i MANAJEMEN BENCANA FAKULTAS KEAM UNIVERSITA SENTUL, 11 APRIL 2019 BUKU PROSIDING SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA
i
MANAJEMEN BENCANA FAKULTAS KEAMANAN NASIONAL UNIVERSITAS PERTAHANAN
© UNHAN PRESS
SENTUL, 11 APRIL 2019
BUKU PROSIDING
SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI
KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM
PENGELOLAAN SUMBER DAYA DAERAH UNTUK
MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA
ii
BUKU PROSIDING
SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI
“KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM PENGELOLAAN
SUMBER DAYA DAERAH UNTUK MENDUKUNG PERTAHANAN NEGARA”
Sentul, 11 April 2019
UNIVERSITAS PERTAHANAN
Kawasan IPSC Sentul Sukahati Citereup Bogor 16810
2019
i
iii
Hak Cipta dilindungi undang-undang
Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam
bentuk apapun, baik secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam
atau dengan sistem penyimpanan lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit.
ii
iv
BUKU PROSIDING
SEMINAR HASIL KULIAH KERJA DALAM NEGERI
“Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah
Untuk Mendukung Pertahanan Negara”
Sentul – Bogor, 11 April 2019
Penanggung jawab:
Dr. Tri Legionosuko, S.IP., M.AP
Reviewer:
Prof. Dr. Syamsul Maarif
Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT
Dr. Arief Budiarto, DESS Dr. Dr. Anwar Kurniadi, S.KP., M.Kep
Dr. Fauzi Bahar, M.Si
Dr. Sri Sundari
Tim Editor:
Dr. IDK Kerta Widana, SKM., MKKK
Faisol Abdul Kharis, S.Hum
Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar, S.P
Saifuli Sofi’ah, S.Pd
Oktavia Putri Rahmawati, S.Si
Nurul Safitry, S.Pd
Ilustrator:
Dindin, SE
Ns. Elviana Kaban, S.Kep., M.Han
Published by Universitas Pertahanan Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia 16810 Website: www.idu.ac.id
ISBN : 978-602-5808-54-8
v hlm + 75 hlm + 21x23cm email : [email protected]
081380920299
Kawasan IPSC, Sentul, Sukahati, Citereup, Bogor,
Jawa Barat, Indonesia, 16810
2019
iii
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha
Esa atas segala rahmat dan hidayahnya, buku Artikel
Penelitian Program Studi Manajemen Bencana
merupakan hasil penelitian yang telah dipublikasikan
pada acara Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri,
Fakultas Keamanan Nasional, Universitas Pertahanan
dengan tema “Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali
dalam Pengelolaan Sumber Daya Daerah untuk
Mendukung Pertahanan Negara” tanggal 11 April
2019.
Buku artikel penelitian ini memuat sembilan
artikel hasil penelitian Program Studi Manajemen Bencana di Provinsi Bali pada bulan
Februari 2019 yang telah dilakukan oleh mahasiswa dan dosen Program Studi Manajemen
Bencana dengan fokus kepada Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah Provinsi Bali dalam Penanggulangan Bencana. Penelitian ini merupakan salah satu bagian dari peningkatan
dan penguatan sumber daya manusia pertahanan di bidang kebencanaan. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pertahanan, Letnan Jenderal Dr. Tri Legiono Suko, SIP, MAP
yang telah mendukung dan memfasilitasi semua kegiatan seminar penelitian
Program Studi Manajemen Bencana.
2. Dekan Fakultas Keamanan Nasional Universitas Pertahanan, Laksamana Muda
TNI Dr. Siswo Hadi Sumantri, S.T., M.MT yang telah mendukung dan memberi
arahan dalam kegiatan penelitian dan seminar Program Studi Manajemen
Bencana.
3. Bapak dan Ibu seluruh panitia Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri Program Studi
Manajemen Bencana yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pemikirannya. 4. Para peserta Seminar Hasil Kuliah Dalam Negeri Program Studi Manajemen
Bencana yang telah menyumbangkan artikel hasil penelitiannya.
iv
vi
Semoga buku artikel penelitian ini dapat memberi manfaat bagi kita semua untuk
pengembangan ilmu pertahanan, khususnya di bidang manajemen bencana untuk
keamanan nasional serta dapat menjadi referensi bagi pembangunan dan peningkatan
sumber daya manusia pertahanan di bidang kebencanaan.
Sekretaris
Program Studi Manajemen Bencana
Universitas Pertahanan
Dr. IDK Kerta Widana, SKM, MKKK
Kolonel Kes NRP 516772
NIDN: 4709106401
v
vii
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ........................................................................................................... iv
Implementasi Sister Village sebagai Alternatif Penanganan Pengungsi Erupsi
Agung: Studi Kasus Desa Semarapurakangin, Bali F. A. Kharis, B. D. Priambodo, M. P. Rizayati, IDK Kerta Widana ................................ 1
Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali dalam Menghadapi Risiko Bencana
Deddie Wijayanto, Novita A. Nainupu, Oktavia P. Rahmawati, Santi Oktariyandari ...... 11
Koordinasi dalam Komunikasi Bencana di Provinsi Bali
Deny Widi Anggoro, Dian Efrianti, Novita Berhitu ...................................................... 19
Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali terhadap Potensi Bencana
Tsunami Dodi Andrian, Fautia Erfanisa, Nur Ikhsani Rahmatika ................................................. 29
Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Taruna Siaga Bencana (TAGANA) di
Provinsi Bali
Bram Ronald Sanjaya, Kristiyono, Yuniar Kurnia Widasari .......................................... 38
........................................................................................................................................
Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Badung dan Pangkalan TNI AL (Lanal Denpasar
dalam Penanggulangan bencana)
Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar, Mohammad Ali, Nur Intan Sari ......................... 48
Kesiapan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Bali Adib Hermawan, Saifuli Sofi’ah, Sugeng Widodo ........................................................ 57
Kesiapsiagaan dalam Manajemen Bencana (Studi Kasus SLBN 1 Badung
Menghadapi Potensi Ancaman Bencana Gempa Bumi dan Tsunami)
Zahrotul Khumairoh, Dewi Apriliani, Taufiq Prasetyo .................................................. 66
iv
1
Implementasi Sister Village sebagai Alternatif Penanganan Pengungsi Erupsi
Gunung Agung: Studi Kasus Desa Semarapurakangin, Bali
F. A. Kharis1, B. D. Priambodo
1, M. P. Rizayati
1, IDK Kerta Widana
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
Email: [email protected], [email protected]
Abstrak. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis implementasi pelaksanaan sister village antara Desa Duda Utara, Kecamatan Selat, Kabupaten
Karangasem dengan Desa Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung, Provinsi Bali pada September 2017. Penelitian ini penting dilakukan untuk
menekan dampak dari risiko yang ditimbulkan oleh erupsi Gunung Agung. Penelitian ini
menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Teknik pemilihan sampel
menggunakan purposive dan snowball sampling berdasarkan kriteria tertentu diantaranya
adalah pejabat yang berkompeten dan terlibat langsung dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana terutama penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung Agung.
Pengumpulan data menggunakan metode wawancara, observasi dan studi pustaka. Teknik
analisis data menggunakan pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan. Teknik pemeriksaan keabsahan data menggunakan teknik triangulasi yang memanfaatkan penggunaan sumber. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat 28
desa yang berada di wilayah kerawanan tinggi erupsi Gunung Agung. Radius aman pada
level situasi “awas” berjarak 6 km terdapat 10 desa di sekitar Gunung Agung yang
menjadi daerah rawan. Adapun 18 desa lain berstatus sebagai desa penyangga. Apabila
radius aman ditingkatkan menjadi 10 km, maka desa penyangga yang direkomendasikan
oleh BPBD Karangasem tersebar di tiga kabupaten yaitu Bangli, Singaraja dan
Klungkung. Sister village sebagai model pemberdayaan masyarakat Bali dalam
menghadapi erupsi Gunung Agung antara desa Duda Utara dengan Desa
Semarapurakangin sudah berjalan dengan baik. Sister village tumbuh berdasarkan
tingginya solidaritas sosial masyarakat Desa Semarapurakangin dalam memberikan
bantuan evakuasi, pertolongan dan penyelamatan sehingga meminimalisir korban. Model
ini merupakan salah satu prosedur pemberdayaan masyarakat dalam membantu korban erupsi Gunung Agung menyediakan fasilitas emergency darurat bencana. Sister village
antara Desa Duda Utara dengan Desa Semarapurakangin ini dikombinasikan dengan
kearifan lokal asli masyarakat Bali, yaitu Nguopin atau penerapan gotong royong dengan
hati yang tulus ikhlas tanpa menerima imbalan.
Kata Kunci: Erupsi Gunung Agung, Kearifan Lokal, Sister Village
2
1. Pendahuluan Bali adalah salah satu daerah di Indonesia dengan tradisi lokal dan modernisasi dapat
berjalan beriringan. Pembangunan peradaban modern di Bali yang kian massive karena
tuntutan perkembangan zaman dan arus imigrasi, tidak serta merta menggerus budaya asli
Bali. Hal tersebut tidak terlepas dari campur tangan masyarakat Bali yang membentuk
berbagai kelompok desa. Kelompok-kelompok desa tersebut kemudian berkembang dan
menciptakan suatu kebudayaan-kebudayaan yang memiliki ciri khas masing-masing desa.
Kesenian tradisional, tarian adat, rumah masyarakat, upacara-upacara adat dan persembahyangan masih terjaga dengan baik. Masyarakat Bali Aga atau Bali Pegunungan
merupakan masayarakat desa tradisional tertua di Bali. Masyarakat Bali Aga adalah nenek
moyang orang Bali berasal dari keturunan Austronesia dari zaman Megalithikum yang
tinggal berkelompok di suatu daerah tertentu dan tetap memegang teguh tradisinya
(Purwadi dan Aliffiati, 2015:5).
Selain nilai-nilai adat dan tradisi lokal yang terjaga dengan baik, Bali memiliki
potensi sumber daya alam seperti lahan pertanian padi dan kopi, pantai terumbu karang
dan rumput laut. Sektor pariwisata unggulan Bali seperti pantai, upacara dan ritual
keagamaan serta wisata pedesaan menyumbang pemasukan paling besar dalam
menjalankan pemerintahan dan perekonomian Bali. Hal tersebut tentu saja dapat
mengundang wisatawan baik domestik maupun mancanegara untuk menjadikan Bali sebagai destinasi pilihan utama untuk berwisata dan menghabiskan waktu libur.
Sisi lain dari kemajuan Provinsi Bali di bidang perekonomian dan pariwisata,
terdapat berbagai ancaman yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan masyarakat
Bali maupun wisatawan. Ancaman tersebut adalah potensi bencana seperti tsunami, banjir,
tanah longsor dan ancaman erupsi Gunung Agung dan Gunung Batur.
Posisi geografis Bali termasuk dalam daerah rawan bencana, yakni “ring of fire”
yang membentang sepanjang Pulau Sumatera, Jawa, Bali, Nusa Tenggara hingga Sulawesi
yang sewaktu-waktu berpotensi terjadi letusan gunung berapi, gempa bumi, tsunami dan
fenomena-fenomena alam lainnya (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2017).
Topografi dan relief Pulau Bali terbentang pegunungan aktif, yaitu Gunung Agung dan
Gunung Batur. Gunung Agung adalah gunung tertinggi di Bali yang berada di Kabupaten
Karangasem dengan tinggi puncaknya adalah 3.142 mdpl. Adapun Gunung Batur yang tingginya 1.717 mdpl berada di Kabupaten Bangli.
Pada September 2017, Gunung Agung meletus akibat meningkatnya aktivitas gempa
tektonik yang menyebabkan perubahan status dari siaga menjadi awas (Bhaskara,
2017:32). Masyarakat terdampak (radius 6 km) di sekitar Agung harus mengungsi ke
daerah aman berdasarkan rekomendasi dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah
(BPBD) Kabupaten Karangasem. Salah satu penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung
Agung pada September 2017 adalah melalui kearifan lokal sister village. Implementasi
konsep sister village dalam penanganan pengungsi dari Desa Duda Utara, Kecamatan
Selat, Kabupaten Karangasem dilaksanakan di Balai Banjar Lebah, Desa
Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali. Pada
umumnya, kedatangan pengungsi dari suatu daerah ke daerah lain dapat mengganggu stabilitas keamanan di daerah pengungsian, namun masyarakat Desa Semarapurakangin,
3
Kabupaten Klungkung mampu melaksanakan penanganan pengungsi dengan baik.
Pelaksanaan sister village tersebut terbukti membantu warga Desa Duda Utara.
Berdasakan kasus tersebut, Pemerintah Provinsi Bali harus menjadi aktor birokrasi yang
menangani kebencanaan dengan menggunakan alternatif model kerjasama sister village.
2. Metodologi Penelitian ini dilaksanakan di Desa Semarapurakangin, Kecamatan Klungkung, Kabupaten
Klungkung, Provinsi Bali. Metode penelitian yang digunakan berupa kualitatif dengan menggunakan data-data deskriptif. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis
implementasi pelaksanaan sister village sebagai solusi permasalahan yang ditimbulkan
akibat erupsi Gunung Agung pada tahun 2017.
2.1 Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan menggunakan beberapa teknik, yaitu melalui teknik
wawancara, observasi lapangan dan studi pustaka. Subjek penelitian adalah pihak-pihak
yang terlibat langsung sebagai narasumber dan memahami tentang topik penelitian.
Teknik pemilihan sampel menggunakan purposive dan snowball sampling. Purposive
sampling adalah mengambil sampel dari populasi berdasarkan kriteria tertentu. Adapun
snowball sampling adalah narasumber yang dipilih memenuhi kriteria yang ditetapkan, diantaranya adalah pejabat yang berkompeten dan terlibat langsung dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana terutama penanganan pengungsi akibat erupsi
Gunung Agung (Sugiyono, 2013:125). Narasumber yang dimaksud diantaranya adalah
sebagai berikut:
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Karangasem
Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Klungkung
Tokoh masyarakat Pecalang atau Polisi Adat Bali
2.2 Analisis
Analisis data dilakukan dengan metode kualitatif dengan menggunakan data-data deskriptif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model
interaktif sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles dan Hubberman (2014) yaitu suatu
teknik analisis yang dilakukan secara terus-menerus selama pengumpulan data di lapangan
sampai dengan pengumpulan data selesai dilakukan sehingga data yang didapatkan sudah
jenuh. Teknik analisis data model interaktif sebagaimana yang dikemukakan oleh Miles
dan Hubberman terdiri dari pengumpulan data, reduksi data, penyajian data dan langkah
terakhir adalah penarikan kesimpulan. Langkah-langkah dalam analisis data adalah
sebagai berikut:
2.2.1 Pengumpulan data
Analisis data penelitian sudah dilakukan mulai saat pengumpulan data penelitian
berlangsung hingga pengumpulan data selesai dilakukan.
4
2.2.2 Reduksi data
Reduksi data merupakan penyerderhanaan yang dilakukan melalui seleksi, pemfokusan
dan keabsahan data mentah menjadi informasi yang bermakna, sehingga memudahkan
penarikan kesimpulan.
2.2.3 Penyajian data
Penyajian data yang sering digunakan pada data kualitatif adalah bentuk naratif.
Penyajian-penyajian data berupa sekumpulan informasi yang tersusun secara sistematis dan mudah dipahami.
2.2.4 Penarikan kesimpulan
Penarikan kesimpulan merupakan tahap akhir dalam analisis data yang dilakukan melihat
hasil reduksi data tetap mengacu pada rumusan masalah secara tujuan yang hendak
dicapai. Data yang telah disusun dibandingkan antara satu dengan yang lain untuk ditarik
kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang ada.
Data primer, data sekunder dan hasil survei lapangan yang diperoleh dianalisis
dengan deskripsi hasil in-depth interview dan tabulasi data sosiometri. Reduksi data
dilakukan dengan teknik coding. Perlu diperhatikan bahwa kode-kode yang ditentukan dalam menjawab setiap rumusan pertanyaan dapat berinteraksi satu sama lain sesuai
dengan hasil di pengamatan di lapangan. Uji keabsahan data dilakukan dengan
menggunakan teknik triangulasi sumber. Peneliti membandingkan pendapat dari BPBD
Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Karangasem, tokoh masyarakat berupa Ketua Adat
Komunitas Pecalang, serta hasil pengamatan dan observasi peneliti.
3. Hasil dan Pembahasan Bergesernya paradigma penanganan bencana oleh pemerintah yang ingin memberikan
peran lebih besar kepada masyarakat, dirancang sebuah pendekatan penanganan bencana
berbasis masyarakat. Hal tersebut bertujuan untuk mendorong dan mengundang partisipasi
yang lebih aktif dari masyarakat agar dapat menyampaikan ide-ide perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi program-program, kesiapan, kesiapsiagaan darurat, respon, dan pemulihan.
Gunung Agung adalah titik tertinggi di Pulau Bali dengan tinggi mencapai 3.142
mdpl. Gunung api dengan tipe stratovolcano ini meletus pada tahun 1963, 2017, 2018 dan
terakhir pada Maret 2019. Dampak dari erupsi Gunung Agung mengakibatkan masyarakat
yang tinggal di sekitar lereng harus mengungsi. Selain itu, terjadinya erupsi Gunung
Agung juga berdampak pada kerugian berupa kerusakan dan hilangnya aset sumber mata
pencaharian masyarakat.
3.1 Pembentukan Sister Village di Desa Semarapurakangin, Klungkung
Pada September 2017, aktivitas tektonik Gunung Agung mengalami peningkatan. Pusat
Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) menaikkan status Gunung Agung dari level III (siaga) menjadi level IV (awas). Intensitas semburan asap dan abu vulkanik
5
Gunung Agung terus meningkat disertai dentuman yang terdengar hingga 12 kilometer.
Masyarakat, wisatawan dan pendaki dilarang beraktivitas pada radius 9 kilometer dari
kawah Gunung Agung. Daerah pada radius tersebut harus steril dan kosong dari aktivitas
masyarakat. Hal tersebut menyebabkan gelombang pengungsi datang ke daerah-daerah
aman yang telah direkomendasikan oleh BPBD Kabupaten Karangasem. Gambar berikut
menggambarkan kawasan rawan bencana pada kondisi awas Gunung Api Agung yang
dipetakan pada radius 6 km dari puncak.
Gambar 1. Peta kawasan rawan bencana kondisi awas Gunung Api Agung Provinsi Bali.
Sumber: Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), 2018
Gambar menunjukkan bahwa terdapat 28 desa yang berada di wilayah kerawanan tinggi
erupsi Gunung Agung. Radius aman pada level situasi “awas” berjarak 6 km serta terdapat
18 desa di sekitar Gunung Agung yang menjadi daerah rawan. Adapun 10 desa lain
berstatus sebagai desa penyangga.
6
Pemerintah Kabupaten Karangasem melalui Surat Keputusan Bupati Karangasem
No. 14/HK/2018 telah menetapkan desa dan dusun yang masuk dalam radius berbahaya
erupsi Gunung Agung. Pemerintah menetapkan 28 desa terdampak erupsi Gunung Agung.
Adapun daftar 28 desa tersebut dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 1. Daftar desa terdampak erupsi Gunung Agung
Kecamatan Desa Terdampak Jumlah
Kubu Tulamben, Kubu, Dukuh, Baturinggit, Sukadana, Ban dan Tianyar (kecuali Tianyar Tengah dan Barat)
7
Abang
Pidpid Atas, Nawa Kerti, Kesimpar Atas
(perbatasan dengan Wates Datah), Datah Atas (Kedampal, Karangsari, Wates) dan Ababi Atas (Umanyar, Besang dan sekitarnya)
5
Bebandem Bhuana Giri, Budakeling (dekat sungai Embah Api), Bebandem Atas (Tihing Sekaa, Tihingan) dan Jungutan
4
Selat Duda Utara, Amertha Buana, Sebudi, Peringsari Atas (Lusuh, Padangaji), Muncan
Atas (Pejeng dan sekitarnya)
5
Rendang Besakih, Menanga Atas (Batusesa, Tegenan dan sekitarnya), Pempatan Atas (Pemuteran, Gunung Lebah, Keladian) dan Puragae
4
Karangasem Padangkerta (kecuali Desa Adat Peladung dan Temega), Subagan (kecuali Desa Adat Jasri), dan Karangasem yang dekat dengan Tukad Janga
3
Sumber: BPBD Karangasem, 2018
Saat Gunung Agung berstatus “awas”, radius aman yang telah ditetapkan oleh
PVMBG berjarak 6 km. Hal tersebut sesuai dengan Surat Keputusan Bupati Karangasem
No. 14/HK/2018 tentang penetapan desa dan dusun yang masuk dalam radius berbahaya 6
km dari puncak Gunung Agung di Kabupaten Karangasem. Berdasarkan ketetapan
tersebut, 10 desa di 5 kecamatan di Kabupaten Karangasem termasuk dalam kategori
kerentanan tinggi. Adapun 10 desa tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:
7
Tabel 2. Daftar desa dan dusun yang masuk dalam radius 6 km dari puncak Gunung
Agung
Kecamatan Daerah Bahaya
Desa Dusun
Rendang Besakih Temukus, Angsoka, Kidulingkreteg, Br.Kesimpar
Kubu
Ban Bunga, Daya, Cegi, Pengalusan, Belong, Pucang, Bonyoh,
Cucut
Dukuh Dukuh, Batu Giling, Buana Kusuma, Pandan Sari
Kubu Juntal Kaja
Baturinggit Bantas
Abang Datah Kedampal, Karangsari, Juwuk, Wates
Nawakerti Batukawan, Baukangin, Laga
Bebande Buana Giri Ttanah Aron, Nangka, Kemoning, Bhuana Kerta Jungutan Yeh Kori, Kubu Pangi, Untalan, Galih
Selat Sebudi
Lebih, Telung Buana, Badeg Dukuh, Sogra, Pura, Badeg
Tengah, Desa Adat
Sebun
Sumber: Surat Keputusan Bupati Karangasem No. 14/HK/2018, 2018
Salah satu implementasi pelaksanaan sister village sebagai alternatif penanganan
pengungsi erupsi Gunung Agung dilaselenggarakan di Desa Semarapurakangin,
Kabupaten Klungkung yang menampung pengungsi dari Desa Duda Utara, Kabupaten
Karangasem. Sebelumnya, BPBD Kabupaten Karangasem telah berkoordinasi dengan
daerah-daerah aman di sekitar Kabupaten Karangasem untuk dijadikan sebagai desa
penyangga. Adapun desa penyangga tersebut tersebar di tiga kabupaten yang diantaranya
adalah Kabupaten Bangli, Kabupaten Singaraja dan Kabupaten Klungkung. Desa-desa
yang teridentifikasi masuk ke dalam daerah terpapar erupsi Gunung Agung diberikan
sosialisasi dan mitigasi dari BPBD Kabupaten Karangasem melalui pimpinan desa adat dan Pecalang. Himbauan dari BPBD Kabupaten Karangasem saat terjadi erupsi Gunung
Agung adalah untuk segera mengungsi ke salah satu desa yang telah terdaftar sebagai
posko pengungsian. Konsep ini disebut dengan sister village. Praktik pelaksanaan model
sister village antara desa Duda Utara dengan desa Semarapurakangin dijadikan sebagai
salah satu dasar penentuan kebijakan kearifan lokal sister village di daerah-daerah lain
sebagai bentuk antisipasi dan solusi penanganan pengungsi saat terjadi erupsi Gunung
Agung.
Model sister village merupakan upaya menyatukan dua pasang desa atau lebih adalah
suatu hubungan kerja sama dalam manajemen pengungsi yang terencana saat terjadi suatu
bencana. Model sister village dilaksanakan untuk menekan risiko bencana berupa luka-
luka, kehilangan harta benda hingga kematian. Hal tersebut didukung oleh desa penyangga sebagai lokasi penempatan pengungsi baik di rumah penduduk maupun fasilitas umum
(Avianti, 2015:117). Sister village merupakan bentuk kerja sama antara desa yang
terdampak bencana dengan desa yang aman.
8
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan
bencana, tanggap darurat dan rehabilitasi (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 21 tahun 2008 tentang penyelenggaraan penanggulangan bencana).
Penyelenggaraan penanggulangan bencana melibatkan banyak pihak, tidak terkecuali pada
pelaksanaan model sister village. Pemerintah dalam hal ini melalui BPBD tidak dapat
melaksanakan penyelenggaraan tersebut sendiri. BPBD membutuhkan bantuan dan
koordinasi dari berbagai pihak seperti masyarakat dan dunia usaha atau swasta non pemerintah. Pihak yang terlibat dalam pelaksanaan model sister village penanganan
pengungsi erupsi Gunung Agung adalah antara Desa Duda Utara dengan Desa
Semarapurakangin.
3.2 Teknis dan Prosedur Pelaksanaan Sister Village
Teknis pelaksanaan model sister village antara desa terdampak dengan desa penyangga
berjalan secara sistematis. Apabila muncul tanda-tanda adanya erupsi Gunung Agung,
warga masyarakat lereng gunung yang dalam hal ini adalah masyarakat Desa Duda Utara
menuju desa penyangga yang dalam hal ini adalah Desa Semarapurakangin untuk
mengungsi. Pelaksanaan ini berjalan setelah adanya kesepakatan antara dua desa tersebut.
Sinergi dan koordinasi sister village antar desa melibatkan Pasebaya yang merupakan kepala desa adat masing-masing desa.
Masayarakat Desa Duda Utara saat mengungsi si Desa Semarapurakangin memiliki
berbagai aktivitas untuk menghidupkan perekonomian secara mandiri tanpa terus
mengharap bantuan dari orang lain. Salah satunya adalah membuat kerajinan Canangsari
untuk digunakan sebagai sesaji umat Hindu. Selain untuk beribadah kerajinan Canangsari
tersebut dijual dan hasilnya digunakan untuk menambah bahan makanan sehari-hari di
pengungsian.
3.3 Keuntungan Pelaksanaan Sister Village
Keuntungan pelaksanaan sister village diantaranya adalah sebagai berikut:
Masyarakat Desa Duda Utara yang menjadi korban erupsi Gunung Agung dimudahkan untuk mendapatkan tempat mengungsi karena sudah diatur dengan
persetujuan dan koordinasi yang baik dan jelas, sehingga apabila terjadi erupsi
Gunung Agung alur evakuasi korban terdampak dapat berjalan dengan tertib.
Mempermudah perhitungan jumlah kebutuhan bantuan, kesehatan, pendidikan,
dan logistik.
Pelaksanaan rehabilitasi dan pemulihan korban menjadi lebih terkoordinasi
dengan baik.
