BUKU AJAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL Planning Group 1. Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS. 2. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum. 3. Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum. 4. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH. 5. Made Maharta Yasa, SH., MH. 6. A.A. Sri Utari, SH. MH. 7. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH. 8. I Made Budi Arsika, SH., LL.M. 9. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M. 10. I Gede Putra Ariana, SH., MKn. 11. Cok. Istri Diah Widyantari Pradnya Dewi, SH., MH. 12. Komang Widiana Purnawan, SH., MH. 13. Putu Aras Samsithawrati, SH., LL.M. BAGIAN HUKUM INTERNASIONAL FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2016
49
Embed
BUKU AJAR HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL ......Materi kuliah terdiri dari sejumlah pokok bahasan dan sub pokok bahasan, yang diorganisir sebagai berikut : A. Pendahuluan 1. Peristilahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BUKU AJAR
HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL
Planning Group
1. Prof. Dr. I Made Pasek Diantha, SH., MS.
2. Prof. Dr. Ida Bagus Wyasa Putra, SH. MHum.
3. Dr. Putu Tuny Cakabawa Landra, SH., M. Hum.
4. I Gede Pasek Eka Wisanjaya, SH., MH.
5. Made Maharta Yasa, SH., MH.
6. A.A. Sri Utari, SH. MH.
7. Ida Bagus Erwin Ranawijaya, SH., MH.
8. I Made Budi Arsika, SH., LL.M.
9. Made Suksma Prijandhini Devi Salain, SH., MH., LL.M.
g. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h.91-96.
h. Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional,
Edisi Kedua, Cetakan ke-1, PT. Alumni, Bandung, 2003, h. 45-54.
i. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h. 100-
135.
j. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 18-26, h. 93-210.
k. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.24-66.
l. Shaw, Malcolm N., International Law, Fifth Edition, Cambridge University
Press, Cambridge, 2003, p. 821-831.
PERTEMUAN VI
TUTORIAL KETIGA
Task mengenai Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan
Mulai Berlakunya Perjanjian Internasional
Study Task
1. Jelaskan apakah Badan Usaha Milik Negara memiliki kapasitas untuk membuat
perjanjian internasional?
2. Jelaskan bagaimana kedudukan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam
Pembentukan Sister City dan Sister Province!
3. Jelaskan mengapa sejumlah perjanjian internasional melarang dilakukannya
reservasi?
Bahan Pustaka:
a. Undang-Undang Nomor 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri.
b. Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
d. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 1, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2002, h. 18-26, h. 93-210.
e. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.101-116.
PERTEMUAN VII
PERKULIAHAN KEEMPAT
Kewajiban untuk Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran,
Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional
Pendahuluan
Melanjutkan pengetahuan yang telah diberikan pada perkuliahan-perkuliahan
sebelumnya, perkuliahan pada sesi ini akan memfokuskan pada asas-asas yang
melandasi pelaksanaan perjanjian internasional. Selain itu, akan dibahas pula aspek-
aspek teknis sehubungan dengan metode penafsiran, hak dan kewajiban pihak
ketiga, dan proses amandemen dan modifikasi perjanjian internasional.
Pokok Bahasan:
A. Asas Pacta Sunt Servanda
B. Asas Non-Retroaktif
C. Penafsiran
D. Pihak Ketiga dalam Perjanjian Internasional
E. Amandemen dan Modifikasi
Uraian Pokok Bahasan
Pada prinsipnya, setiap instrumen hukum memuat kewajiban (hukum)
kepada para pihak untuk melaksanakan. Berkaitan dengan perjanjian internasional,
Asas Pacta Sunt Servanda tertuang secara eksplisit pada Article 26 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969 yang menentukan bahwa setiap
perjanjian (internasional) yang berlaku adalah mengikat para pihak dalam perjanjian
(internasional) tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik.15
Sebagaimana halnya keberlakuan hukum nasional yang secara umum tidak
dapat diberlakukan surut, perjanjian internasional juga menghormati asas non
retroaktif. Hal ini tertuang di dalam Article 28 Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969 yang pada dasarnya tidak menghendaki suatu perjanjian internasional
diberlakukan surut, baik bagi seluruh negara peserta maupun bagi satu atau
beberapa negara Peserta saja.16
Rumusan ketentuan yang tertuang di salam suatu perjanjian internasional
tentu memiliki potensi interpretasi yang beragam, yang tidak jarang menyulut
15 Dimodifikasi dari Terjemahan atas Article 26 Vienna Convention on the Law of
the Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 83. 16 Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 300.
