapkan bahwa pada tahun 1990an orang tua di Indonesia masih menganggap anak dengan gangguan spektrum autis adalah sebuah aib keluarga sehingga malu untuk diketahui masyarakat umum. Corcoran, Berry dan Hill (2015); Lutz, Patterson dan Klien (2012) menambahkan ibu juga merasakan kekhawatiran bila membawa anaknya ke tempat umum dan merasa cemas apakah anaknya diterima atau ditolak oleh masyarakat (Bristol, 1984; Weiss, 2002).
Mesosystem berupa sekolah khusus anakanak dengan ganggu an perkembangan saraf seperti sekolah khusus autis, tempat terapi anak, dan ko munitas orang tua yang memiliki anak dengan gangguan dengan keis timewaan ini (seperti di Yogyakarta terdapat komunitas orang tua dari anak autis yaitu Forkompak; di Jakarta terdapat Ya yasan Autisma Indonesia) yang berpengaruh terhadap pengasuhan orang tua dan jalinan kerja sama. Apabila terdapat jalinan kerja sama yang harmonis, maka sistemsistem yang tercakup dalam mesosystem ini akan mendukung orang tua dalam memberikan pengasuhan yang optimal.
Microsystem berupa hubungan positif antara ibu dan suami, sua mi memberikan dukungan tidak hanya dari segi materi, namun juga secara emosional mampu menguatkan ibu menghadapi stres peng asuhan. Dunn, Burbine, Bowers, dan Tantleff (2001) menegaskan ibu yang menerima du kungan khususnya dari suami dan keluarga, akan memiliki tingkat de presi yang rendah dan sedikitnya mengalami per ma salahan dalam rumah tangga. Beberapa penelitian juga menun jukkan dukungan suami merupakan hal yang utama bagi ibu untuk tetap bertahan, kemudian dukungan
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
15
dari keluarga, dan terakhir dari komunitas ibuibu yang anaknya juga mengalami berkebutuhan khu sus (Boyd, 2002). Pada microsystem, selain membahas hubungan ibu dan suami, juga membahas hubungan timbal balik secara positif an tara orang tua dan anak serta dampak karakteristik anak terhadap kon disi psikologis orang tua. Karakteristik orang tua (empati, harga di ri, kesehatan, sikap, dan kematangan) berpengaruh terhadap kon disi anak, ayah dan ibu memberikan perilaku pengasuhan positif sehingga berpengaruh positif terhadap kelekatan, kompetensi sosial dan kesehatan untuk orang tua dan juga anaknya. Secara keseluruhan orang tua yang sehat akan berpengaruh dalam meningkatkan peran identitasnya dan tumbuh kembang anak menjadi lebih optimal. Bryar dan Sinclair (2011) mengungkapkan pentingnya mengkaji dan mem bina ibu untuk mempersiapkan diri secara aktif dalam perannya se bagai orang tua.
Hasil penelitian Thompson dan Walker (1987) men jelaskan bahwa identitas peran ibu merupakan gabungan antara atribut kognitif dan afektif terhadap hubungan timbal balik antara ibu dan anak (Mercer, 2006). Atribut kognitif dan afektif menjadi fak tor penting da lam membentuk kemampuan berkompeten pengasuhan dan meningkat kan identitas peran orang tua.
Model teori ini membantu dalam membahas fenomena stres orang tua dalam mengasuh anak autis bersifat kompleks, artinya orang tua akan optimal dalam pencapaian perannya sebagai orang tua ketika sistem ekologi di mana mereka tersebut tumbuh, juga memberikan dampak positif terhadap diri orang tua. Hal ini berarti, orang tua ti dak sendirian dalam mengasuh dan membesarkan anakanak dengan gangguan perkembangan saraf, banyak faktor yang turut membantu dalam mendukung orang tua, seperti penerimaan dari masyarakat (macrosystem); dukungan dari sekolah, tempat terapi, dan Pusat La yanan Autis (mesosystem); serta dukungan langsung terhadap orang tua seperti dukungan dari pasangan, keluarga, teman, dan komunitas sesama orang yang memiliki anakanak seperti ini (mycrosystems). Ke tika orang tua mendapatkan dukungan positif dari lingkungannya, maka akan berdampak positif terhadap pengembangan kompetensi dan kesejahteraan psikologis orang tua. Mercer (2006) menjelaskan bahwa terdapat gabungan antara atribut kognitif dan afektif terhadap hubungan timbal balik antara orang tua dan anak.
Penjelasan terkait teori ekologi dan model teori pencapaian peran ibu di atas diharapkan dapat membantu menggali informasi dan kete rampilan dalam mengasuh anak. Selain itu orang tua diharapkan memiliki pengetahuan, keterampilan, maka orang tua nantinya mam pu bersikap
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
16
positif terhadap anak (Bornstein, 2007). Penge tahuan dan keterampilan orang tua dapat dijelaskan dengan teori posi tive parenting program/triple P. Tujuan Triple P adalah mencegah terjadi nya masalah perkembangan, emosional, dan perilaku anak dengan cara meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kepercayaan diri orang tua. Triple P disusun berdasarkan lima prinsip inti pengasuhan positif (Sanders, 2008), yaitu:1. Ensuring a safe and engaging environment, yaitu menyediakan ling
kungan yang aman dan menyenangkan bagi anak untuk mem berinya kesempatan bereksplorasi, bereksperimen dan bermain. Prinsip ini pen ting untuk mencapai perkembangan anak yang se hat dan mencegah terjadinya luka dan kecelakaan.
2. Creating a positive learning environment, yaitu orang tua menjalan kan peran sebagai guru pertama bagi anak yang memberikan respons positif dan konstruktif saat menjalin interaksi dengan anak, sehingga mendorong anak belajar menyelesaikan masalah nya dengan mandiri serta belajar keterampilan sosial dan ko munikasi bahasa yang baik.
3. Using assertive discipline, merupakan pengganti bagi disiplin yang menggunakan paksaan dan disiplin praktis yang tidak efek tif, seperti bentakan, ancaman, dan hukuman. Menerapkan disiplin yang asertif, yaitu orang tua diajarkan strategi disiplin al terna tif sebagai pengganti disiplin paksaan dan tidak efektif, mendisku sikan aturan dengan anak, memberikan instruksi dan permintaan yang jelas dan tenang sesuai dengan usia anak.
4. Having reaistic expectations, orang tua memiliki harapan yang realistis, keyakinan, dan asumsiasumsi penyebab perilaku anak, kemudian memilih tujuan yang tepat dan realistis sesuai dengan perkembangan anak.
5. Taking care of oneself as a parents, orang tua diajarkan keterampilan untuk merawat dan memelihara dirinya melalui keterampilan mengelola emosi dan mengembangkan strategi koping dalam mengelola tekanan dan emosi negatif yang berkaitan dengan peng asuhan, seperti stres, depresi, kemarahan, dan kecemasan.
Beberapa penelitian yang menggunakan peranan tripleP dalam memberfungsikan pengasuhan orang tua, dalam hal ini dicontoh kan dari anak dengan gangguan perkembangan saraf yakni anak autis juga pernah dilakukan di Indonesia, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2013) dan Pamungkas (2015) yang samasama menggunakan pendekatan keperilakuan (triplep) dengan de sain eksperimen nonrandomized pretest-
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
17
postest control group design, subjek penelitian dilakukan terhadap ibuibu yang memiliki anak au tis. Hasil penelitiannya berhasil membuktikan pentingnya pelatihan pengasuhan dengan menggunakan pendekatan keperilakuan (triple p) dalam menurunkan stres pengasuhan ibu.
Berkaitan degan pengasuhan efektif akan peranan keluarga da lam mengoptimalkan tumbuh kembang anak autis, berikut ini terdapat tips bagi keluarga yang memiliki anak autis menurut Ibu Tri Sumarni (2017). Tri sumarni adalah sosok ibu yang tangguh dan kuat dengan memiliki dua putrinya mengalami gangguan spektrum autis.
Beliau juga telah mengisahkan pengalaman hidupnya dalam merawat kedua putrinya ke dalam buku yang berjudul Super Anggita (buku pertama) dan Happy Soul Mom (buku kedua), dan sekarang beliau sedang mempersiapkan bukunya yang ketiga. Tips bagi keluar ga yang memiliki anak autis, adalah:• Keluargamenerimadenganikhlasanakautisdidalamkehidupannya.• Keberadaananakautisdidalamkeluargatidakperludisembunyikan.• Orangtuamengembangkandanmendidikanakautissesuaibakatdan
minatnya.• Keluarga tidakperlumembandingkananakautiskitadengananak-
anak yang lainnya.• Seluruhanggotakeluargasalingmendukungdanbekerjasamauntuk
mengembangkan dan mendidik anak autis.• Seluruhanggotakeluargamemperlakukananakautisdenganpenuh
cinta dan kasih sayang.• Mempunyaipemahamanbahwamemilikikeluargapenyandangautis
adalah sebuah takdir dan bukan merupakan kesalahan orang tua.• Membesarkananakautissesuaikemampuandankekuatankeluarga,
tidak memaksakan diri.• Menghadapianakautisdenganpercayadiri,tenang,dantidakpanik.• Keluarga tidak perluminder karenamemiliki anggota keluarga pe-
nyandang autis.• Optimislahbahwakeluargamampumendidikdanmengembangkan
anak autis.• Keluargamemiliki pemahaman bahwa anak autis adalah anugerah
terindah dari Tuhan.• Keluargamelibatkananakautisdidalamkegiatankeluarga.• Keluargamemahamibahwaanakmemerlukanperlakuankhususse-
bagai penyandang autis.• Sabar,ikhlas,danpercayapadaskenarioAllah.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
18
REFERENSIAndayani & Koentjoro, A. (2004). Psikologi Keluarga: Peran Ayah Menuju
Comparenting.Aydın, A. & Yamaç, A. (2014). The relations between the acceptance and
childrearing attitudes of parents of children with mental disabilities. Eurasian Journal of Educational Research, 54, 7998.
Baumrind, D. (1991). The influence of parenting style on adolescent competence and substance use. Journal of Early Adolescence, 11(1), 56–95.
Berns, R.M. (2007). Child, family, school, community: Socialization and support (ed.7). Belmont: Thomson Higher Education.
Bilgin, H., Kucuk, L. (2010). Raising an autictic child: Perspectives from Turkish mothers. Journal of Chld and Adolescent Psychiatric Nursing: 23(2), 92.doi:10.1111/j.17446171.2010.00228.x
Bogenschneider, K., & Pallock, L. (2008). Responsiveness in parent‐adolescent relationships: Are influences conditional? Does the reporter matter? Journal of Marriage and Family, 70(4), 1015–1029.
Bornstein, M. H., Hahn, C., Haynes, O. M., Belsky, J., Azuma, H., Kwak, K., … Galperin, C. (2007). Maternal personality and parenting cognitions in crosscultural perspective. International Journal of Behavioral Development, 31(3), 193–209. doi:10.1177/0165025407074632.
Boyd, B. A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 17(4), 208–215.
Bronfenbrenner, U. (1994). Ecological models of human development. Dalam International Encyclopedia of Education. 3(2). Oxford: Elsevier. Reprinted in: Gauvain, M & Cole, M (eds). Reading on the development of children (ed 2), hal 3743. New York: Freeman.
Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to austistic children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.), The Effects of Autism on the Family. (hal. 289–310). New York: Plenum.
Brooks, J. (2011). The process of parenting. Eight edition. New York: The McGrawwHill Companies, Inc.
Bryar, R., & Sinclair, M. (Eds.). (2011). Theory for midwifery practice. Macmillan International Higher Education.
Buist, K. L., Deković, M., Meeus, W., & van Aken, M. A. (2004). The reciprocal relationship between early adolescent attachment and internalizing and externalizing problem behaviour. Journal of adolescence, 27(3), 251266.
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
19
Calzada, E. J., Eyberg, S. M., Rich, B., & Querido, J. G. (2004). Parenting dis ruptive preschoolers : Experiences of mothers and fathers. Journal of Abnormal Child Psychology, 32(2), 203–213.
Chen, C. C. (2004). Family’s support and family needs toward the developmental delay children in Taipei city. Journal of Special Education and Creative Thinking, 1, 57–84 (in Chinese)
Corcoran, J., Berry, A., & Hill, S. (2015). The lived experience of US parents of children with autism spectrum disorders : A systematic review and metasynthesis. Journal of Intellectual Disabilities, 19(4), 356–366. doi:10.1177/1744629515577876.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in mothers and fathers of preschool children with autism and Down syndrome. Journal of Intellectual Disabilities Research, 54(3), 266–280. doi:10.1111/j.1365 2788.2010.01258.x.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N. R. (2018). Proses menjadi tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daulay, N.(2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psikologi. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
Davis, N., & Carter, A. (2008). Parenting stress in mothers and fathers of toddlers with autism spectrum disorders: Associations with child characteristics. Journal of Autism and Developmental Disorder, 38, 1278–1291. doi:10.1007/s108030070512z.
Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4), 569–583. doi:10.1177/1049732314552455.
Dunn, M.E., Burbine, T., Bowers, C.A., TantleffDunn, S. (2001). Moderators of stress in parents of children with autism. Community Mental Health Journal, 37(1), 3952.
GarcíaLópez, C., Sarriá, E., & Pozo, P. (2016). Research in autism spectrum disorders multilevel approach to gender differences in adaptation in fathermother dyads parenting individuals with autism spec trum disorder. Research in Autism Spectrum Disorders, 28, 7–16. doi:10.1016/j.rasd.2016.04.003.
Gray, D. E. (2006). Coping over time: The parents of children with autism. Journal of Intellectual Research, 50(12), 970–976. doi:10.1111/j.13652788.2006.00933.x.
Ghosh, S., & Magan˜ a, S. (2009). A rich mosaic: Emerging research on
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
20
Asian families of persons with intellectual and developmental disabilities. In Glidden, L. M., &
Gottman, J., & DeClaire, J. (1997). The heart of Parenting: How to raise an emotionally intelligent child. London: Blumsburry.
Hastings, R. P. (2003). Child behaviour problems and partner mental health as correlates of stress in mothers and fathers of children with au tism. Journal of Intellectual Disabilities Research, 47(45), 231–237. doi: 10.1046/j.13652788.2003.00485.x.
Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas” terhadap stres pengasuhan pada ibu dari anak autis. Psikoislamika, 10, 29–40.
Hoghughi, M., & Long, N. (2004). Handbook of parenting: Theory and re-search for practice. Washington: Sage Publications, Inc.
Holroyd, E. E. (2003). Chinese cultural influences on parental caregiving obligations towards children with disabilities. Qualitative Health Research, 13, 4–19
Jones, L., Totsika, V., Hastings, R., & Petalas, M. A. (2013). Gender differences when parenting children with autism spectrum disorders: A multilevel modelling approach. Journal of Autism and Developmental Disorder, 43, 2090–2098. doi:10.1007/s1080301217569.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. (2008). Departemen Pendidikan Nasional.Kim, M.O. (2001). Research on the adaptability of families with children
with disabilities and social competence. Doctoral Dissertation, Ehwa Women’s’ University, Seoul South Korea.
Kishnan, V. (2010). Early child development: A conceptual model. Presented at the Early Childhood Council Annual Conference 2010, aluing Care”, New Zealand.
Kousha, M., Attar, H.A., Shoar, Z. (2015). Anxiety, depression, and quality of life in Iranian mothers of children with autism spectrum disorder. Journal of Child Health Care, 110.doi:10.1177/1367493515598644.
Lam, L., & Mackenzie, A. E. (2002). Coping with a child with Down syndrome: The experiences of mothers in Hong Kong. Qualitative Health Research, 12, 223–237.
Lee, J.K. (2011). Predictors of parenting stress among mothers of children with autism in South Korea. Disertasi. Proquest. Columbia University.
Lestari, S. (2012). Psikologi keluarga. Penanaman nilai dan penanganan kon-flik dalam keluarga. Jakarta: Prenada Media Group.
Lin, LY., Orsmond, G.I., Coster, W.J., & Cohn, E.S. (2011). Families of adolescents and adults with autism spectrum disorders in Taiwan: The role of social support and coping in family adaptation and maternal
SAM
PLE
BAB 1 • PENGASUHAN ORANGTUA
21
wellbeing. Research in Autism Spectrum Disorders, 5, 144156. doi: 10.1016/j.rasd.2010.03.004
Liu, G. (2005). Best practices: Developing crosscultural competence from a Chinese perspective. In J. H. Stone (Ed.), Culture and disability: Providing culturally competent services. (pp. 65–85). Thousand Oaks, CA: Sage Publications Inc.
Luong, J., Yoder, M.K., Canham, D. (2009). Southeast Asian Parents Raising a Child With Autism: A Qualitative Investigation of Coping Styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222229. doi: 10.1177/1059840509334365
Lutz, H. R., Patterson, B.J. & Klien, J. (2012). Coping with autism: A journey toward adaptation. Journal of Pediatric Nursing, 27. 206213.doi:10.1016/j.pedn.2011.03.013.
Maharani, O.P., & Andayani, B. (2003). Dukungan sosial ayah dan penyesuaian sosial remaja lakilaki. Jurnal Psikologi, 1.
Mercer, J. (2006). Understanding attachment : parenting, child care, and emotional development. Westport, CT: Greenwood Publishing Group, Inc.
Mercer, R. T. (1986). The process of maternal role attainment over the first year. Nursing Research, 34(4), 198204.
Moes, D., Koegel, R., & Schreibman, L. (1992). Stress profiles for mother and fathers of children with autism. Psychological Reports, 71, 1272–1274.
Mukhtar, D. Y. (2017). Pengaruh group-based parenting support terhadap stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. (Disertasi tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Pamungkas, A. (2015). Pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Empathy, 3(1).
Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2013 Tentang Pengasuhan Anak Laporan Kinerja Komisi Perlindungan Anak Indonesia 20102013, (Jakarta: KPAI, 2013)
Perry, A. (2004). A model of stress in families of children with developmental disabilities : Clinical and research applications conceptualization of stress. Journal on Developmental Disabilities, 11(1), 1–16.
Rangkuti, A. A., & Fajrin, D. O. (2015). Preferensi Pemilihan Calon Pasangan Hidup Ditinjau dari Keterlibatan Ayah pada Anak Perempuan. JPPP-Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 4(2), 5964.
Rohner, R. P. (2004). The parental" acceptancerejection syndrome": univer
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
22
sal correlates of perceived rejection. American psychologist, 59(8), 830.Rohner, R.P., Khaleque, A., Cournoyer, D.E (2012). Introduction to parental
acceptancerejection theory, Methods, evidence, and implications. Hu man Development and Family studies of University of Connecticut.
Sanders, M. R. (2008). Triple PPositive Parenting Program as a public health approach to strengthening parenting. Journal of family psycho-logy, 22(4), 506.
Sumarni, T. (2017). SUPER ANGGITA Perjuangan Seorang Ibu Mendidik Anaknya yang Autis. Jakarta: Best Publisher.
Salsabila, F., & Masykur, A. M. (2018). Ketika anakku “tak sama”: interpretative phenomenological analysis tentang pengalaman ayah mengasuh anak down syndrome. Empati, 7(1), 18.
Sanders, M.R. (2008). Triple Ppositive parenting program as a public mental health approach to strengthening parenting. Journal of Family Psychology, 22 (3), 506517.
Seltzer, M. M. (Eds.), International review of research in mental retardation. Vol. 37 (pp.179–212). San Diego, CA: Academic Press/Elsevier.
Shochib, M. (2010). Pola asuh orang tua (dalam membantu anak mengem-bangkan disiplin diri sebagai pribadi yang berkarakter). Jakarta: Rineka Cipta.
Soetjiningsih, C.H. (2004). Perkembangan anak, sejak pembuahan sampai dengan kanak-kanak akhir. Jakarta: EGC.
Tao, Y. (2004). The systemic perspectives on family needs of children with autism. Journal of Special Education and Creative Thanking, 1, 105–131 (in Chinese).
Tehee, E., Honan, R., & Hevey, D. (2009). Factors contributing to stress in parents of individuals with autistic spectrum disorders. Journal of Applied Research in Intellectual Disabilities, 22, 34–42. doi:10.1111/j.14683148.2008.00437.x.
Thompson, L., & Walker, A. J. (1987). Mothers as mediators of intimacy between grandmothers and their young adult granddaughters. Family Relations, 7277.
Tucker, A. C. (2013). Los Angeles Interpreting and Treating Autism in Javanese Indonesia. University of California, Los Angeles.
Weiss, M. (2002). Hardiness and social support as predictors of stress in mothers of typical children, children with autism, and children with mental retardation. Autism, 6(1), 115–130.
Yao, X. (2008). The Confucian self and experiential spirituality. Journal of Comparative Philosophy, 7(4).
SAM
PLE
Bab 2ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
A. ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF (NEURODEVELOPMENTAL DISORDERS)Anakanak dengan gangguan perkembangan saraf (neurodevelop mental
disorders) adalah sekelompok anak dengan kondisi mengalami penu runan pada periode perkembangannya. Gangguan perkembang an ini biasanya muncul pada awal perkembangan, sering kali dida pati sebelum anak memasuki sekolah dasar, dan ditandai dengan pe nurunan perkembangan pada gangguan fungsi pribadi, sosial, aka demis, atau pekerjaan. Penurunan perkembangan bervariasi pada se tiap anak, dari keterbatasan dalam belajar atau pengontrolan fungsi eksekutif dan hambatan umum dari kemampuan sosial dan inteli gen si. Terdapat beberapa anak yang mengalami gangguan perkembang an saraf juga mengalami penurunan perkembangan lainnya yang ter jadi bersamaan, misalnya, individu dengan spektrum autis juga me ngalami gangguan perkembangan intelektual, dan banyak anak yang meng alami gangguan attention-deficit/hyperacti-vity disorder (ADHD) juga memiliki gangguan dalam belajar. Anakanak dengan gangguan perkembangan saraf, mencakup: intellectual disabilities (intellectual de velopmental disorder, global developmental delay, unspecified intellectual disability), communication disorders (language disorder, speech
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
24
sound di sorder, childhood-onset fluency disorder/stuttering, social (pragmatic com munication disorder, unspecified communication disorder), autism spectrum disorders, attention-deficit/hyperactvivity specific learning disor der, motor di-sorders developmental Coordination Disorder other neuro developmental disor-ders (American Psychiatric Association, 2013).
1. Gangguan Spektrum AutisAnak dengan gangguan spektrum autis adalah anak yang meng alami
gangguan perkembangan kompleks disebabkan gangguan neu rologis yang memengaruhi fungsi otak (American Psychiatric Asso ciation, 2013). Gang guan spektrum autis adalah gangguan per kem bangan yang ditandai dengan penurunan dalam bahasa dan ko munikasi, interaksi sosial, dan bermain serta imajinasi, dengan ter ba tasnya perhatian akan minat dan perilaku yang berulangulang (American Psychiatric Association, 2013). Pada DSMIVTR (Ame rican Psychiatric Association., 2000), autis masuk dalam payung gangguan perkembangan pervasif bersama dengan gangguan asper ger, gangguan disintegratif masa kanakkanak (childhood disintegra-tive disorder), gangguan rett (rett’s disorder), dan gangguan perkem bang an pervasif yang tidak dapat dikategorikan (pervasive deve lop men tal disorder-not otherwise specified atau PDDNOS). Pada DSM5 (Ameri can Psychiatric Association, 2013), autis dipandang sebagai entitas tunggal dan diubah menjadi sebuah spektrum yang meliputi seluruh gangguan perkembangan pervasif kecuali gangguan rett. Gangguan spektrum autis ini terjadi pada semua ras, etnis, dan kelompok eko nomi sosial serta empat kali lebih mungkin terjadi pada anak lakilaki dibandingkan anak perempuan (Center for Disease Control and Prevention (CDC), 2014).
Istilah spektrum menunjukkan bahwa gejala gangguan ini ber variasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Ada anak yang gejalanya ringan sehingga sedikit membutuhkan bantuan dari ling kungan, namun terdapat juga anak yang gejalanya sangat berat dan membutuhkan dukungan yang intens dari lingkungan, seperti tan trum disertai dengan perilaku menyakiti dirinya sendiri. Mash dan Wolfe (1999) juga menekankan bahwa beberapa individu terdiagnosis autis menunjukkan perilaku yang sangat agresif dan merugikan diri sendiri. Secara keseluruhan, derajat tingkat keparahan setiap anak dan area gangguannya sangat berbeda satu dengan lainnya.
Berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disor ders, Fifth Edition (American Psychiatric Association, 2013), kriteria diagnosis gangguan spektrum autis, sebagai berikut:1 Kurangnya komunikasi dan interaksi sosial yang bersifat menetap
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
25
pada berbagai konteks.a. Kurangnya kemampuan dalam berkomunikasi sosial dan emo
sional, misalnya pendekatan sosial yang tidak normal dan kegagalan untuk melakukan komunikasi dua arah; kegagalan untuk berinisiatif atau merespons pada interaksi sosial.
b. Terganggunya perilaku komunikasi nonverbal yang diguna kan untuk interaksi sosial. Integrasi komunikasi verbal dan nonverbal yang sangat parah, hilangnya kontak mata, baha sa tubuh, dan eks presi wajah.
c. Kurangnya kemampuan mengembangkan, mempertahankan hubungan, misalnya kesulitan menyesuaikan perilaku pada berbagai konteks sosial, kesulitan dalam bermain imajinatif atau berteman, tidak adanya ketertarikan terhadap teman sebaya.
2. Perilaku yang terbatas, pola perilaku yang repetitif, ketertarikan, atau aktivitas yang termanifestasi minimal dua dari perilaku berikut:a. Gerakan motorik repetitif, penggunaan objekobjek atau ba ha
sa, misalnya: stereotipe gerakan sederhana, menjajarkan mainan atau melemparkan bendabenda, echolalia, penggu naan frasa yang spesifik.
b Perhatian yang berlebihan terhadap kesamaan, rutinitas yang ka ku atau pola perilaku verbal atau nonverbal yang ritualistik (misalnya stres ekstrem pada perubahanperubahan kecil, kesulitan pada saat adanya proses perubahan, pola pemikiran yang kaku, kebutuhan untuk melewati rute yang sama atau makan makanan yang sama setiap hari).
c. Kelekatan dan pembatasan diri yang tinggi pada suatu keter tarikan yang abnormal, misalnya kelekatan yang kuat atau preokupasi pada bendabenda yang tidak biasa, pembatasan yang berlebihan atau minat yang menetap).
d. Hiperaktivitas atau hipoaktivitas pada input sensori atau ketertarikan yang tidak biasa pada aspek sensori dari lingkung an, misalnya sikap tidak peduli pada rasa sakit atau suhu udara, respons yang berlawanan pada suara atau tekstur yang spe sifik, penciuman yang berlebihan atau menyentuh ben dabenda secara berlebihan, ketertarikan visual pada cahaya atau gerakan.
3. Gejalagejala tersebut harus terlihat pada periode awal perkem bangan (akan tetapi mungkin tidak tampak sepenuhnya hingga tuntutan sosial melebihi kapasitasnya yang terbatas, atau mung kin tertutupi dengan strategi belajar dalam kehidupannya).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
26
4. Gejalagejala tersebut menyebabkan kesulitan signifikan secara klinis dalam area sosial, pekerjaan dan area penting lainnya da lam kehidupan.
5. Gangguangangguan ini lebih baik tidak dijelaskan dengan isti lah ketidakmampuan intelektual (intellectual disability) atau gang guan perkembangan intelektual atau keterlambatan perkem bang an secara global.
Terdapat beberapa alat ukur yang melengkapi penegakan diag nosis gangguan spektrum autis, yaitu:1. Childhood Autism Rating Scale (CARS, Schoopler, Reichier, Ren ner,
1988) Childhood Autism Rating Scale (CARS) adalah suatu skala pe ri laku
dan penilaian yang paling umum digunakan dalam men diag nosis dan melakukan pengukuran pada individu autis, dikem bang kan oleh Eric Schoopler, Robert J. Reichier dan Renner (1988). CARS merupakan alat ukur untuk mendekteksi gang gu an perkembangan yang dialami anak usia di atas dua tahun, terdiri dari 15 aitem skala perilaku dengan rentang penilaian dimulai dari 1 (tidak bermasalah) sampai 4 (sangat bermasalah). Para pro fesional ter latih (seperti dokter, psikolog) harus mengobservasi dan kemudian memberikan penilaian terkait perilaku anak pada setiap aitemnya. Skor bergerak dari 15 sampai 60, artinya skor yang tinggi menunjukkan bahwa anak mengalami gejala autis yang berat. Terdapat tiga klasifikasi yang digunakan, yakni: tidak meng alami gangguan perkembangan spektrum autis, ringan, dan berat. Domain yang diukur adalah: kemampuan berinteraksi de ngan orang lain; imitasi; respons emosi; penggunaan tubuh; peng gu naan objek; adaptasi terhadap perubahan; respons visual; respons pende ngaran; respons sensori; ketakutan atau kegelisahan; komunikasi verbal; komunikasi non verbal; tingkat aktivitas; res pons intelektual; dan kesan secara umum. Konsistensi internal alat ukur ini sangat baik (0.94), untuk test-retest reliability baik (0.88), inter-rater reliability cukup baik (0.71), dan nilai validitas baik (0.800.84) (Schopler dkk., 1988).
2. Psycho Educational Profile Revised (PEPR) Mengutip dari Mudjito, dkk. (2014) dalam buku Deteksi Dini, Diag-
nosis Gangguan Spektrum Autisme dan Penanganan dalam Ke luar ga menjelaskan bahwa tes ini dapat digunakan untuk anak au tis, ka rena aitemaitemnya tidak tergantung pada keterampilan berbahasa; dapat
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
27
diadministrasikan secara fleksibel, disesuaikan dengan kemampuan anak; aitemaitem tidak dibatasi oleh waktu; materi tes nyata (konkret) dan menarik, bahkan untuk anakanak yang mengalami gangguan yang parah; kemungkinan untuk sukses pada setiap anak (yang dikenai PEPR) adalah besar karena disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak; aitemaitem yang berhubungan dengan bahasa, hanya sebagian dari semua aitem yang ada.
Psycho Educational Profile Revised (PEPR) adalah alat ukur yang memberikan informasi kemampuan anak dalam aspek perkem bang an, meliputi: imitasi (imitation, 16 aitem), persepsi (percep tion, 13 aitem), motorik halus (fine motor, 16 aitem), moto rik ka sar (gross motor, 18 aitem), integrasi mata dan tangan (eye-hand in te gration, 15 aitem), kemampuan kognitif (cognitive perfor man ce, 26 aitem), kemampuan kognitif verbal (cognitive verbal, 27 aitem); dan digunakan untuk mengidentifikasi aspek perilaku, meliputi: relating and affect (12 aitem), play and interest in material (8 aitem), sensory responses (12 aitem), dan language (11 aitem).
PEPR dikembangkan oleh Eric Schopler, Robert Jay Reichler, Ann Bashford, Margaret D. Lansing, Lee M. Marcus pada tahun 1979. Sudah banyak digunakan selama lebih kurang 20 tahun oleh profe sio nal, guru dan orang tua. Alat ukur ini dianggap efek tif un tuk melakukan pemeriksaan pada anakanak autis dan yang ber hu bung an dengan gangguan perkembangan. Skor PEPR da pat digu nakan untuk merancang program pendidikan individual. Ha sil yang diperoleh dapat direkomendasikan kepada guru dan orang tua untuk kemudian dapat dilakukan modifikasi kurikulum (Mu dji to, dkk., 2014).
3. Gilliam Autism Rating Scale (GARS, Gilliam, 1995) Selain kedua alat ukur di atas, masih terdapat beberapa alat ukur
lainnya yang bisa digunakan untuk mendeteksi dini gangguan yang dialami anak, seperti GARS yang biasa diaplikasikan da lam kegiatan penelitian. Penjelasannya sebagai berikut: Gilliam Autism Rating Scale terdiri dari 56 aitem yang digunakan untuk mengukur frekuensi perilaku autistik dalam kebutuhan diagnosis anak. Penelitian dilakukan terhadap 1902 anakanak dan dewasa autis yang tersebar dari 46 negara, Columbia, Puerto Rico dan Canada. Diperuntukkan pada individu usia 3 sampai 22 tahun. Tes mencakup empat subskala, yaitu: 1) perilaku berulang (misal nya, menjentikkan jari dengan cepat di depan mata selama 5 detik atau lebih); 2) komunikasi (misalnya tidak tepat menja wab pertanyaan dari sebuah peryataan atau cerita
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
28
singkat); 3) in teraksi sosial (misalnya, tertawa, atau menangis tidak pada tem patnya); 4) gangguan perkembangan (misalnya anak yang tam paknya tidak mendengar terhadap beberapa suara tetapi mampu mendengar yang lain).
Kombinasi dari hasil keempat subskala dapat mengindikasikan keparahan autis. Skor yang lebih tinggi menunjukkan tingkatan yang parah, skor yang lebih rendah menunjukkan anakanak me miliki keberfungsian yang lebih baik. Koefisien alpha bergerak dari 0.88 sampai 0.93 dan testretest bergerak dari 0.81 sampai 0.86 (Gilliam, 1995).
4. Checklist for Autism in Toddlers (CHAT) CHAT pertama kali dikembangkan di Inggris digunakan untuk men
deteksi dini gangguan perkembangan pada anak usia pra sekolah (usia 18 bulan sampai 36 bulan). Alat ukur ini dapat dibe rikan apabila ada keluhan dari orang tua, pengasuh, dan guru tentang kondisi anak yang tidak sesuai dengan tahap perkembang an anak. Jumlah pertanyaan sebanyak 14 aitem meliputi aspek imitation, pretend play, dan joint attention. Pertanyaan dibagi menjadi dua jenis yaitu sembilan pertanyaan yang dijawab oleh orang tua atau pengasuh anak (termasuk kategori A) dan lima aitem berupa perintah/instruksi bagi anak untuk melaksanakan tugas seperti yang tertera pada alat ukur (termasuk kategori B) (Mudjito dkk, 2014).
Berdasarkan hasil interpretasi CHAT, maka bagi anak yang ter indikasi berisiko autis baik tinggi, rendah, atau terdapat kemungkinan adanya gang guan perkembangan lain, maka sangat disarankan untuk menindak lanjuti kepada pembe ri an intervensi yang tepat buat anak. Orang tua juga harus ber kon sultasi dan bekerja sama kepada para profesional untuk pena nganan yang optimal bagi anaknya.
Dalam memahami gangguan spektrum autis, seperti dikutip dari penelitiannya Mukhtar (2017) yang di dalamnya memuat penelitian dari Wilson dkk (2013) menjelaskan terdapat lima perbedaan antara DSM IVTR dan DSM5 terkait dengan pengertian gangguan spektrum autis, yaitu:1. Istilah gangguan perkembangan pervasif diganti dengan gangguan
spektrum autis dan dalam DSM5 tidak ada kategori diagnosa. Diagnosa gangguan autis, gangguan Asperger, gangguan disintegratif masa kanakkanak, dan pervasive developmental disorder – not otherwise specified/PDDNOS yang sebelumnya menurut DSM IVTR menjadi bagian dari gangguan perkembangan pervasif, dilebur menjadi satu yaitu gangguan spektrum autis, sedangkan gangguan Rett tidak lagi
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
29
dimasukkan.2. Tiga domain yang dijadikan dasar diagnosa seperti disebutkan dalam
DSM IVTR dipadatkan menjadi dua domain, yaitu: Pertama, komunikasi sosial dan interaksi sosial; Kedua, perilaku, minat, dan aktivitis yang kaku dan berulang.
3. Penentuan kriteria diagnostik tidak hanya berdasarkan pada simptom yang muncul pada waktu kini (currently) tetapi juga berdasarkan simp tom sebelumnya (history).
4. Dalam DSM5 ada beberapa penentuan (specifiers), seperti penentuan derajat keparahan atau hambatan fungsional yang dibagi dalam tiga tingkat, yaitu membutuhkan dukungan, membutuhkan dukungan yang banyak, dan membutuhkan dukungan yang sangat banyak serta adanya penentuan mengenai komorbiditas dengan gangguan lain.
5. DSM5 memasukkan isu sensori sebagai bagian dari simptom perilaku.
Kondisi anak gangguan spektrum autis berdasarkan atas tingkat keparahannya terbagi menjadi tiga tingkatan menurut (American Psychiatric Association, 2013), yaitu:a. Tingkat pertama (mild), membutuhkan dukungan artinya kondisi anak
masih mampu berkomunikasi dan berinteraksi meski masih terbatas, anak masih kesulitan untuk beralih pada kegiatan yang lain.
b. Tingkat kedua (moderate), membutuhkan dukungan substansial artinya kondisi anak sangat kurang dalam kemampuan verbal dan nonverbal. Terbatas dalam interaksi sosial bahkan menang gapinya dengan sikap nyata tapi aneh.
c. Tingkat ketiga (severe), membutuhkan dukungan yang sangat substansial artinya kondisi kekurangan anak sangat parah dalam segala hal, baik komunikasi maupun interaksi sosial, sangat ke sulitan dalam mengubah perilaku yang ekstrem dan kesulitan dalam mengubah fokus atau tindakan.
Gejala keparahan tersebut sejalan dengan pengklasifikasian yang di dasarkan pada fungsi kecerdasan penyandang autis, yang juga di kategorikan dalam tiga tingkatan, yaitu:a. Fungsi kecerdasan rendah (low functioning intelligence). Apabila
penyandang autis masuk ke dalam low functioning intelligence, maka pada kemudian hari kecil kemungkinan untuk dapat diharapkan hidup mandiri secara penuh, ia tetap akan memerlukan bantuan orang lain.
b. Fungsi kecerdasan menengah (medium functioning intelligence). Apabila penderita masuk ke dalam kategori medium functioning intelligence
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
30
maka memungkinkan untuk dilatih bermasyarakat dan mempunyai kesempatan yang cukup baik bila diberikan pen didikan khusus yang dirancang secara khusus untuk penyandang autis.
c. Fungsi kecerdasan tinggi (high functioning intelligence). Apabila penderitanya masuk ke dalam kategori high functioning intelligence, maka dengan pendidikan yang tepat, diharapkan dapat hidup se cara mandiri bahkan dimungkinkan dapat berprestasi, dan dapat juga hidup berkeluarga (Mudjito dkk., 2014).
Gangguan spektrum autis merupakan gangguan perkembangan saraf yang kompleks, yang disertai dengan perbedaan anatomi otak, fungsi, dan konektivitas otak (Ecker, 2016). Anak yang mengalami gangguan spektrum autis berbeda dengan anakanak berkebutuhan khusus lainnya, seperti down syndrome, mental retardasi, cerebral palsy, spina bifida, dan lainlain. Menghasilkan gejala gangguan yang berbedabeda (mild, moderate, dan severe), dan gangguan perkembang an kompleks terjadi sepanjang kehidupan anak, serta perilaku dan emosinya tidak dapat ditebak.
Para peneliti meyakini gangguan autis ini terjadi karena faktor kelain an genetik yang mengakibatkan perubahan struktur sehingga terjadinya ketidaknormalan kadar serotonin atau neurotransmitter di dalam otak (National Institute of Health, 2015). Chawarska dkk., (2011) mengungkapkan dalam satu tahun pertama kehidupan, tidak ada perbedaan penambahan ukuran kepala dan otak antara anak nor mal dan anak dengan gangguan perkembangan spektrum autis, ya itu sebesar dua per tiga ukuran dewasa. Anak dengan gangguan spek trum autis menunjukkan percepatan penambahan ukuran kepala dan otak abnormal saat berusia di atas satu tahun. Peningkatan kecepatan pertumbuhan ini berlangsung sampai anak berusia 4 atau 5 tahun sehingga ukuran otak anak dengan gangguan spektrum autis lebih besar dari anak normal (Rommelse, Geurt, Franke, Buitelar, & Hartman, 2011). Anak dengan gangguan spektrum autis mengalami tiga tahap pertumbuhan otak yang berbeda yaitu tahap pertumbuhan otak yang cepat saat berusia 1 tahun, penurunan kecepatan dan perlambatan pertumbuhan otak saat berusia 615 tahun, dan penurunan ukuran otak saat usia 15 hingga pertengahan usia dewasa (Green dkk., 2015).
Menurut Mudjito dkk., (2014) bahwa faktor penyebab gangguan perkembangan autis adalah multifaktorial sehingga banyak faktor yang memengaruhi. Pendapat mereka tentang faktor penyebab secara umum adalah sebagai berikut:
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
31
1. Faktor genetika; menurut National Institute of Health (2015), keluarga yang memiliki satu anak yang memiliki gangguan spek trum autis akan memiliki peluang 120 kali lebih besar untuk me lahirkan anak yang juga memiliki gangguan autis. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada anak kembar, ditemukan hasil bahwa anak kembarannya kemungkinan besar juga mengalami gangguan spektrum autis.
2. Gangguan pada sistem saraf; beberapa penelitian konsisten me la porkan bahwa anak dengan gangguan spektrum autis memi li ki kelainan pada hampir semua struktur otak, tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye pada otak kecil anak autis. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertum buhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati. Otak ke cil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem lim bik yang mengatur emosi dan perilaku. Ketidakseimbangan neu rotransmiter, seperti dopamin dan serotonin di otak juga dihubungkan dengan munculnya gangguan perkembangan ini.
3. Ketidakseimbangan kimiawi; gangguan spektrum autis sering dihubungkan dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang me nurunkan persepsi nyeri dan motivasi. Penggunaan pestisida yang tinggi sering kali juga dibahas sebagai salah satu penyebab terjadinya autis. Hasil pestisida dapat mengganggu fungsi gen pada sistem saraf pusat.
4. Faktorfaktor lain; infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan sistem saraf. Faktor lain adalah usia ibu saat memiliki anak. Semakin tua usia orang tua saat memiliki anak, maka semakin tinggi risiko anak men derita autis. Beberapa ahli yang lain juga meninjau faktor pe nye bab dari sisi faktor risiko. Faktor risiko ini disusun oleh pa ra ahli berdasarkan banyak teori penyebab autis yang telah ber kem bang. Terdapat beberapa hal dan keadaan yang membuat ri si ko anak mengalami gejala autis semakin lebih besar. Dengan diketahui risiko tersebut tentunya dapat dilakukan tindakan un tuk mencegah dan melakukan intervensi sejak dini pada anak yang berisiko. Adapun beberapa risiko tersebut dapat
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
32
dikelompokkan dalam beberapa periode, seperti periode kehamilan, persalinan dan periode usia bayi.
2. AttentionDeficitHyperactivityDisorder(ADHD)Attention Deficit Hyperactivity Disorder atau yang biasa dikenal dengan
sebutan ADHD merupakan gangguan aktivitas dan perhatian (gangguan hiperkinetik) adalah suatu gangguan psikiatrik yang cukup banyak ditemukan dengan gejala utama inatensi, hiperaktivitas, dan impulsivitas yang tidak konsisten dengan tingkat perkembangan anak, remaja, atau orang dewasa. Biasanya pada waktu anak ADHD men ca pai remaja atau dewasa, gejala hiperaktivitas dan impulsivitas cen de rung menurun meskipun gejala inatensinya kadangkadang masih tetap ada (Barkley, 1998).
Apa yang menjadi penyebab seorang anak mengalami ADHD? Seperti yang dikutip dalam bukunya James La Fanu (2006) yang sudah diterjemahkan dengan judul Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak, menjelaskan bahwa ADHD memiliki korelasi dengan susunan kimiawi dan fungsi otak. Beberapa riset fokus observasi pada bagian depan otak dan peran saraf pentransmisi (neurotransmitter), yaitu pada se nyawa kimia yang menyampaikan pesan dari satu bagian otak ke bagian lainnya. Kemunculan ADHD disebabkan oleh suatu gagguan dalam mentransmisikan pesanpesan ke otak. Antara bagian otak satu dengan bagian lainnya dihubungkan oleh kontrol motor. Kontrol motor itulah yang berfungsi untuk mengukur konsekuensikonsekuensi atas suatu tindakan sebelum bertindak, dan untuk memutuskan situasi lingkungan seperti apa yang yang harus diperhatikan dan mana yang harus diabaikan, dan seterusnya. Informasi memang selalu sampai ke otak, tetapi bila tidak didistribusikan kepada bagianbagian otak yang mengontrol gerakan dan tidak bisa menyaring informasi yang tidak diinginkan, maka hasilnya adalah terlalu banyak gerak tubuh yang tidak perlu dilakukan, tindakan impulsif dan terusik secara terusmenerus.
Bagi para orang tua dan para pemerhati anak dengan gangguan perkembangan saraf, terdapat gambaran lima langkah untuk menge nali anak dapat terindikasi mengalami ADHD. Untuk dapat mengenal anak ADHD maka dapat dikenali gejalagejala yang tampak, seperti yang dikutip dalam buku Flanagen (2005) dengan, judul ADHD Kids, Menjadi Pendamping Bijak bagi Anak Penderita ADHD, menjelas kan terdapat lima lang kah yang dapat diaplikasikan dalam mengenal gejalagejala anak ADHD, yakni: mengenali gejalagejalanya, menen tukan kapan gejala terse but pertama muncul, menentukan di mana gejalagejala tersebut
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
33
ter jadi, menilai tingkat keparahan gejalagejala tersebut, kesampingkan diang nosis yang mungkin lainnya.
Langkah pertama, yakni terdapat dua daftar gejala: Pertama, un tuk problem yang berhubungan dengan perhatian; Kedua, untuk hi peraktivitas dan sikap menurutkan kata hati (impulsiveness). Apabila anak menampakkan enam atau lebih gejalagejala tersebut dari salah satu atau dua daftar tersebut, dan bila gejalagejala ini sering tampak (tidak hanya terkadang) dan terus bertahan selama paling tidak enam bulan, maka anak dicurigai mengalami ADHD.
Gejalagejala dari kurangnya perhatian:1. Anak tidak dapat memusatkan perhatian pada detaildetail atau me
lakukan kesalahankesalahan yang ceroboh dalam pekerjaan sekola atau dalam aktivitasaktivitas lainnya.
2. Anak mengalami kesulitan dalam mempertahankan perhatian pa da tugastugas atau kegiatan bermain.
3. Anak tampak tidak mendengarkan ketika diajak berbicara secara langsung.
4. Anak tidak mengikuti instruksi dan tidak dapat menyelesaikan pekerjaan sekolah atau tugastugas (tetapi bukan karena tidak mampu memahami instruksi atau karena kenakalan yang dise ngaja).
5. Anak mengalami kesulitan mengorganisasi tugas dan kegiatan.6. Anak menghindari, tidak menyukai atau enggan untuk terlibat dalam
tugastugas yang membutuhkan usaha mental yang terusmenerus seper ti pekerjaan rumah.
7. Anak sering kehilangan barangbarang, seperti: mainan, tugas sekolah, pensil, buku, peralatan, pakaian.
8. Anak mudah terganggu oleh kebisingan, gerakangerakan atau rangsangan lain.
9. Anak mudah lupa.
Gejalagejala dari hiperaktivitas dan sikap kurang memperhatikan (impulsiveness):1. Anak suka memainkan tangan atau kaki atau menggeliatgeliat di
tempat duduknya.2. Anak meninggalkan tempat duduk di kelas atau meninggalkan meja
makan kapan pun saat ia diharuskan duduk tenang.3. Anak suka berjalanjalan atau memanjat dalam situasi di mana
perilaku ini tidak tepat.4. Anak mengalami kesulitan untuk bermain dengan tenang.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
34
5. Anak terusmenerus “sibuk” atau berlaku seakanakan “digerakkan oleh tenaga motor”.
6. Anak berbicara tanpa henti.7. Anak menjawab pertanyaan tanpa berpikir sebelum pertanyaan
tersebut selesai.8. Anak mengalami kesulitan untuk menunggu giliran dalam per mainan
atau dalam kegiatan yang terstruktur lainnya.9. Anak mengganggu orang lain (mengganggu pembicaraan atau per
mainan).
Langkah kedua, menentukan kapan gejala tersebut pertama mun cul.Bila gejalagejala tersebut muncul sebelum aak berusia sebelas tahun,
maka ADHD mungkin terjadi.Langkah ketiga, menentukan di mana gejalagejala tersebut ter jadi.Apakah perilaku anak menjadi masalah hanya ketika ia berada di
sekolah atau apakah juga menjadi masalah saat ia berada di rumah? Bila si anak mempunyai problem perilaku alam dua setting atau lebih, maka ADHD mungkin bisa terjadi.
Langkah keempat, menilai tingkat keparahan gejalagejala terse but.Apakah perilaku anak sematamata hanya mengganggu, atau kah
menyebabkan problem yang nyata bagi anak ketika di sekolah atau dalam situasi sosial? Sebelum orang tua membuat diagnosis atas benarbenar menghalangi kemampuan anak untuk melakukan fungsi nya di sekolah atau di rumah.
Langkah kelima, kesampingkan diagnose yang mungkin lainnya.Hal yang penting adalah memastikan bahwa problem perilaku tersebut
bukanlah akibat dari problem atau kelalaian lainnya, seperti keterlambatan perkembangan secara global atau problemproblem psikiatrik (Flanagen, 2002).
Kesulitan orang tua dalam merawat anak ADHD menjadi kajian penelitian yang terus diminati untuk diteliti, bagaimana kondisi psi kologis orang tua dan cara interaksi positif yang bisa dilakukan ter ha dap anak, seperti beberapa penelitian berikut ini: 1) Penelitian de ngan tujuan untuk menggali strategi koping orang tua yang me mi liki anak ADHD oleh Saraswati (2011). Hasil penelitiannya mem buk tikan terdapat empat tema yang muncul, yakni: gangguan pe mu satan perhatian pada anak, hambatan dan tantangan orang tua da lam mengasuh anak, faktor pendukung dan keberhasilan orang tua dalam mengasuh anak hiperaktif; 2) Penelitian dengan tujuan untuk menurunkan stres pengasuhan orang tua dalam
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
35
merawat anak ADHD juga telah dilakukan dengan kajian intervensi oleh Syanti dan Han dadari (2016). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa intrevensi behavioral parent training secara signifikan mampu menurunkan stres pengasuhan, hal ini menunjukkan bahwa konten intre vensi be ha-vioral parent training yang menitikberatkan pada pening katan ke mampuan ibu dalam mengelola stres dan peningkatan sumber daya, kompetensi ibu dalam menghadapi anak dan peningkatan persep si ibu terhadap kemampuannya terbukti efektif; 3) Pengalaman ibu yang memiliki anak ADHD juga telah diteliti oleh Siburian dan Ka hija (2014). Hasil penelitiannya membuktikan ibu mengalami fluk tuasi emosional yang disebabkan oleh kondisi stress selama penye suaian diri terhadap respons sosial, tema yang ditemukan adalah upa ya penanganan profesional, pemahaman karakteristik hiperaktif, fluktuasi emosional, penyesuaian terhadap respons sosial.
3. Intellectualdisability(ID)Intellectual disability (ID) adalah gangguan dengan onset selama periode
perkembangan yang mencakup defisit pada fungsi intelektual dan adaptif dalam domain konseptual, sosial, dan praktikal (Ameri can Psychiatric Association, 2013). Defisit pada fungsi intelektual ini dibuktikan dengan hasil skor IQ dari tes kecerdasan terstandar yang berada dibawah angka 70 (American Psychiatric Association, 2013), se dangkan defisit pada fungsi adaptif dapat terlihat dari keseharian anak dalam melakukan aktivitas sehari hari, baik dalam aspek belajar, interaksi dengan lingkungan, dan dalam mengurus diri sendiri, atau biasa disebut dengan keterampilan bina diri.
Keterbatasan fungsi anak ID mencakup keterbatasan fungsi in telektual, mencakup: penalaran, pemecahan masalah, perencanaan, berpikir abstrak, penilaian, pembelajaran akademis, dan belajar dari pengalaman. Sedangkan keterbatasan fungsi adaptif meliputi area konseptual, sosial, dan praktis baik di rumah maupun di lingkungan masyarakat. Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder V (DSM 5) membagi gangguan intellectual disability berda sarkan dengan tingkat keparahan dalam fungsi kemampuan adaptif yang berada pada rentang tingkatan mild hingga profound (American Psychiatric Association, 2013).
Keterampilan bina diri yang sebaiknya dapat dilakukan bagi anakanak dengan intellectual disability seperti kemandirian untuk dirinya sendirinya, meliputi: makan dan minum, berpakaian, kebersihan badan, komunikasi, dan keterampilan sederhana. Menurut Ardic dan Cavkaytar
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
36
(2014) menjelaskan keterampilan bina diri ini merupaan faktor penting karena berkaitan dengan penguasaan keterampilan bi na diri adalah tahapan pertama dari proses pencapaian kemandirian individu dan keterampilan tersebut akan terus digunakan sepanjang usia anak. Berkaitan dengan keterampilan diri, maka ada baikya in tervensi yang diberikan pada anakanak ini sebaikya merupakan in ter vensi yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan seharihari di rumah maupun di lingkungan masyarakat.
Beberapa penelitian tentang modifikasi perilaku merupakan sa lah satu cara yang bertujuan untuk meningkatkan perilaku adaptif anak ID dan menurunkan perilaku maladaptifnya. Swapna dan Su dhir (2016) mengungkapkan terdapat beberapa teknik yang digu na kan dalam program modifikasi perilaku, seperti: positive dan negative reinforcement, differential re-inforcement, extinction, prompting, response cost, time out.
Penelitian yang ditujukan pada anak intellectual disability ber variasi dari penelitian yang ditujukan khusus pada anakanak ID ju ga banyak penelitian yang ditujukan pada pengasuhan orang tua. Harapannya dengan semakin banyak peminat para peneliti dalam meng kaji pengasuhan bagi anakanak ID dalam menumbuhkan ke percayaan diri anak, mendapatkan dukungan penuh dari orang tua nya agar perkembangannya lebih baik dari sebelumnya, terutama pada kemampuannya untuk bina diri, di antaranya: 1) Penelitian de ngan tujuan untuk mengeksplorasi dan menggambarkan secara men dalam problematika yang dihadapi oleh keluarga dari anak dengan intellectual disability oleh Lidanial (2014). Hasil penelitiannya mem buktikan bahwa mayoritas keluarga memiliki persepsi yang salah ter hadap anak ID, yang berawal dari pengetahuan orang tua yang sangat terbatas tentang ID dan berujung pada intervensi yang salah, semua keluarga masih berada dalam proses menuju penerimaan, ke hadiran anak ID di tengahtengah keluarga memunculkan berbagai dampak negatif dan positif, baik secara personal, secara interpersonal dalam satu keluarga, maupun secara interaksional keluarga dengan lingkungan sekitar, mayoritas keluarga berharap anak mengalami ke sembuhan atau men jadi normal; 2) Penelitian dengan tujuan untuk mengeksplorasi fungsi keluarga yang memiliki anak ID oleh Wulan dari dan Ranimpi (2018). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa orang tua yang telah menerima keberadaan anak akan memberikan perhatian, membangun hubungan dan kemampuan sosioemosional anak, mengajarkan anak bersosialisasi,
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
37
memenuhi kebutuhan ekono mi keluarga secara efektif, dan memenuhi kebutuhan anak ID, serta perawatan kesehatan keluarga; 3) Penelitian dengan tujuan untuk menguji peran parenting self-efficacy dan optimism terhadap kondi si kesejahteraan psikologis ibu yang memiliki anak ID oleh Pasyola (2018). Hasilnya membuktikan bahwa variabel parenting self efficacy dan optimisme secara bersamaan menyumbangkan peranan sebesar 54% dalam memunculkan kesejahteraan psikologis ibu.
B. PENELITIAN TENTANG PENGASUHAN ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN SPEKTRUM AUTISSemakin meningkatnya jumlah anak dengan gangguan perkembang
an saraf (dalam hal ini anak dengan gangguan spektrum autis), maka diperlukan pengasuhan optimal orang tua dalam mengupayakan tumbuh kembang anak. Diperlukannya kerja sama antara ayah dan ibu dengan tujuan yang sama yakni mengoptimalkan tumbuh kembang anak. Peneli ti an terkait kondisi psikologis orang tua yang memiliki anak dengan ganggu an spektrum autis merupakan salah satu topik penelitian yang banyak dikaji saat sekarang ini. Bagaimana fenomena munculnya penelitian terkait anakanak dengan gangguan spektrum autis? Seperti yang dikutip dalam Daulay (2019), pada awalnya pe nelitian ini dilakukan oleh Holroyd dan McArthur pada tahun 1976. Holroyd dan McArthur, (1976) mencoba membandingkan ibu yang memiliki anak autis dengan ibu yang memiliki anak mental retardasi. Hasil penelitian menemukan bahwa ibu yang memiliki anak autis lebih mengalami masalah dalam keberfungsian keluarga dan lebih merasa malu serta kesulitan membawa anak ke tempat umum dibandingkan ibu dengan anak mental retardasi. Penelitian yang serupa juga dila kukan untuk mengetahui pengalaman ibu dalam mengasuh anak au tis, seperti penelitian oleh (Bristol, 1984) membuktikan bahwa ibu yang memiliki anak autis lebih berisiko stres dan mengalami krisis keluarga, kemudian Bouma dan Schweitzer (1990) juga meneliti ibu yang memiliki anak autis lebih stres dibandingkan ibu yang memiliki anak cystic fibrosis dan ibu yang memiliki anak dengan perkembangan normal. Konstantareas dan Stewart (2006) juga menunjukkan bahwa ibu yang memiliki anak autis lebih mengalami stres dibandingkan ibu yang memiliki anak mental retardasi dan anak dengan kesulitan belajar. Selanjutnya penelitian yang serupa untuk mengkaji kondisi psikologis ibu yang memiliki anak autis terus dilakukan sampai se karang.
Di Indonesia sendiri, penelitian terkait dengan kesadaran akan anak
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
38
anak yang mengalami autis juga merupakan fenomena yang masih ha ngat diperbincangkan. Menurut Agus Haryanto (2012, di ku tip dalam Tuc ker, 2013) adalah seseorang yang telah bekerja di bidang pendidikan khusus di Jawa Tengah dan Jakarta, beliau ter masuk penggiat dalam menyosialisasikan autis di Indonesia, menje laskan bahwa sejarah kasus autis di Indonesia tampaknya muncul akhir tahun 1990an. Pada saat itu, orang tua dari anakanak yang mengalami gangguan perkembangan terlihat mengalami kesulitan ketika berinteraksi dengan anak, sebab masih minimnya tenaga pro fesional yang dapat membantu untuk memahami perilaku dan ka rakteristik anak autis. Kondisi anak autis masih dianggap sebagai aib keluarga dan hal ini harus disembunyikan, ditutupi, dan men ja di beban (dalam Daulay, 2019).
Kondisi yang ibu rasakan saat mengasuh anak dengan gangguan perkembangan kompleks ini seperti ibu menilai diri mereka sen diri sebagai seseorang yang pesimis, sering murung, lebih rentan ter hadap penyakit, sedikitnya memiliki waktu untuk diri sendiri, dan mengalami ketidakharmonisan keluarga (Holroyd & McArthur, 1976); ibu mengalami kesedihan atas besarnya biaya perawatan anak (DeM yer, 1979); ada perasaan cemas anaknya akan diterima atau dito lak dalam masyarakat (Bristol, 1984; Holroyd & McArthur, 1976); harapan yang tinggi terhadap anak sering kali berujung pada stres (Ogston, Mackintosh, & Myers, 2011); menilai perilaku anak sebagai sumber stres (Freeman, Perry, & Factor, 1991).
Risetriset sebelumnya terkait pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis lebih banyak menggunakan subjek penelitian pada seorang ibu. Alasannya karena ibu adalah sosok yang intens berinteraksi dengan anak, mempersiapkan pengasuhan seharihari untuk anak, sehingga dianggap sosok yang paling de kat dan memahami kebutuhan anak. Berdasarkan penelitian Daulay (2019) yang menggunakan ibuibu sebagai responden penelitiannya juga berdasarkan alasanalasan kuat, di antaranya: terkadang muncul pikiran dan perasaan ibu yang menyalahkan diri sendiri atas kondisi anaknya yang mengalami gangguan perkembangan, pada dua tahun pertama anak ibu mengaku kurang perhatian kepada anaknya dise babkan sibuk bekerja, dan ibu mengamati terdapat beberapa kejang galan dari tumbuh kembang anaknya.
Beberapa penelitian konsisten telah membuktikan bahwa orang tua yang memiliki anak autis lebih tinggi mengalami stres dalam mengasuh anaknya dibandingkan orang tua yang memiliki anak de ngan gangguan perkembangan lainnya, di antaranya oleh (Bristol, 1984; Zaidmanzait
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
39
dkk., 2017). Hal ini juga diperkuat dengan adanya kajian metaanalisis yang dilakukan Hayes dan Watson (2013) yang menyimpulkan bahwa terda pat stres pengasuhan yang tinggi pada orang tua yang memiliki anak autis dibandingkan orang tua yang me miliki anak dengan perkembangan normal maupun orang tua dari anak dengan gangguan perkembangan lainnya (dalam Daulay, 2019). Berbagai penelitian yang dilakukan untuk membuktikan peran orang tua dalam mengasuh anakanak dengan gangguan spektrum autis se perti yang termuat dalam Tabel 3.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
40
Tabe
l 3. P
ENEL
ITIAN
PENG
ASUH
AN O
RANG
TUA Y
ANG
MEMI
LIKI A
NAK D
ENGA
N GAN
GGUA
N SPE
KTRU
M AU
TIS D
I IND
ONES
IA (S
umbe
r: sk
ripsi,
tesis
, dise
rtasi
di Fa
kulta
s Psik
ologi
UGM
dan g
oogle
scho
lar.co
m)
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Dau
lay,
Nur
ussa
kina
h(D
iser
tasi
,20
19)
Mod
el s
tres
pe
ngas
uhan
pad
a ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is
Part
isip
an s
ejum
lah
267
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
ana
lisis
SEM
. Va
riabe
l : d
ukun
gan
sosi
al,
keta
nggu
han,
per
ilaku
m
alad
aptif
ana
k, s
ense
of
com
pete
nce
peng
asuh
an, d
an
stre
s pe
ngas
uhan
.
Terd
apat
pen
garu
h tid
ak la
ngsu
ng k
etan
gguh
an d
an d
ukun
gan
sosi
al
terh
adap
str
es p
enga
suha
n m
elal
ui se
nse
of c
ompe
tenc
e pe
ngas
uhan
; Te
rdap
at p
enga
ruh
lang
sung
per
ilaku
mal
adap
tif a
nak
terh
adap
str
es
peng
asuh
an; V
aria
bel s
ense
of c
ompe
tenc
e pe
ngas
uhan
terb
ukti
seba
gai
varia
bel m
edia
tor.
Setia
p in
divi
du m
emili
ki fa
ktor
pro
tekt
if (d
ukun
gan
sosi
al,
keta
nggu
han,
sens
e of
com
pete
nce)
dan
fakt
or ri
siko
(per
ilaku
m
alad
aptif
ana
k) d
alam
mem
enga
ruhi
kem
uncu
lan
stre
s pe
ngas
uhan
.
Dau
lay,
Nur
ussa
ki-
nah
(Jurn
al,
2018
)
Det
erm
inan
t of
pare
ntin
g st
ress
in
Indo
nesi
an m
othe
r of
chi
ldre
n w
ith
spec
ial n
eeds
Tota
l par
tisip
an 2
52
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak b
erke
butu
han
(97
men
tal r
etar
dasi
; 46
tuna
rung
u; 4
8 do
wn
synd
rom
e; 6
3 au
tis)
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
ana
lisis
SEM
. Va
riabe
l : d
ukun
gan
sosi
al,
keta
nggu
han,
per
ilaku
m
alad
aptif
ana
k, s
ense
of
com
pete
nce
peng
asuh
an, d
an
stre
s pe
ngas
uhan
Terd
apat
pen
garu
h tid
ak la
ngsu
ng k
etan
gguh
an te
rhad
ap s
tres
pe
ngas
uhan
mel
alui
sens
e of
com
pete
nce
peng
asuh
an; T
erda
pat
peng
aruh
lang
sung
duk
unga
n so
sial
dan
per
ilaku
mal
adap
tif a
nak
terh
adap
str
es p
enga
suha
n.Ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
mem
iliki
str
es p
enga
suha
n le
bih
tingg
i di
band
ingk
an ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
berk
ebut
uhan
khu
sus
lain
nya
(men
tal r
etar
dasi
, dow
n sy
ndro
me,
dan
tuna
rung
u).
Dau
lay,
Nur
ussa
ki-
nah
(Jurn
al,
2018
)
Pros
es m
enja
di
tang
guh
bagi
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
Resp
onde
n pe
nelit
ian
seba
nyak
lim
a ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
di Y
ogya
kart
a
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an fe
nom
enol
ogi.
Has
il pe
nelit
ian
ini m
enem
ukan
ena
m te
ma
peng
alam
an ib
u ya
ng
men
jadi
kan
mer
eka
tang
guh
dala
m m
enga
suh
anak
den
gan
gang
guan
sp
ektr
um a
utis
, yai
tu: 1
) kon
disi
sul
it, m
enek
an, d
an b
erta
han;
2)
duku
ngan
sos
ial;
3) p
enge
tahu
an d
an in
form
asi t
erka
it an
ak d
enga
n ga
nggu
an s
pekt
rum
aut
is; 4
) kop
ing
relig
ius;
5) k
eber
mak
naan
hid
up
oran
g tu
a an
ak is
timew
a; 6
) opt
imis
. Sum
ber d
aya
pene
ntu
bera
sal b
aik
dari
inte
rnal
yai
tu k
emam
puan
men
gont
rol d
iri, k
eyak
inan
, dan
kop
ing
relig
ius,
mau
pun
ekst
erna
l yai
tu d
ukun
gan
sosi
al, m
erup
akan
fakt
or
utam
a ya
ng m
emen
garu
hi ib
u un
tuk
teta
p be
rtah
an m
enga
suh
anak
.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
41
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Dau
lay,
Nur
ussa
ki-
nah
(Pro
sidi
ng,
2018
)
Pare
ntin
g st
ress
of
mot
hers
in c
hild
ren
with
aut
ism
sp
ectr
um d
isor
der:
A re
view
of t
he
cultu
re in
Indo
nesi
a.
Ibu-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
den
gan
buda
ya y
ang
berb
eda,
ya
itu b
uday
a Ba
tak
dan
buda
ya Ja
wa
Kajia
n lit
erat
ur d
ari b
eber
apa
sum
ber r
efer
ensi
(mis
alny
a bu
ku, j
urna
l, pr
osid
ing)
te
rkai
t pen
gala
man
ibu
dala
m
men
gasu
h an
ak a
utis
.
Has
il: te
rdap
at p
erbe
daan
per
seps
i ibu
dal
am m
enga
suh
anak
aut
is.
Berd
asar
kan
sudu
t pan
dang
bud
aya
Bata
k, a
dany
a pe
ngar
uh d
alih
an
na to
lu (h
ula,
bor
u, d
onga
n sa
butu
ha) m
embu
at ib
u m
enja
di le
bih
kuat
men
gasu
h an
ak a
utis
. Ber
dasa
rkan
sud
ut p
anda
ng b
uday
a Ja
wa,
pe
rana
n ka
rakt
er n
arim
a in
g pa
ndum
mem
perc
epat
pro
ses
pene
rimaa
n ib
u ak
an k
ondi
si k
eter
bata
san
anak
.
Dau
lay,
Nur
ussa
ki-
nah
(Jurn
al,
2017
).
Gam
bara
n ke
tang
guha
n ib
u da
lam
men
gasu
h an
ak a
utis
.
Seba
nyak
58
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis d
i kot
a M
edan
. Pu
rpos
ive
sam
plin
g se
baga
i tek
nik
peng
ambi
lan
sam
pel
Met
ode
yang
dig
unak
an
adal
ah m
etod
e ku
antit
atif
desk
riptif
. Car
a pe
ngol
ahan
da
n an
alis
a da
ta s
tatis
tik
bers
ifat d
eskr
iptif
, art
inya
te
mua
n se
pert
i dat
a de
mog
rafi,
asp
ek k
etan
gguh
an
dan
data
tam
baha
n la
inny
a ak
an d
iana
lisa
beru
pa s
kor
min
imum
, sko
r mak
sim
um,
mea
n da
n st
anda
r dev
iasi
, ag
ar d
apat
men
ggam
bark
an
prof
il ke
tang
guha
n se
cara
ko
mpr
ehen
sif.
Dat
a di
ambi
l den
gan
men
ggun
akan
ala
t uku
r ber
upa
skal
a Ke
tang
guha
n (D
ispo
sitio
nal R
esili
ence
Sca
le/D
RS-1
5) y
ang
tela
h di
revi
si k
emba
li ol
eh B
arto
ne (1
995)
men
jadi
ver
si p
ende
k 15
aite
m d
an
terd
iri d
ari a
spek
-asp
ek k
etan
gguh
an y
aitu
kom
itmen
, kon
trol
dan
ta
ntan
gan.
Has
il pe
nelit
ian
men
unju
kkan
bah
wa
gam
bara
n ke
tang
guha
n pa
da ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
ber
ada
dala
m k
ateg
ori s
edan
g. D
itinj
au d
ari
aspe
k ke
tang
guha
n ya
ng d
ikem
ukak
an o
leh
Mad
di &
Kob
asha
(198
0),
dite
muk
an b
ahw
a as
pek
kom
itmen
mem
iliki
nila
i mea
n te
rtin
ggi,
kem
udia
n di
ikut
i den
gan
aspe
k ko
ntro
l dan
asp
ek ta
ntan
gan.
Impl
ikas
i pe
nelit
ian
ini s
ebag
ai d
ata
awal
unt
uk m
elih
at g
amba
ran
prof
il ke
tang
guha
n ib
u da
lam
men
gasu
h an
ak a
utis
di k
ota
Med
an.
Anan
tasa
r i,
M.L
. (D
iser
tasi
, 20
17)
Det
erm
inan
st
ress
-rel
ated
gr
owth
ibu
dari
anak
pen
yand
ang
autis
me:
Stu
di
kom
bina
si
Tota
l = 2
02 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
di Y
ogya
kart
a da
n Ba
li
Met
ode
kom
bina
si s
eque
ntia
l ex
plan
ator
y, d
enga
n m
engg
unak
an e
nam
ska
la
pene
litia
n. H
asil
anal
isis
m
engg
unak
an S
EM.
Stud
i per
tam
a : v
aria
bel d
ukun
gan
sosi
al, s
elf-
com
pasi
on,
keta
nggu
han,
dan
cop
ing
mm
enga
ruhi
SRG
seb
anya
k 68
%.
Stud
i ked
ua: d
enga
n te
knik
inte
rpre
tativ
e ph
enom
enol
ogy
anal
ysis
m
enem
ukan
tem
a ut
ama,
yai
tu a
utis
me
seba
gai s
ebua
h ta
ntan
gan,
pe
ntin
gnya
sum
ber d
aya,
usa
ha a
dala
h ku
nci p
erub
ahan
, keh
adira
n an
ak d
alam
per
spek
tif ib
u, p
ertu
mbu
han
diri,
per
tum
buha
n ke
luar
ga
dan
pem
anfa
atan
has
il pe
rtum
buha
n.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
42
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Muk
htar
,D
.(D
iser
tasi
,20
17).
Peng
aruh
gro
up-
base
d pa
rent
ing
supp
ort t
erha
dap
stre
s pe
gasu
han
oran
g tu
a ya
ng
men
gasu
h an
ak
deng
an g
angg
uan
spek
trum
aut
is
Part
isip
an =
38
oran
g tu
a. S
ubje
k di
kelo
mpo
kkan
se
cara
non
-ran
dom
ke
dal
am k
elom
pok
duku
ngan
ora
ng
tua,
kel
ompo
k ps
ikoe
duka
si,
kelo
mpo
k ko
ntro
l
Met
ode
eksp
erim
en d
enga
n ra
ncan
gan
the
untr
eate
d co
ntro
l gro
up d
esig
n w
ith
depe
nden
t pre
test
and
po
stte
st sa
mpl
es je
nis
mul
tiple
no
nequ
ival
ent c
ompa
rison
s gr
oup.
Pen
gum
pula
n da
ta:
skal
a st
res
peng
asuh
an d
an
skal
a du
kung
an s
osia
l.
Has
il m
anip
ulas
i cek
: pen
geta
huan
ora
ng ta
u te
ntan
g pe
ngas
uhan
ana
k au
tis m
enin
gkat
set
elah
em
ngik
uti g
roup
bas
ed p
aren
ting
supp
ort.
Has
il an
alis
is: a
da p
erbe
daan
pen
garu
h an
tara
ked
ua b
entu
k va
riasi
gr
oup
base
d pa
rent
ing
supp
ort.
Kelo
mpo
k du
kung
an o
rang
tua
(bes
ar p
enga
ruh
23,2
%) l
ebih
efe
ktif
untu
k m
enur
unka
n st
res
peng
aush
an d
iban
ding
kan
kelo
mpo
k ps
ikoe
duka
si (b
esar
pen
garu
h 6,
8%).
Perb
edaa
n in
i dis
ebab
kan
kare
na a
dany
a pe
rbed
aan
pros
es
di a
ntar
a ke
dua
kelo
mpo
k. P
ada
kelo
mpo
k du
kung
an o
rang
tua,
pr
oses
em
osio
nal,
sosi
al, k
ogni
tif d
an p
erila
ku d
iala
mi o
leh
oran
g tu
a,
seda
ngka
n ke
lom
pok
psik
oedu
kasi
, pro
ses
yang
dia
lam
i leb
ih b
anya
k be
rhub
unga
n de
ngan
kog
nitif
dan
per
ilaku
.
Suad
nyan
a,
M.A
. (S
krip
si,
2017
)
Hub
unga
n an
tara
duk
unga
n so
sial
den
gan
pert
umbu
han
terk
ait s
tres
pad
a ib
u da
ri an
ak a
utis
Tota
l seb
anya
k 65
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
di
Yog
yaka
rta
dan
Klat
en.
Met
ode:
ana
lisis
regr
esi
sede
rhan
a, m
engg
unak
an d
ua
skal
a, y
aitu
ska
la d
ukun
gan
sosi
al d
an s
kala
str
es.
T er
dapa
t hub
unga
n po
sitif
yan
g si
gnifi
kan
anta
ra d
ukun
gan
sosi
al d
an
pert
umbu
han
terk
ait s
res
(R2 =
0,5
51, F
= 7
7,46
6, p
<0,0
1); d
ukun
gan
sosi
al m
enje
lask
an 5
5,1%
dar
i kes
elur
uhan
det
erm
inan
per
tum
buha
n te
rkai
t str
es; t
erda
pat p
erbe
daan
per
tum
buha
n st
res
berd
asar
kan
perb
edaa
n la
tar b
elak
ang
ibu.