Pengungsi di Balai Banjar Lebah Desa Semarapurakangin merasa nyaman
karena kemudahan akses tempat pengungsian, fasilitas kesehatan dan air bersih.
Perekonomian warga masyarakat Desa Dadu Utara masih tetap bisa berjalan
walaupun sedang terdampak bencana.
9
3.4 Kendala Pelaksanaan Sister Village
Kendala dalam pelaksanaan sister village diantaranya adalah tidak semua masyarakat
terdampak erupsi bersedia untuk tidur di pengungsian dan lebih memilih untuk mengungsi
ke tempat keluarga. Hal tersebut menyebabkan sulitnya mengidentifikasi kekuatan penuh
masyarakat desa terdampak yang mengungsi di desa penyangga melalui model sister
village. Selain itu, pemenuhan kebutuhan pokok pengungsi belum berjalan dengan
maksimal. Meskipun banyak bantuan yang datang untuk pengungsi, namun tidak semua
bantuan tersebut dapat dimanfaatkan dengan maksimal karena bantuan yang dikirimkan tidak sesuai dengan kebutuhan pengungsi.
4. Simpulan Pelaksanaan kebijakan sister village sebagai bagian dari penanggulangan bencana berbasis
masyarakat secara mandiri sehingga mengurangi ketergantungan dari pemerintah maupun
orang lain. Implementasi di Bali didasari oleh local wisdom kehidupan masyarakat yang
saling bergotong-royong yaitu Nguopin (mendukung tetangga/saudara dekat dan
Pasebaya). Sister Village dapat menjadi alternatif solusi dalam penanganan korban
terdampak erupsi Gunung Agung pada September 2017. Pelaksanaan sister village yang
terorganisir dengan baik memudahkan pengungsi. Hal tersebut dikarenakan masyarakat
terdampak sudah tahu lokasi pengungsian. Bagi pemerintah (khususnya BPBD Provinsi Bali dan Kabupaten Karangasem), model sister village dapat digunakan sebagai salah satu
model penanggulangan bencana berbasis masyarakat yang efektif. Pemerintah melalui
BPBD juga dimudahkan dalam melakukan aksi cepat tanggap pendataan dan penyaluran
bantuan. Setiap desa terdampak dan desa penyangga harus memiliki MoU (Memorandum
of Understanding) yang jelas dengan difasilitasi oleh masing-masing perwakilan
Pasebayan dan pemerintah melalui BPBD untuk meminimalisir adanya kesalahpahaman
dan potensi konflik.
5. Acknowledgement Kami berterima kasih kepada BPBD Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Karangasem, BPBD
Klungkung dan Pecalang atau Polisi Adat Bali yang telah memberikan informasi terkait
risiko bahaya erupsi Gunung Agung dan konsep pelaksanaan model sister village. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan kajian untuk menentukan kebijakan
penanganan pengungsi akibat erupsi Gunung Agung.
Referensi [1] Astriani, Fiqih 2017 Mitigasi Bencana Gunung Merapi Berbasis Desa Bersaudara
(Sister Village) di Kecamatan Musuk Kabupaten Boyolali Jawa Tengah
[undergraduated thesis] (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta).
[2] Avianti N dan Bevaola Kusumasari 2015 Modal Sosial di dalam Upaya
Pengurangan Risiko Bencana Merapi “Sister village”: Studi Kasus Desa
Ngargomulyo Kecamatan Dukun dan Desa Tamanggung Kecamatan Muntilan
[undergraduate thesis] (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada) p 117.
10
[3] Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2017 Potensi dan Ancaman Bencana
(Jakarta: Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan).
[4] Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali dalam Angka=Bali Province in Figures
2018 (Bali: BPS-Statistic of Bali Province).
[5] Bhaskara, Gde Indra 2017 Gunung Berapi dan Pariwisata: Bermain dengan Api
Vol. 17 No. 1 (Bali: Jurnal Analisis Pariwisata) p 31-40.
[6] Kristifolus, Willybrodus Gabriel 2017 Analisis Implementasi Sister Village
Ssebagai Upaya Penanggulangan Bencana Erupsi Gunung Merapi dalam Status Aaktif Normal (Pra Bencana0 DI Kabupaten Magelang [undergraduated
thesis] (Semarang: Universitas Diponegoro).
[7] Miles, Matthew B., A. Michael Huberman dan J Saldana 2014 Qualitative Data
Analysis: A Methods Sourcebook (Los Angeles: Sage Publication).
[8] Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 tentang
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Bab I Pasal 1 (2).
[9] Purwadi dan Aliffiati 2015 Napak Tilas Jati Diri Orang Bali (Bali: Program Studi
Antropologi Universitas Udayana) p. 5.
[10] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) 2018 Peta KRB
Kondisi Awas Gunung Api Agung Provinsi Bali (Electronic Materials).
[11] Sugiyono 2013 Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, kualitatif dan R&D (Bandung: Alfabeta) p 122-125.
[12] Surat Keputusan Bupati Karangasem No. 14/HK/2018 tentang Penetapan desa dan
dusun yang masuk dalam radius berbahaya menjadi 6 km dari puncak Gunung
Agung di Kabupaten Karangasem.
11
Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali dalam Menghadapi Risiko Bencana
Deddie Wijayanto 1
, Novita A. Nainupu 1
, Oktavia P. Rahmawati1, dan Santi
Oktariyandari 1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected]
Abstrak. Pesatnya perkembangan pariwisata di Indonesia menunjukkan bahwa sektor pariwisata adalah penghasil devisa terbesar untuk Indonesia. Wisata budaya Bali yang
sangat populer di tingkat internasional dan telah dinobatkan sebagai tujuan terbaik di
dunia menjadi penyumbang devisa terbesar ke sektor pariwisata Indonesia sebesar 70%.
Salah satu ancaman utama dalam industri pariwisata adalah rentan terhadap bencana, jika
tidak dikelola dengan baik dampaknya akan memengaruhi ekosistem pariwisata dan
pencapaian target kinerja pariwisata. Mitigasi dan pengurangan risiko bencana adalah
tindakan yang tepat dalam menghadapi ancaman dan ditempatkan sebagai bentuk investasi
dalam pengembangan pariwisata. Tindakan mitigasi dapat mengambil bentuk peran
informasi dari manajemen objek wisata terkait untuk memberikan jaminan rasa tenang dan
keamanan yang dibutuhkan oleh wisatawan dalam melaksanakan liburan mereka.
Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif berdasarkan pertimbangan pelaksanaan upaya mitigasi penanggulangan bencana yang
melibatkan berbagai aspek yang harus digali lebih dalam dan komprehensif. Upaya
mitigasi yang dilakukan adalah bentuk kesiapsiagaan untuk merespons tantangan yang
dihadapi oleh sektor pariwisata di Bali khususnya adalah memberikan rasa nyaman dan
aman bagi wisatawan yang datang dan segala bentuk ancaman harus diantisipasi oleh
pihak-pihak terkait.
Kata kunci: Kesiapan, Manajer Pariwisata, Pulau Bali, Risiko Bencana
1. Pendahuluan
Perkembangan pariwisata di Indonesia luar biasa pesat. Data World Travel and Tourism
Council (WTTC) pada tahun 2018 melaporkan bahwa Top-30 Travel and Tourism
Countries Power Rangking yang didasarkan pada pertumbuhan absolut pada periode tahun
2011 dan 2017 untuk empat indikator perjalanan dan pariwisata utama menunjukkan
Indonesia berada pada peringkat sembilan sebagai negara dengan pertumbuhan pariwisata
tercepat di dunia. Dalam daftar yang dikeluarkan, China; Amerika Serikat; dan India
menempati posisi tiga besar. Pariwisata di kawasan Asia, Indonesia berada peringkat tiga setelah China dan India. Sedangkan pariwisata di kawasan Asia Tenggara, posisi
Indonesia terbaik diantara negara-negara Asia Tenggara lainnya, yaitu Thailand yang
12
berada di peringkat 12; Filipina dan Malaysia di peringkat 13; Singapura di peringat 16;
dan Vietnam di peringkat 21.
Pariwisata Indonesia memiliki banyak keunggulan kompetitif dan keunggulan
komparatif. Terlihat dari jumlah wisatawan mancanegara ke Indonesia yang mengalami
peningkatan sebesar 55% secara absolut, dari tahun 2014 sebesar 9 juta menjadi 14 juta
pada tahun 2017. Angka ini menunjukan bahwa sektor pariwisata merupakan penghasil
devisa terbesar. Putu Agus Yudiantara selaku Kasi Promosi Pariwisata Dinas Pariwisata
Provinsi Bali menyatakan bahwa pariwisata di Indonesia yang menyumbang devisa terbesar adalah Pariwisata Bali yang mampu menyumbang Rp. 150 miliar/bulan untuk
devisa wisata negara atau sekitar 70% untuk sektor pariwisata di Indonesia. Akan tetapi,
industri pariwisata sangat rentan terhadap bencana apabila tidak dikelola dengan baik,
dampaknya akan mempengaruhi ekosistem pariwisata dan pencapaian target kinerja
pariwisata. Pariwisata seringkali diasosiasikan dengan kesenangan dan wisatawan melihat
keamanan dan kenyamanan sebagai satu hal yang esensial dalam berwisata. Bencana
merupakan salah satu faktor yang sangat rentan dan nyata yang akan mempengaruhi naik
turunnya permintaan dalam industri pariwisata.
Pariwisata budaya Bali yang sangat populer di kancah internasional telah
berkembang sejak tahun 1920-an yang menarik wisatawan termasuk wisatawan
mancanegara. Pulau Bali dinobatkan sebagai destinasi terbaik di dunia berdasarkan penghargaan yang diberikan oleh TripAdvisor lewat Travellers’ Choice Awards 2017.
Dalam penghargaan ini, Bali menduduki peringkat pertama dari 25 destinasi terbaik di
dunia mengalahkan London (Inggris) dan Paris (Perancis). Perkembangan kedatangan
wisatawan mancanegara ke Bali dalam kurun waktu 5 tahun terakhir mengalami
peningkatan yang cukup pesat, yaitu dari 6.394.307 orang (2014); menjadi 7.149.115
orang (2015); menjadi 8.643.680 (2016); menjadi 8.735.633 orang (2017); dan menjadi
9.757.991 orang (2018) (Dinas Pariwisata Provinsi Bali, 2018). Dalam beberapa tahun
terakhir, kunjugan pariwisata ke Bali terus meningkat. Tingkat Penghunian Kamar (TPK)
hotel berbintang di Provinsi Bali pada Agustus tahun 2018 mencapai 73,83% juga
memperjelas besarnya tingkat wisatawan di Provinsi Bali (BPS, 2018). Akan tetapi, angka
kunjungan dapat dipengaruhi oleh faktor bencana alam di Bali. Erupsi Gunung Agung di
Bali tahun 2017 menyebabkan 1 juta wisatawan berkurang dan kerugian mencapai Rp 11 trilyun di sektor pariwisata.
Mitigasi sangat diperlukan Provinsi Bali untuk menjaga kestabilan jumlah wisatawan
yang datang. Mitigasi bencana harus ditempatkan menjadi salah satu prioritas dalam
pembangunan sektor pariwisata. Mitigasi dan pengurangan risiko bencana hendaknya
ditempatkan sebagai investasi dalam pembangunan pariwisata itu sendiri. Dinas pariwisata
Bali yang didukung oleh Kementrian Pariwisata Republik Indonesia melakukan empat
langkah taktis untuk merespon situasi krisis akibat erupsi Gunung Agung yang telah
terjadi. Multihazard yang terdapat di Provinsi Bali sangat mengancam Pemerintah
Provinsi Bali. Oleh karena itu, Pemerintah Provinsi Bali sudah memulai beberapa tindakan
mitigasi untuk mengatasi segala bentuk ancaman dari bencana tsunami sebagai upaya
kesiapsiagaan.
13
2. Metode
Sejalan dengan fokus masalah dan tujuan penelitian, maka penelitian ini
menggunakan metode penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Peneliti
menggunakan metode kualitatif berdasarkan atas pertimbangan pelaksanaan upaya
mitigasi penanggulangan bencana yang melibatkan berbagai aspek yang harus digali lebih
mendalam dan komprehensif. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan
untuk memehami suatu fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian
misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara holistik dan dengan cara mendeskripsikan dalam bentuk kata-kata dan bahasa pada suatu konteks khusus yang
alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah (Moleong, 2007). Penelitian
ini diharapkan dapat mendapatkan berbagai informasi yang dapat digunakan dalam
mendukung tindakan mitigasi dalam upaya pengurangan risiko bencana kepada
wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara di Provinsi Bali.
3. Hasil dan Pembahasan
Bali memiliki berbagai macam tempat wisata memukau yang dapat menarik
wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara dari berbagai macam negara di
dunia. Namun, tidak dapat dipungkiri letak geografis Provinsi Bali dikelilingi oleh
berbagai macam ancaman bencana dari erupsi gunung, tsunami, banjir, angin topan, dan lain sebagainya (Gubernur Provinsi Bali, 2019). Pemerintah Provinsi Bali telah
melaksanakan koordinasi yang sangat baik kepada instansi dan lembaga dalam hal
menangani terjadinya potensi bencana di Provinsi Bali khususnya daerah wisata. Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali yang memiliki tanggungjawab
dalam menangani kebencanaan bekerja sama dengan instansi terkait, seperti BPBD
Kabupaten di seluruh Provinsi Bali, BMKG, Basarnas, PMI, NGO, dan lain lain untuk
memastikan keamanan lokasi wisata dalam menghadapi potensi bencana. BPBD di daerah
Provinsi Bali merupakan instansi yang memiliki kajian yang sangat baik dalam
memaksimalkan program kerja untuk memberikan informasi terkait bencana.
Beberapa hal yang telah dilakukan oleh BPBD Provinsi Bali, yaitu terjalinnya
kerjasama dalam memaksimalkan kerja Early Warning System (EWS) yang telah terdapat
di sembilan titik pantai yang berpotensi tsunami. Setiap tanggal 26 tiap bulannya pukul 10.00 WITA Pemda Provinsi Bali bekerja sama dengan BPBD dan BMKG selalu
melakukan uji coba sirine EWS yang terdapat diseluruh titik di Bali. Hal ini bertujuan
untuk mengetahui apakah alat EWS tersebut masih berfungsi dengan baik atau tidak.
Disamping itu, BPBD Provinsi Bali juga telah memiliki standarisasi hotel tahan gempa
dengan adanya bukti sertifikasi yang dikeluarkan oleh BPBD Provinsi Bali dengan syarat
indikator sesuai ketentuan yang berlaku. Saat ini sudah 60 Hotel yang tersertifikasi (BPBD
Provinsi Bali, 2019).
14
Gambar 1 dan 2 Jalur Evakuasi di Bangunan dan Lobby Hotel
Gambar 3 dan 4 Titik Kumpul di Lapangan Terbuka Hotel
Kegiatan lain yang mendukung program mitigasi dan kesiapsiagaan terhadap
bencana di Bali juga sudah dilasanakan oleh BPBD Kabupaten Badung yang memiliki
objek wisata yang cukup banyak sehingga keberadaan wisatawan harus diperhatikan. Program sosialisasi di objek wisata sudah dilakukan secara berkala dengan didukung
pemberian brosur kepada wisatawan sebagai informasi batasan daerah rawan bencana di
tempat wisata (BPBD Kab. Badung, 2019). Pariwisata budaya Bali yang berkembang
sejak tahun 1920-an telah menarik datangnya wisatawan termasuk wisatawan
mancanegara maupun domestik. Perkembangan kedatangan wisatawan baik mancanegara
maupun wisatawan domestik ke Bali dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami
peningkatan yang cukup pesat berdasarkan data Dinas Pariwisata Provinsi Bali, khususnya
kedatangan wisatawan mancanegara sebaga berikut:
15
Tabel 1 The Number Foreign Tours Arrival Bali By Month
Month Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec Total
2014
Tourist 279.2
6
275
.80
276
.57
280
.10
286
.03
330
.40
361
.07
336
.76
354
.76
341
.65
296
.88
347
.37
3.766
.638
-/ +(%) 19.89 14.
03
9.3
3
15.
57
15.
35
19.
85
21.
21
8.9
1
16.
08
28.
17
-
3.3
8
16.
17 14.89
2015
Tourist 301.7
5
338
.99
305
.27
313
.76
295
.27
359
.70
382
.68
303
.62
389
.06
369
.45
270
.94
370
.64
4.001
.835
-/ +(%) 8.05 22.
91
10.
38
12.
02
3.4
8
8.8
7
5.9
9
-
9.84
9.6
7
8.1
4
-
8.74
6.7
0 6.24
2016
Tourist 350.5
9
375
.74
364
.11
380
.77
394
.56
405
.84
484
.23
438
.14
445
.72
432
.22
413
.23
442
.80
4.927
.937
-/ +(%) 16.19 10.
84
19.
27
21.
35
33.
31
12.
83
26.
54
44.
30
14.
58
16.
99
52.
52
19.
47 23.14
2017
Tourist 460.8
2
453
.99
425
.50
477
.46
489
.38
504
.14
592
.05
601
.88
550
.52
465
.09
361
.01
315
.91
5.697
.739
-/ +(%) 31.44 20.
82
16.
86
25.
40
24.
03
24.
22
22.
27
37.
37
23.
51
7.6
1
-
12.
60
-
28.
70
15.62
2018
Tourist 358.0
6
452
.42
492
.68
516
.78
528
.51
544
.55
624
.37
573
.77
555
.90
517
.89
406
.73
498
.82
6.070
.473
-/ +(%) -
22.30
20.
41
35.
31
35.
72
33.
95
34.
18
28.
94
30.
96
24.
72
19.
82
-
1.5
7
12.
65 23.18
Dalam beberapa tahun terakhir, kunjugan pariwisata ke Bali terus meningkat. Seiring
semakin banyaknya potensi tempat wisata yang telah tereksplorasi dengan baik. Mulai dari
wisata alam, wisata budaya, wisata religi, wisata kuliner, dan perbelanjaan. Semua
komponen masyarakat yang ada di Bali dimulai dari warga masyarakat, kampung adat,
pemerintah hingga dunia usaha mampu meramu Bali menjadi pusat wisata dunia. Bali
mampu menyumbang 70% pendapatan dari sektor pariwisata yang ada di Indonesia (Dinas
Pariwisata Provinsi Bali, 2018). Pemerintah menargetkan delapan juta kunjungan
wisatawan mancanegara. Namun, target angka kunjungan wisatawan mancanegara
sebanyak delapan juta itu dipengaruhi oleh efek faktor terjadinya bencana alam di Bali.
Erupsi Gunung Agung di Bali tahun 2017 menyebabkan penurunan jumlah kedatangan
wisatawan sebanyak 1 juta yang mengakibatkan penerimaan devisa sektor pariwisata menurun.
16
Penyebab menurunnya jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Bali bukan
akibat timbulnya rasa takut akan erupsi Gunung Agung, tetapi jumlah kedatangan
wisatawan asing menurun lebih disebabkan akibat adanya penutupan Bandara
Internasional I Gusti Ngurah Rai oleh pihak PT. Angkasa Pura I sebagai upaya antisipasi
terhadap radius sebaran abu vulkanik Gunung Agung. Akibat penutupan bandara adalah
penurunan wisatawan mancanegara ke Bali, tetapi wisatawan yang sudah berada di Bali
menjadi resah karena ketidakpastian Bandara I Gusti Ngurah Rai akan dibuka ataupun
ditutup. Hal tersebut membawa keresahan bagi para turis asing yang jadwal berliburnya sudah terjadwal. Pada akhirnya banyak turis asing mancanegara yang mengalihkan tujuan
wisata ke Bali menjadi ke negara-negara Asia Tenggara lainnya serta turis yang sudah
berada di Bali mempercepat waktu kunjungannya di Bali. Kejadian ini langsung
menyebabkan turunnya target kedatangan turis, khususnya turis mancanegara ke Bali yang
memiliki targer pada tahun 2017 adalah delapan juta wisatawan.
Melihat kejadian ini Pemerintah Daerah Provinsi Bali tidak tinggal diam, banyak
cara dan usaha nyata dalam menarik wisatawan mancanegara untuk tetap datang ke Bali
dan “menahan” untuk tetap tinggal di Bali serta tidak mempercepat waktu kunjungnya di
Bali. Salah satu cara yang telah dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Bali, yaitu
menerapkan aturan “one night free” bagi para pengelola perhotelan di Bali untuk
diberikan kepada para turis. Pada malam pertama saat terjadinya erupsi Gunung Agung memberikan pelayanan angkutan gratis bagi para turis yang akan pindah hotel ketempat
hotel yang lebih aman dari radius erupsi Gunung Agung. Langkah-langkah yang ditempuh
ini akan diterapkan bukan hanya pada erupsi gunung Agung, tetapi juga diterapkan saat
terjadi kejadian luar biasa khususnya bencana alam untuk menyelamatkan para wisatawan
dan bisnis pariwisata yang menjadi andalan Bali dan pariwisata di Indonesia.
Di era digital saat ini, pada setiap kejadian bencana alam selalu diikuti munculnya
berita-berita bohong atau hoax yang selalu mengikuti peristiwanya. Disaat Gunung Agung
masih tingkatan siaga tiga, tetapi berita yang beredar di media sosial terkait erupsi disertai
gambar-gambar yang mengerikan telah ditelusuri kebenarannya bahwa kabar erupsi
Gunung Agung tersebut adalah berita bohong. Pihak pemerintah melalui BMKG telah
memberikan klarifikasi terhadap pemberitaan yang salah tersebut. Dengan demikian,
sebagian besar turis mancanegara lebih teliti dan waspada terhadap segala macam pemberitaan, sehingga turis asing lebih mengerti dan mengetahui bagaimana mendapatkan
informasi yang benar dan tepat terhadap peristiwa Gunung Agung. Akhirnya, turis tidak
mudah terprovokasi terhadap beredarnya berita-berita hoax di media sosial. Wisatawan
mancanegara lebih khawatir karena penutupan Bandara I Gusti Ngurah Rai oleh PT.
Angkasa Pura I karena penutupan bandara akan merubah jadwal kunjungan maupun
jadwal kepulangan mereka untuk kembali ke negaranya.
Berdasarkan peristiwa Erupsi Gunung Agung diatas, peran informasi serta kepastian
dari para aparat yang berkompeten dalam lingkup dunia pariwisata khususnya di Bali
menjadi sangat penting perannya untuk memberikan kepastian rasa tenang dan aman yang
sangat dibutuhkan oleh para wisatawan dalam melaksanakan liburannya. Saling
keterkaitan lintas instansi lembaga pemerintah dalam menunjang peningkatan dunia pariwisata di Bali, khususnya langkah antisipasi jika terjadi bencana alam khususnya
17
dampak erupsi Gunung Agung. Pemerintah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali pada
hari Kamis tanggal 22 November 2017 menyelenggarakan FGD (Focus Group Discusion)
dan Tactical Floor Game Mitigasi SOP Pelayanan Wisatawan jika Airport Ngurah Rai
ditutup. Dinas terkait yang terlibat adalah Tenaga Ahli Kemenpar RI, Kadis Pariwisata
Bali, Ketua GIPI, PT Angkasa Pura I, BPBD, OTBAN Ngurah Rai, Basarnas, Dinas
Perhubungan, TNI, Polisi serta Dinas Kesehatan Provinsi Bali. Dalam FGD tersebut
tercapai kesepahaman dalam bertindak seluruh aparat berwenang apabila terjadi keadaan
darurat yang diakibatkan oleh bencana alam sehingga terjadi penutupan bandara. Upaya ini termasuk dalam mitigasi kebencanaan sehingga kerentanan masyarakat khususnya
wisatawan baik domestik maupun mancanegara akan dapat dikurangi sehingga rasa aman
dan nyaman para wisatawan terjamin karena kesiapsiagaan aparat pemerintah maupun
dunia usaha dalam menghadapi risiko bencana yang setiap saat akan datang.
Tantangan yang dihadapi oleh sektor pariwisata di Bali pada khususnya adalah
memberikan rasa nyaman dan aman terhadap para wisatawan yang datang. Segala macam
bentuk ancaman harus mampu diantisipasi oleh pihak-pihak terkait. Tragedi Bom Bali I
dan II tidak boleh terulang lagi dengan memperkecil ruang gerak teroris untuk kembali
meneror Bali. Namun, saat ini ancaman nyata dan faktual adalah bencana alam, baik itu
berupa erupsi gunung berapi maupun ancaman gempa besar yang disusul tsunami. Hal
tersebut dimungkinkan terjadi karena di selatan Bali terdapat lempeng Indo-Australia dan Eurasia yang sangat aktif dan berpotensi menyebabkan gempa besar.
4. Kesimpulan
Industri pariwisata di Indonesia, terutama di Pulau Bali, semakin menjadi idola
wisatawan asing. Devisa yang dihasilkan menunjukkan grafik peningkatan setiap tahun
dan mampu berkontribusi 70% dari pariwisata devisa di Indonesia. Namun, bisnis
pariwisata di Bali bukannya tanpa hambatan dan ancaman, salah satu ancaman nyata dan
faktual adalah bencana alam. Kesiapan Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi
ancaman bencana alam dilakukan secara serius dan terintegrasi. Hal ini bisa dilihat dari
kolaborasi antara badan-badan pemerintah, dunia bisnis, dan komunitas yang saling terkait
secara harmonis. Melalui Kantor Pariwisata Pemerintah, Pemerintah Provinsi Bali telah
mampu menjadi sektor utama yang menjaga pariwisata Bali untuk tetap menjadi tujuan wisata dunia. Upaya nyata dalam memberikan kepastian keamanan dan kenyamanan
wisatawan dari ancaman, salah satunya adalah mitigasi bencana terhadap destinasi wisata.
Forum Diskusi Kelompok dimaksudkan untuk mengantisipasi dan mengimplementasikan
tindakan-tindakan dari otoritas terkait jika ancaman bencana terjadi. Pemerintah Provinsi
Bali telah memasang sembilan titik Sistem Peringatan Dini dan akan memasang sebanyak
sepuluh unit sebagai upaya mitigasi di daerah-daerah yang rawan gempa bumi disertai
dengan tsunami. Pelatihan rutin setiap bulan dan bangunan hotel yang aman dari gempa
bumi bersama dengan instruksi evakuasi dan tempat berkumpulnya evakuasi adalah
standar yang harus diterapkan. Pemahaman tentang bencana melalui penyediaan brosur
bencana dan latihan yang melibatkan wisatawan adalah salah satu tindakan nyata
pemerintah daerah Bali dalam melindungi wisatawan dan pariwisata.
