7/23/2019 Buku 1_new Revisi_ 24 Feb 2015_B5 http://slidepdf.com/reader/full/buku-1new-revisi-24-feb-2015b5 1/119 Pemanfaatan Citra Penginderaan Jauh untuk Sumber Daya Wilayah Darat ISBN No : 978-602-14437-6-7 Editor : Dr. Bidawi Hasyim Dr. Dony Kushardono Dr. Indah Prasasti Dr.Bambang Trisakti Di cetak dan diterbitkan oleh : CRESTPENT PRESSKantor Pusat Pengkajian Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, Institut Pertanian Bogor (P4W-LPPM) Kampus IPB Baranangsiang, JL. Pajajaran, Bogor 16144 Telp/Fax. (0251) 8359072, email: [email protected]UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2012 TENTANG HAK CIPTA
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu
ciptaan atau member izin untuk itu, dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu Ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Kemajuan teknologi penginderaan jauh satelit yang dapat menghasilkan data dan linformasi yang realtime
(up to date) dengan cakupan yang luas dan historikal data yang baik, memungkinkan LAPAN (khususnya Pusat
Pemanfaatan Penginderaan Jauh) untuk berkontribusi dalam upaya pemantauan sumberdaya alam di wilayah
Indonesia. Sesuai dengan amanah Undang-Undang No.21 tahun 2013, bahwa Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh (Pusfatja) mempunyai tugas untuk membuat pedoman pengolahan data penginderaan jauh yang dapat
dijadikan acuan bagi pengguna untuk melakukan pengolahan dan pemanfaatan data penginderaan jauh.
Untuk melaksanakan tugas tersebut Pusfatja harus melakukan kegiatan Litbang pengolahan dan pemanfaatan
data penginderaan jauh untuk menghasilkan metode yang akurat yang akan dijadikan pedoman.
Buku Bunga Rampai ini memuat kumpulan tulisan ilmiah hasil kegiatan Litbang yang dilaksanakan oleh peneliti/
perekayasa di Bidang Sumber Daya Wilayah Darat yang merupakan salah satu bidang di bawah Pusfatja-LAPAN. Tema tulisan ilmiah yang dimuat pada buku ini mencakup sektor pertanian, kehutanan, sumberdaya
air dan pengembangan wilayah. Titik berat buku ini adalah menjelaskan bagaimana data penginderaan jauh,
khususnya data satelit penginderaan jauh, dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan menurunkan beberapa
parameter bio-geo-fisik yang terdapat di permukaan bumi, sehingga diperoleh informasi yang dapat digunakan
untuk mendukung program nasional Pemerintah Indonesia. Kami berharap buku ini dapat menjadi salah satu
referensi yang bermanfaat dalam kegiatan pemanfaatan penginderaan jauh di Indonesia. Saran dan masukan
dari pembaca sangat diharapkan bagi perbaikan metode dan informasi yang dihasilkan, selain itu juga bagi
penyempurnaan penulisan buku serupa di masa yang akan datang.
Dari Penerbit ........................................................................................................................ 2
Kata Pengantar .................................................................................................................... 3
Daftar Isi ................................................................................................................................ 4
Teknik Segmentasi dan Klasifikasi Berjenjang Untuk PemetaanLahan Sawah Menggunakan Citra SPOT-6 .................................................................................. 5
I Made Parsa dan Tatik Kartika
Validasi Model Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Teknik
Segmentasi dan Klasifikasi Citra Landsat Ortho (Studi Kasus Lampung) .................................. 17
I Made Parsa, Dipo Yudhatama, Sri Harini
Identifikasi Tanaman Pada Lahan Sawah Berdasarkan Model
Pertumbuhan Tanaman Menggunakan Data EVI MODIS Multi Temporal ................................. 27
Dede Dirgahayu Domiri, Heru Noviar dan Silvi
Aplikasi Inderaja Untuk Mendeteksi Awal Tanam Padi
Menggunakan Data EVI MODIS Multitemporal ........................................................................ 39
Dede Dirgahayu
Analisis Nilai Ekologi Lahan Sawah Di Kota Depok Jawa BaratMenggunakan Data Satelit Penginderaan Jauh ....................................................................... 49
Mukhoriyah
Pembuatan Informasi Spasial Sebaran NDVI di DTA Danau Kerinci
Berbasis Data Landsat TM/ETM+ Periode 2000-2009 .............................................................. 59
Bambang Trisakti, Arum Tjahyaningsih, dan Samsul Arifin
Pemantaun Luas Permukaan Eceng Gondok dan Luas Danau
Berbasis Data Penginderaan Jauh di Danau Tempe ............................................................... 71
Nana Suwargana dan Bambang Trisakti
Aplikasi Data Penginderaan Jauh Untuk Inventarisasi
Hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau ........................................................... 85
Heru Noviar
Deteksi Perubahan Penutup Lahan Berdasarkan Analisis Visual
dari Citra Landsat Tm Studi Kasus : Lemah Abang Bekasi ........................................................ 95
R. Johannes Manalu
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh dan SIG Untuk
Pengembangan Jaringan Pipa Air Minum ............................................................................... 105
Perkembangan metode klasifikasi digital saat ini begitu pesat, hal ini ditandai dengan telah berkembangnya
teknik klasifikasi berbasis objek yang diklaim akan dapat meminimalkan bebebapa kelemahan yang dihasilkan
oleh teknik klasifikasi berbasis pixel karena klasifikasi berbasis pixel tidak hanya menggunakan nilai digital
semata tetapi juga menambahkan beberapa parameter parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala,
bentuk, kekompakkan. Selain itu teknik klasifikasi berbasis objek ini memiliki keunggulan pada pemisahan
antar objek yang sangat akurat dan presisi serta lebih efisien dari sisi waktu sehingga mempunyai potensi
sebagai alternatif pengganti klasifikasi visual/delineasi maupun klasifikasi digital berbasis pixel (Kampouraki
et al. (2007) dalam Parsa (2012)). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa parameter skala dan warna sangat
mempengaruhi hasil dan waktu segmentasi. Skala yang semakin kecil menyebabkan hasil segmentasi semakin
detil karena semakin banyak region yang terbentuk sedangkan semakin besar threshold kuantisasi warna, maka
jumlah cluster warna yang terbentuk semakin sedikit karena semakin banyak cluster warna yang digabungkan
(Soelaiman et al. (2008) dalam Parsa (2012)).
Penggunaan objek sebagai unit klasifikasi terkecil akan membantu mengatasi efek “salt and pepper ” yang
umum ditemukan pada klasifikasi digital berbasis pixel karena selain menggunakan fitur spektral, klasifikasi
berbasis objek juga menggunakan fitur topografi, tekstur, dan geometri objek. Klasifikasi berbasis objek
akan meningkatkan akurasi klasifikasi vegetasi secara significant yang dianggap sebagai hal mustahil dalam
pemetaan vegetasi berbasis penginderaan jauh (Yu, 2006). Segmentasi dan klasifikasi berbasis objek citra
resolusi sangat tinggi untuk pemetaan daerah perkotaan memberikan akurasi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan klasifikasi berbasis pixel (Peijun et al. , 2011).
Segmentasi citra merupakan salah satu bagian penting dari pemrosesan citra, yang bertujuan untuk membagi
citra menjadi beberapa region yang homogen berdasarkan kriteria kemiripan tertentu antara tingkat keabuansuatu piksel dengan tingkat keabuan piksel-piksel tetangganya. Hasil dari proses segmentasi ini akan digunakan
untuk proses lebih lanjut yang dapat dilakukan terhadap suatu citra, misalnya proses klasifikasi citra dan
proses identifikasi objek. Segmentasi citra merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi analisis
citra berbasis objek. Teknik segmentasi citra secara otomatis mengelompokkan piksel berdekatan menjadi
contiguous region berdasarkan kemiripan kriteria pada property piksel. Objek dapat lebih baik daripada piksel,
dalam hal mengetahui tetangganya (neighbours) serta hubungan spasial dan spektral antar piksel (Murinto dan
Harjoko (2009) dalam Parsa (2012)).
Segmentasi objek dilakukan dengan beberapa pendekatan berbeda mulai dari algoritma yang sangat
sederhana seperti segmentasi Chessboard dan segmentasi Quad Tree Based hingga metode tahap lanjut
seperti segmentasi Multiresolusi. Segmentasi Chessboard, membagi daerah piksel atau daerah objek citra
kedalam objek-objek citra persegi dimana satu kotak persegi di pojok kiri atas dengan ukuran tertentu
diterapkan ke seluruh objek citra sehingga setiap objek dibagi ke dalam kotak-kotak persegi ini. Segmentasi
Quad Tree Based, membagi daerah piksel atau daerah objek citra kedalam grid quad tree yang dibentuk oleh
objek-objek persegi. Struktur quad tree dibangun dengan cara setiap kotak memiliki ukuran maksimum pertama
dan kedua yang memenuhi kriteria homogenitas seperti yang ditentukan oleh mode dan skala parameter.
Segmentasi Multiresolusi, merupakan suatu prosedur optimasi heuristik yang secara lokal meminimumkan rata-
rata heterogenitas objek-objek pada citra untuk suatu resolusi tertentu yang dapat diterapkan pada level piksel
atau pada suatu level objek citra. Segmentasi Spectral Difference, digunakan untuk menggabung objek-objek
yang berdekatan sesuai dengan nilai intensitas layer rataannya. Objek-objek yang berdekatan digabung jika
perbedaan intensitas rata-rata layernya kurang dari nilai yang diberikan oleh rata-rata beda spektral. Algoritma
ini dirancang untuk memperhalus hasil segmentasi yang telah ada dengan menggabungkan objek-objek yang
dihasilkan dari segmentasi sebelumnya yang memiliki spektral yang sama/mirip.
Beberapa parameter yang mempengaruhi hasil segmentasi tergantung beberapa hal, yaitu: skala parameter,
bentuk, kehalusan, dan kekompakan. Skala parameter adalah ukuran yang menentukan nilai maksimum
heterogenitas yang dibolehkan dalam menghasilkan objek-objek citra dimana untuk data yang heterogen,
objek-objek yang dihasilkan akan lebih kecil daripada data yang lebih homogen dan dengan memodifikasinilai skala parameter dapat dibuat ukuran objek-objek citra yang beragam. Bentuk secara tidak langsung
dapat menentukan kriteria warna, yang menyatakan berapa persen nilai-nilai spektral pada layer citra
yang akan berkontribusi terhadap keseluruhan kriteria homogenitas. Pembobotan ini berlawanan dengan
persentase homogenitas bentuk yang ditentukan dalam kolom bentuk, dimana dengan nilai bentuk 1 akan
mengakibatkan homogenitas spasial dari objek-objek menjadi lebih optimum. Meski demikian kriteria bentuk
tidak dapat memiliki nilai lebih dari 0,9 terkait dengan fakta bahwa tanpa informasi spektral dari citra objek-
objek yang dihasilkan tidak akan berkaitan dengan informasi spektral sama sekali. Kehalusan digunakan untuk
mengoptimalkan objek-objek citra berkaitan dengan batas-batas objek. Sementara itu kekompakan digunakan
untuk mengoptimumkan objek-objek citra dikaitkan dengan kekompakan Kriteria ini harus digunakan ketika
objek-objek citra berbeda yang lebih kompak tetapi dipisahkan dari objek-objek tidak kompak hanya oleh
kontras spektral yang relatif lemah (eCognition (2000) dalam Parsa (2012)).
Komposisi Kriteria Homogenitas, merupakan acuan parameter skala ditentukan di dalam komposisi kriteria
homogenitas. Pada keadaan ini homogenitas digunakan sebagai sinonim untuk heterogenitas minimum. Secara
internal tiga kriteria yang dihitung yaitu warna, kehalusan dan kekompakan. Ketiga kriteria homogenitas ini bisa
digunakan dengan beranekaragam kombinasi. Untuk sebagian besar kasus, kriteria warna merupakan yang
terpenting dalam menghasilkan objek-objek tertentu. Meski demikian suatu nilai tertentu dari homogenitas
bentuk seringkali dapat meningkatkan kualitas ekstraksi objek. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa kekompakan
dari objek-objek spasial berhubungan dengan konsep bentuk citra. Sehingga kriteria bentuk sangat membantu
dalam menghindari hasil berupa objek citra yang patah terutama pada data tekstur (misalnya data radar).
Seluruh prosedur Klasifikasi citra remote sensing bertujuan untuk mengelompokkan semua pixel dalam citra
kedalam klas tematik penutup dan penggunaan lahan. Tehnik klasifikasi konvensional menggunakan tehnik
unsupervised maupun supervised sedangkan metoda pengambilan keputusannya dapat digunakan metoda
minimum-distance, parallelepiped and maximum likelihood (Lillesand dan Kiefer, 1993). Pada proses klasifikasi
menggunakan software definiens yang didasarkan pada object-oriented image analysis . Proses tersebut
dilakukan dengan dua tahapan yaitu; Pertama adalah proses segmentasi dan kedua adalah proses pengklasan/
pengelompokan citra. Pengelompokkan diturunkan dari sifat-sifat physik objek yang biasanya digambarkan
dalam bentuk textur dan/atau nilai gray level dari masing–masing objek. Artinya pengelompokkan objek
diorganisir dalam hierarchy (berjenjang), dimana masing-masing klas/kelompok dapat mempunyai subklas atau
super klas (lihat Gambar 1).
Sawah adalah areal pertanian yang digenangi air atau diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan,
lebak atau pasang surut yang dicirikan oleh pola pematang, dengan ditanami jenis tanaman pangan berumur
pendek (padi). Secara fisik lahan sawah berpermukaan rata, dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk
menahan/menyalurkan air, serta dapat ditanami tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija
atau tanaman budidaya lainnya atau yang dikenal dengan istilah lahan pertanian basah (Badan Standarisasi
Nasional (2010) dalam Parsa (2011)). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang
mempunyai lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada
lahan yang mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian
besar biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com, 2011). Lahan sawah pada citra komposit
Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda dibandingkan
dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan yang berbeda
tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan tanah sampai
tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan tersebut cukup
mudah diamati pada pengamatan terhadap data multitemporal, sehingga dengan demikian lahan sawah
cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al, 2011).
Gambar 1. Klasifikasi hierarchi citra
Sistem SPOT mempunyai empat saluran termasuk tiga kanal multispektral, yaitu kanal hijau, merah, infra merah
dekat dan satu kanal pankromatik. Resolusi spasial citra SPOT adalah 20x20 meter untuk kanal multispektral dan
10x10 meter untuk kanal pankromatik sedangkan cakupannya seluas 60 km (Lillesand and Kiefer, 1993). SPOT
tidak mempunyai kanal infra merah tengah yang peka terhadap kandungan air daun menyebabkan citra SPOT
kurang baik untuk studi vegetasi, selain itu dari segi harga SPOT memang lebih mahal (Dimyati, 1998). SPOT 5
memiliki dua instrumen resolusi tinggi geometris (HRG) yang berasal dari HRVIR SPOT 4 dengan resolusi yang
lebih tinggi dari 2,5 sampai 5 meter dalam mode pankromatik dan 10 meter dalam mode multispektral (20
meter di gelombang pendek inframerah 1,58-1,75 µm). SPOT 6 mempunyai resolusi produk Pankromatik: 1,5
m; Color merge: 1,5 m, Multispektral: 6,2 m. Akuisisi pankromatik dan multispektral SPOT 6 adalah simultan 6
kali perhari persatelit.
Tabel 1. Perbandingan karakteristik system SPOT-5 dan SPOT-6
SPOT-5 SPOT-6
Band Resolusi Panjang Gel Band Resolusi Panjang Gel
Band 1, Green 10 m 0.50 - 0.59 μm Band 1, Blue 6,2 m 0.450–0.525 μm
Band 2, Red 10 m 0.61 - 0.68 μm Band 2, Green 6,2 m 0.530–0.590 μm
Band 3, Near-IR 10 m 0.79 - 0.89 μm Band 3, Red 6,2 m 0.625–0.695 μm
Band 4, Pank 2,5 m 0. 51 - 0.73 μm Band 4, Near-IR 6,2 m 0.760–0.890 μm
Band 5, Pank 1,5 m 0.450–0.745 μm
Penelitian ini mempunyai dua tujuan utama, yaitu (1) mengetahui ketelitian dari teknik segmentasi/klasifikasi
yang dilakukan secara berjenjang untuk pemetaan lahan sawah. (2) membandingkan ketelitian pemetaanantara teknik segmentasi/klasifikasi dengan teknik segmentasi dan interpretasi untuk pemetaan lahan sawah.
Penggunaan kombinasi warna 0,9, kekompakan 0,5 didasarkan atas hasil kajian sebelumnya tentang pemetaanlahan sawah menggunakan citra Landsat. Sementara itu perlakuan dua macam skala 100 dan 80 bertujuan
untuk melihat keterpisahan hasil segmentasi dimana analisis kualitatif terhadap hasil segmentasi menunjukkan
bahwa secara umum kedua perlakuan skala 80 dan skala 100 menghasilkan segmen yang cukup baik dimana
sedikit terjadi percampuran kelas, bedanya adalah perlakuan skala 80 lebih detil dimana satu kelas dapat
terbagi menjadi beberapa segmen. Mengingat dalam kasus ini yang dipelajari adalah segmentasi dan klasifikasi
berjenjang maka dipilih skala 100 sebagai dasar untuk analisis lebih lanjut. Hasil segmentasi awal skala 100
disajikan pada Gambar 3.
Lahan sawah, hutan, belukar dan lahan campuran dapat tersegmentasi dengan cukup baik dimana kenampakkan
yang berbeda secara nyata menjadi segmen yang berbeda. Lahan tambak dapat dipisahkan dengan sangatbaik karena pemisahan terjadi bukan hanya tiap blok/petak saja tetapi juga untuk pematang tambak juga
segmennya terpisah. Pada tahap 1 pengambilan training sampel hanya meliputi tiga kelas yaitu: lahan/tanah
terbuka (termasuk area terbangun), air, vegetasi, dan bayangan. Analisis statistik training sampel tahap 1 ini
menunjukkan bahwa percampuran antara training sampel air, tanah dan bayangan sangat rendah 1-15%, kecuali
antara kelas air dan vegetasi percampurannya agak tinggi 42-47%, selengkapnya disajikan pada Tabel 6.
a b
c d
Gambar 3. a. sawah, b. tambak, c. campuran dan d. hutan pada hasil segmentasi citra SPOT-6 denganskala 100, warna 0,9, kekompakan 0,5
Sementara itu segmentasi dan klasifikasi tahap kedua, terhadap lahan terbuka/area terbangun memisahkanpermukiman, sawah bera dengan percampuran kelas 1-37%, selengkapnya disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Statistik percampuran training sampel tahap kedua untuk lahan terbuka/area terbangun
Pada tahap akhir dilakukan penggabungan kelas lahan sawah dari setiap tahapan sehingga diperoleh peta
lahan sawah hasil klasifikasi sebagaimana disajikan pada Gambar 3. Pengujian ketelitian hasil klasifikasi
dilakukan dengan teknik confusion matrix (matrik kesalahan), menggunakan referensi peta lahan sawah hasilinterpretasi citra SPOT-6 pansharpen multitemporal. Hasil pengujian menunjukkan bahwa ketelitian (overall
accuracy) pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi ini mencapai 79,4% selengkapnya disajikan pada
Tabel 6.
