-
TEMU PROFESI TAHUNAN (TPT) XVII PERHAPI 2008PALEMBANG, 24-25
JULI 2008
PENGEMBANGAN PROSES, TEKNOLOGI DAN PROFESIONALISME
MENUJU KEBERLANJUTAN PERTAMBANGAN
PERHIMPUNAN AHLI PERTAMBANGAN INDONESIAASSOCIATION OF INDONESIAN
MINING PROFESSIONALS
ISBN 978-979-8826-14-6
PROSIDING
-
Kata Pengantar
Salam PERHAPI,
Pembangunan berkelanjutan merupakan tanggung jawab sektor
Pertambangan bersama-sama
sektor lainnya. Oleh karena itu, kita mengharapkan peningkatan
profesionalisme para
anggotanya dan pengembangan teknologi yang menunjang pembangunan
tersebut.
Salah satu wahana untuk mendapatkan masukan agar dapat
mewujudkan cita-cita bersama ini
Temu Profesi Tahunan (TPT) XVII PERHAPI Tahun 2008 di Palembang
tanggal 24-25 Juli
2008 mengambil tema Pengembangan Proses, Teknologi dan
Profesionalisme Menuju
Keberlanjutan Pertambangan. Selain sebagai wahana tukar pikiran
atau untuk memperkaya
wawasan, antar anggota PERHAPI maupun dengan pihak-pihak
terkait, makalah-makalah ini
diharapkan sebagai salah satu masukan untuk Pembangunan
Berkelanjutan tersebut. Dalam
Acara ini, 32 makalah yang telah dipilih dari 50 makalah yang
masuk, akan dipresentasikan
oleh pemakalah dan 3 Pemenang lomba makalah tingkat
mahasiswa.
Semua makalah masuk dalam Prosiding TPT XVII PERHAPI 2008 TPT
XVII PERHAPI
2008 yang berisi 53 Makalah yang dibagi menjadi Kelompok
Kebijakan/Mineral Ekonomi,
Kelompok Geologi/Eksplorasi, Kelompok Penambangan, Kelompok
Pengolahan/Metalurgi,
Kelompok Lingkungan Tambang dan Kelompok Student Paper
Contest.
Dalam kesempatan yang berbahagia ini pula, segenap Pengurus
PERHAPI ingin
menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang
setinggi-tingginya kepada semua
pihak yang telah mendukung sehingga acara TPT XVII PERHAPI 2008
dapat terselenggara
dengan baik.
Jakarta, 24 Juli 2008
Prof. Dr. Ir. Irwandy Arif, M.Sc
Ketua Umum PERHAPI
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR i DAFTAR ISI ii
KELOMPOK I : KEBIJAKAN/MINERAL EKONOMI
Hal
1 Merencanakan Bahan Bakar Batubara Untuk PLTU 10.000 MW,
Ir.Amirrusdi, M.Si, Widyaiswara Madya, Pusdiklat Ketenagalistrikan
Dan Energi Baru Terbarukan.
1
2 Endapan Logam Dasar Di Pegunungan Selatan-Jawa Dan
Optimalisasi Penambangannya Yang Berbasis Masyarakat Lokal,
Arifudin Idrus, Jurusan Teknik Geologi FT-UGM.
12
3 Mampukan Tambang Mengurangi Kemiskinan?, Harry Miarsono,
Ph.D., PT Kaltim Prima Coal.
21
4 Aspek Sosial Dalam Rencana Penambangan Pasir Besi Kulon Progo,
D.Haryanto, Jurusan T. Pertambangan Fakultas Teknologi Mineral
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta.
32
5 Meneropong Perubahan Paradigma Profesionalisme Maintenance
Equipment Mencapai Zero Technology di Dunia Pertambangan, Irwan,
Maintenance Engineer PT. International Nickel Indonesia Tbk.
40
6 Kajian Dampak Lingkungan Program Sumatera Selatan Sebagai
Lumbung Energi Nasional, M. Taufik Toha, Fakultas Teknik
Universitas Sriwijaya.
48
7 Strategi Pengembangan Energi Baru Dan Terbarukan Untuk
Percepatan Sumatera Selatan Sebagai Lumbung Energi Nasional,
Machmud Hasjim dan M. Taufik Toha, Fakultas Teknik Universitas
Sriwijaya.
64
8 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pedesaan Disekitar Lokasi
Pertambangan (Proyek Tambang Emas PT. Cibaliung Sumberdaya),
Noegroho Soeprayitno, PT. Cibaliung Sumberdaya.
76
9 Industri Pertambangan Umum Dan Keberlanjutan Fiskal: Peranan
PT. Freeport Indonesia, Nuzul Achjar, Khoirunurrofik, Uka Wikarya,
Ibrahim Kholilul Rohman, Widyono Soetjipto; Lembaga Penyelidikan
Ekonomi dan Masyarakat, Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
(LPEM-FEUI).
81
ii
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
iii
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
10 Pengaruh Kebijakan Pemerintah (Government Policies) Dan
Potensi Mineral (Mineral Potential) Terhadap Investasi Pada
Industri Tambang Indonesia Dan Turkey, Perisai Ginting, PT.
International Nickel Indonesia Tbk.
92
11 Clean Development Mechanism (CDM) Pasca Tambang di
Pertambangan Batubara PT Kaltim Prima Coal : Suatu Kajian Pustaka,
Restu Juniah, Jurusan Pertambangan Fakultas Teknik Unsri.
106
12 Refleksi 100 Tahun Kebangkitan Nasional Dan Perjalanan
Industri Pertambangan Di Indonesia Sebuah Pendekatan Historis
Komperatif, Rezki Syahrir.
114
13 Strategi Pemilihan Teknologi Pemanfaatan Batubara Peringkat
Rendah Indonesia, Rudianto Ekawan1), Aryo P Wibowo1), Rudy S
Gautama1), Fadhila A Rosyid1), Johannes Novendi2),1) Kelompok
Keahlian Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik Pertambangan &
Perminyakan, Institut Teknologi Bandung 2) Program Magister
Rekayasa Pertambangan, Institut Teknologi Bandung.
125
14 Pemanfaatan E-Learning Dalam Pembelajaran Keselamatan Kerja
Untuk Mendukung Penambangan Berkelanjutan (Studi Konseptual Untuk
Pertambangan), Wayan Dewantara, Human Resources Organization
Development PT International Nickel Indonesia Tbk.
140
KELOMPOK II : GEOLOGI/EKSPLORASI
15 Tomografi Tahanan Jenis Untuk Geoteknik Dan Eksplorasi, B.
Sulistijo, Kelompok Keahlian Eksplorasi Sumber Daya Bumi, ITB.
150
16 Penggunaan Geolistrik Tahanan Jenis 2 D Untuk Identifikasi
Arah Sebaran Batu Besi Di Daerah Y, Kabupaten Belitung Timur, Eddy
Ibrahim, Staf Pengajar Jurusan Teknik Pertambangan dan Prog. Studi
S2 Pengelolaan Lingkungan- Pascasarjana, Universitas Sriwijaya.
160
17 Kajian Reservoir Hidrokarbon Dengan Metode Inversion Vertical
Electrical Logging (IVEL) Konfigurasi Wenner (Studi Kasus Lapangan
Y PT. Pertamina EP Region Sumatera), Eddy Ibrahim 1 & 2*) Ardi
1)
W.W.Parnadi )3 , 1)Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik,
Universitas Sriwijaya, 2)Prog. Studi S2 Pengelolaan Lingkungan-
FPS,Universitas Sriwijaya, 3)Prog. Studi Teknik Geofisika, Institut
Teknologi Bandung.
171
-
iv
18 Do Supergene Enrichment Of Gold (-Silver) Making Pongkor An
Economic Deposit?, I Wayan Warmada1, Herian Sudarman Hemes2,
1Department of Geological Engineering, Faculty of Engineering,
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia, 2PT. Aneka Tambang
(Persero) Tbk, Unit Penambangan Emas Pongkor, Bogor, Indonesia
186
19 Pengaruh Faktor Isotropi Dalam Estimasi Titik Inverse
Distance Square (Studi Kasus Endapan Timah Aluvial), Ir. Kresno,
MM, M.Sc, Jurusan Teknik Pertambangan UPN Veteran Yogyakarta
192
20 Keterintegralan Riemann Based On Leibniz Dalam Perhitungan
Bahan Galian, Nur Ali Amri, Jurusan Teknik Pertambangan FTM UPN
Veteran Yogyakarta.
202
21 Pra Studi Kelayakan Endapan Marmer Di Desa Jetak Kecamatan
Tulakan Kabupaten Pacitan, Yanto Indonesianto, Hasywir Thaib, Hans
A Detaq, (Teknik Pertambangan UPN veteran Yogyakarta.
208
22 Pemakaian Metode Resistivity Sounding Dalam Upaya Mengetahui
Katebalan Overburden Dan Distribusi Lapisan Batu Bara Di Batulicin,
Kalimantan Selatan, Yatini*, Dwi Poetranto WA**, Imam Suyanto***,
*staf pengajar Jurusan Teknik Geofisika UPN Veteran Yogyakarta **
staf pengajar Teknik Pertambangan UPN Veteran, ***staf pengajar
Prodi Geofisika-FMIPA-UGM Yogyakarta.
219
KELOMPOK III : PENAMBANGAN
23 Persoalan Optimasi Faktor Keamanan Minimum Dalam Analisis
Kestabilan Lereng Dan Penyelesaiannya Menggunakan Matlab, Anoko
Kusuma Ari dan Irwandy Arif*), *)Program Studi Teknik Pertambangan
ITB.
230
24 Kontribusi Pemasangan Cable Bolt Dalam Menahan Perpindahan
Massa Batuan Pada Tambang Bawah Tanah; Barlian Dwinagara1), Ridho
K. Wattimena2), Irwandy Arif2); 1)Jurusan Teknik Pertambangan UPN
Veteran Yogyakarta, 2)Program Studi Teknik Pertambangan Institut
Teknologi Bandung.
247
25 Sistem Penimbunan Batubara Pada Stockpile Pelabuhan Di
Tambang Terbuka Pt. Arutmin Indonesia Asam-Asam Kalimantan Selatan,
Edy Nursanto, Reza Supianto, Jurusan Teknik Pertambangan, Fakultas
Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
256
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
26 Aplikasi Slope Stability Radar (SSR) Untuk Prediksi Batas
Kritis (Threshold) Pergerakan Lereng Di Tambang Terbuka Batuhijau
Studi Kasus, Fransiscus Cahya Kusnantaka, Charly Indrajaya, PT
Newmont Nusa Tenggara, Indonesia.
262
27 Peledakan Tambang Terbuka Dekat Pipa Transmisi, Ganda M.
Simangunsong 1, Dwihandoyo Marmer 2, Ausir Nasrudin 3, 1 Program
Studi Teknik Pertambangan, Institut Teknologi Bandung 2 Pusat
Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara 3 PT
Adaro Indonesia
278
28 Penerapan Teori Blok Untuk Analisis Kestabilan Cerun Batuan
Bukit Fraser Di Pahang Malaysia, Haswanto1), and Abd. Ghani Md.
Rafek2), 1)Jurusan pertambangan , FTM, Universitas Trisakti,
Jakarta, Indonesia. 2)Departmen Geology, UKM, Bangi, Malaysia.
285
29 Aplikasi Ventsim Untuk Evaluasi Ventilasi Di Ciurug UBPE
Pongkor, PT Antam Tbk., Indonesia, Risono*1), Achmad Ardianto1),
Djoko Widajatno2), Nuhindro Priagung Widodo 2), 1)UBPE Pongkor, PT
Antam Tbk, Indonesia, 2)Program Studi Teknik Pertambangan, FIKTM,
ITB, Bandung, Indonesia.
296
30 Aplikasi Backfill Pada Tambang Mekanis Cut And Fill Di Ciurug
UBPE Pongkor, PT Antam Tbk., Indonesia; Setyawan Suseno; UBPE
Pongkor PT Antam Tbk., Indonesia.
305
31 Peranan Klasifikasi Massa Batuan Pada Perancangan Lereng
Tambang Terbuka Penambangan Batubara, PT. Adaro Indonesia; Singgih
Saptono, Suseno Kramadibrata, Ridho K. Wattimena, & Budi
Sulistianto; Program Studi Rekayasa Pertambangan FTTM, ITB.
315
32 Rancangan Multi Pit Penambangan Batubara; Waterman Sulistyana
B., Hasywir Thaib Siri, Dewa Widyanto, Jurusan Teknik Pertambangan
UPN Veteran Yogyakarta.
323
33 Mengoptimalkan Kinerja Dan Menyejahterakan Karyawan
Maintenance Alat Berat Tambang Dengan Memperpanjang Jam Kerja,
Wiwin Sujati, Superintendent Mechanical Truck, PT. Kaltim Prima
Coal.
331
KELOMPOK IV: PENGOLAHAN/METALURGI
34 Uji Kualitas Pembakaran Biobriket Batubara Sebagai Bahan
Bakar Alternatif, Abuamat HAK1) dan Restu Juniah2*), 1,2)Jurusan
Pertambangan Fakultas Teknik Unsri.
337
35 Peningkatan Kapasitas Produksi Pabrik Feni 2 Dengan Recycle
Slag De-Sulfurisasi, Anas Safriatna, Refinery & Casting
Manager, PT Antam Tbk UBP Nikel.