18
Ucapan Terima Kasih
Peneliti menyampaikan terima kasih kepada Bapak Ibu dan Saudara atas kesediannya
untuk memberikan informasi yang menjadi sumber data pada penelitian ini. Ucapan
terimakasih disampaikan kepada Kepala Seksi Promosi Dinas Pariwisata, Bapak Putu
Agus Yudiantara, A.PAR, M.PAR; Kepala Pelaksana BPBD Provinsi Bali, Bapak Made
Rentin; Sekretaris Daerah Provinsi Bali, Bapak Dewa Indra; dan Pengelola White Rose
Hotel.
Referensi
[1] Badan Pusat Statistik. 2018. Tingkat Penghunian Kamar pada Hotel Bintang di
Bali. Diakses dari laman https://bali.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/19
pada tanggal 7 Maret 2019.
[2] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Bali. 2018.
[3] Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Badung. 2019.
[4] Dinas Pariwisata Pemerintah Provinsi Bali. Perkembangan Kunjungan Wisatawan Nusantara Ke Bali Tahun 2013-2018.
[5] Gubernur Provinsi Bali. 2019.
[6] Kompas. 2017. Bali Dinobatkan sebagai Destinasi Wisata Terbaik di Dunia.
diakses dari laman https://travel.kompas.com/read/2017/04/14/200540027/bali.
dinobatkan.sebagai.destinasi.wisata.terbaik.di.dunia pada tanggal 9 Maret 2019.
[7] Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Penerbit
PT. Remaja Rosdakarya Offset.
[8] Putu Agus Yudiantara. 2019. Kesiapsiagaan Pengelola Objek Wisata di Bali
Menghadapi Risiko Bencana. Hasil Wawancara: 27 Februari 2019, Dinas
Pariwisata Provinsi Bali.
[9] World Travel & Tourism Council. 2018. Economic Impact 2018 World. London
(UK): WTTC.
19
Koordinasi dalam Komunikasi Bencana di Provinsi Bali
Deny Widi Anggoro 1
, Dian Efrianti1, dan Novita Berhitu
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional
1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected],
E-mail: [email protected]
Abstrak. Melihat secara historis data statistik peristiwa kebencanaan yang terjadi di Indonesia yang semakin meningkat menunjukkan bahwa Indonesia sangat membutuhkan
keberadaan manajemen bencana dalam penanggulangan becana Indonesia. Hal ini perlu
dijadikan arus utama dalam pembangunan oleh pemerintah sehingga mampu mewujudkan
keamanan nasional bangsa dan keamanan insani (human security). Salah satu upaya
penanggulangan bencana dilakukan dengan koordinasi kebencanaan kepada unsur
pemerintah, dunia usaha, akademisi, komunitas, dan masyarakat. Berdasarkan penelitian
di Provinsi Bali, semua unsur tersebut sangat kooperatif dalam usaha bersama
menanggulangi bencana yang dibantu oleh komunitas media yang peduli terhadap bidang
kebencanaan serta membantu diseminasi informasi kebencanaan di Provinsi Bali menjadi
efektif dan efisien untuk diakses oleh masyarakat luas. Koordniasi yang baik dalam
penanggulangan bencana ini menjadikan masyarakat Bali terbentuk menjadi masyarakat yang paham akan bencana dan harapannya menjadi tangguh dalam menghadapi potensi
bencana yang mengancam di wilayahnya.
Kata kunci: Bali, Bencana, Koordinasi
1. Pendahuluan Usaha pertahanan negara dipersipakan sejak dini oleh pemerintah baik pusat maupun
daerah dengan melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan segenap sumber daya
nasionalnya secara total, terpadu, terarah, dan berkelanjutan. Selain usaha pertahanan
negara militer tak kalah pentingnya saat ini adalah usaha pertahanan negara non-militer
yang diupayakan untuk mengurangi dampak dari ancaman non-militer yang nyata seperti
bencana yang akhir-akhir ini terjadi hampir di seluruh daerah di Indonesia. Salah satu
wilayah yang memiliki potensi ancaman bencana yang cukup besar adalah Pulau Bali
yang lebih dikenal dengan sebutan Pulau Dewata. Pulau Bali bukan saja dikenal di kancah nasional melainkan sangat terkenal di dunia internasional karena karakteristik seni dan
budaya yang menjadi nilai jual dan daya tarik wisatawan mancanegara.
20
Pulau Bali terletak sangat dekat dengan zona subduksi antara Lempeng Indo-
Australia dan Lempeng Eurasia. Zona pertemuan lempeng ini merupakan kawasan yang
menjadi sumber utama bagi gempa maupun tsunami yang dapat berdampak bagi
masyarakat di Pulau Bali. Provinsi Bali menjadi salah satu daya tarik wisata yang paling
popular bagi wisatawan internasional dengan menawarkan segala keindahan alam yang
memikat dan terhampar luas serta budaya dan kehidupan masyarakat lokal yang masih
sangat kuat dijaga dan dilestarikan. Akan tetapi, di balik keindahan tersebut, Bali juga
menyimpan kerentanan yang sangat besar terhadap potensi bencana. Secara historis, berbagai bencana pernah terjadi di Provinsi Bali seperti gempa bumi, letusan gunung api,
banjir, longsor, kekeringan, dan angin kencang. Provinsi Bali memiliki dua gunung api
aktif, yaitu Gunung Agung dan Gunung Batur serta tidak menutup kemungkinan Gunung
Batukaru akan berpotensi menjadi aktif.
Berdasarkan pengamatan terhadap berbagai pemberitaan bencana di Indonesia, masih
menunjukkan beberapa problematika di lapangan seperti yang dikemukakan Budi (2011)
bahwa setelah melalui berbagai penguatan landasan hukum, kelembagaan, dan
pengalaman penanganan bencana ternyata masih menyisakan banyak persoalan baik
secara konseptual maupun lapangan. Persoalan utama adalah komunikasi, informasi,
koordinasi, dan kerjasama. Dari aspek kecepatan, ketepatan, keakuratan, kehandalan,
aspek komunikasi, dan informasi masih menjadi hal yang problematik, terutama ketika berbicara mengenai kesimpangsiuran informasi, berbagai tindakan yang tidak tepat
sasaran, keterpaduan antar sektor dalam penanganan bencana atau ketumpangtindihan
masih banyak terjadi [1]. Pada satu sisi menunjukkan bahwa aspek egosentris sektoral
masih tampak serta pada sisi lain pemahaman atas aspek kebijakan dan implementasi yang
terintegrasi mengenai aspek bencana belum menjadi agenda utama. Problematika tersebut
tentu harus diperbaiki dan menjadi kesempatan untuk mengimplementasikan kebijakan,
strategi, dan operasional penanggulangan bencana sebagai suatu gerakan yang terintegrasi
dan sistemik.
Permasalahan yang menonjol saat ini adalah terjadinya pembiasan berita atau yang
lebih sering kita kenal dengan hoax. Berita hoax yang sifatnya masih belum dapat dinilai
kebenarannya menjadi masalah yang sangat serius karena dapat mengakibatkan salahnya
informasi dan komunikasi yang diberikan kepada masyarakat luas. Terlebih lagi dihadapkan pada situasi bencana, kesalahan informasi yang diberikan akan berdampak
sangat fatal bagi masyarakat serta wisatawan asing. Oleh karena itu, pemerintah harus
fokus dalam menghadapi permasalahan ini. Kepala Pusat Data Informasi dan Humas
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan
bahwa sebenarnya mudah untuk menentukan suatu informasi bencana yang hoax. Jika
dalam berita tersebut disebutkan kapan atau waktu prediksi bencana itu terjadi, maka jelas
berita tersebut adalah hoax. Hal tersebut dibuktikan dengan belum adanya teknologi atau
ahli yang mampu memprediksi kapan bencana terjadi.
Pola hoax dengan menyebarkan video atau foto tentang kejadian bencana yang sudah
terjadi namun disebarkan kembali dengan membuat video atau foto tersebut seolah
kejadian dari bencana yang sedang terjadi. Pola yang lain dengan memanfaatkan pernyataan ahli yang sudah disampaikan berdasarkan penelitian dan pengamatan, tetapi
21
kembali dimuat dengan mengubah konteksnya seakan-akan menjadi sebuah ancaman.
Selain menyebarkan ketakutan, para pelaku hoax terkadang mempunyai motif kriminal.
Contohnya adalah muncul isu akan terjadi gempa susulan, kemudian masyarakat diminta
mengungsi dengan meninggalkan rumah dalam keadaan kosong dan pencuri masuk untuk
mengambil harta benda yang ditinggalkan. Berdasarkan penyataan Kapusdatin dan Humas
BNPB tersebut membuktikan bahwa berita hoax sudah beredar sampai sekala nasional.
Ancaman hoax yang semakin meluas harus segera ditindaklanjuti oleh pemerintah.
Terutama pemerintah daerah, dalam hal ini Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali selaku leading sector dalam penanggulangan kebencanaan di
tingkat daerah harus aktif dalam memberikan counter opini dan pemberian update
informasi secara terus menerus. Hasilnya adalah informasi dapat tersampaikan dengan
benar tanpa pembiasan informasi serta penyalahgunaan berita dan informasi. Mengingat
Provinsi Bali memiliki potensi bencana gempa, tsunami, longsor, banjir, dan potensi
bencana sosial, maka pemerintah, lembaga masyarakat, komunitas adat serta dunia usaha
berperan untuk menyebarluaskan informasi kebencanaan kepada masyarakat.
2. Metodologi
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif menggunakan
observasi dan wawancara sebagai alat alat utama dalam mengambil data. Penelitian ini menggunakan metode pengambilan sampel purposive sampling. Pengambilan sampel yang
dilakukan secara sengaja dan peneliti menentukan sendiri sampel yang akan diambil
dengan berbagai pertimbangan tertentu. Menurut Creswel (2006) prosedur pengambilan
data melalui purposive sampling merupakan prosedur pengambilan data yang paling tepat
dalam penelitian kualitatif karena dengan metode ini akan dapat menjawab dengan baik
pertanyaan-pertanyaan penelitian dengan baik dan tepat sasaran [2]. Hal ini disebabkan
oleh informan yang dipilih telah mempertimbangkan beberapa aspek tertentu yang sesuai
dengan bidang yang diteliti. Informan yang dipilih antara lain Dinas Komunikasi dan
Informasi, Badan Penaggulangan Bencana Daerah, dan Wartawan Peduli Bencana.
3. Pembahasan dan Hasil Penelitian
Pada dasarnya manusia membutuhkan komunikasi dalam hidupnya untuk memenuhi kebutuhan informasi yang dibutuhkan untuk menunjang aktifitasnya. Pola komunikasi
dapat dilakukan dengan cara tatap muka, melalui tulisan, telopon, maupun media sosial
yang kini makin berkembang seiring dengan perkembangan kemajuan teknologi informasi
dan komunikasi untuk menciptakan kemudahan, kecepatan, murah dan praktis. Pada
umumnya, aparatur pemerintah menggunakan majalah, buletin, koran, televisi, media
sosial, hingga pameran untuk menyosialisasikan kegiatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kinerja melalui program dan kegiatan yang diinformasikan kepada
masyarakat dan berujung pada kesejahteraan hidup masyarakat.
Berbagai informasi yang disiarkan melalui media massa maupun media cetak dapat
mempengaruhi pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap suatu peristiwa yang terjadi
termasuk didalamnya kesiapsiagaan masyarakat dalam menghadapi ancaman bencana. Akhir-akhir ini informasi terjadinya bencana alam seperti tsunami, banjir bandang, tanah
22
longsor, meletusnyanya gunung berapi, gempa bumi, dan likuifaksi memenuhi semua
media massa dan media cetak bahkan yang lebih populer di media sosial. Oleh karena itu,
masyarakat lebih tertarik untuk membaca dan mendengar berbagai informasi melalui
media sosial dibandingkan media massa yang memungkinkan terjadinya penyimpangan
terhadap pemberitaan kejadian-kejadian tersebut. Penelitian ini akan membahas bentuk
koordinasi dalam penyebaran informasi bencana di Provinsi Bali melalui Dinas Informasi
dan Komunikasi yang bekerja sama dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah dan
Wartawan Peduli Bencana maupun instansi terkait lainnya. Komunikasi pada bidang kebencanaan khususnya komunikasi serta diseminasi
informasi bencana sangat penting bagi masyarakat. Upaya penanggulangan bencana akan
melibatkan berbagai stakeholder yang memiliki tugas dan tanggung jawab masing-masing
dalam satu komando yang terkoordinasi dengan baik. Informasi dan komunikasi sangat
berpengaruh terhadap pengetahuan dan sikap masyarakat setempat, apabila informasi itu
tidak dikomunikasikan dengan baik kepada masyarakat maka akan berdampak negatif
terhadap pola dan perilaku masyarakat dalam menghadapi bencana. Paradigma tentang
penangulangan bencana yang semula adalah pandangan konvensional dengan masyarakat
sebagai sumber kerentananndan tidak bisa mengatasi ancaman bencana itu sendiri serta
menunggu bantuan dari pemerintah, saat ini berubah menjadi masyarakat yang tangguh
dan memiliki kesiapsiagaan dengan masyarakat adalah sumber daya utama dalam menanggulangi bencana itu sendiri. Oleh karena itu, salah satu bentuk kesipsiagaan
masyarakat dalam menghadapi bencana adalah melalui informasi dan komunikasi
kebencanan dalam bentuk pengetahuan dan sikap masyarakat.
Belajar dari peristiwa bencana yang terjadi di Lombok, Palu, dan Selat Sunda serta
yang baru saja terjadi di Sentani menunjukkan bahwa masyarakat masih belum siap dalam
menghadapi bencana itu sendiri, padahal upaya pemerintah dan masyarakat sudah sampai
pada tahap kesiapsiagaan. Hal ini dibuktikan dengan banyak korban jiwa dan hilang harta
benda serta melumpuhkan seluruh aktivitas pemerintah dan ekonomi masyarakat yang
membutuhkan waktu rehabilitasi dan rekonstuksi yang cukup lama. Pemerintah dan
masyarakat adalah pihak yang bertanggung jawab dalam peristiwa tersebut, karena
lemahnya sistem informasi yang disampaikan kepada masyarakat yang disebut sistem
peringatan dini dan sikap masyarakat yang tidak peka terhadap ancaman bencana. Saat bencana itu terjadi, masyarakat tidak mampu menghadapi dan pasrah untuk menerima
ancaman yang berujung pada bencana.
Bencana yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia tentu menjadi pembelajaran
bagi daearah-daerah lainnya yang memiliki potensi ancaman bencana itu sendiri, demikian
juga Pemerintah Provinsi Bali yang memiliki potensi bencana yang sangat tinggi karena
berada pada pertemuan dua lempeng besar dunia. Sebagai daerah wisata, Pemerintah Bali
sangat memperhatikan daerahnya dalam penanggulangan bencana, yaitu mengurangi
risiko ancaman bencana melalui kesiapsiagaan masyarakat dalam bidang informasi dan
komunikasi. Pulau Bali memiliki banyak pantai dan gunung berapi yang berpotensi
terhadap risiko bencana. Namun, hal itu tidak mengurangi minat dan daya tarik wisatawan
yang datang dari berbagai negara di dunia, bahkan banyak wisatawan asing yang sudah menetap di Pulau Bali. Pantai dan gunung berapi sebagai sumber bencana tealah berubah
23
menjadi nilai jual pariwisata bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Pemerintah
Provinsi Bali yang bertanggung jawab penuh untuk menjaga dan melindungi
masyarakatnya dari ancaman militer maupun ancaman non-militer yang datang dari luar
maupun dari dalam negeri.
Masalah kebencanaan bukan hanya tanggung jawab BNPB ataupun BPBD, tetapi
menjadi tanggung jawab bersama mulai dari unsur pemerintahan, media, pihak swasta,
industri, komunitas-komunitas, dan masyarakat. Supaya masyarakat memiliki
kesiapsiagaan dan ketangguhan dalam mengahadapi bencana, maka diperlukan peningkatan pengetahuan dan sikap dalam bidang informasi dan komunikasi kebencanaan
yang baik. Pihak yang memiliki tugas dan fungsi menginformasikan dan mengkomunikasi
informasi kebencanaan, yaitu Dinas Informasi dan Komunikasi sehingga masyarakat peka
dan tangguh serta menghilangkan rasa panik yang terjadi di awal sebelum terjadinya
bencana. Bagi wisatawan yang sering berkunjung bahkan sudah menetap di Pulau Bali
memiliki citra yang baik tentang Bali, apalagi Bali sering menjadi tempat dilaksanakannya
event internasional.
Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Bali berdiri pada tahun 2017
yang sebelumnya salah satu bidang pada Dinas Perhubungan. Akan tetapi, sebelum
disatukan dan masuk dalam Dinas Perhubungan, semua informasi dan komunikasi berada
dalam tupoksi Biro Pusat Data. Ketidakterkaitan antara Dinas Perhubungan dengan Informasi Komunikasi, maka bidang tersebut dipisahkan dan berdiri sendiri menjadi Dinas
Komunikasi, Informastika, dan Statistik di bawah Kementerian Komunikasi dan Informasi
berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2014. Sesuai dengan Peraturan Gubernur
Provinsi Bali No. 102 Tahun 2016 menjelaskan bahwa Dinas Komunikasi, Informatika,
dan Statistik Provinsi Bali mempunyai tugas membantu gubernur melaksanakan urusan
pemerintahan bidang komunikasi, informatika, statistik, dan persandian yang menjadi
kewenangan daerah serta melaksanakan tugas dekonsentrasi yang dipimpin oleh seorang
kepala dinas serta berada di bawah dan bertanggung jawab kepada gubernur melalui
sekretaris daerah.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Dinas Komunikasi dan Informatika
Provinsi Bali mempunyai fungsi sebagai berikut:
1. Sebagai perumus kebijakan teknis dibidang komunikasi, informatika, statistika, dan persandian yang menjadi kewenangan provinsi;
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang komunikasi,informatika, statistik, dan
persandian yang menjadi kewenangan provinsi;
3. Penyelenggaraan administrasi dinas bidang komunikasi, informatika, statistik,
dan persandian;
4. Penyelenggaraan evaluasi dan pelaporan dinas; dan
5. Penyelenggaraan fungsi lain yang diberikan oleh gubernur terkait dengan tugas
dan fungsinya [3].
Kinerja Pelayanan Dinas Kominfo dan Statistik Provinsi Bali terdiri atas (1)
Telecenter, merupakan pusat informasi bagi masyarakat berbasis Teknologi Informasi dan
Komunikasi (TIK) dalam rangka memberdayakan masyarakat yang dikelola oleh masyarakat, Fasilitas ini disediakan untuk memberikan kemudahan pada masyarakat
24
dalam mengakses informasi secara cepat dan murah, (2) Penerapan tata kelola TIK dalam
Pemeringkatan E-Gov untuk melihat peta kondisi pemanfaatan TIK oleh lembaga-lembaga
pemerintah secara nasional, (3) Surat menyurat eletonik (E-Office), (4) Fasilitas Co-
location dan Hosting sebagai pelayanan teknis kepada SKPD Provinsi Bali dan
Kabupaten/Kota dengan menempatkan server dan aplikasinya untuk memperoleh fasilitas
akses internet dalam mendukung layanan informasi publik, (5) Infrastruktuk jaringan
TIK, (6) Pemberdayaan kelompok informasi masyarakat (KIM), (7) Forum Bakohumas
Provinsi Bali, (8) Media online, (9) Majalah potensi, (10) Fasilitasi Komisi Informasi Provinsi (KIP), dan (11) Fasilitas Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah Bali.
Strategi yang sudah dilakukan adalah pemasangan wi-fi di setiap daerah di Provinsi
Bali, desa adat, instansi pemerintah, dan fasilitas umum. Hal ini dilakukan dengan tujuan
penyebaran informasi kepada masyarakat maupun instansi pemerintahan dapat diterima
dengan cepat dan tepat serta memudahkan penyebarluasan informasi, khususnya informasi
kebencanaan. Pemasangan wi-fi ini juga ditujukan untuk meningkatkan pengetahuan dan
keterampilan dalam mengkases berbagai berita dan informasi, termasuk berita dan
informasi kebencanaan. Selain itu, pemasangan wi-fi mendukung kegiatan ekonomi
masyarakat dengan dukungan media dan teknologi untuk memudahkan survei pasar,
pemasaran, dan transaksi. Dalam kaitannya dengan respon terkait banyaknya informasi
yang mengandung unsur hoax, Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik memiliki tim teknis untuk menganalisa dan validasi informasi dengan turun langsung ke lapangan.
Dinas Komunikasi, Informasi, dan Statistik telah bekerjasama dan melakukan
koordinasi dengan semua perangkat daerah terkait informasi dan data yang ditemui
dilapangan untuk dianalisa dan ditindaklanjuti menjadi informasi yang akan didiseminasi
kepada masyarakat. Diskominfo dan Statistik selalu bekerjasama dengan semua wartawan,
media center, hingga media elektronik terkait untuk mendukung penyiaran dan publikasi
data informasi kepada masyarakat. Berita yang akan disampaikan kepada masyarakat
adalah berita yang valid dan akurat serta memiliki keterpaduan antar berbagai pihak baik
pemerintah maupun swasta. Diskominfo dan Statistik Bali tidak memiliki kewenangan
menindak jika ditemukan pemberitaan hoax bencana, tetapi yang memiliki kewenangan
untuk menindak lanjuti adalah Kementerian Kominfo.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2005, lembaga penyiaran swasta wajib menyebarluaskan informasi peringatan dini yang berasal dari sumber resmi
pemerintahan tentang kemungkinan terjadinya bencana yang dapat mengancam
keselamatan jiwa dan mengakibatkan kerusakan harta benda milik warga. Lembaga
penyiaran dan penyebarluasan melalui media komunikasi berperan untuk
menyebarluaskan informasi penanggulangan bencana, mulai dari fase pra bencana dengan
bentuk edukasi kebencanaan, saat bencana atau masa tanggap darurat, dan pasca bencana
pada tahap rehabilitasi dan rekonstruksi [4].
Sekilas membahas peran media sebagai salah satu bentuk penyebaran informasi
dalam kejadian bencana di Indonesia, terdapat peran ganda yang dilaksanakan oleh media
menurut Masduki (2007), yaitu peran informatif dengan mendiseminasikan informasi
bencana secara intensif dan peran sosial karitatif melalui kegiatan pengumpulan serta penyaluran bantuan bencana. Namun, porsi dalam pemberitaan bencana antara kejadian
25
bencana dan upaya mitigasi bencana masih belum seimbang [5]. Upaya mitigasi bencana
harusnya mendapatkan porsi lebih banyak dalam pemberitaan untuk meningkatkan
kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana dan sebagai upaya pengurangan risiko
bencana. Peran media bukan hanya sebatas menyebarkan informasi bencana, melainkan
mengedukasi masyarakat untuk mampu menghadapi bencana.
Rizki (2016) menyatakan bahwa dalam pemberitaan harus mengutamakan kebenaran
mutlak karena akan berpengaruh pada kredibilitas media [6]. Proses penyusunan
pemberitaan harus mampu melihat hal-hal penting menjadi informasi menarik dan relevan, bukan sebaliknya membuat informasi menarik yang dipaksakan menjadi pemberitaan
utama yang penting. Dalam kaitannya dengan pemberitaan bencana, diusahakan memuat
berita-berita dengan headline yang menarik, tetapi tidak menjadi teror bagi masyarakat
yang membacanya. Media dengan pemberitan yang baik mampu menggiring opini
masyarakat untuk tetap berpikiran positif terhadap bencana dan digunakan sebagai media
edukasi masyarakat dalam upaya nyata pengurangan risiko bencana dengan peningkatan
kapasitas masyarakat.
Dalam pemberitaan informasi kebencanaan haruslah mengandung unsur-unsur fakta
yang dikemas dengan bahasa yang elegan, tetapi tetap menarik untuk dibaca dan tidak bias
maknanya. Menurut Soehoet (2003) dalam literatur barat telah ditemukan rumusan 5 W+1
H sebagai unsur-unsur pembangun berita yakni What, Who, Where, When, Why, How [7]. Berita yang dimuat berisi laporan atas peristiwa faktual dalam waktu yang relatif cepat
dengan mengonfirmasi berita kepada pihak yang berwenang terkait kejadian bencana yang
sedang terjadi. Pemberitaan yang disebarluaskan bukan berita yang mengandung unsur
kebohongan dan mengada-ada. Peran media dalam pemberitaan kebencanaan ini sungguh
penting, menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UNISDR)
(2011), informasi dari media mampu mempengaruhi keputusan politik, mengubah
perilaku, dan mampu menyelamatkan jiwa manusia [8]. Komunikasi merupakan inti dalam
kegiatan sukses mitigasi bencana, kesiapsiagaan, respons, dan rehabilitasi bencana.
Menurut Ibnu Hamad (2004) media massa melakukan konstruksi realitas, elemen dasar
seluruh media massa [9]. Media massa seperti liputan, berita, laporan lapangan, hasil
analisa berupa artikel, dan opini adalah bahasa verbal dan non-verbal. Isi media cetak
adalah bahasa secara tertulis yang direpresentasikan dengan kata-kata, angka, gambar, maupun secara grafis. Media radio menggunakan ucapan dan suara. Media TV
menggabungkan bahasa, tulisan, gambar, dan bunyi-bunyian (audiovisual).
Shaw dan Gupta (2009) dalam penelitiannya secara khusus menyoroti isu
komunikasi dalam manajemen bencana melihat hubungan antara siklus manajemen
bencana dan aspek komunikasi, yaitu pada dimensi informasi, koordinasi, dan kerja
sama[10]. Pada tahap sebelum kejadian bencana, aspek yang perlu dikuatkan adalah
komunikasi yang bergerak dalam bidang pengumpulan informasi yang akurat, koordinasi,
dan kerjasama dengan badan, lembaga, dan komunitas tentang upaya mitigasi bencana dan
sosialisasi kebencanaan kepada masyarakat terutama masyarakat yang berada di kawasan
rawan bencana. Hal ini menjadi kunci keberhasilan sebagai upaya untuk menguragi risiko
bencana dan menghindari jatuhnya korban dan kerugian. Pada tahap kondisi tanggap darurat bencana maka keempat aspek saling bersinergi untuk menangani bencana dan
26
evakuasi korban bencana serta memanajemen bantuan bencana. Pada tahap rehabilitasi
dan rekonstruksi diupayakan tindakan pemulihan dan membangun kembali dengan
memperhatikan aspek keamanan dan risiko bencana di wilayah pembangunan untuk
menghindari peristiwa serupa di kemudian hari.