Tabel 6. Ketelitian pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi digital
Seg-Klasifikasi Sawah Nonsawah Luas Ketelitian (%)
Berdasarkan hasil kajian sebagaimana diuraikan diatas, maka penelitian ini dapat menyimpulkan bahwa:
a. Segmentasi citra SPOT-6 pansharpen dengan kombinasi nilai parameter skala 100, warna 0,9 dan
kekompakan 0,5 cukup baik memisahkan objek di lokasi kajian
b. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy) teknik segmentasi dan klasifikasi digital citra SPOT-6 pansharpen
untuk pemetaan lahan sawah mencapai 79,4%.
c. Ketelitian klasifikasi (Overall accuracy) teknik segmentasi dan interpretasi citra SPOT-6 pansharpen untuk
pemetaan lahan sawah mencapai 96,5%.
d. Teknik segmentasi yang dikombinasi dengan interpretasi memberikan hasil pemetaan yang lebih baik
dibandingkan dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Tim Reviewer Pusat Pemanfaatan
Penginderaan Jauh atas arahan dan masukan yang telah diberikan dalam penulisan makalah ini. Ucapan terima
kasih juga saya sampaikan kepada Kepala Bidang Teknologi Pengolahan Data atas data SPOT-6 yang telah
diberikan, Kepala Bidang Sumber Daya Wilayah Darat yang telah memfasilitasi serta teman-teman tim peneliti
yang telah mendukung pelaksanaan penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA Agricultural Parcel Detection with Definiens eCognition, 2013. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 22
Januari 2013)
Achmad, B. dan Fardausy, K. 2005. Teknik Pengolahan Citra Digital, Ardi Publishing, Yogyakarta.
Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28
hlm.
Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR. 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace
Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover.
Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx , diakses tanggal 9 Maret 2011)Lillesand and Kiefer. 1993. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra. Terjemahan Dulbahri et al. Cetakan
kedua. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. 725 hlm.
Manual Definiens Professional 5.0. (http://www.definiens.com, diakses tanggal 28 Januari 2011)
Murinto, Harjoko A., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre
Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.
Parsa M., Surlan, Ahmad Sutanto, Soko Budoyo, dan Nursanti Gultom, 2011. Pengembangan Model
Pemanfaatan Data Inderaja untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dalam Rangka Mendukung Ketahanan
Pangan, Laporan Akhir. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh.
Parsa M., 2012. Optimalisasi Parameter Segmentasi untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Data Satelit
Landsat. Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital Vol. 10 No. 1 Juni 2013. ISSN
1412-8098 No. 429/Akred-LIPI/P2MI-LIPI/04/2012. Diterbitkan oleh LAPAN. Hal. 27-37.
Ketelitian pemetaan berbasis citra penginderaan jauh tergantung dari dua hal yang tidak dapat dilepaskan
satu sama lainnya. Pertama ketelitian/kualitas geometri dari citra yang digunakan, haruslah memenuhi standar
ketelitian sesuai dengan skala peruntukannya. Ketelitian geometri citra Landsat harus memenuhi standar
kesalahan tertentu, biasanya menggunakan maksimum satu pixel (Kustiyo, 2010). Kedua, ketelitian klasifikasi
citra haruslah baik, yang harus dilihat dengan validasi (menggunakan informasi dari skala yang lebih besar atau
dengan validasi lapangan). Ketelitian geometri citra yang baik tanpa dibarengi ketelitian klasifikasi yang baik
atau sebaliknya akan menghasilkan ketelitian pemetaan yang kurang baik.
Informasi spasial lahan sawah pada tingkat skala menengah (1:100.000) masih dibutuhkan oleh institusi terkait
seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, hal ini berkaitan dengan program peningkatan
produksi pangan dalam rangka swasembada (pemenuhan kebutuhan dalam negeri) yang telah dicanangkan
pemerintah. Data yang ada saat masih menunjukkan adanya perbedaan antara luas lahan sawah seluruh
Indonesia yang hanya 4.813.832 ha dengan data daerah irigasi terbangun 7.634.401 ha dimana terdapat2.82 juta ha yang belum diketahui keberadaannya secara spasial. Angka ini menjadi penting karena dianggap
merupakan lahan potensial untuk dikembangkan menjadi lahan sawah (Purba, 2010).
Badan Standarisasi Nasional mendefinisikan bahwa sawah merupakan areal pertanian yang digenangi air atau
diberi air dengan teknologi pengairan, tadah hujan, lebak atau pasang surut dengan ciri-ciri berpermukaan
rata, dibatasi oleh pematang/galengan, adanya saluran untuk menahan/menyalurkan air dan umumnya
ditanami dengan jenis tanaman pangan berumur pendek seperti padi, palawija atau tanaman budidaya lainnya
(Parsa et al, 2011). Sawah pada umumnya terdapat pada lahan yang datar hingga lahan yang mempunyai
lereng < 10%, akan tetapi di beberapa wilayah tertentu lahan sawah juga dapat ditemukan pada lahan yang
mempunyai lereng lebih dari 10%, bahkan hingga lereng 30%. Pada kondisi lereng yang demikian besar
biasanya diterapkan sistem terasering (www.mediabpr.com (2011) dalam Parsa et al. (2011)). Lahan sawah pada
citra komposit Landsat 5,4,3 dapat dengan mudah dikenali karena mempunyai karakteristik yang berbeda
dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya. Lahan sawah dapat mempunyai tiga macam kenampakkan
yang berbeda tergantung kondisi/fase lahan sawah tersebut yaitu biru (dalam kondisi air/fase pengolahan
tanah sampai tanam), hijau (setelah tanam/vegetatif) dan merah (panen/bera). Perubahan kenampakkan
tersebut cukup mudah diamati pada pengamatan terhadap data multiwaktu, sehingga dengan demikian lahan
sawah cukup mudah pula untuk diidentifikasi (Parsa et al., 2011).
Saat ini metode klasifikasi dijital telah berkembang demikian pesatnya terutama klasifikasi dijital berbasis
objek. Metode klasifikasi ini akan meminimalkan kelemahan klasifikasi berbasis pixel (yang hanya didasarkan
nilai dijital) dengan menambahkan beberapa parameter lain (Kampouraki et al., 2007). Metode klasifikasi inimenggunakan tiga parameter utama sebagai pemisah objek, yaitu skala, bentuk, kekompakkan. Klasifikasi
dijital ini memiliki keunggulan pada pemisahan antar objek yang sangat akurat dan presisi (Agrawal (2010);
Walter (2003)). sehingga dengan demikian dapat menjadi alternatif untuk menggantikan klasifikasi digital
berbasis pixel dan klasifikasi visual/delineasi. Klasifikasi dijital ini juga memiliki kelebihan dalam efisiensi waktu
pengerjaan (Putranto et al., 2010).
Sebagai bagian yang penting dari pemrosesan citra, segmentasi bertujuan untuk membagi citra berdasarkan
kriteria kemiripan tingkat keabuan piksel dengan tetangganya menjadi beberapa region yang homogen untuk
diproses lebih lanjut seperti klasifikasi citra dan identifikasi objek. Sementara itu sebagai bagian yang yang
tidak terpisahkan dari metodologi analisis citra berbasis objek, teknik segmentasi citra secara otomatis akan
mengelompokkan piksel yang berdekatan menjadi contiguous region menurut kemiripan property pikselnya.
Hasil kajian yang telah dilakukan mengenai “Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah
Menggunakan Citra Satelit Landsat dengan studi kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus,
Lampung” menyimpulkan bahwa kombinasi nilai parameter skala 11, warna 0.9 dan kekompakan 0.5 memberikan
hasil segmentasi yang paling mendekati data referensi dengan ketelitian pemetaan yang mencapai lebih dari90%. Kajian tersebut juga menyarankan perlunya kajian lanjutan menyangkut penyempurnaan metode untuk
mengurangi analisis visualnya maupun verifikasi model tersebut di wilayah lain (Parsa, 2013).
Berkaitan dengan hal tersebut telah dilakukan “Validasi Model Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Teknik
Segmentasi dan Klasifikasi Citra Landsat Ortho”. Penelitian ini bertujuan untuk dua hal, pertama untuk
pengecekan akurasi citra Landsat ortho yang digunakan sebagai input, kedua melakukan verifikasi untuk
mengetahui ketelitian model pemetaan lahan sawah dengan teknik segmentasi dan klasifikasi.
METODE
Kajian dilaksanakan pada tahun 2012 dengan mengambil sampel wilayah di provinsi Lampung. Data yangdigunakan dalam penelitian ini adalah satelit Landsat terkoreksi ortho multitemporal tahun 2000, sampai
2009 arsip program INCAS-LAPAN. Mengingat data tahun 2009 dan 2008 masih ada yang tertutup awan,
maka dilakukan mosaik secara vertikal data tahun 2007, 2008, dan 2009 (data tahun 2009 paling atas) untuk
selanjutnya digunakan sebagai input segmentasi. Sementara data tiap tahun digunakan sebagai dasar
interpretasi, klasifikasi dan labeling hasil segmentasi. Klasifikasi ini menggunakan dua kelas penggunaan lahan
yaitu sawah dan nonsawah (selain sawah) yang didasarkan atas perubahan tutupan lahan (air, bera dan vegetasi)
dari tahun ke tahun. Diagram alir pengolahan data dan validasi pemetaan lahan sawah disajikan pada Gambar
1.
Gambar 1. Diagram alir pengolahan data dan validasi hasil pemetaan lahan sawah
Tahap pengolahan dan analisis data adalah sebagai berikut:
1. Pengolahan data
a. Mosaik vertikal data tahun 2007, 2008, dan 2009 menurut tahun dan menempatkan data 2009 sebagai datapaling atas
b. Kroping citra Landsat menggunakan batas sheet skala 1:100.000 untuk mempercepat proses segmentasi.
c. Segmentasi citra Landsat menggunakan kombinasi nilai parameter terbaik sesuai hasil kajian tahun 2012
yaitu skala 10, warna 0.9, kekompakkan 0.5 dan konversi menjadi format shapefile (Parsa et al., 2012).
d. Interpretasi data Landsat multiwaktu dan labeling hasil segmentasi. Interpretasi dilakukan terhadap seluruh
data Landsat multiwaktu untuk melihat perubahan tutupan lahan air, vegetasi dan bera. Labeling dilakukan
dengan menggunakan dua kelas klasifikasi penggunaan lahan yaitu sawah, dan nonsawah.
e. Mosaik informasi spasial lahan sawah antar sheet seluruh Lampung.
f. Validasi lapangan dilakukan dengan observasi, pengukuran, pencatatan, identifikasi, dan dokumentasi
dengan teknik point sampling (Amirin dan Tatang, 2011; Wahyunto, et al., 2004), meliputi:
1. Pengukuran, pencatatan koordinat lapangan untuk evaluasi akurasi kualitas data Landsat ortho
Pengukuran ini dilakukan pada 60 titik lokasi.
2. Pencatatan, identifikasi dan dokumentasi lapangan (liputan lahan) di 53 titik pengamatan untuk
menghitung akurasi hasil pemetaan.
2. Evaluasi meliputi ketelitian geometri cira Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah, dilakukan
untuk mengetahui akurasi/ketelitian citra Landsat ortho dan ketelitian pemetaan lahan sawah. Ketelitian
ortho dihitung berdasarkan selisih hasil pengukuran lapangan dengan koordinat pada citra, sedangkan
ketelitian pemetaan dihitung dengan jumlah titik yang benar dibagi jumlah titik pengamatan.
3. Hasil dan Pembahasan
Koreksi/rektifikasi ortho yang dilakukan di program INCAS menggunakan input lebih dari 50 titik control point
(X,Y,Z) yang diperoleh dari referensi citra Landsat GLS-2000 (Global Land Survey-2000) yang sudah terkoreksi
ortho dan DEM SRTM 90 meter. Titik kontrol yang digunakan terdistribusi secara merata di seluruh bagiancitra, sehingga diharapkan citra hasil koreksi mempunyai akurasi yang baik. Selain itu standar rms error yang
dipersyaratkan dalam proses ini maksimum 1 pixel. Citra ortho hasil koreksi ini digunakan sebagai input
proses segmentasi dan klasifikasi untuk pemetaan lahan sawah. Pengecekan kualitas citra dilakukan dengan
pengecekan dan pengukuran koordinat di 60 titik di lapangan dengan sebaran tidak ideal, hal ini disebabkan
karena keterbatasan aksesibilitas dan waktu. Walaupun demikian sebaran ini masih cukup baik karena cukup
mewakili area yang mempunyai lahan sawah. Berdasarkan hasil pengukuran tersebut dilakukan penghitungan
kesalahan dengan menghitung selisih koordinat pada citra dan koordinat hasil pengukuran. Hasil penghitungan
selisih koordinat di seluruh titik menunjukkan bahwa kesalahan geometri yang terjadi berkisar 1- 46 meter
untuk arah X dan 1-33 meter untuk arah Y, sehingga secara keseluruhan rata-rata kesalahan mencapai 9-11
meter. Selengkapnya rencana dan hasil pengukuran koordinat serta pengamatan kelas lahan disajikan padaTabel 1, sedangkan sebaran spasial titik hasil pengukuran disajikan pada Gambar 2.
Gambar 2. Sebaran titik pengukuran koordinat dan validasi informasi spasial
Hasil ini menunjukkan bahwa kualitas geometri citra ortho ini cukup baik dan dapat digunakan untuk aplikasi
lebih lanjut. Ketelitian klasifikasi citra yang baik belum menjadi jaminan akan ketelitian hasil pemetaan oleh
karena hal ini dipengaruhi juga oleh ketelitian geometri citra yang digunakan.
Dengan demikian penggunaan citra Landsat ini sebagai input untuk segmentasi, klasifikasi dan pemetaan
lahan sawah diharapkan akan menghasilkan informasi spasial lahan sawah yang akurat. Informasi spasial lahan
sawah hasil pemetaan divalidasi dengan menggunakan data lapangan yang diperoleh dari survey lapangan.Survey lapangan dilakukan di beberapa kabupaten dengan jumlah titik pengamatan 53 titik. Analisis terhadap
hasil pengamatan lapangan menunjukkan bahwa dari 53 titik hasil pengamatan tersebut ternyata 48 titik
hasil pengamatan memang benar merupakan lahan sawah sesuai dengan hasil pemetaan sementara hasil
pengamatan lima titik lainnya adalah salah karena ternyata bukan sawah. Lahan sawah yang ditemukan di
lapangan sebagian terbesar dalam keadaan bera sedangkan sebagian kecil lahan sawah berair/sedang awal
tanam. Hal ini disebabkan karena validasi lapangan dilakukan pada akhir musim kemarau panjang. Lima
titik yang salah klasifikasi ternyata di lapangan tiga titik merupakan kebun singkong, satu titik merupakan
tegalan sedangkan satu titik lainnya adalah permukiman. Jika dihitung maka ketelitian klasifikasi sama dengan
90,6%. Ketelitian pemetaan yang baik ini disebabkan karena cukup baiknya kualitas citra Landsat input proses
segmentasi dan cukup baiknya interpretasi/klalsifikasi citra multiwaktu untuk labeling hasil segmentasi. Contohinformasi spasial lahan sawah provinsi Lampung disajikan pada Gambar 3 (a, b, c, d, e, f, g, dan h).
Berdasarkan hasil pengukuran, pengamatan dan penghitungan serta pembahasan yang telah dilakukan dapatdisimpulkan bahwa: Pertama, bahwa akurasi/ketelitian citra Landsat ortho yang diukur dari kesalahan koordinat
di lapangan mempunyai kesalahan rata-rata 9-11 meter. Kedua, ketelitian pemetaan lahan sawah dengan
teknik segmentasi dan klasifikasi citra Landsat multiwaktu mencapai 90,6%. Namun demikian, untuk mencapai
hasil yang lebih baik/valid masih perlu dilakukan pengujian model ini di lokasi yang lain.
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal A., 2010. Object-based Classification of Range Data (Masters Thesis). Information Systems Engineering,
Graduate School of Information Science and Technology, Osaka University.
Amirin, Tatang M., 2011. Populasi dan Sampel Penelitian 2: Pengambilan Sampel dari Populasi Terhingga.
Tatangmanguny.wordpress.com
Badan Standarisasi Nasional, 2010. Standar Nasional Indonesia - Klasifikasi Penutup Lahan. Jakarta: BSN. 28
hlm.
Kampouraki M., Wood GA., Brewer TR., 2007. The Suitable of Object-Base Image Segmentation to Replace
Manual Areal Photo Interpretation for Mapping Impermeable Land Cover. (http://www.citeseerx.ist.psu.
edu/messages/downloadsexceeded, diakses tanggal 26 Februari 2012)
Kustiyo, 2010. Pengembangan Model Koreksi Geometri Ortho untuk Pemetaan Penutup Lahan WilayahIndonesia. Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 5 No. 4, Desember 2010. Hal. 168-173
Lahan Sawah. (http://www.mediabpr.com/kamus-bisnis-bank/lahan sawah.aspx, diakses tanggal 9 Maret 2011)
Murinto, Agus Harjoko., 2009. Segmentasi Citra Menggunakan Watershed dan Intensitas Filtering sebagai Pre
Processing. Seminar Nasional Informatika 2009.
Parsa I Made, Surlan, Jansen Sitorus, Dipo Yudhatama, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2012. Pengembangan
Model Standar Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh (Landsat/SPOT) untuk Pemetaan Lahan Sawah.
Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN
Parsa I Made, Surlan, Sri Harini, Achmad Sutanto, Soko Budoyo, Djoko Santo, 2011. Pengembangan Model
Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Pengelolaan Sumber Daya Lahan Mendukung KetahananPangan. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh. Jakarta: LAPAN
Parsa I Made, 2013. Optimalisasi Parameter Segmentasi Untuk Pemetaan Lahan Sawah Menggunakan Citra
Satelit Landsat (Studi Kasus Padang Pariaman, Sumatera Barat dan Tanggamus, Lampung). Jurnal
Penginderaan Jauh Vol. 10 No.2 Desember 2013. h 113-122
Purba RS., 2010. Kebijakan Pengembangan Irigasi dalam Mendukung Ketahanan Pangan Nasional. Makalah
dalam Koordinasi dan Sinkronisasi Program Inventarisasi Lahan Sawah di Provinsi Sumatera Utara.
IDENTIFIKASI TANAMAN PADA LAHAN SAWAHBERDASARKAN MODEL PERTUMBUHAN TANAMAN
MENGGUNAKAN DATA EVI MODIS MULTI TEMPORAL
Dede Dirgahayu Domiri, Heru Noviar dan Silvi
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
Abstrak
Pemantauan fase pertumbuhan tanaman padi di lahan sawah perlu dilakukan untuk memperkirakan keberhasilan
panen. Penelitian bertujuan untuk membuat metode pengolahan spasial data MODIS (Moderate Resolution Imaging
Spectroradiometer) yang dapat mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah, sehingga dapat
diketahui apakah ada tanaman lain yang ditanaman selain tanaman padi. Identifikasi tanaman dilakukan berdasarkan
segmentasi model pertumbuhan tanaman dengan menggunakan data multi temporal EVI (Enhanced Vegetation
Index)lima harian yang memiliki resolusi spasial 250m dan 500 m. Segmentasi model pertumbuhan pada fase vegetatif
dan generatif dilakukan dengan cara membuat beberapa model pertumbuhan tanaman padi berdasarkan EVI selama30 hari atau 6 buah data EVI lima harian. Pada tanaman padi dengan umur panen hingga 100 hari dihasilkan 15 model
pertumbuhan tanaman berbentuk kuadratik yang terdiri dari 7 buah model perumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah
model pda kombinasi fase vegetatif – generatif, dan 4 buah model pada fase generatif. Identifikasi tanaman selain
padi dilakukan dengan cara membandingkan koefisien-koefisien regresi kuadratik (b0, b1, dan b2) yang dihasilkan dari
6 set data EVI lima harian dengan koefisien-koefisien regresi pada 15 model pertumbuhan tanaman padi. Suatu piksel
dideteksi sebagai bukan tanaman padi jika koefisen-koefisen regresi yang dihasilkan berada diluar kisaran koefisien-
koefisien regresi model pertumbuhan tanaman padi.Hasil penelitian diterapkan untuk membuat peta tanaman pada
areal lahan sawah di kabupaten Tuban, Jawa Timur yang memiliki pola tanam padi – padi – palawija, terutama kacang
tanah.Hasil penelitian diharapkan dapat meningkatkan akurasi model prediksi luas panen tanaman padi sawah
menggunakan data MODIS.