345
v
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
36 Studi Pengambilan Karbon Aktif Dari Tailing Dengan Metode
Froth Flotation Di PT Aneka Tambang Tbk. UBPE Pongkor, Arif Tirto
Aji, dan Andik Yudiarto, ST; PT. Aneka Tambang, Tbk.
352
37 The Way KPC Manages Coal Dusts To Maintain Sustainable Coal
Processing Plant Operations, Asmit Abdullah ST, Manager Coal
Processing Plant, PT Kaltim Prima Coal-Sengata Kutai Timur.
366
38 Feasibility Study Refractory Castable Sebagai Pengganti
Cooling Water Pada Raw Gas Stack Electric Smelting Furnace No.2,
Hendra Wijayanto ST, Processing And Engineering Department Nickel
Mining Business Unit, PT ANTAM Tbk, Indonesia.
376
39 Oksidasi Awal Dengan Hidrogen Peroksida Pada Proses Pelindian
Emas Di PT. Indo Muro Kencana, Ir. Imam Subagyo, PT. Indo Muro
Kencana.
388
40 Study Ketercucian Batubara Sebagai Dasar Rancangan Pabrik
Pencucian Batubara, Indah Setyowati, Jurusan Teknik Pertambangan,
Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
398
41 Proses Pemanggangan-Reduksi Dalam Pemanfaatan Pasir Besi
Sebagai Bahan Baku Industri Besi Baja, Pramusanto dan Nuryadi
Saleh, puslitbang tekMIRA.
408
42 Pencucian Bijih Timah Dengan Meja Goyang Di Tin Shed, PT Koba
Tin, Pramusanto1,2), Sriyanti2), dan Sapta N.F. Syaputra2),
1)Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2)Jurusan Teknik
Pertambangan, UNISBA.
416
43 Penentuan Karakteristik Bijih Nikel Untuk Umpan Pabrik Feni-3
Berdasarkan Parameter Operasi Electric Smelting Furnace 3, Rio
Dharma Putra, S.T., dan Riko, S.T., PT. Antam, UBP Nikel
Pomalaa.
431
44 Korelasi Nickel Crude High Grade Terhadap Pola Operasi Tanur
Listrik Feni 3, Yogi Suprayogi, PT. Antam, UBP Nikel Pomalaa
443
KELOMPOK V : LINGKUNGAN TAMBANG
45 Prakiraan Dampak Lingkungan Penambangan Pasir Besi Di Selatan
Pulau Jawa, Chusharini Chamid(1), Yuliadi(1) dan B. Sulistijo(2) ,
(1)Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Islam Bandung
(2)Institut Teknologi Bandung.
456
vi
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
36 Studi Pengambilan Karbon Aktif Dari Tailing Dengan Metode
Froth Flotation Di PT Aneka Tambang Tbk. UBPE Pongkor, Arif Tirto
Aji, dan Andik Yudiarto, ST; PT. Aneka Tambang, Tbk.
352
37 The Way KPC Manages Coal Dusts To Maintain Sustainable Coal
Processing Plant Operations, Asmit Abdullah ST, Manager Coal
Processing Plant, PT Kaltim Prima Coal-Sengata Kutai Timur.
366
38 Feasibility Study Refractory Castable Sebagai Pengganti
Cooling Water Pada Raw Gas Stack Electric Smelting Furnace No.2,
Hendra Wijayanto ST, Processing And Engineering Department Nickel
Mining Business Unit, PT ANTAM Tbk, Indonesia.
376
39 Oksidasi Awal Dengan Hidrogen Peroksida Pada Proses Pelindian
Emas Di PT. Indo Muro Kencana, Ir. Imam Subagyo, PT. Indo Muro
Kencana.
388
40 Study Ketercucian Batubara Sebagai Dasar Rancangan Pabrik
Pencucian Batubara, Indah Setyowati, Jurusan Teknik Pertambangan,
Fakultas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Yogyakarta.
398
41 Proses Pemanggangan-Reduksi Dalam Pemanfaatan Pasir Besi
Sebagai Bahan Baku Industri Besi Baja, Pramusanto dan Nuryadi
Saleh, puslitbang tekMIRA.
408
42 Pencucian Bijih Timah Dengan Meja Goyang Di Tin Shed, PT Koba
Tin, Pramusanto1,2), Sriyanti2), dan Sapta N.F. Syaputra2),
1)Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara, 2)Jurusan Teknik
Pertambangan, UNISBA.
416
43 Penentuan Karakteristik Bijih Nikel Untuk Umpan Pabrik Feni-3
Berdasarkan Parameter Operasi Electric Smelting Furnace 3, Rio
Dharma Putra, S.T., dan Riko, S.T., PT. Antam, UBP Nikel
Pomalaa.
431
44 Korelasi Nickel Crude High Grade Terhadap Pola Operasi Tanur
Listrik Feni 3, Yogi Suprayogi, PT. Antam, UBP Nikel Pomalaa
443
KELOMPOK V : LINGKUNGAN TAMBANG
45 Prakiraan Dampak Lingkungan Penambangan Pasir Besi Di Selatan
Pulau Jawa, Chusharini Chamid(1), Yuliadi(1) dan B. Sulistijo(2) ,
(1)Program Studi Teknik Pertambangan Universitas Islam Bandung
(2)Institut Teknologi Bandung.
456
vii
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
MERENCANAKAN BAHAN BAKAR BATUBARA UNTUK
PLTU 10.000 MW
Disusun oleh: Ir.Amirrusdi, MSi Widyaiswara Madya Pusdiklat
Ketenagalistikan dan
Energi Baru Terbarukan
Abstrak
Berdasarkan hitungan Ditjen Migas dalam APBN Perubahan 2008,
pagu anggaran subsidi energi mencapai Rp. 198 Trilyun, yang terdiri
atas subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM) sebesar Rp. 82 Trilyun dan
subsidi listrik Rp. 60,29 Trilyun (untuk patokan harga BBM 125
USD/barrel). (Kompas, 18 April 2008). Besarnya subsidi ini karena
sebagian besar Pembangkit Listrik berbahan bakar minyak.
Untuk itu Pemerintah segera akan merealisasikan Pembangkit
listrik Tenaga Uap berbahan bakar batubara yang diharapkan mulai
beroperasi di tahun 2010, dengan alasan cadangan batubara cukup
banyak di Indonesia dan harga per Kwh-nya 10 kali lebih murah
dibandingkan bahan bakar minyak. Akan tetapi banyak kendala
terutama pasokan batubara pada saat beroperasinya PLTU tersebut,
karena belum ada kepastian tersedianya batubara yang diperlukan.
Menurut beberapa ahli, diperlukan kurang lebih 60-70 juta ton
batubara pertahun untuk mengoperasikan PLTU 10.000 MW tersebut.
Walaupun cadangan sumber daya batubara sampai saat ini sudah
mencapai 90,451 milyar ton, yang tersebar di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (terbesar di Sumatera 53,824
milyar ton), tapi yang dapat di tambang mungkin hanya sebesar 5,3
milyar ton. Lagi pula saat ini sebagian besar diekspor sebanyak
80%, dan untuk penggunaan dalam negeri hanya 20%. Contoh di tahun
2006 ekspor sebanyak 140 juta ton, pemakaian domestic hanya 40 juta
ton. Dengan alasan bisnis atau selisih harga batubara internasional
dan domesik saat ini makin besar, sehingga produsen batubara
cenderung mengekspor produksinya, selain itu untuk ekspor bahan
tambang ini pemerintah tidak mengenakan pajak ekspor seperti pada
ekspor minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil).
Apabila pembangkit listrik 10.000 MW ini sudah beroperasi, maka
nantinya hanya 8% pembangkit listrik Indonesia yang menggunakan
BBM, berarti subsidi BBM akan jauh menurun, sehingga dana-dana
subsidi tersebut dapat digunakan untuk pembangunan di sektor
lain.
Untuk mempersiapkan bahan bakar batubara guna keperluan PLTU
10.000 MW, tidaklah mudah. Diperlukan strategi perencanaan yang
matang baik dari kebijakan pemerintah, segi bisnis, sarana dan
prasarana baik di tambang-tambangbatubara, maupun di PLTU, sarana
transportasi (jalan,jembatan), alat angkut, pelabuhan maupun
tongkang-tongkang pengangkut, dan sumber daya manusia
pengelolanya.
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
Oleh karena itu, multi perencanaan pekerjaan dari hulu ke hilir
serta Low Enforcement dari pemerintah perlu direncanakan lebih
matang, bila impian PLTU 10.000 MW akan terwujud di tahun 2010.
Kata Kunci: Suksesnya batubara untuk PLTU 10.000 MW direncanakan
dengan DMO (Domestic Market Obligtion), pembukaan tambang dan
pembangunan infrastruktur serta pajak ekspor.
Pembukaan
Alasan pemerintah Indonesia untuk membangun PLTU Batubara 10.000
MW antara lain biaya pokok listrik, bahan bakar batubara, hanya Rp
143/KwH, dibandingkan gas alam Rp 214/KwH atau bahan bakar minyak
Rp 1302/KwH, selain itu sampai saat ini pembangkit listrik yang
menggunakan bahan bakar minyak (BBM) masih mencapai 8900 MW (41%).
Dan biaya pembelian BBM di tahun 2006, sebesar Rp 52,3 Trilyun,
perkiraan di tahun 2007 biaya pembelian BBM masih sebesar Rp 38,04
Trilyun (Kompas 20 Februari 2007 dan 23 Mei 2006). Dari data-data
tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa sebagian besar dana APBN
akan tersedot untuk membeli BBM yang sebenarnya dapat di hemat
untuk membeli bahan bakar Batubara dengan perbandingan harga
listrik/KwH antara bahan bakar Batubara dan Bahan Bakar Minyak,
satu berbanding sembilan, bila memanfaatkan Batubara hanya di bayar
Rp100/KwH tapi bila menggunakan BBM, harus di bayar Rp 900/KwH.
Indonesia terancam krisis energi! Konsumsi bahan bakar minyak di
tahun 2005 mencapai 70 juta kilo liter. Dari konsumsi sebesar ini,
sektor transportasi (47%), rumah tangga (20%), industri (19%), dan
pembangkit listrik (14%). Padahal beberapa konsumsi bahan bakar
tersebut dapat dialihkan kepada listrik seperti dari sektor
transportasi (dengan kereta api listrik), dari sektor rumah tangga
dan industri (dengan energi dari listrik), yang berarti diperlukan
pembangkit listrik berbahan bakar energi yang murah dan banyak
cadangannya di Indonesia seperti batubara. Konon, cadangan batubara
Indonesia sudah mencapai 57 milyar ton, dengan rata-rata produksi
130 juta ton per tahun. Maka, selama lebih kurang 147 tahun ke
depan, PLTU batubara akan tetap memproduksi energi dan terjamin
bahan bakarnya, tidak tergantung batubaranya dengan negara
lain.
Pemerintah sejak tahun 2006, sudah memprogramkan pembangunan
PLTU Batubara 10.000 MW. Tidak lama lagi direncanakan PT. PLN
(Persero) akan menandatangani kontrak engineering, procurement and
construction (EPC) pada empat proyek PLTU, yaitu di Suralaya,
Paiton, Indramayu dan Labuan. Adapun pemenang tender-nya adalah
China National Technical Import and Export Corporation (CNTIC)
untuk PLTU Suralaya (1 x 600 MW), China National Machinery Industry
Corporation untuk PLTU Indramayu (3 x 300 MW), Chengda Engineering
Corporation untuk PLTU Labuan (2 x 300 MW) dan Harbin Power
Engineering di PLTU Paiton (1 x 600 MW). (Media Indonesia, 11 Maret
2007)
Dengan mulainya pembangunan PLTU 10.000 MW ini, berarti
pemerintah harus mengantisipasi bahan bakar batubaranya, cadangan
Batubara, rencana penambangan, jalur-jalur transportasi, alat-alat
transportasi, tongkang, tug boat, lokasi penumpukan pembersihan
batubara, jadwal pengangkutan, dan lain sebagainya.
2
-
Domestic Market Obligation
Undang-Undang Dasar 1945, pasal 33 ayat 3 berbunyi Bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Jadi,
batubara dikuasai oleh negara dan tujuannya untuk kemakmuran
rakyat.
Proyek PLTU Batubara 10.000 MW yang direncanakan selesai tahun
2009 ini jelas menambah kebutuhan batubara nasional, sedikitnya
diperlukan tambahan batubara sebanyak 30 juta ton per tahun.
Mengingat produksi batubara yang dihasilkan oleh perusahan
batubara ditujukan juga untuk ekspor yang menurut prakiraan 11th
Indonesia-Australia Joint Working Group on Energy Mineral 2006,
pada tahun 2010 Indonesia akan mengekspor sejumlah 170 juta ton,
maka pada saat itu total keperluan batubara akan mencapai
sekurang-kurangnya 240 juta ton (170 juta ton ditambah kebutuhan
domestik 70 juta ton). Pada saat ini, Indonesia akan menjadi
eksportir batubara terbesar di dunia, Australia pada urutan kedua
(hanya mampu mengekspor 135 juta ton), Afrika Selatan (hanya 93
juta ton), dan Cina (hanya 75 juta ton). Dibandingkan dengan
pemanfaatan batubara di dalam negeri maka Cina memanfaatkan
batubara sebagai sumber listriknya yang mencapai 78%, Afrika
Selatan sebanyak 92%
Kiranya pemerintah harus mengantisipasi bila para pebisnis
batubara melihat harga pasar di pasar global lebih menguntungkan
daripada di dalam negeri maka besar kemungkinan kebutuhan domestik
terabaikan, seandainya harga jual di dalam negeri hanya Rp. 361.700
per ton sedangkan ekspor US$ 45 per ton. (Media Indonesia, 28
Desember 2006)
Sebagai contoh, di Cina yang memiliki sumber batubara 7 miliar
ton, hingga akhir 2005 sudah di produksi 1,9 miliar ton. Tapi dari
jumlah itu, hanya 80 juta ton saja yang di ekspor. Pemerintah Cina
hanya menunjuk 4 perusahaan yang menjalankan ekspor, bandingkan
dengan Indonesia deangan UUD 1945 pasal 33 ayat 3, kenyataanya
semua perusahaan dapat mengekspor batubara asalkan ada koneksi
pasarnya.