Masalah kebencanaan bukan hanya tanggung jawab BNPB atau BPBD, tetapi
menjadi tanggung jawab bersama mulai dari unsur pemerintah, media, pihak swasta,
industri, komunitas-komunitas, dan masyarakat. BNPB telah membentuk komunitas
jurnalis, yaitu Wartawan Peduli Bencana (WAPENA) yang menjadi media penggerak dalam penyebaran informasi kebencanaan dan edukasi bencana bagi masyarakat dengan
mengusung misi peduli kemanusiaan serta mendukung penanggulangan bencana.
Komunitas-komunitas relawan yang memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi secara
sukarela membantu dalam kegiatan penanggulangan bencana di Provinsi Bali. Masyarakat
Provinsi Bali juga memiliki beberapa kearifan lokal yang sangat ditaati sehingga
memudahkan dalam edukasi bencana.
WAPENA adalah forum wartawan peduli bencana yang didirikan oleh BNPB, saat
ini menjadi mitra BPBD dan lembaga dalam penyebaran informasi dan edukasi
kebencanaan kepada masyarakat. Komunitas WAPENA bersinergi antar wartawan yang
memiliki jiwa relawan, BNPB, BPBD Provinsi dan Kabupaten/Kota serta menjalin
kejasama dengan komunitas kebencanaan, yaitu Pramuka Peduli Bencana. Seluruh anggota WAPENA telah melakukan pelatihan kebencanaan bersama BNPB, BPBD
Provinsi dan BPBD Kabupaten. Pelatihan secara rinci yang dimulai dari bagaimana
menyampaikan dan menulis berita yang bertanggung jawab dan berkonten positif sampai
dengan kemampuan untuk dapur umum, pertolongan pertama, dan water rescue. Target
organisasi WAPENA adalah semua media di Bali memiliki minimal satu wartawan khusus
yang terlatih untuk meliput kejadian bencana di wilayah Provinsi Bali khusunya.
WAPENA melakukan edukasi serta mitigasi bencana melalui media cetak maupun
elektronik yang berkonten positif dan bertanggung jawab serta menginformasikan fakta
yang diolah untuk menghindari kekhawatiran pembacanya.
Konten pemberitaan oleh WAPENA didapatkan langsung dari masyarakat yang
dikonfirmasi kebenaran dan kevalidan beritanya kepada BPBD maupun instansi terkait
lainnya sebelum disebarluaskan. Pemberitaan kebencanaan dilakukan dengan memanfaatkan media elektronik seperti TV dan radio, media cetak, maupun media
mainstream seperti media sosial. WAPENA melakukan pengamatan lapangan, tetapi tetap
berkoordinasi dengan pemerintah terkait, yaitu BPBD sebagai badan yang memiliki
wewenang dalam pengambilan keputusan terkait kebencanaan.
Aspek komunikasi dalam bidang kebencanaan di Provinsi Bali sudah terkoordinasi
dan terlaksana dengan baik. Informasi dan komunikasi terkait kebencanaan di Provinsi
Bali dapat diseminasikan secara baik kepada masyarakat. Namun ada beberapa hal yang
perlu dilakukan, yaitu peningkatan dalam rangka menunjang kinerja dari Dinas
Komunikasi, Informatika, dan Statistik. Globalisasi informasi yang berdampak pada
keterbukaan informasi publik sehingga memudahkan pengambilan dan penerimaan
informasi di internet melalui media sosial, kesenjangan informasi di masyarakat, pesatnya
27
perkembangan TIK, ketersediaan infrastruktur TIK yang belum merata, dan terbatasnya
pemahaman aparatur dan masyarakat terhadap TIK.
Seluruh instansi pemerintahan, lembaga masyarakat, komunitas-komunitas adat, serta
masyarakat saling bersinergi untuk mewujudkan masyarakat yang tangguh bencana. Tidak
hanya dari masyarakat, Bali sebagai destinasi wisata dunia yang menghadirkan banyak
wisatawan berusaha semaksimal mungkin untuk mengedukasi terkait kebencanaan dengan
baik. WAPENA bertugas mencari dan menyebarkan berita seluas-luasnya dengan tetap
berkoordinasi dengan Diskominfo dan BPBD sebagai penanggung jawab terbesar dalam kebencanaan. Secara keseluruhan instansi pemerintahan di Provinsi Bali saling bahu
membahu dalam mewujudkan ketangguhan menghadapi bencana dengan memanfaatkan
berbagai peluang yang ada dalam bidang komunikasi dan informasi, yaitu kepedulian
pimpinan terhadap bidang komunikasi dan informasi, tersedianya media komunikasi dan
informasi untuk digunakan, peningkatan kualitas pelayanan publik, pengembangan muatan
e-Government, kesadaran masyarakat akan pentingnya informasi, kebutuhan
pengembangan TIK dalam penyelenggaraan pemerintahan, dan tersedianya perundangan-
undangan yang mendasari bidang komunikasi, informasi, dan statistik.
4. Kesimpulan
Dalam upaya penanggulangan bencana diperlukan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas,
media, dan masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa kegiatan penanggulangan becana
bukanlah tanggung jawab BNPB dan BPBD saja, masalah kebencanaan adalah masalah
bersama yang perlu dukungan banyak pihak dalam pelaksanaannya untuk mencapai hasil
yang baik dan meminimalkan jumlah korban dan kerugian yang akan dialami masyarakat
ketika terjadi bencana. Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki daya tarik wisatawan yang sangat tinggi dan menjadi sumber devisa bagi negara.
Provinsi Bali memiliki potensi ancaman bencana yang tidak kalah penting yang harus
menjadi perhatian. Seluruh upaya manajemen bencana di Provinsi Bali didukung oleh
berbagai unsur, mulai dari pemerintah, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas,
media, hingga masyarakat adat yang sangat kooperatif. Selain program yang diluncurkan
oleh pemerintah, komunitas adat di Provinsi Bali memiliki kearifan lokal dalam hal kebencanaan yang sangat diyakini dan dipatuhi sehingga efektif sebagai sarana edukasi
bencana. Peraan media dilaksanakan dengan baik, khususnya dalam pemberitaan
kebencanaan melalui forum Wartawan Peduli Bencana (WAPENA) yang sudah dibekali
kemampuan jurnalistik dan memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi dalam bidang
kebencanaan.
Ucapan Terima Kasih
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang telah berkontribusi
pada penelitian ini. Kepada pihak Universitas Pertahanan, Sesprodi Manajemen Bencana,
BPBD Provinsi Bali, BPBD Kabupaten Badung, Dinas Komunikasi dan Informasi
Provinsi Bali, Komunitas Wartawan Peduli Bencana, Dosen Manajemen bencana, dan seluruh pihak yang membantu dalam penelitian ini.
28
Referensi
[1] Budi, H.H. Setio (ed). 2011. Komunikasi Bencana. Jurnal ASPIKOM. Yogyakarta
(ID): Perhumas Yogyakarta dan Buku Litera.
[2] Creswell, J. W. 2006. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Aproach. California (US): Sage Publication.
[3] Dinas Komunikasi, Informatika, dan Statistik Provinsi Bali 2017. dalam
www.diskominfos.go.id
[4] Lestari, P., Prabowo, A., dan Wibawa, A. 2012. Manajemen Komunikasi Bencana
Merapi 2010 Pada Saat Tanggap Darurat. Jurnal Ilmu Komunikasi. Volume
10, Nomor 2, Agustus 2012, 173-197.
[5] Hasibuan, Malayu. 2011. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta (ID): Bumi
Aksara.
[6] Rizki, J. W. S. 2016. Kepemilikan Media dan Ideologi Pemberitaan. Yogyakarta
(ID): Deepublish.
[7] Soehoet, Haoeta. 2003. Dasar-Dasar Jurnalistik. Jakarta: IISP.
[8] [UN-ISDR] United Nations International Strategy for Disaster Reduction. 2011.
dalam www.unisdr.org.
[9] Hamad, Ibnu. 2004. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa. Jakarta (ID): Granit.
[10] Shaw, R., Srinivas, H., Sharma, A. et al. 2009. Urban Risk Reduction: An Asian
Perspective. Bingley (UK): Emerald Group Publishing Limited.
29
Kajian Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Terhadap Potensi Bencana
Tsunami
Dodi Andrian 1, Fautia Erfanisa
1, dan Nur Ikhsani Rahmatika
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
E-mail: [email protected], [email protected], [email protected]
Abstrak. Indonesia secara geografis berada di pertemuan tiga lempeng utama bumi, yaitu lempeng Eurasia, lempeng Pasifik, dan lempeng Australia serta dilewati oleh Cincin Api
Pasifik yang menyebabkan Indonesia memiliki risiko tinggi terhadap berbagai bencana
alam. Provinsi Bali merupakan pulau yang berada di bagian selatan Indonesia dan berada
dekat dengan zona tumbukan antara Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia
sehingga Provinsi Bali sangat rawan terhadap bencana tsunami. Salah satu upaya dalam
pengurangan risiko bencana adalah dengan melakukan penataan ruang yang berbasis
mitigasi bencana. Pembangunan Provinsi Bali ditujukan untuk mengembangkan pariwisata
yang merupakan sektor paling dominan dalam PDRB Provinsi Bali, maka pembangunan
dan penataan ruang Provinsi Bali harus memperhatikan risiko bencana yang ada. Tujuan
penelitian adalah untuk mengkaji kesesuaian pembangunan tata ruang Provinsi Bali
terhadap risiko bencana tsunami. Metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif melalui studi kepustakaan, dokumentasi, dan wawancara. Hasil penelitian menunjukkan
arah kebijakan penataan ruang di Provinsi Bali telah mempertimbangkan aspek
kebencananan, tetapi dalam implementasinya masih ditemukan beberapa penyimpangan
perubahan pola ruang atau alih fungsi sehingga diperlukan evaluasi dan penetapan
kebijakan untuk membatasi perubahan pola ruang dan alih fungsi lahan.
Kata Kunci: Bali, Bencana, Rencana, Tata Ruang
1. Pendahuluan
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki kondisi geografis, geologis,
hidrologis, dan demografis yang memungkinkan terjadinya bencana, baik yang disebabkan
oleh faktor alam, faktor non alam maupun faktor manusia yang menyebabkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis
yang dalam keadaan tertentu dapat menghambat pembangunan nasional. Perencanaan tata ruang menjadi hal yang penting dalam pembangunan pengembangan wilayah, oleh karena
itu setiap wilayah Provinsi, Kota/ Kabupaten harus mempunyai aturan yang akan menjadi
pedoman dalam penataan ruang dan menjadi acuan dalam pelaksaanaan pembangunan.
Perencanaan tata ruang harus mempertimbangkan beberapa aspek salah satunya aspek
30
kebencananaan. Pembangunan dengan perencanaan tata ruang yang tidak
mempertimbangkan aspek kebencanaan akan menimbulkan berbagai dampak dan risiko.
Provinsi Bali merupakan pulau yang berada di bagian selatan Indonesia. Pulau ini
merupakan salah satu destinasi wisata yang terkenal di dunia. Bali merupakan salah satu
provinsi yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi di Indonesia dan
pendapatan utama Provinsi Bali adalah dari sektor pariwisata sebagai leading sector.
Kondisi ini menyebabkan sektor-sektor yang mempunyai keterkaitan langsung dengan
industri pariwisata, yaitu kelompok sektor tersier sangat dominan dalam memberikan warna pada struktur perekonomian daerah Bali.
Akan tetapi, di balik potensi wisatanya, Bali memiliki potensi ancaman bencana yang
cukup tinggi karena berada dekat zona subduksi sebagai sumber utama terjadinya gempa
bumi dan tsunami. Tsunami yang menerjang pulau Bali akan berdampak parah pada
pesisirnya yang berpenduduk padat. Provinsi Bali pernah mengalami beberapa kali
kejadian gempa bumi besar dan juga tsunami di masa lalu. Lokasi geografis Bali yang
dekat dengan zona subduksi ditambah dengan riwayat seismiknya, Provinsi Bali diprediksi
akan kembali terdampak oleh tsunami di masa depan.
1. Metodologi
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif dengan metode studi kepustakaan dan dokumentasi serta wawancana. Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan cara mempelajari bahan-bahan literatur dan dokumen terkait
dengan masalah penelitian. Sedangkan wawancara dilakukan dengan informan, yaitu
orang yang dekat dengan masalah penelitian seperti para ahli di bidang terkait. Dalam
penelitian ini menggunakan data dari sumber primer dan sekunder. Sumber primer
diperoleh langsung dari hasil wawancara kepada informan, yaitu Badan Penanggulangan
Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Bali, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
(Bappeda) Provinsi Bali, serta Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR)
Provinsi Bali. Data sekunder diperoleh dari dokumen-dokumen, tulisan/artikel, laporan
hasil penelitian, dan buku-buku literatur dari sumber yang berkompeten, terkait dengan
konteks penelitian.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Potensi Bencana Tsunami Di Bali
Secara geografis, Bali terletak di 8°25'23" LS dan 115°14'55" BT. Provinsi Bali terdiri
dari Pulau Bali dan Pulau-pulau kecil dengan luas wilayah 563.286 Ha. Adapun pulau-
pulau kecil yang masuk dalam wilayah Provinsi Bali adalah Pulau Nusa Penida, Pulau
Nusa Ceningan, Pulau Nusa Lembongan, Pulau Serangan, dan Pulau Menjangan. Secara administratif Provinsi Bali dibagi menjadi 8 Kabupaten dan 1 Kotamadya, 51
Kecamatan, 565 Desa, 79 Kelurahan dan 3.499 Banjar/Dusun. Ancaman bencana yang ada
di Provinsi Bali diantaranya adalah bencana geologi seperti letusan gunung api, yaitu
Gunung Agung dan Gunung Batur, gempa bumi, tsunami dan gerakan tanah. Bencana
hidrometeorologi, yaitu banjir bandang dan kekeringan. Bencana biologi seperti wabah
31
penyakit dan zoonosis. Bencana lingkungan seperti kebakaran pemukiman, kebakaran
lahan dan hutan. Dan juga ada ancaman bencana sosial, yaitu konflik sosial dan terorisme.
Pulau Bali diapit oleh dua sumber gempa bumi, dari selatan subduksi lempeng Indo-
Australia dan dari utara adalah sesar naik di dasar laut. Keduanya berpotensi memicu
gempa bumi merusak dan dapat memicu timbulnya tsunami. Beberapa bencana gempa
bumi dan tsunami yang pernah terjadi di Bali tercatat mulai pada 22 November 1815 dan
21 Januari 1917 yang mencapai 7 SR disertai tsunami dan menewaskan 1.200 orang.
Gempa lain terjadi pada 14 Juli 1976, 26 Januari 1977, 20 Oktober 1979 dan 17 Desember 1979 dengan magnitudo yang bervariasi mulai dari 5 SR hingga 6,6 SR. Gempa pada 17
Desember 1979 tersebut menyebabkan 400 orang terluka. Kemudian gempa lainnya juga
tercatat terjadi pada 13 Mei 1857 dan menimbulkan tsunami setinggi 3,4 meter.
Kawasan rawan tsunami sebagaimana yang dimaksud dalam Peraturan Daerah No.
16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029,
ditetapkan dengan kriteria zona kerawanan tinggi yang merupakan daerah pantai dengan
elevasi rendah atau dengan kontur ketinggian kurang dari 10,0 (sepuluh) meter dengan
jarak dari garis pantai kurang dari 50,0 (lima puluh) meter. Sebaran kawasan rawan
tsunami adalah kawasan pantai yang berada pada zona kerawanan tinggi dengan daerah
topografi yang landai dengan ketinggian < 10 meter diatas muka laut terutama di bagian
selatan kawasan pesisir Pulau Bali yang memanjang dari arah pesisir barat (Kawasan Pekutatan, Kabupaten Jembrana) sampai ke pesisir timur (Kawasan Ujung, Kabupaten
Karangasem) di luar kawasan Semenanjung Bukit, serta pada perairan utara Nusa
Lembongan dan Nusa Penida. Peta indeks risiko bencana tsunami Provinsi Bali menurut
Badan Nasional Penanggulangan Bencana dapat dilihat pada Gambar 1 berikut:
Gambar 1. Peta Indeks Risiko Bencana Tsunami Di Provinsi Bali (Sumber: BNPB, 2010)
32
Peta indeks risiko bencana tsunami Provinsi Bali diatas menunjukkan Kota
Denpasar, Kabupaten Badung, Kabupaten Klungkung dan Kabupaten Gianyar memiliki
tingkat risiko yang tinggi terhadap bencana Tsunami. Peta indeks risiko bencana
diperlukan sebagai rujukan untuk semua pemangku kepentingan yang terlibat dalam
pembangunan Provinsi Bali. Peta indeks risiko bencana diperlukan bagi perencanaan
tataguna lahan dan perencanaan pembangunan baik jangka menengah maupun jangka
panjang untuk menanggulangi dampak potensial dari tsunami. Penyesuaian Rencana
Pembangunan dan rencana tata ruang wilayah dengan potensi bencana yang ada merupakan tanggungjawab pemerintah daerah.
3.2 Rencana Tata Ruang Wilayah Berbasis Mitigasi Bencana
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) adalah hasil perencanaan ruang pada wilayah yang
merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait yang batas dan sistemnya
ditentukan berdasarkan aspek administratif. Dokumen tata ruang sebagai produk hasil dari
kegiatan perencanaan ruang berfungsi untuk mengefektifkan pemanfaatan ruang dan
mencegah terjadinya konflik antar fungsi dalam proses pemanfaatan ruang. Selain itu,
bertujuan untuk melindungi masyarakat sebagai pengguna ruang dari bahaya-bahaya
lingkungan yang mungkin timbul akibat pengembangan fungsi ruang pada lokasi yang
tidak sesuai peruntukan. Fungsi rencana tata ruang pada daerah rawan bencana adalah sebagai salah satu instrumen pengurangan risiko bencana. Rencana tata ruang juga
berfungsi sebagai kebijakan pembangunan. Menurut Brody (2004) dalam (Sagala dan
Bisri, 2011), keputusan dalam bentuk kebijakan pembangunan dapat diarahkan untuk
mengurangi komponen pembentuk risiko, baik menghindari lokasi bahaya, mengeliminasi
kerentanan, dan memperkuat kapasitas dalam menghadapi bencana.
Perencanaan tata ruang (spatial plan) bertujuan untuk menghasilkan penggunaan
ruang dan lahan yang efisien, termasuk diantaranya menimimalkan risiko bencana.
Indonesia sebagai negara yang sering mengalami bencana, baik karena faktor geografis
atau peningkatan paparan (exposure) terhadap bencana karena pembangunan atau
urbanisasi, memerlukan upaya-upaya untuk mengurangi besarnya resiko bencana. Burby
dan French (1981) menyebutkan bahwa peran perencanaan tata ruang adalah untuk
pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya bencana. Hal ini termasuk pembuatan kode bangunan (building code) untuk daerah-daerah yang rawan
terhadap bencana gempa bumi dan tsunami. Dampak dari pembatasan pembangunan di
daerah-daerah yang berbahaya akan mengurangi potensi paparan (exposure), pengurangan
terhadap korban jiwa serta kerugian harta benda di daerah rawan bencana. Pembangunan
yang tidak mempertimbangkan aspek kebencanaan dapat berakibat pada besarnya risiko
bencana yang timbul, seperti pembangunan permukiman dan lokasi pariwisata di
sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami. Kebijakan penataan ruang yang
terintegrasi dengan aspek mitigasi bencana dapat menjalankan peran penting dalam
penetapan rencana pemanfaatan ruang yang aman dari dampak negatif bencana alam.
Perencanaan tata ruang yang mempertimbangkan aspek kebencananaan
memungkinkan berbagai bentuk kegiatan mitigasi resiko bencana untuk diintegrasikan, baik yang bersifat fisik (struktural) maupun non fisik (non struktural). Dalam menentukan
33
bentuk kegiatan mitigasi yang akan digunakan, bergantung pada jenis bencana dan tujuan
kegiatan tersebut. Godschalk (1991) dalam (Kaiser, 1995) memberikan gambaran jenis
kegiatan mitigasi dan tujuan dari kegiatan tersebut seperti yang dapat dilihat pada Tabel 1
berikut:
Tabel 1. Berbagai Jenis Kegiatan Mitigasi dan Tujuan Penggunaanya
No Jenis Kegiatan Mitigasi Tujuan Mitigasi
1 Perencanaan Tata Guna Lahan Pengaturan pembangunan di lokasi yang aman
2 Building Codes Penguatan terhadap tekanan bahaya
3 Pengaturan zonasi Pembatasan terhadap penggunaan area berbahaya 4 Pengaturan subdivisi Penguatan infrastruktur terhadap bahaya
5 Analisis bahaya/pemetaan
risiko Identifikasi area berbahaya
6 Sistem informasi bahaya Peningkatan kesadaran terhadap risiko
7 Edukasi publik Peningkatan pengetahuan kebencanaan
8 Pemantauan Pemantauan Implementasi peraturan
9 Pengambilan lahan yang
berbahaya Pengalihan fungsi menjadi ruang terbuka/rekreasi
10 Relokasi Pemindahan kondisi rentan ke lokasi yang aman
11 Insentif dan disesnsitif Penciptaan motivasi untuk pindak ke lokasi yang
aman
12 Asuransi bencana Pemberian kompensasi terhadap kerugian
ekonomi
Sumber : Godschalk, 1991:136 dalam Kaiser et al (1995)
3.3. Arahan Penataan Ruang Wilayah Bali
Pembangunan dan Penataan Ruang di Wilayah Provinsi Bali didasarkan pada Peraturan
Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun
2009-2029. Berdasarkan peraturan daerah tersebut, perencanaan tata ruang di provinsi Bali
telah memuat dan mempertimbangkan potensi kebencanaan yang ada. Pembangunan
daerah Provinsi Bali menitikberatkan pada pembangunan pariwisata yang merupakan
leading sector PDRB Provinsi Bali sehingga penataan ruang wilayah Provinsi Bali salah
satunya bertujuan untuk mewujudkan pemanfaatan ruang yang tanggap terhadap mitigasi
dan adaptasi bencana. Penataan ruang dengan pendekatan nilai strategis kawasan dimaksudkan untuk
mengembangkan, melestarikan, melindungi dan/atau mengoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan yang bersangkutan demi terwujudnya pemanfaatan
yang berhasil guna, berdaya guna, dan berkelanjutan. Penataan ruang sebagai suatu sistem
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan antara yang satu dan yang lain dan harus
dilakukan sesuai dengan kaidah penataan ruang sehingga diharapkan (i) dapat
mewujudkan pemanfaatan ruang yang berhasil guna dan berdaya guna serta mampu
mendukung pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan; (ii) tidak terjadi
34
pemborosan pemanfaatan ruang; dan (iii) tidak menyebabkan terjadinya penurunan
kualitas ruang.
Arahan pembangunan Provinsi Bali yang berhubungan dengan tata ruang diantaranya
adalah arahan penataan ruang wilayah, arahan penyediaan prasarana wilayah, dan arahan
pengembangan kawasan prioritas. Dalam arahan yang berhubungan dengan tata ruang
wilayah diantaranya adalah:
1. Pengembangan Wilayah dalam 20 tahun kedepan diarahkan pada
pengembangan kawasan-kawasan strategis Nasional, Provinsi, maupun Kabupaten/Kota. Bali merupakan salah satu kawasan strategis pariwisata
namun dalam pembangunannya juga perlu memperhatikan risiko bencana yang
ada.
2. Kebijakan pengendalian banjir dan pengendalian sedimen dengan melakukan
tindakan penegahan fisik (tindakan langsung ke anak sungai) dan non fisik
(tindakan tidak langsung ke anak sungai), serta menetapkan wilayah target.
Arahan tata ruang ini berkaitan dengan penanggulangan bencana banjir yang
merupakan salah satu ancaman bahaya yang ada di Bali.
3. Tantangan dalam pengelolaan hutan, yaitu mengubah paradigma berpikir
masyarakat untuk membatasi pembukaan hutan dan alih fungsi lahan hutan.
Pembatasan alih fungsi lahan ini merupakan salah satu langkah tegas Pemerintah Provinsi Bali untuk mengurangi risiko bencana dengan
mengeluarkan rancangan undang undang alih fungsi lahan sehingga
pembangunan yang dilakukan tetap memperhatikan lingkungan.
4. Luasan ruang terbuka hijaau yang mengalami penurunan terlihat dari
menurunnya luas lahan sawah, sedangkan luas lahan untuk permukiman
meningkat. Meningkatnya luas lahan untuk pemukiman merupakan salah satu
peningkatan kerentanan terhadap risiko bencana yang ada sehingga perlu
diperhatikan ancaman bencana yang ada. Penutupan vegetasi yang jarang dan
banyaknya pertanian tanaman pangan dengan konservasi tanah yang kurang
memadai dapat mempercepat kerusakan lahan dan meningkatnya sedimentasi.
Sedimentasi juga merupakan salah satu ancaman bencana yang ada di Bali
sehingga harus dilakukan penanggulangan dan mitigasi untuk meminimalisasi risiko bencana.
5. Persoalan pencemarann (air, tanah, dan udara) menimbulkan kekhawatiran
dalam ketidakseimbangan sistem lingkungan dalam rnenyangga kehidupan
rnanusia dan pembangunan jangka panjang.
35
Gambar 2. Peta Rencana Pola Ruang Provinsi Bali (Sumber: Bappeda, 2009)
Peta pola ruang Provinsi Bali dapat dilihat pada Gambar 2. arah kebijakan penataan
ruang di Provinsi Bali telah mempertimbangkan aspek kebencananan, tetapi dalam
implementasinya masih ditemukan penyimpangan dalam pembangunan dan perubahan pola ruang atau alih fungsi lahan. Alih fungsi lahan ini utamanya terjadi pada lahan
pertanian (yang berarti ruang terbuka hijau) yang beralih fungsi menjadi area permukiman
atau akomodasi pariwisata. Salah satu penataan ruang yang menjadi prioritas di Bali
adalah pengembangan wilayah Bali tengah untuk daerah resapan air bagi Bali utara dan
bali Selatan. Namun, daerah tersebut sangat rawan kerusakan yang disebabkan oleh
meningkatnya bahaya erosi dan longsor. Pemeliharaan daerah tersebut dari bahaya erosi
disebabkan tingkat kecuraman yang berkisar antara 15-40% dan kurangnya vegetasi.