Cat
ur,
Nur
win
ta.
(Tes
is,
2017
)
Hub
unga
n an
tara
st
res
peng
asuh
an
dan
pene
rimaa
n or
ang
tua
terh
adap
ku
alita
s hi
dup
pada
ib
u de
ngan
ana
k ga
nggu
an s
pekt
rum
au
tis
Seba
nyak
74 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
id d
enga
n ra
ncan
gan
kore
lasi
onal
.Al
at u
kur:
skal
a st
res
peng
asuh
an, s
kala
pen
erim
aan
oran
g tu
a, s
kala
kua
litas
hid
up)
Terd
apat
hub
unga
n ya
ng s
igni
fikan
ant
ara
stre
s pe
ngas
uhan
dan
pe
nerim
aan
oran
g tu
a de
ngan
kua
litas
hid
up ib
u (R
2 =
0,29
3; F
= 14
,739
; p
= 0,
00; p
< 0
,05)
. Str
es p
enga
suha
n da
n pe
nerim
aan
oran
g tu
a m
enyu
mba
ng s
ebes
ar 2
9,3%
terh
adap
kua
litas
hid
up ib
u.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
43
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Cat
ur,
Nur
win
ta.
(Tes
is,
2017
)
Hub
unga
n an
tara
st
res
peng
asuh
an
dan
pene
rimaa
n or
ang
tua
terh
adap
ku
alita
s hi
dup
pada
ib
u de
ngan
ana
k ga
nggu
an s
pekt
rum
au
tis
Seba
nyak
74 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
id d
enga
n ra
ncan
gan
kore
lasi
onal
.Al
at u
kur:
skal
a st
res
peng
asuh
an, s
kala
pen
erim
aan
oran
g tu
a, s
kala
kua
litas
hid
up)
Terd
apat
hub
unga
n ya
ng s
igni
fikan
ant
ara
stre
s pe
ngas
uhan
dan
pe
nerim
aan
oran
g tu
a de
ngan
kua
litas
hid
up ib
u (R
2 =
0,29
3; F
= 14
,739
; p
= 0,
00; p
< 0
,05)
. Str
es p
enga
suha
n da
n pe
nerim
aan
oran
g tu
a m
enyu
mba
ng s
ebes
ar 2
9,3%
terh
adap
kua
litas
hid
up ib
u.
Sant
oso,
Budi
(Jurn
al,
2015
)
Resil
ienc
e in
dai
ly
occu
patio
ns o
f In
done
sian
mot
her o
fch
ildre
n w
ith a
utism
sp
ectr
um d
isord
er
Seju
mla
h 14
ora
ng
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
Met
ode
kual
itatif
den
gan
peng
ambi
lan
data
waw
anca
ra
dan
obse
rvas
i
Terd
apat
seb
uah
mod
el re
silie
nsi p
ara
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
dala
m m
elak
sana
kan
peke
rjaan
nya
seha
ri-ha
ri. T
ema
yang
did
apat
i te
rbag
i 4 k
ateg
ori,
1) m
embu
at d
an m
ener
ima
kond
isi y
ang
suda
h ad
a; 2
)men
cari
solu
si; 3
) ber
juan
g un
tuk
kese
imba
ngan
dal
am
mel
aksa
naka
n pe
kerja
an/a
ktiv
itas
seha
ri-ha
ri; 4
) mem
ikirk
an m
asa
depa
n an
ak. S
umbe
r res
ilien
si d
item
ukan
ber
asal
dar
i diri
ibu
send
iri
dan
lingk
unga
nnya
.
Ratn
ani,
Inda
h Pu
ji (T
esis
, 20
14)
Hub
unga
n ke
cerd
asan
as
vers
itas
dan
duku
ngan
pas
anga
n de
ngan
str
es
peng
asuh
an p
ada
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
seju
mla
h 42
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis d
i Pek
anba
ru
Pene
litia
n ku
antit
atif
beru
pa
surv
ei.
Anal
isis
: reg
resi
ber
gand
a Al
at u
kur:
skal
a st
res
peng
asuh
an,s
kala
kec
erda
san
adve
rsita
s,sk
ala
duku
ngan
.
Terd
apat
hub
unga
n an
tara
kec
erda
san
adve
rsita
s da
n du
kung
an
pasa
ngan
den
gan
stre
s pe
ngas
uhan
(F=2
2,67
6; p
>0,0
1). S
umba
ngan
ef
ektif
var
iabe
l kec
erda
san
adve
rsita
s te
rhad
ap s
tres
pen
gasu
han
sebe
sar 5
6,6%
. Sum
bang
an b
ersa
ma
kece
rdas
an a
dver
sita
s da
n du
kung
an p
asan
gan
terh
adap
str
es p
enga
suha
n se
besa
r 53,
8%.
Tuck
er,
A.C
(Dis
erta
si,
2013
)
Inte
rpre
ting
and
trea
ting
autis
m in
Ja
vane
se In
doen
sia
Seju
mla
h m
asya
raka
t di
Jaw
aM
etod
e ku
alita
tif d
enga
n pe
ndek
atan
etn
ogra
fi.Si
kap
mas
yara
kat J
awa
terh
adap
indi
vidu
aut
is d
ipen
garu
hi o
leh
: 1)
kepr
ibad
ian
dan
stat
us s
osia
l eko
nom
i mas
yara
kat;
2) m
enge
nalk
an
kons
ep a
utis
di m
asya
raka
t Jaw
a ag
ar ti
dak
mem
iliki
stig
ma
nega
tif; 3
) m
enge
nalk
an k
e m
asya
raka
t ten
tang
ciri
-ciri
aut
is d
an p
erila
ku y
ang
dita
mpi
lkan
mer
eka.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
44
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Nug
roho
,A.
A.(Ju
rnal
,20
13)
Hub
unga
n an
tara
pe
nerim
aan
diri
dan
duku
ngan
sos
ial
deng
an s
tres
pad
a ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is d
i SLB
Au
tis S
urak
arta
Part
isip
an s
ejum
lah
68 o
rang
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
an
alis
is re
gres
i ber
gand
a da
n an
alis
is k
orel
asi p
arsi
al.
Terd
apat
hub
unga
n ya
ng s
igni
fikan
ant
ara
pene
rimaa
n di
ri de
ngan
st
res
ibu
(r=-
0,33
8), d
an h
ubun
gan
duku
ngan
sos
ial d
enga
n st
res
(r=-
0,
354)
.
Har
ta, W
.(T
esis
, 20
15)
Gam
bara
n so
urce
of
par
entin
g se
lf-ef
ficac
y pa
da ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
.
Part
isip
an s
ejum
l-ah
3 o
rang
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kual
itatif
den
gan
peng
ambi
lan
data
obs
erva
si
dan
waw
anca
ra m
enda
lam
.
Pene
litia
n m
enun
jukk
an b
ahw
a pe
ntin
gnya
ibu
mem
iliki
self-
effic
acy
dala
m m
enga
suh
anak
aut
is
Susi
low
ati,
A. (S
krip
si,
2007
)
Hub
unga
n an
tara
du
kung
an s
osia
l dan
tin
gkat
str
es d
ari
anak
aut
is
Part
isip
an s
ejum
lah
50 o
rang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
an
alis
is k
orel
asi p
ears
on
prod
uct m
omen
t.
Terd
apat
hub
unga
n ne
gatif
ant
ara
duku
ngan
sos
ial d
an ti
ngka
t str
es
oran
g tu
a (r
=-0,
607)
.
Fitr
iani
, A.,
& A
mba
-rin
i, T.
K.
(Jurn
al,
203)
.
Hub
unga
n an
tara
ha
rdin
ess
deng
an
peng
asuh
an p
ada
ibu
deng
an a
nak
autis
ting
kat s
tres
Part
isip
an ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is T
ekni
k pe
ngam
bila
n sa
mpe
l: pu
rpos
ive
sam
plin
g
Met
ode
kuan
titat
if, d
enga
n te
knik
kor
elas
i. Pe
ngum
pula
n da
ta d
enga
n ku
esio
ner.
Inst
rum
en: s
kala
har
dine
ss d
an
skal
a pa
rent
ing
stre
ss in
dex.
Terd
apat
hub
unga
n ne
gatif
ant
ara
hard
ines
s de
ngan
ting
kat s
tres
pe
ngas
uhan
pad
a ib
u de
ngan
ana
k au
tis (r
=-0,
789)
.
Sito
rus,
M. (
Skrip
si,
2016
)
Gam
bara
n st
res
pada
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
.
Part
isip
an s
ejum
lah
40 ib
u-ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis d
i M
edan
Met
ode
kuan
titat
if de
skrip
tif.
Dat
a ya
ng d
iola
h ya
itu s
kor
min
imum
, sko
r mak
sim
um,
mea
n da
n st
anda
r dev
iasi
Gam
bara
n st
res
pada
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis p
alin
g tin
ggi p
ada
aspe
k em
osi,
lalu
diik
uti d
enga
n as
pek
kogn
isi d
an p
erila
ku s
osia
l.
Sa’d
iyah
(P
rosi
ding
, 20
16)
Gam
bara
n ps
ycho
logi
cal
wel
l-be
ing
dan
stre
s pe
ngas
uhan
ibu
deng
an a
nak
autis
.
Part
isip
an s
ejum
lah
3 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is
Met
ode
kual
itatif
den
gan
peng
umpu
lan
data
obs
erva
si,
waw
anca
ra d
an d
okum
enta
si.
Seca
ra k
ualit
atif,
mes
kipu
n ib
u m
enga
lam
i str
es, n
amun
ibu
teta
p m
ampu
men
erim
a di
rinya
sel
ama
men
gasu
h an
akny
a ya
ng m
enga
lam
i ga
nggu
an p
erke
mba
ngan
aut
is
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
45
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Hid
ayat
i,Fi
na(Ju
rnal
,20
13)
Peng
aruh
pel
atih
an
“pen
gasu
han
ibu
cerd
as” t
erha
dap
stre
s pe
ngas
uhan
pa
da ib
u da
ri an
ak
autis
Tota
l par
tisip
an 2
0 or
ang
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
, te
rbag
i ke
dala
m
kelo
mpo
k ek
sper
imen
(1
0) d
an k
elom
pok
kont
rol (
10).
Pene
litia
n ek
sper
imen
yan
g di
guna
kan
the
untr
eate
d co
ntro
l gro
up d
esig
n w
ith
pret
est a
nd p
ostt
est.
Sete
lah
dila
kuka
n an
alis
is d
enga
n m
engg
unak
an W
ilcox
on s
igne
d ra
nk
(non
par
amet
rik),
men
unju
kkan
has
il ba
hwa
pela
tihan
“Pe
ngas
uhan
Ibu
CER
daS”
men
urun
kan
tingk
at s
tres
pen
gasu
han
ibu
dari
anak
aut
is.
Ism
ail,
Amal
ia(S
krip
si,
2008
)
Hub
unga
n du
kung
an s
osia
l de
gan
pene
rimaa
n di
ri Ib
u te
rhad
ap
anak
nya
yang
m
enga
lam
i ga
nggu
an a
utis
Part
isip
an a
dala
h ib
u-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
an
alis
is k
orel
asi p
ears
on
prod
uct m
omen
t.
Terd
apat
hub
unga
n po
sitif
ant
ara
duku
ngan
sos
ial d
enga
n pe
nerim
aan
diri
ibu
(r =
), a
rtin
ya s
emak
in ib
u m
enda
patk
an d
ukun
gan
mak
a se
mak
in ib
u m
ampu
men
erim
a ko
ndis
i ana
k au
tis.
Putr
i,M
ikha
Setia
na(S
krip
si,
2011
)
Din
amik
a ke
cem
asan
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
ya
ng s
edan
g pu
ber
Part
isip
an a
dala
h ib
u-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
Met
ode
kual
itatif
den
gan
peng
ambi
lan
data
obs
erva
si
dan
waw
anca
ra m
enda
lam
.
Ibu
sem
akin
cem
as d
enga
n be
ram
bahn
ya u
sia
anak
mak
a an
ak a
kan
men
gala
mi m
asa
pube
r, se
dang
kan
anak
aut
is m
emili
ki k
eman
diria
n ya
ng re
ndah
dan
bel
um m
ampu
unt
uk m
eraw
at d
iri.
Wib
awa,
Alvi
dziu
sG
usti
(Skr
ipsi
,20
14)
Hub
unga
n du
kung
an s
osia
l ke
luar
ga d
enga
n pe
nerim
aan
diri
ibu
anak
aut
is d
i SD
LB-B
dan
aut
is
TPA
Jem
ber
Seju
mla
h 22
pa
rtis
ipan
ibu
dari
anak
aut
is
Met
ode
obse
rvas
iona
l ana
litik
de
ngan
pen
deka
tan
cros
s se
ctio
nal.
Pera
nan
duku
ngan
sos
ial d
an p
ener
imaa
n di
ri ib
u se
bany
ak 5
7,9%
. H
asil
uji s
tatis
tik c
hisq
uare
did
apat
kan
p va
lue
(0,0
24) <
a (0
,05)
m
enun
jukk
an b
ahw
a ad
a hu
bung
an a
ntar
a du
kung
an s
osia
l kel
uarg
a de
ngan
pen
erim
aan
diri
ibu
anak
aut
is.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
46
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Lubi
s,M
isba
hU
smar
(Skr
ipsi
,20
09)
Peny
esua
ian
diri
oran
g tu
a ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis
Seju
mla
h 39
pa
rtis
ipan
ora
ng tu
a da
ri an
ak a
utis
Met
ode
desk
riptif
kua
ntita
tif,
deng
an te
knik
pen
gam
bila
n sa
mpe
l clu
ster
rand
om
sam
plin
g. A
lat u
kur:
skal
a pe
nyes
uaia
n di
ri (S
chne
ider
s,
1964
)
Peny
esua
ian
diri
20 o
rang
tua
pada
kat
egor
i tin
ggi (
51,3
%) d
an
seba
nyak
19 o
rang
tua
bera
da p
ada
kate
gori
seda
ng (4
8,7%
).
Karn
ing-
tyas
, Mar
ia
angg
ita
(Jurn
al,
2014
)
Pola
kom
unik
asi
inte
rper
sona
l ana
k au
tis d
i sek
olah
au
tis fa
jar n
ugra
ha
Yogy
akar
ta
Part
isip
an p
ada
seju
mla
h pe
ngaj
ar
dan
oran
g te
rdek
at
anak
aut
is
Met
ode
kual
itatif
fe
nom
enol
ogi d
enga
n pe
ngam
bila
n da
ta o
bser
vasi
da
n w
awan
cara
Pola
kom
unik
asi i
nter
pers
onal
pad
a an
ak a
utis
saa
t ber
kom
unik
asi d
an
berin
tera
ksi h
arus
mel
ihat
kon
disi
sua
sana
hat
i yan
g ba
ik p
ada
anak
, de
mik
ian
juga
kom
unik
asi d
ua a
rah
terja
di ji
ka s
udah
ada
sua
sana
hat
i ya
ng n
yam
an p
ada
anak
, ter
dapa
t kon
tak
mat
a. K
omun
ikas
i bah
asa
nonv
erba
l den
gan
jerit
an, g
eraj
an ta
ngan
, dan
ger
akan
tubu
h.
Ekaw
ati,
Yean
ny(Ju
rnal
,20
12)
Perk
emba
ngan
in
tera
ksi s
osia
l ana
k au
tis d
i sek
olah
in
klus
i: D
itinj
au d
ari
pers
pekt
if ib
u
Ibu
(seb
agai
in
form
an) y
ang
mem
iliki
ana
k au
tis
deng
an p
enga
mbi
lan
sam
pel s
now
ball
sam
plin
g.
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an s
tudi
kas
us.
Peng
umpu
lan
data
den
gan
obse
rvas
i dan
waw
anca
ra
Berd
asar
kan
pers
pekt
if ib
u : A
nak
men
gala
mi p
erke
mba
ngan
in
tera
ksi s
osia
l yan
g si
gnifi
kan
sete
lah
men
jadi
sis
wa
di s
ekol
ah
inkl
usi,
yaitu
pad
a pe
rkem
bang
an k
omun
ikas
i, in
tera
ksi,
dan
peril
aku
sosi
al. T
erid
entif
ikas
i pul
a fa
ktor
inte
rnal
dan
fakt
or e
kste
rnal
yan
g m
endu
kung
dan
yan
g m
engh
amba
t per
kem
bang
an in
tera
ksi s
osia
l an
ak.
Qod
aria
h,Si
ti (P
rosi
-di
ng ,2
011)
Pera
n ps
ikol
og
dala
m
men
ingk
atka
n “c
opin
g st
rate
gy”
dan
“’Ad
apta
tiona
l O
utco
mes
” pa
da ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Seju
mla
h iib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
desk
riptif
kua
ntita
tif
deng
an a
lat u
kur:
Way
s of
Copi
ng T
he R
ecei
ved
Vers
ion
dan
angk
et A
dapt
atio
nal O
utco
mes
da
ri La
zaru
s &
Fol
kman
(198
4).
Gam
bara
n m
enge
nai b
entu
k co
ping
stra
tegy
dan
ada
ptat
iona
l out
com
es,
men
unju
kkan
ibu
men
ggun
akan
ben
tuk
prob
lem
focu
sed
copi
ng (5
5%),
deng
an b
entu
k co
nfro
ntat
ive
copi
ng s
ebes
ar 5
4,6%
dan
pla
nful
l pro
blem
so
lvin
g se
besa
r 45.
4%. D
ari 4
5% ib
u ya
ng m
engg
unak
an b
entu
k em
otio
nal f
ocus
ed c
opin
g, le
bih
dari
sete
ngah
nya
men
ggun
akan
ben
tuk
dist
anci
ng (5
5.56
%) y
ang
tidak
ada
ptif.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
47
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Mah
aran
i, Ki
ki D
wi
(Jurn
al,
2015
)
Stud
i kas
us p
rose
s pe
ncap
ai an
ke
baha
giaa
n pa
da
ibu
yang
mem
iliki
an
ak k
andu
ng
peny
an da
ng
aspe
rger
synd
rom
e
Part
isip
an a
dala
h ib
u be
rusi
a 18
-40
tahu
n,
yang
mem
iliki
ana
k te
lah
terd
iagn
osis
au
tis
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an s
tudi
kas
usIb
u m
emili
ki k
omitm
en k
uat d
alam
diri
unt
uk te
rus
berju
ang
men
gasu
h an
ak, b
eror
ient
asi p
ada
kese
mbu
han
anak
. Mak
na k
ebah
agia
an a
dala
h m
ensy
ukur
i seg
ala
sesu
atu
yang
terja
di d
alam
hid
up.
Astu
ti, A
ri Tr
i(Ju
rnal
,20
16)
Hub
unga
n an
tara
po
la k
onsu
msi
m
akan
an y
ang
men
gand
ung
glut
en
dan
kase
in d
enga
n pe
rilak
u an
ak
autis
pad
a se
kola
h kh
usus
aut
is d
i Yo
gyak
arta
Part
isip
an a
dala
h or
ang
tua
dari
anak
au
tis d
an g
uru/
tera
pis,
den
gan
tekn
ik p
urpo
sive
sam
plin
g
Met
ode
obse
rvas
iona
l den
gan
desa
in c
ross
sec
tiona
l yan
g.
Alat
uku
r pol
a ko
nsum
si g
lute
n &
kas
ein
men
ggun
akan
FFQ
(F
ood
Freq
uenc
y Q
uest
ione
r);
data
unt
uk p
erila
ku d
iper
oleh
da
ri ch
eck
list d
afta
r det
eksi
au
tis m
enur
ut W
HO
(IC
D-1
0).
Peng
umpu
lan
data
: ind
epth
in
terv
iew
. Met
ode
anal
isis
da
ta y
ang
digu
naka
n ad
alah
uj
i sta
tistik
chi
squ
are
dan
uji
Fish
er.
Seba
nyak
50%
ana
k m
empu
nyai
pol
a ko
nsum
si g
lute
n da
n ka
sein
ya
ng b
aik.
Per
ilaku
ana
k au
tis s
elam
a ku
run
wak
tu 3
bul
an te
rakh
ir se
bagi
an b
esar
( 75
%) m
enun
jukk
an p
erub
ahan
yan
g ba
ik. T
idak
te
rdap
at h
ubun
gan
anta
ra p
ola
kons
umsi
mak
anan
yan
g m
enga
ndun
g gl
uten
dan
kas
ein
deng
an p
erila
ku a
nak
autis
( p
> 0,
05).
Seba
nyak
60
% re
spon
den
men
gata
kan
bahw
a di
et b
ebas
glu
ten
dan
beba
s ka
sein
be
rpen
garu
h pa
da p
erila
ku a
nak,
nam
un h
anya
ada
45
% re
spon
den
yang
men
erap
kan
diet
ters
ebut
.
Asm
ika
(Jurn
al,
2013
)
Hub
unga
n m
oti-
vasi
ora
ng tu
a un
tuk
men
capa
i ke
sem
buha
n an
ak d
enga
n tin
gkat
pen
ge-
taah
uan
tent
ang
pena
ngan
an
anak
pen
yan-
dang
aut
ism
e da
n sp
ektr
um ny
a
Part
isip
an s
eban
yak
20 o
rang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Pend
ekat
an c
ross
sect
iona
l st
udy
Seba
gian
bes
ar o
rang
tua
(85%
) mem
iliki
mot
ivas
i tin
ggi d
alam
m
empe
role
h pe
nyem
buha
n an
ak, t
etap
i 60%
ora
ng tu
a m
emili
ki
tingk
at p
enge
tahu
an y
ang
rend
ah te
ntan
g pe
raw
atan
ana
k. T
idak
ad
a hu
bung
an y
ang
sign
ifika
n (p
> 0,
05) a
ntar
a m
otiv
asi d
an ti
ngka
t pe
nget
ahua
n or
ang
tua.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
48
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Rach
may
a nt
i, Sr
i (Ju
rnal
, 20
11)
Pene
rimaa
n di
ri or
ang
tua
terh
adap
an
ak a
utis
me
dan
pera
nann
ya d
alam
te
rapi
aut
ism
e
Part
isip
an 3
ora
ng tu
a ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
.
Met
ode
kual
itatif
den
gan
tekn
ik w
awan
cara
dan
ob
serv
asi.
Part
isip
an d
apat
men
erim
a se
penu
hnya
kon
disi
ana
k se
cara
ber
taha
p,
yaitu
taha
p de
nial
. Ang
er, b
arga
inin
g, d
epre
ssio
n, d
an a
ccep
tanc
e.
Nam
un k
etig
a su
bjek
mel
alui
taha
pan
yang
ber
beda
-bed
a ka
rena
ko
ndis
i ana
k m
erek
a ju
ga b
erbe
da-b
eda.
Apos
telin
a,
Eun
ike
(Jurn
al,
2012
)
Resi
liens
i kel
uarg
a pa
da k
elua
rga
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Part
isip
an s
ejum
lah
88 o
rang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
. Te
knik
pem
iliha
n sa
mpe
l: pu
rpos
ive
sam
plin
g
Met
ode
cam
pura
n se
kuen
sial
/be
rtah
ap (s
eque
ntia
l mix
ed
met
hods
). Pe
ngum
pula
n da
ta
awal
sec
ara
kuan
titat
if da
n se
lanj
utny
a se
cara
kua
litat
if.
Anal
isis
dat
a: e
kspl
anat
oris
se
kuen
sial
.
Seca
ra k
uant
itatif
: res
ilien
si k
elua
rga
bera
da p
ada
kate
gori
med
ium
. Te
rdap
at d
ua fa
ktor
yan
g m
emen
garu
hi re
silie
nsi k
elua
rga,
fakt
or ri
siko
(s
tres
sor,
stra
in, d
istre
ss) d
an fa
ktor
pro
tekt
if (r
elat
ive
andf
riend
supp
ort,
soci
al su
ppor
t, fa
mily
har
dine
ss, c
opin
g co
here
nce)
. Sec
ara
kual
itatif
: Re
silie
nsi k
elua
rga
dilih
at s
ebag
ai s
atu
kesa
tuan
yan
g ut
uh, t
erut
ama
dala
m m
elih
at b
erba
gai p
eris
tiwa
kehi
dupa
n ya
ng te
rjadi
, set
iap
kelu
arga
sal
ing
men
duku
ng u
ntuk
akh
irnya
mam
pu b
erad
apta
si d
an
mem
iliki
tuju
an y
ang
sam
a un
tuk
mem
beri
yang
terb
aik
baik
ana
k.
Jeni
u,Er
mel
inda
(Jurn
al,
2017
)
Hub
unga
n pe
nget
ahua
n te
ntan
g au
tism
e de
ngan
ting
kat
kece
mas
an o
rang
tu
a ya
ng m
emili
ki
anak
aut
ism
e di
SL
B Bh
akti
Luhu
r M
alan
g
Part
isip
an s
ejum
lah
36 o
rang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
, de
ngan
tekn
ik
peng
ambi
lan
sam
pel:
purp
osiv
e sa
mpl
ing
Met
ode
cros
s se
ctio
nal,
anal
isis
dat
a de
ngan
uji
stat
istic
spe
arm
an ra
nk
Seba
gian
bes
ar p
enge
tahu
an re
spon
den
mas
uk k
ateg
ori c
ukup
se
bany
ak 15
ora
ng (4
1,7%
), da
n se
bagi
an b
esar
ting
kat k
ecem
asan
re
spon
den
mas
uk d
alam
kat
egor
i cem
as b
erat
seb
anya
k 26
ora
ng
(72,
2%).
Has
il an
alis
is b
ivar
iat m
enun
juka
n p-
valu
e= 0
,000
< a
0,0
5 ar
tinya
ada
hub
unga
n an
tara
pen
geta
huan
den
gan
tingk
at k
ecem
asan
or
ang
tuad
an n
ilai (
r) =
0,3
72 y
ang
men
unju
kan
adan
ya k
orel
asi y
ang
rend
ah.
Tuss
ofa,
Mila
(Lap
oran
pene
litia
n,20
15)
Ting
kat k
ecem
asan
ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is u
sia
6-7
tahu
n di
SLB
Se
mes
ta M
ojok
erto
Part
isip
an s
eban
yak
17 ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is
Met
ode
desk
riptif
kua
ntita
tif
deng
an ra
ncan
g pe
nelit
ian
surv
ei.
Ibu
men
gala
mi t
ingk
at k
ecem
asan
ring
an s
eban
yak
(5,9
%) t
ingk
at
kece
mas
an s
edan
g se
bany
ak (5
2,9%
), m
enga
lam
i kec
emas
an b
erat
se
bany
ak (4
1,2%
). H
asil
pene
litia
n m
enun
jukk
an b
ahw
a se
bagi
an ib
u m
enga
lam
i tin
gkat
kec
emas
an s
edan
g se
bany
ak 9
ora
ng.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
49
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Gin
ting,
Erni
taM
aria
na(Ju
rnal
,20
17)
Hub
unga
n an
tara
ha
rga
diri
dan
tingk
at p
endi
dika
n de
ngan
sik
ap
pene
rimaa
n ib
u te
rhad
ap a
nak
autis
di
Yay
asan
I-H
ome
Scho
olin
g M
edan
Part
isip
an s
ejum
lah
30 ib
u-ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
al
at u
kur:
skal
a si
kap
pene
rimaa
n, s
kala
har
ga d
iri.
Anal
isis
dat
a m
engg
unak
an
regr
esi g
anda
.
Terd
apat
hub
unga
n po
sitif
har
ga d
iri d
enga
n si
kap
pene
rimaa
n; h
arga
di
ri m
ener
angk
an v
aria
bilit
as d
an m
embe
rikan
sum
bang
an s
ebes
ar
14.2
8% te
rhad
ap v
aria
bilit
as s
ikap
pen
erim
aan;
ting
kat p
endi
dika
n m
emili
ki h
ubun
gan
posi
tif d
enga
n si
kap
pene
rimaa
n se
besa
r 40,
19%
tin
gkat
pen
didi
kan
mem
berik
an s
umba
ngan
terh
adap
var
iabi
litas
si
kap
pene
rimaa
n; T
erda
pat h
ubun
gan
yang
sig
nifik
an a
ntar
a ha
rga
diri
dan
tingk
at p
endi
dika
n de
ngan
sik
ap p
ener
imaa
n ib
u, d
an s
ecar
a be
rsam
aan
men
yum
bang
seb
esar
47,
4% te
rhad
ap s
ikap
pen
erim
aan
ibu.
Sofia
,Am
ilia
Des
tiani
(Jurn
al,
2012
).
Kepa
tuha
n or
ang
tua
dala
m
men
erap
kan
tera
pi
diet
glu
ten
free
ca
sein
free
pad
a an
ak p
enya
ndan
g au
tism
e di
Yay
asan
Pe
lita
Haf
izh
dan
SLBN
Cile
unyi
Ba
ndun
g
Part
isip
an s
eban
yak
40 o
rang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Des
ain
desk
ripst
if ku
antit
atif,
an
alis
is u
niva
riat.
Inst
rum
en :
angk
et.
Seba
gian
bes
ar ti
dak
patu
h da
lam
men
erap
kan
diet
GFC
F (d
iet k
asei
n da
n gl
uten
), m
asih
rend
ahny
a pe
ngaw
asan
dan
die
t yan
g tid
ak
dila
kuka
n se
cara
kon
sist
en. H
al in
i mun
gkin
dis
ebab
kan
kare
na a
dany
a fa
ktor
-fak
tor y
ang
ikut
ber
peng
aruh
/ men
gham
bat s
ehin
gga
oran
g tu
a ke
sulit
an d
alam
men
erap
kan
diet
GFC
F pa
da a
nakn
ya.
Kusu
mas
t ut
i, As
tri
Nur
(Jur
nal,
2014
)
Stre
s ib
u tu
ngga
l ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Part
isip
an s
eban
yak
satu
ora
ng ib
u tu
ngga
l den
gan
anak
au
tis
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an s
tudi
kas
usG
amba
ran
ibu
tung
gal y
ang
mem
iliki
ana
k au
tis d
apat
men
gaki
batk
an
stre
s pa
da o
rang
tua
tung
gal k
aren
a be
ban
tang
gung
jaw
ab d
alam
m
eraw
at a
nak
yang
bia
sany
a di
pega
ng o
leh
pasa
ngan
sua
mi i
stri
haru
s di
tang
gung
seo
rang
diri
ole
h or
ang
tua
tung
gal y
aitu
ibu.
Fak
tor-
fakt
or
yang
men
yeba
bkan
str
es ib
u tu
ngga
l jug
a da
pat d
iseb
abka
n ol
eh
kond
isi a
nak
yang
mem
iliki
keb
utuh
an k
husu
s, k
ebut
uhan
eko
nom
i se
rta
adan
ya ra
sa m
alu
deng
an k
ondi
si d
iri.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
50
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
War
dani
,D
esi
Sulis
tyo
(Jurn
al,
2009
)
Stra
tegi
cop
ing
oran
g tu
a m
engh
adap
i ana
k au
tis
Seju
mla
h or
ang
tua
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
Peng
umpu
lan
data
den
gan
inte
rvie
w, t
ekni
k an
alis
is d
ata:
an
alis
is in
dukt
if de
skrip
tif.
Stra
tegi
cop
ing
pada
ora
ng tu
a ya
ng m
empu
nyai
ana
k au
tis
bero
rient
asi p
ada
peny
eles
aian
mas
alah
yan
g di
hada
pi (P
robl
em
Focu
sed
Copi
ng),
seda
ngka
n be
ntuk
per
ilaku
cop
ing
yang
mun
cul y
aitu
In
stru
men
tal A
ctio
n ya
ng te
rmas
uk d
alam
Pro
blem
Foc
used
Cop
ing
dan
Self-
Cont
rolli
ng, D
enia
l, da
n Se
ekin
g M
eani
ng y
ang
term
asuk
dal
am
Emot
ion
Focu
sed
Copi
ng. D
ampa
k po
sitif
dar
i per
ilaku
cop
ing
yang
di
laku
kan
oleh
ora
ng tu
a ya
itu E
xerc
ised
Caut
ion
dan
Seek
ing
Mea
ning
, se
dang
kan
dam
pak
nega
tif y
ang
mun
cul d
iata
si o
rang
tua
deng
an
Intr
oper
sitiv
e, N
egot
iatio
n, d
an A
ccep
ting
Resp
onbi
lity.
Yuni
anti,
Nita
(Skr
ipsi
,20
11)
Sum
ber s
tres
dan
ca
ra m
enan
ggul
angi
st
res
pada
ibu
dew
asa
mud
a ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis
di Ja
kart
a
Seju
mla
h ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Des
ain
pene
litia
n: k
uant
itatif
ex
pos
t fac
to y
ang
bers
ifat
desk
riptif
.
Sum
ber s
tres
yan
g pa
ling
bany
ak d
iala
mi:
sum
ber s
tres
ber
asal
dar
i in
divi
du (2
6,5%
), su
mbe
r str
es y
ang
palin
g se
diki
t: su
mbe
r str
es y
ang
bera
sal d
ari i
ndiv
idu
& li
ngku
ngan
(6%
) dan
“tid
ak s
tres
” (6%
). C
ara
men
angg
ulan
gi s
tres
yan
g pa
ling
bany
ak: p
robl
em fo
cuse
d co
ping
(85%
), ya
ng p
alin
g se
diki
t: em
otio
n fo
cuse
d co
ping
(15%
).
Susa
nti,
Hev
i(Ju
rnal
,20
14)
Repr
esen
tasi
ko
nsep
diri
ora
ng
tua
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
Part
isip
an s
eban
yak
5 or
ang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kual
itatif
, tek
nik
peng
umpu
lan
data
den
gan
waw
anca
ra d
an o
bser
vasi
.
Kelim
a or
ang
tua
dapa
t men
erim
a se
penu
hnya
kon
disi
ana
k,
dipe
ngar
uhi f
akto
r duk
unga
n da
ri ke
luar
ga b
esar
, kem
ampu
an
keua
ngan
kel
uarg
a, la
tar b
elak
ang
agam
a, ti
ngka
t pen
didi
kan,
sta
tus
perk
awin
an, u
sia
sert
a du
kung
an p
ara
ahli
dan
mas
yara
kat u
mum
.
Boha
m,
Sici
llya
E (Ju
rnal
, 20
13)
Pola
kom
unik
asi
oran
g tu
a de
ngan
an
ak a
utis
Seju
mla
h or
ang
tua
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
Varia
bel p
enel
itian
: per
hatia
n,
peng
ertia
n, p
ener
imaa
n.
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an fe
nom
enol
ogi
Pena
ngan
an o
rang
tua:
pen
tingn
ya in
form
asi t
enta
ng k
ondi
si a
nak,
ko
nsul
tasi
den
gan
para
pro
fesi
onal
, seb
aikn
ya o
rang
tua
dapa
t m
enja
lank
an p
rogr
am-p
rogr
am p
enan
gana
n ya
ng te
lah
dida
pati
anak
di
sek
olah
, dan
sec
ara
tera
tur o
rang
tua
juga
kon
sist
en m
enja
lank
anny
a se
lam
a di
rum
ah. O
rang
tua
seba
ikny
a m
emah
ami k
etik
a be
rinte
raks
i de
gan
anak
sep
erti
kont
ak m
ata,
mem
berik
an p
ujia
n, p
eluk
an.
Pam
ungk
a s,
Ari
(Jurn
al,
2015
)
Pela
tihan
ke
tera
npila
n pe
ngas
uhan
aut
is
untu
k m
enur
unka
n st
res
peng
asuh
an
pada
ibu
deng
an
anak
aut
is
Part
isip
an p
enel
itian
: or
ang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
, re
ntan
g us
ia d
ewas
a (2
5-45
tahu
n), l
atar
be
laka
ng p
endi
dika
n m
inim
al S
MA
Met
ode
mix
met
hods
den
gan
tipe
sequ
entia
l exp
lana
tory
. Ku
antit
atif
deng
an
nonr
ando
miz
ed p
rees
t-po
stte
st c
ontr
ol, k
ualit
atif
deng
an w
awan
cara
dan
ob
serv
asi.
Varia
bel p
enel
itian
: ke
tera
mpi
lan
peng
asuh
an d
an
stre
s pe
ngas
uhan
Skor
str
es p
enga
suha
n be
rada
pad
a tin
ggi d
an s
edan
g. H
asil
anal
isis
de
ngan
uji
Man
n W
hitn
ey m
enun
jukk
an h
asil
yang
sig
nifik
an d
enga
n ni
lai Z
= -2
,337
den
gan
nila
i p =
0,19
(p<0
,05)
. Has
il da
ri uj
i Frie
dman
pa
da k
elom
pok
eksp
erim
en d
iper
oleh
has
il si
gnifi
kan
deng
an n
ilai c
hi-
squa
re s
ebes
ar 8
,000
dan
dan
p =
0,0
18 (p
<0,0
5), d
an p
ada
kelo
mpo
k ko
ntro
l dip
erol
eh h
asil
tidak
sig
nifik
an d
enga
n ni
lai c
hisq
uare
seb
esar
5,
571 d
an p
= 0
,062
(p>0
,05)
. Str
es p
enga
suha
n pa
da ib
u de
ngan
ana
k au
tis m
enga
lam
i pen
urun
an s
etel
ah d
iber
ikan
inte
rven
si p
elat
ihan
ke
tera
mpi
lan
peng
asuh
an a
utis
.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
51
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Mar
ettih
, An
ggi K
.E
(Jurn
al,
2017
)
Mel
atih
kes
abar
an
dan
wuj
ud ra
sa
syuk
ur s
ebag
ai
mak
na c
opin
g ba
gi
oran
g tu
a ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis
Part
isip
an s
eban
yak
4 or
ang
tua
yang
m
emili
ki a
nak
autis
. Te
knik
pen
gam
bila
n sa
mpe
l: pu
rpos
ive
sam
plin
g
Met
ode
kual
itatif
fe
nom
enol
ogi.
Tekn
ik
peng
ambi
lan
data
den
gan
waw
anca
ra m
enda
lam
.
Copi
ng s
ebag
ai p
embe
laja
ran
untu
k m
elat
ih k
esab
aran
, wuj
ud ra
sa
syuk
ur s
erta
men
yada
ri pe
ntin
gnya
duk
unga
n so
sial
dar
i ora
ng la
in
dala
m m
enga
suh
anak
aut
is. P
emak
naan
cop
ing
bagi
ora
ng tu
a m
erup
akan
seb
uah
pros
es p
enga
lam
an d
an p
embe
laja
ran
hidu
p ya
ng a
kan
men
ingk
atka
n ka
pasi
tas
inte
rnal
mer
eka.
Ber
syuk
ur a
tas
anug
erah
ana
k ya
ng te
lah
dibe
rikan
Tuh
an m
enja
di a
jang
unt
uk
mel
atih
kes
abar
an d
iri, s
ehin
gga
mer
eka
mam
pu m
enja
lank
an
pera
nnya
seb
agai
ora
ng tu
a de
ngan
bai
k da
n be
nar.
Copi
ng ib
u le
bih
men
ggun
akan
pro
blem
focu
sed
copi
ng, c
opin
g ay
ah c
ende
rung
em
otio
nal f
ocus
ed c
opin
g.
Mily
awat
i ,
Lia
(Jurn
al,
2009
)
Duk
unga
n ke
luar
ga,
peng
etah
uan,
pe
rsep
si ib
u se
rta
hubu
ngan
nya
deng
an s
trat
egi
kopi
ng ib
u pa
da
anak
den
gan
gang
guan
ASD
Part
isip
an s
ejum
lah
31 ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
pe
ndek
atan
cro
ss se
ctio
nal
stud
y.
Ham
pir s
epar
uh ib
u (4
5,2%
) mem
pero
leh
duku
ngan
kel
uarg
a ya
ng
kura
ng k
uat,
nam
un (5
1,6%
) ibu
mem
iliki
pen
geta
huan
yan
g ba
ik
men
gena
i ana
k da
n m
emili
ki p
erse
psi p
ositi
f ter
hada
p an
ak a
nak
(54,
8%).
Peng
etah
uan
ibu
tent
ang
anak
tida
k be
rhub
unga
n de
ngan
ka
rakt
eris
tik k
elua
rga
mau
pun
anak
. Per
seps
i ibu
tent
ang
anak
sem
akin
ba
ik p
ada
anak
yan
g le
bih
mud
a (r
=-0,
464)
dan
pad
a an
ak y
ang
baru
m
engi
kuti
tera
pi (r
=-0,
389)
.
Mel
iani
(Jurn
al,
2007
)
Hub
unga
n an
tara
ke
cerd
asan
em
osio
nal d
an
depr
esi p
ada
ibu
yang
mem
iliki
ana
k de
ngan
gan
ggua
n au
tism
e
Part
isip
an s
ejum
lah
26 o
rang
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
te
knik
kor
elas
i pea
rson
pr
oduc
t mom
ent.
Alat
uku
r: ke
cerd
asan
em
osio
nal d
an
Beck
Dep
ress
ion
Inve
ntor
y ad
apta
si).
Tera
pat h
ubun
gan
nega
tif a
ntar
a ke
cerd
asan
em
osio
nal d
enga
n de
pres
i, ar
tinya
sem
akin
ting
gi k
ecer
dasa
n em
osio
nal s
eseo
rang
, se
mak
in ri
ngan
ting
kat d
epre
si y
ang
dial
ami.
Sem
akin
rend
ah
kece
rdas
an e
mos
iona
l ses
eora
ng, s
emak
in b
erat
ting
kat d
epre
si y
ang
dial
ami.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
52
Pene
liti
Judu
l Pen
elit
ian
Part
isip
anM
etod
eTe
mua
n
Noo
r,M
umia
ti(Ju
rnal
,20
14)
Peng
alam
an ib
u da
lam
mer
awat
an
ak a
utis
usi
a se
kola
h
Part
isip
an s
ejum
lah
5 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an fe
nom
enol
ogi.
Anal
isis
dat
a m
engg
unak
an
anal
isa
tem
atik
Terd
apat
kej
angg
alan
pad
a an
ak a
utis
me,
mel
iput
i sik
ap c
uek
dan
suka
m
enye
ndiri
, mai
n tid
ak s
emes
tinya
, tid
ak b
isa
berb
icar
a se
suai
usi
anya
, ko
ntak
mat
a tid
ak a
da, g
angg
uan
tidur
, hip
erak
tif s
erta
tida
k be
resp
ons
saat
dip
angg
il. s
uka
dan
duka
ban
yak
diha
dapi
ole
h or
ang
tua
saat
m
eraw
at a
nak
deng
an a
nak
autis
me,
mul
ai d
ari p
rose
s pe
nerim
aan
(sho
ck, s
edih
, tak
ut, c
emas
, ber
sala
h at
aupu
n di
pers
alah
kan
akan
ke
adaa
n an
ak),
peno
laka
n ke
luar
ga d
an li
ngku
ngan
terh
adap
ana
k au
tism
e.
Mun
iroh,
Siti
Mum
un(Ju
rnal
,20
12)
Din
amik
a re
silie
nsi
oran
g tu
a an
ak a
utis
Part
isip
an o
rang
tua
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
Met
ode
kual
itatf
, pen
deka
tan
feno
men
olog
i. Pe
ngum
pula
n da
ta: i
n-de
pth
inte
rvie
w d
an
obse
rvas
i
Pem
bent
ukan
resi
liens
i ora
ng tu
a di
peng
aruh
i fak
tor i
nter
nal d
an
fakt
or e
kste
rnal
. Pad
a sa
at p
erta
ma
anak
terd
iagn
osis
aut
is, s
ecar
a ko
gniti
f : o
rang
tua
mer
asa
cem
as, s
tres
, dan
men
yala
hkan
diri
mer
eka
send
iri; s
ecar
a af
ektif
ora
ng tu
a m
eras
a ce
mas
, bin
gung
dan
sed
ih.
Sete
lah
bera
dapt
asi d
an m
emak
nai,
oran
g tu
a m
eras
a le
bih
posi
tif,
men
erim
a, d
an te
rmot
ivas
i unt
uk m
enca
ri pe
mec
ahan
mas
alah
ana
k.
Han
oum
, M
agda
len
a (M
odul
, 20
15)
Ranc
anga
n m
odul
pe
latih
an u
ntuk
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
Part
isip
an ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
Peng
ambi
lan
data
den
gan
kues
ione
r. Ta
hap
pert
ama:
de
skrip
si d
an p
rofil
pe
nget
ahua
n da
n ke
ahlia
n ib
u. T
ahap
ked
ua: m
embu
at
ranc
anga
n m
odul
.
Mod
ul p
erm
ulaa
n un
tuk
prog
ram
pel
atih
an m
enja
di p
andu
ang
untu
k m
endu
kung
ibu
deng
an a
nak
autis
. Mod
ul in
i dap
at m
enin
gkat
kan
peng
etah
uan
dan
keah
lian
ibu.
Ibu-
ibu
dapa
t men
gapl
ikas
ikan
pe
nget
ahua
n da
n ke
ahlia
n da
ri pr
ogra
m p
elat
ihan
ini d
alam
keh
idup
an
seha
ri-ha
ri.
Pujia
stut
i,U
mi
(Tes
is,
2014
)
Hub
unga
n an
tara
du
kung
an a
yah,
pe
nget
ahua
n ib
u te
ntan
g an
ak a
utis
da
n re
ligiu
sita
s (d
imen
si p
rakt
ik
agam
a) d
enga
n pe
nerim
aan
ibu
terh
adap
ana
k au
tis
Part
isip
an s
ejum
lah
55 ib
u-ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis
Anal
isis
dat
a de
ngan
regr
esi
berg
anda
Terd
apat
hub
unga
n si
gnifi
kan
anta
ra d
ukun
gan
ayah
, pen
geta
huan
da
n re
ligiu
sita
s de
ngan
pen
erim
aan
ibu.
Sum
bang
an b
ersa
ma
dari
duku
ngan
aya
h, p
enge
tahu
an te
ntan
g au
tis d
an re
ligiu
sita
s (d
imen
si
prak
tik a
gam
a) te
rhad
ap p
ener
imaa
n ib
u =
0,38
0 (3
8,0%
).
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
53
DePape dan Lindsay (2015) telah melakukan kajian metasintesis pada sejumlah penelitian kualitatif tentang pengalaman orang tua dalam mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Metasintesis dilakukan un tuk mengintegrasikan bukti penelitian kualitatif dengan meninjau sejum lah 4148 abstrak bersumber dari database elektronik, melibatkan 160 ayah dan 425 ibu dan melakukan perbandingan dari sejumlah artikel yang ada. Hasil temuan mereka menemukan dalam pengasuhan orang tua yang memiliki anak autis terdapat enam utama, yaitu: 1) pradiagnosis; 2) diag nosis; 3) family life adjustment; 4) navigating the system; 5) parental em po wer ment 6) moving forward. Hasil metasintesis ini sangat baik untuk dikaji dan dipahami, tidak hanya bagi orang tua yang memiliki anak autis, namun bagi para peneliti yang ingin mengkaji pengalaman pengasuhan orang tua dari anak autis.
Hasil metasintesis ini mengacu pada tahapantahapan Model Siklus Kehidupan Keluarga (Family LifeCycle Model) oleh Carter dan McGoldrick (1988). Model ini menjelaskan bahwa orang tua yang memiliki anak autis akan mengalami setiap tahapan secara berurutan, namun setiap orang tua merasakan pengalaman yang berbedabeda pada setiap tahapannya. Model Siklus Kehidupan Keluarga ini merupakan perspektif teoretis yang dapat membantu para peneliti dan para profesional di bidang kesehatan untuk memahami kondisi pengalaman orang tua sesuai konteksnya (Carter & McGoldrick, 1988). Model ini juga dapat membantu untuk memahami bagaimana perkembangan keluarga dalam merespon tantangan pada setiap tahapan model (dalam Carter dan McGoldrick [1988]).1. Pradiagnosis Pada tahapan ini, orang tua mendeteksi dan merasakan bahwa ter
jadi sesuatu yang berbeda dari anakanak mereka, kemudian mulai mencari jawabannya kepada para profesional kesehatan. Pada umumnya orang tua merasakan sesuatu yang berbeda pada diri anak, misalnya anak tidak mampu mendengar, minimnya kontak mata, kemudian orang tua memastikan kondisi anak dengan membawanya kepada para profesional kesehatan (misal nya dokter, psikolog).
2. Diagnosis Setelah berkonsultasi dengan dokter dan didapati bahwa anaknya
terdiagnosis mengalami gangguan spektrum autis, ada perasaan lega bercampur cemas setelah mengetahui kondisi anak, lega karena telah mengetahui kondisi yang dialami anak sehingga orang tua dapat belajar langkahlangkah tepat yang harus diambil dalam menyikapi kondisi anak, namun merasa cemas mengingat masa depan anak yang
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
54
suram. Orang tua juga merasa bersalah dan disalahkan, khususnya bagi ibu mulai merefleksikan kembali faktorfaktor penyebab yang terjadi selama atau setelah masa kehamilan sehingga mengakibatkan anak mengalami gangguan spektrum autis, seperti faktor kurang menyusui (Alqahtani, 2012). Faktorfaktor penyebab lainnya seperti pengaruh budaya dan agama di suatu daerah tertentu, misalnya penelitian yang dilakukan oleh Alqahtani (2012) menemukan seorang ibu merasa anaknya kemungkinan korban dari sihir hitam. Penyebab lainnya yang diduga anak mengalami autis adalah faktor genetika, ke lainan struktur otak, dan alergi (Altiere & von Kluge).
3. Family life adjustment Orang tua kemudian mulai menyesuaikan diri dengan kondisi yang
dialami anak dan rutinitas seharihari, serta bagaimana orang tua dapat diterima oleh orang lain dan keluarga (Fletcher dkk., 2012), karena mengasuh anak autis tidak dapat dilakukan sendiri oleh seorang pengasuh (misal ibunya saja atau ayahnya saja). Perlu keterli batan dan kerja sama yang baik dari berbagai pihak, mengingat gangguan perkembangan yang dialami anak autis merupakan gangguan perkembangan kompleks, dengan tujuan agar orang tua merasa tidak sendiri. Orang tua rentan mengalami frustrasi karena banyaknya waktu tersita untuk mera wat anak, minimnya waktu untuk dirinya sendiri dan untuk anggota keluarga lainnya (Fletcher dkk., 2012).
Pada tahapan penyesuaian kehidupan keluarga ini juga terjadi perubahan terkait kondisi keuangan dan karier setelah anak terdiagnosis autis (Aylaz dkk., 2012). Orang tua mengatakan bahwa mereka perlu bekerja untuk menyediakan tambahan keuangan bagi kebutuhan anak autis (Fletcher dkk., 2012.), namun bagi beberapa orang tua justru harus berhenti dari pekerjaan karena beratnya tuntutan mengasuh anak autis (Altiere & von Kluge, 2009). Tidak sedikit biaya yang dibutuhkan dalam merawat anak autis, orang tua merasa kewalahan dalam mengasuh anak, dan ini berdampak negatif terhadap kesejahteraan mereka (Altiere & von Kluge, 2009; Fletcher dkk., 2012). Orang tua merasa stres, kelelahan, dan mengalami masalah kesehatan (Altiere & von Kluge), 2009; orang tua merasa kehidupannya tidak akan pernah berubah (Ludlow dkk., 2011), adanya harapan dan masa depan yang tidak pasti merawat anak (Shu dkk.). Kondisi ini mengakibatkan orang tua mengalami stres pengasuhan, yang mengarah pada penilaian diri negatif, seperti menganggap diri mereka sendiri sebagai pengasuh yang kurang berkompeten (Ludlow dkk., 2011).
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
55
Pengasuhan pada anak autis juga berdampak positif dan negatif pada hubungan dengan pasangan (Aylaz dkk., 2012). Beberapa penelitian mendapati terdapat hubungan baik dan semakin dekat dengan pasang an mereka dalam proses merawat anak autis (Aylaz dkk., 2012). Namun pada kasus lain, para ibu merasa kurang mendapatkan dukungan dari pasangannya (Gray, 2003), saling menyalahkan atas kondisi anak (Fletcher dkk.), akhirnya berujung pada perceraian (Divan dkk., 2012). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang tua cukup rentan mengalami dampak negatif dengan pasangannya, dan pada saudara kandung dari anak autis. Orang tua melaporkan anakanak mereka yang lain merasa bahwa mereka tidak diperlakukan sa ma seperti saudaranya yang mengalami gangguan perkembangan (Aylaz dkk., 2012). Orang tua lebih banyak menghabiskan waktu untuk merawat anaknya yang autis dibandingkan anaknya yang lain, bahkan beberapa saudara kandung mengalami kecemasan dan tingkat kewaspadaan yang cukup tinggi karena takut disakiti oleh saudaranya yang autis (Hutton & Caron). Namun tidak selamanya memiliki hubungan yang negatif, terdapat pengaruh positif seperti saudara yang lebih tua biasanya akan mengayomi dan membantu orang tua da lam merawat adiknya yang autis (Aylaz dkk., 2012); beberapa saudara kan dung bertindak sebagai mediator untuk saudara kandungnya yang autis (NeelyBarnes dkk.); saudara kandung menunjukkan pening katan perilaku untuk lebih sabar, kemungkinan karena telah beradaptasi atas hubungannya dengan saudaranya yang autis (Markoulakis dkk.).
Pada tahapan penyesuaian setelah anak terdiagnosis autis, orang tua terkadang merasakan kecemasan dan malu untuk membawa anaknya ke tempat umum, mengingat perilaku anak autis yang tidak dapat ditebak, misalnya pada saat di tempat undangan, anak akan menjerit dan menutup telinganya rapatrapat begitu mendengar suara musik, atau anak akan bergulingguling di lantai karena merasa keinginannya tidak terpenuhi. Orang tua sering menerima kritikan dan cemohan dari orang lain yang tidak mengerti akan kondisi anaknya (Ludlow dkk., 2011). Orang tua akan menyikapinya dengan reaksi yang berbedabeda, ada yang mengabaikan dan cenderung cuek dengan omongan orang lain, namun ada juga orang tua yang justru menjelaskan dan memberikan pemahaman/edukasi terkait kondisi anaknya (NeelyBarnes dkk).
4. Navigating the system Setelah melalui tahapan pradiagnosis, diagnosis anak, kemudian pe
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
56
nyesuaian atas kondisi anak, maka tahapan selanjutnya adalah bagaimana orang tua mulai membuat sistem untuk mengakses program dan memberikan layanan yang terbaik bagi anak autis (Alqahtani, 2012). Orang tua juga mulai fokus terhadap sistem sekolah anak, apakah anak akan tetap dimasukkan pada sekolah umum bergabung dengan anakanak lain yang perkembangannya normal atau anak akan belajar di sekolah atau lembaga khusus autis.
Tantangan lainnya pada tahapan ini adalah pemberian treatment yang tepat bagi anak autis. Orang tua memiliki pengalaman positif pada proses ini, seperti memiliki hubungan yang baik dengan para pro fe sional (misalnya dokter, psikolog), namun didapati juga orang tua yang memiliki komunikasi tidak efektif saat berkonsultasi dengan me reka. Tantangan berikutnya adalah orang tua harus membawa anak terapi meskipun jaraknya yang cukup jauh dari tempat tinggal (Hutton & Caron), sehingga ter kadang ada keinginan untuk pindah ke tempat yang lebih dekat dengan sarana dan prasarana anak (Fong dkk.). Secara keseluruhan adalah pentingnya perawatan anak sedini mungkin dan keterlibatan orang tua dalam proses pengasuhan anak.
5. Parental empowerment Pemberdayaan orang tua terjadi biasanya setelah orang tua me la
kukan pemenuhan kebutuhan anak autis, yang akhirnya ber dam pak positif dan orang tua mampu mengontrol diri mereka sendiri (Fong dkk.). Banyak cara yang bisa dilakukan orang tua, misal nya orang tua mencari informasi baik dengan cara membaca maupun bergabung dengan komunitas dari orang tua yang me miliki anak autis terkait gangguan dan penanganan yang tepat bagi anak, kesehatannya, pendidikan, dan cara perawatannya (Mar koulakis dkk., 2012); orang tua menerapkan tekniktek nik intervensi selama di rumah (Safe dkk., 2012); orang tua meng edukasi keluarga dan
orang lain tentang kondisi anak (Safe dkk., 2012) (dalam Carter dan McGoldrick (1988).
Manfaat bergabung dengan komunitas orang tua autis juga di jelaskan oleh Mudjito, dkk. (2014), antara lain:a. Dalam komunitas orang tua autis merasa bahwa tidak hanya
mereka yang memiliki anak berkebutuhan khusus.b. Di antara anggota komunitas tersebut saling menguatkan, mem
beri semangat, menceritakan pengalamanpengalaman me reka da lam pengasuhan anak penyandang autis.
c. Orang tua bisa mengadakan diskusi, seminar atau workshop un tuk
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
57
mereka dengan mengundang pakar di bidang autis.d. Mendapat lebih banyak informasi dan dukungan. Informasi
yang didapat akan lebih beragam, mulai dari terapi atau metode pengobatan dan penanganan terbaru, tempat te rapi, mencari terapis yang tepat, sekolah, tempat menjual suple men, cara menangani anak tantrum, hingga mood swing. Namun ada satu hal yang harus diingat bahwa setiap anak ti dak mesti sama, sehingga orang tua harus pintar dan pa ham mencobakan suatu treatment pada anaknya. Mencari saran yang dapat diterima, mudah dipahami, dan sesuai de ngan keadaan keluarga mereka. Setiap anak unik dan kebutuhannya berbeda.
e. Komunitas orang tua autis juga bisa melakukan halhal yang bersifat sosial. Bisa melakukan gerakan untuk memberikan edu kasi kepada masyarakat. Bagi masyarakat awam, gerakan dari komunitas tentu memiliki dampak dan tujuan.
6. Moving forward. Setelah orang tua menerima diagnosis pada anak mereka, maka ke
mudian orang tua mulai untuk bergerak maju ke depan, melihat kemajuan anak dan mengoptimalkan tumbuh kembang anak, serta ikut terlibat dalam perawatan anak. Pada tahapan ini juga orang tua menggambarkan sisi positif dari mengasuh anak mereka, orang tua merasa bahwa anak adalah anugerah, dan mereka adalah pilihan Tuhan dengan diberikannya anak istimewa. Dampak positif yang dida pat orang tua adalah mereka menjadi individu yang lebih dewasa dan matang, lebih tenang dalam menyikapi permasalahan hidup, dan lebih mendekatkan diri secara agama (Luong dkk., 2009).
Se telah merasa diri lebih baik, beradaptasi dengan kondisi anak dan telah menerima diagnosis anak, maka kemudian orang tua mulai konsentrasi terhadap masa depan anak. Orang tua menya dari keterba tasan yang dialami anak dan cemas apakah anak memiliki ke mampuan untuk melakukan pekerjaan yang aman, alasan ini lah yang memotivasi orang tua untuk memberikan penanganan yang tepat buat anak, melatih kemandirian anak, usahausaha kemandirian yang dila kukan orang tua diharapkan sangat membantu anak di masa selanjutnya kelak.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
58
49
diagnosa anak, maka kemudian orang tua mulai konsentrasi terhadap masa depan
anak. Orang tua menyadari keterbatasan yang dialami anak dan cemas apakah anak
memiliki kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang aman, alasan ini lah yang
memotivasi orang tua untuk memberikan penanganan yang tepat buat anak, melatih
kemandirian anak, usaha-usaha kemandirian yang dilakukan orang tua diharapkan
sangat membantu anak di masa selanjutnya kelak.
Gambar.3. Model pengalaman orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis.
(The Family Life-Cycle Model, Carter & McGoldrick, 1988)
Selain kajian metasintesis tentang pengalaman orang tua dalam mengasuh anak
autis yang telah dilakukan oleh DePape dan Lindsay (2015), kemudian penulis juga
memaparkan di dalam buku ini tentang hasil penelitian oleh Luong dkk (2009) tentang
pengasuhan orang tua di kawasan Asia Tenggara khususnya Vietnam yang memiliki anak
autis. Berdasarkan hasil analisis mendalam dari hasil wawancara, maka terdapat sembilan
tahapan strategi koping yang umum dilakukan orang tua yang memiliki anak autis,
kesembilan tahapan tersebut adalah:
1. Tahapan pertama: Denial/Passive coping
Penolakan dan koping pasif sebelum anak terdiagnosa merupakan strategi
pertama yang digunakan oleh keseluruhan partisipan dalam penelitian Luong dkk
(2009). Pada tahapan ini, orang tua berkonsentrasi akan perilaku anak, atau orang
tua tidak memikirkan bahwa kelainan yang dialami anak adalah sebuah masalah,
serta kurangnya informasi tentang kondisi anak autis dan rendahnya dukungan
dari keluarga dan para profesional. Hal ini semakin memperburuk harapan orang
1 . Pradiagnosis
2 . Diagnosis
. Family Life 3 Adjustment
4 . Navigating the System
. Parental 5 Empowerment
6 . Moving Forward
Child with ASD
Spouse
School Officials
Peers
Religious Groups Health care
Profesionals
Extended Family
Siblings
PARENT Community
Groups
Gambar.3.Modelpengalamanorangtuayangmemilikianakdengangangguanspektrumautis. (TheFamilyLife-CycleModel,Carter&McGoldrick,1988)
Selain kajian metasintesis tentang pengalaman orang tua dalam mengasuh anak autis yang telah dilakukan oleh DePape dan Lindsay (2015), kemudian penulis juga memaparkan di dalam buku ini ten tang hasil penelitian oleh Luong dkk. (2009) tentang pengasuhan orang tua di kawasan Asia Tenggara khususnya Vietnam yang memiliki anak autis. Berdasarkan hasil analisis mendalam dari hasil wa wan ca ra, maka terdapat sembilan tahapan strategi koping yang umum di lakukan orang tua yang memiliki anak autis, kesembilan tahap an ter sebut adalah:1. Tahapan pertama: Denial/Passive coping Penolakan dan koping pasif sebelum anak terdiagnosis merupakan
strategi pertama yang digunakan oleh keseluruhan partisi pan dalam penelitian Luong dkk. (2009). Pada tahapan ini, orang tua berkonsentrasi akan perilaku anak, atau orang tua tidak me m i kirkan bahwa kelainan yang dialami anak adalah sebuah masalah, serta kurangnya informasi tentang kondisi anak autis dan ren dahnya dukungan dari keluarga dan para profesional. Hal ini semakin memperburuk harapan orang tua, penolakan, dan pa sif. Beberapa orang tua mencari pendapat kedua dari para profe sio nal, atau menolak diagnosis.
2. Tahapan kedua: Empowerment Setelah mengetahui diagnosis dan kondisi yang dialami anak, tahapan
selanjutnya adalah pemberdayaan diri orang tua. Kondisi ini terjadi ketika orang tua cemas akan permasalahan anak mereka. Orang tua merasakan hal yang penting akan jawaban terkait kondisi anak, dan berupaya melakukan pengontrolan diri akan ketidakpastian gangguan yang dialami anak. Pada tahapan ini, orang tua juga merasakan
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
59
frustrasi, marah, kesedihan, tidak percaya, kekecewaan, tidak berdaya, dan kurang dukungan.
3. Tahapan ketiga: Redirecting energy Pada tahapan ini, orang tua terlibat dalam rencana perawatan anak,
seperti: mencari tempat terapi setelah jam sekolah, layanan bimbingan di rumah, mencari perawatan alternatif seperti peng obatan herbal, suplemen diet, nutrisi khusus, terapi suara, dan terapi lainnya yang tepat buat anak).
4. Tahapan keempat: Shifting of focus Orang tua mulai fokus untuk melanjutkan strategi koping akan hasil
diagnosis anak. Kesejahteraan anak menjadi hal yang utama bagi orang tua, karir dan kebahagiaan mereka sendiri bukanlah prioritas utama.
5. Tahapan kelima: Rearranging life and relationships Sebagian para ibu dari partisipan ini melaporkan bahwa mereka telah
mengulang dan mengatur jadwal untuk lebih banyak meng habiskan waktu buat anak mereka, berhenti dari pekerjaan agar lebih banyak waktu tercurah buat anak mereka, mengurangi kebiasaan belanja, dan lebih bertanggung jawab atas perannya, meskipun terbatasnya dukungan yang diterima dari pasangan, tetapi ibu tetap berusaha untuk membina hubungan yang baik dengan pasangan.
6. Tahapan keenam: Changed expectations Orang tua memahami kekurangan dan keterbatasan anak. Selama
tahapan ini, orang tua berusaha mengembangkan rutinitas realistis yang sesuai untuk kebutuhan anak. Orang tua mengubah harapan mereka yaitu memiliki anak dengan perkembangan normal, ke mudian orang tua tidak terlalu menuntut dan memaksakan anak, karena akan membuat anak dan orang tua merasakan kelelahan dengan terapi yang dilakukan, namun disesuaikan dengan kebu tuhan anak dan berharap anak selamat dan bahagia.
7. Tahapan ketujuh: Social withdrawal Merawat anak dengan gangguan spektrum autis secara fisik dan psi
kologis menuntut dan cukup memakan waktu. Orang tua mela por kan bahwa mereka merasa ditinggalkan dalam pertemuan sosial, karena kebanyakan orang lain tidak memahami kondisi anak mereka, sehingga orang tua lebih banyak menghabiskan waktu di rumah bersama anak. Orang tua juga merasakan adanya stigma negatif dari masyarakat dengan budaya di Asia Tenggara, misalnya jika orang tua memiliki masa lalu yang buruk di kehi dupannya, maka akan berdampak pada
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
60
kehidupan sekarang, masyarakat percaya akan karma buruk yang memengaruhi kehi dupan mereka sekarang.
8. Tahapan kedelapan: Spiritual coping Keseluruhan partisipan meskipun berasal dari agama yang ber beda,
mengungkapkan bahwa mereka menggunakan sumber spiri tual seba gai koping, seperti berdoa dan beribadah di ru mah, membangun kem bali harapan mereka. Orang tua juga meng ungkapkan dengan keyakinan agama, maka hidup mereka memiliki tujuan dan lebih bermakna.
9. Tahapan kesembilan: Acceptance Tahapan penerimaan ini terjadi ketika orang tua sudah ber adap
tasi dan menyesuaikan diri dengan keterbatasan yang dimiliki anak, dan kemudian mempersiapkan masa depan anak. Orang tua terus berusaha memelihara tumbuh kembang anak dan menjaga hubungan baik orang tua dan anak.
Berdasarkan hasil penelitian Luong, dkk. (2009) di atas menun jukkan eratnya pengaruh budaya dalam memengaruhi kondisi psiko logis ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis, seperti adanya anggapan kehidupan masa lalu orang tua dan ada nya karma buruk memengaruhi kondisi anak sekarang. Hal ini juga terlihat dari beberapa hasil pene litian yang telah dilakukan di budaya Asia, seperti di China penelitian yang dilakukan oleh Liu (2005); Ghosh dan Magana (2009) menunjukkan dengan memiliki anak disabilitas dipandang sebagai sebuah kegagalan keluarga. Pada masyarakat China segala urusan yang mengekspos ke luarga dengan anak disabilitas akan menerima kritikan dan menjadi aib, sehingga harus disembunyikan/ditutupi (Liu, 2005). Beberapa penelitian sebelumya menghasilkan penelitian bahwa orang tua di China yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan akan menghindar dan enggan untuk mencari dukungan dan bantuan orangorang di luar keluarganya, disebabkan adanya perasaan malu (Holroyd, 2003).
Pada orang tua di Iran yang memiliki anak dengan gangguan autis menunjukkan kesamaan seperti penelitian sebelumnya, bahwa orang tua akan mengalami kondisi cemas, depresi, kualitas hidup ren dah, menurunnya kesejahteraan psikologis, dan mengalami kondisi tertekan. Peran budaya dan agama dalam memengaruhi pengasuhan orang tua dianggap berperan penting. Keyakinan yang kuat terhadap agama membantu orang tua dalam strategi koping, mampu meningkatkan resiliensi orang tua, dan menurunkan kondisi psikologis negatif, seperti cemas, depresi, distress
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
61
(Kousha, Attar, & Shoar, 2015).Penelitian oleh Bilgin dan Kucuk (2010) tentang pengasuhan ibu yang
lebih mendominasi dalam perawatan anak autis di Turki, sehingga mereka terpaksa berhenti bekerja agar dapat fokus merawat anak, sedangkan ayah lebih bertanggung jawab dalam hal finansial. Bagi keluarga di Turki, meskipun keluarga tetap mendapati stigma dari masyarakat, akhirnya permasalahan dapat diselesaikan melalui berbagi dengan dan mendengarkan orang lain, rasa saling solidaritas dan dukungan timbal balik akan menguatkan pengasuhan pada keluarga yang memiliki anak autis.
Pengasuhan ibu yang memiliki anak autis di Korea Selatan juga pernah dilakukan oleh Lee (2011). Orang tua mampu mengatur stres pengasuh an dalam merawat disabilitas termasuk autis dengan cara yang berbeda karena pengaruh latar belakang budaya. Masyarakat Korea Selatan dipengaruhi oleh ide Konfusianisme, di mana ajarannya mementingkan ke bajikan dan kepatuhan kepada orang tua, sopan santun, dan merasa malu tatkala tidak mengikuti aturanaturan sosial yang berlaku. Orang tua yang memiliki anak disabilitas akan merasa sangat bersalah karena merasa telah mewariskan secara genetik ketu runan yang mengalami keterbatasan. Jika terjadi sesuatu yang buruk pada anak, maka diasumsikan bahwa ini merupakan kesalahan dan tanggung jawab orang tua (Kim, Wigram, & Gold, 2009). Perasaan bersalah ditambah dengan stigma negatif memenga ruhi munculnya stres pengasuhan, namun usaha orang tua untuk terbuka mendiskusikan masalah pribadi mereka dan mencari dukungan agar orang tua merasa lebih baik dalam merawat anak.
Hasil penelitian yang berbeda di Taiwan, orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan akan mencari dukungan atau sumber daya, termasuk dukungan informasi, layanan profesional, dukungan psikologis, dan layanan sosial di dalam masyarakat (Chen, 2008. Penelitian Tao (2004) semakin menguatkan bahwa orang tua yang memiliki anak autis akan berusaha mencari informasi yang berhu bungan dengan pengasuhan dan pendidikan, kepedulian para profesional, dan dukungan psikologis dari anggota keluarga. Hasil penelitian Lin, Orsmon, Cos ter dan Cohn (2010) bahwa orang tua membutuhkan dukungan sosial dan penggunaan koping, seperti ibuibu di Taiwan dilaporkan lebih sering meng gunakan strategi problem focused coping mampu menurunkan gejala depresi dan cemas, dan emotion focused coping mampu meningkatkan adaptasi, kohesi keluar ga dan menurunkan gejala depresi.
Perbedaan juga terlihat dari beberapa penelitian di negara Ba rat, orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis dilaporkan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
62
lebih cepat beradaptasi dengan kondisi anak dan ber ku rang nya stres pengasuhan karena mendapatkan dukungan sosial dan cenderung lebih terbuka dengan kondisi anaknya (Bristol, 1984; Sharpley, Bitsika, & Efremidis, 1997).
Terdapat pengaruh perbedaan budaya dalam mengasuh anak autis juga telah dilakukan kajian review oleh Ravindran dan Myers (2011). Hasil review menjelaskan bahwa peran budaya dalam membentuk keluarga, para profesional, dan masyarakat dalam memahami per kembang an disabilitas anak dan pemberian treatment yang tepat. Keyakinan buda ya tentang penyebab gangguan perkembangan autis memengaruhi peng ambilan keputusan keluarga akan perawatan apa yang digunakan dan ha sil apa yang diharapkan. Kontribusi budaya lainnya akan penyebab individu mengalami gejala autis (misalnya karma, kehendak Allah), dan pemberian treatment (misalnya aku punktur, obatobatan herbal, dan ayurveda). Dengan memahami peranan berbagai budaya dapat memberikan kebermanfaatan yaitu membantu memahami proses treatment dan penerapannya pada suatu bangsa dan budaya.
Demikian juga dengan studi awal yang telah penulis lakukan terha dap ibuibu di Pusat Layanan Autis Yogyakarta, Pusat Layanan Autis Surakarta dan Pusat Layanan Autis di Sragen pada tahun 2017, menunjukkan terdapat beberapa kesamaan tema yang muncul menjadi seorang ibu yang tangguh. Hasil studi awal ini telah dipublikasikan pada Daulay, Ramdhani dan Hadjam (2018). Pengalaman ibu dalam mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis hingga menjadi seseorang yang tangguh merupakan sebuah proses, diawali dengan kemampuan bertahan dalam kondisi sulit dan menekan hingga akhir nya menjadi ibu yang optimis. Faktor utama yang membuat ibu mampu bertahan selama mengasuh anak adalah kemampuan mengon trol diri, peran agama sebagai koping, dan persepsi ibu akan dukungan sosial yang diterimanya. Keyakinan terhadap Tuhan memunculkan sikap optimis ibu untuk terus mengoptimalkan tumbuh kembang anak, lebih percaya diri dalam mengatasi permasalahanpermasalahan hidup yang datang silih berganti.
Berbagai kesulitan yang dialami orang tua dan keluarga dapat memunculkan stres pengasuhan. Sehingga salah satu cara untuk mem berfungsikan orang tua adalah dengan meningkatkan kesejaht era annya melalui kegiatan parenting support group. Berbagai penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan pegetahuan dan keterampilan orang tua dalam meng asuh anak. Penulis telah merangkum beberapa penelitian dengan tu juan pemberian intervensi kepada orang tua termuat Tabel 4.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
63
Tabe
l 4. IN
TERV
ENSI
KLIN
IS DA
LAM
MENI
NGKA
TKAN
KESE
JAHT
ERAA
N ORA
NG TU
A YAN
G ME
MILIK
I ANA
K AUT
IS Evalu
asiEmp
irisIntervensiPsik
ologiPositif
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Muk
htar
, D. (
2018
) Pe
ngar
uh g
roup
- ba
sed
pare
ntin
g su
ppor
t ter
hada
p st
res
peng
asuh
an
oran
g tu
a ya
ng
men
gasu
h an
ak
deng
an g
angg
uan
spek
trum
aut
is.
(Dis
erta
si)
Tuju
an: m
enge
tahu
i pe
ngar
uh g
roup
-ba
sed
pare
ntin
g su
ppor
t ter
hada
p st
res
peng
asuh
an; m
enge
tahu
i pe
rbed
aan
dua
met
ode
grou
p-ba
sed
pare
ntin
g su
ppor
t, ya
itu k
elua
rga
duku
ngan
, dan
kel
uarg
a ps
ikoe
duka
si te
rhad
ap
stre
s pe
ngas
uhan
.
