BAB IPENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Negara Indonesia adalah negara yang kaya akan budaya dan adat,
termasuk dalam hal pewarisan, Indonesia memiliki berbagai macam
bentuk waris, salah satunya adalah hukum waris adat. Hukum waris
merupakan salah satu dari hukum perdata secara keseluruhandan
merupakan bagian terkecil dari hukum kekeluargaan. Hukum waris
sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia, sebab
setiap manusia pasti akan mengalami peristiwa hukum yang dinamakan
kematian. Akibat hukum yang selanjutnya timbul, dengan terjadinya
peristiwa hukum kematian seseorang, diantaranya ialah masalah
bagaimana pengurusan dan kelanjutan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
seseorang yang meninggal dunia tersebut.[footnoteRef:2]Oleh karena
itu, pokok pangkal uraian tentang hukum waris adat bertitik tolak
dari bentuk masyarakat dan sifat kekeluargaan yang terdapat di
Indonesia menurut sistem keturunan. [2: M. idris Ramulyo: Suatu
Perbandingan antara Ajaran sjafiI dan Wasiat Wajib wajib
diMesir,tentang pembagian Harta Warisan untuk cucu Menurut islam,
Majalah Hukum danPembangunan No. 2 Thn XII Maret 1982, Jakarta :
FHUI, 1982,hlm.154.]
Hukum waris adat adalah Hukum yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan,
pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasa dan pemiliknya dari pewaris kepada waris. Hukum waris adat
sesungguhnya adalah Hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Masyarakat
Indonesia yang menganut berbagai macam agama dan kepercayaan yang
berbeda-beda mempunyai bentuk-bentuk kekerabatan dengan sistem
keturunan yang berbeda-beda. Sistem keturunan yang berbeda-beda ini
nampak pengaruhnya dalam sistem kewarisan Hukum adat.Dengan adanya
beragam bentuk sistem kewarisan hukum adat, menimbulkan akibat yang
berbeda pula, maka pada intinya hukum waris harus disesuaikan
dengan adat dan kebudayaan masing-masing daerah dengan kelebihan
dan kekurangan yang ada pada sistem kewarisan tersebut. Salah satu
hukum waris adat yang bisa kita pelajari adalah hukum budaya adat
Bali. Masyarakat budaya adat Bali menganut sistem kekeluargaan
patrilineal atau kebapaan. Menurut hukum adat bali yang berhak
mewaris sebagai ahli waris adalah hanya keturunan laki-laki dari
keluarga laki-laki dan anak angkat laki-laki sedangkan anak
perempuan tidak berhak mewaris. Berdasarkan latar belakang diatas,
penulis tertarik mengangkat sebuah makalah yang berjudul BUDAYA
HUKUM WARIS ADAT BALI.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat dan
Kaitannya dengan Hukum Waris Adat Bali ?2. Bagaimana kedudukan para
ahli waris dalam budaya waris adat bali?
BAB IIPEMBAHASAN
2.1 Sistem Pewarisan dalam Hukum Waris Adat dan Kaitannya dengan
Hukum Waris Adat BaliHukum waris adat adalah hukum yang memuat
garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas hukum waris,
tentang harta warisan, pewaris dan waris serta cara bagaimana harta
warisan itu dialihkan oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli
waris. Hukum ini sesungguhnya adalah hukum penerusan serta
mengoperkan harta kekayaan dari sesuatu genarasi kepada
keturunannya. Di dalam Hukum adat sendiri tidak mengenal cara-cara
pembagian dengan penghitungan tetapi didasarkan atas pertimbangan,
mengingat wujud benda dan kebutuhan waris yang
bersangkutan.[footnoteRef:3] [3: Erman Suparman, Hukum waris
Indonesia (Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW), PT Refika
Aditama, Bandung , 2005. Hlm. 42]
Hukum kewarisan merupakan bagian dari hukum keluarga yang
memegang peranan sangat penting bahkan menentukan dan mencerminkan
sistem dan bentuk hukum yang berlaku dalam suatu masyarakat. Hal
ini disebabkan karena hukum waris itu sangat erat kaitannya dengan
ruang lingkup kehidupan manusia. Setiap manusia pasti akan
mengalami peristiwa, yang merupakan peristiwa hukum yaitu disebut
meninggal dunia. Apabila terjadi suatu peristiwa meninggalnya
seseorang, hal ini merupakan peristiwa hukum yang sekaligus
menimbulkan akibat hukum, yaitu tentang bagaimana pengurusan dan
kelanjutan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia
itu.[footnoteRef:4] [4: Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan Di
Indonesia, Bandung :Sumur Bandung , 1983, hal. 11]
Penyelesaian hak-hak dan kewajiban seseorang tersebut diatur
oleh hukum. Jadi, warisan itu dapat dikatakan ketentuan yang
mengatur cara penerusan dan peralihan harta kekayaan (berwujud atau
tidak berwujud) dari pewaris kepada para warisnya.[footnoteRef:5]
[5: H.Hilman Hadikusuma, Hukum Waris Adat, Bandung: Citra Aditya
Bakti ,2003, hal.8]
Hukum Waris adat di Indonesia tidak lepas dari pengaruh susunan
masyarakat kekerabatannya yang berbeda. Hukum waris adat mempunyai
corak tersendiri dari alam pikiran masyarakat yang tradisional
dengan bentuk kekerabatan yang sistem keturunannya dibedakan dalam
dalam tiga corak yaitu :a. Sistem patrilineal, yaitu sistem yang
ditarik menurut garis keturunan bapak dimana kedudukan pria lebih
menonjol pengaruhnya daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan
(Gayo, Bali, Lampung).
b. Sistem Matrilineal, yaitu sistem yang ditarik menurut garis
keturunan ibu dimana kedudukan wanita lebih menonjol pengaruhnya
daripada kedudukan anak wanita dalam pewarisan (Minangkabau,
Enggano, Timor).
c. Sistem Parental, yaitu sistem yang ditarik menurut garis
kedua orangtua, ataumenurut garis dua sisi. Bapak dan ibu dimana
kedudukan pria dan wanita tidak dibedakan di dalam pewarisan (Aceh,
Riau, Jawa, Kalimantan,Sulawesi).[footnoteRef:6] [6: Ibid, hlm
23]
Selain itu, Menurut ketentuan Hukum Adat yang berkembang di
dalam masyarakat, secara garis besar dapat dikatakan bahwa sistem
(pembagianya) hukum waris adat terdiri dari tiga sistem, yaitu:1.