Kata Kunci : EVI, identifikasi tanaman, Vegetatif, Generatif, Model Pertumbuhan padi
Sampai saat ini telah dihasilkan dan diterapkan beberapa metode yang digunakan dalam mengumpulkan dan
mengestimasi, luas tanam dan luas panen serta produksi padi sawah. Badan Pusat Statistik bersama-sama
Departemen Pertanian misalnya, selama bertahun-tahun secara rutin dan periodik, telah menerapkan metode
pelaporan lengkap dalam menghasilkan angka luas tanam dan luas panen, serta metoda sampling “ubinan”
dalam menduga produktivitas padi menurut wilayah. Angka yang dilaporkan oleh para petugas mantri statistik
dan mantri tani didasarkan pada tingkat pengetahuan mereka tentang wilayah kecamatan masing-masing, oleh
karena itu semakin kurang pengetahuan petugas terhadap kecamatannya maka semakin rendah pula akurasi
data yang dilaporkannya demikian pula sebaliknya.Satu kecamatan dipantau oleh masing-masing satu orang
mantri tani dan satu orang mantri statistik.
Prediksi luas panen tanaman padi di Indonesia telah dilakukan oleh berbagai instansi, antara lain oleh Badan
Pusat Statistik atau BPS, Badan Urusan Logistik atau BULOG (Mulyana et al, 1998), Departeman Pertanian
(Napitupulu, 1998), dan LAPAN (Dirgahayu, 1999). Peramalan luas panen dapat dibagi menjadi dua kelompokberdasarkan metodologi yang digunakan. Kelompok pertama didasarkan pada metodologi pengumpulan data
secara berjenjang dengan struktur organisasi yang dimiliki, yaitu dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten,
propinsi sampai pada tingkat nasional sehingga informasi yang tekumpul memerlukan waktu yang cukup lama
dan pelaksana yang cukup banyak pada setiap jenjang. Lembaga yang mengembangkan teknik ini antara lain
Badan Pusat Statistik (BPS). Departemen Pertanian (DEPTAN), dan Badan Urusan Logistik (BULOG).
Kelompok kedua lebih menekankan pada penggunaan citra atau peta dengan bantuan teknologi penginderaan
jauh sebagai dasar pendugaan areal produksi padi dan pemantuan kondisi pertumbuhan serta masa panen
tanaman padi. Kelompok yang mengembangkan teknik ini antara lain Lembaga Penerbangan dan Antariksa
Nasional (LAPAN) dan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat (Puslitanak).
Sebagian besar penelitian aplikasi inderaja terhadap tanaman padi adalah tentang estimasi produktivitas dan
jarang yang memprediksi luas panennya berdasarkan pendugaan umur.Dirgahayu (2004) telah melakukan
penelitian pendugaan umur tanaman padi menggunakan data Landsat 7 ETM. Ekstraksi nilai reflektansi 7 kanal
Landsat 7 ETM dilakukan pada blok-blok tanam lahan sawah PT. Sang Hyang Seri, Subang, Jawa Barat. Setiap
blok memiliki jadwal tanam dan varietas padi yang berbeda, sehingga rata-rata nilai reflektan tanaman padi pada
umur yang berbeda dapat diketahui hanya dengan menggunakan satu tanggal data Landsat 7 ETM. Penelitian
menghasilkan 2 model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik, baik pada fase vegetatif dan
generatif.Sejak bulai Mei 2003, data Landsat 7 ETM mengalami kerusakan (SLC-Off), sehingga penelitian ini
perlu dilakukan untuk tujuan pemantauan fase pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi menggunakan
data MODIS (Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer).Data MODIS dibawa oleh satelit Terra/Aquayang memiliki 7 kanal spektral dengan resolusi 250 m dan 500 m serta frekuensi pengamatan harian cukup
andal digunakan untuk memantau pertumbuhan tanaman pangan, terutama padi. Satelitini mulai operasioal
sejak tanggal 18 Desember 1999 (Terra) dan 4 Mei 2002 (Aqua). LAPAN baru mampu merekam data satelit ini
sejak Agustus 2004, sehingga perlu dilakukan pengkajian dan penelitian untuk pengolahan data MODIS dan
pemanfaatannya dalam berbagai aspek aplikasi.Permasalahan yang belum bisa dieliminasi adalah identifikasi
pola tanam yang dilakukan di lapangan, terutama jika dilakukan kegiatan pemantauan kondisi lahan dan
tanaman setiap bulan.Selama ini model yang diterapkan dengan asumsi bahwa semua lahan sawah ditnaami
tanaman padi, padahal kenyataannya tidak, terutuma pada periode musim kemarau (Mei – September).
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk membuat metode pengolahan
spasial data MODIS untuk mendeteksi pola tanam atau jenis tanaman pada lahan sawah menggunakan
segmentasi model pertumbuhan tanaman padi menggunakan parameter Indeks Vegetasi EVI (Enhanced
L untuk koreksi latar belakang kanopi (kondisi tanah/lahan).Hasil akhir dari implementasi program pengolahan
EVI dikombinasikan dengan SAVI, jika kondisi pengaruh atmosfer tidak signifikan yang diindikasikan oleh
reflektansi kanal biru lebih besar dari reflektansi kanal merah.Formula EVI secara umum sebagai berikut :
EVI = 2.5*(r2 – r1)/(1 + r2 + 6*r1 – 7.5*r3) (1)
Dengan : r1,2,3 = reflektansi kanal Red, NIR, dan Blue
Algoritmauntuk membuat citra EVI dalam prakteknya dilakukan sebagaiberikut (menggunakan SW ErMapper) :
If rblue<= rred or rred<= rnir then EVI = 2.5*( rnir – rred) / ( 1 + rnir + 6*rred – 7.5*rbiru )
Else EVI = 1.5*( rnir
– rred)
/ ( 0.5 + rnir
+ rred
)
Untuk mengeliminasi pengaruh cuaca harian, seperti awan terhadap nilai EVI, maka dibuat komposit citra EVI
mingguan atau 8 harian dengan metode overlay maksimum.
Analisis
Ekstraksi Nilai Rataan EVI
Training area pada citra RGB 6,2,1 dibuat pada area lahan sawah yang menunjukkan kenampakan warna birudari tubuh air sebagai indikasi awal tanam pada lahan sawah di Karawang, Subang dan Indramayu. Tingkat
homogenitas area diupayakan melalui bantuan citra EVI yang telah diklasifikasi dengan interval 0.02, sehingga
tubuh air terkelaskan menjadi 8 kelas. Selanjutnya dilakukan ekstraksi nilai rata-rata EVI komposit mingguan
dari data time series (bulan Juli 2004 – Juli 2005) pada poligon area kelas tubuh air yang dibuat.
Model Pertumbuhan Tanaman Padi
Time series EVI dari hasil ploting setiap training area dinterpretasi untuk menentukan saat terjadinya fase
vegetatif maksimum (50 - 60 hari setelah tanam), awal tanam, dan akhir tanam (fase bera), sehingga dapat
diketahui hubungan antara umur tanam dengan kisaran nilai EVI.
Analisis korelasi dan regresi dilakukan untuk memperoleh model persamaan regresi selama pertumbuhan
tanaman padi pada periode 30 harian selama fase vegetatif dan generatif Bentuk persamaan yang akan dicoba
adalah polinom orde 2 dengan persamaan umum sebagai berikut :
y = b0 + b1*u + b2*u2 (2)
y merupakan parameter pertumbuhan tanaman seperti tinggi tanaman, lebar atau luas daun, berat kering
tanaman atau EVI, sedangkan u adalah hari setelah tanam.
Profil pertumbuhan tanaman padi berdasarkan indeks vegetasi (EVI) diperlukan data Multi Temporal selama
pertumbuhan tanaman padi. Data inderaja yang memiliki resolusi spasial yang moderat dan temporal tinggi
seperti MODIS sangat andal untuk mendeteksi kondisi lahan dan pertumbuhan tanaman padi.
Penelitian oleh Dirgahayu (2005) telah menghasilkan profil pertumbuhan padi (Gambar 1) dari awal tanam
hingga panen dan fase bera dengan menggunakan data EVI 8 harian pada musim tanam tahun 2004/2005
pada lahan sawah di beberapa kabupten Jawa Barat.
Pertumbuhan vegetatif tampak diikuti dengan kenaikan nilai EVI hingga mencapai nilai maksimum anata 55 –
65 HST. Fase pertumbuhan vegetatif terbagi tiga, yaitu vegetatif awal antara 0-20 HST yang masih didominasioleh penggenangan air dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.15 dan nilai EVI < 0.2, vegetatif dipercepat antara
20 – 45 HST dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.42 dengan slop tajam, fase vegetatif diperlambat antara 45 – 60
HST dengan kenaikan nilai EVI sekitar 0.12, karena mulai pembentukan malai. Sedangkan fase perkembangan
generatif tampak terbagi 2, yaitu masa pembentukan biji antara 60 – 80 HST dengan penurunan nilai EVI
sekitar 0.25, masa pematangan antara umur 80 – 105 HST dengan penurunan nilai EVI sekitar 0.3. Selanjutnya
tanaman padi akan panen dan kondisi lahan menjadi bera dengan nilai EVI sekitar 0.17.
Model Pertumbuhan Tanaman Padi
Untuk mengetahui kisaran nilai EVI pada selang umur padi tertentu, maka dapat diduga berdasarkan model.Profil pertumbuhan tanaman padi tersebut diatas dapat dibuat modelnya.Model pertumbuhan perlu dibuat
2 untuk memisahkan fase vegetatif dan generatif, karena terjadi perbedaan gradien perubahan nilai EVI.Jika
dibuat hanya satu model dapat terjadi nilai observasi yang tidak terwakili, karena nilai kesalahan persamaan
regresi bertambah. Model pertumbuhan tanaman padi dalam bentuk spline kubik yang dihasilkan, adalah
sebagai berikut :
(a) Fase Vegetatif : y = -0.0006u3 + 0.0552u2 + 0.2146u + 138.33
n = 41; R2 = 0.96 ; Se = 5.89 (1)
(b) Fase Generatif : y = 0.0007u3 - 0.1746u2 + 12.858u - 77.04
n = 35; R2 = 0.96 ; Se = 4.95 (2)
(c) y = 128 +125*EVI; u = HST (Hari Setelah Tanam) (3)
Hasil analisis Sidik Ragam koefisien regresi dengan selang kepercayaan 95 % (taraf uji 5 % ) untuk model
pertumbuhan tanaman padi ditunjukkan pada Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif
Parameter Koefisien Se t Stat Kisaran 95 %
b0 138.3299 2.1651 63.89** 133.94 142.72
b1 0.2146 0.3400 0.63tn -0.4743 0.9035
b2 0.0552 0.0140 3.95** 0.0269 0.0834
b3 -0.0006 0.0002 -3.97** -0.0009 -0.0003
Tabel 2. Hasil Uji Statistik Keofisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Generatif
Parameter Koefisien Se t Stat Kisaran 95 %
b0 -77.0371 101.6776 -0.76tn -284.41 130.34
b1 12.8577 3.7198 3.46** 5.2712 20.4442
b2 -0.1746 0.0442 -3.95** -0.2647 -0.0845
b3 0.0007 0.0002 4.07** 0.0003 0.0010
Pendugaan Umur Tanaman Padi
Pendugaan umur tanaman padi dapat dilakukan dengan menggunakan kedua model pertumbuhan tanaman
padi tersebut di atas berdasarkan parameter EVI, tetapi diperlukan minimal 2 data multi temporal Data EVI
MODIS untuk ditentukan terlebih dahulu kondisi lahan sawah, apakah berada dalam dominasi air atau bera serta
fase pertumbuhan tanaman padi vegetatif dan generatif. Dalam prakteknya secara teknis untuk menerapkanmodel pertumbuhan tersebut harus dibuat citra fase padi sebagai Maskinguntuk menduga umur tanaman
padi dalam suatu citra tunggal denagn asumsi bahawa sluruh areal lahan sawah ditanamai oleh tanaman padi.
Untuk membuat citra fase tersebut diperlukan minimal dua citra EVI pada 2 waktu yang berbeda (t dan t-1),
misalnya dengan perbedaan waktu 10 hari. Kondisi fase vegetatif (perubahan positif) dan generatif (perubahan
negatif) lahan sawah yang didominasi oleh vegetasi dapat dideteksi berdasarkan perubahan nilai EVI atau DEVI
dengan kriteria sebagai berikut :
DEVI(t)
= EVI(t)
–EVI(t-1)
(5)
(a) Fase dominan air, jika EVI(t)
<= 0.19
(b) Fase bera, jika EVI(t)> 0.19 dan EVI(t)< 0.22(c) Fase vegetaf jika nilai DEVI > 0
(d) Fase generaf jika nilai DEVI < 0
Umur tanaman padi dapat ditentukan berdasarkan kisaran nilai EVI yang diduga berdasarkan persamaan
pertama jika memenuhi kriteria a, dan c serta diduga berdasrkan model persamaan kedua jika memenuhi
kriteria d. Klasifikasi citra EVI menjadi umur padi dapat dilakukan dengan kriteria seperti yang tercantum pada
Tabel 3-3.
Permasalahan akan timbul jika pada lahan sawah tersebut ditanami oleh tanaman lain selain padi, terutama
pada saat tidak adanya dominasi air pada lahan sawah tersebut. Pendugaan umur berdasarkan kriteria pada
Tabel 3 tidak berlaku bagi tanaman lain, misalnya palawija. Kegiatan pemantauan kondisi tanaman padalahan sawah memerlukan informasi yang cepat, misalnya untuk informasi spasial bulanan, karena tidak mungkin
harus menunggu informasi sampai 2 bulan. Informasi tidak akan berguna jika terlambat, karena fenomena
gejala-gejala kekeringan dan serangan hama penyakit tidak bisa terdeteksi. Oleh karena itu untuk kegiatan
pemantauan tanaman, prediksi waktu dan luas panen, serta estimasi produktivitas tanaman pada suatu areal
lahan sawah harus diketahui pola tanam pada lahan tersebut. Permasalahnnya, informasi tentang pola tanam
pada lahan sawah di setiap daerah tidak dapat diketahui secara menyeluruh. Selain itu informasi yang adapunhanya berupa informasi umum berbentuk tabular, tidak disebutkan secara detil kapan tanggal awal tanam
suatu jenis tanaman.
Tabel 3. Kisaran Nilai EVI pada Interval Umur Padi
No HST Kisaran EVI DEVI
1 0 - 5 < 0 - 0.102 > 0
2 5 - 10 0.103 - 0.139 > 0
3 10 - 15 0.140 - 0.192 > 0
4 15 - 20 0.211 - 0.255 > 0
5 20 - 25 0.256 - 0.327 > 0
6 25 - 30 0.328 - 0.402 > 0
7 30 - 35 0.403 - 0.478 > 0
8 35 - 40 0.479 - 0.551 > 0
9 40 - 45 0.552 - 0.617 > 0
10 45 - 50 0.618 -
0.672> 0
11 50 - 55 0.673 - 0.714 > 0
12 55 - 60 0.715 - 0.739 > 0
13 60 - 65 0.682 - 0.738 < 0
14 65 - 70 0.637 - 0.681 < 0
15 70 - 75 0.580 - 0.636 < 0
16 75 - 80 0.517 - 0.579 < 0
17 80 - 85 0.450 -
0.516< 0
18 85 - 90 0.386 - 0.449 < 0
19 90 - 95 0.327 - 0.385 < 0
22 95-100 0.278 - 0.326 < 0
23 100-105 0.243 - 0.277 < 0
24 Bera 0.193 - 0.211 <= 0
Segmentasi Model Pertumbuhan untuk Identifikasi Tanaman
Keterbatasan air irigasi pada lahan sawah menyebabkan dilakukannya pola tanam yang berbeda pada daerah
tertentu. Untuk daerah yang memiliki ketersediaan air yang cukup, baik dari irigasi atau curah hujan, maka
dapat melakukan penanaman padi sebanyak 3 kali /tahun. Daerah yang tidak memliki ketersediaan air yang
cukup untuk pertumbuhan tanaman padi, terutama pada periode musim kemarau (April – Agustus) sebaiknya
melakukan penanaman tanaman selain padi, misalnya palawija. Alternatif pola tanamnya bisa padi – padi
- palawija atau padi – palawija – padi atau bahkan hanya bisa tanam 1 kali padi dengan pola tanam padi –palawija – palawija.
Untuk pemantauan kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi setiap bulan perlu diketahui pola
tanamnya. Permasalahannya adalah informasi tersebut hanya berupa tabular, bukan berupa spasial atau peta
tanam serta untuk seluruh daerah tidak diketahui secara detil waktu tanam padi serta pola tanamnya. Prediksi
luas panen padi maupun produktifitas padi menggunakan data inderaja bisa menghasilkan informasi yang lebih
banyak, jika hanya mengasumsikan bahwa semua lahan sawah ditanami padi. padahal pada kenyataannya
bukan tanaman padi.
Sebagai contoh profil pertumbuhan tanaman kacang tanah yang ditanam pada lahan sawah di daerah Tuban,
Jawa Timur dan perbedaannya dengan tanaman padi ditunjukkan pada Gambar 4. Pada Gambar tersebuttampak secara grafis bahwa pada fase vegetatif terlihat perbedaan 2 kurva cukup signifikan yang ditunjukkan
oleh intercep yang berjarak cukup jauh. Sedangkan pada fase generatif tampak slope dan intercep kedua
kurva tidak begitu berbeda, sehingga agak sulit dibedakan jika nilai X (Hari Setelah Tanam) untuk mencapai
nilai Y maksimum tidak begitu berbeda. Perbedaan bisa terjadi jika saat mencapai nilai Y maksimum, nilai X
agak berbeda. Secara kuantitatif kedua kurva dapat dibedakan dengan uji beda terhadap nilai intersep dan
slope (gradien) kurva, karena nilai keduanya merupakan karakteristsik pertumbuhan setiap tanaman.
Gambar 4. Perbedaan Profil Pertumbuhan Tanaman Padi dan Kacang Tanah
Sebagai upaya untuk mebedakan jenis tanaman yang ada pada lahan sawah untuk tujuan pemantauan dalam
30 hari, maka perlu dilakukan segmentasi model pertumbuhan, artinya dibuat beberapa model pertumbuhan
berbentuk kuadratik dengan periode 1 bulan dengan selang interval 5 hari setelah tanam (HST). Model yang
berbentuk kuadratik adalah pendekatan yang logis, karena pada periode 1 bulan tanaman padi bisa saja
memliki kisaran umur antara 45 – 75 HST atau 55 – 85 HST yang berbentuk mendekati kuadratik (lihat Gambar
5). Dengan demikian terdapat 7 buah persamaan model pertumbuhan pada fase vegetatif, 4 buah persamaan
pada fase generatif serta 4 persamaan pada kombinasi fase vegetatif dan generatif. Secara detil model-
model segmentasi pertumbuhan tanaman padi bulanan dapat dilihat pada Gambar 5 dan Gambar 6, serta hasil
Tabel 4. Koefisien Regresi Model Pertumbuhan Tanaman Padi Periode 30 Hari
No Umur (HST) bo b1 b2
1 5 – 30 136.44 0.6902 0.0237
2 10 – 35 133.20 1.0501 0.0147
3 15 - 40 127.94 1.5001 0.0057
4 20 – 45 120.20 2.0401 -0.0033
5 25 – 50 109.53 2.6702 -0.0123
6 30 - 55 95.49 3.3901 -0.0213
7 35 - 60 77.63 4.2001 -0.0303
8 40 - 65 -5.93 7.6792 -0.0659
9 45 - 70 -53.39 9.3465 -0.0803
10 50 - 75 -18.86 8.0804 -0.0689
11 55 - 80 105.23 4.2266 -0.0393
12 60 - 85 250.72 0.1329 -0.0107
13 65 - 90 241.95 0.3333 -0.0119
14 70 - 95 308.73 -1.3468 -0.0013
15 75 - 100 384.17 -3.1317 0.0091
Setiap koefisien memiliki kisaran nilai tertentu untuk berlakunya suatu piksel masuk dalam tren pertumbuhan
padi selama peiode 30 harian. Oleh karena itu perlu dibuat 3 buah tabulasi yang berisi kisaran nilai-niali b0,b1,
dan b2 yang dapat berjumlah maksimum 30 data. Jika dalam seri data 1 bulan yang terdiri dari 6 buah data
Indeks Vegetasi lima harian tidak memliki trend kuadratik dengan nilai koefisien b0,b1, dan b2 diluar kisaran
tanaman padi, maka diidentifikasi sebagai bukan tanaman padi. Algoritma sederhana untuk identifikasi jenistanaman pada lahan sawah adalah sebagai berikut :
if data[i] <= 152 then 1 else if b0 >= a and b0 <= b and b1 >= c and b1 <= d
and b2 >= e and b2 <= f then 1 else 2
data[i] <= 152 : data pada lima harian ke-1,…,6 dengan IV <= 152 (EVI <= 0.193) terdeteksi sebagai obyekair sehingga
diberi nilai 1 (tanaman padi), jika dak diberi nilai 2 (tanaman lain).
a,b : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b0
c,d : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b1
e,f : batas kisaran minimum dan maksimum nilai koesien b2
Gambar 5. Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif Periode 1 Bulan
Model Pertumbuhan Padi Pada Vegetatif - Generatif
164
176
188
200
212
224
40 50 60 70 80 90 100
HST
45 - 70HST
70 - 95HST
Gambar 6. Model Pertumbuhan Tanaman Padi pada Fase Vegetatif - Generatif
Implementasi model untuk membuat citra fase tanaman di kabupaten Tuban, Jawa Timur pada lima harian ke-5atau Minggu ke-3 bulan Agustus 2006 ditampilkan pada Gambar 7. Distribusi spasial umur tanaman padi dan
non padi (kacang tanah)untuk skala kabupaten Tuban dapat dilihat pada Gambar 8.