Oleh karena itu, pemerintah sesuai dengan amanat UUD 1945 segera
menetapkan kebijakan Domestic Market Obligation (DOM). Berhasilnya
PLTU Batubara 10.000 MW, harus didukung oleh semua lapisan
masyarakat, baik dari segi kebijakan yang bermoral, dan kesadaran
kebangsaan bagi pelaku bisnis batubara, karena batubara adalah
salah satu energi unrenewable dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Tahapan Pembangunan PLTU Batubara
Secara umum, sistem pembangunan sebuah pembangkit PTU Batubara
dimulai dengan pertanyaan mengapa? Mengapa pembangkit harus
dibangun? Jawabannya bermacam-macam, antara lain : krisis energi,
memanfaatkan energi yang ada, harga batubara yang murah, mudah
mengoperasikannya baik di tambang atau pada pembangkit, tidak
ketergantungan bahan bakar dengan negara lain, sumber daya
manusianya tersedia (skil dan non skill), transportasinya mudah,
dengan teknologi batubara bersih, tidak merusak lingkungan, dan
lain sebagainya.
3
-
Pertanyaan kedua, dimana akan didirikannya? Dengan alasan
konsumen listriknya, jaringan listrik, kesiapan pemerintah daerah
dan pusat, penerimaan masyarakat dari sisi sosial, ekonomi, budaya,
lingkungan hidup, dan lain sebagainya.
Pertanyaan ketiga, pendanaan? Apakah dari APBN, APBD, pinjaman
luar negeri, hibah, dan lain sebagainya.
Mungkin puluhan pertanyaan lainnya akan timbul sebelum PLTU
10.000 MW ini ditetapkan untuk dijadwalkan dan kenyataannya
penandatangan kontrak sudah akan dilaksanakan sekitar semester
pertama tahun 2007 dan bila tidak ada halangan maka pada tahun
2010, realisasi PLTU ini sudah terlaksana.
Lokasi PLTU Batubara
Pembangunan sejumlah PLTU Batubara di Pulau Jawa yang terdiri
dari 10 proyek, yaitu di Suralaya, Paiton, Rembang, Indramayu,
Tanjung Awar-Awar, Labuhan, Tanjung Jati, Pacitan, Teluk Naga dan
Pelabuhan Ratu, dengan kapasitas 6.900 MW. Sedangkan di luar Pulau
Jawa dengan kapasitas 3.100 MW, terdiri dari 25 PLTU, dimana proyek
pembangkit di luar Pulau Jawa terbagi atas kelas (7-25 MW), (50-65
MW) dan (100-200 MW) yang tersebar di Sumatera (10 Proyek),
Kalimantan (4 Proyek), Sulawesi (4 proyek), Nusa Tenggara (3
proyek), Maluku (2 proyek), dan Papua (2 proyek).
Direncanakan proyek pembangkit yang kelasnya lebih dari 100 MW
ditargetkan bisa selesai dalam waktu 30 bulan. Sementara pembangkit
listrik yang kelasnya kurang dari 100 MW ditargetkan selesai dalam
jangka waktu 24 bulan, dimana pemasukan dokumen lelang tahap
pra-kualifikasi pada tanggal 6 Februari 2007.
Berdasarkan Keputusan Presiden RI No.80 tahun 2003, dalam
pembangunan PLTU Batubara ini muatan lokal untuk pembangkit 8 MW
sebesar 68%, 8 MW s/d 25 MW sebesar 50%, 25 MW s/d 50 MW sebesar
45%, di atas 100 MW sebesar 40%, sedangkan untuk pembangkit
berkapasitas 300 MW s/d 600 MW di pulau Jawa sebesar 15%.
PLTU Batubara 10.000 MW
NO. PULAU JAWA (6900 MW) NO. LUAR JAWA (3100 MW)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Suralaya (Banten)
Paiton (Jatim)
Rembang (Jateng)
Indramayu (Jabar)
Tanjung Awar-Awar (jatim)
Labuan (Banten)
Tanjung Jati Baru (Jateng)
Pacitan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sumatera (10 proyek)
Kalimantan (4 proyek)
Sulawesi (4 proyek)
Nusa Tenggara (3 proyek)
Maluku (2 proyek)
Papua (2 proyek)
4
-
Potensi Batubara dan Energi Fosil Lainnya
Berdasarkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025;
potensi batubara 57 miliar ton (sumber daya), 19,3 miliar ton
(cadangan proven+possible), yang apabila diproduksi setiap tahun
sebesar 130 juta ton, maka umur cadangan batubara Indonesia (rasio
cadangan/produksi) lebih kurang 147 tahun lagi dengan catatan tanpa
explorasi yang baru. Dibandingkan dengan potensi energi fosil
lainya, seperti minyak dan gas, maka cadangan energi yang terbesar
di Indonesia adalah batubara.
Potensi Energi Nasional 2004
JENIS ENERGI FOSIL
SUMBER DAYA
CADANGAN (PROVEN+POSSIBLE)
PRODUKSI
(PER TAHUN)
RASIO CAD/PROD
TANPA EKSPLORASI,
TAHUN
Minyak 86,9 miliar barel 9 miliar barel 500 juta barel 18
Gas 384,7 TSCF 182 TSCF 3,0 TSCF 61
Batubara 57 miliar ton 19,3 miliar ton 130 juta ton 147
Sumber : Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025
Bila di data mulai tahun 2006, maka produksi batubara Indonesia
mencapai 152,2 juta ton, dimana 107,3 juta ton (70%) merupakan
produksi ekspor dan 44,9 juta ton untuk keperluan domestik,
diperkirakan pada tahun 2010, ekspor akan mencapai 170 juta ton.
Maka dapat dipastikan produksi batubara akan naik secara domestik,
dimana sekurang-kurangnya bahan baku batubara untuk PLTU 10000 MW,
lebih kurang 30 juta ton pertahun. Belum lagi industri semen,
boiler untuk industri kecil dan menengah, briket batubara dan
lain-lain. Titik rawan dalam pasokan batubara 10.000 MW terletak
pada pertanyaan, apakah para kontraktor batubara akan mencukupi
kebutuhan PLTU Batubara Indonesia atau lebih baik ekspor, karena
harga jualnya lebih menguntungkan dan pembayarannya secara
tunai?
Pertanyaan awamnya, Apakah PT. KPC, PT Arutmin akan menjual
Batubaranya untuk PLTU Batubara 10000 MW di Indonesia? Setelah
Konglomerasi India Tata Power Corp, membeli 30% saham PT. KPC dan
PT. Arutmin, di mana rencananya batubara ini akan digunakan sebagai
bahan bakar pembangkit berkapasitas 7000 MW. Di pantai barat India,
untuk itu dibutuhkan batubara sebanyak 21 juta Ton/tahun. (Kompas,
2 April 2007).
Sementara itu, berdasarkan perhitungan di tahun 2006 sumber
batubara yang telah ditemukan di Indonesia sejumlah 61,37 miliar
ton batubara (APBI). Bila diasumsikan
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
Suralaya (Banten)
Paiton (Jatim)
Rembang (Jateng)
Indramayu (Jabar)
Tanjung Awar-Awar (jatim)
Labuan (Banten)
Tanjung Jati Baru (Jateng)
Pacitan
Teluk Naga (Banten)
Pelabuhan Ratu (Jabar)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sumatera (10 proyek)
Kalimantan (4 proyek)
Sulawesi (4 proyek)
Nusa Tenggara (3 proyek)
Maluku (2 proyek)
Papua (2 proyek)
Potensi Batubara dan Energi Fosil Lainnya
Berdasarkan Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025;
potensi batubara 57 miliar ton (sumber daya), 19,3 miliar ton
(cadangan proven+possible), yang apabila diproduksi setiap tahun
sebesar 130 juta ton, maka umur cadangan batubara Indonesia (rasio
cadangan/produksi) lebih kurang 147 tahun lagi dengan catatan tanpa
explorasi yang baru. Dibandingkan dengan potensi energi fosil
lainya, seperti minyak dan gas, maka cadangan energi yang terbesar
di Indonesia adalah batubara.
Potensi Energi Nasional 2004
JENIS ENERGI FOSIL
SUMBER DAYA
CADANGAN (PROVEN+POSSIBLE)
PRODUKSI
(PER TAHUN)
RASIO CAD/PROD
TANPA EKSPLORASI,
TAHUN
Minyak 86,9 miliar barel 9 miliar barel 500 juta barel 18
Gas 384,7 TSCF 182 TSCF 3,0 TSCF 61
Batubara 57 miliar ton 19,3 miliar ton 130 juta ton 147
Sumber : Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025
Bila di data mulai tahun 2006, maka produksi batubara Indonesia
mencapai 152,2 juta ton, dimana 107,3 juta ton (70%) merupakan
produksi ekspor dan 44,9 juta ton untuk keperluan domestik,
diperkirakan pada tahun 2010, ekspor akan mencapai 170 juta ton.
Maka dapat dipastikan produksi batubara akan naik secara domestik,
dimana sekurang-kurangnya bahan baku batubara untuk PLTU 10000 MW,
lebih kurang 30 juta ton pertahun. Belum lagi
5
-
produksi batubara rata-rata pertahunnya 432,2 juta ton maka
rakyat Indonesia masih dapat menambang batubara hingga 157 tahun
lamanya.
Menurut World Coal Institute (WCI) dan juga APBI, batubara
Indonesia terbanyak terdapat di tiga provinsi yaitu Sumatera
Selatan (2,65 miliar ton), Kalimantan Timur (2,4 mililar ton) dan
Kalimantan Selatan (1,79 miliar ton).
Hingga kini produksi pertambangan batu bara terbesar masih
terjadi pada kawasan Kalimantan Timur yang mencapai 81,1 juta ton
(54%) dan Kalimantan Selatan 61,2 juta ton
CADANGAN BATUBARA INDONESIACADANGAN BATUBARA INDONESIA
Sumber: StatistikBatubaradanMineral, DitjenGSM Per 1
Januari2004
(JutaTon)
Terukur Terunjuk Tereka Hipotetik TotalBanten 0,00 0,00 13,75
0,00 13,75 0,00JawaTengah 0,00 0,00 0,82 0,00 0,82 0,00JawaTimur
0,00 0,00 0,08 0,00 0,08 0,00NanggroeAcehDarussalam 90,40 13,40
346,35 0,00 450,15 0,00Sumatra Utara 19,97 0,00 7,00 0,00 26,97
0,00Riau 336,62 0,00 1.720,60 0,00 2.057,22 15,15Sumatra Barat
181,24 42,72 475,94 19,19 719,09 36,07Bengkulu 62,18 7,95 113,09
15,15 198,37 21,12Jambi 94,22 36,32 1.462,03 0,00 1.592,57
9,00Sumatra Selatan 1.970,75 19.946,48 323,17 0,00 22.240,40
2.653,98Lampung 0,00 0,00 106,95 0,00 106,95 0,00Kalimantan Barat
1,48 1,32 482,60 42,12 527,52 0,00Kalimantan Tengah 194,02 5,08
1.200,11 0,00 1.399,21 48,59Kalimantan Selatan 3.109,21 155,08
5.410,27 0,00 8.674,56 1.787,32Kalimantan Timur 6.385,13 325,21
12.401,11 456,34 19.567,79 2.410,33SulawesiSelatan 21,20 0,00
110,81 0,00 132,01 0,06Sulawesi Tengah 0,00 0,00 1,98 0,00 1,98
0,00Papua 0,00 0,00 138,30 0,00 138,30 0,00
TOTAL 12.466,42 20.533,56 24.314,96 532,80 57.847,74
6.981,62
Provinsi SumberDaya Cadangan
6
CADANGAN BATUBARA INDONESIACADANGAN BATUBARA INDONESIA
: Sumber Statistik BatubaradanMineral, Ditjen GSM Per 1 Januari
2004
(JutaTon)
Terukur Terunjuk Tereka Hipotetik TotalBanten 0,00JawaTengah
0,00JawaTimur 0,00Nanggroe Aceh Darussalam 90,40Sumatra Utara
19,97Riau 336,62Sumatra Barat 181,24Bengkulu 62,18Jambi
94,22Sumatra Selatan 1.970,75Lampung 0,00Kalimantan Barat
1,48Kalimantan Tengah 194,02Kalimantan Selatan 3.109,21Kalimantan
Timur 6.385,13Sulawesi Selatan 21,20Sulawesi Tengah 0,00Papua
0,00
TOTAL 12.466,42
0,000,000,00
13,400,000,00
42,727,95
36,3219.946,48
0,001,325,08
155,08325,21
0,000,000,00
20.533,56
13,750,820,08
346,357,00
1.720,60475,94113,09
1.462,03323,17106,95482,60
1.200,115.410,27
12.401,11110,81
1,98138,30
24.314,96
0,000,000,000,000,000,00
19,1915,150,000,000,00
42,120,000,00
456,340,000,000,00
532,80
13,750,820,08
450,1526,97
2.057,22719,09198,37
1.592,5722.240,40
106,95527,52
1.399,218.674,56
19.567,79132,01
1,98138,30
57.847,74
0,000,000,000,000,00
15,1536,0721,129,00
2.653,980,000,00
48,591.787,322.410,33
0,060,000,00
6.981,62
ProvinsiSumber Daya
Cadangan
-
7(40%). Sisanya berasal dari pertambangan di Sumatera Selatan
dan beberapa daerah lainnya (6%).