Sistem Kolektif, Menurut sistem ini ahli waris menerima penerusan
dan pengalian harta warisan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dan tiap ahli waris hanya mempunyai hak untuk menggunakan
atau mendapat hasil dari harta tersebut. Contohnya seperti
Minangkabau, Ambon dan Minahasa.2. Sistem Mayorat, Menurut sistem
ini harta warisan dialihkan sebagai satu kesatuan yang tidak
terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan kepada anak tertentu
saja, misalnya anak laki-laki tertua (Bali, Lampung, Teluk Yos
Sudarso) atau perempuan tertua (Semendo/ Sumatra Selatan), anak
laki-laki termuda (Batak) atau perempuan termuda atau anak
laki-laki saja.3. Sistem Individual, berdasarkan prinsip sistem
ini, maka setiap ahli waris mendapatkan atau memiliki harta warisan
menurut bagiannya masing-masing. Pada umumnya sistem ini dijalankan
di masyarakat di Jawa dan masyarakat tanah Batak.[footnoteRef:7]
Menurut hukum adat Bali
yangmenganutsistemkekeluargaanpatrilinealmakayang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai
ahliwaris, sehingga dalam hukum adat di Bali terdapat
persyaratan-persyaratan sebagai ahli waris menurut I Gde Pudja
adalah : [7: Soekanto, Soerjono, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2012), hal 260]
1. Ahli waris harus mempunyai hubungan darah, yaitu misalnya
anak pewaris sendiri.2. Anak itu harus laki-laki.3. Bila tidak ada
anak barulah jatuh kepada anak yang bukan sedarah yang karena hukum
ia berhak menjadi ahli waris misalnya anak angkat.4. Bila tidak ada
anak dan tidak ada anak angkat, hukum Hindu membuka kemungkinan
adanya penggantian melalui penggantian atas kelompok ahli waris
dengan hak keutamaan kepada kelompok dengan hak penggantian lainnya
yang memenuhi syarat menurut Hukum Hindu.[footnoteRef:8] [8: I Gde
Pudja. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan Ajaran
Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA, (selanjutnya
disingkat I Gde Pudja I) hlm. 42.]
Apabila suatu keluarga hanya mempunyai anak perempuan tanpa ada
anak laki-laki maka anak perempuan itu dapat diangkat statusnya
sebagai anak laki-laki (sentana rajeg) dengan cara perkawinan ambil
laki, sehingga anak perempuan tersebut dapat menjadi sebagai ahli
waris dari harta warisan orang tuanya. Anak angkat berdasarkan
hukum waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak
mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai
penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus
keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini
haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di hadapan
masyarakat. Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk
melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua
kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang
mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris
adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah
harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan
maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku
bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang
laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari
orang tuanya. Sistem kekeluargaan patrilineal
(purusa)[footnoteRef:9] yang dianut oleh orang Bali-Hindu
menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa[footnoteRef:10] dan
swadharma[footnoteRef:11] keluarga, baik dalam hubungan dengan
parahyangan,[footnoteRef:12] pawongan,[footnoteRef:13] maupun
palemaha[footnoteRef:14]. Konsekuensinya, hanya keturunan yang
berstatus kapurusa yang memiliki swadikara terhadap harta warisan,
sementara keturunan yang berstatus pradana[footnoteRef:15], tidak
mungkin dapat meneruskan swadharma[footnoteRef:16], sehingga
disamakan dengan ninggal kadaton.[footnoteRef:17] [9: Purusa adalah
pihak laki-laki memiliki peran adil yang sangat besar dibandingkan
dengan pihakperempuan] [10: Kapurusa adalah keturunan yang dianggap
dapat mengurus keluarga] [11: Swadharma adalah keturunan yang
dianggap dapat meneruskan tanggung jawab keluarga.] [12:
Parahyangan adalah suatu keyakinan kepada Tuhan yang dimiliki oleh
adat Bali.] [13: Pawongan adalah suatu interaksi sesama manusia
yang dimiliki oleh adat Bali.] [14: Palemahan adalah suatu
pelestarian lingkungan alam dan tempat tinggal yang dimiliki adat
Bali.] [15: Swadikara adalah suatu hak dan kewajiban terhadap harta
warisan.] [16: Pradana adalah pihak perempuan yang dianggap tidak
dapat meneruskan harta peninggalanorangtuanya.] [17: Ninggal
kadaton dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan karena
mereka tidak dapatlagi melaksanakan tanggung-jawabnya.]
Di Bali, sistem (pembagianya) hukum waris adat yang digunakan
adalah, sistem Mayorat yaitu, harta warisan dialihkan sebagai satu
kesatuan yang tidak terbagi dengan hak penguasaan yang dilimpahkan
kepada anak tertentu saja, misalnya anak laki-laki tertua. Dalam
sistem kewarisan mayorat Bali digambarkan bahwa yang mewarisi
adalah satu anak saja yaitu anak tertua laki-laki yang berarti hak
pakai, hak mengelola dan memungut hasilnya dikuasai sepenuhnya oleh
anak tertua dengan hak dan kewajiban mengurus dan memelihara
adik-adiknya.