dimulainya sengketa. Sugeng Istanto mengemukakan beberapa prinsip yang
mendasari cara penafsiran perjanjian internasional, yakni; Penafsiran Gramatikal
dan Kehendak Pihak Berjanji; Penafsiran Menurut Objek dan Konteks Perjanjian,
Penafsiran berdasarkan Pengertian yang Masuk Akal dan Konsisten, Penafsiran
berdasarkan Prinsip Efektifitas, Penggunaan Bahan Ekstrinsik, dan Perjanjian
Internasional Multilingual.17
Dalam hukum Romawi dikenal asas ‘pacta tertiis nec nocent nec prosunt’
yang bermakna bahwa suatu perjanjian tidak memberi hak dan kewajiban pada
pihak ketiga, yang apabila asas dilekatkan pada konteks perjanjian internasional
dapat dimaknai bahwa suatu perjanjian internasional tidak memberi hak dan
kewajiban pada negara bukan pihak atau negara yang tidak meratifikasi perjanjian
tersebut. Substansi asas ini termaktub secara jelas di dalam Article 34 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969. Kendatipun demikian, perkecualian
terhadap ketentuan ini justru diatur di dalam Article 35 dan 36 konvensi tersebut
yang memungkinkan adanya Perjanjian Internasional yang membebankan
kewajiban bagi Negara Ketiga dan Perjanjian Internasional yang memberikan hak
kepada Negara Ketiga.
Seperti halnya hukum yang senantiasa perlu mengikuti perkembangan
jaman, demikian pula perjanjian internasional yang perlu fleksibel dalam
penerapannya. Dalam rangka mengakomodir kepentingan para pihak, setiap
perjanjian internasional pada umumnya membuka ruang bagi sejumlah perubahan
atas ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian. Hal ini dikenal dengan istilah
amandemen dan modifikasi. Amandemen atas perjanjian internasional dapat
diartikan sebagai tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut kepentingan semua pihak, sedangkan modifikasi
merupakan tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut beberapa pihak tertentu saja tanpa mempengaruh
pihak-pihak lainnya.18
Penutup
Asas Pacta Sunt Servanda menentukan bahwa setiap perjanjian
(internasional) yang berlaku adalah mengikat para pihak dalam perjanjian
17 Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h. 96-99 18 Parthiana, I Wayan, (Bag: 2), Op.Cit, h. 329-330.
(internasional) tersebut dan harus dilaksanakan oleh mereka dengan itikad baik.
Perjanjian internasional juga menghormati asas non retroaktif yang pada dasarnya
tidak menghendaki suatu perjanjian internasional diberlakukan surut, baik bagi
seluruh negara peserta maupun bagi satu atau beberapa negara Peserta saja.
Perjanjian internasional mengenal beberapa prinsip yang mendasari cara
penafsiran perjanjian internasional. Secara teoritik dikenal Penafsiran Gramatikal
dan Kehendak Pihak Berjanji; Penafsiran Menurut Objek dan Konteks Perjanjian,
Penafsiran berdasarkan Pengertian yang Masuk Akal dan Konsisten, Penafsiran
berdasarkan Prinsip Efektifitas, Penggunaan Bahan Ekstrinsik, dan Perjanjian
Internasional Multilingual.
Asas ‘pacta tertiis nec nocent nec prosunt’ yang dapat dimaknai bahwa
suatu perjanjian internasional tidak memberi hak dan kewajiban pada negara bukan
pihak atau negara yang tidak meratifikasi perjanjian tersebut. Kendatipun demikian,
norma dan praktik Perjanjian Internasional memungkinkan pembebanan kewajiban
bagi Negara Ketiga dan pemberian hak kepada Negara Ketiga.