Namun Direktorat Sumber Daya Mineral dan Batubara melaporkan
(2003), batubara di Indonesia sebetulnya dapat ditemukan pada 18
provinsi. Mulai dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Barat,
Bengkulu, Jambi, Sumatera Selatan dan Lampung yang tercatat
memiliki beragam batu bara dengan yang berada di belahan
Kalimantan.
Sedangkan batubara di Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur
memiliki kalori 5.100-6.100 kcal/kg. Dan di Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah serta Kalimantan Selatan
merupakan kawasan terbanyak memiliki batubara. Di Sulawesi,
batubara ditemukan di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah.
Terakhir, Batubara juga ditemukan di Papua.
Pembukaan Tambang
Dari 5 perusahaan batubara yang menjadi pemenang kontrak
pengadaan batubara untuk proyek pembangunan PLTU batubara ini,
ternyata baru 2 perusahaan yang sudah berproduksi yaitu PT. Arutmin
Indonesia dan PT. Darma Henwa, sedangkan 3 perusahaan lainnya belum
juga melakukan kegiatan eksplorasi seperti Titan Mining, Surya
Sakti Darma Kencana dan Konsorsium Senamas, Energindo Mulia dan
Kasih Indonesia (Jeffrey Mulyono, Ketua Asosiasi Pertambangan
Batubara Indonesia, Kamis 8 Februari 2007).
Kenyataan ini harus disikapi dengan sangat hati-hati, karena
sesuai dengan undang-undang dan Peraturan Pertambangan, untuk
mencapai tahap produksi dalam usaha pertambangan tidak dapat
disamakan seperti memproduksi pisang goreng atau martabak, yang
cukup menyiapkan penggorengan, kompor, gas, minyak goreng, dan
bahan bakunya yang sudah tersedia di pasar.
Untuk mencapai tingkat produksi yang dimulai dari survey lahan,
geografi dan topografinya, kemudian kegiatan geologi untuk
memastikan berapa ton sumber daya batubara di daerah tersebut, dan
yang dapat ditambang (mineable). Selanjutnya tahap-tahap eksplorasi
untuk menetapkan atau mendesain tata letak kegiatan penambangan,
setelah laporan eksplorasi disampaikan dan disetujui oleh
Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral/ Direktorat Jenderal
Mineral Batubara dan Panas Bumi, maka setelah dilakukan rapat-rapat
dan perbaikan-perbaikan laporan tersebut, baru dilakukan Analisis
Teknis, dan Analisis Dampak Lingkungan yang akan melibatkan
instansi-instansi terkait baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah di daerah, sekurang-kurangnya analisis ini memakan waktu
waktu 6 (enam) bulan s/d 12 (dua belas) bulan, setelah semuanya
selesai maka kegiatan konstruksi dapat dilakukan seperti penetapan
lokasi-lokasi atau front penambangan, dumping area, pelabuhan,
dermaga, jalan, jumlah dan jenis peralatan, pembebasan lahan,
perumahan, perkantoran, sarana dan prasarana komunitas, sumber air,
persiapan sumber daya manusia secara bertahap, rencana kegiatan
pasca penambangan, Corporate Social Responsibility, Community
Development dan sebagainya. Kiranya cadangan batubara cukup
melimpah, tapi menggali dan menambang batubara ini adalah persiapan
yang tidak dapat diabaikan
Pembangunan Infrastruktur
Walaupun cadangan batubara Indonesia cukup besar dan terminal di
lokasi tambang sudah tersedia, namun terminal di lokasi PLTU
Batubara juga harus tersedia seperti di
-
Sumatera sebagai produsen batubara yang sudah mempunyai
pelabuhan dengan kapasitas seperti di Tarahan, Lampung (40.000
DWT); Pulau Baai, Bengkulu (35.000 DWT); di Kalimantan sudah
mempunyai pelabuhan dengan kapasitas seperti di Pulau Laut Utara
(150.000 DWT), IBT (70.000 DWT), Sembilang (7.500 DWT), Air Tawar
(7.500 DWT), Banjarmasin (10.000 DWT), Pulau Laut Utara (200.000
DWT), Satui ( 5.000 DWT), Kelanis (10.000 DWT), Tanjung Redep
(5.000 DWT), Tanjung Bara (200.000 DWT), Blora (8.000 DWT), Loa
Tebu (8.000 DWT), Balikpapan (60.000 DWT), Tanah Merah (20.000
DWT).
Sedangkan kapasitas di bawah 10.000 DWT, terletak di aliran
sungai untuk transportasi batubara dari pedalaman. Sebaliknya,
terminal batubara di konsumen (PLTU Batubara), sejalan dengan
rencana PLTU-nya juga harus disiapkan termasuk sarana dan
prasarananya seperti loading point, area, jalan, jembatan dan stone
crusher serta mixer. Terminal ini di bangun langsung di lokasi
pembangkitnya seperti di Rembang, Indramayu, Tanjung Awar-Awar,
Labuan, Tanjung Jati, Pacitan, Teluk Naga, Pelabuhan Ratu. Begitu
juga di PLTU Batubara yang di bangun di Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku maupun di Riau.
Begitu juga alat angkut batubara, baik dari lokasi tambang ke
pelabuhan, jenis alat angkut dari lokasi tambang ke Pembangkit
Listrik (Tug boat, tongkang), pelabuhan penerima batubara, lengkap
dengan sarana dan prasarananya (Belt conveyor, Wheelloader, truck
dan sebagainya), begitu juga lokasi pembuangan abu hasil pembakaran
batubara.
Pajak Ekspor Batubara
Rencana Anggaran Pembelanjaan dan Belanja Negara (APBN)
Perubahan yang diajukan oleh pemerintah kepada Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), dimana pemerintah telah mengajukan kebutuhan dana
sebesar Rp 106 Trilyun untuk subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM),
untuk itu rakyat harus melakukan penghematan energi, dengan cara
antara lain seperti: Penghematan/pemadaman listrik, Rencana
memberlakukan Smart Card untuk pembelian premium yang dijatahkan 5
liter perhari,selebihnya harga dibayar tanpa subsidi pemerintah,
Perusahaan Listrik Negara (PLN) akan mempercepat konversi dari
minyak ke gas, walaupun produksi dari lapangan gas masih
dipertanyakan apakah gas yang dimaksud masih dapat berproduksi dan
memenuhi harapan konsumen gas seperti PLN ,Industri lainnya. Pajak
masyarakat digenjot seperti Pajak Bumi Bangunan (PBB), Pajak
Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Balik Nama
(BBN), , PPnBM, BPH TB dan pajak lain sebagainya, atau PLN akan
memberlakukan insentif bagi pelanggan rumah tangga yang dapat
menekan konsumsi listrik minimal 20% dari pemakaian rata-rata
nasional. Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir yang sudah lama
direncanakan dan di sosialisasikan tapi sebagian masyarakat masih
menolak rencana tersebut,masyarakat peduli bahaya PLTN di
semenanjung Muria yang terdiri dari 28 akademisi dari berbagai
ilmu, mendesak pemerintah batalkan PLTN (Kompas, 24 Februari 2008).
Pembangkit Listrik Tenaga Batubara di mulut tambang yang di-impikan
oleh Direktorat Batubara , Departemen Pertambangan dan Energi yang
sejak tahun 2000-an telah mencoba memperkenalkan melalui seminar
dan melakukan study pembangunannya di Propinsi Sumatera Selatan,
selanjutnya listrik yang dihasilkan akan ditransmisikan ke pulau
Jawa dan bahkan ke pulau Batam dan diteruskan ke Singapura.
Dan selanjutnya di awal tahun 2008, bersamaan dengan harga BBM
dipasaran dunia menyentuh harga USD 100 per barrel, yang diikuti
dengan buruknya cuaca di tanah air , sehingga kapal pengangkut
batubara untuk PLTU Batubara di pulau Jawa seperti PLTU
8
-
Tanjung Jati B , PLTU Paiton, PLTU Cilacap, kekurangan bahan
bakar batubara yang disuplai dari pulau Kalimantan dan Sumatera
Selatan.
Padahal,untuk mendapatkan dana segar , pemerintah mempunyai
sumber dana yang sangat besar dari hasil tambang mineral dan
batubara, seperti yang tercantum pada Undang-undang Dasar 1945,
pasal 33 ayat 3 Bumi , air, dan yang terkandung didalamnya ,
dikuasai oleh Negara untuk se-besar-besarnya kemakmuran rakyat.
lagi pula bahan tambang berupa mineral dan batubara ini, adalah
sumber daya alam karunia Tuhan yang Maha Esa untuk bangsa Indonesia
, karena di Negara lain, kekayaan alamnya tidak sebanyak dan
ber-macam-macam seperti di Indonesia, selain itu bahan ini adalah
bentukan alam yang bila sudah diambil tidak dapat diperbaharui lagi
(Un- Renewable) seperti sumber alam flora atau fauna yang masih
dapat diperbanyak , ditanam, di kembang biakkan.
Sebagai contoh Minyak Kelapa Sawit (Crude Palm Oil), pemerintah
memungut pungutan ekspor sebesar 20% (Republika, 26 Maret 2008)
dari harga jual nya per ton, padahal produk ini bukan bahan
Un-renewable.
Harga batubara di pasar dunia sekitar US$ 116,44 per ton,
ekspor, tahun 2006 sebesar 145 juta ton, tahun 2025 sebesar 150
juta ton. menurut proyeksi Direktur Asosiasi Pertambangan Batubara
Indonesia , pada Workshop Kelompok Diskusi Wartawan Energi, di
Jakarta, tanggal 17 Januari 2008, seandainya pemerintah memungut
ekspor sebesar 20% saja, dengan alasan karena bahan ini adalah
Un-renewable, maka APBN dari batubara pada tahun 2006 akan mendapat
tambahan sebesar 20% x US$ 140 per ton x 145.000.000 ton = US$
4.060.000.000,- ( Empat Milyar Enam Puluh Juta Dollar Amerika )
atau bila di kurs rupiah kan , Rp 9000,- per Dollar Amerika,
menjadi Rp 36.540.000.000.000 ( Tiga Puluh Enam Trilyun Lima Ratus
Empat Puluh Milyar Rupiah ), harga batubara US$140 per ton ( Kontan
29 Februari 2008).
Pemerintah dengan instansi yang terkait seperti Dept.Energi dan
Sumber Daya Mineral, Dept.Perdagangan, Dept.Perindustrian, sebagai
alat Pemerintah terdepan untuk memulai mengimplementasikan pingutan
ekspor kekayaan alam kita untuk penyelamatan APBN.
Khususnya instansi pertambangan dan energi dapat memberikan
kontribusi yang jelas dengan memanfaatkan pungutan/pajak ekspor
dari sektor ini, karena UUD 1945 pasal 33 ayat 3 menyatakan Bumi,
air dan yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara untuk
se-besar-besarnya kemakmuran rakyat, semoga kalimat ini bukan
sebagai penghias dan pemanis undang-undang dasar saja, marilah kita
bersama-sama memanfaatkan sumber daya alam kita semaksimal mungkin
untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Amin.
9
-
SISTEMISASI PEMBANGUNAN PLTU INDONESIA
Amirrusdi, Maret 2007
Krisis Energi
Penyediaan bahan bakar
batubara
Komitmen pemerintah
memba-ngun PLTU
Studi/ survey
kebutuhan energi 20
thn ke depan
Pelaksana-an proyek
Testing/
uji kelaya-
kan
Tender PLTU
Batubara Terbuka
Pengo-perasian
Penyediaan barang&
jasa produksi dalam negeri
Pengawasan
Penyelesaian:
- AMDAL
- AMTEK
- Comdev
- RKK&RPL Penyedi-
aan bahan bakar
batubara
10
-
Daftar Bacaan
1. Amirrusdi, Prakiraan Kebutuhan Batubara sampai Tahun
2020/2021, Seminar Energi Nasional ke V KNI-WEC, 1997
2. Amirrusdi Tata Cara Penambangan Batubara Pelatihan KUD dan
Pembina Pengusaha Pertambangan Skala Kecil Batubara, Dep. Koperasi
dan PPK.1993
3. Blue Print Pengelolaan Energi Nasional 2005-2025 4. Kompas, 9
Februari 2007 5. Media Indonesia, 28 Desember 2006 6. Media
Indonesia, 11 Maret 2007 7. Republika, 28 Nopember 2006 8. UUD
1945
11
-
ENDAPAN LOGAM DASAR DI PEGUNUNGAN SELATAN-JAWA DAN OPTIMALISASI
PENAMBANGANNYA YANG BERBASIS
MASYARAKAT LOKAL
Arifudin Idrus Jurusan Teknik Geologi FT-UGM
Jl. Grafika 2 Bulaksumur 55281, Yogyakarta Alamat E-mail:
[email protected]
Abstrak Pegunungan Selatan (The Southern Mountains) Jawa
merupakan jalur yang cukup prospek terhadap potensi sumberdaya
mineral terutama mineral industri dan mineral bijih tipe
hidrotermal. Salah satu endapan bijih hidrotermal yang banyak
ditemui pada jalur ini adalah endapan logam dasar Pb-Zn-Cu. Ada 2
tipe utama endapan penghasil logam dasar di daerah ini yaitu tipe
skarn dan urat epitermal Pb-Zn-Cu. Kegiatan penelitian dan
eksplorasi di daerah ini sudah banyak dan sedang dilakukan, namun
hingga saat ini belum ditemukan endapan bijih yang mineable dalam
skala besar (industri), dan hanya teridentifikasi endapan-endapan
bercadangan kecil yang mungkin hanya cocok dengan penambangan
manual dengan memberdayakan masyarakat sekitarnya. Tulisan ini
bertujuan menguraikan secara singkat potensi sumberdaya mineral
bijih tipe hidrotermal terutama endapan Pb-Zn-Cu di daerah
Pegunungan Selatan dengan fokus daerah Pacitan, Wonogiri dan
Ponorogo, berdasarkan hasil penelitian baik yang dilakukan oleh
penulis, maupun berdasarkan data penelitian/eksplorasi sebelumnya.