2.2 Kedudukan Para Ahli Waris dalam Budaya Waris Adat Bali
Ahli waris atau para ahli waris dalam sistem hukum adat waris di
tanah Patrilineal terdiri atas :1. Anak Laki-Laki Yaitu , semua
anak laki-laki yang sah yang berhak mewaris seluruh harta kekayaan,
baik harta pencaharian maupun harta pusaka. 2. Anak AngkatAnak
angkat merupakan ahli waris yang kedudukannya sama dengan anak
kandung.3. Ayah dan ibu yang serta saudara kandung si
pewarisApabila anak laki-laki maupun anak angkat tidak ada, maka
yang menjadi ahli waris adalah ayah dan ibu serta saudara kandung
si pewaris bersama-sama.4. Keluarga terdekat dalam derajat yang
tidak tertentu jika semua ahli waris di atas tidak ada.
2.2.1 Kedudukan Anak Laki-Laki dalam Sitem Waris Adat
BaliMasyarakat Bali menganut sistem kekerabatan Patrilineal dimana
sistem kekerabatan yang ditarik melalui garis keturunan ayah dan
dalam hal pewarisan laki-laki lebih diutamakan. Menurut Ter Haar,
hanya anak laki-laki yang dapat meneruskan peninggalan bapaknyadan
dapatmelanjutkan kedudukannya sebagai kepala keluarga. Jika tidak
ada anak laki-laki, maka dapatlah seorang anak laki-laki diambil
anak, baik oleh si bapak maupun oleh jandanya atas nama dia jikasi
bapak meninggal. Sebagai gantinya dapatlah si bapak mengangkat
anaknya perempuan menjadi sentana. Anak perempuan itu diberikan
hak-hak dan kewajiban sebagaimana seorang anak laki-laki
tertua.Disamping itu peranan anak laki-laki sangat penting di Bali,
karena seseorang yang telah berumah tangga akan terikat oleh
aturan-aturan adat yang berlaku dalam lingkungannya terutamabanjar,
sebagai anggota banjar sudah tentu mempunyai kewajiban yang harus
dilaksanakan, misalnya gotong royong atau ngayah, apabila ada
kegiatan adat seperti upacara ngaben, upacarakarya/odalan di pura.
Bagi orang tua yang tidak mempunyai anak laki-laki sangat perlu
mengangkat anak laki-laki untuk dapat melaksanakandarma (kewajiban)
dari orang tuanya terhadap adat yang berlaku pada lingkungan tempat
tinggalnya.
2.2.2Kedudukan Anak Angkat dalam Sitem Waris Adat Bali
Pengangkatan anak menurut hukum adat Bali dikenal dengan
beberapa istilah seperti memeras atau memeras sentana. Kata sentana
berarti anak atau keturunan dan kata meras berasal dari kata peras
yaitu semacam banten atau sesajen untuk pengakuan atau memasukkan
si anak ke keluarga orang tua angkat.Anak angkat berdasarkan hukum
waris adat di Bali dilakukan bilamana suatu keluarga tidak
mempunyai keturunan, sehingga fungsi anak angkat itu sebagai
penerus generasi atau keturunan, agar mantap sebagai penerus
keturunan dan tidak ada keragu-raguan maka pengangkatan anak ini
haruslah diadakan upacara pemerasan dan diumumkan di hadapan
masyarakat.Upacara penggangkatan anak ini dimaksudkan untuk
melepaskan anak itu dari ikatan atau hubungan dengan orang tua
kandungnya dan sekaligus memasukkan anak itu ke dalam keluarga yang
mengangkatnya. Dalam sistem hukum adat waris patrilineal, pewaris
adalah seorang yang meninggal dunia dengan meninggalkan sejumlah
harta kekayaan, baik harta itu diperoleh selama dalam perkawinan
maupun harta pusaka, karena di dalam hukum adat perkawinan suku
bersistem patrilineal, yang memakai marga itu berlaku keturunan
patrilineal maka orang tua merupakan pewaris bagi anak-anaknya yang
laki-laki dan hanya anak laki-laki yang merupakan ahli waris dari
orang tuanya. Menurut Hukum Adat Bali proses pengangkatan anak
sebagai berikut:1. Dimulai dari musyawarah keluarga kecil (pasutri
yang akan mengangkat anak). Kemudian diajukan dengan rembug
keluarga yang lebih luas meliputi saudara kandung yang
lainya.setelah ada kesepakatan matang, lalu mengadakan pendekatan
dengan orang tua atau keluarga yang anaknya yang mau diangkat.2.
Setelah semua jalan lancar dilanjutkan dengan
pengumuman(pasobyahan) dalam rapat desa atau banjar. Tujuanya,
untuk memastikan tidak ada anggota keluarga lainnya dan warga desa
atau banjar yang keberatan atas pengangkatan anak yang dimaksud.
Oleh karena itu, anak angkat harus diusahakan dari lingkungan
keluarga yang terdekat, garis purusa, yang merupakan pasidi karya.
Ada tiga golongan pasidikarya yaitu pasidikarya waris (mempunyai
hubungan saling waris), pasidikarya sumbah ( pempunyai hubungan
salaing menyembah leleuhur), dan pasidikarya idih pakidih (
mempunyai hubungan perkawinan).3. Apabila tidak ada garis dari
garis purusa, maka dapat dicari dari keluarga menurut garis pradana
(garis ibu). Apa bila tidak ditemuakn pula maka dapat dihusahakan
dari keluarga lain dalam satu soroh dan terakhir sama sekali tidak
ada pengangkatan anak dapat dilakukan walaupun tidak ada hubungan
keluarga (sekama-kama).4. Anak yang diangkat wajib beragama Hindu.