Gro
up-B
ased
Par
entin
g Su
ppor
t.Te
rdap
at d
ua b
entu
k va
riasi
gro
up-b
ased
pa
rent
ing
supp
ort y
ang
dite
liti,
yaitu
kel
ompo
k du
kung
an o
rang
tua
dan
kelo
mpo
k ps
ikoe
duka
si
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini m
elib
atka
n 38
sub
jek
pene
litia
n.
(31 i
bu, 6
aya
h da
n 1 n
enek
). Pe
nelit
ian
men
ggun
akan
met
ode
eksp
erim
en d
enga
n ra
ncan
gan
the
untr
eate
d co
ntro
l gro
up d
esig
n w
ith d
epen
dent
pre
test
and
pos
ttes
t sam
ples
je
nis
mul
tiple
non
equi
vale
nt c
ompa
rison
s gro
up
Peng
ukur
an:
Skal
a St
res
Peng
asuh
an; S
kala
Duk
unga
n So
sial
; Obs
erva
si; T
es p
enge
tahu
an te
ntan
g pe
ngas
uhan
ana
k au
tis; K
uesi
oner
eva
luas
i pr
ogra
m.
Dur
asi:
Pela
ksan
aan
seba
nyak
8 x
per
tem
uan
sela
ma
dua
bula
n be
rtur
ut-t
urut
.
Has
il an
alis
is k
ovar
ian
men
unju
kkan
gr
oup-
base
d pa
rent
ing
supp
ort
berp
enga
ruh
terh
adap
str
es
peng
asuh
an, d
an d
ukun
gan
sosi
al
tidak
ber
pera
n se
baga
i kov
aria
bel.
Sum
bang
an e
fekt
ifnya
18,4
%. T
erda
pat
perb
edaa
n st
res
peng
asuh
an, y
aitu
ke
lom
pok
duku
ngan
lebi
h ef
ektif
un
tuk
men
urun
kan
stre
s pe
ngas
uhan
di
band
ingk
an k
elom
pok
psik
oedu
kasi
.
Pam
ungk
as, A
. (2
015)
Pela
tihan
ke
tera
mpi
lan
peng
asuh
an a
utis
un
tuk
men
urun
kan
stre
s pe
ngas
uhan
pa
da ib
u de
ngan
an
ak a
utis
. (Ju
rnal
)
Bert
ujua
n m
emba
ntu
men
ingk
atka
n pe
nge-
tahu
an d
an k
eter
am-
pila
n or
ang
tua
dala
m
men
gasu
h an
ak s
erta
m
enin
gkat
kan
kese
jah-
tera
an p
siko
logi
s or
ang
tua
(Bar
low
et a
l., 2
010)
Pare
ntin
g Su
ppor
t/Pa
rent
ing
Prog
ram
:Be
ntuk
inte
rven
si d
enga
n pe
mbe
rian
duku
ngan
ke
pada
ora
ng tu
a da
n an
g got
a ke
luar
ga la
inny
a (M
cKeo
wn,
200
0)
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
dila
ksan
akan
pad
a de
lapa
n or
ang
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis d
i Ind
ones
ia,
pend
ekat
an p
enel
itian
lebi
h ke
pada
ke
peril
akua
n (T
iple
-P).
Des
ain
eksp
erim
en:
nonr
ando
miz
edpr
etes
t-po
stte
st c
ontr
ol g
roup
de
sign.
Met
ode
grou
p pa
rent
ing
supp
ort:
kelo
mpo
k ps
ikoe
duka
si.
Terd
apat
pen
urun
an s
tres
pen
gasu
han
ibu.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
64
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Hid
ayat
i, Fi
na
(201
3).
Peng
aruh
pel
atih
an
“pen
gasu
han
ibu
cerd
as” t
erha
dap
sire
s pe
ngas
uhan
pa
da ib
u da
ri an
ak
autis
. (Ju
rnal
)
Tuju
an: m
enen
tuka
n pe
ngar
uh p
elat
ihan
“I
bu C
erda
s” d
alam
m
enur
unka
n st
res
peng
asuh
an ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis.
Posi
tive
pare
ntin
g pr
ogra
m- t
riple
P, p
ada
kelo
mpo
k ps
ikoe
duka
si.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini m
elib
atka
n 20
ora
ng ib
u-ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tis, t
erba
gi k
e da
lam
kel
ompo
k ek
sper
imen
(10)
dan
kel
ompo
k ko
ntro
l (10
).Pe
nelit
ian
eksp
erim
en y
ang
digu
naka
n th
e un
trea
ted
cont
rol g
roup
des
ign
with
pre
test
and
po
stte
st.
Peng
ukur
an:
Skal
a St
res
Peng
asuh
an (P
aren
ting
Stre
ss In
dex
Scal
e).
Dur
asi:
Dila
kuka
n se
bany
ak 8
ses
i dal
am 2
kal
i pe
rtem
uan
sela
ma
sem
ingg
u. S
etia
p pe
rtem
uan
berla
ngsu
ng s
elam
a ±
240
men
it.
Sete
lah
dila
kuka
n an
alis
is d
enga
n m
engg
unak
an W
ilcox
on si
gned
rank
(n
on-p
aram
etrik
), m
enun
jukk
an h
asil
bahw
a pe
latih
an “
Peng
asuh
an Ib
u C
ERda
S” m
enur
unka
n tin
gkat
str
es
peng
asuh
an ib
u da
ri an
ak a
utis
.
Prui
t, M
., W
illis
, K.,
Tim
mon
s, L
., Ek
as,
N (2
016)
The
impa
ct
of m
ater
nal,
child
, and
fam
ily
char
acte
ristic
s on
the
daily
wel
l-bei
ng
and
pare
ntin
g ex
perie
nces
of
mot
hers
of
Bert
ujua
n un
tuk
men
geks
plor
asi
fakt
or-f
akto
r um
um
yang
ber
dam
pak
pada
ke
hidu
pan
seha
ri-ha
ri se
cara
um
um d
an
kehi
dupa
n se
hari-
hari
dala
m in
tera
ksi
peng
asuh
an ib
u ya
ng
mem
iliki
ana
k au
tism
sp
ectr
um d
isord
er.
The
daily
dia
ry a
ppro
ach:
Sebu
ah p
ende
kata
n de
ngan
car
a m
engi
si
buku
dia
ry y
ang
berk
aita
n de
ngan
per
asaa
n po
sitif
da
n pe
rasa
an n
egat
if da
lam
men
gasu
h an
ak
autis
.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
autis
, ibu
mel
engk
api a
sses
men
t ge
jala
mat
erna
l dep
ress
ive,
ting
kat k
epar
ahan
an
ak a
utis
, dan
keb
erfu
ngsi
an k
elua
rga.
Ibu
dim
inta
juga
unt
uk m
enul
iska
n ke
giat
an
kese
haria
n da
n pe
rasa
an n
egat
if se
rta
posi
tif
sela
ma
peng
asuh
an in
tera
ksi a
ntar
a ib
u da
n an
ak a
utis
.Pe
nguk
uran
:(M
ater
nal m
enta
l hea
lth):
Cent
er fo
r
Has
ilnya
men
unju
kkan
bah
wa
tingg
inya
gej
ala
depr
esi p
enga
suha
n ib
u be
rhub
unga
n de
ngan
men
urun
nya
pera
saan
pos
itif k
eseh
aria
n ib
u,
seda
ngka
n tin
ggin
ya k
etid
akm
ampu
an
mem
otiv
asi s
osia
l aba
k be
rhub
unga
n de
ngan
men
ingk
atny
a pe
rasa
an p
ositi
f ke
seha
rian.
Han
ya g
ejal
a de
pres
i pe
ngas
uhan
ibu
yang
dih
ubun
gkan
de
ngan
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
65
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
child
ren
with
aut
ism
spec
trum
diso
rder
(Ju
rnal
)
The
daily
dia
ry a
ppro
ach
mer
upak
an s
alah
sa
tu in
terv
ensi
dal
am
men
ingk
atka
n w
ell
bein
g da
n ke
berf
ungs
ian
kelu
arga
term
asuk
ek
splo
rasi
kej
adia
n pe
ngal
aman
sec
ara
alam
i da
n m
engh
inda
ri m
asal
ah
deng
an re
tros
peks
i (B
olge
r, dk
k., 2
003)
Epid
emio
logi
c St
udie
s Dep
ress
ion
Scal
e; (C
hild
au
tis sy
mpt
om se
verit
y): S
ocia
l Res
pons
iven
ess
Scal
e; (F
amily
func
tioni
ng):
Fam
ily A
dapt
abili
ty
and
Cohe
siaon
Eva
luat
ion
Scal
e; (D
aily
gen
eral
af
fect
): Po
sitiv
e an
d N
egat
ive
Sche
dule
(PA
NA
S);
(Dai
ly p
aren
ting
inte
ract
ions
) : P
engg
unaa
n 2
aite
m d
alam
pen
deka
tan
penu
lisan
dia
ry
Sam
pel:
Jum
lah
sam
pel i
bu 8
3 ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
usi
a 3-
13 ta
hun,
Dur
asi:
14 h
ari
men
ingk
atny
a pe
rasa
an n
egat
if ke
seha
rian.
Sel
anju
tnya
, tin
ggin
ya
perp
adua
n ke
luar
ga b
erhu
bung
an
deng
an m
enin
gkat
nya
inte
raks
i pe
ngas
uhan
pos
itif.
Ting
giny
a ge
jala
de
pres
i pen
gasu
han
ibu
sam
a de
ngan
ke
kaku
an k
elua
rga
dihu
bung
kan
dneg
an m
enin
gkat
nya
frus
tras
i pe
ngas
uhan
ora
ng tu
a.
Tim
mon
s, L
.(2
015)
The
Ef
fect
iven
ess o
f A
Gra
titud
eIn
ter v
en tio
n at
Im
pro v
ing
Wel
l Be
ing
for P
aren
ts
of C
hild
ren
with
Au
tism
Spe
ctru
m
Diso
rder
.(T
esis
)
Bert
ujua
n pa
da in
terv
ensi
un
tuk
oran
g tu
a ya
ng
mem
iliki
ana
k AU
TIS
foku
s pa
da in
tera
ksi
oran
g tu
a- a
nak
dan
hasi
l pe
nguk
uran
ber
upay
a m
enin
gkat
kan
kese
hata
n m
enta
l ora
ng tu
a.
Gra
titud
e In
terv
entio
nBa
nyak
ora
ng y
ang
bers
yuku
r men
un ju
kkan
tin
ggin
ya k
epua
san
hidu
p da
n pe
ng al
aman
em
o si p
ositi
f leb
ih
serin
g di
band
ingk
an
indi
vidu
yan
g ku
rang
be
rsyu
kur (
McC
ullo
ugh,
Em
mon
s &
Tsa
ng, 2
002)
. Ke
bers
yuku
ran
juga
m
ampu
unt
uk m
elaw
an
beba
n da
mpa
k ne
gatif
,
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
ibu-
ibu
yang
m
emili
ki a
nak
AUTI
S, d
irekr
ut s
ecar
a on
line,
pa
rtis
ipan
die
mai
lkan
unt
uk m
elen
gkap
i as
sesm
ent p
re in
terv
entio
n. A
sses
men
t in
i men
caku
p pe
rtan
yaan
yan
g m
engg
ali
info
rmas
i dem
ogra
fi, s
eper
ti la
pora
n di
ri ya
ng
men
guku
r kes
ejah
tera
an s
ecar
a ke
selu
ruha
n,
kese
jaht
eraa
n or
ang
tua,
dn
hubu
ngan
ke
seja
hter
aan.
Set
elah
mel
engk
api a
sses
men
t in
i par
tisip
an m
enda
patk
an 10
dol
lar.
Part
isip
an
diba
gi k
e da
lam
3 k
elom
pok
: 1) a
gen
eral
gr
atitu
de g
roup
(n =
24)
, 2) a
chi
ld sp
esifi
c gr
atitu
de c
ondi
tion
(n=
22),
3) a
neu
tra
life
even
t co
ntro
l gro
up (n
= 2
1).
Has
il :
Tida
k te
rdap
at p
erbe
daan
dite
muk
an
anta
ra p
artis
ipan
dal
am g
ener
al
grat
itude
, chi
ld s
peci
fic g
ratit
ude,
da
n ke
lom
pok
kont
rol.
Artin
ya
grat
itude
inte
rven
tion
berla
ku u
ntuk
ke
selu
ruha
n po
pula
si d
ewas
a ya
ng
beru
paya
unt
uk m
enin
gkat
kan
kese
jaht
eraa
n po
pula
si y
ang
men
gala
mi s
tres
.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
66
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
sepe
rti w
anita
yan
g m
enga
lam
i kan
ker
pa yu
dara
, wan
ita y
ang
mem
iliki
ana
k au
tism
, dan
m
enga
lam
i pos
t tra
umat
ic,
dan
men
urun
kan
depr
esi
dan
kece
mas
an (R
uini
&
Ves
cove
lli, 2
013)
. In
divi
du y
ang
mem
iliki
ke
bers
yuku
ran
tingg
i aka
n le
bih
men
duku
ng d
an
empa
tik (M
cCul
loug
h et
al
., 20
02).
Peng
ukur
an:
Ove
ral w
ell b
eing
mea
sure
s:•
The
Cent
er fo
r Epi
dem
iolo
gic
Stud
ies
Dep
ress
ion
Scal
e (C
ES-D
).•
Posit
ive
and
Neg
ativ
e A
ffec
t Sch
edul
eRe
latio
nshi
p w
ell b
eing
mea
sure
s:•
The
Coup
les’s
Sat
isfa
ctio
nIn
dex
(CSI
).Pa
rent
ing-
rela
ted
wel
l bei
ng m
easu
res:
• Th
e Pa
rent
ing
Sens
e of
Com
pete
nce
Scal
e (P
SOC
)•
The
Kans
as In
vent
ory
of P
aren
tal P
erce
ptio
ns
(KIP
P)Sa
mpe
l:Ju
mla
h sa
mpe
l seb
anya
k 82
ibu
yang
mem
iliki
an
ak A
UTI
S di
baw
ah u
sia
18 ta
hun.
Dur
asi:
8 m
ingg
uFr
eule
r, A.
, Bar
anek
, G
., Ta
shjia
n, C
., W
atso
n, L
., C
rais
, E.
, Bro
wn,
L. (
2014
).Pa
rent
refle
ctio
ns
of e
xper
ienc
es
of p
artic
ipat
ing
in a
rand
omiz
ed
cont
rolle
d tr
ial
of a
beh
avio
ral
inte
rven
tion
for
infa
nts a
t risk
of
autis
m sp
ectr
um
diso
rder
s.(Ju
rnal
).
Bert
ujua
n un
tuk
men
e ran
gkan
pen
g-al
aman
ses
eora
ng d
an
kont
eks
berp
enga
ruh
terh
adap
kel
uarg
a ya
ng
berp
artis
ipas
i dal
am
inte
rven
si d
enga
n an
ak
AUTI
S. P
rose
s in
terv
iew
di
gu na
kan
untu
k m
enda
-la
mi d
an m
enin
g kat
kan
mod
el in
terv
ensi
dan
m
enin
gkat
kan
inte
rven
si
awal
pel
ayan
an k
elua
rga
Adap
tive
Resp
onsiv
e Te
achi
ng:
Men
geks
plor
asi
peng
alam
an p
enga
suh
akan
par
tisip
asi m
erek
a,
prog
ram
edu
kasi
ber
upa
peng
ajar
an a
kan
peril
aku
adap
tif a
nak
AUTI
S, s
erta
ba
gaim
ana
inte
raks
i yan
g ba
ik a
ntar
a pe
ngas
uh d
an
anak
.
Des
krip
si a
ktiv
itas
:Pe
ne lit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
peng
asuh
ya
ng m
emili
ki a
ak A
UTI
S, m
engg
unak
an
sem
istru
ctur
e in
terv
iew
unt
uk m
engg
ali
peng
guna
an re
spon
s ak
an p
erila
ku a
nak,
ser
ta
digu
naka
n un
tuk
men
gide
ntifi
kasi
kan
cara
bar
u pe
mah
aman
feno
men
a pe
ngal
aman
ora
ng tu
aPe
nguk
uran
:4
tem
a ya
ng d
ihad
irkan
:•
Wor
king
aga
inst
all
odds
•G
ettin
g th
e ba
ll ro
lling
•Va
lue
of p
erso
nal r
elat
ions
hip
•A
nd G
ettin
g da
d on
boa
rdSa
mpe
l:Pa
rtis
ipan
terd
iri d
ari 1
3 ib
u da
n 4
ayah
.
Has
il:O
rang
tua
mel
apor
kan
bebe
rapa
as
pek
posi
tif d
ari p
artis
ipan
seb
agai
hu
bung
an p
erke
mba
ngan
den
gan
para
pr
ofes
iona
l, da
n m
emili
ki p
eras
aan
duku
ngan
dar
i ora
ng tu
a.O
rang
tua
juga
men
ggam
bark
an b
ahw
a pe
rasa
an n
egat
if m
enur
un, s
eper
ti be
ban
men
geva
luas
i, ce
mas
.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
67
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Tong
e, d
kk. (
2006
)Be
rtuj
uan:
men
urun
kan
kece
mas
an d
an d
epre
si
sete
lah
asse
smen
t yan
g di
laku
kan.
Pare
nt E
duca
tion
and
Beha
vior
Man
agem
ent
(PEB
M):
Trai
ning
yan
g di
peru
ntuk
kan
bagi
ora
ng
tua
deng
an a
nak
AUTI
S
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
oran
g tu
a ya
ng
mem
iliki
ana
k AU
TIS
diba
ndin
gkan
den
gan
kelo
mpo
k ya
ng ti
dak
ikut
par
tisip
asi d
alam
in
terv
ensi
PEB
M.
Sam
pel:
Ora
ng tu
a ya
ng m
emili
ki a
nak
AUTI
S D
uras
i:6
bula
n
Has
il:In
terv
ensi
ini m
emili
ki k
eber
mak
naan
ya
ng d
itunj
ukka
n pa
da p
enin
gkat
an
kepu
asan
ora
ng tu
a de
ngan
inte
raks
i or
ang
tua
anak
dan
kem
ampu
an
peng
asuh
an o
rang
tua.
Chi
ang,
Hsu
-Min
. (2
014)
A P
aren
t Edu
catio
n Pr
ogra
m fo
r Par
ents
of
Chi
nese
Am
eric
an
Child
ren
with
Au
tism
Spe
ctru
m
Diso
rder
(AU
TISs
): A
Pilo
tSt
udy
(Jurn
al)
Bert
ujua
n un
tuk
men
guji
keef
ektif
an p
rogr
am
eduk
asi b
uat o
rang
tua
dala
m m
enur
unka
n st
res
peng
asuh
an o
rang
tu
a da
n m
enin
gkat
kan
kepe
rcay
aan
diri
oran
g tu
a da
n ku
alita
s ke
hidu
pan
oran
g tu
a da
ri An
ak C
hina
Am
erik
a ya
ng
men
gala
mi A
UTI
S.
Pare
nt E
duca
tion
Prog
ram
:D
esig
n pr
ogra
m
atau
trai
ning
unt
uk
mem
berik
an o
rang
tua
info
rmas
i ata
u m
enga
jari
kem
ampu
an o
rang
tua.
Stra
tegi
mul
ti in
terv
ensi
m
enga
jark
an p
ada
topi
k ya
ng s
pesi
fik
(mis
al: m
emah
ami
AUTI
S, d
asar
men
gatu
r pe
rilak
u, k
eter
sedi
aan
pela
yana
n, d
an s
trat
egi
untu
k m
empe
rken
alka
n ko
mun
ikas
i dan
ke
mam
puan
sos
ial,
men
gatu
r str
es
peng
asuh
an o
rang
tua
dan
men
g ata
si m
asal
ah
kese
hata
n m
en ta
l),
disk
usi k
elom
pok,
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini m
engg
unak
an d
esai
n p
enel
itian
pr
e-po
stte
st g
roup
des
ign.
dila
ksan
akan
pa
da.P
rogr
am in
i ter
diri
dari
10 m
ingg
u se
si
kelo
mpo
k. M
asin
g-m
asin
g se
si s
elam
a 12
0 m
enit
dan
4 ba
gian
. Bag
ian
pert
ama
(30
men
it)
diaj
arka
n te
ntan
g ke
min
atan
ora
ng tu
a (t
otal
10
topi
k, te
rmas
uk p
emah
aman
AU
TIS,
sis
tem
ed
ukas
i, m
enga
jari
kem
ampu
an b
erko
mun
ikas
i, m
enga
jari
sosi
al d
an k
emam
puan
ber
mai
n,
men
gura
ngi p
erila
ku m
enan
tang
, men
gaja
ri ke
mam
puan
aka
dem
is, k
emam
puan
ber
fung
si,
stra
tegi
kop
ing,
dan
sum
ber k
omun
ikas
i.Ba
gian
ked
ua (3
0 m
enit)
, dis
kusi
kel
ompo
k da
n ro
le p
lay
dise
suai
kan
deng
an to
pik.
Bagi
an k
etig
a (3
0 m
enit)
, sat
u at
au d
ua o
rang
be
rbag
i pen
gala
man
mer
eka
seba
gai o
rang
tua
yang
mem
iliki
ana
k AU
TIS
Bagi
an k
eem
pat (
30 m
enit)
, sat
u at
au d
ua o
rang
tu
a be
rbag
i inf
orm
asi
tent
ang
pera
saan
mer
eka
yang
mun
gkin
dap
at
berm
anfa
at b
agi k
elua
rga
lain
nya
Has
ilnya
: set
elah
men
erim
a pr
ogra
m
ini,
oran
g tu
a da
ri an
ak C
hina
Am
erik
a ya
ng m
enga
lam
i AU
TIS
ini
men
unju
kkan
pen
urun
an s
igni
fikan
da
lam
str
es p
enga
suha
n, p
enin
gkat
an
dala
m k
eper
caya
an d
iri o
rang
tua,
dan
pe
ning
kata
n da
lam
kua
litas
keh
idup
an
kese
hata
n fis
ik d
an li
ngku
ngan
.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
68
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
mod
el, r
ole
play
, m
enon
ton
vide
o,
pem
ecah
an m
asal
ah,
pem
beria
n tu
gas
peke
rjaan
rum
ah, d
an
mem
bang
un h
ubun
gan
di
anta
ra o
rang
tua.
Peng
ukur
an:
Pare
ntin
g St
ress
:•
Pare
ntin
g St
ress
Inde
x (P
SI) (
Abid
in, 1
995)
.Pa
rent
al c
onfid
ence
:•
Conf
iden
ce d
egre
e qu
estio
ns fo
r fam
ilies
(C
DQ
) (O
kuno
, dkk
., 20
11).
Qua
lity
of li
fe:
• Th
e w
orld
Hea
lth O
rgan
izat
ion
Qua
lity
of
Life
-Brie
f (W
HO
- QO
L-Br
ief)
(WH
OQ
OL
Gro
up, 1
998)
.Sa
mpe
l:Ju
mla
h sa
mpe
l seb
anya
k 9
kelu
arga
Chi
na
Amer
ika
deng
an a
nak
AUTI
S.D
uras
i:10
min
ggu
Che
rem
shyn
ski,
C.,
Lucy
shyn
, J.,
Ols
on, D
. (20
12).
Impl
emen
tatio
n of
a C
ultu
rally
A
ppro
pria
te P
ositi
ve
Beha
vior
Sup
port
Pl
an W
it a
Japa
nese
M
othe
r of a
Chi
ld
with
Aut
ism: A
n Ex
perim
enta
l and
Q
ualit
ativ
e A
naly
sis.
(jurn
al)
Bert
ujua
n pa
da
pem
usat
an k
elua
rga
deng
an m
engg
unak
an
posit
ive
beha
vior
supp
ort
(PBS
) yan
g di
ranc
ang
berd
asar
kan
perb
edaa
n la
tar b
elak
ang
baha
sa
dan
buda
ya. P
erbe
daan
bu
daya
dan
bah
asa
dapa
t ber
part
isip
asi p
ada
posit
ive
beha
vior
supp
ort
dan
kem
ajua
n da
lam
pe
rilak
u an
ak.
Posi
tive
Beha
vior
Sup
port
:Pr
ogra
m d
ukun
gan
deng
an u
paya
unt
uk
men
gopt
imal
kan
peril
aku
posi
tif. P
ada
pene
litia
n in
i usa
ha y
ang
dila
kuka
n ib
u de
ngan
men
ggun
akan
bu
daya
set
empa
t un
tuk
men
ingk
atka
n ke
mam
puan
per
ilaku
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini m
engg
unak
an p
rose
dur
kuan
titat
if da
n ku
alita
tif. U
saha
yan
g di
laku
kan
ibu
terh
adap
pen
ingk
atan
per
ilaku
ana
k.Pe
nguk
uran
:Ku
antit
atif:
Peng
umpu
lan
data
, obs
erva
si p
erila
ku
yang
diin
gink
an (p
erse
ntas
e in
terv
al
mas
alah
per
ilaku
, per
sent
ase
lang
kah
berh
asil
peny
eles
aian
, pad
a m
enit
kebe
rapa
pe
nghe
ntia
n pe
rilak
u at
au b
erha
sil
mel
akuk
anny
a, o
rang
tua
men
ggun
akan
st
rate
gi p
erila
ku.
Has
il:Be
rdas
arka
n ha
sil c
ampu
ran
anta
ra
kuan
titat
if da
n ku
alita
taif,
mak
a pe
rilak
u ya
ng d
ihar
apka
n m
enja
di le
bih
cepa
t dan
opt
imal
dal
am k
egia
tan
rutin
itas
seha
ri- h
ari.
Inte
raks
i yan
g ba
ik d
an k
uat a
ntar
a ib
u da
n an
ak.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
69
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
seha
ri-ha
ri an
ak A
UTI
S.
Ketik
a te
rjadi
inte
raks
i ya
ng b
aik
anta
ra
ibu
dan
anak
tent
u ak
an m
engh
asilk
an
esej
ahte
raan
bag
i diri
ibu
dan
kelu
arga
.
men
duku
ng, e
valu
asi k
onte
ks d
an b
uday
a ya
ng
sesu
ai).
Kual
itatif
:D
ata
kual
itatif
dig
unak
an u
ntuk
men
ggal
i bu
daya
kel
uarg
a, p
ersp
ektif
ibu,
per
spek
tif p
ara
pela
ku in
terv
ensi
dal
am p
erke
mba
ngan
dan
pe
nera
pan
posit
ive
beha
vior
supp
ort d
ises
uaik
an
deng
an b
uday
a ya
ng te
pat (
sum
ber:
tulis
an
jurn
al, s
emist
ruct
ured
inte
rvie
ws)
Sam
pel:
Pene
litia
n in
i dila
ksan
akan
pad
a sa
tu o
rang
an
ak A
UTI
S be
rusi
a 5
tahu
n be
rsam
a de
ngan
ib
unya
.Pi
llay,
M.,
Day
, Be
n., W
right
, B.,
Will
iam
s, C
., U
rwin
, B. (2
011)
Autis
m S
pect
rum
Co
nditi
ons -
En
hanc
ing
Nur
ture
an
d D
evel
opm
ent
(ASC
END
): A
n ev
alua
tion
of
inte
rven
tion
supp
ort
grou
ps fo
r par
ents
.(Ju
rnal
).
Prog
ram
ASC
END
be
rtuj
uan
untu
k m
emba
ntu
seju
mla
h tin
gkat
an p
enga
suha
n or
ang
tua
terh
adap
an
ak a
utis
. Sifa
tnya
juga
se
pert
i psi
koed
ukas
i, ja
di b
erus
aha
untu
k m
enin
gkat
kan
pem
aham
an o
rang
tu
a da
kan
kons
ep
yang
dira
ncan
g da
lam
pe
mbe
laja
ran
terh
adap
an
ak a
utis
.
Autis
m S
pect
rum
Co
nditi
ons
- Enh
anci
ng
Nur
ture
and
Dev
elop
men
t (A
SCEN
D) p
rogr
am:
Dib
utuh
kan
cara
kre
atif
dala
m m
emba
ntu
keta
hana
n ke
luar
ga
dala
m m
enga
tur
kesu
litan
per
ilaku
da
n m
enin
gkat
kan
perk
emba
ngan
ana
k au
tis.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
79 o
rang
tua,
di
bagi
ke
dala
m 7
kel
ompo
k. L
ima
kelo
mpo
k (5
9 or
ang
tua)
dib
erik
an D
evel
opm
enta
l Beh
avio
ur
Che
cklis
t (D
BCs)
dan
kue
sion
er p
enge
tahu
an
oran
g tu
a se
lam
a pr
e da
n po
st la
tihan
. Dar
i has
il sk
or D
BC m
enun
jukk
an p
erub
ahan
sig
nifik
an
pada
pos
t pel
atih
an u
ntuk
kes
elur
uhan
mas
alah
pe
rilak
u da
n pe
rilak
u ya
ng m
erus
ak, d
an
terd
apat
pen
urun
an k
ecem
asan
ora
ng tu
a.M
asin
g-m
asin
g ke
lom
pok
terd
iri d
ari 1
1 ses
i, ya
itu:
Has
ilnya
san
gat e
fekt
if da
lam
m
emba
ntu
oran
g tu
a be
rinte
raks
i de
ngan
ana
knya
. Pel
atih
an
men
yedi
akan
bag
i ora
ng tu
a in
form
asi
akan
per
kem
bang
an, k
ekua
tan
dan
kele
mah
an a
nak-
anak
mer
eka.
Sal
ing
beke
rja s
ama
deng
an o
rang
tua
lain
nya
untu
k sa
ling
berb
agi a
kan
duku
ngan
, m
ekan
ism
e ko
ping
dan
sta
tegi
da
lam
pen
ingk
atan
per
kem
bang
an
anak
. Men
gaja
ri or
ang
tua
dala
m
men
gana
lisa
peril
aku
anak
dan
pe
nang
anan
yan
g te
pat.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
70
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Kons
ep te
oret
is y
ang
dibe
rikan
sep
erti:
min
d bl
indn
ess
Pem
bela
jara
n de
ngan
st
rate
gi b
aru
dan
baga
iman
a m
elet
akka
n or
ang
tua
ke d
alam
tin
daka
n in
i, be
rtuj
uan
untu
k m
enin
gkat
kan
kepe
rcay
aan
diri
dan
mem
buka
pik
iran
oran
g tu
a.pa
rent
al p
erce
ptio
nsBe
rupa
ya m
enin
gkat
kan
pem
aham
an d
iri o
rang
tu
a te
lah
dipe
rken
alka
n da
lam
per
seps
i mer
eka
akan
per
ilaku
ana
k au
tis.
ASC
END
ada
lah
prog
ram
ya
ng m
enge
mba
ngka
n da
n m
enge
valu
asi s
ecar
a in
depe
nden
dar
i pro
gram
Ea
rlyBi
rd d
an ti
dak
terd
apat
per
panj
anga
n ya
ng te
rakh
ir. P
rogr
am
ini s
iste
mat
ik d
an ru
tin
men
geva
lusi
unt
uk a
lasa
n pe
ning
kata
n kl
inis
yan
g ba
ik p
engg
unaa
n st
anda
r ku
esio
ner.
Sess
ion
1 Min
d bl
indn
ess
and
the
soci
al w
orld
Sess
ion
2 G
ettin
g th
e gi
stSe
ssio
n 3
Lang
uage
and
com
mun
icat
ion
Sess
ion
4 Pr
eocc
upat
ions
and
repe
titiv
e be
havi
ours
Sess
ion
5 Im
agin
atio
n, ti
me
perc
eptio
n an
d m
emor
ySe
ssio
n 6
Man
agin
g be
havi
our
Sess
ion
7 Ex
plor
ing
indi
vidu
al p
robl
ems
and
deve
lopi
ng s
trat
egie
s, P
art 1
Sess
ion
8 Tr
aini
ng o
n st
rate
gies
to m
anag
e be
havi
ours
, Par
t 1 S
essi
on 9
Wor
ksho
p: w
ritin
g so
cial
sto
ries
or m
akin
g vi
sual
tim
etab
les/
aids
Sess
ion
10 E
xplo
ring
indi
vidu
al p
robl
ems
and
deve
lopi
ng s
trat
egie
s, P
art 2
(rev
isin
g an
d ad
aptin
g pl
ans)
Sess
ion
11 S
trat
egie
s fo
r man
agin
g be
havi
our,
Part
2 C
onso
lidat
ion,
fina
l que
stio
ns, p
arty
.Pe
nguk
uran
:Co
urse
satis
fact
ion:
• A
brie
f eva
luat
ion
form
Pare
nt’s
com
men
ts a
nd su
gges
tions
:•
Dev
elop
men
tal B
ehav
iour
che
cklis
tSa
mpe
l:Ju
mla
h sa
mpe
l: 79
ora
ng tu
aD
uras
i:Te
lah
berja
lan
sela
ma
5 ta
hun.
Tuju
h se
ri pe
latih
an o
rang
tua
yang
dila
kuka
n da
ri ta
hun
2004
-200
7 (d
ua p
elat
ihan
di 2
004,
sa
tu p
elat
ihan
di 2
005,
dua
pel
atih
an d
i 200
6,
dan
dua
pela
tihan
di 2
007)
.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
71
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Flip
pin,
M. &
C
rais
, E.
(201
1)Th
e N
eed
for M
ore
Effe
ctiv
e Fa
ther
In
volv
emen
t in
Early
Au
tism
Inte
rven
tion
(Jurn
al)
Artik
el in
i men
jela
skan
te
ntan
g pe
ran
ayah
yan
g un
ik d
alam
men
gasu
h an
ak A
UTI
S. A
yah
mem
iliki
keu
nika
n da
n in
tera
ksi d
an
berk
ontr
ibus
i dal
am
perk
emba
ngan
bah
asa
dan
berm
ain
sim
bol.
Ayah
juga
ber
kont
ribus
i pa
da a
nak
AUTI
S un
tuk
men
guat
kan
dala
m p
enur
unan
be
rkom
unik
asi s
osia
l, te
ruta
ma
pada
are
a ba
hasa
dan
ber
mai
n si
mbo
l.
Sist
emat
ik re
view
aka
n pe
ran
ayah
terh
adap
ana
k AU
TIS:
Men
gide
ntifi
kasi
ke
terli
bata
n ay
ah d
alam
pr
ogra
m tr
aini
ng o
rang
tu
a un
tuk
anak
AU
TIS
Men
gide
ntifi
kasi
ko
ntrib
usi o
rang
tua
akan
ha
sil p
erm
aina
n si
mbo
l pa
da a
nak
AUTI
S da
n an
ak
berk
ebut
uhan
khu
sus
lain
nya
Men
guji
perb
edaa
n st
res
peng
alam
an k
opin
g ol
eh
ibu
dan
ayah
den
gan
anak
AU
TIS
Krite
ria R
evie
w a
rtik
el:
Part
isip
an y
ang
term
asuk
ada
lah
seku
rang
-ku
rang
sat
u pa
rtis
ipan
den
gan
AUTI
S an
tara
us
ia 2
-5 ta
hun
dan
oran
g tu
a m
erek
a, ib
u da
n/at
au a
yah
Has
il pe
nguk
uran
men
caku
p ke
mam
puan
be
rkom
unik
asi s
osia
l ana
k (m
isal
kom
unik
asi
verb
al/n
on v
erba
l, pe
niru
an, i
nter
aksi
sos
ial,
perh
atia
n be
rsam
a)O
rang
tua
adal
ah w
akil
dari
inte
rven
si.
Has
il :
Tota
l 27
artik
el d
ijum
pai k
riter
ia
khus
us.
Bera
sark
an h
asil
kajia
n lit
erat
ur
belu
m d
idap
atka
n pe
nelit
ian
akan
pe
nguj
ian
inte
rven
si p
eran
aya
h da
n be
rmai
n si
mbo
l unt
uk a
nak
AUTI
S.
Terd
apat
tiga
pen
eliti
an y
ang
rele
van:
st
udi o
bser
vasi
aka
n ko
ntrib
usi a
yah
berm
ain
sim
bol p
ada
anak
dow
n sy
ndro
me
dand
ua p
enel
itian
ber
mai
n si
mbo
l aka
n pe
ran
oran
g tu
a te
rhad
ap
anak
AU
TIS.
Ana
k AU
TIS
mem
buat
ke
untu
ngan
dal
am b
erm
ain
sim
bol
dan
berm
ain
obje
k la
inny
a, m
eski
pun
belu
m d
ilapo
rkan
per
an a
yah
di d
alam
in
terv
ensi
.
Stei
ner,
A.M
. (20
11).
A S
tren
gth-
Base
d A
ppro
ach
to
Pare
nt E
duca
tion
for C
hild
ren
With
Au
tism
(Jur
nal)
Bert
ujua
n un
tuk
men
guji
dam
pak
dari
pend
ekat
an
stre
ngth
bas
ed u
ntuk
ed
ukas
i ora
ng tu
a.
A S
tren
gth
Base
d A
ppro
ach:
Pend
ekat
an u
ntuk
or
ang
tua
pada
ana
k au
tism
, men
gide
ntifi
kasi
kr
iteria
pos
itif p
ada
anak
da
n hu
bung
an y
ang
berm
anfa
t kar
ena
stre
ssor
di
hubu
ngka
n de
ngan
ke
tidak
mam
puan
yan
g pa
rah,
dan
tida
k m
udah
un
tuk
diku
asai
.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
anak
da
n pe
ngas
uh u
tam
anya
(ibu
). An
ak
pert
ama:
pen
gasu
h be
rupa
ya m
emah
ami
dan
men
ingk
atka
n ke
lem
ahan
ana
k (n
on
verb
al, k
omun
ikas
i kur
ang
berf
ungs
i, ja
rang
be
rinte
raks
i den
gan
oran
g la
in, m
erus
ak,
men
ghin
dar,
deng
an p
etun
juk
dari
tera
pis.
Has
il:O
rang
tua
men
unju
kkan
kem
ajua
n af
eksi
nya,
mem
buat
lebi
h po
sitif
pa
da a
nak
mer
eka,
pen
ingk
atan
kas
ih
saya
ng s
ecar
a fis
ik, k
emaj
uan
prog
ram
in
terv
ensi
ana
k au
tism
, kop
ing
oran
g tu
a da
n pe
ning
kata
n hu
bung
an o
rang
tu
a da
n an
ak.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
72
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Peng
asuh
(ibu
) ber
upay
a m
enin
gkat
kan
kele
mah
an
yang
dim
iliki
ana
k de
ngan
pe
tunj
uk d
an a
raha
n da
ri te
rapi
s.Ke
tika
anak
sud
ah
men
ampi
lkan
per
ilaku
ya
ng d
iingi
nkan
dan
m
emin
imal
kan
peril
aku
yang
tida
k di
ingi
nkan
, m
ka a
kan
berp
enga
ruh
pada
kes
ejah
tera
an o
rang
tu
a.
Pend
ekat
an in
i m
enin
gkat
kan
pand
anga
n as
pek
posi
tif d
ari p
erila
ku
anak
, are
a ko
mpe
tens
i ya
ng d
iting
katk
an d
an
area
per
kem
bang
an y
ang
difa
silit
asi.
Peng
ukur
an:
Anak
per
tam
aPe
ngas
uh b
erup
aya
men
ingk
atka
n ke
lem
ahan
an
ak (n
on v
erba
l, ko
mun
ikas
i kur
ang
berf
ungs
i, m
erus
ak, m
engh
inda
r).
Anak
ked
ua:
Peng
asuh
ber
upay
a m
enin
gkat
kan
kele
mah
an
anak
(ana
knya
spo
ntan
itas,
jara
ng b
erin
tera
ksi
sosi
al d
nega
n or
ang
lain
, mer
usak
, per
ilaku
m
enst
imul
asi d
iri).
Anak
ket
iga:
Peng
asuh
ber
upay
a m
enin
gkat
kan
kele
mah
an
anak
(spo
ntan
itas,
gag
al d
alam
ber
inte
raks
i so
sial
, per
ilaku
terb
atas
dan
ber
ulan
g-ul
ang)
.Sa
mpe
l:Ju
mla
h Sa
mpe
l: tig
a an
ak d
enga
n pe
ngas
uh
utam
anya
(ibu
).D
uras
i:20
jam
per
min
ggun
ya.
Luth
er, E
., C
anha
m,
Dar
yl.,
Cure
ton,
V.
(201
1) C
opin
g an
d So
cial
Sup
port
for
Pare
nts o
f Chi
ldre
n w
ith A
utism
.(Ju
rnal
)
Duk
unga
n So
sial
ke
lom
pok
bert
ujua
n un
tuk
mem
berik
an
tem
pat b
agi o
rang
tua
untu
k m
endi
skus
ikan
ke
sulit
an y
ang
oran
g tu
a al
ami,
salin
g be
rbag
i st
rate
gi k
opin
g da
n ke
caka
pan,
dan
ber
jum
pa
deng
an tu
a de
ngan
si
tuas
i yan
g sa
ma.
Pare
nt S
uppo
rt G
roup
&
Soc
ial S
uppo
rt
Inte
vent
ions
:M
enye
diak
an d
ukun
gan
sosi
al d
alam
set
ing
pend
idik
an d
an
kom
unita
s
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pa
rtis
ipan
dim
inta
unt
uk m
elen
gkap
i kue
sion
er
peng
ukur
an d
an d
imin
ta m
enge
mba
likan
3
min
ggu
kem
udia
n. K
eper
caya
an d
iri o
rang
tu
a di
ukur
ole
h su
rvei
tanp
a na
ma
dan
dari
peng
gabu
ngan
dat
a. P
artis
ipan
dal
am
pene
litia
n in
i ada
lah
suka
rela
.Pe
nguk
uran
:Fa
mily
Cris
is O
rient
ed P
erso
nal E
valu
atio
n Sc
ales
(F-C
OPE
S)So
cial
Sup
port
Inde
x (S
SI)
Has
il:Be
rdas
arka
n sk
or F
-CO
PES
Mes
kipu
n 83
% s
ampe
l leb
ih k
uat a
kan
kepe
rcay
aan
terh
adap
Tuh
an s
ebag
ai
cra
untu
k ko
ping
, nam
un le
bih
sedi
kit
diba
ndin
gkan
pen
ggun
aan
kopi
ng
deng
an m
engh
adiri
pel
ayan
an g
erej
a at
au a
ktiv
itas
yang
mem
butu
hkan
la
yana
n da
ri pe
ndet
a.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
73
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Sam
pel:
Part
isip
an a
dala
h or
ang
tua
deng
ana
anak
AU
TIS
(usi
a 5-
13 ta
hun)
yan
g te
lah
terd
afta
r pa
da k
elas
ber
kebu
tuha
n kh
usus
di n
egar
a Ka
lifor
nia.
Berd
asar
kan
skor
SSI
Mem
iliki
ke
unik
an s
tres
, pad
a pe
nelit
ian
ini m
emili
ki s
kor y
ang
lebi
h tin
ggi
dala
m p
engg
unaa
n du
kung
an s
osia
l di
band
ingk
an k
elom
pok
norm
al.
Has
tings
, R.,
Kovs
hoff,
H.,
Brow
n, T
., W
ard,
N
., Es
pino
sa, F
., Re
min
gton
, B.
(200
5).
Copi
ng s
trat
egie
s in
mot
hers
an
d fa
ther
s of
pr
esch
ool a
nd
scho
ol-a
ge
child
ren
with
au
tism
.
Bert
ujua
n un
tuk:
• U
ntuk
men
geks
plor
asi
stru
ktur
dar
i st
rate
gi k
opin
g ya
ng
digu
naka
n or
ang
tua
dari
anak
aut
is.
• U
ntuk
mel
ihat
pe-
ngar
uh p
erbe
daan
ge
nder
dar
i ora
ng tu
a ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
, (ba
ik ib
u da
n ay
ah d
irekr
ut u
ntuk
pe
nelit
ian)
dan
usi
a an
ak a
utis
dal
am
kelu
arga
(jum
lah
kelu
arga
den
gan
anak
TK
dan
usi
a se
kola
h di
rekr
ut).
• M
enge
kspl
oras
i hu
bung
an a
ntar
a st
rate
gi k
opin
g or
ang
tua
dan
stre
s pe
ngas
uhan
dan
ke
seha
tan
men
tal.
Copi
ng s
trat
egie
s (B
rief
COPE
)Ad
alah
sal
ah s
atu
kopi
ng
yang
dila
kuka
n un
tuk
dapa
t mem
buat
indi
vidu
m
ampu
ber
taha
n da
n w
ell
bein
g•
Men
caku
p be
rbag
ai
stra
tegi
kop
ing
• D
apat
dih
adirk
an
dala
m s
ebua
h si
tuas
i, da
lam
hal
ini d
apat
m
enye
suai
kan
deng
an
tunt
utan
aka
n ko
ndis
i an
ak a
utis
• Le
bih
pend
ek
dan
lebi
h ce
pat
dala
m m
enge
lola
di
band
ingk
an v
ersi
la
in d
ari C
OPE
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
dua
sam
pel
yang
terd
iri d
ari a
yah
dan
ibu.
Unt
uk s
ampe
l 1,
kues
ione
r ora
ng tu
a m
enca
kup
Brie
f CO
PE
dan
peng
ukur
an w
ell b
eing
dik
irim
kan
pada
al
amat
mas
ing-
mas
ing
anak
dan
kem
udia
n di
kem
balik
an d
enga
n am
plop
yan
g di
pera
ngko
i ke
pada
pen
eliti
.U
ntuk
sam
pel 2
, kue
sion
er o
rang
tua
men
caku
p Br
ief C
OPE
dan
pen
guku
ran
kese
jaht
eraa
n or
ang
tua
dial
amat
kan
keru
mah
ora
ng tu
a da
n di
kem
balik
an d
alam
am
plop
tert
utup
kep
ada
team
ket
ika
mer
eka
diku
njun
gi u
ntuk
ass
esm
ent l
ainn
ya d
ala
rum
ah
mer
eka
Peng
ukur
an:
Copi
ng:
• Br
ief C
OPE
(Car
ver,
dkk.
, 198
9)Pa
rent
al w
ell b
eing
:•
Hos
pita
l anx
iety
and
Dep
ress
ion
Scal
e (H
ADS;
Zi
gmon
& S
naith
, 198
3).
• Q
uest
ionn
aire
on
Reso
urce
s and
Str
ess-
Frie
dric
h (Q
RS-F
; Frie
dric
h, d
kk.,
1983
).
Has
ilnya
:Te
rdap
at e
mpa
t dim
ensi
kop
ing,
ya
itu a
ctiv
e av
oida
nce
copi
ng, p
robl
em
focu
sed
copi
ng, p
ositi
ve c
opin
g, d
an
relig
ious
/den
ial c
opin
g.Te
rdap
at h
ubun
gan
anta
ra s
trat
egi
kopi
ng d
an s
res
peng
asuh
an d
an
kese
hata
n m
enta
l. Pr
aktik
ber
dam
pak
pada
pen
gura
ngan
avo
idan
ce c
opin
g da
n pe
ning
kata
n pe
nggu
naan
str
ateg
i po
sitiv
e st
rate
gies
. Pen
ggun
aan
copi
ng
stra
tegi
dap
at m
enin
gkat
kan
stre
s da
n m
asal
ah k
eseh
atan
men
tal,
dan
peng
guna
an re
fram
ing
psoi
tif d
apat
m
enur
unka
n st
res.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
74
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Sa
mpe
l:Ju
mla
h sa
mpe
l 1 (2
6 ib
u da
n 20
aya
h) y
ang
mem
iliki
ana
k AU
TIS
bers
ekol
ah.
Jum
lah
sam
pel 2
(48
ibu
dan
41 a
yah)
yan
g m
emili
k an
ak A
UTI
S be
rsek
olah
yan
g te
rdaf
tar
pada
SC
AmP
(seb
uah
proj
ek p
enge
valu
asia
n te
rhad
ap in
terv
ensi
per
ilaku
unt
uk a
nak
autis
ya
ng le
bih
mud
a.M
ahon
ey, G
., &
Pe
rale
s, F.
(200
3)U
sing
Rela
tions
hip-
Fo
cuse
d to
En
hanc
e th
e So
cial
-Em
otio
nal
Func
tioni
ng o
f Yo
ung
Child
ren
with
Au
tism
Spe
ctru
m
Diso
rder
(Jur
nal)
Bert
ujua
n un
tuk:
• M
emba
ntu
oran
g tu
a m
empe
l aja
ri sa
tu
sam
pai d
ua s
trat
egi
resp
onsiv
e te
achi
ng
yang
seb
e lum
nya
belu
m d
apat
bek
er ja
sa
ma
sam
pai i
nter
aksi
m
er ek
a de
ngan
ana
k m
erek
a se
lam
a ru
-tin
itas
kese
haria
n•
Men
doro
ng o
rang
tu
a m
e lan
jut k
an
peng
guna
an s
trat
egi
yang
tela
h di
pela
jari
sebe
lum
nya.
Rela
tions
hip
Focu
sed
Inte
rven
tion:
Pend
ekat
an u
mum
un
tuk
men
gem
bang
kan
inte
rven
si y
ang
men
doro
ng d
an
men
duku
ng o
rang
tua
untu
k m
e nin
gkat
kan
stra
tegi
tang
gung
ja w
ab
se la
ma
inte
raks
i rut
inita
s de
ngan
ana
k m
erek
a.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:An
ak d
an o
rang
tua
men
erim
a in
terv
ensi
se
tiap
min
ggun
ya s
elam
a 8 1
4 bu
lan.
Set
iap
sesi
per
tem
uan
berf
okus
pad
a us
aha
men
doro
ng u
ntuk
men
ggun
akan
kur
ikul
um
Resp
onsiv
e Te
achi
ng u
ntuk
mem
perk
enal
kan
perk
emba
ngan
sos
ioem
osio
nal a
nak.
Peng
ukur
an:
Resp
onsiv
e Te
achi
ng P
ivot
al In
terv
entio
n O
bjec
tives
:•
Cogn
ition
:
Soci
al p
lay,
initi
atio
n, e
xplo
ratio
n, p
robl
em
solv
ing,
pra
ctic
e•
Com
mun
icat
ion:
Jo
int a
ctiv
ity, j
oint
att
entio
n, v
ocal
izat
ion,
In
tent
iona
l com
mun
icat
ion,
con
vers
atio
n•
Soci
al e
mot
iona
l fun
ctio
ning
Tr
ust/
atta
chm
ent,
empa
thy/
inte
rsub
ject
ivity
, co
oper
atio
n, se
lf re
gula
tion
• M
otiv
atio
n:
Inte
rest
, per
siste
nce,
enj
oym
ent,
feel
ings
of
com
pete
nce,
feel
ings
of c
ontr
ol
Has
il:In
terv
ensi
rela
tions
hip-
focu
sed
cuku
p m
enja
njik
an p
ada
peni
ngka
tan
kebe
rfun
gsia
n so
sial
em
osio
nal d
ari
anak
AU
TIS.
Per
band
inga
n pr
e da
n po
st a
sses
smen
ts m
engi
ndik
asik
an
bahw
a in
terv
ensi
suk
ses
dala
m
men
doro
ng ib
u un
tuk
lebi
h be
resp
ons
dan
bert
angg
ung
jaw
ab te
rhad
ap
hubu
ngan
ant
ara
ibu
dan
anak
.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
75
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Sa
mpe
l:Ju
mla
h sa
mpe
l 1 (2
6 ib
u da
n 20
aya
h) y
ang
mem
iliki
ana
k AU
TIS
bers
ekol
ah.
Jum
lah
sam
pel 2
(48
ibu
dan
41 a
yah)
yan
g m
emili
k an
ak A
UTI
S be
rsek
olah
yan
g te
rdaf
tar
pada
SC
AmP
(seb
uah
proj
ek p
enge
valu
asia
n te
rhad
ap in
terv
ensi
per
ilaku
unt
uk a
nak
autis
ya
ng le
bih
mud
a.M
ahon
ey, G
., &
Pe
rale
s, F.
(200
3)U
sing
Rela
tions
hip-
Fo
cuse
d to
En
hanc
e th
e So
cial
-Em
otio
nal
Func
tioni
ng o
f Yo
ung
Child
ren
with
Au
tism
Spe
ctru
m
Diso
rder
(Jur
nal)
Bert
ujua
n un
tuk:
• M
emba
ntu
oran
g tu
a m
empe
l aja
ri sa
tu
sam
pai d
ua s
trat
egi
resp
onsiv
e te
achi
ng
yang
seb
e lum
nya
belu
m d
apat
bek
er ja
sa
ma
sam
pai i
nter
aksi
m
er ek
a de
ngan
ana
k m
erek
a se
lam
a ru
-tin
itas
kese
haria
n•
Men
doro
ng o
rang
tu
a m
e lan
jut k
an
peng
guna
an s
trat
egi
yang
tela
h di
pela
jari
sebe
lum
nya.
Rela
tions
hip
Focu
sed
Inte
rven
tion:
Pend
ekat
an u
mum
un
tuk
men
gem
bang
kan
inte
rven
si y
ang
men
doro
ng d
an
men
duku
ng o
rang
tua
untu
k m
e nin
gkat
kan
stra
tegi
tang
gung
ja w
ab
se la
ma
inte
raks
i rut
inita
s de
ngan
ana
k m
erek
a.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:An
ak d
an o
rang
tua
men
erim
a in
terv
ensi
se
tiap
min
ggun
ya s
elam
a 8 1
4 bu
lan.
Set
iap
sesi
per
tem
uan
berf
okus
pad
a us
aha
men
doro
ng u
ntuk
men
ggun
akan
kur
ikul
um
Resp
onsiv
e Te
achi
ng u
ntuk
mem
perk
enal
kan
perk
emba
ngan
sos
ioem
osio
nal a
nak.
Peng
ukur
an:
Resp
onsiv
e Te
achi
ng P
ivot
al In
terv
entio
n O
bjec
tives
:•
Cogn
ition
:
Soci
al p
lay,
initi
atio
n, e
xplo
ratio
n, p
robl
em
solv
ing,
pra
ctic
e•
Com
mun
icat
ion:
Jo
int a
ctiv
ity, j
oint
att
entio
n, v
ocal
izat
ion,
In
tent
iona
l com
mun
icat
ion,
con
vers
atio
n•
Soci
al e
mot
iona
l fun
ctio
ning
Tr
ust/
atta
chm
ent,
empa
thy/
inte
rsub
ject
ivity
, co
oper
atio
n, se
lf re
gula
tion
• M
otiv
atio
n:
Inte
rest
, per
siste
nce,
enj
oym
ent,
feel
ings
of
com
pete
nce,
feel
ings
of c
ontr
ol
Has
il:In
terv
ensi
rela
tions
hip-
focu
sed
cuku
p m
enja
njik
an p
ada
peni
ngka
tan
kebe
rfun
gsia
n so
sial
em
osio
nal d
ari
anak
AU
TIS.
Per
band
inga
n pr
e da
n po
st a
sses
smen
ts m
engi
ndik
asik
an
bahw
a in
terv
ensi
suk
ses
dala
m
men
doro
ng ib
u un
tuk
lebi
h be
resp
ons
dan
bert
angg
ung
jaw
ab te
rhad
ap
hubu
ngan
ant
ara
ibu
dan
anak
.
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
• M
asin
g-m
asin
g re
spon
sive
teac
hing
di
ranc
ang
untu
k m
emba
ntu
oran
g tu
a m
emen
tingk
an s
atu
dari
lima
perb
edaa
n ko
mpo
nen
peril
aku
inte
raks
i ber
espo
ns,
sepe
rti:
Sam
pel:
Jum
lah
sam
pel 2
0 an
ak d
enga
n di
agno
sis
AUTI
S be
rsam
a de
ngan
ora
ng tu
anya
Dur
asi 8
- 14
bul
an
Boyd
, B. (
2002
)Ex
amin
ing
the
Rela
tion s
hip
Betw
een
Stre
ss
and
Lack
of S
ocia
l Su
ppor
t in
Mot
hers
of
Chi
ldre
n w
ith
Autis
m (J
urna
l lit
erat
ur re
view
)
Bert
ujua
n un
tuk
men
gung
kapk
an
pent
ingn
ya in
terv
ensi
du
kung
an s
osia
l yan
g di
terim
a ib
u da
lam
m
enin
gkat
kan
kese
jaht
eraa
n,
men
urun
kan
stre
s.Pa
da ib
u de
ngan
ana
k AU
TIS,
info
rmal
sup
port
le
bih
efek
tif m
enga
tasi
st
res
diba
ndin
gkan
fo
rmal
supp
ort.
Soci
al S
uppo
rt
Inte
rven
tions
:In
terv
ensi
dib
utuh
kan
untu
k m
emba
ntu
oran
g tu
a da
lam
men
ingk
atka
n em
otio
nal w
ell b
eing
de
ngan
ada
nya
pem
beria
n du
kung
an
sosi
al. M
emba
ntu
oran
g tu
a m
enga
tasi
dal
am
peng
asuh
an a
nak
yang
be
rkeb
utuh
an k
husu
s
Peng
ukur
an:
Inst
rum
ent t
iga
lapo
ran
diri
yang
bia
sa
digu
naka
n ol
eh o
rang
tua
yang
men
gala
mi
autis
me,
dan
per
an d
ukun
gan
sosi
al s
anga
t te
pat.
Alat
uku
r yan
g bi
asa
digu
naka
n:Pa
rent
ing
stre
ss•
Pare
ntin
g St
ress
Inde
x (P
SI: A
bidi
n, 19
83).
• Q
uest
ionn
aire
in R
esou
rces
and
Str
ess (
QRS
; H
olyr
oyd,
1974
)Fa
mily
Sup
port
• Fa
mily
Sup
port
Sca
le (D
unst
, Jen
kins
&
Triv
ette
, 198
4).
Has
il:Te
rdap
at ti
ga to
pik
yang
ber
hubu
ngan
de
ngan
pen
caria
n du
kung
an s
osia
l:•
Men
guji
kara
kter
uta
ma
ibu
yang
m
enye
babk
an m
erek
a m
enca
ri du
kung
an s
osia
l•
Berk
onse
ntra
si p
ada
baga
iman
a ci
ri-ci
ri an
ak a
utis
m b
erin
tera
ksi
deng
an ib
unya
yan
g m
emen
garu
hi
kepu
tusa
nnya
unt
uk m
enet
apka
n du
kung
an s
osia
l•
Efek
neg
atif
yang
dap
at b
erta
mba
h ke
tika
duku
ngan
sos
ial t
idak
te
rsed
ia
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
76
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Frea
, W,.
Hep
burn
, S.
(199
9)Te
achi
ng P
aren
ts
of C
hild
ren
with
Au
tism
to P
erfo
rm
Func
tiona
l A
sses
smen
ts to
Pla
n In
terv
entio
ns fo
rEx
trem
ely
Disr
uptiv
eBe
havi
ors
(Jurn
al)
Bert
ujua
n un
tuk
men
ginv
estig
asik
an
kem
ampu
an o
rang
tua
dala
m m
empe
laja
ri ke
mam
puan
yan
g be
rhub
unga
n ke
berf
ungs
ian
asse
smen
t da
n m
enci
ptak
an
inte
rven
si.
• M
enila
i kem
ampu
an
oran
g tu
a da
lam
pe
nggu
naan
man
ual
pem
bela
jara
n un
tuk
men
ampi
lkan
ke
berf
ungs
ian
asse
smen
t•
Men
g ide
n tifi
kasi
kan
bahw
a or
ang
tua
mam
pu m
emba
ngun
pe
rilak
u ya
ng te
pat
buat
ana
knya
.•
Men
geva
luas
i ke
mam
puan
ora
ng
tua
untu
k m
enga
r se
cara
man
diri
akan
pe
rilak
u ba
ru
Teac
hing
Par
ents
Mer
upak
an p
rogr
am y
ang
men
gaja
ri or
ang
tua
agar
da
pat b
erin
tera
ksi d
an
men
gopt
imal
kan
anak
nya
yang
aut
is. D
ihar
apka
n de
ngan
ada
nya
inte
raks
i an
tara
ora
ng tu
a da
n an
ak, a
kan
sem
akin
m
embu
at k
elua
rga
mem
aham
i dan
men
erim
a ko
ndis
i ana
knya
, dan
te
rakh
ir ak
an b
erda
mpa
k pa
da k
esej
ahte
raan
ora
ng
tua.
Des
krip
si A
ktiv
itas
:Pe
nelit
ian
ini d
ilaks
anak
an p
ada
dua
sam
pel
yang
terd
iri d
ari a
yah
dan
ibu.
Unt
uk s
ampe
l 1,
kues
ione
r ora
ng tu
a m
enca
kup
Brie
f CO
PE
dan
peng
ukur
an w
ell b
eing
dik
irim
kan
pada
al
amat
mas
ing-
mas
ing
anak
dan
kem
udia
n di
kem
balik
an d
enga
n am
plop
yan
g di
pera
ngko
i ke
pada
pen
eliti
.U
ntuk
sam
pel 2
, kue
sion
er o
rang
tua
men
caku
p Br
ief C
OPE
dan
pen
guku
ran
kese
jaht
eraa
n or
ang
tua
dial
amat
kan
ke ru
mah
ora
ng tu
a da
n di
kem
balik
an d
alam
am
plop
tert
utup
ke
pada
team
ket
ika
mer
eka
diku
njun
gi
untu
k as
sesm
ent l
ainn
ya d
ala
rum
ah m
erek
a Ba
selin
e da
n in
terv
ensi
aka
n di
ambi
l vid
eony
a se
lam
a ke
seha
rian
sore
nya
anta
ra k
edua
ke
luar
ga. M
asin
g-m
asin
g ke
luar
ga d
imin
ta
men
gide
ntifi
kasi
kan
kegi
atan
kes
ehar
ian.
U
ntuk
Cas
idi,
kegi
atan
yan
g di
laku
kan
adal
ah te
rliba
t dal
am m
erap
ikan
mai
nann
ya
dan
mem
bant
u ib
unya
men
yiap
kan
mak
an
mal
am. U
ntuk
Tyr
el k
eseh
aria
nnya
mem
bant
u m
erap
ikan
mai
nan,
men
cuci
tang
an d
an w
ajah
, da
n du
duk
di k
ompu
ter.
Sam
pel:
Dua
kel
uarg
a, y
aitu
:Ke
luar
ga p
erta
ma:
kel
uarg
a C
asid
i (se
oran
g an
ak la
ki-l
aki a
utis
ber
umur
4 ta
hun
yang
tela
h te
rdia
gnos
is a
utis
, ), i
buny
a se
oran
g sin
gle
mot
her
Kelu
arga
ked
ua :
kelu
arga
Tyr
el (s
eora
ng a
nak
laki
-lak
i aut
is b
erum
ur 4
tahu
n ya
ng te
lah
terd
iagn
osis
aut
is).
Dua
kel
uarg
a di
telit
i, ha
siln
ya
men
gind
ikas
ikan
bah
wa
satu
kel
uarg
a pe
rtam
a su
kses
dal
am p
engg
unaa
n in
form
asi k
eber
fung
sian
ass
esm
ent
untu
k m
enja
di m
andi
ri m
enci
ptak
an
inte
rven
si e
fekt
if.Ke
luar
ga k
edua
dim
inta
unt
uk
men
giku
ti se
si in
stru
ksi s
ingk
at d
alam
pr
osed
ur p
engg
erak
an h
ati u
ntuk
m
ener
apka
n in
terv
ensi
sec
ara
efek
tif.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
77
Nam
a Pe
nelit
i &
Judu
lTu
juan
Bent
uk In
terv
ensi
Pros
edur
Has
il
Sin,
N.,
&
Lyub
omirs
ky, S
. (2
009)
.En
hanc
ing
Wel
l bei
ng a
nd
Alle
viat
ing
Dep
ress
ive
Sym
ptom
s with
Po
sitiv
e Ps
ycho
logy
In
terv
entio
ns :
A
Prac
tice
Frie
ndly
M
eta
Ana
lysis
(L
itera
tur J
umal
)
Bert
ujua
n un
tuk
men
anam
kan
pera
saan
po
sitif
, per
ilaku
pos
itif,
atau
pik
iran
posi
tif.
Posit
ive
Psyc
holo
gy
Inte
rven
tions
:•
Trea
tmen
t ata
u m
etod
e at
au
kegi
atan
yan
g di
se-
ngaj
a,m
enin
g kat
kan
kese
jaht
eraa
n da
n m
empe
rbai
ki g
ejal
a de
pres
i, de
ngan
m
engu
tam
akan
ke
lebi
han-
kele
biha
n ya
ng a
da p
ada
diri
setia
p in
divi
du.
• In
terv
ensi
yan
g di
desi
gn u
ntuk
m
enar
getk
an
kons
truk
psi
kolo
gi
posi
tif b
ertu
juan
un
tuk
men
ingk
atka
n ke
seja
hter
aan
subj
ektif
dan
sel
uruh
ke
baik
an in
divi
du.
PP
Is te
lah
men
arge
tkan
ko
nstr
uk s
eper
ti gr
atitu
de, c
hara
cter
st
reng
ths,
savo
ring,
ki
ndne
ss, h
ope,
op
timism
(Em
mon
s &
McC
ullo
ugh,
Kin
g,
2001
, Kur
tz, 2
008;
Se
nf &
Lia
u, 2
013)
.
Met
ode
Met
a an
alis
isKa
jian
met
aana
lisis
pad
a in
terv
ensi
psi
kolo
gi
posi
tif, m
engg
unak
an s
eban
yak
51 p
enel
itian
da
ri ta
hun
1977
sam
pai 2
008,
kaj
ian
inte
rven
si
deng
an 4
.226
indi
vidu
yan
g di
laku
kan
pada
ka
jian
ini.
Lang
kah-
lang
kah:
1. M
enca
ri ka
jian
pust
aka
yang
dip
ublik
asik
an
mau
pun
yang
tida
k di
publ
ikas
ikan
2.
Men
cari
data
base
onl
ise
Psyc
INFO
den
gan
men
ggun
akan
kat
a ku
nci:
depe
ssio
n,
inte
rven
tion,
pos
itve
affe
ct, p
ositi
ve
psyc
holo
gy, p
ositi
ve p
sych
othe
rapy
, wel
l be
ing
ther
apy,
dan
wel
l bei
ng.
Has
il :
Inte
rven
si p
siko
logi
pos
itif s
ecar
a si
gnifi
kan
mam
pu m
enin
gkat
kan
kese
jaht
eraa
n (m
ean
r = 0
.29)
dan
m
enur
unka
n ge
jala
dep
resi
(mea
n r =
0.
31).
Bebe
rapa
fakt
or d
item
ukan
ber
dam
pak
pada
kee
fekt
ifa in
terv
ensi
psi
kolo
gi
posi
tif, t
erm
asuk
sta
tus
depr
esi,
sele
ksi
diri,
usi
a pa
rtis
ipan
, for
mat
dan
dur
asi
inte
rven
si.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
78
C. ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF DAN NEUROPSIKOLOGIPada subbab ini, yaitu anak dengan gangguan spektrum autis dan
neuropsikologi merupakan rangkuman artikel yang bersumber dari penulis dan sudah pernah dimuat pada Buletin Psikologi (2017), No. l Vol. 25 h. 1125. Intinya neuropsikologi merupakan suatu bidang multidisiplin atau interdisiplin antara neurologi dan psikologi. Pha res (1992) mengemukakan bahwa neuropsikologi dianggap seba gai salah satu di antara kekhususan psikologi klinis. Neuropsikologi mem pelajari hubungan antara otak dan perilaku, disfungsi otak dan defi sit pe rilaku, dan melakukan asesmen dan perlakuan (treatment) untuk perilaku yang berkaitan dengan fungsi otak yang terganggu. Sedangkan neuropsikologi klinis menurut Lezak (1995) adalah ilmu terapan yang mempelajari ekspresi perilaku dari disfungsi otak (app lied science concerned with the behavioral expression of brain dysfunc ti on). Bidang ini muncul karena kebutuhan untuk dilakukan pe min dai an (screening) dan diagnosis atas mereka yang mengalami cedera otak dan gangguan perilaku pada tentara pascaPerang Dunia dan un tuk re habilitasinya. Evaluasi atas perilaku kasuskasus itu diperlukan oleh neurolog dan ahli bedah saraf untuk mendampingi diagnosis dan mencatat perjalanan gangguan otak atau efek perlakuan.
Lezak (1995) menjelaskan bahwa perilaku manusia dalam pen dekatan neuropsikologi dijelaskan sebagai sistem, yakni ada sistem kognitif, sistem emosi dan sistem eksekutif. Termasuk sistem kognitif adalah pengolahan informasi yang meliputi fungsi reseptif, fungsi memoribelajarberpikir, dan fungsi ekspresif. Sistem emosi meliputi emosi dan suasana hati (mood), motivasi dan yang merupakan varia bel kepribadian. Sistem ketiga yakni eksekutif meliputi bagaimana seseorang berperilaku, apakah ia mampu menolong diri sendiri, pe rilakunya bertujuan, dan lainlain.
Lebih dari dua dekade lalu, pendekatan neuropsikologi berperan penting dalam menetapkan dasardasar neurobiologis otak pada anakanak dengan gangguan perkembangan saraf. Teknis neuropsikologi me miliki ke baruan penting pada ketidaknormalan perkembangan sa raf anak, dan pada variasi neuroanatomi yang mengategorikan apa kah anak tersebut mengalami gangguan perkembangan atau tidak.
1. Anak dengan Gangguan Spektrum AutisBerdasarkan pendekatan neuropsikologi, gangguan yang dialami anak
dengan gangguan spectrum autis terjadi karena adanya ketidak normalan
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
79
dalam struktur dan biokimia otak (Carlson, 2011; Stefana tos & Baron, 2011), misalnya pertumbuhan otak yang lebih besar 510% dari anak normal sampai usia 4 tahun, namun kemudian melambat, dan akhirnya berkurang sebelum waktunya. Anak dengan gangguan spektrum autis juga mengalami perbedaan dalam beberapa struk tur otak terutama di bagian otak yang terkait dengan fungsi eksekutif ser ta kemampuan komunikasi dan sosial seperti di bagian frontal cor tex, temporal cortex, hippocampus, dan amygdala. Hal ini menyebabkan anak kesulitan dalam melakukan perencanaan, kurang fleksibel da lam berpikir, kesulitan dalam melakukan generalisasi, kesulitan un tuk meng integrasikan informasi secara lengkap menjadi sesuatu yang ber makna, serta kesulitan dalam kemampuan intersubjektivitas (ke mam puan untuk meletakkan diri sendiri pada posisi/kondisi orang lain) (dalam Daulay, 2017).
Pendekatan neuropsikologi juga memandang bahwa gangguan yang dialami anak dengan keistimewaan ini disebabkan karena adanya gang guan dalam mengintegrasikan informasi sensori yang dite ri ma lingkung an. Gangguan dalam proses sensori ini meliputi cara mem peroleh in formasi melalui indera (sensory reactivity), cara meng olah informasi ter sebut (sen-sory procesing), serta cara menggerakkan otot dan melakukan se rangkai an gerakan sebagai respons terhadap stimulus sensori yang diterima. Gangguan proses sensori ini menye babkan anak menunjukkan perilaku atau respons yang tidak tepat, misalnya anak menunjukkan reaksi yang berlebihan (hyper/over re active) seperti menjerit saat mendengar musik, atau malah kurang bereaksi terhadap stimulus sensori, misalnya tidak merasa sakit ketika terluka (dalam Mukhtar, 2016).
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gangguan spektrum autis merupakan gangguan perkembangan yang disebabkan oleh ke lainan struk tur dan kimiawi otak. Akibatnya, anakanak ini mengala mi banyak ma sa lah dalam mengolah informasi dan kesulitan dalam memberikan respons yang tepat. Sistem yang bertanggung jawab un tuk menerima dan mengolah rangsangan (stimulus) dari luar, disebut sebagai sistem sensorik, tidak bekerja dengan baik. Kondisi sensorik ini memegang peranan penting dalam munculnya beragam masa lah dalam kehidupan mereka seharihari. Hambatan terbesar biasanya me reka alami saat usia kanakkanak, ketika sistem sensorik masih bu ruk dan mereka belum mengembangkan caracara yang tepat untuk beradaptasi dengan lingkungan. Seiring bertambahnya usia dan pena nganan yang tepat, maka sistem sensorik ini akan bekerja lebih baik (Ginanjar, 2008, dalam Daulay, 2017).
Berdasarkan penjelasan neuropsikologi pada perilaku manusia menu
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
80
rut Lezak (1995) dapat dijelaskan sebagai sistem, yakni ada sis tem kognitif, sistem emosi dan sistem eksekutif, sehingga penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku anak dengan gangguan spek trum autis dapat dijelaskan sebagai berikut (dalam Daulay, 2017):1. Sistem kognitif: pada anak autis mengalami penurunan volume, ke
lainan ukuran saraf dan kepadatan pada lobus temporalis, kemudian akan mengalami kelainan volume cerebellum sehingga sangat sulit untuk membagi perhatian dan memusatkan perha ti an, namun ketika perhatian terpusat, anak autis akan sulit un tuk mengalihkan perhatian, dan mengalami perhatian sosial yang rendah.
2. Sistem emosi: pada anak autis mengalami penurunan ukuran sel neuron dalam sistem limbik sehingga berdampak pada keti dak ber fungsian dalam stimulus sosial, gerakan meniru, stimulus emosi, per hatian, dan bermain simbol. Pada anak autis juga me ng alami neu roaktivasi yang tidak normal pada amigdala dan hi po kam pus, se hing ga berdampak pada penurunan perilaku sosial, dan rendahnya proses pengenalan wajah.
3. Sistem eksekutif: pada anak autis mengalami kelainan pada pre frontal cortex sehingga tidak mampu mengikuti konteks yang ada, dan tampil dalam perilaku yang tidak tepat dan impulsif. Pada anak autis ju ga mengalami kelainan pada dorsolateral prefrontal cortex, sehingga ber dampak pada rendahnya kemampuan dalam memahami perasaan, pikiran, dan perhatian terhadap orang lain, dan minimnya akan pertimbangan sosial.
Donders dan Hunter (2010) dalam bukunya Principles and Prac tice of Lifespan Developmental Neuropsychology, menjelaskan bahwa volume dari keseluruhan otak, seperti pada area lobus frontalis, lo bus temporalis, dan lobus parietalis pada anak autis mengalami pe ningkatan secara signifikan antara 3,4% dan 9,0%. Demikian pula pe nelitian yang dilakukan oleh Shen, Nordahl, dan Young (2013) bahwa terdapat peningkatan volume otak awal anak autis disebabkan oleh jaringan yang berbeda dalam jumlah cerebrospinal fluid (CSF), artinya pada bayi yang mengalami gejala autis akan memiliki cairan ekstra (CSF) yang berlebih pada usia 69 bulan, dan akan bertambah banyak ketika anak terdiagnosis pada usia 24 bulan atau lebih. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hampir pada keseluruhan area lobus mengala mi peningkatan volume ditambah lagi dengan cairan yang berlebih dalam otak (cerebrospinal fluid), sehingga ini juga berpengaruh pada volume otak anak autis juga mengalami peningkatan dan berdampak
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
81
pada ketidak berfungsian masingmasing area di bagian otak yang terkena sehingga berpengaruh pada ketidaknormalan perkembangan anak autis (dalam Daulay, 2017).