Berdasarkan hasil pertimpalan (overlay) antara peta indeks rawan bencana dan peta
pola ruang Provinsi Bali dapat dilihat bahwa daerah rawan bencana tsunami didominasi
berada pada sektor pariwisata dan pemukiman. Arahan peraturan zonasi kawasan rawan
tsunami pada Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 terdiri atas pengembangan sistem peringatan dini;
pengembangan pada zona penyangga berupa ruang terbuka disepanjang garis pantai;
pengembangan jaringan prasarana yang mendukung upaya evakuasi masyarakat;
perlindungan terumbu karang; pengembangan pelindung buatan seperti terumbu koral,
gumuk pasir, pepohonan (jalur hijau), dinding pemecah gelombang, hutan
bakau/mangrove; pengembangan jalur/rute evakuasi menuju ketempat yang lebih tinggi
minimal 10 meter diatas permukaan laut; dan pengembangan bangunan sebagai tempat
evakuasi pada ketinggian minimal 10 (sepuluh) meter dengan kontruksi yang kuat, kokoh,
bagian bawah kosong dan dapat menampung banyak orang.
36
Dinas PUPR Provinsi Bali berkoordinasi dengan BPBD dan pihak-pihak terkait
dalam perencanaan penataan ruang di wilayah Bali dengan mempertimbangkan potensi-
potensi bencana yang ada di Provinsi Bali dan mengupayakan pembangunan mitigasi
struktural untuk menghadapi potensi bencana di Povinsi Bali. Berbagai upaya mitigasi
bencana tsunami telah dilakukan oleh pemerintah Provinsi Bali diantaranya pembangunan
early warning system, pembuatan jalur evakuasi tsunami dan melakukan sertifikasi
bangunan yag dapat digunakan sebagai shelter evakuasi seperti hotel, mall, gedung
perkantoran dan gedung-gedung bertingkat lainnya yang berfungsi sebagai jalur evakuasi horizontal saat terjadinya tsunami. Sertifikasi ini merupakan dokumen formal yang
diselenggarakan oleh BPBD Provinsi Bali untuk menyatakan kesiagaan bangunan
terhadap bencana, seperti kondisi fisik bangunan, pengetahuan tentang bencana yang
dimiliki oleh penghuni bangunan, kesiapsiagaan dalam upaya mitigasi, dan keamanan.
Program ini mencakup cara-cara untuk menentukan keamanan suatu daerah, rencana
evakuasi dan menciptakan tempat perlindungan sehingga penghuni bangunan memiliki
informasi yang cukup tentang mitigasi bencana dan dapat membantu memandu wisatawan
untuk keselamatan jika terjadi bencana. Sertifikasi siaga bencana bertujuan memberikan
penilaian serta pembinaan dalam membangun kesiapsiagaan menghadapi bencana di
sektor pariwisata, bisnis perhotelan, dan sektor jasa lainnya. Sertifikasi siaga bencana
memiliki peran sangat penting bagi industri pariwisata di Bali mengingat potensi bencana yang bisa melanda Provinsi Bali.
4. Kesimpulan
Perencanaan tata ruang pada daerah rawan bencana berfungsi sebagai instrumen
pengurangan risiko bencana. Peraturan Daerah No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029 yang merupakan acuan dalam
pelaksanaan pembangunan dan penataan ruang Pronvinsi Bali telah memuat dan
mempertimbangkan aspek potensi bencana yang ada di Provinsi Bali. Pelaksanaan
pembangunan Provinsi Bali yang menitikberatkan pada sektor pariwisata telah
menyesuaikan arah kebijakan penataan ruang Provinsi Bali. Pemerintah Provinsi Bali juga
telah mengupayakan berbagai mitigasi bencana dalam menghadapi potensi bencana
tsunami. Akan tetapi, masih ditemukan beberapa penyimpangan dalam pembangunan serta adanya perubahan pola ruang atau alih fungsi lahan yang dapat berdampak pada timbulnya
risiko bencana. Oleh karena itu, pemerintah Provinsi Bali perlu mengevaluasi kembali dan
mengeluarkan sebuah kebijakan untuk membatasi perubahan pola ruang dan alih fungsi
lahan.
Referensi
[1] Akil S 2007 Implementasi Kebijakan Sektoral Dalam Pengembangan Pariwisata
Berkelanjutan dari Perspektif Penataan Ruang. Jakarta (ID): Departemen
Kebudayaan dan Pariwisata.
[2] Burby, R., Deyle, R., Godschalk, D., and Olshansky, R. 2000. Creating Hazard
Resilient Communities Through Land-Use Planning. Natural Hazards Review 1(2).
37
[3] Burby, R. and French, S. 1981. Coping with Floods: the Land Use Management
Paradox. Journal of American Planning Association. 47 (3), 289-300.
[4] Darmawati, Choirul dan Imam, H. 2015. Implementasi Kebijakan Rencana Tata
Ruang Wilayah (RTRW) Dalam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan. Jurnal
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 4 (2).
[5] Kaiser, E., Godschalk, D. and Chapin, J. F. 1995. Urban Land Use Planning.
Washington (ID): Joseph Henry Press.
[6] Lanya, I. and Subadiyasa, N. N. 2012. Penataan Ruang dan Permasalahannya di Provinsi Bali. Journal of Bali Studies. 2 (1).
[7] Pande, I. M. B. K. N., Ibrahim, R. dan Sudiarta, I. K. 2018. Pengaturan Sistem
Penanggulangan Bencana Dalam Pentaan Ruang di Kabupaten Klungkung.
Kertha Negara. 6 (1).
[8] Rosary, T. O. 2014. Evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten
Sleman Berdasarkan Analisis Risiko Bencana Gunung Merapi. Surakarta (ID):
Fakultas Geografi, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
[9] Rosita, A., Deasy, A., Fitria, N., Memet, S. dan Dwiyana, P. 2018. Daerah Rawan
Bencana Gerakan Tanah Dalam Arahan Kebijkan Kabupaten Ciamis. Jurnal
Planologi. Bandung (ID): Universitas Pasundan. 5 (1).
[10] Sagala, S. and Bisri, M. 2011. Perencanaan Tata Ruang Berbasis Kebencanaan di Indonesia. Jakarta (ID): Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
[11] Shofwan, M. dan Farida, N. A. 2015. Kebijakan Penataan Ruang Dan Mitigasi di
Kawasan Rawan Bencana. Jurnal Ilmu Sosial. 3 (2).
[12] Suryanta, J. dan Irmadi, N. 2016. Kajian Spasial Evaluasi Rencana Tata Ruang
Berbasis Kebencanaan Di Kabupaten Kudus Provinsi Jawa Tengah. Majalah
Ilmiah Globë. 18 (1).
[13] Wicaksono, A. P., Riswanda, dan Didik, H. 2016. Studi Kelayakan Rencana Jalur
Evakuasi dan Logistik Bencana Poros Kerinci-Bungo, Provinsi Jambi. Journal
Sains dan Teknologi Lingkungan. 8 (1).
[14] Windari, R. A. 2013. Korelasi Yuridis Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
(RTRWP) Terhadap Keajegan Alam Bali. Denpasar (ID): Media Komunikasi
FIS. 11 (1). [15] Wirosoedarmo, R., Jhohanes, B. R. W., dan Yono, W. 2014. Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Berdasarkan Daya Dukung Lingkungan Berbasis
Kemampuan Lahan. Agritech. 34 (4).
[16] Badan Nasional Penanggulangan Bencana 2010 Peta Indeks Risiko Bencana
Tsunami Di Provinsi Bali.
[17] Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Bali 2009 Peta Pola Ruang
Provinsi Bali.
[18] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.
[19] Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 16/PRT/M/2009 Tentang Pedoman
Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
[20] Peraturan Daerah Provinsi Bali No.16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009-2029.
38
Implementasi Kebijakan Pemerintah Tentang Taruna Siaga Bencana (TAGANA) di
Provinsi Bali
Bram Ronald Sanjaya1, Kristiyono
1, Yuniar Kurnia Widasari
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
Email address: [email protected]
Abstrak. Bencana ialah salah satu bentuk ancaman yang menimbulkan kerugian baik jiwa maupun materi. Bencana juga dapat mengakibatkan terganggunya stabilitas dan keamanan
nasional. Beberapa upaya telah dilakukan oleh Pemerintah dalam menghadapi ancaman
bencana mulai dari aspek kelembagaan hingga pada aspek pengelolaan sumber daya yang
telah diputuskan melalui berbagai produk hukum. TAGANA atau Taruna Siaga Bencana
ialah salah satu kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah terkait dengan
penanggulangan bencana. Implementasi kebijakan TAGANA sebagaimana yang termuat
dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna
Siaga Bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang terdapat pada fase pra bencana, saat
bencana, dan pasca bencana. Tujuan penelitian ini ialah menganalisis bagaimana
pelaksanaan kebijakan TAGANA yang terdapat pada Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2012. Implementasi kebijakan dikaji melalui beberapa variabel/indikator yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, hubungan antar
organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, dan disposisi implementor. Secara
umum, pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi sebagai pembina dan anggota
TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari kebijakan pemerintah walaupun
mayoritas dari mereka tidak mengetahui secara detail tentang apa yang termuat dalam
kebijakan tersebut. Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan
TAGANA dapat dikatakan sudah terpenuhi. Namun, sumber daya non manusia seperti
dukungan finansial dan peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan
masih menjadi problematika. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas
TAGANA juga masih memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya
sehingga terkadang menyulitkan dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab. Hubungan
antar organisasi terkait seperti BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain-lain telah terjalin cukup baik. Pihak
terkait menggunakan metode “grup Whatsapp” yang dapat memudahkan komunikasi dan
koordinasi sehingga pengarahan TAGANA dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien.
Komunikasi dan koordinasipun dilakukan secara hierarki dan berjenjang dari mulai
Kementerian Sosial, Dinas Sosial Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten/Kota, hingga
pada personil TAGANA di seluruh Provinsi Bali. Kondisi sosial masyarakat Bali pun
sangat mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait TAGANA dalam
39
penangulangan bencana. TAGANA dapat dikatakan sebagai sarana bagi masyarakat untuk
menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.
Kata Kunci: Bali, Bencana, Taruna Siaga Bencana
1. Pendahuluan
Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia ialah salah satu
tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana termuat dalam Undang-Undang
Dasar 1945. Tujuan nasional tersebut mengandung esensi bahwa negara beserta dengan
pemerintahannya memiliki kewajiban untuk melindungi dan menjaga seluruh rakyat Indonesia dari segala bentuk ancaman yang dapat menimbulkan kerugian baik jiwa
maupun materi. Dalam perkembangannya, bencana ialah salah satu bentuk ancaman
dimana selain menimbulkan kerugian baik jiwa maupun materi, bencana juga dapat
mengakibatkan terganggunya stabilitas dan keamanan nasional. Peristiwa tsunami di Aceh
pada tahun 2004 yang notabennya merupakan bencana nasional, telah menyadarkan
pemerintah bahwa ancaman bencana perlu mendapatkan perhatian serius dan menjadi
prioritas serta pertimbangan dalam setiap rencana pembangunan baik ditingkat nasional
hingga daerah. Dalam hal ini, segala usaha perlu dilakukan oleh pemerintah melalui
kebijakannya dalam menghadapi ancaman bencana sehingga salah satu esensi dari tujuan
nasional dapat terwujud.
Secara konseptual bencana dapat dikatakan sebagai suatu fenomena bertemunya antara ancaman/bahaya (hazard) dengan kerentanan manusia (vulnerability). Hazard
merupakan berbagai peristiwa atau kejadian yang dapat mengganggu eksistensi atau
keberfungsian manusia serta menimbulkan kerugian harta benda. Hazard memiliki
berbagai dimensi dan faktor baik alamiah maupun buatan. Sementara itu, vulnerability
dikonsepkan sebagai keadaan, kemampuan, atau kapasitas manusia dalam menghadapi
setiap hazard yang datang. Artinya suatu fenomena akan disebut bencana ketika manuasia
tidak memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menghadapi ancaman sehingga dapat
menyebabkan kerugian baik korban jiwa maupun kerugian lainnya seperti harta benda.
Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
dikatakan bahwa bencana ialah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan baik oleh faktor
alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak
psikologis.
Dalam perkembangannya banyak upaya-upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah
dalam menghadapi ancaman bencana mulai dari aspek kelembagaan hingga pada aspek
pengelolaan sumber daya yang telah diputuskan melalui berbagai produk hukum.
TAGANA atau Taruna Siaga Bencana ialah salah satu dari sekian banyak kebijakan yang
diputuskan oleh pemerintah terkait dengan penanggulangan bencana. Ide dasar
pembentukan TAGANA pada dasarnya dipengaruhi oleh perubahan paradigma dalam
pengurangan risiko bencana dimana masyarakat tidak lagi dipandang sebagai objek yang
rentan, melainkan juga subjek dalam skema pengurangan risiko bencana. Peningkatan
40
kapasitas masyarakat sangat diperlukan sehingga masyarakat mampu untuk menekan atau
bahkan menghilangkan risiko terjadinya bencana. Masyarakat perlu untuk dilibatkan
dalam setiap kegiatan penanggulangan bencana sebagai salah satu potensi sumber daya
manusia. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
menyebutkan bahwa setiap orang berhak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
terhadap kegiatan penanggulangan bencana, khususnya yang berkaitan dengan diri dan
komunitasnya. Hal inilah yang kemudian mendasari dibentuknya Taruna Siaga Bencana
(TAGANA) oleh Kementerian Sosial pada tahun 2004 dan dikukuhkan melalui Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana
karena melihat pentingnya keterlibatan masyarakat dalam penanggulangan bencana dilihat
dari aspek kesejahteraan sosial.
Kebijakan mengenai TAGANA telah berjalan lebih dari satu dekade dan telah
dilaksanakan di seluruh daerah-daerah otonom di Indonesia sesuai dengan kebutuhan dan
potensi ancaman yang ada. Pelaksanaan kebijakan TAGANA pun telah dilaksanakan di
Provinsi Bali yang memiliki 9 daerah Kabupaten/Kota. Provinsi Bali merupakan salah satu
daerah dengan tingkat kerawanan bencana yang cukup tinggi. Menurut Data Informasi
Bencana Indonesia (DIBI), sedikitnya telah terjadi 48 kejadian bencana pada tahun 2018
di Provinsi Bali, mulai dari letusan gunung api, puting beliung, banjir, tanah longsor,
gelombang pasang, kebakaran hutan dan lahan, serta gempa bumi. Jika dilihat dari data 4 tahun terakhir, kejadian bencana di Provinsi Bali mengalami peningkatan yang signifikan
dan telah mengakibatkan berbagai kerugian korban jiwa, kerusakan rumah, dan kerusakan
berbagai fasilitas lainnya. Selain itu, dilihat dari Peta Indeks Kerawanan Bencana, Provinsi
Bali memiliki tingkat kerawanan bencana yang berkisar antara sedang hingga tinggi.
41
Gambar 1. Peta Indeks Rawan Bencana Provinsi Bali
Implementasi kebijakan TAGANA sebagaimana yang termuat dalam Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana meliputi kegiatan-kegiatan yang terdapat pada fase pra bencana, saat bencana, dan pasca
bencana. Pada kegiatan mitigasi, kerjasama dan koordinasi antara instansi pemerintahan
dengan TAGANA dilakukan secara berkesinambungan. Masyarakat pun turut serta pada
setiap kegiatan mitigasi sehingga masyarakat siap dalam menghadapi bencana. Di sisi lain,
peran TAGANA di daerah-daerah cenderung masih terfokus pada kegiatan tanggap
darurat dan pasca bencana. Padahal dalam kebijakannya tidak demikian, TAGANA
memiliki peran pada fase pra bencana. Dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA terdapat
faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat pelaksanaannya di daerah-daerah,
diantaranya ialah adanya kesesuaian antara kebijakan dengan organisasi pelaksana,
dukungan masyarakat, komunikasi antar lini, ketersediaan sumber daya manusia, dan
alokasi sumber daya finansial. Tujuan penelitian ini secara langsung ialah untuk menganalisis bagaimana
pelaksanaan kebijakan TAGANA yang terdapat pada Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana. Implementasi kebijakan
dikaji melalui beberapa variabel/indikator yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber
daya, hubungan antar organisasi, karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial dan disposisi
implementor. Pada akhirnya dapat disimpulkan dan diketahui bagaimana pelaksanaan
42
kebijakan TAGANA di Provinsi Bali yang dikaji dengan menggunakan variabel/indikator
tersebut.
2. Metodologi Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode deskriptif dengan
pendekatan kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian
naturalistik karena penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah (natural setting);
disebut juga sebagai metode etnografi karena pada awalnya metode ini lebih banyak
digunakan untuk penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai metode kualitatif karena data yang terkumpul dan analisisnya bersifat kualitatif. Teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini ialah wawancara, observasi, dan dokumentasi.
Wawancara dilakukan secara mendalam untuk memperoleh data primer dari narasumber.
Narasumber penelitian berasal dari instansi terkait, yaitu BPBD Provinsi Bali dan
beberapa anggota TAGANA. Observasi juga dilakukan untuk mengamati apa yang terjadi
di lapangan. Selain itu dokumentasi juga dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman dalam
Sugiono. Analisis data berdasarkan Miles and Huberman ialah data reduction (reduksi
data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing and verification (penarikan
kesimpulan dan verifikasi).
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Standar dan Sasaran Kebijakan
Standar dan sasaran kebijakan harus jelas dan terukur sehingga dapat direalisasikan.
Apabila standar dan sasaran kebijakan ambigu, maka akan terjadi multi interpretasi dan
mudah menimbulkan konflik diantara para agen implementasi. Standar dan sasaran
kebijakan pada dasarnya telah termuat dalam produk kebijakan itu sendiri yakni Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana.
Muatan yang terdapat pada kebijakan tersebut menyatakan bahwa TAGANA ditetapkan
dengan maksud membantu pemerintah dan pemerintah daerah untuk perlindungan sosial
dalam penanggulangan bencana. Pembentukan TAGANA juga bertujuan untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan bencana. Dalam
melaksanakan tugasnya, TAGANA memiliki fungsi pada saat pra bencana, saat bencana, dan pasca bencana. Selain itu, dalam kebijakan tersebut juga terdapat penjelasan mengenai
standar dan sasaran dari fungsi TAGANA, walaupun tidak dibahas secara detail mengenai
program dan kegiatannnya. Artinya Dinas Sosial Provinsi Bali perlu untuk membuat
program atau kegiatan sebagai penjabaran lebih lanjut dari standar dan sasaran kebijakan. Dalam pelaksanaanya sendiri di Provinsi Bali, standar dan sasaran tidak mengalami
multi interpretasi dalam artian pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi Bali
sebagai pembina dan anggota TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari
kebijakan tersebut walaupun mayoritas dari mereka tidak mengetahui secara detail tentang
apa yang termuat dalam Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun
2012 tentang Taruna Siaga Bencana. TAGANA sendiri pada dasarnya bergerak atas dasar
perintah dari pemerintah yaitu Dinas Sosial baik provinsi maupun kabupaten/kota. Oleh
43
karena itu, pemahaman Dinas Sosial Provinsi Bali mengenai standar dan sasaran kebijakan
perlu diperkuat.
3.2 Sumber Daya
Sumber daya menjadi salah satu hal yang krusial dalam pelaksanaan kebijakan.
Implementasi kebijakan perlu dukungan sumber daya baik sumber daya manusia (human
resources) maupun sumber daya non manusia (non-human resources). Tanpa sumber daya
yang memadai tidak akan mungkin suatu kebijakan dapat dilaksanakan. Terkait dengan implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang
Taruna Siaga Bencana, ada dua hal penting yang menjadi penekanan yakni sumber daya
manusia dan sumber daya non manusia. Untuk sumber daya manusia dalam kebijakan
tersebut terdapat dua implementor utama yakni pemerintah yang dalam hal ini ialah
lembaga atau instansi sosial dan anggota TAGANA. Pemerintah sebagaimana yang
dimaksudkan ialah Kementerian Sosial maupun Dinas Sosial Provinsi atau
Kabupaten/Kota memiliki peran dan fungsi yang penting dalam perekrutan, pelatihan, dan
pengerahan TAGANA. Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan
TAGANA dapat dikatakan sudah terpenuhi. Sedangkan untuk anggota TAGANA sendiri
hingga saat ini sudah mencapai 726 orang yang tersebar di 9 kabupaten/kota di Provinsi
Bali. Seluruh anggota TAGANA tersebut telah terkoordinir dengan baik oleh Dinas Sosial Provinsi Bali dan siap dikerahkan jika dibutuhkan. Seperti contohnya ialah ketika ada
bencana erupsi Gunung Agung dan Gempa Bumi di Lombok, TAGANA di Provinsi Bali
dikerahkan untuk membantu kegiatan tanggap darurat. Pengerahan TAGANA dalam hal
ini dilakukan atas dasar pertimbangan jarak dan biaya.
Di sisi lain sumber daya non manusia seperti dukungan finansial dan
peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan masih menjadi
problematika dalam implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29
Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana. Keterbatasan sumber dana yang dimiliki oleh
pemerintah pusat maupun daerah terkadang menjadi hambatan dalam pelaksanaan
program dan kegiatan TAGANA. Seperti contohya ialah dalam hal pelatihan dan
pengerahan personil terkadang dibatasi oleh kuota karena disesuaikan dengan dana yang
tersedia. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas TAGANA juga masih memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya sehingga terkadang
menyulitkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.
3.3 Hubungan Antar Organisasi
Dalam implementasi kebijakan sebuah program perlu dukungan dan koordinasi dengan
instansi lain. Untuk itu, diperlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi bagi
keberhasilan suatu program. Berbicara mengenai hubungan antar organisasi, erat
kaitannya dengan komunikasi dan koordinasi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait.
Bencana sendiri dapat dikatakan sebagai kejadian yang dapat mempengaruhi atau
berdampak pada seluruh aspek kehidupan sehingga perlu adanya koordinasi dari pihak-
pihak terkait. Terlebih instansi yang bertanggung jawab dalam urusan bencana bukanlah Kementerian Sosial atau Dinas Sosial, melainkan BNPB atau BPBD sebagai leading
44
sectors. Komunikasi dan koordinasi ialah suatu kebutuhan dan harus selalu dilaksanakan
terutama dalam mendukung pelaksanaan kebijakan tentang TAGANA. Dalam
pelaksanaannya sendiri di Provinsi Bali, komunikasi dan koordinasi giat dilakukan oleh
instansi-instansi terkait baik secara vertikal maupun horizontal, mulai dari sesama anggota
TAGANA di seluruh Bali, hingga antara TAGANA dengan Dinas Sosial Provinsi Bali dan
Kabupaten/Kota serta instansi-instansi lainnya.
Sebagaimana penuturan narasumber, untuk memudahkan dalam hal komunikasi dan
koordinasi ialah dengan memanfaatkan media sosial sebagai alat komunikasi. Metodenya ialah dengan membuat “grup WhatsApp” yang di dalamnya berisi seluruh pihak yang
terkait dengan penanggulangan bencana dari mulai BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas
Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain sebagainya.
Metode ini sangat memudahkan dalam komunikasi dan koordinasi sehingga pengarahan
TAGANA dapat dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Terlepas dari itu, sebenarnya
dalam hal ini komunikasi dan koordinasi lebih banyak dilakukan antara TAGANA dengan
Dinas Sosial Provinsi Bali dan Kabupaten/Kota karena dalam aturannya terdapat
hubungan hierarki antara keduanya. Selain itu seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
bahwa Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki kewenangan untuk
mengarahkan TAGANA sehingga mekanisme pelaksanaan tugas dan tanggung jawab
TAGANA sepenuhnya bergantung pada inisiatif instansi sosial. Komunikasi dan koordinasi dilakukan secara hierarki dan berjenjang dari mulai Kementerian Sosial, Dinas
Sosial Provinsi Bali, Dinas Sosial Kabupaten/Kota, hingga pada personil TAGANA di
seluruh Provinsi Bali.
3.4 Karakteristik Agen Pelaksana
Karakteristik agen pelaksana adalah mencakup struktur organisasi, norma-norma, dan
hubungan yang terjadi dalam organisasi, yang semuanya itu akan mempengaruhi
implementasi dari suatu program. Terkait dengan implementasi kebijakan Peraturan
Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana
di Provinsi Bali, terdapat dua karakteristik agen pelaksana yakni agen pemerintah yang
dalam hal ini instansi sosial dan anggota TAGANA. Karakteristik agen pemerintahan atau
instansi sosial dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA berperan sebagai aktor utama yang kemudian akan menjadi mentor bagi anggota TAGANA. Selayaknya agen pemerintah,
mereka bertugas berdasarkan pada aturan dan prosedur yang berlaku karena mereka digaji
dan dipekerjakan oleh negara untuk mengurusi birokrasi. Sementara itu, anggota
TAGANA memiliki karakteristik sebagai relawan. Mereka bekerja dan bertindak atas
panggilan jiwa dan hati nurani. Walaupun pada dasarnya mereka bertindak atas dasar
perintah dari agen pemerintah, namun apa yang mereka lakukan sebenarnya bukan
merepresentasikan keinginan orang lain atau organisasi, melainkan merepresentasikan
keinginannya sendiri untuk membantu sesama dalam penanggulangan bencana.
3.5 Kondisi Sosial
Kondisi sosial mencakup sumber daya keadaan lingkungan yang dapat mendukung keberhasilan implementasi kebijakan; sejauhmana kelompok-kelompok atau masyarakat
45
memberikan dukungan bagi implementasi kebijakan; karakeristik para partisipan, yakni
mendukung atau menolak, bagaimana sifat opini publik yang ada di lingkungan; dan
apakah elite politik mendukung implementasi kebijakan. Dari hasil analisis data, kondisi
sosial masyarakat Provinsi Bali terbilang banyak dipengaruhi oleh unsur agama dan
budaya yang masih cenderung melekat kuat. Walaupun Provinsi Bali menjadi destinasi
wisata yang sering dikunjungi turis manca negara, tidak membuat adat istiadat dan budaya
masyarakat rovinsi Bali menjadi luntur atau terkikis dengan budaya asing. Mereka masih
memegang teguh nilai dan norma yang mereka yakini sehingga hal ini berpengaruh pada kondisi sosial mereka. Terkait dengan implementasi Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana, kondisi sosial
masyarakat Provinsi Bali sangat mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut. Pada
dasarnya output dan outcame yang diinginkan dari pelaksanaan kebijakan TAGANA ialah
meningkatkan kapasitas masyarakat dan memacu keterlibatannya dalam penanggulangan
bencana mulai dari fase pra bencana, saat bencana, hingga pada pasca bencana. Ada
semacam “rasa memiliki” yang ada pada masyarakat Provinsi Bali sehingga mereka
bertanggung jawab atas keamanan dan kenyamanan tempat tinggalnya. TAGANA dapat
dikatakan sebagai sarana bagi mereka untuk menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.