Jika yang diangkat seseorng yang bukan umat Hindu, pengangkatan
anak itu akan ditolak warga desa karena tujuan pengangkatan anak
antara laian untuk meneruskan warisan baik dalam bentuk kewajiaban
maupun hak, termasuk berbagai kewajiaban desa adat, terutama dalam
hubungan dengan tempat suci (pura).5. Melakukan upacara pemerasan
yang disaksiakan keluarga dan perangkat pemimpin desa atau banjar
adat. Pengangkatan anak baru dipandang sah sesudah dilakauakan
upacara pemerasan. Itulah sebabnya anak angkat itu disebut pula
dengan istilah sentana paperasan.6. Selain melakukan upacara
pemerasan proses berikutnya adalah pembuatan surat sentana.
Walaupun hal ini tidak merupakan syarat bagi sahnya pengangkatan
anak, tetapi hal ini penting dilakukan sebagai alat bukti bahwa
telah terjadi pengangkatan anak. Menurut hukum positif pengangkatan
anak dilakukan dengan penetapan hakim. Dengan demikian sesudah
upacara pemerasan, patut dilanjutkan dengan mengajukan pemohonan
penetapan pengangkatan anak kepada Pengadilan Negeri dalam daerah
hukum tempat pengangkatan anak itu dilaksanakan.[footnoteRef:18]
[18: I Wayan Beni, Waris Adat Bali, Agung Dharma Putra, Tabanan,
1988, hal.58-59.]
Dalam hukum adat tidak ada ketentuan yang tegas tentang siapa
saja yang boleh melakukan pengangkatan anak dan batas usia bagi
orang tua angkat, kecuali minimal 15 tahun. Sedangkan dalam hukum
adat Bali tidak ada ketentuan adat yang menentukan batas usia bagi
orang tua yang mengangkat anak. Tetapi biasanya suami istri yang
tidak mempunyai anak laki-laki.[footnoteRef:19] [19: Muderis Zaini,
Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum, Sinar Grafika,2002,
hal. 43.]
Pengangkatan anak pada Suku Bali yang bersifat kekeluargaan
kebapaan (patrilineal) memasukkan anak itu ke dalam keluarga orang
tua angkatnya dan berkedudukan sebagai anak kandung. Soeripto,
menjelaskan bahwa setiap keluarga Hindu Bali mempunyai harta /
kekayaan keluarga yang berupa harta benda yang mempunyai nilainilai
magis religius yaitu yang ada hubungannya dengan keagamaan /
upacara-upacara keagamaan dan harta kekayaan yang tidak mempunyai
nilai-nilai magis religius. Selanjutnya disebutkan harta yang tidak
mempunyai nilai magis religius antara lain :- harta akas kaya-
Harta jiwa dana- Harta tetatadan- Harta druwe gabro[footnoteRef:20]
[20: Soeripto, Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali, Fakultas Hukum
Universitas Negeri Jember,Jember 1973, hal.92.]
Adapun pengertian dari harta akas kaya adalah harta yang
diperoleh oleh masing-masing dari suami-isteri atas cucuran
keringat sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Pengertian dari
harta jiwa dana adalah pemberian secara iklas oleh orang tua kepada
anak-anaknya baik laki-laki maupun wanita selama masih kumpul
dengan pewaris sebelum masuk perkawinan. Pemberian dari tetatadan
adalah pemberian kepada anak-anak wanita pada waktu perkawinannya
(kawin keluar) dilangsungkan, sedangkan barang druwe gabro adalah
harta yang diperoleh suami isteri dengan cucuran keringat bersama.
Dari penjelasan ini dapat penulis simpulkan bahwa kesemuannya itu
adalah harta benda / kekayaan yang diperoleh sebelum masuk jenjang
perkawinan, sedangkan harta druwe gabro adalah harta yang diperoleh
dalam suatu perkawinan (suami isteri).Dengan adanya macam-macam
barang dari keluarga sebagaimana tersebut di atas hak-hak anak
angkat terhadap harta keluarga orang tua angkatnya, adalah sebagai
ahli waris orang tuan angkatnya. Dari kalangan para sarjana hukum
adat waris yang berlaku pada suku Bali anak angkat adalah ahli
waris harta benda keluarga seperti harta akas kaya, harta jiwa
harta tetatadan, dan harta Druwe gabro dari orang tua
angkatnya.[footnoteRef:21] Bahwa kedudukan anak angkat di dalam
pewarisan menurut hukum adat Bali adalah sebagai ahli waris orang
tua angkatnya. Keadaan ini tidak berubah apabila setelah diadakan
pengangkatan anak dilahirkan anak kandung. Setelah mengangkat anak
mereka mempunyai anak kandung, maka anak angkat tetap sebagai ahli
waris orang tua angkatnya. Apabila kalau si anak kandung yang
dilahirkan perempuan dan melakukan perkawinan jujur / keluar, maka
si anak angkat akan menjadi ahli waris tunggal. [21: Ibid, hal.
93]
Kedudukan anak angkat dalam keluarga menurut Hilman Hadikusuma
dalam bukunya Hukum Kekerabatan Adat dinyatakan
bahwa:[footnoteRef:22] Selain pengurusan dan perwalian anak
dimaksud bagi keluarga-keluarga yang mempunyai anak, apalagi tidak
mempunyai anak dapat melakukan adopsi, yaitu pengangkatan anak
berdasarkan adat kebiasaan dengan mengutamakan kepentingan
kesejahteraan anak, pengangkatan anak dimaksud tidak memutuskan
hubungn darah antara anak dan orang tua kandungnya berdasarkan
hukum berlaku bagi anak yang bersangkutan. [22: Hilman Hadikusuma,
Hukum Kekerabatan Anak, PT. Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1987, hal.
