1 BAB I BANGSA INDONESIA Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa. 1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb. 1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain. Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa lain. Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain. Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk. 1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102. Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor- faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB I
BANGSA INDONESIA
Sebagai negara kebangsaan (nation state), Indonesia merupakan kumpulan dari berbagai
ikatan primordial—agama, suku, ras, bahasa, budaya, daerah, dan adat—yang berbeda satu
sama lain. Kemajemukan bangsa Indonesia dengan perbedaan-perbedaan yang ada itu
menimbulkan berbagai masalah integrasi dan konflik yang berkaitan dengan keberadaan dasar
dan ideologi bangsa yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai pengikat bangsa, faktor-faktor
pemersatu bangsa lainnya, serta jati diri bangsa.
1. Pengertian Bangsa dan Suku Bangsa
Secara konseptual, yang dimaksud dengan bangsa adalah sekelompok masyarakat
yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
Contoh: Bangsa Indonesia, India, dsb.1 Sekelompok masyarakat yang membentuk suatu
bangsa, sebagaimana definisi bangsa tersebut tidaklah sesederhana itu. Suatu bangsa
terbentuk melalui suatu proses perjalanan sejarah, yang berbeda dengan bangsa lain.
Keberadaan suatu bangsa pun sering kali dipengaruhi oleh interaksinya dengan bangsa-bangsa
lain.
Sebagai suatu bangsa, Indonesia mempunyai ciri atau corak yang khas. Ciri khas itu
muncul karena latar belakang sejarah pembentukannya yang berbeda dengan bangsa lain.
Salah satu ciri khas bangsa Indonesia yang menonjol adalah bahwa bangsa Indonesia dibentuk
oleh kesatuan dari berbagai suku bangsa sehingga disebut bangsa yang majemuk.
1 Pusat Bahasa, Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta, 2002), hlm. 102.
Setelah membaca bab ini mahasiswa mampu memahami konsep bangsa
dan membangun sikap terbuka dan kritis terhadap kemajemukan bangsa
Indonesia dalam hubungannya dengan masalah integrasi, konflik, faktor-
faktor pemersatu bangsa, serta jati diri bangsa.
2
Mengenai pengertian konsep suku bangsa, Koentjaraningrat memberikan penjelasan
sebagai berikut. Tiap kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat yang dapat berwujud
sebagai komunitas desa, kota, kelompok kekerabatan, atau kelompok adat lainnya,
menampilkan corak khas tertentu yang terutama dilihat oleh orang luar yang bukan warga
masyarakat bersangkutan. Corak khas tersebut dapat dilihat pada unsur-unsur kebudayaan
yang ada pada komunitas itu, misalnya hasil kebudayaan fisik dan pranata-pranata yang ada
pada pola sosial khusus. Kekhasan corak kebudayaan pada suatu masyarakat itu yang
membedakannya dengan masyarakat lainnya. Dalam etnografi (deskripsi atau tulisan tentang
bangsa-bangsa), suatu kebudayaan dengan corak khas itu dinamakan suku bangsa atau
kelompok etnik (ethnic group).
Di antara kedua istilah di atas —suku bangsa dan kelompok etnik—istilah yang lebih
tepat bagi kelompok masyarakat dengan corak yang khas tersebut adalah suku bangsa, bukan
kelompok etnik karena suku bangsa merupakan golongan sosial bukan kelompok sosial.
Golongan sosial dan kelompok sosial merupakan dua konsep mengenai kesatuan-kesatuan
sosial atau unsur-unsur masyarakat. Kedua konsep itu mempunyai pengertian yang berbeda.
Golongan sosial merupakan suatu kesatuan manusia yang ditandai oleh suatu ciri tertentu,
yang mempunyai ikatan identitas sosial. Kelompok sosial merupakan suatu masyarakat karena
memenuhi syarat-syaratnya yaitu adanya sistem interaksi antara para anggota, adat-istiadat
serta sistem norma yang mengatur interaksi itu, kontinuitas, serta adanya rasa identitas yang
mempersatukan semua anggota tadi. Di samping ketiga ciri tadi, suatu kesatuan manusia yang
disebut kelompok juga mempunyai ciri tambahan yaitu organisasi dan sistem kepemimpinan
dan selalu tampak sebagai kesatuan-kesatuan dari individu-individu yang pada masa-masa
tertentu, secara berulang, berkumpul dan kemudian bubar lagi.