Maka dari itu dapat dikatakan bahwa kondisi sosial masyarakat sangat mendukung
pelaksanaan kebijakan TAGANA di Provinsi Bali.
3.6 Disposisi Implementor
Disposisi implementor ini mencakup dua hal yang penting yakni respon implementor
terhadap kebijakan, yang akan mempengaruhi kemauannya untuk melaksanakan kebijakan
dan kognisi, yakni pemahamannya terhadap kebijakan. Respon implementor yakni instansi
sosial, anggota TAGANA dan masyarakat secara umum memberikan respon positif
terhadap pelaksanaan kebijakan TAGANA di Provinsi Bali. Dengan maraknya kejadian
bencana alam yang terjadi di Indonesia memicu adanya kesadaran dari para implementor
kebijakan akan pentingnya penguatan kapasitas dan kesiapsiagaan masyarakat Provinsi
Bali dalam menghadapi bencana. Terlebih lagi karena ini sifatnya ialah relawan maka
tidak ada paksaan yang mengikat dari pemerintah sehingga kebijakan dapat dilaksanakan
dan direspon dengan baik oleh para implementor. Terkait dengan aspek kognitif, nampak bahwa Peraturan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana masih belum dipahami
oleh sebagian implementor. Terutama oleh para anggota TAGANA sendiri yang tidak
begitu paham akan tugas dan fungsinya dimana mereka hanya sebatas melaksanakan
perintah dan instruksi dari Dinas Sosial Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Berdasarkan
hasil pengumpulan data, orientasi anggota TAGANA dalam penanggulangan bencana
hanya pada fase saat bencana. Padahal dalam aturannya tugas dan fungsi TAGANA juga
ada pada fase pra bencana dan pasca bencana. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa
pemahanan implementor terhadap muatan kebijakan masih minim.
46
4. Simpulan
Secara keseluruhan, implementasi kebijakan pemerintah tentang Taruna Siaga Bencana
(TAGANA) di Provinsi Bali telah sesuai dengan variabel/indikator dalam pelaksanaan
kebijakan tersebut, walaupun perlu pembenahan dan pemahaman yang lebih di beberapa
indikator. Implementasi kebijakan tersebut dikaji melalui beberapa variabel/indikator
yakni standar dan sasaran kebijakan, sumber daya, hubungan antar organisasi,
karakteristik agen pelaksana, kondisi sosial, dan disposisi implementor. Secara umum,
pelaksana kebijakan seperti Dinas Sosial Provinsi sebagai pembina dan anggota TAGANA telah mengetahui standar dan sasaran dari kebijakan pemerinah walaupun mayoritas dari
mereka tidak mengetahui secara detail tentang apa yang termuat dalam Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 tentang Taruna Siaga Bencana.
Dukungan sumber daya manusia dalam pelaksanaan kebijakan TAGANA dapat dikatakan
sudah terpenuhi. Namun, sumber daya non manusia seperti dukungan finansial dan
peralatan/perlengkapan, belum sepenuhya dapat terakomodir dan masih menjadi
problematika. Selain itu, kelengkapan peralatan pendukung tugas TAGANA juga masih
memiliki keterbatasan seperti alat komunikasi dan lain sebagainya sehingga terkadang
menyulitkan dalam setiap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab.
Hubungan antar organisasi terkait seperti BPBD, BMKG, Dinas Sosial, Dinas
Pariwisata, Dinas Pendidikan, TAGANA, Pramuka, Pecalang, dan lain-lain, telah terjalin cukup baik. Pihak terkait menggunakan metode “grup Whatsapp” yang dapat
memudahkan komunikasi dan koordinasi sehingga pengarahan TAGANA dapat
dilaksanakan dengan efektif dan efisien. Komunikasi dan koordinasi pun dilakukan secara
hierarki dan berjenjang dari mulai Kementerian Sosial, Dinas Sosial Provinsi Bali, Dinas
Sosial Kabupaten/Kota, hingga pada personil TAGANA di seluruh Provinsi Bali. Kondisi
sosial masyarakat Bali pun sangat mendukung pelaksanaan kebijakan pemerintah terkait
TAGANA dalam penangulangan bencana. TAGANA dapat dikatakan sebagai sarana bagi
masyarakat untuk menjaga dan melindungi tempat tinggalnya.
Referensi
[1] Undang-Undang Dasar 1945.
[2] Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana. [3] [UNISDR]. (2005). Hyogo Framework for Action 2005-2015: Building the
Resilience of Nations and Communities to Disasters. World Conference on
Disaster Reduction. Hyogo (JP): 18-22 Januari.
[4] Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal
26 Ayat 1E.
[5] [BNPB] Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2018. Jumlah Kejadian
Bencana Provinsi Bali Tahun 2018. dalam http://bnpb.cloud/dibi/laporan5.
[6] Rahman, Aulia. 2016. Peran Taruna Siaga Bencana Dalam Mitigasi Bencana di
Kabupaten Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial.
Kementerian Sosial Republik Indonesia.
47
[7] Sari, D. P. 2014. Analisis Peran Taruna Siaga Bencana (Tagana) Dalam
Penanggulangan Bencana di Kota Bengkulu. Bengkulu (ID): Fakultas Ilmu
Sosial dan Politik, Universitas Bengkulu.
[8] Fauzan Ersad, Zainal Hidayat. 2016. Implementasi Kebijakan Peraturan Menteri
Sosial Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2012 Tentang Taruna Siaga
Bencana Dalam Penanggulangan Bencana di Kota Semarang. Semarang (ID):
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Diponegoro.
[9] Subarsono, A. G. 2011. Analisis Kebijakan Publik (Konsep, Teori, dan Aplikasi). Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
[10] Sugiyono. 2015. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung (ID):
Alfabeta.
48
Kesiapsiagaan BPBD Kabupaten Badung dan Pangkalan TNI AL (Lanal) Denpasar
dalam Penanggulangan Bencana
Mochammad Azkari Hisbulloh Akbar1, Mohammad Ali
1, Nur Intan Sari
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
Email address: [email protected]
Abstrak. Secara tidak langsung untuk melindungi dan mencapai kesejahteraan diperlukan keamanan nasional sebagai bentuk terbebasnya negara, masyarakat, dan warga negara dari
segala bentuk ancaman. Bencana alam adalah salah satu ancaman yang ada di Indonesia.
Posisi geografis memungkinkan timbulnya ancaman bencana alam akibat pergerakan
lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik. Provinsi Bali memiliki relief dan topografi
dengan pegunungan yang memanjang dari barat ke timur serta terdapat gugusan gunung
berapi. Peran aktif dari seluruh instansi dalam penanggulangan bencana sangat dibutuhkan
untuk mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Beberapa pihak yang memiliki
peran penting dalam penanggulangan bencana adalah BPBD dan TNI. Tujuan dari
penelitian ini terdiri atas menganalisis mitigasi dan kesiapsiagaan BPBD Kabupaten
Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan
personel dan pengetahuan BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan sarana BPBD Kabupaten Badung dan
Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, dan hubungan koordinasi antara BPBD
Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana. Upaya mitigasi
dan kesiapsiagaan dari BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar memenuhi standar
yang ada berdasarkan Standar Operasi Penanggulangan Bencana dan Rencana Kontigensi
Penanggulangan Bencana di Kabupaten Badung. Kesiapan personel di dalam lingkungan
BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum cukup memadai untuk pelaksanaan
tugas-tugas penanggulangan bencana. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten
Badung dapat diatasi oleh jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan
personel Lanal Denpasar terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi
dan penyelamatan setiap tiga bulan sekali serta Pelatihan Kontigensi Bencana Gempa dan
Tsunami. Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di BPBD Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat
jenis bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sedangkan sarana yang
ada di Lanal Denpasar merupakan alusista yang mampu mendukung penanggulangan
bencana. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan
koordinasi berdasarkan Standar Operasi yang telah ditetapkan.
49
Kata Kunci : BPBD, Lanal, Kesiapsiagaan, Penanggulangan Bencana,
1. Pendahuluan
Tujuan berbangsa dan bernegara Indonesia dinyatakan dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu melindungi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum. Secara tidak langsung, untuk melindungi dan mencapai kesejahteraan diperlukan
keamanan nasional sebagai bentuk terbebasnya negara, masyarakat, dan warga negara dari
segala bentuk ancaman. Bencana alam adalah salah satu ancaman yang ada di Indonesia. Hal tersebut didukung oleh posisi geografis Indonesia yang terletak pada tiga lempeng
bumi, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Ketiga lempeng bumi yang selalu
bergerak dan saling mendesak satu sama lainnya sehingga menyebabkan terjadi akumulasi
energi tabrakan yang pada akhirnya akan dilepas dalam bentuk gempa bumi [1]. Posisi
geografis tersebut memungkinkan timbulnya ancaman bencana alam akibat pergerakan
lempeng tektonik serta aktivitas vulkanik. Bencana alam yang dapat ditimbulkan antara
lain gempa bumi, tsunami, dan erupsi gunung berapi.
Salah satu provinsi di Indonesia dengan aktivitas tektonik dan vulkanik yang cukup
intensif adalah Provinsi Bali. Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau
Lombok dengan ibukota provinsinya adalah Denpasar yang terletak di bagian selatan
Pulau Bali. Terletak pada titik koordinat 08°03'40"-08°50'48"LS dan 114°25'53"-115°42'40"BT. Provinsi Bali memiliki luas wilayah secara keseluruhan sebesar 5.636,66
km2. Provinsi Bali dibagi ke dalam delapan kabupaten dan satu kota yang terdiri atas
Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar,
Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng, Kabupaten Karangasem,
dan Kota Denpasar [2].
Provinsi Bali memiliki relief dan topografi dengan pegunungan yang memanjang dari
barat ke timur serta terdapat gugusan gunung berapi. Gunung Agung (3.142 mdpl) dan
Gunung Batur (1.717 mdpl) menjadi salah satu potensi ancaman yang ada di Provinsi Bali
saat tejadi peningkatan aktivitas vulkanik. Gunung lain yang ada di Provinsi Bali, yaitu
Gunung Merbuk, Gunung Patas, dan Gunung Seraya yang menjadi bukti adanya
pergerakan tektonik. Berdasarkan peristiwa aktivitas vulkanik Gunung Agung yang pernah
terjadi pada tahun 2017 dan 2018 mengakibatkan abu vulkanik, guguran material letusan, lahar, gas beracun, kerusakan rumah, kerusakan infrastruktur, dan evakuasi masyarakat
dari tempat tinggalnya.
Peran aktif dari seluruh instansi dalam penanggulangan bencana sangat dibutuhkan
untuk mengatasi kerugian yang diakibatkan oleh bencana. Beberapa pihak yang memiliki
peran penting dalam penanggulangan bencana adalah BPBD dan TNI. BPBD danTNI
berperan dalam mendukung pemerintah untuk menghadapi bencana yang terjadi di
Indonesia. Berdasarkan Pedoman Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah,
BPBD memiliki dasar koordinasi, komando, dan pengedalian serta dalam penyelenggaraan
penanggulangan bencana dilakukan pembinaan, pengawasan, dan pelaporan [3].
Sedangkan TNI memiliki dasar yang terkandung dalam Ketentuan Dasar Tugas Bantuan
Tentara Nasional Indonesia, yaitu (1) memberi manfaat yang nyata dan sebesar-besarnya
50
guna mendukung tercapainya tujuan dan sasaran pertahanan negara dalam aspek bantuan
kemanusiaan untuk bencana alam, pengungsian, dan bantuan kemanusian; dan (2)
menjamin terwujudnya tingkat keselamatan manusia sesuai peran serta, hahekat fungsi
TNI dan tujuan pertahan negara [4].
Sipil dan militer telah beroperasi secara simultan dan terdapat saat sipil dan militer
mempunyai hubungan kerjasama yang dekat [5]. Bencana tidak hanya menjadi urusan
sipil, tetapi diperlukannya keterlibatan dari pihak militer. Koordinasi sipil-militer terbukti
mampu mempercepat penanganan bencana sehingga jumlah korban dan kerusakan dapat diminimalisasi. Metcalfe dan Hanysom (2012) menyatakan bahwa Civil Military
Coordination (CMCoord) atau koordinasi sipil militer adalah dialog penting antara aktor
sipil dan aktor militer dalam bidang kemanusiaan, menghindari persaingan, meminimalkan
ketidakkonsistenan, dan mencapai tujuan bersama [6]. Pengertian tersebut juga digunakan
oleh United Nations Office for the Coordination of Humanitarian Affairs (UN-OCHA) dan
Inter Agency Standing Committee (IASC). Koordinasi antara kedua belah pihak
merupakan tanggung jawab bersama yang difasilitasi oleh penghubung dan pelatihan
umum. Elemen kunci koordinasi antara sipil militer dalam bencana alam dan keadaan
darurat yang kompleks adalah pembagian informasi, pembagian tugas, dan perencanaan
[7].
Dalam upaya penanggulangan bencana alam dan bantuan kemanusiaan banyak terjadi interaksi antara militer (TNI) dengan otoritas sipil (BPBD), pemerintah daerah,
masyarakat sipil lainya seperti swasta dan lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik
dalam tahap pra bencana, saat terjadinya bencana, maupun pasca bencana [8]. BPBD
secara tidak langsung memiliki keterbatasan dalam pelaksanaan tanggap darurat sehingga
diperlukan koordinasi dan perencanaan program tanggap darurat yang terpadu antara
pihak sipil dan militer. Faktanya pengerahan pasukan TNI dalam skala besar lebih cepat
dibandingkan dengan sipil. Kecepatan dalam memberikan bantuan kepada korban
memungkinkan untuk menekan jumlah korban [9].
Kerjasama sipil militer bertujuan untuk memaksimalkan efek positif dan
meminimalisasi efek negatif. Sampai saat ini, komunitas kemanusiaan mengadopsi strategi
dalam setiap konteksnya, mulai dari koeksistensi sampai dengan kooperasi yang erat. Pada
saat kondisi damai, hubungan kerjasama sipil dan militer bersifat cooperation dengan hubungan interaksi yang semakin dekat yang bekerja bersama-sama dalam satu organisasi.
Sedangkan dalam kondisi darurat, dibentuk suatu penghubung antara pihak sipil dan pihak
militer dengan struktur yang disesuaikan terhadap suatu operasi yang dihadapi [10].
Tujuan dari penelitian ini terdiri atas menganalisis mitigasi dan kesiapsiagaan BPBD
Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, menganalisis
kesiapan personel dan pengetahuan BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam
penanggulangan bencana, menganalisis kesiapan sarana BPBD Kabupaten Badung dan
Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana, dan hubungan koordinasi antara BPBD
Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar dalam penanggulangan bencana.
51
2. Metodologi
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan teknik
pengumpulan data, yaitu wawancara, observasi, dan studi dokumen. Penelitian kualitatif
merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif yang terdiri dari kata-
kata tertulis dan lisan dari narasumber [11]. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi, dan studi dokumen. Teknik wawancara mendalam untuk
memperoleh data primer dari narasumber. Narasumber penelitian berasal dari instansi
terkait, yaitu BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar. Teknik dokumentasi untuk mengumpulkan data sekunder sehingga mendukung data yang diperoleh dalam teknik
wawancara.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan model Miles and Huberman dalam
Sugiono (2010) [11]. Analisis data berdasarkan Miles and Huberman adalah data
reduction (reduksi data), data display (penyajian data), dan conclusion drawing and
verification (penarikan kesimpulan dan verifikasi) [12].
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Mitigasi dan Kesiapsiagaan
Berdasarkan hasil wawancara dan analisis data, upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang
telah dilaksanakan oleh BPBD Kabupaten Badung terdiri atas bimbingan teknis dan pelatihan; memfasilitasi pembentukan Desa Tangguh Bencana (Destana), Sekolah Aman
Bencana, dan Forum Pengurang Risiko Bencana (FPRB); mengadakan sosialisasi,
simulasi, dan pendidikan; menyusun, menetapkan serta menginformasikan peta rawan
bencana dan peta evakuasi rawan bencana kepada masyarakat; pemasangan rambu-rambu
dan peta jalur evakuasi; penyusunan dokumen Rencana Kontigensi Kabupaten Badung;
dan rapat koordinasi penanggulangan bencana dan pengendalian zoonosis. Bimbingan
teknis dan pelatihan TRC BPBD Kabupaten Badung dan Relawan Bencana Kabupaten
Badung menjadi contoh upaya mitigasi non-struktural yang diterapkan sehingga mampu
meningkatkan kesiapsiagaan. BPBD Kabupaten Badung memiliki dokumen Rencana
Penanggulangan Bencana (RPB) Kabupaten Badung dan Kajian Risiko Bencana
Kabupaten Badung. Dokumen tersebut sesuai dengan kesiapsiagaan sehingga optimal
dalam pelaksanaan penanggulangan bencana. Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan yang telah dilaksanakan oleh Lanal Denpasar
terdiri atas Prosedur Tetap Buku Induk Tempur, Buku Standar Operasi Penanggulangan
Bencana, latihan evakuasi dan penyelamatan, dan pelatihan kontigensi bencana gempa dan
tsunami. Kesiapsiagaan di Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) Denpasar juga terlihat
dari jalur evakuasi yang tersedia berupa dua titik kumpul di lingkungan Pangkalan TNI
Angkatan Laut (Lanal) Denpasar, yaitu titik kumpul 1 di lapangan utama Mako Lanal dan
titik kumpul 2 di lapangan tenis Mako Lanal. Kesiapsiagaan yang tinggi di Lanal
Denpasar dalam koordinasi terkait potensi ancaman bencana alam di Bali digambarkan
oleh koordinasi dengan BNPB, BPBD, BMKG, Kominfo, dan Pemerintah Provinsi Bali.
52
Gambar 1. Peta Jalur Evakuasi di Lingkungan Pangkalan TNI Angkatan Laut (Lanal) V
Denpasar
3.2 Kesiapan Personel dan Pengetahuan
Kesiapan personel di dalam lingkungan BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum
cukup memadai untuk pelaksaan tugas-tugas penanggulangan bencana serta didominasi
oleh tingkat pendidikan S1 dan SMA. Bimbingan teknis dan pembekalan pengetahuan
dasar diberikan kepada 65 anggota TRC Kabupaten Badung dalam penanggulangan bencana. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten Badung dapat diatasi oleh
jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan personel Lanal Denpasar
terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi dan penyelamatan secara
rutin setiap tiga bulan sekali serta pelatihan kontigensi bencana gempa dan tsunami.
Lanal Denpasar dalam pemberian bantuan penanggulangan bencana sesuai dengan
Standar Operasi Penanggulangan Bencana yang menjadi dasar pengetahuan
penanggulangan bencana. Dasar Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pasal 10 Ayat 3 tentang Pertahanan Negara menyatakan
bahwa TNI bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara dan juga melaksanakan
OMSP seperti bantuan kemanusian, memberikan bantuan kepada Polisi dalam keamanan
dan ketertiban nasional, bantuan kepada pemerintah sipil, memberikan bantuan pengamanan pelayaran dan penerbangan, dan juga memberikan bantuan search and rescue
serta memberikan bantuan pada saat penanggulangan bencana.
53
3.3 Kesiapan Sarana
Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di BPBD
Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat jenis
bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sarana kerja BPBD Kabupaten
Badung terdiri atas antena VHF dan FM stationery, mini bus, motor boat, pick up,
portable generating set, stalion wagon, transceiver UHF transportable, dan transceiver
VHF transportable. Sedangkan sarana yang ada di Lanal Denpasar merupakan alusista
yang mampu mendukung penanggulangan bencana. Alutsista yang mendukung penanggulangan bencana terdiri atas kendaraan angkut personel, kendaraan angkut barang,
mobil ambulans, tenda pleton, Kal 28 meter, Patkamla 18 meter, Patkamla 28 meter, sea
rider, dan rubber boat.
Sumberdaya TNI selalu siap ditugaskan kapan saja dan dimana saja serta tersedia
dalam jumlah yang besar, salah satu contohnya adalah latihan bersama antara TNI dan
Polri dalam pelaksanaan pengamanan KTT APEC 2013. Keberadaan TNI dalam tanggap
darurat dilapangan juga didukung koordinasi yang baik antara pihak BNPB dan BPBD.
Anggota TNI sebagai prajurit yang terlatih dalam berbagai kondisi dan kompleks serta
memiliki mobilitas tinggi didukung alutsista yang berguna dalam penanggulangan
bencana. Hal ini menjadi kemampuan strategis dan taktis, sumberdaya, ketepatan, dan
kecepatan bertindak dalam menghadapi hal-hal yang bersifat darurat.
3.4 Koordinasi BPBD dan TNI
Pembagian tugas sipil dan militer dalam penanggulangan bencana merupakan hal yang
penting karena mampu menjabarkan jenis aktifitas kemanusiaan yang sesuai dalam proses
pertolongan dengan aset militer dibawah kondisi yang bermacam-macam, tetapi terlebih
dahulu semua elemen terkait harus di konsultasikan mengenai hal ini untuk menjelaskan
sifat dan keperluan dari pertolongan tersebut [13]. Menurut United Natioan Office for the
Coordination of Humanitarian Affairs menyebutkan pembagian tugas sipil dan militer
dibagi kedalam tiga kategori, yaitu (1) Direct Assistance, dalam masa damai militer dapat
memberikan bantuan secara langsung kepada masyarakat; (2) Indirect Assitance,
terkadang tugas militer hanyalah sekedar membantu dalam pendistribusian dan
pengangkutan logistik bantuan atau personel kemanusiaan; dan (3) Infrastructure Support,
memberi jasa umum seperti perbaikan jalan, manajemen wilayah udara, dan pembangkit listrik yang memfasilitasi kegiatan kemanusiaan. Hal tersebut memberikan penjelasan
terhadap inti dari prinsip-prinsip pelaksanaan bantuan kemanusiaan, yaitu Humanity,
Neutrality, Independence, dan Impartiality [14].
Berdasarkan Process Based Partnership Model, terdapat tiga fase dalam koordinasi,
yaitu fase pembentukan, fase operasional di lapangan, dan fase evaluasi sebagai akhir
koordinasi. Dalam Process based Partnership Model terdapat faktor-faktor yang
mempengaruhi performa kerjasama sipil militer. Tahapan yang dilaksanakan terdiri atas
keputusan untuk melakukan kerjasama, pemilihan pasangan kerjasama, desain hubungan
kerjasama, implementasi kerjasama, pembagian tugas dan tanggung jawab, dan evaluasi
kerjasama [15]. Koordinasi adalah suatu proses dan suatu usaha terhadap ketepatan,
efektifitas, dan efisiensi dalam pelayanan kemanusiaan [16]. Hal tersebut mencakup
54
penggunaan instrumen kebijakan, yaitu menyediakan kepemimpinan dan manajerial dari
badan-badan perwakilan, negosiasi dan mempertahankan hubungan baik dan kerangka
kerja, mengatur divisi yang berfungsi secara baik, perencanaan secara strategis, mobilisasi
sumber daya, mengumpulkan data dan mengatur ketersediaan informasi, memastikan
adanya akuntabilitas, dan menyediakan dukungan.
Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan
koordinasi berdasarkan Standar Operasi yang telah ditetapkan. Koordinasi yang dilaksanakan pada program pemulihan pasca bencana melalui peningkatan koordinasi
dengan instansi terkait dan dunia usaha, meningkatkan pemahaman tentang regulasi yang
ada, serta pelibatan psikiater dan pembimbing rohani. Organisasi Perangkat Daerah (OPD)
yang terkait terdiri atas Dinas Cipta Karya, Dinas Bina Marga, Dinas Kebersihan dan
Pertamanan, Dinas Pemadam Kebakaran, Dinas Kesehatan, Dinas Sosial dan Tenaga
Kerja, Dinas Pariwisata, Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika, Bappeda dan
Litbang, Badan Kesbangpol dan Linmas, Satpol PP, Bagian Keuangan Setda Kabupaten
Badung, TNI, Polri, Basarnas, BMKG Wilayah III Denpasar, Balawista, PMI, Pusdalops
Provinsi Bali dan masyarakat Kabupaten Badung.
4. Simpulan Upaya mitigasi dan kesiapsiagaan dari BPBD Kabupaten Badung dan Lanal Denpasar
memenuhi standar yang ada berdasarkan Standar Operasi Penanggulangan Bencana dan
Rencana Kontigensi Penanggulangan Bencana di Kabupaten Badung. Kesiapan personel
di dalam lingkungan BPBD Kabupaten Badung secara kuantitas belum cukup memadai
untuk pelaksanaan tugas-tugas penanggulangan bencana serta didominasi oleh tingkat
pendidikan S1 dan SMA. Kekurangan jumlah personel dari BPBD Kabupaten Badung
dapat diatasi oleh jumlah personel Lanal Denpasar. Kesiapan dan pengetahuan personel
Lanal Denpasar terkait penanggulangan bencana berdasarkan latihan evakuasi dan
penyelamatan secara rutin setiap tiga bulan sekali serta Pelatihan Kontigensi Bencana
Gempa dan Tsunami.
Sarana yang mendukung tugas dan fungsi penanggulangan bencana yang ada di
BPBD Kabupaten Badung saat ini cukup memadai, tetapi perlu ditingkatkan mengingat jenis bencana dan dampak yang ditimbulkan semakin kompleks. Sedangkan sarana yang
ada di Lanal Denpasar merupakan alusista yang mampu mendukung penanggulangan
bencana. Pelaksanaan rapat koordinasi dengan instansi atau Organisasi Perangkat Daerah
(OPD) terkait penanganan bencana di Kabupaten Badung sebagai upaya memantapkan
koordinasi berdasarkan standar operasi yang telah ditetapkan. Koordinasi yang
dilaksanakan pada program pemulihan pasca bencana melalui peningkatan koordinasi
dengan instansi terkait dan dunia usaha, meningkatkan pemahaman tentang regulasi yang
ada, serta pelibatan psikiater dan pembimbing rohani.
55
Referensi
[1] [PVMBG] Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. 2015. Gempa Bumi
dan Tsunami. Bandung (ID): Badan Geologi, Kementerian Energi dan
Sumberdaya Mineral.
[2] [BPS] Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. 2018. Provinsi Bali dalam Angka 2018.