114]
Pengangkatan anak atau pemerasan anak oleh orang tua angkatnya,
telah memutuskan hak dan kewajiban si anak terhadap orang tua
kandungnya, karena hak dan kewajiban telah beralih kepada orang tua
angkat sepenuhnya, termasuk mengurus diri pribadi pengangkat
beserta harta kekayaan yang dimilikinya. Terhadap harta kekayaan
yang bersifat pribadi yang dimiliki oleh orang tua kandung, si anak
tidaklah berhak lagi untuk menikmatinya, karena ia telah melepaskan
diri dari tanggung jawab terhdap orang tua kandungnya. Dengan
pengangkatan anak orang lain tersebut oleh orang tua angkatnya
hubungan orang tua angkat dengan anak angkat seperti terjadi di
Bali yaitu hubungan sejati orang tua kandung dengan anak
kandungnya. Si anak menjadi ahli waris orang tua angkatnya dan
hubungan kewarisan dengan orang tua kandungnya menjadi
putus.[footnoteRef:23] Jadi kedudukan anak angkat itu menurut
kekeluargaan di Bali adalah sama dengan kedudukan anak kandung.
Anak angkat tersebut memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
anak dari orang tua. [23: B. Bastian Tafal, Pengangkatan Anak
Menurut Hukum Adat Serta Akibat-Akibatnya di Kemudian Hari, CV.
Rajawali, Jakarta, 1983, hal 47]
2.2.3 Kedudukan Anak Perempuan dalam Sitem Waris Adat Bali
Berkenaan dengan pembagian warisan pada adat Bali, Tidak ada
satu kesatuan aturan tentang pembagian warisan, menurut hukum adat
Bali. Secara umum, warisan semua dikuasai anak laki-laki pertama
atau terakhir, kemudian dimiliki dengan bukti sertifikat hak milik,
terus dipindah-tangankan sesuka hatinya. Ada juga keluarga yang
membagi habis warisan di antara saudara-saudaranya atau tetap
mempertahankannya sebagai milik bersama (duwe tengah). Umumnya anak
perempuan dianggap tidak berhak atas warisan, entah dia ninggal
kedaton atau tidak. Walaupun anak perempuan bukanlah ahli
waris,akan tetapi ia berhak atas bagian dari harta warisan selama
tidak putus hak nya.Kehilangan hak menikmati dari harta warisan itu
terjadi apabila anak peremuan kawin keluar.Jadi,jika kemudian anak
perempuan kawin keluar,bagiann yang dinikmati itu harus diserahkan
kembali kepada keluarganya dan harta warisan ini tidak boleh dibawa
serta ke perkawinan.Anak perempuan bukan ahli waris, tetapi
mendapat bagian dari warisan ketika diadakan pembagian.Tetapi
perempuan juga dapat menjadi ahli waris yang disebut sebagai
sentana rajeg, dimana wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki
melalui upacara nyentana. Nyentana atau nyeburin adalah istilah
dalamperkawinanadat di Bali dimana mempelai laki-laki tinggal di
rumah asal mempelai perempuan dan statusnya sebagai status mempelai
perempuan dirumah istrinya.
2.2.4 Kedudukan Janda dalam Sitem Waris Adat Bali
Secara umum menurut ketentuan hukum waris adat bahwa untuk
menentukan siapa yang menjadi ahli waris digunakan dua garis pokok
keutamaan dan garis pokok penggantian. Garis pokok keutamaan
merupakan suatu garis hukum yang menentukan urutan keutamaan di
antara golongan-golongan dalam keluarga pewaris, dengan pengertian
bahwa golongan yang satu lebih diutamakan yaitu yang pertama adalah
keturunan pewaris (anak-anak pewaris), yang kedua orang tua
pewaris, yang ketiga saudara pewaris beserta keturunannya dan yang
ke empat kakek nenek pewaris. Adapun garis pokok penggantian
merupakan garis hukum yang bertujuan untuk menentukan siapakah di
antara orang di dalam kelompok keutamaan tertentu, tampil sebagai
ahli waris yang sungguh-sungguh menjadi ahli waris, adalah :1.
Orang yang tidak mempunyai penghubung dengan pewaris ;2. Orang yang
tidak ada lagi penghubungnya dengan pewaris .Korelasi dengan sistem
garis keturunan adalah positif, oleh karena dalam hal ini garis
pokok keutamaan mapun garis pokok penggantian menjadi variabel
tidak bebas (independen variabel). Dengan mencermati dari urutan
keutamaan di antara golongan-golongan keluarga pewaris maupun dari
garis pokok penggantian, maka dapat dikatakan bahwa kedudukan janda
tersebut tidak termasuk dalam dua jenis garis pokok keutamaan dan
garis pokok penggantian. Dengan demikian janda (isteri pewaris )
tidak termasuk kelompok ahli waris sehingga tidak mendapat bagian
dari harta peninggalan suaminya.Demikian ini sejalan dengan apa
yang diemukakan oleh Soekanto mengenai kedudukan janda . Soekanto
menyatakan bahwa janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan
suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta
tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat
pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya. Untuk
nafkah ini terutama disediakan barang gono-gini. Jika barang-barang
ini mencukupi untuk nafkah, maka waris dapat menuntut supaya
barang-barang asal dari peninggal harta diterimakan kepada mereka.