Wolff, Gerig, dan Lewis (2015), mengemukakan bahwa corpus callosum (bagian jembatan penghubung antara kedua belahan otak/hemis phe-re kanan dan kiri) menunjukkan peningkatan dan ketebalan pada bayi dengan hasil scan pada anak autis usia 6 bulan, berbeda dengan bayi normal (Steinmetz, Staiger, & Schlaug, 1996). Hal ini juga sejalan dengan beberapa penelitian yang dilakukan oleh Hazlet, Poe, dan Gerig (2005); Schumann, Bloss, dan Barnes (2010) menjelaskan bahwa peningkatan volume otak pada anak autis dipengaruhi oleh peningkatan volume white matter. Perkembangan yang tidak normal dari white matter cortex dan perbedaan jumlah cerebrospinal fluid (CSF) berkontribusi terhadap pening katan volume otak. Penelitian Schumann, Bloss, dan Barnes (2010) mene gaskan bahwa terjadi pe ningkatan abnormal pertumbuhan korteks pada anak autis, studi yang dilakukan pada kelompok anak autis ini mengungkap kan bahwa gang guan awal terjadi pada pembentukan white matter neurosir kuit otak dibandingkan gangguan perkembangan grey matter pada anak autis. White matter berfungsi dalam menghubungkan pusatpusat informasi dan grey matter berfungsi dalam menganalisa informasi (dalam Daulay, 2017).
2. AnakdenganAttentionDeficitHyperactivityDisorders/ADHDBagaimana keterkaitan neuropsikologi dan anak yang mengalami
ADHD? Penyebab ADHD seperti yang diungkap Flanagen (2002) mengungkapkan penelitianpenelitian telah menemukan bahwa ADHD memiliki hubungan dengan susunan kimia dan fungsi otak. Pa ra peneliti telah mempelajari cara mengalirnya darah dalam otak anak ADHD dan bukan ADHD dan cara otak dari tipe orang yang ber be da dalam menggunakan glukosa. Meskipun studi tersebut meng gunakan teknikteknik yang berbeda, tampak jelas bahwa fung si otak nyata berbeda pada anak ADHD. Sebagian besar penelitian tersebut berfokus pada cuping garis depan dari otak dan pada pe ranan neurotransmitter, bahan kimia yang mengirimkan pesan dari satu bagian otak ke bagian lain. Kemungkinan ADHD disebabkan oleh suatu problem dalam pengiriman pesan di sekitar otak. Ba gian otak yang berbeda bersangkutan dengan kontrol motor, dengan me nimbangmenimbang konsekuensi sebelum bertindak, dengan pe nentuan dorongan yang mana dalam lingkungan yang harus di perhatikan dan yang mana yang harus diabaikan. Informasi masuk dalam otak, tetapi bila tidak didistribusikan ke bagianbagian otak yang mengontrol tindakan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
82
dan menyaring informasi yang tidak diinginkan, maka hasilnya adalah gerakan yang tidak perlu, tindakan yang implusif dan tindakan yang mudah terganggu (distracbility) terusmenerus.
Perbedaan dalam fungsi otak dan susunan kimiawi otak ini ju ga dipengaruhi karena turunan. Bukti atas hal ini sebagian besar da ri studi tentang kembar, bila seorang kembar identik mengalami ADHD, maka ke mungkinan kembar satunya lagi juga akan mengala mi ADHD sekitar 85 persen. Untuk kembar non identic, atau untuk saudara kandung yang tidak kembar, kemungkinan bahwa keduanya menderita kelainan ini adalah sekitar 30 persen. Studistudi lainnya melihat pada anakanak angkat untuk mengetahui apakah perilaku mereka cenderung mengulang pe rilaku dari orang tuanya, atau apa kah mereka lebih terpengaruh oleh perilaku dari orang tua mereka. Penelitian ini dimaksudkan untuk menilai pentingnya lingkungan keluarga dalam menghasilkan anakanak yang mengalami ADHD. Ha silnya ternyata menguatkan hubungan genetis, karena anakanak yang menderita ADHD cenderung berasal dari orang tua kandung yang juga mengalami ADHD (Flanagen, 2002). Keterkaitan pe ran neuro transmitter bagi anakanak ADHD sampai hari ini terus dila kukan kajian lebih mendalam lagi.
Setelah memahami peran neuropsikologi dalam memengaruhi perkembangan saraf anak dengan gangguan spektrum autis, maka selanjutnya terdapat keterkaitan antara pengalaman individu berda sarkan sudut pan dang individu yang mengalami gangguan perkem bangan ini. Hal ini dapat dimaknai bagaimana individu ini dalam memaknai kehidupannya. Penelitian tentang intervensi yang dilaku kan dalam meminimalisasi perilaku bermasalah individu yang meng alami gangguan spektrum autis telah banyak dilakukan, demikian juga dengan penelitian terkait pengalamana orang tua selama meng asuh anak autis. Namun untuk penelitian tentang pengalaman hidup ditinjau dari perspektif individu yang mengalami gangguan spektrum autis belum banyak dikaji. Oleh ka renanya, penulis berusaha mem bahasnya dalam subbab ini agar lebih me maknai kehidupan individu dengan gangguan spektrum autis.
Berdasarkan hasil metasintesis yang dilakukan oleh DePape dan Lindsay (2016) dari 33 artikel kualitatif dengan 318 individu autis, terda pat empat tema yang muncul berdasarkan pengalaman hidup dari perspek tif individu yang mengalami gangguan spektrum autis, yaitu persepsi terhadap diri, interaksi dengan orang lain, pengalaman di sekolah, faktorfaktor yang berhubungan dengan pekerjaan. Pe ma paran tema tersebut sebagai berikut (dikutip dalam DePape dan Lindsay, 2016).
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
83
Tema 1: Persepsi diria. Identitas Individu yang mengalami gangguan spektrum autis menggam barkan
berbagai efek yang ditimbulkan akibat gangguan yang me reka alami terhadap diri mereka. Beberapa di antara mereka merasa tidak peduli dengan kondisinya, seperti mereka tidak ingin memahami makna gangguan (Calzada, et al., 2011), atau orang lain yang ingin berbagi pengalaman terkait gangguan yang mereka alami (MacLeod, Lewis, & Robertson, 2013). Beberapa yang lain merasa bangga dengan kondisi mereka (Hughes, 2012); ada yang menyatakan lega karena terdiagnosis mengalami gang guan spektrum autis sehingga mereka mam pu mengenal diri me reka sendiri (Rosqvist, 2012). Namun beberapa memandang diri mereka negatif, merasa hancur dan tidak berda ya karena gang guan yang mereka alami akan terjadi sepanjang kehidupan mereka (Haertl et al., 2013); merasa berbeda dari orang lain (Calzada et al., 2011); keinginan agar menjadi orang normal (Humphrey & Lewis, 2008); dan mengalami konflik internal (Griffith et al., 2011).
b. Minat dan bakat Individu autis juga merasakan bahwa mereka memiliki minat dan ba
kat yang berbeda dari yang lainnya, seperti mengutakatik barang, eksplorasi suatu benda. Terkadang minat dan bakat ini mendorong orang lain untuk membentuk stereotip positif terhadap diri mereka.
c. Kemampuan koping Individu autis menyatakan bahwa mereka juga menghadapi ke ce
masan dan stres, bagi mereka dengan tingkat inteligensi baik da pat mengatasi stres dengan meningkatkan kesadaran diri mereka (Muller et al., 2008); namun ada beberapa di antara mereka yang menggunakan alkohol untuk mengatasi kecemasan ini (Muller et al., 2008); terdapat beberapa individu autis dilaporkan menarik diri dari lingkung an dan lebih senang menghabiskan waktu sen diri (Smith & Sharp, 2012); memecahkan masalah sendiri (tidak mencari bantuan ke orang lain) dan menganggap diri mereka ku rang mampu mengelola masalahnya sendiri (Browning et al., 2009).
Tema 2: Interaksi dengan orang laina. Keluarga Keluarga merupakan sumber dukungan sosial utama (GulecAs lan
et al., 2013); dukungan ini datang dari keluarga yang menye diakan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
84
waktunya untuk mereka dengan memberikan kesempat an untuk bersosialisasi (GulecAslan et al., 2013). Dukungan lain nya berupa keluarga menerima anakanak mereka yang terdiag nosis autis dan mem berikan kasih sayang (Preece & Jordan, 2010). Namun didapati juga efek negatif karena keterbatasan yang me reka alami, akhirnya membuat mereka tidak mampu menceri takan kondisinya kepada keluarga mereka (Rossetti et al., 2008).
b. Teman Individu autis memiliki pengalaman positif berhubungan dengan te
man (Daniel & Billingsley, 2010), seperti memiliki kesamaan un tuk berbagai minat, misalnya bermain game (Daniel & Billingsley, 2010. Namun didapati juga pengalamanpengalaman negatif (Calzada et al., 2011), seperti dibully oleh teman sekelas mereka (Gu lecAslan et al., 2013), dan merasa terisolasi dari lingkungan (Muller et al., 2008).
c. Para ahli di lapangan Beberapa individu autis memiliki pengalaman positif terhadap pera
watan kesehatan dan mendapatkan perlakuan yang baik atas gangguan yang mereka alami, namun didapati juga di antara me reka yang mendapatkan perlakuan kurang menyenangkan (Griffi th et al. 2011).
Tema 3: Pengalaman di sekolaha. Kurikulum Beberapa individu autis mengalami kesulitan dengan kurikulum yang
ditetapkan di sekolah, seperti kesulitan menyelesaikan tu gastugas sekolah (Saggers et al., 2011); kesulitan dalam me nu lis (Krieger et al., 2012); dan merasa tertantang dengan ke giatan percobaan/eksperimen (Marks et al., 2000). Mereka lebih senang belajar eksperimen, belajar dengan menggunakan media komputer, belajar berinteraksi dengan guru, dan berharap men da patkan dukungan di kelas. Namun pengalaman individu autis tidaklah semua sama, bagi beberapa lainnya terkendala harus mampu terlebih dahulu memahami instruksi dan informasi yang disampaikan guru, setelah paham baru kemudian dapat melak sanakan tugastugas sekolah.
b. Situasi menantang Individu autis melaporkan bahwa mereka merasakan kecemas an ke
tika rutinitas biasa yang mereka lalui ternyata tidak sesuai seperti biasanya, misalnya mengalami kesulitan pemrosesan sen sorik ketika suasana kelas bising, pulang atau pergi sekolah de ngan rute yang berbeda dari biasanya, dan berjuang untuk me nye suaikan diri di
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
85
lingkungan sekolah.
Tema 4: Faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaana. Manfaat Beberapa individu autis merasakan keberhasilan di tempat kerjanya
karena telah menemukan pekerjaan yang sesuai dengan minat mereka. Pekerjaan yang dilakukan mampu memberfungsikan ke mampuan sensorik mereka seperti menjadi seorang koki yang mampu me ningkatkan kepekaan akan rasa, mampu mereparasi alatalat elektronik dengan meningkatkan kemampuan motorik.
b. Kelemahan Individu autis umumnya mengalami kegagalan dalam pekerjaan,
karena keterbatasan dalam berkomunikasi terhadap orang lain, pelanggan, atasan, dan mereka sering dipecat karena dianggap ti dak mampu menyesuaikan diri dengan situasi sosial.
REFERENSIAmerican Psychiatric Association. (2000). Diagnostic and Statistical Ma-
nual of Mental Disorders. 4th Edition. Text Revision (DSMIVTR ). Washington, DC: American Psychiatric Association.
American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Ma-nual of Mental Disorders. 5th edition. (DSM5 TM). Washington, DC: American Psychiatric Association.
Anantasari, M.L. (2017). “Determinan stressrelated growth ibu dari anak penyandang autisme: Studi kombinasi”. Disertasi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Apostelina, E. (2012). “Resiliensi keluarga pada keluarga yang memiliki anak autis”. JPPP-Jurnal Penelitian dan Pengukuran Psikologi, 1(1), 164176.
Ardic, A. & Cavkaytar, A. (2014). “Effectiveness of the modified intensive toilet training method on teaching toilet skills to children with autism”. Education and Training in Autism and Developmental Disabilities, 49 (2), 263276.
Asmika, A., Andarini, S., & Rahayu, R.P. (2013). “Hubungan motivasi orang tua untuk mencapai kesembuhan anak dengan tingkat pengetahuan tentang penanganan anak penyandang autisme dan spektrumnya”. Jurnal Kedokteran Brawijaya, 22(2), 90 94.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
86
Astuti, A.T. (2016). “Hubungan antara Pola Konsumsi Makanan yang Mengandung Gluten dan Kasein dengan Perilaku Anak Autis pada Sekolah Khusus Autis”. Jurnal Il miah Kesehatan, 11(1). Yogyakarta: Medika Respati.
Barkley, R.A. (1998). A theory of ADHD: Inhibition, executive func tions, selfcontrol, and time. Attentiondeficit hyperactivity disor der: a hand book for diagnosis and treatment, 225260.
Bauman, M., & Kemper, T.L. (1985). “Histoanatomic observations of the brain in early infantile autism.” Neurology Journal, 35, 866874.
Boham, S.E. (2013). Pola komunikasi orang tua dengan anak autis. (Studi pada orang tua dari anak autis di Sekolah Luar Biasa AGCA Center Pumorow Kelurahan Banjer Manado). Acta Diurna Komu nikasi, 2(4).
Bouma, R., & Schweitzer, R. (1990). “The impact of chronic childhood ill ness on family stress: a comparison between autism and cystic fibrosis”. Journal of Clinical Psychology, 46, 722730. doi:10.1002/10974679(199011)46:6<722::AIDJCLP2270460605>3.0.CO;26.
Boyd, B.A. (2002). “Examining the relationship between stress and lack of social support in mothers of children with autism”. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 17(4), 208215.
Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to aus tistic children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.), The Eff ects of Autism on the Family. (p. 289 310). New York: Ple num.
Barkley, A.R. (1998). Attention Deficit Hyperactivity Disorder. 2nd Ed. New York: The Guilford Press.
Bilgin, H., & Kucuk, L. (2010). “Raising an autistic child: Perspectives from Turkish mothers”. Journal of Child and Adolescent Psychiatric Nursing, 23(2), 9299.
Budhiman, M. (1997). Tata Laksana Terpadu pada Autisme. Sympo sium Tata Taksana Autisme: Gangguan Perkembangan pada Anak. Jakarta: Yayasan Autisme Indonesia.
Budhiman, M. (2002). Penanganan autisme secara komprehensif. Se minar & Workshop on Fragile X Mental Retardation, Autism and Related Disorders. Se marang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Carlson, N.R. (2011). Foundations of Behavioral Neuroscience. Boston: Allyn & Bacon.
Carter, B.E., & McGoldrick, M.E. (1988). The changing family life cy cle: A framework for family therapy. Gardner Press.
Catur, N. (2017). “Hubungan antara stres pengasuhan dan penerimaan orang tua terhadap kualitas hidup pada ibu dengan anak gang guan
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
87
spektrum autis”. Tesis. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Center for Disease Control and Prevention (CDC). (2014). “Prevalence of autism spectrum disorder among children aged 8 years: autism and developmental disabilities monitoring network, 11 sites”, United States, 2010. Morbidity and Mortality Weekly Report, 63, 121.
Chawarska, K., Campbell, D., Chen, L., Shic, F., Klin, A., & Chang, J. (2011). Early generalized overgrowth in boys with autism. Ar chi ves of General Psychiatry, 68(10), 10211031. doi:10.1001/archgenpsychiatry.2011.106.
Cheremshynski, C., Lucyshyn, J.M., & Olson, D.L. (2013). Implemen tation of a culturally appropriate positive behavior support plan with a Japanese mother of a child with autism: An experimental and qualitative analysis. Journal of Positive Behavior Interventions, 15(4), 242253.
Chen, C.Y., Liu, C.Y., Su, W. C., Huang, S.L., & Lin, K.M. (2008). Ur banicityrelated variation in helpseeking and services utilization among preschoolage children with autism in Taiwan. Journal of Autism and Developmental Disorders, 38(3), 489497.
Chiang, H.M. (2014). “A parent education program for parents of Chinese American children with autism spectrum disorders (ASDs) a pilot study”. Focus on Autism and Other Developmental Disabi lities, 29(2), 8894.
Courchesne, E. (1997).“ Brainsterm, cerebellar, and limbic neuroana tomical abnormalities in autism”. Current Opinion in Neurobiology, 7, 269278.
Daulay, N. (2016). “Gambaran ketangguhan ibu dalam mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis”. Jurnal Psikohumaniora, 1(1), 4974.
Daulay, N. (2017). “Struktur otak dan keberfungsiannya pada anak dengan gangguan spektrum autis: kajian neuropsikologi”. Buletin Psiko-logi, 1(88), 2012.
Daulay, N. (2018). Parenting stress of mothers in children with au tism spectrum disorder: A review of the culture in Indonesia. KnE Social Sciences, 3(5), 453 473.doi:10.18502/kss.v3i5.2349.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, M.N.R. (2018). Sense of com petence as mediator on parenting stress. The Open Psychology Journal, 11, 198209.doi:10.2174/1874350101811010198.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, M.N.R. (2018). Proses menjadi tang
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
88
guh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis. Jurnal Humanitas, 15(2). http://dx.doi.org/10.26555/hu ma nitas.v15i 2.8695.
Daulay, N. (2019). “Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spktrum autis”. Disertasi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
DeMyer, M. (1979). Parents and Children in autism. Washington, DC: VH Winston.
Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4), 569583.doi:10.1177/1049732314552455.
Donders, J., & Hunter, S. (2010). Principles and Practice of Lifespan Deve-lopmental Neuropsychology. New York: Cambridge Univer sity Press.
Ecker, C. (2016). The neuroanatomy of autism spectrum disorder: An overview of structural neuroimaging findings and their tran slatability to the clinical setting. Autism, 111. doi:10.1177/1362 361315627136.
Ekawati, Y., & Wandansari, Y.Y. (2012). Perkembangan interaksi so sial anak autis di sekolah inklusi: Ditinjau dari perspektif ibu. EXPERIENTIA: Jurnal Psikologi Indonesia, 1(1), 115.
Fanu, J.L. (2006). Deteksi Dini Masalah-masalah Psikologi Anak. Yog yakarta: Think.
Fitriani, A., & Ambarini, T.K. (2013). Hubungan antara hardiness dengan tingkat stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis. Jurnal Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental, 2(2), 37.
Flanagen, R. (2005). ADHD Kids: Menjadi Pendamping Bijak bagi Anak Penderita ADHD. Jakarta: Prestasi Pustaka.
Flippin, M., & Crais, E.R. (2011). “The need for more effective father involvement in early autism intervention: A systematic review and recommendations”. Journal of Early Intervention, 33(1), 2450.528.
Frea, W. D., & Hepburn, S. L. (1999). Teaching parents of children with autism to perform functional assessments to plan interventions for extremely disruptive behaviors. Journal of Positive Behavior Interven-tions, 1(2), 112122.
Freeman, N., Perry, A., & Factor, D. (1991). Child behaviors as stressors: Replicating and extending the use of the CARS as a measure of stress: A research note. Child Psychology & Psychiatry & Allied Disciplines, 32(6), 10251030. doi:10. 1111/j.14697610.1991.tb01927.x.
Freuler, A.C., Baranek, G.T., Tashjian, C., Watson, L.R., Crais, E.R., & TurnerBrown, L.M. (2014). Parent reflections of experiences of parti
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
89
cipating in a randomized controlled trial of a behavioral intervention for infants at risk of autism spectrum disorders. Au tism, 18(5), 519.
Ghosh, S., & Magana, S. (2009). A rich mosaic: Emerging research on Asian families of persons with intellectual and developmental disabilities. In Glidden, L. M., & Seltzer, M. M. (Eds.), International review of research in mental retardation. Vol. 37 (pp.179212). San Diego, CA: Academic Press/Elsevier.
Gilliam, J.E. (1995). GARS: Gilliam autism rating scale. Proed.Ginanjar. A.S. (2008). Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menjadi Orang
Tua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat.Ginting, E.M., & Lubis, R. (2010). Hubungan antara Harga Diri dan Tingkat
Pendidikan dengan Sikap Penerimaan Ibu terhadap Anak Autis di Yayasan IHome Schooling Medan. Analitika: Jurnal Ma gister Psikologi UMA, 2(1), 3643.
Green, J., Rinehart, N., Anderson, V., Nicholson, J., Jongeina, B., & Sciberras, E. (2015). Autism spectrum disorder symptoms in children with ADHD: A communitybased study. Research in De velopmental Disabilities, 47, 175184.
Hanoum, M. (2015). “Rancangan Modul Pelatihan untuk Ibu yang Memiliki Anak Autis”. SOUL: Jurnal Pemikiran dan Penelitian Psi kologi, 8(1), 1016.
Harta, W. (2015). “Gambaran source of parenting selfefficacy pada ibu yang memiliki anak autis”. Tesis.
Hartono, B., Rahmawati, D., & Muhartono, H. (2002). “Masalahmasa lah neurobehavior pada autisme infantil”. Seminar & Workshop on Fragile X Mental Retardation, Autism and Related Disorders. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hastings, R.P., Kovshoff, H., Brown, T., Ward, N.J., Espinosa, F.D., & Remington, B. (2005). Coping strategies in mothers and fathers of preschool and schoolage children with autism. Autism, 9(4), 377391.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). The impact of parenting stress: A Metaanalysis of studies comparing the experience of parenting stress in parents of children with and without autism spectrum disorder. Jour-nal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629642. doi:10.1007/s108030121604y.
Hazlett, H., Poe, M., Gerig, G, et al. (2005). Magnetic resonance ima ging and head circumference study of brain size in autism: birth through age 2 years. Archives of General Psychiatry, 62(12), 13661376.
Hidayati, F. (2013). Pengaruh pelatihan “Pengasuhan Ibu Cerdas ter ha
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
90
dap stres pengasuhan pada ibu dari anak autis”. Psikoislamika: Jurnal Psikologi dan Psikologi Islam, 10(1).
Holroyd, J., & McArthur, D. (1976). Mental retardation and stress on the parents: A contrast between down’s syndrome and childhood autism. American Journal of Mental Deficiency, 80(4), 431436.
Holroyd, E.E. (2003). Chinese cultural influences on parental caregiving obligations toward children with disabilities. Qualitative Health Research, 13(1), 419.
Ismail, A. (2008). “Hubungan dukungan sosial degan penerimaan diri Ibu terhadap anaknya yang mengalami gangguan autis”. Skripsi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Jeniu, E., Widodo, D., & Widiani, E. (2017). Hubungan pengetahuan tentang autisme dengan tingkat kecemasan orang tua yang me mi liki anak autisme di Sekolah Luar Biasa Bhakti Luhur Malang. Nursing News: Jurnal Ilmiah Keperawatan, 2(2).
Karningtyas, M.A. (2014). “Pola Komunikasi Interpersonal Anak Au tis di Sekolah Autis Fajar Nugraha Yogyakarta”. Jurnal Ilmu Komu nikasi, 7(2).
Kim, J., Wigram, T., & Gold, C. (2009). Emotional, motivational and interpersonal responsiveness of children with autism in improvi sational music therapy. Autism, 13(4), 389409.
Konstantareas, M.M., & Papageorgiou, V. (2006). Effects of tempe rament, symptom severity and level of functioning on maternal stress in Greek children and youth with ASD. Autism, 10, 6, 593607.
Kousha, M., Attar, H.A., & Shoar, Z. (2016). “Anxiety, depression, and quality of life in Iranian mothers of children with autism spectrum disorder”. Journal of Child Health Care, 20(3), 405414.
Kusumastuti, A.N. (2014). “Stres ibu tunggal yang memiliki anak autis”. Jurnal psikologi, 7(2).
Lee, J.K. (2011). Predictors of Parenting Stress among Mothers of Children with Autism in South Korea. ProQuest LLC. 789 East Eisenhower Parkway, PO Box 1346, Ann Arbor, MI 48106.
Lezak, M.D. (1992). Neuropsychological Testing. New York: Oxford University Press.
Lidanial, L. (2014). “Problematika yang dihadapi keluarga dari anak dengan intellectual disability (studi etnografi)”. Jurnal Penelitian Pendi-dikan, 14(2).
Lin, L., Orsmond, G. I., Coster, W. J., & Cohn, E. S. (2011). Families of adolescents and adults with autism spectrum disorders in Taiwan: The
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
91
role of social support and coping in family adaptation and maternal wellbeing. Research in Autism Spectrum Disorders, 5, 144156. doi:10.1016/j.rasd.2010.03.004.
Liu, G. (2005). Best practices: Developing crosscultural competen ce from a Chinese perspective. In J.H. Stone (Ed.), Culture and disability: Providing culturally competent services. (pp. 6585). Thousand Oaks, CA: Sage Publications Inc.
Lubis, M. Penyesuaian diri orang tua yang memiliki anak autis. Skripsi Luong, J., Yoder, M.K., Canham, D. (2009). Southeast Asian Parents Raising a Child With Autism: A Qualitative Investigation of Co ping Styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222229. doi: 10.1177/1059840509334365.
Luong, J., Yoder, M. K., & Canham, D. (2009). Southeast Asian parents raising a child with autism: A qualitative investigation of coping styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222229.
Luther, E.H., Canham, D.L., & Cureton, V.Y. (2005). Coping and so cial support for parents of children with autism. The Journal of School Nursing, 21(1), 4047.
Maharani, K. D., Karini, S. M., & Agustin, R. W. (2015). Studi Kasus Proses Pencapaian Kebahagiaan pada Ibu yang Memiliki Anak Kandung Penyandang Asperger’ s Syndrome. Wacana, 7(1).
Mahoney, G., & Perales, F. (2003). Using relationshipfocused inter vention to enhance the social—emotional functioning of young children with autism spectrum disorders. Topics in Early Child hood Special Education, 23(2), 7486.
Mukhtar, D.Y. (2016). “Pedoman Group Based Parenting Support un tuk orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Modul”. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Marettih, A.K.E., & Wahdani, S. R. (2017). “Melatih Kesabaran dan Wujud Rasa Syukur sebagai Makna Coping bagi Orang Tua yang Memiliki Anak Autis”. Marwah: Jurnal Perempuan, Agama dan Jender, 16(1), 1331.
Mash, E., & Wolfe, D. (1999). Abnormal Child Psychology. Bermont, CA: Wadsworth Publishing Company.
Meliani, M., Setiawan, J.L., & Sukamto, M E. (2007). “Hubungan antara kecerdasan emosional dan depresi pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan autisme”. Psikologika: Jurnal Pemikiran dan Pe ne litian Psikologi, 12(23), 2130.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
92
Milyawati, L., & Hastuti, D. (2009). “Dukungan keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu serta hubungannya dengan strategi koping ibu pada anak dengan gangguan autism spectrum disorder (ASD)”. Jurnal Ilmu Keluarga & Konsumen, 2(2), 137142.
Mudjito, Harizal, Widyarini, E., & Roswita, Y. (2014). Deteksi dini, diag nosis gangguan spektrum autis dan penanganan dalam keluarga. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khusus dan Layanan Khu sus Direkto rat Jenderal Pendidikan Dasar. Kementerian Pendi di kan dan Ke budayaan
Mukhtar, D.Y. (2017). “Pengaruh groupbased parenting support ter hadap stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis”. (Disertasi tidak dipublikasikan). Fakul tas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muniroh, S.M. (2012). “Dinamika resiliensi orang tua anak autis”. Jur nal Penelitian, 7(2).
National Institute of Health. (2015). Autism spectrum disorder. www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002494/.
Noor, M., Indriati, G., & Elita, V. (2014). “Pengalaman Ibu dalam Me rawat Anak Autis Usia Sekolah”. (Doctoral Dissertation, Riau Uni versity).
Nugraheni, S.A. (2008). “Efektivitas intervensi diet bebas gluten bebas casein terhadap perubahan perilaku anak autis berdasarkan modifi kasi skor CARS”. (Disertasi tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Program Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada.
Nugroho, A.A. (2013). “Hubungan antara Penerimaan Diri dan Du kung an Sosial dengan Stres pada Ibu yang Memiliki Anak Autis di SLB Au tis” di Surakarta. Jurnal Ilmiah Psikologi Candrajiwa, 2(2).
Ogston, P.L., Mackintosh, V.H., & Myers, B.J. (2011). “Hope and worry in mothers of children with an autism spectrum disorder or Down syndrome”. Research in Autism Spectrum Disorders, 5(4), 13781384. doi:10.1016/j.rasd.2011.01.020.
Pamungkas, A.P. (2015). “Pelatihan keterampilan pengasuhan autis untuk menurunkan stres pengasuhan pada ibu dengan anak autis”. Empathy, 5(1).
Pasyola, N.E. (2018). “Pengaruh parenting self-efficacy dan optimisme terhadap psychological well-being pada ibu yang memiliki anak dengan intellectual disability”. Tesis. Fakultas Psikologi. UIN Sunan Gunung Djati Bandung).
Phares, E.J. (1992). Clinical Psychology: Concepts, Methods, and Profes sion. 4th Ed. Kansas: Brooks/Cole Publishing Co.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
93
Pillay, M., AldersonDay, B., Wright, B., Williams, C., & Urwin, B. (2011). Autism Spectrum ConditionsEnhancing Nurture and De ve lop ment (ASCEND): An evaluation of intervention support groups for parents. Clinical childpsychology and psychiatry, 16(1), 520.
Pruitt, M.M., Willis, K., Timmons, L., & Ekas, N.V. (2016). The im pact of maternal, child, and family characteristics on the daily wellbeing and parenting experiences of mothers of children with autism spectrum disorder. Autism, 20(8), 973985. doi:10.1177/ 1362361315620409.
Pujiastuti, U. (2014). Hubungan antara dukungan ayah, pengetahuan ibu tentang anak autis dan religiusitas (dimensi praktik agama) dengan penerimaan ibu terhadap anak autis. Tesis.
Putri, M. (2011). “Dinamika kecemasan ibu yang memiliki anak au tis yang sedang puber”. Skripsi. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Qodariah, S., Nurlailiwangi, E., & Amelia, S. (2011). Peran psikolog dalam meningkatkan “coping strategy” dan “adaptational out comes” pada ibu yang memiliki anak autis. Prosiding SNaPP: So sial, Ekonomi dan Humaniora, 2(1), 1926.
Rachmayanti, S., & Zulkaida, A. (2011). “Penerimaan diri orang tua terhadap anak autisme dan peranannya dalam terapi autisme”. Jurnal Psikologi, 1(1).
Ratnani, I.P. (2014). “Hubungan kecerdasan asversitas dan dukung an pasangan dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis”. Tesis. Fakultas Psikologi. Yog yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Ravindran, N., & Myers, B.J. (2012). “Cultural influences on perceptions of health, illness, and disability: A review and focus on autism”. Jour-nal of Child and Family Studies, 21(2), 311319.
Rommelse, N., Geurt, H., Franke, B., Buitelar, J., & Hartman, C. (2011). “No Title”. Neuroscience and Biobehavioral Reviews, 55, 13631396.doi:10.1016/j.neubiorev.2011.02.015.
Santoso, T.B., Ito, Y., Ohshima, N., Hidaka, M., & Bontje, P. (2015). “Resilience in daily occupations of Indonesian mothers of children with autism spectrum disorder”. American Journal of Occupational Therapy, 69(5), 6905185020p1 6905185020p8.
Sa’diyah, S. (2016). Gambaran psychological wellbeing dan stres pengasuhan ibu dengan Anak AUTIS. Malang: Universitas Mu ham ma diyah, diakses tanggal, 11, 394399.
Saraswati, I.F. (2011). “Strategi coping orang tua yang memiliki anak ADHD”. Tesis. Prodi Psikologi Unika Soegijapranata.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
94
Saugstad, L.F. (1999). A lack of cerebral lateralization in schizophrenia is within the normal variation brain maturation but indicate late, slow maturation. Schizophrenia, 39(3), 1923.
Schopler, E., Reichler, J., & Renner, B. (1988). The Childhood Autism Rating Scale (C.A.R.S). Los Angeles: Western Psychological Ser vices.
Schumann, C.M., Bloss, C.S., Barnes, C.C., Wideman, G,M., & Cour chesne, E. (2010) “Longitudinal magnetic resonance imaging stu dy of cortical development through early childhood in autism”. The Journal of Neuroscience: The Official Journal of the Society for Neuroscience. 30(12). 44194427.
Sharpley, C. F., Bitsika, V., & Efremidis, B. (1997). “Influence of gender, parental health, and perceived expertise of assistance upon stress, anxiety, and depression among parents of children with autism”. Journal of Intellectual and Developmental Disability, 22(1), 1928.
Shattock, P., & Whiteley, P. (2001). “Langkah intervensi biomedik untuk penanganan autisme dan sejenisnya (Terjemahan)”. Seminar: Intervensi Biomedis pada gangguan autisme dan sejenisnya. Jakarta: Ya yasan Autisme Indonesia.
Shen M.D., Nordahl C.W., Young G.S. et al. (2013). “Early brain en largement and elevated extraaxial fluid in infants who develop autism spectrum disorder”. Brain: A Journal of Neurology, 136(9), 28252835.
Siburian, E.G., & La Kahija, Y.F. (2014). “Pengalaman ibu dengan anak ADHD”. Empati, 3(4), 182193.
Sin, N.L., & Lyubomirsky, S. (2009). “Enhancing wellbeing and alle viating depressive symptoms with positive psychology interven tions: A practicefriendly meta analysis”. Journal of clinical psy chology, 65(5), 467487.
Sitorus, M. C. (2016). “Gambaran stres pada ibu yang memiliki anak autis”. Skripsi.
Sofia, A.D. (2012). ”Kepatuhan orang tua dalam menerapkan terapi diet gluten free casein free pada anak penyandang autisme” di Ya yasan Pelita Hafizh dan SLBN Cileunyi Bandung. Students e-Jour nal, 1(1), 33.
Stefanatos, G.A. & Baron, I.S. (2011). “The ontogenesis of language im pairment in autism; A neuropsychological perspective”. Journal of Autism and Developmental Disorders, 36, 921933. doi: 10.1007/ s1080300601297.
Steiner, A.M. (2011). “A strengthbased approach to parent education for children with autism”. Journal of Positive Behavior Interventions, 13(3), 178190.
SAM
PLE
BAB 2 • ANAK-ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF
95
Steinmetz, H., Staiger, J.F., Schlaug, G., Huang, Y., & Jncke, L. (1996). Inverse relationship between brain size and callosal connectivity. The Science of Nature, 5(83), 221.
Suadnyana, M.A. (2017). “Hubungan antara dukungan sosial dengan pertumbuhan terkait stres pada ibu dari anak autis”. Skripsi. Fa kultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Subandi, A., & Rusana, R. (2014). “Pengalaman orang tua mengasuh anak dengan attention deficit hyperactive Disorders (ADHD/Hi per aktif)”. Jurnal Kesehatan Al-Irsyad, 5060.
Susanti, H. (2014). “Representasi konsep diri orang tua yang memiliki anak autis”. Jurnal Ilmu Komunikasi, 5(1), 1118.
Susilowati, A. (2007). “Hubungan antara dukungan sosial dan tingkat stres dari anak autis”. Skripsi.
Swapna & Sudhir, M.A. (2016). “Behaviour modification for intellec tually disabled students”. IOSR Journal of Humanities and Social Science, 21(2), 3538.
Syanti, W.R., & Handadari, W. (2016). “Penerapan behavioral parent training untuk menurunkan stres pengasuhan pada ibu yang me miliki anak dengan gangguan ADHD”. INSAN: Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, 1(1), 5765.
Tao, J., Van Esch, H., HagedornGreiwe, M., Hoffmann, K., Moser, B., Raynaud, M., ... & Ropers, H. H. (2004). “Mutations in the Xlinked cyclindependent kinaselike 5 (CDKL5/STK9) gene are asso ciated with severe neurodevelopmental retardation”. The Ame rican Journal of Human Genetics, 75(6), 11491154.
Timmons, L. (2015). The Effectiveness of a Gratitude Intervention at Improving Well-Being for Parents of Children with Autism Spec trum Disorder. Texas: Christian University.
Tonge, B., Brereton, A., Kiomall, M., Mackinnon, A., King, N., & Rine hart, N. (2006). “Effects on parental mental health of an education and skills training program for parents of young children with autism: A randomized controlled trial”. Journal of the American Academy of Child & Adolescent Psychiatry, 45(5), 561569.
Tucker, A.C. (2013). “Interpreting and treating autism in Javanese Indonesian”. (Doctoral Dissertation, UCLA).
Tussofa, M. (2015). “Tingkat kecemasan ibu yang memiliki anak autis usia 67 tahun” di SLB Semesta Mojokerto. Laporan Penelitian.
Wardani, D. S. (2009). “Strategi coping orang tua menghadapi anak autis”. Indigenous: Jurnal Ilmiah Psikologi, 11(1).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
96
Wibawa, A.G. (2014). “Hubungan dukungan sosial keluarga dengan penerimaan diri ibu anak autis di SDLBB dan autis” di TPA Jember. Skripsi.
Wolff, J.J., Gerig, G., Lewis, J.D., Soda, T., Styner, M.A. (2015). “Al tered corpus callosum morphology associated with autism over the first 2 years of life”. Brain: A Journal of Neurology, 138(7), 20462058.
Wulandari, S., & Ranimpi, Y.Y. (2018). “Fungsi keluarga yang memiliki anak intellectual disability” di Salatiga. Jurnal Gizi dan Kesehatan, 10(23), 110.
Yunianti, N. (2011). “Sumber stres dan cara menanggulangi stres pada ibu dewasa muda yang memiliki anak autis” di Jakarta. Skripsi.
Zaidmanzait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I. M., Szatmari, P., “... Thompson, A. (2017). Impact of personal and social resources on parenting stress in mothers of children with autism spectrum disorder”. Autism, 21(2), 155166. doi:10.1177/1362361316633033.
SAM
PLE
Bab 3FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
Pada tahun 1990an, keterbatasan informasi terkait kondisi anak dengan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini terkhu sus anak dengan gangguan spektrum autis) semakin membuat orang tua
terpuruk dan merasa tersisih dari masyarakat. Masyarakat menunjukkan sikap yang kurang hangat tidak hanya terhadap orang tua, namun juga terhadap anak. Anak dengan gangguan spektrum autis dianggap sebagai anak yang aneh, karena perilaku maladaptif yang ditampilkannya, seperti berteriak dan tertawa tanpa sebab, bersikap agresif terhadap orang lain, dan menyakiti dirinya sendiri. Kehadiran anak seperti ini dianggap sebagai aib keluarga dan merupakan karma yang harus ditanggung orang tua karena memiliki kesalahan di masa lalunya. Sungguh miris kondisi anak dan orang tua yang harus mereka terima, mendapatkan stigma negatif dari masyarakat. Keterbatasan informasi ditambah penolakan dari masyarakat terhadap keluarga yang memiliki anak dengan keistimewaan ini, semakin memperburuk kondisi psikologis orang tua dan anak.
Kondisi telah berubah, pada saat sekarang anakanak dengan keistimewaan ini sudah banyak diterima di masyarakat, di sekolah, dan di lingkungan umum. Beberapa faktor yang memengaruhinya, seperti: semakin banyaknya para profesional yang cukup menguasai di bidang ini, akan menambahkan informasi dan memberikan du kungan terhadap orang tua dan keluarga; sosialisasi yang cukup intens dilakukan oleh pemerintah,
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
98
lembagalembaga formal (seperti sekolah khusus autis, Pusat Layanan Autis) dan nonformal (seperti komunitas orang tua) sehingga memberikan pengetahuan dan pemahaman po sitif kepada masyarakat terkait kondisi anak.
Pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan ganggu an perkembangan saraf tidak lah mudah, terkhusus bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis. Kesulitankesulit an yang orang tua alami selama mengasuh anak autis menjadi topik penelitian yang terus diminati. Hal ini dipertegas dengan berbagai pe nelitian yang telah membuktikan bahwa pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis mengalami stres lebih tinggi dibandingkan orang tua dari anak dengan gangguan per kem bangan lainnya (Hayes & Watson, 2013).
Berbagai penelitian sebelumnya yang telah banyak membahas tentang kondisi psikologis orang tua dalam merawat anak dengan gangguan perkembangan ini, beberapa penelitian sebelumnya mem buk tikan bahwa orang tua mengalami stres dan munculnya emosiemosi negatif dalam diri. Terdapat penelitian memperlihatkan ibu mengalami stres pengasuhan tinggi dan mengarah pada kondisi dis tress, namun didapati pula beberapa penelitian yang menghasilkan stres pengasuhan rendah yang mengarah pada kondisi eustress. Per bedaan dari berbagai penelitian sebelumnya ini memunculkan perta nyaan lebih lanjut bagaimana kajian tentang pengasuhan orang tua dalam merawat anakanaknya? faktorfaktor apa yang memengaruhi kondisi pengasuhan orang tua agar tetap kuat dan tidak mengarah pada kondisi distress?
Tidaklah mudah bagi orang tua untuk dapat mengasuh anaknya dengan penuh kesabaran, keuletan dan kegigihan, terdapat beberapa faktor yang mendukungnya yakni faktorfaktor protektif yang mem bentuk kekuatan dalam diri. Faktor protektif merupakan faktor pe lindung agar orang tua tetap bertahan menghadapi kompleksitas permasalahan selama mengasuh anakanak dengan gangguan perkem bangan saraf.
A. FAKTOR PROTEKTIFFaktor protektif yang mendukung proses adaptasi keluarga ada lah
lingkungan yang kondusif dan anggota keluarga yang mau mem bantu. Faktor protektif merupakan hal potensial yang digunakan se bagai alat untuk merancang pencegahan dan penanggulangan ber ba gai hambatan, persoalan, dan kesulitan degan caracara yang efektif (Hogue dan Liddle,
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
99
1999). Demikian pula menurut Garmezy (1991, dalam Hendriani, 2018) telah mengidentifikasi beberapa kategori dari faktor protektif, yakni:1. Berbagai atribut yang dimiliki individu seperti: temperamen yang
baik, pandangan positif terhadap diri sendri, dan inteligensi.2. Kualitas keluarga, antara lain: kohesivitas, kehangatan, keterlibatan,
dan harapan keluarga.3. Keberadaan dan pemanfaatan sistem pendukung eksternal di luar
keluarga.
1. Kesejahteraan (Well-Being)Kesejahteraan merupakan salah satu konstrak ukur dalam bidang
psi kologi. Beberapa peneliti psikologi cenderung menyamakan istilah happiness (kebahagiaan) dengan subjective well-being (kesejah te ra an subjektif) (Uchida, dkk., 2004), namun ada juga yang berpendapat bahwa ke dua variabel ini berbeda, kesejahteraan dapat dimaknai me miliki konsep lebih luas dan menyeluruh yang meliputi kebahagiaan itu sendiri (Anggoro & Widhiarso, 2010).
Beberapa tokoh mendefinisikan makna kesejahteraan, di antara nya: menurut Pollard & Davidson (2001), kesejahteraan adalah ke adaan kineija yang sukses sepanjang masa hidup yang menginte grasikan fungsi fisik, kognitif, dan sosial emosional yang menghasil kan kegiatan produktif yang dianggap penting oleh komunitas budaya, koneksi sosial, dan lingkungan sosial. Menurut Awartani, Vince, & Gordon (2008), kesejahteraan adalah realisasi potensi fisik, emosional, mental, sosial dan spiritual seseorang. Dogde, Daly, Huyton, Sanders (2012) menyatakan bahwa untuk mencapai kesejahteraan diperlukan keseimbangan antara sumber dan tantangan, yang meliputi dimensi psikologis, sosial, dan fisik. Kesejahteraan dengan perspektif psikolo gis (selanjutnya disebut kesejahteraan subjektif) memiliki beberapa arti, yaitu: hasil evaluasi kognitif dan afektif individu terhadap ke hidupannya, yaitu mencapai kepuasan hidup dan keseimbangan emo si (Diener, Oishi, & Lukas, 2003); perpaduan antara emosi positif dan tingkat kebermaknaan individu (Keyes, 2006).
White (2009) mendefinisikan kesejahteraan subjektif sebagai gabungan dari perspektif hedonic dan eudaimonic, yang aspekaspek nya digali langsung dari penelitian eksplorasi dari negara Timur dan Selatan, dan memberi istilah sebagai inner well-being. Menurut White (2009), kesejahteraan subjektif adalah saat individu dapat mencapai kondisi having a good life (memiliki sesuatu yang berdimensi materi, yaitu welfare, aset, dan standar kualitas hidup), living a good life (melakukan sesuatu yang
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
100
berdimensi relasi, yang terdiri dari dimensi sosial dan dimensi manusia), dan locating one’s life (persepsi dan penilaian subjektif terhadap dimensi material dan relasional).
Penelitian tentang kesejahteraan menjadi kajian yang terus di minati, sebab semua orang menginginkan untuk terus sejahtera. De mikian juga dengan risetriset yang berupaya menggali kesejahteraan orang tua yang memiliki anak spesial, yakni anak yang perkembang annya tidak seperti anakanak normal pada umumnya. Bebe ra pa pe nelitian tentang kesejahteraan, di antaranya: 1) Penelitian yang bertu ju an untuk menguji pengaruh rasa syukur dan kepribadian terha dap kesejahteraan psikologis orang tua yang memiliki anak berkebu tuh an khusus oleh Nurarini (2016). Hasil penelitiannya membuk tikan bah wa kesejahteraan psikologis orang tua dipengaruhi secara signifikan oleh rasa syukur dan kepribadian sebesar 59,7% dan sisanya 40.3% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian ini; 2) Penelitian de ngan tujuan untuk menguji hubungan bersyukur dan kesejahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak tunagrahita telah dil akukan oleh Murisal dan Hasanah (2017). Hasil penelitiannya menun jukkan terdapat hubungan positif antara bersyukur dan kesejahteraan subjektif, artinya semakin orang tua bersyukur dengan kondisi yang ada maka orang tua akan semakin merasa sejahtera; 3) Penelitian dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai hubungan parenting self efficacy dengan kesejahteraan subjektif pada ibu yang memiliki aak berkebutuhan khusus telah dilakukan oleh Hasanah, Mulyati, dan Tarma (2019). Hasil penelitian semakin menegaskan kesejahteraan subjektif dipengaruhi oleh parenting self efficacy sebesar 18,22% sedangkan sisanya 81,78% ditentukan oleh faktor lain di luar dari penelitian ini.
2. Kepribadian Tangguh (Hardiness)Menurut Kobasa, Maddi, Pucceti, dan Zola (1994) mengemuka kan
bahwa individu yang mempunyai kepribadian tangguh memiliki kontrol pribadi, komitmen, dan siap dalam menghadapi tantang an, artinya perubahanperubahan yang terjadi di dalam diri maupun di luar dirinya dilihat sebagai suatu kesempatan untuk tumbuh dan bukan sebagai suatu ancaman terhadap dirinya. Individu yang me mi li ki ketangguhan dianggap tetap sehat meskipun mengalami ke jadiankejadian yang penuh dengan stres. Ketangguhan mempunyai serangkaian ciri atau sikap yang mem buat individu tahan terhadap tekanan karena kepribadian ini menunjuk kan adanya komitmen yang merupakan lawan dari alienasi, kontrol merupakan lawan keti dakberdayaan dan tantangan sebagai lawan dari takut atau
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
101
situasi yang mengancam. Fungsi kepribadian tangguh adalah sebagai penyangga atau memediasi faktor yang dapat meningkatkan koping atau mengurangi efek berbahaya dari stres (Sarafino & Smith, 2014). Kobasa, Maddi, dan Kahn (1982) juga menegaskan bahwa kepribadi an tangguh membantu sebagai tameng (buffer) terhadap stres yang ekstrem.
Pentingnya menumbuhkan ketangguhan bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan juga telah dibuktikan melalui berbagai penelitian, di antaranya: 1) Penelitian dengan tuju an untuk meminimalisasi kemunculan stres pengasuhan melalui pe ran efikasi diri dan ketangguhan telah dibuktikan oleh Andika (2012). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa efikasi diri dan ketangguh an memberikan sumbangan total sebesar 74,79% terhadap stres peng asuh an; 2) Penelitian dengan tujuan untuk melihat profil ketangguh an ibu yang memiliki anak gangguan spectrum autis oleh Daulay (2017). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa ibu cukup tangguh dalam merawat anaknya, ditinjau dari aspek ketangguhan yang dikemukakan oleh Maddi & Kobasha (1980), ditemukan bahwa aspek komitmen memiliki nilai mean tertinggi, kemudian diikuti dengan aspek kontrol dan aspek tantangan. Implikasi penelitian ini sebagai data awal untuk melihat gambaran profil ketangguhan ibu da lam mengasuh anak autis; 3) Penelitian tentang ketangguhan dengan melihat hubungan antara kebersyukuran dan religiusitas telah dilakukan oleh Aprilia (2018). Hasil penelitiannya telah membuktikan bahwa terdapat hubungan positif antara kebersyukuran dan religiusitas sebesar 73,9% dalam memengaruhi ketangguhan. Hal ini memiliki arti bahwa semakin orang tua memiliki rasa syukur dan religiusitas tinggi maka akan se makin tangguh orang tua dalam merawat anakanaknya.
3. EfikasiDiri(SelfEfficacy)Albert Bandura merupakan tokoh yang mencetuskan efikasi diri
(self-efficacy). Bandura mendefinisikan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan individu mengenai kemampuan dirinya dalam melaku kan tugas atau tindakan yang diperlukan untuk mencapai hasil terten tu (Feist & Feist, 2006). Albert Bandura (1997) mengatakan bahwa efikasi diri pada dasarnya adalah hasil dari proses kognitif berupa keputusan, keyakin an, atau penghargaan tentang sejauh mana indi vidu memperkirakan ke mam puan dirinya dalam melaksanakan tu gas atau tindakan tertentu yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Efikasi diri menekankan pada komponen keyakinan diri yang dimiliki seseorang dalam menghadapi situasi yang akan datang yang mengandung kekaburan, tidak
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
102
dapat diramalkan, dan sering penuh dengan tekanan. Meskipun efikasi diri memiliki suatu penga ruh sebabmusabab yang besar pada tindakan kita, efikasi diri bukan merupakan satusatunya penentu tindakan. Efikasi diri berkombinasi dengan lingkungan, perilaku sebelumnya, dan variabelvariabel per so nal lain, terutama harapan terhadap hasil untuk memunculkan pe rilaku. Efikasi diri akan memengaruhi beberapa aspek dari kognisi dan perilaku seseorang.
Efikasi diri orang tua merupakan komponen dasar dalam men jelaskan keefektifan pengasuhan (Jones & Prinz, 2005). Orang tua yang merasa kurang yakin dan merasa memiliki sedikit kekuatan dalam memengaruhi perilaku anak akan cenderung tidak tegas dan mudah tersinggung saat berinteraksi dengan anak, namun berbeda ketika orang tua memiliki perasaan berkompeten yang tidak hanya memengaruhi perilaku dan sikap orang tua terhadap anaknya, tetapi juga mampu memengaruhi perubahan dengan cara yang baik ketika berinteraksi dengan anak (Holden, 2015).
Bandura (1982) mendefinisikan efikasi diri dalam konteks pengasuhan sebagai tingkatan perasaan orang tua berkompetensi dan per caya diri dalam menangani permasalahan anak. Johnston dan Mash (1989) menjelaskan bahwa perasaan efikasi pengasuhan berfungsi sebagai mo derator hubungan orang tua dan anak dan bagi para pengasuh dengan tingkat pengontrolan rendah dalam mengatasi perilaku anak yang bermasalah. Beberapa penelitian menegaskan bahwa efi kasi diri merupakan hal yang sangat penting, atau memediasi faktor psikologi dalam hubungannya antara pikiran dan tindakan (Coleman & Karraker, 1998; Jackson & Huang, 2000; Teti & Gelfand, 1991).
Beberapa penelitian yang telah membuktikan peranan efikasi diri da lam memengaruhi kualitas pengasuhan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan, seperti: 1) Penelitian tentang parenting education dalam meningkatkan parenting self efficacy pada orang tua dari anak dengan gangguan autism oleh Ekaningtyas (2019). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa parenting education dalam bentuk psikoedukasi dapat digunakan untuk membentuk dan meningkatkan parenting self efficacy karena dapat membentuk atau mengubah persepsi dan meningkatkan aspek kognitif atau pemahaman orang tua mengenai strategi penanganan anak dengan gangguan autism; 2) Penelitian ten t ang perbandingan efikasi diri dalam pengasuhan anak pada ibu yang memiliki anak disabili tas dan tidak memiliki anak disabilitas oleh Sari (2020). Hasil penelitian nya membuktikan Tidak terdapat per bedaan signifikan tingkat efikasi diri dalam pengasuhan anak pada Ibu yang memiliki anak disabilitas dan tan
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
103
pa disabilitas, pengaruh kesamaan latar belakang pendidikan dari para responden menjadi salah satu alasan tidak adanya perbedaan tingkat efikasi diri dalam pengasuhan anak antar dua kelompok ini; 3) Penelitian tentang peran dukungan sosial terhadap munculnya efikasi diri pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus oleh Harmantia dan Rachmahana (2020). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa efikasi diri pengasuhan orang tua dipengaruhi oleh dukungan sosial sebesar 12,25%, selebihnya dipengaruhi faktorfaktor lain yang perlu dikaji lebih lanjut.
4. Dukungan Sosial (Social Support)Moritsugu, Vera, Wong, dan Duffy (2015) mengungkapkan bah wa
dukungan sosial yang dirasakan (perceived social support), merupa kan penilaian individu secara kognitif tentang keterhubungannya dengan orang lain. Dukungan sosial yang dirasakan atau dipersepsikan me rupakan konstrak kajian dan pengukuran dalam berbagai literatur atau penelitian (Kloos et al., 2012). Boyd (2002) mengemukakan bah wa pemberian dukungan sosial langsung atau tidak langsung akan meningkatkan ke sejahteraan subjektif, kesehatan fisik, dan peng aturan stres yang konstruk tif. Dukungan informal bisa ibu dapatkan dari suami, keluarga, teman para profesional, guru, dan terapis anak, sedangkan dukungan formal bisa dari sekolah, tempat layanan kese hatan, dan tempat terapi.
Menurut Sarafino dan Smith (2014), terdapat empat jenis dukung an dasar yang dibutuhkan oleh setiap individu, yaitu: 1) dukungan emosional atau penghargaan (emotional or esteem support), 2) dukung an nyata atau instrumental (tangible or instrumental support), 3) du kung an infor masi (informational support), yaitu dukungan dalam bentuk pemberian na si hat, saran, bimbingan yang berhubungan dengan pe mecahan masalah, atau feedback tentang bagaimana seseorang dalam bertindak; 4) dukungan per saudaraan/pertemanan (companion ship sup port), yaitu dukungan yang si fatnya terhubung dengan orangorang terdekat baik secara individual maupun kelompok yang me mung kinkan individu untuk berbagi minat dengan orang lain dan membentuk persahabatan, serta adanya kesedia an seseorang atau kelompok untuk berbagi waktu dengan individu.
Beberapa penelitian yang telah membuktikan peranan dukung an sosial dalam memengaruhi kualitas pengasuhan orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, seperti: 1) Penelitian dengan menggunakan tiga variabel dalam membuktikan penerimaan orang tua dari anak berkebutuhan khusus, yakni: kecerdasan emosi, du kungan sosial, dan rasa syukur oleh Fitria (2019). Ketiga variabel ini memiliki korelasi positif
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
104
dalam memengaruhi penerimaan diri orang tua sebesar 41,1%. Artinya semakin orang tua memiliki kecerdas an emosi baik, cukup mendapatkan dukungan sosial, dan seringnya untuk bersyukur akan semakin mempercepat penerimaan diri orang tua telah dianugerahkan anak berkebutuhan khusus; 2) Penelitian tentang dukungan sosial dan hardiness terhadap stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak autis oleh Harlinda & Patisti, W.D. (2018). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa dukungan sosial dan har diness berkorelasi negatif terhadap kemunculan stres pengasuhan, artinya semakin tinggi dukungan sosial yang diterima ibu di tambah dengan semakin tangguh maka mampu menurunkan stres pengasuh an yang dirasakannya, terbukti dengan nilai sumbangan sebesar 40,8 persen; 3) Penelitian tentang dukungan sosial bagi keluarga dari anak berkebutuhan khusus oleh Hidayati (2011). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa sebagian besar orang tua mendapatkan dukung an dari teman dan keluarganya melalui kegiatan parental support group.
5. ResiliensiResiliensi merupakan hasil dari upaya mengelola berbagai ma cam
risiko atau hal yang berpotensi memunculkan krisis dengan ca racara yang positif (Duncan, dkk., 2005) daripada menghindari risiko tersebut. Resiliensi mencakup keberadaan faktorfaktor pro tek tif (personal, sosial, keluarga) yang memungkinkan individu un tuk bertahan terhadap tekan an hidupnya (Kaplan, dkk. 1996 dalam Hendriani, 2018). Proses resilien si yang dilakukan keluarga terban tu oleh adanya faktor protektif yang dimiliki oleh keluarga. Resilien si dianggap sebagai koping yang efektif dan adaptasi yang positif ter hadap berbagai situasi yang menekan (stressor), faktor risiko di pandang sebagai halhal yang bersifat memperlemah dan stres (Hen driani, 2018).
Pentingnya resiliensi dimunculkan bagi setiap orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan, juga telah dibuktikan dari berbagai risetriset sebelumnya, seperti: 1) Penelitian tentang gambaran resiliensi ibu yang memiliki anak autis oleh Edyta dan Da mayanti (2016). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa setiap ibu mengalami dinamika yang berbeda di masingmasing aspek resiliensi (pengendalian emosi, pengendaian dorongan, optimis, analisis penye bab masalah, empati, efikasi diri, dan peningkatan aspek positif). Pa da awalnya, responden penelitian ini merasa terkejut, terpuruk, dan tidak menyangka jika anak mereka akan mengalami gangguan per kembangan ini, dnegan penerimaan akhirnya mampu bangkit serta senantiasa berpikir positif kenlak anak mereka
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
105
akan menjadi lebih baik, memiliki keyakinan dapat memberikan yang terbaik untuk anak, dengan cara meningkatkan keterampilan orang tua dalam me na ngani anak; 2) Dinamika resiliensi orang tua dari anak autis jga telah diteliti oleh Muniroh (2010). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa pembentukan resiliensi orang tua dari aak autis dipengaruhi oleh faktor dalam diri (seperti: kompetensi pribadi, toleransi pada pengaruh negatif, penerimaan diri yang positif, control diri dan pe ngaruh spiritual), dan faktor luar diri (seperti: dukungan dari keluarga, saudara, tetangga, serta orangorang yag ada di sekitar orang tua). Resiliensi orang tua juga dipengaruhi oleh faktor kognitif (seperti: yakin, dan mampu merawat anak), dan faktor afektif (seperti: pera saan kecewa, pemaknaan, dan kesedihan); 3) Penelitiannya dengan tujuan untuk menguji gambaran resiliensi pada ibu yang memiliki anak down syndrome juga telah dibuktikan oleh Lestari dan Mariyati (2016). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa setiap ibu memilki perbedaan faktorfaktor yang memengaruhi kemunculan resiliensi, di antaranya faktor keluarga dan peran lingkungan sekitar yang telah memberi motivasi serta dorongan dari kepribadian responden yang tidak berlarutlarut dalam kesedihan.
6. BersyukurBersyukur merupakan salah satu bentuk apresiasi atas apa yang telah
Tuhan berikan dalam kehidupannya, dengan cara memandang secara positif stimulus yang daang dari luar, berpikir positif dan op timisme atas kesulitan yang ada. Bagaimana memunculkan rasa syu kur bagi orang tua yang memiliki anak istimewa ini bukanlah hal mudah, membutuhkan proses agar bisa menerima kondisi anak. Ra sa syukur ini juga berkaitan dengan kesehatan psikologis dan fungsi sosial individu, dalam membantu individu sebagai pengembangan di rinya (Emmons & McCullough, 2004).
Penelitian oleh Daulay, Ramdhani, dan Hadjam (2018) semakin menegaskan peran penting bersyukur bagi orang tua dari anak dengan gangguan spektrum autis. Bersyukur, yaitu rasa berterima kasih ibu atas kenikmatan yang Tuhan berikan kepada ibu dan keluarganya, se sulit dan seberat apa pun dalam mengasuh anak dengan istimewa ini, sehingga ibu akan lebih tenang ketika mampu memaknai kehadir an anaknya. Halhal yang telah Tuhan berikan kepada ibu bukan saja dengan memberikan anak, tapi juga lahir dan batin ibu menjadi le bih tenang, lebih bahagia, lebih mampu memaknai hidup, dan mampu mengatasi masalah kehidupan
Peran penting bersyukur sebagai salah satu faktor protektif ju ga telah dibuktikan dari berbagai penelitian, seperti: 1) Penelitian yang bertujuan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
106
untuk menguji hubungan antara rasa syukur dan pe nerimaan diri orang tua yang memiliki anakanak intellectual disability oleh Sutriyatno (2016). Hasil penelitiannya membuktikan terdapat hubungan positif antara rasa syukur dengan penerimaan diri, artinya orang tua yang bersyukur akan kondisi anak maka akan lebih cepat dalam menerima anak; 2) Penelitian yang berupaya mengkaji hu bungan antara kebersyukuran, religiusitas terhadap ketangguhan ibu oleh Aprilia (2018) juga menghasilkan hubungan yang psitif di an ta ra ketiga varibel ini, artinya bagi ibu yang intens ber syukur dan memiliki pemahaman religiusitas yang baik, maka lebih tang guh da lam merawat anakanak dengan keistimewaan ini; 3) Demikian juga dengan penelitian yang berupaya mengkaji kebersyukuran dengan kepuasan hidup orang tua oleh Sulastina dan Rohmatun (2018). Hasil penelitiannya semakin membuktikan peran penting bersyukur untuk meningkatkan kualitas hidup orang dari anakanak berkebutuhan khusus.
7. ReligiusitasKonsep religiusitas yang paling banyak digunakan dalam pene litian
psikologi berdasarkan dari teori Glock dan Stark (dalam Subandi, 2013), merupakan konsep kesadaran beragama yang ditandai de ngan lima as pek yaitu: 1) Religious belief (the ideological dimension), atau dimensi keyakinan yaitu sejauh mana seseorang menerima halhal yang dogmatik dalam agamanya; 2) Religious practice (the ritual di mension), yaitu tingkatan sejauh mana seseorang mengerjakan kewa jibankewajiban ritual dalam aga manya; 3) Religious feeling (the ex periential dimension), atau dimensi peng alaman dan penghayatan ber agama, yaitu perasaanperasaan atau peng alamanpengalaman ke agamaan yang pernah dialami dan dirasakan; 4) Religious knowledge (the intellectual dimension), atau dimensi pengetahuan yaitu seberapa jauh seseorang mengetahui tentang ajaranajaran aga manya, terutama yang ada dalam kitab suci maupun yang lainnya; 5) Religious effect (the consequential dimension), yaitu dimensi yang meng ukur sejauh mana perilaku seseorang dimotivasi oleh ajaran agamanya di dalam kehidupan sosial.
Religiusitas sendiri menurut Hendriani (2018) ditunjukkan oleh adanya penghayatan keagamaan dan keyakinan atas segala ketentuan Tuhan dalam hidup, yang tidak hanya diekspresikan melalui ritual ibadah, teta pi juga ketika melakukan aktivitas lain seharihari. Religiusitas yang ting gi akan membantu membentengi individu dari ber bagai pikiran ne gatif yang kerapkali muncul ketika menghadapi situasi sulit, oleh kare nanya tepat jika religiusitas ini menjadi sa lah satu faktor protektif lainnya. Namun
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
107
sebaliknya, jika religiusitas yang rendah akan menjadi sebuah faktor risi ko, sebab tanpa pengha yatan keagamaan, tanpa pegangan spiritual tentang keyakinan akan ketentuan Tuhan, maka dalam situasi yang sangat ter tekan individu akan rentan mengalami problem psikologis yang berkepan jangan. Individu akan larut dalam kesedihan, sibuk mnyesali keadaan, men caricari sumber kesalahan untuk kemudian mempersalahkan nya, men cari pelarian atau pelampiasan yang negatif, dan sebagainya. Religiusitas menjembatani individu untuk lebih mampu menerima kon disi baru yang berbeda dari sebelumnya, sesulit apa pun kondisi tersebut.
Beberapa penelitian telah membuktikan peran religiusitas dalam meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup bagi orang tua dari anakanak istimewa ini, di antaranya: 1) Penelitian yang bertujuan untuk meng kaji hubungan antara religiusitas dalam meningkatkan ketangguhan, oleh Santana dan Istiana (2019). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara religiusitas dan kepri badian tangguh pada ibuibu yang memiliki anak berkebutuhan, artinya semakin tinggi religiusitas orang tua maka se makin tangguh pula orang tua terutama dalam menghadapi situasi sulit; 2) Orang tua yag mengalami stres bisa disebabkan karena mi nimnya pengetahuan terkait ganggu an perkembangan yang diala mi anak, sulitnya perilaku anak dan ketidakberfungsiannya interaksi an tara orang tua anak menjadi salah satu latar belakang penelitian ini, sehingga berupaya mengkaji peran religiusitas yang dianggap mam pu mengelola stres yang dialami. Tujuan penelitian ini adalah meng uji hubungan religiusitas dengan stres pengasuhan oleh Rahayu dan Amalia (2019). Hasilnya membuktikan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara religiusitas dengan stres pengasuhan, artinya se ma kin tinggi religiusitas ibu maka semakin rendah stres pengasuhan yang ibu rasakan; 3) Orang tua yang mengalami stres terkait mengasuh anakanak istimewa ini, umumnya akan mampu meminimalisasi stres yang dirasakan melalui koping religius, sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menggali peran koping religius dalam meminimalisasi stres bagi orang tua dari anakanak istimewa oleh Alfiyanti (2020). Hasil penelitiannya membuktikan bahwa peran aspek koping religius (pera saan pertama ketika mengetahui kondisi anak, pandangan orang tua de ngan kehadiran anak, motivasi orang tua dalam mengasuh, kesulitan yang dihadapi selama mengasuh, hal yang dilakukan ketika merasa tertekan, si kap pertama kali yang diambil setelah mengetahui keadaan anaknya), stra tegi koping religius yang dipilih oleh ketiga orang tua (strategi collaborative), dan metode koping religius yang dilakukan oleh orang tua (metode ko ping
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
108
religius dalam mencari makna, metode koping religius untuk mendapatkan kontrol, metode koping religius untuk mendapatkan kenyamanan dan mencapai ke dekatan dengan Tuhan), mampu meminimalisasi stres yang dialami.
B. FAKTOR RISIKOMenurut Kaplan (1999) mendefinisikan faktor risiko sebagai “predik
tor awal” dari sesuatu yang tidak diinginkan atau sesuatu yang membuat orang semakin rentan terhadap halhal yang tidak diinginkan. Menurut Rutter (1990) faktor risiko merupakan variabel yang mengarah langsung pada kondisi patologis atau maladjust ment, meski di sisi lain Rutter juga menujukkan bahwa faktor risiko merepresentasikan proses dan mekanisme yang mengarah pada aki bat yang bersifat problematik. Sementara Luthar (1999) mendefini sikan faktor risiko sebagai sebuah variabel yang memfasilitasi munculnya problem perilaku, sebagai respons yang lebih lanjut dari stres (dalam Hendriani, 2018).
1. PerilakuMaladaptifAnakPerilaku maladaptif yang ditampilkan anak menjadi tema penting
untuk dikaji, sebab jika membahas proses pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf, maka salah satu faktor utama orang tua mengalami penurunan kesejahteraan, merasakan emosi negatif, dan berdampak pada stres pengasuhan, maka perilaku maladaptif anak merupakan jawabannya yang ha rus dipahami terlebih dahulu. Pemahaman tentang perilaku mala dap tif anak dengan gangguan perkembangan saraf akan memengaruhi dalam pemberian intervensi yang tepat bagi anak. Penelitian yang dilakukan Daulay (2019) membuktikan bahwa faktor yang berperan dalam memunculkan stres pengasuhan ibu adalah persepsi orang tua akan perilaku maladaptif anak gangguan spektrum autis. Artinya semakin negatif persepsi ibu akan perilaku maladaptif yang ditampilkan anak autis, maka ibu akan semakin stres, demikian sebaliknya.
Penulis telah menjelaskan tentang perilaku maladaptif anak dan pengukurannya yang akan terbit pada salah satu Jurnal tahun 2020 ini, dalam memahami perilaku maladaptif anak, maka salah seorang tokoh bernama Doll tahun 1995 pertama kali telah menyusun skala pengukuran perilaku adaptif, kemudian dikembangkan oleh Sparrow, dkk. (1984). Menurut Doll (dalam Hadiyati, 1992), perilaku adaptif menunjukkan adanya prin
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
109
sip penting dari kematangan sosial pada diri setiap individu, yaitu: kesiapan diri, perilaku serta respons terhadap lingkungan sosial. Sparrow dkk., (1984) mengembangkan skala perilaku adaptif (Vineland Adaptif Be havior Scale) untuk melihat kemampuan perilaku adaptif anak yaitu mampu menampilkan aktivitas seharihari yang dituntut agar seseorang mampu memenuhi kebutuhan pribadi maupun sosialnya.
Prinsip utama yang dikemukakan Sparrow adalah: 1) Perilaku adaptif, berhubungan dengan perkembangan usia. Semakin tinggi usia, maka perilaku yang muncul pun semakin kompleks; 2) Perilaku adaptif, diarti kan dalam konteks harapan atau ukuran lingkungan terhadap seseorang; 3) Perilaku adaptif, juga diartikan sebagai tampilan perilaku yang khas (untuk setiap tahapan usia) dan bukan sebagai bakat kemampuan. Dengan kata lain, perilaku adaptif adalah keberhasilan anak untuk menyesuai kan peri lakunya terhadap orang lain secara umum, terhadap kelompok nya dan juga lingkungannya. Perilaku tersebut menurut Sparrow dkk., (1984) mencakup beberapa ranah (domain) yaitu komunikasi (expressive, receptive, written), keterampilan hidup seharihari (personal, domestic, com-munity), sosialisasi (interpersonal relationship, play and leisure), dan keterampilan motorik (gross, fine) (dalam Daulay, 2020).
Setelah dipaparkan pejelasan tentang perilaku adaptif, maka selanjutnya akan membahas tentang perilaku maladaptif, yakni peri laku yang tidak sesuai dengan tuntutan lingkungannya. Sparrow dkk., (2005) mendefinisikan perilaku maladaptif anak sebagai berikut: perilaku maladap tif anak adalah jenis perilaku yang tidak diinginkan yang dapat meng gang gu fungsi adaptif individu dalam kehidupan nya seharihari. Dengan kata lain, perilaku maladaptif anak meru pa kan perilaku anak yang tidak mam pu menyesuaikan diri atau beradap tasi dengan keadaan sekelilingnya secara wajar, dan tidak mampu beradaptasi sesuai dengan tahapan perkembangan usianya.
Perilaku maladaptif terbagi kepada tiga kategori perilaku, yaitu perilaku internalizing, perilaku externalizing, dan perilaku mal a daptif lainnya. Perilaku maladaptif internalizing mencakup: keter gan tungan, menghindari orang lain dan lebih senang menyendiri, mengalami kesulitan makan, mengalami kesulitan tidur, menolak pergi ke sekolah atau bekerja karena takut, perasaan akan ditolak atau dikucilkan, terlalu cemas, mudah menangis atau tertawa, minimnya kontak mata, sedih untuk alasan yang tidak jelas, menghindari untuk berinteraksi sosial, ku rang bertenaga atau kurang berminat dalam hidup (Sparrow dkk., 2005) (dalam Daulay, 2020).
Perilaku maladaptif internalizing berbeda dengan perilaku maladaptif
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
110
externalizing, perbedaannya adalah perilaku maladaptif internalizing lebih menekankan pada gangguan emosi dan suasana hati, meliputi kecemasan, depresi, keluhan somatik (misalnya sakit dan nyeri badan), kesimpulannya perilaku maladaptif Internalizing ini tidak menunjukkan perilaku menyakiti atau menyerang orang lain. Banyak anak mengalami kesulitan mengatasi emosinya dan ditunjukkan dengan tandatanda kesulitan dalam mengontrol perilakunya (DeaterDeckard, 2004) (dalam Daulay, 2020). Sedikit penelitian yang mengaitkan permasalahan internalizing anakanak dengan stres pengasuhan orang tua, sebab perilaku internalizing tidak semenonjol seperti permasalahan perilaku externalizing. Na mun, penelitian yang dilakukan oleh Mesman dan Koot (2000); se makin menguatkan bahwa terdapat tekanan yang dirasakan orang tua dengan memiliki anak yang mengalami kecemasan dan depresi. Hall dan Graff (2012) menunjukkan bahwa peningkatan perilaku maladaptif internalizing juga akan mening katkan stres pengasuhan orang tua (r=0,547, p=0,00).
Perilaku maladaptif externalizing, meliputi: impulsif (bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu), temper tantrums (amarah yang meledak), sengaja tidak patuh dan menentang orang lain, mengejek, meru sak atau mengganggu, tidak mengerti atau tidak peka terhadap orang lain, berbohong, menipu atau mencuri, agresif secara fisik (misalnya memukul, menendang, menggigit, dan lainlain), keras kepala atau cemberut, mengatakan atau mengajukan pertanyaan yang memalukan di depan umum, berperilaku tidak sesuai dengan keinginan orang lain. Sebagian besar penelitian tentang anak yang mengalami gangguan perkembangan akan erat kaitannya dengan stres pengasuhan orang tua yang berfokus pada perilaku bermasalah externalizing (seperti kesulitan memusatkan perhatian, agresi, conduct problem, delinquency) (DeaterDeckard, 2004) (dalam Daulay, 2020).