Amandemen atas perjanjian internasional dapat diartikan sebagai tindakan
formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian internasional yang menyangkut
kepentingan semua pihak. Berbeda halnya dengan modifikasi yang hanya
merupakan tindakan formal untuk mengubah ketentuan suatu perjanjian
internasional yang menyangkut beberapa pihak tertentu saja tanpa mempengaruh
pihak-pihak lainnya.
Latihan terhadap pemahaman mengenai materi ini akan dilakukan melalui
Tutorial Keempat.
Bahan Pustaka:
a. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part III dan IV.
b. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab IV.
c. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 261-368.
d. Istanto, Sugeng F, Hukum Internasional, Edisi Revisi, Cahaya Atma Pustaka,
Yogyakarta, 2014, h. 96-104.
e. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h. 67-91.
f. Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 832-844.
g. Suryokusumo, Sumaryo, Hukum Perjanjian Internasional, PT. Tata Nusa,
Jakarta, 2008, h. 81-87.
PERTEMUAN VIII
TUTORIAL KEEMPAT
Task mengenai Kewajiban untuk Melaksanakan Perjanjian,
Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan Modifikasi Perjanjian Internasional
Study task
1. Jelaskan apakah praktik hukum internasional memungkinkan pengabaian
terhadap asas non retroaktif?
2. Apakah yang dimaksud dengan travaux préparatoires dalam penafsiran
perjanjian internasional?
3. Apakah perjanjian internasional yang menyatakan pemberian kewajiban kepada
negara ketiga dapat berlaku otomatis?
Bahan Pustaka: Sama dengan Bahan Pustaka yang digunakan pada Perkuliahan
Keempat
PERTEMUAN IX
UJIAN TENGAH SEMESTER
Petunjuk Ujian
1. Pada prinsipnya, Ujian Tengah Semester (UTS) pada mata kuliah ini didesain
sebagai instrumen evaluasi terukur untuk menguji kemampuan dan kemajuan
mahasiswa dalam partisipasinya mengikuti perkuliahan ini hingga periode UTS.
2. Ujian diselenggarakan dalam bentuk ujian tertulis (written exam) atau bentuk lain
sebagaimana ditentukan oleh Dosen Pengajar.
3. Ada empat materi utama yang akan diujikan pada saat UTS, yakni:19
a. Materi Pendahuluan
b. Bentuk dan Jenis Perjanjian Internasional
c. Proses Pembentukan Perjanjian Internasional dan Mulai Berlakunya
Perjanjian Internasional
d. Kewajiban Untuk Melaksanakan, Penerapan, Penafsiran, Amandemen dan
Modifikasi Perjanjian Internasional
19 Hal ini dapat diberlakukan secara fleksibel mengikuti perkembangan materi di
kelas.
PERTEMUAN X
PERKULIAHAN KELIMA
Ketidaksahan, Penundaan dan Pengakhiran Suatu Perjanjian Internasional
Pendahuluan
Materi pada perkuliahan berikut akan membahas pengaturan hukum dan
praktik berkaitan dengan situasi apabila terdapat pihak yang mendalilkan instrumen
yang telah disepakati dan berlaku merupakan perjanjian internasional yang tidak
sah. Selanjutnya, pembahasan juga akan menyentuh isu faktor-faktor yang dapat
menunda atau mengakhiri perjanjian internasional.
Pokok Bahasan:
A. Ketidaksahan Perjanjian Internasional
B. Penundaan Perjanjian Internasional
C. Pengakhiran Perjanjian Internasional
Uraian Pokok Bahasan
Dalam beberapa kasus, keabsahan suatu perjanjian justru dipertanyakan.