Disamping itu, tulisan ini juga memberikan sumbang-saran terhadap
optimalisasi penambangan dan pemanfaatannya. Kata kunci: Endapan
logam dasar, Pegunungan Selatan-Jawa, optimalisasi penambangan
PENDAHULUAN Inventarisasi potensi sumberdaya mineral pada suatu
wilayah/daerah adalah mutlak dilakukan sebagai bahan masukan dalam
perencanaan dan kebijakan pemanfaatan sumberdaya tersebut dalam
rangka meningkatkan perekonomian daerah. Sebagai contoh, daerah
penelitian yang terletak di sepanjang Pegunungan Selatan (The
Southern Mountains) Jawa (Gambar 1) merupakan jalur yang cukup
prospek terhadap potensi sumberdaya mineral terutama mineral
industri dan mineral bijih tipe hidrotermal. Secara genetik,
endapan bijih tipe hidrotermal yang ditemukan di daerah Pegunungan
Selatan paling tidak meliputi (1) endapan tipe Au-(Ag) epitermal
sulfidasi rendah, (2) endapan urat polimetalik (Zn-Pb-CuAu), (3)
endapan Cu-(Au) porfiri, dan (4) endapan Mn-(Fe)-Cu-Pb-Zn skarn.
Pembahasan pada paper ini memfokuskan pada endapan urat polimetalik
(Zn-Pb-CuAu) yang lebih dikenal sebagai urat logam dasar Zn-Pb,
karena komoditi utama target eksplorasi dan eksploitasi
(penambangan) di daerah ini adalah Pb dan Zn, sedangkan Cu dan Au
sering tidak diperhatikan karena kadarnya kurang ekonomis. Beberapa
lokasi endapan urat logam dasar di Pegunungan Selatan sudah dan
sedang ditambang. Penambangan dilakukan dengan cara manual dengan
membuat lubang galian (terowongan) mengikuti arah urat secara
vertikal dan horisontal. Dalam paper ini juga akan me-review
optimalisasi penambangan endapan tersebut yang berbasis masyarakat
lokal, sehingga dapat efektif, efisien, menjamin kesehatan dan
keselamatan pekerja, lingkungan dan memberi kontribusi bagi
peningkatan ekonomi masyarakat lokal.
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
Gambar 1 Peta fisiografik dari geologi Jawa bagian tengah dan
timur, termasuk penyebaran gunungpai kuarter dan jalur pegunungan
selatan (the southern mountains) (Hamilton, 1979). GEOLOGI REGIONAL
Jalur Pegunungan Selatan (The Southern Mountain Range) di Jawa
Tengah dan Jawa Timur merupakan busur magmatik berumur Oligo-Miosen
(van Bemmelen, 1970). Secara geologi, daerah pegunungan selatan
tersusun oleh seri batuan vulkanik dan flysch-like deposits (Toha
et al., 1994; Rahardjo et al., 1995). Batuan tersebut menumpangi
secara tidak selaras batuan metamorf Pra-Tersier dan Formasi batuan
sedimen berumur Eosen dari kompleks pegunungan Jiwo. Batuan
tersebut ditutupi oleh batugamping (Formasi Wungkal dan Formasi
Gamping). Seri batuan vulkanik dan flysch-like deposits tersebut
secara stratigrafi diklasifikasi sebagai Formasi Kebu-Butak berumur
Oligosen-Miosen Bawah, Formasi Sambipitu berumur Miosen
Bawah-Tengah dan Formasi Oyo berumur Miosen Tengah. Formasi-Formasi
tersebut berada dibawah batugamping Formasi Wonosari berumur Miosen
Tengah-Pliosen, Formasi Kepek berumur Miosen Atas dan endapan
kuarter. ENDAPAN HIDROTERMAL DI PEGUNUNGAN SELATAN Endapan emas
epitermal Endapan tipe Au-(Ag) epitermal sulfidasi rendah banyak
ditemukan di daerah Pegunungan Selatan, dan sejak jaman penjajahan
Belanda dan Jepang beberapa lokasi sudah pernah ditambang, terbukti
banyak ditemukannya lubang-lubang galian lama di daerah tersebut.
Endapan epitermal ini merupakan endapan tipe hidrotermal yang
terbentuk dekat permukaan dalam bentuk urat-urat kuarsa berasosiasi
dengan sulfida (pirit, kalkopirit) bersama emas dalam bentuk native
maupun elektrum. Endapan emas epitermal ditemukan di Kecamatan
Tirtomoyo, Wonogiri seperti di Selogiri dan Nglenggong (Suprapto,
1998). Prospek Selogiri (Gunung Tumbu) memiliki jangkauan
temperatur pembentukan antara 500 C) yang mengindikasikan adanya
overlapping endapan sistem epitermal dan porfiri (Setijadji et al.,
2006, Imai et al., 2007), sedangkan pada prospek Nglenggong
memiliki temperatur sekitar 330 C (Idrus, 2000). Di wilayah
Kabupaten Ponorogo, beberapa daerah prospek yang teridentifikasi
antara lain di daerah Toyomerto, Serayu dan Sembro dengan kadar Au
sampai 5 ppm (Anonim, 2002). Di daerah Pacitan juga banyak
diidentifikasi prospek endapan Au-Ag
13
-
epitermal sulfidasi rendah seperti di Gunung Gembes (Setijadji
et al., 2006). Di daerah Trenggalek juga ditemukan tipe endapan
emas epitermal di daerah Kojan, Paces dan Jati yang sekarang sedang
dieksplorasi oleh PT. Austindo. Di Wediombo (selatan Selogiri)
terdapat indikasi kehadiran endapan epitermal sulfidasi tinggi yang
dicirikan dengan adanya tekstur vuggy silica dan kehadiran alterasi
kaolin-alunit-illit-pirit (Prihatmoko et al., 2005). Endapan
Cu-(Au) porfiri Endapan tipe porfiri terbentuk pada temperatur
tinggi (~500 C) dengan salinitas mencapai 45 wt.% NaCl eq. Endapan
ini kehadirannya dicirikan oleh sistem jejaring (stockwork) dari
urat-uratan kuarsa, memiliki kadar Cu dan Au yang relatif rendah
namun memiliki massa (tonnage) yang besar. Di Jawa, khususnya di
Jawa bagian barat belum ada ditemukan indikasi kehadiran tipe
endapan ini. Di daerah Pegunungan Selatan (Jawa bagian Tengah dan
Timur), penelitian akhir-akhir ini mengidentifikasi adanya
kehadiran endapan tipe Cu-(Au) porfiri di Wonogiri, seperti di
daerah Selogiri (Setijadji et al., 2007; Imai et al., 2007) dan
Ngrejo (Isnawan, 2000; Verdiansyah, 2007, Idrus et al., 2007). Pada
daerah Ngrejo, mineralisasi Cu-(Au) porfiri kemungkinan berasosiasi
dengan intrusi dasit. Struktur jejaring (stockwork) dari urat dan
uratan kuarsa (Gambar 2A) dan kehadiran mineral sulfida temperatur
tinggi seperti bornit dan kalkopirit (Gambar 2B) merupakan indikasi
kuat mineralisasi tipe porfiri di daerah tersebut (Verdiansyah,
2007). Mineralisasi Cu-(Au) porfiri di Selogiri, seperti halnya
endapan tipe porfiri di dunia dicirikan oleh sistem jejaring
urat-uratan kuarsa yang berasosiasi dengan sulfida dan
magnetit.
2 m2 m
A B
Bn
Ccp
Hem
Gambar 2 (A) Struktur jejaring (stockwork) dari urat kuarsa
(quartz vein) dan uratan (veinlets), dan (B) Fotomikrograf sayatan
poles yang menunjukan kehadiran mineral sulfida bertemperatur
tinggi (~400-500 C) seperti bornit (Bn) dan kalkopirit (Ccp).
Hematit (Hem) merupakan hasil oksidasi dari sulfida (bornit dan
kalkopirit) pada bagian pinggir (rims) (Verdiansyah, 2007, Idrus et
al., 2007).
14
-
Analisis mikrotermometri inklusi fluida menunjukan kehadiran
inklusi polifasa dengan solid halit dan temperatur pembentukan
(temperatur homogenisasi) sekitar 400 C dan salinitas mencapai 30
wt.% NaCl eq. (Imai et al., 2007). Penelitian yang dilakukan oleh
Soeharto dan Hilman (1997) dan Setijadji et al. (2006), indikasi
kehadiran tipe endapan Cu-(Au) porfiri juga ditemukan di daerah
Merubetiri (Merubetiri district), Jawa Timur. Tipe endapan Cu-(Au)
porfiri di daerah ini berasosiasi dengan intrusi granodiorit dan
diorit berumur Miosen Bawah yang terpotong membentuk sistem
jejaring (stockwork) dari urat-uratan kuarsa-pirit-oksida tembaga.
Zona alterasi filik (silica-clay alteration) menggantikan potassik
hipogen tersingkap dengan luas di sepanjang pantai Tumpangpitu dan
Pulau Merah, yang memperkuat kehadiran tipe endapan tersebut
(Setijadji et al., 2006). Endapan skarn Endapan skarn di daerah
Pegunungan Selatan diidentifikasi dalam 2 tipe berdasarkan dominasi
mineralogi yaitu skarn tipe manganese (Mn-Zn-Cu-Pb) dan skarn tipe
besi (Fe). Penelitian terkini kehadiran skarn di Pegunungan Selatan
khususnya di daerah Kasihan (Pacitan) dilakukan oleh Tun (2007).
Skarn manganese di daerah Kasihan terbentuk pada batugamping yang
dintrusi oleh dasit (Gambar 3). Mineralisasi dicirikan oleh
hadirnya pirolusit (sekunder), piromangit (primer), disseminasi
sfalerit dan galena dengan sedikit pirit dan kalkopirit (Gambar
4A). Skarn ini juga berasosiasi dengan calc-silicate minerals
seperti piroksen (hedenbergit), garnet, wollastonit dan kalsit
(Gambar 4B). Skarn tipe Fe secara mineralogi dicirikan oleh
hematit, dengan sangat sedikit pirit dan kalkopirit. Calc-silicate
minerals yang hadir adalah piroksen, dengan sedikit kuarsa dan
kalsit (Tun, 2007). Secara umum, kandungan sulfida pada tipe skarn
Fe sangat rendah.
Gambar 3 Peta alterasi hidrotermal daerah Kasihan, Pacitan,
dimana alterasi skarn manganese berasosiasi dengan batugamping
Glagahombo dan Sobo, sedangkan alterasi argilik dan propilitik
cenderung berasosiasi dengan mineralisasi Cu-Pb-ZnAu (Tun,
2007).