Bali (ID) : BPS Provinsi Bali.
[3] Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008
tentang Pedoman Pembentukan Badan penanggulangan Bencana Daerah.
[4] Peraturan Menteri Pertahanan Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2011 tentang
Pokok-Pokok Penyelenggaraan Tugas Bantuan Tentara Nasional Indonesia
dalam Menanggulangi Bencana Alam, Pengungsian, dan Bantuan
Kemanusiaan.
[5] Rietjens, S. J. H. and Bollen M. T. I. B. 2008. Managing Civil-Military
Cooperation: A 24/7 Joint Effort for Stability. Farnham (UK): Ashgate
Publishing Limited.
[6] Metcalfe, V., Haysom, S., and Gordon, S. 2012. Trends and Challenges in
Humanitarian Civil Coordination: A Review of The Literature. London (UK):
Humanitarian Policy Group.
[7] [UN-OCHA] United Natioan Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.
2015. UN-CMCoord Field Handbook. Geneva (CH): Civil-Military
Coordination Section, UN-OCHA.
[8] Nugroho, S. A. 2012. Analisis Kerjasama Sipil Militer dalam Bantuan
Kemanusiaan Indonesia (Studi Kasus Masa Tanggap Darurat Penanggulangan
Bencana Alam Letusan Gunung Merapi 2010). Bogor (ID): Sekolah Kajian
Pertahanan dan Stategis, Program Studi Manajemen Pertahanan, Universitas
Pertahanan.
[9] Nugroho, S. P., Suprapto, dan Pandanwangi, T. S. 2016. Kerjasama Sipil Militer
dalam Penanggulangan Bencana (Studi Kasus Tanggap Darurat Banjir Jakarta
2013, 2014, 2015). Jurnal Penanggulangan Bencana. Vol. 7, No. 2, Hlm. 103-
110. Jakarta (ID): Badan Nasional Penanggulangan Bencana. ISSN 2087 636X.
[10] Pradana, S., Sutisna, S., dan Sari, D. A. P. 2018. Kerjasama Sipil Militer dalam
Tanggap Darurat Kebakaran Hutan dan Lahan di Provinsi Riau Tahun 2014.
Bogor (ID): PT. Idemedia Pustaka Utama.
[11] Moleong, L. J. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): PT. Remaja
Rosdakarya.
[12] Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan
R&D. Bandung (ID): Alfabeta.
56
[13] Williams, G. H. 2005. Engineering Peace: The Military Role in Postconflict
Reconstruction. Washington (US): United States Institute of Peace.
[14] [UN-OCHA] United Natioan Office for the Coordination of Humanitarian Affairs.
2017. The Use Foreign Military and Civil Defense Assests in Disaster Relief.
Geneva (CH): Civil-Military Coordination Section, UN-OCHA.
[15] Rietjens, S. J. H. 2008. Civil Military Cooperation in Response to A Complex
Emergency: Just Another Drill?. Leiden (NL): Koninklijke Brill NV.
57
Kesiapan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Bali
Adib Hermawan1, Saifuli Sofi’ah
1, dan Sugeng Widodo
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional
1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak. Ancaman bencana tsunami bagi masyarakat Indonesia sangatlah besar terutama
masyarakat yang hidup di kawasan pesisir Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui informasi bagaimana keterlibatan dan koordinasi antara pemerintah daerah atau lembaga
terkait kesiapsiagaan penanggulangan ancaman bencana tsunami ke beberapa stakeholder
terkait antara lain Pemerintah Provinsi Bali, BPBD, dan BMKG Wilayah III Denpasar.
Penelitian ini juga menggali informasi mengenai upaya mitigasi bencana, prosedur tetap
yang dilaksanakan BPBD dalam pelaksanaan penanggulangan bencana dan beberapa
keterangan dari BMKG Provinsi Bali terkait dengan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan
yang telah dilakukan melalui program yang dilaksanakan. Masyarakat Bali sudah dibekali
pengetahuan oleh para stakeholder setempat antara lain tanda aktivasi sirine tsunami
sebagai peringatan dini, mengetahui jalur evakuasi jika tsunami terjadi, bahkan
masyarakat telah beberapa kali melaksanakan simulasi penanggulangan bencana. Upaya
sosialisasi dan diseminasi informasi bencana yang sudah dilakukan kepada masyarakat, kesiapan personil dan sarana prasarana terkait penanggulangan bencana, update informasi
dan kesiapan sistem peringatan dini. Dengan demikian, dapat diketahui kesiapan
Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi bencana tsunami.
Keywords: Bencana Tsunami, Early Warning Systems, Kesiapan, Pemerintah Provinsi
Bali
1. Pendahuluan
Secara geografis, Bali terletak di 8°3′40″-8°50′48″ LS dan 114°25′53″-115°14′55″ BT
yang membuatnya beriklim tropis seperti bagian Indonesia yang lain. Provinsi Bali adalah
bagian dari kepulauan Sunda Kecil dengan luas wilayah 5.636,66 km2 dengan panjang
garis pantai 529 km. Provinsi Bali terdiri dari 8 Kabupaten dan 1 Kota dengan jumlah
penduduk 4.2227.705 orang atau mendekati 4,3 juta penduduk. Wilayah Bali terdiri dari 6
wilayah daratan yaitu Pulau Bali, Pulau Menjangan, Pulau Serangan, Pulau Nusa Penida, Pulau Nusa Lembongan, dan Pulau Nusa Ceningan. Batas fisiknya adalah sebelah utara
dengan Laut Bali, sebelah timur dengan Selat Lombok, sebelah selatan dengan Samudera
Indonesia, dan sebelah barat dengan Selat Bali. Secara administratif, Provinsi Bali terbagi
atas 8 kabupaten, 1 kota, 57 kecamatan, dan 716 desa/kelurahan. Kabupaten/Kota terdiri
atas Kabupaten Jembrana, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar,
58
Kabupaten Karangasem, Kabupaten Klungkung, Kabupaten Bangli, Kabupaten Buleleng,
dan Kota Denpasar.
Sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali terbesar dari sektor pariwisata.
Hasil penelitian menyatakan bahwa pertumbuhan jumlah kunjungan wisatawan, tingkat
investasi, sektor perdagangan, dan perhotelan berpengaruh positif terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali[1]. Oleh karena itu, industri pariwisata menjadi sektor
paling utama yang dikembangkan di Provinsi Bali. Pariwisata sebagai industri utama
sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor salah satunya adalah faktor keamanan. Bencana sebagai bagian dari keamanan memiliki pengaruh yang sangat besar bagi sektor
pariwisata. Secara manusiawi, wisatawan merasa khawatir untuk mengunjungi destinasi
yang rawan terhadap bencana. Keamanaan dan keselamatan pengunjung menjadi gagasan
multidimensional dalam berbagai komponen seperti kemanan politik, keselamatan publik,
kesehatan dan sanitasi, keamanan data pribadi, perlindungan bencana, dan jaminan
kualitas layanan[2]. Oleh karena itu, faktor keselamatan dan keamanan wisatawan menjadi
hal utama yang harus diperhatikan Pemerintah Provinsi Bali dalam pembangunan sektor
pariwisatanya.
Bencana erupsi Gunung Agung di tahun 2017 yang berlangsung hingga tahun 2018,
telah memberi dampak terhadap sebagian besar masyararakat Bali terutama yang bekerja
di sektor pariwisata. Dampak erupsi Gunung Agung sangat berpengaruh terhadap pendapatan masyarakat lokal dari usaha akomodasi [3]. Berkurangnya kunjungan
wisatawan akibat travel warning serta ditutupnya Bandara Ngurah Rai untuk beberapa hari
akibat semburan abu vulkanik sempat membuat industri di sektor pariwisata mengalami
keterpurukan. Pemberitaan media terkait erupsi Gunung Agung juga turut mengakibatkan
turunnya jumlah wisatawan. Peran media yang komprehensif sebagai sistem diseminasi
peringatan dini kepada masyarakat sebenarnya dapat meminimalkan korban jiwa dan
jumlah kerugian karena masyarakat dapat mengambil sikap dan tindakan antisipatif.
Keterlibatan media dalam memberikan edukasi dan sistem diseminasi peringatan dini
kepada masyarakat sebagai merupakan bagian dari mitigasi bencana [4].
Secara umum, kawasan pantai di Indonesia rawan terhadap bencana gelombang
tsunami tidak terkecuali kawasan pesisir pantai di Bali. Kawasan barat pulau Sumatera,
Selat Sunda, Selatan Pulau Jawa, sampai ke Nusa Tenggara Timur merupakan zona bahaya tsunami. Empat titik kawasan seismic gap (daerah zona gempayang tidak pernah
diguncang gempa dahsyat antara 50-100 tahun) di Indonesia berada di Selat Sunda, pantai
selatan Jawa, Selat Bali, dan kawasan dekat Pulau Alor berpotensi menimbulkan tsunami
[5]. Kawasan pesisir pantai Bali merupakan salah satu kawasan pantai yang berada pada
seismic gap sehingga sangat rawan dengan ancaman bencana tsunami. Penyebab tsunami
sebagian besar diakibatkan oleh gempa bumi tektonik yang biasanya bersifat dangkal,
magnitude besar, dan mempunyai sesar naik atau turun. Tabel 1 merupakan data kejadian
bencana tahun 2018 di Provinsi Bali.
59
Tabel 1. Kejadian Bencana di Provinsi Bali Tahun 2018
No. Kejadian Bencana Jumlah Kejadian
1 Gempa bumi 902
2 Tsunami 0
3 Kebakaran 442
4 Banjir 151
5 Tanah Longsor 250
6 Puting beliung 23
7 Gunung meletus 3
8 Kekeringan 11
Berdasarkan data pada Tabel 1. dapat disimpulkan bahwa gempa bumi merupakan
bencana dengan kejadian bencana terbanyak sepanjang tahun. Padahal, dalam penjelasan
sebelumnya gempa tektonik merupakan penyebab sebagian besar tsunami. Oleh karena
itu, perlu diupayakan kegiatan mitigasi bencana guna mereduksi dampak yang ditimbulkan
jika terjadi tsunami. Salah satu kegiatan mitigasi bencana yang dapat dilakukan adalah
dengan adanya sistem peringatan dini tsunami.
Sistem peringatan dini menurut UN-ISDR (United Nations-International Strategy for
Disaster Reduction) adalah penyediaan informasi yang tepat waktu dan efektif melalui
lembaga yang teridentifikasi yang memungkinkan individu yang terpapar bahaya untuk
mengambil tindakan menghindari atau mengurangi risiko mereka dan bersiap utnuk
respons yang efektif. Sistem peringatan dini yang efektif dan lengkap terdiri dari empat elemen yang saling berinteraksi yaitu pengetahuan risiko, layanan pemantauan dan
peringatan, penyebaran dan komunikasi, dan kemampuan respon[6]. Sistem peringatan
dini yang efektif tidak hanya mementingkan hal-hal yang bersifat teknis semata, tetapi
juga berfokus pada orang yang terpapar risiko baik yang timbul dari bahaya alam atau
kerentanan sosial. Pendekatan sistem yang menggabungkan semua faktor yang relevan
dalam risiko itu sangat dibutuhkan demi terwujudnya sistem peringata dini yang efektif.
Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti mengambil tema Kesiapan Sistem Peringatan
Dini (Early Warning System) Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi bencana
tsunami dengan alasan bahwa untuk mengetahui bagaimana kemampuan dan kesiapan
Bali dalam mempertahankan situasi dan kondisi yang aman dan nyaman di bidang
kepariwisataan dengan tujuan mengetahui bagaimana langkah pemerintah setempat dan pemangku jabatan serta peran masyarakat dalam menciptakan keamanan dan kenyamanan
Bali sebagai merupakan salah satu tempat wisata andalan Indonesia. Kesiapan dan
pengembangan strategi kesiapan lokal adalah kunci untuk menangani tsunami.
2. Metodologi Penelitian Metode penelitian yang digunakan, yaitu metode penelitian kualitatif yang menerapkan
pendekatan pragmatis dalam praktik penanggulangan bencana dalam hal kesiapan
menghadapi ancaman bencana tsunami wilayah pesisir Bali. Pengumpulan data dilakukan
melalui wawancara dan studi dokumentasi terkait pengembangan kesiapsiagaan terhadap
60
bencana Tsunami di Bali. Wawancara adalah salah satu cara untuk mendapatkan informasi
dengan bertanya langsung [7]. Wawancara dilakukan kepada pihak-pihak yang melakukan
upaya peningkatan kesiapan menghadapi ancaman tsunami di Bali, antara lain, Pemerintah
Provinsi Bali, BPBD Bali, dan BMKG wilayah III Denpasar. Studi dokumentasi adalah
salah satu metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis
dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain tentang subjek
studi dokumentasi seperti catatan, foto, rekaman video atau suara [8]. Studi dokumentasi
dilakukan dengan mengkaji dokumen terkait kesiapsiagaan tsunami dalam pencegahan tsunami di Bali seperti rencana kontingensi dan dokumen perencanaan penanggulangan
bencana.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Kesiapan BPBD Pusdalops Provinsi Bali
Sistem peringatan dini hanya efektif berfungsi bila kedatangan (intensitas dan waktu) dari suatu peristiwa di suatu tempat sudah dapat diperkirakan sebelumnya. Oleh karena itu,
dibutuhkan informasi atau tool untuk mendeteksi akan terjadinya suatu peristiwa tersebut.
Keluarnya informasi tentang kondisi bahaya merupakan muara dari suatu proses analisis
data tentang sumber bencana dan sintesis dari berbagai pertimbangan. Ketepatan informasi
hanya dapat dicapai apabila kualitas analisis dan sintesis yang memicu keluarnya
informasi mempunyai ketepatan tinggi. Dengan demikian, terdapat dua bagian utama
dalam sistem peringatan dini, yaitu bagian hulu yang berupa usaha-usaha untuk mengemas
data menjadi informasi yang tepat dan bagian hilir berupa usaha agar informasi cepat
sampai kepada masyarakat.
Keberadaan BPBD Pusdalops Provinsi Bali bertujuan untuk mengintegrasikan
manajemen penanggulangan bencana di daerah yang mengemban empat fungsi, yaitu
pusat data dan informasi kebencanaan, sistem peringatan dini, pengendali operasi tanggap darurat, dan pelayanan kegawatdaruratan. Peranan dan fungsi Pusdalops diantaranya (1)
memberi peringatan dini kepada masyarakat sehingga terhindar dari segala ancaman
bencana/ keamanan, (2) pusat pengendali mobilitas masyarakat agar terhindar dari
bencana, dan (3) monitoring titik-titik rawan bencana. Sistem peringatan dini (Early
Warning System) BPBD Pusdalops Provinsi Bali memiliki sarana penunjang dan sumber
daya manusia (SDM) antara lain Server BMKG/INA TEWS dan CCTV, menara
pemantau, CCTV, workstation BMKG dan aktivasi sirine tsunami, sirine peringatan dini,
layar proyektor CCTV & LCD TV, terminal informasi digital, radio komunikasi,
workstation CCTV, SOP, dan SDM (D3 IT).
Kesiapan Pemerintah Provinsi Bali dalam menghadapi ancaman tsunami dari
wilayah pantai selatan Provinsi Bali terdiri atas:
Melakukan sosialisasi bahaya tsunami,
Memasang sirine peringatan dini pada sembilan titik di seluruh Provinsi Bali,
Menjalin kerjasama dengan French Red Cross (Palang Merah Perancis) untuk
mendirikan Crisis Centre,
Menjalin kerjasama dengan German Indonesia Tsunami Early Warning System
(GITEWS), dan
61
Menjalin kerjasama dengan pemerinah kabupaten/kota untuk memasang papan
petunjuk evakuasi.
Kesiapan yang dilakukan Pemerintah Provinsi Bali telah sesuai dalam mewujudkan
sistem peringatan dini tsunami yang efektif. Kerjasama yang dilakukan pemerintah baik
dengan French Red Cross (Palang Merah Perancis) dan German Indonesia Tsunami Early
Warning System (GITEWS) merupakan komitmen yang dilakukan oleh pemerintah demi
menghasilkan pengamatan dan analisis risiko bencana sebagai komponen dari sistem
peringatan dini. Pemerintah juga telah melakukan sosialisasi bahaya tsunami kepada masyarakat melalui program desa tangguh bencana, sosialisasi aktivasi sirine tsunami, dan
sekolah aman bencana. Pembuatan jalur evakuasi di seluruh wilayah Bali juga dilakukan
dalam rangka mempermudah proses evakuasi jika memang diperlukan.
Aktivasi sirine tsunami yang ada di Bali dilakukan pada tanggal 26 setiap bulan
dalam rangka pengawasan sirine yang ada di seluruh wilayah Provinsi Bali. Penempatan
sebaran sirine di Provinsi Bali ditunjukkan pada Gambar 1.
Gambar 1. Penempatan Sirine di Provinsi Bali
Penempatan sirine yang ada di Provinsi Bali seperti yang tertera dalam Gambar 1
belum menjangkau seluruh kawasan pantai di Bali sehingga membutuhkan tambahan
sepuluh sirine tsunami untuk dapat menjangkau seluruh wilayah pantai di Bali. Kegiatan
aktivasi sirine tsunami ini selain digunakan untuk pengecekan alat peringatan dini tsunami juga dimanfaatkan sebagai sarana sosialisasi kepada masyarakat terkait upaya mitigasi
bencana tsunami. Selain itu, Pusdalops memiliki armada dan piranti yang mendukungnya
dengan peran dan fungsinya antara lain:
62
DVB (Digital Video Broadcasting) berfungsi untuk menerima dan diseminasi
info gempa bumi dan potensi tsunami. Pusdalops PB memberikan peringatan dini
tsunami ke handphone terdaftar berupa SMS,
KOMODO (Komunikasi Multi Moda Kendali Operasi),
Mobil Komunikasi, DVB (Digital Video Broadcasting),
Sistem Informasi Kebencanaan, Monitoring CCTV, dan LED Display serta
perangkat Desiminasi Pusdalops PB BPBG, dan
Sistem Radio Komunikasi.
Penggunaan sistem radio komunikasi sebagai piranti pendukung dalam
penyelenggaraan penanggulangan bencana di Bali berfungsi jika pada saat terjadi sistem
jaringan internet tiba-tiba down. BPBD Provinsi Bali melakukan round table
menggunakan radio komunikasi sebanyak tiga kali sehari dengan BMKG untuk
memperbarui informasi terkait kebencanaan.
3.3 Kesiapan BMKG Wilayah III Denpasar
Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, Dan Geofisika Wilayah III Denpasar mempunyai
tugas melaksanakan pengamatan, pengelolaan data, prakiraan, riset, kerjasama, kalibrasi,
dan pelayanan meteorologi, klimatologi, kualitas udara, dan geofisika di wilayah Provinsi
Bali. Peraturan Kepala BMKG Kep. 015 Tahun 2014 menyatakan bahwa Balai Besar Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika mempunyai tugas melaksanakan pengamatan,
pengelolaan data, prakiraan, riset, kerjasama, kalibrasi, dan pelayanan meteorologi,
klimatologi, kualitas udara, dan geofisika. Berdasarkan peraturan tersebut upaya mitigasi
dan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh BMKG adalah memberikan peringatan dini.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang No. 31 Tahun 2009 tentang Meteorologi,
Klimatologi, dan Geofisika, BMKG melakukan pelayanan peringatan dini tsunami. Oleh
karena itu, Indonesia melalui BMKG beserta institusi terkait di bawah koordinasi
Kementerian Riset dan Teknologi telah mengembangkan teknologi, peralatan, sistem, dan
tata kelola peringatan dini tsunami sejak tahun 2005 yang dinamakan Sistem Peringatan
Dini Tsunami Indonesia atau Indonesia Tsunami Early Warning System yang disingkat
InaTEWS. InaTEWS dibangun dengan menerapkan beberapa sistem terintegrasi seperti jejaring
seismograf yang rapat dan sensitif, pembangunan sistem DART (Deep-ocean Assessment
and Reporting of Tsunamis) beserta perangkatnya seperti buoy, sistem satelit, dan tide
gauge yang ditempatkan di pelabuhan untuk mengamati karakter gelombang dan juga
kamera dengan pemantauan secara visual pada tempat-tempat dengan ketinggian tertentu.
Perangkat lain yang digunakan oleh InaTEWS adalah DSS (Decision Support System).
DSS mengumpulkan semua informasi dari kelompok sensor untuk memutuskan apakah
terjadi tsunami atau tidak.
63
Gambar 2. Desain InaTEWS
Desain InaTEWS menghasilkan produk berupa informasi gempa dan peringatan dini
tsunami seperti dalam Gambar 2. InaTEWS menggunakan sistem pemantauan darat dan
sistem pemantauan laut. Sistem pemantauan darat yang terdiri atas jaringan seismometer
broadband dan GPS. Sistem pemantauan laut (sea monitoring system) terdiri atas tide
gauges, buoy, dan CCTV. Data hasil observasi dikirimkan ke BMKG untuk diproses dan
dianalisa untuk menghasilkan informasi peringatan dini tsunami terkait daerah-daerah
yang mungkin terdampak, tingkat peringatan, dan waktu kedatangan tsunami. Ranah kerja BMKG dalam sistem peringatan dini tsunami berada dalam ranah
upstream yang berarti BMKG menjalankan fungsinya lembaga yang memberikan
pelayanan informasi melalui analisis data hasil pemantauan terkait peringatan dini
tsunami. Lembaga yang bersifat downstream berfungsi untuk menyebarluaskan informasi
(fungsi diseminasi) peringatan dini kepada masyarakat seperti BPBD, TNI, media, dan
Kominfo kepada masyarakat terpapar di kawasan pesisir pantai. Kesiapan BMKG Wilayah
III Denpasar Bali meliputi kesiapan personil dengan melakukan kerjasama dengan
universitas baik dalam maupun luar negeri dalam pengembangan InaTEWS. Personil
BMKG juga diberikan pelatihan di Pusdiklat BMKG serta terdapat sertifikasi internal
untuk setiap personilnya. Kesiapan sarana dan prasarana dalam menghadapi bencana
tsunami sudah cukup baik sesuai dengan SOP (Standar Operasional Prosedur) dalam InaTEWS. Kegiatan maintenance sarana dan prasarana meliputi beberapa kegiatan yakni
preventif (pengecekan alat), korektif (koreksi alat yang rusak), kalibrasi alat, dan
penggantian alat yang sudah tidak layak.
64
4. Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesiapan sistem peringatan dini tsunami di Bali melibatkan berbagai sektor, seperti
BPBD, Pemerintah Bali, dan BMKG. Peran dari BPBD diantaranya adalah sebagai pusat
data dan informasi kebencanaan, sistem peringatan dini, pengendali operasi tanggap
darurat, dan pelayanan kegawatdaruratan. Peran Pemerintah Provinsi Bali diantaranya
adalah menjalin kerjasama dengan berbagai lembaga kebencanaan internasional,
pemasangan sirine di Bali bekerjasama dengan pemerintah kabupaten, dan melakukan sosialisasi mitigasi bencana kepada masyarakat. Peran BMKG berkaitan dengan ancaman
Tsunami adalah menghasilkan informasi terkait kegempaan dan peringatan dini tsunami.
Ketiga lembaga tersebut telah memiliki tugas pokok, fungsi, dan sinergitas yang baik
dalam menghadapi ancaman tsunami di Bali.
BPBD telah memiliki rencana penambahan sirine tsunami di wilayah pesisir pantai
yang masih belum terjangkau oleh suara sirine yang sudah ada. Rekomendasi untuk
BMKG adalah untuk peningkatan kerjasama dalam pengembangan sensor deteksi
peringatan dini tsunami agar dapat menghasilkan informasi peringatan dini tsunami yang
lebih cepat dan akurat. Dengan adanya upaya dan tindakan yang nyata sebelum, ketika,
dan setelah bencana diharapkan mampu menciptakan image positif terhadap Bali sehingga
tercipta pariwisata yang berkelanjutan tanpa kekhawatiran terhadap bencana alam.
Ucapan Terima Kasih
Peneliti mengucapkan terimakasih atas bantuan atau dorongan dari Pemerintah Provinsi
Bali, BPBD Provinsi Bali, BMKG Wilayah III Denpasar, dan Program Studi Manajemen
Bencana Universitas Pertahanan Indonesia.
References
[1] Sari, P. L. P. (2013). Analisis Variabel-Variabel yang Mempengaruhi Pendapatan
Asli Daerah (PAD) Provinsi Bali. JINAH (Jurnal Ilmiah Akuntansi dan
Humanika. 2 (2).
[2] Kovari, I. dan Zimányi, K. 2011. Safety and Security in the Age of Global Tourism
(The changing role and conception of Safety and Security in
Tourism). APSTRACT: Applied Studies in Agribusiness and Commerce. 5(1033-2016-84147), 59.
[3] Sri, A. A. P. dan Sari, N. P. R. 2018. Dampak Pariwisata Pasca Erupsi Gunung
Agung bagi Usaha Akomodasi Masyarakat Lokal di Desa Kedewatan Ubud,
Bali. Jurnal Kepariwisataan dan Hospitalitas. 2(2), 120-135.
[4] Panuju, R. 2018. Etika Jurnalistik dan Jurnalisme Bencana pada Pemberitaan
Gunung Agung di Portal Berita Balipost.com. Jurnal Ilmu Komunikasi. 15 (2).
[5] Marwanta, B. 2014. Tsunami Di Indonesia Dan Upaya Mitigasinya. Alami, 10(2).
[6] Basher, R. 2006. Global Early Warning Systems for Natural Hazards: Systematic
and People Centred. Philosophical Transactions of The Royal Society A
Mathematical, Physical, and Engineering Sciences. 364 (1845), 2167-2182.
[7] Singarimbun, Masri dan Effendi. 1995. Metode Penelitian Survei. Jakarta (ID):
65
LP3S.
[8] Moleong, Lexy J. 2006. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung (ID): Penerbit
Rosdakarya.