Suku bangsa sebagai golongan sosial adalah golongan manusia yang terikat oleh
identitas dan kesadaran akan “kesatuan kebudayaan”. Kesadaran dan identitas itu sering kali
dikuatkan pula oleh kesatuan bahasa. “Kesatuan kebudayaan” tersebut bukan ditentukan oleh
pihak luar, misalnya ahli antropologi, ahli kebudayaan, atau ahli lainnya, dengan metode-
metode analisis ilmiah, melainkan oleh warga kebudayaan itu sendiri.
Contoh kebudayaan suku bangsa yang diuraikan di atas ialah kebudayaan Sunda yang
merupakan suatu kesatuan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan Jawa atau Batak.
Kesatuan kebudayaan Sunda itu bukan ditentukan oleh pihak luar, melainkan karena orang-
orang Sunda sadar bahwa di antara mereka ada keseragaman mengenai kebudayaan mereka,
3
yang mempunyai kepribadian dan identitas khusus, yang berbeda dengan kebudayaan lain.
Apalagi adanya bahasa Sunda, yang berbeda dengan bahasa Jawa atau Batak, menyebabkan
semakin tingginya kesadaran akan kepribadian khusus tadi. (Koentjaraningrat, 2002: 263—
266.)
Menurut Suparlan, suku bangsa merupakan kategori atau golongan sosial yang
askriptif yaitu keanggotaan dalam suku bangsa tersebut diperoleh bersama dengan kelahiran,
yang mengacu kepada asal orang tua yang melahirkan dan asal daerah tempat seseorang
dilahirkan. Sebagai golongan sosial, suku bangsa terwujud sebagai perorangan atau individu
dan kelompok. Sebagai kelompok, suku bangsa terwujud sebagai keluarga, komuniti,
masyarakat, atau juga berupa perkumpulan suku bangsa. Sebagai kelompok, suku bangsa
mempunyai ciri-ciri berikut.
1. Suku bangsa merupakan satuan kehidupan yang secara biologi mampu berkembang biak
dan lestari, yaitu dengan adanya keluarga yang dibentuk melalui perkawinan.
2. Suku bangsa mempunyai kebudayaan bersama yang merupakan pedoman bagi kehidupan
mereka, dan secara umum berbeda dengan kelompok suku bangsa lain.
3. Keanggotaan di dalam suku bangsa bercorak askriptif.
Keanggotaan seseorang di dalam sebuah suku bangsa yang bercorak askpritif berbeda
dari keanggotaan seseorang di dalam sebuah kelas sosial atau kelompok profesi yang
coraknya diperoleh melalui prestasi kerja atau usaha. Keanggotaan seseorang di dalam suatu
suku bangsa adalah keanggotaan terus-menerus atau untuk selamanya, sedangkan
keanggotaan di dalam kelas sosial atau kelompok profesi akan hilang pada waktu yang
bersangkutan tidak lagi mampu menunjukkan kemampuan ekonomi yang menjadi ciri-ciri
dari kelas sosial yang di dalamnya dia tergolong atau pada waktu seseorang itu tidak lagi
mengerjakan profesi yang selama ini ditekuninya. (Suparlan, 2005: 3—6.)
Sebagai makhluk sosial, setiap orang mempunyai lebih dari satu jati diri atau identitas
diri. Sebagai bagian dari bangsa Indonesia maka jati diri seseorang merupakan jati diri bangsa
Indonesia. Mengingat bangsa Indonesia merupakan bangsa yang didukung oleh kesatuan dari
aneka suku bangsa, maka diperlukan pemahaman terhadap suku-suku bangsa tersebut. Corak
jati diri atau identitas diri bangsa Indonesia sangat ditentukan oleh jati diri suku-suku bangsa
pendukung bangsa Indonesia. Jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan termasuk salah satu
di antara jati diri yang dapat menjadi jati diri utama, atau dapat juga menjadi jati diri yang
menempel dan memperkuat jati diri utama seseorang. Oleh karena itu interaksi antar-suku
4
bangsa, yang masing-masing mempunyai corak jati diri yang berbeda itu, perlu pula
dilakukan dengan tetap mengedepankan jati diri sebagai bangsa Indonesia. Permasalahan
bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk berkaitan dengan interaksi antar-suku bangsa
akan diuraikan lebih lanjut pada sub-bab mengenai masyarakat majemuk bangsa Indonesia.