Section 2. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969 mengatur tentang
ketidakabsahan perjanjian internasional (invalidity of treaties) yang menentukan
adanya sejumlah alasan untuk menyatakan Suatu perjanjian internasional tidak sah
yaitu alasan berdasarkan hukum dan perundang-undangan, Kesalahan (error) atas
fakta atau situasinya, Kecurangan (fraud) dari negara mitra berundingnya, Korupsi
dari wakil suatu negara, Paksaan yang dilakukan oleh wakil dari suatu negara,
Ancaman atau Penggunaan Kekerasan oleh Suatu Negara, dan Perjanjian
Internasional yang bertentangan dengan Jus Cogens.20
Salah satu isu menarik juga berkaitan dengan keberlakuan perjanjian
internasional, khususnya apakah suatu perjanjian internasional dapat ditunda
keberlakuannya atau tidak. Hal ini dibahas dalam materi suspension of treaties yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai Penundaan atas pelaksanaan suatu
perjanjian internasional21 atau dalam frasa lain dimaknai sebagai Pengangguhan
bekerjanya Perjanjian Internasional.22 Pada intinya, penundaan terhadap
20 Parthiana, I Wayan, (Bag: 2), Op.Cit, h. 430-455 21 Ibid, 393 22 Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h.124.
keberlakuan perjanjian internasional dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-
ketentuan dalam perjanjian internasional itu sendiri atau dilakukan setiap waktu
dengan kesepakatan dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan negara
perunding lainnya, sebagaimana ditentukan berdasarkan Article 57 Vienna
Convention on the Law of the Treaties 1969.23
Sebagaimana halnya dimungkinkannya penundaan terhadap keberlakuan
perjanjian internasional, eksistensi perjanjian internasional juga dapat berakhir atau
diakhiri. Hal ini diatur pada Section 3. Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969. Terdapat sejumlah alasan untuk mengakhiri eksistensi suatu
perjanjian internasional. Alasan umum untuk mengakhiri perjanjian internasional
yakni telah dibuatnya perjanjian internasional yang baru, dilakukannya pelanggaran
atas substansi perjanjian internasional oleh salah satu pihak, ketidakmungkinan
untuk melaksanakannya serta perjanjian internasional bertentangan dengan jus
cogens. Alasan lain yang dapat digunakan namun diberikan pembatasan dengan
sangat ketat adalah terjadinya perubahan keadaan yang fundamental (fundamental
change of circumstances).24
Penting untuk ditegaskan bahwa putusnya hubungan diplomatik dan/atau
konsuler antara kedua pihak yang terikat dalam suatu perjanjian internasional
tidaklah mempengaruhi hubungan hukum di antara mereka sebagaimana ditentukan
oleh perjanjian tersebut. Situasi perang yang terjadi antara pihak yang terikat di
dalam perjanjian internasional juga tidak secara otomatis mengakhiri perjanjian
internasional, namun hanya menunda pelaksanaan perjanjian saja hingga situasi
normal kembali pasca perang. Demikian pula dengan penarikan atau pengunduran
diri dari negara-negara pihak yang tidak serta-merta mengakhiri eksistensi
perjanjian internasional, kendatipun dalam praktiknya mungkin akan amat
bergantung pada signifikan atau tidaknya jumlah pihak yang mengundurkan diri
serta pengaruh negara yang mengundurkan diri bagi keberlangsungan perjanjian
internasional. 25
23 Dimodifikasi dari Terjemahan atas Article 57 Vienna Convention on the Law of
the Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 125. 24 Parthiana, I Wayan (Bagian 2), Op. Cit, h. 456-480. 25 Ibid, h. 473-482. Lihat juga Mauna, Boer, Op.Cit, h.157-162.
Penutup
Terdapat sejumlah alasan untuk menyatakan Suatu perjanjian internasional
tidak sah yaitu alasan berdasarkan hukum dan perundang-undangan, kesalahan atas
fakta atau situasinya, kecurangan dari negara mitra berundingnya, korupsi dari
wakil suatu negara, paksaan yang dilakukan oleh wakil dari suatu negara, ancaman
atau penggunaan kekerasan oleh suatu negara, dan perjanjian internasional yang
bertentangan dengan Jus Cogens. Adapun penundaan terhadap keberlakuan
perjanjian internasional dapat dilakukan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam
perjanjian internasional itu sendiri atau dilakukan setiap waktu dengan kesepakatan
dari semua pihak setelah berkonsultasi dengan negara perunding lainnya. Terdapat
sejumlah alasan umum untuk mengakhiri perjanjian internasional yakni telah
dibuatnya perjanjian internasional yang baru, dilakukannya pelanggaran atas
substansi perjanjian internasional oleh salah satu pihak, ketidakmungkinan untuk
melaksanakannya serta perjanjian internasional bertentangan dengan jus cogens.