Pembagian status air tersebut didasarkan pada evapotranspirasi potensial (ETP) rata-rata dan persentase curah hujan
efektif. Untuk mendapatkan curah hujan efektif > 25 mm/dasarian dengan peluang 75 %, maka curah hujan rata-
rata harus > 50 mm/dasarian atau 150 mm/bulan. Angka ini sering digunakan sebagai batas kelayakan curahhujanuntuk awal musimtanam tanaman padi. FAO (1978) dalam Hardjowigeno (2001) menganjurkan kombinasi curah
hujan dengan evapotranpirasi potensial untuk masa tanam , yaitu dengan kriteria rasio CH/ETP > 0.5. Batas ambang
tersebut juga dapat digunakan sebagai indikasi terjadi kekeringan.
Salah satu metode pemantauan tanaman padi yang dapat dilakukan adalah dengan memanfaatkan data satelit
penginderaan jauh. Data satelit yang dapat digunakan untuk pemantauan tanaman padi dengan cakupan
wilayah yang luas dan temporal yang tinggi adalah datasatelit MODIS Terra-Aqua. Dari data MODIS dapat
diekstrak nilai indeks vegetasi EVI (Enhanced Vegetation Index) seperti yang pernah dilakukan oleh Huete
et al. (1997). Dengan menggunakan nilai EVI secara temporal diharapkan dapat dilihat dan dicirikan fluktuasi
pertumbuhan tanaman padi.
Informasi spasial awal tanam padi sangat diperlukan untuk mengetahui persentase realisasi tanam padi.
Jika realisasi tanam masih dibawah target dari rencana target luas panen dan Kalender Tanam (Katam),
maka instansi terkait seperti Badan Ketahanan Pangan, Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP),
dibawah Kementan dan Dinas Pertanian Daerah dapat melakukan antisipasi agar kegiatanan penanaman dapt
dipercepat.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi awal tanam padi menggunakan data EVI Modis Multitemporal.
Manfaat penelitian adalah dapat diketahuinya persentase realisasi tanam padi yang telah dilakukan di lapangan.
Selain itu untuk mengevaluasi apakah sistim katam (kalender tanam) dilakukan atau tidak.
METODE
Diagram alir tahapan penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di areal persawahan Kabupaten Indramayu sebagai salah satu sentra produksi padi di
Jawa Barat. Luas Kabupaten Indramayu yang tercatat seluas 204.011 Ha, terdiri atas 110.877 Ha lahan sawah
(54,35%) dengan irigasi teknis sebesar 72.591 Ha, 11.868 Ha setengah teknis 4.365 Ha irigasi sederhana PU
dan 3.129 Ha irigasi non PU. Permasalahan yang sering terjadi di areal persawahan di Kabupaten Indramayuadalah masih terjadinya kekeringan pada musim kemarau dan banjir pada musim penghujan.
Bahan dan Alat
Data primer adalah citra MODIS 8 harian dari Januari 2007 sampai dengan 2009. Pengolahan data dilakukan
dengan menggunakan Software ER Mapper dan beberapa program khusus yang dibuat sendiri agar proses
pengolahan data dapat dilakukan secara otomatis. Data lain yang digunakan adalah peta baku lahan sawah
dari departemen Pertanian dan data hasil survey lapangan.Alat yang digunakan untuk penelitian adalah
seperangkat komputer, peralatan pengamatan lapangan, alat tulis, dan printer.
Nilai atribut klasifikasi sawah (Swh_Id) dihitung dengan formula :
Swh_Id = Mx-Tn_Id + 3*( Maksimum_Id – 1) (3)
Dimana,
Swh_Id = Atribut Kelas padi
Mx-Tn_Id = Atribut Kelas EVI maksimum dikurang EVI saat tanam
Maksimum_Id = Atribut Kelas EVI maksimum
Untuk membuat profil pertumbuhan tanaman padi EVI multitemporal berdasarkan piksel-piksel yang relatifhomogen, maka data EVI tersebut harus diekstrak berdasarkan poligon yang memiliki kelas padi dan awal
tanam yang sama. Poligon tersebut dapat terbentuk dengan cara mengoverlay vektor poligon Klasifikasi Padi
dengan nilai atribut Klas_id dan vektor polgon awal tanam (AT). Nilai atribut padi (Padi_Id) dihitung dengan
formula sbb :
Padi_id = Swh_id + 18*(AT_id – 1 ) (4)
Dimana,
Padi_id = nilai atribut padi
Swh_id = nilai atribut kelas padi
AT_id = nilai atribut awal tanam (Julian date )
Selanjutnya vektor poligon tersebut dikonversi menjadi Region Raster oleh SW ErMapper ke file EVI
Multitemporal untuk dihitung nilai statistiknya pada setiap region dengan atribut Padi_Id. Kemudian dilakukan
tabulasi nilai EVI berdasarkan umur / awal tanam yang sama sehingga diperoleh profil EVI setiap kelas padi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penentuan Areal Tanaman PadiData Reflektan Modis 8 harian yang telah dikumpulkan dikoreksi geometrik dan dimosaiking dengan
menggunakan software MODIS Reprojection Tool agar diperoleh citra pulau Jawa dan Bali. Kemudian dilakukan
pemisahan awan pada data tersebut dengan menggunakan software ER Mapper. Setelah dilakukan koreksi lalu
dari data tersebut diekstrak nilai EVI nya dengan menggunakan persamaan (1) sehingga diperoleh data Indeks
Vegetasi (IV) MODIS 8 harian.Data dari hasil ekstraksi tersebut kemudian dismoothing dengan menggunakan
program Gambar 2 merupakan contoh tampilan program smoothing dan hasilnya.
Gambar 2. Contoh program penghalusan EVI dan hasilnya
Hasil dari smoothing tersebut kemudian di overlay dengan lahan baku sawah dari data landsat sehinggadiperoleh profil IV per piksel. Karena setiap obyek yang dipermukaan bumi mempunyai profil yang berbeda-
beda maka dapat dibedakan juga profil yang diduga sebagai profil padi. Dari profil yang diperoleh dari tiap
piksel didapat bahwa untuk piksel-piksel yang diduga tanaman padi mempunyai tiga puncak untuk periode
2007 sampai dengan 2009. Hal ini menandakan bahwa terjadi tiga periode tanam. Berdasrkan hasil analisis
statistik pada sampel area yang dibuat menunjukkan bahwa perubahan EVI selama pertumbuhan tanaman
padi membentuk kurva seperti lonceng (Gambar 2) dan mempunyai selang waktu 112-120 hari. Tanaman padi
rata-rata mencapai nilai EVI maksimum >= 0.45 dan EVI minimum <= 0.22 (fase air). Sedangkan selisih nilai
EVI maksimum dan EVI minimum (saat tanam) > 0.35. Hasil analisis statistik data EVI multitemporal selama
3 tahun menghasilkan citra EVI maksimum, Rata-rata, dan EVI minimum. Komposit RGB dari ketiga citra
tersebut ditunjukkan pada Gambar 3. Lahan sawah dapat dideteksi dengan kenampakan warna dominan hijaudibandingkan dengan penutup lahan yang lain
ANALISIS NILAI EKOLOGI LAHAN SAWAH DI KOTADEPOK JAWA BARAT MENGGUNAKAN DATA SATELIT
PENGINDERAAN JAUH
Mukhoriyah
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh - LAPAN
ABSTRAK
Kota Depok merupakan salah satu kota Megapolitan Jabodetabekpunjur, yaitu Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi, Puncak, dan Cianjur. Jumlah penduduk Kota Depok pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas
wilayah 20.009,92 ha. Aktivitas penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat, sementara
itu luas lahan pada dasarnya tidak berubah. Hal ini menimbulkan perbandingan yang tidak seimbang antara perilaku
manusia dan lingkungan dimana banyak lahan sawah yang dikembangkan menjadi kawasan terbangun. Keberadaan
ekologi semakin menurun dan kurang mendapat perhatian sehingga berdampak pada bencana banjir setiap
tahunnya. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji ekologi lahan sawah di Kota Depok menggunakan data citrasatelit Landsat-7 TM tahun 2000 dan citra satelit SPOT-4 tahun 2011. Kajian ekologi dilakukan dengan menganalisis
konservasi air berdasarkan pembobotan variable curah hujan, penutup lahan dan kandungan liat. Selain itu dilakukan
analisis ruang terbuka hijau (RTH) dan analisis sebaran titik banjir. Hasil menunjukkan telah terjadi perubahan penutup
lahan sawah menjadi lahan terbangun sebesar 11,49%. Hasil perhitungan nilai ekologi yang diperoleh berdasarkan
hasil pembobotan adalah lahan sawah yang mempunyai nilai ekologi tinggi merupakan kawasan konservasi air
(80,21%), terdapat sebaran titik banjir (182,68 ha) dan memiliki RTH seluas 655,70 ha; Lahan sawah yang memiliki nilai
ekologi sedang merupakan kawasan konservasi air (17,75%) dan mempunyai RTH seluas 143,64 ha; Dan lahan sawah
yang memiliki nilai ekologi rendah merupakan wilayah genangan titik banjir (156,52 ha) dan mempunyai RTH seluas
20,08 ha.
Kata Kunci: Ekologi, Penutup Lahan, Sawah, Satelit Landsat dan SPOT
Perkembangan tata ruang Kota Depok dipengaruhi oleh kebijakan pemanfaatan ruang pada tingkat nasional
dan provinsi yang diarahkan sebagai kawasan penyangga dan resapan air untuk wilayah DKI Jakarta, kawasan
industri dan permukiman, serta budidaya lahan basah (PERDA Kota Depok No. 2 tahun 2009). Lahan sawah
dianggap sebagai barang publik, karena selain memberikan manfaat yang bersifat individual bagi pemiliknya,
dan memberikan manfaat yang bersifat sosial. Kota Depok juga merupakan salah satu kota kawasan Megapolitan
Jabodetabekpunjur yaitu Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Jumlah penduduk
pada tahun 2011 mencapai 1.813.612 jiwa dengan luas wilayah 20.009,92 ha (BPS Kota Depok, 2011). Aktivitas
pembangunan dan pertambahan penduduk yang tinggi menyebabkan kebutuhan terhadap lahan meningkat,
sementara itu ketersediaan dan luas lahan pada dasarnya tidak berubah.
Meningkatnya arus urbanisasi yang terjadi di Kota Depok menyebabkan banyaknya permintaan dan
mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Meningkatnya penggunaan lahan pertanian dimana makin
terbatasnya luas lahan sawah yaitu tahun 2011 sebesar 932 dan meningkatnya jumlah penduduk menyebabkanperbandingan yang tidak seimbang antara perilaku manusia dan lingkungan. Keberadaan lahan sawah di
Kota Depok harus dipertahankan keberadaannya sebab secara ekologi berfungsi sebagai daerah resapan
air, pengendali banjir, sebagai ruang terbuka hijau, pengendali keseimbangan tata air dan penyangga untuk
wilayah sekitanya serta sebagai habitat biota air. Tetapi saat ini keberadaan nilai ekologi semakin menurun
dan kurang mendapat perhatian. Dampak yang ditimbulkan adalah kerusakan ekologi jangka panjang yaitu
timbulnya bencana banjir setiap tahunnya (Jayadinata, 2008).
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh digunakan untuk memetakan berbagai objek di permukaan bumi
dan mengidentifikasi penggunaan lahan serta perubahannya dari tahun 2000-2011. Beberapa kajian telah
dilakukan untuk memanfaatkan data satelit penginderaan jauh untuk mengetahui perubahan lahan sawah dan
menentukan nilai ekologi, yaitu: pemantauan perubahan lahan pertanian (Irawan (2005), Pakpahan et al. (1993),
Rustiadi et al. (2005)); perhitungan nilai ekologi (Odum (1993). Pada kegiatan ini dilakukan analisis ekologi
lahan sawah di Kota Depok periode 2000-2011 menggunakan data satelit multi temporal Landsat TM dan citra
SPOT 4.
METODOLOGI
Lokasi penelitian berada di Kota Depok Provinsi Jawa Barat yang memiliki luas wilayah 20.029, 92 ha dan terdiri
dari 11 kecamatan. Data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah citra satelit multitemporal Landsat-7
TM tahun 2000 dan citra SPOT-4 tahun 2011, data penutup lahan. Metode yang digunakan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut.
• Analisis perubahan penutup lahan sawah tahun 2000-2011, dilakukan dengan secara visual untuk
mengklasifikasi kelas penutup lahan. Berdasarkan hasil identifikasi penutup lahan di Kota Depok, diperoleh
sembilan kelas penutup lahan, yaitu: tubuh air, industri, kebun campur, ladang/tegalan, lahan terbuka,
lapangan golf, permukiman, sawah dan semak/belukar. Klasifikasi dilakukan menggunakan data Landsat 7
TM/ETM+ dan SPOT-4 untuk tahun yang berbeda.
• Analisis konservasi air, dilakukan dengan menentukan kondisi utama dari penutup lahan sawah dan
kemampuan tanahnya dalam menyimpan air. Perumusan model konservasi air mengacu pada penelitian
Zain (2002) dimana penelitian tersebut dilakukan di wilayah Jabodetabek dengan modifikasi beberapavariabel seperti curah hujan, penutup lahan, kandungan liat (Lembaga Penelitian Tanah, 1969). Dalam
penelitian ini dilakukan dua proses yaitu skoring dan pembobotan sehingga dihasilkan kelas konservasi
air yaitu kelas tinggi, sedang dan rendah dengan menggunakan variabel curah hujan. Pemodelan zona
konservasi air (Zain, 2002) menggunakan Persamaan (1) sebagai berikut:
WC = (0.21 x P) + (0.42 x LU) + (0.03 x KL) (1)
Dimana: WC = Fungsi lahan sawah sebagai kawasan konservasi air
P = Curah hujan
LU = Luas penutup lahan sawah
KL = Kandungan Liat
Hasil pemodelan daerah konservasi air dari pembobotan beberapa parameter adalah:
1. Wilayah yang memiliki kemampuan tinggi dalam mengkonservasi air.
2. Wilayah yang memiliki kemampuan sedang dalam mengkonservasi air.
3. Wilayah yang memiliki kemampuan rendah dalam mengkonservasi air
• Analisis Ruang Terbuka Hijau, merupakan standar penyediaan RTH adalah 15 m2/penduduk atau minimal
dari luas areal kota dalam berbagai bentuk. Kemampuan lahan sawah untuk menyerap CO2 pertahun
dapat dihitung melalui penelitian (IPCC, 2006) dimana lahan sawah memiliki daya serap gas CO2 sebesar
175,20 ton CO2/ha/tahun (DPU, 1996)
• Analisis Sebaran Titik Banjir, yaitu akibat tingginya curah hujan menunjukkan bahwa kapasitas alir sungai
tidak lagi mampu menampung debit air sehingga terjadi luapan air di beberapa lokasi karena kapasitasalir lebih rendah dari debit aliran. Keterbatasan kapasitas alir disebabkan karena di sepanjang sisi sungai
telah dipenuhi oleh permukiman penduduk sehingga sungai tidak lagi dapat mengikuti kesetimbangan
alam untuk menampung aliran dari hulu dan berubah fungsi menjadi saluran drainase. Analisis sebaran
titik banjir diperoleh dari hasil overlay peta sebaran titik banjir dengan peta penutup lahan sawah tahun
2011. Hasil tersebut digunakan untuk mengetahui luas lahan sawah yang berada di genangan titik banjir
akibat terjadinya perubahan lahan sawah menjadi lahan terbangun.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Perubahan Penutup Lahan Sawah Tahun 2000-2011
Hasil klasifikasi penutup lahan tahun 2000 dan tahun 2011 digunakan untuk mendeteksi perubahan jenis dan
lokasi yang dituangkan dalam peta perubahan penutup lahan dengan menggunakan data Landsat 7 TM/ETM+
dan SPOT-4 diperlihatkan pada Gambar 1 dan 2 dan hasil stratistik luas perubahan penutup lahan diperlihatkan
pada Tabel 1. Peruntukan penutup lahan Di Kota Depok mengalami kenaikan yang sangat signifikan, dimana
pada tahun 2000 luas lahan non pertanian dan kawasan terbangun mencapai 6.130,17 ha (30,64%) dan pada
tahun 2011 mengalami perubahan sebesar 11.882,17 ha (59,38%) atau mengalami peningkatan seluas 28,57
%. Sedangkan luas lahan sawah pada tahun 2000 sebesar 3.118.21 ha (15,58%) dan mengalami penyusutan
di tahun 2011 menjadi 819,42 ha (4,09%) atau lahan sawah mengalami konversi sebesar 2.298,79 ha (11,49%).
Lahan sawah lebih mudah dikonversi menjadi lahan terbangun atau peruntukan lainnya karena lahan sawah
banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan komersial dan harga lahan sawah cenderung lebih murah di bandingkan
Berdasarkan hasil analisis, Kota Depok memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) dengan luas 5.056,35 ha. RTH
berfungsi sebagai daerah resapan air dan mempunyai kemampuan dalam menyerap karbon CO2. Kota Depok
yang merupakan wilayah penyangga daerah sekitarnya dimana lahan sawah mempunyai fungsi ekologi untukmenjaga ekosistem tumbuhan dan tanaman (Gambar 4 dan 5). Daya serap gas Co2 untuk lahan sawah adalah
175,20 Ton Co2/ha/tahun. Jika luas lahan sawah di Kota Depok 819,42 ha, maka estimasi kemampuan daya
serap lahan sawah Kota Depok terhadap CO2 yaitu 143.562,38 ton CO2/ha/tahun. Perhitungan daya serap
CO2 tersebut berdasarkan luas lahan sawah (tahun 2000 sebesar 3.118.21 ha dan tahun 2011 sebesar 819,42
ha) dan kepadatan CO2, sehingga bisa diketahui kemampuan daya serap CO2 pada lahan sawah meliputi:
• Lahan sawah dengan RTH Tinggi mempunyai luas 655,70 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar
114.878,64 ton CO2/ha/tahun.