2. Indonesia Bangsa yang Majemuk
Menurut Haviland, masyarakat majemuk adalah masyarakat yang memiliki
keberagaman pola-pola kebudayaan (societies that have a diversity of cultural patterns)
(Haviland, 2000: 386). Lebih lanjut ia mengemukakan bahwa suatu masyarakat yang
majemuk akan melahirkan kebudayaan majemuk, yang merupakan interaksi sosial dan politik
dari orang-orang yang cara hidup dan cara berpikirnya berbeda dalam suatu masyarakat
(Haviland, 2000: 805).
Yang dimaksud dengan bangsa, menurut kamus istilah antropologi, adalah kumpulan
manusia yang biasanya terikat karena kesatuan bahasa dan kebudayaan dalam arti umum, dan
biasanya menempati wilayah tertentu di muka bumi. Pengertian bangsa ini tidak jauh berbeda
dengan yang dikemukakan oleh Haviland yaitu suatu komunitas orang-orang yang
memandang dirinya sebagai “kesatuan manusia” yang didasari oleh nenek moyang, sejarah,
masyarakat, institusi, ideologi, bahasa, wilayah, dan sering kali kepercayaan yang sama
(Haviland, 2000: 664).
a. Kemajemukan Bangsa Indonesia sebagai Realitas
Di samping pengertian bangsa dalam arti kenegaraan tersebut di atas, bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai bagian lagi yang disebut sebagai suku bangsa. Berbagai suku
bangsa tersebut ialah suku bangsa Jawa, Sunda, Minangkabau, Batak, Aceh, dan lain-lain.
Masing-masing suku bangsa itu mempunyai kebudayaan sendiri, yang berbeda dengan suku
bangsa lainnya, yaitu berbeda bahasa, adat-istiadat, cara hidup, dan sebagainya.
Sesungguhnya suku bangsa itu masing-masing merupakan satu bangsa dalam arti etnik, yaitu
kebulatan kemasyarakatan yang mempunyai kebudayaan sendiri, karena berasal dari satu
keturunan.
Indonesia merupakan bangsa yang majemuk dengan aneka suku bangsa yang
membentuk satu kesatuan yaitu bangsa Indonesia. Berdasarkan data sensus penduduk tahun
5
2010 dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah suku bangsa di Indonesia adalah sebanyak
1.128 suku bangsa, dengan jumlah penduduk keseluruhannya sebanyak 237.556.363 orang, dan
dengan luas wilayahnya sekitar 1.910.931 km2.
2
Menurut Suparlan, Indonesia adalah sebuah masyarakat yang terdiri atas masyarakat-
masyarakat suku bangsa yang secara bersama-sama mewujudkan diri sebagai satu bangsa atau
nasion, yaitu bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Indonesia dikatakan sebagai sebuah
masyarakat yang majemuk karena mengenal tiga sistem yang digunakan sebagai acuan atau
pedoman di dalam kehidupan warga masyarakatnya. Sistem-sistem itu adalah 1) sistem
nasional, 2) sistem suku bangsa, dan 3) sistem tempat-tempat umum. Sebagai sebuah bangsa,
masyarakat Indonesia hidup dalam sebuah satuan politik yaitu sebuah negara kesatuan yang
menempati sebuah wilayah yang dinamakan Negara Republik Indonesia. Sebagai sebuah
masyarakat yang terdiri atas sejumlah suku bangsa, hubungan-hubungan sosial di antara
warga suku bangsa yang berbeda itu lazim berlangsung di tempat-tempat umum (pasar,
tempat-tempat hiburan, kegiatan-kegiatan sosial bersama) yang menjadikan fungsi tempat-
tempat umum tersebut menjadi penting untuk berinteraksi. (Suparlan, 2005: 54—60.)