Alasan yang dapat digunakan dengan pembatasan dengan sangat ketat adalah
terjadinya perubahan keadaan yang fundamental yang berkaitan dengan perjanjian
internasional. Pembahasan Tutorial Kelima selanjutnya akan menjadi wahana untuk
melatih mahasiswa dalam memahami lebih lanjut materi yang disajikan pada
perkuliahan ini.
Bahan Pustaka:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties 1969, Part V.
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Bab VI.
3. Mauna, Boer, Hukum Internasional: Pengertian, Peranan dan Fungsi Dalam Era
Dinamika Global, Edisi ke-2,Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung, 2011, h.149-
162.
4. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h.393-487.
5. Roisah, Kholis, Hukum Perjanjian Internasional: Teori dan Praktik, Setara Press,
Malang, 2015, h.92-100.
6. Shaw, Malcolm N, International Law, Fifth Edition, Cambridge University Press,
Cambridge, 2003, p. 845-858.
PERTEMUAN XI
TUTORIAL KELIMA
Task mengenai Ketidaksahan, Pengakhiran dan Penundaan
Bekerjanya Suatu Perjanjian Internasional
A. Discussion Task:
1. Jelaskan apakah kecurangan yang dilakukan dalam proses pembentukan
internasional merupakan isu hukum internasional ataukah diplomatik?
2. Jelaskan apakah suatu negara dibenarkan untuk melakukan pengakhiran suatu
perjanjian internasional secara sepihak dengan alasan kepentingan nasionalnya?
B. Problem Task
Kasus Imaginer:
”Eksistensi Perjanjian Internasional Akibat Pemutusan Hubungan
Diplomatik: Status Quo Sengketa Diplomatik RI-Australia”
Indonesia dan Australia berada dalam hubungan diplomatik yang kurang
harmonis. Tindakan pemerintah Australia yang memberikan visa sementara bagi 5
orang WNI yang dianggap melakukan perbuatan makar terhadap negara Indonesia
telah seolah menggores kembali luka lama permasalah diplomatik kedua negara.
Sebagai reaksi, Pemerintah Republik Indonesia (RI) kemudian mem-persona non
grata-kan Atase Pertahanan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia di Jakarta. Dua
hari kemudian, tindakan Pemerintah RI ini dibalas serupa terhadap Atase
Pertahanan Kedubes RI di Canberra. Tanpa berselang lama, Presiden RI kemudian
mengumumkan pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia. Lebih jauh,
Presiden juga menyatakan secara unilateral bahwa segala perjanjian bilateral antara
RI dan Australia dinyatakan berakhir. Memperjelas pernyataan Presiden, Juru
Bicara Presiden menyatakan bahwa pemerintah RI tidak mengakui lagi seluruh hak
dan kewajban yang ditimbulkan dari perjanjian bilateral antara RI dan Australia.
Menteri luar Negeri RI secara teknis kemudian memulangkan Duta Besar RI Luar
Biasa dan Berkuasa Penuh untuk Australia di Canberra beserta seluruh jajaran
pejabat diplomatik.
Tiga hari setelah pengumuman tersebut, terjadi kerusuhan massal di beberapa
kota di Indonesia. Massa menghancurkan bank serta perusahaan-perusahaan yang
dianggap terkait dengan Australia. Pemerintah Australia dalam situasi dilematis. Di
satu sisi, mereka hendak memulangkan kembali seluruh jajaran staf diplomatiknya
di Jakarta dengan pertimbangan prinsip resiprositas dalam hubungan diplomatik,
namun di sisi lain, mereka memiliki tanggung jawab untuk melindungi kepentingan
nasionalnya di Indonesia.