• Lahan sawah dengan RTH Sedang mempunyai luas 143,64 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar
25.165,73 ton CO2/ha/tahun.• Lahan sawah dengan RTH Rendah mempunyai luas 20,08 ha dan mampu menyerap CO2 sebesar
Konversi lahan menjadi permasalahan utama yang mengakibatkan terjadinya kerusakan di bagian hulu daerah
tangkapan air (DTA), yang selanjutnya mengakibatkan berubahnya siklus hidrologi di DTA tersebut. Bila hujan
turun pada tanah yang terbuka, maka air akan masuk kedalam tanah yang memiliki kesuburan tinggi. Dengan
tidak adanya pohon yang menahan air hujan agar meresap ke dalam tanah, maka aliran air permukaan akan
meningkat. Aliran air permukaan yang besar dan cepat akan mengikis lapisan permukaan tanah yang subur
sehingga menyebabkan hilangnya kesuburan tanah. Dampak yang terjadi adalah meningkatnya erosi tanah
pada musim hujan dan kurangnya air pada musim kemarau karena rendahnya resapan air ke dalam tanah (www.
Salmaghaliza.blogspot.com)
Permasalahan di DTA berakibat pada turunnya kualitas danau seperti: pendangkalan dan penyempitan danau,
penyebaran eceng gondok dan turunnya kualitas air. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha pencegahan agar
kerusakan DTA tidak berlanjut terus, serta upaya pemulihan kualitas danau sehingga danau-danau tersebut
dapat tetap lestari. Untuk menangani permasalahan ini, pemerintah telah menggulirkan program nasionalpenyelamatan danau 2010-2014 yang diprioritaskan kepada 15 danau yang telah mengalami kerusakan (KLH,
2011). Program tersebut telah ditindak lanjuti dengan diadakannya Konferensi Danau I di Bali pada tahun 2009
dan Konferensi Danau II di Semarang pada Tahun 2011, yang menghasilkan kesepakatan antara 9 Kementerian
dan penegasan kembali untuk pemulihan 15 danau prioritas.
Berdasarkan pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau (KLH, 2008) dijelaskan bahwa status ekosistem danau
ditentukan oleh beberapa faktor, yang salah satunya adalah erosi lahan. Erosi merupakan suatu proses hilangnya
lapisan tanah, baik disebabkan oleh pergerakan air maupun angin (Foth, 1995). Tingkat erosi yang tinggi
dan melebihi batas toleransi mengakibatkan DTA suatu danau diberi status mengalami kerusakan. Metode
Universal Soil Loss Equation (USLE) adalah metode pendugaan laju erosi tanah yang cukup populer dan sangat
baik diterapkan di daerah yang faktor utama penyebab erosi adalah hujan dan aliran permukaan (As-syakur,
2008), tetapi metode USLE membutuhkan beberapa masukan data pengukuran lapangan yang belum tentu
tersedia untuk setiap wilayah Indonesia. Metode pendugaan lain berbasis data satelit penginderaan jauh, yang
membutuhkan informasi spasial kemiringan lereng dan data Normalized Difference Vegetation Index (NDVI)
untuk wilayah kajian (Hazarika dan Honda, 2001). Data NDVI yang dibutuhkan untuk pendugaan laju erosi
tanah adalah NDVI minimum dan maksimum pada suatu wilayah selama periode tertentu.
NDVI adalah indeks vegetasi yang paling popular digunakan dan dapat mengambarkan kondisi tingkat
kehijauan, kesehatan dan kerapatan vegetasi. NDVI dikembangkan oleh Rouse et al. (1974), berbasis kepada
perbedaan nilai pantulan band inframerah dengan band merah. Tumbuhan hijau akan menyerap gelombang
pada spektrum merah untuk proses fotosintesis, dan memantulkan gelombang pada spectrum inframerah.Parameter indek vegetasi sebaiknya memenuhi syarat (Jensen, 2000): (a) Memaksimalkan sensitifitas dari
parameter biofisik tanaman, (b) Menormalkan pengaruh dari luar seperti: sudut matahari, sudut pandang sensor,
atmosfir dan waktu perekaman, (c) menormalkan pengaruh dari dalam seperti: variasi dari jenis kanopi dan
tanah, kondisi topografi, jenis tanaman, (d) dapat dihubungkan dengan parameter biofisik yang dapat diukur
seperti biomassa atau leaf area index (LAI) yang dapat dijadikan alat validasi dan kontrol kualitas informasi.
Walaupun NDVI diharapkan dapat terlepas dari pengaruh faktor luar dan faktor dalam, tetapi pada kenyataannya
faktor-faktor tersebut mempengaruhi nilai dijital piksel secara berbeda untuk setiap band. Oleh karena itu NDVI
yang berbasis pada selisih band tidak akan terlepas sepenuhnya dari pengaruh tersebut. Beberapa faktor
yang mempengaruhi nilai dijital piksel adalah pengaruh tutupan awan/haze, bayangan dan beda pencahayaan
karena perbedaan kondisi topografi permukaan bumi. Faktor yang paling berpengaruh untuk wilayah Indonesia
adalah faktor tutupan awan, karena Indonesia terletak di wilayah tropis yang merupakan wilayah pembentukan
Kegiatan ini bertujuan untuk untuk membuat informasi spasial NDVI minimum dan maksimum di DTA Danau
Kerinci menggunakan citra multi temporal Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Proses standarisasi
data dilakukan dengan melakukan koreksi geometri matahari dan terrain, kemudian melakukan penghilangan
awan/haze dan bayangan awan dengan menggunakan kombinasi band. Diharapkan proses standarisasidata, penghilangan awan/haze dan bayangan dapat mempertahankan konsistensi nilai NDVI sehingga dapat
digunakan untuk mendukung pendugaan laju erosi tanah yang akurat.
METODE
Lokasi dan Data
Lokasi kajian adalah daerah tangkapan air Danau Kerinci di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, Indonesia (Gambar
1). Danau Kerinci merupakan salah satu dari 15 danau yang termasuk dalam program pengelolaan danau prioritas
tahun 2010-2014 yang dikeluarkan oleh BLHPP (Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian Pengembangan), KLH
(http://blhpp.wordpress.com/) . Ekosistem sekitar Danau Kerinci mempunyai permasalahan dengan terjadinyakerusakan DAS karena konversi lahan yang mengakibatkan tingginya laju erosi tanah di wilayah DTA. Wilayah ini
mempunyai kondisi topografi yang bervariasi dan dikelilingi oleh pegunungan bukit barisan, dengan penutup
lahan yang utama terdiri dari pertanian, perkebunan, hutan dan ladang/tegalan.
Data penginderaan jauh satelit yang digunakan adalah data Landsat TM/ETM selama periode 2000-2009, dan
data Dijital Elevation Model (DEM) SRTM X-C band. Kedua jenis data tersebut mempunyai resolusi spasial
yang sama yaitu 30 m. Data Landsat TM/ETM+ diperoleh dari program Indonesia National Carbon Accounting
System (INCAS), kondisi data sudah terkoreksi geometri matahari (konversi nilai dijital ke reflektansi) dan
sebagian sudah terkoreksi terrain. Dari data yang diterima dilakukan evaluasi tingkat penutup awan, untuk
selanjutnya dipilih 19 data dengan tingkat penutup awan yang relatif rendah untuk digunakan. Data yang dipilih
juga memperhatikan keterwakilan bulan-bulan pada musim hujan dan musim kemarau. Data yang digunakan
diperlihatkan pada Tabel 1.
Gambar 1. Lokasi daerah kajian di Kabupaten Kerinci (Kiri), dan daerah tangkapan air Danau Kerinci (Kanan)
Sebagian data masih belum dilakukan koreksi terrain, sehingga tahap pertama adalah melakukan koreksi terrain
dengan menggunakan algoritma C correction (Wu et al., 2004) seperti pada persamaan 1. Detil penjelasan
mengenai koreksi terrain dan cara memperoleh nilai C dapat dilihat pada hasil penelitian sebelumnya (Trisakti
et al., 2009), pada penelitian tersebut dilakukan perhitungan nilai C, dan selanjutnya melakukan koreksi terrain
untuk data Landsat ETM+ dengan menggunakan algoritma C correction.
LH = LT (Cos sz + C)/(Cos i +C) (1)
Dimana:
LH : Reflektansi yang sudah dikoreksi (pada permukaan datar)
LT : Reflektansi belum dikoreksi (pada permukaan miring karena kondisi topografi)
sz : Sudut zenith matahari
i : Sudut normal piksel yang dibentuk dari arah normal piksel dan arah matahari
c : Koefisien pembatas yang merupakan rasio antara titik potong dan gradient (b/m) dari persamaan regresi
LT = m Cos I + b
Selanjutnya melakukan penghilangan awan/haze (cloud removal) dan bayangan awan untuk data Landsat.
Penghilangan awan dilakukan dengan menggunakan metode penghilangan awan secara bertahapmenggunakan band biru (band 1) dan band inframerah (band 4), algoritma yang digunakan adalah sebagai
Sedangkan untuk penghilangan bayangan awan digunakan metode penghilangan bayangan secara bertahapmenggunakan band albedo (penjumlahan band visible) dan band inframerah (band 4), algoritma yang
digunakan adalah sebagai berikut:
if X1+X2+X3 < Acloud-thres
then P = piksel bayangan,
if X4 < Bcloud-thres
then P = piksel bayangan,
Selain itu adalah piksel non awan
dimana:
X1, X2, X3 = Band 1, Band 2 dan Band 3
X4 = Band 4
Acloud-thres
= Nilai batas bayangan band albedo
Bcloud-thres
= Nilai batas bayangan band 4
Nilai batas awan dan bayangan ditentukan dengan melakukan perbandingan visual antara hasil citra penerapan
algoritma penghilangan awan dan bayangan dengan citra Landsat komposit RGB 542. Bila hasil masking awan
dan bayangan belum sesuai maka dilakukan iterasi sehingga diperoleh batas yang paling optimal. Setelah itu
tahap berikutnya adalah mengubah piksel non awan menjadi nilai NDVI dengan persamaan umum dari NDVI.
NDVI = (X4-X3)/(X4+X3) (2)
dimana : X3, X4 = Band 3 dan band 4
Konversi NDVI dilakukan untuk seluruh data (19 data), selanjutnya melakukan kroping dengan batas DTA yang
diturunkan dengan menggunakan data DEM menggunakan metode akumulasi aliran. Selanjutnya melakukan
penggabungan seluruh data NDVI dan melakukan perhitungan sebaran nilai maksimal (NDVI Max) dan nilai
minimum (NDVI Minimum) dari seluruh data selama periode 2000-2009. Tahap terakhir adalah menentukan
perubahan NDVI (D NDVI ) dengan menghitung selisih antara nilai maksimum dan nilai minimum NDVI untuk
setiap piksel, kemudian membagi menjadi tiga kelas yaitu perubahan NDVI rendah, perubahan NDVI menengah
dan perubahan NDVI tinggi untuk daerah tangkapan air Danau Kerinci.
i1, i2, …, in = layer NDVI ke 1 sampai dengan layer NDVI ke n (n=19)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Terrain, Awan dan Bayangan Awan pada nilai NDVI
Nilai NDVI diekstrak secara dijital dengan menggunakan kombinasi band 3 (merah) dan band 4 (inframerah),
band ini dipengaruhi oleh kondisi keawanan (awan, haze dan bayangan) dan topografi permukaan bumi.Gambar 2 memperlihatkan citra Landsat dengan kondisi topografi di wilayah kajian yang berbukit dan
hasil NDVI yang diturunkan dari data tersebut. Kondisi topografi yang bervariasi mengakibatkan terjadinya
perbedaan pencahayaan matahari terhadap permukaan bumi. Bagian yang menghadap matahari akan
memperoleh intensitas pencahayaan yang tinggi sehingga mempunyai nilai piksel yang juga tinggi (terang),
sedangkan bagian yang membelakangi matahari akan memperoleh intensitas pencahayaan yang rendah
sehingga mempunyai nilai yang lebih rendah (gelap). Berkurangnya intensitas pencahayaan pada bagian yang
membelakangi matahari, lebih mempengaruhi nilai spektral pada band dengan panjang gelombang lebih
panjang (band 4) dibandingkan band dengan panjang gelombang yang lebih pendek (band 2). Oleh karena
itu permukaan yang membelakangi matahari mempunyai nilai NDVI rendah seperti yang diperlihatkan pada
Gambar 2, khususnya dalam kotak hitam.
Pengaruh awan sangat berdampak terhadap objek di permukaan bumi, awan tebal akan menyerap gelombang
elektromagnetik yang datang dan memantulkan kembali ke atmosfir. Sedangkan awan tipis (haze) hanya
menyerap sebagian gelombang elektromagnetik yang datang ke permukaan bumi, sehingga mengakibatkan
berkurangnya intensitas cahaya pada daerah yang dipengaruhi haze. Pengurangan intensitas cahaya juga
terjadi pada daerah yang menjadi proyeksi awan pada permukaan bumi (daerah bayangan awan atau haze).
Pengurangan intensitas cahaya mempengaruhi nilai NDVI seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Nilai NDVI
menjadi sangat rendah pada daerah yang ditutupi oleh awan dan haze. Berdasarkan hal yang dijelaskan
tersebut maka penurunan NDVI perlu melakukan proses standarisasi data dan penghilangan awan, haze dan
proses koreksi terrain. Setelah mengalami proses koreksi terrain, penampakan data dalam bentuk 3 dimensi
berubah menjadi bentuk datar 2 dimensi, dan perwarnaan yang lebih gelap dari bagian yang membelakangi
matahari menjadi lebih terang sehingga mendekati pewarnaan dari bagian yang menghadap matahari. Analisis
secara dijital memperlihatkan bahwa nilai-nilai dari band pada objek yang membelakangi matahari bertambah,sebaliknya nilai-nilai dari band pada objek yang menghadap matahari berkurang mendekati nilai-nilai band
pada objek yang pada bagian datar.
Hasil penghilangan awan dan bayangan diperlihatkan pada Gambar 5. Dengan menggunakan metode
penghilangan secara bertahap menggunakan kombinasi band, maka awan dan bayangan dapat dihilangkan
dengan cukup baik. Permasalahan yang masih menyulitkan dalam proses penghilangan awan dan bayangan
adalah mendapatkan nilai batas yang optimal, dan nilai tersebut bisa berubah pada data yang berbeda. Apabila
nilai batas tidak optimal, akan mengakibatkan tidak akuratnya nilai NDVI (NDVI lebih rendah dari semestinya).
Setelah data terstandarisasi, maka dilakukan penurunkan nilai NDVI untuk untuk setiap data pada Tabel 1.
Gambar 6 memperlihatkan contoh data NDVI untuk DTA Danau Kerinci pada tanggal perekaman berbeda
selama periode 2000-2009.
Data belum terkoreksi terrain Data terkoreksi terrain
Gambar 4. Hasil koreksi terrain pada data Landsat
Awan dan bayangan pada citra Penghilangan awan dan bayangan
Gambar 5. Hasil penghilangan awan dan bayangan pada data Landsat
Pada kegiatan ini dilakukan perhitungan NDVI maksimum dan minimum untuk wilayah DAS Danau Kerinci
dengan menggunakan data Landsat TM/ETM+ selama periode 2000-2009. Hasil memperlihatkan bahwa,
• Kondisi topografi, tutupan awan, haze dan bayangan sangat mempengaruhi NDVI, terutama dalam
menentukan NDVI minimum. Karena itu standarisasi data dan penghilangan awan/bayangan menjadi
syarat penting mendapatkan NDVI yang konsisten untuk menghasilkan pendugaan laju erosi tanah yang
akurat
• Standarisasi yang perlu dilakukan adalah koreksi terrain untuk penghilangan pengaruh perbedaan
pencahayaan karena topografi dan penghilangan awan/haze dan bayangan.• Perubahan NDVI tinggi terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang dinamis seperti sawah, sedangkan
perubahan NDVI rendah terjadi pada penutup/penggunaan lahan yang statis seperti hutan dan tubuh air.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada tim pengolahan data INCAS yang telah memberikan ijin penggunaan
data Landsat TM/ETM+, penulis juga berterimakasih kepada Tim Reviewer Pusat Pemanfaatan Penginderaan
Jauh yang telah memberi masukan dalam penulisan naskah ini.
http:// www.salmaghaliza.blogspot.com, Keseimbangan Ekosistem, 10 November 2011
As-syakur A.R., 2008, Prediksi Erosi Dengan Menggunakan Metode USLE Dan Sistem Informasi Geogra_s (SIG)
Berbasis Piksel Di Daerah Tangkapan Air Danau Buyan, PIT MAPIN XVII, Bandung.
Foth H.D., 1995, Dasar-dasar Ilmu Tanah, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Hazarika M.K. dan Honda K., 1999, Estimation of Soil Erosion Using Remote Sensing and GIS, Its Valuation and
Economic Implications on Agricultural Production, Proceeding, The 10th International Soil Conservation
Organization Meeting held May 24-29, Purdue University and the USDA-ARS National Soil Erosion
Research Laboratory
Jensen J.R., 2000, Remote Sensing of The Environment an Earth Resource Perspective, PP.361, Published byPearson Education Inc., First Indian Reprint, 2003
KLH, 2011, Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2010-2014, Kementerian Lingkungan Hidup
KLH, 2008, Pedoman Pengelolaan Ekosistem Danau, Kementerian Lingkungan Hidup
Rouse J.W., Haas R.H. Schell J.A. dan Deering D.W., 1974, Monitoring Vegetation System in The Great Plains
with ERTS, Proceeding, Third Earth Resources Technology Satellite-1 Symposium, Greenbelt: NASA SP-
351, 3010-317
Trisakti B., Kartasasmita M., Kustiyo dan Kartika T., 2009, Kajian Koreksi Terrain pada Citra Landsat Thematic
Mapper, Jurnal Penginderaan Jauh dan Pengolahan Citra Digital, Vol.6, 2009
Wu X., Furby S. dan Wallace J., 2004, An Approach for Terrain Illumination Correction, Proceeding, The 12th
Australasian Remote Sensing and Photogrametry Association Conference, held in Fremantle, Western
Pengaruh degradasi DAS telah menimbulkan masalah terhadap kualitas danau-danau, seperti pendangkalan
dan penyusutan luas danau, penurunan kualitas air, penurunan produktifitas perikanan dan perkembangan
sebaran eceng gondok. Salah satu danau yang saat ini kondisinya sangat memprihatinkan dan menjadi salah
satu prioritas pemerintah adalah Danau Tempe di Kabupaten Sidrap dan Wajo, Provinsi Sulawesi Selatan.
Berdasarkan data dari (KLH, 2011) masalah yang dihadapi oleh danau Tempe adalah (1) pendangkalan dan
penyusutan luas, (2) penurunan kualitas air danau, (3) perkembangan eceng gondok, (4) penurunan volume air, (5)
penurunan produktivitas perikanan, dan (6) banjir. Luas dan kedalaman danau ini sudah mengalami perubahan yang
sangat signifikan. Menurut Arief dalam (DKP Kabupaten Wajo, 1997), danau Tempe mempunyai luas normal
sebesar 9.400 ha pada tahun 1997 dan luas tersebut berkurang menjadi 9.000 ha pada tahun 2006, tetapi saat
ketika terjadi banjir besar maka luasan genangan muka air danau dapat mencapai 47.800 ha.
Pemanfaatan data satelit penginderaan jauh untuk kegiatan pemantauan yang berkaitan dengan pengelolaandanau telah banyak dilakukan, seperti: pemantauan perubahan luas permukaan air danau dan pemantauan
perubahan penutup lahan di DAS Limboto serta pemantauan kualitas air danaunya (kekeruhan dan Muatan
Padat Tersuspensi) menggunakan citra multitemporal dan multispektral (Trisakti B. et al 2011). Bahkan dewasa
ini perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh berjalan sangat cepat, sehingga dapat menyediakan
berbagai data penginderaan jauh optik dan SAR (Sinthetic Aparture Radar ) dengan karakteristik resolusi spasial,
temporal dan spektral yang berbeda-beda. Sehingga, data satelit penginderaan jauh menjadi sumber data
yang penting untuk pembuatan informasi spasial yang akurat, konsisten dan aktual mengenai sumber daya
alam dan lingkungan, khususnya untuk memantau perubahan penutup lahan di DAS dan vegetasi air danau.
Beberapa metode identifikasi vegetasi air di wilayah perairan telah dilakukan dengan menggunakan datapenginderaan jauh, khususnya data yang memiliki kisaran spektrum dari visible sampai inframerah menengah.