Aneka suku bangsa yang terdapat dalam Negara Republik Indonesia adalah sama
banyak jumlahnya dengan bahasa-bahasa mereka, yang disebut bahasa daerah (Loebis, 1979:
10—11). Kemajemukan bangsa Indonesia merupakan suatu realita yang tidak dapat diingkari.
Oleh karena itu, aneka suku bangsa yang ada perlu disikapi dengan kesadaran akan Indonesia
sebagai bangsa yang satu.
Bentuk pluraritas bangsa Indonesia setidaknya dapat dilihat dalam dua macam yaitu 1)
pluralitas horizontal, misalnya keberagaman etnis, agama dan bahasa, dan 2) pluralitas
vertikal, misalnya keanekaragaman profesi, tingkat ekonomi, dan pendidikan. Di samping itu,
bentuk pluralitas bangsa Indonesia dapat pula dilihat dari keberagaman kelompok, lapisan,
dan golongan (meskipun substansinya sama dengan bentuk pluralitas yang disebutkan
terdahulu). Keberagaman kelompok berkaitan antara lain dengan keberagaman kelompok
etnik, afiliasi politik, dan agama yang dianut.
2 Rusman Heriawan, Kepala BPS, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI DPR RI, Rabu tanggal 3
Februari 2010.
6
b. Masalah-Masalah Terkait Pluralitas Bangsa Indonesia
Konsekuensi dari pluralitas atau heterogenitas masyarakat Indonesia adalah potensi
terjadinya konflik atau integrasi. Konflik berpotensi terjadi apabila terdapat cara pandang
tertentu seperti sikap etnosentrisme atau primordialisme, yang diwujudkan antara lain dalam
bentuk stereotip etnik pada suku bangsa lain. Di sisi lain integrasi bangsa dapat didorong oleh
aspek-aspek seperti pengalaman sejarah yang sama, tujuan yang sama, bahasa dan simbol-
simbol yang sama sebagai identitas kebangsaan.
Mengapa kemajemukan masyarakat menjadi salah satu sebab munculnya persoalan
konflik atau masalah integrasi bangsa di Indonesia? Hal ini dapat dijelaskan dengan
menunjukkan bahwa keberagaman suku bangsa di Indonesia menimbulkan beberapa
konsekuensi ketika anggota masyarakat dari berbagai suku bangsa itu berinteraksi satu sama
lain. Dalam interaksi antar-anggota masyarakat yang berbeda suku bangsa itu akan muncul
jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan masing-masing yang diakui oleh anggota
masyarakat dari suatu suku bangsa maupun oleh anggota masyarakat suku bangsa lainnya
dalam interaksi yang terjadi. Acuan jati diri suku bangsa adalah kebudayaan suku bangsa
yang terwujud dalam bentuk atribut-atribut yang menjadi ciri-ciri dari suku bangsa masing-
masing pelaku dalam suatu interaksi.
Kebudayaan yang dimiliki oleh suatu keluarga atau kelompok kerabat pada dasarnya
adalah kebudayaan suku bangsa. Sebuah masyarakat yang anggota-anggotanya secara
langsung atau tidak langsung berasal dari satu keturunan yang sama, atau yang selama
beberapa generasi menempati suatu wilayah, adalah sebuah masyarakat suku bangsa.
Masyarakat suku bangsa ini, sama halnya dengan keluarga atau kelompok kekerabatan, adalah
sebuah masyarakat suku bangsa dengan kebudayaan suku bangsa.
Pada masyarakat suku bangsa, kebudayaan suku bangsa menjadi sebuah acuan utama
dalam menghadapi lingkungan sosial budaya dari masyarakat tersebut. Dalam masyarakat
luas yang heterogen atau majemuk, kebudayaan masing-masing suku bangsa berisikan
keyakinan-keyakinan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa dan mencakup juga pengetahuan
mengenai diri atau suku bangsa sendiri yang berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan
atau pertentangan dengan suku bangsa lainnya itu—secara sadar atau tidak sadar—
memunculkan keberadaan jati diri suku bangsa sendiri dan jati diri suku-suku bangsa lainnya.