Kategori perilaku maladaptif lainnya, meliputi: mengisap jempol atau jari, mengompol atau harus menggunakan diaper pada malam hari, ber perilaku terlalu akrab dengan orang asing, menggigit kuku jari, meng alami tic, menggiling gigi sepanjang hari atau malam, mengalami waktu yang sulit untuk memusatkan perhatian, sangat aktif atau resah diban dingkan orang lain seusianya, menggunakan properti sekolah atau peker jaan untuk tujuan pribadi yang tidak disetujui, mengumpat, melarikan diri, membolos sekolah atau pekerjaan, mengabaikan atau tidak peduli dengan orang lain di sekitarnya, menggunakan uang atau hadiah untuk “membeli” yang disenangi, menggunakan alkohol sepanjang sekolah atau bekerja (Sparrow dkk., 2005) (dalam Daulay, 2020).
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
111
Beberapa penelitian secara konsisten telah membuktikan bah wa hal menonjol yang menjadi kesulitan orang tua mengasuh anak dengan gangguan perkembangan adalah perilaku maladaptif anak. Intensnya perilaku maladaptif muncul pada anakanak dengan gang guan spektrum autis meliputi agresivitas, tantrum, menyakiti diri sendiri, perilaku berulang (Kons, Matson, & Turygin, 2013), rendah nya strategi pengaturan emosi da pat meningkatkan emosi negatif (Samson, Hardan, Lee, Philips, dan Gross (2015)
Demikian juga dengan perilaku maladaptif dari anakanak dengan gangguan perkembangan saraf lainnya, yakni: pada anak de ngan intellec-tual disability, anak menunjukkan perilaku rendahnya kemandirian (Norlin & Broberg, 2013), kesulitan dalam akademik, so sial dan praktik pengetahuan (Bertelli, dkk., 2016), rendahnya peri laku adaptif (American Association on Intellectual and Developmental Disabilities/AAIDD, 2010). Pada anak ADHD menunjukkan perilaku hiperaktif dan kesulitan ber konsentrasi (Graziano dkk., 2011), peri laku bermasalah (Climie & Mitchell, 2017).
Dampak yang ditimbulkan dari perilaku maladaptif anak de ngan gangguan perkembangan saraf ini bagi orang tua dapat memun culkan pengasuhan (Hall & Graff, 2012), orang tua mengalami stres pengasuhan lebih tinggi disebabkan karena perilaku maladaptif ex ternalizing (Bader, Barry, & Hann, 2015).
Demikian pentingnya penyebab utama perilaku maladaptif anak dengan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini anak dengan gangguan spectrum autis) terhadap stres pengasuhan orang tua, maka penulis melampirkan rangkuman beberapa riset sebelumnya tentang pengaruh perilaku maladaptif anak autis terhadap kondisi psikologis orang tua (dapat dilihat pada Tabel. 4).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
112
Tabe
l.4. P
ENGA
RUH
PERI
LAKU
MAL
ADAP
TIF AN
AK D
ENGA
N GAN
GGUA
N SPE
KTRU
M AU
TIS TE
RHAD
AP KO
NDISI
PSIK
OLOG
IS OR
ANG
TUA
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
Lee
(Dis
erta
si,
2011
)Pr
edic
tors
of
pare
ntin
g st
ress
am
ong
mot
hers
of
chi
ldre
n w
ith
autis
m in
Sou
th
Kore
a
Men
guji
fakt
or-
fakt
or y
ang
dapa
t m
emen
garu
hi
mun
culn
ya s
tres
pe
ngas
uhan
pad
a ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
di
Kor
ea
Part
isip
an: 1
60 ib
u-ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
(u
sia
anak
3 ta
hun-
12 ta
hun)
.Pe
nelit
ian
ini m
engg
unak
an 13
var
iabe
l ind
epen
den
dala
m m
empr
edik
sika
n pe
ngar
uhny
a te
rhad
ap
stre
s pe
ngas
uhan
. Ket
iga
bela
s va
riabe
l: fa
mily
so
cial
supp
ort,
num
ber o
f fam
ily m
embe
rs, f
amily
co
mpo
sitio
n, fa
mily
mon
thly
inco
me,
chi
ld’s
seve
rity
of a
utism
, chi
ld’s
mal
adap
tive
beha
vior
, chi
ld’s
age,
ye
ar(s
) ela
psed
sinc
e di
agno
sis, c
hild
’s ge
nder
, mot
hers
’ f
eelin
gs o
f gui
lt, d
urat
ion
of m
arria
ge, m
othe
r’s
educ
atio
n, m
othe
r’s o
ccup
atio
n.An
alis
is: k
orel
asi d
an st
epw
ise m
ultip
le re
gres
sion.
Has
il:Be
rdas
arka
n an
alis
is k
orel
asi:
usia
ana
k, ta
hun
berla
lu s
ejak
ana
k te
rdia
gnos
is, k
epar
ahan
au
tis, p
erila
ku m
alad
aptif
ana
k, p
eras
aan
bers
alah
ibu
sign
ifika
n be
rkor
elas
i ter
hada
p st
res
peng
asuh
an. B
erda
sark
an st
epw
ise m
ultip
le
regr
essio
n: u
sia
anak
, tah
un b
erla
lu s
ejak
an
ak te
rdia
gnos
is, d
an p
eras
aan
bers
alah
ibu
mer
upak
an v
aria
bel y
ang
dom
inan
mem
enga
ruhi
st
res
peng
asuh
an ib
u.
Hal
l, G
raff
(Ju
rnal
, 201
2)M
alad
aptiv
e be
havi
ors o
f ch
ildre
n w
ith
autis
m: P
aren
t su
ppor
t, st
ress
an
d co
ping
.
Men
guji
peng
aruh
pe
rilak
u m
alad
aptif
an
ak a
utis
, duk
unga
n ke
luar
ga, s
tres
ora
ng
tua,
dan
kop
ing.
Part
isip
an: s
eban
yak
70 o
rang
tua
dari
anak
aut
is
(usi
a an
ak 3
-21 t
ahun
).Al
at u
kur:
kopi
ng (c
opin
g he
alth
inve
ntor
y fo
r pa
rent
s); d
ukun
gan
kelu
arga
(fam
ily su
ppor
t sca
le);
stre
s pe
ngas
uhan
(par
entin
g st
ress
inde
x); p
erila
ku
mal
adap
tif a
nak
(vin
elan
d ad
aptiv
e be
havi
or sc
ales
).An
alis
is: p
ears
on p
rodu
ct-m
omen
t cor
rela
tion,
in
depe
nden
t- sa
mpl
es t
test
, mul
tiple
regr
essio
n.
Has
il: te
rdap
at p
enin
gkat
an h
ubun
gan
anta
ra
peril
aku
mal
adap
tif in
tern
aliz
ing
dan
stre
s or
ang
tua.
Berd
asar
kan
anal
isis
regr
esi p
ada
mod
el s
atu
men
unju
kkan
str
es p
enga
suha
n di
jela
skan
ole
h pe
rilak
u m
alad
aptif
inte
rnal
izin
g da
n ex
tern
aliz
ing,
da
n pe
rilak
u m
alad
aptif
lain
nya
seba
nyak
26%
. Pa
da m
odel
dua
men
unju
kkan
str
es p
enga
suha
n di
jela
skan
ole
h ko
mbi
nasi
per
ilaku
mal
adap
tif
dan
duku
ngan
kel
uarg
a.Za
blot
sky,
Br
adsh
aw,
Stua
rt. (
Jurn
al
2013
)
The
asso
ciat
ion
betw
een
men
tal
heal
th, s
tres
s,
and
copi
ng
supp
orts
in
mot
hers
of
child
ren
with
au
tism
spec
trum
di
orde
rs.
Men
guji
stre
s da
n ko
ndis
i kes
ejah
tera
an
psik
olog
is p
ada
ibu
dari
anak
aut
is.
Men
guji
risik
o pe
ngas
uhan
ibu
dan
fakt
or p
rote
ktif
yang
be
rhub
unga
n de
ngan
di
agno
sis
anak
.
Part
isip
an: s
eban
yak
1014
ora
ng tu
a da
ri an
ak a
utis
da
n 66
7 an
ak b
aru
saja
terid
entif
ikas
i aut
is.
Alat
uku
r:•
Dia
gnos
is a
utis
; Gan
ggua
n ps
ikia
tri t
amba
han;
Ke
seha
tan
men
tal i
bu; I
ndik
ator
str
es;
Duk
unga
n ko
ping
;Var
iabe
l dem
ogra
fi An
alis
is:
mul
tiple
regr
essi
on
Has
il: p
enel
itian
ini s
emak
in m
eneg
aska
n pr
edik
tor y
ang
mem
enga
ruhi
kes
ehat
an m
enta
l ib
u da
n m
enin
gkat
nya
stre
s di
peng
aruh
i ole
h re
ndah
nya
ekom
oni k
elua
rga,
ban
yakn
ya ju
mla
h an
ak, k
ondi
si k
eter
bata
san
anak
aut
is (t
erda
pat
bebe
rapa
ana
k au
tis y
ang
kom
orbi
d de
ngan
ga
nggu
an la
in).
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
113
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
Mal
jaar
s,
Boon
en,
Lam
brec
hts,
Le
euw
en,
Noe
ns. (
Jurn
al,
2014
)
Mat
erna
l pa
rent
ing
beha
vior
and
ch
ild b
ehav
ior
prob
lem
s in
fam
ilies
of
child
ren
and
adol
esce
nts w
ith
autis
m sp
ectr
um
diso
rder
.
Men
guji
hubu
ngan
an
tara
per
ilaku
be
rmas
alah
ana
k da
n pe
rilak
u an
ak d
alam
m
emen
garu
hi p
erila
ku
oran
g tu
a, d
an m
em ba
n-di
ngka
nnya
ant
ara
ibu
dari
anak
aut
is d
an ti
dak
autis
, ibu
dar
i ana
k da
n re
maj
a au
tis.
Part
isip
an: s
eban
yak
989
kelu
arga
dal
am k
onte
ks
berb
ahas
a Be
land
a Al
at u
kur:
• Pe
rilak
u pe
ngas
uhan
(the
par
enta
l beh
avio
r sc
ale-
shor
t ver
sion)
• Pe
rilak
u be
rmas
alah
ana
k (c
hild
beh
avio
r pr
oble
ms)
M
etod
e: a
nalis
is M
ANO
VA.
Has
il : i
bu d
ari a
nak
autis
sec
ara
sign
ifika
n m
enun
jukk
an s
kor l
ebih
rend
ah p
ada
atur
an d
an
disi
plin
dan
sko
r leb
ih ti
nggi
pad
a pe
ngas
uhan
po
sitif
, stim
ulas
i per
kem
bang
an, d
an a
dapt
asi
lingk
unga
n.St
res
peng
asuh
an d
idap
ati p
ada
kelu
arga
yan
g m
emili
ki a
nak
autis
.Pe
nelit
ian
ini m
engi
mpl
ikas
ikan
pel
ayan
an d
an
pela
tihan
unt
uk m
endu
kung
ora
ng tu
a da
ri an
ak
autis
dan
men
jela
skan
per
ilaku
ber
mas
alah
ana
k au
tis. P
elat
ihan
terk
ait p
emah
aman
aka
n pe
rilak
u be
rmas
alah
ana
k be
rfun
gsi u
ntuk
men
urun
kan
stre
s pe
ngas
uhan
dan
men
ingk
atka
n ef
ikas
i pe
ngas
uhan
.Za
idm
an-Z
ait,
Mire
nda,
Duk
u,Sz
atm
ari,
Geo
rgia
des,
Vold
en,
Zwai
genb
aum
,Va
illan
cour
t,Br
yson
, Sm
ith,
Fom
bonn
e,Ro
bert
s,
Wad
dell,
Th
omps
on
(Jurn
al, 2
014)
.
Exam
inat
ion
of b
idire
ctio
nal
rela
tions
hips
be
twee
n pa
rent
st
ress
and
two
type
s of p
robl
em
beha
vior
in
child
ren
with
au
tism
spec
trum
di
sord
er.
Men
guji
hubu
ngan
an
tara
dua
tipe
str
es
peng
asuh
an (k
ondi
si
stre
s se
cara
um
um
dan
kond
isi s
tres
pe
ngas
uhan
) dan
pe
rilak
u ek
ster
naliz
ing
dan
inte
rnal
izin
g an
ak
autis
.
Part
isip
an: s
eban
yak
184
ibu-
ibu
dari
anak
aut
is.
Alat
uku
r:•
Stre
s pe
ngas
uhan
: par
entin
g st
ress
inde
x-sh
ort
form
• Pe
rilak
u an
ak: c
hild
beh
avio
r che
cklis
t.•
Met
ode:
ana
lysis
stru
ctur
al e
quat
ion
mod
ellin
g (p
ath
anal
ysis)
.
Has
il: s
tres
pen
gasu
han
(gen
eral
dis
tres
s da
n pa
rent
ing
dist
ress
) dis
ebab
kan
oleh
pe
rilak
u be
rmas
alah
ana
k (in
tern
aliz
ing
dan
ekst
erna
lizin
g).
Stre
s pe
ngas
uhan
(gen
eral
dis
tres
s) b
erpe
ngar
uh
lang
sung
terh
adap
efik
asi d
iri, d
epre
si,
dan
isol
asi,
sert
a ke
tidak
efe
ktifa
n pr
aktik
pe
ngas
uhan
(mis
alny
a, a
feks
i neg
atif,
dan
re
ndah
nya
keha
ngat
an d
an d
ukun
gan
oran
g tu
a).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
114
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
McS
tay,
D
issa
naya
ke,
Sche
eren
, Koo
t, Be
geer
. (Ju
rnal
, 20
14)
Pare
ntin
g st
ress
an
d au
tism
: Th
e ro
le o
f age
, au
tism
seve
rity,
qu
ality
of l
ife
and
prob
lem
be
havi
our o
f ch
ildre
n an
d ad
oles
cent
s with
au
tism
.
Men
guji
pera
n ka
rakt
eris
tik a
nak
(usi
a,
kepa
raha
n au
tis, k
ualit
as
kehi
dupa
n an
ak d
an
peril
aku
berm
asal
ah
anak
) ter
hada
p st
res
peng
asuh
an.
Part
isip
an: 1
50 o
rang
tua
dari
anak
-ana
k da
n re
maj
a au
tis, d
an 5
4 or
ang
tua
dari
anak
per
kem
bang
an
norm
al.
Alat
uku
r:•
Stre
s pe
ngas
uhan
(Par
entin
g st
ress
inde
x).
• Ke
para
han
autis
(Soc
ial R
espo
nsiv
enes
s Sc
ale,
SR
S)•
Kual
itas
kehi
dupa
n an
ak a
utis
(The
Ped
iatr
ic
Qua
lity
of L
ife (P
edsQ
L) In
vent
ory)
.•
Peril
aku
berm
asal
ah a
nak
autis
(Dis
rupt
ive
Beha
vior
Dis
orde
rs R
atin
g Sc
ale)
.
Anal
isis
:•
ANCO
VA :
men
guji
peng
aruh
kel
ompo
k au
tis
dan
anak
per
kem
bang
an n
orm
al.
• M
ultip
le re
gres
ion:
men
guji
kont
ribus
i usi
a an
ak,
kem
ampu
an v
erba
l, ke
para
ha a
utis
, kua
litas
ke
hidu
pan
anak
dan
per
ilaku
ber
mas
alah
ana
k.
Has
il: H
iper
aktiv
itas
anak
mer
upak
an fa
ktor
si
gnifi
kan
berh
ubun
gan
terh
adap
str
es
peng
asuh
an p
ada
oran
g tu
a au
tis, t
anpa
di
peng
aruh
i kep
arah
an a
utis
dan
kua
litas
ke
hidu
pan
anak
. Pen
garu
h ya
ng s
igni
fikan
dar
i pe
rilak
u be
rmas
alah
ana
k te
rhad
ap tu
ntut
an
peng
asuh
an d
an p
erse
psi a
kan
kete
ram
pila
n pe
ngas
uhan
pad
a or
ang
tua
dari
anak
aut
is.
Unt
uk k
arak
teris
tik a
nak
yang
lain
mas
ih d
alam
pe
ngen
dalia
n or
ang
tua.
Bade
r, Ba
rry,
H
ann
(Jurn
al,
2015
)
The
rela
tion
betw
een
pare
ntal
ex
pres
sed
emot
ion
and
exte
rnal
izin
g be
havi
ors i
n ch
ildre
n an
d ad
oles
cent
s w
ith a
n au
tism
sp
ectr
um
diso
rder
.
Men
guji
hubu
ngan
ek
spre
si e
mos
i ora
ng
tua,
mer
upak
an
pred
ikto
r map
an a
tas
kem
uncu
lan
gang
guan
ps
ikol
ogis
, den
gan
peril
aku
exte
rnal
izin
g an
ak.
Part
isip
an: S
eban
yak
111 o
rang
tua
dari
anak
aut
is
(usi
a an
ak 6
-18
tahu
n)Al
at u
kur:
• D
emog
rafi
• Pe
rilak
u an
ak (c
hild
beh
avio
r che
cklis
t)•
Gej
ala
kepa
raha
n an
ak (c
hild
ren’
s soc
ial b
ehav
ior
ques
tionn
aire
)•
Stre
s pe
ngas
uhan
(PSI
-sho
rt fo
rm)
• Pr
aktik
pen
gasu
han
(Ala
bam
a pa
rent
ing
ques
tionn
aire
)•
Eksp
resi
em
osi (
the
fam
ily q
uest
ionn
aire
)•
Met
ode:
ana
lisis
regr
esi b
erga
nda
Has
il an
alis
is re
gres
i mem
bukt
ikan
bah
wa
eksp
resi
em
osi o
rang
tua
(khu
susn
ya k
ritik
an)
men
yum
bang
seb
anya
k 18
.7 d
ari v
aria
ns p
erila
ku
ekst
erna
lizin
g an
ak, d
iluar
var
iabe
l kon
trol
de
mog
rafi,
ket
erlib
atan
, str
es o
rang
tua,
dan
pr
aktik
png
easu
han.
Bebe
rapa
pre
dikt
or y
ang
mem
enga
ruhi
per
ilaku
m
alad
aptif
ana
k: e
kspr
esi e
mos
i ora
ng tu
a, e
mos
i ke
terli
bata
n or
ang
tua,
dan
pen
gasu
han
kriti
kan.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
115
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
McS
tay,
D
issa
naya
ke,
Sche
eren
, Koo
t, Be
geer
. (Ju
rnal
, 20
14)
Pare
ntin
g st
ress
an
d au
tism
: Th
e ro
le o
f age
, au
tism
seve
rity,
qu
ality
of l
ife
and
prob
lem
be
havi
our o
f ch
ildre
n an
d ad
oles
cent
s with
au
tism
.
Men
guji
pera
n ka
rakt
eris
tik a
nak
(usi
a,
kepa
raha
n au
tis, k
ualit
as
kehi
dupa
n an
ak d
an
peril
aku
berm
asal
ah
anak
) ter
hada
p st
res
peng
asuh
an.
Part
isip
an: 1
50 o
rang
tua
dari
anak
-ana
k da
n re
maj
a au
tis, d
an 5
4 or
ang
tua
dari
anak
per
kem
bang
an
norm
al.
Alat
uku
r:•
Stre
s pe
ngas
uhan
(Par
entin
g st
ress
inde
x).
• Ke
para
han
autis
(Soc
ial R
espo
nsiv
enes
s Sc
ale,
SR
S)•
Kual
itas
kehi
dupa
n an
ak a
utis
(The
Ped
iatr
ic
Qua
lity
of L
ife (P
edsQ
L) In
vent
ory)
.•
Peril
aku
berm
asal
ah a
nak
autis
(Dis
rupt
ive
Beha
vior
Dis
orde
rs R
atin
g Sc
ale)
.
Anal
isis
:•
ANCO
VA :
men
guji
peng
aruh
kel
ompo
k au
tis
dan
anak
per
kem
bang
an n
orm
al.
• M
ultip
le re
gres
ion:
men
guji
kont
ribus
i usi
a an
ak,
kem
ampu
an v
erba
l, ke
para
ha a
utis
, kua
litas
ke
hidu
pan
anak
dan
per
ilaku
ber
mas
alah
ana
k.
Has
il: H
iper
aktiv
itas
anak
mer
upak
an fa
ktor
si
gnifi
kan
berh
ubun
gan
terh
adap
str
es
peng
asuh
an p
ada
oran
g tu
a au
tis, t
anpa
di
peng
aruh
i kep
arah
an a
utis
dan
kua
litas
ke
hidu
pan
anak
. Pen
garu
h ya
ng s
igni
fikan
dar
i pe
rilak
u be
rmas
alah
ana
k te
rhad
ap tu
ntut
an
peng
asuh
an d
an p
erse
psi a
kan
kete
ram
pila
n pe
ngas
uhan
pad
a or
ang
tua
dari
anak
aut
is.
Unt
uk k
arak
teris
tik a
nak
yang
lain
mas
ih d
alam
pe
ngen
dalia
n or
ang
tua.
Bade
r, Ba
rry,
H
ann
(Jurn
al,
2015
)
The
rela
tion
betw
een
pare
ntal
ex
pres
sed
emot
ion
and
exte
rnal
izin
g be
havi
ors i
n ch
ildre
n an
d ad
oles
cent
s w
ith a
n au
tism
sp
ectr
um
diso
rder
.
Men
guji
hubu
ngan
ek
spre
si e
mos
i ora
ng
tua,
mer
upak
an
pred
ikto
r map
an a
tas
kem
uncu
lan
gang
guan
ps
ikol
ogis
, den
gan
peril
aku
exte
rnal
izin
g an
ak.
Part
isip
an: S
eban
yak
111 o
rang
tua
dari
anak
aut
is
(usi
a an
ak 6
-18
tahu
n)Al
at u
kur:
• D
emog
rafi
• Pe
rilak
u an
ak (c
hild
beh
avio
r che
cklis
t)•
Gej
ala
kepa
raha
n an
ak (c
hild
ren’
s soc
ial b
ehav
ior
ques
tionn
aire
)•
Stre
s pe
ngas
uhan
(PSI
-sho
rt fo
rm)
• Pr
aktik
pen
gasu
han
(Ala
bam
a pa
rent
ing
ques
tionn
aire
)•
Eksp
resi
em
osi (
the
fam
ily q
uest
ionn
aire
)•
Met
ode:
ana
lisis
regr
esi b
erga
nda
Has
il an
alis
is re
gres
i mem
bukt
ikan
bah
wa
eksp
resi
em
osi o
rang
tua
(khu
susn
ya k
ritik
an)
men
yum
bang
seb
anya
k 18
.7 d
ari v
aria
ns p
erila
ku
ekst
erna
lizin
g an
ak, d
iluar
var
iabe
l kon
trol
de
mog
rafi,
ket
erlib
atan
, str
es o
rang
tua,
dan
pr
aktik
png
easu
han.
Bebe
rapa
pre
dikt
or y
ang
mem
enga
ruhi
per
ilaku
m
alad
aptif
ana
k: e
kspr
esi e
mos
i ora
ng tu
a, e
mos
i ke
terli
bata
n or
ang
tua,
dan
pen
gasu
han
kriti
kan.
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
Prui
tt, W
illis
, Ti
mm
ons,
Eka
s (Ju
rnal
, 201
6)
The
impa
ct o
f m
ater
nal,
child
, an
d fa
mily
ch
arac
teris
tics
on th
e da
ily
wel
l bei
ng a
nd
pare
ntin
g ex
perie
nces
of
mot
hers
of
child
ren
with
au
tism
spec
trum
di
sord
ers.
Men
geks
plor
asi
fakt
or-f
akto
r glo
bal
yang
mem
enga
ruhi
ke
hidu
pan
seha
ri-ha
ri da
n in
tera
ksi
peng
asuh
an ib
u.
Part
isip
an: s
eban
yak
83 ib
u-ib
u da
ri an
ak a
utis
(usi
a an
ak 3
-13
tahu
n).
Alat
uku
r:•
Kese
hata
n m
enta
l ibu
(the
cen
ter f
or
epid
emio
logi
c st
udie
s dep
ress
ion
scal
e, C
ESD
)•
Gej
ala
kepa
raha
n au
tis (t
he so
cial
resp
onsiv
enes
s sc
ale
(SRS
)).•
Kebe
rfun
gsia
n ke
luar
ga (t
he fa
mily
ada
ptab
ility
an
d co
hesio
n ev
alua
tion
scal
e IV
/FAC
ESIV
).•
Afek
si u
mum
seh
ari-
hari
(the
pos
itive
and
ne
gativ
e af
fect
sche
dule
/PAN
AS).
• In
tera
ksi p
enga
suha
n se
hari-
hari
Anal
isis
: H
iera
rchi
cal l
inea
r mod
ellin
g/H
LM
(dig
unak
an k
etik
a m
engu
kur d
esai
n hi
rark
is,
men
guji
peng
asuh
an ib
u se
cara
um
um, a
nak
dan
kara
kter
istik
kel
uarg
a be
rdam
pak
pada
afe
ksi d
an
inte
raks
i pen
gasu
han
seha
ri-ha
ri); c
ovar
iate
ana
lysis
(m
enen
tuka
n va
riabe
l dem
ogra
fi); c
orre
latio
n an
alys
is (h
ubun
gan
anta
ra v
aria
bel-
varia
bel d
alam
pe
nelit
ian)
Has
il:G
ejal
a de
pres
i yan
g ib
u ra
saka
n be
rkai
tan
deng
an p
enur
unan
afe
ksi p
ositi
f. Ib
u-ib
u ya
ng m
enga
lam
i gej
ala
depr
esi b
erhu
bung
an
deng
an p
enin
gkat
an a
feks
i neg
atif.
Koh
esi
kelu
arga
ber
hubu
ngan
aka
n pe
ning
kata
n in
tera
ksi p
enga
suha
n po
sitif
. Gej
ala
depr
esi
ibu
dan
keka
kuan
kel
uarg
a be
rhub
unga
n ak
an
peni
ngka
tan
inte
raks
i pen
gasu
han
yang
frus
tras
i.Pe
ngas
uhan
ibu
seca
ra u
mum
, ana
k da
n ka
rakt
eris
tik k
elua
rga
mem
enga
ruhi
afe
ksi i
bu
dan
inte
raks
i sos
ial.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
116
Nam
a Pe
nelit
iJu
dul P
enel
itia
nTu
juan
Met
ode
Pene
litia
nH
asil
Zaid
man
-Zai
t, M
irend
a, D
uku,
Va
illan
cour
t,Sm
ith,
Szat
mar
i, Br
yson
, Fo
mbo
nne,
Vo
lden
, W
adde
l, Zw
aige
nbau
m,
Geo
rgia
des,
Be
nnet
t,El
saba
ggh,
Th
omps
on.
(Jurn
al, 2
016)
.
Impa
ct o
f pe
rson
al a
nd
soci
al re
sour
ces
on p
aren
ting
stre
ss in
mot
hers
of
chi
ldre
n w
ith
autis
m sp
ectr
um
diso
rder
.
Men
guji
hubu
ngan
an
tara
per
ilaku
be
rmas
alah
ana
k,
stra
tegi
kop
ing,
sum
ber
sosi
al, s
tres
pen
gasu
han
pada
ibu
dari
anak
aut
is
mud
a.
Part
isip
an: s
eban
yak
283
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis (b
aru
terd
iagn
osis
aut
is)
Alat
uku
r:•
Dem
ogra
fi ke
luar
ga•
Stre
s pe
ngas
uhan
(par
entin
g st
ress
inde
x)•
Kebe
rfun
gsia
n ke
luar
ga (t
he g
ener
al fa
mily
fu
nctio
ning
/GFF
)•
Duk
unga
n so
sial
ora
ng tu
a (t
he so
cial
supp
ort
scal
e/SS
S)•
Stra
tegi
kopi
ng o
rag
tua
(the
way
s of c
opin
g qu
estio
nnai
re/W
oC)
• Ke
para
han
autis
(the
aut
ism d
iagn
osis
obse
rvat
ion
sche
dule
/AD
OS)
• Ke
tera
mpi
lan
kogn
itif a
nak
(the
M-P
-R)
• Ke
tera
mpi
lan
baha
sa a
nak
(the
PLS
-4)
• Pe
rilak
u ad
aptif
ana
k (v
inel
and
adap
tive
beha
vior
sc
ales
)•
Peril
aku
berm
asal
ah a
nak
(the
chi
ld b
ehav
ior
chec
klist
/CBC
L)•
Peril
aku
beru
lang
ana
k (t
he re
petit
ive
beha
vior
sc
ale
revi
sed/
RBS-
R)
Anal
isis
: Hie
rarc
hica
l mul
tiple
regr
essio
n.
Has
il:Pa
da s
aat t
erdi
agno
sis:
Mod
el m
enun
jukk
an
duku
ngan
sos
ial t
ingg
i dan
pen
ggun
aan
kopi
ng
berh
ubun
gan
deng
an m
enur
unny
a st
res
peng
asuh
an. S
ebal
ikny
a, m
enin
gkat
nya
peril
aku
mal
adap
tive
exte
rnal
izin
g, k
etid
akbe
rfun
gsia
n ke
luar
ga, d
an s
trat
egi k
opin
g re
ndah
be
rhub
unga
n de
ngan
rend
ahny
a st
res
peng
asuh
an.
Dua
tahu
n ke
mud
ian:
ting
giny
a st
res
peng
asuh
an p
ada
saat
ana
k te
rdia
gnos
is a
utis
ak
an m
empr
edik
sika
n pe
ning
kata
n st
res
peng
asuh
an d
i mas
a se
lanj
utny
a.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
117
2. FaktorRisikoLainnyaPermasalahanpermasalahan atau dengan kata lain sumber stres (stre
sor) yang kerap muncul dalam merawat aakanak dengan gang guan perkembangan ini umumnya berasal dari kondisi anak terutama pada perilaku maladaptif yang ditampilkan anak. Selain itu, terdapat sumber stres lainnya yang dianggap sebagai faktor risiko dalam me munculkan stres pengasuhan dan menurunkan kesejahteraan orang tua. Hasil penelitian Daulay (2019) mengungkapkan terdapat tiga sumber stres pada ibu dalam mengasuh anakanak dengan gangguan spketrum autis, yakni: 1) Masalah kondisi anak, terkait perilaku ber masalah anak; 2) Masalah minimnya penerimaan dukungan, terbagi pada dukungan finansial, dukungan emosional dan informasional; 3) Ma salah penerimaan masyarakat, adanya stig ma negatif terkait kon disi anak, masih banyak masyarakat yang belum memahami kondisi anak dan sebagian masyarakat terkadang meyalahkan orang tua atas kehadiran anak.
Berdasarkan penelitian Daulay (2019) dan telah menganalisis dari berbagai penelitian sebelumnya. Merujuk pada hasilhasil penelitian sebelumnya, maka beberapa faktor yang dianggap berperan me muncul kan stres pengasuhan ibu dapat dispesifikkan ke dalam dua faktor penting, yaitu faktor internal, meliputi halhal terkait perasa an, pikiran, dan tindakan yang bersumber dari dalam diri ibu selama mengasuh anak, se perti faktor personal dan faktor demografi. Faktor eksternal meliputi tematema persepsi ibu akan interaksi terhadap halhal di luar dirinya, seperti fak tor karakteristik anak, faktor keluar ga, dan faktor lingkungan/masyara kat. Selain itu, faktor risiko lainnya yang dianggap berpotensi memunculkan stres pengasuhan adalah fak tor sosiodemografi orang tua, meliputi: tingkat sosial ekonomi, usia orang tua, tingkat pendidikan orang tua.
a. PengukuranPerilakuMaladaptifAnakBagi para peneliti, alat ukur atau instrumen merupakan kunci uta
ma dalam mengungkapkan sebuah konstrak psikologi. Umumnya penelitian di bidang psikologi menggunakan instrumen nontes, berupa angket/kuesioner, wawancara, observasi, dan dokumentasi. Alat ukur atau instrumen penelitian dapat dilakukan dengan dua acara, yaitu mengadaptasi alat ukur yang sudah ada, dan mengembangkan instru men yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori utama dari sebuah konstrak psikologi.
Peneliti yang menggunakan adaptasi instrumen yang sudah ada, biasanya langkah pertama yang dilakukan adalah menerjemahkan skala
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
118
pengukuran tersebut ke dalam bahasa Indonesia, kemudian langkah selanjutnya adalah mengujicobakan skala tersebut yang su dah dalam versi bahasa Indonesia terhadap responden untuk menge tahui aitemaitem yang digunakan dapat dipahami secara baik. Lang kah terakhir adalah menerjemahkan kembali skala tersebut ke da lam bahasa Inggris. Usaha menjaga kualitas penerjemahan, sebaik nya pro ses adaptasi skala dilakukan oleh penerjemah berbahasa Indonesia yang pernah menetap di ne ga ra berbahasa Inggris, dan sebaiknya pe nerjemah juga seseorang yang mam pu memahami kajian yang sedang diteliti.
Cara kedua, yaitu mengembangkan instrumen yang disusun oleh peneliti berdasarkan teori utama dari sebuah konstrak psikologi. Retnawati (2016) menjelaskan langkahlangkah pengembangan instru men baik tes maupun nontes sebagai berikut (Retnawati, 2016).1. Menentukan tujuan penyusunan instrumen. Pada awal menyusun instrumen, perlu ditetapkan tujuan penyu sun
an instrumen. Tujuan penyusunan ini memandu teori untuk mengkonstrak instrumen, bentuk instrumen, penskoran sekali gus pemaknaan hasil penskoran pada instrumen yang akan dikem bangkan. Tu juan penyusunan instrumen ini perlu disesuaikan dengan tujuan pe ne litian. Sebagai contoh, ketika peneliti akan mengetahui penga ruh pe ri laku maladaptif anak terhadap stres pengasuhan. Tentunya ada dua in strumen yang perlu dikembang kan, yakni instrumen pengukur perila ku maladaptif anak dan in strumen pengukur stres pengasuhan.
2. Mencari teori yang relevan atau cakupan materi. Setelah tujuan penyusunan instrumen ditetapkan, selanjutnya per
lu dicari teori atau cakupan materi yang relevan. Teori yang rele van digunakan untuk membuat konstrak, apa saja indikator sua tu va riabel yang akan diukur. Sebagai contoh pada variabel stres peng asuhan, yang akan diukur harus memiliki indikator kon disi orang tua, kondisi anak, dan interaksi orang tua dengan anak.
3. Menyusun indikator butir instrumen/soal. Indikator soal ini ditentukan berdasarkan kajian teori yang rele van
pada instrumen nontes. Selain mempertimbangkan kajian teori, perlu dipertimbangkan cakupan dan kedalaman materi. Indikator ini telah bersifat khusus, sehingga dengan menggunakan indika tor dapat disusun menjadi butir instrumen. Biasanya aspek yang akan di ukur dengan indikatornya disusun menjadi suatu tabel. Ta bel tersebut kemudian disebut dengan kisikisi (blue print). Pe nyusunan kisikisi ini mempermudah peneliti menyusun butir ai tem.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
119
4. Menyusun butir instrumen. Penyusunan butir ini dilakukan dengan melihat indikator yang su
dah disusun pada kisikisi. Pada penyusunan butir ini, peneliti perlu mempertimbangkan bentuknya. Misal untuk non tes akan mengguna kan angket, angket jenis yang mana, menggunakan be rupa skala, penskorannya, dan analisisnya.
5. Validasi isi Setelah butirbutir soal tersusun, langkah selanjutnya adalah validasi.
Validasi ini dilakukan dengan menyampaikan kisikisi, butir instrumen, dan lembar diberikan kepada para ahli untuk dite la ah secara kuantitatif dan kualitatif. Tugas ahli adalah me li hat kesesuaian indikator dengan tujuan pengembangan instru men, kesesuaian indi kator dengan cakupan materi atau kesesu ai an teori, melihat kesesuai an instrumen dengan indikator butir, melihat kebenaran konsep butir soal, melihat kebenaran isi, ke be naran kunci (pada tes), baha sa dan budaya. Proses ini disebut dengan validasi isi dengan mempertimbangkan penilaian (expert judgment). Jika validasi ini akan dikuantifikasi, peneliti dapat me minta ahli mengisi lembar penilaian va lidasi. Paling tidak, ada tiga ahli yang dilibatkan untuk proses validasi instrumen penelitian. Berdasarkan isian tiga ahli, selanjutnya penelitian menghitung in deks kesepakatan ahli atau kesepakatan validator dengan meng gunakan indeks Aiken atau indeks Gregory.
6. Revisi berdasarkan masukan validator. Biasanya validator memberikan saran dan masukan, yang kemu dian
digunakan peneliti untuk merevisinya.7. Melakukan uji coba kepada responden yang bersesuaian untuk mem
peroleh data respons peserta. Setelah revisi, butirbutir instrumen kemudian disusun lengkap (di
rakit) dan siap diuji cobakan. Uji coba ini dilakukan dalam rangka memperoleh bukti empiris. Uji coba ini dilakukan kepada responden yang bersesuaian dengan subjek penelitian.
Peneliti dapat pula menggunakan anggota populasi yang tidak menjadi anggota sampel.
8. Melakukan analisis (reliabilitas, tingkat kesulitan, dan daya pem beda).
Setelah melakukan uji coba, peneliti memperoleh data respons peserta uji coba. Dengan menggunakan respons peserta, peneliti kemudian melakukan penskoran setiap butir. Selanjutnya hasil penskoran ini digunakan untuk melakukan analisis reliabilitas skor perangkat tes
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
120
dan juga analisis karakteristik butir. Analisis karakteristik butir dapat dilakukan dengan pendekatan teori tes klasik maupun teori respons butir.
9. Merakit instrumen. Setelah karakteristik butir diketahui, peneliti dapat merakit ulang
perangkat instrumen. Pemilihan butirbutir dalam merakit pe rangkat ini mempertimbangkan karakteristik tertentu yang dike hendaki peneliti, misalnya tingkat kesulitan butir. Setelah diberi instruksi pengerjaan, peneliti kemudian dapat menggunakan instrumen tersebut untuk mengumpulkan data penelitian.
Pengembangan instrumen yang dilakukan oleh seorang peneliti di Indonesia saat ini cukup banyak untuk memodifikasi instrumen berdasarkan teori utama dari sebuah konstrak psikologi. Langkahlang kah yang telah dikemukakan oleh Retnawati (2016) di atas da pat membantu peneliti untuk memahami proses pengembangan in strumen.
C. INTERVENSI BAGI ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAFAnakanak dengan gangguan perkembangan saraf (neurodevelop mental
disorders) adalah sekelompok anak dengan kondisi mengalami penurunan pada periode perkembangannya. Gangguan perkembangan ini biasanya muncul pada awal perkembangan, sering kali didapati sebelum anak memasuki sekolah dasar, dan ditandai dengan penurun an perkembangan pada gangguan fungsi pribadi, sosial, akademis, atau pekerjaan. Penurunan perkembangan bervariasi pada setiap anak, dari ketrebatasan dalam belajar atau pengontrolan fungsi eksekutif dan hambatan umum dari kemampuan sosial dan inteligensi. Meski tidak dapat disembuhkan, namun gangguan yang dialami anak dapat diminimalisasi dengan cara pemberian intervensi atau penanganan se dini mungkin, sehingga diharapkan pada usiausia selanjutnya per kembangan anak menjadi lebih baik. Penulis melakukan analisis dari beberapa buku terkait pemberian intervensi bagi anak autis, dan kemudian merangkumnya. Upaya meminimalisasi perilaku mala dap tif anak autis, dan meningkatkan perilaku adaptifnya, serta member fungsikan sistem sensorik sangat dibutuhkan pengintegrasian dari berbagai stimulus. Pada setiap anak tidaklah sama gejala autis yang dialaminya, sehingga mengapa autis menggunakan istilah spektrum, sebab gejala gangguan ini bervariasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Oleh karena itu, penanganannya juga dibutuhkan sti mu lasi yang kompleks dengan tujuan
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
121
untuk memberfungsikan dan meng optimalkan sistem kerja otak anak autis.
Hasdianah (2013) dalam bukunya “Autis pada anak, pencegahan, perawatan, dan pengobatan” menjelaskan terdapat terapi de ngan intervensi behavioral. Pendekatan behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku individu autistik. Pendekatan ini merupakan variasi dan pengembangan teori belajar yang semula hanya terbatas pada sistem pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward dan punish ment). Prinsipnya adalah mengajarkan perilaku yang sesuai dan di harapkan serta mengurangi perilaku bermasalah pada anak autis. Pendekatan ini juga menekankan pada pendidikan khusus yang di fokuskan pada pengembangan kemampuan akademik dan keahlian yang berhubungan dengan pendidikan. Pendekatan behavioral yang dapat diterapkan pada anak autis:a. Operant conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan ope ran
me rupakan penerapan prinsipprinsip teori belajar secara lan gsung. Prinsip pemberian ganjaran dan hukuman: perilaku yang positif akan mendapatkan konsekuensi positif (reward), se baliknya perilaku ne gatif akan mendapatkan konsekuensi negatif (punishment). Dengan demikian diharapkan inti dan tujuan uta ma dari pendekatan ini yaitu mengembangkan dan meningkat kan perilaku prositif, serta mengurangi perilaku negatif yang tidak produktif.
b. Cognitive learning (konsep belajar kognitif). Struktur pengajaran pada pendekatan ini sedikit berbeda dengan konsep belajar ope ran. Fokus nya lebih kepada seberapa baik pemahaman indi vi du autistik terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pende katan ini meng gunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih me negaskan apa yang diharapkan lingkungan terhadap anak au tis. Fokusnya adalah se berapa baik anak autis dapat mema ha mi lingkungan di sekitarnya dan apa yang diharapkan oleh ling kungan tersebut terhadap diri nya. Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari pendekatan kog nitif. Latihan ini difokuskan pa da kesadaran dengan menggunakan ta rikan nafas panjang, pe lemasan otototot, dan perumpaan visual untuk menetralisasi ke ge lisahan.
c. Social learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam menjalin interaksi sosial merupakan masalah utama dalam autisme, karena itu pendekatan ini menekankan pada pentingnya pe latihan keterampilan sosial (social skills training). Teknik yang sering digunakan dalam mengajarkan perilaku sosial positif an ta ra lain: modelling (pemberian contoh), role playing (permain an peran), rehearsal (latihan/
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
122
pengulangan). Pendekatan belajar sosial mengkaji perilaku dalam hal konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi personal.
Beberapa intervensi umum yang dapat diterapkan pada anak autis, yaitu:
1. FarmakoterapiPerilaku maladaptif anak autis, seperti hiperaktivitas, agresivi tas,
menyakiti diri, susah tidur perlu diperbaiki dengan obat. Obat ini sifatnya tidak untuk menyembuhkan, namun lebih digunakan untuk perbaikan gejala yang ada, dan digunakan untuk mem beri keseim bangan pada neurotransmitter. Setiap anak memiliki reaksi yang ber beda terhadap obat, jika pada satu anak cocok dengan obat tertentu namun belum tentu cocok pada anak yang lain (Budhiman, Shattock, & Ariani, 2002). Penggunaan obatobat an bukan satusatunya cara penanganan pada anak autis, te ta pi harus dikombinasikan dengan hasil intervensi lainnya, agar ha silnya lebih optimal.
Menurut Hartono (2002) obat yang biasa digunakan antara lain:a. Fluoksetin, sertralin, digunakan sebagai anti depresi yang secara em
pirik dapat mengurangi perilaku agresif, repetitif, serta obsesif.b. Klorpromasin, teoridasin, haloperidol, digunakan sebagai anti psikotik
apabila agresivitas dan agitatif anak sangat dominan.c. Anti epilepsi digunakan apabila mengalami serangan epilepsi (se
pertiga kasus autis mengidap epilepsi)
Pirasetam, digunakan untuk memperbaiki gangguan perkembang an bahasa, karena terbukti obat ini mampu memperbaiki fungsi he misfer kiri otak. Contoh penelitian berikut ini telah mem buk tikan keefektifan farmakoterapi pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Masi, Lampit, DeMayo, Glozier, Hickie, Guastella (Jurnal, 2017).A comprehensive systematic review and meta-analysis of pharmacological and dietary supplement interventions in paediatric autism:
Tujuan: menguji jika terdapat karakteristik dasar pasien yang respons atau desain percobaan yang menghambat identifikasi intervensi untuk anak autis. Metode: Pencarian literature dari EMBASE, MEDLINE dan PsycINFO teridentifikasi 43 studi menggunakan analisis kualitatif dan 37 studi menggunakan analisis kuantitatif.
Hasil:Berdasarkan meta-analisis dari 1997 partisipan (81% laki-laki) teridentifikasi tiga moderator yang berhubungan dengan peningkatan treatmen: 1) lokasi percobaan di Eropa dan Timur Tengah; 2) hasil pengukuran ditetapkan status utama; 3) jenis ukuran hasil. Sintesa kualitatif dari karakteristik dasar teridentifikasi sekurang-kurang 31 variabel, dengan usia dan jenis kelamin dilaporkan dalam seluruh percobaan.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
123
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
moderators of treatment response and recommendations for future research.
Kriteria mencakup blinded randomized controlled trials (RCTs) pada pediatric autis, dengan sekurang-kurang 10 partisipan atau 20 secara keseluruhan, treatmen oral, mencakup intervensi farmakologidan suplemen makanan.
Terdapat kebutuhan besar untuk meningkatkan penerapan karakterisasi dasar dan penggabungan tanda biologis dan berkorelasi pemilihan partisipan ke dalam subkelompok homogeny dan menginformasikan teratmen bagi anak autis.
2. Terapi okupasiTerapi okupasi merupakan salah satu layanan yang paling umum
diterima oleh individu dengan gangguan spektrum autis dan keluarga mereka (McLennan dkk., 2008) Menurut Hocking (2009), okupasi berkontribusi terhadap kesehatan dan kesejahteraan me lalui tiga me kanis me dasar, yaitu: mampu memenuhi kebutuhan biologis, me ngem bangkan kapasitas, dan berkontribusi terhadap tujuan dan ke puas an. Dalam terapi okupasi, kekuatan transfor masi okupasi ini di per kaya dan digunakan untuk mempromosikan kesehatan indivi du de ngan spektrum kondisi kese hatan dan ke bu tuhan okupasi. De mikian juga menurut Popescu (1993, da lam Balteanu & Rugina, 2010) men jelaskan dalam kasus anak dengan autis, program terapi okupasi ber tujuan untuk meningkat kan ke percayaan diri, aktivitas keman dirian, keluarga, dan me ning kat kan kondisi psikososial mendekati perkembangan normal. Ke giatan yang direkomendasikan selama te rapi okupasi mengim pli kasikan koordinasi antara sistem kognitif, sen sorik, motorik, psi kososial, pengembangan fungsi dan motivasi pa sien.
Pada anak autis, terapi okupasi ini sangat membantu mereka untuk dapat mandiri dan memberfungsikan diri dalam memenuhi kebutuhannya seharihari. Karakteristik utama anak autis adalah ke ter batasan sosial, perilaku berulang dan terbatas, namun tidak ha nya dua karakteristik utama itu saja yang dapat dijumpai pada diri anak autis, istilah spektrum menandakan bahwa pada anak yang ter diagnosis autis mengalami gejala gangguan yang bervariasi antara sa tu anak dengan anak lainnya, ada anak yang gejalanya ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). Se hingga penanganan pa da anak autis sebaiknya tidak hanya satu penanganan saja, namun in tinya harus disesuaikan dengan kebutuhan anak.
Menurut Roley dkk., (2008), the occupational therapy practice frame-work (OTPF) megkategorikan okupasi pada delapan area, yaitu: aktivitas keseharian, aktivitas instrumental keseharian, istirahat dan tidur, bekerja,
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
124
bermain, waktu luang, partisipasi sosial, dan pendi dikan. Secara keselu ruhan, tujuan terapi okupasi adalah bagaimana anak mampu untuk memberfungsikan keterampilan dirinya seharihari dan diharapkan anak menjadi lebih mandiri dan tidak bergan tung pada pengasuhnya. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan terapi okupasi pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
McDaniel (Tesis, 2015).A systematic mapping review of equine- assisted activities and therapies for children with autism: Implications for occupational therapy.
Penelitian ini menggunakansystematic mapping review, dalam menjelaskan kekuatan dan kelemahan dari hippotherapy dan therapeutic riding yang dilakukan pada anak autis.
Penelitian ini menjelaskan tiga area dari delapan area penting dalam the occupational therapy practice framework (OTPF), yaitu partisipasi sosial, bermain, dan pendidikan.Penelitian ini juga menjelaskan keefektifan terapi menunggang kuda yaitu hippotherapy (HPOT dan therapeutic riding (TR) dalam meningkatkan kemampuan okupasi anak autis. Hippotherapy adalah suatu bentuk terapi neuromuskular yang dapat memperbaiki postur dan koordinasi seorang anak disablitas. Therapeutic riding berfungsi untuk meningkatkan keterampilan sensorik dan motorik untuk koordinasi, keseimbangan, postur.
Kadar, McDonald, Lentin (Jurnal, 2015).Malaysian occupational therapists’ practices with children and adolescents with autism spectrum disorder.
Penelitian ini menggunakan survey untuk hasil pemeriksaan praktik terapi okupasi di Malaysia pada anak dan remaja autis. Responden: terapis okupasi yang menjadi anggota Asosiasi Terapi Okupasi Malaysia (MOTA) yang telah menangani anak dan remaja autis.
Penelitian ini menjelaskan terdapat pengaruh efektif integrasi sensori dari anak dan remaja autis, dapat melakukan keterampilan hidup sehari-hari, keterampilan motorik kasar dan halus. Para terapis juga rutin melakukan evaluasi dan skrining perkembangan anak dan remaja autis.
Howell, Wittman, Bundy (Jurnal, 2012).Interprofessional clinical education for occupational therapy and psychology students: A social skills training program for children with autism spectrum disorders.
Penelitian ini menggunakan studi kualitatif untuk meningkatkan kebutuhan akan pelatihan keterampilan sosial pada anak autis.
Penelitian ini membuktikan peranan para terapis okupasi dan mahasiswa psikologi untuk belajar dan meningkatkan perkembangan anak autis.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
125
3. Terapi integrasi sensoriKranowitz (2003) menjelaskan bahwa melalui indra, kita mene rima
informasi sensori dari lingkungan dan perlu informasi ini untuk bertahan hidup, belajar dan berfungsi dengan lancar. Otak meneri ma informasi dari tubuh dan lingkungan, menginterpretasikan pe san ini dan mengatur respons untuk menggapai tujuan. Ketika otak mengintegrasikan informasi sensorik dengan benar, tubuh akan mem buat gerakan tubuh yang sangat adaptif, perilaku adalah hasil ala miah nya (Williames dkk., 2009). Kranowitz (2005) lebih lanjut men je las kan bahwa disfungsi integrasi sensori terjadi ketika otak tidak efisien memproses pesan sensorik yang datang dari tubuh sese orang itu sendiri dan lingkungannya. Disfungsi integrasi sensori dapat me me ngaruhi perkembangan anak, perilaku, pembelajaran, keterampil an komunikasi, persahabatan dan bermain. Hal ini membuktikan bah wa bagi seorang anak dengan disfungsi integrasi sensori akan meng alami kesulitan dengan emosi dan perilaku, oleh karenanya mem bu tuhkan terapi (Williames dkk., 2009).
Perbedaan mendasar antara DSM 5 dan DSMIV salah satunya adalah sensitivitas sensoris. Pada DSMIV tidak memuat tentang sen sitivitas sensori, padahal anak autis mengalami masalah dalam meng olah informasi dan kesulitan dalam memberikan respons yang tepat, yang diakibatkan oleh ketidakberfungsian pada struktur dan bioki mia otak. Menurut Miller, Anzalone, Lane, Cermak, dan Osten (2007), terdapat tiga bentuk gangguan dalam memproses informasi, yaitu: 1) gangguan dalam modulasi sensori, menyebabkan anak tidak dapat me respons input sensori dengan tepat; 2) gangguan dalam diskrimina si sensori, menyebabkan anak kesulitan dalam mengartikan kualitas rangsangan atau input sensori; 3) gangguan dalam melakukan gerak an dan postural, menyebabkan anak mengalami koordinasi yang bu ruk pada ranah oralmotor, motorik halus, dan motorik kasar. Perilaku abnormal anak autis disebabkan oleh kerusakan pada bagian sistem saraf di mana rangsangan sensorik diproses dan terintegrasi secara tidak normal (Schaaf & Miller, 2005).
Terapi integrasi sensori (sensory integration therapy/SIT), memberikan kemampuan sistem saraf untuk berubah (neuroplastisitas), upaya menstimulasi sensori untuk meningkatkan sistem saraf dalam proses stimulus. Peningkatan keberfungsian kerja sistem saraf mam pu mengu rangi masalah perilaku dan memengaruhi pembelajaran lebih efisien (Schaaf & Miller, 2005). Terapi integrasi sensori harus melibatkan: a) keaman an bagi anak: b) peluang anak untuk menda patkan stimulasi terhadap sen
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
126
tuhan (taktil), vestibular, proprioceptif untuk mengaktifkan regulasi diri, dan keberfungsian alat indra; c) meningkatkan kewaspadaan; d) tantangan untuk kontrol gerakan mo torik; e) memunculkan perilaku motorik baru dan keberfungsiannya; f) pemilihan aktivitas dan bahan yang digunakan; g) kegiatan yang dilakukan tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit; h) kegiatan di mana peserta akan merasakan kesuksesan; i) menum buhkan hasrat dari dalam untuk bermain; j) ketergantungan terapeutik (Parham dkk., 2007). Terapi ini bertujuan meningkatkan susunan saraf pusat, sehingga mampu berfungsi dalam mengolah informasi dan muncul dalam perilaku yang tepat.
Kajian sistematik review oleh Lang dkk., (2012) terhadap dua puluh lima riset sebelumnya mengenai peranan intervensi terapi integrasi sensori. Secara keseluruhan, dari 25 riset menunjukkan terdapat tiga penelitian yang membuktikan terapi SIT efektif dan bermanfaat, delapan riset me nunjukkan hasil yang sama antara efektif dan kurang efektif, dan 14 riset membuktikan hasil yang kurang efektif. Oleh karena nya perlu kaji an lebih lanjut tentang keefektifan pelaksanaan terapi integrasi sensori pada anak autis, baik prosedur pelaksanaannya, ke mampuan terapis yang berinteraksi langsung dengan anak, tempat dan bahan yang digunakan, sehingga diharapkan hasilnya benarbe nar meningkatkan kemampuan sen sori anak autis. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan te rapi integrasi sensori pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Linderman & Stewart (1999).Sensory integrative-based occupational therapy and functional outcomes in young children with pervasivedevelopmental disorders: A single-subject study
Partisipan dilakukan terhadap 2 anak laki-laki (1 anak mild autis dan 1 anak severe autis), berusia 3 tahun.Hal yang diukur: versi modifikasi The Functional Behavior Assessment for Children with Integrative Dysfunction. Pendekatan terhadap aktivitas baru, respons terhadap pelukan (partisipan 1) dan kemampuan interaksi sosial, komunikasi, dan respons terhadap gerakan (partisipan 2).Prosedur:Partisipan 1 menerima 1 jam terapi setiap minggu selama 11 minggu, sedangkan partisipan 2 menerima 1 jam terapi setiap minggu selama 7 minggu. Terapi mencakup penggunaan bantal besar, melompat, “body sock”, permainan dengan bertekstur.
Hasil: Terapi integrasi sensori yang dilakukan pada kedua partisipan mampu mencapai target.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
127
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Fazlioglu & Baran (2008).A sensory integration therapy program on sensory problems for children with autism.
Partisipan sebanyak 30 anak autis yang diacak untuk ditempatkan pada kelompok perlakuan (12 anak laki- laki dan 3 anak perempuan) dan kelompok kontrol, keseluruan dengan severe autis, dan usia antara 7-11 tahun.Intervensi: diet sensori yang terdiri dari menyikat dan kompresi sendi diikuti satu set kegiatan yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan sensorik anak da diintegrasikan ke dalam rutinitas harian anak.
Hasil: terdapat pengaruh signifikan kelompok perlakuan (F=5,84, p<0,05) .
Thompson (2011).Multisensory intervention observational research.
Partisipan sebanyak 10 anak autis. Intervensi: lingkungan multi-sensori yang mencakup 10 strategi terapeutik.Pengukuran menggunakan sistem observasi yang diciptakan oleh peneliti.
Hasil: anak autis mengalami perkembangan signifikan selama dan setelah berada pada ruangan percobaan multy-sensory.
4. Terapi PerilakuTerapi perilaku ini bertujuan untuk meningkatkan perilaku adap tif
anak (misalnya kemandirian, perawatan diri) dan meminimalkan perilaku maladaptif anak (misalnya agresif, tantrum, hiperaktif). Sa lah satu jenis terapi yang umum digunakan dan dianggap memiliki kelebihan dalam membentuk perilaku anak adalah Applied Behavior Analysis (ABA). Menurut Corey (1997), terapi perilaku yang umum nya selama ini dikembang kan adalah metode Lovaas yakni ABA. Me tode ini sangat intensif da lam hal waktu, sangat terstruktur dan me la lui tahaptahap ulangan di mana anak diberikan pelatihan, ser ta senantiasa mendapat reward/positive reinforcement (misalnya makan an atau mainan kesenangannya, pujian, pelukan) bila anak mampu mengerjakan dengan benar atau sesuai dengan perilaku yang diharap kan, namun jika anak berespons tidak tepat/salah maka anak tidak diberikan hukuman (punishment) atau dengan kata lain anak tidak mendapatkan positive reinforcement.
Mukhtar (2016) dalam modul penelitiannya tentang pedoman group-based parenting support menjelaskan dalam metode ABA, ter dapat bebe rapa teknik yang umum dipakai pada pelatihan anak autis, seperti teknik prompting, shaping, chaining, dan discrete trial training (DTT).
Dalam memahami perilaku anak autis, orang tua sebaiknya memahami faktor penyebab (A) mengapa anak menampilkan perilaku yang ti dak diinginkan, lalu orang tua mengobservasi perilaku anak (B), dan ter akhir akibat yang ditimbulkan setelah anak menampil kan perilaku
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
128
yang tidak diinginkan tersebut. Faktor A (antecedent)B (behavior)C (con-se quence) ini dikenal dengan istilah teknik ABC. Tu juannya adalah agar orang tua memahami faktor penyebab dan tin dakan/cara yang tepat meng atasi perilaku anak. Contoh penelitian ber ikut ini telah membuktikan ke efektifan terapi perilaku pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Dewiyanti (2007).Terapi perilaku untuk meningkatkan kemandirian pada anak autis.
Metode eksperimen kasus tunggal, dengan pemberian positive reinforcement dan modelling diberikan dalam terapi.
Hasil: terdapat peningkatan kemampuan kemandirian pada tahapan treatment.
Wijayaptri, N.W.P. (Tesis, 2016).Aplikasi Picture Exchange Com mu-nication Systems (PECS) untuk meningkatkan komunikasi fungsional remaja autis
Partisipan sebanyak dua orang remaja autis yang memiliki kemampuan komunikasi terbatas.Tujuan: Mengetahui efektifitas PECS fase I- VI untuk meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional pada remaja autis. Desain eksperimen multiple baseline across subjects.
Latar belakang: Individu autis mengalami kesulitan berkomunikasi secara verbal maupun non verbal, dan keterampilan komunikasi berhubungan dengan penurunan masalah-masalah perilaku.Hasil: Metode PECS dapat meningkatkan kemampuan komunikasi fungsional remaja autis, perilaku bertahan tiga minggu pasca intervensi dan tergeneralisasi pada berbagai setting alami di sekolah, dengan pasangan komunikasi yang berbeda-beda.
Hardiani, R.S., & Rahmawati, S. (Jurnal, 2012)Metode ABA (Applied Behaviour Analy sis): Kemampuanbersosialisasi ter-ha dap kemam puan interaksi sosial anak autis
Partisipan adalah siswa autis di SLB Jember (seba nyak 18 anak).Tuju an: mengetahui penga-ruh metode ABA dalam kemampuan bersosialisasi dan kemampuan interaksi sosial.Jenis penelitian: pre ekspe-rimental dengan rancangan one group pretest posttest.
Hasil: Sebelum perlakuan, mayoritas res-pon den memiliki kemampuan interaksi so-sial kurang, yaitu sebanyak 66,7%. Setelah perlakuan, kemampuan interaksi sosial res ponden yang kurang hanya 33,3%. Hasil pene litian menunjukkan ada pengaruh se cara bermakna metode ABA: kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan inter aksi sosial anak autis dengan nilai p value 0,008. Orang tua diharapkan dapat mening katkan perannya sebagai pemberi stimulasi secara dini.
5. Terapi WicaraTerapi wicara adalah bentuk pelayanan kesehatan profesional ber d
asarkan ilmu pengetahuan, teknologi dalam bidang bahasa, wi cara, suara, irama/kelancaran (komunikasi), dan menelan yang dituju kan kepada individu, keluarga dan/atau kelompok untuk mening katkan upaya kesehatan yang diakibatkan oleh adanya gangguan/kelainan anatomis, fisio logis, psikologis, dan sosiologis (Kementeri an Kesehatan Republik Indonesia, 2014). Standar pelayanan terapi wicara diatur dalam Peratur an Menteri Kesehatan Republik Indone sia (Permenkes RI) Nomor 81 Tahun 2014. Peningkatan dalam kemam puan berkomunikasi, berbahasa baik
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
129
bahasa ekspresif dan reseptif, serta berbicara merupakan ranah yang dapat dioptimalkan dalam te rapi wicara. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan terapi wicara pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Sandiford,Nainess, Daher. (Jurnal, 2013).A pilot study on the efficacy of melodic based communication therapy for eliciting speech in nonverbal children with autism.
Partisipan: sebanyak 12 anak autis yang nonverbal berusia 5-12 tahun. Nonverbal adalah memiliki kemampuan Bahasa ekspresif tidak lebih dari 10 kata dan rendah kemampuan mengutarakan hal yang diinginkannya.Desain penelitian: a randomized control design. Prosedur: partisipan dibagi menjadi 2 kelompok: 1) the traditional therapy group yang mendapatkan perlakuan melodic based communication therapy/MBCT; 2) kelompok tidak diberikan perlakuan.
Tujuan: membandingkan melodic based communication therapy (MBCT) kemampuan bahasa dan bicara untuk meningkatkan berbicara pada anak autis yang nonverbal.Hasil: tidak terdapat perbedaan signifikan dalam sejumlah verbal dan sejumlah kata benar di antara dua kelompok.
Hoque, Lane, Kaliouby, Goodwin, Picard. (2018).Exploring speech therapy games with children on the autism spectrum.
Tujuan: Anak autis sering kesulitan dalam mengutarakan sesuatu hal. Penelitian ini berupaya menyajikan intervensi baru terhadap penyesuaian pidato, yaitu melalui game terapi bicara untuk mengaktifkan kemampuan berbicara jelas. mengaktifkan game untuk membantu mereka menghasilkan ucapan yang jelas.Desain: eksperimental.
Hasil: melalui pilot studies dari desain eksperimen, melalui observasi sehingga mendukung hipotesa. Terdapat pengaruh game terapi bicara dalam meningkatkan kompetensi, kepercayaan diri, dan keterlibatan dalam interaksi sosial dengan demikian meningkatkan mereka kualitas hidup.
6. Terapi bermainBermain merupakan kegiatan menyenangkan yang dilakukan dengan
tujuan bersenangsenang, yang memungkinkan seorang anak dapat melepaskan rasa frustrasi (Santrock, 2007). Adapun terapi bermain merupa kan suatu bentuk permainan anakanak, di mana mere ka dapat berhubungan dengan orang lain, saling mengenal, sehingga dapat mengungkapkan perasaannya sesuai dengan kebutuhan mereka (Vanfleet dkk., 2010).
Anakanak dengan gangguan spektrum autis mengalami kesulitan da lam pemikiran kreatif dan permainan simbolik (Hobson dkk., 2009). Hobson (2009) juga menjelaskan bahwa anakanak autis mengalami: a) ren dahnya kemampuan untuk menghasilkan ide, seperti kreativitas da lam bermain; b) tidak dapat dengan mudah beralih dari berpikir dalam dunia nyata kepada “dunia purapura” (pretendworld); c) tidak berkeingin an dan rendahnya partisipasi dalam permainan purapura. Dalam ber main, anak autis terlihat menyendiri, menunjukkan perilaku berulang, tan pa inovasi
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
130
dan imajinasi. Oleh karenanya tujuan terapi bermain adalah berupaya meningkatkan kreativitas, berpikir kritis, dan kemampuan dalam bermain purapura pada anak autis.
Terapi bermain pada awalnya dikembangkan tahun 1909 oleh Sigmund Freud melalui kasusnya yang terkenal yaitu “Little Hans”, mengisahkan Hans kecil berusia lima tahun mengalami fobia. Berda sarkan kasus Hans, kemudian Hermine HugHellmuth tertarik untuk membantu anakanak dalam mengekspresikan dirinya melalui per mainan (Landreth, 2012). Pada tahun 1919, seorang psikoanalisis “Me lanie Klein” (1955) memanfaatkan bermain dalam terapi anak se bagai cara menganalisis anakanak di bawah usia enam tahun. Klein percaya bahwa dengan menggunakan bermain sebagai cara un tuk memotivasi anakanak da lam mengekspresikan keinginan dan ha rapan mereka (Landreth, 2012). Pada saat yang bersamaan, Anna Freud juga menggunakan bermain un tuk merangsang aliansi, merang sang ikatan emosional positif antara anak dengan terapis (Landreth, 2012), hal ini senada dengan Freud bahwa diperlukannya ikatan emosional dalam hubungan terapeutik. Pada tahun 1969, Virginia Axline adalah seorang murid Carl Rogers yakin bahwa klien adalah yang utama dalam agen perubahan, bukan terapis, kemudian Axline mengembangkan konsep CCPT (child-centeredplay therapy) adalah kon sep terapi bermain yang berfokus pada kebutuhan anak.
Child-centered play therapy merupakan pendekatan baru bagi anakanak autis. Anakanak tidak perlu diajarkan cara bermain atau ba gaima na mereka harus dibuat untuk bermain (Landreth, 2012). CCPT ti dak mengajarkan anakanak untuk bermain, tetapi merangsang anakanak untuk mengeksplorasi mode permainan mereka sendiri dengan kecepatan mereka sendiri sambil mengembangkan keterampilan komunikasi. Salah satu penelitian yang membahas keuntungan peran child-centerd plat the-ra py pada anakanak autis adalah penelitian Morgenthal (2015), hasil pe nelitiannya membuktikan bahwa selama ini anak autis intens mendapatkan intervensi perilaku (ABA), keba nyakan orang beranggapan akan sulit mengajak anak autis bermain mengingat keterbatasan dalam hubungan interaksi sosial, padahal me lalui metode bermain anakanak autis dapat diajarkan membentuk perilaku yang diinginkan dan terlihat lebih santai. Contoh penelitian yang telah membuktikan keefektifan terapi bermain pada anak autis:
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
131
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Far, Hatami, Ahadi. (Jurnal, 2015).The effect of training play therapy to the mother of autistic children to improve the verbal and nonverbal skills of their children.
Subjek penelitian: sebanyak 30 anak autis dilibatkan, terbagi menjadi 2 kelompok (kelompok perlakuan & kelompok kontrol) di Iran.
Terapi bermain secara signifikan mampu meningkatkan kemampuan sosial anak autis.
Morgenthal (Disertasi, 2015).Child-centered play therapy for children with autism: A case study.
Tujuan: implementasi pendekatan client-centered pada terapi bermain terhadap anak perempuan autis, untuk meningkatkan keterampilan bermain simbolik dan komunikasi verbal.Desain: studi kasus.Literatur review dari penelitian sebelumnya terkait penerapan terapi bermain pada anak terdiagnosis autis.
Hasil:Client-centered play therapy dapat digunakan sebagai intervensi terapeutik untuk membantu keterampilan bermain simbolis dan keterampilan komunikasi.
Fung (2015).Increasing the social communication of a boy with autism using animal- assisted play therapy: A case report.
Menguji keefektifan animal assisted play therapy (AAPT) dalam meningkatkan komunikasi sosial pada anak autis. Desain: A-B-A single subject dan follow up.
Hasil:Komunikasi sosial pada anak laki-laki autis meningkat selama pelatihan.
7. Terapi musikTerapi musik bertujuan membuat anak merasa lebih tenang dan rileks,
sehingga mengurangi kecemasan dan gangguan emosi, pe ri l a ku repetitif anak autis (Berger, 2002); dan menstimulasi otak anak (Djohan, 2005). Contoh penelitian yang telah membuktikan keefek tifan terapi musik pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Chandra, A. (Tesis, 2007) Judul: Terapi music untuk mengurangi perilaku repetitive pada anak autis.
Subjek penelitian seorang anak autis berusia 4 tahun 5 bulan, dan laki-laki. Penelitian ini dilaksanakan selama 12 kali pertemuan dengan perincian 6 kali untuk baseline dan 6 kali untuk treatment. Musik yang diperdengarkan adalah musik waltz.
Hasil: terdapat penurunan perilaku repetitif pada anak autis setelah diberikan terapi musik selama 6 kali pertemuan. Perilaku repetitif yang semula dilakukan sebanyak 125 kali dalam 90 menit pada hari pertama, setelah pemberian teratment berupa terapi musik, perilaku repetitif berkurang menjadi 9 kali dalam 90 menit pada hari ke 12.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
132
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Lim, H. (Jurnal, 2010).Effect of “Developmental speech and language training through music” on speech production in children with autism spectrum disorders.
Partisipan: sebanyak 50 anak autis berusia 3-5 tahun yang telah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu kemampuan bahasanya. Partisipan dibagi ke dalam 2 kelompok: 1) kelompok musik (n=18), menonton video musik berisi 6 lagu dan gambar dari 36 kata target; 2) kelompok bicara (n=18) menonton video musik berisi 6 cerita dan gambar; 3) kelompok kontrol (n=14) tidak diberikan perlakuan. Keterampilan verbal mencakup semantic, ponologi, pragmatic, dan prosodi diukur dengan skala evaluasi produksi verbal yang dirancang secara eksperimen.
Hasil: partisipan baik dalam kelompok music dan bicara secara signifikan meningkat kemampuan verbal pre dan posttest. Hal ini mengindikasikan bahwa partisipan dengan kemampuan tinggi dan rendah akan meningkat kemampuan bicara mereka setelah menerima pelatihan music dan dan pelatihan bicara.Pelatihan secara signifikan berefek terhadap kemampuan verbal (p<0.001).
Gross, Linden, & Ostermann (Jurnal, 2010).Effects of music therapy in the treatment of children with delayed speech development - Results of a pilot study.
Tujuan: mengeksplorasi keefektifan terapi musik pada kemampuan verbal reasoning pada anak dengan gangguan bicara. Partisipan sebanyak 18 anak berusia 3,5 dan 6 tahun. Pendekatan: pilot study. Desain: single group with pre-and post testing. Pengukuran diberikan sebelum dan sesudah setiap periode penelitian.
Hasil pengukuran mencakup perkembangan kognisi dan kemampuan berbicara. Perkembangan bicara mencakup memori fonologi, memori untuk kalimat, aturan morfologi, memori untuk urutan kata.Terdapat efek kecil untuk memori fonologi dan pemahaman kalimat, dan tidak terdapat pengaruh hasil aturan morfologi dan memori untuk urutan kata.
8. Terapi snoezelenSnoezelen diciptakan pertama kali pada awal tahun 1970 oleh dua
orang terapis yang bekerja pada sebuah institusi khusus indivi du gangguan perkembangan. Snoezelen berasal dari bahasa Belanda yakni snuffelen (to sniff out or explore one’s environment) artinya aktif, eksplorasi, dan doezelen (to doze or relax) yang berarti pasif, relak sasi dan nyaman (Hul segge & Verheul, 1987). Snoezelen merupakan suatu aktivitas yang me mengaruhi sistem saraf pusat (SSP) melaui pemberian rangsangan yang cukup terhadap sensor primer pada peng lihatan, pendengaran, sentuhan, rasa kecap dan pembauan, serta terhadap sensor internal tubuh pada sistem keseimbangan (vestibu lar) dan sensasi sendi (proprioseptive) dengan bertujuan untuk mem peroleh relaksasi dan/atau aktivasi pada individu dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas hidup (dalam Andrini, 2014).
Snoezelen adalah dunia bagi anak dengan kebutuhan khusus yang mengalami disabilitas sensori, fisik, dan mental. Manfaatnya ber pe luang untuk relaksasi, eksplorasi dan ekspresi diri, mendorong ke per cayaan dan
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
133
kesenangan. Anak relaksasi secara fisik dan mental, meningkatkan kesa daran/perhatian, anak menunjukkan inisiatif un tuk beraktivitas, anak men jadi lebih percaya diri, hubungan anak dan terapis menjadi lebih baik, kemampuan anak lebih berkembang (Wind, 2001, dalam Andrini, 2014). Contoh penelitian berikut ini te lah membuktikan keefektifan te ra pi snoezelen pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Andrini (2014).Snoezelen room therapy media terapi untuk melatih peluang relaksasi pada anak autis di Yayasan Bina Anggita Yogyakarta
Penelitian ini bertujuan untuk membuat media terapi yang mengadaptasi darisnoezelen room therapy dengan indikator LED.Perancangan sistem snoezelen room therapy, terdiri dari tiga bagian alat: sistem LED dengan pengontrol limit switch, sistem LED dengan pengontrol relay dan push button, terakhir sistem LED dengan pengontrol condenser microphone dan audio VU meter.
Pada snoezelen room therapy, masing-masing alat memiliki fungsi dan perannya masing-masing tetapi keseluruhan sistem memiliki peran yang sama yaitu untuk menimbulkan peluang relaksasi pada anak autis. Alat pertama bekerja untuk memberikan stimulasi pada perkembangan gerak motorik kasar dengan melatih gerakan melangkahkan kaki. Alat kedua bekerja untuk melatih dan mengembangkan motorik gerak motorik halus dengan melatih memindahkan posisi tangan ketika menekan push button. Pada alat terakhir digunakan untuk melatih kemampuan komunikasi dan kontak mata dengan media terapi suara yang ditampilkan pada indikator LED. Respons yang diberikan oleh anak autis menunjukkan antusias, ketertarikan, perasaan senang pada saat melakukan terapi.
McKee, Harris, Rice, Silk (Jurnal, 2007).Effects of a snoezelen room on the behavior of three autistic clients.
Tujuan penelitian: menguji efek terapi snoezelen atas perilaku agresif dan merusak terhadap ketiga klien dewasa autis. Penelitian dilakukan selama 28 hari, selama 45 menit setiap hari kerja.