Sesaat kemudian, Perdana Menteri Australia kemudian menyampaikan
beberapa hal penting:
b. Menyerukan travel warning kepada seluruh warga negara Australia yang hendak
bepergian ke Indonesia serta menyerukan agar seluruh warga negara Australia
yang berada di Indonesia untuk segera kembali ke Australia;
c. Meminta pemerintah Indonesia untuk menjamin perlindungan terhadap
kepentingan Australia di Indonesia;
d. Menghormati tindakan unilateral pemerintah Indonesia untuk melakukan
pemutusan hubungan diplomatik dengan Australia berdasarkan atas
penghormatan atas Hak Legasi Aktif yang dimiliki Indonesia. Sebagai reaksi,
Pemerintah Australia sedianya melakukan hal yang sama, namun akan dilakukan
secara bertahap guna melaksanakan fungsi perlindungan kepentingan Australia di
Indonesia hingga situasi keamanan di Indonesia lebih kondusif;
e. Menolak dengan tegas pernyataan unilateral Pemerintah RI terhadap pengakhiran
segala perjanjian bilateral antara RI dan Australia dinyatakan dan pernyataan
Indonesia yang tidak mengakui lagi seluruh hak dan kewajban yang ditimbulkan
dari perjanjian-perjanjian bilateral tersebut.
Pemerintah RI ternyata tidak terlalu menanggapi pernyataan Pemerintah
Australia. Seusai rapat kabinet terbatas, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI
yang didampingi Menteri Luar Negeri melakukan pernyataan pers yang menegaskan
bahwa sikap pemerintah RI masih sama, sampai Pemerintah Australia
memulangkan 5 orang WNI tersebut untuk dapat dikenakan proses hukum di
Indonesia.
Isu ternyata bergulir semakin kencang. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
RI juga menyatakan bahwa berdasarkan hasil rapat antara pimpinan DPR RI beserta
seluruh Anggota Komisi I DPR RI, telah diputuskan untuk melakukan peninjauan
ulang terhadap seluruh Perjanjian Bilateral RI yang disahkan melalui undang-
undang, dalam waktu dekat.
Bahan Pustaka:
1. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969, Part V and Part VI
2. Undang-Undang 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional
3. Agusman, Damos Dumoli, Hukum Perjanjian Internasional: Kajian Teori dan
Praktik Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, h.64-67
4. Parthiana, I Wayan, Hukum Perjanjian Internasional Bag: 2, Cetakan I, Mandar
Maju, Bandung, 2005, h. 473-478.
PERTEMUAN XII
PERKULIAHAN KEENAM
Perjanjian Internasional dalam Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Regional
Pendahuluan
Salah satu isu yang cukup jarang dibahas dalam perkuliahan Hukum
Perjanjian Internasional namun sesungguhnya amat penting untuk ditelaah adalah
kajian berkenaan dengan aspek hukum nasional negara-negara dan aspek hukum
kawasan/regional terhadap eksistensi perjanjian internasional. Pokok bahasan pada
perkuliahan ini sesungguhnya tidak hanya mengembangkan materi-materi Hukum
Perjanjian Internasional yang telah dibahas sebelumnya, tetapi pula menjadi
pengayaan terhadap materi hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum
Internasional yang dibahas pada perkuliahan Hukum Internasional pada Semester 2.