Jika barang gono gini tidak mencukupi untuk nafkah, maka asal dari
suami dapat dipakai untuk keperluan itu. Harta peninggalan boleh
dibagi-bagi adil saja janda terpelihara dalam hidupnya, misalnya
janda sudah dapat pewarisan (pada masa masih hidup suaminya) atau
nafkah dijamin oleh beberapa waris. Jika janda nikah lagi, ia
keluar dari rumah tangga suami pertama dan ia masuk dalam rumah
tangga baru, dalam hal demikian barang-barang gono-gini dapat
dibagi-bagi anatara janda yang kawin lagi dengan ahli waris suami
yang telah meninggal dunia.Menurut Ter Haar dalam (R. Soepomo, 1996
: 95) menyatakan bahwa pangkal pikiran hukum adat ialah bahwa
isteri sebagai orang luar tidak mempunyai hak sebagai waris, akan
tetapi sebagai isteri, ia berhak mendapat nafkah dari harta
peninggalan, selama ia memerlukannya. Di Minangkabau misalnya, yang
sistem familinya berdasar turunan dari pihak ibu
(moederrechtelijk), isteri tidak memerlukan nafkah dari harta
peninggalan suaminya.Dari kedua pendapat tersebut di atas jika
ditarik garis hukumnya tiadalah bedanya, karena garis hukumnya
menyatakan bahwa janda bukan ahli waris (almarhum) suaminya.
Sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut :1. Janda berhak akan
jaminan nafkah seumur hidupnya, baik dari barang gono gini mapun
dari hasil barang asal suami, jangan sampai terlantar selanjutnya
sesudah suaminya meninggal dunia ;2. Janda berhak menguasai harta
peninggalan suaminya, untuk menarik penghasilan dari barang-barang
itu, lebih-lebih jika mempunyai anak. Harta itu tetap merupakan
kesatuan di bawah asuhan yang tidak dibagi-bagi ;3. Janda berhak
menahan barang asal suaminya, jikalau dan sekedar harta selama
barang asal itu sungguh-sungguh diperlukan olehnya, untuk keperluan
nafkahnya ;4. Janda berhak mendapat bagian atau menuntut sebesar
bagian anak di dalam keadaan terpaksa diadakan pembagian dengan
anak, misalnya janda kawin lagi. Anak minta sebagian untuk modal
berusaha dan sebagainya. (Bushar Muhammad dalam Soerjono, Yusuf
Usman, 1985 : 21).[footnoteRef:24] [24: Haar, B. Ter Asar asas dan
susunan Hukum adat. Pradya Paramita, 1980]
2.2.5 Kedudukan Orang Tua dan Saudara Kandung dalam Sitem Waris
Adat BaliSalah satu prinsip azas umum dikemukakan bahwa jika
pewarisan tidak dapat dilaksanakan secara menurun, maka warisan ini
dilakukan secara keatas atau kesamping. Artinya yang menjadi ahli
waris ialah pertama-tama anak laki atau perempuan dan keturunan
mereka. Kalau tidak ada anak atau keturunan secara menurun, maka
warisan itu jatuh pada ayah, nenek dan seterusnya keatas. Kalau ini
juga tidak ada yang mewarisi adalah saudara-saudara si peninggal
harta dan keturunan mereka yaitu keluarga sedarah menurut garis
kesamping, dengan pengertian bahwa keluarga yang terdekat
mengecualikan keluarga yang jauh.Dalam hal pembagian ahli waris
adat Bali apabila pewaris tidak memiliki anak laki-laki yang sah
atau anak angkat laki-laki yang sah ahli waris dapat saja siapapun
yang mempunyai hubungan darah dan juga merupakan satu klen. Dengan
demikian walaupun seseorang mempunyai hubungan darah dengan pewaris
tapi belum tentu dapat menjadi ahli waris, jika ternyata tidak satu
klen. Klen adalah kelompok orang dimana orang-orang didalam
kelompok itu mempunyai ikatan keluarga/darah, melalui penghubung
perampuan atau penghubung laki-laki.[footnoteRef:25] [25:
http://www.academia.edu/6489182/Rangkuman_Hukum_Keluarga_dan_Waris_Adat]
2.2.6 Kedudukan Ahli Waris yang Beralih Agama dalam Sitem Waris
Adat Bali
Perkawinan yang beda agama akan menimbulkan dampak pada hukum
waris bali yang istilah dalam hukum adat bali dinamakan Ngerajeg
Dalam atau Nyentana.[footnoteRef:26] Menurut hukum adat Bali yang
berpindah agama merupakan salah satu factor yang dapat memyebabkan
seorang ahli waris dapat kehilangan hak waris mereka, hal ini
dikarenakan mereka ahli waris yang berpindah agama dianggap tidak
melaksanakan kewajiban yang semula dilakukan oleh pewaris dalam hal
ini bersangkutan dengan adanya tetap menjaga agama yang dianut
mereka. Selain kehilangan hak waris, mereka yang berpindah agama
juga akan kehilangan hubungan-hubungan kekeluargaan dan masyarakat
hindu lainya. Hukum waris seperti ini juga berlaku pada desa
Tenganan. Sedangkan pada desa Pekraman Panjar peralihan agama
memang membuat sesorang kehilangan hak waris namun dalam
kenyataannya terdapat pengecualian dalam desa Pekraman Panjar ini
pewarisan yang beralih agama. Dimana ahli waris yang beralih agama
tetap mendapatkan harta warisan pusaka orag tuannya. Hal tersebut
disebabkan rasa belas kasihan dan sayang orang tua (Pewaris) Kepada
anaknya (Ahli Waris). Dalam hal warisan ini yang dapat diberikann
hanyalah harta yang bersifat penghasilan yang dicari sendiri oleh
orang tuannya selama perkawinan, bukan harta warisan turun temurun
atau harta warisan diluar perkawinan. [26: Sumber :
http://stitidharma.org/perkawinan-beda-agama/]
Ditinjau dari Hukum Adat Waris Bali sendiri seorang yang
berpindah agama Hindu ke agama yang lain tidak dapat mewaris.