Hasil: penelitian ini tidak didukung oleh hipotesis bahwa snoezelen room berpengaruh terhadap penurunan perilaku agresif dan merusak pada ketiga klien autis. Alasannya adalah sebaiknya penelitian terhadap snoezelen room bertujuan untuk relaksasi dan rekreasi, sehingga kurang efektif jika dilakukan dengan tujuan penurunan perilaku agresif dan merusak bagi klien autis dan gangguan perkembangan.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
134
Volkan-Yazici, Yazici, Varol (jurnal, 2017).The observational results of a combination of snoezelen therapy and sensory integration therapy in two subjects with autism.
Tujuan: menguji kombinasi sensory integration therapy (SIT) dan snoezelen therapy (ST) pada dua subjek autis. Pelaksaan program terapi dilakukan satu hari dalam seminggu (setiap pertemuan 30 menit selama 6 bulan) pada pusat rehabilitasi, terdiri dari kegiatan menyikat seluruh tubuh dan berbagai aplikasi rangsangan sensorik setiap hari.Subjek penelitian diukur melalui observasi langsung dan mewawancarai pasien.
Hasil:Pada pengukuran baseline: kedua subjek tidak memiliki kemampuan berbahasa, sedikit perhatian dan keterlibatan dalam kegiatan, tidak ada kontak mata dan penghindaran sensorik yang serius. Stelah 6 bulan diterapi kedua subjek mulai berbicara 3-4 kata kalimat, tidak nyman dengan sentuhan dan rangsangan sensorik, mampu menjaga kontak mata selama 10 detik dan memiliki perhatian berkepanjangan dalam berbagai kegiatan.
9. Terapi dietShattock dan Whiteley (2001) menjelaskan bahwa peptide me ru pakan
“peluru” yang langsung menyebabkan terjadinya gejalagejala. Dalam beberapa kasus tampak bahwa gluten dan casein ada lah penyebab murni, namun dalam beberapa kasus lainnya ternya ta banyak faktor yang ikut berperan. Keterlibatan peptide dari casein dan gluten memegang peranan yang sangat besar sehingga mampu menutupi faktorfaktor lainnya. Setelah pelurupeluru ini dihilang kan, baru dapat dilihat faktorfaktor lain dengan lebih jelas, yang biasanya juga berasal dari makanan. Mengatasi problematika ini da pat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain membuat buku hari an, melalukan testing, melakukan pemeriksaan jamur dan parasit lain dalam usus.
Menurut Wijayakusuma (2004), spesifikasi diet untuk anak autis penting dipahami dan diterapkan pada anak. Suplai makanan merupakan bahan dasar pembentuk neurotransmitter, neurotransmitter sangat diperlukan untuk membantu otak mengoptimalkan perkem bangan berba gai kemampuan anak seperti kecerdasan, kreativi tas, mi nat dan bakat, namun bagi anak autis yang mengalami reak si aler gi dan intoleransi terhadap makanan dengan kadar gizi tinggi. Dam paknya zatzat makanan yang seharusnya membentuk neurotran s mit ter untuk menunjang kesinambung an kerja sistem saraf, justru dalam tubuh anak autis diubah menjadi zat lain yang bersifat mera cuni saraf atau neurotoksin. Mekanisme pencernaan yang tidak sem purna dalam tubuh anak autis dipengaruhi oleh kondisi flora usus yang tidak seimbang. Kuantitas jamur dan bakteri yang berlebihan dalam usus anak membuat sebagian besar anak autis mengalami bocor usus atau leaky gut. Kondisi ini semakin memperburuk kon
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
135
disi sistem pencernaan anak autis, di mana zat makanan yang sebagian besar berbahan dasar gluten dan kasein tidak dapat dicerna dengan baik oleh usus diubah menjadi asam amino tunggal yang kemudian terbawa masuk ke dalam aliran darah dalam bentuk pecahan protein yang tidak sempurna atau dikenal sebagai peptida. Peptida inilah yang bersifat meracuni otak anak autis ketika bersinergi dengan reseptor opioid dalam otak. Reaksi opioid pada anak autis menimbulkan reaksi mencandu se rupa pemakai narkoba. Oleh karenanya, bila reaksi opioid ini tidak dihen ti kan, maka akan mengganggu sistem saraf otak bahkan secara lebih spe sifik akan memengaruhi bagian tempotal lobes otak yang berfungsi men jaga kesinambungan kemampuan bicara dan pendengaran. Contoh penelitian berikut ini telah membuktikan keefektifan terapi diet pada anak autis:
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Mutianingrum, A. (2013). Hubungan tingkat pengetahuan ibu dnegn pemberian diet bebas gluten, kasein, dan status gizi pada anak autis. (Skripsi). UGM.
Kuantitatif dengan rancangan penelitian cross sectional. Subjek penelitian sebanyak 30 anak autis dan ibunya. Analisis data: pearson chi square. Pengetahuan ibu diukur dengan kuesioner jenis diet bebas gluten dan kasein dari food recall 24 jam dan FFQ. Status gizi dilihat dari pengukuran berat badan dan tinggi badan anak autis
Hasil uji pearson chi square menunjukkan terdapat hubungan antara pengetahuan ibu dengan pemberian diet bebas gluten dan kasein pada anak autis (p<0,05), namun tidak terdapat hubungan antara pemberian diet bebas gluten dan kasein dengan status gizi pada anak autis (p>0,05); tidak ada hubungan tingkat pengetahuan ibu dengan status gizi pada anak autis (p>0,05).
Nuhraheni. (2008).Efektivitas intervensi diet bebas gluten bebas casein terhadap perubahan perilaku anak autis berdasarkan mofifikasi skor CARS.
Metode penelitian: eksperimental semu dengan desai penelitian pre and posttest, yang membandingkan perubahan perilaku anak autis sebelum dan sesudah pemberian intervensi diet BGBC. Pada dua kelompok yaitu kelopok intervensi dan kelompok kontrol tanpa intervensi diet, dengan memperhitungkan adanya kemungkinan ketidak homogenan nilai awal pada kedua kelompok melalui uji non equivalent control group design (NEGD).
Hasil: terdapat perbaikan perilaku interaksi sosial yang signifikan, perbaikan komunikasi verbal dan non verbal, yang signifikan, perbaikan perilaku motoris yang signifikan, perbaikan emosi yang signifikan, dan perbaikan persepsi sensoris pada anak autis dengan intervensi diet bebas gluten dan bebas casein.
Gogou, & Kolios (Jurnal, 2017)The effect of dietary supplements on clinical aspects of autism spectrum diorder: A systematic review of the literature.
Tujuan: sistematik review berusaha menjelaskan keefektifan suplemen makanan terhadap aspek klinis anak-anak autis.Metode: Pencarian literatur yang komprehensif dilakukan menggunakan Pubmed sebagai sumber database medis.
Hasil: Jenis suplemen makanan yang dievaluasi dalam studi ini termasuk asam amino, asam lemak dan vitamin/mineral. N- acetylcysteine terbukti memberi efek menguntungkan pada gejala iritabilitas.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
136
Penelitian Metode Penelitian Hasil Penelitian
Kemudian data literatur tentang kemanjuran suplemen D-cycloserine dan pyridoxine-magnesium masih kontroversial. Tidak terdapat efek signifikan teridentifikasi untuk asam lemak, N, N-dimethylglycine dan inositol.
REFERENSIAlfiyanti, Y. (2020). “Koping Religius pada Orang Tua yang Memiliki Anak
Berkebutuhan Khusus di Dusun Genting, Desa Genting, Ke camatan Jambu, Kabupaten Semarang Tahun 2019/2020”. Skripsi. Program Studi Pendidikan Agama Islam. IAIN Salatiga.
American Association on Intellectual and Developmental Disabilities/AAIDD, 2010.
Andika, K.A. (2012). Hubungan self efficacy dan hardiness dengan stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khu sus. Skrip-si. Fakultas Psikologi. Universitas Muhammadiyah Su rakarta.
Andrini, R.P. (2014). Snoezelen Room Therapy media trapi untuk melatih peluang relaksasi pada anak autis di Yayasan Bina Ang gita Yogyakarta. Laporan Tugas Akhir. Program Studi Diploma Elektronika dan Instrumentasi Sekolah Vokasi. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Anggoro, W.J., & Widhiarso, W. (2015). Konstruksi dan Identifikasi Pro perti Psikometris Instrumen Pengukuran Kebahagiaan Berba sis Pendekatan Indigenous Psychology: Studi MultitraitMulti method. JurnalPsikologi, 37(2), 176188.
Aprilia, L.R.G. (2018). Hubungan Antara Kebersyukuran dan Religiusitas dengan Hardiness Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khusus. Jurnal Psikoborneo, 6(3), 650659.
Awartani, M., Whitman, C.V., & Gordon, J. (2008). Developing In struments to Capture Young People’s Perceptions of how School as a Learning Environment Affects their WellBeing. European Jo urnal of Education, 43(1), 5170.
Bader, S., Barry, T., Hann, J. (2015). The relation between parental expressed emotion and externalizing behaviors in children and adolescents with an autism spectrum disorder. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities. 30(1), 2324. doi: 10.1177/10883576145 23065.
Balteanu, V., & Rugina, E. (2010). MethodicalPractical aspects of the oc
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
137
cupational therapy for children with autism, Gymnasium, 11(1), 67.Bandura, A. (1982). Selfefficacy in human agency. American Psy cho lo
gist, 37, 122 147.Berger, D.S. (2002). Music Therapy, Sensory Integration and the Au tistic
Child. London: Jessica Kingsley Publishers.Bertelli, M.O., Giltaij, H.P., Sterkenburg, P.S., & Schuengel, C. (2016).
Adaptive behaviour, comorbid psychiatric symptoms, and attach ment disorders. Advances in Mental Health and Intellectual Di sabilities.
Boyd, B.A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities. 17(4), 208215.
Budhiman, M., Shattock, P., & Ariani, E. (2002). Langkah awal me nanggulangi autisme dengan memperbaiki metabolisme tubuh. Jakarta: Majalah Nirmala.
Chandra, A. & Indati, A. (2007). Terapi musik untuk mengurangi pe rilaku repetitif pada anak autis (Doctoral dissertation, [Yog ya karta]: Universitas Gadjah Mada).
Climie, E.A., & Mitchell, K. (2017). Parentchild relationship and behavior problems in children with ADHD. International Journal of Developmental Disabilities, 63(1), 2735.
Coleman, P., & Karraker, K. (1997). Selfefficacy and parenting qua lity: Fin dings and future applications. Developmental Review, 18(1), 4785.
Corey, G. (1997). Teori dan Praktik Konseling dan Psikoterapi. (Alih Bahasa: E. Koesworo). Bandung: PT Refika Aditama.
Daulay, N. (2017). Gambaran ketangguhan ibu dalam mengasuh anak autis. Psikohumaniora: Jurnal Penelitian Psikologi, 1(1), 4974.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N.R. (2018). “Proses menjadi tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis”. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daulay, N. (2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psiko logi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
DeaterDeckard, K. (2004). Parenting Stress. New Haven and London: Yale University Press.
Dewiyanti, A., & Ramdhani, N. (2007). “Terapi perilaku untuk meningkatkan kemandirian pada anak Autis”. Tesis. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Diener, E., Oishi, S., & Lucas, R.E. (2003). “Personality, culture, and sub
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
138
jective well being: Emotional and cognitive evaluations of life”. Annual review of psychology, 54(1), 403425.
Djohan. (2005). Psikologi Musik. Yogyakarta: Buku Baik.Dodge, R., Daly, A.P., Huyton, J., & Sanders, L.D. (2012). “The challenge
of defining wellbeing”. International Journal of Wellbeing, 2(3).Duncan, J., Bowden, C & Smith.A.B (2005) Early childhood centres and
family resilience. Wellington: Centre for Social Research and Evaluation, Ministry of Social Development, Te Manatu Whaka hiato Ora.
Edyta, B., & Damayanti, E. (2016). “Gambaran Resiliensi Ibu yang Me miliki Anak Autis” di Taman Pelatihan Harapan Makassar. Jurnal Biotek, 4(2), 211230.
Ekaningtyas, N.L.D. (2019). “Parenting Education Guna Meningkatkan Parenting Self Efficacy pada Orang Tua dari Anak dengan Gang guan Autisme”. Pratama Widya: Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini, 4(1), 3039.
Emmons, R.A., & McCullough, M.E. (Eds.). (2004). The Psychology of Gra-titude. Oxford: Oxford University Press.
Far, J.A., Hatami, H., Ahadi, H. (2015). The effect of training play therapy to the mother of autistic children to improve the verbal and nonverbal skills of their children. Novelty in Biomedicine, 1, 17.
Fazlioglu, Y., & Baran, G. (2008). A sensory integration therapy prog ram on sensory problems for children with autism. Perceptual and Motor Skills, 106(2), 415422.
Feist, J., and Feist, G.J. (2006). Theories of Personality. Singapore: McGrawHill.
Fitria, A. (2019). Pengaruh kecerdasan emosi, dukungan sosial, dan rasa syukur terhadap penerimaan orang tua pada anak dengan kebutuhan khusus. Skripsi. Jakarta: Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidaya tullah.
Fung, S.C. (2015). Increasing the social communication of a boy with autism using animalassisted play therapy: A case report. Advances, 29(3), 2731.
Garmezy, N. (1991). Resiliency and vulnerability to adverse deve lop mental outcomes associated with poverty. American behavioral scientist, 34(4), 416430.
Gogou, M., & Kolios, G. (2017). The effect of dietary supplements on clinical aspects of autism spectrum diorder: A systematic review of the literature. Brain and Development, 39, 656664. doi.org/10.1016/j.braindev.2017.03.029
Graziano, P.A., McNamara, J.P., Geffken, G.R., & Reid, A. (2011). Se
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
139
verity of children’s ADHD symptoms and parenting stress: A multiple mediation model of selfregulation. Journal of abnormal child psy-chology, 39(7), 1073.
Gross, W., Linden, U., & Ostermann, T. (2010). Effects of music therapy in the treatment of children with delayed speech development Results of a pilot study. BMC Complementary and Alternative Medicine, Jan 01, 39. Retrieved from http://www.biomedcentral.com/14726882/10/396882/10/39.
Grossman, H.K. (1983). Classification in Mental Retardation. Was hing ton, D.C.: American Association on Mental Deficiency.
Gutkin (Eds.), The Handbook of School Psychology (pp. 20092042). New York: John Wiley & Sons.
Gabriels, R.L., Hill, D., Pierce, R.A., Rogers, S.J., & Wehner, B. (2001). Predictors of treatment outcome in young children with autism. Journal of Clinical Child Psychology, 5(4), 407429.
Hall, H., & Graff, J.C. (2012). Maladaptive behaviors of children with autism: Parent support, stress and coping. Issues in Com prehensive Pe diatric Nursing, 35(34_,194214.doi: 10.3109/014608 62.2012.734210.
Hardiani, R.S., & Rahmawati, S. (2012). “Metode ABA (Applied Beha viour Analysis): Kemampuan bersosialisasi terhadap kemampuan interaksi sosial anak autis”. Jurnal Keperawatan Soedirman, 7(1), 19.
Harlinda, W., & Pratisti, W. D. (2018). Hubungan Antara Dukungan Sosial Dan Hardiness Dengan Stress Pengasuhan Pada Ibu yang Memi liki Anak Autis. Skripsi. Program Studi Psikologi Universitas Muham madiyah Surakarta. Hasdianah, HR. (2013). Autis pada anak. Pen ce gahan, perawatan, dan pengobatan. Yogyakarta: Nu ha Medika.
Harmantia, N.P. & Rachmahana (2020). Dukungan Sosial Suami dan Efikasi Diri Pengasuhan pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebu tuhan Khusus. Skripsi. Program Studi Psikologi. Yogyakarta: Uni versitas Islam Indonesia.
Hartono, B. (2002). Aspek neurologik Autisme Infantil. In Seminar & Workshop on FragileXMental Retardation, Autism and Related Disorders. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Hasanah, N. Mulyati, & Tarma. (2019). “Hubungan parenting self efficacy dengan subjective well being pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus”. Jurnal Kesejahteraan Keluarga dan Pendidikan, 6(02), 103108.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). “The impact of parenting stress: A Metaanalysis of studies comparing the experience of parenting stress
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
140
in parents of children with and without autism spectrum disor der”. Journal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629642. doi:10.10 07/s108030121604y.
Hidayati, N. (2011). Dukungan sosial bagi keluarga anak berkebutuhan khusus. INSAN, 13(1), 1220.
Hocking, C. (2009). Contribution of occupation to health and wellbeing. Willard and Spackman’s occupational therapy, 4555.
Howell, D., Wittman, P., Bundy, M. (2012). “Interprofessional clinical edu cation for occupational therapy and psychology students: A social skills training program for children with autism spectrum disorders”. Journal of Interprofessional Care, 26, 49 55. doi: 10.3109/13561820.20 11.620186.
Hendriani, W. (2018). Resiliensi Psikologis: Sebuah Pengantar. Jakarta: KencanaPrenadaMedia Group.
Hobson, R.P., Lee, A., & Hobson, J.A. (2009). Qualities of symbolic play among children with autism: A socialdevelopmental perspec tive. Journal of Autism and Developmental Disorders, 39, 1222. doi: 10.1007/s108030080589z.
Hogue, A., & Liddle, H.A. (1999). Familybased preventive intervention: An approach to preventing substance use and antisocial behavior. American Journal of Orthopsychiatry, 69(3), 278293.
Holden, G. (2015). Parenting a dynamic perspective. New York: Sage Publications, Inc Kobasa, S., Maddi, S., & Kahn, S. (1982). Har diness and health: a prospective study. Journal of Personality and Social Psychol-ogy, 42(1), 168177.doi:10.1037/00223514.42.1. 168.
Holman, J., & Bruininks, R. (1985). Assessment and Training of Adapti ve Behavior. In K.C. Lakin & R.H. Bruininks (Eds.), Strategies for achieving communi ty integration of developmentally disabled citizens (pp. 73104). Balti more: Paul H. Brooks.
Hoque, M.E., Lane, J.K., El Kaliouby, R., Goodwin, M., & Picard, R. W. (2009). Exploring speech therapy games with children on the autism spectrum.
Hulsegge, J., & Verheul, A. (1987). Snoezelen: another world. RompaIndonesia, R. (2014). Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indone sia
Nomor 75 tahun 2014 tentang Pusat Kesehatan Masyarakat. Jakarta: Kementerian Kesehatan.
Jackson, A., & Huang, C. (2000). Parenting stress and behavior among single mothers of preschoolers: The mediating role of selfefficacy. Journal of Social Service Research, 26, 2942.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
141
Johnston, C., & Mash, E. (1989). “A measure of parenting satisfaction and efficacy”. Journal of Clinical Child Psychology, 18(2), 167175.doi:10. 1207/s15374424j ccp1802_8.
Jones, T., & Prinz, R. (2005). Potential roles of parental self efficacy in parent and child adjustment: A review. Clinical Psychology Review, 25(3), 341363.doi:10.1016/j.cpr.2004.12.004.
Kadar, M., McDonald, R., Lentin, P. (2015). Malaysian occupational therapists’ practices with children and adolescents with autism spec trum disorder. The British Journal of Occupational Therapy, 78(1), 3341.doi: 10.1177/0308022614561237.
Kaplan, G.A., Haan, M.N., & Wallace, R. B. (1999). Understanding changing risk factor associations with increasing age in adults. Annual Review of Public Health, 20(1), 89108.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2014). Peraturan Men teri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2014. (On li ne). http://peraturan.go.id/permen/kemenkesnomor81tahun 2014.html.
Keyes, C.L. (2006). Subjective wellbeing in mental health and hu man development research worldwide: An introduction. Social indicators research, 77(1), 110.
Kobasa, S., Maddi, S.R., Pucceti, M., & Zola, M. (1994). Effectiveness of hardiness, exercise and social support as resources against ill ness. Dalam A.S. & J. Wardle (Ed.), Psycosocial processes and health: A reader (h. 247260). Cambridge: Cambridge University Press.
Konst, M.J., Matson, J.L., & Turygin, N. (2013). Exploration of the correlation between autism spectrum disorder symptomology and tantrum behaviors. Research in Autism Spectrum Disorders, 7(9), 10681074. doi:10.1016/j.rasd.2013.05.006.
Kloos, B., Hill, J., Thomas, E., Wandersman, A., Elias, M., & Dalton. (2012). Community Psychology: Linking Individuals and Commu nities. (Ed.3). United States of America: Wadsworth. (t.th.). Cengage Learning. (Third Ed). United States of Ame rica: Wadsworth, Cengage Learning.
Kranowitz, C.S. (2005). The Out-of-Sync Child: Recognizing and Coping with Sensory Processing Disorder. USA: Penguin Group.
Landreth, G.L. (2012). Play Therapy: The Art of the Relationship. 3rd Edition. New York, NY: Routledge.
Lang, R., O’Reilly, M., Healy, O., Rispoli, M., Lydon, H., Streusand, W., Davis, T., Kang, S., Sigafoos, J., Lancioni, G, Didden, R., & Gies bers, S. (2012). Sensori integration therapy for autism spectrum di sor ders: A systematic review. Research in Autism Spectrum Di sorders, 10041018.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
142
doi :10.1016/j .rasd.2012.01.006.Lee, K.J. (2011). Predictors of parenting stress among mothers of children
with autism in South Korea. Disertasi. Columbia: Univer sity. Proquest. UMI Number: 3484364.
Lestari, F.A., & Mariyati, L.I. (2016). Resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome di Sidoarjo. Psikologia: Jurnal Psikologi, 3(1), 141155.
Lim, H. (2010). Effect of “Developmental speech and language training through music” on speech production in children with autism spectrum disorders. Journal of Music Therapy, XLVII(1), 226.
Linderman, T.M., & Stewart, K.B. (1999). Sensory integrativebased occupational therapy and functional outcomes in young children with pervasive developmental disorders: A singlesubject study. American Journal of Occupational Therapy, 53, 207213.
Maddi, S.R., & Kobasa, S.C. (1984). The hardy executive, health under stress. Illionis: Dow JonesIrwin.
Maljaars, J., Boonen, H., Lambrechts, G., Leeuwen, K.V., Noens Ilse.. (2014). Maternal parenting behavior and child behavior problems in fa mi lies of children and adolescents with autism spectrum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorder. 44, 501512.doi: 10.10 07/s1080301318948.
Masi, A., Lampit, A., DeMayo, M., Glozier, N., Hickie, I., Guastella, A. (2017). A comprehensive systematic review and metaanalysis of phar macological and dietary supplement interventions in pae diatric au tism: moderators of treatment response and recommen dations for future research. Psychological Medicine, 47, 132313 34.doi:10.1017/S0033291716003457.
McDaniel, B.C. (2015). A systematic mapping review of equineassis ted activities and therapies for children with autism: Implications for occupational therapy. Thesis. Colorado State University.
McKee, Harris, Rice, Silk (2007). Effects of a snoezelen room on the behavior of three autistic clients. Research in Developmnetal Disabilities, 28, 304316.
McLennan J.D., Huculak S and Sheehan D (2008) Pilot investigati on of service receipt by young children with autistic spectrum disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, 38(6): 11921196.
McStay,R., Dissanayake, C., Scheeren, A., Koot, H., Begeer, S. (2014). Parenting stress and autism: The role of age, autism seve rity, quality of life and problem behaviour of children and adoles cents with autism. Autism, 18(5), 502510. Doi: 10.1177/ 1362361313 485163.
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
143
Mesman, J., & Koot, H. M. (2000). Common and specific correlates of preadolescent internalizing and externalizing psychopatholo gy. Jour-nal of Abnormal Psychology, 109(3), 428437.
Miller, L.J., Anzalone, M.E., Lane, S.J., Cermak, S.A., & Osten, E.T. (2007). Concept evolution in sensory integration: A proposed nosology for diagnosis. American Journal of Occupational Therapy, 61(2), 135140.
Morgenthal, A.H. (2015). Childcentered play therapy for children with autism: A case study (Doctoral dissertation, Antioch Univer sity).
Moritsugu, J., Vera, E., Wong, F., & Duffy, K. (2015). Community Psy cho-logy. New York: Psychology Press.
Morgenthal, A.H. (2015). Childcentered plat therapy for children with autism: A case study. Disertasi. Proquest.
Mukhtar, D.Y. (2016). Pedoman Group Based Parenting Support un tuk orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Mo-dul. Yogyakarta: Program Doktor Psikologi Universitas Gadjah Ma da.
Muniroh, S.M. (2010). “Dinamika resiliensi orang tua anak autis”. Jurnal Penelitian, 7(2).
Murisal, M., & Hasanah, T. (2017). “Hubungan bersyukur dengan ke sejahteraan subjektif pada orang tua yang memiliki anak tuna grahita” di SLB Negeri 2 Kota Padang. Konseli: Jurnal Bimbing an dan Konseling (E-Journal), 7(2), 8188.
Mutianingrum, A. (2013). Hubungan Tingkat Pengetahuan Ibu de ngan Pem berian Diet Bebas Gluten, Kasein, dan Status Gizi pada Anak Autis. (Skripsi tidak dipublikasikan). Program Studi Gizi Ke se hatan. Fakul tas Kedokteran. Yog yakarta: Universitas Gadjah Mada.
Norlin, D., & Broberg, M. (2013). “Parents of children with and without intellectual disability: couple relationship and individual wellbeing”. Journal of Intellectual disability Research, 57(6), 552566.
Nuhraheni, S.A. (2008). Efektivitas intervensi diet bebas gluten bebas casein terhadap perubahan perilaku anak autis berdasarkan mo difi kasi skorCARS. Tesis. Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Uni versitas Gadjah Mada.
Nurarini, F. (2016). Pengaruh rasa syukur dan kepribadian terhadap psychological well being orang tua yang memiliki anak berkebu tuhan khusus. Skripsi. Fakultas Psikologi. Jakarta: UIN Syarif Hi dayatullah.
Parham, L.D., Cohn, E.S., Spitzer, S, Koomar, J.A., et al. 2007. Fidelity in sensory integration intervention research. American Journal of Occupational Therapy, 61:216227. https://jdc.jefferson.edu/otfp/25
Pollard, E.L., & Davidson, L. (2001). Foundations of Child Well-Being.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
144
UNESCO.Pruitt, M., Willis, K., Timmons, L., Ekas, N. (2016). The impact of ma ternal,
child, and family characteristics on the daily wellbeing and parenting experiences of mothers of children with au tism spectrum disorders. Autism. 20(8), 973985.doi: 10.1177/13 623 61315620409.
Rahayu, A.T.D., & Amalia, S. (2019). Religiusitas dan stres pengasuh an pada ibu dengan anak autis. Jurnal Ilmiah Psikologi Terapan, 7(2), 252269.
Reschly, D.J. (1982). Assessing the mildly mental retardation: The influence of adaptive behavior in socioeconomic status and pros pect for nonbiased assessment. In C.R. Reynold & T.B. Samson, A.C., Hardan, A.Y., Lee, I.A., Phillips, J.M., & Gross, J.J. (2015). Maladaptive behavior in autism spectrum disorder: The role of emotion experience and emotion regulation. Journal of Autism and Developmental Disorders, 45(11), 34243432.
Retnawati, H. (2016). Analisis kuantitatif instrumen penelitian. Yog yakarta: Parama Publishing.
Santana, I.P., & Istiana, I. (2019). Hubungan antara Religiusitas de ngan Hardiness pada Ibu yang Memiliki Anak Berkebutuhan Khu sus di SLB Negeri Binjai. Jurnal Diversita, 5(2), 142148.
Roley, S., DeLany, J., Barrows, C., Brownrigg, S., Honaker, D., Sava, D., Smith, E. (2008). Occupational therapy practice framework: domain & practice. The American Journal Of Occupational Thera py: Official Publication Of The American Occupational Therapy Asso ciation, 62(6), 625.
Rutter, M. (2001). Psychosocial adversity: Risk, resilience and reco very. The context of youth violence: Resilience, risk, and protec tion, 1341.
Sandiford, G., Nainess, K., Daher, N. (2013). A pilot study on the effi cacy of melodic based communication therapy for eliciting speech in nonverbal children with autism. Journal of Autism and Developmental Disorder. 43, 12981307.
Santrock, (2007). Perkembangan Anak. Edisi Ketujuh (Vol. 1). Jakarta: Erlangga.
Sarafino, E., & Smith, T. (2014). Health Psychology: Biopsychosocial In ter-actions. John Wiley & Sons.
Sari, D.P. (2020). Perbandingan efikasi diri dalam pengasuhan anak pada ibu yang memiliki anak disabilitas dan tidak memiliki anak disabilitas. Insight: Jurnal Ilmiah Psikologi, 22(1). 3845.
Schaaf, R.C., & Miller, L.J. (2005). Occupational therapy using a sensory
SAM
PLE
BAB 3 • FAKTOR PROTEKTIF DAN FAKTOR RISIKO PENGASUHAN
145
integrative approach for children with developmental di sa bilities. Mental retardation and developmental disabilities research reviews, 11(2), 143148.
Shattock, P., & Whiteley, P. (2001). How dietary interventions could ameliorate the symptoms of autism. Pharmaceutical Journal, 266, 1719.
Sparrow, S., Balla, D., & Cicchetti, D. (1984). Vineland Adaptive Be havior Scale. USA: A.G.S., Inc.
Subandi, M.A. (2013). Psikologi Agama dan Kesehatan Mental. Yogya karta: Pustaka Pelajar.
Sulastina, S., & Rohmatun, R. (2018, December). Hubungan antara ra sa syukur dengan kepuasan hidup pada orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus. In Prosiding Seminar Nasional Psikologi Unissula.
Sutriyatno, A. (2016). Hubungan antara rasa syukur dan penerimaan diri orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus penyandang tunagrahita di SLB Negeri Semarang. Skripsi. Fakultas Psiko logi UNISSULA.
Teti, D., & Gelfand, D. (1991). Behavioral competence among mothers of infants in the first year: The mediational role of maternal selfefficacy. Child Development, 62(4), 918929.
Thompson, C.J. (2011). Multisensory intervention observational re search. International Journal of Special Education, 26, 202214.
Uchida, Y., Norasakkunkit, V., & Kitayama, S. (2004). Cultural con structions of happiness: theory and emprical evidence. Journal of Happi ness Studies, 5(3), 223 239.
Vanfleet, R., Sywulak, E.A., & Sniscak, C.C. (2010). Childcentered play therapy. New York: A Division of Guilford Publication, Inc.
VolkanYazici, M., Yazici, G., Varol, F. (2017). The observational results of a combination of snoezelen therapy and sensory integration therapy in two subjects with autism. Journal of The Neurological Sciences, xxx, 757944.doi: 10.1016/j.jns.2017.08.2356.
White, S.C. (2009). Bringing wellbeing into development practice. Working paper (unpublished). University of Bath/wellbeing in developing countries research group, Bath, UK.
Wijayakusuma, H. 2008. Psikoterapi Anak Autisma. Teknik Bermain Kreatif Non Verbal & Verbal. Terapi khusus untuk autisma. Jakarta: Pustaka Populer Obor.
Wijayaptri, N.W.P. (2016). Aplikasi Picture Exchange Communic ation Systems (PECS) untuk meningkatkan komunikasi fungsio nal remaja
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
146
autis. (Tesis tidak dipublikasikan). Fakultas Psikologi. Yogyakarta: Uni versitas Ga djah Mada.
Williames, L.D., & ErdieLalena, C.R. (2009). Complementary, holistic, and integrative medicine: Sensory integration. Pediatrics Review, 30(12). e91e93.
Zablotsky, B., Bradshaw, C., Stuart, E. (2013). The association bet ween men tal health, stress, and coping supports in mothers of children with autism spectrum diorders. Journal of Autism and Developmental Di-sorder. 43, 13801393.doi:10.1007/s1080301216937.
ZaidmanZait, A., Mirenda, P., Duku, E., Szatmari, P., Georgiades, S., Volden, J., Zwaigenbaum, L., Vaillancourt, T., Bryson, S., Smith, I., Fombonne, E., Roberts, W., Waddell, C., Thompson, A. (2014). Examina tion of bidirectional relationships between parent stress and two ty pes of problem behavior in children with autism spec trum disorder. Journal of Autism and Developmental Disorders. 44, 1908 1917.doi: 10.1007/s1080301420643.
ZaidmanZait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I., Szatmari, P., Bryson, S., Fombonne, E., Volden, J., Waddel, C., Zwaigenbaum, L., Georgiades, S., Bennett, T., Elsabaggh, M., Thomp son, A. (2016). Impact of personal and social resources on pa renting stress in mothers of children with autism spectrum di sor der. Autism. 112.doi: 10.1177/1362336136633033.
SAM
PLE
Bab 4STRES PENGASUHAN
A. STRES PENGASUHAN: SEBUAH PENGANTARStres pengasuhan merupakan fenomena yang paling sering diala mi
para orang tua, baik orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan maupun orang tua yang memiliki anak dengan perkembangan normal. Ada apa dengan tema stres pengasuhan, me ng apa tema ini menarik untuk diteliti? Beberapa pertanyaan muncul dilontarkan kepada penulis ketika meneliti kajian tentang stres peng asuhan. Dalam benak penulis, kemungkinan beberapa orang ber anggapan bahwa setiap orang tua pasti akan mengalami stres peng asuhan dan tidak dapat terelakkan, lalu mengapa dikaji kembali. Bagi penulis sendiri, kajian stres pengasuhan tidak hanya dilihat dari sisi negatif saja, namun juga harus dipan dang dari sisi positif hingga mengapa dari pengalaman stres yang dialami setiap orang tua dapat memicu dirinya menjadi pribadi yang lebih baik bagi anakanaknya.
Pada awalnya, bagi penulis terdapat alasan utama yang harus dibahas dalam kajian stres pengasuhan, yaitu secara umum mengapa setiap individu berbeda dalam menyikapi kehadiran sumber stres (stresor), artinya ketika individu diberikan stimulus yang sama, meng apa terdapat perbedaan reaksi dan dampak yang kemudian diterima nya? Kemudian secara khusus jika dikaitkan dengan pengasuhan pada orang tua yang
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
148
memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf, terdapat tiga alasan yang dikemukakan, yaitu: Pertama, berdasarkan teori: jika dikait kan dengan kajian orang tua yang memiliki anak de ngan gangguan per kembangan saraf, terutama pada orang tua de ngan anak dengan gang guan spektrum autis, mengalami stres peng asuh an yang lebih tinggi dibandingkan orang tua dengan anak perkembang an normal dan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan per kembangan lain, serta orang tua dari anak yang sedang mengalami sakit kronis (misalnya leukemia). Hal ini juga diperkuat berdasarkan riset sebelumnya (Hayes & Watson, 2013). Kedua, berdasarkan ber bagai penelitian sebelumya: terdapat perbedaan dari berbagai hasil penelitian yang telah ada. Beberapa hasil penelitian menunjukkan orang tua mengalami peningkatan stres pengasuhan selama merawat anakanak dengan gangguan perkembangan saraf terutama orang tua dari anak autis, namun didapati pula beberapa hasil penelitian yang membuktikan orang tua mengalami stres pengasuhan rendah. Ada apa sebenarnya dengan stres pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf? Faktorfaktor apa sajakah yang turut berperan penting dalam memengaruhi naik turunnya stres pengasuhan orang tua? Ketiga, berdasarkan data lapangan: terdapat ketidak konsistenan pengalaman stres pengasuhan orang tua. Kondisi orang tua yang telah bertahuntahun (bahkan sampai belasan tahun) merawat anak dengan gangguan perkembangan saraf, diharapkan orang tua sudah dapat menerima kondisi keterbatasan anak, namun kenyataan di lapangan ternyata orang tua tetap mengalami stres pengasuhan baik yang telah mampu menerima maupun yang belum bisa menerima kondisi anak, dan stres pengasuhan ini akan terjadi sepanjang kehidupan anak. Alasanalasan inilah yang kemudian perlu digali lebih lanjut.
Sebelum membahas lebih lanjut, maka pada permulaan BAB empat ini akan dibahas terkait sejarah dan hakikat stres, seperti dikutip dalam Daulay (2019), Lumsden (1981) menjelaskan bahwa konsep stres ditemukan sekitar awal abad keempat belas, digunakan untuk menandakan kesulitan, kesengsaraan atau penderitaan (dikutip dari Mahoney, 2009); kemudian pada abad ketujuh belas, stres digunakan dalam ilmu fisik menandakan jumlah daya internal yang dihasilkan oleh kekuatan luar menciptakan ketegangan pada suatu objek (Hin kle, 1974). Selanjutnya, pada abad kesembilan belas digunakan pa da area kedokteran, stres dipandang sebagai indikasi dari masalah kesehatan. Hasil penelitian Selye tentang stres melihatnya sebagai satu set pertahanan tubuh terhadap segala bentuk stimulus fisik mau pun psikis yang mengancam, dikenal sebagai sindrom
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
149
adaptasi umum (general adaptation syndrome) (Selye, 1974). Hasil penelitian Selye tentang sekresi stres hormonal berperan penting sebagai landasan tentang stres di bidang ilmu sosial (Monat & Lazarus, 1991). Pada abad ke19, konsep stres sudah mulai digunakan dalam ilmu kesehatan dan sosial (Bartlett, 1998), yang kemudian konsep stres dianggap sebagai penyebab permasalahan dalam kesehatan secara fisik maupun psi ko logis (Hinkle, 1977). Tahun 1960 stres dikonseptualisasikan se bagai akibat atau tuntutan negatif atas peristiwa dalam kehidupan. Lazarus dan Folkman (1984) akhirnya mendefinisikan stres sebagai pengalaman subjektif yang didasarkan pada persepsi seseorang ter hadap situasi yang dihadapinya. Stres berkaitan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yag menekan. Kondisi ini mengakibatkan perasaan cemas, marah dan frustrasi.
Pada tulisan Gaol (2016) tentang teori stres: stimulus, respons, dan transaksional, dijelaskan tentang tiga pendekatan teori stres, ya itu:1. Stres model stimulus (rangsangan) Model stres yang menjelaskan bahwa stres adalah variabel bebas
(independent) atau penyebab manusia mengalami stres (Lyon, 2012). Seseorang mengalami stres akibat situasi lingkungan yang menekan (Bartlett, 1998), dan seseorang menerima langsung sum ber stres tanpa ada proses penilaian (Staal, 2009). Sumber stres dikenal dengan istilah stresor, dan menurut Thoits (1995) sumber stres (stresor) dikategorikan menjadi tiga, yaitu: 1) life events (peristiwa kehidupan), misalnya kematian pasangan hi dup, kecelakaan, anggota keluarga yang sakit parah, memiliki anak dengan keterbatasannya; 2) chronic strain (ketegangan kronis), misalnya tuntutan dalam pengasuhan; 3) daily hassles (permasalahan seharihari), misalnya perilaku anak di luar ken dali orang tua, pekerjaan rumah tangga (membersihkan rumah), harga kebutuhan pokok meningkat, mahalnya biaya sekolah dan terapi anak autis.
2. Stres model response (respons) Model stres ini merupakan reaksi tubuh terhadap sumber stres
sebagai variabel terikat atau hasil (Lyon, 2012). Harrington (2013) menjelaskan bahwa manusia adalah organisme hidup yang dinamis memiliki kemampuan luar biasa untuk beradaptasi dengan tuntut an di luar dirinya yang bersumber dari lingkung an. Hal ini juga diper tegas oleh Walter Cannon (1932, dalam Harrington, 2013) mengung kapkan istilah “homeostatis” yaitu proses pengaturan diri biologis pada individu untuk beradaptasi terhadap tuntutan kehidupan. Cannon
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
150
(1932) juga kemudian mengembangkan konsep “fight or flight”, yaitu respons tubuh un tuk melindungi dirinya dengan cara melawan (fight) atau me la rikan diri/menghindar (flight) dari ancaman tersebut, atau dengan kata lain respons tubuh terhadap sumber stres.
Hans Selye (1974) mengungkapkan bahwa stres merupakan re aksi atau tanggapan tubuh yang secara spesifik terhadap penyebab stres yang dapat memengaruhi seseorang. Terkait respons tubuh ter hadap sumber stres, Selye kemudian mengenalkan terdapat tiga tahapan model ketegang an kronis (chronic stress) yang disebut Gene ral Adaptation Syndrome (GAS), yaitu: 1) alarm (tanda bahaya); ter jadi ketika individu merasakan adanya ancaman dari stresor, maka individu kemudian bereaksi dengan mengaktifkan respons “fight or flight”, yaitu terjadi aktivasi sistem saraf simpatis (sympathetic nervous system) dan sekresi hormon korteks adrenal (adrenal cortex hormonal secretions) yang akhirnya meningkatkan sistem rangsangan fisio lo gis tubuh manusia. Menurut Ursin dan Eriksen (2004), tahapan alarm merupakan suatu kondisi yang tidak diinginkan dan terjadi ketika ada perbedaan antara kenyataan yang sedang terjadi dan situasi yang diharapkan. Lyon (2012) kemudian menambahkan, sebagai akibatnya tubuh menerima rangsangan dan secara alami mengaktifkan reaksi “fight or flight” dikarenakan adanya kondisi yang berpotensi meng ancam kestabilan kondisi tubuh. Pada tahapan ini individu akan me ra sakan ketidaknyamanan kondisi fisik, seperti sakit kepala, jantung berdebar; 2) resistance (perlawanan); terjadi ketika pada tahapan alarm terusmenerus berlangsung, keausan/kerusakan yang terjadi secara terusmenerus akan mengurangi sistem pertahanan tubuh, yang akhirnya mendorong indi vidu untuk melakukan perlawanan pa da tahapan resistance ini; 3) exhaus tion (kelelahan), kemampuan per la wanan terhadap stresor mengakibatkan per tahanan sistem tu buh semakin terkuras, dan tubuh sudah menyerah diakibatkan ka rena kehabisan kemampuan untuk menghadapi sumber stres yang mengancam (Lyon, 2012), ketika sistem organ tubuh gagal ber fungsi maka kemungkinan kematian dapat terjadi (Harrington, 2013).
Penjelasan tentang ketiga tahapan General Adaptation Syndrome (GAS) di atas dapat dilihat pada Gambar 3.
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
151
Gambar3.ThethreestagesofSelye’sGeneralAdaptationSyndrome(GAS)(Rice,1999;hlm.18)
Berdasarkan teori Selye tentang General Adaptation Syndrome terdapat satu kelemahan yaitu teori ini tidak mencakup faktor psikologi yang sangat penting untuk dipahami terkait stres yang dialami pada manusia. Lebih lanjut, tidak mempertimbangkan pemanfaatan stra te gi koping dalam mengatasi stres. Oleh karenanya kemudian mun cul stres model tran sactional yang berupaya melengkapi teori tentang stres.
3. Stres model transactional (transaksional) (Bartlett,1998;Lyon,2012)Staal (2004) menjelaskan stres model ini menekankan pada pe
ranan penilaian individu terhadap penyebab stres yang akan menen tukan respons dari individu tersebut. Setiap individu memiliki tipe kognitif yang berbeda dalam menginterpretasikan stimulus yang ha dir, oleh karenanya mengapa reaksi stres pada setiap individu ber bedabeda meskipun stimulus yang ditampilkan sama. Stres dapat ber lanjut ke tahap yang lebih parah atau sedikit demi sedikit semakin berkurang, ditentukan bagai mana usaha seseorang berurusan dengan sumber stres (Gaol, 2016). Hal ini dapat dijelaskan menggunakan teo ri Lazarus dan Folkman (1984) adalah salah seorang pencetus teori stres dan tokoh yang paling berpengaruh sebagai pelopor penelitian. Lazarus dan Folkman (1984) mengenal kan tiga proses model kognitif stres dan koping terdiri dari primary appraisal (penilaian tahap awal), secondary appraisal (penilaian tahap kedua),
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
152
dan reappraisal (pe ni laian kembali). Pada saat penilaian tahap awal, individu akan melakukan evaluasi terhadap stimulus yang hadir, apakah stimulus tersebut berpotensi bermasalah atau bermanfaat baginya. Ketika indi vidu mulai memasuki tahap kognitif yang lebih tinggi, selanjutnya akan memikirkan langkahlangkah yang tepat dalam mengatasi sti mulus yang hadir tersebut, pada saat ini individu mulai memasuki pe nilaian tahap kedua, di mana menurut Lazarus dan Folkman (1984) individu akan melibatkan penilaian terhadap diri sendiri seberapa baik dapat meng hadapi atau mengatasi (koping) kemunculan sum ber stres. Koping meng acu pada penggunaan sumber daya dan stra tegi yang efektif dalam meng hadapi tuntutan yang berasal dari inter nal atau eksternal (Coyne & Holroyd, 1982). Koping tergantung pada pe nilaian terhadap hal apa yang bisa dilakukan untuk mengubah si tuasi (Lazarus, 1993), serta meli bat kan pengontrolan diri, artinya ketika semakin sedikit kontrol diri atas sum ber stres maka semakin membuat kita merasa tertekan karena masa lah yang dihadapi belum terselesaikan. Lazarus dan Folkman (1984) membagi dua fungsi uta ma koping, yaitu: 1) emotion-focused coping (fokus pada emosi), dan 2) problem-focused coping (fokus pada masalah). Penjelasannya lebih lanjut dapat dilihat pada Bab lima.
Pada umumnya stres dikaitkan dengan kondisi yang menekan, penuh ketegangan, dan seseorang merasa tidak berdaya, yang akhirnya ber dampak pada stres tidak menyenangkan (distress). Padahal tidak selamanya demikian, setiap individu akan memiliki reaksi yang berbedabeda ketika dihadapkan pada sumber stres, tergantung dari faktorfaktor yang memengaruhinya dalam menyikapi kehadiran sumber stres tersebut, hingga akhirnya seseorang mampu beradaptasi, tetap termotivasi meskipun dalam kondisi yang menekan (eustress). Selye (1956) mengungkapkan tidak semua stres itu berdampak negatif (distress), namun stres dapat dilihat sebagai hal yang positif (eustress), yaitu stres dianggap sebagai tantangan yang mendorong individu untuk bekerja lebih optimal atau tetap menjalani kehidupan dengan kondisi psikologis yang baik, sumber stres dianggap sebagai suatu tantangan dan memotivasi individu. Jadi situasi yang menyebabkan seseorang mengalami stres dan pengalaman stres itu sendiri bersifat sangat subjektif. Jika seseorang memiliki sumber daya pribadi yang baik dan merasa cukup berkompeten mengatasi sumber stres, maka stres akan berdampak positif dan memotivasi individu untuk men jadi pribadi yang lebih baik. Demikian sebaliknya, jika seseorang merasa kurang berkompeten ditambah dengan banyaknya sumber stres yang harus dihadapi, maka akan memunculkan dampak negatif terhadap
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
153
kesehatan fisik dan psikologis.Mengutip dalam Daulay (2019) bahwa konsep stres kemudian terus
berkembang dan dispesifikkan sesuai dengan situasinya, seperti stres akademik, stres pekerjaan, stres pengasuh an. Stres pengasuhan merupakan gabungan risiko atau pengalaman yang berpotensi menimbulkan stres dalam kehidup an orang tua (Mahoney, 2009). Proses pengasuhan anak erat kaitannya memunculkan stres bagi pa ra peng asuhnya, hal ini terkait dengan kon disi anak yang menguat kan mun cul nya stres pengasuhan orang tua. Salah satu pencetus teori stres pengasuhan yang banyak diaplikasi kan dalam penelitian adalah Ri chard Abidin. Berdasarkan pada mo del pengasuhan sebelumnya yang dike mu kakan oleh Belsky (1984), bahwa karakteristik kepribadian dan konteks sosial berhubungan terhadap perilaku pengasuhan. Abidin kemudian me nambahkan ele men penting pada kategori stresor dalam sebuah model. Model stres pengasuhan Abidin melingkupi tiga level stresor, yaitu faktor orang tua, faktor anak dan faktor situasi interaksi. Tiga faktor ini saling ter hubung untuk mendapatkan penilaian orang tua tentang relevansi pe ran mereka, ketiga faktor ini yang mendasari teori stres pengasuhan dari Abidin (1995).
Terdapat beberapa definisi stres pengasuhan yang sering diguna kan dalam penelitian, yaitu menurut Hayes dan Watson (2013), stres pengasuhan merupakan pengalaman distres sebagai hasil tun tutan peran pengasuhan. Abidin (1995) menjelaskan stres pengasuh an sebagai tekanan yang dialami oleh orang tua yang berasal dari inter aksi dengan anakanak me reka. DeaterDeckard (2004) mende fi nisikan stres pengasuhan seba gai sebuah rangkaian proses yang mengarah pada permasalahan psiko lo gis dan fisik sebagai reaksi yang timbul atas upaya penyesuaian terhadap tun tutan menjadi orang tua. Adapun Cooper, McLanahan, Meadows, dan Gunn (2009) mengung kapkan stres pengasuhan adalah kondisi atau pera sa an yang dialami saat orang tua memahami bahwa tuntutan terkait dengan pengasuh an melebihi sumber pribadi dan sosial yang tersedia untuk meme nuhi tuntutan tersebut (dalam Daulay, 2019).
Williford, Amanada, Calkins, Susan dan Keane (2007) menjelas kan stres pengasuhan timbul akibat ketidaksesuaian antara tuntutan yang dirasakan orang tua dan kemampuan mereka dalam memenuhi tuntutan tersebut, serta dapat didefinisikan sebagai respons psikologis negatif yang dikaitkan dengan diri sendiri dan interaksinya dengan anak. Sesuai dengan model stres pengasuhan Ahern (2000) yang me ngatakan bahwa stres pengasuhan mendorong ke arah tidak ber fung sinya pengasuhan orang tua terhadap anak, serta menjelaskan ke tidak sesuaian respons orang tua da lam
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
154
menghadapi konflik dengan anakanak mereka. Stres pengasuhan memiliki komponen komplek, meliputi persepsi, emosi, pikiran, dan mekanisme biologis. Komponen tersebut saling berinteraksi dan bertransaksi seca ra bidireksional me mengaruhi orang dengan lingkungan, orang dan koping stresnya dan lingkungan dengan strategi koping (Aldwin, 1994).
Mukhtar (2017) dalam penelitiannya juga menegaskan bahwa stres pengasuhan merupakan serangkaian proses yang menyebabkan timbulnya reaksi psikologis dan fisiologis yang tidak diinginkan seba gai upaya untuk beradaptasi dengan tuntutan peran dan tanggung jawab orang tua sebagai pengasuh anak. Reaksi stres pengasuhan ini dapat dilihat dari timbulnya masalah fisiologis serta psikologis yang meliputi adanya perilaku, kognisi, dan emosi yang negatif, contohnya menjadi sulit tidur karena memikirkan anak, cara pengasuhan yang tidak tepat, atau penilaian yang negatif tentang anak dan diri sendiri.
Penelitianpenelitian pada stres pengasuhan ditujukan pada: (a) stres pengasuhan berbeda antara keluarga yang memiliki anak berkebutuhan dengan anak tidak berkebutuhan (Boyce & Behl, 1991; McGlone, Santos, Kazama, Fong, & Mueller, 2002; Noh, Dumas, Wolf & Fisman, 1989, dalam Ello & Donovan, 2005); (b) stres pengasuhan berbeda antara jenis kela min orang tua (Deater Deckard, & Scarr, 1996; Esdaile & Greenwood, 2003, dalam Ello & Donovan, 2005); dan (c) stres pengasuhan dihubungkan dengan penerimaan dukungan sosial (Bailey et al., 1999; Bristol, 1984; Herman & Thompson, 1995; Krauss, Upshur, Shonkoff & HauserCram, 1993, dalam Ello & Dono van, 2005).
Berdasarkan definisi stres pengasuhan di atas maka dapat disimpulkan bahwa stres pengasuhan merupakan ketidaksesuaian anta ra harapan orang tua dengan kenyataan yang sebenarnya, reaksi atas kon disi menekan yang dialami orang tua atas tuntutan peran dan tang gung jawab dalam memenuhi kebutuhan anak dan keluarga yang me lebihi kemampuan mereka sebagai orang tua.
B. STRES PENGASUHAN PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN SARAF Penelitian secara konsisten menunjukkan ibu lebih stres dalam meng
asuh anak dibandingkan pengasuh utama lain, misalnya ayah, nenek, kakek (Dabrowska & Pisula, 2010). Ibu lebih rentan mengalami de presi dan kecemasan (Meadan, H., Halle, J., & Ebata, A, 2010), ibu lebih menderi ta secara emosi akan beban tersebut (Gray, 2002), ibu juga berisiko tinggi
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
155
mengalami masalah kesehatan mental (Piven and Palmer, 1999). McStay (2014) juga menekankan bahwa orang tua yang memiliki anakanak dengan gangguan perkembangan, dila por kan bahwa orang tua khususnya ibu akan mengalami gejala depresi, dan memiliki tingkat stres yang ting gi (Pelchat et al., 1999) dibanding kan ibu yang memiliki anak dengan perkembangan normal.
Menurut Moes, et al. (1992) bahwa ibu lebih mengalami stres pada empat hal, yaitu: masalah pengasuhan, kemampuan anak, pe ri laku anak, dan perkembangan fisik anak. Temuan penelitian lain membuktikan bahwa stres ibu berhubungan dengan kemampuan so sial anak (BakerEric zen et al., 2005); perilaku bermasalah anak kon disi kesehatan mental ayah, sementara kondisi stres ayah tidak berhu bungan dengan perilaku anak atau kesehatan mental ibu (Hastings, 2003).
Secara teoretis, stres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf dapat dijelaskan dengan dua teori, yaitu: 1) Teori Hubungan Orang TuaAnak (The Parent-Child Relation ship/PCR) berawal dari kondisi psikologis negatif yang orang tua rasakan, seperti merasa bersalah, belum mampu mene rima kondisi anak, depresi, selanjutnya menurunkan efektivitas pe ri laku orang tua dan terciptanya hubungan kurang hangat yang ditunjuk kan orang tua kepada anaknya; 2) Teori Kesulitan Harian (The Daily Hassles Theory) berkaitan dengan kesibukan yang orang tua alami dalam mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf, di ma na orang tua harus menghadapi perilaku maladaptif anak, dan juga dituntut untuk mampu menyelesaikan pekerjaan rumah tangga dan permasalahan di dalam keluarga, kondisi menekan harian ini akan berdampak langsung memunculkan stres pengasuhan.
1. TeoriHubunganOrangTua-Anak(Parent-ChildRelationship/P-C-R)Teori hubungan orang tuaanak (PCR) dicetuskan pertama kali oleh
Abidin (dikutip dalam DeaterDeckard, 2004). Teori ini banyak digunakan dalam penelitian, sebab mengemukakan tiga hal kompo nen utama, yaitu : 1) parent domain (P = aspek aspek stres pengasuhan yang muncul dari dalam diri orang tua); 2) child domain (C = as pekaspek stres pengasuhan yang muncul terkait perilaku anak); 3) parent-child relationship (R = aspekaspek stres pengasuhan yang muncul dalam hubungan orang tua dan anak). Menurut teori PCR ini, orang tua menjadi stres erat kaitannya dengan permasalahan pada keber fungsian orang tua sendiri (misal depresi, cemas), kemudian stres peng asuhan erat kaitannya dengan karakteristik anak (misal, peri laku bermasalah anak) (Eyberg, Boggs, & Rodriguez,
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
156
1992), dan stres pengasuhan akibat ketidakberfungsian hubungan orang tua dan anak terutama jika terkait sampai pada terjadinya konflik. Ketiga as pek stres pengasuhan ini, pada gilirannya, menyebabkan penurunan dalam berbagai kualitas dan efektivitas perilaku mengasuh anak, mencakup rendahnya kehangatan dan kasih sayang orang tua, yang akhirnya meningkatkan perilaku bermasalah pada anak.
Lazarus (1993) menambahkan stres muncul dipengaruhi oleh em pat komponen, yaitu: 1) Terdapatnya stresor yang individu terima, sumber stres berasal dari luar individu, jika dikaitkan pada kasus stres pengasuhan maka stresornya adalah karakteristik anak; 2) Ke tika berhadapan dengan stresor, individu akan membuat penilaian kognitif (cognitive appraisal) un tuk menentukan apakah stresor terse but berpotensi mengancam atau ti dak; 3) Individu kemudian mela kukan mekanisme koping untuk mengurangi pengalaman negatif ter kait peristiwa kehidupan; 4) Terdapat efek yang memengaruhi pikir an dan tubuh disebut sebagai reaksi stres (stres reaction).
DeaterDeckard (2004) mengemukakan bahwa teori PCR ini menjelaskan hubungan antara orang tua dan anak bersifat dua arah, kon disi atau perilaku orang tua memengaruhi anak, demikian seba lik nya kondisi atau perilaku anak juga memengaruhi orang tua. Mukh tar (2017) juga me negaskan bahwa rendahnya kualitas perilaku orang tua kemudian menye babkan meningkatnya masalah emosi dan perilaku pada anak yang ak hirnya memengaruhi interaksi orang tua dan anak.
2. TeoriKesulitanHarian(TheDailyHasslessTheory)Sebagian besar penelitian tentang stres pengasuhan orang tua berfo kus
pada keadaan yang penuh tekanan atas kejadian hidup se harihari, se perti sakit yang dialami anak, kondisi anak mengalami gangguan perkembangan, dan sulitnya perekonomian keluarga (Puff & Renk, 2014). Teori kesulitan harian ini berbeda dengan teori hu bungan orang tua dan anak (PCR theory), artinya orang tua harus belajar untuk mengatasi stresor terkait pengasuhan anak dari hari ke hari, penggunaan strategi koping yang tepat tentu akan memenga ruhi orang tua dalam beradaptasi dengan stresor yang hadir. Menurut teori ini, untuk memahami bagaimana stres pada orang tua berkem bang hingga memengaruhi perkembangan anak serta kondisi psi kologis dan kesehatan fisik orang tua, harus mempertimbangkan stres seca ra umum yang banyak terjadi pada orang tua setiap hari atau setiap ming gunya (DeaterDeckard, 2004).
Teori kesulitan harian melengkapi dari teori PCR, orang tua meng
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
157
alami stres tidak hanya karena dipengaruhi oleh aspek anak, kon disi orang tua, dan aspek hubungan orang tua dan anak, tetapi ada faktor lain yang memengaruhi seperti kondisi menekan yang di rasakan atas kesulitan harian yang dialami orang tua. DeaterDeckard (2004) menegaskan bah wa teori kesulitan harian menjelaskan stres pengasuhan sebagai hasil dari pengalaman stres umum dan sering dialami dalam pengasuhan seharihari, serta memberikan dampak yang besar dalam pengasuhan dan perkem bangan anak.
Mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf memiliki peng alaman dan tantangan tersendiri bagi orang tua sebagai pengasuh uta ma anak. Orang tua lebih stres dalam mengasuh anak terkait de ngan kurang nya keberfungsian kondisi perilaku, sosial, emosi, dan kognisi anak. Se perti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa anakanak dengan gang gua n perkembangan saraf merupakan gangguan perkem bangan yang dipe ngaruhi ketidakmampuan bagian fungsi saraf da lam otaknya bekerja seba gaimana mestinya, sehingga tampil dalam peri laku yang tidak sesu ai de ngan perkembangan anakanak pada umumnya. Teti dan Candelaria (2002) ju ga menegaskan bahwa ke sulitan harian selama mengasuh anak ter kait erat dengan perilaku ber masalah yang ditampilkan anak.
C. FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB MUNCULNYA STRES PENGASUHANBerdasarkan hasil penelitian oleh Gupta (2007) menjelaskan bah wa
secara keseluruhan dapat disimpulkan terdapat enam kategori faktorfaktor yang memengaruhi munculnya stres orang tua adalah: 1) gejalagejala agresivitas dan perilaku bermasalah pada anak; 2) ma salah finansial; 3) kurangnya dukungan formal, seperti para pro fesional, pengobatan; 4) kurangnya dukungan informal, seperti pa sangan; 5) keyakinan akan intervensi pendidikan dan fasilitas layanan pendidikan; 6) meningkatnya beban pengasuhan dan risiko stigma negatif dari masyarakat.
Studi tentang stres pengasuhan khususnya pada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf telah banyak dilakukan, hasil penelitian menunjukkan beberapa perbedaan, yaitu terdapat beberapa penelitian yang menghasilkan stres pengasuhan yang tinggi, namun terdapat pula hasil penelitian yang menunjukkan orang tua mengalami stres pengasuhan rendah. Penelitian yang di lakukan oleh Suma, Adamson, Bakeman, Robins, dan Abrams (2016) menjelaskan orang tua pada awalnya dilaporkan mengalami tingkat stres yang tinggi sebagai reaksi terhadap diagnosis anak; serta keti daktahuan pemberian treatment yang tepat
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
158
setelah anak terdiagnosis (Miller, Gordon, Daniele, & Diller, 1992); mengalami emosi dan pi kiran negatif (ZaidmanZait et al., 2014).
Stres pengasuhan juga dipengaruhi oleh tingkat keparahan gang guan yang dialami anak (Lee, Harrington, Louie, & Newschaffer, 2008) termasuk keparahan kognitif dan bahasa (Bebko, Konstantareas, & Springer, 1987). Namun menurut Pisula (2011), sampai sejauh ini belum ada konsensus yang menjelaskan secara pasti tentang keter kaitan keparahan gangguan yang dialami anak dengan tingkat stres pada orang tua, karena tidak didukung hasil penelitian yang konsis ten. McStay et al., (2014) menemukan bahwa tingkat keparahan gang gu an spektrum autis yang dialami anak tidak berhubungan dengan tingkat stres orang tua. Orang tua mengalami stres pengasuhan disebabkan karena perilaku bermasalah anak.
Faktorfaktor stres pengasuhan orang tua dapat dispesifikkan ke dalam dua faktor penting, yaitu faktor internal, meliputi halhal terkait perasaan, pikiran, dan tindakan yang bersumber dari dalam diri ibu selama mengasuh anak, seperti faktor personal dan faktor demogra fi. Faktor eksternal meliputi tematema persepsi ibu akan interaksi terhadap hal hal di luar dirinya, seperti faktor karakteristik anak, faktor keluarga, dan faktor lingkungan/masyarakat. Berikut adalah penjelasan terkait kedua faktor tersebut seperti yang diungkapkan Daulay (2019), yaitu: ■ Faktor Internal
Faktor personal yang bersumber dari dalam diri individu, meliputi pe rasaan sedih, kecewa atas kondisi anak (DePape & Lind say, 2015); kepribadian tangguh (Weiss, 2002); kepribadian neu roticism, extra ver-sion, openness, agreeableness, dan conscien tious ness (Rantanen, Tillemann, Metsa, Kokko, & Pulkkinen, 2015); locus of control (Banks, Ninowski, Mash, & Semple, 2008); parenting sen se of competence (Hassall, Rose, & McDonald, 2005); self efficacy (Hastings & Brown, 2002); selfesteem (Pisula, 2011); ke se hat an mental (Zablotsky, Bradshaw, & Stuart, 2013); penurunan ke sehatan fisik, seperti peningkatan tekanan darah (Safe, Joosten, & Molineux, 2012); memiliki pikiran nega tif bahwa situasi tidak akan pernah berubah (DePape & Lindsay, 2015).
Faktor demografi yang sering dikaitkan dengan stres pengasuhan adalah usia (Rodriguez, 2011); jenis kelamin (McStay, Trembath, & Dissanayake, 2014); status pernikahan (Katsikitis et al., 2013); status sosial ekonomi (Azad, Blacher, & Marcoulides, 2014); ting kat pendidikan (Manning, Wainwright, & Bennett, 2011); penda patan (Mandell & Salzer, 2007); jumlah anak (Rodriguez, 2011); usia dan jenis kela min anak (Mandell & Salzer, 2007); jenis gangguan anak (Burke &
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
159
Hodapp, 2014). ■ Faktor Eksternal
Faktor karakteristik anak, di antaranya adalah perilaku bermasalah anak (Baker, Blacher, Crnic, & Edelbrock, 2002). Faktor keluarga meliputi peningkatan perceraian (Hartley et al., 2010); orang tua saling menyalahkan atas kondisi anak (May, Fletcher, Dempsey, & Newman, 2015); orang tua lebih banyak menghabiskan waktu dalam merawat anak autis (Curran, Sharples, White, & Knapp, 2001); rendahnya dukungan yang diterima (ZaidmanZait et al., 2017); rendahnya kerja sa ma antara keluarga dan sekolah (Burke & Hodapp, 2014).
Faktor lingkungan/masyarakat di antaranya stigma negatif dari masya rakat (Farrugia, 2009); orang tua sering mendapat kritikan dari orang lain ketika anak menampilkan perilaku tidak sesuai di tempat umum (Farrugia, 2009). Secara keseluruhan faktorfaktor yang meme ngaruhi stres pengasuhan dibagi menjadi dua, yaitu: 1) faktor internal, meliputi karakteristik orang tua, kepribadian, emosi, perasa an, pikiran, misalnya ibu dengan persepsi yang rendah terhadap kemam puannya mengasuh anak, karena merasa kurang berkompetensi meng asuh anak maka ibu cenderung lebih mudah mengalami stres peng asuh an; 2) faktor eksternal, meliputi karakteristik anak (seperti peri laku maladaptif anak), status sosial ekonomi keluarga, kurangnya ibu menerima dukungan sosial (dalam Daulay, 2019).
D. PENGUKURAN STRES PENGASUHANTerdapat beberapa instrumen yang sering digunakan oleh para peneliti
dalam mengungkap stres pengasuhan, seperti Parenting Stres Index (Abidin, 1995); Perceived Stres Scale (Cohen, Kamarak, & Merlmelstein, 1983); Questionnaire on Resources and Stres (QRS; Friedrich et al., 1983); Perceived Stres Questionnaire (PSQ; Levenstein, et al., 1993); The De pres sion, Anxiety, and Stres Scale21 (DASS21, Lovibond and Lovibond, 1995).
Setiap alat ukur memiliki standar reliabilitas dan validitasnya masingmasing. Hasil penelitian penulis yang termuat dalam sebuah disertasi telah menguji validitas konstrak dan reliabilitas konstrak sebuah alat ukur stres pengasuhan yang disesuaikan dengan kondisi para ibu yang me miliki anak berkebutuhan khusus berdasarkan kon teks masyarakat Indo nesia (Daulay, 2019). Hasilnya memiliki uji validitas isi, validitas konstrak dan reliabilitas konstrak yang baik dan dapat digunakan pada pene litianpenelitian selanjutnya yang tertarik untuk mengkaji tema stres
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
160
peng asuhan pada ibu yang memiliki anak berkebutuhan khusus.
1. Parenting Stres Index (PSI)Richard Abidin (1995) adalah salah seorang penemu teori stres peng
asuhan yang banyak diaplikasikan dalam bidang penelitian, de ngan instrumen yang dikembangkannya adalah Parenting Stres In dex (PSI), terdi ri dari 101 aitem dan didesain sebagai teknik untuk mengidentifikasi orang tua dan kondisi anak ketika berada di bawah tekanan, perilaku bermasalah anak, dan ketidak berfungsian hubungan antara orang tua dan anak. Abidin (1995) kemudian mengembangkan kembali PSI menjadi sebuah instrumen dengan versi pendek yaitu Parenting Stres IndexShort Form (PSISF) terdiri dari 36 aitem dan dianggap lebih praktis dan mudah dengan administrasi pengerjaan kurang dari 10 menit.
Penulis telah menyimpulkan definisi stres pengasuhan merupa kan kondisi di mana orang tua merasa adanya ketidaksesuaian anta ra harapan dengan kenyataan yang sebenarnya terjadi, dan reaksi atas kondisi menekan yang dialami orang tua atas tuntutan peran dan tanggung jawabnya dalam memenuhi kebutuhan anak dan keluarga yang melebihi kemampuan mereka sebagai orang tua. Penulis kemu dian berupaya untuk membuat alat ukur yang relevan dengan kon disi masyarakat Indonesia, namun tetap mengacu pada teori utama stres pengasuhan dari Abidin (1995). Pe nulisan aitem mengacu pada aspekaspekaspek stres pengasuhan yang diungkapkan oleh Abidin (1995) yaitu: 1) parental distres (depression, res-triction of role, sense of competence, social isolation, relationship with spouse, parental health); 2) difficult child characteristics (adaptability, demandingness, mood, dis tracbility); 3) parent-child dysfunctional interaction (attachment, ac-cep tability, reinforces parent). Semakin tinggi skor yang diperoleh pada skala stres pengasuhan maka semakin tinggi tingkatan stres ibu dalam mengasuh anaknya.
Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh pada skala stres pengasuhan maka semakin rendah stres yang dirasakan ibu.
2. Questionnaire on Resources and Stres (QRS)Instrumen asli Questionnaire on Resources and Stres pertama kali
di kembangkan oleh Holroyd (1974), didesain untuk mengukur stres keluarga yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan atau mental retardasi, terdiri dari 285 aitem dan telah mengalami revisi alat ukur dengan versi lebih pendek namun tetap mempertahankan reliabilitas yang baik, contohnya: 1) The Clarke versi QRS (QRSC, dari Clarke Institute of
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
161
Psychiatry, Toronto); 2) The QRSF diperuntuk kan pada populasi yang lebih spesifik dan paling banyak digunakan (Friedrich dkk., 1983). Instru men QRSF terdiri dari 52 aitem meng ukur empat subkomponen persepsi orang tua, yaitu: masalah orang tua dan keluarga (aspek stres akibat dam pak dari anak disabilitas terhadap orang tua dan keluarga), pesimis (orang tua merasa pesimis akan masa depan anak), karakteristik anak (karakteristik anak yang terlalu menuntut pada orang tua), dan ketidakmampuan fisik (sejauh mana anak mampu melakukan aktivitas tertentu).
Beberapa penelitian yang menggunakan alat ukur Questionnaire on Resources and Stres dalam mengukur kondisi stres orang tua yang memiliki anak berkebutuhan khusus, di antaranya penelitian yang dilakukan Honey, Hastings, dan McConachie (2005); Konstantareas et al. (1992) menggunakan QRSC secara klinis dapat digunakan pada orang tua dengan anak autis dan mental retardasi; Glidden dan Floyd (1997) menggunakan QRSF untuk mengukur kondisi stres keluarga yang memiliki anak berkebutuhan; Hastings dan Johnson (2001) juga menggunakan QRSF na mun tanpa subkomponen ketidakmampuan fisik dan karakteristik anak dalam mengukur stres keluarga yang me miliki anak autis; Honey, Hastings, & Mcconachie (2005) menggu nakan QRSF untuk membuktikan bah wa berdasarkan hasil properti psikometri, alat ukur ini juga dapat diap li kasikan pada orang tua yang memiliki anak autis.
3. PerceivedStresQuestionnaire(PSQ)Perceived Stres Questionnaire (PSQ) dikembangkan pertama sekali oleh
Levenstein et al., (1993), merupakan instrumen yang digunakan untuk mengukur kondisi stres secara umum, terdiri dari 30 aitem dengan model penskalaan Likert (hampir tidak pernah, kadangka dang, sering, selalu). PSQ mengukur stres sebagai reaksi subjektif individu terhadap kejadi an eksternal dan tuntutan dari lingkungan dari lingkungan (Fliege, et al., 2005, dalam Hanum, Daengsari, Kemala, 2016). Di samping itu, PSQ digu nakan karena lebih menekankan pada persepsi kognitif yang dimiliki oleh individu terhadap situasi yang menjadi stressor dibandingkan keadaan emosionalnya saat itu atau peristiwa kehidupan tertentu yang sedang dialaminya (MonteroMarin et al., 2014, dalam Hanum, Daengsari, kemala, 2016). Reliabilitas alpha cronbach alat ukur ini 0,90.
4. TheDepression,Anxiety,andStresScale-21(DASS-21)The Depression, Anxiety, and Stres Scale21 (DASS21, Lovibond &
Lovibond, 1995) merupakan versi pendek yang terdiri dari 21 aitem.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
162
Sedangkan instrumen aslinya Depression, Anxiety, and Stres (DASS) terdiri dari 42 aitem. Skala DASS21 ini memiliki tiga subskala yang masingmasing terdiri dari tujuh aitem, yaitu: depresi, meng ukur dysphoria, putus asa, devaluasi kehidupan, penyangkalan diri, kurangnya minat/keterlibatan terhadap sesuatu, anhedonia (ke hi langan minat untuk menikmati sesuatu), lesu; kecemasan, meng ukur efek otot rangka, kecemasan situasi, pengalaman subjektif dari pengaruh cemas; stres, mengukur kesulitan untuk relaks, gugup, gelisah, mudah tersinggung, tidak sabar. Skor dapat dikelompokkan berdasarkan tingkat keparahannya, yaitu normal, mild (ringan), mo derate (sedang), severe (parah), dan extremely severe (sangat parah). Beberapa penelitian menggunakan instrumen ini untuk mengukur kondisi stres, perasaan cemas dan depresi pada orang tua yang me miliki anak autis, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Lai, Goh, Oei, dan Sung (2015).
Secara keseluruhan terdapat beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menguji pengalaman stres, yang tidak bisa dijelaskan satu persatu di dalam buku ini. Namun, berdasarkan hasilhasil ri set terdahulu menunjukkan Parenting Stres Index dan Questionnaire on Resources and Stres merupakan alat ukur yang sering digunakan dalam mengungkapkan kondisi stres yang sedang dialami.
E. STRES PENGASUHAN DAN NEUROPSIKOLOGIDikaitkan dengan kasusnya stres pengasuhan bagi orang tua meng
alami depresi, ternyata memiliki pengaruh dan hubungan yang kuat da lam fungsi kognitif (khususnya executive function) menjadi rendah. Individu yang mengalami depresi maka akan berhubungan dengan ketidakberfungsiannya dalam pengontrolan dan pengaturan proses kognitif. Kegagalan perform merupakan bukti pengontrolan kognitif termasuk atensi langsung, pengaturan perilaku, penyusunan strategi, perencanaan, me monitor performansi dan melakukan koding dalam kerja memori (Pizza gal li, 2010). Konsep kognitif ini banyak digunakan dalam wilayah lobus fron tal (Stuss & Levine, 2002) dan ketidakberfungsian dalam lobus frontal men jadi pemicu dalam tim bulnya depresi (Pizzagalli, 2010). Model neurobio logis menjelas kan bahwa kemungkinan depresi dimediasi oleh menurun nya dor dola teral prefrontal (kognisi) dan peningkatan ventrolateral (afeksi) ak ti vitas prefrontal korteks (Mayberg, 2003, dalam Quinn, dkk., 2012).