15
-
A B
Gambar 4 Endapan skarn manganese di daerah Kasihan dicirikan
oleh: (A) Kehadiran pirolusit (sekunder), piromangit (primer), dan
(B) Calc-silicate minerals seperti hedenbergit, dengan sedikit
sfalerit dan galena. ENDAPAN LOGAM DASAR Lokasi dan geometri urat
Endapan tipe urat logam dasar (Pb-Zn-CuAu) banyak dijumpai di
daerah Pegunungan Selatan. Sehubungan dengan naiknya harga logam di
pasaran dunia, di beberapa daerah di Pegunungan Selatan seperti di
Wonogiri, Ponorogo dan Pacitan, endapan tipe ini sudah
banyak/sedang ditambang baik dalam skala kecil (manual) maupun
skala menengah (baca: memakai alat berat). Contoh endapan ini
dijumpai di daerah Kali Dadap, Tawang dan Srapa (Kecamatan Kasihan,
Pacitan), juga didentifikasi di Tokawi, Jetis Lor dan Paing
(Kecamatan Nawangan, Pacitan). Di Ponorogo endapan tipe ini
ditemukan di Gunung Domasan, Kecamatan Slahung, dimana didominasi
oleh kalkopirit (CuFeS2). Urat logam dasar di Kabupaten Wonogiri,
terutama terletak di Kecamatan Tirtomoyo dan Kecamatan Karang
Tengah meliputi: Kecamatan Tirtomoyo terdiri dari urat Damon, urat
Growong, urat Ngepoh, urat Ngroto (Sumberrejo), urat Sendangsari
dan urat Warak; sedangkan Kecamatan Karang Tengah terdiri dari urat
Nggambarsari (Sempu), urat Ngijo, urat Ndelisen, urat Muning dan
urat Pucung. Tipe ini dicirikan oleh urat-urat kuarsa yang
berasosiasi dengan sfalerit, galena, kalkopirit, pirit dan sedikit
emas. Urat kuarsa tersebut berukuran sangat variatif, mulai dari
beberapa cm sampai beberapa meter. Tidak semua urat kuarsa
berasosiasi dengan logam dasar, beberapa yang ditemui barren akan
mineralisasi logam tersebut. Misalnya urat Paing (Pacitan) memiliki
variasi ketebalan urat 30 sampai 60 cm dengan prosentase sfalerit
dominan (~50% dari volume urat) sepanjang sekitar 100 m. Urat
Ngepoh (Tirtomoyo-Wonogiri) berorientasi relatif timurlaut -
baratdaya memiliki ketebalan sekitar 50-70 cm, dimana dipermukaan
didominasi oleh sfalerit, semakin ke kedalaman 20 meter-an
menunjukan dominasi galena yang berasosiasi dengan clay. Di daerah
Nggambarsari (Karang Tengah Wonogiri) penyebaran urat kuarsa sangat
luas, dengan ketebalan lebih dari 20 m, sebagian breksiasi, namun
di permukaan galena dan sfalerit tersebar (disseminated) atau dalam
bentuk urat-urat halus. Urat Warak (Tirtomoyo Wonogiri) memiliki
orientasi relatif timurlaut-baratdaya
16
-
sekarang sudah berproduksi sampai 3000 ton, dimana uratnya
terdiri dari galena massif dengan sedikit sfalerit, dengan
ketebalan mencapai 1 meter. Karakteristik endapan Secara umum,
endapan urat logam dasar Zn-Pb-CuAu di Pegunungan Selatan,
khususnya di Kecamatan Tirtomoyo dan Kecamatan Karang Tengah
(Kabupaten Wonogiri) berada pada batuan samping (wall-rocks) berupa
perselingan lava andesitik, tufa dan breksi. Lava andesitik
nampaknya mendominasi pada daerah penelitian, namun kondisinya
sudah mengalami pelapukan dan alterasi hidrotermal sedang-kuat
(moderately-strongly hydrothermal alteration). Pola, orientasi dan
distribusi dari urat logam dasar daerah ini sangat dikontrol oleh
struktur geologi pra-mineralisasi (pre-mineralization geological
structures) seperti sesar tarik (extensional faults), sebagai jalur
(pathway) bagi larutan hidrotermal pembentuk endapan tersebut. Urat
tersebut berstruktur massif, banded colloform, crustiform dan
cockade breccia, sehingga masih dikategori sebagai urat epitermal.
Polymetallic veins ini berkembang tipis- tipis saja, biasanya
sebagai "sheeted veins", dengan kristal kuarsa cenderung kasar,
bahkan biasa berkembang "gigi anjing/ dog tooth", dan "crustiform
banded". Seperti dikemukan sebelumnya, bahwa endapan logam dasar di
Pegunungan Selatan umumnya dalam bentuk urat-urat kuarsa (sangat
dominan) yang berasosiasi dengan sulfida-sulfida logam dasar
seperti sfalerit (ZnS), galena (PbS) dan kalkopirit (CuFeS2). Pirit
(FeS2) sangat melimpah dibandingkan sulfida logam dasar. Pengamatan
megaskopik di permukaan dan analisis mineragrafi menunjukan
sfalerit mendominasi dibandingkan galena, namun pada kedalaman
tertentu, urat tersebut sering didominasi oleh galena. Endapan
tersebut dikategori sebagai endapan urat logam dasar (base metal
vein) yang diyakini masih merupakan sistem epitermal namun memiliki
temperatur pembentukan yang lebih tinggi (~300 350C). Analisis
kimia 3 conto dari Tawang (Pacitan) menunjukan Cu tinggi (>1%),
Zn (0.1 0.5 %), Pb 150 ppm dan Au relatif kecil (sekitar 150 ppb)
(Tun, 2007). Analisis kimia terhadap beberapa urat di Kecamatan
Tirtomoyo dan Kecamatan Karang Tengah (Wonogiri) menunjukan kadar
yang variatif; misalnya urat Ngijo (0,95 % Cu; 198 ppm Pb; 9,7 %
Zn; 19,4 ppm Ag dan 4 ppb Au), urat Ngroto (1,29 % Cu; 0,28 % Pb;
438,7 ppm Zn; 108,5 ppm Ag dan 1,03 ppm Au; Gambar 5), dan urat
Warak (3,38 % Cu, 1,40 % Pb, 26,34 % Zn, 13,6 ppm Ag dan 28 ppb
Au).
Gambar 5 Contoh setangan urat kuarsa berstruktur banded
perselingan galena kuarsa sfalerit-kuarsa-galena. Semakin pada
kedalaman 20 m, galena semakin melimpah dibanding dengan
sfalerit.
17
-
OPTIMALISASI PENAMBANGAN Secara umum, endapan logam dasar di
daerah penelitian terutama tipe urat memiliki tonnage yang relatif
kecil, tebal 30 cm 1 meter. Endapan logam dasar tipe skarn yang
ditemukan di daerah Kasihan (Pacitan) memiliki tonnage yang medium,
disseminated, sehingga dapat ditambang dengan alat berat
(excavator) pada skala menengah, dan bijih Pb-Zn-Cu-nya
di-screening oleh tenaga lokal, sebelum pengangkutan. Penambangan
endapan logam dasar tipe urat dilakukan dengan jenis tambang bawah
tanah (underground mining) mengikuti jalur urat, seprti banyak
dilakukan di Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri. Penambangan
ini sangat membutuhkan tenaga manusia (masyarakat lokal) karena
dilakukan dengan manual menggunakan linggis dan sekop, yang
kemudian diangkat dengat menggunakan tali yang dililitkan pada roda
berputar. Di daerah Tirtomoyo (Wonogiri) misalnya, terdapat sekitar
10 lubang tambang bawah tanah yang sedang beroperasi saat ini
dengan melibatkan sekitar 100 pekerja lokal. Upah penambang ini
berkisar antara Rp. 25.000.-/hari sampai dengan Rp. 35.000.-/hari.
Metode penambangan bawah tanah mengikuti jalur urat ini sangat
optimal, karena langsung pada tubuh bijih (orebody), sehingga
meminimalisasi penggalian mineral pengotor (gangue)-nya. Disamping
itu, tentu dapat membantu memberdayakan ekonomi masyarakat lokal.
KESIMPULAN Beberapa poin penting yang bisa disimpulkan antara lain:
1. Pegunungan Selatan menyimpan potensi sumberdaya mineral bijih
tipe hidrotermal yang
besar, yang ditunjukan dengan kehadiran berbagai variasi tipe
endapan hidrotermal seperti endapan Au-(Ag) epitermal sulfidasi
rendah dan tinggi, endapan tipe urat polimetalik dan urat logam
dasar, endapan Cu-(Au) porfiri dan endapan skarn (tipe Mn-Zn-Pb-Cu
dan tipe Fe).
2. Semua tipe endapan di atas sebenarnya sudah pernah dan
sebagian sedang ditambang (baik illegal maupun legal), walaupun
dalam skala kecil-menengah, kecuali endapan tipe porfiri baru
teridentifikasi lebih jelas oleh penelitian-penelitian terakhir dan
sampai sekarang belum ditemukan endapan yang mineable. Endapan
porfiri kelihatannya berkembang dengan baik semakin ke arah timur
Pegunungan Selatan (ke arah timur busur kepulauan Sunda-Banda).
3. Secara keseluruhan urat kuarsa logam dasar di Pegunungan
Selatan terutama di daerah Tirtomoyo dan Karang Tengah, Kabupaten
Wonogiri berorientasi utara-timurlaut dan selatan-baratdaya. Urat
tersebut berstruktur massif, banded colloform, crustiform dan
cockade breccia, sehingga masih dikategori sebagai urat epitermal.
Polymetallic veins ini berkembang tipis- tipis saja, biasanya
sebagai "sheeted veins", dengan kristal kuarsa cenderung kasar,
bahkan biasa berkembang "gigi anjing/ dog tooth", dan "crustiform
banded". Urat kuarsa ini mengandung sfalerit (ZnS) dan galena (PbS)
serta sedikit kalkopirit (CuFeS2) sebagai sumber logam dasar (base
metals), juga mengandung pengotor berupa pirit (FeS2). Sfalerit dan
galena merupakan bijih logam dominan dan ditambang saat ini.
Sebagaimana lazimnya pada tipe endapan urat logam dasar atau urat
polimetalik di dunia ini, kandungan logam Zn dan Pb tidaklah
spektakuler jumlahnya (cadangannya), namun dengan selective mining
dengan mengikuti orientasi urat/pembuatan terowongan dan teknik
penambangan manual/tenaga manuasia, maka dapat meningkatkan
perolehan (recovery) penambangan dan dapat meningkatkan
pendapatan/ekonomi masyarakat lokal. Penggalian agar memperhatikan
faktor keamanan dan keselamatan penambang dan lingkungan.
18
-
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002, Laporan pembangunan sistem
informasi pengusahaan bahan galian di Kabupaten Ponorogo, Jawa
Timur, Puslitbang Tekmira Bandung (tidak dipublikasi), 131p.
Hamilton, W., 1979, Tectonics of the Indonesian Region, US
Geological Survey Professional Paper No. 1078, US Geological
Survey, Reston, 245p. Idrus, A., 2000, Analisis petrografi dan
mikrotermometri inklusi fluida dan aplikasinya pada evaluasi
potensi bijih emas tambang rakyat daerah Selogiri, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah, Prosiding Temu Profesi Tahunan IX dan
Kongres PERHAPI, Jakarta, p.1-9. Idrus, A., 2007, Laporan survei
tinjau endapan logam dasar di daerah Nawangan, Kabupaten Pacitan,
Jawa Timur (Tidak dipublikasi), 10 p. Idrus, A., Verdiansyah, O.,
Marliyani, G.I., Sasongko, W., 2007, Alterasi-Mineralisasi bijih
dan geokimia endapan tembaga daerah Ngrejo, Kecamatan Tirtomoyo,
Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Prosiding Temu Profesi Tahunan TPT
XVI, Makassar, p. 108-116.
Imai, A. Shinomiya J., Soe, M.T., Setijadji, L.D., Watanabe, K.,
Warmada W., 2007, Porphyry-type Mineralization at Selogiri Area,
Wonogiri Regency, Central Java Indoneia, Resource Geology V. 57,
No.2, p. 230-240.
Isnawan, D., 2001, Kontrol Struktur Geologi terhadap Endapan
Tembaga sebagai Arahan Eksploitasi di daerah Ngrejo dan sekitarnya
Keamatan Tirtomoyo, Kabupaten wonogiri Propinsi Jawa Tengah, Tesis
S2, Program Studi Teknik Geologi, Universitas Gadjah Mada, 123
p.
Prihatmoko, S., Hendratno, A., Harijoko, A., 2005,
Mineralization and alteration systems in Pegunungan Seribu, Gunung
Kidul and Wonogiri: Its Implication in developing exploration
models, Proceeding Joint Convention HAGI-IAGI-PERHAPI, Surabaya, p
13-23.
Rahardjo, W., Sukandarrumidi, Rosidi, H.M.D., 1995, Geological
map of the Yogyakarta sheet, Geological Research and Development
Centre, Bandung. Soeharto, R.S. dan Hilman, P.M., 1997, Laporan
ekplorasi mineral logam mulia dan logam dasar di daerah Jember,
Jawa Timur, Directorate of Mineral Resources, 16p.
Suprapto, 1998, Model Endapan Emas Epithermal Daerah Nglenggong,
Kecamatan Selogiri, Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah, Tesis S2,
Program Studi Rekayasa Pertambangan Fakultas Pasca Sarjana ITB.
Setijadji, D.L., Kajino, S., Imai, A., dan Watanabe, K., 2006,
Cenozoic Island Arc Magmatism in Java Island (Sunda Arc,
Indonesia): Clues on Relationships between Geodynamics of Volcanic
Centers and Ore Mineralization, Resources Geology vol.56, No.3, pp.
267-292.
19
-
Tun, M, M., 2007, An Investigation of geology and mineralization
in the Kasihan Area, Pacitan Regency, East Java, Indonesia,
unpublished M.Eng. thesis, Gadjah Mada University, Indonesia, 113
p.
Toha, B., Sunyoto, Surono, Rahardjo, W., 1994, Geologi Daerah
Pegunungan Selatan: suatu Kotribusi, dalam proceeding Geologi dan
Geoteknik P. Jawa, Sejak Akhir Mesozoik hingga kuarter, Percetakan
Nafiri, Yogyakarta, pp. 19-36.
van Bemmelen, R.W., 1970, The Geology of Indonesia, vol. 1A,
General Geology of Indonesia and Adjaent Archipelagoes, ed. 2nd,
Martinus Nijhoff, 732 p.
Verdiansyah, O., 2007, Alterasi Hidrotermal Dan Karakteristik
Geokimia Batuan Pada Endapan Tembaga Daerah Ngrejo Dan Sekitarnya,
Kecamatan Tirtomoyo, Kabupaten Wonogiri, Propinsi Jawa Tengah,
Tugas Akhir/Skripsi pada Jurusan Teknik Geologi FT-UGM (tidak
dipublikasi), 110p.
20
-
MAMPUKAH TAMBANG MENGURANGI KEMISKINAN?