Pengetahuan mengenai suku bangsa sendiri dan suku-suku bangsa lainnya yang hidup
bersama-sama dalam sebuah masyarakat akan memunculkan keyakinan-keyakinan mengenai
7
kebenaran yang subjektif terkait dengan pengetahuan mengenai ciri-ciri suku-suku bangsa
lainnya itu. Pengetahuan anggota masyarakat suatu suku bangsa terhadap suatu suku bangsa
lainnya berisikan konsep-konsep yang sering kali digunakan sebagai acuan dalam
menghadapi anggota-anggota suku-suku bangsa lainnya itu. Konsep-konsep ini disebut
stereotip (stereotype), dan stereotip dapat berkembang menjadi prasangka (prejudice).
Sebuah stereotip mengenai sesuatu suku bangsa biasanya muncul dari pengalaman
seseorang atau sejumlah orang dalam berhubungan dengan para pelaku dari suku bangsa itu.
Dari sejumlah pengalaman yang terbatas itu, yang dipahami dengan mengacu pada
kebudayaannya, muncullah pengetahuan yang diyakini kebenarannya dan menjadi bagian dari
kebudayaan suku bangsa tertentu, yaitu pengetahuan mengenai ciri-ciri suku bangsa itu.
Pengetahuan yang dipunyai oleh seseorang atau sejumlah anggota masyarakat suku bangsa
mengenai sesuatu suku bangsa tersebut kemudian disebarluaskan kepada sesama anggota
masyarakat sehingga pengetahuan yang sifatnya terbatas mengenai ciri-ciri sesuatu suku
bangsa tersebut menjadi sebuah pengetahuan yang bersifat umum dan baku yang diyakini
kebenarannya. Padahal, sebenarnya, pengetahuan itu amat terbatas dan subjektif karena
berisikan interpretasi dari pengalaman si pelaku sendiri yang terbatas jumlah dan ruang
lingkupnya tetapi kemudian digeneralisasi sebagai ciri-ciri dari sesuatu suku bangsa tersebut.
Demikianlah pengetahuan itu disebut stereotip. (Suparlan, 2005: 3—6.)
Berkaitan dengan permasalahan masyarakat Indonesia yang majemuk, Jatiman
mengemukakan bahwa akar dari bangsa Indonesia adalah satuan sosial atau kelompok yang
berbeda-beda dalam suku bangsa, agama dan ras (SARA). Oleh sebab itulah maka
permasalahan integrasi nasional berkaitan dengan konflik dalam hal SARA. Namun lebih jauh
dikemukakan bahwa permasalahan yang sesungguhnya bukan hanya itu melainkan juga
kesepakatan bangsa tentang keberadaan Pancasila dan UUD 1945 sebagai cita-cita, mengingat
bahwa integrasi bangsa Indonesia dilandasi oleh kesamaan nasib dan kesamaan cita yang
kemudian secara konkret dituangkan dalam Pancasila dan UUD 1945.
Kemajemukan masyarakat Indonesia dengan keberagaman kelompok, lapisan dan
golongan melahirkan keberagaman kebudayaan pula. Kebudayaan yang beragam itu
menyebabkan sistem hukum yang ada juga beragam, di samping hukum negara dan hukum
internasional. Kemajemukan budaya melahirkan kemajemukan hukum, mengingat hukum
merupakan aspek kebudayaan yang memiliki fungsi sebagai pedoman bertingkah laku dan
fungsi kontrol sosial. Hukum merupakan aturan yang menjadi pedoman hidup seseorang atau
8
suatu masyarakat. Aturan tersebut antara lain adalah aturan adat, aturan agama, dan aturan
nasional.