Dewanti et al. (1998) mengkaji tentang karakteristik profil vegetasi air (mangrove) lewat data penginderaan
jauh, menjelaskan bahwa mangrove dikawasan sepanjang pantai dan pertambakan dapat terlihat jelas dari citra
FCC (False Color Composit) . Oleh karena itu dalam penelitian ini dicoba untuk diusulkan model identifikasi
dan pemantauan eceng gondok menggunakan data multitemporal citra satelit Landsat-TM dan SPOT-4.
Pengolahan citra dibuat dari kombinasi tiga kanal, yakni kanal dari spektral tampak dan kanal dari spektral
inframerah. Kombinasi tersebut menggunakan kanal-kanal: 3, 4 dan 5 dari citra Landsat-TM.
Berdasarkan asumsi diatas bahwa identifikasi vegetasi eceng gondok dapat diidentikkan hampir sama dengan
vegetasi mangrove bila diinterpretasikan menggunakan data penginderaan jauh. Jenis obyek pada citra akan
mudah dikenali terutama dengan membangun citra kombinasi warna (color composite) . Dengan melalui
proses pengolahan, analisis dan interpretasi citra dapat diperoleh informasi tentang sebaran perubahan luas
permukaan eceng gondok dan luas danau yang akan dikaji dalam penelitian ini. Tujuan dari penulisan ini adalah
mengidentifikasikan eceng gondok dan mengembangkan model pemantauan luas danau menggunakan data
citra satelit penginderaan jauh serta melakukan kajian/analisis perubahan luas permukaan eceng gondok di
Danau Tempe, Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan data multitemporal citra Landsat-TM 1989,
2000, 2005 dan data citra SPOT-4 2010. Identifikasi eceng gondok dilakukan dengan membangun kombinasi
RGB 453, 542 dan kombinasi RGB [(4+5)(4)(4-3)] model (Trisakti et al. 2011) serta melakukan klasifikasi citra
secara digital. Kushardono, (2012) mengkaji tentang uji coba klasifikasi terhadap kelas penggunaan lahan
dalam mengekstraksi informasi dengan matrik confusion dapat meningkatkan akurasi hasil klasifikasi. Oleh
karena itu, analisis akurasi dari hasil klasifikasi ini dilakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.Berdasarkan model analisis tersebut dapat diperoleh informasi yang terpadu antara identifikasi eceng gondok,
perubahan luas permukaan eceng gondok dan perubahan luas danau. Informasi selanjutnya dapat digunakan
untuk berbagai pemanfaatan dan pertimbangan dalam pengelolaan danau baik untuk pemantauan maupun
inventarisasi dalam upaya peningkatan konservasi danau Tempe.
METODE
Data yang digunakan
1. Data primer:
• Citra penginderaan jauh Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15 April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT
tanggal: 25 April 2010.
• Citra Basemap (citra ortho Landsat)
2. Data sekunder:
• Batas administrasi wilayah kajian
Lokasi penelitian
Kegiatan kajian dilakukan di danau Tempe, di Kabupaten Wajo, Kabupaten Sidrap dan Kabupaten Soppeng,
Provinsi Sulawesi Selatan (Gambar-1). Danau ini melintasi 10 Kecamatan dan 51 desa. Secara geografis danau
Tempe terletak pada titik koordinat : 4o 00‘ 00 – 4o15’ 00 LS dan 119o 52‘ 30 – 120o 07‘ 30 BT.
Iklim di danau Tempe berdasarkan klasifikasi Schmidt-Fergusson, tipe Iklim yang ada di WS Wal-Cen adalah
Tipe iklim A, B, C, dan D. Iklim di Ws Wal-Cen dicirikan oleh musoon tropis, yang memilki perbedaan yang jelasantara musim kemarau dan musim hujan. Musim hujan terjadi pada bulan Maret-Juli, sementara musim kemarau
terjadi pada bulan Agustus- Februari. Di sekitar danau Tempe, musim kemarau bervariasi dari tahun ke
tahun. Terdapat 6 stasiun meteorologi yang terdapat di dalam WS Wal-cen, yaitu Ujung Lamuru, Ponre-Ponre,
Malanroe, Kayuara, Sengkang dan Tanru Tedong.
Curah hujan tahunan di daerah danau Tempe sebesar 1.400 – 1.800 mm/th sedangkan di daerah DAS sebesar
1.400 – 4.000 mm/th. Tinggi muka air (TMA) Danau Tempe hingga tahun 2001 menunjukkan kondisi yang
normal, dengan TMA rata-rata berada pada kisaran 4,078 m – 7,780 m dpl. Kedalaman danau saat ini 3 m
ketika musim hujan dan 1 m ketika musim kering. Luas permukaan air danau pada musim hujan adalah 48.000
Ha dan menggenangi areal persawahan, perkebunan, rumah penduduk, prasarana jalan dan jembatan serta
prasarana sosial lainnya yang menimbulkan kerugian yang cukup besar. Menurut rekapitulasi data dari buku
Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014 Indonesia, (KLH, 2011) menjelaskan bahwa pada musim kering
luas danau Tempe hanya mencapai 1.000 Ha sedangkan pada kondisi normal luasnya mencapai 15.000-20.000
Ha.
Danau Tempe setiap tahunnya selalu menimbulkan bencana banjir. Sungai yang menuju ke danau terdiri dari
23 sungai yang termasuk dalam 2 DAS yaitu Das Nila dan DAS Walanae, Sedangkan untuk keluarnya (outlet) air
dari danau tersebut hanya ada satu sungai, yaitu sungai Cenranae yang memiliki panjang 70 km dan bermuara
ke teluk Bone. Penyempitan yang terjadi di muara sungai merupakan salah satu penghambat keluarnya air ke
teluk bone. Bisa dikatakan Danau Tempe merupakan saringan partikel-partikel sisa banjir dari enam kabupaten
Analisis akurasi hasil klasifikasi yaitu dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik.
Refernce Dataset adalah input data model kanal : K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan citra
yang digunakan sebagai sampel adalah data Landsat-TM Tahun 2005. Pengambilan training sampel untuk
identifikasi obyek eceng gondok menggunakan citra RGB : K_(4+5)(4)(4-3) dengan mengambil training sampelsebanyak 20 titik sampel yang homogen.
Model Pemantauan Eceng Gondok Tahun 1989, 2000, 2005, dan 2010
Pemantauan dilakukan dengan menggunakan citra satelit multitemporal pada musim yang sama (kondisi
curah hujan yang relatif sama) yaitu selama periode 1989 – 2010 (citra Landsat-TM tanggal 10 April 1989, 15
April 2000, 12 Maret 2005, dan citra SPOT-4 tanggal: 25 April 2010). Dari pengolahan citra tersebut dapat
mengetahui adanya penurunan atau penambahan luas permukaan air danau yang sebenarnya.
Untuk mencari luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 dilakukan pengolahan dengan
klasifikasi multitemporal. Model klasifikasi dilakukan dengan memakai salah satu model klasifikasi dari hasilanalisis akurasi tersebut diatas.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Eceng Gondok
Hasil pengolahan identifikasi eceng gondok dengan komposit band ditampilkan dengan membuat beberapa
model kombinasi. Model komposit yang dibentuk dengan menggunakan berbagai band pada setiap kombinasi
RGB menampilkan warna eceng gondok yang berbeda-beda (Gambar-3). Kombinasi NIR-SWIR-Merah biasa
dipakai dalam identifikasi hutan mangrove (vegetasi pada tanah berair/berawa) ditampilkan pada Gambar-3a,
kombinasi SWIR-NIR-Hijau yang biasa digunakan untuk penampakkan warna alami (natural color composite)
ditampilkan pada Gambar-3b, sedangkan komposit yang terakhir adalah kombinasi model baru (NIR+Swir)-
NIR-(NIR-Merah) untuk identifikasi model baru eceng gondok (Gambar 3-c).
Jika dibandingkan tekstur dan rona dari eceng gondok dengan vegetasi darat yang ada disekitar danau
akan jelas perbedaannya. Eceng gondok akan nampak rona lebih cerah dan tegas dengan tekstur halus jika
dibandingkan dengan vegetasi darat. Eceng gondok pada kombinasi NIR-SWIR-Merah yaitu RGB band :
453 menampilkan tekstur halus dengan warna merah yang lebih cerah dan tegas jika dibandingkan dengan
vegetasi darat disekitarnya yang menampilkan warna merah redup. Eceng gondok pada kombinasi SWIR-NIR-
Hijau yaitu RGB band : 542 menampilkan rona warna hijau yang lebih cerah dan tegas juga tekstur halus jika
dibandingkan dengan vegetasi darat disekitarnya yang menampilkan warna hijau redup. Sedangkan ecenggondok pada model kombinasi baru yaitu RGB band : (4+5)(4)(4-3) menampilkan warna putih yang berarti setiap
band mempunyai nilai spektral yang tinggi untuk eceng gondok dengan tekstur halus. Dibandingkan dengan
kombinasi lainnya maka model kombinasi model RGB: (NIR+Swir)(NIR)(NIR-Merah) lebih dapat menampilkan
eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain disekitarnya.
Gambar-3. Model kombinasi pada citra Landsat Tgl 12 Maret 2005.
Pengolahan Klasifikasi Eceng Gondok
Pengolahan klasifikasi eceng gondok diturunkan dengan membuat klasifikasi tak terbimbing (Unsupervised
Classification) dan dibuat dengan menggunakan model kombinasi band spektral dari kanal : K_12345, K_453,
K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3), hasilnya ditampilkan pada Gambar-4. Model-1 adalah hasil klasifikasi dengan input
data band kanal: 12345 ditampilkan pada Gambar-4a. Model-2 adalah hasil klasifikasi dengan input data band
kanal : 453 ditampilkan pada Gambar-4b. Model-3 adalah hasil klasifikasi dengan input data band kanal: 542ditampilkan pada Gambar-4c. Model-4 adalah hasil klasifikasi dengan input data model kombinasi kanal :
K_(4+5)(4)(4-3) ditampilkan pada Gambar-4d.
Kelas dalam model klasifikasi ini dibuat sebanyak 20 kelas. Pengeditan dan rekelas dibuat menjadi 2 kelas
yaitu menjadi kelas eceng gondok dan non eceng gondok. Dari model ke empat klasifikasi ini nampak semua
hasil klasifikasi identik dan serupa, namun sebagian ada beberapa perbedaan nilai pada penampakan eceng
gondok tersebut. Hasil klasifikasi dapat menunjukkan perbedaan luas permukaan eceng gondok antara model
yang satu dengan model yang lainnya, sehingga luasan model klasifikasi masing-masing dapat dihitung.
Tabel-2 adalah hasil perhitungan luas permukaan eceng gondok dan non eceng gondok dari model kanal-
kanal K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3). Luas Eceng gondok pada ukuran baris kolom 679 x 680menunjukkan model K_12345 berkisar 10815.8 Ha, model K_453 berkisar 11908.8 Ha, model K_542 berkisar
11941.9 Ha, dan model K_(4+5)(4)(4-3) berkisar 12096 Ha. Pada zoom window ukuran baris kolom 42 x 43
nampak pada model K_12345 sebagian nomor digitalnya hilang sedangkan model dari K_453, K_542, dan K_
(4+5)(4)(4-3) nomor digitalnya masih nampak. Dari besar luasannya jelas ada perbedaan yaitu model K_12345
berkisar 60.48 Ha, model K_453 berkisar 79.2 Ha, model K_542 berkisar 74.88 Ha, dan model K_(4+5)(4)(4-3)
Gambar 4. Model klasifikasi eceng gondok dengan input: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) pada citra
Landsat Tgl 12 Maret 2005.
Gambar-5. Perbedaan luas permukaan eceng gondok dan non_eceng gondok dengan input: (12345), (453), (542)
dan (4+5)(4)(4-3) pada Landsat-TM Tgl 12 Maret 2005.Tabel-2. Luas distribusi seluruh permukaan eceng gondok dan air model kanal-kanal (12345), (453),(542) dan
Dari ke empat model klasifikasi tersebut secara grafik perbedaan luasannya dapat dijelaskan pada Gambar-5.
Luas distribusi permukaan vegetasi eceng gondok untuk model K_12345 (warna biru), nampak luasannya lebih
rendah dari pada K_453 (warna merah), K_542 (warna hijau) dan K_(4+5)(4)(4-3) (warna ungu). Sedangkanmodel K_(4+5)(4)(4-3) sendiri lebih tinggi dari pada K_453 dan K_542. Nampak model K_12345 luasannya
lebih rendah dari pada K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3). Berdasarkan analisis ini menunjukan bahwa
identifikasi vegetasi air yang dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain
disekitarnya adalah model RGB K_(4+5)(4)(4-3), seperti diperlihatkan pada Gambar-3e dan hasil klasifikasinya
diperlihatkan pada Gambar 4d.
Analisis akurasi dari hasil klasifikasi dengan melakukan uji coba menggunakan metode confusion matrik
dengan data yang dimasukan terhadap citra Landsat-TM tahun 2005 adalah dengan kanal-kanal: K_(12345),
K_(453),K_(542) dan K_{(4+5)(4)(4-3)}. Hasilnya diperoleh seperti yang ditunjukkan Gambar-4a,4b,4c dan 4d
serta hasil pengujian klasifikasi akurasinya pada Tabel-3. Dari Tabel-3 diketahui bahwa ketelitian optimum untukdata Landsat-TM tahun 2005 dengan input data K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % dan Kappa
0.885, input data K_453 memiliki akurasi keseluruhan 99.002 % dan Kappa 0.971, input data K_542 memiliki
akurasi keseluruhan 98.628 % dan Kappa 0.960, dan input data K_{(4+5)(4)(4-3)} memiliki akurasi keseluruhan
97.754 % dan Kappa 0.935. Ketelitian optimum pada K_12345 yang didapat akurasi hasilnya lebih rendah bila
dibandingkan dengan ketelitian optimum pada K_{(4+5)(4klasifikasi menggunakan metode confusion matrik
pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).
Tabel-3 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik pada citra Landsat-TM tahun 2005 dengan
input kanal :(12345), (453),(542) dan (4+5)(4)(4-3).
Kanal_12345 Kanal_453
Non_eceng Eceng AkurasiUser
Non_eceng Eceng AkurasiUser
Non_eceng 339 66 1 Non_eceng 339 16 1
Eceng 0 1198 1 Eceng 0 1248 1
Produser 1 1 1 Produser 1 1 1
Akurasi Keseluruhan 95.883 % Akurasi Keseluruhan 99.002 %
Akurasi Keseluruhan 98.628 % Akurasi Keseluruhan 97.754 %
Indek Kappa = 0.960 Indek Kappa = 0.935
Perubahan Sebaran Luas Permukaan Eceng Gondok Tahun 1989,2000, 2005, dan 2010.
Untuk melakukan pemantauan luasan permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun
2010 pengolahan klasifikasinya menggunakan input data model dari K_(4+5)(4)(4-3) karena hasil analisis dari
identifikasi vegetasi air dapat menampilkan eceng gondok secara tegas dan terpisah dari objek-objek lain
disekitarnya. Hasil klasifikasi periode tahun 1989 hingga tahun 2010 diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b,6c, dan6d. Gambar 6a hingga Gambar-6d memperlihatkan perubahan sebaran yang significant, dimulai dari sebaran
eceng gondok yang sempit hingga sebaran eceng gondok yang makin melebar. Kemudian untuk melihat
besaran perubahan luas permukaan vegetasi eceng gondok selama periode tahun 1989-2010 diperlihatkan
dalam bentuk grafik, dijelaskan pada Gambar-7. Hasil pantauan dari citra klasifikasi dapat diketahui bahwa luas
permukaan air danau Tempe mengalami kecenderungan yang semakin menurun, sebaliknya vegetasi eceng
gondok semakin bertambah, serta luas danau semakin menyusut.
Gambar-6. Distribusi permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010
Gambar-7. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan luas danau selama periode tahun 1989, 2000, 2005
dan 2010.
Grafik Gambar-7 dan Tabel-4 pada citra tahun 1989 merupakan awal dari pemantauan dan besar sebaran luas
permukaan vegetasi eceng gondok tumbuh berkisar 1019.52 Ha. Luas permukaan air danau nampak lebih
luas berkisar 16816.32 Ha dan total luas danaunya berkisar 17956.8 Ha. Selama selang waktu 11 tahun yaitu
dari tahun 1989 hingga tahun 2000 nampak terjadi perubahan yang cukup besar. Luas vegetasi eceng gondok
mengalami kenaikan menjadi berkisar 4590.24 Ha dan luas permukaan airnya (tanpa vegetasi) mengalami
pengurangan menjadi berkisar 12847.68 Ha dan total luas danaunya naik menjadi 17875.68 Ha serta mengalami
pengurangan (susut) berkisar 81.12 Ha. Kemudian bertambah lagi selama kurun waktu 5 tahun dari tahun2000 hingga tahun 2005 nampak vegetasi eceng gondok mengalami tren kenaikan yang cukup besar. Luas
permukaan vegetasi eceng gondok mengalami meningkatan menjadi berkisar 12096.3 Ha dan luas permukaan
airnya mengalami pengurangan menjadi berkisar 3482.24 Ha dan total luas danaunya mengalami pengurangan
menjadi 16197.74 Ha dan penyusutannya berkisar 1677.94 Ha. Sedangkan pemantauan terakhir selama waktu
5 tahun dari tahun 2005 hingga tahun 2010 nampak permukaan vegetasi eceng gondok mengalami sedikit
penurunan. Luas permukaan vegetasi eceng gondok ini mengalami penurunan menjadi berkisar 10960 Ha
dan luas permukaan airnya mengalami kenaikan kembali menjadi berkisar 4147.84 Ha dan total luas danaunya
menjadi berkisar 16028.16 Ha berarti mengalami penyusutan berkisar 169.58 Ha.
Hasil klasifikasi seperti diperlihatkan pada Gambar-6a, 6b, 6c, dan 6d menunjukkan distribusi perubahan
permukaan eceng gondok pada musim yang sama selama periode tahun 1989-2010 ketelitiannya kita uji.Ketelitian akurasi ekstraksi informasi spasial untuk pengujian hasil klasifikasi yaitu menggunakan metode
confusion matrik. Data input yang dimasukan adalah data training sampel RGB kanal {(4+5)(4)(4-3)} untuk citra
Landsat-TM tahun 1989, tahun 2000, dan tahun 2005 serta RGB kanal {(4+1)(1)(1-2)} untuk citra Spot-4 tahun
2010. Hasil pengujian klasifikasi ditunjukkan pada Tabel 5.
Tabel-4. Perubahan luas permukaan eceng gondok dan penyusutan luas danau Tempe periode Tahun 1989,
Total (Luas_danau) 17956.8 17875.68 16197.74 16028.16
Perubahan luas 0 81.12 1677.94 169.58
Dari Tabel-5 diketahui bahwa ketelitian pada data Landsat-TM tahun 1989 memiliki akurasi keseluruhan 100 %
dan Kappa 1 untuk kelas penutup lahan eceng gondok dan sama dengan penutup non_eceng gondok. Jika
dilihat pada Gambar-6a terlihat sedikit penutup lahan eceng gondok dan sedikit penutup lahan campuran
sehingga akurasinya tinggi. Pada data tahun 2000 memiliki akurasi keseluruhan 97.976 % dan Kappa 0.952
untuk penutup eceng gondok. Pada Gambar-6b terlihat penutup lahan eceng gondok menambah dan sedikit
penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya mengalami penurunan. Pada data tahun 2005 memiliki akurasi
keseluruhan 99.06 % dan Kappa 0.972 untuk penutup lahan eceng gondok. Pada Gambar-6c terlihat penutup
lahan eceng gondok menambah lebih banyak dan sedikit penutup lahan awan, hasil pengujian akurasinya
mengalami kenaikan. Pada data tahun 2010 memiliki akurasi keseluruhan 99.966% dan Kappa 0.999 untuk
lahan eceng gondok. Pada Gambar-6d terlihat penutup lahan eceng gondok mengalami penurunan dan sedikitpenutup lahan tanah kosong karena kekeringan, hasil pengujian akurasinya mengalami kenaikan.