Basso, dkk., (2007) menjelaskan bahwa kecemasan menunjukkan dam pak dari tugas performansi neuropsikologis pada depresi. Pada indi
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
163
vidu yang mengalami major depressive disorder (MDD) komorbid de ngan kecemasan akan menunjukkan kerusakan dalam pengulangan dan merekognisi memori tetapi tidak pada penurunan kerja memori (Basso, dkk., 2007). Kemampuan verbal memory dalam merecall dihubungkan pada lobus frontalis sebelah kiri (Milner, 1974; Perret, 1974; Stuss et al., 1998, dalam Quinn, dkk., 2012) dan kerusakan bagi an lobus frontalis sebelah kiri telah diobservasi pada individu dengan depresi (Davidson, 1998; Davidson & Irwin, 1991, dalam Quinn, dkk., 2012). Meskipun, peningkatan aktivitas frontalis sebelah kiri dan pe ngurangan aktivitas posterior sebelah kanan juga ditemukan pada pasien dengan depresi, tetapi aktivitas ini lebih menonjol pada pasien dengan melancholia dan kecemasan (Kemp et al., 2010a; Pizzagalli et al., 2002, dalam Quinn, dkk., 2012). Peningkatan keparahan depresi juga berhubungan pada besarnya kerusakan fungsi neuropsikologis (Austin et al., 1999, dalam Quinn, 2012). Dalam kajian metaanalisis oleh McDermott dan Ebmeier (2009), keparahan depresi dihubung kan pada ketidakberfungsian dari episodic memory, executive function, dan proses kecepatan.
Hubungan antara neuropsikologi terhadap stres pengasuhan pada orang tua juga dapat dilihat dari fungsi otak dalam memengaruhi perilaku, khususnya pada bagian lobus frontalis. Lobus frontalis berfungsi untuk bertanggung jawab atas perencanaan rangkaian perilaku dan untuk beberapa aspek ekspresi memori dan emosional (Graybiel, Aosaki, Flaherty, & Kimura, 1994). Individu yang mengalami kerusakan pada bagian lobus frontalis khususnya pada bagian prefrontal cortex, maka individu ter sebut tidak mampu mengikuti konteks yang ada, sehingga mereka berperilaku tidak pantas dan impulsif (Kalat, 2007). Ini yang terjadi pada orang tua yang mengalami stres pengasuhan, sehingga perilakunya juga terkadang memperlihatkan perilaku tidak pantas dan impulsif, seperti menelantarkan anak, memukul, bahkan sampai membunuh anaknya.
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa terdapat kaitan antara neuropsikologi dan budaya dalam memengaruhi seseorang mengalami depresi. Budaya seperti lingkungan tempat tinggal di mana seseorang hidup juga akan memengaruhi tingkat keparahannya mengalami depresi. Di Indonesia sendiri, kasus anakanak dengan gangguan perkembangan saraf masih kurang mendapatkan respons positif di tengahtengah masyara kat. Kurangnya pengetahuan dan sosialisasi akan gangguan perkembangan ini berpengaruh terhadap sikap masyarakat dalam menerima kehadiran anak, terutama gang guan perkembangan kompleks yakni gangguan spektrum autis di ling kungan tempat tinggal mereka. Seperti dikutip dalam
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
164
tulisan Dau lay (2019), fenomena pengasuhan orang tua yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis akhirakhir ini semakin banyak diperbincangkan, tidak hanya sebagai referensi dalam kajian riset, namun juga karena masih didapatinya mitosmitos yang berkem bang di tengah masyarakat terkait kondisi anak. Mitos yang sering didapati adalah orang tua yang dianugerahi anak dnegan gangguan perkembangan ini diakibatkan oleh karma atas kesalahan orang tua di masa lalunya, selanjutnya ada anggapan bahwa kondisi penurun an perkembangan anak diakibat kan oleh kemasukan roh halus atau anak disejajarkan dengan individu yang mengalami gangguan keji waan, hingga pemahaman bahwa kondisi anak autis merupakan sebuah penyakit menular yang kemudian menim bul kan ketakutan dan kegelisahan bagi para orang tua ketika anaknya berde kat an de ngan anak autis. Minimnya pengetahuan dan pemahaman tentang anak dengan gangguan perkembangan menjadi salah satu mengapa mitosmitos ini masih saja berkembang di tengahtengah masyarakat. Hal ini tentunya akan berpengaruh akan penerimaan orang tua ter ha dap keterbatasan anak dengan gangguan perkembangan, orang tua yang tidak siap menerima kehadiran anak akan berdampak pada peng asuhannya ke anak juga menjadi kurang optimal.
REFERENSIAbidin, R.R. (1995). The Parenting Stress Index Profesional Manual. 3rd. Ed.
Odessa, FL: Psychological Assessment Resources.Ahern, K. (2000). Something is wrong with my child: A phenome nological
account of a search for a diagnosis. Early Education and Development, 11, 187200.
Aldwin, C. (1994). Stress, Coping, and Development: An Integrative Perspective. New York: Guilford, Press.
Azad, G., Blacher, J., & Marcoulides, G. (2014). Longitudinal models of socioeconomic status: Impact on positive parenting behaviors. International Journal of Behavioral Development, 38(6), 509517. doi:10.1177/0165025414532172.
BakerEriczen, M.J., BrookmanFrazee, L., & Stahmer, A. (2005). Stress levels and adaptability in parents of toddlers with and without autism spectrum disorders. Research and practice for persons with severe disabilities, 30(4), 194 204.
Baker, B.L., Blacher, J., Crnic, K.A., & Edelbrock, C. (2002). Behavior problems and parenting stress in families of threeyearold child ren
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
165
with and without developmental delays. American Journal on Mental Retardation, 107(6), 433444.
Banks, T., Ninowski, J.E., Mash, E.J., & Semple, D.L. (2008). Parenting behavior and cognitions in a community sample of mothers with and without symptoms of attention deficit/hyperactivity disorder. Journal of Child and Family Studies, 17, 2843. doi:10.1007/s 1082600791390.
Bartlett, D. (1998). Stress: Perspectives and processes. Philadel phia. USA: Open University Press.Bebko, J., Konstantareas, M., & Spri ng er, J. (1987). Parent and professional evaluation of family stress associated with characteristics of autism. Journal of Autism and De velopmental Disorder, 17(4), 565576.
Basso, M. R., Lowery, N., Ghormley, C., Combs, D., Purdie, R., Neel, J., ... & Bornstein, R. (2007). Comorbid anxiety corresponds with neuropsychological dysfunction in unipolar depression. Cognitive Neuro psy-chiatry, 12(5), 437456.
Bebko, J., Konstantareas, M., & Springer, J. (1987). Parent and professional evaluation of family stress associated with characteristics of autism. Journal of Autism and Developmental Disorder, 17(4), 565–576.
Belsky, J. (1984). The determinants of parenting: A process model. Child Development, 55(1), 8396.
Bitsika, V., Sharpley, C., Bell., R. (2013). The Buffering Effect of Resilience upon Stress, Anxiety and Depression in Parents of a Child with an Autism Spectrum Disorder. Journal of Development Phys Disabil, 25, 533543.doi:10.1007/s108820139333 5.
Burke, M.M., & Hodapp, R.M. (2014). Relating stress of mothers of children with developmental disabilities to familyschool partnerships. In-tellectual and Developmental Disabilities, 52(1), 1323. doi:10.1352/19 34955652.1.13.
Caley, L. (2011). Risk and Protective Factors Associated with Stress in Mothers Whose Children are Enrolled in Early Intervention Services. National Association of Pediatric Nurse Practitioners, 26(5), 345366.doi.org/10.1016/j.pedhc.2011.01.001.
Cannon, W.B. (1932). The Wisdom of the Body. New York: W.W. Nor ton.Coyne, J.C., & Holroyd, K. (1982). Stress, coping, and illness: A transactional
perspective. In T. Millon, C. Green, & R. Meagher. Handbook of clinical health psychology (pp. 103127). New York: Plenum.
Cohen, S., Kamarck, T., & Mermelstein, R. (1983). A global measure of perceived stress. Journal of health and social behavior, 385396.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
166
Cooper, C., McLanahan, S., Meadows, S., & Gunn, J.B. (2009). Family structure transitions and maternal parenting stress. Journal of Marriage and Family, 71(3), 558574.
Curran, A.L., Sharples, P.M., White, C., & Knapp, M. (2001). Time costs of caring for children with severe disabilities compared with caring for children without disabilities. Developmental Medicine and Child Neurology, 43(8), 529533.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in mothers and fathers of preschool children with autism and Down syndrome. Journal of Intellectual Disabilities Research, 54(3), 266280. doi :10.1111/j.13652788.2010.01258.x.
Daulay, N. (2019). Mengoptimalkan pengasuhan pada anak dengan gangguan spectrum autism. Dalam Bunga Rampai Psikologi Perkembangan: Memahami Dinamika Perkembangan Anak. Sidoar jo: Zifatama Jawara.
Daulay, N. (2019). Model stres pengasuhan pada ibu yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis. Disertasi. Fakultas Psiko logi. Uni versitas Gadjah Mada Yogyakarta.
DeaterDeckard, K. (2004). Parenting Stress. New Haven and London: Yale University Press.
Depape, A., & Lindsay, S. (2015). Parents ’ experiences of caring for a child with autism spectrum disorder. Qualitative Health Research, 25(4), 569583.doi:10.1177/1049732314552455.
Ello, L.M., & Donovan, S.J. (2005). Assessment of the relationship bet ween parenting stress and a child’s ability to functionally com municate. Re-search on Social Work Practice, 15(6), 531544.
Eyberg, S., Boggs, S., & Rodriguez, C. (1992). Relationships between maternal parenting stress and child disruptive behavior. Child and Family Behavior Therapy, 14, 19.
Farrugia, D. (2009). Exploring stigma: Medical knowledge and the stigmatisation of parents of children diagnosed with autism spectrum disorder. Sociology of Health and Illness, 31(7), 10111027. doi:10.1111/j.14679566.2009.01174.x.
Friedrich, W.N., Greenberg, M.T., & Crnic, K. (1983). A shortform of the Questionnaire on Resources and Stress. American Journal of Mental Deficiency.
Gaol, N.T.L. (2016). Teori stres: Stimulus, respons, dan transaksional. Bu-letin Psikologi, 24(1), 111.
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
167
Giallo, R., Wood, C., Jellet, R., Porter, R. (2011). Fatigue, wellbeing and parental self efficacy in mothers of children with an Autism Spectrum Disorder. Autism, 17(4), 465480.doi:10.1177/1362361 311416830.
Gupta, V.B. (2007). Comparison of parenting stress in different developmental disabilities. Journal of Developmental Disability, 27(3), 215222.
Glidden, L.M., & Floyd, F.J. (1997). Disaggregating parental depres sion and family stress in assessing families of children with deve lopmental disabilities: A multisample analysis. American Journal on Mental Re-tardation, 102(3), 250266.
Gray, D.E. (2002). “Everybody just freezes. Everybody is just embar rassed”: felt and enacted stigma among parents of children with high functioning autism. Sociology of Health & Illness, 24(6), 734749. doi: https://doi.org/10.1111/14679566.00316.
Graybiel, A.M., Aosaki, T., Flaherty, A.W., & Kimura, M. (1994). The basal ganglia and adaptive motor control. Science, 265(5180), 18261831.
Hanum, L., Daengsari, D.P., & Kemala, C.N. (2016). Penerapan Manajemen Stres Berkelompok dalam Menurunkan Stres pada Lanjut Usia Berpenyakit Kronis. Jurnal Psikologi, 43(1), 4251.
Harrington, R. (2013). Stress, Health, and Well-being. Thriving in the 21st Century. United States of America: Wadsworth, Cengage Learning.
Hassall, R., Rose, J., & Mcdonald, J. (2005). Parenting stress in mo thers of children with an intellectual disability: the effects of parental cognitions in relation to child characteristics and family support. Journal of Intellectual disability Research, 49(6), 405418. doi:10.1111/j.13652788.2005.00673.x
Hastings, R.P., & Johnson, E. (2001). Stress in UK families conducting intensive homebased behavioral intervention for their young child with autism. Journal of autism and developmental disorders, 31(3), 327336.
Hastings, R.P., & Brown, T. (2002). Behavior problems of children with autism, parental selfefficacy, and mental health. American Journal on Mental Retardation, 107(3), 222232.
Hastings, R.P. (2003). Child behaviour problems and partner mental health as correlates of stress in mothers and fathers of children with autism. Journal of Intellectual Disabilities Research, 47(45), 231237. doi:10.1046/j.13652788.2003.00485.x.
Hartley, S., Barker, E., Seltzer, M., Floyd, F., Greenberg, J., Orsmond, G., & Bolt, D. (2010). The relative risk and timing of divorce in families of children with an autism spectrum disorder. Journal of Family
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
168
Psychology, 24(4), 449457.doi:10.1037/a0019847.Kalat, J.W. (2007). Biological Psychology. 9th ed. Terj. Jakarta: Sa lemba
Humanika.Katsikitis, M., Bignell, K., Rooskov, N., Elms, L., & Davidson, G. (2013).
The family strengthening program: Influences on parental mood, paren tal sense of competence and family functioning. Advances in Men tal Health, 11(2), 143151.
Harrington, R. (2013). Stress, health, and well being. Thriving in the 21st century. USA: Wadsworth, Cengage Learning.
Hartley, S., Barker, E., Seltzer, M., Floyd, F., Greenberg, J., Orsmond, G., & Bolt, D. (2010). The relative risk and timing of divorce in families of children with an autism spectrum disorder. Journal of Family Psy-chology, 24(4), 449457.doi:10.1037/a0019847.
Hayes, S.A., & Watson, S.L. (2013). The impact of parenting stress: A Metaanalysis of studies comparing the experience of parenting stress in parents of children with and without autism spectrum disor der. Journal of Autism and Developmental Disorder, 43, 629642. doi:10.10 07/s108030121604y.
Hinkle, L. (1974). The concept of “stress” in the biological and social sciences. The International Journal of Psychiatry in Medicine, 5(4), 335357.
Holmes, A.J., Bogdan, R., & Pizzagalli, D.A. (2010). Serotonin transporter genotype and action monitoring dysfunction: a possible substrate underlying increased vulnerability to depression. Neu ro psychopharma-cology, 35(5), 11861197.
Holroyd, J. (1974). The Questionnaire on Resources and Stress: An instrument to measure family response to a handicapped family member. Journal of community psychology.
Honey, E., Hastings, R. P., & Mcconachie, H. (2005). Use of the ques tionnaire on resources and stress (QRSF) with parents of young children with autism. Autism, 9(3), 246255.
Kalat, J. (2007). Biological Psychology. Cengage Learning.Katsikitis, M., Bignell, K., Rooskov, N., Elms, L., & Davidson, G. (2013).
The family strengthening program: Influences on parental mood, paren tal sense of competence and family functioning. Advances in Men tal Health, 11(2), 143151.
Konstantareas, M.M., Homatidis, S., & Plowright, C.M.S. (1992). Assessing resources and stress in parents of severely dysfunctional children through the Clarke modification of Holroyd’s Question naire on
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
169
Resources and Stress. Journal of Autism and Deve lopmen tal Disorders, 22(2), 217234.
Lai, W., Goh, T., Oei, T., & Sung, M. (2015). Coping and wellbeing in pa rents of children with autism spectrum disorders (ASD). Journal of Autism and Developmental Disorders, 45, 2582–2593. doi:10.1007/s1080301524309.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer.
Lazarus, R.S. (1993). From psychological stress to the emotions: A historyof changing outlooks. Annual review of psychology, 44, 121.
Lee, L.C., Harrington, R.A., Louie, B.B., & Newschaffer, C.J. (2008). Child ren with autism: Quality of life and parental concerns. Journal of Autism and Developmental Disorders, 38, 11471160. doi:10.1007/s1080300704910.
Levenstein, S., Prantera, C., Varvo, V., Scribano, M.L., Berto, E., Luzi, C., & Andreoli, A. (1993). Development of the Perceived Stress Questionnai re: a new tool for psychosomatic research. Journal of psychosomatic research, 37(1), 1932.
Lovibond, P.F., & Lovibond, S.H. (1995). The structure of negative emotional states: Comparison of the Depression Anxiety Stress Scales (DASS) with the Beck Depression and Anxiety Inventories. Behaviour research and therapy, 33(3), 335 343.
Lyon, B.L. (2012). Stress, coping, and health. In Rice, H.V. (Eds). Handbook of stress, coping and health: Implications for nursing research, theory, and practice. (pp.3 23). USA: Sage Publication, Inc.
Mahoney, F.P. (2009). The relationship between parenting stress and maternal responsiveness among mothers of children with developmental problems. (Dissertation). Mandel School of Applied Social Sciences. Case
Mandell, D., & Salzer, M. (2007). Who joins support groups among parents of children with autism? Autism, 11(2), 111122. doi:10.1177/ 1362361307077506.
Manning, M.M., Wainwright, L., & Bennett, J. (2011). The double ABCX model of adaptation in racially diverse families with a schoolage child with autism. Journal of Autism and Developmental Disorder, 41, 320331. doi:10.1007/s10803010 10561.
May, C., Fletcher, R., Dempsey, I., & Newman, L. (2015). Modeling eelations among coparenting quality, autismspecific Pprenting selfefficacy, and parenting stress in mothers and fathers of children with
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
170
ASD. Parenting: Science and Practice, 15, 119133. doi:10.1080/15295192.2015.1020145.
McDermott, L.M., & Ebmeier, K. P. (2009). A metaanalysis of de pression severity and cognitive function. Journal of affective di sorders, 119(13), 18.
McGrath, P. (2006). Psychosocial issues in childhood autism reha bilitation: A review. International Journal of Psychosocial Reha bilitation, 11(1), 2936.
McStay, R.L., Dissanayake, C., Scheeren, A., Koot, H. M., & Begeer, S. (2014). Parenting stress and autism: The role of age, autism severity, qua lity of life and problem behaviour of children and adolescents with autism. Autism, 18(5), 502 510. doi:10.1177/ 1362361313485163.
Meadan, H., Halle, J. W., & Ebata, A. T. (2010). Families with children who have autism spectrum disorders: Stress and support. Exceptional Children, 77(1), 736.
Miller, C., Gordon, R., Daniele, R., & Diller, L. (1992). Stress, appraisal, and coping in mothers of disabled and nondisabled children. Journal of Pediatric Psychology, 17(5), 587605. doi:10.5463/DCID.v23i2.119.
Moes, D., Koegel, R., & Schreibman, L. (1992). Stress profiles for mo ther and fathers of children with autism. Psychological Reports, 71, 12721274.
Monat, A., & Lazarus, R. (1991). Stress and Coping. An Anthology. New York: Columbia University Press
Mukhtar, D. Y. (2017). Pengaruh groupbased parenting support ter hadap stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. (Disertasi tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fa kultas PsikologiUniversitas Gadjah Mada.
Pelchat, D., Ricard, N., Bouchard, J. M., Perreault, M., Saucier, J. F., Berthiaume, M., & Bisson, J. (1999). Adaptation of parents in re lation to their 6monthold infant’s type of disability. Child: care, health, and development, 25(5), 377398.
Pisula, E. (2011). Parenting stress in mothers and fathers of children with autism spectrum Disorders. Dalam M.R. Mohammadi (Ed.), A Compre-hensive Book on Autism Spectrum Disorders (h. 87106). Europe: InTech.
Piven, J., & Palmer, P. (1999). Psychiatric disorder and the broad au tism phenotype: evidence from a family study of multipleinci dence autism families. American Journal of Psychiatry, 156(4), 557563.
Puff, J., & Renk, K. (2014). Relationships among parents’ economic stress, parenting, and young children’s behavior problems. Child Psychiatry &
SAM
PLE
BAB 4 • STRES PENGASUHAN
171
Human Development, 45(6), 712727.Quinn, C.R., DobsonStone, C., Outhred, T., Harris, A., & Kemp, A.H.
(2012). The contribution of BDNF and 5HTT polymorphisms and early life stress to the heterogeneity of major depressive disorder: a preliminary study. Australian & New Zealand Journal of Psychiatry, 46(1), 5563.
Rantanen, J., Tillemann, K., Metsa, R., Kokko, K., & Pulkkinen, L. (2015). Longitudinal study on reciprocity between personality traits and paren ting stress. International Journal of Behavioral Development, 39(1), 6576.doi:10.1177/0165025414548776.
Rice, P. (1999), Stress and Health. Third Edition. USA: Brooks/Cole Publishing Company.
Rodriguez, C. M. (2011). Association between independent reports of maternal parenting stress and children’s internalizing symp tomatology. Journal of Child Family Study, 20, 631639. doi:10. 1007/s1082601094388.
Safe, A., Joosten, A., & Molineux, M. (2012). The experiences of mo thers of children with autism: Managing multiple roles. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 37(4), 294302. doi:10.3109/13668250.2012.736614.
Selye, H. (1974). The Stress of Life. New York: McGrawwHill.Staal, M.A. (2004). Stress, cognition, and human performance: A li terature
review and conceptual framework. Nasa technical me morandum, 2128 24, 9.
Stuss, D. T., & Levine, B. (2002). Adult clinical neuropsychology: lessons from studies of the frontal lobes. Annual review of psy chology, 53(1), 401433.
Suma, K., Adamson, L.B., Bakeman, R., Robins, D.L., & Abrams, D.N. (2016). After early autism diagnosis : Changes in intervention and parentchild interaction. Journal of Autism and Developmental Disorders, 46(8), 27202733. doi:10.1007/s 1080301628083.
Teti, D., & Candelaria, M. (2002). Parenting Competence. Dalam M.H. Bornstein (Ed.), Handbook of parenting. Social conditions and applied pa renting (Second Ed, Vol. 4, 2002). London: Lawrence Erlbaum Associates.
Thoits, P.A. (1994). Stress, coping, and social support processes: Where are we? What next? Journal of health and social behavior, 35, 5379.
Twoy, R., Connoly, P.M., & Novak, J.M. (2007). Coping strategies used by parents of children with autism. Journal of the American Academy of
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
172
Nurse Practitioners, 19, 251260.Ursin, H., & Eriksen, H.R. (2004). The cognitive activation theory of stress.
Psychoneuroendocrinology, 29(5), 567592. doi: 10.1016/S03064530 (03)00091 XWeiss, M. (2002). Hardiness and social support as predictors of stress in mothers of typical children, children with autism, and children with mental retardation. Autism, 6(1), 115130.
Williford, A.P., Calkins, Susan. D., & Keane, S.P. (2007). Predicting change in parenting stress across early childhood: Child and maternal factors. Journal of Abnormal Child Psychology, 35, 251263.
ZaidmanZait, A., Mirenda, P., Duku, E., Szatmari, P., Georgiades, S., Volden, J., ... Thompson, A. (2014). Examination of bidirectional relation ships between parent stress and two types of problem behavior in children with autism spectrum disorder. Journal of Autism and De-velopmental Disorders, 44, 19081917. doi:10.1007/s 1080301420643.
Zaidmanzait, A., Mirenda, P., Duku, E., Vaillancourt, T., Smith, I.M., Szatmari, P., ... Thompson, A. (2017). Impact of personal and social resources on parenting stress in mothers of children with autism spectrum disorder. Autism, 21(2), 155166. doi:10.1177/1362361316633033.
Zablotsky, B., Bradshaw, C.P., & Stuart, E.A. (2013). The association between mental health, stress, and coping supports in mothers of child ren with autism spectrum disorders. Journal of Autism and Developmental Disorders, 43, 13801393. doi:10.1007/s1080301216937.
SAM
PLE
Bab 5STRES PENGASUHAN DAN KOPING
A. HAKIKAT KOPINGKoping menurut Lazarus dan Folkman (1984) didefinisikan sebagai
berikut:
“Suatu proses individu mencoba untuk mengelola jarak yang ada antara tun-tutan-tuntutan baik yang berasal dari individu maupun tuntuan yang berasal dari lingkungan dengan sumber-sumber daya yang individu gunakan dalam mengha-dapi situasi yang menekan.”
Menurut Lazarus dan Folkman (1984, dalam Sarafino dan Smith, 2014) mengemukakan bahwa koping merupakan suatu proses indi vidu yang mencoba mengelola antara tuntutan yang ada (baik itu tuntutan yang sberasal dari individu itu sendiri maupun tuntutan dari lingkungan) dengan sumber daya yang ada dalam diri mereka yang digunakan dalam menghadapi situasi yang menekan. Kata me ngelola (manage) bermakna pen ting, karena kata mengelola ini mengindikasikan bahwa usaha yang di lakukan dalam koping itu sangat bervariasi macamnya. Dalam setiap ko ping yang dilakukan individu disarankan agar individu untuk memahami permasalahan yang ia hadapi, karena dalam koping ini individu akan diarahkan untuk dapat mengubah persepsinya mengenai ketidaksesuaian yang dirasakan dan membantunya untuk dapat menjauh dari situasi menekan yang ia hadapi tersebut.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
174
Lazarus dan Folkman (1984) juga menjelaskan bahwa koping merupakan sebuah proses kognitif, artinya ketika seseorang diha dapkan pada suatu situasi yang menekan, maka ia akan segera bereak si terhadap situasi yang menekannya tersebut, reaksi individu untuk menghadapi situasi yang menekan itulah yang disebut dengan res pons koping. Namun bagi se tiap individu, berhasil tidaknya proses koping juga terdapat faktor yang memengaruhinya. Koping bersifat positif jika individu mengalami hal yang positif dalam dirinya dan terle pas dari kondisi stres, sedangkan ko ping bersifat negatif sebaliknya yaitu jika individu merasakan hal yang ne ga tif dalam dirinya dan individu merasa tidak menemukan jalan keluar atas permasalahannya akhirnya kondisi individu tersebut semakin terpuruk. Koping juga terdiri dari berbagai usaha yang berorientasi pada sebuah tindakan maupun pemikiran untuk berusaha mengatasi permasalahan (dalam Sarafino & Smith, 2014).
Koping membantu individu menghilangkan, mengurangi, meng atur atau mengelola stres yang dialaminya. Koping dipandang seba gai faktor penyeimbang usaha individu untuk mempertahankan pe nyesuaian dirinya selama menghadapi situasi yang dapat menimbul kan stres (Billing & Moos, 1984). Strategi koping disebut juga dengan cara atau upaya dalam mengatasi masalah, merupakan usahausaha yang dilakukan seseorang un tuk mengatasi masalah yang sedang dialami dengan cara mengubah kog nitif dan perilakunya.
Menurut Lazarus dan Folkman (1999, dalam Sarafino & Smith, 2014) menyebutkan terdapat dua bentuk koping, yang mampu meng ubah masalah penyebab terjadinya stres, atau koping mampu mere gulasi emosi in dividu dalam merespons masalah tersebut.1. Emotion-focused coping (fokus pada emosi), adalah strategi dalam
meng atasi masalah dengan cara mengubah sumber masalah dan meningkatkan sumber daya yang dimiliki (Lazarus & Folkman, 1984). Tujuannya adalah untuk mengontrol respons emosi terha dap situasi yang penuh stres. Individu dapat mengatur respons emosi melalui pendekatan perilaku dan kognitif. Misalnya pende katan perilaku meliputi penggunaan alkohol atau narkoba, maka usahanya adalah untuk mengalihkan perhatian dari masalah, seperti dengan mencari dukungan sosial emosional dari teman atau kerabat, dan melibatkan aktivi tas, seperti olahraga atau me nonton televisi. Adapun pendekatan kognitif meliputi bagai mana individu memikirkan dan mencari solusi atas situasi yang penuh stres. Seseorang berusaha mendefinisikan kemba li si tua si agar berpikir positif, seperti membuat perbandingan dengan
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
175
in di vidu yang kurang beruntung, atau mengambil hal yang po sitif dari sebuah masalah. Individu cenderung menggunakan emo tion-fo-cused coping ketika mereka yakin bahwa mereka dapat melakukan perubahan terhadap kondisi yang penuh stres (Lazarus & Folkman, 1984).
Pada modul penelitian tentang pedoman group-basedparenting sup port pada orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum au tis oleh Mukhtar (2016) juga memberikan contoh strategi koping yang berfokus pada masalah, antara lain:a. Aktif mencari informasi dan berusaha mendapatkan pengetahuan
tentang gangguan spektrum autis yang dialami anak, cara penanganannya, serta cara mengatasi masalah yang di hadapi keluarga dalam mengasuh anak autis. Hal ini da pat dilakukan orang tua secara otodidak misalnya dengan meng gunakan internet dan mem baca buku, ataupun dengan melibatkan orang lain seper ti ber diskusi dengan sesama orang tua dan profesional serta mengikuti berbagai kegiatan pa ren ting yang diadakan oleh pihakpi hak terkait.
b. Melakukan perencanaan dan menyusun strategi untuk mene rapkan berbagai pengetahuan baru yang sudah didapat, baik yang ter kait dengan anak maupun dengan keluarga.
c. Melakukan evaluasi terhadap penerapan yang sudah dilaku kan, baik secara otodidak maupun dengan melibatkan pihak lain.
d. Berusaha mencari atau mendapatkan dukungan sosial, baik dari sumber dukungan yang bersifat informal (misalnya dari pasangan, orang tua, tetangga, dan teman) maupun yang for mal (misalnya dari sekolah atau lembaga pemerintah).
2. Problem-focused coping (fokus pada masalah), adalah strategi da lam mengatasi masalah dengan cara mengatur emosi yang me nyertai persepsi terhadap masalah (Lazarus & Folkman, 1984). Tujuannya adalah untuk mengurangi tuntutan yang penuh stres atau menggunakan sumber daya untuk menghadapinya, misal nya seseorang berhenti dari pekerjaan yang membuatnya stres, merancang jadwal baru dalam studi yang ditempuh, memilih karier yang berbeda, mencari pengobatan medis atau psikologis, dan mempelajari kemampuan baru. Seseorang menggunakan problem-focused coping ketika mereka yakin tuntutan atas situasi dapat berubah (Lazarus & Folkman, 1984).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
176
Mukhtar (2016) juga memberikan contoh strategi koping yang berfokus pada emosi, antara lain:a. Berusaha menerima kondisi anak, dan berhenti menyalahkan diri atau
Tuhan atas kondisi yang dialami anak.b. Melakukan pemaknaan ulang terhadap permasalahan yang di ha dapi
dengan melihatnya dari berbagai sudut pandang atau mengambil hikmah positif.
c. Mengambil jarak atau mengalihkan diri sesaat dari sumber stres, misalnya dengan mengikuti kegiatan arisan atau ber kumpul ber sama temanteman, berolahraga, dan sebagainya.
d. Berusaha mengontrol emosi, misalnya dengan melakukan tek nik relaksasi untuk mengatasi emosi negatif yang dirasakan.
Carver dkk., (1989) menjabarkan konsep Lazarus dan Folkman (1984) menjadi 11 subtipe yang diamati dari pola koping orang de wasa. Kesebelas pola koping tersebut adalah:a. Active coping, individu akan mengambil langkah aktif untuk meng
hadapi stresor secara langsung dan kalau berhasil akan mem perbaiki pengaruhnya.
b. Planning, individu berusaha memikirkan bagaimana mengatasi sumber stres dengan membuat rencana secara terperinci dan tepat mengenai langkahlangkah terbaik yang harus diambilnya.
c. Suppression of competing activities, individu berkonsentrasi penuh pada usaha yang menurutnya lebih mendekati pemecahan ma salah serta mengesampingkan halhal lain yang dianggap tidak perlu.
d. Turning to religion, individu berusaha untuk mencari jalan ke luar melalui pemahaman ajaran agama atau kepercayaan dan mem praktikkan berbagai ajaran yang telah terinternalisasi.
e. Seeking social support for instrumental reasons, individu berusaha mencari nasihat, bantuan, atau informasi dari orangorang seki tarnya yang dianggap mempunyai kemampuan dalam mengha dapi masalah.
f. Positive reinterpretation and growth, individu berusaha membangun sua tu pemikiran yang positif atas permasalahan yang dihadapi nya, mi salnya berusaha mengambil manfaat yang baik dari suatu peristiwa daripada memikirkan sisi negatifnya.
g. Denial, individu melakukan penyangkalan atas permasalahan yang dihadapinya. Umumnya terjadi karena tidak dapat mengatasi sum ber stres.
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
177
h Emotional disangagement, individu mencoba melampiaskan ber bagai emosinya agar tidak lagi memikirkan permasalahan yang membebani.
i. Seek social support for emotional reasons, individu mencari du kungan moral, simpati, dan pemahaman terhadap stresor yang dihadapinya, sehingga ia dapat menjadi tenteram dengan adanya dukungan sosial.
j. Acceptance, individu berusaha berpikir realistis untuk tetap hidup dengan situasi yang menekan. Terkadang tidak melakukan halhal yang dapat mengatasi stresor, akan tetapi ia hanya berusaha menerima keadaan yang dialaminya.
k. Behavioral disangagement, individu menghentikan usaha untuk mengurangi beban dan menganggap dirinya kurang mampu mengatasi masalah, sehingga ia hanya melakukan sesuatu yang tidak ada tujuannya.
B. STRES PENGASUHAN DAN KOPINGPengelolaan stres biasanya berhubungan dengan strategi koping. Ko
ping yang dilakukan orang tua dalam mengatasi berbagai perma salahan selama mengasuh anak dengan gangguan perkembangan sa raf tidak dapat muncul secara otomatis, koping terbentuk melalui suatu proses panjang, usaha, dan memiliki strategi yang berbedabeda dalam menghadapi setiap sumber stres. Koping yang dilakukan orang tua bertujuan untuk melindungi diri dari kondisi yang menekan sehingga diharapkan orang tua mampu beradaptasi dengan kondisi anak.
Bagi perempuan, menjalankan peran sebagai seorang ibu dan istri bukanlah hal yang mudah, beban dan kesulitan pengasuhan akan selalu ibu hadapi. Teori Peran yang dikemukakan Holden (2015) di harapkan dapat memberikan pemahaman terkait peran ganda yang ibu alami dan hubungannya dengan stres pengasuhan. Terdapat dua konstrak utama pada Teori Peran yaitu konflik peran (role con flict) dan tekanan peran (role strain). Role conflict muncul ketika seorang individu mengalami konflik antara peran dua status yang berbeda, misalnya kebanyakan orang tua mengalami masalah dalam bernegosiasi antara peran sebagai orang tua dan sebagai pekerja. Ro le strain muncul ketika ada ketegangan antara peran yang memiliki status yang sama, misalnya merawat anak dan merawat orang tua yang sudah tua (Holden, 2015).
Berdasarkan konstrak utama di atas yaitu role conflict dan role strain, teori peran orang tua dapat diaplikasikan untuk mendukung stres pengasuhan, yaitu: (1) role conflict muncul ketika ibu mengala mi kon flik antara perannya sebagai ibu dari anak yang mengalami gangguan perkembang
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
178
an saraf, namun di satu sisi ibu juga ingin membantu perekonomian keluarga dengan cara bekerja. Mengasuh anak berdampak besar pada ibu dan anggota keluarga lainnya, serta muncul masalah keuangan keluarga terkait biaya yang harus dike luarkan cukup besar dalam mengasuh anak, seperti biaya terapi, bia ya kesehatan, biaya pendidikan, makanan yang dikhususkan untuk anak. Parish dkk., (2008) menjelaskan timbulnya kesulitan material seperti kurang terpenuhinya kebutuhan pangan atau akses kesehat an yang terhambat; dan memengaruhi kondisi keuangan keluarga (Cidav, Markus, & Mandell, 2012); (2) Role strain muncul ketika ibu mengalami ketegangan antara perannya dalam merawat anak autis yang sangat membutuhkan perhatian untuk meningkatkan tumbuh kembang anak, namun di satu sisi ibu juga harus bertanggung jawab kepada saudara anak (kakak dan adik). Lutz dkk., (2012) menegaskan bahwa beban psikologis yang dialami ibu selain mengasuh anak autis adalah mampu bertanggung jawab dan memenuhi kebutuhan saudara anak autis.
Pentingnya memahami Teori Peran bagi orang tua dalam meng asuh anak dengan gangguan perkembangan saraf dapat membantu pe neliti akan berbagai kesulitan yang harus orang tua hadapi. Kesulit an yang orang tua hadapi berawal dari keanehan dan kejanggalan perilaku yang ditampilkan anak tidak sesuai dengan tahapan perkem bangan anak pada umumnya, misal anak belum mampu berbicara di saat usianya dua tahun, anak lebih senang bermain sendiri, anak menampilkan perilaku berulangulang, kerap menjerit dan cenderung tantrum. Keterlambatan perkembangan umumnya didapati pada anak berusia dua tahun. Untuk memastikannya maka Ibu dan Ayah mem bawa anak kepada para profesional (misal: dokter dan psikolog).
Pada setiap orang tua berbeda proses dalam menerima anak, dan perlu digarisbawahi bahwa menerima di sini dalam arti bukan hanya sekadar menerima kondisi fisik anaknya mengalami ganggu an perkembangan, tetapi juga ditandai dengan keikhlasan dalam me nerima anak, orang tua memasrahkan segala sesuatu yang Tuhan be rikan merupakan pemberianNya yang terbaik, kemudian orang tua juga memaknai perannya dan bertanggung jawab serta ada usaha untuk memberikan pengasuhan yang terbaik demi perkembangan anak menjadi optimal.
Terdapat beberapa orang tua yang membutuhkan waktu lama untuk dapat bangkit dan menerima kondisi anaknya, namun didapati juga orang tua yang membutuhkan waktu singkat untuk segera bang kit, menerima kondisi anaknya dan melakukan usahausaha untuk mengatasi masalah dengan cara yang tepat atau disebut dengan strategi koping. Strategi ko
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
179
ping merupakan usaha yang dilakukan seseorang untuk membantu mengubah kognitif dan perilaku agar dapat mengatasi tekanan atau masa lah yang dirasakannya. Strategi koping yang tepat akan membantu me re ka beradaptasi secara positif sehingga menjadi lebih kuat dan tidak mu dah mengalami stres dalam menjalankan tugasnya sebagai pengasuh anak (Mukhtar, 2017).
C. PENELITIAN TERKAIT PERAN KOPINGBeratnya hambatan yang dialami anak autis berdampak pada kesulitan
yang dirasakan orang tua selama proses pengasuhan. Orang tua tidak hanya mengalami kesulitan selama merawat anak autis, na mun banyak sumber stres lain yang harus dihadapi orang tua selain kondisi anak, misalnya sikap yang kurang hangat ditunjukkan orang lain terkait kondisi anak, tekanan psikologis yang dirasakan orang tua, keluarga inti yang belum bisa menerima anak, dan besarnya bia ya yang harus dipersiapkan dalam merawat anak dengan gangguan perkembangan saraf. Faktor usia anak dan gejala keparahan anak (In gersol dan Hambrick, 2011), kepribadian orang tua (Ingersol dan Hambrick, 2011), dan keberfungsian keluarga (Altiere dan von Klu ge, 2009) dilaporkan berpengaruh terhadap kemunculan stres pengasuhan.
Demikian pentingnya peranan koping dalam mengatasi krisis selama pengasuhan senada dengan beberapa penelitian lainnya, seperti penelitian yang dilakukan oleh Gray (2006) menunjukkan bahwa orang tua melakukan koping dengan mencari informasi tentang autis, penanganannya serta bagaimana mempertahankan kestabilan emosi dan menyesuaikan diri terhadap pengalaman negatif selama meng asuh anak. Informasi yang dimiliki orang tua adalah salah satu faktor yang memengaruhi penerimaan orang tua (Ogretir & Ulutas, 2009).
Beberapa penelitian telah menyoroti manfaat dari sejumlah strategi koping dan sumber koping pada keluarga yang memiliki anak berkebutuhan, salah satunya penelitian yang dilakukan Bristol (1984) menjelaskan bahwa orang tua merasakan evaluasi positif akan peng asuhan langsung pada anak mereka (misal, yakin bahwa program anak saya merupakan pemikiran keluarga yang terbaik). Sejumlah penelitian menjelaskan bahwa fungsi koping juga dapat membantu keluarga “menumbuhkan kembali” diri mereka sendiri setelah kiris yang dialami, seperti integrasi keluarga, organisasi dan kemampuan beradaptasi (GavidiaPayne & Stoneman, 1997).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
180
Mencari informasi tentang kondisi anak dengan gangguan perkembang an saraf termasuk salah satu dari strategi koping yang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Rochmani (2014) tentang efektivitas in ter vensi literasi dengan dukungan internet (literasi care au tis) dapat mening katkan penerimaan orang tua. Orang tua yang ti dak memahami gejala atau karakteristik anak dan penanganannya dapat dikategorikan memi liki literasi kesehatan yang rendah. Litera si kesehatan merupakan kemam puan untuk memperoleh, membaca, memahami, dan menggunakan infor masi kesehatan untuk membuat keputusan yang tepat dan mengikuti instruksi pengobatan yang harus dilakukan (Reber & Reber, 2010; Roundtable on Health Literacy, 2012; Vandenbus, 2007, dalam Rochmani, 2014). Penelitian yang dilakukan oleh Futuhiyat (2004) tentang pengetahuan orang tua tentang autis terhadap sikap penerimaan orang tua terhadap anaknya yang mengalami gangguan spektrum autis, hasilnya menunjukkan nilai korelasi (r = 0,728) dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan orang tua tentang autis maka orang tua akan semakin menerima kondisi anaknya yang mengalami gangguan spektrum autis.
Lai dan Oei (2014) telah melakukan review terhadap 37 tulisan tentang strategi koping orang tua dan pengasuh yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini anak autis), tujuannya adalah: 1) tematema yang mendasarinya; 2) faktor yang berkontribusi; 3) hasil psikologis terkait anak autis dan strategi ko ping yang dilakukan orang tua/pengasuh. Hasilnya mengungkapkan bahwa terdapat dua koping yang sering digunakan, yaitu problem-focused coping (45,9%) dan dukungan sosial (37,8%). Strategi koping ini dipengaruhi oleh: 1) karakte ristik demografi (jenis kelamin, usia, pendidikan, pendapatan, bahasa) dan atribut psikologis (kepribadian, nilai budaya, opimisme, sense of cohe-rence, kesehatan emosional, gaya koping; 2) karakteristik anak (usia, jenis kelamin, kondisi medis, kemampuan adaptif dan kognitif, kesulitan bahasa, dan perilaku ber masalah); 3) variabel situasi (ketersediaan treatment, fungsi keluarga, rujukan dokter untuk mendukung sumber daya).
Review yang dilakukan Lai dan Oei (2014) memunculkan bebe rapa tema penting khususnya berdasarkan penelitian kualitatif ter kait penggunaan koping orang tua yang memiliki anak autis, yaitu: mencari treat ment dan informasi; mencari dukungan sosial; penilai an kembali dan refram-ing; penyesuaian dan memenuhi kebutuhan anak; spiritualitas; mencari waktu istirahat. Temuan ini menyoroti penggunaan problem-focused cop ing (treatment/intervensi untuk anak, reappraisal, dan reframing) dan emotion-focused coping (dukung an sosial, spiritualitas, dan waktu istirahat) pada
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
181
orang tua yang me miliki anak autis. Berdasarkan penelitian kuantitatif, umumnya riset menggunakan alat ukur Brief COPE, COPE, FCOPES, CHIP, dan WOC. Riset berdasarkan Brief COPE mengungkapkan empat do main pendekatan koping stres yang relevan pada orang tua yang memiliki anak autis, yaitu: penghindaran aktif (active avoidance/disengage m ent; fokus masalah (problem-focused/engagement; koping positif (po si tive coping/cognitive reframing; religius dan koping penolakan (religious and denial co-ping/distraction (Benson, 2010, dalam Lai dan Oei, 2014). Berdasarkan alat ukur FCOPES, ditemukan tema penting, yaitu: reframing kognitif, dan dukungan sosial. Berdasarkan alat ukur CHIP didapati tema penting, yaitu dukungan sosial, integrasi keluarga, kerja sama, menjadi optimis terhadap situasi stres, mempertahankan harga diri dan stabilitas psikologis, memahami kondisi anak melalui profesional. Berdasarkan alat ukur WOC ditemukan tema penting, yaitu: orang tua cenderung melakukan escape untuk mengelola stres mereka.
Koping yang dilakukan orang tua ternyata juga berbedabeda pada setiap budayanya. Terdapat perbedaan strategi koping antara orang tua Barat dengan orang tua Asia yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf (dalam hal ini anak autis) (Sawang dkk., 2006). Pada orang tua Asia cenderung menggunakan problem-focused coping yang bersifat kolektivistik, seperti mencari treatment dan mengumpulan bantu an dari dukungan orang lain, sementara orang tua Barat fokus pada keuntungan diri yang bersifat individualistic, cenderung self-focused coping seperti passive appraisal dan avoidance (Sawang dkk., 2006).
Pada sepuluh tahun terakhir ini, penelitian tentang peran koping dalam menurunkan stres pengasuhan orang tua sudah banyak dilakukan, mengingat kebermanfaatan dari penggunaan strategi ko ping dalam memberdayakan kondisi psikologis orang tua, maka pe nu lis telah merangkum beberapa riset terbaru terkait peran koping dalam membantu orang tua selama mengasuh anak dengan ganggu an perkembangan saraf (dalam hal ini pada anak dengan gangguan spectrum autis) (dapat dilihat pada Tabel 5).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
182
Tabe
l 5. P
ENEL
ITIAN
TENT
ANG
PERA
N KOP
ING
PADA
ORA
NG TU
A YAN
G ME
MILIK
I ANA
K DEN
GAN G
ANGG
UAN S
PEKT
RUM
AUTIS
Pene
liti
Judu
l Pen
eliti
anPa
rtis
ipan
Met
ode
Tem
uan
Lutz
, Hei
di,
R; P
atte
rson
, Ba
rbar
a;
Klei
n, Je
an.
(201
2)
Copi
ng w
ith a
utism
: A
jour
ney
tow
ard
adap
tatio
n
Seju
mla
h 16
or
ang
ibu-
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
di
Met
ode
kual
itatif
den
gan
pend
ekat
an n
aras
i des
krip
si.
Terd
apat
6 te
ma
pent
ing
: pro
ses
men
uju
adap
tasi
; per
asaa
n be
rduk
a da
n m
arah
; men
cari
jaw
aban
; teg
ang;
duk
unga
n, s
osia
lisas
i, da
n sp
iritu
alita
s; m
eras
a be
rsal
ah d
an ra
gu; m
engh
arga
i dan
m
ende
finis
ikan
keh
idup
an d
an b
erba
gai p
eran
; kek
ecew
aan
dan
peng
orba
nan;
mer
enca
naka
n m
asa
depa
n; a
dapt
asi;b
erdi
skus
i dan
be
rimpl
ikas
i unt
uk p
eraw
atan
.Be
nson
, Pau
l R.
(200
9)Co
ping
, dist
ress
, and
w
ell b
eing
in m
othe
rs o
f ch
ildre
n w
ith a
utism
Seba
nyak
113
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
di
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
ex
plor
ator
y fa
ctor
ana
lysis
dan
m
ultip
le re
gres
sion.
Berd
asar
kan
hasi
l exp
lora
tory
fact
or a
naly
sis d
idap
ati e
mpa
t dim
ensi
ko
ping
: eng
agem
ent c
opin
g, d
istra
ctio
n co
ping
, dise
ngag
emen
t cop
ing,
da
n co
gniti
ve re
fram
ing
copi
ng.
Ibu
men
ggun
akan
kop
ing
men
ghin
dar/
avoi
dant
cop
ing
(dist
ract
ion
dan
dise
ngag
emen
t) m
aka
dila
pork
an b
erhu
bung
an d
alam
pe
ning
kata
n de
pres
i dan
rasa
mar
ah, s
emen
tara
pen
ggun
aan
cogn
itive
refr
amin
g be
rhub
unga
n da
lam
pen
ingk
atan
kes
ejah
tera
an
ibu.
Kar
akte
ristik
ana
k te
ruta
ma
kepa
raha
n pe
rilak
u m
alad
aptif
ana
k m
emod
eras
i efe
k ko
ping
terh
adap
kon
disi
ibu.
Jone
s &
Pa
ssey
. (2
004)
Fam
ily a
dapt
atio
n,
copi
ng a
nd re
sour
ces:
Pa
rent
s of c
hild
ren
with
dev
elop
men
tal
disa
bilit
ies a
nd b
ehav
ior
prob
lem
s
Seba
nyak
48
kelu
arga
(ora
ng
tua,
kak
ek,
nene
k) y
ang
mem
iliki
ana
k au
tis d
i Ing
gris
Anal
isis
: reg
resi
erg
anda
Alat
uku
r: ch
ild a
nd p
aren
t ch
arac
teris
tics;
par
enta
l str
ess;
th
e fa
mily
stre
ss a
nd su
ppor
t qu
estio
nnai
re; f
amily
reso
urce
s;
copi
ng st
rate
gies
; loc
us o
f con
trol
.
Pred
ikto
r ter
kuat
str
es p
enga
suha
n ad
alah
tida
k ad
ekua
t kop
ing
kelu
arga
dan
locu
s of c
ontr
ol in
tern
al o
rang
tua.
Ora
ng tu
a ya
ng
mey
akin
i keh
idup
an m
erek
a tid
ak d
ikon
trol
ole
h an
ak d
enga
n ga
nggu
an p
erke
mba
ngan
yan
g di
alam
inya
, ker
ja s
ama,
opt
imis
, ce
nder
ung
men
unju
kkan
ting
kat s
tres
yan
g re
ndah
.
Hig
gins
,D
aryl
; Bai
ley,
Su
san
R;
Pear
ce, J
ulia
n C
. (20
05)
Fact
or a
ssoc
iate
d w
ith fu
nctio
ning
styl
e an
d co
ping
stra
tegi
es
of fa
mili
es w
ith a
ch
ild w
ith a
n au
tism
sp
ectr
um d
isord
er
Seba
nyak
53
peng
asuh
uta
ma
dari
anak
aut
is
di V
icto
ria,
Aust
ralia
Anal
isis
: re
gres
i ber
gand
aAl
at u
kur:
fam
ily a
dapt
atio
n an
d co
hesio
n ev
alua
tion
scal
es (F
ACES
II)
; the
qua
lity
mar
riage
inde
x (Q
MI);
th
e ro
senb
erg
self
este
em sc
ale;
the
copi
ng h
ealth
inve
ntor
y fo
r pat
ient
s.
Para
pen
gasu
h di
lapo
rkan
mem
iliki
har
ga d
iri y
ang
seha
t, m
eski
pun
men
gala
mi k
ebah
agia
an p
erni
kaha
n ya
ng re
ndah
. Str
ateg
i kop
ing
buka
nlah
pre
dikt
or y
ang
sign
ifika
n pa
da k
ebah
agia
an k
elua
rga,
ad
apta
si k
elua
rga,
koh
esi k
elua
rga,
dan
har
ga d
iri).
Kebu
tuha
n un
tuk
prog
ram
duk
unga
n m
enar
getk
an k
elua
rga
dan
hubu
ngan
var
iabe
l ka
rakt
eris
tik a
nak
dan
peril
akun
ya.
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
183
Pene
liti
Judu
l Pen
eliti
anPa
rtis
ipan
Met
ode
Tem
uan
Tara
kesh
war
,N
alin
i;Pa
rgam
ent,
Kenn
eth
(200
1)
Relig
ious
cop
ing
in
fam
ilies
of c
hild
ren
with
au
tism
Seba
nyak
45
oran
g tu
a da
ri an
ak a
utis
di
nort
hwes
t Ohi
o.
Kuan
titat
if: re
gres
i ber
gand
a Ku
alita
tif: w
awan
cara
sem
istr
uktu
rAl
at u
kur:
varia
bel d
emog
rafi;
pe
nguk
uran
pem
aham
an a
gam
a se
cara
men
ylur
uh; B
rief-
RCO
PE
(kop
ing
relig
ius)
; Cen
ter f
or
Epid
emio
logi
cal R
esea
rch-
Dep
ress
ed
Moo
d Sc
ale
(pen
yesu
aian
ps
ikol
ogis
); St
ress
-Rel
ated
Gro
wth
Sc
ale.
Terd
apat
per
an a
gam
a se
baga
i kop
ing
pada
kel
uarg
a ya
ng m
emili
ki
anak
aut
is. K
opin
g re
ligiu
s po
sitif
ber
hubu
ngan
den
gan
pem
akna
an
terh
adap
aga
ma
men
jadi
lebi
h ba
ik (m
isal
; sem
akin
dek
at d
nega
n Tu
han
dan
peni
ngka
tan
spiri
tual
itas)
dan
pen
ingk
atan
stre
ss-r
elat
ed
grow
th. K
opin
g re
ligiu
s ne
gatif
ber
hubu
ngan
den
gan
peni
ngka
tan
depr
esi d
an re
ndah
nya
pem
akna
an a
kan
agam
a.
Kani
el,
Shlo
mo
(201
1)
Com
paris
on b
etw
een
mot
hers
and
fath
ers
in c
opin
g w
ith a
utist
ic
child
ren:
A m
ultiv
aria
te
mod
el
Seba
nyak
176
oran
g tu
a (8
8 ib
u da
n 88
aya
h)
dari
anak
aut
is d
i Is
rael
Stru
ctur
al E
quat
ion
Mod
ellin
g (S
EM) d
enga
n pa
th a
naly
sis.
Alat
uku
r : se
nse
of c
oher
ence
scal
e;
locu
s of c
ontr
ol sc
ale;
the
fam
ily
supp
ort s
cale
; the
que
stio
nnai
re o
f re
sour
ces a
nd st
ress
(QRF
-S);
the
men
tal h
ealth
scal
e; th
e qu
ality
of
mar
riage
scal
e.
Mem
aham
i fak
tor p
entin
g be
rkon
trib
usi t
erha
dap
peny
esua
ian
oran
g tu
a.Te
rdap
at h
ubun
gan
sum
ber p
siko
logi
s (d
ukun
gan
sosi
al, l
ocus
of
cont
rol i
nter
nal d
an e
kste
rnal
, dan
sens
e of
coh
eren
ce) d
an s
tres
pe
ngas
uhan
. Bai
k ay
ah d
an ib
u m
enga
lam
i str
es p
enga
suha
n tin
ggi,
perb
edaa
nnya
terli
hat d
ari v
aria
bel k
eseh
atan
men
tal d
an k
ualit
as
pern
ikah
an.
Hal
l, H
eath
er,
R; G
raff,
C
arol
yn
(201
2)
Mal
adap
tive
beha
vior
s of
chi
ldre
n w
ith a
utism
: pa
rent
supp
ort,
stre
ss,
and
copi
ng.
Seba
nyak
70
ora
ng tu
a ka
ndun
g (4
8 ib
u;
22 a
yah)
yan
g m
emili
ki a
nak
autis
.
Kuan
titat
if de
ngan
pen
deka
tan
kore
lasi
; pen
eliti
an c
ross
sect
iona
l.Al
at u
kur :
cop
ing
heal
th in
vent
ory
for p
aren
ts (C
HIP
); fa
mily
supp
ort
scal
e (F
FS);
pare
ntin
g st
ress
inde
x-sh
ort f
orm
; vin
elan
d ad
aptiv
e be
havi
or sc
ale,
seco
nd e
ditio
n.
Peng
guna
an m
odel
Dou
ble
ABC
X, h
asil
pene
litia
n m
enun
jukk
an
terd
apat
hub
unga
n an
tara
pen
ingk
atan
per
ilaku
mal
adap
tif
inte
rnal
izin
g te
rhad
ap p
enin
gkat
an s
tres
pen
gasu
han.
Luth
er, E
dit;
Can
ham
,D
aryl
;Cu
reto
n,Vi
rgin
ia.
(200
5)
Copi
ng a
nd so
cial
su
ppor
t for
par
ents
of
child
ren
with
aut
ism
Seba
nyak
72
kelu
arga
yan
g m
emili
ki a
nak
autis
di n
orth
ern
Cal
iforn
ia.
Des
ain
desk
ripsi
sur
vei
Alat
uku
r: so
cial
supp
ort i
ndex
, th
e fa
mily
cris
is or
ient
ed p
erso
nal
eval
uatio
n sc
ales
.
Tant
anga
n da
n st
reso
r ber
hubu
ngan
den
gan
peny
edia
an
peng
asuh
an u
ntuk
ana
k au
tis b
erda
mpa
k pa
da k
elua
rga,
pen
didi
k,
dan
tena
ga p
rofe
sion
al.
Stra
tegi
kop
ing
dari
duku
ngan
spi
ritua
l, pe
nila
ian
pasi
f, da
n re
fram
ing
belu
m b
anya
k di
pela
jari
khus
usny
a di
ling
kung
an s
ekol
ah.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
184
Pene
liti
Judu
l Pen
eliti
anPa
rtis
ipan
Met
ode
Tem
uan
Sivb
erg,
Be
ngt (
2002
)Co
ping
stra
tegi
and
pa
rent
al a
ttitu
ed, a
co
mpa
rison
of p
aren
ts
with
chi
ldre
n w
ith
autis
tic sp
ectr
um
diso
rder
s and
par
ents
w
ith n
on-a
utist
ic
child
ren
Seba
nyak
132
oran
g tu
a te
rbag
i ke
dal
am 2
ke
lom
pok
(ora
ng
tua
dari
anak
au
tis, n
=66;
da
n ke
lom
pok
kont
rol,
n=66
).
Met
ode
kuan
titat
if de
ngan
ana
lisis
pa
ired
sam
ple
t-te
st d
an k
orel
asi
pear
son.
Alat
uku
r: se
nse
of c
oher
ence
sca
le
(kop
ing
stra
tegi
); pu
rpos
e in
life
te
st (P
IL-R
) pro
soci
al s
kills
; var
iabe
l de
mog
rafi.
Terd
apat
per
beda
an a
ntar
a ke
lom
pok
ibu
yang
mem
iliki
ana
k au
tis
deng
an k
elom
pok
kont
rol.
Peng
guna
an k
opin
g st
rate
gi le
bih
bany
ak
dila
kuka
n pa
da ib
u ya
ng m
emili
ki a
nak
autis
dib
andi
ngka
n ke
lom
pok
kont
rol.
Has
il m
enun
jukk
an te
rdap
at e
fek
peng
uran
gan
stre
s ba
ik p
ada
kelo
mpo
k ib
u-au
tis d
an k
elom
pok
kont
rol.
Varia
nce
sebe
sar 5
0%
dari
sens
e of
coh
eren
ce m
enyu
mba
ng u
ntuk
kel
ompo
k ib
u-au
tis d
an
30%
unt
uk k
elom
pok
kont
rol.
Ter
dapa
t per
beda
an g
ende
r di m
ana
ayah
men
unju
kkan
sens
e of
coh
eren
ce y
ang
lebi
h tin
ggi,
seda
ngka
n ib
u m
enga
lam
i pen
ingk
atan
bur
nout
dal
am m
enga
suh
anak
.M
onte
s,
Gui
llerm
o;
Hal
term
an,
Jill.
(201
8)
Psyc
holo
gica
l fu
nctio
ning
and
cop
ing
amon
g m
othe
rs o
f ch
ildre
n w
ith a
utism
: A
pop
ulat
ion-
bas
ed
stud
y
Seba
nyak
364
ibu
yang
mem
iliki
an
ak a
utis
Anal
isis
: re
gres
i ber
gand
a Al
at
ukur
: pa
rent
al st
ress
inde
x; p
aren
tal
attit
udes
abo
ut c
hild
rear
ing;
cop
ing
with
par
entin
g; p
aren
t sup
port
; chi
ld
Tuju
an p
enel
itian
: mem
iliki
ana
k au
tis b
erda
mpa
k ne
gatif
pad
a ke
berf
ungs
ian
psik
olog
is ib
u.Ib
u m
enga
lam
i tin
gkat
str
es y
ang
tingg
i dan
rend
ah p
ada
kese
hata
n m
enta
l dib
andi
ngka
n ib
u pa
da p
opul
asi u
mum
nya,
mes
kipu
n ib
u m
emili
ki h
ubun
gan
yang
dek
at d
enga
n an
akny
a da
n ko
ping
yan
g le
bih
baik
. Mem
iliki
ana
k au
tis ti
dak
berh
ubun
gan
deng
an re
ndah
nya
duku
ngan
sos
ial.
Lai,
Wei
Wei
; G
oh, T
ze Ju
i; O
ei, T
ian;
Su
ng, M
in.
(201
5)
Copi
ng a
nd w
ell-b
eing
in
par
ents
of c
hild
ren
with
aut
ism
spe
ctru
m
diso
rder
s (AS
D)
Seba
nyak
73
oran
g tu
a da
ri an
ak a
utis
; dan
63
ora
ng tu
a da
ri an
ak d
enga
n pe
rkem
bang
an
norm
al.
Kuan
tita
tif d
enga
n an
alis
is
MAN
OVA
dan
chi
-squ
are,
pos
t ho
c.Al
at u
kur:
vari
abel
dem
ogra
fi;
pare
ntin
g st
ress
inde
x-sh
ort f
orm
(P
SI-S
F); D
epre
ssio
n an
xiet
y st
ress
sc
ales
(DAS
S-21
); Br
ief C
OPE
;
Tuju
an: m
engu
ji ps
ycho
logi
cal w
ell-b
eing
dan
kop
ing.
Ora
ng tu
a da
ri a
nak
auti
s di
lapo
rkan
sec
ara
sign
ifika
n le
bih
men
gala
mi g
ejal
a st
res
peng
asuh
an (m
isal
pan
dang
an y
ang
nega
tif,
rend
ahny
a ke
puas
an a
kan
hubu
ngan
kel
ekat
an d
enga
n an
ak),
mem
iliki
pen
gala
man
kes
ulit
an m
enan
gani
per
ilaku
ana
k au
tis,
lebi
h m
enga
lam
i gej
ala
depr
esi,
dan
akti
f men
ggun
akan
ac
tive-
avoi
danc
e co
ping
dib
andi
ngka
n or
ang
tua
dari
ana
k de
ngan
pe
rkem
bang
an n
orm
al.
Lyon
s, A
my;
Le
on, S
cott
; Ph
elps
, C
arol
yn, E
; D
unle
avy,
Al
ison
. (20
10)
The
impa
ct o
f chi
ld
sym
ptom
sev
erity
on
stre
ss a
mon
g pa
rent
s of
chi
ldre
n w
ith A
SD:
The
mod
erat
ing
role
of
copi
ng st
yles
.
Seba
nyak
77
peng
asuh
uta
ma
dari
ana
k au
tis
(68
ibu,
4 a
yah,
2
kake
k/ne
nek,
3
lain
nya)
Anal
isis
: re
gres
i ber
gand
a Al
at
ukur
: var
iabe
l dem
ogra
fi; C
ARS-
P (g
ejal
a ke
para
han
auti
s); t
he
QRS
-F (s
tres
); th
e C
ISS
(kop
ing)
.
Tuju
an: m
engu
ji da
mpa
k ge
jala
kep
arah
an a
utis
dan
str
ateg
i ko
ping
ora
ng tu
a (t
ask-
orie
nted
- em
otio
n or
ient
ed- s
ocia
l div
ersi
on,
dist
ract
ion)
terh
adap
str
es o
rang
tua
(mas
alah
ora
ng tu
a da
n ke
luar
ga, p
esim
is, k
arak
teri
stik
ana
k, k
etid
akm
ampu
an fi
sik)
.H
asil:
kop
ing
emot
ion-
orie
nted
ber
hubu
ngan
den
gan
mas
alah
ora
ng
tua
dan
kelu
arga
;
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
185
Pene
liti
Judu
l Pen
eliti
anPa
rtis
ipan
Met
ode
Tem
uan
kopi
ng ta
sk-o
rient
ed b
erhu
bung
an d
enga
n re
ndah
nya
keti
dakm
ampu
an fi
sik;
gej
ala
kepa
raha
n au
tis
mer
upak
an p
redi
ktor
ut
ama
stre
s or
ang
tua;
kop
ing
emot
ion-
orie
nted
mem
oder
asi
hubu
ngan
ant
ara
stre
s or
ang
tua
dan
geja
la a
utis
.Se
ymou
r,M
oniq
ue;
Woo
d,C
athe
rine
;G
iallo
,Re
becc
a;Je
llett
, Ra
chel
.(2
013)
Fatig
ue, s
tres
s an
d co
ping
in m
othe
rs o
f ch
ildre
n w
ith a
n au
tism
sp
ectr
um d
isor
der
Seba
nyak
65
ibu
yag
mem
iliki
an
ak a
utis
.
Stru
ctur
al e
quat
ion
mod
ellin
g (S
EM).
Alat
uku
r: va
riab
el d
emog
rafi;
th
e br
ief d
evel
opm
enta
l beh
avio
r ch
eckl
ist-
P24
(per
ilaku
ber
mas
alah
an
ak);
the
depr
essi
on, a
nxie
ty a
nd
stre
ss sc
ale-
21 (D
ASS-
21);
fatig
ue
asse
ssm
ent s
cale
(FAS
); th
e br
ief
COPE
.
Tuju
an: m
enga
suh
anak
aut
is m
enim
bulk
an k
elel
ahan
dan
be
rdam
pak
pada
kes
ehat
an o
rang
tua
dan
kese
jaht
eraa
n; M
engu
ji pe
ngar
uh k
elel
ahan
ibu
dan
kopi
ng te
rhad
ap h
ubun
gan
anta
ra
peri
laku
ber
mas
alah
ana
k da
n st
res
peng
asuh
an ib
u.H
asil
: kel
elah
an ib
u m
emed
iasi
hub
unga
n an
tara
per
ilaku
be
rmas
alah
ana
k da
n st
res
peng
asuh
an ib
u; P
erila
ku b
erm
asal
ah
anak
ber
kont
ribu
si m
enim
bulk
an s
tres
pen
gasu
han
ibu;
Pen
garu
h ke
tida
kefe
ktifa
n st
rate
gi k
opin
g da
pat m
enin
gkat
kan
stre
s.
Dab
row
ska,
A; P
isul
a, E
. (2
010)
Pare
ntin
g st
ress
an
d co
ping
styl
es in
m
othe
rs a
nd fa
ther
s of
pre
-sch
ool c
hild
ren
with
aut
ism
and
Dow
n sy
ndro
me
Seba
nyak
162
oran
g tu
a (5
1 or
ang
tua
dari
auti
s; 5
4 or
ang
tua
dari
ana
k do
wn
synd
rom
e;
57 o
rang
tua
dari
anak
den
gan
perk
emba
ngan
no
rmal
)
Anal
isis
: Reg
resi
ber
gand
a, p
ost
hoc.
Alat
uku
r: va
riab
el d
emog
rafi;
the
Que
stio
nnai
re o
f Res
ourc
es a
nd
Stre
ss (Q
RS);
Copi
ng in
vent
ory
for
stre
ssfu
l situ
atio
ns (C
ISS)
.
Tuju
an: m
engu
ji st
res
ibu
dan
ayah
yan
g m
emili
ki a
nak
pras
ekol
ah
auti
s da
n do
wn
synd
rom
e; M
engu
ji st
res
peng
asuh
an d
an k
opin
g.H
asil:
ora
ng tu
a ya
ng m
emili
ki a
nak
auti
s le
bih
men
gala
mi s
tres
pe
ngas
uhan
; Ibu
dar
i ana
k au
tis
lebi
h ti
nggi
men
gala
mi s
tres
di
band
ingk
an a
yah;
Tid
ak te
rdap
at p
erbe
daan
ant
ara
oran
g tu
a da
ri a
nak
dow
n sy
ndro
me
deng
an a
nak-
anak
per
kem
bang
an
norm
al; P
ada
oran
g tu
a da
ri a
nak
auti
s be
rbed
a m
enun
jukk
an
skor
yan
g be
rbed
a pa
da k
opin
g so
cial
div
ersi
an; K
opin
g em
otio
n-or
ient
ed m
erup
akan
pre
dikt
or p
ada
stre
s or
ang
tua
auti
s da
n do
wn
synd
rom
e; K
opin
g ta
sk-o
rient
ed m
erup
akan
pre
dikt
or s
tres
ora
ng
tua
dari
ana
k de
ngan
per
kem
bang
an n
orm
al.
Luon
g, J;
Yo
der,
M K
; C
anha
m, D
. (2
009)
Sout
heas
t asi
an
pare
nts
rais
ing
a ch
ild w
ith a
utism
: a
qual
itativ
e in
vest
igat
ion
of c
opin
g st
yles
.
Seba
nyak
9
oran
g tu
a da
ri an
ak a
utis
Met
ode
kual
itat
if de
ngan
pe
ngam
bila
n da
ta w
awan
cara
m
enda
lam
dan
ope
n-en
ded
ques
tions
.
Tuju
an: m
engu
ji ef
ek a
utis
pda
kel
uarg
a, k
opin
g, d
an d
ukun
gan.
Te
rdap
at s
embi
lan
kopi
ng: d
enia
l/pa
ssiv
e co
ping
; em
pow
erm
ent;
redi
rect
ing
ener
gy; s
hift
ing
of fo
cus;
rear
rang
ing
life
and
rela
tions
hip;
ch
ange
exp
ecta
tions
; soc
ial w
ithdr
awal
; spi
ritua
l cop
ing;
acc
epta
nce.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
186
Pene
liti
Judu
l Pen
eliti
anPa
rtis
ipan
Met
ode
Tem
uan
Zabl
otsk
y,Be
njam
in;
Brad
shaw
,C
athe
rine;
Stua
rt,
Eliz
abet
h.(2
013)
.
The
asso
ciat
ion
betw
een
men
tal h
ealth
, st
ress
, and
cop
ing
supp
orts
in m
othe
rs o
f ch
ildre
n w
ith a
utism
sp
ectr
um d
isord
er
Seba
nyak
667
ib
u da
ri an
ak
autis
Anal
isa:
Reg
resi
ber
gand
a Al
at
ukur
: dia
gnos
is a
nak
men
gala
mi
autis
, lap
oran
gan
ggua
n ps
ychi
atric
, m
ater
nal m
enta
l hea
lth, i
ndik
ator
st
res,
cop
ing,
dem
ogra
phic
var
iabl
es
Tuju
an :
men
guji
stre
s da
n ps
ycho
logi
cal w
ell b
eing
Has
il : I
bu d
ari a
nak
autis
men
gala
mi s
res
peng
asuh
an le
bih
tingg
i, be
risik
o re
ndah
nya
kese
hata
n m
enta
l; St
rate
gi k
opin
g ya
ng b
iasa
ib
u la
kuka
n ad
alah
men
dapa
tkan
duk
unga
n da
ri lin
gkun
gan
dan
men
dapa
tkan
duk
unga
n em
osio
nal.
Hal
l & G
raff
. (2
012)
The
rela
tions
hips
am
ong
adap
tive
beha
vior
s of
chi
ldre
n w
ith a
utis
m s
pect
rum
di
sord
er, t
heir
fam
ily
supp
ort n
etw
ork,
pa
rent
al s
tres
s, a
nd
pare
ntal
cop
ing.
Seba
nyak
75
peng
asuh
uta
ma
dari
anak
aut
is.
Peng
ambi
lan
sam
pel d
nega
n pu
rpos
ive
sam
plin
g.
Des
krip
tif k
uant
itatif
, ana
lisis
ko
rela
si, p
enel
itian
cro
ss se
ctio
nal.
Alat
uku
r: de
mog
raph
ic fo
rm;
Copi
ng h
ealth
inve
ntor
y fo
r par
ents
(C
HIP
); Fa
mily
sup
port
sca
le (F
SS);
Pare
ntin
g St
ress
inde
x-sh
ort f
orm
; Vi
nela
nd A
dapt
ive
Beha
vior
Sca
les,
Se
cond
Edi
tion.
Tuju
an: m
engu
ji pe
rilak
u ad
aptif
ana
k au
tis, d
ukun
gan
kelu
arga
, st
res
oran
g tu
a, k
opin
g or
ang
tua
dan
kete
rhub
unga
n an
tar v
aria
bel
ini.
Has
il: P
erila
ku a
dapt
if an
ak a
utis
ber
kore
lasi
neg
atif
terh
adap
pe
rlaku
an o
rang
tua
yang
ber
foku
s un
tuk
teru
s m
enca
ri da
n em
nggu
naka
n du
kung
an s
osia
l, m
engh
arga
i diri
, dan
pen
guat
an
emos
iona
l; Pa
ndan
gan
oran
g tu
a te
rhad
ap d
ukun
gan
kelu
arga
m
erek
a be
rhub
unga
n se
cara
pos
itif d
enga
n pe
rlaku
an o
rang
tua,
te
rkon
sent
rasi
pad
a pe
nyes
uaia
n ke
luar
ga, k
erja
sam
a, m
emak
nai
seca
ra p
ositi
f situ
asi y
ang
ada.
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
187
D. PERAN KOPING RELIGIUS TERHADAP STRES PENGASUHANAgama berperan dalam pengaturan strategi yang dilakukan orang
tua untuk mengatasi masalahmasalah yang menekan dan menjadi sumber stres selama mengasuh anak dengan gangguan perkembangan saraf. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Daradjat (1983) bahwa agama dapat berfungsi sebagai pembimbing dalam kehidup an, penolong dalam kesulitan dan mampu menenteramkan batin ba gi individu yang mengalami kegelisahan. Jalaluddin (2008) juga me ne kankan bahwa terdapat hubungan antara kondisi kejiwaan dan religiusitas yang terletak pada sikap pencerahan diri seseorang terha dap suatu kekuasaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Sikap pasrah ini akan memberikan optimis pada diri seseorang, kemudian mendorong mun culnya perasaan positif seperti perasaan nyaman, bahagia, puas dan merasa aman.
Pargament (1991) memperkenalkan bagaimana religiusitas me mengaruhi cara mengatasi stres. Pargament juga menjelaskan bahwa koping religius positif sebagai cara untuk menginterpretasikan dan be res pons terhadap permasalahan hidup yang merefleksikan hubungan dengan Tuhan, makna dan tujuan hidup, hubungan spiritual dengan orang lain, dan pertolongan Tuhan. Ano dan Vasconcelles (2005) da lam studi metaanalisis menyimpulkan bahwa koping religius positif memiliki kaitan yang positif dengan adaptasi terhadap stresor. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif antara koping religius positif dengan penyesuaian psikologis positif, ada hubungan negatif antara koping religius positif dengan penyesaian psikologis negatif, ada hubungan negatif antara koping religius negatif dengan penyesuaian psikologis positif, ada hu bungan positif antara koping religius negatif dengan penyesuaian diri negatif. Religiusitas juga berfungsi sebagai perantara menuju sumber resiliensi. Beberapa hal yang menjadi sumber resiliensi yaitu tingkat kecerdasan yang tinggi, memiliki harapan atau optimis, emosi positif, dan sanak sau dara yang menyayangi serta melindungi (Goldstein & Brooks, 2005).