Aturan adat ialah orientasi nilai, atau norma/pedoman hidup yang mengatur
bagaimana masyarakat adat berperilaku. Orientasi nilai ini sangat ditentukan oleh pranata-
pranata primordial dan ikatan kekerabatan yang dijaga melalui mitos-mitos lama, yaitu
persamaan nenek moyang, persilangan darah, dan daerah asal. Sebagai contoh, di Maluku
Tengah ada aturan adat yang dinamakan pela, yakni kewajiban-kewajiban yang oleh orang-
orang Maluku Tengah diakui dan harus dipenuhi berdasarkan perjanjian di antara nenek
moyang mereka di masa lalu. Perjanjian itu biasanya dibuat antara dua klen atau negeri, yang
di dalamnya ditentukan bahwa para warga klen atau negeri itu dan keturunannya akan selalu
saling membantu dan mereka tidak boleh mengadakan hubungan perkawinan. Aturan adat
hanya dapat hidup pada perangkat sosial yang paling dasar, yaitu klen (clan), seperti suku di
Minang, marga di Tapanuli, dan soa di Maluku Tengah (Ihromi, 1986: 4—7).
Aturan agama tidak ditentukan oleh pranata kekerabatan, melainkan oleh kesamaan
keyakinan religius yang melintasi dan meniadakan perbedaan asal-usul, bahkan ras dan
golongan.
Aturan nasional merupakan produk dari pranata politik nasional. Biasanya aturan ini
dikembangkan dalam bentuk produk hukum formal yang mencakup masalah ekonomi, sosial,
politik dan budaya, misalnya kebijakan politik, kebijakan ekonomi, dan peraturan perundang-
undangan.
Masyarakat memiliki tingkat kepatuhan yang berbeda-beda kepada ketiga orientasi
nilai tersebut. Hal ini disebabkan mobilitas sosial yang berbeda di dalam seting persekutuan
hidup tertentu. Ketiga pedoman perilaku di atas merupakan pemberi dasar kehidupan kesatuan
bangsa dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Ketiganya juga menjadi pertimbangan utama
dalam sistem pengelolaan konflik.
Masalah integrasi dan konflik merupakan konsekuensi dari suatu masyarakat yang
majemuk. Hal ini sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor pemersatu bangsa Indonesia
sebagaimana diuraikan berikut ini.
3. Faktor-faktor Pemersatu Bangsa Indonesia
Ada beberapa faktor yang dapat dijadikan perekat atau pemersatu bangsa, antara lain:
1) latar belakang sejarah bangsa, 2) Pancasila dan UUD 1945, 3) simbol-simbol atau
9
lambang-lambang persatuan bangsa, dan 4) kebudayaan nasional. Faktor-faktor itu tidak
berdiri sendiri-sendiri melainkan saling terkait satu sama lain sebagai landasan bagi
tumbuhnya jati diri bangsa. Di samping itu, keberadaan faktor-faktor itu perlu selalu dijaga
untuk dapat tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
a. Latar Belakang Sejarah Bangsa Indonesia
Terbentuknya Negara Indonesia (state building) terjadi melalui suatu proses panjang
sejarah pembentukan Bangsa Indonesia (nation building) terlebih dahulu. Sebagaimana telah
dikemukakan, Indonesia merupakan kumpulan suku bangsa dalam satu kesatuan, yaitu bangsa
Indonesia, yang mempunyai bahasa kesatuan, yaitu bahasa Indonesia, dan satu negara, yaitu
negara Republik Indonesia. Kata bangsa di sini ialah bangsa dalam arti politis (kenegaraan),
yaitu sebagai pendukung dari negara.
Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia secara garis besar diawali dengan
timbulnya kesadaran rakyat untuk menjadi bangsa. Bangsa Indonesia yang terbentuk itu
berusaha dengan kuat, berjuang membentuk Negara Indonesia merdeka. Setelah merdeka,
seluruh rakyat Indonesia yang berada di dalam negara Indonesia berjuang untuk mengisi
kemerdekaannya dengan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan rakyatnya (Simbolon,
1995: xviii—xix).