Harry Miarsono, Ph.D. General Manager, External Affairs &
Sustainable Development
PT Kaltim Prima Coal Sengata, Kalimantan Timur
Abstrak Tingkat kemiskinan di daerah sekitar tambang di
Indonesia masih relatif tinggi sehingga telah mengundang banyak
kritikan bahwa kegiatan tambang tidak dapat memberikan manfaat bagi
masyarakat. Kondisi ini seolah-olah membenarkan adanya kutukan
sumberdaya alam atau dikenal dengan resource curse yang tidak hanya
terjadi di Indonesia saja tapi juga di negara-negara penghasil
tambang lainnya. Kemiskinan tersebut disebabkan oleh adanya
penyakit Belanda atau Dutch disease yang muncul karena berlimpahnya
sumberdaya alam dan murahnya tenaga kerja. Namun di lain pihak,
beberapa hasil studi yang dilakukan oleh perusahaan tambang telah
menunjukkan bahwa kegiatan tambang telah terbukti memberikan
manfaat ekonomi, sosial dan lingkungan bagi masyarakat di sekitar
tambang. Di beberapa wilayah, tambang merupakan penggerak utama
perekonomian lokal sehingga tanpa adanya tambang maka daerah
tersebut akan tetap menjadi daerah yang terbelakang. Tulisan ini
membahas bagaimana tambang dapat berperan dalam pengurangan tingkat
kemiskinan khususnya pada masyarakat di sekitar daerah tambang.
Kegiatan tambang akan dapat mengurangi tingkat kemiskinan jika
langkah-langkah tertentu dilakukan dengan cara yang benar dan
tepat. Kata kunci: tingkat kemiskinan, kutukan sumberdaya alam,
penyakit Belanda, pember-dayaan ekonomi lokal, penggerak ekonomi.
Latar belakang Kegiatan tambang telah memberikan dampak positif di
bidang sosial, ekonomi dan lingkungan bagi bangsa dan negara
Indonesia. Hasil survey tahunan yang dilakukan oleh
PriceWaterhouseCoopers menunjukkan bahwa pada tahun 2006 sumbangan
industri tambang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) telah
mencapai Rp56 trilyun dan meningkat sebesar 7% dibanding tahun
sebelumnya. Kontribusi tersebut mencapai sekitar 3% dari total PDB
Indonesia. Yang perlu diingat adalah bahwa industri tambang
merupakan sektor terbesar di beberapa propinsi penghasil sumberdaya
alam seperti Kalimantan Tmur, Bangka-Belitung, Papua dan Nusa
Tenggara Barat.
Pendapatan pemerintah dari pajak dan royalti mencapai US$ 2,4
milyar sedangkan pajak tidak langsung sebesar US$981 juta. Dengan
demikian pendapatan total pemerintah mencapai US$3,4 milyar atau
lebih dari RP31,4 trilyun. Kontribusi lainnya berupa pengembangan
dan pelatihan sumberdaya manusia (SDM), penyediaan infrastruktur
seperti jalan, sekolah, fasilitas kesehatan dan lainnya. Kontribusi
lainnya meliputi penyediaan kesempatan kerja, pembelian dari
supplier domestik, program pengembangan masyarakat dan sumbangan
(donation).
PROSIDING TPT XVII PERHAPI 2008
-
Jumlah tenaga kerja yang bekerja langsung untuk industri tambang
mencapai 38.030 orang (2006) sedangkan tahun sebelumnya sebanyak
36.817 orang atau mengalami kenaikan sebesar 3%. Kenaikan jumlah
karyawan ini disebabkan adanya expansi produksi. Jumlah karyawan
tersebut tidak termasuk ribuan karyawan yang bekerja pada
kontraktor dan supplier yang mendukung kegiatan tambang. Efek
pengganda (multiplier effect) karyawan yang bekerja di tambang
sangat tinggi utamanya pada perusahaan tambang dengan jumlah
karyawan besar seperti KPC, Inco, Newmont, dan Freeport (laporan
PwC, 2007).
Pada tahun 2006, gaji dan upah yang diterima oleh karyawan
langsung mencapai Rp6,3 trilyun, sedangkan tahun sebelumnya hanya
Rp4,2 trilyun, sehingga terjadi kenaikan sebesar 49%. Kenaikan
tersebut disebabkan oleh bonus dan tambahan benefit karena kenaikan
produksi dan penjualan. Pada tahun 2006 total ekspor mencapai US$20
milyar sedangkan tahun sebelumnya hanya US$14,2 milyar, yang
berarti ada kenaikan nilai ekspor yang sangat berarti sebesar
40%.
Kegiatan tambang juga telah memberikan sumbahan terhadap
pembelian dari supplier domestik yang pada tahun 2006 mencapai
Rp11,8 trilyun. Walaupun jumlah ini masih di bawah pembelian tahun
sebelumnya yang mencapai Rp16 trilyun, namun masih sangat tinggi
dibanding dengan tahun-tahun sebelum 2005 yang tidak mencapai lebih
dari Rp7 trilyun. Naiknya pembelian dari supplier domestik
menunjukkan bahwa kegiatan tambang sudah lebih banyak menggunakan
produk-produk dalam negeri.
Namun sangat disayangkan bahwa kontribusi tambang terhadap
ekonomi nasional yang sudah besar tersebut masih tidak diimbangi
dengan kondisi sosio-ekonomi masyarakat di sekitar tambang (Tri
Yunanto, 2008). Indeks Pembangunan Manusia atau Human Development
Index (HDI) pada daerah penghasil sumberdaya mineral masih lebih
rendah dibanding HDI daerah non-tambang. Grafik di bawah ini
menunjukkan bahwa Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) di
propinsi-propinsi yang kaya akan SDA jauh lebih tinggi dibanding
propinsi lainnya yang tidak kaya SDA. Sebaliknya HDI pada propinsi
yang kaya SDA justru masih lebih rendah dari pada propinsi yang
tidak mempunyai SDA.
7705
7569481581
950
2727
169523212050
3051
4180
9242
0.7
0.603
0.6410.708
0.6650.6660.713
0.756
0.6910.6910.66
0.601
0
1,000
2,000
3,000
4,000
5,000
6,000
7,000
8,000
9,000
10,000
East
Kalim
anta
n
Papu
a
Nan
groe
Aceh
Dar
usal
am Ria
u
Cen
tral
Kalim
anta
n
Nor
thSu
law
esi
DKI
Jaka
rta
Bant
en
Mal
uku
D.I.
Yogy
akar
ta
Sout
hEa
stSu
law
esi
East
Nus
aTe
ngga
ra
GD
RPpe
rcap
ita(ID
Rbi
llion)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
HDI
Grafik 1: Perbandingan PDRB per kapita dengan Index Pembangunan
Manusia (HDI). Source: Indonesia Human Development Report,
2005.
22
-
Sementara itu, tingkat kemiskinan di daerah-daerah sekitar
tambang juga masih relatif tinggi. Tabel 1 menunjukkan tingkat
kemiskinan yang dijumpai pada kabupaten-kabupaten yang menghasilkan
tambang emas, tembaga, nikel dan batubara berskala internasional
yaitu Freeport, Inco dan KPC. Tingginya tingkat kemiskinan tersebut
merupakan permasalahan sosial yang harus dipikirkan oleh semua
pihak untuk dicarikan jalan keluar.
Daerah tambang Lokasi Tingkat kemiskinan Freeport Kab Mimika
38,69% *) Inco Kab Luwu Timur 13,12% *) KPC Kab Kutai Timur 31,80%
**)
Tabel 1: Tingkat kemiskinan (%) kabupaten yang memiliki kegiatan
tambang berskala internasional. Sumber: *) www.bps.co.id/~irja and
www.bps.co.id/~sulsel 2004
**) Kutim Dalam Angka, BPS, 2005
Kemiskinan adalah salah satu dari sekian banyak masalah-masalah
sosial di sekitar kita yang perlu mendapat perhatian dari semua
pihak termasuk perusahaan tambang (korporasi). Korporasi yang
bertanggung jawab tidak hanya memenuhi kepentingan pemegang saham
saja, tapi juga para stakeholder (pemangku kepentingan) lainnya
yang lebih luas. Di satu sisi korporasi dihadapkan pada persaingan
global yang ketat dan kemajuan teknologi yang pesat yang menuntut
untuk efisien biaya, sedangkan di sisi lain korporasi juga harus
peka terhadap masalah-masalah sosial yang penanganannya cenderung
memerlukan biaya. Penyebab kemiskinan.
Banyak studi telah dilakukan untuk mengetahui penyebab
kemiskinan. Namun demikian, tidak ada satupun penjelasan yang dapat
diterima oleh semua pihak karena kemiskinan merupakan aspek yang
kompleks (Yapa, 2005). Laporan Bank Dunia (2006) menyebutkan bahwa
penyebab kemiskinan di Indonesia ada lima, yaitu: buruknya mutu dan
fasilitas pendidikan, belum berkembangnya sektor pertanian, tidak
adanya kesamaan gender, kurangnya akses ke kebutuhan dasar dan
infrastruktur (air, listrik dan jalan), dan lokasinya yang sulit
untuk dijangkau dengan alat transportasi. Faktor-faktor lainnya
yang sering dibahas sebagai penyebab kemiskinan antara lain adalah
(Wikipedia, 2008):
Faktor lingkungan. Pemanfaatan lahan pertanian secara intensif
dan terus-menerus
telah merusak siklus alam yang kemudian mengurangi kesuburan
lahan dan mengurangi hasil pertanian. Saat ini lebih dari 40% lahan
pertanian di dunia telah mengalami kerusakan. Jika kerusakan ini
terus berlangsung maka cadangan pangan di dunia akan terancam yang
tentunya akan berdampak pada peningkatan kemiskinan. Penebangan
hutan secara besar-besaran juga merupakah salah satu penyebab
kerusakan alam, disamping faktor alam lainnya seperti perubahan
iklim dunia (climate change), tanah longsor, banjir, kekeringan,
kebakaran hutan dan bencana alam lainnya. Terhambatnya masyarakat
untuk mendapatkan akses ke lahan subur, air bersih, energi, dan
sumberdaya lainnya juga dapat memicu kemiskinan. Faktor ekonomi.
Tingginya tingkat pengangguran telah menyebabkan ketidak mampuan
masyarakat untuk berperan dalam kegiatan ekonomi dan memberikan
nilai tambah terhadap sistem perekonomian. Sebaliknya pengangguran
ini telah menjadi beban masyarakat. Naiknya harga-harga kebutuhan
pokok yang salah satunya dipicu oleh kenaikan harga BBM juga telah
berdampak terhadap pengangguran. Larinya modal ke luar daerah
23
-
(capital flight)1 telah mengurangi kesempatan bagi masyarakat
untuk menggunakan modal tersebut dalam perekonomian lokal.
Perdagangan yang berpihak (unfair terms of trade) yang memberikan
perlakuan khusus, proteksi dan subsidi di bidang pertanian telah
menguntungkan negara-negara maju dan mengurangi tingkat keunggulan
negara-negara berkembang.
Faktor pelayanan kesehatan. Keterbatasan pada pelayanan
kesehatan telah menyebabkan masyarakat rentan terhadap kemiskinan
dan tidak mampu untuk melakukan pekerjaan yang produktif.
Kemiskinan juga telah menyebabkan adanya kekurangan gizi pada
balita yang kemudian telah mengakibatkan rendahnya kualitas
sumberdaya manusia (SDM). SDM yang rendah ini pada akhirnya telah
menyebabkan ketidak mampuan masyarakat untuk bersaing dengan
kelompok masyarakat lainnya.2 Kurangnya asupan sumber-sumber
mineral seperti yodium dan zat besi telah mempengaruhi perkembangan
otak. Saat ini lebih sekitar 40% anak-anak balita terancam
menderita anemia karena kurangnya zat besi di dalam makanan mereka.
Munculnya penyakit-penyakit menular seperti HIV/AIDS, malaria,
tuberculosis telah mengurangi tingkat produktifitas dalam bekerja
dan mengurangi bahkan menutup kesempatan untuk bekerja. Depersi
klinis, ketergantungan terhadap narkoba dan minuman keras, jika
tidak ditangani dengan benar akan lebih memperburuk kondisi
lingkaran kemiskinan.
Ke-tata laksana-an (governance). Belum matangnya kehidupan
demokrasi, rendahnya tingkat pendidikan, akses kepada air bersih,
akses kepada infratruktur seperti jalan dan fasum-fasos (fasilitas
umum dan sosial) merupakan kondisi sosial yang disebabkan oleh
rendahnya ke-tata laksana-an dalam pemerintahan. Kondisi lainnya
adalah tingginya buta huruf, tingginya kematian bayi dan rendahnya
tingkat kesehatan ibu yang telah memicu munculnya kemiskinan.
Buruknya ketata laksanaan ini juga mengurangi kesempatan untuk
mendapatkan bantuan pembangunan dari negara-negara donor. Belum
dilakukannya penegakan hukum atau rule of law seirngkali tidak
memihak kepada masyarakat miskin tapi justru mendukung masyarakat
yang lebih mapan dan berkecukupan. Masih meraja lelanya KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) merupakan salah satu akar
permasalahan dalam ketata laksanaan pemerintahan. KKN yang
merugikan ini pada akhirnya telah mengurangi minat para investor
untuk menanam modal di Indonesia, padahal investor inilah yang
diharapkan dapat memacu pertumbuhan ekonomi.