Tabel-5 Pengujian klasifikasi menggunakan metode confusion matrik tahun 1989, 2000, 2005 dan 2010 dengan
kanal yang digunakan adalah kanal (4+5)(4)(4-3).
1989 2000
Non_eceng Eceng AkurasiUser
Non_eceng Eceng AkurasiUser
Non_eceng 1145 0 1 Non_eceng 1590 47 0.97129
Eceng 0 30 1 Eceng 0 685 1
Produser 1 1 1 Produser 1 0.93579 0.97976
Akurasi Keseluruhan 100 % Akurasi Keseluruhan 97.976 %
pada penelitian ini adalah data satu musim yang berbeda tahun yaitu tanggal 01 April 1989,15 April 2000, 12
Maret 2005, dan citra SPOT tanggal: 25 April 2010. Data citra satelit ini merupakan data masih dalam musim
hujan yaitu pada kondisi normal. Hasil yang diperoleh bahwa luas danau selama kurun waktu dari tahun 1989
hingga tahun 2010 mengalami perubahan. Nampaknya dari tahun ke tahun luas danau akan relatif berubah-ubah tergantung pada musim-musim tertentu. Setara menurut Dinas Kehutanan Kabupaten Maros bahwa
pada musim kering mencapai 1.000 Ha dan kondisi normal 15.000 –20.000 Ha. Sedangkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa luas danau pada tahun 1989 hingga tahun 2010 merupakan pada kondisi normal juga dan
diperoleh luas danau selalu berubah-ubah berkisar antara 17956.8 Ha di tahun 1989 dan menurun menjadi
antara 16028.16 Ha di tahun 2010.
KESIMPULAN
Pada penelitian ini telah dikembangkan metode model identifikasi, klasifikasi, pemantauan sebaran eceng
gondok dan luas danau di danau Tempe, Sulaweai Selatan dengan data yang diuji coba adalah data resolusi
30 meter Landsat-TM dan resolusi 20 meter SPOT-4. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:
• Dengan menggunakan kombinasi NIR-SWIR-Merah (RGB: 453), SWIR-NIR-Hijau (RGB:542) dan kombinasi
model (NIR+Swir)-NIR-(NIR-merah) {RGB : (4+5)(4)(4-3)} dengan input data Landsat Tgl 12 Maret 2005,
diperoleh nilai spektral yang tinggi dan mampu menampilkan vegetasi eceng gondok yang secara lebih
tegas dan terpisah dari objek-objek lain disekitarnya.
• Uji coba ketelitian akurasi hasil klasifikasi menggunakan metode confusion matrik dengan masukan input
data adalah model klasifikasi: K_12345, K_453, K_542, dan K_(4+5)(4)(4-3) dengan input data Landsat
Tgl 12 Maret 2005, diperoleh akurasi pada K_12345 memiliki akurasi keseluruhan 95.883 % hasilnya lebih
rendah bila dibandingkan dengan K_{(4+5)(4)(4-3)} dengan akurasi keseluruhan 97.754 %, K_542 akurasi
keseluruhan 98.628 % dan K_453 akurasi keseluruhan 99.002 %.
• Sebaran luas permukaan eceng gondok selama periode tahun 1989 hingga tahun 2010 klasifikasinya
menggunakan input data model K_(4+5)(4)(4-3) hasilnya selalu berubah-ubah, di tahun 1989 ke tahun
2000 bertambah (dari 1019.52 Ha menjadi 4590.24 Ha), di tahun 2000 ke 2005 bertambah (dari 4590.24
Ha menjadi 12096.3 Ha), dan di tahun 2005 ke tahun 2010 bekurang (dari 12096.3 Ha menjadi 1096 Ha),
sedangkan perubahan luas danau di tahun 1989 luasnya berkisar 17956.8 Ha, di tahun 2000 mengalami
penurunan menjadi 17875.68 Ha (menyusut 81.12 Ha), di tahun 2005 menurun lagi menjadi 16197.74 Ha
(menyusut 1677.94 Ha) dan di tahun 2010 sedikit menurun menjadi 16028.16 Ha (menyusut 169.58 Ha).
DAFTAR PUSTAKA
Arief., 1997. Sejarah singkat danau Tempe, DKP Kabupaten Wajo.
KLH (Kementrian Lingkungan Hidup)., 2011. Profil 15 Danau Prioritas Nasional 2011-2014, (http://blhpp.
wordpress.com/ ).
Dony Kushardono.,2012. Klasifikasi Spasial Penutup Lahan dengan Data SAR Dual Polarisasi Menggunakan
Normalized Diffrence Polarization Index dan Fitur Keruangan dari Matrik Kookurensi, Jurnal Penginderaan
Jauh dan Pengolahan Data Citra Digital, Vol. 9 No.1, ISSN 1412-8098, Diterbitkan oleh Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Jakarta – Indonesia, 1012.
Ratih Dewanti,Muchlisin Arief.; dan Taufik Maulana., 1998. Degradasi Tingkat Kerapatan Kanopi Mangrove di
Bidang Sumber Daya Wilayah Darat, Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – LAPAN
ABSTRAK
Kerusakan hutan mangrove (bakau) di Kabupaten Bengkalis akhir-akhir ini makin parah saja, disebabkan tingginya
eksploitasi hutan mangrove tersebut untuk bahan baku industri panglung. Hutan Mangrove perlu diinventarisasi
pada Kabupaten ini karena keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber daya hayati
dan non hayati. Data penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendeteksi luas dan kerapatan vegetasi mangrove
serta hutan pantai. Berdasarkan hal tersebut, dilakukan inventarisasi hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan dan
kerapatannya menggunakan data penginderaan jauh Landsat dengan pertimbangan resolusi spasial dan spektral
yang cukup baik untuk identifikasi dan monitoring sumber daya alam. Metode yang digunakan adalah interpretasi
data Landsat secara visual dengan menggunakan komposit kanal RGB 453 dan secara digital menggunakan kanal
3 dan 4 untuk pengolahan NDVI. Hasil pengolahan data Landsat menunjukkan bahwa luas total hutan Mangrove diKabupaten Bengkalis pada tahun 2010 adalah 44.173,8 Ha, dengan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya
adalah Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.
Kerapatan tajuk hutan Mangrove dalam kategori sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut
sebesar 404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut.
terhadap kondisi hutan bakau di wilayah pesisir Riau yang menurutnya bernasib tragis karena penggundulan
yang kian parah (lihat Gambar 1). Menurut beliau, setiap melakukan patroli di perairan, terutama untuk wilayah
pesisir Riau yang berbatasan dengan Selat Malaka, terlihat kondisi hutan yang cukup tragis dan kegundulan
terjadi di mana-mana, wilayah yang gundul cukup parah, antara lain di pinggiran pantai sejumlah pulau di
Kabupaten Bengkalis, Meranti, dan Kota Dumai Berdasarkan informasi di lapangan, kegundulan hutan bakau ini
disebabkan maraknya pembalakan dari warga sekitar dengan tidak melakukan penanaman kembali. Pemerhati
lingkungan dari Universitas Riau, Tengku Ariful Amri, mengatakan, kondisi demikian sangat merugikan karena
minimnya tanaman bakau di tepian pantai akan berdampak pada luasan abrasi yang pastinya akan semakinparah. Menurut beliau, sebaiknya pemerintah daerah segera melakukan evaluasi dengan meninjau wilayah-
wilayah yang mengalami kegundulan hutan bakau dan setelah itu, melakukan penanaman kembali sebelum
pulau-pulau di Riau ini tenggelam. Menurut beliau pula para perusak lingkungan, termasuk pencuri kayu bakau,sebaiknya diberi sanksi hukum sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, karena, jika tidak, perambahan
secara liar akan tetap saja marak karena tidak adanya efek jera bagi pelaku.
Berdasarkan informasi tersebut di atas, perlu diinventarisasi keberadaan dan kondisi hutan Mangrove terkini
pada Kabupaten ini mengingat keberadaannya sangat penting demi kelangsungan dan kelestarian sumber
daya hayati dan non hayati. Dengan menggunakan data penginderaan jauh Landsat dapat diidentifikasi
keberadaan hutan Mangrove baik dari segi lokasi maupun luasannya, disamping itu juga dapat diidentifikasi
kondisi hutan Mangrove tersebut dengan melihat kerapatan tajuk dan luasannya. Semakin jarang kerapatannya,
mengidentifikasi adanya kerusakan pada hutan Mangrove (Dewanti et al, 1999). Data penginderaan jauh
Landsat dapat digunakan untuk mendeteksi penutup lahan hutan Mangrove yang membedakannya dengan
vegetasi lain dengan kombinasi kanal RGB 453 (Dewanti et al, 1999 ; Noviar, 2010). Sedangkan kerapatanhutan Mangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan formula NDVI (Dewanti et al, 1999). Dengan
perolehan data Landsat tahun (2010) yang telah dikoreksi secara geometri maupun radiometri, penulis mencoba
mengidentifikasi, mengklasifikasi dan menginventarisasi keberadaan hutan Mangrove dari segi lokasi, luasan
dan kerapatannya, sehingga hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai informasi dan masukan
bagi pihak-pihak yang membutuhkan seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau dalam menentukan
kebijakan dalam melestarikan keberadaan kawasan ini.
BAHAN DAN METODE
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra Landsat TM-5 (Thematic Mapper-5), path 126 row 059
dengan tanggal perekaman data 2 Februari 2010.
Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini digambarkan dengan diagram alir pada Gambar 2.
Pertama dilakukan pengolahan awal berupa koreksi geometri citra untuk memperoleh citra yang sudah benar
posisi koordinat geografinya sesuai dengan posisi lokasi pada peta. Selanjutnya dilakukan koreksi radiometri
untuk mengkoreksi sudut dan jarak matahari, koreksi atmosferik, topografi, error sensor dan lain-lain.
Proses berikutnya adalah overlay antara hasil klasifikasi dan delineasi kelas hutan Mangrove secara visual dengankelas kerapatan vegetasi berdasarkan nilai NDVI. Langkah selanjutnya perhitungan luas hutan Mangrove baik
secara keseluruhan maupun berdasarkan kerapatan tajuk.
Kemudian dibuat peta sebaran hutan Mangrove dengan berbagai kerapatan per kecamatan atau pulau dan
dihitung luasannya berdasarkan kerapatan tajuk per wilayah kecamatan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pencarian citra Landsat Thematic Mapper yang clear (bebas awan) di wilayah penelitian akhirnya
diperoleh citra wilayah penelitian pada path 126 row 059 dengan tanggal perekaman data 2 Februari 2010, hal
ini ditunjukkan pada Gambar 3. Setelah dilakukan pengolahan awal berupa koreksi geometri dan radiometri,selanjutnya citra diklasifikasi dan didelineasi kawasan hutan Mangrove berdasarkan kombinasi RGB 453, yang
Selanjutnya dihitung luas hutan Mangrove per kerapatan tajuk per kecamatan dan hasilnya dapat dilihat dalam
Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5. Dari hasil pengolahan ini dapat diinventarisasi luas dan sebaran hutan Mangrove
yang masih ada di wilayah pesisir Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran), dan melihat sebaran dan luaskerusakan hutan Mangrove berdasarkan kerapatan vegetasinya. Dari hasil ini diperoleh bahwa luasan hutan
Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) luas totalnya adalah 44.173,8 Ha yang merupakan
penjumlahan luas total hutan Mangrove per kecamatan yang hasilnya ditunjukkan pada Tabel 1, 2, 3, 4 dan 5
yaitu Kecamatan Bengkalis = 9489 Ha, Kecamatan Bukitbatu = 1100.3 Ha, Kecamatan Merbau = 8655.4 Ha,
Kecamatan Rangsang Barat =7582 Ha, Kecamatan Rupat = 17347.1 Ha. Dari hasil ini juga dapat dilihat bahwa
hutan Mangrove yang masih luas ada di Kecamatan Rupat dengan luas 17.347,1 Ha (39,3 % dari luas total
hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis). Sedangkan dari Tabel 1 ,2, 3, 4, 5 dapat dilihat bahwa kerapatan
tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak ada di Kecamatan Rupat tersebut sebesar
404.6 Ha (2.3 %) dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hal ini menunjukkan terjadi kerusakan hutan
Mangrove di kecamatan tersebut.
Tabel 1. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Bengkalis
No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)
1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 103.0 1.1
2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 244.7 2.6
3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 341.6 3.6
4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 277.0 2.9
5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 8522.7 89.8
Luas Total 9489.0 100.0
Tabel 2. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Bukitbatu
No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)
1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 29.3 2.7
2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 29.3 2.7
3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 37.8 3.4
4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 29.7 2.7
5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 974.2 88.5
Luas Total 1100.3 100.0
Tabel 3. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Merbau
No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)
Tabel 4. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Rangsang Barat
No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)
1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 70.7 0.9
2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 140.7 1.9
3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 343.4 4.5
4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 423.5 5.6
5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 6603.8 87.1
Luas Total 7582.1 100.0
Tabel 5. Luasan hutan Mangrove per kerapatan tajuk di Kecamatan Rupat
No Kelas Kerapatan Mangrove Luasan (Ha) Luasan (%)
1 Sangat Jarang (0.01< ndvi < 0.18) 121.8 0.7
2 Jarang (0.18 ≤ ndvi < 0.32) 282.8 1.6
3 Sedang (0.32 ≤ ndvi < 0.42) 439.9 2.5
4 Lebat (0.42 ≤ ndvi < 0.47) 522.3 3.0
5 Sangat Lebat (ndvi ≥ 0.47) 15980.3 92.1
Luas Total 17347.1 100.0
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan citra pada Landsat TM-5 dengan data perekaman tanggal 2 Februari 2010 dapat
diinventarisasi luas hutan Mangrove yang masih ada di Kabupaten Bengkalis, Propinsi Riau mengingat adaindikasi banyak terjadi kerusakan atau pembabatan hutan Mangrove di wilayah ini. Hasil inventarisasi dapat
disimpulkan bahwa luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis (sebelum pemekaran) pada tahun 2010
adalah 44.173,8 Ha, sedangkan kecamatan yang paling luas hutan Mangrovenya ada di Kecamatan Rupat
dengan luas 17.347,1 Ha atau 39,3 % dari luas total hutan Mangrove di Kabupaten Bengkalis.. Kerapatan
tajuk hutan Mangrove yang sangat jarang dan jarang terbanyak adalah Kecamatan Rupat tersebut sebesar
404.6 Ha atau 2.3 % dari luas total Mangrove di kecamatan tersebut. Hasil ini diharapkan dapat digunakan
sebagai informasi dan masukan bagi pihak-pihak yang terkait seperti KLH, pemda setempat dan Pemda Riau
dalam menentukan kebijakan terutama untuk melestarikan dan merehabilitasi hutan-hutan Mangrove yang
telah hilang atau rusak mengingat pentingnya fungsi hutan Mangrove bagi kelangsungan hidup sumber daya
hayati dan non hayati.
DAFTAR PUSTAKA
Dewanti, R, T. Maulana, S. Budhiman, F. Zainuddin, & Munyati, 1999. Kondisi hutan Mangrove di Kalimantan
Timur, Sumatera, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah LAPAN Edisi Penginderaan Jauh, 91 (1) : 29-43.
Harian Kompas, 3 Februari 2012, Hutan Mangrove di Riau Makin Gundul
Jhonnerie, R., E. Prianto, dan Y.Oktorini, 2007. Deteksi Perubahan Luasan Hutan Mangrove dengan
Menggunakan Penginderaan Jauh dan SIG di Kota Dumai Propinsi Riau, Torani, Vol 17(2) Edisi Juni 2007
: 159-169.
Noviar, Heru, 2010, Kondisi Hutan Mangrove Terkini di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau, ProsidingPertemuan Ilmiah Tahunan MAPIN XVII, Bogor
Obyek di permukaan bumi kenampakannya bersifat dinamis dan relatif cepat berubah mengikuti dinamika
penutup lahan dan penggunaan lahan serta musim, akibatnya kenampakan obyek yang sama pada dua citra
penginderaan jauh yang berbeda tanggal perekamannya dapat berbeda.
Analisis perubahan pada citra merupakan proses identifikasi perubahan berdasarkan pengamatan kenampakan
dengan waktu yang berbeda. Kegiatan ini perlu mendapat perhatian terutama dalam pemanfaatan
penginderaan jauh bagi usaha-usaha pengelolaan sumber daya alam. Perubahan pada citra dapat mempunyai
arti yang bermacam-macam, untuk itu diperlukan suatu metode deteksi yang dapat memberikan arahan dalam
menentukan perubahan yang sebenarnya terjadi.
Ada empat metode penginderaan jauh yang sudah biasa digunakan untuk mendeteksi perubahan yaitu : (1)
analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth), (2) perbedaan dua citra Landsat
TM (3) perbandingan dua citra Landsat TM , dan (4) klasifikasi dua citra Landsat TM. Pada penelitian ini akandikaji kemampuan metode analisis visual dari dua citra Landsat TM (Metode Martin dan Howarth) untuk
mendeteksi perubahan penutup lahan dengan mengambil kasus daerah Bekasi.
Penelitian ini bertujuan untuk : a) mengevaluasi kesesuaian hasil analisa perubahan kenampakan dua citra
Landsat TM dari metode Martin dan Howarth, dan b) mengembangkan prosedur deteksi perubahan
kenampakan dua citra menggunakan data Landsat TM / ETM+.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kelebihan dan kekurangan metode ini bila
digunakan untuk mendeteksi perubahan penutup lahan berdasarkan citra Landsat TM.
STUDI PUSTAKA
Penginderaan Jauh
Penginderaan Jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah, atau
fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa mengadakan kontak langsung dengan
obyek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1994).
Citra penginderaan jauh adalah gambaran suatu obyek yang merupakan pantulan atau pancaran radiasi
elektromagnetik obyek yang direkam dengan cara optik, elektro-optik, optik-mekanik atau elektronik. Citra
penginderaan jauh merupakan gambaran yang mirip dengan wujud aslinya atau paling tidak berupa gambaranplanimetriknya, sehinggga citra merupakan keluaran suatu sistem perekaman data dapat bersifat optik, analog
atau digital (Purwadhi, 2001).
Citra inderaja ada beberapa jenis diantaranya adalah : citra Landsat, SPOT, JERS , dan ERS . Citra tersebut
masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda.
Citra penginderaan jauh dapat digunakan untuk berbagai keperluan yang bersifat global antara lain untuk
pemantauan sumber daya alam, cuaca, lingkungan dan lain-lain. Keunggulan pemanfaatan citra inderaja
adalah cakupan lahan sangat luas, harga relatif murah, data mudah diperoleh dalam jangka waktu yang relatif
Beberapa tahapan kegiatan yang dilakukan, yaitu pengumpulan dan penyiapan data, pengolahan citra awal,
analisis perubahan kenampakan dua citra beda waktu dan evaluasi deteksi perubahan kenampakan dua citra
beda waktu.
Kajian Deteksi Perubahan Penutup/Penggunaan Lahan
Dengan menggunakan fasilitas perangkat lunak ER Mapper dibuat file citra kanal 3 (l = 0,63 – 0,69) data
Landsat tahun 1994 (t1), lalu disimpan dalam suatu file. Begitu juga dengan kanal 3 data Landsat tahun 2001
(t2). Selanjutnya algoritma RGB ditampilkan, kanal 3 data Landsat tahun 1994 dimasukkan kedalam layer warna
merah, kanal 3 data Landsat tahun 2001 dimasukkan kedalam layer warna hijau, sedangkan layer warna
biru dihapus. Kemudian algoritma yang dibuat dijalankan sehingga didapat citra tampilan bersama dengan
beberapa warna yang berbeda yang selanjutnya warna tersebut dianalisis menggunakan tabel analisis visualdari dua citra beda waktu (Martin dan Howarth, 1989 dalam Beeber, 1998).