Dimana masyarakat desa Tenganan menganggap segala sesuatu yang
menyimpang dari adat kebiasaan yang berlaku dan diunjung tinggi
suatu hal yang dipatuhi, sehingga apabila ada penyimpangan sekecil
apapun itu dianggap akan menimbulkan kegoncangan dan akan berdampak
buruk bagi masyarakat adat yang ada. Desa Tenganan yang menganut
system kekerabatan patriliniar ini, menujukkan bahwa seorang yang
berpindah agama tidak ada lagi hubungan masalah penerusan keturunan
( silsilah keluarga ). Namun juga tidak dapat dipungkiri masih
adanya hubungan secara biologis atau hubungan darah, oleh karena
itu hubungan seorang anak yang berpindah agama dengan orang tuanya
hanyalah sebatas melaksanakan kewajiban moral saja.Terputus dari
hubungan hukum seorang anak yang berpindah agama dengan orang
tuanya, berpindah agama juga akan berdampak pula pada hubungan
dimana tempat tinggalnya atau masyarakat adat Tenganan. Setelah
seseorang berpindah agama pada umumnya desa atau banjar adat tidak
memperbolahkan mereka mengikuti organisasi dalam suatu desa, mereka
juga akan dikeluarkan dari desa tersebut dan disarankan untuk
tinggal diluar dari desa tersebut. Seorang yang berpindah agama
juga tidak diperbolehkan menggunakan fasilitas adat yaitu
menyangkut tempat kuburan, karena mereka menganggap fasilitas desa
berupa kuburan hanya diperuntukan bagi mereka masyarakat adat
Tenganan khususnya beragama Hindu. Hal ini mencerminkan bahawa
seseorang yang berpindah agama sudah terlepas dari hubungan desa
adat dan masyarakatnya.Dilihat dari hukum waris adat bali berlih
agama sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap
putus hubungan dengan keluarganya , dan tidak dapat lahi
melaksanakan kewajiban-kewajibannya , tetapi apabila ditinjau dari
hukum perdata ahli waris tetap mendapatkan warisan karena itu
merupakan haknya. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh Erman
Suparman Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan
perempuan dan juga tidak membedakan urutan kelahiran, hanya ada
ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka
akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam garis lurus keatas
maupun kesamping[footnoteRef:27] [27: Op.Cit. Erman Suparman.Hal.
30]
2.2.7 Pembagian Warisan Adat Bali Jika Pewaris Memiliki Istri
Lebih dari Satu (poligami)
Masyarakat bali melakukan poligami atas dasar kesenangan mereka
untuk memperoleh isteri lebih dari satu, karena apabila seseorang
bisa melakukan poligini di dalam komunitas nya maka ia akan bangga
karena dapat melakukan hal itu.Masalah waris, dalam sistem
patrilineal, karena yang dianggap berharga adalah hubungan seorang
laki-laki dengan anak laki-laki dari istrinya, maka akses perempuan
kepada harta waris tergantung pada kemampuannya memelihara anak
laki-lakinya tersebut bagi kepentingan kekerabatan. Artinya,
meskipun perempuan mempunyai hubungan dalam sistem kekerabatan
patrilineal, namun terdapat aturan-aturan mengenai masalah
perkawinan, rumah tinggal, keturunan dan pewarisan. Pembatasan
perempuan untuk menguasai dan mengontrol hak milik melalui
legitimasi kekerabatan dan adat inilah yang telah menyebabkan
terjadinya stratifikasi sosial ekonomi menurut jender yang semakin
tajam .Dalam perkawinan poligami memang ahli waris dari istri
pertama yang paling berhak menduduki atau mewarisi harta
peninggalan dari pewaris dan sekaligus sebagai pengganti tahta
kerajaan tersebut. sedangkan ahli waris dari istri kedua hanya
sebagai ahli waris bila ahli waris dari istri pertama tidak ada,
baru ahli waris dari istri kedua yang mewarisi harta warisan,
begitu seterusnya. Tetapi dalam hal ini ahli waris dari istri
pertama yang berhak mewarisi harta warisan serta memenuh tahta
kerajaan.Pembagian warisan dalam masyarakat adat Hindu Bali ,
apabila dalam status perkawinan poligami dapat dilakukan dengan dua
cara , yaitu :a. dengan cara membagi anak sullung lebih banyak dan
anak perempuan mendapatkan jumlah yang lebih sedikit dari anak
laki-laki.b. kedua pembagian yang sama rata antara para ahli waris
satu golongan tersebut.
2.2.8 Ninggal Kepatutan/Ninggal Kedaton dalam Sitem Waris Adat
Bali
Ninggal Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas
warisan karena mereka tidak dapat lagi melaksanakan
tanggung-jawabnya. Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan
yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang
ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang
kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Mereka
yang dianggap ninggal kedaton, yaitu :1. orang yang tidak lagi
memeluk agama Hindu,2. dipecat kedudukannya sebagai anak oleh
orangtuanya (pegat mapianak),3. meninggalkan rumah atau minggat
(ngumbang), tanpa alasan yang jelas,4. perempuan yang kawin biasa,
5. laki-laki yang kawin nyentana atau kawin nyeburin. 6. diangkat
anak oleh keluarga lain, 7. secara sukarela melepaskan ikatan
kekerabatan dengan keluarganya serta menyerahkan diri kepada
keluarga lain (maid yang raga).
Orang yang ninggal kedaton dianggap tidak berhak atas warisan
karena mereka tidak lagi dapat melaksanakan tanggung-jawabnya
(swadharma) sebagai penerus keturunan. anak yang ninggal kedaton
penuh tidak berhak atas warisan, tetapi dapat diberi bekal (jiwa
dana)oleh orangtuanya dari harta guna kayatanpa merugikan ahli
waris.