Pargament (1992) juga mengembangkan koping religius model transaksional oleh Lazarus & Folkman. Menurut Pargament, agama dapat men jadi bagian sentral dari konstruksi koping, misalnya sese orang dapat ber bicara tentang peristiwa religius, penilaian religius, kegiatan koping religius, dan tujuan religius dalam koping. Sebagai bagian proses koping tran saksional, agama mempunyai dua arah pe ran. Pertama, agama dapat menyumbang proses koping dan ke giat an koping dalam menghadapi pe ristiwa kehidupan. Sebagai con toh, dengan lebih mendekatkan diri
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
188
kepada Tuhan, yakin akan peristiwa hidup sebagai kehendak Tuhan, intensnya melaksanakan ibadah, dan rajin mengikuti kegiatankegiatan keagamaan akan sa ngat berpe nga ruh bagi orang tua untuk tetap bertahan dalam menghadapi stres kehidupan. Kedua, agama dapat menjadi hasil ko ping, diben tuk oleh elemenelemen lain yang berproses, misalnya suatu survei menun jukkan bahwa peningkatan dalam keyakinan akan terjadi setelah melahirkan anak, periode kesendirian, promosi pada pekerjaan, dan gang guan emosi. Jika dikaitkan dengan kondisi orang tua setelah anak terdiagnosis mengalami gangguan perkembangan saraf, apakah itu ADHD, intellectual disability, gangguan spectrum autis, orang tua kemudian merasakan emosiemosi negatif, seperti sedih, marah kepada Tuhan, me nya lahkan diri sendiri, menyesal, cemas, malu, depresi dan berpikiran negatif bahwa mengasuh anak yang mengalami gangguan perkembangan adalah sebuah beban karena terjadi sepanjang ren tang kehidupan anak. Bagi orang tua yang memiliki pemahaman agama baik, dan orang tua juga mendapatkan dukungan sosial dari pa sangan maupun dari keluarga, serta orang tua memiliki kepribadian cukup tangguh, maka proses penerimaannya terhadap kondisi anak akan berlangsung dengan lebih cepat.
Agama mempunyai peran penting dalam mengelola stres, agama dapat memberikan individu pengarahan/bimbingan, dukungan, dan harapan, seperti halnya pada dukungan emosi (Pargament, dalam Kas berger, 2002). Melalui berdoa, ritual dan keyakinan agama da pat membantu seseorang dalam koping pada saat mengalami stres ke hi dupan, karena adanya pengharapan dan kenyamanan (Rammo han, Rao & Subbakrishna, 2002). Osma rin, et al., (dalam Santrock, 2013) meng ungkapkan bahwa individu meng anggap agama sebagai as pek pen ting dalam hidupnya. Dengan selalu berdoa, memiliki keyakinan dasar agama yang positif, jarang cemas, jarang khawatir, dan memiliki gejala depresi yang rendah. Individu yang reli gius menunjukkan penyesuaian yang baik terhadap persitiwa kehilangan yang dihadapinya. Ketidaksiapan menghadapi peristiwa kehilangan, mendorong individu untuk menyalahkan Tuhan. Namun, ada kesa daran se iring berjalannya waktu. Agama digunakan sebagai sarana pe maknaan. Pe mak naan menggiring individu menerima kenyataan derita, lalu diikuti oleh pengembangan diri.
Religiusitas orang tua berhubungan pada peningkatan keefek tifan tek nik pengasuhan seperti berfungsi menjadi dukungan, komu nikasi dan memonitoring (Snider, Clements, Vazsonyi, 2004), bersa ma dengan pening katan kemampuan orang tua, kompetensi dan ke puasan (Dumas & NissleyTsiopinis, 2006). Shottenbauer, Spernak, dan Hellstrom, (2007)
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
189
juga menambahkan bahwa religiusitas orang tua mampu memengaruhi peningkatan keberfungsian anak, terma suk kesehatan anak, pencapaian akademik menjadi lebih baik, kete rampilan sosial juga menjadi lebih baik, dan menurunnya perilaku impulsif anak (Bartkowski, Xu & Levine, 2008), dan perkembangan moral yang lebih baik (Volling, Mahoney & Rauer, 2009).
Pemahaman orang tua akan peran agama berpengaruh positif dalam menerima, merawat anak, koping orang tua dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan anak. Hal ini terbukti dari sa lah satu tema yang muncul dari penelitian penulis adalah peran agama sebagai cara untuk koping. Tulisan yang telah dimuat dalam Jurnal Humanitas dengan judul “Proses menjadi tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spectrum autis” menjelaskan agama memiliki peran penting dalam memaknai kehidupan yang sulit. Berdasarkan katakata kunci yang didapat, maka diperoleh sembilan sub tema yang berkaitan dengan peran agama sebagai cara untuk koping, yaitu: iman, husnuzan, sabar, ikhlas me nerima anak, ikhtiar, tawakal, bersyukur, pengalaman religius, dan iba dah (Daulay, Ramdhani, Hadjam, 2018).a. Iman, yaitu keyakinan terhadap Tuhan, yang merupakan dasar ke
imanan seseorang dalam perannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Keimanan itu sendiri dapat diartikan dengan percaya. Ibu menyandarkan keyakinannya kepada Sang Pencipta sehingga mempu nyai se mangat dan kekuatan yang luar biasa di dalam berusaha untuk men capai harapan agar anaknya mengalami ke majuan dalam tumbuh kem bangnya.
b. Husnuzan, yaitu berprasangka baik atas pemberian Tuhan ke pa da ibu, termasuk diberikan anak yang mengalami gangguan per kembangan, diberikan suami dengan karakter yang berbeda dengan ibu, diberikan harta yang cukup bahkan kurang dalam me menuhi kebutuhan anak. Berprasangka baik dengan semua ke nikmatan yang Tuhan berikan memiliki makna dan hikmah tersendiri.
c. Sabar, merupakan usaha ibu dalam mengendalikan diri pada saat kondisi ekstrem (sulit dan menekan). Sabar ini terdiri dari berbagai bentuk perilaku, di antaranya: kebesaran hati dalam me nerima kondisi anak, menerima dengan lapang dada, mengen da likan emosi, tidak mudah ma rah, tidak mudah putus asa, bersikap tenang, dan tegar.
d. Ikhlas menerima anak, adalah menerima kondisi anak dengan memasrahkan jiwa ibu kepada Tuhan. Ikhlas ditunjukkan de ngan kemampuan ibu untuk tidak malu dan bersedia mencerita kan kondisi anak di
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
190
depan orang lain, mengasuh anak sematamata hanya karena Tuhan bukan karena ingin dilihat orang lain, dan keputusan ibu untuk resign dari pekerjaan agar fokus mengasuh anak. Bagi ibu, ikhlas adalah tidak menuntut, tidak mengungkit, tidak menghitung, dan tidak menyakiti.
e. Ikhtiar, yaitu usaha yang terusmenerus ibu lakukan dengan harap an anak akan mengalami kemajuan dalam perkembangannya, dan yakin usaha yang ibu lakukan tidak akan pernah siasia. Dalam hal ini usaha yang dilakukan sematamata niatnya hanya karena Tuhan.
f. Tawakal, yaitu kepasrahan ibu kepada Tuhan setelah melakukan berbagai usaha. Usaha yang ibu lakukan sematamata hanya mengharapkan “balasan” dari Tuhan. Hal ini membuat ibu akan merasa lebih tenang dan tidak mendongkol di dalam hati apabila anak belum mengalami kemajuan yang signifikan. Anak yang mengalami GSA memerlukan penanganan ekstra dan bersifat terpadu, artinya diperlukan kerja sama antara orang tua dengan tenaga profesional, ibu juga harus terlibat dan berperan aktif dalam penanganan yang dilakukan agar pengaruhnya terhadap perkembangan anak lebih optimal.
g. Bersyukur, yaitu rasa berterima kasih ibu atas kenikmatan yang Tuhan berikan kepada ibu dan keluarganya, sesulit dan seberat apa pun dalam mengasuh anak dengan GSA, sehingga ibu akan lebih tenang ketika mampu memaknai kehadiran anaknya. Halhal yang telah Tuhan berikan kepada ibu bukan saja dengan memberikan anak, tapi juga lahir dan bathin ibu menjadi lebih tenang, lebih bahagia, lebih mam pu memaknai hidup, dan mam pu mengatasi masalah kehidupan.
h. Pengalaman religius, yaitu titik awal ibu mendalami dan menye lami kehadiran Tuhan dalam kehidupannya. Ibu memiliki cerita yang berbedabeda akan pengalaman religius yang dialaminya. Secara keseluruhan, pengalaman religius ini menjadi faktor utama ibu mampu bertahan dalam mengatasi permasalahan hidup, baik permasalahan terkait pengasuhan anak maupun permasalahan dalam kehidupan rumah tangga. Semakin ibu memohon dan me minta pertolongan hanya kepada Tuhan, semakin ibu menya dari kekuatan dan kehadiran Tuhan dalam kehidupan ibu.
i. Ibadah, seperti sholat, mengaji, puasa, dan berdoa merupakan peran agama yang paling banyak dijumpai pada ibuibu selama mengasuh anak dengan GSA. Keutamaan sholat lima waktu dan ditambah dengan sholat tahajud mampu menguatkan dan memberikan ketenteram an, serta menurunkan kecemasan ibu se lama mengasuh anak. Ter dapat keyakinan pada diri ibu bahwa doa dan permintaan yang
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
191
dipanjatkannya kepada Tuhan “Sang Pemberi Kehidupan” akan dikabulkan.
Berikut ini adalah pemahaman tentang dua jenis koping religius yakni koping religius positif dan koping religius negatif oleh Parga ment (1992):1. Koping Religius Positif
a. Definisi koping religius positif Pargament, Smith, Koenig, & Perez (dalam Pargament dkk., 2001)
menjelaskan koping religius positif merefleksikan hubungan yang aman dengan Tuhan, suatu keyakinan di mana ada sesuatu yang lebih berarti yang ditemukan dalam kehidupan, dan rasa spiritual dalam berhubungan dengan orang lain.
b. Aspekaspek koping religius positif Pargament dkk., (2001) mengemukakan terdapat delapan as pek
koping religius positif, yaitu:1. Benevolent religious reappraisal: menggambarkan kembali stre
sor melalui agama secara baik dan menguntungkan, misalnya kehadiran anak merupakan amanah dari Tuhan; setiap peristiwa di dalam kehidupan memiliki hikmah nya; Tuhan memberikan cobaan karena yakin bahwa ibu adalah individu yang kuat.
2. Collaborative religious coping: mencari kontrol melalui hubungan kerja sama dengan Tuhan dalam pemecah an masalah, misalnya yakin bahwa Tuhan selalu berada di dekat ibu ketika menghadapi kesusahan; ibu merasa dibimbing oleh Tuhan saat terus berusaha dan berdoa untuk kemajuan perkembangan anak
3 Seeking spiritual support: mencari kenyamanan dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang Tuhan, misalnya cobaan dimaknai sebagai rasa sayang Tuhan kepada ibu; ibu berusaha ikhlas dalam menghadapi permasalahan hidup; ibu tetap mengingat Tuhan ketika dihadapkan pa da kondisi stres
4. Religious purification: mencari pembersihan spiritual me la lui amalan religius, misalnya ibu merasa dengan keha diran anak semakin meningkatkan amal ibadah; ibu me mo hon ampun kepada Tuhan atas dosadosa ibu selama ini.
5. Spiritual connection: mencari rasa keterhubungan dengan kekuatan transenden misalnya kehadiran anak merupakan ke
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
192
hen dak Tuhan; ibu yakin di saat susah doadoa ibu dikabulkan Tuhan
6. Seeking support from clergy or members: mencari kenya man an dan keamanan melalui cinta dan kasih sayang saudara seiman dan para pemuka agama misalnya de ngan mendengarkan ceramah dari ustaz/ustazah ibu me rasakan ketenangan.
7. Religious helping: usaha untuk meningkatkan dukungan spi ritual dan kenyamanan pada sesama, misalnya ibu be serta komunitas ibuibu yang memiliki anak autis sa ling mendoakan untuk kemajuan perkembangan anak mereka.
8. Religious forgiving: mencari pertolongan agama dengan membiarkan pergi setiap kemarahan, rasa sakit dan ke ta kutan yang berkaitan dengan sakit hati, misalnya ketika kesal dengan anak, ibu berusaha ikhlas dan ingat kem bali kepada Tuhan.
2. Koping Religius Negatifa. Definisi koping religius negatif Pargament, Smith, Koenig, & Perez (dalam Pargament, et al.,
2001) menjelaskan bahwa koping religius negatif melibat kan ekspresi yang kurang aman dalam berhubungan dengan Tuhan, pandangan yang lemah dan tidak menyenangkan ter hadap dunia, dan perjuangan religius untuk menemukan dan berbicara/berdialog dengan orang lain dalam kehidupan.
b. Aspekaspek koping religius negatif Pargament dkk., (2001) mengemukakan terdapat delapan as pek
koping religius negatif, yaitu:1. Punishing God reappraisal: menggambarkan kembali stre sor
sebagai sebuah hukuman dari Tuhan atas dosadosa yang telah dilakukan oleh individu
2. Demonic reappraisal: menggambarkan kembali stresor sebagai sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan jahat/setan
3. Reappraisal of God’s powers: menggambarkan kekuatan Tuhan untuk memengaruhi situasi stres
4. Self directing religious coping: mencari kontrol melalui inisiatif individu dibandingkan meminta bantuan kepada Tuhan
5. Spiritual discontent: ekspresi kecemasan dan ketidakpuas an ter hadap Tuhan
6. Interpersonal religious discontent: ekspresi kecemasan dan ketidakpuasan terhadap pemuka agama ataupun saudara seiman.
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
193
Demikian pentingnya agama bagi seseorang dalam mengatasi perma salahan kehidupan juga telah banyak dikaji, beberapa penelitian yang menjelaskan pentingnya koping religius, di antaranya penelitian dila kukan oleh Lambert dkk., (2011) menunjukkan bahwa pening katan frekuensi bersyukur dari waktu ke waktu meningkatkan emosi positif dan mencegah peningkatan gejalagejala depresi. Raghallaigh dan Gilligan (2010) me neliti tentang koping yang berkaitan dengan religious faith (iman) dan resiliensi, individu menggunakan koping ketika berhadapan dengan berbagai perubahan dan tantangan. Lebih dari itu, iman dalam agama yang individu yakini memainkan peran penting dalam usaha koping.
Koping religius merupakan cara seseorang dalam mengatasi sumber stres yang hadir melalui agama. Agama dan spiritualitas terbukti berkontribusi secara positif terhadap proses pemaknaan hidup dengan berbagai cara yang berbeda, di antaranya adalah agama memberi kan dukungan untuk mengatasi (coping) stres, dan agama mampu membuat ibu dan keluarga bersyukur dan memaknai secara positif atas kehadiran anak dengan gangguan spekrtum autis. Demikian pula dengan dengan penelitian yang dilakukan oleh Corrigan, McCorke, Schell, dan Kidder (2003) menemukan bahwa keterlibatan agama memiliki hubungan yang positif dengan psychological well being. Indonesia merupakan negara dengan penduduk mayoritas adalah muslim, sehingga koping religius yang dilakukan adalah dengan memaknai ajaran agama Islam, seperti rutin beribadah kepada Allah, seperti shalat, puasa, dan membaca AlQur’an. Koping religius yang telah dilakukan ini mampu meminimalisir stres pengasuh an orang tua dan keluarga, serta mampu memaknai kehadiran anak ada lah suatu anugerah.
Bagi orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkem bangan saraf di Indonesia, memiliki keunikan tersendiri dalam me maknai kehadiran anak. Peran koping religius menjadi hal yang utama sehingga membuat orang tua mampu bertahan menghadapi kesulitan dan tekanan hi dup. Selain koping religius, terdapat peranan dukungan sosial yang sifatnya in formal (misal keluarga, komunitas orang tua, teman) dan dukungan formal (misal: sekolah luar biasa, pusat layanan autis, rumah sakit) yang ber kontribusi positif ter ha dap kesejahteraan subjektif dan mampu menu run kan stres peng asuh an. Indonesia merupakan budaya Timur yang ber sifat kolektivis tik berbeda dengan budaya Barat yang bersifat indivi dua listik. Ciriciri yang menonjol dari budaya kolektivistik adalah me nekan kan ke salingtergantungan antara individu, lebih mengutamakan koneksi ke luarga, kerja sama, solidaritas, konformitas, harmoni, komitmen
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
194
pada orang tua dan keluarga besarnya, kesederhanaan, berhe mat dan mementingkan kesejahteraan orang lain (HajYahia & Elisheva, 2008). Peranan koping religius dan dukungan sosial yang diterima orang tua merupakan ciriciri khusus yang orang tua rasakan selama mengasuh anak, sehingga hal ini mampu menurunkan stres pengasuhan dan tidak berdampak pada gangguan mental.
Secara keseluruhan, peran agama sebagai cara orang tua untuk koping terlihat dari usahausaha yang orang tua lakukan, seperti yakin bahwa Tuhan akan memberikan kemuliaan bagi orang tua melalui kehadir an anak, ikhlas hanya karena Tuhan, husnuzan (berprasangka baik kepada Tuhan), sabar, ikhtiar, beribadah, tawakal dan bersyukur. Bagi orang tua, agama sebagai koping positif dalam menghadapi stres pengasuhan, sehingga orang tua dapat lebih menerima, tangguh dan bahagia dalam menjalani kehidupan.
Pengukuran Koping Religius ■ Religious Coping Activities Scale/RCAS (Pargament dkk., 1990)
Merupakan inventori laporan diri yang terdiri dari 29 aitem, menggunakan skala Likert 4 poin (1= tidak sama sekali, 4=sangat setuju) un tuk mengukur sejauh mana responden menggunakan agama da lam mengatasi masalah dan peristiwa kehidupan yang penuh tekanan.
■ Positive and Negative Religious Coping/RCOPE (Pargament dkk., 2000). Skala ini pertama kali dikembangkan oleh Pargament, Smith, Koe nig,
dan Perez, digunakan untuk mengukur koping religius. Pengukuran keterampilan individu untuk mencari dukungan spi ritual dan pemaafan, koneksi spiritual, ketidakpuasan spiritual, dan penilaian akan kejahatan (Pargament, Smith, & Koenig et al., 1998). Aitem berdasarkan skala Likert 4 poin dari “1” (a great deal), “2” (quite a bit), “3” (so mewhat), “4” (not at all). Satu contoh aitem adalah “Saya mencari Tu han untuk kekuatan, dukungan, dan petunjuk dalam krisis”. Skala ini terdiri dari dua subskala, yaitu: 1) koping religius positif, dan 2) koping religius negatif. Konsistensi internal 0,87 dan 0,69 hingga 0,78 masingmasing untuk skala positif dan negatif.
E. INTERVENSI STRES PENGASUHANStres pengasuhan pada orang tua yang memiliki anak dengan gang
guan perkembangan (dalam hal ini anak dengan gangguan spek trum autis) secara signifikan lebih tinggi dibandingkan orang tua dengan anak yang perkembangannya normal dan orang tua yang anaknya mengalami
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
195
gangguan perkembangan lainnya (Silva & Scha lock, 2012). Kurang nya si kap penerimaan terhadap kondisi anak akan meningkatkan kondisi stres fulfamily caregiver yang berdampak pada menurunnya kesejahtera an psi ko logis dan meningkatkan stres pengasuhan (Dorian, dkk. (2008) & Mar tens & Addington (2001, da lam Prasetyo (2014)). Tidak mudah untuk mengasuh anak yang memiliki kelainan dalam perkembangannya, berat nya gangguan yang dialami anak terkadang membuat orang tua ti dak me nge tahui ca ra yang tepat dalam menangani anak ataupun dalam menghadapi hambatan yang dialami anak. Oleh karenanya diperlukan in terven si yang mampu membantu orang tua memahami karakteristik anak dan dapat meningkatkan kesejahteraan orang tua dalam mengasuh anak.
Intervensi pada orang tua bertujuan untuk membantu meningkatkan kepercayaan diri orang tua dalam mengasuh anak dan mengurangi stres yang dirasakan. Salah satu cara yang banyak dilakukan dan diteliti untuk memberdayakan orang tua adalah dengan parenting support. Paren-ting support merupakan istilah payung yang sering digunakan untuk menjelaskan berbagai dukungan dan intervensi yang diberikan kepada orang tua dan anggota keluarga lainnya, dan sering digunakan bergantian dengan istilah parenting program (Mc Keo wn, 2000). Beberapa penelitian yang telah membuktikan pentingnya pe ran parenting support dalam meningkat kan kesejahteraan orang tua yang memiliki anak autis (Boyd, 2002; Hastings & Beck, 2004; Mukh tar, 2017; Schultz, Schmidt, & Stichter, 2011). Penelitian tentang parenting program telah dilakukan di Indo nesia, yaitu oleh Mukhtar (2017). Mukhtar (2017) melakukan penelitian ten tang pengaruh group-based parenting support terhadap stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis, menunjukkan terdapat penurunan stres pengasuhan dengan dilakukannya group-based parenting support pada kelompok dukungan orang tua, namun tidak terdapat pengaruh group based parenting support pada kelom pok psikoedukasi orang tua. Terdapat perbedaan antara kelompok dukungan orang tua dengan kelompok psikoedukasi orang tua, yaitu pada kelompok dukungan orang tua penekanannya lebih pada pro ses sosial dan emosional di antara para anggota yaitu terbentuknya ikatan dan adanya sikap saling mendukung di antara sesama ang gota. Pimpinan kelompok dari dukungan orang tua berperan untuk menciptakan iklim yang kohesif sehingga memungkinkan anggota untuk saling berbagi informasi serta saling membantu. Sedangkan pada kelompok psikoedukasi orang tua, penekanannya lebih pada proses kognitif dan perilaku yaitu pemberian informasi atau pengetahuan dan pengajaran keterampilan tertentu kepada orang tua (Masson dkk., 2012).
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
196
Pimpinan kelompok berperan untuk menciptakan situasi yang dapat mendorong proses belajar (Corey dkk., 2014).
Pentingnya peningkatan dukungan sosial dalam meningkatkan kesejahteraan psikologis orang tua dan keluarga (Albanese, San Mi guel, & Koegel, 1995). Penerimaan dukungan sosial dapat mening katkan resiliensi keluarga untuk beradaptasi dengan kondisi anak autis (Kapp & Brown, 2011; McConnell, Savage & Breitkreuz, 2014).
Selain intervensi dukungan sosial, program lainnya yang diang gap mampu meningkatkan kesejahteraan orang tua adalah cognitive behavior therapy (Blackledge & Hayes, 2006). Pikiranpikiran ne ga tif yang sering muncul dapat menyebabkan stres, dengan inter vensi melalui pendekatan cognitive behavior therapy diharapkan mam pu mengubah pola pikir negatif terhadap diri, anak, dan lingkung an menjadi hal yang positif, hingga akhirnya membuat orang tua merasa bahwa anak dengan gangguan perkem bangan saraf adalah anugerah. Sangat terbuka peluang bagi para peneliti yang bertujuan untuk memberdayakan kehidupan orang tua selama mengasuh anak dapat memberikan pelatihan tentang cara peningkatan berpikir positif dalam menurunkan stres pengasuhan, seperti cognitive behavior therapy (IzadiMazidi, Riahi, & Khajeddin, 2015), dan problem solving therapy (Nezu & Nezu, 2001).
Demikian pentingnya pemberian intervensi kepada orang tua yang memiliki anak dengan gangguan perkembangan saraf dengan upaya untuk memberdayakan dan mengurangi stres orang tua, cukup banyak penelitian yang telah membuktikan tentang peran penting pemberian intervensi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan orang tua yang memiliki anak.
REFERENSIAlbanese, A.L., San Miguel, S.K., & Koegel, R.L. (1995). Social sup port for
families. Teaching children with autism: Strategies for initiating positive interactions and improving learning opportu nities, 95104.
Ano, G.G., & Vasconcelles, E.B. (2005). Religious coping and psy chological adjustment to stress: A metaanalysis. Journal of cli nical psychology, 61(4), 461480.
Altiere, M.J., & Von Kluge, S. (2009). Family functioning and coping behaviors in parents of children with autism. Journal of child and Family Studies, 18(1), 83.
Bartkowski, J.P., Xu, X., & Levin, M.L. (2008). Religion and child development: Evidence from the early childhood longitudinal study. Social
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
197
science research, 37(1), 1836. Lambert dkk. (2011)Benson, P.R. (2010). Coping, distress, and wellbeing in mothers of children
with autism. Research in Autism Spectrum Disorders, 4(2), 217228.Billing, A., & Moos, R.H. (1984). Coping, stress, and social resources among
adults with unipolar depression. Journal of Personality and Social Psy-chology, 46, 877891
Blackledge, J.T., & Hayes, S.C. (2006). Using acceptance and commitment training in the support of parents of children diagnosed with autism. Child & Family Behavior Therapy, 28(1), 118.
Blake Snider, J., Clements, A., & Vazsonyi, A.T. (2004). Late adolescent per ceptions of parent religiosity and parenting processes. Family Pro-cess, 43(4), 489502.
Bristol, M. (1984). Family resources and succesful adaptation to austistic children. Dalam E. Schopler & G. Mesibov (Eds.). The Effects of Autism on the Family. (p. 289 310). New York: Plenum.
Boyd, B.A. (2002). Examining the relationship between stress and lack of social support in mothers of children with autism. Focus on Autism and Other Developmental Disabilities, 17(4), 208215.
Carver, C.S., Scheier, M.F., Weintraub, K. (1989). Assessing coping strategies: A theoretically Based Approach. Journal of Personality and Social Psychology, 56, 267283.
Cidav, Z., Marcus, S.C., & Mandell, D.S. (2012). Implications of childhood autism for parental employment and earnings. Pedia trics, 129(4), 617623.
Corey, M.S., Corey, G., & Corey, C. (2014). Group Process and Practice. (ed. 9). United States of America: Brooks/Cole, Cengage Learning.
Corrigan, P., McCorkle, B., Schell, B., & Kidder, K. (2003). Religion and spirituality in the lives of people with serious mental illness. Community Mental Health Journal, 39(6), 487499.
Dabrowska, A., & Pisula, E. (2010). Parenting stress and coping styles in mothers and fathers of preschool children with autism and Down Syndrome. Journal of Intellectual Disability Research, 54(3), 266280.
Daulay, N., Ramdhani, N., & Hadjam, N.R. (2018). Proses menjadi tangguh bagi ibu yang memiliki anak dengan gangguan spektrum autis. Humanitas: Jurnal Psikologi Indonesia, 15(2), 267245.
Daradjat, Z. (1983). Agama dan Kesehatan Mental. Jakarta: Bulan Bintang.Dumas, J.E., & NissleyTsiopinis, J. (2006). Parental global religious ness,
sanctification of parenting, and positive and negative reli gious coping as predictors of parental and child functioning. The International
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
198
Journal for the Psychology of Religion, 16(4), 289310.Futuhiyat. (2004). Hubungan antara Pengetahuan Orang Tua tentang Gsa
dengan Sikap Penerimaan Orang Tua terhadap Anak Penyan dang Autistic. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
GavidiaPayne, S., & Stoneman, Z. (1997). Family predictors of maternal and paternal involvement in programs for young children with disabilities. Child Development, 68(4), 701717.
Goldstein, S., & Brooks, R.B. (2005). Resilience in Children. New York: Springer.
Gooding, H.C., Milliren, C.E., Austin, S.B., Sheridan, M.A., & McLaughlin, K.A. (2016). Child abuse, resting blood pressure, and blood pressure reactivity to psychological stress. Journal of Pediatric Psychology, 41, 512.
Gray, D.E. (2006). Coping over time: The parents of children with autism. Journal of Intellectual Research, 50(12), 970976. doi:10. 1111/j.13652788.2006.00933.x.
Hall, H.R., & Graff, J.C. (2011). The relationships among adaptive behaviors of children with autism, family support, parenting stress, and co ping. Issues in comprehensive pediatric nursing, 34(1), 425.
Hall, H.R., & Graff, J.C. (2012). Maladaptive behaviors of children with autism: Parent support, stress, and coping. Issues in Compre hensive Pediatric Nursing, 35(34), 194214.
Higgins, D.J., Bailey, S.R., & Pearce, J.C. (2005). Factors associated with functioning style and coping strategies of families with a child with an autism spectrum disorder. Autism, 9(2), 125137.
Holden, G. (2015). Parenting a Dynamic Perspective. New York: Sage Publications, Inc.
HajYahia, M.M., & Sadan, E. (2008). Issues in intervention with bat tered women in collectivist societies. Journal of marital and family therapy, 34(1), 113.
Hastings, R.P., & Beck, A. (2004). Practitioner review: Stress in tervention for parents of children with intellectual disabilities. Journal of child psychology and psychiatry, 45(8), 13381349.
Ingersoll, B., & Hambrick, D.Z. (2011). Disorders the relationship between the broader autism phenotype, child severity, and stress and depression in parents of children with autism spectrum disorders. Research in Autism Spectrum Disorders, 5, 337 344. doi:10.1016/j.rasd.2010.04.017.
IzadiMazidi, M., Riahi, F., & Khajeddin, N. (2015). Effect of cognitive behavior group therapy on parenting stress in mothers of children with
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
199
autism. Iranian Journal of Psychiatry and Behavioral Sciences, 9(3).Jalaluddin, H. (2008). Psikologi Agama, Memahami Perilaku Kegamaan De-
ngan Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Jones, J., & Passey, J. (2004). Family adaptation, coping and resources: Parents of children with developmental disabilities and behaviour problems. Journal on developmental disabilities, 11(1), 3146.
Kaniel, S., & SimanTov, A. (2011). Comparison between mothers and fathers in coping with autistic children: A multivariate model. European Journal of Special Needs Education, 26(4), 479493.
Kapp, L., & Brown, O. (2011). Resilience in families adapting to autism spectrum disorder. Journal of Psychology in Africa, 21(3), 459463.
Kasberger, E.R. (2002, April). A correlational study of postdivorce adjustment and religious coping strategies in young adults of divorced families. In Second Annual. Undergraduate Research Symposium CHA-RIS Institute of Wisconsin Lutheran College. Milwaukee, WI (Vol. 53226).
Lai, W.W., Goh, T.J., Oei, T.P., & Sung, M. (2015). Coping and wellbeing in parents of children with autism spectrum disorders (ASD). Journal of autism and developmental disorders, 45(8), 25822593.
Lai, W.W., & Oei, T.P. (2014). Coping in parents and caregivers of children with autism spectrum disorder (ASD): A review. Review Journal of Autism and Developmental Disorder, 1, 207224.doi:10.1007/s404890140021x.
Lambert, N. M., & Fincham, F. D. (2011). Expressing gratitude to a partner leads to more relationship maintenance behavior. Emotion, 11(1), 52.
Luong, J., Yoder, M.K., & Canham, D. (2009). Southeast Asian parents raising a child with autism: A qualitative investigation of coping styles. The Journal of School Nursing, 25(3), 222229.
Lazarus, R.S., & Folkman, S. (1984). Stress, Appraisal, and Coping. New York: Springer Publishing Company, Inc.
Lyons, A.M., Leon, S.C., Phelps, C.E.R., & Dunleavy, A.M. (2010). The impact of child symptom severity on stress among parents of children with ASD: The moderating role of coping styles. Journal of child and family studies, 19(4), 516 524.
Luther, E.H., Canham, D.L., & Cureton, V.Y. (2005). Coping and social sup port for parents of children with autism. The Journal of School Nurs ing, 21(1), 40-47.
Lutz, H.R., Patterson, B.J., & Klein, J. (2012). Coping with autism: A journey toward adaptation. Journal of pediatric nursing, 27(3), 206213.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
200
Masson, R.L., Jacobs, E.E., Harvill, R.L., & Schimmel, C.J. (2012). Group Counseling: Intervention and Techniques. Canada: Brooks/Cole, Cengage Learning.
McConnell, D., Savage, A., & Breitkreuz, R. (2014). Resilience in families raising children with disabilities and behavior problems. Research in developmental disabilities, 55(4), 833848.
McKeown, K. (2000). A guide to what works in family support services for vul nerable families.
Montes, G., & Halterman, J.S. (2007). Psychological functioning and coping among mothers of children with autism: A populationbased study. Pediatrics, 119(5), e1040e1046.
Mukhtar, D.Y. (2016). Pedoman groupbased parenting support untuk orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. Mo-dul Penelitian. Yogyakarta: Program Doktor PsikologiUniversitas Gadjah Mada.
Mukhtar, D.Y. (2017). Pengaruh groupbased parenting support terhadap stres pengasuhan orang tua yang mengasuh anak dengan gangguan spektrum autis. (Disertasi
Nezu, A.M., Nezu, C.M., & Lombardo, E.R. (2001). Cognitivebehavior the rapy for medically unexplained symptoms: a critical review of the treatment literature. Behavior Therapy, 52(3), 537583.
Ni Raghallaigh, M., & Gilligan, R. (2010). Active survival in the lives of unaccompanied minors: coping strategies, resilience, and the relevance of religion. Child & Family Social Work, 15(2), 226237.
Ogretir, A. D., & Ulutas, I. (2009). The study of the effects of the mother support education program on the parental acceptance and rejection levels of the Turkish mothers. Humanity & Social Sciences Journal, 4(1), 1218.
Pargament, K.I., Ensing, D.S., Falgout, K., Olsen, H., Reilly, B., Van Haitsma, K., & Warren, R. (1990). God help me:(I): Religious coping efforts as predictors of the outcomes to significant negative life events. Ame-rican journal of community psychology, 18(6), 793824.
Pargament, K.I. (1992). Of means and ends: Religion and the search for significance. The International Journal for the Psychology of Religion, 2(4), 201229.
Pargament, K.I., Koenig, H.G., & Perez, L.M. (2000). The many methods of religious coping: Development and initial validation of the RCOPE. Journal of clinical psychology, 56(4), 519543.
Parish, S.L., Rose, R.A., GrinsteinWeiss, M., Richman, E.L., & Andrews,
SAM
PLE
BAB 5 • STRES PENGASUHAN DAN KOPING
201
M. E. (2008). Material hardship in US families raising children with disabilities. Exceptional Children, 75(1), 7192.
Prasetyo, N.H., & Subandi, M.A. (2014). Program Intervensi Narimo ing Pandum untuk Meningkatkan Kesejahteraan Psikologis Keluarga Pasien Skizofrenia. JI/Jurnal Intervensi Psikologi, 6(2), 151170.
Rammohan, A., Rao, K., & Subbakrishna, D.K. (2002). Religious coping and psychological wellbeing in carers of relatives with schizophrenia. Acta Psychiatrica Scandinavica, 105(5), 356362.
Rochmani, K.W. (2014). Careautis: literasi dengan dukungan internet untuk meningkatkan penerimaan orang tua. Doctoral Dissertation. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Santrock, J. (2013). Life-Span Development. Edisi ke5. Jakarta: Erlangga.Sarafino, E.P., & Smith, T.W. (2014). Health Psychology: Biopsychosocial
Interactions. John Wiley & Sons.Sawang, S., Oei, T. P., & Goh, Y. W. (2006). Are country and culture values
interchangeable? A case example using occupational stress and coping. International Journal of Cross Cultural Management, 6(2), 205219.
Schottenbauer, M.A., M. Spernak, S., & Hellstrom, I. (2007). Rela tionship between family religious behaviors and child wellbeing among thirdgrade children. Mental Health, Religion & Culture, 10(2), 191198.
Schultz, T.R., Schmidt, C.T., & Stichter, J.P. (2011). A review of pa rent edu cation programs for parents of children with autism spectrum disorders. Focus on autism and other developmental disabilities, 26(2), 96104.
Seymour, M., Wood, C., Giallo, R., & Jellett, R. (2013). Fatigue, stress and coping in mothers of children with an autism spectrum disorder. Journal of autism and developmental disorders, 43(7), 15471554.
Silva, L.M., & Schalock, M. (2012). Autism parenting stress index: Initial psychometric evidence. Journal of autism and develop men tal disorders, 42(4), 566574.
Sivberg, B. (2002). Coping strategies and parental attitudes, a comparison of parents with children with autistic spectrum disorders and parents with nonautistic children. International Journal of Circumpolar Health, 61(sup2), 3650.
Subandi. (2012). Agama dalam perjalanan gangguan mental psikotik dalam konteks budaya Jawa. Jurnal Psikologi, 39(2), 167179. Retrieved from https://repository.ugm.ac.id/id/eprint/97109.
Tarakeshwar, N., & Pargament, K.I. (2001). Religious coping in fa milies of children with autism. Focus on Autism and Other De velopmental Di-
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
202
sabilities, 16(4), 247260.Volling, B.L., Mahoney, A., & Rauer, A.J. (2009). Sanctification of paren
t ing, moral socialization, and young children’s conscience development. Psychology of religion and spirituality, 1(1), 53.
Zablotsky, B., Bradshaw, C.P., & Stuart, E.A. (2013). The association between mental health, stress, and coping supports in mothers of child ren with autism spectrum disorders. Journal of autism and developmental disorders, 43(6), 13801393.
SAM
PLE
Bab 6LAYANAN PENDIDIKAN
Anakanak yang mengalami keterbatasan baik dari segi fisik, mo to rik, kognitif, emosi, dan sosial, memiliki hak yang sama seba gai mana layaknya anakanak dengan perkembangan normal untuk mem peroleh pendidikan. Hal yang sama juga dialami pada anakanak yang mengalami gangguan perkembangan saraf, seperti anak dengan gangguan spectrum autis, anak ADHD, anak dengan intellectual disability. Anak dengan gangguan spectrum autis disebabkan karena gangguan fungsi otak, sehingga anakanak seperti ini akan menam pilkan perilaku yang tidak tepat sesuai dengan tahapan perkembangan anak.
Ginanjar (2008) adalah seorang psikolog dan dosen psikologi di universitas terkemuka di Indonesia mengungkapkan dalam diserta sinya “Memahami Spektrum Autis Secara Holistik” terdapat prinsipprinsip pengajaran dan pendidikan anak autis, yaitu:1. Terstruktur Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis diterapkan prinsip ter
struktur, artinya dalam pendidikan atau pemberian materi pengajaran dimulai dari bahan ajar/materi yang paling mudah dan dapat di lakukan oleh anak. Setelah kemampuan tersebut dikuasai, ditingkatkan lagi ke bahan ajar yang setingkat di atas nya, namun merupa kan rangkaian yang tidak terpisah dari materi sebelumnya. Misalnya, untuk mengajarkan anak mengerti dan memahami makna dari instruksi “ambil bola merah”, maka materi pertama yang harus dikenalkan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
204
kepada anak adalah konsep pe ngertian kata “ambil”, “bola”, dan “me rah”. Setelah anak diang gap mampu mengenal dan menguasai arti kata tersebut, langkah selanjutnya adalah meng aktuali sasikan in struksi “ambil bola me rah” kedalam perbuatan konkret. Struktur pendidikan dan peng ajaran bagi anak autis meliputi struktur waktu, struktur ruang, dan struktur kegiatan.
2. Terpola Kegiatan anak autis biasanya terbentuk dari rutinitas yang terpola
dan terjadwal, baik di sekolah maupun di rumah (lingkungannya), mulai dari bangun tidur sampai tidur kembali. Oleh karena itu, dalam pendidikannya harus dikondisikan atau dibiasakan dengan pola yang teratur. Namun bagi anak dengan kemampuan kognitif yang te lah berkembang dapat dilatih dengan memakai jadwal yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungannya, supaya anak dapat menerima perubahan dari rutinitas yang ber laku (menjadi lebih fleksibel). Diharapkan pada akhirnya anak lebih mudah menerima perubahan, mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan (adaptif) dan dapat berperilaku secara wajar (sesuai dengan tujuan behavior the rapy).
3. Terprogram Prinsip dasar terprogram berguna untuk memberi arahan dari tujuan
yang ingin dicapai dan memudahkan dalam melakukan evaluasi. Prinsip ini berkaitan erat dengan prinsip dasar sebelum nya. Sebab dalam program materi pendidikan harus dilakukan secara bertahap dan berdasarkan pada kemampuan anak, sehing ga apabila target program pertama tersebut menjadi dasar target program yang kedua, demikian selanjutnya.
4. Konsisten Dalam pelaksanaan pendidikan dan terapi perilaku bagi anak autistik,
prinsip konsistensi mutlak diperlukan. Artinya apabila anak berperilaku positif memberi respons positif terhadap sua tu stimulan (rangsangan), maka guru pembimbing harus cepat memberikan respons positif (reward/penguatan), demikian pula apabila anak berperilaku negatif (reinforcement). Hal tersebut juga dilakukan dalam ruang dan waktu lain yang berbeda (main tenance) secara tetap dan tepat, dalam arti respons yang diberi kan harus sesuai dengan perilaku sebelumnya. Konsisten memiliki arti “tetap”, bila diartikan secara bebas konsisten mencakup tetap dalam berbagai hal, ruang, dan waktu. Konsisten bagi guru pembimbing berarti tetap dalam bersikap, merespons dan
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
205
mem per lakukan anak sesuai dengan karakter dan kemampuan yang dimiliki masingmasing anak autis. Adapun arti konsisten bagi anak adalah tetap dalam mempertahankan dan menguasai kemampuan sesuai dengan stimulan yang muncul dalam ruang dan waktu yang berbeda. Orang tua pun dituntut konsisten dalam pendidikan bagi anaknya, yakni dengan bersikap dan membe ri kan perlakuan terhadap anak sesuai dengan program pendidikan yang telah disusun bersama antara pembimbing dan orang tua sebagai wujud dari generalisasi pembelajaran di sekolah dan di rumah.
5. Kontinu Pendidikan dan pengajaran bagi anak autis sebenarnya tidak jauh
berbeda dengan anakanak pada umumnya. Maka prinsip pendidikan dan pengajaran yang berkesinambungan juga mutlak diperlukan bagi anak autis. Kontinu di sini meliputi kesinambung an antara prinsip dasar pengajaran, program pendidikan dan pe laksanaannya. Kontinuitas dalam pelaksanaan pendidikan tidak hanya di sekolah, tetapi juga harus ditindalanjuti untuk kegiatan di rumah dan lingkungan sekitar anak. Kesimpulannya, terapi pe rilaku dan pendidikan bagi anak autis harus dilaksanakan secara berkesinambungan, simultan dan integral (menyeluruh dan ter padu).
A. PENDIDIKAN KHUSUSUpaya mewujudkan demokrasi dalam pendidikan, maka Indo nesia
memfasilitasi kebutuhan di bidang pendidikan bagi anak ber kebutuhan khusus dengan menyiapkan sekolahsekolah untuk dapat mengembangkan potensi, emosi dan sosial bagi anak berkebutuhan khusus, salah satunya adalah sekolah inklusi. A key part of the inclusive education movement is a consensus that all children, including those with disabilities and impairments, should have the opportunity for an education and, furthermore, an education with their peers (Sheehy & Budiyanto, 2014).
Upaya untuk mengurangi diskriminasi bagi disabilitas dalam sis tem pendidikan melalui kehadiran The Salamanca Statement adopted at the World Conference on Special Needs Education (UNESCO 1994) is based on the principle of inclusion as a means of achieving the goal of education for all. Deklarasi Salamanca menjadi tonggak penting dalam pembentukan pendidikan inklusi di Indonesia. Keseriusan pemerintah Indonesia me ngenai hakhak penyandang disabilitas dalam bidang pendidikan dibuk tikan dengan lahirnya UndangUndang Republik Indonesia Nomor 20 Ta hun
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
206
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasio nal, yakni Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa setiap warga negara mem punyai hak yang sama dalam memperoleh pendidikan yang ber mutu; ayat (2) menyatakan bahwa warga negara yang memiliki ke lainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Pendidikan inklusi di Indonesia berawal dari ketidaksamaan hak yang didapat bagi penyandang disabilitas, kemudian adanya stig ma, dan prasangka negatif, serta perlakuan diskriminasi yang di terimanya. Hal ini bertentangan dengan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 31 ayat (1) yakni bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan. Demikian juga dengan landasan filosofis dalam pene rapan pendidikan inklusi di Indonesia yakni Bhinneka Tunggal Ika (uni ty in diversity) (Sheehy & Budiyanto, 2014), artinya bahwa pemerintah Indonesia berupaya memberikan kebutuhan pendidikan terbaik bagi anakanak Indonesia termasuk anak berkebutuhan khusus, salah satunya de ngan menyediakan pen didikan inklusi.
Anak dengan gangguan gangguan perkembangan sarah sama seperti anakanak berkebutuhan khusus lainnya yang berhak menda patkan pendidikan, agar mampu mengembangkan potensi dalam diri secara lebih optimal. Layanan pendidikan untuk anakanak seperti ini diselenggarakan melalui layanan pendidikan khusus atau yang dike nal dengan sekolah luar biasa dan layanan pendidikan inklusi atau sekolah reguler. Layan an pendidikan khusus ini telah tertuang dalam Pasal 15 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional: “Pendidikan khusus merupakan penyelenggaraan pendidikan untuk peserta didik yang berkelainan atau peserta didik yang memiliki ke cerdasan luar biasa yang diselenggarakan secara inklusif atau beru pa satuan pendidikan khusus pada tingkat pendidikan dasar dan me nengah.”
Pendidikan khusus atau sekolah luar biasa diperuntukkan bagi anakanak berkebutuhan khusus (selanjutnya ditulis ABK) dengan ku rikulum dan tenaga pengajar yang disesuaikan dengan kebutuhan ABK. Pada setiap daerah di Indonesia sudah banyak tersebar sekolah luar biasa (SLB), baik yang khusus menerima anak autis disebut SLBF dan sekolah luar biasa yang menerima anak berkebutuhan khusus lainnya, seperti SLBA dikhususkan bagi anak tunanetra; SLBB dikhususkan bagi anak tunarungu; SLBC dikhususkan bagi anak tunagrahita; SLBD dikhususkan bagi anak tunadaksa; SLBE dikhususkan bagi anak tunalaras; dan SLBG dikhususkan bagi anak cacat ganda.
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
207
B. PENDIDIKAN INKLUSIPendidikan inklusi merupakan pendidikan yang diselenggarakan oleh
sekolah reguler (sekolah umum) dengan menyediakan layanan pendidikan bagi anakanak berkebutuhan khusus. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 Pasal 3 poin 2 menyatakan keterbatasan anak anta ra lain tunanetra, tunarungu, tunawicara, tunagrahita, tunadaksa, tu na laras, kesulitan belajar, lamban belajar, autis, memiliki gangguan motorik, menjadi korban penyalahgunaan narkona, obat terlarang, dan zat adiktif lainnya, memiliki kelainan lainnya, dan tunaganda.
Lembaga pendidikan inklusi di Indonesia saat ini mengalami peningkatan, ditambah dengan kehadiran anak berkebutuhan khusus di Indonesia juga semakin banyak jumlahnya. Pada November 2015, jumlah total anak berkebutuhan khusus di Indonesia mencapai 1,6 juta jiwa, namun masih sedikit anak berkebutuhan khusus yang menge nyam pendidikan (hanya 10 persen dari populasi anak berkebutuhan khusus di Indonesia). Beberapa faktor yang memengaruhinya ada lah orang tua yang kurang mendukung pendidikan untuk anaknya (kemungkinan biaya pendidikan yang dikeluarkan tidak murah), anak berkebutuhan yang tidak ingin bersekolah, serta akses ke sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggal terutama bagi penduduk yang ting gal jauh dari kota (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan In do nesia, 2016).
Menurut Frederickson dan Lambert (2015), pendidikan inklusi adalah pendidikan yang memberikan kesempatan kepada seluruh anak atau peserta didik untuk belajar bersama dalam sekolah umum, tanpa diskriminasi etnis, status sosial, agama, jenis kelamin, kemampuan, dan disabilitas yang dimiliki peserta didik.
Pendidikan inklusi ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 70 Tahun 2009 Pasal 2 ayat (1) bertujuan mem berikan kesempatan yang seluasluasnya kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental dan sosial atau memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mem per oleh pendidikan yang bermutu sesuai degan kebutuhan dan kemam puannya; ayat (2) dinyatakan bahwa pendidikan inklusi bertujuan mewujudkan penyelenggaraan pendidikan yang menghargai keane karagaman, dan tidak diskriminatif bagi semua peserta didik.
Direktorat PSLB (2004) mendefinisikan pendidikan inklusi di Indone sia sebagai sistem layanan pendidikan yang mengikutsertakan anak berkebutuhan khusus belajar bersama dengan anak sebayanya di sekolah
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
208
regular yang terdekat dengan tempat tinggalnya. Penye lenggaraan pendidikan inklusi menuntut pihak sekolah melakukan pe nyesuaian baik dari segi kurikulum, sarana, dan prasarana pendi dikan, maupun sistem pembelajaran yang disesuaikan dengan kebu tuhan individu peserta didik.
Tidak semua anak yang mengalami gangguan perkembangan saraf dapat bersekolah dengan pendidikan inklusi, mengingat anak dengan gejala gangguan ini bervariasi antara anak yang satu dengan anak lainnya. Ada anak yang gejalanya ringan sehingga sedikit mem butuhkan bantuan dari lingkungan, namun terdapat juga anak yang gejalanya sangat berat dan membutuhkan dukungan yang intens da ri lingkungan. Bagi anak dengan gangguan perkembangan sedikit dengan gejala yang ringan biasanya akan menampilkan perilaku adap tif yang lebih baik dibandingkan anak dengan gejala gangguan yang berat, anakanak dengan gejala berat sangat baik untuk dilayani pada lembaga khusus agar kemampuan dasarnya terpenuhi.
Salah satu keunggulan mengikuti pendidikan inklusi akan ter buka kesempatan bagi anak untuk dapat bersosialisasi dengan temanteman sebayanya, baik yang memiliki keterbatasan maupun temanteman dengan perkembangan normal. Anak berkebutuhan khusus juga akan terlatih untuk mandiri, sedangkan bagi anakanak perkem bangan normal dengan memiliki teman berkebutuhan khusus akan memunculkan rasa empati dan kesetiakawanan dalam dirinya, serta melatih diri untuk saling berbagi dengan temannya yang mengalami keterbatasan.
Namun demikian, bagi para orang tua yang berminat untuk memasukkan anaknya yang berkebutuhan khusus ke sekolah inklusi, terlebih dahulu harus melakukan observasi ke sekolah. Hal utama yang harus diperhatikan adalah apakah kurikulum dan kebijakan di sekolah tersebut telah sesuai untuk kondisi anakanak berkebutuh an terutama anak autis, kemudian guruguru di sekolah tersebut te lah memiliki keahlian atau tidak di dalam mengajar dan berinteraksi dengan anak autis. Hal ini penting untuk dipahami orang tua, agar anakanak mendapatkan pendidikan sesuai dengan kebutuhannya, selain itu orang tua juga mendapatkan informasi penting terkait kon disi anaknya selama di sekolah melalui guru yang berkompeten di bidangnya, dan diharapkan terjalin kerja sama yang baik antara guru dan orang tua.
Frieda Mangunsong (2009) menjelaskan bahwa anakanak yang ditempatkan pada program inklusi akan menunjukkan perbaikan atau keadaan yang sama dalam pengukuran kognitif dan emosional nya dengan anak normal daripada apabila anak berkebutuhan khu sus ditempatkan di sekolah khusus. Meskipun demikian, orang tua sebagai guru pertama bagi
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
209
anaknya tetap harus memperhatikan kelebihan dan keterbatasan yang anak miliki setelah mengikuti pen didikan inklusi. Kemampuan setiap anak berbedabeda, bisa jadi anak menjadi lebih baik namun tidak tertutup kemungkinan kondisi anak malah mengalami kemunduran karena beberapa faktor yang meme ngaruhinya. Oleh karenanya orang tua harus jeli dalam mengob servasi anak dan menciptakan kerja sama yang baik dengan pihak sekolah.
Terdapat beberapa hal penting yang diperhatikan dalam pelak sana an pendidikan inklusi (Suyanto & Mudjito, 2012):1. Sekolah harus mengondisikan kelas menjadi kelas yang hangat, ra
mah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang interaktif.
2. Guru dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumber daya manusia lain dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
3. Guru dituntut melibatkan orang tua secara bermakna dalam proses pendidikan.
4. Kepala sekolah dan guru yang nantinya akan menjadi Guru Pembimbing Khusus (GPK) untuk anak berkebutuhan khusus (ABK) harus mendapatkan pelatihan tentang cara mengajar di sekolah inklusi.
5. Guru Pendamping Khusus (GPK) harus mendapatkan pelatihan teknis untuk memfasilitasi anak berkebutuhan khusus.
6. Asesmen di sekolah dilakukan untuk memahami ABK dan pena nganan yang diperlukan, misalnya mengadakan bimbingan khu sus atas kesepakatan dengan orang tua ABK.
7. Mengidentifikasi hambatan terkait dengan kelainan fisik, sosial, dan masalah lainnya terhadap akses dan pembelajaran ABK.
8. Melibatkan masyarakat dalam melakukan perencanaan dan mo nitoring mutu pendidikan bagi semua anak.
Umumnya pada sekolah inklusi akan menyiapkan guru khusus yang ditugaskan untuk mendampingi ABK selama mengenyam pen didikan di sekolah inklusi tersebut. Namun jika pihak sekolah tidak menyiapkan guru khusus, maka orang tua diperbolehkan untuk men cari guru khusus dan disesuaikan dengan kriteria guru pendam ping khusus. Guruguru khusus tersebut dikenal dengan sebutan guru bayangan (shadow teacher) dan biasanya lulusan dari jurusan Pendidikan Luar Biasa. Tugas guru bayangan ini di antaranya mam pu mengingatkan siswa berkebutuhan khusus untuk tetap fokus dan bertanggung jawab selama mengikuti kegiatan belajar dan membantu guru kelas mengatasi masalah emosi, sosial dan kemampuan
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
210
belajar ABK, serta merangkul siswa lainnya untuk mampu bertoleransi dan saling bekerja sama menciptakan suasana belajar yang kondusif.
Berit dan Skjorten (2003) dalam bukunya Pengantar Pendidikan Inklusif menjelaskan fungsi dari guru khusus tersebut adalah:1. Mendampingi guru kelas dalam menyiapkan kegiatan yang ber kaitan
dengan materi belajar.2. Mendampingi anak berkebutuhan khusus dalam menyelesaikan tugas
nya dengan pemberian instruksi yang singkat dan jelas.3. Memilih dan melibatkan teman seumuran untuk kegiatan so sialisa
sinya.4. Menyusun kegiatan yang dapat dilakukan di dalam kelas mau pun di
luar kelas.5. Mempersiapkan anak berkebutuhan khusus pada kondisi rutinitas
yang berbuah positif.6. Menekankan keberhasilan anak berkebutuhan khusus dengan pem
berian reward yang sesuai.7. Meminimalisasi kegagalan anak berkebutuhan khusus.8. Memberikan pengajaran yang menyenangkan kepada anak ber kebu
tuhan khusus.
Pendidikan anak berkebutuhan khusus di sekolah inklusi dapat dilakukan degan berbagai model, yaitu (Ashman, 1994, dalam Elisa dan Wras tari, 2013):1. Kelas Reguler (Inklusi Penuh), ABK belajar bersama anak non berke
butuhan khusus sepanjang hari di kelas reguler dengan mengguna kan kurikulum yang sama.
2. Kelas Reguler dengan Cluster, ABK belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelompok khusus.
3. Kelas Reguler dengan Pull Out, ABK belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler namun dalam waktuwaktu tertentu ditarik dari kelas reguler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
4. Kelas Reguler dengan Cluster dan Pull Out, ABK belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler dalam kelom pok khusus, dan dalam waktuwaktu tertentu ditarik dari kelas re guler ke ruang lain untuk belajar dengan guru pembimbing khusus.
5. Kelas Khusus dengan Berbagai Pengintegrasian, ABK belajar di dalam kelas khusus pada sekolah reguler, namun dalam bidangbidang tertentu dapat belajar bersama anak non berkebutuhan khusus di kelas reguler.
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
211
6. Kelas Khusus Penuh, ABK belajar di dalam kelas khusus pada seko lah reguler.
Supena, dkk. (2012) dalam bukunya tentang Pendidikan Anak Berke butuhan Khusus mengungkapkan tentang manfaat pendidikan inklusi khu susnya bagi anakanak berkebutuhan khusus, yaitu:1. Membuka peluang yang luas kepada anak berkebutuhan khusus un tuk
mendapatkan layanan pendidikan, karena anak berkebu tuhan khu sus dapat mengikuti pendidikan di sekolah reguler yang dekat de ngan ru mahnya. Dengan demikian pendidikan in klusi akan mempercepat penuntasan wajib belajar dan mewujud kan gagasan education for all, khususnya di kalangan anak ber kebutuhan khusus.
2. Pendidikan inklusi memberikan pelajaran sosial yang berharga bagi nak berkebutuhan khusus juga bagi masyarakat secara umum nya. Anak berkebutuhan khusus yang mengikuti pendidikan di sekolah reguler akan berlatih untuk berinteraksi, berkomunikasi dan melakukan penyesuaian sosial dengan masyarakat umum. Di sisi lain, masyarakat umum juga akan belajar memahami dan menghargai perbedaan serta menumbuhkan sifat empati dan membantu orang yang membutuhkan bantuan.
3. Pelaksanaan pendidikan khusus (pendidikan bagi anak berkebu tuhan khusus) akan lebih efisien karena tidak harus mendirikan sekolah khusus yang membutuhkan kelengkapan yang serba khusus dengan biaya yang cukup besar.
Sebelum memasukkan anak berkebutuhan khusus ke sekolah inklusi, ada baiknya orang tua harus mempertimbangkan terlebih dahu lu akan kelebihan dan kelemahan hingga memutuskan anak bergabung dan berinteraksi dengan temanteman sebaya yang per kem bang annya normal. Ada baiknya orang tua juga berkonsultasi de ngan para profesional (misal psikolog, dokter) untuk mendapatkan informasi terkait pendidikan inklusi, dan mengobservasi terlebih da hulu sekolah inklusi yang hendak dituju, terkait kurikulum, tenaga pengajar dan guru bayangan, sarana dan prasarana yang disediakan khususnya untuk anakanak berkebutuhan.
Berikut ini terdapat kelebihan dan kelemahan bagi ABK, terutama autis yang mengikuti pendidikan inklusi. Hal ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi para orang tua ketika hendak memasuk kan anaknya ke sekolah inklusi.
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
212
Kelebihan Kelemahan
Anak memiliki kesempatan untuk bersosialisasi dengan teman-teman sebayanya, guru, dan orang lain di lingkungan sekolah.Mendapatkan materi pelajaran yang lebih bervariasi dibandingkan ketika mengenyam pendidikan khusus.Anak-anak berkesempatan untuk menunjukkan perbaikan, kemandirian, dan dilatih meningkatkan perkembangan yang maksimal.Untuk menghindari perasaan terasing atau berbeda dalam diri ABK ketika berinteraksi pada lingkungan orang-orang dengan perkembangan normal.Bagi anak-anak dengan perkembangan normal dilatih untuk berempati dengan menerima kehadiran ABK.
Anak berkebutuhan khusus, terutama autis akan berisiko mengalami kasus bullying.Perlakuan yang kurang tepat dari orang lain dapat menurunkan kepercayaan diri dan menghambat proses penyesuaian diri ABK untuk berkembang secara optimal.Anak berkebutuhan dengan kemampuan intelektual yang lebih rendah akan kesulitan dan ketinggalan mengikuti pelajaran.Tenaga pendukung misalnya guru bayangan sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan ABK terutama anak autis, mengingat anak autis merupakan anak dengan gangguan perkembangan kompleks dan tingkat keparahannya bervariasi. Masih didapati guru kelas yang belum siap mengimplementasikan pendidikan inklusi, seperti kesulitan dalam mengelola kelas, kurang sabar menghadapi siswa, pemahaman yang kurang tentang pendidikan inklusi dan siswa berkebutuhan khusus
Meskipun terdapat beberapa kelemahan ketika anak mengikuti pendidikan inklusi, kunci sukses utama terletak pada pengasuhan orang tua. Orang tua yang senantiasa memotivasi, bersabar, mendu kung usaha anak, dan terus mengobservasi kegiatan anak tentu ak hirnya akan membuahkan hasil yang memuaskan. Orang tua tidak ha nya berfokus pada kekurangan anak, tetapi juga mencermati ke majuan yang dialami anak.
Penelitian terkait peranan pendidikan inklusi bagi kebutuhan anak autis, di antaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Wija yaptri (2011) bertujuan untuk menggali bagaimana metode pembel ajaran membaca pada anak autistik di sekolah inklusi. Penelitiannya menggunakan metode kualitatif dengan desain studi kasus tunggal. Hasil penelitiannya menunjukkan: 1) tidak ada metode pembelajaran khusus yang digunakan oleh sekolah inklusi dalam mengajarkan ke mampuan membaca pada siswa autistik; 2) sekolah mengembangkan pendidikan inklusi dengan cara melakukan modifikasi kurikulum, menumbuhkan dukungan sosial ba gi siswa autistik dan orang tuanya di sekolah, menjaga komitmen tim, dan mendorong orang tua untuk melakukan pendampingan belajar di luar jam sekolah; 3) siswa autis tik memperoleh dan meningkatkan kemampuan membacanya mela lui aktivitas belajar membaca di rumah.
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
213
C. PUSAT LAYANAN AUTIS INDONESIADalam rangka memenuhi kebutuhan sarana dan prasarana un tuk
layanan identifikasi dini, terapi dan pendidikan bagi anak penyan dang autis, Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebu dayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar, Direktorat Pembi na an Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus mulai tahun 2012 telah memberikan bantuan sosial untuk pembangunan Pusat Layanan Autis kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota. Kegiatan tersebut meru pakan bagian dari program Kementerian Pendidikan dan Kebudaya an dalam rangka memenu hi kebutuhan sarana dan prasarana untuk memberikan layanan bagi pe nyandang autis (Pembangunan Pusat Layanan Autis/PLA, 2014).
Pembangunan Pusat Layanan Autis di Indonesia berlandaskan pada dua Landasan Filosofi, yaitu Pancasila dan UndangUndang Da sar 1945. Pancasila menegaskan bahwa pemerataan akses dan pe ningkatan mutu pendidikan akan membuat warga negara Indonesia memiliki kecakapan hidup (life skills) sehingga mendorong tegaknya pembangunan manusia seutuhnya serta masyarakat madani dan modern yang dijiwai nilainilai Pancasila. Demikian juga UndangUndang Dasar 1945 menegaskan bahwa pendidikan merupakan hak asasi setiap warga negara Indonesia; setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh pendidikan yang bermutu sesuai dengan minat dan bakat yang dimilikinya tanpa memandang status sosial, status ekonomi, suku, etnis, agama, dan gender (Pembangunan Pusat La yanan Autis/PLA, 2014).
Selain Landasan Filosofi seperti yang telah dijelaskan di atas, maka terdapat Landasan Hukum sebagai dasar kuat dalam pembangunan Pusat Layanan Autis di Indonesia. Landasan Hukum Penyelenggaraan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus terdiri dari lima dasar, yaitu:1. UndangUndang 1945 (amendemen) Pasal 31 ayat (1) dan ayat (2) tentang hak pendidikan bagi warga
negara2. UndangUndang No. 20 Tahun 2003 Sistem Pendidikan Nasional
� Pasal 3, tentang Fungsi dan Tujuan Pendidikan Nasional � Pasal 5 ayat (1), (2), (3), dan (4) tentang Kesamaan Hak Pendi
dikan tanpa memandang kondisi fisik, emosional, mental, kecerdasan, ekonomi, maupun kondisi geografis.
� Pasal 32 ayat (1) dan (2) tentang Pendidikan Khusus dan La yanan Khusus
3. UndangUndang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
214
� Pasal 51, tentang Kesamaan Kesempatan dan Aksesibilitas Pen didikan bagi Anak Cacat Fisik dan/atau Mental
� Pasal 52, tentang Kesamaan Kesempatan dan Aksesibilitas Pendidikan bagi Anak yang Memiliki Keunggulan
� Pasal 53, tanggung Jawab Pemerintah dalam Membiayai Pen didikan Pelayanan Khusus bagi Anak dari Keluarga Kurang Mampu, Anak Terlantar dan Anak yang Berada di Daerah Ter pencil
4. UndangUndang No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat5. Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi
Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecer dasan dan/atau Bakat Istimewa(Pembangunan Pusat Layanan Autis/PLA, 2014).
Pusat Layanan Autis merupakan institusi/lembaga yang dapat dibentuk oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, perguruan tinggi dan /atau masyarakat dalam rangka memberikan layanan intervensi terpadu, layanan pendidikan tran sisi, dan la yanan pendukung lainnya bagi anak autis. Pusat Layanan Autis juga da pat dimanfaatkan oleh keluarga, sekolah, masyarakat dan pihak lain yang berkepentingan untuk memperoleh informasi dan/atau keterampilan berkaitan dengan layanan anak autis. Pusat Layanan Autis memiliki tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu men jamin terpenuhinya hakhak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkem bang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera sebagai tujuan umum pembangunan Pusat Layanan Autis, sedangkan tujuan khusus yaitu: 1) memberikan layanan intervensi terpadu anak autis dengan melibatkan berbagai profesi dan praktisi terkait untuk meminimalisasi perilaku autisitas anak; 2) memberikan layanan pendidikan transisi oleh te naga pen didik yang kompeten agar mereka memiliki kesiapan untuk meng ikuti pendidikan pada sekolahsekolah formal maupun nonformal; 3) memberikan layananlayanan pendukung bagi orang tua, sekolah, dan masyarakat agar memiliki kesiapan dan kemampuan dalam membimbing memberikan layanan bagi anakanak autis di rumah maupun di masyarakat (Mudjito dkk., 2014).
Berdasarkan data dan fakta dengan meningkatnya penyandang autis serta perundangan yang telah ada tersebut, untuk memberikan hakhak dan fasilitas pelayanan pendidikan pada anak berkebutuhan khusus terutama
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
215
anak autis, Pemerintah melalui Direktorat Pembi naan Pendidikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar te lah membangun Pusat Layanan Autis (PLA) di 28 Provinsi seluruh Indonesia.
Lokasi Pusat Layanan Autis (PLA) di seluruh Indonesia terdapat di PLA Kota Banda Aceh, PLA Provinsi Sumatra Utara, PLA Kota Padang, PLA Provinsi Riau, PLA Kota Batam, PLA Provinsi Jambi, PLA Provinsi BangkaBelitung, PLA Kota Metro Lampung, PLA Pro vinsi DKI Jakarta, PLA Kabupaten Kuningan, PLA Kota Surakarta, PLA Kabupaten Sragen, PLA D.I. Yogyakarta, PLA Kota Malang, PLA Kota Blitar, PLA Kota Denpasar, PLA Provinsi Nusa Tenggara Timur, PLA Kabupaten Singkawang, PLA Kota Palangkaraya, PLA Kota Sa marinda, PLA Kota Bontang, PLA Provinsi Kalimantan Selatan, PLA Kota Gorontalo (2014), dan terdapat penambahan Pusat Layanan Au tis yaitu di PLA Sidoarjo (Jawa Timur),
Terdapat tiga jenis layanan yang disediakan oleh PLA (Mudjito, dkk., 2014), yaitu:1. Layanan intervensi terpadu:
a. Layanan intervensi psikologis dan sosial;b. Layanan intervensi medis.
2. Layanan pendidikan transisi, bertujuan untuk mengenali potensi kemampuan anak, dan membekali anak dengan kemampuankemampuan dasar yang diperlukan untuk menjalani proses pendi dikan lebih lanjut pada jenjang dan/atau lembaga pendidikan formal yang sesuai dengan perkembangan terbaiknya. Tujuan akhirnya adalah untuk menyalurkan dan/atau menempatkan anak autis pada lembaga pendidikan yang tepat supaya dapat me ngembangkan potensinya secara optimal.a. Layanan pendidikan pra akademik;b. Layanan penempatan pada sekolah/lembaga formal maupun non
formal.3. Layanan pendukung
a. Layanan pendidikan dan pelatihan bagi keluarga, sekolah, dan masyarakat;
b. Layanan konsultasi dan informasi;c. Layanan identifikasi dan asesmen;d. Layanan penelitian dan pengembangan.
Kebutuhan ruang dan fasilitas Pusat Layanan Autis terdiri dari fasilitas utama dan fasilitas penunjang. Pada fasilitas utama didapa ti ruang terapi wicara, ruang terapi perilaku, ruang terapi okupasi, ruang terapi visual
SAM
PLE
PSIKOLOGI PENGASUHAN BAGI ORANG TUA ...
216
dan snoozelen, ruang terapi fisik, ruang terapist, ruang tenang, ruang assessmen dan konsultasi, ruang bina diri, ruang kelas transisi, ruang sensor integrasi, ruang bermain. Adapun pada fasilitas penunjang didapati ruang tunggu, ruang resepsionis, ruang pantry, ruang toilet, ruang serbaguna, ruang tamu, ruang dapur, ruang ibadah, ruang peralatan, ruang gudang, ruang kepala, ruang staf, ruang pengembangan, kolam renang, ramp.
REFERENSIBerit, J. & Skjorten, M.D. (2003). Pendidikan Kebutuhan Khusus: Se buah
Pengantar. Bandung: Unipub Forlag.Direktorat PLB. (2004). Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan Ter padu/
Inklusi. Jakarta: Diren PLB.Elisa, S., & Wrastasri, A.T. (2013). Sikap guru terhadap inklusi ditinjau
dari faktor pembentuk sikap. Jurnal Psikologi Perkembangan dan Pen-didikan, 2(1), 110.
Frederickson, N., & Lambert, N. (2015). Inclusion for children with special educational needs: How can psychology help?. In Educa tional Psy-chology (pp. 124149). Routledge.
Ginanjar. A.S. (2008). Panduan Praktis Mendidik Anak Autis: Menja di Orang Tua Istimewa. Jakarta: Dian Rakyat.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. (2016). Gam baran Se-kolah Inklusif di Indonesia (Tinjauan Sekolah Menengah Pertama) Tahun 2016. Jakarta: Pusat Data dan Statistik Pendi dikan dan Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan Nasional, (Online), (http://dikdas.kemdik nas.go. id/application/media/file/Permendiknas%20Nomor%20%2070% 20Tahun%202009.pdf).
Mangunsong, F. (2009). Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3). Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia.
Mudjito, AK., Harizal., Supena, A., & Ramadhan, A. (2014). Layanan Pen-di dikan Transisi Anak Autis. Direktorat Pembinaan Pendidikan Khu sus dan Layanan Khusus. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pembangunan Pusat Layanan Autis di Indonesia. (2014). Pembangun an Pusat Layanan Autis di indonesia. Direktorat Pembinaan Pen didikan Khusus dan Layanan Khusus Pendidikan Dasar. Direk to rat Jenderal Pen didikan Dasar. Kementerian Pendidikan dan Ke bu dayaan.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 70
SAM
PLE
BAB 6 • LAYANAN PENDIDIKAN
217
Tahun 2009. Pendidikan inklusif bagi peserta didik yang me miliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa. Jakarta.
Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2011. Kebijakan pengembangan kabupaten/kota layak anak. Jakarta.
Permendiknas No. 70 Tahun 2009 tentang Pendidikan Inklusif bagi Peserta Didik yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Ke cerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
Sheehy, K., & Budiyanto. (2014). Teachers’ attitudes to signing for children with severe learning disabilities in Indonesia. Interna tional Journal of Inclusive Education, 75(11), 11431161. https://doi.org/10.1080/13603116.2013.879216.
Supena, A. (2012). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta: 28 Jaya Printing dan Publisher.
Suyanto & Mudjito, A.K. (2012). Masa Depan Pendidikan Inklusif. Ja karta: Kemendiknas.
Wijayaptri, N.W.P. (2011). Implementasi Pendidikan Inklusi dalam Mening katkan Kemampuan Membaca Anak Autistik. (Skripsi tidak dipublikasikan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Zaitun, M.A. (2018). Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus.
SAM
PLE
TENTANG PENULIS
Dr. Nurussakinah Daulay, M.Psi., Psikolog lahir di Medan pada tanggal 9 Desember 1982. Memperoleh gelar Sarjana (S1) dan Profesi Psikologi (S2) pada Fakultas Psikologi di Universitas Sumatra Utara. Selama tiga tahun tiga bulan, penulis telah meram pungkan studi Doktoral (S3) di Fakultas Psikologi Univer sitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Sejak tahun 2009 telah ber gabung sebagai dosen pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sumatra Utara Medan. Selain mengajar, penulis juga sering menjadi pemateri pada berbagai kegiatan parenting di berbagai sekolah dan madrasah.
Sejumlah karya ilmiah, baik jurnal terakreditasi nasional maupun jurnal internasional bereputasi telah dipublikasikan, dapat diakses mela lui http://orcid.org dengan ID 0000000262238546 atau me la lui googescholar. Selain pro duktif meng hasilkan karya ilmiah, pe nu lis juga aktif seba gai reviewer pada beberapa Jurnal Nasional Ter akreditasi SINTA Indonesia, dan sebagai editor buku. Sejumlah karya ilmiah telah dipublikasikan dalam bentuk buku berbasis penelitian, jurnal penelitian, book chapter, dan buku referensi yang sudah diterbitkan adalah Pengantar Psikologi dan Pandangan Al-Qur’an ten tang Psikologi (KencanaPrenadaMedia Group Jakarta), Psikologi Kecer das an Anak (Perdana Publishing Medan), Psikologi Pendidikan dan Per masalahan Umum Peserta Didik (Perdana Publishing Medan), Buku Pan duan Bimbingan Konseling “Pendidikan Madrasah pada Pandemi: Panduan Guru BK Melaksanakan Pelayanan Melalui Online” (CV Pusdikra Mit ra Jaya, Medan), dan Islam Rahmatan Lil Alamin (CV ManHaji Medan).
SAM
PLE
TENTANG EDITOR
Ade Chita Putri Harahap, M.Pd., Kons., lahir di Pematangsiantar, 1 Maret 1991. Anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Sam
sul Rivai Harahap, S.Pd.I dan Anari Salmiah, S.Pd.AUD. Menyelesaikan Sarjana (S1) pada tahun 2013 di UMSU, Magister (S2) pada tahun 2017 dan Pendidikan Profesi Konselor (PPK) pada tahun 2016 di UNP. Mulai bertugas tahun 2019 sebagai Dosen di Universitas Islam Negeri Sumatra Utara (UINSU) Medan.
Karya ilmiah yang sudah diterbitkan di Jurnal Nasional dan Pro si ding di antaranya adalah “Analisis Tingkat Stres Akademik Pada Mahasis wa Selama Pembelajaran Jarak Jauh Dimasa Covid19”, “Im pli kasi Layanan Bimbingan dan Konseling dalam mencegah Peri la ku Body Sha ming”, “Covid19: Self Regulated Learning Mahasiswa”, “Hu bungan Self Efficacy dan Dukungan Sosial Orang Tua dengan Self Regu lated Learning Siswa”, dan “Character Building”.