Pokok Bahasan:
A. Persoalan hubungan antara Hukum Nasional dan Hukum Internasional dalam
kaitannya dengan Perjanjian Internasional
B. Makna Article 27 of the Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
C. Pengujian Peradilan Nasional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
D. Pengujian Peradilan Regional terhadap Eksistensi Perjanjian Internasional
Uraian Pokok Bahasan
Pada saat mengikuti mata kuliah Hukum Internasional, mahasiswa tentu
sudah mempelajari persoalan hubungan antara hukum nasional dan hukum
internasional. Secara teoritik, terdapat dua pandangan yang berpengaruh. Pertama
adalah pandangan Voluntarisme yang mendasarkan berlakunya hukum internasional
pada kemauan Negara yang melahirkan pemahaman bahwa hukum internasional
dan hukum nasional sebagai dua satuan perangkat hukum yang berdampingan dan
terpisah atau yang dikenal sebagai aliran Dualisme. Pandangan kedua dikenal
sebagai pandangan objektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum
internasional sesungguhnya lepas dari kemauan negara yang melahirkan
pemahaman bahwa hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua bagian
dari satu perangkat hukum atau yang dikenal sebagai aliran Monisme. Saat
bersentuhan dengan persoalan hierarkhi, Aliran Monisme kemudian dapat
dibedakan antara Monisme Primat Hukum Internasional yang menganggap bahwa
Hukum Internasional lebih tinggi dari Hukum Nasional dan Monisme Primat
Hukum Nasional, yang sebaliknya, menganggap bahwa Hukum Nasional lebih
tinggi dari Hukum Internasional.26
Persoalan ini diterjemahkan ke dalam diskursus mengenai hubungan antara
perjanjian internasional dan peraturan perundang-undangan nasional Negara yang
menjadi pihak dari perjanjian tersebut. Penganut aliran dualisme akan memandang
bahwa perjanjian internasional dan perundang-undangan nasional Negara sebagai
dua satuan perangkat hukum yang berdampingan dan terpisah. Demikian pula
halnya dengan aliran Monisme Primat Hukum Internasional yang akan menganggap
Perjanjian Internasional kedudukannya lebih tinggi dari perundang-undangan
nasional Negara, dan sebaliknya, aliran Monisme Primat Hukum Nasional akan
menganggap bahwa perundang-undangan nasional Negara secara hierarkhis
memiliki posisi yang lebih tinggi dari Perjanjian Internasional.
Berkaitan dengan hal ini, dapat kiranya dirujuk Article 27 of the Vienna
Convention on the Law of the Treaties, 1969 yang mengatur mengenai Internal law
and observance of treaties yang menyebutkan bahwa suatu negara pihak tidak dapat
memberikan alasan untuk tidak mematuhi suatu perjanjian karena adanya kesulitan
dari hukum nasionalnya. Kendatipun demikian, ketentuan ini tidak
mengesampingkan substansi yang tertuang di dalam Article 46 of the Vienna
Convention on the Law of the Treaties, 1969 mengenai Ketentuan-Ketentuan dalam
Hukum Nasional mengenai Wewenang untuk Membuat Perjanjian. 27
Faktanya, semakin sering dilakukan pengujian substansi perjanjian
internasional oleh sejumlah Peradilan Nasional dan Peradilan Regional.
Menariknya, pandangan (majelis) hakim dalam memutuskan ternyata cukup
dipengaruhi oleh keyakinannya mengenai salah satu aliran yang dianutnya.
Penutup
Secara teoritik, terdapat dua pandangan berkaitan dengan persoalan
hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional yakni pandangan
Voluntarisme yang melahirkan aliran Dualisme dan pandangan Objektivis yang
melahirkan aliran Monisme. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969
menentukan bahwa suatu negara pihak tidak dapat memberikan alasan untuk tidak
26 Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R Agoes, Pengantar Hukum Internasional, PT.
Alumni, Bandung, Edisi Kedua, Cetakan ke-1, 2003, h. 55-64 27 Dikutip dari Terjemahan atas Article 27 Vienna Convention on the Law of the
Treaties 1969 pada Suryokusumo, Sumaryo, Op. Cit, h. 84 dan 113.
mematuhi suatu perjanjian karena adanya kesulitan dari hukum nasionalnya. Fakta
juga menunjukkan bahwa pengujian substansi perjanjian internasional ternyata
dilakukan pada sejumlah Peradilan Nasional dan Peradilan Regional di berbagai
belahan dunia. Pokok bahasan ini akan semakin dipertajam pada Tutorial Keenam.
Bahan Pustaka:
a. Charter of the United Nations
b. Vienna Convention on the Law of the Treaties, 1969 Part III.
c. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011,