Faktor sosio-demografi. Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi
telah memicu pemiskinan baru.3 Meningkatnya jumlah penduduk juga
telah memicu peningkatan kejahatan baik kejahatan kerah putih
maupun kerah biru dan meningkatnya peredaran narkoba, khususnya di
daerah perkotaan. Program-program peningkatan kesejahteraan dan
penyediaan fasum-fasos justru memberikan manfaat bagi masyarakat
kelas menengah, dan bukan masyarakat miskin sebagai target utamanya
(fenoma ini dikenal dengan Matthew efffect). Kemiskinan juga sering
timbul akibat dari perang termasuk perang saudara dan genocide.
1 Di beberapa tambang berskala besar, banyak karyawan (khususnya
tingkat middle management ke atas) yang berasal dari luar daerah
tambang yang mempunyai aset di luar daerah atau tempat asalnya
serta membelanjakan penghasilan bulannya ke tempat lain. 2 Banyak
masyarakat di sekitar tambang yang tidak mampu bersaing dengan para
pendatang sehingga mengurangi kesempatan mereka untuk dapat bekerja
di perusahaan tambang. 3 Tingkat pertumbuhan penduduk di daerah
tambang jauh leibh tinggi dibanding dengan daerah-daerah lainnya.
Pertambahan penduduk tersebut dipicu oleh para pendatang yang ingin
mencari pekerjaan di sektor tambang dan sektor pendukungnya.
24
-
Penyakit Belanda (Dutch disease) Penyakit Belanda merupakan
kesalahan pasar (market failure) akibat rendahnya upah buruh dan
berlimpahnya sumberdaya alam (SDA) yang digunakan untuk
menghasilkan komoditi lainnya. SDA yang berlimpah tersebut dihargai
jauh lebih rendah dari pada komoditi yang dihasilkan oleh
negara-negara maju yang mempunyai teknologi canggih. SDA
dimungkinkan untuk dijual dengan harga rendah karena upah buruh
juga relatif rendah (state-of-the-art). Sebaliknya negara-negara
berkembang penghasil SDA membeli komoditi dari negara-negara maju
dengan harga yang tinggi karena upah buruh di negara-negara
tersebut tinggi (Bresser-Pereira, 2008). Akibat dari transaksi jual
beli tersebut, maka nilai tukar uang menjadi tidak seimbang
(overvaluation). Nilai tukar uang negara-negara penghasil SDA
menjadi rendah, sebaliknya nilai tukar uang negara berteknologi
tinggi menjadi tinggi. Namun demikian, ada faktor ekonomi makro
lainnya yang menyebabkan munculnya penyakit Belanda tersebut.
Investiasi yang dilakukan di negara-negara berkembang juga telah
memicu tidak imbangnya nilai tukar uang. Investasi akan menarik
modal asing yang pada akhirnya dapat menekan nilai tukar uang.
Faktor-faktor lainnya adalah tingginya tingkat kemiskinan,
rendahnya kualitas SDM, ketata laksanaan pemerintahan (good
governance), dan sebagainya. Permintaan (demand) yang tinggi berupa
konsumsi dan pengeluaran publik oleh negara-negara berkembang juga
memicu penurunan tukar uang. Akibatnya negara-negara berkembang
tetap saja tidak bisa menikmati hasil penjualan SDAnya dan
kehidupannya tidaklah dapat meningkat dengan cepat.
Kondisi sosio-ekonomi tersebut sangatlah kontras dengan
perolehan hasil tambang yang bernilai miliaran dollar dan telah
memberikan sumbangan devisa yang sangat berarti bagi perekonomian
nasional kita. Sumberdaya alam (SDA) kita yang melimpah ruah
ternyata terbukti tidak mampu memberikan nilai tambah dan merubah
nasib masyarakat yang hidup di sekitar daerah tambang. Kondisi
mereka relatif masih sama, miskin dan terbelakang, jika dibanding
saat sebelum ada kegiatan tambang.
Inilah yang disebut sebagai resource curse atau kutukan SDA.
Manusia telah mendapat kutukan karena tidak mampu memanfaatkan SDA
anugerah Tuhan dengan arif dan bijaksana. Justru orang-orang
luarlah yang menikmati manfaatnya, sementara masyarakat lokal hanya
bisa melihat kekayaan alamnya sedikit demi sedikit telah menipis
dan habis digali. Hasil tambang mengalir deras ke negara-negara
maju, sementara yang dikucurkan kembali ke masyarakat lokal hanya
sebagian kecil saja.
Lalu, bagaimana mengakhiri kutukan ini? Siapa sebenarnya yang
paling bertanggung jawab? Apa yang harus dilakukan oleh perusahaan
tambang? Dampak tambang terhadap perekonomian: Tinjauan PT Kaltim
Prima Coal (KPC)
Peran kegiatan pertambangan KPC terhadap ekonomi Kutai Timur
sangat menonjol. Pada tahun 2006, sektor pertambangan batu bara
pada Pendapatan Domestik Regional Bruto (PDRB) mencapai lebih dari
82%. Berikut ini adalah hasil studi yang dilakukan oleh BPS dan
Center for Strategic Study of Resources (CSSR) tentang dampak KPC
terhadap perekonomian wilayan dan lokal. Efek pengganda output
total. Kemampuan tambang batubara KPC dalam mendorong kegiatan
ekonomi sektor lainnya dapat dianalisa dengan angka pengganda
(multiplier). Pengganda output total terjadi di sektor pertambangan
sebesar 1,99. Artinya:
25
-
apabila permintaan batubara naik 1 unit, maka output seluruh
ekonomi di Kutim dan wilayah lainnya akan naik sebesar 1,99.
Pengganda output domestik adalah 1,32. Artinya: kenaikan 1 unit
akan memicu kenaikan output domestik sebesar 1,32.
Efek pengganda tenaga kerja. Efektifitas suatu sektor dalam
menciptakan kesempatan kerja diukur berdasarkan pengganda tenaga
kerjanya. Tambang batubara KPC merupakan sektor paling efektif
dalam menyerap tenaga kerja dibanding sektor ekonomi lainnya.
Pengganda tenaga kerja tambang KPC mencapai 75 dan 6. Artinya:
setiap tambahan satu orang pekerja KPC akan memicu munculnya 75
kesempatan kerja, yang mana 6 diantaranya terjadi di Kutim
(domestik).
Pembentukan output total dan domestik. Output sektor produksi
terbentuk karena adanya permintaan (input) dari domestik dan luar
negeri. Besarnya input kegiatan tambang batubara KPC pada tahun
2005 adalah RP11,4 trilyun. Output yang diciptakan dalam sistem
perekonomian mencapai total Rp22,3 trilyun. Besarnya output yang
dinikmati oleh penduduk Kutai Timur adalah Rp14,5 trilyun atau 65%
dari total output. Output domestik yang terbentuk dari kegiatan
tambang batubara KPC adalah Rp 14,5 trilyun. Dari jumlah tersebut,
Rp10,6 trilyun (atau 73%) terjadi di KPC, sedangkan sisanya terjadi
di sektor lain di sekitar KPC.
Penciptaan Nilai Tambang Bruto (NTB). NTB merupakan bagian dari
output berupa nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh
seluruh unit ekonomi. Kenaikan atau penurunan output akan diikuti
secara proporsional oleh kenaikan dan penurunan NTB. Pengeluaran
tambang batubara KPC mampu menciptakan NTB dalam perekonomian
sebesar Rp11,4 trilyun. Dari jumlah tsb, 60% atau Rp6,8 trilyun
terjadi di Kutai Timur. Pengeluaran tambang batubara KPC mampu
menciptakan NTB dalam perekonomian di Kutai Timur sebesar Rp6,8
trilyun. Dari jumlah tsb, 67% atau Rp4,6 trilyun tercipta di
wilayah Kutai Timur.
Pendapatan masyarakat dalam perekonomian. Upah dan gaji
merupakan balas jasa yang diterima oleh pekerja yang didasarkan
pada latar belakang pendidikan, kemampuan (skills) dan kompetensi.
Besarnya pendapatan masyarakat dalam sistem perekonomian adalah
Rp2,4 trilyun. Dari jumlah pendpatan masyarakat tsb, 53% atau Rp1,3
trilyun merupakan pendapatan masyarakat di Kutim. Total pendapatan
masyarakat dari kegiatan tambang batubara di Kutim adalah Rp1,3
trilyun. Dari jumlah pendapatan tsb, 35% atau Rp443,2 milyar
merupakan pendapatan karyawan yang bekerja di KPC, sedangkan
sisanya justru dinikmati oleh masyarakat yang tinggal di sekitar
kawasan tambang KPC. Hal ini merupakan indikasi positif bagi sistem
perekonomian Kutai Timur.
Penciptaan pajak langsund dan tak langsung. Pajak tak langsung
merupakan salah satu komonen dalam nilai tambah bruto yang harus
dibayar oleh sektor-sektor produksi atau penjualan dan biasanya
dibebankan kepada barang dan jasa yang dibeli. Pajak tak langsung
yang dicipta-kan oleh KPC dalam perekono-mian adalah Rp628 milyar.
Dari jumlah tsb, Rp513 milyar atau 82% diantaranya tercipta di
Kutim. Dari total pajak tak langsung yang tercipta di Kutim,
sebagian besar (85%) atau Rp436 milyar merupakan pajak tak langsung
yang tercipta di KPC. Sektor yang paling potensial menghasilkan
pajak tak langsung adalah sektor jasa. Penyerapan tenaga kerja.
Tenaga kerja merupakan salah satu faktor produksi dalam menciptakan
output barang dan jasa. Besarnya tenaga kerja yang mampu tercipta
dalam perekonomian karena kegiatan tambang batubara KPC adalah
198.661 orang. Diantara jumlah tsb, hanya 15.916 orang diantaranya
atau 9% terserap di Kutim. Tenaga kerja yang diserap akibat
kegiatan tambang batubara KPC adalah 15.916 orang. Dari jumlah tsb,
sebanyak 2.321 orang diserap di KPC, sedangkan sisanya sebanyak
13.595 orang diserap
26
-
oleh sektor lain di luar KPC. Kondisi ini membuktikan bahwa
kegiatan tambang batubara KPC telah menyerap lebih banyak tenaga
kerja di luar KPC.
Peran KPC dalam Pembiayaan Pembangunan Daerah. Sebagai daerah
yang relatif baru, Kabupaten Kutai Timur sangat membutuhkan
anggaran yang cukup besar untuk dapat membangun infrastruktur dasar
seperti penyediaan air, jalan, listrik dan gas. Kondisi tersebut
mutlak dibutuhkan oleh Kutai Timur agar dapat mengembangkan
perekonomian sehingga dapat sejajar dengan kabupaten lainnya yang
sudah lebih dahulu berkembang. Namun demikian sampai dengan saat
ini, Pendapat Asli Daerah (PAD) sebagai salah satu sumber
pembiayaan pembangunan masih relative kecil. Peran dari PAD dalam
penerimaan daerah selama periode 2001-2005 hanya berkisar antara
0,51-1,61 persen. Dalam APBD Kabupaten Kutai Timur porsi terbesar
dari penerimaan daerah berasal dari dana bagi hasil sumberdaya alam
(SDA) dan dana perimbangan lainnya. Hal ini memberikan indikasi
bahwa pemerintah daerah dalam menjalankan fungsi pemerintahannya
masih sangat tergantung dari transfer pusat.
Grafik 2: Kontribusi KPC dalam penerimaan daerah. Sumber: Dampak
Pertambangan KPC terhadap Perekonomian di Kab Kutai Timur, BPS,
2007.
Peran KPC Dalam Pembentukan PDRB Kutai Timur. Produksi batubara
KPC yang terus mengalami peningkatan sejak mulai berdirinya sampai
saat ini. Pada tahun 1993, besaran PDRB Kabupaten Kutai Timur atas
dasar harga berlaku baru mencapai Rp. 0,52 triliun, dengan produksi
batubara KPC sebesar 8,87 ribu ton. Tahun 2005, PDRB Kabupaten
Kutai Timur mencapai Rp. 11,3 triliun dan produksi batubara KPC
mencapai 28,1 ribu ton. Pada grafik di bawah ini terlihat jelas
bahwa perkembangan produksi batubara KPC sangat berpengaruh besar
dalam pembentukan nilai tambah di Kabupaten Kutai Timur.
27
-
Grafik 3: Perkembangan Produksi Batubara dan PDRB Kabupaten
Kutai Timur, 1993-2005. Sumber: Dampak Pertambangan KPC terhadap
Perekonomian di Kab Kutai Timur, BPS, 2007.
Pada tahun 2005 terlihat bahwa telah terjadi perubahan struktur
perekonomian periode 1995 2005 akibat keberadaan KPC. Pada tahun
1995 sektor batubara menjadi penyumbang terbesar dalam perekonomian
yaitu sebesar 72,2 persen, diikuti oleh sector pertanian sebesar
12,81 persen dan ketiga sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar
3,8. Tahun 2005 sektor batubara masih menjadi leading sector dalam
pembentukan nilai tambah di Kutai Timur, namun urutan penyumbang
nilai tambah berikutnya berbeda dibandingkan tahun 1995,
sektor-sektor tersebut adalah sektor jasa-jasa, perdagangan hotel
dan restoran, dan pengangkutan dan komunikasi. Pergeseran struktur
terjadi karena sektorsektor tersebut berkembang untuk mendukung
kegiatan pertambangan.
Permintaan dan Penawaran Petambangan KPC dan Sektor Ekonomi
Lainnya Pada Tahun 2005, permintaan terhadap barang dan jasa di
Kabupaten Kutai Timur mencapai Rp 31,75 triliun. Dari nilai
tota