KESIMPULAN
Hukum waris adat adalah hukum yang memuat garis-garis ketentuan
tentang sistem dan asas-asas hukum waris, tentang harta warisan,
pewaris dan waris serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
oleh pemiliknya dari pewaris kepada ahli waris. Hukum ini
sesungguhnya adalah hukum penerusan serta mengoperkan harta
kekayaan dari sesuatu genarasi kepada keturunannya. Di dalam Hukum
adat sendiri tidak mengenal cara-cara pembagian dengan penghitungan
tetapi didasarkan atas pertimbangan, mengingat wujud benda dan
kebutuhan waris yang bersangkutan. Menurut hukum adat Bali
yangmenganutsistemkekeluargaanpatrilinealmakayang menjadi ahli
waris adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan tidak sebagai
ahliwarisKedudukan anak angkat itu menurut kekeluargaan di Bali
adalah sama dengan kedudukan anak kandung. Anak angkat tersebut
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan anak dari orang
tua.Anak perempuan bukan ahli waris tetapi mendapat bagian dari
warisan ketika diadakan pembagian.Tetapi perempuan juga dapat
menjadi ahli waris yang disebut sebagai sentana rajeg, dimana
wanita tersebut didudukkan sebagai lakilaki melalui upacara
nyentana.Janda tidak mendapat bagian dari harta peninggalan
suaminya sebagai waris, tapi berhak menarik penghasilan dari harta
tersebut, jika perlu seumur hidup. Untuk nafkahnya janda itu dapat
pula diberi bagian sekaligus dari harta peninggalan suaminya.Dalam
hal pembagian ahli waris adat Bali apabila pewaris tidak memiliki
anak laki-laki yang sah atau anak angkat laki-laki yang sah ahli
waris dapat saja siapapun yang mempunyai hubungan darah dan juga
merupakan satu klen.Menurut hukum adat Bali, bukan hanya perempuan
yang dianggap tidak berhak atas warisan, melainkan mereka yang
ninggal kedaton, atau nilar kedaton, ninggal kapatutan, ngutang
kapatutan, ngutang kawitan, ngutang sesana atau swadharma. Ninggal
Kepatutan dalah orang yang dianggap tidak berhak atas warisan
karena mereka tidak dapat lagi melaksanakan
tanggung-jawabnya.Dilihat dari hukum waris adat bali beralih agama
sebenarnya tidak mendapatkan hak waris, karna sudah dianggap putus
hubungan dengan keluarganya , dan tidak dapat lagi melaksanakan
kewajiban-kewajibannya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Beni ,I Wayan. 1988.Warisan adat Bali, Tabanan:Agung Dharma
Putra
Haar, B. Ter.1980.Asar asas dan susunan Hukum
adat.Jakarta:Pradya Paramita.
Hadikusuma,Hilman.1987. Hukum Kekerabatan Anak, Jakarta :PT.
Citra Aditya Bakti
Hadikusuma, Hilman.2003.Hukum Waris Adat, Bandung: PT.Citra
Aditya Bakti Panetje,I Gede.1986.Aneka Catatan Tentang Hukum Adat
Bali,Cetakan I,Denpasar:Kayumas
Pudja,I Gde. Pedoman Penghayatan Dan Pengamalan Pancasila dan
Ajaran Hindu Dharma, Cetakan Keempat, Direktorat Jendral Bimbingan
Masyarakat Hindu dan Budha Departeman Agama INDONESIA
Prodjodikoro,Wirjono.1983. Hukum Warisan Di Indonesia, Bandung
:Sumur Bandung
Ramulyo,M. idris.1982.Suatu Perbandingan antara Ajaran sjafiI
dan Wasiat Wajib wajib diMesir,tentang pembagian Harta Warisan
untuk cucu Menurut islam.Jakarta : FHUI
Soekanto, Soerjono.2012.Hukum Adat Indonesia, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada
Soeripto.1973.Beberapa Bab tentang Hukum Adat Bali,
Jember:Fakultas Hukum Universitas Negeri Jember
Suparman,Erman.2005.Hukum waris Indonesia (Dalam Perspektif
Islam, Adat, dan BW).Bandung:PT Refika Aditama
Tafal, B. Bastian 1983.Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat
Serta Akibat-Akibatnya di Kemudian Hari. Jakarta :CV. Rajawali
Zaini ,Muderis.2002.Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem
Hukum,Jakarta: Sinar Grafika
Website :
http://www.academia.edu/6489182/Rangkuman_Hukum_Keluarga_dan_Waris_Adat
http://stitidharma.org/perkawinan-beda-agama/
HALAMAN PENGESAHAN
1. M. ILMI ARRAFI 1212011180Hukum waris secara umum dan
kaitannya dengan Hukum waris adat BaliTtd
.
2. SHELLY MALINDA AZWAR 1212011320Ninggal Kepatutan/Ninggal
kadatonTtd
3. SONYA PUTRI OKTAVIA SARNO 1212011329Kedudukan Anak Angkat
Dalam Sistem Waris Adat BaliTtd
.
4. WILLYAM BLASIUS SIREGAR 1212011359Kedudukan Ahli Waris yang
Beralih Agama dalam Sitem Waris Adat BaliTtd
.
5. YAPITER MARPI 1212011360Kedudukan Anak Perempuan Dalam Waris
adat BaliTtd
.6.YASINTA ERISKA 1212011361Kedudukan Orang Tua dan Saudara
Kandung dalam Sitem Waris Adat BaliTtd
.7. YOGA PRATAMA 1212011363Pembagian Warisan Adat Bali Jika
Pewaris Memiliki Istri Lebih dari Satu (poligami)Ttd
.8. YONEFKI 1212011364Kedudukan Janda Dalam Waris Adat
BaliTtd
9.YUDHA AGUNG PRATAMA 1212011367Kedudukan Anak Laki-Laki Dalam
Waris Adat BaliTtd
1
25