66
Kesiapsiagaan Dalam Manajemen Bencana (Studi Kasus SLBN 1 Badung
Menghadapi Potensi Ancaman Bencana Gempa Bumi dan Tsunami)
Zahrotul Khumairoh1, Dewi Apriliani
1 dan Taufiq Prasetyo
1
1 Program Studi Manajemen Bencana, Fakultas Keamanan Nasional 1 Universitas Pertahanan, Kawasan IPSC Sentul, Kecamatan Citeureup, Kabupaten Bogor
16811, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak. Komunitas sekolah adalah salah satu pemangku kepentingan penting dalam kesiapsiagaan bencana alam. Komunitas ini merupakan subjek sekaligus objek dalam
bencana, maka perlu adanya upaya peningkatan kesiapsiagaan komponen fisik sekolah
(komponen struktural), seperti bangunan dan infrastruktur lainnya, dan juga kapasitas
sumber daya manusia (komponen non-struktural ). Penelitian ini terdiri dari tiga
pertanyaan utama. Pertama, bagaimana kesiapsiagaan struktural SLBN 1 Badung dalam
menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Kedua, bagaimana kesiapsiagaan non-struktural
SLBN 1 Badung dalam menghadapi ancaman gempa dan tsunami. Dan terakhir,
rekomendasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi ancaman gempa bumi dan
tsunami di SLBN 1 Badung. Penelitian ini menggunakan mix-methode sederhana yang
menggunakan pendekatan kualitatif dilengkapi dengan data kuantitatif. Berdasarkan hasil
data yang diperoleh, rekomendasi prioritas SLBN 1 Badung adalah meningkatkan kesiapsiagaan non-struktural. Penelitian ini juga menyarankan bahwa penting untuk
penelitian selanjutnya untuk melibatkan anggota komunitas sekolah lainnya seperti kepala
sekolah dan siswa agar sepenuhnya konsisten dengan Buku Panduan Penerapan Sekolah
Siaga Bencana yang dikeluarkan oleh LIPI.
Kata Kunci: Kapasitas, Kesiapsiagaan, Manajemen Bencana, SLBN
1. Pendahuluan
Gempa bumi merupakan bencana alam yang relatif sering terjadi di Indonesia akibat
interaksi lempeng tektonik dan letusan gunung berapi, di sepanjang pantai barat Sumatera
yang merupakan pertemuan lempeng Benua Asia dan Samudera Hindia; lempeng Benua
Australia dan Asia yang membentuk jalur gempa dengan ribuan titik pusat gempa dan
ratusan gunung berapi yang rawan bencana di Indonesia. Gempa bumi yang terjadi di laut
dapat mengakibatkan terjadinya tsunami (gelombang laut) terutama pada gempa yang terjadi di laut dalam yang diikuti deformasi bawah laut serta menimbulkan kerugian harta
benda dan jiwa dalam skala besar dan butuh waktu yang lama untuk melakukan
rehabilitasi dan rekonstruksi. Hal ini cukup memprihatinkan karena peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang relatif cukup singkat dapat menghancurkan bangunan dan infrastruktur
yang merupakan hasil pembangunan selama puluhan tahun [1].
67
Salah satunya adalah pada sektor pendidikan, yakni kerusakan pada bangunan, sarana
prasarana dan infrastruktur sekolah yang memberikan dampak buruk pada keberlanjutan
komunitas sekolah, baik guru, siswa dan warga sekolah lainnya. Lebih lanjut, berdasarkan
rencana nasional penanggulangan bencana Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB) tahun 2010 sampai 2014, sedikitnya terdapat 23 provinsi yang masuk dalam
kategori risiko tinggi terhadap gempa bumi di Indonesia dan lebih dari 130.000 bangunan
sekolah berpotensi terhantam gempa bumi dan juga mengancam siswa sekolah beserta
seluruh fasilitasnya. Hasil kajian yang dilakukan oleh LIPI juga menunjukkan bahwa komunitas sekolah di tujuh lokasi (Kota Bengkulu, Kabupaten Aceh Besar, Serang,
Cilacap, Sikka, Biak, dan Ternate) masih kurang siap dalam mengantisipasi bencana
gempa bumi dan tsunami [2].
Oleh karena itu, perlu untuk meningkatkan kesiapsiagaan komponen fisik sekolah
(bangunan dan infrastruktur lainnya) dan kapasitas SDM, karena komunitas sekolah
adalah salah satu pihak penting pada tahapan kesiapsiagaan dalam mengantisipasi bencana
alam. Komunitas sekolah adalah agen perubahan yang potensial untuk menyebarluaskan
pengetahuan tentang fenomena gempa dan tsunami dan memotivasi orang untuk
meningkatkan kesiapsiagaan [3]. Salah satunya adalah Sekolah Luar Biasa Negeri 1
Badung yang berlokasi di Jl. By Pass Ngurah Rai Jimbaran, Jimbaran, Kuta Selatan-Kabu,
Provinsi Badung, Bali yang telah melakukan salah satu upaya mitigasi bencana dengan pemasangan rute evakuasi bencana [4].
Berdasarkan surat edaran dari Menteri Pendidikan Nasional nomor 70A / MPN / SE /
2010 tentang permohonan kepada semua kepala daerah untuk menerapkan strategi yang
mempengaruhi pentingnya pengurangan risiko bencana di sekolah. Oleh karena itu,
diperlukan penelitian penting untuk menganalisis kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa
Negeri 1 Badung dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan tsunami dan
memberikan rekomendasi untuk upaya meningkatkan parameter kesiapsiagaan.
Rumus penelitian terdiri atas tiga pertanyaan utama. Yang pertama, bagaimana
struktur kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung dalam menghadapi ancaman
gempa dan tsunami. Yang kedua, bagaimana kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah
Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan
tsunami. Yang terakhir, apa rekomendasi untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi gempa bumi dan ancaman tsunami di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.
Tujuan penelitian ini adalah menganalisis struktur kesiapsiagaan sekolah Luar Biasa
Negeri 1 Badung dalam menghadapi potensi ancaman gempa bumi dan tsunami,
menganalisis kesiapsiagaan non-struktural Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali
dalam menghadapi potensi ancaman gempa dan tsunami; dan untuk mengidentifikasi
rekomendasi guna meningkatkan kesiapsiagaan dalam menghadapi potensi gempa bumi
dan ancaman tsunami di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali. Pengukuran serta
pengecekan kesiapsiagaan struktural dan non-struktural dalam menghadapi potensi
ancaman gempa bumi dan tsunami menggunakan parameter pedoman penerapan sekolah
aman bencana yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2013.
68
2. Metode
Penelitian ini menggunakan mix-methode dengan menggunakan pendekatan kualitatif
yang dilengkapi dengan data kuantitatif sehingga data yang diperoleh bersifat deskriptif-
analitik. Pemilihan metode ini didasarkan pada pertimbangan bahwa dalam pembahasan
penelitian akan memberikan gambaran tentang kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1
Badung, Bali dalam menghadapi potensi ancaman gempa dan tsunami. Data kuantitatif
digunakan untuk mengukur indeks kesiapsiagaan bencana berdasarkan pedoman
penerapan sekolah aman bencana yang dikeluarkan oleh LIPI pada tahun 2013. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus untuk memperoleh gambaran rinci
tentang suatu fenomena. Objek yang dipelajari dalam penelitian studi kasus dianggap
dalam menggambarkan dirinya sendiri secara mendalam, terperinci, dan lengkap untuk
mendapatkan keutuhan dalam arti bahwa data yang dikumpulkan dalam penelitian ini
dipelajari secara keseluruhan, utuh, dan terintegrasi [5].
Sifat penelitian yang sangat spesifik dari objek penelitian adalah pertimbangan utama
bagi peneliti untuk menguraikannya dengan mengeksplorasi secara mendalam. Penelitian
ini dilakukan selama empat hari dari 25-28 Februari 2019. Lokasi penelitian di Sekolah
Negeri 1 Badung didasarkan pada lokasi pantai Bali Selatan yang memiliki potensi risiko
tsunami karena adanya tabrakan antara lempeng Indo-Australia dan lempeng Eurasia [6].
Data primer diperoleh melalui wawancara dengan kepala sekolah, guru, dan siswa, sedangkan pengamatan langsung di lapangan dan hasil pengisian formulir survei oleh
kepala sekolah, guru, dan staf sekolah. Data sekunder diperoleh melalui studi literatur
tentang undang-undang, peraturan daerah, kebijakan atau peraturan sekolah, dan literatur
lain yang mendukung persiapan penelitian. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap,
yaitu: pada tahap awal peneliti mendistribusikan formulir survei untuk mengukur struktur
dan indeks kesiapsiagaan non-struktural di Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.
Keterbatasan penelitian, formulir survei tidak diberikan kepada siswa di SLBN 1
Badung. Selanjutnya peneliti melakukan pengamatan di lokasi penelitian dan menganalisis
kesiapsiagaan bencana sekolah dengan melakukan wawancara mendalam dengan
responden terpilih (kepala sekolah, guru, petugas selain guru dan siswa). Pada tahap akhir,
peneliti menghitung hasil formulir survei untuk mengukur indeks kesiapsiagaan sekolah
dan memverifikasi hasil wawancara yang telah dilakukan. Pemilihan sampel menggunakan teknik pengambilan sampel probabilitas, karena
pengambilan sampel probabilitas adalah teknik pengambilan sampel yang memberikan
peluang yang sama untuk setiap elemen (anggota) populasi untuk dipilih sebagai anggota
sampel [7]. Ukuran sampel dalam penelitian ini ditentukan dengan menggunakan rumus
Slovin. Formulir survei mengacu pada lampiran 6 (Formulir Kesiapsiagaan Non-
Struktural) dan lampiran 7 (Formulir Kesiapsiagaan Struktural) dalam panduan sekolah
aman bencana LIPI pada tahun 2013. Nilainya akan dikelompokkan ke dalam tiga tahap
nilai indeks (%): 67-100 berada di level tinggi; 34 - 66 berada di level sedang; dan 0 - 33
dalam level rendah. Nilai indeks kesiapsiagaan sekolah adalah nilai total kombinasi dari
indeks kesiapsiagaan struktural dan indeks kesiapsiagaan non-struktural.
69
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Hasil
Pengambilan data penelitian di SLBN 1 dilakukan dengan menyebarkan bentuk kuesioner
kesiapsiagaan struktural sekolah dan kesiapsiagaan non-struktural sekolah kepada 30 guru.
Formulir kuesioner yang digunakan mengacu pada Buku Panduan Penerapan Sekolah
Siaga Bencana yang dikeluarkan oleh LIPI [8]. Keterbatasan penelitian, mengambil
jumlah sampel tidak menggunakan rumus Slovin, tetapi menggunakan teori Gay dan Diehl (1992) yang menyatakan bahwa jumlah sampel minimum penelitian deskriptif adalah 10%
dari populasi, dengan minimum 30 elemen penelitian populasi, 30 elemen penelitian
kelompok kausal perbandingan dan untuk penelitian eksperimental 15 elemen per
kelompok [9]. Menurut Cohen, et. al. (2007: 101) semakin besar ukuran sampel populasi
adalah semakin baik, tetapi ada batas minimum jumlah yang harus diambil oleh peneliti,
yaitu 30 sampel.
3.1.1 Kesiapsiagaan Struktural.
Hasil Kesiapsiagaan Struktural Sekolah:
Struktur Bangunan menggunakan indikator Pondasi, Balok, Tiang, Dinding and
Atap melalui 10 pertanyaan.
Arsitektur menggunakan indikator Desain Arsitektur, Langit-langit, Pintu dan
Jendela, Ornamen Permanen, Tangga, Lantai dan Keramik melalui 12 pertanyaan.
Perabot Sekolah menggunakan indikator Peralatan Listrik, Perabot, Gambar dan
Papan, Bahan Berbahaya dan Beracun melalui 15 pertanyaan.
Peralatan Listrik menggunakan indikator Peralatan Pendukung Penempatan melalui
6 pertanyaan.
Indeks kesiapsiagaan per parameter dihitung dengan persamaan berikut:
Indeks Parameter = Jumlah Jawaban /Jumlah Maksimum Pertanyaan x 100%
Menggunakan rumus di atas untuk hasil kuesioner 30 responden guru memperoleh hasil
sebagai berikut:
70
Tabel 1. Hasil Kuesioner 30 Guru sebagai Responden
Parameter Indeks Kesiapsiagaan per parameter
Struktural (S) 74%
Arsitektural (A) 70%
Perabotan dan Isi (Pi) 67%
Peralatan Pendukung (Pp) 67%
Selanjutnya, indeks kesiapsiagaan struktur sekolah dinilai dengan persamaan berikut:
Indeks = (10/43) x indeks S + (12/43) x indeks A + (15/43) x indeks Pi + (6/43) x
indeks Pp
Indeks = (0.23 x indeks S) + (0.28 x indeks A) + (0.35 x indeks Pi) + (0.14 x indeks
Pp)
Indeks = (0.23 x 0.74) + (0.23 x 0.7) + (0.35 x 0.67) + (0.14 x 0.67)
= 0.69
Kategori kesiapsiagaan struktur sekolah ditentukan sebagai berikut:
Tabel 2. Nilai Kesiapsiagaan Indeks Kategori Sekolah Siaga Bencana berdasarkan LIPI
2013
Nilai Indeks (%) Kategori Kesiapsiagaan
67-100 Tinggi
34-66 Sedang
0-33 Rendah
Kesiapsiagaan struktural Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali tinggi (69%) dengan
perincian untuk setiap parameter sebagai berikut:
struktur bangunan memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (74%),
arsitektur bangunan memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (70%),
perabotan dan isi memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (67%), dan
peralatan pendukung lainnya memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (67%).
3.1.2 Kesiapsiagaan Non-Struktural. Hasil kesiapsiagaan non-struktural sekolah:
Karena keterbatasan penelitian, kuesioner hanya diberikan kepada guru, sedangkan
anggota komunitas sekolah lainnya (kepala sekolah dan siswa) tidak diberikan formulir kuesioner.
Pengetahuan (K) menggunakan indikator Pengetahuan Bencana, Kerentanan Fisik,
Kapasitas Sekolah, dan Sikap terhadap Risiko Bencana melalui 10 pertanyaan.
71
Rencana Tanggap Darurat (EP) menggunakan Rencana indikator untuk Tanggap
Darurat, Rencana Evakuasi Pertolongan Pertama-Keselamatan-Penyelamatan,
Kepatuhan dengan Kebutuhan Dasar, Peralatan dan Persediaan, Fasilitas Publik
Penting, Pelatihan dan Simulasi / Latihan melalui 17 pertanyaan.
Sistem Peringatan Bencana Lokal dan Tradisional (WS) menggunakan indikator
Teknologi, Instalasi, Penyebaran Peringatan dan Mekanisme melalui 8 pertanyaan.
Mobilisasi Sumber Daya (RMC) menggunakan indikator Pengaturan Kelembagaan, Komunikasi dan Koordinasi antara Pemangku Kepentingan yang Relevan, Sumber
Daya Manusia melalui 6 pertanyaan.
Indeks kesiapsiagaan per parameter dihitung dengan persamaan berikut:
Parameter Indeks = Jumlah Jawaban / Jumlah Pertanyaan Maksimal x 100%
Menggunakan rumus di atas untuk hasil kuesioner 30 responden guru memperoleh hasil
sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Kuesioner 30 Responden Guru
Parameter Indeks Kesiapsiagaan Per Parameter
Pengetahuan (K) 35%
Rencana Tanggap Darurat (EP) 77%
Sistem Peringatan Dini (WS) 56%
Mobilisasi Sumber Daya (RMC) 73%
Selanjutnya, indeks kesiapsiagaan non-struktural dinilai dengan persamaan berikut:
Total Indeks
= (10/39 x indeks K) + (17/39 x indeks EP) + (8/39 x WS indeks) + (4/39 x indeks RMC)
= (0.26 x indeks K) + (0.44 x indeks EP) + (0.2 x WS indeks) + (0.1 x
indeks RMC)
= (0.26 x 0.35) + (0.44 x 0.77) + (0.2 x 0.56) + (0.1 x 0.73)
= 0.61
Menggunakan Tabel 3 pada bagian 3.1.2, kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah Luar
Biasa Negeri 1 Badung, Bali berada dalam kategori kesiapsiagaan sedang (61%) dengan
perincian untuk setiap parameter sebagai berikut:
Pengetahuan Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang sedang (35%),
Rencana Tanggap Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (77%),
Peringatan Dini Bencana memiliki kategori kesiapsiagaan yang sedang (56%), dan
Mobilisasi Sumber Daya memiliki kategori kesiapsiagaan yang tinggi (73%).
72
Selanjutnya, nilai total indeks kesiapsiagaan bencana adalah total kombinasi dari indeks
kesiapsiagaan struktural dan nilai indeks kesiapsiagaan non-struktural yang dihitung
dengan persamaan berikut:
Indeks
Total
= (43/82 x indeks kesiapsiagaan struktural) + (39/82 x indeks
kesiapsiagaan non-struktural)
= (0,52 x indeks kesiapsiagaan struktural) + (0,48 x indeks
kesiapsiagaan non-struktural)
= (0,52 x 0,69) + (0,48 x 0,61) = 0,65
Dari perhitungan di atas, dapat disimpulkan bahwa indeks kesiapsiagaan Sekolah Luar
Biasa Negeri 1 Badung, Bali adalah sebagai berikut:
Tabel 4. Indeks Kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali
Parameter Nilai dan Kategori
Struktural 69% - Tinggi
Non-Struktural 61% - Sedang
Total 65% - Sedang
3.2 Pembahasan
3.2.1 Kesiapsiagaan Struktural. Hasil kesiapsiagaan struktural sekolah: Berdasarkan perhitungan pada poin 3.1.1, yaitu penilaian struktural kesiapsiagaan sekolah berdasarkan
parameter: struktur bangunan; arsitektur; perabot sekolah; dan peralatan pendukung,
menggunakan sekolah formula kesiapsiagaan indeks kesiapsiagaan bencana LIPI 2013.
Jadi, hasil berikut diperoleh:
Indeks Struktural (S) dengan nilai persentase 74% termasuk dalam kategori
tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan menghadapi bencana gempa bumi dan
tsunami..
Indeks Arsitektur (A) dengan nilai persentase 70% termasuk dalam kategori
tinggi dalam kesiapsiagaan bencana di sekolah yang menghadapi bencana
gempa bumi dan tsunami.
Furniture dan Content Index (Pi) dengan persentase 67% termasuk dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi
bencana gempa bumi dan tsunami.
Indeks Peralatan Pendukung (Pp) dengan nilai persentase 67% termasuk dalam
kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi
bencana gempa bumi dan tsunami.
3.2.2 Kesiapsiagaan Non-Struktural. Berdasarkan perhitungan pada poin 4.1.2, yaitu
penilaian kesiapsiagaan sekolah secara non-struktural berdasarkan parameter: a)
73
pengetahuan bencana; b) merencanakan kegiatan bencana; c) peringatan bencana; dan d)
mobilisasi sumber daya, menggunakan panduan sekolah aman bencana LIPI 2013. Jadi,
diperoleh hasil sebagai berikut:
Indeks Pengetahuan (K) dengan nilai persentase 35% termasuk dalam kategori
sedang di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi gempa
bumi dan tsunami.
Indeks Rencana Tanggap Darurat (EP) dengan nilai persentase 77% termasuk dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah siaga bencana yang menghadapi
gempa bumi dan tsunami.
Indeks Sistem Peringatan Bencana (WS) dengan nilai persentase 56% termasuk
dalam kategori sedang di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang
menghadapi gempa bumi dan tsunami.
Indeks Mobilisasi Sumberdaya (RMC) dengan nilai persentase 73% termasuk
dalam kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang
menghadapi gempa bumi dan tsunami.
Dari hasil dua jenis indeksi kesiapsiagaan, yaitu struktural dan non-struktural, indeks
kesiapsiagaan sekolah kesiapsiagaan bencana dapat dilihat sebagai total kombinasi dari
keduanya. Kemudian, hasil indeks kesiapsiagaan sekolah diperoleh sebagai berikut:
Indeks Kesiapsiagaan Sekolah Struktural dengan nilai persentase 69% termasuk dalam
kategori tinggi di sekolah-sekolah kesiapsiagaan bencana yang menghadapi gempa bumi
dan tsunami. Sementara itu, indeks Kesiapsiagaan Sekolah Non Struktural dengan nilai
persentase 61% termasuk dalam kategori sedang di sekolah siaga bencana yang
menghadapi gempa bumi dan tsunami. Dua nilai persentase diproses sebagai berikut:
Indeks Kesiapsiaagan Sekolah = 0.52 IKSS + 0.48 IKSNS
= (0.52 x 0.69) + (0.48 x 0.61)
= 0.65
Jadi, nilai indeks kesiapsiagaan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali dalam
menghadapi gempa dan tsunami adalah 65% yang termasuk dalam kategori kesiapsiagaan sedang.
3.2.3 Rekomendasi. Berdasarkan perhitungan data di atas, rekomendasi yang diberikan
oleh peneliti terkait dengan peningkatan Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung dalam
menghadapi gempa bumi dan tsunami adalah sebagai berikut:
Meningkatkan pengetahuan dan sikap, termasuk kemampuan untuk
menjelaskan dan menyebutkan jenis, sumber, penyeba, dan jenis bencana yang
ditimbulkan pasca gempa bumi, kerentanan lingkungan dan bangunan fisik
sekolah, serta memotivasi komunitas sekolah untuk mengantisipasi
kemungkinan bencana alam.
Mempertahankan penerapan rencana tanggap darurat, termasuk ketersediaan
prosedur tetap sekolah untuk keadaan darurat bencana, ketersediaan dokumen
74
cadangan dan akses ke fasilitas publik yang penting dan peningkatan simulasi
dan latihan untuk siswa, guru dan warga sekolah di sekitarnya. menghadapi
bencana gempa dan tsunami.
Meningkatkan sistem peringatan bencana termasuk akses ke informasi
peringatan bencana tradisional dan lokal, TEWS (Sistem Peringatan Dini
Tsunami), ketersediaan prosedur untuk mendistribusikan informasi peringatan
bencana.
Memelihara mobilisasi sumber daya termasuk ketersediaan tim khusus dalam menangani kondisi tanggap darurat, ketersediaan prosedur tetap dalam satu
perintah sehingga gerakan penyelamatan para korban lebih cepat dan lebih
efektif, meningkatkan kualitas dan keterampilan guru dalam kesiapsiagaan
tanggap darurat dan pengelolaan.
4. Kesimpulan dan Saran
Berdasarkan hasil data, prioritas rekomendasi dalam penelitian ini adalah untuk
meningkatkan kesiapsiagaan non-struktural dari Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung.
Terutama terkait dengan pengetahuan dan sikap termasuk kemampuan untuk menjelaskan
dan menyebutkan jenis, sumber, penyebab, dan jenis bencana yang ditimbulkan pasca
gempa bumi, kerentanan lingkungan dan bangunan fisik sekolah, dan memotivasi komunitas sekolah untuk mengantisipasi kemungkinan bencana alam. Selain itu,
rekomendasinya adalah untuk meningkatkan sistem peringatan bencana termasuk akses ke
informasi peringatan bencana tradisional dan lokal, TEWS (Sistem Peringatan Dini
Tsunami), dan ketersediaan prosedur untuk mendistribusikan informasi peringatan
bencana.
Saran untuk penelitian selanjutnya adalah untuk melibatkan anggota komunitas
sekolah lainnya seperti: kepala sekolah dan siswa, sehingga penilaian kesiapsiagaan
sekolah sesuai dengan Buku Panduan Penerapan Sekolah Siaga Bencana yang dikeluarkan
oleh LIPI dapat sepenuhnya dilaksanakan.
Ucapan Terima Kasih Penelitian ini didukung oleh Program Studi Manajemen Bencana, Universitas Pertahanan
Indonesia melalui Program KKDN 2019. Terima kasih untuk semua staf Pemerintah
Provinsi Bali, serta para guru Sekolah Luar Biasa Negeri 1 Badung, Bali.
Referensi
[1] Kementrian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional dengan Badan Koordinasi Nasional Penanganan
Bencana Republik Indonesia. 2006. Rencana Aksi Nasional Pengurangan
Risiko Bencana 2006-2009
[2] Koswara Asep and Triyono. 2011. Panduan Monitoring dan Evaluasi Sekolah Siaga Bencana. Jakarta (ID): LIPI Press.
[3] Koswara Asep and Triyono. 2011. Panduan Monitoring dan Evaluasi Sekolah
75
Siaga Bencana. Jakarta (ID): LIPI Press.
[4] Kementrian Pendidikan Indonesia. Data Sekolah Indonesia.
[5] Yunus and Hadi, Sabari. 2010. Metode Penelitian Wilayah Kontemporer.
Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
[6] Baskara Bayu, Sukarasa I Ketut, Septiadhi Ardhianto. 2017. Pemetaan Bahaya Gempa Bumi dan Potensi Alam di Bali Berdasarkan Nilai Seismisitas. Jurnal
Buletin Fisika. 18 - 1.
[7] Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan
R&D. Bandung (ID): Alfabeta.
[8] Triyono, Ranthie Bariel Putri, Asep Koswara, dan Vishnu Aditya. 2013. Panduan
Penerapan Sekolah Siaga Bencana. Jakarta (ID): Pusat Penelitian Geoteknologi
LIPI.
[9] Gay, L. R. dan Diehl, P.L. 1992. Metode Penelitian Bisnis.
76
Penerbit
Universitas Pertahanan
Kawasan IPSC Sentul Bogor Indonesia
16810
081380920299
Website: www.idu.ac.id
Provinsi Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang
memiliki daya tarik wisatawan yang sangat tinggi dan menjadi sumber devisa bagi negara. Selain itu provinsi Bali juga memiliki potensi ancaman bencana
yang tidak kalah penting untuk menjadi perhatian. Seluruh upaya manajemen
bencana di Provinsi Bali perlu didukung oleh berbagai unsur, mulai dari pemerintah, pihak swasta, akademisi, komunitas-komunitas, media, hingga
masyarakat adat yang sangat kooperatif. Selain unsure-unsur terlibat, kebijakan
pemerintah turut andil dalam mengelola sumber daya daerah untuk memitigasi
ancaman bencana, hingga pada akhirnya dapat mendukung Pertahanan Negara dalam menghadapi ancaman non militer yaitu bencana.
Upaya penanggulangan bencana dilakukan dengan penyusunan kebijakan dan koordinasi kebencanaan kepada unsur pemerintah, dunia usaha,
akademisi, komunitas, dan masyarakat. Semua unsur tersebut sangat kooperatif
dalam usaha bersama menanggulangi bencana yang dibantu oleh komunitas media yang peduli terhadap bidang kebencanaan serta membantu diseminasi
informasi kebencanaan di Provinsi Bali menjadi efektif dan efisien untuk
diakses oleh masyarakat luas. Kebijakan pemerintah yang baik dalam
penanggulangan bencana ini menjadikan masyarakat Bali terbentuk menjadi masyarakat yang paham akan bencana dan harapannya menjadi tangguh dalam
menghadapi potensi bencana yang mengancam di wilayah Provinsi Bali.