Dalam proses perjalanan bangsa Indonesia yang berjuang untuk menjadi bangsa yang
merdeka dan kemudian membangun bangsanya, dilakukan upaya-upaya untuk mencapai
keseimbangan antara kepentingan masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain
pihak. Keseimbangan tersebut diwujudkan dalam bentuk lembaga atau pranata (institutions)
yang merupakan aturan-aturan, baik yang formal seperti undang-undang atau peraturan,
maupun yang informal seperti adat, kebiasaan, dan tata krama. Dalam hal ini lembaga
berfungsi sebagai pengatur hubungan antarmanusia. Lembaga dengan aturan-aturan di
dalamnya itu terdapat di setiap kehidupan kelompok masyarakat.
Berbeda dengan istilah “lembaga” (dalam arti sebagai institusi, organisasi atau
wadah), “pranata” adalah suatu sistem norma khusus yang menata suatu rangkaian tindakan
berpola mantap guna memenuhi suatu keperluan khusus dari manusia dalam kehidupan
masyarakat. Lembaga (institute) adalah badan atau organisasi yang melaksanakan aktivitas
itu. Dalam menjalankan kehidupannya, individu-individu dalam suatu masyarakat banyak
melakukan tindakan dalam berinteraksi antara yang satu dengan yang lainnya. Di antara
10
semua tindakannya yang berpola tadi, ada yang merupakan tindakan-tindakan yang
dilakukannya menurut pola-pola yang tidak resmi, dan ada yang menurut pola-pola yang
resmi. Sistem-sistem yang menjadi wahana yang memungkinkan warga masyarakat itu
berinteraksi menurut pola-pola resmi, dalam ilmu sosiologi dan antropologi disebut pranata
(bahasa Inggris institution), bukan lembaga (institute) (Koentjaraningrat, 2002: 162—171).
Pranata yang terkait dengan rangkaian upaya mencapai keseimbangan antara kepentingan
masyarakat di satu pihak dan kekuasaan (negara) di lain pihak selalu ada di setiap masyarakat,
baik pada kondisi masyarakat yang masih sederhana maupun yang sudah kompleks.
Pranata atau lembaga dalam rangkaian upaya tersebut di atas ada di setiap tahap
pembentukan bangsa Indonesia, yang kemudian dalam tahap selanjutnya akan membentuk
negara Indonesia. Tahap awal pembentukan bangsa Indonesia dimulai dengan tahap
persebaran penduduk ke Indonesia pada masa prasejarah. Tahap berikutnya—secara berturut-
turut— ialah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha, kerajaan-kerajaan Islam, kedatangan Portugis,
pendudukan VOC dan penjajahan Belanda, pendudukan Jepang, dan masa kemerdekaan.
Dalam sejarah persebaran penduduk ke Indonesia, berdasarkan penelitian terhadap
fosil-fosil yang ditemukan antara lain di beberapa desa di daerah lembah Bengawan Solo,
ternyata manusia Indonesia tertua sudah ada kira-kira satu juta tahun yang lalu. Waktu itu
dataran Sunda masih merupakan daratan, Asia Tenggara merupakan bagian benua dan bagian
kepulauan yang masih bersambung menjadi satu. Persebaran manusia yang masuk ke
Indonesia merupakan manusia dengan ciri-ciri Austro-Melanosoid (ciri-ciri ras penduduk
pribumi Australia, sebelum orang kulit putih menduduki benua itu) yang menyebar ke Papua.
Ketika itu Papua masih menjadi satu dengan benua Australia, dan terpisah ketika jaman es
keempat berakhir. Selain di Papua, manusia Austro-Melanosoid juga berada di Jawa,
Sumatera, dan Sulawesi Selatan.
Di samping pengaruh dari ras Austro-Melanosoid, manusia Indonesia juga
dipengaruhi oleh ras Mongoloid. Ras Mongoloid berasal dari Asia Timur yang menyebar ke
selatan melalui kepulauan Ryukyu, Taiwan, Filipina, Sangir, dan masuk ke Sulawesi (sampai
ke Sulawesi Selatan). Mengingat manusia Austro-Melanosoid juga masuk sampai ke Sulawesi
Selatan, maka daerah Sulawesi Selatan dapat dianggap sebagai tempat perpaduan antara
berbagai macam pengaruh kebudayaan dan percampuran antara berbagai ras manusia, yang
datang dari berbagai tempat (Koentjaraningrat, 1981: 2—20).