Untuk analisis visual dua citra beda waktu, Martin dan Howarth (1989) melakukan tumpang tindih data
Landsat TM kanal 3 pada waktu t1 pada layer merah dengan data Landsat TM kanal 3 pada waktu t2 pada layer
hijau dan mendapatkan tabel analisis perubahan seperti disajikan pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2. Analisis Visual dari Dua Citra Beda Waktu (Martin dan Howarth (1989) dalam Beeber, (1998)).
Warna Citra Perubahan Lahan
Merah Lahan mengalami perubahan ke perkotaan pada t1, yang perubahannya
selesai sebelum t2
Hijau Terang Lahan mengalami perubahan pada t2, bukan pada t
1
Kuning Muda Fase perubahan lahan konversi dari t1 dan t
2
Kuning Langsat terang dan menengah Penggunaan lahan untuk perumahan dan industri/komersial pada t1 dan t
2
Hijau, Coklat tua, Coklat, Kuning Langsat tua,Abu-abu tua, Kuning tua
Daerah terbuka pada t1 dan t
2
Hitam Hutan pada kedua waktu
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penutup/Penggunaan Lahan
Informasi penggunaan lahan ini menggunakan rujukan Peta Rupa Bumi Digital Indonesia skala 1 : 25.000. edisi
1 – 2000 (dikompilasi dari foto udara skala 1 : 50.000. tahun 1993/1994), sedangkan untuk lahan tahun 2001
yang digunakan sebagai referensi dalam makalah ini adalah citra Ikonos tahun 2000. Berdasarkan kedua data
masukan ini diketahui bahwa di lokasi sedikitnya terdapat 5 kelas penggunaan lahan yaitu : industri, kebun
campuran, pemukiman, sawah dan lahan terbuka.
Lahan sawah pada tahun 1994 masih terlihat dominan pada bagian kanan dari lokasi di peta rupa bumi dan
pada citra Ikonos tampak bahwa luas lahan sawah pada tahun 2001 telah terjadi penyusutan. Di sebelah kiri
dan tengah dari lokasi tersebar kawasan pemukiman dan tampak telah terjadi peningkatan area pada tahun2001, demikian juga kawasan industri cenderung terkonsentrasi disebelah kiri atas dan tampak telah terjadi
Gambar 2. Hasil Tampilan Bersama Citra Landsat TM Tahun 1994 Dengan Citra Landsat TM 2001.
Kesan warna merah pada citra menunjukkan terjadinya perubahan lahan ke perkotaan pada tahun 1994 yang
mana perubahan itu selesai sebelum tahun 2001, warna hijau terang menunjukkan lahan berubah pada tahun
2001 bukan pada tahun 1994, warna kuning muda menunjukkan fase perubahan lahan konversi dari tahun
1994 dan tahun 2001, warna kuning langsat terang dan menengah menunjukkan penggunaan lahan untuk
perumahan dan industri pada tahun 1994 dan tahun 2001 dan warna hijau, coklat, coklat tua, kuning langsattua, abu-abu tua, kuning tua menunjukkan daerah terbuka pada tahun 1994 dan tahun 2001.
Metode tampilan bersama ini secara cepat dapat menunjukkan adanya pola perubahan, tetapi tidak dapat
menunjukkan arah perubahan dari mana ke mana hanya menunjukkan pola perubahan yang terjadi. Berdasarkan
perubahan warna yang tampak pada Gambar 3a dilakukan analisis kesesuaian warna dan artinya pada lokasi
terpilih dengan membandingkannya dengan peta penggunaan lahan tahun 1994 dan 2001. Hasil analisis
disajikan pada Tabel 3.
Gambar 3. Tampilan bersama Landsat TM Tahun 1994 dan 2001 dan poligon yang mengalami perubahan warna
Tabel 3. Analisis Perubahan dari Dua Citra Beda Waktu Daerah Bekasi.
Poligon Warna Perubahan Lahan Perubahan Warna
Thn. 1994 Thn. 2001
1 Merah Sawah Pemukiman Sesuai
2 Merah Sawah Lhn. Terbuka Sesuai
3 Merah Sawah Lhn. Terbuka Sesuai
4 Hijau terang Sawah Industri Sesuai
5 Hijau terang Sawah Industri Sesuai
6 Kuning muda Pemukiman Industri Sesuai
7 Kuning langsat Lhn terbuka
(rumput)
Industri Sesuai
8 Hitam Sawah Lhn. Terbuka
(berair)
Tidak Sesuai
9 Hitam Sawah Sawah (berair) Tidak Sesuai
Gambar 3a memperlihatkan bahwa warna merah lebih dominan dibandingkan dengan warna-warna lain. Kesan
warna ini mempunyai arti bahwa telah terjadi perubahan dari lahan sawah (1994) menjadi lahan perkotaan
(2001). Berdasarkan analisis kesesuaian warna pada lokasi terpilih terdapat dua lokasi yang perubahan warnanya
tidak sesuai dengan analisa perubahan dari dua citra berbeda waktu menurut Martin dan Howarth (1989) dalam
Beeber (1998). Sedangkan lokasi yang lain perubahan warnanya sesuai. Area yang berwarna hitam adalah
daerah hutan, tetapi untuk daerah Bekasi area yang berwarna hitam adalah daerah sawah dan lahan terbukayang berair. Metode ini hanya menunjukkan kelas penutupan lahan, tidak bisa menunjukkan kelas penggunaan
lahan, sehingga tidak dapat menghasilkan pemetaan penggunaan lahan.
Tahun 1994 Tahun 2001
Gambar 4. Penutup lahan sesuai Tabel 3 dan poligon yang mengalami perubahan warna
Seiring dengan peningkatan jumlah penduduk, kebutuhan air bersih-pun turut meningkat setiap tahunnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) memprediksikan pada tahun 2015 jumlah penduduk Indonesia akan mencapai
247,5 juta jiwa. Jumlah tersebut mengakibatkan pemenuhan kebutuhan air akan meningkat menjadi 9.391
miliar meter kubik atau naik 47 persen dari tahun 2000. Pemenuhan kebutuhan air bersih bagi penduduk
dilakukan dengan sistem perpipaan dan non-perpipaan. Sistem perpipaan dioperasikan oleh entitas
penyelenggara pelayanan air bersih, baik yang dikelola oleh swasta maupun pemerintah (PDAM). Saat ini di
Indonesia terdapat 382 PDAM yang baru dapat melayani 47% penduduk perkotaan dan 11% penduduk
pedesaan. Data PERPAMSI (Persatuan Perusahaan Air Minum Seluruh Indonesia) tahun 2010 menyebutkan
secara nasional baru 27% jumlah penduduk Indonesia yang terjangkau jaringan air bersih dari PDAM. Artinya
mayoritas penduduk Indonesia masih memperoleh air bersih dari sistem non-perpipaan yang bersumber darimata air, sumur, air hujan, maupun penjaja air yang kualitasnya belum terjamin.
Ada beberapa permasalahan besar yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan air bersih di Indonesia,
diantaranya:
1. Sumber air baku yang terbatas, seperti: penurunan kualitas dan kuantitas, tidak ada lagi sumber air baku
yang dapat dieksplorasi, hingga pada konflik antar wilayah dalam pemanfaatan sumber air baku;
2. Kebutuhan air bersih yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk;
3. Rendahnya cakupan pelayanan air bersih di Kawasan Perkotaan, akibat minimnya data dan infrastruktur; dan
4. Kinerja pengelolaan sistem air bersih yang menurun akibat tingginya kebocoran, biaya operasi dan
pemeliharaan yang meningkat.
Permasalahan tersebut hingga kini masih menjadi kendala peningkatan kinerja PDAM di Indonesia dimana
saat ini 69% PDAM berada dalam kondisi kurang sehat. Teknologi penginderaan jauh dan Sistem Informasi
Geografis (SIG) dapat membantu memberi solusi terhadap permasalahan penyediaan air minum. Salah
satunya adalah dalam pengembangan jaringan pipa air bersih, baik pipa distribusi maupun transmisi.
Beberapa kajian pemanfaatan data penginderaan jauh satelit yang berkaitan dengan jaringan perpipaan
air bersih telah dilakukan di beberapa negara, seperti: perencanaan sistem blok berdasarkan jaringan jalan
dan kontur wilayah sehingga mempermudah penyaluran air berdasarkan kebutuhan setiap blok secara lebih
efesien (Jun et al., 2004). Sistem blok telah banyak digunakan dinegaramaju seperti Jepang dan Korea, pada
sistem ini disusun berdasarkan pertimbangan orde jalan dan rata-rata elevasi setiap blok, selanjutnya diperinci
berdasarkan besarnya permintaan air. Huang dan Fipps (2005) mengidentifikasi kebocoran kanal irigasi dengan
memperlihatkan bahwa potensi kebocoran dapat diprediksi dengan menggunakan data sensor airborne
multispectral (Visibel, NIR dan Termal) resolusi tinggi. Metode ini sangat memungkinkan untuk diterapkan
untuk mendeteksi kebocoran pipa dalam skala regional.
Tulisan ini akan mengkaji sejauh mana teknologi penginderaan jauh satelit dan SIG berperan dalam
pengembangan jaringan perpipaan air bersih. Untuk mengaplikasikannya, jaringan perpipaan PDAM Kabupaten
Sampang, Jawa Timur, dipilih menjadi studi kasusnya. PDAM Sampang merupakan salah satu PDAM yang
berada dalam kondisi kurang sehat. Dari empat belas kecamatan yang ada di Kabupaten Sampang, pelayananair bersih melalui PDAM hanya terdapat di ibukota kabupaten saja. Gambar 1 menunjukan cakupan pelayanan
Informasi fisik yang diturunkan dari citra satelit penginderaan jauh meliputi penutup lahan, jaringan jalan,
system persungaian, objek dan orientasi bangunan, dan zonasi wilayah permukiman. Metode yang digunakan
adalah interpretasi dan digitasi visual pada skala 1:5.000. Dari empat zona wilayah PDAM Kabupaten Sampang,
fokus penelitian dilakukan pada dua zona pelayanan yang jumlah pelanggan dan pertumbuhannya paling
cepat. (Statistik PDAM Kabupaten Sampang, 2012).
Data Digital Elevation Model (DEM) diproses secara digital dari data DEM SRTM X-C band untuk menghasilkaninformasi spasial ketinggian wilayah, kontur, lereng, dan arah lereng. Interval kontur dibuat dengan interval 5
meter menggunakan teknik interpolasi dari data SRTM dan kontur Peta Rupa Bumi skala 1:25.000. Informasi
lereng menunjukan kemiringan dari permukaan bumi dengan kisaran nilai 0-90 derajat. Sedangkan arah lereng
menunjukan ke arah mana lereng tersebut menghadap, dengan kisaran nilai 0-360 derajat yang dimulai dari
arah utara dan berputar searah jarum jam.
Langkah berikutnya yang dilakukan adalah melakukan digitalisasi dan koreksi geometrik data sekunder ,
karena sebagian besar data yang terkumpul dalam bentuk hardcopy dan format autocad. Koreksi geometrik
menggunakan data IKONOS terkoreksi tahun perekaman 2010. Setelah terkoreksi, data-data sekunder
dikonversi menjadi data spasial untuk memudahkan dalam analisis di SIG sehingga menghasilkan informasi
spasial parameter PDAM. Alur kegiatan pada tahap ini digambarkan pada Gambar 3.
Citra IKONOSterkoreksi Rektifikasi dan konversi data
Data Data Sekunder
Identifikasi dan
deliniasi
Informasi spasial : • Zona PDAM • Sumber air
• Jaringan Pipa • Lokasi sumur
Analisis SIG danLayout
1. Kondisi Eksisting Jaringan Distribusi PDAM
2. Rencana Pengembangan Jaringan Pipa
Informasi Spasial
Hasil Ekstraksi Data PJ
Gambar 3. Alur Kegiatan Penurunan Informasi Spasial Fisik Wilayah
HASIL DAN PEMBAHASAN
Informasi Spasial Dasar
Berdasarkan analisis data DEM-SRTM, lokasi studi mempunyai ketinggian antara 0-50 dengan topografi
landai. Wilayah permukiman yang merupakan basis pelanggan PDAM berada pada ketinggian 0-10 m, hanyatiga desa yang letaknya berada pada ketinggian diatas 10 meter. Gambar 4 dan Gambar 5 memperlihatkan
informasi ketinggian di wilayah studi hasil dari analisis DEM-SRTM.
Gambar 4. Informasi Ketinggian Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi
Gambar 5. Informasi Kontur Hasil Analisis DEM-SRTM di Wilayah Studi
Kemiringan lahan di wilayah studi adalah 0 – 12 derajat dengan arah kemiringan lahan bervariasi ke segala
arah. Infomasi ketinggian, kemiringan dan arah kemiringan lahan ini sangat bermanfaat dalam perencanaan
pembangunan jaringan pipa untuk menentukan metoda yang paling tepat digunakan dalam pengaliran airbersih. Kemiringan dan arah kemiringan di wilayah studi dapat dilihat pada Gambar 6 dan 7.
Informasi spasial parameter PDAM dibuat dengan mengumpulkan data dari dinas PDAM dan Bappeda
Kabupaten Sampang. Data tersebut kemudian diubah menjadi data vektor dengan format SIG(shapefile).
Informasi jaringan eksisting pipa yang di dapat dari PDAM Kabupaten Sampang masih belum detail, dimanatidak memuat informasi mengenai jenis pipa (pipa transmisi dan disribusi), diameter pipa dan usia pipa. Dari
Peta Jaringan PDAM Kabupaten Sampang terlihat jaringan pipa dipasang sejajar dengan jaringan jalan.
(Gambar 13).
Gambar 13. Informasi Jaringan Eksisting Pipa PDAM
Sumber air minum PDAM Kabupaten Sampang bersumber dari sumur bor dan mata air. Terdapat empat sumur
bor dan satu mata air yang saat ini dimanfaatkan, yaitu sumur bor Pangelen, Sogiyan, Gajah Mada, Glisgis
dan mata air Subaru. Sebaran lokasi sumur bor dan mata air untuk PDAM di Kota Sampang diperlihatkan pada
Analisis terhadap kondisi eksisting dilakukan setelah basis data PDAM selesai dibuat, walau beberapa data dari
PDAM belum diperoleh seperti; jenis pipa (pipa transimisi dan distribusi), lokasi konsumen, diameter dan usia
pipa, lokasi kebocoran dan lokasi valve pipa. Namun hasil analisa dapat memberikan gambaran awal posisi dan
lokasi sumur bor dan jaringan pipa air terhadap parameter fisik wilayah. Untuk mendapatkan hasil yang lebih
akurat, perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai pengaruh setiap parameter terhadap jaringan pipa air
minum. Hasil analisis diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Terhadap Kondisi Eksisting Jaringan Pipa PDAM
No. Lokasi sumur bor dan mata air jaringan pipa PDAM
1. Ketinggian dankontur
Sumur bor dan mata air terletak pada daerah tinggiberkisar 30-40 m, kecuali sumur bor Pangelen danSogiyan yang terletak di daerah rendah berkisar 5-10m
Sumber air terletak pada daerah tinggi sedangkandistribusi jalur pipa terletak pada wilayah rendahpada daerah dengan ketinggian 0 -10 m
2. Kelerengan danarah lereng
Sumur bor dan mata air terletak pada daera dengankemiringan 6-10 derajat, kecuali sumur bor Sogiyanyang terletak paa kemirintgan 2-4 derajat.
Distribusi jaringan pipa terletak pada daerah rendahdan relatif datar (kisaran 0-4 derajat)
3. Jaringan jalan - Pada umumnya distribusi jaringan pipa mengikutipola jaringan jalan Arteri dan kolektor, tapi belummenjangkau jaringan jalan lingkungan.
4. Penutup lahan Lokasi sumur bor dan mata air terletak pada arealadang, sawah dan kebun campur
Jaringan pipa sudah menjangkau kawasan komersil(perkantoran dan industri dan pasar), tetapi belummenjangkau perumahan yang baru berkembang.
5. Sumber air(sungai)
Lokasi sumur bor dan mata air agak jauh dari sungai,sungai berpotensi dijadikan sumber air PDAM
-
6. Wilayah per-mukiman dan
objek bangunan
- Jaringan pipa air minum belum menjangkau wilayahpermukiman di bagian atas wilayah kajian (peru-
mahan baru berkembang), dan juga belum masuk kewilayah perumahan teratur (komplek).
Pemanfaatan Basis Data Untuk Pengembangan Jaringan Pipa PDAM
Pembuatan data base sistem jaringan pipa air minum suatu wilayah sangat penting, karena data-data tersebut
dapat overlay, digabungkan dan dianalisis dengan berbagai model (model pembobotan, SIG dll) untuk
keperluan perencanaan, pengelolaan (pemantauan dan pemeliharaan) dan pengembangan sistem jaringanpipa
air minum di wilayah tersebut.
Berdasarkan hasil kajian literature baik yang telah bersifat operasional maupun yang bersifat riset, maka
informasi-informasi yang berkaitan erat dengan jaringan pipa air minum yang akan sangat bermanfaat untukkegiatan pengelolaan dan pengembangan sistem jaringanpipa air minum adalah:
• Infomasi spasial sumber air (danau, waduk, sungai, sumur, mata air dll)
• Informasi spasial sumber air bermanfaat untuk pembuatan jaringan pipa paling optimal (jarak terpendek)
yang menghubungkan antara sumber air ke unit-unit lainnya seperti: penampungan air atau lokasi
pelanggan.
• Infomasi spasial jaringan jalan
• Informasi spasial jaringan jalan bermanfaat untuk pembuatan sistem blok pelanggan dan pemetaan jalur
pipa sehingga jaringan pipa air minum dapat lebih mudah dikelola dan efesien. Pada beberapa negara
maju seperti: Jepang dan Korea, jaringan pipa air dilakukan dalam sistem blok. Sistem pembagian blok
disusun dengan memperhatikan jaringan dan orde jalan, serta jumlah kebutuhan dari pelanggan.
Gambar 15 Pemanfaatan Basis Data Dalam Mendukung Sistem Jaringan PDAM
KESIMPULAN
Informasi spasial yang diekstraksi dari data penginderaan jauh satelit dapat digunakan sebagai basis data
dalam mendukung pengelolaan dan pengembangan jaringan pipa PDAM. Informasi dasar dari data satelitmampu memberikan informasi spasial terkini secara cepat sehingga sangat membantu untuk mengevaluasi
kondisi eksisting sistem pipa air minum dan memprediksi prediksi pertumbuhan jumlah pelanggan. Informasi
ini berguna sebagai masukan dalam mengambil kebijakan arah pengembangan jaringan pipa PDAM di
masa mendatang. Penggunaan teknologi SIG memudahkan proses analisis spasial, namun kelengkapan data
sekunder sebagai pendukung analisis sangat menentukan tingkat keakuratan dan kedetilan dari informasi yang
dihasilkan.
Analisis singkat pada lokasi studi didapat bahwa jaringan pipa air minum belum menjangkau wilayah-
wilayah perkembangan baru yang teridentifikasi pada citra satelit. Hasil analisis 3D terhadap data DEM SRTM
menunjukan metode pengaliran secara gravitasi masih dapat terus digunakan untuk mendistribusikan air ke
pelanggan. Pada beberapa lokasi permukiman baru yang letaknya jauh dari sumber air, sudut kemiringan kecil,diperlukan pembangunan unit pompa tekan untuk menambah tekanan air pada pipa distribusi.
DAFTAR PUSTAKA
Danoedoro, P., 2004,Satelit Mata-mata untuk Lingkungan,Kompas online : http://www.kompas.com/kompas-
cetak/0305/13/inspirasi/307922.htm [ 20-11-2004]
Gesch, D., 2005, Vertical Accuracy of SRTM Data of the Accuracy of SRTM Data of the United States: Implications
for Topographic Change Detection, SRTM Data Validation and Applications Workshop
Huang, Y. And G. Fipps, 2005,Airborne Multispectral Remote Sensing Imaging for Detecting Irrigation Canal
Leaks in The Lower Rio Grande Valley, 20th Biennial Workshop on Aerial Photography, Videography and